KEMAMPUAN DAN KEMAUAN MEMBAYAR PASIEN...

15
1 KEMAMPUAN DAN KEMAUAN MEMBAYAR PASIEN TERHADAP PELAYANAN RAWAT INAP RSUD dr. RASIDIN PADANG Afni Rianti 1 , Kodrat Wibowo 2 , Ferry Hadiyanto 2 1 RSUD dr. Rasidin Padang 2 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Corresponding author: [email protected] Abstract. This research aims to get the unit cost, the ability to pay and willingness to pay patients for each care class inpatient at RSUD dr. Rasidin Padang. For the purpose of analyzing the unit cost, data were collected from the year of 2011, consisting of fixed costs, semi-variable costs and variable costs. To analyzed the cost was used double distribution method. While, the ability to pay was obtained from the total expenditure non-essential households for one month. Meanwhile, to calculate the willingness to pay conducted by distributing questionnaires to patients and their families who lived one house. The variables used are education, income, quality of service of doctors, availability of drugs and lenght of stay. The method used is the method of ordinary least squares (OLS). The results of processing the data obtained that in the VIP rooms with unit cost of Rp. 688.800,-, the ability to pay Rp. 876.000,-, and willingness to pay Rp.126.650,-. In the First Class rooms with unit cost of Rp. 121.746,-, the ability to pay Rp. 352.220,-, and willingness to pay Rp. 89.856,-. In the Second Class rooms with unit cost of Rp. 72.534,-, the ability to pay Rp. 265.740,-, and willingness to pay Rp. 66.661,-. In the Third Class rooms with unit cost of Rp.51.261,-, the ability to pay Rp. 209.220,-, and willingness to pay Rp. 22.947,-. The ability and willingness to pay patient’s is above the rate applicable of inpatient, where the VIP rooms tariff of Rp. 110.000,-, the First Class rooms Rp.78.000,-, the Second Class rooms Rp. 58.000,-, the Third Class rooms Rp.20.000,-. This means that there is the consumer surplus, so that rates could be raised. Regression results indicate that education, income, quality of service of doctors, availability of drugs and length of stay, significantly affect willingness to pay. This shows the importance for policy makers aiming to raise tariff of the inpatient rooms at RSUD dr. Rasidin Padang, to give priority attention to household incomes and the most important, increase the quality of care by providing excellent service. Keywords: ability to pay, tariff, unit cost and willingness to pay. I. Pendahuluan Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat, sejak dalam kandungan sampai usia lanjut. Selain itu pembangunan di bidang kesehatan juga diarahkan untuk meningkatkan dan memelihara mutu lembaga pelayanan kesehatan melalui pemberdayaan sumber daya manusia secara berkelanjutan, dan sarana prasarana dalam bidang medis, termasuk ketersediaan obat yang dapat dijangkau oleh masyarakat (Kemenkes, 2003). Sumber daya manusia sebagai modal pembangunan, tetapi sumber daya manusia yang terlalu banyak serta tidak dilengkapi dengan kualitas yang baik hanya akan membebani pembangunan baik secara sosial maupun ekonomi. Di Indonesia, indeks pembangunan manusia masih jauh terbelakang dibandingkan sebagian besar negara lain di dunia. Hal ini terkait erat dengan rendahnya pembiayaan pelayanan kesehatan baik oleh pemerintah dan swasta maupun masyarakat (Thabrany, 2002). Alokasi biaya kesehatan hanya sebesar 2,5% dari seluruh anggaran pemerintah, padahal alokasi anggaran yang

Transcript of KEMAMPUAN DAN KEMAUAN MEMBAYAR PASIEN...

1

KEMAMPUAN DAN KEMAUAN MEMBAYAR PASIEN TERHADAP PELAYANAN RAWAT INAP

RSUD dr. RASIDIN PADANG

Afni Rianti1, Kodrat Wibowo2, Ferry Hadiyanto2

1RSUD dr. Rasidin Padang 2Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran

Corresponding author: [email protected]

Abstract. This research aims to get the unit cost, the ability to pay and willingness to pay patients for each care class inpatient at RSUD dr. Rasidin Padang. For the purpose of analyzing the unit cost, data were collected from the year of 2011, consisting of fixed costs, semi-variable costs and variable costs. To analyzed the cost was used double distribution method. While, the ability to pay was obtained from the total expenditure non-essential households for one month. Meanwhile, to calculate the willingness to pay conducted by distributing questionnaires to patients and their families who lived one house. The variables used are education, income, quality of service of doctors, availability of drugs and lenght of stay. The method used is the method of ordinary least squares (OLS). The results of processing the data obtained that in the VIP rooms with unit cost of Rp. 688.800,-, the ability to pay Rp. 876.000,-, and willingness to pay Rp.126.650,-. In the First Class rooms with unit cost of Rp. 121.746,-, the ability to pay Rp. 352.220,-, and willingness to pay Rp. 89.856,-. In the Second Class rooms with unit cost of Rp. 72.534,-, the ability to pay Rp. 265.740,-, and willingness to pay Rp. 66.661,-. In the Third Class rooms with unit cost of Rp.51.261,-, the ability to pay Rp. 209.220,-, and willingness to pay Rp. 22.947,-. The ability and willingness to pay patient’s is above the rate applicable of inpatient, where the VIP rooms tariff of Rp. 110.000,-, the First Class rooms Rp.78.000,-, the Second Class rooms Rp. 58.000,-, the Third Class rooms Rp.20.000,-. This means that there is the consumer surplus, so that rates could be raised. Regression results indicate that education, income, quality of service of doctors, availability of drugs and length of stay, significantly affect willingness to pay. This shows the importance for policy makers aiming to raise tariff of the inpatient rooms at RSUD dr. Rasidin Padang, to give priority attention to household incomes and the most important, increase the quality of care by providing excellent service. Keywords: ability to pay, tariff, unit cost and willingness to pay. I. Pendahuluan

Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dan

lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat, sejak dalam kandungan

sampai usia lanjut. Selain itu pembangunan di bidang kesehatan juga diarahkan untuk meningkatkan

dan memelihara mutu lembaga pelayanan kesehatan melalui pemberdayaan sumber daya manusia

secara berkelanjutan, dan sarana prasarana dalam bidang medis, termasuk ketersediaan obat yang

dapat dijangkau oleh masyarakat (Kemenkes, 2003).

Sumber daya manusia sebagai modal pembangunan, tetapi sumber daya manusia yang terlalu

banyak serta tidak dilengkapi dengan kualitas yang baik hanya akan membebani pembangunan baik

secara sosial maupun ekonomi. Di Indonesia, indeks pembangunan manusia masih jauh terbelakang

dibandingkan sebagian besar negara lain di dunia. Hal ini terkait erat dengan rendahnya pembiayaan

pelayanan kesehatan baik oleh pemerintah dan swasta maupun masyarakat (Thabrany, 2002). Alokasi

biaya kesehatan hanya sebesar 2,5% dari seluruh anggaran pemerintah, padahal alokasi anggaran yang

2

ditentukan dalam Undang-Undang Kesehatan mewajibkan penganggaran dalam APBN minimal

sebesar 5%, sesuai dengan penganggaran yang dianjurkan oleh WHO minimal 5% dari total Gross

National Bruto, artinya pemerintah belum mampu mengakomodir kebutuhan akan layanan kesehatan

masyarakat yang mensyaratkan adanya keterjangkauan akses dan mutu layanan kesehatan (UU RI No.

39, 2009).

Misi rumah sakit pemerintah menuntut agar amanat rakyat dalam pelayanan rumah sakit

dipenuhi, akan tetapi kemampuan pemerintah kurang. Terbatasnya dana kesehatan makin diperkuat

oleh kenyataan bahwa biaya pelayanan kesehatan dan medis semakin mahal seiring dengan

perkembangan pembangunan dan teknologi (Gani, 1996). Biaya produksi pelayanan kesehatan di

rumah sakit yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, antara lain disebabkan oleh

meningkatnya harga obat-obatan, penggunaan alat/teknologi yang semakin canggih dan meningkatnya

permintaan masyarakat akan pelayanan kesehatan. Akibatnya, terjadi berbagai isu yang berkaitan

dengan tarif rumah sakit pemerintah. Dimana tarif yang ada tidak memungkinkan rumah sakit

pemerintah untuk berkembang, sementara kebutuhan untuk berkembang semakin tinggi karena

persaingan antar rumah sakit semakin besar (Munawar, 2003).

Sebagai rumah sakit milik Pemerintah Daerah Kota Padang, RSUD dr. Rasidin Padang

diharapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan bagi semua lapisan masyarakat dan merupakan

rumah sakit rujukan bagi seluruh Puskesmas, Posyandu, Puskel, UKM, Klinik-Klinik yang berada di

lingkungan Kota Padang dan keadaan ini sejalan dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan

pelayanan kesehatan yang baik dan bermutu serta didukung oleh sarana dan prasarana yang lengkap

dari RSUD sebagai Rumah Sakit Pemerintah Kota Padang pada saat ini (Profil kesehatan RSUD,

2008). RSUD dr. Rasidin Padang merupakan rumah sakit tipe C yang memiliki kapasitas 136 tempat

tidur dimana mengutamakan pemberian pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat

menengah ke bawah dengan pelayanan maksimal, disamping pemberian pelayanan kesehatan kepada

masyarakat menengah ke atas. Upaya ini dilakukan dengan pengaturan besaran tarif dimana tarif

rumah sakit diperhitungkan atas dasar unit cost dan setiap jenis pelayanan dan kelas perawatan dengan

memperhatikan kemampuan ekonomi masyarakat, rumah sakit setempat lainnya serta kebijaksanaan

subsidi silang (Kemenkes, 1997). Penetapan tarif dalam pelayanan kesehatan sangat berperan dalam

menentukan demand dari kelompok yang berpendapatan rendah dibandingkan dengan kelompok yang

berpendapatan tinggi.

Untuk itu, tarif pelayanan kesehatan perlu ditetapkan secara rasional dengan

mempertimbangkan biaya per unit dan harga yang layak diterima masyarakat pengguna jasa pelayanan

kesehatan (Munawar, 2002), karena selama ini penetapan tarif yang dilakukan di RSUD dr. Rasidin

Padang hanya melihat dengan membandingkan tarif rumah sakit pemerintah lainnya dengan tipe

rumah sakit yang sama tanpa mempertimbangkan biaya operasional dan kemampuan serta kemauan

membayar pasien masing-masing daerah itu berbeda, selain itu tarif yang ditetapkan dalam perda

retribusi pelayanan kesehatan Nomor 11 tahun 2011 untuk akomodasi kelas III rawat inap masih

3

rendah sebesar Rp. 20.000,- per hari dibandingkan dengan tarif askes sebesar Rp. 60.000,- per hari

rawat inap tingkat pertama.

Dengan mengetahui biaya satuan, kemampuan dan kemauan membayar masyarakat terhadap

pelayanan kesehatan, maka rumah sakit dapat meningkatkan upaya pemerataan dengan mengatur

besaran subsidi dan sasaran yang akan mendapatkan subsidi. Bila kelompok pengguna terdapat

kelompok relatif mampu, rumah sakit dapat mencoba mengembangkan mekanisme subsidi silang.

Peningkatan pendapatan dari kelompok pengguna yang mampu (kelas VIP) dapat dimanfaatkan untuk

subsidi silang kelompok yang tidak mampu (kelas III), karena tarif kelas VIP dapat dinaikkan sebagai

upaya dalam meningkatkan profit rumah sakit tanpa mengabaikan fungsi sosio ekonomi rumah sakit

(Trisnantoro, 2009).

Penetapan tarif dalam konteks rumah sakit pemerintah adalah sebagai alat untuk menghitung

subsidi maupun anggaran yang harus disediakan oleh Pemerintah demi pelayanan yang terjangkau dan

bermutu di rumah sakit dan sebagai pengemban misi sosial bagi rumah sakit yang diharapkan bisa

berkesinambungan memberikan pelayanan secara gratis dan bermutu kepada pasien miskin

(Suryandrizal, 2006). Namun fokus penelitian ini diarahkan secara khusus pada biaya satuan,

kemampuan membayar dan kemauan membayar pasien masing-masing kelas perawatan pada Instalasi

Rawat Inap RSUD dr. Rasidin Padang.

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah (1) mengestimasi besaran kemauan

membayar pasien rawat inap di kelas VIP, kelas I, kelas II dan kelas III; (2) mengestimasi seberapa

besar kemampuan membayar pasien rawat inap di kelas VIP, kelas I, kelas II dan kelas III; (3)

menghitung besaran biaya satuan pelayanan kesehatan rawat inap di kelas VIP, kelas I, kelas II dan

kelas III.

II. Kajian Literatur

Teori Permintaan terhadap Pelayanan Kesehatan

Dalam pemikiran rasional, semua orang ingin menjadi sehat. Kesehatan merupakan modal

untuk bekerja dan hidup mengembangkan keturunan, sehingga timbul keinginan yang bersumber dari

kebutuhan hidup manusia. Demand untuk menjadi sehat tidak sama antar manusia. Seseorang yang

kebutuhan hidupnya sangat tergantung pada kesehatannya tentu akan mempunyai demand yang lebih

tinggi akan status kesehatannya (Trisnantoro, 2009). Pendekatan ekonomi menekankan bahwa

kesehatan merupakan suatu modal untuk bekerja. Pelayanan kesehatan merupakan suatu input dalam

menghasilkan hari-hari sehat. Dengan berbasis pada konsep produksi, pelayanan kesehatan merupakan

salah satu input yang digunakan untuk proses produksi yang menghasilkan kesehatan. Demand

terhadap pelayanan kesehatan tergantung terhadap demand akan kesehatan.

Grossman (1972), menggunakan teori modal manusia (human capital) untuk menggambarkan

demand untuk kesehatan dan demand untuk pelayanan kesehatan. Dalam teori ini disebutkan bahwa

seseorang melakukan investasi untuk bekerja dan menghasilkan uang melalui pendidikan, pelatihan

4

dan kesehatan. Menurut Fuchs (1998), Zubkoff (1981), faktor-faktor dibawah ini, mempengaruhi

permintaan pelayanan kesehatan antara lain kebutuhan berbasis fisiologis, penilaian pribadi akan

status kesehatan, variabel-variabel ekonomi, penghasilan masyarakat, asuransi kesehatan dan jaminan

kesehatan, variabel demografis dan umur, jenis kelamin, pendidikan, faktor-faktor lain.

Teori Utilitas dan Pilihan

Dalam ilmu ekonomi, teori pilihan (theory of choice) selalu dimulai dengan menjelaskan

preferensi seseorang. Preferensi tersebut meliputi pilihan mulai dari yang bersifat sederhana sampai

dengan yang bersifat kompleks yang semuanya berusaha menjelaskan bagaimana orang dapat

menikmati segala yang dilakukannya. Preferensi sendiri memiliki dua sifat dasar yaitu preferensi yang

lengkap (complete preference) dan transitivitas dari preferensi. Complete preference mengasumsikan

bahwa para individu mampu menyatakan apa yang diinginkannya dari antara dua pilihan. Sedangkan

transitivitas preferensi adalah sebuah logika dimana jika A lebih diinginkan dari B, dan B lebih

diinginkan dari C maka A harus lebih diinginkan dari C (Nicholson, 2002).

Para ekonom menjelaskan model preferensi menggunakan konsep utilitas/nilai manfaat

(utility) yang diartikan sebagai kepuasan atau kesenangan yang diterima seseorang akibat aktivitas

ekonomi yang dilakukannya. Banyak analisis ekonomi menggunakan asumsi ceteris paribus yaitu

mengasumsikan bahwa semua faktor diluar yang difokuskan adalah konstan, hanya yang sedang

dipelajari saja yang berubah. Selain itu ekonom juga kebanyakan berpendapat bahwa setiap orang tahu

pikiran mereka sendiri dan akan membuat pilihan yang konsisten dengan preferensi mereka.

Pengertian Rumah Sakit

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

menyebutkan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan

karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan

teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan

pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang

setinggi-tingginya (Kemenkes, 2009).

Klasifikasi Rumah Sakit

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

340/MENKES/PER/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit menyatakan bahwa Klasifikasi Rumah

Sakit adalah pengelompokan kelas rumah sakit berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan.

Berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan, rumah sakit umum diklasifikasikan menjadi Rumah

sakit umum kelas A, Rumah sakit umum kelas B, Rumah sakit umum kelas C dan Rumah sakit umum

kelas D.

Pelayanan Kesehatan Rawat Inap

Pelayanan rawat inap adalah pelayanan terhadap pasien masuk rumah sakit yang menempati

tempat tidur perawatan untuk keperluan observasi, diagnosa, terapi, rehabilitasi medik dan atau

pelayanan medik lainnya (Kemenkes, 1997). Rawat inap (Soerapto, 1985) adalah kegiatan penderita

5

yang berkunjung ke rumah sakit untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang berlangsung selama

lebih kurang 24 jam.

Kemampuan Membayar

Ability To Pay (ATP) adalah kemampuan seseorang untuk membayar jasa pelayanan yang

diterimanya berdasarkan penghasilan yang dianggap ideal. Dua batasan ATP yang dapat digunakan

sebagai berikut (a) ATP 1 adalah besarnya kemampuan membayar yang setara dengan 5 % dari

pengeluaran pangan non esensial dan non makanan. Batasan ini didasarkan bahwa pengeluaran untuk

non makanan dapat diarahkan untuk keperluan lain, termasuk untuk kesehatan (b) ATP 2 adalah

besarnya kemampuan membayar yang setara dengan jumlah pengeluaran untuk konsumsi alkohol,

tembakau, sirih, pesta/upacara. Batasan ini didasarkan kepada pengeluaran yang sebenarnya dapat

digunakan secara lebih efesien dan efektif untuk kesehatan. Misalnya dengan mengurangi pengeluaran

alkohol/tembakau/sirih untuk kesehatan (Adisasmita, 2008).

Kemauan Membayar

Willingness to pay (WTP), yaitu besarnya dana yang mau dibayarkan keluarga untuk

kesehatan. Data pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan didalam data susenas dapat digunakan

sebagai proksi terhadap WTP. Faktor–faktor yang mempengaruhi WTP, yaitu pendapatan,

pengetahuan mengenai tarif dan persepsi serta penilaian tentang pelayanan yang diterima pasien

(Gafni, 1991).

Konsep Biaya

Biaya adalah semua pengorbanan yang dikeluarkan (dipakai) untuk meghasilkan suatu produk

atau output, atau untuk mengkonsumsi suatu produk atau output. Dengan demikian biaya bisa

berbentuk uang, barang, waktu atau kesempatan (yang dikorbankan). Kesempatan yang dikorbankan

disebut juga opportunity cost (Samuelson, 2004). Berdasarkan jenisnya maka biaya dapat

dikelompokkan sebagai berikut (a) Biaya tetap, biaya variabel dan biaya total; (b) Biaya investasi &

Biaya operasional pemeliharaan; (c) Biaya Satuan (Unit Cost/UC); (d) Biaya langsung dan tidak

langsung; (e) Komponen Biaya Rumah Sakit (Pindyck, 2007).

Penetapan Tarif Rumah Sakit

Departemen Kesehatan mengartikan tarif sebagai nilai suatu jasa pelayanan rumah sakit

dengan sejumlah uang dimana berdasarkan nilai tersebut, rumah sakit bersedia memberikan jasa

kepada pasien. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan tarif rumah sakit menurut

Gani (1997) adalah sebagai berikut: biaya satuan; jenis pelayanan dan tingkat pemanfaatan; subsidi

silang; tingkat kemampuan masyarakat; tarif pelayanan pesaing yang setara.

6

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

III. Metode

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi biaya satuan pelayanan rawat inap dan

gambaran tentang kemampuan dan kemauan membayar pasien. Penelitian dilakukan di Instalasi Rawat

Inap RSUD dr. Rasidin Padang.

Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah semua transaksi keuangan yang terjadi pada bulan

Januari-Desember 2011 dan pasien rawat inap selama bulan Juli 2012 yang bukan peserta Askes dan

bukan pengguna program JPS.

Kemauan Membayar

Untuk menghitung kemauan membayar pasien, maka model yang digunakan adalah

WTPi = α + β1Pendidikani + β2Pendidikani + β3Dokter+ β4 Ket_Obat+ β5 LOSi + ei

dimana:

WTP = kemampuan membayar

Pendidikan = tahun pendidikan reponden

Pendapatan = total pendapatan keluarga

Dokter = mutu pelayanan dokter

Ket_obat = ketersediaan obat

LOS = lama hari rawatan

e = eror term

Tarif Rasional RSUD

Biaya total - Biaya tetap - Biaya semi

variabel - Biaya variabel

Biaya Satuan

Demand Pelayanan Kesehatan

Kemampuan Membayar

Kemauan Membayar

7

Kemampuan Membayar

Kemampuan membayar pasien dihitung berdasarkan dari total pengeluaran rumah tangga

untuk keperluan non esensial. Pengeluaran non esensial tersebut terdiri dari (a) Pengeluaran untuk

keperluan pesta dan upacara (perkawinan, aqiqah, khitanan, ulang tahun, perayaan hari raya, dan

sejenisnya); (b) Pengeluaran untuk rokok, alkohol dan jajan; (c) Pengeluaran untuk hiburan, rekreasi

dan lainnya.

Analisis Biaya

Untuk pengolahan data sekunder dalam menghitung biaya satuan dilakukan dengan

spreadsheet program microsoft excel. Semua biaya yang akan dianalisis diklasifikasikan menjadi

biaya tetap, biaya semi variabel dan biaya variabel. Untuk menghitung nilai tahunan biaya tetap

adalah:

= ( ) dimana: AFC = biaya tetap tahunan

IIC = nilai awal/harga beli barang

i = laju inflasi

t = masa pakai

L = perkiraan umur ekonomis barang

Biaya asli yang terdapat di setiap unit penunjang didistribusikan ke setiap unit produktif,

sehingga biaya yang terdapat di unit produkstif adalah biaya asli unit produktif itu sendiri ditambah

dengan biaya pindahan dari unit penunjang. Perhitungan distribusi biaya asli menggunakan metode

distribusi ganda. Metode ini melakukan alokasi biaya dalam dua tahapan. Distribusi tahap I, distribusi

biaya asli dari pusat biaya penunjang kepada pusat biaya penunjang lainnya dan ke pusat biaya

produksi. Distribusi ini menggunakan rumus sebagai berikut:

Distribusi tahap II, mendistribusikan biaya asli hasil distribusi tahap I dari pusat biaya

penunjang ke seluruh pusat biaya produksi.

ℎ ℎ

Sedangkan biaya satuan produk pelayanan masing-masing kelas perawatan diperoleh dengan

menggunakan rumus:

= dimana: UC = biaya satuan

TC = biaya total

Q = output

Uji Instrumen Pengumpulan Data

Tujuan tes pada umumnya untuk mencari pengalaman pengelolaan dan untuk menguji kualitas

instrumen itu sendiri. Tes yang dilakukan berupa validitas tes dan reliabilitas tes.

8

Pengujian Statistik

Dalam penggunaan model regresi linier dan pengolahan data dengan ordinary least square,

perlu dilakukan pengujian terhadap model. Pengujian statistik dilakukan untuk menguji hipotesis dan

menguji asumsi ketepatan model. Pengujian ini berupa koefisien determinasi (R2); Uji t-statistik; Uji

F-statistik.

Uji Asumsi Klasik

1. Uji Heteroskedastis

Uji heteroskedastis (Gujarati,2003) adalah salah satu uji penyimpangan asumsi model klasik. Satu

dari asumsi penting model regresi linier klasik adalah bahwa varians tiap unsur disturbance ui,

tergantung pada nilai yang dipilih dari variabel yang menjelaskan.

2. Uji Multikolinearitas

Uji ini menunjukkan gejala adanya hubungan linier atau hubungan yang pasti diantara

eksplanatory variabel (variabel gejala) dalam model regresi. Gejala ditunjukkan oleh beberapa

faktor, namun yang paling mendukung penjelasan adanya multikolinier dalam model yaitu apabila

nilai R2 dari hasil regresi sangat tinggi namun sebagian besar eksplanatori variabel tidak

menjelaskan hubungan yang signifikan terhadap variabel yang dijelaskan, melalui perbandingan

antara nilai t-stat dan F-stat dengan t-tabel dan F-tabel.

3. Uji Autokorelasi

Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan

menurut waktu, seperti dalam deretan waktu atau ruang seperti dalam data cross sectional. Adanya

autokorelasi diuji dengan Durbin Watson test atau menggunakan run test, jika hasil dari uji

sebelumnya memberikan hasil yang tidak jelas.

IV. Hasil dan Pembahasan

Kemauan Membayar

Dalam penelitian ini digunakan empat persamaan yang memiliki variabel independen yang

sama untuk masing-masing persamaan, tetapi dengan empat variabel dependen yang berbeda. Variabel

dependennya untuk model pertama sampai ke empat adalah willingness to pay terhadap ruang rawatan

kelas VIP, kelas I, kelas II dan kelas III. Berikut ini adalah hasil regresi dengan metode ordinary least

square, sebagaimana tabel berikut:

9

Tabel 1. Hasil Regresi Metode OLS

Keterangan : Angka dalam kurung adalah t-statistik

*** Signifikan pada level 1 %

** Signifikan pada level 5 %

* Signifikan pada level 10 % Sumber: Hasil pengolahan data primer

Dari tabel tersebut di atas diketahui bahwa untuk semua persamaan, variabel pendapatan dan

lama hari rawatan signifikan pada tingkat kepercayaan 99%, variabel mutu pelayanan dokter

signifikan pada tingkat kepercayaan 95 % sedangkan variabel pendidikan dan ketersediaan obat

bervariasi untuk masing-masing persamaan.

Kemampuan Membayar

Kemampuan membayar pasien dihitung berdasarkan dari total pengeluaran rumah tangga

untuk pengeluaran non esensial selama 1 bulan. Kemampuan membayar responden kelas VIP sebesar

Rp. 876.000,-, kelas I sebesar Rp. 352.220,-, di kelas II sebesar Rp. 265.740,- sedangkan di kelas III

mempunyai kemampuan membayar sebesar Rp. 209.220,-.

Biaya Tetap

Yang termasuk biaya tetap dalam penelitian ini adalah biaya awal pengadaan sarana gedung,

kendaraan, dan peralatan non medis. Biaya tetap terbesar berada pada pusat biaya instalasi farmasi

sebesar Rp. 169.140.872,-, diikuti kantor sebesar Rp. 122.141.524,-, kelas III sebesar Rp.

106.342.732,-, Laundry sebesar Rp. 89.352.014,-, gizi sebesar Rp. 82.733.579,-, kelas II sebesar Rp.

48.620.112,-, kelas I sebesar Rp. 30.435.795 dan kelas VIP sebesar Rp. 7.891.551,-.

Biaya Semi Variabel

Yang termasuk biaya semi variabel dalam penelitian ini adalah biaya pemeliharaan gedung,

pemeliharaan kendaraan, pemeliharaan peralatan non medis, biaya tambahan penghasilan medis umum

WTP_VIP WTP_I WTP_II WTP_IIIKonstanta 2.129984 1.874243 1.92612 1.874936

(4.349728)*** (3.888603)*** (4.007986)*** (3.712226)***Pendidikan 0.228249 0.254292 0.216624 0.175213

(2.258438)** (2.556313)*** (2.184052)** (1.680840)*Pendapatan 0.391255 0.401671 0.434266 0.424685

(3.549620)*** (3.702321)*** (4.014528)*** (3.735522)***Dokter 0.23493 0.221282 0.232804 0.275343

(2.210991)** (2.115805)** (2.232523)** (2.512373)**Ketersediaan Obat -0.215242 -0.197567 -0.204761 -0.189989

(-2.028855)** (-1.892002)* (-1.966663)** (-1.736267)*LOS -0.260998 -0.251251 -0.264501 -0.270364

(-2.897200)*** (-2.833542)*** (-2.991750)*** (-2.909718)***R-Squared 0.483383 0.503351 0.508306 0.462085

Variabel IndependenVariabel Dependen

10

dan biaya pakaian dinas. Biaya semi variabel tertinggi terdapat pada pusat biaya kantor sebesar

Rp.181.872.522,-, kelas III sebesar Rp. 76.444.805,-, farmasi sebesar Rp. 36.464.865,-, kelas II

sebesar Rp. 34.093.075,-, gizi sebesar Rp. 30.197.382,-, kelas I sebesar Rp. 25.707.021, laundry

sebesar Rp. 11.409.582,- dan kelas VIP sebesar Rp. 7.647.675,-.

Biaya Variabel

Yang termasuk biaya variabel dalam penelitian ini adalah biaya barang cetak, biaya alat tulis kantor,

biaya makan minum pegawai, biaya makan minum pasien, biaya listrik, biaya air, biaya telepon, biaya

internet, biaya perjalanan dinas, biaya service kebersihan, biaya perlengkapan pasien, biaya bahan

pembersih, dan biaya bahan habis pakai medis. Biaya variabel tertinggi terdapat pada pusat biaya

kantor sebesar Rp. 420.643.877,-, kelas III sebesar Rp. 418.447.337,-, kelas II sebesar

Rp.104.936.402,-, farmasi sebesar Rp. 94.714.497,-, gizi sebesar Rp. 87.339.039,-, kelas I sebesar

Rp.77.546.442,-, laundry sebesar Rp. 41.580.587,-, dan kelas VIP sebesar Rp. 22.579.908,-.

Biaya Total

Biaya total dalam penelitian ini terdiri dari TC1, TC2 dan TC3 yaitu total biaya yang diperoleh

setelah pendistribusian tahap II dengan metode double distribution. Biaya total pada masing-masing

kelas perawatan diuraikan pada tabel 2 berikut.

Tabel 2. Biaya Total RSUD dr. Rasidin Padang Tahun 2011

Sumber: Hasil Pengolahan Data Sekunder

Biaya Satuan

Biaya satuam dalam penelitian ini terdiri dari UC1, UC2 dan UC3 yang diperoleh dengan cara

biaya total dibagi output di masing-masing kelas perawatan. Hasil perhitungan biaya satuan masing-

masing kelas perawatan diuraikan pada tabel 3.

Tabel 3. Biaya Satuan RSUD dr. Rasidin Padang Tahun 2011

Sumber: Hasil Pengolahan Data Sekunder

TC1 TC2 TC3TC = FC + SVC + VC TC = SVC + VC TC = VC

1 Kelas VIP 63,609,855 49,994,876 36,506,3752 Kelas I 216,272,483 160,238,485 118,093,6943 Kelas II 310,892,616 220,129,660 162,838,6784 Kelas III 957,424,222 718,519,841 578,893,219

Kelas PerawatanNo.

UC1 UC2 UC3UC = TC/Q UC = TC/Q UC = TC/Q

1 Kelas VIP 1,200,186 943,300 688,8002 Kelas I 222,961 165,194 121,7463 Kelas II 138,482 98,053 72,5344 Kelas III 84,780 63,625 51,261

No. Kelas Perawatan

11

Implikasi Kebijakan Penetapan Tarif

Kebijakan penetapan tarif dilakukan berdasarkan informasi biaya satuan dengan

mempertimbangkan ATP dan WTP pengguna fasilitas pelayanan rawat inap. Hasil penelitian

menunjukkan sebagai berikut:

Tabel. 4. Perhitungan Kebijakan Tarif RSUD dr. Rasidin Padang Tahun 2011

Sumber: Hasil Pengolahan Data Sekunder

Kemampuan dan kemauan membayar pasien untuk tarif masing-masing kelas perawatan

berada di atas tarif yang berlaku, berarti responden memiliki consumer surplus dimana tarif dapat

dinaikkan berdasarkan kemampuan membayarnya. Selisih antara tarif dan kemauan membayar yang

paling besar adalah kemauan membayar pada ruang rawat inap kelas I sebesar 15,20 %, kelas VIP

sebesar 15,14 %, kelas II sebesar 14,93 % dan kelas III sebesar 14,74 %. Berdasarkan hasil penelitian,

pada umumnya responden setuju apabila ada kenaikan tarif karena merasa bahwa tarif kelas perawatan

yang berlaku di RSUD dr. Rasidin Padang masih sangat rendah jika dibandingkan dengan rumah sakit

pemerintah lainnya, apalagi jika dibandingkan dengan rumah sakit swasta. Padahal pelayanan yang

diberikan sama dengan visite dokter spesialis untuk masing-masing kelas perawatan. Visite yang

dilakukan oleh dokter spesialis ini memberikan asumsi bahwa rumah sakit benar-benar memberikan

tanggapan yang serius dalam memberikan pelayanan kesehatan.

Dalam menetapkan tarif, lebih diarahkan pada kemampuan membayar karena kemampuan

membayar didasarkan pada pendapatan, dimana jika pendapatan meningkat maka kemampuan

membayar tentu juga meningkat. Berdasarkan penelitian, kemampuan membayar dalam satu bulan

untuk kelas VIP sebesar Rp. 876.000,-, kelas I sebesar Rp. 352.000,-, kelas II sebesar Rp. 265.740,-

dan kelas III sebesar Rp. 209.220,-. Kemampuan membayar yang diambil berdasarkan pengeluaran

non esensial karena pengeluaran seperti rokok, minuman alkohol, rekreasi, hiburan dan perayaan lebih

besar dari pengeluaran kesehatan. Penerimaan RSUD dr. Rasidin Padang pada tahun 2011 untuk

empat kelas perawatan rawat inap yaitu kelas VIP, kelas I, Kelas II dan kelas III, adalah sebagai

berikut:

Tabel 5. Selisih Tarif yang berlaku dengan ATP

Sumber: Hasil Pengolahan Data Sekunder

1 Kelas VIP 110,000 688,800 876,000 126,650 148,475 34.982 Kelas I 78,000 121,746 352,000 89,856 83,862 7.523 Kelas II 58,000 72,534 265,740 66,661 60,395 4.134 Kelas III 20,000 51,261 209,220 22,947 36,072 80.36

%Tarif

berdasarkan ATPKelas Perawatan

Tarif yang Berlaku

Biaya Satuan (Rp)

ATP (Rp.)WTP Normatif

(Rp.)No.

1 Kelas VIP 110,000 148,475 53 5,830,000 7,869,175 2,039,1752 Kelas I 78,000 83,862 970 75,660,000 81,346,140 5,686,1403 Kelas II 58,000 60,395 2,245 130,210,000 135,586,775 5,376,7754 Kelas III 20,000 36,072 11,293 225,860,000 407,361,096 181,501,096

437,560,000 632,163,186 194,603,186Jumlah

No. Kelas PerawatanTarif yang Berlaku

ATP (Rp.) OutputPenerimaan Tahun 2011

Penerimaan Yang Feasible

Selisih

12

Dengan kondisi sebagaimana tersebut di atas, apabila tarif untuk empat jenis pelayanan kelas

perawatan ruang rawat inap tersebut dinaikkan maka penerimaan rumah sakit dapat bertambah

menjadi sebesar Rp. 632.163.186,- bahkan lebih besar ditahun berikutnya karena jumlah output di

kelas VIP dihitung satu tahun tidak seperti sekarang yang hanya empat bulan. Dengan kata lain

berdasarkan hasil penelitian, apabila tarif disesuaikan dengan kemampuan membayar maka hasil

penerimaan rumah sakit yang feasible dapat bertambah sebesar Rp. 194.603.186,-. Meskipun

penambahannya sangat kecil tetapi anggaran ini dapat dialihkan untuk peningkatan sarana prasarana

yang bermanfaat untuk meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit.

Berdasarkan hasil regresi terlihat bahwa mutu pelayanan dokter dan ketersediaan obat

merupakan dua faktor yang mempengaruhi kemauan membayar pasien untuk semua kelas perawatan

ruang rawat inap. Hal tersebut sedikitnya menunjukkan bahwa kedua faktor tersebut bisa dijadikan

skala prioritas dalam peningkatan pelayanan kepada pasien, seperti pemeriksaan pasien di ruang rawat

inap tetap dilakukan oleh dokter spesialis meskipun untuk pasien yang ada di ruang rawat inap kelas

III. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghargaan rumah sakit kepada pasien yang dirawat inap bahwa

tidak ada perbedaan pasien mampu dan pasien kurang mampu di setiap kelas perawatan dari segi mutu

pelayanan dokter. Sedangkan untuk ketersediaan obat, sebelum melakukan pengadaan obat maka

pihak manajemen rumah sakit perlu mempertimbangkan dan berkoordinasi kepada komite medis

rumah sakit tentang obat apa saja yang dibutuhkan oleh para dokter dalam menunjang pelayanan

kesehatan, sehingga tidak terjadi lagi salah persepsi mengenai jenis, ukuran, indikasi yang terkandung

dalam obat-obatan dan lain sebagainya. Dengan begitu, obat yang sudah tersedia bisa dipergunakan

sebaik-baiknya tanpa harus menjadi barang persediaan tak terpakai di akhir tahun anggaran.

V. Kesimpulan Berdasarkan pengumpulan dan pengolahan data serta pembahasan yang telah dilakukan pada

bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Hasil pengolahan data primer berdasarkan kuesioner yang disebarkan adalah:

a. Dari karakteristik responden dihasilkan tingkat pendidikan responden rata-rata adalah Sekolah

Menengah Atas (SMA). Penghasilan rata-rata antara Rp. 2.000.000,- sampai dengan Rp.

3.500.000,- dengan jenis pekerjaan rata-rata adalah wiraswasta.

b. Dari karakteristik pelayanan kesehatan diketahui bahwa ketersediaan obat tersedia dengan

harga obat yang relatif murah. Disamping itu, mutu pelayanan dari dokter dalam melakukan

pemeriksaan pada setiap pasien yang dirawat inap setiap kelas perawatan baik.

c. Besarnya kemampuan membayar pasien apabila dihitung berdasarkan total pengeluaran non

esensial selama satu bulan adalah kelas VIP sebesar Rp.876.000,-, kelas I sebesar Rp.

352.220,-, kelas II sebesar Rp. 265.740,- dan kelas III sebesar Rp. 209.220,-. Kemampuan

membayar berdasarkan pengeluaran non esensial lebih potensial mendapatkan consumer

13

surplus karena pada umumnya lebih banyak membeli kebutuhan seperti rokok, alkohol, untuk

keperluan pesta, dibandingkan dengan mengalokasikan untuk kebutuhan kesehatan.

d. Kemauan membayar rata-rata pasien di masing-masing kelas perawatan lebih besar dari tarif

yang berlaku yaitu kelas VIP sebesar Rp. 126.650,-, kelas I sebesar Rp. 89.856,-, kelas II

sebesar Rp. 66.661,- dan kelas III sebesar Rp. 22.947,-.

2. Hasil pengolahan data sekunder berdasarkan dari laporan keuangan tahun anggaran 2011 adalah

besarnya biaya satuan per hari rawat masing-masing kelas perawatan pada instalasi rawat inap

RSUD dr. Rasidin Padang tahun 2011 berdasarkan perhitungan distribusi ganda sebagai berikut:

a. Berdasarkan rumus I (TC = FC + SVC + VC), biaya satuan kelas VIP sebesar RP. 1.200.186,-,

kelas I sebesar Rp. 222.961,-, kelas II sebesar Rp.134.482,- dan kelas III sebesar Rp. 84.780,-.

b. Berdasarkan rumus II (TC = SVC + VC), biaya satuan kelas VIP sebesar RP. 943.300,-, kelas

I sebesar Rp. 165.194,-, kelas II sebesar Rp. 98.053,- dan kelas III sebesar Rp. 63.625,-.

c. Berdasarkan rumus III (TC = VC), biaya satuan kelas VIP sebesar RP.688.800,-, kelas I

sebesar Rp. 121.746,-, kelas II sebesar Rp. 72.534,- dan kelas III sebesar Rp. 51.261,-.

Saran

1. Kemauan dan kemampuan membayar ternyata lebih tinggi dari tarif Perda yang berlaku di RSUD

dr. Rasidin Padang sekarang. Oleh karena itu, pihak rumah sakit dapat menyesuaikan tarif

pelayanan rawat inap berdasarkan kemampuan dan kemauan membayar pasien serta biaya satuan.

Dengan tarif baru diharapkan rumah sakit dapat memperoleh cukup penerimaan dari kelas

perawatan rawat inap sehingga rumah sakit dapat meningkatkan kualitas pelayanannya.

2. Perhitungan biaya satuan, kemampuan dan kemauan membayar pasien untuk penetapan tarif

seyogyanya dilakukan secara reguler sesuai dengan fluktuasi inflasi biaya kesehatan.

VI. Ucapan Terimakasih Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan

hidayahNYA sehingga penulis bisa menyelesaikan jurnal ini, kepada ketua Program Magister

Ekonomi Terapan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran beserta staff. Dosen

pembimbing, para penguji dan dosen-dosen pengajar yang telah membantu penulis untuk membuka

wawasan khususnya bidang ekonomi selama mengikuti perkuliahan di universitas ini. Pimpinan

Pusbindiklatren Bappenas beserta staf, Direktur serta seluruh staf RSUD dr. Rasidin Padang, rekan-

rekan karyasiswa Bappenas TA 2011/2012. Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua

orang tua penulis, suami tercinta dan anakku yang telah memberikan dukungan, perhatian, pengertian

serta hiburan sehingga penulis bisa menyelesaikan studi ini dengan lancar. Penulis menyadari bahwa

masih banyak kekurangan baik materi maupun redaksi dalam penulisan tesis ini, sehingga masukan

dan saran sangat diharapkan.

14

VII. Referensi

Achmad Faiz HP. 2006. Studi Kemampuan-Kemauan Membayar Konsumen Jasa Angkutan Umum

Bus Damri-Ekonomi di Kota Surabaya. Jurnal Aplikasi: Media Informasi dan Komunikasi

Aplikasi Teknik Sipil Terkini, volume 1, Nomor 1, Agustus 2006.

Agus Suryana. 2006. Aplikasi Simulasi Biaya Operasional Rumah Sakit Umum Daerah di Propinsi

Lampung dengan Metode Double Distribution Dalam Upaya Membantu Menyiapkan Pola Tarif

Pelayanan Rumah Sakit Swadana yang Terjangkau oleh Masyarakat. Seminar Nasional

Aplikasi Teknologi Informasi 2006 (SNATI 2006), Yogyakarta, 17 Juni 2006, ISSN: 1907-

5022.

Aizuddin AN, Hod R, Rizal AM, Yon R, Al Junid SM. 2011. Ability and Willingness to pay for Health

Care and Contribute to National Healthcare Financing Scheme Among Farmers in Selangor.

Journal of Community Health 2011: Volume 17, Number 1.

Alimin Maidin, dan Munasser. 2002. Analysis of ATP and WTP of the Community who Participated in

SSN and Non SSN Program at District of Jeneponto South Sulawesi, 2001. Presented at Asia

Pasific Health Insurance Conference, Horison Hotel, Taman Impian Ancol, Jakarta, 22-26 of

May, 2002.

Amelia Hayati. 2008. Karakteristik Biaya Kesehatan Perempuan dan Pengaruh Peran Pemerintah

Terhadap Biaya Kesehatan Keluarga (Studi Kasus: Kota Bandung). Tesis FE-Unpad. Bandung.

Guritno Mangkoesoebroto. 1998. Ekonomi Publik. Edisi 3. BPFE, Yogyakarta.

Hadi Yudariansyah, Supriharyono, Nasrullah. 2006. Analisis Keterjangkauan Daya Beli Masyarakat

Terhadap Tarif Air Bersih (PDAM) Kota Malang (Studi Kasus Perumahan Sawojajar). Pilar

volume 15, Nomor 2, September 2006: halaman 78-85.

Johar Arifin & Heru Adi Prasetya. 2006. Manajemen Rumah Sakit Modern Berbasis Komputer. PT

Elex Media Komputindo, Jakarta.

Kemenkes RI. 2003. Kebijakan dan Strategi Desentralisasi Bidang Kesehatan. Jakarta.

Kuntjoro Mudrajad. 2003. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. Edisi Ketiga. UPP

AMP YKPN, Yogyakarta.

Laksono Trisnantoro. 2006. Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi dalam Manajemen Rumah Sakit.

Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Munawar, Siradjuddin Beku, Alimin Maidin. 2003. Rasionalisasi Tarif Rawat Inap Rumah Sakit

melalui Analisis Biaya Satuan, Kemampuan dan Kemauan Pasien Membayar (Studi Kasus di

Rumah sakit Umum Kabupaten Majene). Jurnal Administrasi Kebijakan Kesehatan, Volume 01

Nomor 02, Mei 2003:84-92.

Nicholson Walter. 2002. Microeconomic and Intermediate and Aplication. Edisi 8. Erlangga, Jakarta.

Pindyck Robert S, Daniel L. 2007. Mikroeconomic. Edisi 6, Jilid 1. Indeks, Jakarta.

Santerre, Rexford A dan Neun, Stephen P. 2000. Health Economics: Theories, Insights, and Industry

Studies. Revised edition. The Dryden Press, Harcourt Brace College Publishers. USA.

15

Suharsimi Arikunto. 2005. Manajemen Penelitian. Edisi revisi. PT Asdi Mahasatya, Jakarta.

Thabrany. 2002. Peran Publik dalam Pembiayaan Kesehatan. Majalah Kedokteran Indonesia, volume

52, nomor 1, hlm 1-6.

YI.Wicaksono, Bambang Riyanto, Dianita Ratna Kusumastuti. 2006. Analisis Kemampuan Membayar

Tarif Angkutan Kota (Studi Kasus Pengguna Jasa Angkutan Kota pada Empat Kecamatan di

Kota Semarang). Pilar volume 15, Nomor 1, April 2006:halaman 31-35.

Wiku Adisasmita. 2008. Rancangan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan

Kesehatan. FKM UI: Jakarta.