REFRAT SINDROM DISPEPSIA

64
Clinical Scientific Session SINDROMA DISPEPSIA Disusun oleh: Dewi Noviarti Tanjung 1110311006 Panji Hadi Permana 1110312029 Darayani Okta Safda 1110312135 Preseptor: dr. Arina Widya Murni, Sp.PD-K.Psi FINASIM Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

description

referat

Transcript of REFRAT SINDROM DISPEPSIA

Page 1: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

Clinical Scientific Session

SINDROMA DISPEPSIA

Disusun oleh:

Dewi Noviarti Tanjung 1110311006

Panji Hadi Permana 1110312029

Darayani Okta Safda 1110312135

Preseptor:

dr. Arina Widya Murni, Sp.PD-K.Psi FINASIM

Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

RSUP Dr. M. Djamil Padang

2015

Page 2: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah atas limpahan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini yang berjudul “Sindroma

Dispepsia”. Referat ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti kepaniteraan

klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RS Dr. M. Djamil Fakultas Kedokteran

Universitas Andalas Padang.

Terimakasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu

dalam penyusunan referat ini, khususnya kepada dr. Arina Widya Murni, Sp.PD-

K.Psi FINASIM selaku preseptor dan juga kepada rekan-rekan dokter muda.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu penulis menerima setiap kritik dan saran dari

semua pihak. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya di

bidang ilmu kedokteran. Aamiin.

Padang, 8 Oktober 2015

Penulis

ii

Page 3: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................i

KATA PENGANTAR..........................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

DAFTAR TABEL.................................................................................................iv

DAFTAR GAMBAR............................................................................................v

BAB 1. PENDAHULUAN..................................................................................1

1.1 Latar Belakang.....................................................................................1

1.2 Rumusan masalah.................................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................2

1.4 Manfaat Penulisan................................................................................2

1.5 Metode Penulisan ................................................................................2

BAB 2 . SINDROMA DISPEPSIA......................................................................2

1.1. Definisi...............................................................................................3

1.2. Epidemiologi......................................................................................4

1.3. Klasifikasi..........................................................................................4

1.4. Etiologi...............................................................................................8

1.5. Patofisiologi.....................................................................................11

1.6. Manifestasi Klinis ...........................................................................18

1.7. Diagnosis..........................................................................................20

1.8. Tata Laksana....................................................................................27

1.9. Komplikasi ......................................................................................36

1.10. Prognosis…………………………………………………………...37

BAB 3. KESIMPULAN.....................................................................................38

iii

Page 4: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................40

iv

Page 5: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi Dispepsia Fungsional Menurut Roma III................................4

Tabel 2. Etiologi dispepsia.......................................................................................6

Tabel 3. Mekanisme terjadinya gejala dispepsia pada dispepsia fungsional...........6

Tabel 4. Obat-obatan yang dapat memicu terjadinya dispepsia..............................7

Tabel 5. Alarm simptom sakit perut berulang karena kelainan organik................13

Tabel 6. Diagnosis Banding Dispepsia..................................................................19

Tabel 7. Regimen Terapi Hp..................................................................................25

v

Page 6: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Brain Gut Axis (BGA).........................................................................11

Gambar 2. Alur Diagnosis Dispepsia.....................................................................17

Gambar 3. Alur Diagnosis Dispepsia di Berbagai Tingkat Layanan Kesehatan...18

Gambar 4. Alogaritma Tata Laksana Dispepsia belum di Investigasi...................21

Gambar 5. Alogaritma Tata Laksana Ulkus Peptikum..........................................22

Gambar 6. Alogaritma Tata Laksana Dispepsia Akibat Penggunaan NSAID dan Komplikasi

Gastro Intestinal.....................................................................................................23

Gambar 7. Alogaritme Tata Laksana Dispepsia Fungsional.................................24

vi

Page 7: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek

sehari-hari. Dispepsia sendiri merupakan kumpulan gejala atau sindrom nyeri ulu

hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang, sendawa merupakan

masalah yang sering ditemukan dalam praktek sehari-hari. Dispepsia berasal dari

bahasa Yunani: duis bad dan peptein to digest, yang berarti gangguan pencernaan.

Istilah dispepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an. Sindroma

atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya

termasuk pula penyakit pada lambung, yang diasumsikan oleh orang awam

sebagai penyakit maag atau lambung 1.

Secara umum dispepsia terbagi menjadi dua jenis, yaitu dispepsia organik

dan dispepsia fungsional. Dispepsia dapat disebut dispepsia organik apabila

penyebabnya telah diketahui secara jelas. Dispepsia fungsional merupakan

dispepsia yang tidak ada kelainan organik tetapi merupakan kelainan fungsi dari

saluran cerna 2.

Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan prevalensi

dispepsia berkisar antara 12-45% dengan estimasi rerata adalah 25%. Insiden

dispepsia pertahun diperkirakan antara 1-11,5% 3. Dari data pustaka Negara Barat

didapatkan angka prevalensi dispepsia berkisar 7-41%, tapi hanya 10-20% yang

akan mencari pertolongan medis 1. Belum didapatkan data epidemiologi di

Indonesia. Prevalensi dispepsia dipengaruhi oleh beberapa faktor: jenis kelamin,

1

Page 8: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

umur, indeks massa tubuh, perokok, konsumsi alkohol dan psikis. Beragamnya

angka prevalensi disebabkan perbedaan persepsi dari definisi dyspepsia 3.

Keluhan dispepsia merupakan keluhan umum yang dialami oleh

seseorang dalam waktu tertentu dan bersifat kronik yang berdampak pada kualitas

hidup penderita dan beban ekonomi secara langsung maupun tidak langsung 3.

1.2 Rumusan Masalah

Tulisan ini membahas tentang definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, gejala

klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis dari sindroma dispepsia.

1.3 Tujuan Penulisan

Tulisan ini bertujuan untuk menambahkan pengetahuan dan memahami tentang

sindroma dispepsia.

1.4 Manfaat Penulisan

Tulisan ini dapat memberikan informasi mengenai sindrom dispepsia.

1.5 Metode Penulisan

Tulisan ini merupakan tinjauan pustaka yang merujuk kepada berbagai literatur.

2

Page 9: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

BAB 2

DISPEPSIA

2.1 Definisi Dispepsia

Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen

bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa

gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh

setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna bagian atas,

mual, muntah, dan sendawa 4.

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani Dys berarti sulit dan Pepse yang

berarti pencernaan. Dispepsia merupakan kumpulan keluhan atau gejala klinis

yang terdiri dari rasa tidak enak atau sakit diperut bagian atas yang menetap atau

mengalami kekambuhan. Keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas

di dada ( heart burn ) dan regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk

dispepsia 5.

Ada berbagai macam definisi dispepsia. Salah satu definisi yang

dikemukakan oleh suatu kelompok kerja internasional adalah bahwasanya

dispepsia merupakan sebuah sindrom yang terdiri dari keluhan – keluhan yang

disebabkan karena kelainan traktus digestivus bagian proksimal yang dapat berupa

mual atau muntah, kembung, dysphagia, rasa penuh, nyeri epigastrium atau nyeri

retrosternal dan ruktus, yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Dengan demikian

dispepsia merupakan suatu sindrom klinik yang bersifat kronik 2.

3

Page 10: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

2.2 Epidemiologi Dispepsia

Perubahan gaya hidup dan pola makan menjadi salah satu penyebab

terjadinya masalah pencernaan. Dispepsia merupakan salah satu masalah

pencernaan yang paling umum ditemukan. Dialami sekitar 13% - 40% populasi

di dunia setiap tahun. Dispepsia diperkirakan diderita sekitar 15-40% warga

Indonesia. Data Depkes tahun 2004 menempatkan dispepsia di urutan ke 15 dari

daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap terbanyak di Indonesia dengan

proporsi 1,3%. Proporsi tertinggi penderita dispepsia adalah kelompok umur >50

tahun (33,0%), jenis kelamin perempuan (61,6%), agama Islam (75,3%), tamat

SLTA (17,7%), pekerjaan Ibu Rumah Tangga (30,0%), status Kawin (70,4%),

asal Kota Medan (86,7%), dispepsia fungsional (78,8%), manifestasi klinis

campuran (52,7%), lama sakit akut (74,9%), pulang berobat jalan (90,1%), bukan

dengan biaya sendiri (79,8%), dan lama rawatan rata-rata 5,24 hari 6.

Survei yang dilakukan Ari F. Syam dari FKUI (2001) menemukan bahwa

dari 93 pasien yang diteliti, hampir 50% diantaranya mengalami dispepsia. Survei

yang dilakukan pada masyarakat Jakarta pada tahun 2006 oleh Departemen Ilmu

penyakit Dalam FKUI yang melibatkan 1645 responden mendapatkan pasien

dengan sindrom dispepsia mencapai angka 60%. Dari data ini terlihat bahwa

sindrom dispepsia merupakan salah satu masalah pencernaan yang paling banyak

diderita 6.

4

Page 11: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

2.3 Klasifikasi Dispepsia

Secara garis besar, sindrom dispepsia ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu

kelompok penyakit organik (seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu

dll) dan kelompok dimana sarana penunjang diagnostik yang konvensional atau

baku (radiologi, endoskopi, laboratorium) tidak dapat memperlihatkan adanya

gangguan patologis struktural atau biokimiawi, atau dengan kata lain,kelompok

terakhir ini disebut sebagai dispepsia fungsional 1.

Dispepsia berdasarkan gejala klinis menurut Sudoyo (2009) dibagi atas :

1. Dispepsia akibat gangguan motilitas.

Pada dispepsia akibat gangguan motilitas keluhan yang paling

menonjol adalah perasaan kembung, rasa penuh ulu hati setelah

makan, cepat merasa kenyang disertai sendawa.

2. Dispepsia akibat tukak.

Pasien tukak peptik memberikan ciri-ciri keluhan seperti nyeri ulu hati,

rasa tidak nyaman (discomfort) disertai muntah. Pada tukak duodenum

rasa sakit timbul waktu pasien merasa lapar, rasa sakit bisa

membangunkan pasien tengah malam, rasa sakit hilang setalah makan

dan minum obat antasida (Hunger Pain Food Relief = HPFR). Rasa

sakit tukak gaster timbul setelah makan, rasa sakit tukak gaster berada

sebelah kiri dan rasa sakit tukak duodenum berada disebelah kanan

garis tengah perut. Rasa sakit bermula pada satu titik (pointing sign)

akhirnya difus bisa menjalar ke punggung. Ini disebabkan penyakit

bertambah berat atau mengalami komplikasi berupa penetrasi tukak ke

organ pancreas.

5

Page 12: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

3. Dispepsia akibat refluks.

Pada dispepsia akibat refluks keluhan yang menonjol berupa perasaan

nyeri ulu hati dan rasa seperti terbakar, harus disingkirkan adanya

penyakit kardiologis.

4. Dispepsia tidak spesifik.

Dalam konsensus Roma III (tahun 2006) dispepsia fungsional

didefinisikan sebagai:

1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat

kenyang, nyeri ulu hati/epigastric, rasa terbakar di epigastrium.

2. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya pemeriksaan

endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan

penyebab keluhan tersebut.

3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir

sebelum diagnosis ditegakan.

Menurut konsensus Roma III dispepsia fungsional dibagi dua seperti yang

tertera pada Tabel 1 yaitu sindrom Distress Post-prandial (SDP) dan Sindrom

nyeri epigastric (SNE) 7. Adanya batasan waktu dalam penegakan dignostik

dispepsia fungsional ditujukan untuk meminimalisasikan kemungkinan adanya

penyebab organik. Sesuai dengan hal tersebut maka dispepsia merupakan suatu

sindrom klinik yang bersifat kronik 1. Perlu juga ditekankan bahwa dispepsia

6

Page 13: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

dalam tata laksana harus dibedakan antara yang belum diinvestigasi

(uninvestigated dyspepsia) dan yang telah diinvestigasi (investigated dyspepsia).

Di mana pada yang telah diinvestigasi istilah dispepsia harus diikuti dengan

penyebabnya. Misalnya, dispepsia karena ulkus lambung, sedang bila tidak

ditemukan adanya kelainan organik yang mendasari atau menjelaskan keluhan

dispepsia, maka dispepsia ini disebut sebagai dispepsia fungsional 3.

Tabel 1. Klasifikasi Dispepsia Fungsional Menurut Roma III 7.

1. Sindrom Distress Post-prandial (SDP)

Memenuhi salah satu atau kedua syarat berikut :

a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, makanan dengan

porsi biasa, terjadi beberapa kali dalam seminggu.

b. Rasa cepat kenyang yang menyebabkan tidak dapat

menghabiskan makanan, terjadi dalam beberapa kali dalam

seminggu.

Kriteria suportif:

a. Kembung di perut bagian atas, mual atau bersendawa setelah

makan.

b. Dapat terjadi bersamaan dengan Sindrom nyeri epigastrik.

2. Sindrom nyeri epigastrik (SNE)

Memenuhi semua syarat berikut :

a. Nyeri atau rasa terbakar di epigastrium, intensitas moderat,

7

Page 14: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

setidaknya sekali dalam seminggu

b. Nyeri intermiten

c. Tidak tergeneralisasi atau terlokalisasi ke area lain abdomen.

d. Tidak membaik setelah defekasi atau buang gas.

e. Tidak memenuhi kriteria batu empedu atau kelainan Sfingter

Oddi.

Kriteria suportif :

a. Nyeri seperti terbakar, tapi bukan di daerah retrosternal.

b. Nyeri diinduksi atau diredakan dengan makanan, namun dapat

terjadi selama puasa.

c. Dapat terjadi bersamaan dengan Sindrom distress post-prandial.

2.4 Etiologi

Penyebab terjadinya dispepsia tergantung dari klasifikasinya sendiri.

Penyebab dispepsia organik antara lain esofagitis, ulkus peptikum, striktura

esophagus jinak, keganasan saluran cerna bagian atas, iskemia usus kronik, dan

penyakit pankreatobilier. Sedangkan dispepsia fungsional mengeksklusi semua

penyebab organik. Etiologi dari dispepsia dapat dilihat pada Tabel 2 dan dispepsia

fungsional dapat dilihat pada Tabel 3 8.

Tabel 2. Etiologi dispepsia 8.

8

Page 15: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

Esofago – gastro – duodenal Tukak peptik, gastritis kronis, gastritis

NSAID, keganasan

Obat-obatan Antiinflamasi non steroid, teofilin, digitalis,

antibiotik

Hepatobilier Hepatitis, Kolesistitis, Kolelitiasis, Keganasan,

Disfungsi sfinkter Oddi

Pankreas Pankreas Pankreatitis, keganasan

Penyakit sistemik Diabetes mellitus, penyakit tiroid, gagal ginjal,

kehamilan, penyakit jantung koroner / iskemik

Gangguan fungsional Dispepsia fungsional, irritable bowel syndrome

Tabel 3. Mekanisme terjadinya gejala dispepsia pada dispepsia fungsional 8.

1. Hipersensitivitas viseral

a. Meningkatnya persepsi distensi

b. Gangguan persepsi asam

c. Hipersensitivitas viseral sebagai konsekuensi inflamasi kronik

2. Gangguan motilitas

a. Hipomotilitas antral post prandial

b. Menurunnya relaksasi fundus gaster

c. Menurunnya atau gangguan pengosongan lambung

9

Page 16: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

d. Refluks gastro-esofageal

e. Refluks duodeno-gaster

3. Perubahan sekresi asam

a. Hiperasiditas

4. Infeksi kuman Helicobacter pylori

5. Stress

6. Gangguan dan kelainan psikologis

7. Predisposisi genetik

Beberapa obat yang dapat menyebabkan keluhan dispepsia terlihat pada

Tabel 4. Pada umumnya adalah OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) yang

dapat merusak mukosa sehingga menyebabkan gastritis 8.

Tabel 4. Obat-obatan yang dapat memicu terjadinya dispepsia 8.

Obat-obatan yang dapat

menyebabkan keluhan

dispepsia

1. Acarbose

2. Aspirin

3. Colchicine

4. Digitalis

5. Estrogen

6. Gemfibrozil

10

Page 17: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

7. Glukokortioid

8. Preparat besi

9. Levodopa

10. Narkotik

11. Niasin

12. Nitrat

13. Orlistat

14. Potassium klorida

15. Quinidine

16. Sildenafil

17. Teofilin

2.5 Patofisiologi Dispepsia

2.5.1 Dispepsia Fungsional

Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak dibicarakan

dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam

lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan

hipersensitivitas viseral. Abdullah dan Gunawan (2012) menegaskan bahwa

patofisiologi dispepsia hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-

penelitian masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki

peranan bermakna, seperti di bawah ini 9 :

11

Page 18: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

1. Abnormalitas fungsi motorik lambung, khususnya keterlambatan

pengosongan lambung, hipomotilitas antrum, hubungan antara volume

lambung saat puasa yang rendah dengan pengosongan lambung yang

lebih cepat, serta gastric compliance yang lebih rendah.

2. Infeksi Helicobacter pylori

3. Faktor-faktor psikososial, khususnya terkait dengan gangguan cemas

dan depresi.

Sekresi asam lambung

Kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi asam

lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang

rata-rata normal. Diduga terdapat peningkatan sensitivitas mukosa

lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut 9.

Helicobacter pylori

Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum

sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H. pylori pada

dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan

angka kekerapan infeksi H. pylori pada kelompok orang sehat. Mulai ada

kecenderungan untuk melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia

fungsional dengan H. pylori positif yang gagal dengan pengobatan

konservatif baku 9.

12

Page 19: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

Disfungsi autonom

Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas

gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal

juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal

lambung sewaktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan

akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang 9.

Aktivitas mioelektrik lambung

Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan

elektrogastrografi terdeteksi pada beberapa kasus dispepsia fungsional,

tetapi peranannya masih perlu dibuktikan lebih lanjut 9.

Peranan hormonal

Peranan hormon masih belum jelas diketahui dalam patogenesis dispepsia

fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormone motilin yang

menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa

percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin memengaruhi

kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal 9.

Diet dan faktor lingkungan

Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia

fungsional dibanding kasus kontrol 9.

13

Page 20: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

Psikologis

Adanya stres akut dapat memengaruhi fungsi gastrointestinal dan

mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan

kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah pemberian

stimulus berupa stres. Kontroversi masih banyak ditemukan pada upaya

menghubungkan faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan

motilitas. Tidak didapatkan kepribadian yang karakteristik untuk

kelompok dispepsia fungsional ini, walaupun dalam sebuah studi

dipaparkan adanya kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia,

pelecehan seksual, atau gangguan jiwa pada kasus dispepsia fungsional 9.

Faktor genetik

Potensi kontribusi faktor genetik juga mulai dipertimbangkan, seiring

dengan terdapatnya bukti-bukti penelitian yang menemukan adanya

interaksi antara polimorfisme gen-gen terkait respons imun dengan infeksi

Helicobacter pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional 9.

Menurut Firmansyah et al (2013), patofisiologi dispepsia fungsional

belum sepenuhnya dimengerti namun terdapat tiga patofisiologi utama yakni

gangguan motilitas, gangguan non-motilitas dan faktor psikososial. Dewasa ini

diketahui adanya peran hormon saluran cerna seperti hormon ghrelin, motilin,

cholecystokinin (CCK), peptida YY (PYY), somatostatin, glucagon-like-peptide 1

(GLP) dalam patofisiologi dispepsia fungsional khususnya dalam pengaturan

14

Page 21: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

motilitas saluran cerna. Pengetahuan akan hormon-hormon ini menjadikan adanya

paradigma baru dalam terapi gangguan saluran cerna yakni dengan

dikembangkannya terapi agonis reseptor motilin (misalnya mitemcinal) dan

ghrelin (TZP-101) sebagai salah satu modalitas baru dalam terapi dispepsia 10.

1. Gangguan motilitas.

Selama beberapa waktu, dismotilitas telah menjadi fokus perhatian

dan beragam abnormalitas motorik telah dilaporkan, di antaranya

keterlambatan pengosongan lambung, akomodasi fundus terganggu,

distensi antrum, kontraktilitas fundus postprandial, dan dismotilitas

duodenal. Beragam studi melaporkan bahwa pada dispepsia

fungsional, terjadi perlambatan pengosongan lambung dan

hipomotilitas antrum (hingga 50% kasus), tetapi harus dimengerti

bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat

kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambung saja tidak dapat

mutlak menjadi penyebab tunggal adanya gangguan motilitas 10.

2. Hipersensitivitas viseral.

Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor

kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptors. Berdasarkan studi, pasien

dispepsia dicurigai mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap

distensi balon di gaster atau duodenum, meskipun mekanisme pastinya

masih belum dipahami. Hipersensitivitas viseral juga disebut-sebut

memainkan peranan penting pada semua gangguan fungsional dan

15

Page 22: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

dilaporkan terjadi pada 30-40% pasien dengan dispepsia fungsional.

Mekanisme hipersensitivitas ini dibuktikan melalui uji klinis pada

tahun 2012. Dalam penelitian tersebut, sejumlah asam dimasukkan ke

dalam lambung pasien dispepsia fungsional dan orang sehat.

Didapatkan hasil tingkat keparahan gejala dispeptik lebih tinggi pada

individu dispepsia fungsional. Hal ini membuktikan peranan penting

hipersensitivitas dalam patofisiologi dispepsia 10.

3. Faktor psikososial.

Brain Gut Axis ( BGA ) mengatur komunikasi antara otak dan

sistem saluran pencernaan (usus). BGA ini terdiri dari tiga bagian ,

yaitu: Sistem saraf enterik ( ENS ) , sistem saraf otonom ( ANS ) , dan

sistem saraf pusat ( SSP ). ANS mendistribusikan informasi yang

diterima dari usus ke usus melalui vagus dan jalur aferen tulang

belakang. Selanjutnya, setelah diproses di tingkat otak, informasi

dikirim kembali pada saluran pencernaan melalui ANS , khususnya

parasympatic dan sympathic eferen seperti yang tertera pada Gambar

1. Jika terjadi gangguan pada axis ini dalam jangka waktu yang cukup

lama maka kemungkinan terjadinya dispepsia fungsional lebih besar 10.

16

Page 23: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

Gambar 1. Brain Gut Axis (BGA) 10.

2.5.2 Dispepsia Organik

1. OAINS

Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung melalui

beberapa mekanisme. Obat-obat ini menghambat siklooksigenase mukosa

lambung sebagai pembentuk prostaglandin dari asam arakidonat yang

merupakan salah satu faktor defensive mukosa lambung yang sangat

penting. Selain itu, obat ini juga dapat merusak secara topikal. Kerusakan

topikal ini terjadi karena kandungan asam dalam obat tersebut bersifat

korosif, sehingga merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin juga

dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mucus oleh lambung sehingga

kemampuan faktor defensif terganggu. Sawar mukosa lambung sangat

penting untuk perlindungan lambung dan duodenum. Pada pengguna

aspirin terjadi perubahan kualitatif mucus lambung yang dapat

mempermudah terjadinya degradasi mucus oleh pepsin. 11.

2. Ulkus Peptikum

Ulkus peptikum merupakan keadaan dimana kontinuitas mukosa

esophagus, lambung ataupun duodenum terputus dan meluas sampai

17

Page 24: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

dibawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah

epitel disebut erosi. Menurut definisi, ulkus peptikum dapat ditemukan

pada setiap bagian saluran cerna baik di jaringan mukosa, sub mukosa

hingga lapisan otot yang terkena getah asam lambung, yaitu esophagus,

lambung, duodenum, dan setelah gastroduodenal juga jejunum. Tukak

terjadi bila terjadi gangguan keseimbangan antara faktor agresif (asam,

pepsin atau faktor-faktor lainnya) dengan faktor defensive (mucus,

bikarbonat, aliran darah dan PG), bisa faktor agresif meningkat atau faktor

defensive menurun 3.

2.6 Manifestasi Klinis

Klasifikasi klinis praktis membagi dispepsia berdasarkan atas keluhan atau

gejala yang dominan menjadi tiga tipe yakni 12:

1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus - like dyspepsia)

a. Nyeri epigastrium terlokalisasi

b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasida

c. Nyeri saat lapar

d. Nyeri episodic

2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility - like dyspepsia)

a. Mudah kenyang

b. Perut cepat terasa penuh saat makan

c. Mual

d. Muntah

e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)

18

Page 25: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan

3. Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)

Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat

akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakit. Pembagian akut dan kronik

berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut

atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan suara usus yang keras

(borborigmi). Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri,

sedangkan pada penderita lainnya, makan bisa mengurangi nyeri. Gejala lain

meliputi nafsu makan menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut

kembung). Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak

memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau

gejala lain yang tidak biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan. Gejala

klinis dispepsia fungsional harus dapat kita bedakan dengan sakit perut berulang

yang disebabkan oleh kelainan organik yang mempunyai tanda peringatan (alarm

symptoms) seperti yang tertera pada Tabel 5 berikut 12.

Tabel 5. Alarm symptom sakit perut berulang karena kelainan

organik 12.

Alarm symptoms sakit perut berulang

karena kelainan organik

1. Nyeri terlokalisir, jauh dari umbilikus

2. Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah)

3. Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari

19

Page 26: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

4. Nyeri timbul tiba - tiba

5. Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan

6. Disertai gangguan motilitas (diare, obstipasi,

inkontinensia)

7. Disertai perdarahan saluran cerna

8. Terdapat disuria

9. Berhubungan dengan menstruasi

10. Terdapat gangguan tumbuh kembang

11. Terdapat gangguan sistemik: demam, nafsu makan

turun

12. Terjadi pada usia < 4 tahun

13. Terdapat organomegali

14. Terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada

sendi

15. Kelainan perirektal: fisura, ulserasi

2.7 Diagnosis Dispepsia

Dalam menegakkan diagnosis dispepsia menurut Perkumpulan

Gastroenterologi Indonesia (2014), dibutuhkan anamnesis yang baik, pemeriksaan

fisik yang akurat dan pemeriksaan penunjang untuk mengeksklusi penyakit

organik/ struktural/ metabolik. Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari

dispepsia organik dan fungsional. Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster,

ulkus gastritis erosif, gastritis, duodenitis dan proses keganasan. Dispepsia

20

Page 27: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

fungsional mengacu kepada kriteria Roma lll. Kriteria Roma lll belurn divalidasi

di lndonesia. Konsensus Asia-Pasifik (2012) memutuskan untuk mengikuti

konsep dari kriteria diagnosis Roma lll dengan penambahan gejala berupa

kembung pada abdomen bagian atas yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia

fungsional 4.

Dispepsia menurut kriteria Roma lll adalah suatu penyakit dengan satu

atau lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal 4:

1. Nyeri epigastrium

2. Rasa terbakar di epigastrium

3. Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan

4. Rasa cepat kenyang

Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan

terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Kriteria

Roma lll membagi dispepsia fungsional menjadi 2 subgrup, yakni epigastric pain

syndrome dan postprandial distress syndrome. Akan tetapi, bukti terkini

menunjukkan bahwa terdapat tumpang tindih diagnosis dalam dua pertiga pasien

dispepsia. Alur diagnosis dispepsia tertera pada Gambar 2 4.

Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra-abdomen atau

intra-lumen yang padat misalnya tumor, organomegali, atau nyeri tekan sesuai

dengan adanya rangsang peritoneal/peritonitis.tumpuan pemeriksaan fisik tertuju

pada bagian abdomen. Inspeksi akan distensi, asites, parut, hernia yang jelas, dan

lebam. Auskultasi akan bunyi usus dan karakteristik motilitasnya. Palpasi dan

perkusi abdomen, perhatikan akan tenderness, nyeri, pembesaran organ dan

21

Page 28: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

timpani. Pemeriksaan tanda vital bisa ditemukan takikardi atau nadi yang tidak

regular 12.

Kemudian, lakukan pemeriksaan sistem tubuh lainnya. Perlu ditanyakan

perubahan tertentu yang dirasakan oleh pasien, perhatikan keadaan umum dan

kesadaran pasien. Auskultasi bunyi gallop atau murmur di jantung. Perkusi paru

untuk mengetahui konsolidasi. Perhatikan dan lakukan pemeriksaan terhadap

ekstremitas, adakah edema perifer dan dirasakan adalah akral hangat atau dingin.

Lakukan juga pemeriksaan terhadap kelenjar limfa 12.

Pemeriksaan penunjang dilakukan hanya sesuai indikasi atau untuk

menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan penunjang untuk dispepsia

terbagi pada beberapa bagian 12:

1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah

lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika ditemukan

leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Jika tampak cair berlendir atau

banyak mengandung lemak pada pemeriksaan tinja kemungkinan

menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia ulkus

sebaiknya diperiksa derajat keasaman lambung. Jika diduga suatu

keganasan, dapat diperiksa tumor marker seperti CEA (dugaan karsinoma

kolon), dan CA 19-9 (dugaan karsinoma pankreas).

2. Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang

mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau

mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan.

Endoskopi biasanya digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan dari

lapisan lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di bawah

22

Page 29: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi Hp. Endoskopi

merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus

terapeutik.

3. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi Hp,

urea breath test, dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi.

Pemeriksaan laboratorium lebih banyak ditekankan untuk menyingkirkan

penyebab organik lainnya seperti antara lain pankreatitis kronik, diabetes mellitus,

dan yang lainnya. Pada dispepsia fungsiaonal biasanya hasil laboratorium dalam

batas normal. USG abdomen dibeberapa senter di Eropa digunakan untuk melihat

waktu pengosongan lambung dengan cara mengukur besar proksimal dari

lambung, pada pasien dispepsia lebih kecil dibandingkan dengan bukan dispepsia.

Endoskopi dilakukan untuk memastikan penyebab dari dispepsia itu sendiri (Rani,

2011). Urea breath test merupakan pemeriksaan penunjang yang digunakan jika

kita mencurigai penyebab dari dispepsianya adalah karena infeksi Helicobacter

pylori. Urea breath test saat ini sudah menjadi gold standard untuk pemeriksaan

Hp, salah satu urea breath test yang ada antara lain CO, breath analyzer. Syarat

untuk melakukan pemeriksaan Hp,yaitu harus bebas antibiotik dan PPI (proton-

pumpinhibitor) selama 2 minggu 4.

23

Page 30: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

Gambar 2. Alur Diagnosis Dispepsia 4.

24

Page 31: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

Gambar 3. Alur Diagnosis Dispepsia di Berbagai Tingkat Layanan Kesehatan 13.

Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi pasien -

pasien yang datang dengan keluhan dispepsia. Tanda bahaya pada dispepsia yaitu

4:

1. Penurunan berat badan (unintended)

2. Disfagia progresif

3. Muntah rekuren atau persisten

4. Massa daerah abdomen bagian atas

5. Riwayat keluarga kanker lambung

25

Page 32: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

6. Perdarahan saluran cerna

7. Anemia

8. Demam

9. Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun

Pasien-pasien dengan keluhan seperti diatas harus dilakukan investigasi terlebih

dahulu dengan endoskopi 4.

Diagnosis Banding Dispepsia

Beberapa diagnosis banding dispepsia menurut Abdullah (2012) seperti yang

tertera pada Tabel 6.

Tabel 6. Diagnosis Banding Dispepsia 9.

26

Page 33: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

2.8 Tata Laksana Dispepsia

Tata lakana dispepsia dimulai dengan usaha untuk identifikasi patofisiologi

dan faktor penyebab sebanyak mungkin. Terapi dispepsia sudah dapat dimulai

berdasarkan sindroma klinis yang dominan (belum diinvestigasi) dan dilanjutkan

sesuai hasil investigasi 4.

1. Dispepsia belum diinvestigasi

Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi

empirik selama 1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu

pemerikaan adanya Hp. Untuk daerah dan etnis tertentu serta pasien

dengan faktor risiko tinggi, pemeriksaan Hp harus dilakukan lebih awal 4.

Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung

(PPl misalnya omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan/atau H2-

Receptor Antogonist [H2RA]), prokinetik dan sitoprotektor (misalnya

rebamipide), di mana pilihan ditentukan berdasarkan dominasi keluhan

dan riwayat pengobatan pasien sebelumnya. Masih ditunggu

pengembangan obat baru yang bekerja melalui down-regulation proton

pump yang diharapkan memiliki mekanisme kerja yang lebih baik dari

PPl, yaitu DLBS 2411 4.

Terkait dengan prevalensi infeksi Hp yang tinggi, strategi test and treat

diterapkan pada pasien dengan keluhan dispepsia tanpa tanda bahaya 4.

27

Page 34: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

Test and treat dilakukan pada 4:

a. Pasien dengan dispepsia tanpa komplikasi yang tidak berespon

terhadap perubahan gaya hidup, antasida, pemberian PPI tunggal

selama 2-4 minggu dan tanpa tanda bahaya.

b. Pasien dengan riwayat ulkus gaster atau ulkus duodenum yang belum

pernah diperiksa.

c. Pasien yang akan minum OAINS, terutama dengan riwayat ulkus

gastroduodenal.

d. Anemia defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan, purpura

trombositopenik idiopatik dan defisiensi vitamin B12.

Test and treat tidak dilakukan pada 4:

a. Penyakit refluks gastroesofageal (GERD)

b. Anak-anak dengan dispepsia fungsional

28

Page 35: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

Gambar 4. Alogaritma Tata Laksana Dispepsia belum di Investigasi 15.

2. Dispepsia yang telah diinvestigasi

Pasien-pasien dispepsia dengan tanda bahaya tidak diberikan terapi empirik,

melainkan harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi

dengan atau tanpa pemerikaan histopatologi sebelum ditangani sebagai

dispepsia fungsional. Setelah investigasi, tidak menyingkirkan kemungkinan

bahwa pada beberapa kasus dispepsia ditemukan GERD sebagai kelainannya

4.

29

Page 36: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

2.1. Dispepsia organik

Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil

endoskopi, terapi dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan.

Kelainan yang termasuk ke dalam kelompok dispepsia organik antara

lain gastritis, gastritis hemoragik duodenitis, ulkus gaster, ulkus

duodenum, atau proses keganasan 4.

Pada ulkus peptikum (ulkus gaster dan/ atau ulkus duodenum), obat

yang diberikan antara lain kombinasi PPl, misalnya rabeprazole 2x20

mg/ lansoprazole 2x30 mg dengan mukoprotektor, misalnya

rebamipide 3x100 mg 4.

30

Page 37: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

Gambar 5. Alogaritma Tata Laksana Ulkus Peptikum15.

31

Page 38: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

Gambar 6. Alogaritma Tata Laksana Dispepsia Akibat Penggunaan

NSAID dan Komplikasi Gastro Intestinal 15.

2.2. Dispepsia fungsional

32

Page 39: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan

mukosa, terapi dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional

yang ada. Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon,

cisaprid, itoprid dan lain sebagainya dapat memberikan perbaikan

gejala pada beberapa pasien dengan dispepsia fungsional. Hal ini

terkait dengan perlambatan pengosongan lambung sebagai salah satu

patofisiologi dispepsia fungsional 4.

Kewaspadaan harus diterapkan pada penggunaan cisaprid oleh karena

potensi komplikasi kardiovaskular. Data penggunaan obat-obatan

antidepresan atau ansiolitik pada pasien dengan dispepsia fungsional

masih terbatas. Dalam sebuah studi di Jepang baru-baru ini

menunjukkan perbaikan gejala yang signifikan pada pasien dispepsia

fungsional yang mendapatkan agonis 5-HT1 dipandingkan plasebo 4.

Di sisi lain venlafaxin, penghambat ambilan serotonin dan

norepinerfrin tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding

plasebo. Gangguan psikologis, gangguan tidur, dan sensitivitas

reseptor serotonin sentral mungkin merupakan faktor penting

dalam .respon terhadap terapi antidepresan pada pasien dispepsia

fungsional 4.

33

Page 40: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

Gambar 7. Alogaritme Tata Laksana Dispepsia Fungsional di Bebagai

Tingkat Layanan Kesehatan 13.

3. Tata laksana dispepsia dengan infeksi Hp

Eradikasi Hp mampu memberikan kesembuhan jangka panjang terhadap

gejala dispepsia. Dalam salah satu studi cross-sectional pada 21 pasien di

Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta (2010) didapatkan bahwa

terapi eradikasi memberikan perbaikan gejala pada mayoritas pasien

dispepsia dengan persentase perbaikan gejala sebesar 76% dan 81%

penernuan Hp negatif yang diperiksa dengan UBT. Penelitian prospektif

oleh Syam AF, dkk tahun 2010 menunjukkan bahwa terapi eradikasi Hp

dengan triple therapy (rabeprazole, amoksisilin, dan klaritromisin) selama

7 hari lebih baik dari terapi selama 5 hari 4.

34

Page 41: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

Tabel 7. Regimen Terapi Hp 15.

Pada daerah dengan resistensi klaritromisin tinggi, disarankan untuk

melakukan kultur dan tes resistensi (melalui sampel endoskopi) sebelum

memberikan terapi. Tes molekular juga dapat dilakukan untuk mendeteksi Hp dan

resistensi klaritromisin dan/atau fluorokuinolon secara langsung melalui biopsi

lambung. Setelah pemberian terapi eradikasi, maka pemeriksaan konfirmasi harus

dilakukan dengan menggunakan UBT atau H. pyloristool antigen monoclonal test.

Pemeriksaan dapat dilakukan dalam waktu paling tidak 4 minggu setelah akhir

dari terapi yang diberikan. Untuk HpSA, ada kemungkinan hasil false positif 4.

35

Page 42: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

2.9 Komplikasi Dispepsia

1. Perdarahan Gastrointestinal

Perdarahan gastrointestinal merupakan komplikasi paling umum yang

sering terjadi. Hal ini terjadi pada ± 15% pasien dan lebih sering pada

individu > 60 tahun. Insiden yang lebih tinggi pada orang tua

kemungkinan disebabkan oleh peningkatan penggunaan NSAID dalam

kelompok ini.

2. Perforasi

Kejadianperforasi pada orang tuatampaknya meningkat sekunder untuk

peningkatan penggunaan NSAID. Penetrasi adalah bentuk perforasi ulkus

dimana terdapat terowongan ke organ yang berdekatan. Ulkus duodenum

cenderung menembus ke posterior pankreas sehingga menyebabkan

pankreatitis. Sedangkan ulkus gaster cenderung menembus ke dalam hati

lobus kiri.

3. Gastric Outlet Obstruksi

Terjadi pada 1-2% pasien. Seorang pasien mungkin memiliki obstruksi

relatif sekunder untuk ulkus terkait peradangan dan edema diwilayah

peripyloric. Proses ini sering sembuh dengan penyembuhan ulkus. Sebuah

obstruksi, tetap mekanik sekunder untuk pembentukan bekas luka di

daerah peripyloric juga mungkin terjadi. Yang terakhir ini memerlukan

intervensi endoskopi atau bedah. Tanda dan gejala obstruksi mekanik

relatif dapat berkembang secara diam-diam. Diagnosis obstruksi onset

baru yaitu cepat kenyang, mual, muntah, sakit perut peningkatan

postprandial dan penurunan berat badan 14.

36

Page 43: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

2.10 Prognosis Dispepsia

Dispepsia fungsional memiliki prognosis baik jika dilakukan pemeriksaan

klinis dan penunjang yang akurat serta tatalaksana yang baik 1. Menurut Abdullah

dan Gunawan (2012) mengemukakan bahwa pasien dispepsia fungsional memiliki

prognosis kualitas hidup lebih rendah dibandingkan dengan individu dengan

dispepsia organik. Tingkat kecemasan sedang hingga berat juga lebih sering

dialami oleh individu dispepsia fungsional. Lebih jauh diteliti, terungkap bahwa

pasien dispepsia fungsional, terutama yang refrakter terhadap pengobatan,

memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan gangguan psikiatris

9.

37

Page 44: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

BAB 3

KESIMPULAN

Dispepsia merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat

dialami seseorang. Insiden dispepsia pertahun diperkirakan antara 1-11,5% dan

hanya 20-25% yang akan mencari pertolongan medis. Terdapat banyak penyebab

dispepsia diantaranya adalah gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna:

tukak gaster atau duodenum, gastritis, tumor, dan infeksi Helicobacter pylori.

Obat-obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa

antibiotik, digitalis, teofilin, dan sebagainya. Dispepsia merupakan suatu simptom

atau kelompok keluhan atau gejala dan bukan merupakan suatu diagnosis. Gejala

dispepsia diantaranya nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh

setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna bagian atas,

mual, muntah, dan sendawa. Dispepsia merupakan suatu sindrom klinik yang

bersifat kronik. Dispepsia secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu dispepsia

fungsional dan dispepsia organik. Sangat penting mencari petanda akan gejala dan

keluhan yang merupakan etiologi yang bisa ditemukan berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Pemeriksaan endoskopi dianjurkan pada pasien dengan usia >

50 tahun. Juga direkomendasikan pada pasien yang mengalami penurunan berat

badan yang signifikan, terjadi perdarahan, dan muntah hebat. Penatalaksanaan

dispepsia meliputi pola hidup sehat, berpikiran positif dan makan makanan yang

sehat dan seimbang selain daripada pengobatan. Pengobatan dispepsia antaranya

seperti antasida, antikolinergik, antagonis reseptor histamin2, Proton Pump

Inhibitor, sitoprotektif, golongan prokinetik, antibiotik untuk infeksi Helicobacter

pylori dan kadang-kadang diperlukan psikoterapi.

38

Page 45: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, A.W et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:

InternaPublishing. Hal: 516-517 dan 529-533.

2. Jones, M.P. 2003. Evaluation and treatmentof dyspepsia. Post Graduate

Medical Jurnal. 79:25-29.

3. Rani, A.A., Simadibrata, K.M., Syam, A.F. 2011. Buku Ajar

Gastroenterologi. Jakarta: InternaPublishing. Hal: 131-142.

4. Simadibrata, M.K., Dadang, M., Abdullah, M., et al. 2014. KONSENSUS

NASIONAL: Penatalaksanaan Dispepsia dan lnfeksi Helicobacter pylori.

Perkumpulan Gastoenterologi Indonesia.

5. Tack, J. Nicholas J. Talley, Camilleri M, et al. 2006. Functional

Gastroduodenal Disorder. Gastroenterology. 130:1466-1479.

6. Harahap, Y. 2009. Karakteristik penderita dispepsia rawat inap di RS

Martha Friska Medan Tahun 2007. Edisi 2010. (online)

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14681/1/10E00274.pdf.

Diakses tanggal 2 Juni 2015.

7. Tanto, C., Liwang, F., Hanifati., et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran

Edisi IV. Jakarta : Media Aesculapius. Hal: 591-595.

8. Laksono, R.D. 2011. Dispepsia. USU. (online)

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23015/4/Chapter

%20II.pdf. Diakses tanggal 28 Mei 2015.

9. Abdulah, M. dan Gunawan, J. 2012. Dispepsia. Jakarta : Divisi

Gastroenterologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. 39 (9) : 647-651.

39

Page 46: REFRAT SINDROM DISPEPSIA

10. Firmansyah, M.A., Makmun, D., Abdullah, M. 2013. Role of Digestive

Tract Hormone in Functional Dyspepsia. Jakarta : Divisi Gastroenterologi

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

14 (1):39-43.

11. Glenda, N.L. 2006. Gangguan lambung dan duodenum. Patofisiologi.

Edisi ke-6. EGC. Hal 417-419.

12. Indra, I. 2013. Dispepsia. USU. (online)

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/38021/4/chapter

%20II.pdf. Diakses tanggal 3 Juni 2015.

13. Miwa, H., Ghoshal,U.C., Sutep, G., et al. 2012. Asian Consensus Report

on Functional Dyspepsia. J Neurogastroenterol Motil. 18(2): 150-168.

14. Valle, J.D. 2011. Peptic Ulcer Disease and Related Disorders. In Fauci,

A.S., et al. HARRISON’S Principles of Internal Medicine 18th edition

Volume 2. USA : McGraw-Hill.

15. New Zealand Guidelines Group. 2003. Management of dyspepsia and

heartburn. Wellington: New Zealand Guidelines Group.

40