Will Kymlicka - Liberal Individualism and Liberal Neutrality
Review THI 2 - Liberal is Me
Click here to load reader
-
Upload
irmawan-effendi -
Category
Documents
-
view
137 -
download
5
Transcript of Review THI 2 - Liberal is Me
Review 2 – Liberalisme
Brown dan Ainley : The Development of International Relations Theory in Twentieth Century (19-39)
Oleh : Irmawan Effendi (47 - THI A)
Liberal Internationalism
Peristiwa Perang Dunia I membawa dampak yang signifikan pada perkembangan
Hubungan Internasional sebagai sebuah kajian keilmuan. Salah satu pemikiran yang muncul
saat itu adalah pandangan liberalisme. Dalam artikel yang ditulis oleh Brown dan Ainley,
liberalisme mencoba untuk mengidentifikasi permasalahan yang muncul di dunia saat itu dan
berusaha untuk menawarkan pemikiran-pemikiran baru sebagai upaya pencapaian solusi
perdamaian melalui liberal internationalism.
Awal munculnya ide liberal internasionalism adalah dari Inggris dan Amerika Serikat.
Harapannya, nilai-nilai prinsip liberalisme mampu untuk diadaptasi secara luas oleh negara-
negara lain hingga mampu untuk mempengaruhi sistem internasional. Liberal
internationalism menyimpulkan dua diagnosa yang bisa menjelaskan tentang apa yang terjadi
pada tahun 1914 sebelum terjadinya Perang Dunia I dan menawarkan dua solusi untuk
mencegah terjadinya kembali bencana perang di masa mendatang.
Pertama adalah ketidakmampuan sistem politik domestik mewadahi secara baik aspirasi
masyarakat yang pada dasarnya tidak menginginkan terjadinya perang.1 Kondisi perang
dilihat oleh penganut liberalisme sebagai bentuk kepentingan dari pemegang kekuasaan
bukan dari keinginan masyarakat secara kolektif. Oleh karena itu, sistem politik demokrasi
ditawarkan sebagai solusi.
Kedua, tidak adanya international institutional structures sebelum tahun 19142. Kondisi
ini membuat tidak adanya mekanisme yang mampu untuk mencegah terjadinya perang. Liga
Bangsa Bangsa (LBB) muncul sebagai solusi kekosongan ini dan menyediakan jaminan
keamanan bagi tiap negara anggota dengan mengusung prinsip “one for all and all for one”
dalam kerangka “collective security”. Pembentukan ini diharapkan mampu untuk
1 Chris Brown and Kirsten Ainley. Understanding International Relations 3rd Edition. (New York : Palgrave Macmillan, 2005), h. 21.
2 Ibid.,1
mempersatukan banyak negara untuk memiliki kesamaan visi dalam upaya mencegah trauma
perang.
Pemikiran Immanuel Kant tentang Liberal Internationalism
Michael W. Doyle dalam Liberalism and World Politics, lebih luas menjabarkan
mengenai liberal internationalism ketimbang ulasan Brown dan Ainley. Pada tulisan ini
Doyle menjelaskan lebih rinci pemikiran Immanuel Kant tentang liberal internationalism
melalui Perpetual Peace.
Kant berargumen bahwa perpetual peace (perdamaian abadi) akan terbentuk jika
terpenuhi tiga syarat yaitu konstitusi negara berbasis pada republik (constitutional law),
pembentukan perdamaian di antara negara republik dalam sebuah federasi (international
law), dan jaminan kebebasan dan persamaan hak atas tiap individu sampai pada tingkatan
tidak lagi terbatas oleh negara (cosmopolitan law)3.
Liberal Internasionalism dan Kondisi Sistem Internasional Pasca Perang Dunia I
Sejatinya, pemikiran Kant mengenai perpetual peace adalah poin utama yang mendasari
pemikiran Woodrow Wilson. Constitutional law ala Kant diterjemahkan oleh Wilson dengan
melakukan kampanye nilai-nilai demokrasi sebagai sistem politik yang unggul menggantikan
sistem politik yang otoriter. Pembentukan LBB pada pasca Perang Dunia I juga merupakan
bentuk international law yang ditawarkan oleh Kant. Pertanyaan yang muncul kemudian
adalah apakah nilai-nilai ini mampu untuk menjadi solusi dalam menjawab kondisi dunia saat
itu.
Pada perjalanannya LBB tidak mampu untuk mencegah terjadinya perang. Karena
memang pada dasarnya LBB dibentuk adalah untuk mencegah perang, bukan memerangi
perang. Jadi sifat dasarnya adalah tindakan preventif untuk mencegah perang. Dari segi
keanggotaan, LBB juga tidak di tempati oleh negara-negara besar. Amerika Serikat dibatasi
oleh kebijakan isolasionisme, sedangkan Inggris dan Perancis tidak lagi negara yang kuat
pasca Perang Dunia I. Tidak hanya itu, negara-negara besar seperti Jerman dan Rusia tidak
masuk ke dalam organisasi itu. Padahal kedua negara ini memiliki andil yang cukup besar
pada terjadinya Perang Dunia I.
3 Michael W. Doyle. Liberalism and World Politics dalam P.R Viotti and Mark V. Kauppi, International Relations Theory 4th edition. (New York : Pearson Education. Inc, 2010), h. 154-155.
2
Pemberian sanksi LBB kepada negara agresor juga masih lemah. Sanksi yang diberikan
masih berorientasi pada sanksi ekonomi sedangkan sanksi melalui tindakan-tindakan militer
dari negara anggota tidaklah kuat. Kondisi inilah yang membuat LBB tidak mampu
mengatasi ekspansi Hitler di Polandia dan kemunculan fasisme oleh Mussolini di Italia.
Melalui peristiwa ini, yang juga merupakan penyebab terjadinya Perang Dunia II, pemikiran
liberalisme menjadi runtuh.
Pemikiran liberalis internationalism lebih didominasi pada ambisi negara besar seperti
Amerika Serikat untuk membentuk sistem dunia melalui penguatan pengaruh pada nilai-nilai
demokrasi. Nilai-nilai yang pada awalnya berada di ranah domestik diupayakan menjadi nilai
universal melalui beragam cara.
Pemikiran ini juga lebih menunjukkan kepada sebuah “impian” mengenai kondisi ideal
bagi sistem internasional yang damai dan jauh dari peperangan. Berakhirnya periode
organisasi LBB menjadi pembuktian bahwa negara merupakan entitas yang memiliki
kedaulatan penuh yang tidak bisa diatur oleh negara lain. Dalam bahasa yang berbeda, tidak
ada kekuasaan lagi yang lebih tinggi di atas negara. Hal ini dijawab oleh pemikiran realisme
yang muncul kemudian dalam menjelaskan kondisi sistem internasional pasca Perang Dunia
II dengan mengetengahkan istilah “anarki” dalam melihat kondisi nyata dunia saat itu.
Bagaimanapun juga pemikiran-pemikiran yang muncul dalam menjelaskan dunia pasca
Perang Dunia I hingga kini, merupakan bentuk nyata dari dinamika perkembangan hubungan
internasional sebagai ilmu kajian khusus yang membedakannya dari ilmu lain.
3