STUDY OF OYSTER MUSHROOMS AS FOOD IN TOWN JAMBI(Review Aspects of Farming and Marketing)
Emy Kernalis1), Elwamendri1), Rozaina Ningsih1)
Abstract
The research was conducted in Jambi City as one of the oyster mushroom developers, the largest population area, and center of economic activity in Jambi Province. The research aimed to identify the farmer of oyster mushrooms characteristics , to know the oyster mushrooms farm costs and revenue, as well as the oyster mushrooms marketing system in Jambi City. The results showed that the age of oyster mushroom farmers were between 39 - 45 years and most of them are male (72%). Most of them was graduated from high school and built their farm in private property based. It was found that the average production was 826,4 kg fresh oyster mushrooms per days which equal to 0,297 kg per baglog. The average total cost was Rp. 9.341,8 million, and average revenue was Rp.12.749.699,20. The average income was Rp. 3.367.899,20 per production period.The marketing system analysis shows that no farmer held product quality standards, no storage function, trade transaction was made either at home or on the market with the pricing depend on the bargaining agreement.
Keyword: Oyster mushrooms, Farming, Marketing.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Penganekaragaman pangan adalah salah satu upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan mutu gizi makanan
dengan pola konsumsi yang lebih beragam. Meningkatnya pertambahan
penduduk di Indonesia yang cepat menyebabkan kebutuhan produk bahan
pangan juga meningkat. Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut
adalah dengan mengusahakan penganekaragaman bahan pangan. Komoditi
bahan
1) Dosen Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Jambi.
1
pangan yang selain dapat meningkatkan nilai ekonomis, juga meningkatkan
kalori dan gizi serta protein tetapi kandungan kol1esterolnya rendah adalah
jamur (Sukmonowati, 2001 dalam Maria Ulfah d.k.k 2008).
Keberadaan jamur sebagai salah satu jenis bahan pangan telah cukup
lama dikenal oleh masyarakat di Indonesia, yakni sebagai salah satu bahan
pangan yang memiliki manfaat baik untuk kesehatan. Jamur juga dapat
dikategorikan sebagai salah satu komoditas pertanian organik, karena dalam
proses penanaman jamur tidak menggunakan pupuk buatan atau bahan kimia
lainnya. Keunggulan tersebut menjadikan jamur menjadi salah satu pilihan
makanan yang semakin populer di masyarakat. Saat ini ada lima macam jenis
jamur yang sudah mulai dibudidayakan di Indonesia, diantaranya jamur tiram
putih (Pleurotus ostreatus)
Propinsi Jambi khususnya di Kota Jambi sejak tahun 2006 sudah ada
kegiatan pembudidayaan jamur tiram oleh petani dengan cara membeli
baglog, sedangkan petani yang mengembangkan jamur tiram dengan membuat
baglog dimulai tahun 2008. Berdasarkan hasil survei dan wawancara dengan
salah satu petani yang melakukan budidaya jamur tiram, bahwa jumlah petani
jamur tiram relatif belum banyak yaitu berjumlah sekitar 17 orang. Jamur
tiram cukup diminati untuk dikembangkan dan harga jual ditingkat petani
cukup tinggi yaitu berkisar Rp. 15.000,- per kg. dan pemasarannya sudah
merata di pasar-pasar yang ada di Kota Jambi.
Kebutuhan akan jamur tiram di Kota Jambi semakin meningkat dengan
bertambahnya penduduk dan meningkatnya kesadaran masyarakat dalam
peningkatan mutu gizi makanan dengan pola konsumsi yang lebih beragam.
Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Studi
Pengembangan Jamur Tiram Sebagai Bahan Pangan di Kota Jambi ( Tinjauan
aspek Usahatani dan Pemasaran)”.
1
2
2. Perumusan Masalah
Badan Koordinasi Penyuluhan dan Ketahan Pangan Kota Jambi
melaporkan bahwa kesediaan sayuran untuk konsumsi penduduk Kota tahun
2009 tercatat sebesar 171,27 gram/kapita/hari sedangkan target nasional
berkisar 200 gram/kapita/hari. Data tersebut menunjukan bahwa konsumsi
sayur masyarakat Kota Jambi masih berada dibawah standar Nasional. Salah
satu peluang dalam memenuhi kebutuhan sayur, usaha jamur tiram merupakan
peluang sebagai pangan alternatif.
Pengembangan jamur tiram di Kota Jambi akan berdampak positip
terhadap perekonomian dan dapat memberikan nilai tambah bagi keluarga
petani. Jamur tiram semakin populer sebagai bahan makanan yang bergizi dan
lezat rasanya, selain itu jamur tiram juga dijadikan produk olahan seperti
keripik jamur, bakso jamur dan lain-lain. Oleh karena itu permintaan terhadap
jamur tiram semakin meningkat, sebaliknya dari sisi penawaran
petani/produsen yang relatif sedikit harus bisa mengimbangi permintaan
masyarakat. Untuk itu permasalahan yang diamati dalam memenuhi
permintaan konsumen adalah bagaimana kegiatan usahatani (biaya, penerimaan
dan pendapatan) dan bagaimana sistem pemasaran jamur tiram di Kota Jambi.
Maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi petani/produsen
jamur tiram di Kota Jambi, untuk mengetahui usahatani (biaya. penerimaan
dan pendapatan) jamur tiram di Kota Jambi dan untuk mengetahui sistem
pemasaran jamur tiram di kota Jambi.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Usahatani
Usahatani menurut Kartasapoetra (1987) adalah merupakan usaha
produksi dimana berlangsungnya pendayagunaan tanah, tenaga kerja, modal
dan manajemen. Keberhasilan pendayagunaan ini akan mendatangkan hasil
yang akan diambil berupa pendapatan yang maksimum.
Usahatani merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh produksi dilapangan
yang ada pada akhirnya akan dinilai dari biaya yang akan dikeluarkan untuk
3
semua kegiatan yang berhubungan dengan produksi usahataninya dan
penerimaan yang diperoleh dari usahatani.
Biaya Usahatani
Menurut Hernanto (1996) biaya merupakan korbanan yang
dicurahkan dalam proses produksi yang semula fisik kemudian diberikan nilai
rupiah. Biaya adalah pengorbanan yang dapat diduga sebelumnya dan dapat
dihitung secara kuantitatif dan secara ekonomis tidak dapat dihindarkan dan
berhubungan dengan suatu proses produksi tertentu.
Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi sesuatu
menentukan besarnya harga pokok dari produk yang akan dihasilkan. Biaya
produksi akan berbeda besarnya menurut cabang usaha yang dipilih. Secara
umum pengeluarkan usahatani atau biaya usahatani meliputi fixed cost atau
biaya tetap dan variable cost atau biaya variabel.
Penerimaan Usahatani
Secara umum petani mengharapkan penerimaan yang diperoleh dari
kegiatan usahataninya lebih besar dari biaya yang telah dikeluarkan dalam
kegiatan usahatani tersebut. Semakin besar penerimaan yang diperoleh maka
petani akan termotivasi untuk mempertahankan bahkan meningkatkan
produksinya (Hernanto, 1996).
Menurut Soekartawi (1995), penerimaan usahatani merupakan
perkalian antara produksi yang dihasilkan dengan harga jual.
Pendapatan Usahatani
Pendapatan usahatani adalah penerimaan dikurangi dengan
pengeluaran. Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produlsi yang
diperoleh dengan harga satuan yang berlaku. Pengeluaran adalah semua biaya
operasional dengan memperhitungkan bunga modal dari usahatani dan nilai
kerja pengelola usahatani.
Menurut Hernanto (1996) tujuan dari usahatani adalah mencapai
produksi yang tinggi dan akan dinilai dengan uang yang diperhitungkan dari
nilai produksi setelah dihitung dengan biaya yang dikeluarkan. Hal ini sejalan
dengan pendapat Soekartawi (1995).
Pendapatan secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :
4
Pd = (Px.X) - (FC+VC)
Pd = TR – TC
Dimana : Pd = Pendapatan Usahatani
Px = Harga jual
X = Jumlah produksi
FC = Biaya tetap
VC = Biaya variabel
TR = Total penerimaan
TC = Total biaya
Soeharjo dan Patong (1973), menyatakan bahwa pendapatan selain
diukur dengan nilai mutlak juga dianalisis nilai efisiensinya. Salah satu ukuran
efisiensi adalah penerimaan untuk setiap rupiah yang dikeluarkan R/C ratio.
Dalam analisis R/C rasio akan diuji seberapa jauh nilai rupiah yang dipakai
dalam kegiatan bersangkutan dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan
sebagai manfaatnya. Selanjutnya usahatani dikatakan menguntungkan apabila
nilai R/C lebih besar dari I dan sebaliknya dikatakan belum menguntungkan
apabila R/C ratio kurang dari I.
2. Konsep Sistem Pemasaran
Menurut Swastha (2002), mendefinisikan sistem pemasaran sebagai
kumpulan lembaga- lembaga yang melakukan pemasaran barang, jasa, ide
orang dan faktor- faktor lingkungan yang saling memberikan pengaruh dan
membentuk serta mempengaruhi hubungan perusahaan dengan pasarnya.
Untuk menggambarkan keadaan suatu sistem pemasaran suatu
komoditi dapat dilakukan melalui pendekatan yaitu :
1. Pendekatan Serba Barang
Pendekatan serba barang merupakan suatu pendekatan pada
pemasaran yang melibatkan studi tentang bagaimana barang-barang tertentu
berpindah dari titik produksi ke konsumen akhir.
2. Pendekatan Serba Fungsi
5
Pendekatan serba fungsi ini merupakan metoda untuk mempelajari
sistem pemasaran berdasarkan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan
fungsinya. Fungsi pemasaran adalah kegiatan utama yang khusus dilaksanakan
untuk menyelesaikan proses pemasaran (Anindita, 2003). Adapun fungsi-
fungsi pemasaran terdiri atas:
a. Fungsi pertukaran
b. Fungsi fisik
c. Fungsi fasilitas
3. Pendekatan Serba Lembaga
Pendekatan serba lembaga merupakan pendekatan pemasaran yang
mempelajari masalah-masalah pemasaran melalui lembaga-lembaga pemasaran
yang turut serta dalam proses penyaluran barang dan jasa mulai dari titik
produsen hingga konsumen. Lembaga pemasaran adalah badan yang
menyelenggarakan kegiatan pemasaran, menyalurkan barang dan jasa dari
produsen ke konsumen serta mempunyai hubungan organisasi antara satu
dengan yang lainnya.
3. Jamur Tiram.
Jamur tiram (Pleurotus spp.) telah dibudidayakan di Cina daratan sejak
200 – 300 tahun lalu. Jamur ini kemudian menyebar ke negara tetangga,
khususnya ke Korea, Myanmar, Jepang, Taiwan, Filipina, Singapura,Vietnam,
Indonesia, Malaysia, dan negara tetangga lainnya. Di Indonesia, budidaya
jamur dikenal pada awal tahun 1950-an untuk jenis jamur merang, kemudian
pada awal 1970-an untuk jenis jamur tiram, jamur shiitake, dan jamur kuping
( Suriawiria, 2001).
Jamur tiram merupakan jenis jamur kayu yang paling mudah
dibudidayakan karena dapat tumbuh diberbagai macam jenis substrat dan
mempunyai kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang tinggi.
Kemampuan produksi jamur tiram pun relatif lebih tinggi, 50-70 % jamur segar
dapat dihasilkan dari 1000 gram substrat kering, bahkan saat in produktivitas
panen sudah dapat ditingkatkan menjadi 120-150 % . Beberapa kelemahan
6
pada jamur tiram adalah: (1) tangkai yang cukup panjang sehingga
mempersulit pengemasan bila akan dikirim ke tempat lain atau dipasarkan
tanpa mengalami kerusakan. (2) menghasilkan banyak spora sehingga menjadi
permasalahan yang serius bagi kesehatan petani dan lingkungan, (3) belum
semua konsumen menyukai jamur ini terutama di Eropa, Amerika dan
Australia. (Masyarakat Agrobisnis Jamur Indonesia (MAJI) Bandung Raya,
2000 dalam Satria Poernama 2005).
Jenis jamur tiram yang telah dibudidayakan adalah tiram putih
(Pleurotus ostreatus var florida), tiram abu-abu (Pleurotus sajor-caju), tiram
merah muda (Pleurotus flabellatus, Pleurotus djamor), tiram coklat (Pleurotus
cystidiosus), tiram hitam (Pleurotus sapidus) dan tiram kuning terang
(Pleurotus citrinopileatus, Pleurotus cornucopiae).
Lokasi ideal jamur yaitu 800 m dpl dan RH 60-90 %. Walaupun
kebanyakan jamur kuping dan jamur tiram dapat tumbuh dengan baik pada
kisaran suhu 25-300 C, kondisi pertumbuhan optimum dicapai pada kisaran
suhu 16-220 C (Daryanti, 1999). Kemungkinan budidaya jamur di dataran
rendah tidaklah mustahil asalkan iklim ruang penyimpanan dapat diatur dan
disesuaikan dengan keperluan jamur tiram. Media tanam diusahakan
mengandung kadar air sebesar 50-65 %, PH 6-7. Bahan yang digunakan selain
serbuk gergaji ditambah bekatul, kapur (CaCO3), gips (CaSO4), dan tepung
biji-bijian pada proses pembuatan media tanam.
METODE PENELITIAN
1. Penentuan Daerah Penelitian
Daerah penelitian ini dilaksanakan di Kota Jambi. Pemilihan daerah
penelitian dilakukan dengan sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa
Kota Jambi merupakan terbanyak penduduknya diantara Kabupaten yang ada
di Propinsi Jambi, selain itu Kota Jambi merupakan sentra kegiatan ekonomi
dan salah satu daerah pengembang jamur tiram.
2. Sumber Dan Metode Pengumpulan Data
7
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer bersumber dari pengusaha/petani jamur tiram, meliputi
harga jamur tiram, harga input, biaya produksi, jumlah produksi, sistem
pemasaran serta data lain yang dibutuhkan. Data sekunder yang dikumpulkan
untuk mendukung dalam penelitian ini antara lain didapatkan dari BPS Kota
Jambi, Dinas pertanian Kota Jambi, Dinas Pertanian Tanaman Pangan,
laporan-laporan hasil penelitian terdahulu, dan publikasi ilmiah lainnya yang
ada kaitannya dengan penelitian.
Adapun metode pengumpulan data yang dilakukan antara lain dengan
metode Observasi dan wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara
mengamati langsung serta tanya jawab dari berbagai kegiatan usaha jamur
tiram yang diobservasi.
3. Metode Penentuan Responden
Responden penelitian ini adalah petani yang membudidayakan jamur tiram
dan pedagang atau penjual jamur tiram yang berada di Kota Jambi. Penentuan
responden dilakukan secara snowball.
4. Metode Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dimana data yang
diperoleh dianalisis secara deskriptif. Tujuan pertama penelitian ini mencoba
menggambarkan tentang hal-hal yang ditemukan dilapangan mencakup
perkembangan usahatani jamur tiram dan menggambarkann frofil
petani/produsen jamur tiram, dan lain-lain secara kualitatif yang merupakan
data pelengkap dalam penelitian ini. Tujuan kedua menghitung penerimaan,
biaya –biaya yang dikeluarkan dan menghitung pendapatan sebagai berikut :
Pd = TR – TC
Pd = (Py.Y) – (FC + VC)
Dimana : Pd = Pendapatan Usahatani
TR = Penerimaan total (Total Revenue)
TC= Biaya total (Total Cost)
Py = Harga produk
Y = jumlah produk
FC= Biaya tetap (Fixed Cost)
8
VC= Biaya variabel (Variabel Cost)
Untuk tujuan ketiga, data yang dikumpulkan dari pengamatan dilapangan
dianalisis berdasarkan beberapa pendekatan sistem pemasaran yaitu dengan
pendekatan serba barang, serba fungsi dan serba lembaga.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1 Karakteristik Petani Responden
1.1. Umur dan Jenis kelamin
Sebagian besar petani jamur tiram berusia antara 39 - 45 tahun yaitu
sebanyak 9 orang yang terdiri dari 7 orang laki-laki dan 2 orang perempuan.
Petani jamur tiram di Kota Jambi sebagian besar berjenis kelamin laki-laki
yaitu sebanyak 18 orang (72%), sedangkan perempuan sebanyak 7 orang
(28%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur dan Jenis kelamin
Umur responden Frekuensi ( % ) Laki2 ( % ) Perp. ( % )25 - 31 tahun 3 3 -
32 - 38 tahun 5 3 2
39 - 45 tahun 9 7 2
46 – 52 tahun 5 4 1
53 – 59 tahun 2 1 1
60 – 66 tahun 1 - 1
T o t a l 25 (100%) 18 (72%) 7 (28%) Sumber: Hasil Olahan Data Primer
2.2. Pendidikan
Sebagian besar responden/petani mempunyai latar belakang pendidikan
SMA/sederajat yaitu sebanyak 18 orang. Untuk mengetahui karakteristik
responden berdasarkan pendidikan terakhir yang ditempuh dapat dilihat pada
tabel 2 berikut.
Tabel 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan.
Tingkat pendidikan Frekuensi Persentase
9
SMP/sederajatSMA/sederajatSarjana/magister
318 4
127216
Total 25 100Sumber: Hasil Olahan Data Primer
2.3. Sumber Pemilikan Modal dan jenis produk yang dijual.
Dari hasil wawancara dan data yang terkumpul, pada umumnya petani
jamur memulai usahanya dengan sumber modal milik sendiri yaitu sebanyak
23 orang (92%) dan l orang dari orang tua serta dari kerja sama l orang. Untuk
produk yang dijual sebagian besar masih memproduksi jamur segar dan hanya
3 orang selain memproduksi jamur segar juga memproduksi baglog.
2.4. Alasan menjalani usaha jamur tiram.
Dari beberapa pertanyaan, alasan mengapa petani responden
mengusahakan jamur tiram antara lain ; harga jamur tiram yang baik,
pemasarannya sudah terjamin, perawatannya mudah, iklimnya cocok,
pengetahuan/ketrampilan yang telah dikuasai, sebagian besar menyatakan
alasan mereka mengusahakan jamur tiram adalah mengisi waktu luang dan
sekaligus untuk menambah pendapatan selain itu juga sebagai hobbi.
3. Hasil Produksi Jamur Tiram
3.1. Produksi jamur tiram
Jamur tiram memiliki beberapa keunggulan dan kemudahan dalam
proses budidayanya sehingga dapat dikelola sebagai usaha sampingan ataupun
usaha ekonomis skala kecil, menengah dan besar (industri).
Pembudidayaan jamur tiram di Kota Jambi umumnya masih dalam skala
kecil. Ini tergambarkan dari jawaban responden yang menyatakan kegiatan
usaha jamur tiram merupakan kegiatan mengisi waktu luang dan juga sebagai
tambahan pendapatan/penghasilan.
Dari 25 petani responden menghasilkan rata-rata produksi jamur tiram
segar sebanyak 826,4 kg per masa produksi dan sebagian besar petani (20
orang) menghasilkan produksi jamur tiram dibawah 1000 kg. Masa produksi
berkisar 4 bulan. Jelasnya dapat dilihat Tabel 3.
Tabel 3. Produksi dan Jumlah Responden/Petani Jamur Tiram Di Kota Jambi
10
No Produksi Jamur tiram(kg/4 bulan)
Jumlah petani(pengusaha)
Persentase (%)
12345
200 - 599 600 - 9991000 - 13991400 - 17991800 - 2199
8 12
041
3248 016 4
J um l a h 25 100Sumber: Hasil Olahan Data Primer
3.2. Penerimaan Usahatani.
Menurut Soekartawi ( 1995) penerimaan usahatani merupakan hasil kali
dari jumlah produksi total dan harga jual persatuan.
Tabel 4 menunjukkan rata-rata produksi jamur tiram yang dihasilkan oleh
petani responden adalah 826,4 kg dengan jumlah penggunaan rata-rata baglog
sebanyak 3.040. Harga jual rata-rata jamur tiram adalah Rp. 15.428,- per kg,
sehingga rata-rata penerimaan yang diperoleh oleh petani responden di daerah
penelitian selama masa produksi adalah sebesar Rp. 12.749.699,20
Produktivitas rata-rata jamur tiram adalah sebesar 0,297 kg per baglog. Hasil
yang diperoleh masih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian
(Anonim, 2011) yang menyatakan bahwa rata-rata setiap baglog menghasilkan
produksi 40% x bobot baglog. Jadi setiap baglog dengan bobot 1,5 kg akan
menghasilkan jamur tiram sebanyak 0,6 kg. Hal ini menunjukan produktivitas
masih dibawah rata-rata. Berdasarkan pengamatan dilapangan bahwa
bangunan tempat pembudidayaan dan pemeliharaan sudah sesuai dengan
standar yang dianjurkan. Hanya saja petani masih kurang trampil dalam
mengatur suhu bangunan, kelembaban dan cahaya yang cukup. Selain itu untuk
mendapatkan hasil yang optimal, ketrampilan dan kesabaran petani sangat
diperlukan.
Tabel 4. Penerimaan Petani Jamur Tiram per masa produksi di Kota Jambi.
No Skala Usaha (log)
Produktivitas(kg/log)
Produk yangDihasilkan
(Kg)
Harga (Rp)
Penerimaan (Rp)
11
12345678910111213141516171819202122232425
2000150010002500100030001000150040002500150020003000350030006000600025003500600060003000500
80001500
0.300.240.600.380.300.270.350.320.240.240.330.250.280.250.280.270.230.320.240.230.260.280.400.240.32
60036060090030082035048096060049050084088084016001400800840140016008402001920480
15000140001400015000140001800015000150001500015000150001600015000150001600016000160001500013700170001700014000160002000014000
900000050400008400000
144000004200000
1476000052500007200000
14400000900000073500008000000
126000001320000013440000256000002240000012000000115080002380000027200000117600003200000
384000006720000
Total 76000 7.435 20660 385700 7968562000
Rata-rata 3040 0.297 826,4 15428 12749666Sumber: Hasil Olahan Data Primer
3.3. Biaya Usahatani
Menurut Hernanto (1996) biaya merupakan korbanan yang
dicurahkan dalam proses produksi yang semula fisik kemudian diberikan nilai
rupiah. Biaya adalah pengorbanan yang dapat diduga sebelumnya dan dapat
dihitung secara kuantitatif dan secara ekonomis tidak dapat dihindarkan dan
berhubungan dengan suatu proses produksi tertentu.
Biaya-biaya yang dikeluarkan petani jamur tiram baik biaya langsung
maupun biaya tidak langsung yang terdiri biaya pembelian baglog, biaya
trasportasi, biaya listrik dan upah tenaga kerja.
12
Rata-rata biaya pembelian baglog jamur tiram adalah sebesar
Rp.8.130.000,- rata-rata biaya trasportasi sebesar Rp. 511.200,- rata-rata biaya
listrik sebesar Rp. 105.200,- sedangkan upah tenaga yang harus dikeluarkan
rata-rata adalah sebesar Rp. 202.800,- Untuk rata-rata total biaya yang
dikeluarkan sebesar Rp. 9.341.800,-
3.4. Pendapatan usahatani
Suatu usahatani dikatakan menguntungkan jika selisih antara
penerimaan dengan pengeluaran bernilai positif. Semakin besar selisih antara
penerimaan dengan pengeluaran maka semakin menguntungkan suatu
usahatani. Pendapatan total usahatani diperoleh dari selisih antar penerimaan
hasil produksi dengan pengeluaran total biaya usaha tani.
Pendapatan rata-rata petani jamur tiram yang diperoleh adalah sebesar
Rp.12.749.699,20 - Rp. 9.341.800,- = Rp. 3.467.899,20 per masa produksi.
Dari nilai mutlak tersebut dapat dianalisis keuntungan melalui R/C ratio.
Jelasnya dapat dilihat tabel 5 berikut.
Tabel 5. Nilai R/C ratio Usaha Jamur Tiram
No.
U r a i a n Nilai
1 Penerimaan (Rp) 12.749.699,202 Pengeluaran (Rp) 9.341.800,003 Pendapatan (Rp) 3.467.899,204 R/C ratio 1.36
Sumber: Hasil Olahan Data Primer
Dari tabel 5 diatas, usaha jamur tiram di kota Jambi sudah memberikan
keuntungan dan dapat terus dikembangkan. Hal ini dapat dilihat dari nilai R/C
ratio sebesar 1.36 yang artinya jika pengeluaran sebesar Rp.1.000.- akan
memberikan keuntungan sebesar Rp. 1.360,-
Dari hasil wawancara dengan responden, usul maupun harapan petani
dalam pengembangan jamur tiram antara lain : adanya lembaga yang
memberikan penyuluhan tentang jamur tiram sehingga usaha jamur tiram
dapat lebih baik, mengembangkan wisata kuliner dari bahan jamur, lebih
mudah dan cepat dalam mendapatkan bibit jamur (baglog) serta adanya
bantuan modal dari pihak swasta maupun pemerintah.
13
3. Sistem Pemasaran Jamur Tiram
Sistem pemasaran yang ada pada usaha jamur tiram adalah
orang/lembaga-lembaga yang terlibat dalam memasarkan jamur tiram dan
faktor-faktor yang saling memberikan pengaruh dan membentuk serta
mempengaruhi hubungan petani dengan pasar.
Pendekatan-pendekatan dalam sistem pemasaran jamur tiram adalah
sebagai berikut :
1. Pendekatan serba barang
Jamur yang sudah siap dipanen langsung dijual ke pasar – pasar yang ada di
Kota Jambi antara lain Pasar angso Duo, Pasar Keluarga, pasar Talang Banjar
dan warung-warung di sekitar tempat tinggal petani jamur. Tidak ada standar
mutu yang ditetapkan, hanya kebersihan dan kesegaran yang diperhatikan
sehingga akan mempengaruhi harga. Penetapan harga sesuai keadaan pasar
atau harga kesepakatan antara penjual dan pembeli. Rata-rata harga jual petani
Rp. 15.428,- per kg dan harga dipedagang eceran Rp. 20.000,- per kg.
2. Pendekatan serba fungsi
Fungsi-fungsi yang dilakukan yaitu :
1. Fungsi pertukaran meliputi fungsi pembelian dan fungsi penjualan.
Petani jamur tiram dalam pelaksanaan serba fungsi ini dilakukan baik di
rumah maupun pasar-pasar terdekat.
2. Fungsi fisik yang dilakukan hanya fungsi pengangkutan yaitu petani
mengantar jamur tiram ke pasar-pasar terdekat, dan tidak melakukan
fungsi penyimpanan. Hal ini sesuai dengan sifat fisik jamur tiram yang
tidak tahan lama dan mudah busuk.
3. Fungsi fasilitas hanya merupakan informasi pasar sedang fungsi
penanggungan resiko dan standardisasi tidak ada.
3. Pendekatan serba lembaga
Pendekatan lembaga merupakan pendekatan yang mempelajari
masalah-masalah pemasaran melalui lembaga pemasaran yang turut dalam
proses penyaluran barang dari titik produsen sampai ke titik konsumen. Pada
14
pemasaran jamur tiram umumnya petani langsung membawa ke pedagang
pengecer/warung dan atau melalui pedagang perantara.
KESIMPULAN DAN SARAN1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Perkembangan usaha jamur tiram di Kota Jambi relatif masih baru dan
seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan peningkatan
mutu gizi makanan.
2. Rata-rata petani jamur tiram dalam usia produktif (39 - 45 tahun),
dengan jumlah laki-laki 72% dan perempuan 28 % serta pendidikan
rata-rata petani jamur SMA/sederajat (72%).
3. Usaha budidaya jamur tiram masih dalam skala kecil, dengan rata-rata
produksi sebesar 826,4 kg per masa produksi atau produktivitas per
baglog sebesar 0,297 kg. Penerimaan petani sebesar Rp. 12.749.699,20
dan biaya sebesar Rp. 9.341.800,-. rata-rata pendapatan sebesar Rp.
3.467.899,20
2. Saran
1. Produksi jamur tiram masih dapat dikembangkan, untuk itu perlu
peningkatan pengetahuan dan ketrampilan membudidayakan jamur
tiram melalui penyuluhan-penyuluhan.
2. Untuk lebih memperkenalkan keunggulan dan manfaat jamur tiram di
masyarakat perlu digalakkan kuliner yang menggunakan bahan baku
jamur tiram.
3. Membentuk model kemitraan dengan pelaku usaha produksi dan
pembibitan jamur maupun pihak-pihak swasta sebagai bapak angkat.
DAFTAR PUSTAKA
Anindita, Ratya. 2003. Dasar-Dasar Hasil Pertanian. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Brawijaya
Anonim, 2011. Peluang Usaha Budidaya Jamur tiram. Agrojamur Bogor. http://Agrojamur bogor blogspot.com
15
Daryanti, Sri. 1999. Pertumbuhan jamur kuping dan jamur tiram dalam rumah tanaman dengan suhu terkendali. Skripsi. Tehnik Pertanian. Institut Pertanian Bogor
Hernanto, F. 1996. Ilmu Usahatani. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta
Kartasapoetra, A.G. 1987. Pengantar Ekonomi Produksi Pertanian. Bina Aksara Jakarta, Jakarta.
Maria Ulfa, Sugiarto, Siti Muslikah, 2008. Tehnologi Budidaya dan pembibitan Jamur Edible. Prodi Agrotehnologi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian UNISMA
Suriawiria, Unus. 2001. Sukses Beragrobisnis jamur kayu : Shiitake, Kuping, Tiram. Penebar Swadaya jakarta
Soeharjo dan Patong. 1983. Sendi-Sendi pokok Ilmu Usahatani. Departemen Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian IPB Bogor.
Soekartawi. 1995. Agribisnis Teori dan aplikasinya. Penerbit PT Raja Grafindo. Jakarta
Swastha, B .2002. Azaz - Azaz Marketing Edisi Ke Tiga. Liberty Yogyakarta. Yogyakarta.
16