Presus Sinusitis

55
BAB I LAPORAN KASUS I.1. Identitas Pasien Nama : Tn. S Umur : 70 tahun Jenis kelamin : Laki-laki Agama : Islam Alamat : Metroyudan Pekerjaan : Pensiun PNS No RM : 07-38-41 Pembayaran melalui : askes I.2. Anamnesis Keluhan utama Pasien datang ke Poliklinik THT dengan keluhan nyeri di pipi dan dibawah kelopak mata kiri. Riwayat penyakit sekarang Nyeri pada daerah pipi dan bawah kelopak mata kiri, sudah dirasakan selama 3 hari, batuk berdahak (+) sejak 6 bulan yang lalu, hidung berbau sejak 5 bulan seperti bau nanah,pilek (+) disertai adanya hidung tersumbat yang sering hilang timbul, sekret hidung yang kental (+), 1

description

lapkas

Transcript of Presus Sinusitis

BAB I

LAPORAN KASUS

I.1. Identitas Pasien

Nama:Tn. S

Umur:70 tahun

Jenis kelamin: Laki-laki

Agama: Islam

Alamat:Metroyudan

Pekerjaan: Pensiun PNS

No RM: 07-38-41

Pembayaran melalui : askes

I.2. Anamnesis

Keluhan utama

Pasien datang ke Poliklinik THT dengan keluhan nyeri di pipi dan dibawah kelopak mata kiri.

Riwayat penyakit sekarang

Nyeri pada daerah pipi dan bawah kelopak mata kiri, sudah dirasakan selama 3 hari, batuk berdahak (+) sejak 6 bulan yang lalu, hidung berbau sejak 5 bulan seperti bau nanah,pilek (+) disertai adanya hidung tersumbat yang sering hilang timbul, sekret hidung yang kental (+), keadaan seperti menelan lendir/adanya lendir yang jatuh ke tenggorokan diakui oleh pasien.

Keluhan tambahan

Ngilu pada pipi kiri yang terjadi terus menerus, sakit kepala (+), mual (-), muntah (-), sesak (-), nyeri tenggorok (+), nyeri menelan (-). Keluhan telinga tidak ada.

Riwayat pengobatan

Sebulan yang lalu sudah diobati di poli THT dan diberi obat tablet dan diperiksa foto rontgen, tetapi perbaikan yang dialami hanya sedikit, kemudian kontrol kembali ke poli THT RST Dr. Soedjono Magelang.

Riwayat penyakit dahulu

Riwayat penyakit serupa:pernah mengalami seperti ini 1 bulan yang lalu

Riwayat trauma pada wajah: disangkal

Riwayat sakit gigi:disangkal

Riwayat alergi: disangkal

Riwayat penyakit keluarga

Alergi (-)

I.3.Pemeriksaan fisik

1. Status generalis

Kondisi umum: baik

Kesadaran: compos mentis

Status gizi: baik

1. Status lokalis THT (Telinga, Hidung, Tenggorokan)

1.1. Kepala dan Leher

Kepala:mesocephale

Wajah: simetris

Leher:pembesaran kelenjar limfe (-)

1.2. Gigi dan mulut

Gigi geligi: normal

Lidah:normal, kotor (-), tremor (-)

Pipi: bengkak (-)

1.3. Pemeriksaan Telinga

Bagian Auricula

Dextra

Sinistra

Auricula

Bentuk normal,

nyeri tarik (-)

nyeri tragus (-)

Bentuk normal

nyeri tarik (-)

nyeri tragus (-)

Pre auricular

Bengkak (-)

nyeri tekan (-)

fistula (-)

Bengkak (-)

nyeri tekan (-)

fistula (-)

Retro auricular

Bengkak (-)

Nyeri tekan (-)

Bengkak (-)

Nyeri tekan (-)

Mastoid

Bengkak (-)

Nyeri tekan (-)

Bengkak (-),

Nyeri tekan (-)

CAE

Serumen (-)

hiperemis (-)

Sekret (+)

Serumen (-)

hiperemis (-)

Sekret (+)

Membran timpani

Intak

putih mengkilat

refleks cahaya (+)

Intak

putih mengkilat

refleks cahaya (+)

1.4. Pemeriksaan Hidung

Bagian Hidung Luar

Dextra

Sinistra

Bentuk

Normal

Normal

Inflamasi atau tumor

-

-

Nyeri tekan sinus

-

+

Deformitas atau septum deviasi

-

+

Rhinoskopi anterior

Vestibulum nasi

Normal

Normal

Dasar cavum nasi

Normal

Sekret

+ (mukoid)

+ (mukoid)

Mukosa

Hiperemis (-)

Hiperemis (-)

Benda asing

-

-

Perdarahan

-

-

Konka nasi media

Hipertrofi (+)

Hiperemis (-)

Hipertrofi (+)

Hiperemis (+)

Konka nasi inferior.

Hipertrofi (+)

Hiperemis (-)

Hipertrofi (+)

Hiperemis (-)

Septum

Deviasi (+)

Transluminasi

Tidak dilakukan

1.5. Pemeriksaan tenggorokan

Rhinoskopi Posterior

Tidak dilakukan (seharusnya dilakukan untuk mengetahui PND)

Lidah

Ulkus (-) Stomatitis (-)

Uvula

Bentuk normal, di tengah, hiperemis (-)

Tonsil

Dextra

Sinistra

Ukuran

T1

T1

Permukaan

Rata

Rata

Warna

Hiperemis (-)

Hiperemis (-)

Kripte

Melebar (-)

Melebar (-)

Detritus

(-)

(-)

Faring

Mukosa hiperemis (+), dinding rata, granular (-)

I.4. Pemeriksaan penunjang

1. X-ray kepala Waters dan Lateral

Hasil yang dibacakan:

Tampak air fluid level pada sinus maksilaris kiri

Tampak penebalan mukosa cavum nasi sesuai gambaran rhinitis

Deviasi septi nasi (+)

2. Transluminansi ( sinus yang sakit akan tampak suram/gelap

3. CT scan (pemeriksaan pencitraan terbaik untuk sinusitis

4. Pemeriksaan mikrobiologi dan tes resistensi ( kultur organism penyebab, bahan kultur dapat diambil dari meatus medius, meatus superior, atau aspirasi sinus

5. Rontgen gigi untuk mengetahui apakah sudah timbul abses atau belum

6. Sinuskopi : pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior

5.Ringkasan

1. Anamnesis

Nyeri pada pipi kiri dan dibawah mata kiri (+)

Batuk (+), pilek (+), hidung tersumbat (+)

PND (+)

2. Pemeriksaan Hidung

Hidung luar terlihat normal

Rhinoskopi anterior:

Sekret (+) mukoid

Hipertrofi konka media dan inferior (+)

3. Pemeriksaan penunjang

Hasil x-ray kepala waters dan lateral :

Tampak air fluid level pada sinus maksilaris

Penebalan mukosa cavum nasi sesuai gambaran rhinitis

Deviasi septi (+)

I.7. Diagnosis banding

Dari segi waktu :

Sinusitis Akut

Sinusitis Sub-Akut

Sinusitis Kronik

Sinusitis Kronik Eksaserbasi Akut

Dari segi anatomis :

Sinusitis maksilaris

Sinusitis etmoidalis

Sinusitis sfenoidalis

Sinusitis frontalis

I.8. Diagnosis

Rhinosinusitis maksilaris sinistra kronik eksaserbasi akut ex causa deviasi septum

I.9.Terapi

1. Konservatif : Irigasi sinus

2. Medikamentosa

a. antibiotik ( penisilin G 50.000 IU/kg/hari.

b. dekongestan + antihistamin : efedrin +CTM

c. analgetik: Asam mefenamat 3x500mg

d. ekspektoran: DMP

3. Pembedahan ( Caldwell-Luc procedure, FESS

I.10. Komplikasi

Osteomyelitis dan abses subpperiosteal

Kelainan orbita : Edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita

Kelainan intracranial : Meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus

Kelainan paru : Bronkitis kronik dan bronkiektasis

I.11. Prognosa

Qou ad vitam : dubia ad bonam

Qou ad sanam : dubia ad bonam

Quo ad functionam: dubia ad bonam

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Anatomi Hidung

Secara garis besar, hidung dibagi menjadi:

1. Hidung luar

2. Hidung dalam

A. Hidung Luar

Hidung luar berbentuk pyramid dengan puncak hidung sebagai apeks. Terdiri dari :

1. Pangkal hidung

2. Dorsum nasi

3. Puncak hidung

4. Ala nasi

5. Kolumela

A. Hidung Luar

Struktur hidung luar dibedakan atas 3 bagian:

1. Kubah tulang

2. Kubah kartilago

3. Lobulus hidung

1. Kubah Tulang

Kubah tulang hidung terdiri dari:

Kedua os nasale

Processus frontalis maxillae

Processus nasalis ossis frontalis

2. Kubah Kartilago

Kubah kartilago hidung terdiri dari :

2 Cartilagines nasi lateralis

1 Cartilago septum nasi

3. Lobulus Hidung

Lobulus hidung terdiri dari :

2 Cartilagines alares

Kolumela

2 Ala nasi

Ujung hidung

Nares

Septum Nasi

B. Hidung Dalam

Struktur ini membentang dari os internum hingga ke koana, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Terdiri dari beberapa bagian, dianataranya adalah :

1. Septum nasi

2. Conchae nasales

3. Meatus nasales

4. Sinus paranasales

1. Septum Nasi

Septum nasi membagi cavum nasi menjadi dua dan terdiri dari kerangka tulang dan kerangka tulang rawan. Kerangka tulang terdiri dari :

Lamina prependikularis

Vomer

Krista nasalis os maksilla

Krista nasalis os palatina

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari :

Kartilago septum

Kolumela

2. Conchae Nasales dan Meatus Nasales

Concha nasales merupakan bagian dari dinding lateral cavitas nasi yang berupa 4 tonjolan yang berbentuk seperti gulungan, terdiri dari :

1. Concha nasalis superior

2. Concha nasalis media

3. Concha nasalis inferior

4. Concha nasalis suprema (rudimenter)

Conchae nasalis membagi cavitas nasi menjadi 4 lorong, terdiri dari :

1. Meatus nasalis superior

Terletak diantara concha nasalis superior dan media, merupakan muara ostium sinus ethmoid posterior dan sinus sfenoid

2. Meatus nasalis medius

Terletak diantara concha nasalis media dan inferior, merupakan muara ostium sinus frontal, maksila dan ethmoid anterior

3. Meatus nasalis inferior

Terletak diantara concha nasalis inferior dengan dasar cavum nasi, ostium ductus nasolacrimalis yang bermuara ke dalam meatus ini

Cavum Nasi

Cavum nasi merupakan suatu ruang berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi. Pintu masuk bagian depan disebut sebagai nares anterior sedangkan pintu keluar bagian belakang disebut sebagai nares posterior (koana). Dibelakang dari nares anterior yang letaknya sesuai dengan ala nasi terdapat daerah yang disebut sebagai vestibulum, bagian ini mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Masing-masing cavum mempunyai 4 buah dinding, yakni :

Dinding inferior ( os maksilla & os palatum

Dinding superior ( lamina kribiformis

Dinding medial ( septum nasi

Dinding lateral ( concha

Otot-Otot Hidung

Otot-otot hidung terdiri dari:

1. M. nasalis : dipersarafi oleh N VII, berfungsi untuk pergerakan cuping hidung & hidung.

2. M. depressor septi nasi: dipersarafi oleh N VII

Meatus medius merupakan salah satu celah yang penting dan merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus.

Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla.

Vaskularisasi Hidung

Secara garis besar pendarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:

a. Arteri Etmoidalis anterior

b. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika

c. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus kieesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus.

Innervasi Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum

Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media. Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

3. Anatomi Sinus Paranasal

Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung.

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksila 15-18 tahun.

Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.

Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum etmoid.

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah

1. Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.

2. Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.

3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase kurang baik, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitus.

Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 thn dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 thn.

Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.

Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisakan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.

Sinus frontal berdraenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal. Resesus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anteroir.

Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media.

Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sisnusitis maksila.

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.

Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cmn tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid.

Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

Sistem Mukosiliar

Terdapat 2 aliran :

1) Sinus anterior ( bergabung di infundibulum ethmoid (dialirkan di nasofaring.

2) Sinus posterior (bergabung di resesus sfenoethmoidalis ( nasofaring (posterior muara tuba), jika terjadi sinusitis, post nasal drip (+).

Kompleks Ostio-Meatal

Di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.

Fungsi Sinus Paranasal

Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Beberapa pendapat:

a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitive antara sinus dan rongga hidung. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.

b. Sebagai penahan suhu (termal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.

c. Membantu keseimbangan kepala

Bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori dianggap tidak bermakna.

d. Membantu resonansi suara

Berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.

e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Berjalan bila terdapat perubahan tekanan yang besar dan mendadak misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.

f. Membantu produksi mucus

Jumlahnya produksi mucus yang dihasilakn kecil dibandingkan dengan mucus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mucus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

Pemeriksaan Sinus Paranasal

Untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasal dilakukan inspeksi dari luar, palpasi, rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, transiluminasi, pemeriksaan radiologi dan sinuskopi,

Inspeksi

Yang diperhatikan adalah adanya pembengkakan pada muka. Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerah-merahan mungkin menunjukkan suatu sinusitis maksilaris akut. Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan suatu sinusitis frontalis akut.

Sinusitis etmoid akut jarang menyebabkan pembengkakan ke luar, kecuali bila telah terbentuk abses.

Palpasi

Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya sinusitis maksila. Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal yaitu pada bagian medial atap orbita. Sinusitis etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah kantus medius.

Transiluminasi

Transiluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia.

Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maksila, akan tampak terang pada pemeriksaan transiluminasi, sedangkan pada foto rontgen tampak adanya perselubungan berbatas tegas di dalam sinus maksila.

Transiluminasi pada sinus frontal hasilnya lebih meragukan. Besar dan bentuk kedua sinus ini seringkali tidak sama. Gambaran yang terang berarti sinus berkembang dengan baik dan normal, sedangkan gambaran yang gelap mungkin hanya menunjukkan sinus yang tidak berkembang.

Pemeriksaan Radiologik

Bila dicurigai adanya kelainan di sinus paranasal,maka dapat dilakukan pemeriksaan radiologik. Posisi rutin yang dipakai ialah posisi Waters, P.A, dan lateral. Posisi Waters terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi posterior anterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid dan etmoid.

Metode mutakhir yang lebih akurat untuk melihat kelainan sinus paranasal adalah pemeriksaan CT-scan.

Sinuskopi

Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskop. Endoskop dimasukkan melalui lubang yang dibuat di meatus inferior atau di fossa kanina.

Dengan sinuskopi dapat dilihat keadaan di dalam sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista, bagaimana keadaan mukosa dan apakah ostiumnya terbuka.

II. Rinitis

RHINITIS NON ALERGI

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, rinitis non-alergi dapat dibagi menjadi rinitis akut dan rinitis kronis.(1)

A. Rinitis Akut

Rinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri. Selain itu, rinitis akut dapat juga timbul sebagai reaksi sekunder akibat iritasi lokal atau trauma. Penyakit ini seringkali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Yang termasuk ke dalam rinitis akut diantaranya adalah rinitis simpleks, rinitis influenza dan rinitis bakteri akut supuratif.

1) Rinitis Simpleks

Rinitis simpleks disebut juga pilek, salesma, common cold, dan coryza. Penyakit ini merupakan penyakit yang paling sering ditemukan pada manusia.(2)

Etiologi

Penyebab rinitis simpleks ialah beberapa jenis virus, yang diklasifikasikan berdasarkan komposisi biokimia virus. Virus RNA termasuk kelompok seperti rinovirus, virus influenza, parainfluenza, dan campak. Sedangkan virus DNA termasuk kelompok adenovirus dan herpes virus.(2)

Gambaran Klinik

Pada stadium prodromal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa panas, kering dan gatal di dalam hidung. Kemudian memasuki stadium pertama yang biasanya terbatas tiga hingga lima hari. Pada stadium ini timbul bersin berulang-ulang, hidung tersumbat, sekret hidung mula-mula encer dan banyak, kemudian menjadi mukoid, lebih kental dan lengket. Biasanya disertai demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak. (1)

Penyakit dapat berakhir pada stadium pertama, namun pada kebanyakan pasien penyakit berlanjut ke stadium invasi bakteri yang ditandai dengan suatu rinore purulen, sumbatan di hidung bertambah, demam, sensasi kecap dan bau berkurang dan sakit tenggorokan. Stadium ini dapat berlangsung hingga dua minggu.

Rinovirus tidak menyebabkan terjadinya kerusakan epitel mukosa hidung, sedangkan adenovirus dapat menimbulkan kerusakan epitel mukosa hidung.

Terapi

Terapi terbaik pada rinitis virus tanpa komplikasi adalah istirahat, obat-obatan simtomatis seperti analgetika, antipiretik dan dekongestan.(1) Selama fase infeksi bakteri sekunder, dapat diberikan antibiotika.(2)

2) Rinitis Influenza

Etiologi

Rinitis influenza disebabkan oleh virus A, B dan C dari golongan ortomiksovirus.(2)

Gambaran Klinik

Gejala yang sering timbul ialah sekret hidung berair, dan hidung tersumbat. Lebih sering terjadi infeksi bakteri sekunder dan nekrosis epitel bersilia dibandingkan common cold.(2)

Terapi

Terapi rinitis influenza tidak ada yang spesifik, sama dengan rinitis simpleks, terapi terbaik adalah istirahat, analgetika, antipiretik dan dekongestan, serta antibiotika bila terdapat infeksi sekunder.

3) Rinitis Bakteri Akut Supuratif

Etiologi

Penyebab rinitis bakteri akut supuratif adalah Pneumococcus, Staphylococcus, dan Streptococcus.(2)

Gambaran Klinik

Rinitis bakteri akut supuratif merupakan infeksi bakteri sekunder pada rinitis virus. Pada orang dewasa seringkali disertai sinusitis bakterialis, dan pada anak sering disertai adenoiditis. Namun pada anak kecil dapat terjadi rinitis bakterialis primer yang gejalanya mirip common cold.(2)

Terapi

Terapi yang tepat adalah antibiotika, obat cuci hidung, dekongestan dan analgesik.

B. Rinitis Kronis

Yang termasuk dalam rinitis kronis adalah rinitis hipertrofi, rinitis sika dan rinitis spesifik. Meskipun penyebabnya bukan radang, rinitis vasomotor dan rinitis medikamentosa juga dimasukkan dalam rinitis kronis.

1) Rinitis Hipertrofi

Etiologi

Rinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dalam hidung dan sinus, atau sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor.

Gambaran Klinis

Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak, mukopurulen dan sering ada keluhan nyeri kepala. Konka inferior hipertrofi, permukaannya berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa yang juga hipertrofi. (1)

Terapi

Pengobatan yang tepat adalah mengobati faktor penyebab timbulnya rinitis hipertrofi. Kauterisasi konka dengan zat kimia (nitras argenti atau asam trikloroasetat) atau dengan kauter listrik dan bila tidak menolong perlu dilakukan konkotomi.(1)

2) Rinitis Sika

Etiologi

Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja di lingkungan yang berdebu, panas dan kering. Juga pada pasien dengan anemia, peminum alkohol, dan gizi buruk.

Gambaran Klinis

Pada rinitis sika mukosa hidung kering, krusta biasanya sedikit atau tidak ada. Pasien mengeluh rasa iritasi atau rasa kering di hidung dan kadang kadang disertai epitaksis.

Terapi

Pengobatan tergantung penyebabnya. Dapat diberikan obat cuci hidung.

3) Rinitis Spesifik

Yang termasuk ke dalam rinitis spesifik adalah:

Rinitis Difteri(1)

Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae.

Gambaran klinis

Gejala rinitis difteri akut adalah demam, toksemia, limfadenitis, paralisis, sekret hidung bercampur darah, ditemukan pseudomembran putih yang mudah berdarah, terdapat krusta coklat di nares dan kavum nasi. Sedangkan rinitis difteri kronik gejalanya lebih ringan.

Terapi

Terapi rinitis difteri kronis adalah ADS (anti difteri serum), penisilin lokal dan intramuskuler.

Rinitis Atrofi

Etiologi

Ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab rinitis atrofi, yaitu infeksi kuman Klebsiela, defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronis, kelainan hormonal dan penyakit kolagen.(1)

Gambaran Klinis

Rinitis atrofi ditandai dengan adanya atrofi progresif mukosa dan tulang hidung. Mukosa hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Keluhan biasanya nafas berbau, ingus kental berwarna hijau, ada krusta hijau, gangguan penghidu, sakit kepala dan hidung tersumbat.

Terapi

Karena etiologinya belum diketahui maka belum ada pengobatan yang baku. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif dengan memberikan antibiotika berspektrum luas, obat cuci hidung, vitamin A dan preparat Fe. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan operasi penutupan lubang hidung untuk mengistirahatkan mukosa hidung sehingga mukosa menjadi normal kembali. (1)

Rinitis Sifilis

Etiologi

Penyebab rinitis sifilis adalah kuman Treponema pallidum.

Gambaran klinis

Gejala rinitis sifilis yang primer dan sekunder serupa dengan rinitis akut lainnya. Hanya pada rinitis sifilis terdapat bercak pada mukosa. Sedangkan pada rinitis sifilis tertier ditemukan gumma atau ulkus yang dapat mengakibatkan perforasi septum. Sekret yang dihasilkan merupakan sekret mukopurulen yang berbau.

Terapi

Sebagai pengobatan diberikan penisilin dan obat cuci hidung.

Rinitis Tuberkulosa

Etiologi

Penyebab rinitis tuberkulosa adalah kuman Mycobacterium tuberculosis.

Gambaran Klinis

Terdapat keluhan hidung tersumbat karena dihasilkannya sekret yang mukopurulen dan krusta. Tuberkulosis pada hidung dapat berbentuk noduler atau ulkus, jika mengenai tulang rawan septum dapat mengakibatkan perforasi.(3)

Terapi

Pengobatannya diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung.

Rinitis Lepra

Etiologi

Rinitis lepra disebabkan oleh Mycobacterium leprae.

Gambaran Klinis

Gangguan hidung terjadi pada 97% penderita lepra. Gejala yang timbul diantaranya adalah hidung tersumbat, gangguan bau, dan produksi sekret yang sangat infeksius Deformitas dapat terjadi karena adanya destruksi tulang dan kartilago hidung.(3)

Terapi

Pengobatan rinitis lepra adalah dengan pemberian dapson, rifampisin dan clofazimin selama beberapa tahun atau dapat pula seumur hidup.

Rinitis Jamur

Etiologi

Penyebab rinitis jamur, diantaranya adalah Aspergillus yang menyebabkan aspergilosis, Rhizopus oryzae yang menyebabkan mukormikosis, dan Candida yang menyebabkan kandidiasis.(3)

Gambaran Klinis

Pada aspergilosis yang khas adalah sekret mukopurulen yang berwarna hijau kecoklatan. Pada mukormikosis biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri kepala, demam, oftalmoplegia interna dan eksterna, sinusitis paranasalis dan sekret hidung yang pekat, gelap, dan berdarah.

Terapi

Untuk terapinya diberikan obat anti jamur, yaitu amfoterisin B dan obat cuci hidung.

4) Rinitis Vasomotor

Etiologi

Rinitis vasomotor adalah gangguan fisiologi mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Saraf otonom mukosa hidung berasal dari n. vidianus yang mngandung serat saraf simpatis dan parasimpatis. Rangsangan pada saraf parasimpatis menyebabkan dilatasi pembuluh darah dalam konka serta meningkatkan permeabilitas kapiler dan sekresi kelenjar. Rangsangan simpatis sebaliknya. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi berbagai faktor yang berlangsung temporer seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani, dsb. Pada pasien rhinitis vasomotor, saraf parasimpatis cenderung lebih aktif.

Gambaran Klinis

Gejala dari rinitis vasomotor adalah hidung tersumbat tergantung posisi pasien, rinore yang mucus/serus, jarang disertai bersin dan gatal pada mata, gejala memburuk pada pagi hari karena adanya perubahan suhu. Mukosa hidung edema, merah gelap, permukaan konka licin atau berbenjol, sekret mukoid.

Terapi

Pengobatan yang tepat untuk rinitis vasomotor adalah dengan menghindari penyebab, memberikan obat simtomatis (dekongestan oral, kauterisasi konka yang hipertrofi, kortikosteroid topikal), konkotomi konka inferior, neurektomi n. Vidianus. (1)

5) Rinitis Medikamentosa

Etiologi

Rinitis medikamentosa adalah kelainan hidung berupa gangguan respon normal vasomotor sebagai akibat pemakaian vasokontriktor topical dalam waktu lama dan berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.

Obat vasokonstriktor topikal dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan siklus nasal terganggu dan dakan berfungsi kembali bila pemakaian dihentikan. Pemakaian vasokontriktor topical yang berulang dan waktu lama akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi ulang (rebound dilatation) setelah vasokontriksi, sehingga timbul obstruksi. Bila pemakaian obat diteruskan maka akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan, perttambahan mukosa jaringan dan rangsangan sel-sel mukoid sehingga sumbatan akan menetap dan produksi sekret berlebihan.

Selain vasokontriktor topikal, obat-obatan yang dapat menyebabkan edema mukosa diantaranya adalah asam salisilat, kontrasepsi oral, hydantoin, estrogen, fenotiazin, dan guanetidin. Sedangkan obat-obatan yang menyebabkan kekeringan pada mukosa hidung adalah atropin, beladona, kortikosteroid dan derivat katekolamin.

Gambaran Klinis

Pada rhinitis medikamentosa terdapat gejala hidung tersumbat terus menerus, berair, edema konka.

Terapi

Pengobatan rinitis medikamentosa adalah dengan menghentikan obat tetes/semprot hidung, kortikosteroid secara penurunan bertahap untuk mengatasi sumbatan berulang, dekongestan oral.

Antihistamin-H1 oral Antihistamin-H1 oral bekerja dengan memblok reseptor H1 sehingga mempunyai aktivitas anti alergi. Obat ini tidak menyebabkan takifilaksis. Antihistamin-H1 oral dibagi menjadi generasi pertama dan kedua. Generasi pertama antara lain klorfeniramin dan difenhidramin, sedangkan generasi kedua yaitu setirizin/levosetirizin dan loratadin/desloratadin. Generasi terbaru antihistamin-H1 oral dianggap lebih baik karena mempunyai rasio efektifitas/keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi kongesti hidung. Efek samping antihistamin-H1 generasi pertama yaitu sedasi dan efek antikolinergik. Sedangkan antihistamin-H1 generasi kedua sebagian besar tidak menimbulkan sedasi, serta tidak mempunyai efek antikolinergik atau kardiotoksisitas.

Antihistamin-H1 lokalAntihistamin-H1 lokal (misalnya azelastin dan levokobastin) juga bekerja dengan memblok reseptor H1. Azelastin mempunyai beberapa aktivitas anti alergik. Antihistamin-H1 lokal bekerja sangat cepat (kurang dari 30 menit) dalam mengatasi gejala hidung atau mata. Efek samping obat ini relatif ringan. Azelastin memberikan rasa pahit pada sebagian pasien.

Kortikosteroid intranasal Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat ini merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat setelah beberapa hari. Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan karena efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis steroid topikal hidung dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan keluhan hidung tersumbat yang menonjol.

Kortikosteroid oral/IMKortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison, metilprednisolon, prednisolon, prednison, triamsinolon, dan betametason) poten untuk mengurangi inflamasi dan hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika memungkinkan, kortikosteroid intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM. Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik mempunyai batas yang luas. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak. Pada anak kecil perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi.

Kromon lokal (local chromones) Kromon lokal (local chromones), seperti kromoglikat dan nedokromil, mekanisme kerjanya belum banyak diketahui. Kromon intraokular sangat efektif, sedangkan kromon intranasal kurang efektif dan masa kerjanya singkat. Efek samping lokal obat ini ringan dan tingkat keamanannya baik. Obat semprot hidung natrium kromoglikat sebagai stabilisator sel mast dapat diberikan pada anak yang kooperatif. Obat ini biasanya diberikan 4 kali sehari dan sampai saat ini tidak dijumpai efek samping.

Dekongestan oral Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek samping juga bertambah.

Dekongestan intranasal Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan xilometazolin) juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti sediaan oral tetapi lebih ringan. Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf pusat.

Antikolinergik intranasal Antikolinergik intranasal (misalnya ipratropium) dapat menghilangkan gejala beringus (rhinorrhea) baik pada pasien alergik maupun non alergik. Efek samping lokalnya ringan dan tidak terdapat efek antikolinergik sistemik. Ipratropium bromida diberikan untuk rinitis alergik pada anak dengan keluhan hidung beringus yang menonjol.

Anti-leukotrien Anti-leukotrien, seperti montelukast, pranlukast dan zafirlukast, akan memblok reseptor CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi dengan antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai obat-obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.

II.2.Sinusitis

1. Definisi

Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal, dimana bila mengenai beberapa sinus disebut dengan multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus disebut pansinusitis. Sinusitis sering dipicu oleh rinitis, sehingga sering pula disebut rinosinusitis

2. Etiologi

Etiologinya berupa :

a. Virus

b. Bakteri :

1. Streptococcus pneumoniea

2. Haemophillus influenzae

3. Staphylococcus aureus

3. Faktor Predisposisi

Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya sinusitis, diantaranya yaitu :

1. Post pemasangan tampon

2. Fraktur wajah

3. Barotrauma

4. Lingkungan ( polusi, udara dingin dan kering

5. Rinitis kronis, rinitis alergi

6. Penyakit sistemik

7. Penyakit gigi geligi

4. Klasifikasi

a. Berdasarkan waktu

i. Sinusitis akut: terjadi kurang dari 4 minggu

ii. Sinusitis sub-akut: terjadi antara 4 minggu 3 bulan

iii. Sinusitis kronik: terjadi > 3 bulan

b. Berdasarkan lokasi

i. Sinusitis maksilaris

ii. Sinusitis etmoidalis

iii. Sinusitis frontalis

iv. Sinusitis sphenoidalis

4. Gejala Klinis

Pada keadaan akut kondisi yang sering pasien keluhkan diantaranya hidung tersumbat disertai nyeri atau rasa tertekan pada wajah, sekret hidung yang biasanya mukopurulen, adanya sekret yang tertelan ke tenggorokan, disertai gejala-gejala sistemik seperti demam dan lesu, disamping itu pasien sering pula mengeluhkan sakit kepala, penurunan fungsi penghidu (hiposmia/anosmia) serta halitosis.

Pada keadaan kronik, gejala-gejala yang sering dialami oleh pasien diantaranya : sakit kepala kronik, sekret yang jatuh ke tenggorokan, batu kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius, sinobronkitis, bronkiektasis maupun adanya serangan asma yang meningkat pada pasien dengan riwayat asma.

5. Diagnosis

Diagnosis sinusitis dapat dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meliputi pemeriksaan umum seluruh tubuh dan khususnya pemeriksaan lokalis pada daerah hidung baik dengan pemeriksaan rinoskopi anterior, rinoskopi posterior maupun pemeriksaan nasoendoskopi, namun tidak jarang untuk lebih memastikan lagi dibutuhkan pula pemeriksaan penunjang, seperti foto polos posisi waters, postero-anterior dan lateral, pemeriksaan CT-Scan, maupun pemeriksaan sinuskopi.

6. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada kasus sinusitis yakni baik dari penyakitnya itu sendiri maupun akibat tindakan operatif yang dilakukan.

a. Komplikasi Sinusitis :

Osteomyelitis dan abses subpperiosteal

Kelainan orbita

Penyebaran infeksi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum, berupa :

a. Edema palpebra

b. Selulitis orbita

c. Abses subperiostal

d. Abses orbita

e. Trombosis sinus kavernosus

Kelainan intracranial

f. Meningitis

g. Abses ektradural/subdural

h. Abses otak

i. Trombosis sinus kavernosus

Kelainan paru

b. Komplikasi tindakan operasi

a. FESS

i. Perlukaan orbita

ii. Hematom orbita

iii. Kebutaan

iv. Trauma pada duktus nasolakrimalis

v. Epifora

vi. Trauma basis kranii

b. Caldwell-luc procedure

i. Fistel oroantral

ii. Trauma nervus infraorbitalis

iii. Trauma akar gigi

7. Tatalaksana

Tujuan dari penatalaksaan pada pasien dengan sinusitis adalah :

a. mempercepat kesembuhan

b. mencegah komplikasi

c. mencegah perubahan menjadi kronik

Prinsip penatalaksanaannya adalah : membuka sumbatan KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Terapinya meliputi :

a. Konservatif

Tindakan konservatif yang dapat dilakukan adalah diatermi, Kaak-pungsi dan irigasi sinus, yakni untuk mencuci dan membersihkan pus yang terdapat atau tertumpuk di dalam rongga sinus

b. Medikamentosa

Meliputi :

a. Antibiotika spektrum luas ( penisilin/sefalosporin generasi ke-2

b. Dekongestan oral maupun topikal

c. Antihistamin-1

d. Analgetik

e. Mukolitik/ekspektoran

f. Steroid oral/topikal

c. Operatif

Terapi operatif dilakukan pada kasus sinusitis kronik, dimana keadaan tidak membaik walaupun telah diberi terapi medikamentosa secara adekuat, terapi operatif yang dapat dilakukan diantaranya :

Bedah sinus endoskopi fungsional (FESS)

Operasi dengan metode Caldwell-Luc

BAB III

PEMBAHASAN KASUS

III.1.Mekanisme kasus

adanya faktor predisposisi ( reaksi inflamasi mukosa hidung

edema organ-organ yang membentuk kompleks osteomeatal

mukosa yang berhadapan saling bertemu

silia tidak dapat bergerak

ostium sinus tersumbat

tekanan negatif di dalam rongga sinus

transudasi ( ( awalnya serous (

kondisi menetap

sekret terkumpul dalam sinus

bakteri berkembang dan terjadi multiplikasi di dalamnya

sekret menjadi purulen ( (

terapi tidak berhasil

inflamasi berlanjut

hipoksia jaringan

bakteri anaerob berkembang

mukosa semakin membengkak

perubahan mukosa kronik

hipertrofi polipoid/pembentukan polip dan kista

III.2.Terapi

Pada pasien terapi yang dilakukan berupa tindakan konservatif yaitu melakukan Kaak-pungsi dan irigasi sinus, dengan prosedur :

Pasien duduk tegak berhadapan dengan dokter

Lakukan anastesi lokal dengan memberikan lidocaine dan pehacaine, tunggu obat bekerja

Semprotkan Xylocaine

Bersihkan cavum nasi dengan vacum

Tusukkan trokar menembus meatus nasi inferior

Alirkan air (irigasi) ke dalam sinus untuk mencuci pus dan darah

Irigasi hingga bersih

Keluarkan trokar

Dep mukosa hidung untuk menghentikan perdarahan

Tindakan selesai

Disamping tindakan Kaak-pungsi dan irigasi sinus, pasien juga diberikan terapi medikamentosa berupa :

Antibiotika yang adekuat paling sedikit selama 2 minggu

Analgetika untuk mengatasi rasa nyeri

Dekongestan untuk memperbaiki saluran yang tidak boleh diberikan lebih daripada 5 hari karena dapat terjadi rebound congestion dan rhinitis medikamentosa. Selain itu pada pemberian dekongestan terlalu lama dapat timbul rasa nyeri, rasa terbakar, dan rasa kering karena atrofi mukosa dan kerusakan silia.

Antihistamin

Kortikosterioid dalam jangka pendek jika ada riwayat alergi yang agak parah

DAFTAR PUSTAKA

Gelfand, Jonathan L. "Help for Sinus Pain and Pressure". WebMD.com. Retrieved 2 October 2011

Harrison's Manual of Medicine

Netter F. H. Atlas of Human Anatomy. Edisi ke empat.USA : Saunders

Soepardi, Efiaty A. et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke enam. FKUI. Jakarta; 2007; p 145-153

Sjamsuhidajat, R, de Jong, Wim (ed). 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi. Jakarta: EGC

Dorsum nasi

Pangkal hidung

Puncak hidung

kolumela

rinosinusitis

non-bakterial

Terapi antibiotik

rinosinusitis akut

bakterial

10