Post on 09-Aug-2015
SINDROM NEFROTIK
I. Pendahuluan
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang
ditandai oleh proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, hiperlipidemia,
hiperkoagulabilitas, hipertesi dan kerentanan terhadap infeksi. Pada proses awal
atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus
ditemukan, proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN berat
yang disertai kadar albumin serum yang rendah ekskresi protein dalam urin juga
berkurang. Protein juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi
pada SN. hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan lipidiuria, gangguan keseibangan
nitrogen, hiperkoagulobilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta
hormon tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi ginjal normal
kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir
(PGTA). Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respo
yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian yang lain dapat berkembang
menjadi kronik. 1,2
Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%),
yang merupakan SN primer umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki
dan wanita 2 : 1. Sedangkan SN sekunder pada orang dewasa terbanyak
disebabkan oleh diabetes melitus. 3,4
II. Patofisiologi
Mekanisme patofisiologi sindrom nefrotik didasarkan pada gejala yang
ditimbulkan seperti :
a. Proteinuria
Dalam keadaan normal, membran basal glomerulus mempunyai
mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua
berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada sindrom nefrotik, kedua
mekanisme penghalang tersebut terganggu. Hilangnya muatan negatif yang
1
biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal
menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar
kapiler glomerulus.3,5
Proteinuria sendiri dibedakan menjadi selektif dan non-selektif
berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif
apabila protein yang keluar terdiri dari molekul-molekul kecil seperti albumin,
sedangkan pada proteinuria non-selektif yang lolos keluar merupakan protein
dengan molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria sendiri
ditentukan oleh keutuhan struktur membran basal glomerulus.2,6,7
b. Hipoalbuminemia
Pada sindrom nefrotik terjadi kehilangan albumin yang banyak melalui
urin dan peningkatan katabolisme dari albumin yang difiltrasi di tubulus
proksimal. Hipoalbuminemia bisa memperlihatkan pita-pita putih melintang pada
kuku (Muerchke’s Band). Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma, yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang intravaskuler ke
ruang interstitial. Penurunan volume intravaskuler menurunkan tekanan perfusi
ginjal, mengaktifkan sistem renin angiotensin aldosteron, yang merangsang
absorbsi natrium di tubulus distal. Rasio sintesis albumin di hati meningkat untuk
mengatasi hal ini namun tidak mencapai level yang cukup untuk mencegah
hipoalbuminemia. Pada status SN, protein yang hilang biasanya melebihi 2 gram
per 24 jam dan terutama terdiri dari albumin. Umumnya edema muncul bila kadar
albumin serum turun dibawah 2,5 gr/dl.2,5
Pada SN sering pula dijumpai anoreksia akibat edema mukosa usus
sehingga intake berkurang yang pada gilirannya dapat menimbulkan hipoproteine-
mia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat
mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin.4
c. Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.
Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan
2
interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan
bergesernya cairan plasma terjadilah hipovolemia, dan ginjal melakukan
kompensasi dengan merangsang sekresi renin yang memicu aktivitas system
renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin serta ADH (anti
diuretik hormon) dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine
menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Mekanisme kompensasi ini
akan memperbaiki volume intravaskular tetapi retensi cairan selanjutnya
mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan
onkotik plasma yang pada akhirnya amempercepat ekstravasasi cairan ke ruang
interstitial sehingga edema akan semakin berlanjut.1,3,8
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal
utama. Penurunan kemampuan nefron distal untuk mengeksresi natrium sehingga
terjadi retensi natrium. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan
ekstrseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus
akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua
mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien SN.1
d. Hipertensi
Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut
maupun penyakit ginjal kronik. Hal ini berhubungan dengan RAA sistem yang
diproses dalam ginjal, yang merupakan suatu sistem enzimatik yang bersifat
multikompleks dan berperan dalam hal naiknya tekanan darah, pengaturan
keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit.2
e. Hiperlipidemia
Disebut hiperkolesterolemia bila kadar kolesterol > 250 mg/100ml. akhir-
akhir ini disebut juga sebagai hiperlipidemia karena bukan hanya kolesterol saja
yang meningkat tetapi juga beberapa konstituen lemak meninggi dalam darah.
Konstituen lemak itu adalah kolesterol, low density lipoprotein (LDL), very low
density lipoprotein (VLDL), dan trigliserida. Hiperlipidemia terjadi sebagai akibat
kelainan pada homeostasis lipoprotein yang terjadi sebagai akibat peningkatan
sintesis dan penurunan katabolisme. Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar
terpacu untuk membuat albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis
3
albumin ini, sel-sel hepar juga akan membuat VLDL. Dalam keadaan normal,
VLDL diubah menjadi LDL oleh lipoprotein lipase. Tetapi pada SN akitifitas
enzim ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam
lemak bebas. Disamping itu menurunnya aktifitas lipoprotein lipase ini
disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat
keluarnya protein ke dalam urin.7
f. Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C
dan plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII,
VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi
sel endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI).2
g. Kerentanan terhadap infeksi
Penurunan kadar imunoglobulin IgG dan IgA karena kehilangan lewat
ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan
kerentanan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumonia,
Klebsiella, Haemophilus. Pada SN juga terjadi gangguan imunitas yang
diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni dan peritonitis.2,7
III. Etiologi
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan
sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective
tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik. 1
1. Sindrom nefrotik primer
Berdasarkan kelainan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal
dengan mikroskop biasa dan mikroskop electron. Churg membagi dalam 4
golongan yaitu : Kelainan minimal, Nefropati membranosa, Glumerulonefritis
proliferatif, Glumerulosklerosis fokal segmental.1,4
Sindrom nefrotik paling sering disebabkan oleh glomerulonefritis, yang
terdiri glomerulonefritis lesi minimal (GNLM), glomerulosklerosis fokal (GSF),
glomerulonefritis membranosa (GNMN), glomerulonefritis membranoproliferatif
(GNMP), glomerulonefritis proliferatif lain.1,4
4
2. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya : akibat infeksi (HIV,
hepatitis virus B dan C, sifilis, Malaria, Skistosomiasis, tuberkulosis, lepra) ,
keganasan (adenokarsinoma paru, limfoma hodgkin, mieloma multiple, karsinoma
ginjal) , penyakit jaringan penghubung (lupus eritematosus sistemik, artritis
reumatoid) , efek obat dan toksin (NSAID, preparat emas, penisilinamin,
probensid, air raksa, captopril, herion) , lain – lain (diabetes melitus, amiloidosis,
pre-eklamsia, refluks vesikoureter).1,4
IV. MANIFESTASI KLINIK
1. Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditanyakan adanya bengkak di kedua kelopak mata,
perut, tungkai, atau seluruh tubuh, peningkatan berat badan, dan rasa penuh di
perut hingga dapat menyebabkan sesak. Tanyakan juga mengenai riwayat buang
air kecil, dalam 24 jam sudah berapa yang keluar, adakah oligouria. Keluhan lain
juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan. Kemudian ditanyakan
penyakit yang mengarah ke penyebab penyakit ginjal seperti hipertensi.2
2. Pemeriksaan fisik
Dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata (puffy eyelids), tungkai
atau adanya ascites atau edema skrotum atau labia. Kadang-kadang ditemukan.,
tanda-tanda hipertensi, dan striae pada kulit akibat edema.2
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada urinalisis ditemukan masif proteinuria ( 3+ sampai 4+ ), glukosuria,
sel-sel granular, sel hialin, dan sel-sel lemak. Biasanya sedimen urin normal
namun bila didapati hematuria mikroskopik ( >20 eritrosit / LPB ) bisa dicurigai
adanya lesi glomerular ( misal : sklerosis glomerulus fokal ). Dari makroskopis, urin
tampak berbuih. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemi ( < 3 g/dl),
hiperkolesterolemia lebih dari 200 mg/dl, selain itu juga dilakukan pemeriksaan
darah rutin.2,4
5
Jika rasio protein urin terhadap kreatinin urin lebih dari 2, pasien dianggap
menderita sindrom nefrotik. Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan
untuk menegakkan diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi akibat
hiperkoagulabilitas. Pada SN primer, untuk menentukan jenis kelainan
histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon terhadap terapi,
diperlukan biopsi ginjal.2
VI. PENATALAKSANAAN
Sindrom nefrotik diobati dengan obat kortikosteroid dan imunosupresif
yang langsung berhubungan dengan asal lesi, makanan tinggi protein dan garam
yang dibatasi, diuretik, dan membatasi aktivitas selama fase akut. Jika memakai
diuretik, harus digunakan dengan hati-hati karena diuresis yang berlebihan akan
menyebabkan penurunan volume ECF dan meningkatkan risiko trombosis dan
hipoperfusi ginjal. Pemberian inhibitor ACE menjadi pilihan lini pertama untuk
mengurangi protenuria dan penanganan hipertesi secara agresif untuk
memperlambat proses kerusakan ginjal.9,10
A. Diet
Pemberian diit tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap
kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolism protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis
glomerulus. Jadi cukup diberikan diit protein 0,8 g/kgBB ideal/hari + ekskresi
protein dalam urin/24jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein
disesuaikan hingga 0,6 g/kgBBideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam.(3)
Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 ± 2 gram/hari. Menggu-
nakan garam secukupnya dalam makanan dan menghindari makanan yang
diasinkan, hanya diperlukan selama anak menderita edema. Diet rendah kolesterol
< 600 mg/hari. Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita rawat inap 900
sampai 1200 ml/ hari.3, 11
Pengukuran berat badan dilakukan setiap hari untuk mengevaluasi edema
dan keseimbangan cairan harus dicatat. BB diharapkan turun 0,5-1 kg/hari.Bila
6
perlu tirah baring, terutama untuk orang tua dengan edema tungkai berat karena
kemungkinan adanya insufisiensi venous.11
B. Farmakologi
1. Terapi penyebab SN sekunder
Pada SN sekunder, hal yang harus kita tangani adalah penyebab utamanya,
diharapkan setelah penyebab dasar ditangani, gejala-gejala SN juga dapat
tertangani, misalnya SN karena infeksi ditangani penyebab infeksinya, SN karena
DM dengan mengobati DM.11
2. Kortikosteroid
Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di
antaranya prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis
dikurangi bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat
diulangi. Regimen lain pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5
mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari
selama 4 minggu. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai
20-24 minggu, namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah
kortikosteroid dihentikan.2
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi
lengkap, remisi parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuri
minimal (< 200 mg/m²/24 jam) selama 3 hari berturut-turut, albumin serum >3
g/dl, kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi
parsial jika proteinuri 200-350 mg/m²/24jam, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol
serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema. Dikatakan resisten
jika klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah
pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.2
3. Diuretik
Restriksi cairan diperlukan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretik seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila diperlukan dikom-
binasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3
mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik lebih lama dari 1-2 minggu perlu
dilakukan pemantauan elektrolit darah (kalium dan natrium).11
7
Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak
20 ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya
komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, albumin dan plasma dapat
diberikan selang sehari untuk memberikan kesempatan pergeseran dan mencegah
overload cairan. Perlu diperhatikan bahwa pemberian diuretikum harus
memperhatikan kadar albumin dalam darah, apabila kadar albumin kurang dari 2
gr/l darah, maka penggunaan diuretikum tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan warna urin serta muntahan bila ada,
harus dipantau secara berkala.3, 11
4. ACEI atau ARB
Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid, untuk
mengurangi proteinuri digunakan terapi simptomatik. Angiotensin Converting
Enzyme Inhibitor (ACEI) paling sering digunakan, cara kerjanya menghambat
vasokonstriksi pada arteriol eferen, misal kaptopril atau enalapril dosis rendah,
dan dosis ditingkatkan setelah 2 minggu. ACEI berfungsi untuk menurun-
kan pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi lemak
dalam darah. Tetapi pada penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang
ringan sampai berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah
sehingga tidak dianjurkan bagi penderita dengan gangguan fungsi ginjal.2,4
Angiotensin receptor blocker (ARB) mempunyai efektivitas yang sama
dengan ACEI, dapat memperbaiki proteinuri karena menghambat inflamasi dan
fibrosis interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan, adesi
molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada ginjal. Kombinasi ACEI dan ARB
dilaporkan memberi efek antiproteinuri lebih besar pada glomerulonefritis primer
dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja.2,4
5. Terapi hiperlipidemia
Walaupun belum ada bukti yang jelas bahwa hiperlipidemia pada SN
meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular, tetapi apa yang terjadi pada
populasi umum perlu dipakai sebagai pertimbangan untuk menurunkan kadar lipid
pada penderita SN. Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat digunakan penghambat
8
hidroxymethyl glutaryl co-enzyme A (HMG Co-A) reductase yang efektif menu-
runkan kolesterol plasma.2,4
C. Respon Terapi
1. Remisi
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi
lengkap, remisi parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuri
minimal (< 200 mg/m²/24 jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300
mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuri 200-350
mg/m²/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis
kurang lancar dan masih edema. Relaps tidak sering : Kambuh < 2 kali dalam
masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12 bulan.11
2. Relaps
Relaps, proteinuria 2+ atau proteinuria > 400 mg/m²/24jam selama 3 hari
berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi. Diberikan prednison
dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan prednison
dosis alternating selama 4 minggu. Pada SN yang mengalami proteinuria ≥ 2+
kembali tetapi tanpa edema, sebelum dimulai pemberian prednison terlebih dahulu
dicari pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi diberikan
antibiotik 5-7 hari, dan bila setelah pemberian antibiotik kemudian proteinuria
menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan
proteinuria ≥2+ disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps.11
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial,
sangat penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya.
Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan steroid
inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa golongan : tidak ada relaps sama
sekali (30%), relaps jarang : jumlah relaps <2, relaps frekuen : jumlah relaps ≥2
kali (40-50%).11
3. Relaps frekuen
Relaps frekuen : Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal, atau 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan. Pertahankan steroid
alternating 0,1-0,5 mg/kg/hari selama 3-6 bulan, kemudian diturunkan.11
9
4. Dependen steroid
Bila pasien telah dinyatakan sebagai SN dependen steroid, yaitu 2 kali
kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14
hari setelah terapi steroid dihentikan, setelah mencapai remisi dengan prednison
dosis penuh, diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan
perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan
relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/ kgBB alternating. Dosis ini disebut dosis threshold
dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Bila terjadi
relaps pada dosis prednison rumat >0,5 mg/kgBB, tetapi < 1,0 >2.11
Cyclophosphamide biasa digunakan untuk penderita yang mengalami
relaps setelah steroid dihentikan (steroid-dependent) atau mengalami relaps >3
kali dalam setahun (frequently relapsing) bisa diberikan cyclophosphamide
2mg/kgBB/hr selama 8-12 minggu. Pada penggunaan cyclophosphamide perlu
diwaspadai terjadinya efek samping berupa infertilitas, cystitis, alopecia, infeksi,
malignansi. Chlorambucil digunakan dengan alasan yang sama dengan
cyclophosphamide. Dosis 0,1-0,2/kgBB/hr selama 8-12 minggu.4
Pada penderita yang mengalami relaps setelah pemberian
cyclophosphamide, diberikan Cyclosporine A (CyA) dengan dosis awal 4-5
mg/kgBB/hari, di mana dosis selanjutnya perlu disesuaikan dengan kadar CyA
dalam darah. Pemberian berlangsung selama 1 tahun kemudian diturunkan
perlahan-lahan. Mengingat CyA mempunyai efek nefrotoksik, perlu memonitor
fungsi ginjal.4
5. Pengobatan SN resisten steroid
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) Gagal mencapai remisi meskipun
telah diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu, sampai
sekarang belum memuaskan. Sebelum pengobatan dimulai, pada pasien SNRS
dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi ginjal, karena
gambaran patologi anatomi tersebut mempengaruhi prognosis. Pengobatan dengan
CPA memberikan hasil yang lebih baik bila hasil biopsi ginjal menunjukkan
SNKM daripada GSFS. Dapat juga diberikan siklosporin, metilprednisolon, dan
obat imunosupresif lainnya.11
10
VII.Komplikasi
1. Penyakit Ginjal Kronik (CKD)
2. Infeksi sekunder
3. Tromboemboli
4. Gangguan keseimbangan hormon dan mineral
VIII. Prognosis
Prognosis makin baik jika dapat didiagnosis segera. Pengobatan segera
dapat mengurangi kerusakan glomerulus lebih lanjut akibat mekanisme kompen-
sasi ginjal maupun proses autoimun. Prognosis minimal lesion lebih baik daripada
golongan lainnya; sangat baik untuk anak-anak dan orang dewasa, bahkan bagi
mereka yang tergantung steroid.3
Prognosis buruk pada glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN),
kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang
progresif dan pada sindrom nefrotik.3
11
LAPORAN KASUS
Nama Penderita : Tn. S
Kelamin : Laki-laki
Umur : 36 tahun
Tanggal Masuk : 07/10/12
Nama RS : Labuang Baji
Anamnesis : Autoanamnesis
Keluhan Utama : Bengkak seluruh badan
Anamnesis Terpimpin
Dialami sejak ± 20 hari yang lalu, awalnya pasien hanya merasakan
bengkak pada kedua kelopak mata, bengkak terutama pada pagi hari dan
berkurang pada siang hari. Kemudian ± 1 minggu terakhir pasien mulai
merasakan bengkak di kedua kaki dan perut. Demam (-) riwayat demam (-).
Batuk(-) sesak (+), tidak dipengaruhi oleh posisi dan aktivitas. Mual (-) muntah
(-).
BAB : biasa
BAK : ± 1 mggu terakhir pasien merasa kencingnya kurang lancar, tidak ada
nyeri, BAK berpasir (-), batu (-), riwayat BAK batu (-), darah (-).
RPS :
Riwayat pernah berobat di PKM dengan keluhan yang sama. Namun tidak
ada perubahan, obat yang diberikan tidak diketahui.
Riwayat pemakaian obat-obatan yang lama (-)
Riwayat HT dan DM (-)
Riwayat penyakit ginjal (-)
12
Pemeriksaan Fisis
Status Present : Sakit Sedang / Gizi kurang / Composmentis
BB : 67 kg, BBK : 41 kg; TB : 165 cm
IMT : 15,07 (gizi kurang)
Tanda Vital :
o Tensi : 120/80
o Nadi : 72 x/menit
o Pernapasan : 24x/menit
o Suhu : 36,5°
Kepala
o Ekspresi : biasa
o Simetris muka : simetris
o Deformitas : (-)
o Rambut : hitam, lurus, sukar dicabut
Mata
o Eksoftalmus / enoftalmus : (-)
o Gerakan : dbn
o Tekanan bola mata : dbn
o Kelopak mata : edema +/+
o Konjungtiva : Anemis (-),
o Kornea : tak
o Sclera : ikterus (-)
Telinga
o Pendengaran : dbn
o Tophi : (-)
o Nyeri tekan di prosessus mastoideus : (-)
Hidung
o Perdarahan : (-)
o Secret : (-)
13
Mulut
o Bibir : tak tonsil : tap
o Gigi geligi : tak farings : tak
o Gusi : tak lidah : tak
Leher
o Kelenjar getah bening : tap
o Kelenjar gondok : tap
o DVS : R-2 cmH2O
o Pembuluh darah : tak
o Kaku kuduk : (-)
o Tumor : (-)
Dada
o Inspeksi
Bentuk : normochest, simetris ki=ka
Pembuluh darah : tak
Buah dada : simetris, gynecomasti (-)
Sela iga : dbn
Lain lain : tak
Paru
o Palpasi
Fremitus raba : vocal fremitus kiri = kanan
Nyeri tekan : (-)
o Perkusi
Paru kiri : sonor
Paru kanan : sonor
Batas paru hepar : ICS V
Batas paru belakang kanan : setinggi CV Th.IX
Batas paru belakang kiri : setinggi CV Th. XI
14
o Auskultasi
Bunyi pernapasan : vesikuler
Bunyi tambahan : Rh -/- Wh -/-
Jantung
o Inspeksi : Iktus Cordis tidak tampak
o Palpasi : Ictus Cordis teraba
o Perkusi : pekak, batas jantung kiri (Atas: ICS II kiri di
l inea parastrenalis kiri (pinggang
jantung) Bawah: SIC V kiri agak ke medial
linea midklavikularis kiri) , kanan (Bawah ICS
III-IV kanan,di linea parasternalis kanan, batas
atasnya di ICS II linea parasternalis kanan).
o Auskultasi : BJ I/II murni regular, bising (-)
Perut
o Inspeksi : cembung
o Auskultasi : peristaltik (+), kesan normal
o Palpasi : NT (-), MT (-)
Hepar : ttb
Lien : ttb
Ginjal : ttb
o Perkusi : ascites (+), (shifting dullness)
Punggung :
o Palpasi : NT (-), MT (-)
o Nyeri ketok : (-)
o Auskultasi : BP vesicular, Rh -/- Wh -/-
o Gerakan : dbn
o Lain lain : (-)
Alat Kelamin : edema scrotum (+)
15
Anus dan Rektum : tdp
Ekstremitas : edema dorsum pedis dan pretibial +/+
Diagnosis Sementara : Sindroma Nefrotik
Penatalaksanaan awal :
connecta
furosemid 1amp/12jam/iv
prednison 5mg 8-0-0
Permintaan :
DR, LED, Prot. Total, Albumin, GDS, Ur, Cr, GOT, GPT, As. Urat,
profil lipid, urinalisa, esbach.
CXR, USG Abdomen
Follow Up Harian
Tanggal Perjalanan PenyakitInstruksi/terapi yang
diberikan
08/10/12T : 130/70N: 60xP: 20xS: 36,5°CBBK: 41 kgWBC : 8000HGB : 12.1PLT : 359000LED : 12Cholesterol : 535Trigliserida : 318Albumin : 1.0Protein : 4.2Ureum : 108Kreatinin : 2.29GOT : 75GPT : 15Urinalisa :Protein : +4
PH-2
S :
Bengkak pada kaki diikuti
bengkak seluruh badan
Demam (-)
Batuk (-) sesak (-)
O:
SS/GK/CM
Anemis( -), ikterus( –)
Peristaltik (+) kesan N
Ascites (+)
Ext : edema dorsum pedis
dan pretibial +/+
Edema scrotum (+)
P:
- Conecta
- Furosemide 1amp/12j/iv
- Prednison 5mg 8-0-0
- Simvastatin 20mg 0-0-1
16
1000mg/dlBlood : 3-5Lekosit : 5-10Glukosa : neg
USG Abdomen
A :
Susp SN
Kesan :
- Ascites
- Lain-lain normal
09/10/12
T : 140/80
N: 64x/i
P: 20x/i
S: 36,7°C
BBK: 41 kg
Urinalisa :
Protein : +4Blood : 3-5Lekosit : 5-10Glukosa : neg
Prot. Esbach :
1.8gr/dl
PH-3
S :
Bengkak seluruh tubuh
terutama pada pagi hari
pada kedua kelopak mata
Batuk (-) sesak (-)
BAB : biasa
BAK : kurang, dalam sehari 2x warna kuning jernih.
O:
Anemis( -), ikterus( –)
Peristaltik (+) N
Ascites (+)
Ext : edema dorsum
pedis dan pretibial +/+
Edema scrotum (+)
A :
Susp SN
P:
- Diet rendah garam, rendah purin, rendah kalium, rendah protein 0.6gr/KgBB/hr
- Conecta
- Furosemide 1amp/12j/iv
- Prednison 5mg 8-0-0
- Simvastatin 20 mg 0-0-1
10/10/12
T : 130/80
N: 64x/i
P: 20x/i
PH-4
S :
Bengkak seluruh tubuh
terutama pada pagi hari
pada kelopak mata
P:
- Diet rendah garam, rendah purin, rendah kalium, rendah protein 0.6gr/KgBB/hr
17
S: 36,5°C
BBK: 40 kg
Batuk (-) sesak (-)
O :
Anemis( -), ikterus( –)
Peristaltik (+) kesan N
Ascites(+)
Ext : edema dorsum
pedis dan pretibial +/+
Edema scrotum (+)
A : SN
- Off Conecta
- Prednison 5mg 8-0-0
- Simvastatin 20 mg 0-0-1
11/10/12
T : 140/70
N: 64x/i
P: 20x/i
S: 36,5°C
BB : 38 kg
PH-5
S :
Bengkak seluruh tubuh
berkurang
BAB : biasa
BAK : lancar, volume kesan
banyak dari sebelumnya, warna
kuning jernih.
O :
Anemis( -), ikterus( –)
Peristaltik (+) kesan N
Ascites (+)
Ext : edema dorsum
pedis dan pretibial +/+
Edema scrotum (+)
A :
Susp SN
P:
- Diet rendah garam, rendah purin, rendah kalium, rendah protein 0.6gr/KgBB/hr.
- Prednison 5mg 8-0-0- Simvastatin 20mg 0-0-1
18
RESUME
Seorang pasien laki-laki berusia 36 tahun masuk rumah sakit dengan
keluhan bengkak seluruh badan, Dialami sejak ± 20 hari yang lalu, awalnya
pasien hanya merasakan bengkak pada kedua kelopak mata, bengkak terutama
pada pagi hari dan berkurang pada siang hari. Kemudian ± 1 minggu terakhir
pasien mulai merasakan bengkak di kedua kaki dan perut.. Batuk (-) sesak (+),
tidak dipengaruhi oleh posisi dan aktivitas.
BAB : biasa. BAK : ± 1 mggu terakhir pasien merasa kencingnya kurang
lancar, tidak ada nyeri, BAK berpasir (-), batu (-), riw. BAK batu (-), darah (-).
Riwayat pernah berobat di PKM dengan keluhan yang sama. Bengkak berkurang,
tapi muncul kembali. Obat yang diberikan tidak diketahui. Riwayat pemakaian
obat-obatan yang lama (-). Riwayat HT dan DM (-). Riwayat penyakit ginjal (-).
Dari pemeriksaan fisis, pasien sakit sedang, gizi kurang, composmentis.
Tanda vital: tensi: 120/80 mmHg, nadi: 72x/menit, pernapasan: 24x/menit, suhu:
36,50C. Anemis (-) Ikterus (-) Edema Palpebra (+/+). Thorax: simetris kiri =
kanan, massa tumor (-), nyeri tekan (-), vocal fremitus kiri = kanan, batas paru
hepar setinggi intercosta V dextra, bunyi pernapasan bronkovesikuler. Abdomen
cembung, ikut gerak napas, shifting dullness (+). Terdapat edema pada dorsum
pedis dan pretibial serta edema scrotum.
Dari pemeriksaan hasil laboratorium didapatkan WBC 8.0 x 103/ul, HGB
12,1 g/dl, PLT 359 x 103/ul, Ureum 108, Kreatinin 2.29, SGOT 75, SGPT 15,
Protein total 4,2, Albumin 1,0, Kolesterol total 535, Trigliserida 318. Dari
pemeriksaan USG didapatkan ascites, sedangkan lain-lain normal.
Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisis dan hasil laboratorium
serta pemeriksaan penunjang lainnya, pasien didiagnosis sementara sebagai
Sindrom Nefrotik.
19
DISKUSI
Pasien masuk dengan keluhan edema seluruh badan maka kita dapat
memikirkan berbagai kemungkinan. Ada beberapa penyakit yang dapat
menimbulkan keluhan edema seluruh badan misalnya sindrom nefrotik,
Congestive Heart Failure (CHF), CKD dan malnutrisi berat. Dari hasil anamnesis
pada pasien, edema yang dirasakan diawali pada kelopak mata, diikuti pada perut
dan ekstremitas serta pada alat genital, terjadi secara tiba-tiba. Edema pada
palpebra dirasakan saat bangun pagi hari dan kemudian berkurang pada siang hari.
Pasien juga merasakan sesak jika duduk, yang kemungkinan besar oleh karena
ascites.4
Edema pada wajah terutama dialami pada pagi hari dan berkurang di
siang hari. Hal ini berkaitan dengan sifat cairan yang menempati tempat terendah.
Pada pagi hari pasien dalam posisi berbaring setelah semalaman tidur sehingga
muncul edema pada wajah. Pada siang hari pasien lebih banyak duduk dan berdiri
sehingga edema pada wajah menurun.4
Selain itu dari hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan bahwa pasien
juga mengalami hiperlipidemia (Kolesterol total 535 mg/dl, Trigliserida 318
mg/dl), proteinuria (protein pada pemeriksaan urine rutin = 1000 mg/dl, dan
protein esbach = 1,8 gr/dl), hipoalbuminemia (albumin = 1,0 gr/dl). Hal ini sesuai
dengan kriteria diagnosis untuk sindrom nefrotik yaitu:4
1. Edema anasarka
2. Proteinuria massif (≥3,5 gr/hari)
3. Hipoalbuminemia (< 3,5 gr/dl)
4. Hiperlipidemia
Menurut teori, edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill
dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan
factor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravascular ke
jaringan interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma
dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan
kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme
20
kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan
mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema akan semakin
berlanjut.1, 3, 8
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal
utama. Penurunan kemampuan nefron distal untuk mengeksresi natrium sehingga
terjadi retensi natrium. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan
ekstrseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus
akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua
mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien SN.1
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein
akibat kerusakan glomerulus yang diduga disebabkan oleh suatu proses autoimun.
Pasien ini juga mengalami hipoalbuminemia yang disebabkan oleh proteinuria
massif. Selain itu, pasien juga mengeluhkan mual dan nafsu makan menurun yang
diduga disebabkan oleh akibat edema mukosa usus. Hal ini dapat menyebabkan
intake berkurang yang pada gilirannya dapat menimbulkan hipoproteinemia.2,4,6
Pada pasien ini juga terjadi hiperlipidemia. Menurut teori hiperlipidemia
terjadi oleh karena peningkatan produksi lipoprotein oleh hati. Akibat
hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat albumin sebanyak-
banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel-sel hepar juga akan
membuat VLDL. Dalam keadaan normal VLDL diubah menjadi LDL oleh
lipoprotein lipase. Tetapi pada SN, akitifitas enzim ini terhambat oleh adanya
hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping itu
menurunnya aktifitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar
apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya protein ke dalam urin.7
Pengobatan pada pasien dilakukan dengan terapi umum dan terapi
spesifik. Terapi umum antara lain diet rendah garam untuk mengurangi terjadinya
retensi cairan oleh natrium yang juga berperan dalam terjadinya edema. Diet
cukup protein 0,8 gr/dl oleh karena pemberian protein yang tinggi walaupun dapat
meningkatkan sintesis albumin hati namun dapat mendorong peningkatan ekskresi
albumin melalui urin. Furosemid sebagai diuretik karena adanya overload cairan.
Diet rendah kolesterol karena terjadinya hiperlipidemia serta pemberian
21
simvastatin untuk menurunkan kadar lipid. Sedangkan terapi spesifik adalah
dengan pemberian methylprednisolon 0,8 mg/kgBB sebagai imunosupressan
karena pada pasien ini sindrom nefrotik diduga disebabkan oleh proses
autoimun.2, 4
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Prodjosudjadi W. Sindrom nefrotik. Dalam : Sudoyo Aru W. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-4. Jakarta : Departement ilmu penyakit dalam
Fakultas kedoktera Universitas Indonesia ; 2006.
2. Shafa R. Sindroma Nefrotik. Ilmu penyakit dalam. 20 Februari 2011
3. Salme U. Sindrom Nefrotik. Journal [serial on the Internet]. oktober 2012. Available from: www.scribd.com.
4. Richard E.Berhman, Robert M. Kligman, Ann M. Arvin. Keadaan-keadaan yang terutama disertai dengan proteinuria. Dalam : Wahab A. Samik. Ilmu kesehatan anak. Edisi ke-15. Jakarta : EGC; 2000.
5. Churg J, Grishman E,dkk. idiopathic nephrotic syndrome in adults - a study and classification based on renal biopsies. The New England Journal of Medicine.2012.
6. Karl Tryggvason, Jaakko Patrakka. Hereditary proteinuria syndromes and mechanisms of proteinuria. The New England Journal of Medicine.2012
7. Stephan R. Orth, Eberhard Ritz. The nephrotic syndrome. The New England Journal of Medicine.2012
8. Eric P Cohen. Pathophysiology nephrotic syndrome. Journal [serial on the internet]. oktober 2012. Available from : www.medscape.com
9. Price S, Wilson L. Gagal ginjal kronik. In : Huriawati Hartanto. Patofisiologi konsep klinis Proses-proses penyakit. edisi ke-6. jakarta :EGC; 2006.
10. Davey Patrick. Sindrom nefrotik dan nefritik. In : Safitri Amaliah. At a glance medicine. Jakarta : Erlangga ; 2006
11. Israr Y. Sindrom Nefrotik. Riau: Belibis; 2008 [cited. Available from: www.belibis17.tk.
23