JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs...

114
TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012 ISSN : 2252-911X Asdep Budaya Dan EƟka Iptek DepuƟ Bidang Kelembagaan Iptek

Transcript of JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs...

Page 1: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIAVol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X

Asdep Budaya Dan E ka IptekDepu Bidang Kelembagaan Iptek

Page 2: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta
Page 3: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

iii

TEKNOVASI INDONESIAVol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252 – 911X

PembinaMenteri Riset dan Teknologi

PengarahDepu Bidang Kelembagaan Iptek

Reviewer/Editor :Benyamin Lakitan (Ristek)Carunia M. Firdausy (LIPI)Gus Nurpansyah (Ristek)

Husni Y. Rosadi (BPPT)Si Herlinda (DRN)

Syaikhu Usman (SMERU)Wahyudi Sutopo (UNS)

Pimpinan RedaksiVemmie Diana Koswara

Staff RedaksiYety Suye , Suyatno, Ta H. Manurung,

Rosmaniar Dini, Octa Nugroho

Sekretariat Sigit Se awan & Tiara Elgifi enda

PenerbitAsdep Budaya dan E ka Iptek

Depu Kelembagaan IptekKementerian Riset dan Teknologi

Alamat Redaksi :Asdep Budaya Dan E ka Iptek

Gedung II BPPT Lt.8JL. M.H Thamrin 8 Jakarta Pusat 10340

Telp: 021-3169286, 021-3169276Fax : 021–3102014

Page 4: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

iv

SALAM REDAKSI

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas di terbitkannya Buku Teknovasi Indonesia Volume I Nomor 2, November 2012 ini

Dalam terbitan edisi kali ini terdapat 5 ar kel ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), antara lain adalah: Tradisi Ilmiah dan Pembangunan Budaya Iptek dari Perspek f Islam, Epistemologi “Membaca” dalam Pengembangan Iptek, Memahami Fenomena Sosial SDM Iptek di Perguruan Tinggi, Technology Foresight dan Analisis Impelementasinya di Indonesia, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Sebagai Lokomo f Pertumbuhan Ekonomi.

Kebijakan Pembangunan SINas sebaiknya di njau dari berbagai aspek, dak hanya meninjau dari sisi teknologi semata, tetapi perlu juga untuk meninjau perspek f kebijakan SINas dari sisi non-teknologinya, terutama njauan dari sisi ilmu sosial, budaya dan kemasyarakatan sehingga SINas diharapkan dapat dibangun secara utuh dengan menyentuh persoalan masyarakat secara menyeluruh sehingga pembangunan SINas akan berjalan secara efek f dan produk f.

Teknovasi Indonesia edisi kali ini mencoba untuk menguraikan dan memperjelas permasalahan diatas, dari berbagai pandangan para penulisnya. Atas terbitnya edisi buku ini, kami menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan se nggi- ngginya kepada semua anggota m baik penulis dan penyusun yang telah mencurahkan segala perha an. Masukan dan saran akan bermanfaat bagi kami untuk penyempurnaan pada edisi selanjutnya.

Jakarta, November 2012

Redaksi

Page 5: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

v

DAFTAR ISI

Salam Redaksi ............................................................................................................... ivDa ar Isi………………………………………………………. ............................................................. v

Tradisi Ilmiah dan Pembangunan Budaya Iptek dari Perspek f Islam Dudi Hidayat ................................................................................................................. 145

Epistemologi “Membaca” Dalam Pengembangan Iptek Masyhuri....................................................................................................................... 159

Memahami Fenomena Sosial SDM Iptek di Perguruan TinggiCarunia M. Firdausy, Andika Fajar, Sonny Yuliar, Suhetris, Mochamad Panji Pujasak ............................................................................................ 177

Technology Foresight dan Analisis Implementasinya di Indonesia Dedy Saputra ................................................................................................................. 211

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai Lokomo f Pertumbuhan Ekonomi Anwar Darwadi ............................................................................................................ 233

Pedoman Penulisan Ar kel Teknovasi Indonesia ....................................................... 249

Page 6: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta
Page 7: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 145

Tradisi Ilmiah dan Pembangunan Budaya Iptek dari Perspek f Islam

Dudi Hidayat

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta

Abstract

Science and technology will not develop in a society which is not ready to accept new ideas and not willing to change currently adopted principles and knowledge, even though there are new scien fi c fi ndings proving that the current knowledge is untrue. Science and technology will only be established and will develop in empirically cri cal socie es. Science educa on at early ages is necessary for establishing scien fi c culture. There are fi ve scien fi c characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, neutrality, organized skep cism, and honesty. Development of sciences strongly depends on cultural values within the society. Therefore, establishing culturally scien fi c socie es should be done by strengthening appropriate values of the socie es, i.e. cri cal, honest, and fair. These eff orts should be commenced at early ages.

Abstrak

Ilmu pengetahuan dan teknologi dak mungkin berkembang dalam suatu masyarakat yang dak siap menerima hal-hal baru dan bersedia merubah prinsip dan pengetahuan yang selama

ini diakui kebenarannya, jika kemudian terdapat fakta ilmiah yang membuk kan kesalahan pengetahuan tersebut. Ilmu pengetahuan dan teknologi hanya akan lahir dan berkembang di tengah masyarakat yang bersikap kri s empiris. Pendidikan ilmu pengetahuan sejak dini merupakan upaya untuk menanamkan budaya ilmiah pada anak didik. Ada lima sikap ilmiah yang perlu ditanamkan sejak dini, yakni komunalisme, universalisme, ke dakberpihakan, skep sme terorganisir dan kejujuran. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat ditentukan oleh nilai budaya yang terdapat dalam suatu masyarakat, karenanya membangun masyarakat berbudaya iptek adalah dengan membangun sikap kri s, jujur dan adil melalui pendidikan di masyarakat sejak usia dini.

Kata kunci: masyarakat, budaya, jujur, kri s, empiris, pendidikan, usia dini.

Page 8: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

146 ISSN : 2252-911X

1. Pendahuluan

Dewasa ini, produk ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) telah menjadi bagian yang dak terpisahkan dari kehidupan masyarakat modern. Hampir di se ap rumah ditemukan beragam produk iptek, seper televisi, video player, play sta on, kulkas, microwave oven, pendingin udara, komputer. Demikian pula, ruang-ruang di gedung perkantoran dipenuhi dengan berbagai produk iptek yang membantu pekerja kantor untuk melaksanakan tugasnya. Bahkan produk iptek yang melekat bergerak bersama dengan pemiliknya, seper telepon genggam, telah menjadi pemandangan biasa. Sementara itu, tayangan televisi senan asa mempertontonkan hasil olahan iptek dan iklan produk iptek yang dapat membuat hidup manusia lebih mudah dan nyaman.

Sedemikian meluas dan dalamnya keberadaan produk iptek dalam kehidupan masyarakat, membuat kita pada suatu pemahaman bahwa sebagian besar masyarakat kita sudah akrab dengan iptek. Kita seakan-akan dapat berasumsi dengan aman, bahwa masyarakat kita sudah terbiasa dan sangat terampil menggunakan komputer dalam berbagai kepen ngan. Kita terkagum-kagum melihat anak-anak yang masih sangat muda menyimak secara serius layar monitor, serta cekatan menggerakan mouse dan keyboard.

Apakah masyarakat yang akrab dengan, dan terampil menggunakan produk iptek dapat disebut dengan masyarakat berbudaya iptek? Apakah yang dimaksud dengan masyarakat berbudaya iptek? dan bagaimana membangun masyarakat berbudaya iptek yang dimaksud? terutama pada masyarakat

yang mayoritas penduduknya muslim sebagaimana masyarakat Indonesia.

Makalah ini dimulai dengan uraian mengenai penger an iptek dan produk iptek. Dalam bagian ini ditekankan bahwa penger an ilmu pengetahuan dak hanya mencakup ilmu yang telah diperoleh, tetapi juga mencakup sikap dan metode tertentu, yang sering disebut sikap ilmiah. Kemudian, pembahasan dilanjutkan dengan pemahaman terhadap penger an masyarakat berbudaya iptek itu sendiri. Pada bagian berikutnya, akan dibahas keterkaitan antara pengembangan iptek dengan nilai budaya dalam masyarakat, serta menguraikan masyarakat seper apa yang dapat mengembangkan iptek. Selanjutnya, makalah ini juga menganalisis nilai-nilai Islam yang sangat mendukung sikap ilmiah, dan bagaimana cara membangun masyarakat berbudaya iptek, dengan bertolak dari nilai-nilai dasar Islam.

2. Penger an dan Produk Iptek

Ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai terjemahan dari science and technology seolah telah menjadi satu kata yang padu yang dak dapat dipisahkan. Padahal dalam banyak hal keduanya adalah berbeda. Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan tentang struktur dan perilaku alam, dan juga struktur dan perilaku masyarakat, yang dengannya manusia dapat menjelaskan dan memahami fenomena kebendaan dan sosial tersebut. Sementara teknologi adalah penerapan pengetahuan tersebut dalam penciptaan ar fak atau sistem yang dapat mempermudah manusia mencapai berbagai tujuan prak s yang ingin dicapainya. Sebagai contoh, dengan ilmu pengetahuan tentang struktur dasar materi

Page 9: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 147

dan perilaku elektromagni s, manusia telah berhasil membuat berbagai ar fak dan sistem yang dapat membantunya dalam berkomunikasi jarak jauh, menggerakkan dan mengontrol gerak benda dari jauh.

Meskipun merupakan dua hal yang berbeda, ilmu pengetahuan dan teknologi secara bersama digunakan untuk menghasilkan berbagai produk iptek yang membantu mempermudah dan meningkatkan produk vitas dan ak vitas manusia. Semua produk iptek merupakan ujung dari rangkaian proses yang berpangkal pada pengembangan iptek. Televisi dak mungkin mencapai bentuknya seper sekarang jika pengetahuan manusia tentang material semikonduktor dak mampu mengungkap perilaku elektron di dalamnya. Pengetahuan tentang rangkaian elektronika dan material semikonduktor telah dibuatnya televisi yang semakin canggih dengan berbagai fi tur yang sebelumnya dak terbayangkan.

Demikian pula komputer, komputer dak mungkin dapat dibuat apabila iptek tentang elektronika digital dak berkembang. Perangkat lunak di dalamnya dak akan berkembang pesat seper sekarang ini, jika ilmu pengetahuan tentang rekayasa perangkat lunak dak berkembang. Singkatnya, semua produk teknologi yang hadir di tengah-tengah masyarakat modern merupakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan, meskipun ilmu pengetahuan itu sendiri telah tersembunyi tertanam secara manunggal dalam ar fak yang disebut produk iptek.

Tersembunyinya ilmu pengetahuan dalam ar fak atau produk iptek ini membuat pengoperasian produk iptek dak

menuntut pemahaman tentang ilmu pengetahuan yang terdapat di dalam produk tersebut. Untuk mengoperasikan komputer, kita dak perlu mengetahui ilmu elektronika digital atau rekayasa perangkat lunak. Untuk mengoperasi kan televisi kita dak perlu memahami ilmu pengetahuan tentang rangkaian elektronika.

Dengan demikian, seseorang yang terampil mengoperasikan berbagai bentuk produk iptek dak otoma s berar orang tersebut memiliki pemahaman tentang ilmu pengetahuan yang terkandung dalam produk teknologi yang dimaksud. Kesimpulan ini sangat mudah dipahami, meskipun sering terlupakan.

Fakta bahwa masyarakat Indonesia dak pernah nggal dalam hal penggunaan atau pengoperasian berbagai produk teknologi di berbagai bidang kehidupan dak otoma s berar bahwa bangsa ini

memiliki penguasaan tentang beragam ilmu pengetahuan yang terkandung dalam produk teknologi. Hal inilah yang menjelaskan kenapa kita dewasa ini sangat ter nggal dalam perlombaan mem-produksi komputer dibandingkan dengan negara Malaysia atau Singapura misalnya. Padahal di awal tahun 60an bangsa kita termasuk yang pertama kali menggunakan komputer generasi pertama yang meng-gunakan punch card dan pada waktu itu orang-orang dari Singapura, Malaysia dan Philipina harus datang ke Jakarta untuk belajar menggunakan komputer generasi pertama ini.

Demikian pula, bangsa kita termasuk dalam deretan bangsa yang telah menggunakan teknologi satelit semenjak

Page 10: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

148 ISSN : 2252-911X

awal perkembangan teknologi satelit. Tapi saat ini kita jauh ter nggal dalam hal kemampuan membuat satelit dibanding dengan negara-negara lain yang dak termasuk dalam deretan negara pertama pengguna teknologi satelit.

Keadaan ini disebabkan oleh karena kita hanya terampil dalam menggunakan produk iptek yang kita impor dari luar negeri. Sementara itu, penguasaan ilmu pengetahuan belum banyak mendapatkan perha an kita. Sekian lamanya kita dak cukup memberikan perha an dan

melakukan upaya-upaya penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Padahal apabila kita mendefi nisikan ilmu pengetahuan secara lebih lengkap, ilmu pengetahuan atau sains dak hanya mencakup sekumpulan pengetahuan yang telah diperoleh, namun juga mencakup metode dan sikap (a tude), sebagaimana didefi nisikan di dalam The Columbia Encyclopedia (2004).

-- The term science refers to the organized body of knowledge concerning the physical world, both animate and in animate, but a proper defi ni on would also have to include the a tudes and methods through which this body of knowledge is formed.

Secara dak sadar, meskipun kita sudah cukup akrab dengan ilmu pengetahuan namun sebagian besar dari kita belum mampu menjelaskan fenomena kehandalan sebuah produk teknologi dengan ilmu pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Sebagian besar dari kita dalam hal ini belum bersikap ilmiah. Sikap ini tergambar misalnya pada sebuah iklan televisi sebuah produk kendaraan bermotor roda dua. Dalam iklan tersebut,

digambarkan seorang siswa SMA tengah duduk di atas sebuah sepeda motor dan memaparkan kehandalan dari motor tersebut. Di akhir paparannya, siswa SMA tersebut mengatakan lebih kurang: “Hebat sekali motor ini. Saya juga dak tahu mengapa, ada magic-nya kali didalamnya”. Sangat mengherankan seorang siswa SMA yang sudah belajar dasar-dasar teori mekanik dan termodinamik menjelaskan kehandalan motornya dengan magic, sesuatu yang bersifat metafi sik.

3. Masyarakat Berbudaya Iptek atau Berbudaya Ilmiah

Uraian terdahulu memberikan gambaran bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang sudah sangat akrab dan terampil menggunakan produk iptek, bahkan produk iptek yang terkini sekalipun. Apakah kemudian kita dapat mengatakan bahwa masyarakat kita telah memiliki budaya iptek? Apakah yang dimaksud dengan masyarakat berbudaya iptek? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat lebih dalam lagi kepada jenis ak vitas yang dapat menghasilkan iptek.

Ak vitas yang menghasilkan ilmu pengetahuan berbeda dengan ak vitas yang menghasilkan teknologi, ilmu pengetahuan diperoleh melalui kegiatan riset dasar atau terapan, sementara teknologi lebih sering dikembangkan melalui kegiatan pengembangan eksprimental (eksprimental development). Namun kedua jenis ini memiliki ciri yang sama. Keduanya merupakan kegiatan inves gasi yang sis ma k dengan senan asa berpegang pada prinsip empirik logis, atau sering disebut dengan prinsip ilmiah.

Page 11: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 149

Menurut defi nisi OECD (2002), riset adalah kegiatan sistema s untuk menghasilakan pengetahuan tentang the underlying founda ons of phenomena; pengetahuan yang dapat menjelaskan fenomena yang terama . Disebut riset dasar apabila riset tersebut dak memiliki tujuan penerapan yang jelas dan langsung. Sementara itu pengembangan eksprimental (exprimental development) adalah penggunaan pengetahuan yang sudah ada dalam ak vitas pengembangan sistem atau produk baru. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dan teknologi dak dapat dipisahkan dari kegiatan riset dan pengembangan eksprimental yang senan asa berpegang pada prinsip empirik logik.

Karakteris k yang disebut terakhir ini terkait erat dengan budaya, khususnya budaya kogni f dari suatu masyarakat. Yang dimaksud dengan budaya kogni f adalah proses mental yang terjadi dalam upaya mengetahui atau mencari kebenaran. Barnes (2000) menganalisa sejarah perkembangan kebudayaan manusia dan menyimpulkan bahwa dilihat dari perkembangan budaya kogni fnya, sejarah kebudayaan dapat dikelompokkan dalam empat tahapan priodisasi: kebudayaan primi f (primi ve), kuno (archaic), klasik (classical) dan kri s empiris (empirical-cri cal).

Se ap periode kebudayaan memiliki gaya kogni f yang berbeda. Pada periode primi f, orang lebih bersandar pada takhayul (supers on) untuk menjelaskan fenomena alam. Pada periode ini, budaya dan tradisi ditransfer secara oral, belum ada budaya baca tulis. Meskipun pada masa berikutnya, yaitu masa kuno, huruf

sebagai simbol bahasa telah ditemukan, namun gaya kogni f manusia masih tetap sama dengan masa primi f, yakni bersandar pada dan hal-hal yang yang bersifat magis.

Baru pada masa klasik, yang dimulai sejak kira-kira 2500 tahun yang lalu,1 kemampuan baca tulis telah cukup berkembang dan memberikan pengaruh pada gaya kogni f masyarakat. Pada masa ini, gaya kogni f mulai beralih dari yang tadinya banyak bersandar pada tradisi dan nalar wajar (common sense) beralih ke gaya yang banyak mengandalkan penjelasan atau teori yang sistema s logis. Peralihan ini merupakan sesuatu yang sangat revolusioner dan menyebabkan perkembangan ilmu yang cukup pesat. Barnes (2000) menulis:

But it was in the great classical cultures that the search for an ul mate, logically coherent structure behind the everyday universe fi rst became a publicly shared and encouraged mode of thought, handed on by explicit and o en formalized training, among at least a few people

Periode keempat yang sampai saat ini masih terus berkembang adalah periode kri s empiris yang telah dimulai sejak beberapa abad yang lalu. Di samping prinsip sistema s logis, gaya kogni f pada periode ini juga memiliki prinsip pengujian empirik secara publik dan terus menerus. Ins tusionalisasi ilmu pengetahuan terjadi

1 Meskipun Barnes dak secara eksplisit memba-has budaya Islam yang telah mencapai keema-san dalam beberapa abad semenjak abad ke-11 masehi, namun dia mengakui peran ilmu peng-etahun yang dikembangkan oleh ilmuwan mus-lim sebagai tempat berpijak bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Barat.

Page 12: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

150 ISSN : 2252-911X

pada periode ini. Ilmu pengetahuan, atau sains, telah menjadi kegiatan terorganisir yang dilakukan oleh ilmuwan di berbagai tempat di dunia. Mereka membentuk berbagai organisasi keilmuan seper Royal Society of London di mana para ilmuwan bisa saling mengkomunikasikan dan menguji temuan-temuan ilmiah mereka dengan ilmuwan lain dari berbagai negara. Dengan cukup lugas, Barnes (2000) mengemukakan hal ini:

A defi ning aspect of empirical-cri cal thought has been the convic on that neither commonsense observa on and tradi on nor logical explanatory theorizing is en rely reliable, that we must con nuously engage in a public empirical tes ng of even our own favorite truth-claims, even at the expense of our own biases and special interests in making those claims

Prinsip pen ng lainnya adalah bahwa ilmu pengetahuan yang dihasilkan melalui inves gasi sistema s logis daklah bersifat akhir atau fi nal. Harus selalu ada ruang disediakan untuk sebuah keraguan. Kasus rumusan Newton, seorang ilmuwan besar di bidang mekanika, merupakan kasus yang relevan dikemukakan. Pengetahuan tentang mekanika klasik Newton, yang selama lebih dari 200 tahun dianggap sebagai pengetahuan akhir tentang hukum gerak di alam semesta, ternyata kemudian harus diakui bahwa mekanika Newton dak berlaku bagi par kel atom dan par kel kecil lainnya. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa “Science, ironically, knows more by doub ng more”. Sains atau ilmu pengetahuan mengetahui lebih banyak hal dengan senan asa

meragukan banyak hal.

Beranjak dari uraian di atas tentang sejarah budaya kogni f, maka tampaknya, masyarakat berbudaya iptek lebih tepat untuk diar kan sebagai masyarakat yang memiliki karakteris k yang memungkinkan masyarakat tersebut untuk memproduksi ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat berbudaya iptek bukan masyarakat yang akrab dengan, dan terampil menggunakan produk iptek.

Karakteris k utama dari sebuah masyarakat berbudaya iptek adalah memiliki budaya kogni f yang sistema s, logis dan kri s empiris, yang lazim disebut budaya ilmiah. Oleh karena itu, konsep masyarakat berbudaya iptek sebagaimana konsep masyarakat berbudaya ilmiah. Iptek dalam hal ini merupakan buah dari sikap dan perilaku ilmiah.

4. Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Dan Budaya

Uraian terdahulu menunjukkan adanya keterkaitan yang kuat antara iptek dan budaya. Bahkan para peneli di bidang sosiologi iptek sudah berkesimpulan bahwa proses penciptaan iptek merupakan proses sosial. Seorang ilmu wan, ke ka melakukan riset sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh lingkungan sosial di mana dia berada. Ilmuwan seper Galileo yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang masih sangat tunduk pada kekuasaan gereja, dak dapat mengembang kan konsep keilmuan yang diyakininya sebagai konsep yang benar. Pada waktu itu, penguasa gereja memiliki keyakinan bahwa bumi merupakan pusat dari alam semesta; suatu posisi yang membuat manusia

Page 13: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 151

Tingkatketersediaan

informasiteknologi

Pola keputusan politikdan ekonomi dalam

pengalokasiansumber daya

Tingkat ketersediaansumber daya ekonomi

dalam masyarakat

Tingkat alokasisumber dayauntuk IPTEK

Tingkatkemampuan

sumber dayaIPTEK

Tingkatketersediaaninformasi IP

Tingkatproduktivitas

industri

Laju

akt

ivita

spe

ngem

bang

ante

knol

ogi

Laj

upe

mfu

ngsi

anIn

fo-T

ek d

alam

indu

stri

Tingkat kecenderungantentang keinginan

untuk memahami danmenciptakan sistem

TATA NILAIBUDAYA

Informasi budaya darimasyarakat lain

Fenomenayang belum

dipahami

Tingkatproduktivitassebelumnya

Tingkatketersediaan

Info-Teksebelumnya

Info IPTEK darimasyarakat lain

Lajuaktivitas

penelitian

Tingkatpendapatan

++

++

+

+ +

+

+

+

+

+

+

+

+

+ +

+

merupakan makhluk terhormat di alam semesta ini. Ke ka Galileo mengemukakan bahwa bumi berputar mengitari matahari, pihak gereja memutuskan vonis hukuman ma bagi Galileo. Galileo pun dak dapat mengembangkan riset lebih jauh mengenai proposisinya.

Demikianlah, ilmu pengetahuan dan teknologi dak mungkin berkembang dalam suatu masyarakat yang dak siap menerima hal-hal baru dan bersedia merubah prinsip dan pengetahuan yang selama ini diakui kebenarannya jika

kemudian terdapat buk ilmiah yang membuk kan kesalahan pengetahuan tersebut. Dalam is lah Barnes (2000), ilmu pengetahuan dan teknologi hanya mungkin lahir dan berkembang di tengah masyarakat yang bersikap kri s empiris.

Berkenaan dengan keterkaitan antara iptek dan budaya, Sasmojo (2004) mengemukakan suatu model yang menunjukkan saling keterkaitan antara ilmu pengetahuan, teknologi, budaya dan bahkan sistem produksi/industri dalam suatu masyarakat (Gambar 1).

Gambar 1. Model keterkaitan antara ilmu pengetahuan, teknologi, budaya dan sistem produksi/industri dalam suatu masyarakat (Sasmojo, 2004 )

Page 14: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

152 ISSN : 2252-911X

Gambar 1 menunjukkan adanya ga ak vitas yang meningkatkan ketersediaan informasi ilmu pengetahuan, informasi teknologi dan ngkat produk vitas industri. Ke ga ak vitas tersebut secara berurutan adalah ak vitas peneli an, ak vitas pengembangan teknologi dan ak vitas pemungsian info-teknologi dalam industri. Ke ga ak vitas ini dipengaruhi secara posi f oleh tata nilai budaya, yang dalam hal ini lebih spesifi k disebutkan sebagai ngkat keinginan untuk memahami dan menciptakan sistem. Semakin besar ngkat keinginan untuk memahami dan

menciptakan sistem, maka semakin besar pula laju ak vitas peneli an, pengembangan teknologi dan pemfungsian teknologi dalam industri. Di samping itu, Gambar 1 menunjukkan bahwa ke ga ak vitas juga dipengaruhi secara posi f oleh ngkat alokasi sumber daya untuk iptek dan ngkat kemampuan sumber daya iptek, terutama kemampuan sumber daya manusianya.

Kalau kita kaitkan dengan budaya kogni fnya Barnes (2000), maka kegiatan peneli an, pengembangan teknologi dan pemungsian teknologi dalam industri sangat ditentukan oleh budaya kogni f masyarakat. Pada masyarakat primi f dan kuno, di mana penjelasan fenomena selalu dikaitkan dengan tradisi mis s, kegiatan peneli an dan pengembangan teknologi dak akan terjadi. Pada masyarakat ini,

se ap upaya penjelasan fenomena cukup dikaitkan dengan mis s atau khurafat. Kegiatan peneli an dan pengembangan teknologi akan tumbuh subur di dalam masyarakat yang budaya kogni fnya telah mencapai ngkat empiris logik.

5. Sikap Ilmiah dan Islam

Kamali (2003) mengemukakan rangkaian analisis yang menunjukkan bahwa al-Qur’an sangat menekankan pen ngnya ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, dan sesungguhnya al-Qur’an menganjurkan umat Islam untuk bersikap kri s, logis dan empiris. Kamali (2003) mengklaim bahwa epistemologi ilmu yang terdapat dalam al Qur’an berlaku dak hanya bagi ilmu tradisional, tetapi juga bagi ilmu pengetahuan modern.

Dalam rangkaian ayat al-Qur’an, surat al Baqarah (QS.2) ayat 30-34, ke ka Allah swt hendak menciptakan manusia pertama, Adam, untuk menjadi khalifah di muka bumi, Allah swt menunjukkan kepada malaikat bahwa Adam memiliki suatu kemampuan yang dak dimiliki oleh malaikat dan makhluk lainnya, yang kemudian menjadikan Adam pantas untuk menjadi khalifah di muka bumi. Kemampuan itu adalah kemampuan Adam dalam mengiden fi kasi dan memberi nama segala sesuatu yang ada di alam semesta. Saat ini, kita mengetahui bahwa kemampuan mengiden fi kasi dan memberi nama merupakan dasar dari kemampuan manusia dalam mengembangkan ilmu. Sulit untuk membayang kan bahwa ilmu dapat berkembang tanpa kemampuan iden fi kasi.

Rangkaian ayat ini mengisyaratkan bahwa untuk dapat menjalankan perannya dengan baik sebagai khalifah di muka bumi, manusia sangat membutuhkan ilmu. Khalifah berar wakil Allah swt di muka bumi, dan karenanya, khalifah mengemban tanggung jawab untuk memelihara dan

Page 15: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 153

mengelola segala yang ada di bumi dan memakmurkan kehidupan di bumi. Hal ini dak dapat dilakukan jika manusia dak melengkapi dirinya dengan ilmu

pengetahuan tentang bumi dan segala gejala fi sik yang terjadi di bumi. Hanya dengan memahami fenomena fi sik di bumi sajalah, manusia mampu memanfaatkan segala potensi bumi untuk memakmurkan bumi dan kehidupan manusia.

Secara lebih spesifi k, Allah swt menekankan pen ngnya ilmu dengan memberikan penghargaan kepada orang-orang berilmu berupa ke nggian derajat di sisi Allah swt. Dalam al-Qur’an, surat al-Mujādilah (58) ayat 11 Allah swt berfi rman bahwa Dia akan mengangkat derajat orang beriman dan orang berilmu beberapa derajat. Menurut keterangan hadis, satu dari ga hal yang pahalanya akan terus mengalir meskipun pemiliknya sudah meninggal adalah ilmu yang bermanfaat; dua hal lainnya adalah amal jariyah dan anak shaleh yang senan asa mendo’akan orang tuanya. Demikian pula, Allah swt menyebutkan bahwa yang benar-benar takut kepada Allah swt hanyalah orang-orang yang berilmu (QS. Fāthir/35: 28).

Al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk senan asa bersifat kri s. Secara eksplisit, dalam al-Qur’an, Surat al-Isrā, (17) ayat 36 Allah swt memerintahkan kita untuk ‘ dak mengiku sesuatu yang kita dak memiliki ilmu tentangnya’. Demikian

pula, sifat kri slah yang membuat Nabi Ibrahim a.s. menemukan kebenaran tentang hakekat tuhan yang sebenarnya. Pikiran kri s Nabi Ibrahim a.s. dak bisa menerima dogma waktu itu yang mengharuskan manusia untuk menyembah

patung. Bagaimana mungkin manusia harus tunduk pada sesuatu yang dak memiliki daya sedikitpun, dak dapat memberikan manfaat maupun madharat pada manusia? Sifat kri s Nabi Ibrahim a.s. diabadikan dalam al-Qur’an, surat al Baqarah (2) ayat 258 dan surat al-An’ām (6) ayat 74-83.

Di samping itu, al-Qur’an sering kali menantang manusia untuk melakukan observasi terhadap segala fenomena alam, merenungkannya dan menganalisanya untuk sampai pada pemahaman sebenarnya. Dan hakekat keimanan yang sebenarnya adalah keimanan yang dimiliki oleh mereka yang senan asa merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah swt yang terdapat di langit dan di bumi dan sampai pada kesimpulan bahwa semua yang ada di langit dan di bumi telah diciptakan oleh Allah swt secara haq (QS. Ali Imron/3: 190-193).

6. Belajar dari sejarah ilmu pengetahuan Islam abad pertengahan: Penyebab kemunduran ilmu pengetahuan dunia Islam di abad pertengahan

Sejarah telah membuk kan bahwa pada saat dunia barat mengalami abad kegelapan, ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat di dunia Islam sejak abad ke-8 Masehi sampai dengan akhir abad ke-14 Masehi (Saliba, 2007; Masood, 2009). Ilmuwan muslim Persia yang bernama Ibnu-Sina, pada abad ke 10 banyak memberikan kontribusi pengetahuan dalam bidang ilmu alam dan fi lsafat. Bukunya yang berjudul The Canon of Medicine menjadi buku ajar wajib bagi para calon dokter di Perancis dan Itali sejak abad ke-12 sampai dengan abad ke-16.

Page 16: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

154 ISSN : 2252-911X

Kemudian ada seorang ilmuwan fi sika muslim yang bernama Hassan ibn al-Haitam, pada abad ke-11 berhasil memodernisasi pemahaman Aristoteles tentang teori op ka dan cahaya, serta mengembangkan alat pengambilan gambar yang pertama kali; Al-Haitam juga melakukan peneli an tentang pergerakan planet.

Para ilmuwan dan matema kawan muslim yang bekerja di observatorium Maragha di bagian barat Iran, khususnya Ibn al-Sha r (1375 M), memformulasikan sistem peredaran planet yang menempatkan matahari sebagai pusat peredaran (Heliocentric). Konsep ini berbeda dengan sistem peredaran planet yang diyakini pada waktu itu, yaitu sistem Ptolemieus yang menempatkan bumi sebagai pusat peredaran (Geocentric). Secara matema k sistem peredaran planet yang mereka kembangkan iden k dengan yang dikembangkan oleh Copernicus, 150 tahun setelah Ibn al-Sha r. Proposisi Copernicus kemudian mendorong pergerakan pemba-haruan ilmu di dunia barat dan menandai awal mula perkembangan ilmu pengetahuan modern di barat. Fakta bahwa Ibn al-Sha r telah lebih dahulu mengembangkan gagasan peredaran planet yang bersifat heliocentric, menimbulkan dugaan kuat bahwa Copernicus mengambil gagasan para ilmuwan muslim dalam mengembangkan sistem peredaran planet heliocentric (Huff , 2003).

Demikianlah, selama hampir 6 abad lamanya sejak abad ke-8 sampai dengan abad ke-16, ilmu pengetahuan di dunia Islam berkembang jauh melampaui perkembangan ilmu penge-tahuan di barat pada saat itu. Namun, sejak abad ke-16 ilmu

pengetahuan di dunia Islam mengalami kemunduran, sebaliknya ilmu pengetahuan barat terus mengalami kemajuan dan melahirkan ilmu pengetahuan modern seper yang kita kenal saat ini.

Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa ilmu pengetahuan modern terlahir di barat, bukan di dunia Islam yang telah lebih dahulu maju? Setelah melakukan kajian historis sosiologis yang mendalam, Huff (2003) berkesimpulan bahwa ilmu pengetahuan di dunia Islam dak dapat berkembang lebih jauh karena tatanan ins tusional dan kultural di dunia Islam dak bersesuaian dengan norma ilmu pengetahuan modern: komunalisme, disinterestedness dan skep sme terorganisir (organized scep cism). Kesimpulan ini didukung oleh Lipsey (2005) ke ka Ia mengkaji penyebab keterbelakangan umat Islam dalam perkembangan teknologi dan pemanfaatannya bagi perkembangan ekonomi.

Sistem pendidikan madrasah yang banyak berkembang di dunia Islam pada waktu itu sangat bersifat eli s dan mengalami proses personalisasi. Orang yang dapat menuntut ilmu di madrasah hanya berasal dari kalangan tertentu, dan ke ka menuntut ilmu hanya berguru pada satu guru atau ulama. Keputusan lulus atau daknya ditentukan oleh satu ulama tersebut. Ijazah pun diberikan oleh satu orang ulama saja. Personalisasi seper ini memungkinkan mbulnya subyek vitas dalam mensikapi

ilmu. Pernah terjadi misalnya, seorang murid dak berhasil mendapat ijazah dari seorang ulama. Kemudian, ia berguru kepada ulama lain dan berhasil mendapatkan ijazah dari ulama kedua.

Page 17: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 155

Ke ka ia telah menjadi ulama, ia cenderung selalu berbeda pendapat dengan ulama pertama yang dak melulus kannya. Ilmu jadi bersifat subyek f dan mengalami keberpihakan.

Ilmu pengetahuan di dunia Islam abad pertengahan dibagi menjadi dua jenis: ilmu agama dan ilmu alam. Ilmu agama hanya bersumber dari Alquran dan hadist. Sementara, ilmu alam berawal dari fi lsafat naturalis yang dikembangkan oleh Aristoteles. Ilmu alam seringkali dipandang sebagai ilmu yang berasal dari asing, karena memang pada awalnya berasal dari fi lsafat Yunani. Karena berasal dari asing, seringkali ilmu alam dipandang sebelah mata dan dak diajarkan dalam kurikulum madrasah. Para ilmuwan muslim yang cukup cemerlang dalam ilmu alam seringkali terpinggirkan. Ibnu Sina misalnya, meskipun ilmu kedokteran yang dikembangkannya banyak diterima oleh umat Islam pada waktu itu, namun karena pandangan fi lsafatnya didasarkan pada fi lsafat yunani, Ibnu Sina pun mengalami pengucilan di kalangan ulama Islam. Hal serupa juga dialami oleh Al-Farabi, Ibnu Rusydi dan Ibnu Khaldun (Huff , 2003). Meskipun, para ilmuwan muslim pada waktu itu dak mengambil fi lsafat Yunani begitu saja, tetapi mengembangkannya dan menyesuaikan nya dengan prinsip-prinsip Islam yang terambil dari Alquran dan Hadist (Naseem, 2001), tetap saja mereka dipinggirkan oleh para ulama yang hanya menekuni ilmu-ilmu agama. Menjelang akhir abad ke-14, para ulama agama mendapat dukungan para penguasa untuk memarginalkan para ulama ilmu alam yang berfi lsafat yunani. Maka sejak

itu, ilmu pengetahuan di dunia Islam mengalami stagnasi dan pada gilirannya mengalami kemunduran.

7. Sikap Kri s Landasan Budaya Iptek

Kalau ajaran Islam sangat menganjurkan budaya kri s sebagaimana telah diuraikan di atas, lantas mengapa masyarakat muslim dak bersikap kri s. Kita sering mendapatkan masyarakat muslim yang menerima kebenaran pengajaran yang diberikan dengan begitu saja, tanpa melalui proses pemikiran kri s terlebih dahulu. Hal ini terkait dengan dua sebab utama. Pertama, adalah substansi agama yang dak bisa dibuk kan secara empiris. Kedua, adalah sikap taklid yang secara sadar atau dak sadar telah ditanamkan oleh para pemuka agama.

Substansi agama sering kali merupakan substansi yang dak bisa dibuk kan kebenaran nya secara empirik dan logis. Sebagian besar substansi agama terkait dengan hal-hal gaib seper surga, neraka dan kehidupan setelah ma . Kebenaran atau ke dakbenaran klaim yang terkait dengan hal gaib ini dak bisa dibuk kan secara empiris. Kebenaran klaim mengenai hal gaib ini hanya bisa dijamin dengan melihat kualitas kejujuran si pembawa berita gaib tersebut.

Salah satu contoh untuk hal ini adalah pernyataan bahwa bulan ramadhan dibagi menjadi ga bagian. Bagian pertama adalah sepuluh hari pertama yang penuh rahmat. Sepuluh hari kedua adalah hari-hari yang penuh ampunan. Dan sepuluh hari terakhir adalah hari-hari pelepasan dari siksa neraka. Kebenaran pernyataan ini dak bisa dibuk kan secara empirik.

Page 18: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

156 ISSN : 2252-911X

Pernyataan ini telah menjadi bagian dari keyakinan sebagian besar umat Islam tanpa perlu memikirkannya lagi secara kri s.

Oleh karena itu, metodologi untuk mengetahui kebenaran pernyataan gaib harus ber beda dengan metodologi untuk mengetahui kebenaran nyata yang terkait realitas. Umat Islam seringkali men-campuradukan kedua metodologi ini. Karena sudah terbiasa menerima per nyataan gaib tanpa sikap kri s, umat jadi dak terbiasa untuk bersikap kri s dalam banyak hal.

Sementara itu, ada kalanya dalam tradisi pendidikan yang ada, seorang kiyai memegang otoritas mutlak untuk menentukan apakah sesuatu hal itu benar atau salah. Para santri sama sekali dak diberi kesempatan untuk menelaahnya. Sikap taklid ini mendapatkan pembenarannya ke ka dikatakan bahwa untuk dapat menetapkan sesuatu itu benar atau salah diperlukan perangkat ilmu yang sebagian besar umat Islam belum mampu menguasai atau memilikinya. Oleh karenanya, hanya kalangan tertentu saja yang dapat menetapkannya. Hal ini mungkin benar, tapi bukankah se ap orang individu muslim perlu memikirkan se ap hal, karena pada gilirannya se ap pendengaran, penglihatan, dan ha akan dimintai pertanggungjawabannya?

Satu-satunya cara untuk menghilangkan sikap dak kri s ini adalah dengan pendidikan. Sejak awal, harus ditanamkan pada anak didik bahwa Islam sangat menganjurkan sikap kri s dalam segala hal. Lebih lanjut, peserta didik harus dila h bagaimana cara berpikir kri s sehingga mereka terampil menggunakannya dalam se ap keadaan.

Pendidikan ilmu pengetahuan sejak dini merupakan upaya untuk menanamkan budaya ilmiah pada anak didik. Dalam pendidikan ilmu pengetahuan ini perlu ditanamkan sikap-sikap yang mutlak diperlukan untuk dapat memahami dan menghasilkan ilmu pengetahuan. Ada lima sikap ilmiah yang perlu ditanamkan sejak dini, yakni komunalisme (communalism), universalisme (universalism), ke dak berpihakan (neutrality), skep sme terorganisir (organized skep cism), dan kejujuran (honesty).

Komunalisme merupakan salah satu sifat ilmu yang menyatakan bahwa proses kreasi ilmu merupakan proses komunal, bukan proses individual. Sudah merupakan sifat ilmu bahwa selalu terdapat banyak pihak yang berkontribusi terhadap suatu ilmu. Ilmu yang kita kuasai sekarang merupakan ilmu yang landasan nya diletakkan oleh ilmuwan terdahulu dan dikembangkan secara bersama oleh banyak ilmuwan.

Universalisme mengisyaratkan bahwa ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan alam, bersikap universal. Ar nya, di manapun dan kapanpun suatu metode kreasi ilmu dilakukan, metode tersebut akan menghasilkan ilmu yang sama. Percobaan reaksi kimia dengan prosedur tertentu dalam lingkungan tertentu yang terkontrol, yang dilakukan oleh seorang ilmuwan berkulit hitam di Afrika, akan menghasilkan hasil yang sama dengan percobaan reaksi kimia dengan prosedur yang sama dan lingkungan yang sama, yang di lakukan oleh ilmuwan berkulit pu h di Eropa.

Kalau kedua sifat di atas berkenaan dengan sifat ilmu, maka ga sifat berikutnya

Page 19: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 157

berkaitan dengan sifat para ilmuwan. Seorang ilmuwan harus memiliki sikap ke dakberpihakan pada satu atau beberapa pihak atau kepen ngan, baik kepen ngan golongan maupun kepen ngan pribadi. Seorang ilmuwan misalnya, ke ka meneli kehalalan suatu produk, dia dak akan memanipulasi data peneli an agar menghasilkan kesimpulan yang diinginkan oleh si penghasil produk. Demikian pula, dia dak akan memanipulasi data peneli an

sehingga menghasilkan kesimpulan yang diinginkan oleh konsumen. Yang akan dia lakukan adalah melakukan peneli an dan memperlakukan data peneli an secara apa adanya.

Skep sme terorganisir adalah sikap ilmiah yang sangat pen ng. Seorang ilmuwan, senan asa bersikap skep s terhadap segala hal dan pernyataan dan menguji pernyataan itu dengan sistema s. Seorang ilmuwan dak akan menerima suatu pernyataan secara begitu saja, tanpa melakukan pengujian sistema s terlebih dahulu. Inilah sikap kri s yang mutlak diperlukan bagi sebuah proses kreasi ilmu pengetahuan.

Dan terakhir serta yang terpen ng adalah sikap kejujuran. Seorang ilmuwan mutlak harus bersikap jujur dalam melakukan peneli an dan juga berprilaku di kalangan ilmuwan. Seorang ilmuwan dak akan melakukan manipulasi data agar peneli annya menghasilkan hasil yang dia inginkan. Seorang ilmuwan dak akan meng-klaim suatu ilmu yang dak dia hasilkan. Dia akan selalu menyebutkan ilmuwan yang menghasilkan suatu ilmu yang dia pergunakan dalam ak vitas ilmiahnya.

Demikianlah, pemahaman terhadap kelima sikap ilmiah di atas perlu ditanamkan semenjak dini. Dan Islam memiliki nilai-nilai dasar yang bersesuaian dengan kelima sikap ilmiah tersebut. Komunalisme dan universalisme adalah dua prinsip dasar yang sudah mengakar dalam ajaran Islam. Islam mengajarkan bahwa pada dasarnya manusia itu sama, baik yang berkulit hitam, berkulit pu h maupun berkulit kuning. Baik yang Arab maupun non-Arab. Allah swt menciptakan manusia berbeda-beda dan berkelompok-kelompok tersebut, demi-kian menurut ajaran Islam, untuk saling mengenal dan bekerjasama.

Skep sme terorganisir merupakan sikap yang dianjurkan oleh Allah swt melalui Al-Qur’an (QS. 17:36) karena pada dasarnya se ap diri manusia akan dimintai pertanggung jawaban sendiri-sendiri. Oleh karenanya se ap orang dak boleh mengiku sesuatu yang dia dak memiliki ilmu tentangnya. Ke dakberpihakan juga suatu sikap yang menjadi dasar ajaran Islam. Se ap muslim diajarkan untuk bersikap adil dalam mengambil keputusan, dak berpihak kepada salah satu pihak

karena hubungan kekerabatan, atau karena ada kebencian terhadap pihak lain. Dan terakhir, kejujuran merupakan prinsip dasar dari agama Islam, sehingga dalam satu kesempatan, Rasulullah saw mengar kan Islam sebagai sikap dak berbohong.

8. Kesimpulan

Meskipun secara inheren, Islam memiliki prinsip-prinsip yang bersesuaian dengan norma keilmuan, namun sejarah menunjukkan bahwa ulama Islam lebih cenderung memperdalam dan mengembangkan ilmu agama yang

Page 20: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

158 ISSN : 2252-911X

bersumber dari Alquran dan Hadist, serta memarjinalkan ilmu alam yang berlandaskan fi lsafat dan menuntut pemikiran terbuka untuk menguji hipotesis secara empirik. Karena tradisi keilmuan yang berkembang adalah ilmu agama yang hanya menjadikan Alquran dan Hadist sebagai rujukan, secara dak sadar umat Islam modern saat ini sering menggunakan ‘metode’ yang sama ke ka mengkaji ilmu alam

Berdasarkan uraian dan analisis sebagaimana disajikan dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan sangat ditentukan oleh nilai budaya yang terdapat dalam suatu masyarakat. Masyarakat muslim sebenarnya memiliki nilai-nilai yang bersesuaian dengan sikap ilmiah yang mutlak diperlukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Karena itu, membangun masyarakat berbudaya iptek atau berbudaya ilmiah dalam suatu masyarakat, khususnya masyarakat muslim, merupakan hal yang sangat mungkin.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah menyadari bahwa ilmu pengetahuan itu berkaitan dengan realitas yang dapat diobservasi langsung maupun dak langsung. Sehingga metodologi untuk menguak fenomena kebendaan dan sosial haruslah bersifat logis empiris. Sebenarnya Islam sangat menganjurkan sikap ini. Selanjutnya, yang harus dilakukan adalah menumbuhkan sikap kri s, jujur, dan adil melalui pendidikan sejak dini, sikap-sikap dasar yang secara inheren sudah terdapat dalam ajaran Islam.

Da ar Pustaka

Departemen Agama Republik Indonesia. 2004. Alquran dan Terjemahannya,Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta.

Barnes, M.H, 2000, Stages of Thought: The Co-Evolu on of Religious Thought and Science, Oxford University Press, Oxford.

Encyclopedia, 2004, New York, Columbia University Press, Sixth edi on.

OECD. 2002. Frasca : A Manual for Collec ng R&D Data. OECD, Paris.

Kamali, M.H, 2003, Islam, Ra onality and Science. Islam & Science. Volume 1 Issue 1. Center for Islam & Science.

Sasmojo, S, 2004, Sains, Teknologi, Masyarakat & Pembangunan, Program Pascasarjana Studi Pembangunan, ITB, Bandung.

Page 21: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 159

EPISTEMOLOGI ”MEMBACA” DALAM PENGEMBANGAN IPTEK

Masyhuri

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta

Abstract

Science and technology has a central role in human life. Human will not achieve a good life on earth and at the a erlife, unless he has suffi cient and appropriate knowledge. Doing cri cal thinking, being ra onal, logic, and intelligent are the pre-requisites that have to be fulfi lled in developing science and technology. In revealing the truth, senses, brain, and soul may exhibit diff erent levels of comprehension, senses have some limita ons and empirical observa ons are not always true. Repeated deep thinking is required in order to develop reliable knowledge; however, human brain obviously has limita on. Therefore, the brain will not be able to explore the dark side beyond its capability. Consequently, ra o has to be coupled with spiritual power following God’s guidance to acquire knowledge. ‘Iqro’ (read) in the Holy Qur’an term is conduc ng research, careful observa on and study on many phenomena associated with nature, social and humanity which will lead to development of science and technology. Objec vity is a very basic principle in science tradi on of Islam as also is for western sciences.

Abstrak

Ilmu pengetahuan dan teknologi sangat sentral perannya dalam kehidupan umat manusia, bahwa manusia dak akan memperoleh kebaikan hidup di dunia kecuali dengan ilmu dan dak akan memperoleh kebaikan di akherat kecuali dengan ilmu juga. Berpikir kri s, rasional,

logis dan cerdas merupakan prasyarat dasar yang harus dipenuhi dalam upaya pengembangan iptek. Dalam pengungkapan kebenaran, panca indera, akal dan ha memiliki bobot yang berbeda secara ber ngkat, pengamatan indrawi memiliki batas-batasnya dan pengamatan empirik indera dak selalu benar, akal/rasio melakukan perenungan-perenungan ulang untuk mendapatkan pengetahuan yang dapat dipercaya tetapi kemampuan rasio manusia terbatas sehingga dak juga mampu untuk menjangkau wilayah “gelap” yang dak terjangkau oleh akal, maka rasio memerlukan bantuan spiritual dengan mengiku petunjuk Tuhan untuk mendapatkan pengetahuan. “Membaca” dalam terminologi Al-Quran adalah melakukan peneli an, penelaahan dan pemahaman terhadap berbagai fenomena: alam semesta, sosial dan kehidupan manusia, dari proses tersebut maka iptek akan berkembang. Upaya mencari objek vitas merupakan hal yang prinsipil dalam tradisi keilmuan baik Islam maupun sains Barat.

Kata kunci: iqro’, membaca, Iptek, berpikir kri s, rasional, logis dan cerdas, pengamatan indrawi, akal dan ha .

Page 22: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

160 ISSN : 2252-911X

1. Pendahuluan

Al-Qur’an, kitab suci umat Islam, merupakan satu-satunya kitab suci yang sampai saat ini tetap mengusung ajaran unifi kasi, ajaran yang mencakup baik aturan bagaimana seseorang beribadah kepada Allah Swt, maupun aturan bagaimana seseorang menjalani kehidupan sehari-hari, bermasyarakat, dan bernegara. Di bidang ilmu pengetahuan, al-Qur’an sangat menekankan pen ngnya mengungkapkan rahasia-rahasia yang terkandung pada alam semesta, merumuskan hukum-hukum yang berlaku di dalamnya untuk kemaslahatan hidup bersama.

Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) memang sangat sentral perannya dalam kehidupan umat manusia. Dalam sebuah atzar (perkataan Ali bin Abi Tholib) ditegaskan bahwa seseorang dak akan memperoleh kebaikan hidup di dunia kecuali dengan ilmu, dak akan memperoleh kebaikan hidup di akhirat kecuali dengan ilmu, dan dak akan memperoleh kebaikan hidup

pada keduanya kecuali dengan ilmu pula. Singkatnya, bahwa ilmu sangat pen ng untuk kehidupan manusia di dunia maupun kehidupannya di akhirat. Iptek dengan demikian merupakan hal yang utama, dan Islam sangat menekankan kepada umat manusia untuk mengembangkannya.

Berpikir kri s, cerdas, dan logis merupakan persyaratan dasar yang harus dipenuhi dalam usaha pengembangan iptek yang dimaksud. Firman Allah Swt yang banyak ditemukan dalam al-Qur’an yang ar nya...” daklah kau lihat bahwa....” (al-Qur’an, passim) merupakan suatu anjuran kepada manusia untuk mengama dan

mempelajari fenomena-fenomena alam semesta secara kri s. Firman Allah Swt dalam surat al Baqarah ayat 164 yang terjemahannya sebagaimana berikut jelas mengisaratkan peran sentral pemikiran rasional yang kri s yang dimaksud.

”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergan nya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi setelah ma (kering)nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh terdapat tanda-tanda (ayat-ayat Allah) bagi kaum yang memikirkan” (QS. al Baqarah/2: 164).

Yang dimaksudkan dengan ”memikirkan” dalam ayat ini adalah mempelajari berbagai fenomena yang ada secara mendalam. Lebih lanjut simak juga fi rman Allah Swt dalam surat Ali Imron ayat 190 yang ar nya sebagaimana berikut.

” ....Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, dan pergan an malam dan siang merupakan tanda-tanda (ayat-ayat) bagi orang-orang yang berakal” (QS. Ali Imron/3: 190).

Ayat-ayat tersebut sekedar contoh yang terkandung di dalamnya penegasan Allah Swt bahwa manusia dak akan mampu mempelajari alam semesta yang ada kecuali dengan menggunakan secara cerdas pemikiran kri s yang mereka miliki. Penekanan pada pemikiran yang rasional dan kri s inilah mengapa sebagian besar ayat-ayat kauliyah (fi rman-fi rman Allah

Page 23: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 161

dalam al-Qur’an) yang berkaitan dengan fenomena alam selalu diakhiri dengan kata ”afala ta’qiluun”, ”afala tadzakkaruun”, atau ”yaa ulil albaab” yakni ungkapan yang mengajak manusia untuk berfi kir dan memahami ayat-ayat Nya, baik ayat kauliyah (al-Qur’an) ataupun ayat kauniyah (alam semesta). Membaca keduanya dengan logika yang cerdas dan kri s merupakan tuntutan.

Apabila al-Qur’an sangat menekankan pemikiran yang rasional dan kri s dalam memahami ayat-ayat kauniyah, maka masalahnya kemudian adalah bagaimana cara yang harus ditempuh untuk mengembangkan iptek? Pertanyaan ini sangat mendasar, dan mungkin sulit untuk dijawab secara memuaskan. Penelaahan mendalam untuk menjawabnya jelas diperlukan. Ar kel ini mencoba untuk mencari jawaban dari pertanyaan tersebut, dengan asumsi bahwa pemahaman terhadap ayat-ayat kauniyah secara induk f tampaknya lebih relevan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dibandingkan dengan pemahaman secara deduk f. Asumsi ini dikemukakan atas per mbangan bahwa observasi terhadap berbagai gejala kebendaan dan sosial (ayat-ayat kauniyah) merupakan tahapan awal yang harus dilakukan dalam usaha merumuskan iptek, dan pada tahapan awal seper ini, berpikir induk f merupakan pilihan yang dak mungkin dihindari.

Berpikir kri s, rasional, dan logis dalam pemahaman Islam merupakan salah satu bentuk dari hikmah yang diberikan oleh Allah Swt, dan oleh karena itu, luasnya penggunaan rasio dan logika dalam Islam dak membawa pada semacam

rasionalisme dan logisisme sebagaimana yang terjadi di Barat modern, karena penggunaan rasio yang logis dak pernah dilepaskan dari keimanan kepada wahyu Ilahi (Achmad, 1991). Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berhasil dirumuskannya dengan sendirinya akan menuntun manusia kepada keimanan yang semakin kuat kepada Allah Swt.

2. Perangkat Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Implikasi dari penekanan al-Qur’an tentang perlunya iptek untuk kebaikan dan kemudahan hidup bersama adalah keutamaan dari ilmu pengetahuan itu sendiri dan kedudukan yang terhormat bagi orang-orang yang menguasainya. Kedudukan orang ahli ibadah yang berilmu se ngkat lebih nggi daripada ahli ibadah itu sendiri. Permasalahannya kemudian adalah dari mana kita bisa memulai mengembangkan ilmu pengetahuan? Bagaimana al-Qur’an melihat hal ini?

Al-Qur’an surat Yunus ayat 5 sedikit banyak memberi isyarat untuk itu. Dalam ayat ini, Allah Swt berfi rman, yang ar nya:

”Dia lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan Nya manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah dak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan haq. Dia menjelaskan tanda-tanda kebesaran Nya kepada orang-orang yang mengetahui”(QS, Yunus/10: 5).

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa ilmu pengetahuan, seper tentang peredaran bulan, peredaran bumi dan matahari, hendaknya dikembangkan oleh dan

Page 24: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

162 ISSN : 2252-911X

atas dasar pemahaman orang-orang yang mengetahui, yang memperoleh pengetahuan melalui pengamatan, perenungan, dan penalaran terhadap fenomena alam. Proses penelaahan terhadap fenomena alam seper ini dalam bahasa al-Qur’an, disebut dengan is lah ”membaca” (QS, al-’Alaq/96: 1-5).

Dengan kata lain, ”membaca” dalam terminologi al-Qur’an merupakan jalan atau proses yang harus ditempuh untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam terminologi metodologis, ”membaca” berar melakukan peneli an secara seksama. Dalam proses ”membaca” sebagaimana yang dimaksudkan, terdapat ga aspek pen ng yang harus diperha kan, yakni apa yang disebut oleh al-Qur’an dengan sama’ (pendengaran), basar (penglihatan), dan fu’aad (ha ) (Farooqui, 1994). Ke ganya merupakan perangkat, atau alat bantu akal (al-’aql) dalam ”membaca” untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman atas realitas, dan menunjukkan secara aplika f agar manusia mengendalikan kehidupan manurut sistem ketuhanan. Selain panca indera (pendengaran dan penglihatan), fu’aad memiliki potensi besar dalam proses pencarian pengetahuan, aspek yang dak diperhitungkan atau bahkan ditolak sama sekali dalam mekanisme kerja ilmiah sains Barat (Qomar, 2005; Khan, 1994). Masalah bagaimana tradisi sains Barat dapat menolak atau dak bisa menerima fu’aad sebagai sumber ilmu pengetahuan masih akan dibahas lebih lanjut kemudian.

Dalam pengungkapan kebenaran, panca indera, akal, dan ha memiliki bobot yang berbeda secara ber ngkat. Pengetahuan

yang diperoleh melalui indera disebut dengan ’ain al-yakin, yakni yang dibenarkan dalam batas-batas pengamatan indera. Namun, apa yang dinyatakan indera sebagai suatu yang benar ternyata dak selalu benar. Rasio jelas dak selalu puas dengan kebenaran yang telah dicapai oleh indera, dan sebagai konsekuensi nya rasio melakukan perenungan-perenungan ulang untuk memperoleh pengetahuan yang kebenarannya dapat dipercaya. Tingkat kebenaran seper ini lazim disebut dengan ’ilm al-yakin. Betapapun, rasio berusaha keras untuk memperoleh pengetahuan yang bisa dipercaya kebenarannya, tetapi kemampuan rasio manusia sangat terbatas, sehingga dak jarang rasio kesulitan bahkan dak mampu menembus wilayah gelap ( dak terjangkau oleh akal). Dalam kondisi yang demikian ini, rasio memerlukan bantuan spiritual dengan mengiku fu’aad (petunjuk dari Allah) untuk mendapatkan pengetahuan, yang pada tataran pemahaman ini disebut dengan haqq al-yaqin. Dengan kata lain, haqq al-yakin lebih nggi dari pada ’ilm al-yakin, sedangkan ’ilm al-yakin lebih nggi dari pada ’ain al-yakin.

Pengetahuan yang dihasilkan oleh indera disebut pengetahuan empirik. Ilmu empirik ini dak akan mampu menjelaskan tentang apa saja, dan pada akhirnya ilmu ini dak dapat melangkah lebih jauh dari sekedar memberikan jawaban atas pertanyaan ”bagaimana”. Jawaban atas pertanyaan tentang ”apa” dak seluruhnya dapat dihasilkan melalui indera, khususnya ke ka pertanyaan ini bermaksud meminta jawaban tentang hakekat dari sesuatu. Untuk mengetahui tentang hakekat ini

Page 25: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 163

diperlukan jawaban berdasarkan akal, yang kemudian dikokohkan oleh wahyu.

Sampai di sini telah menjadi jelas bahwa ilmu pengetahuan dalam pemahaman Islam mencakup pengetahuan inderawi dan kecerdasan yang mengarahkan rasio untuk merumuskan ilmu pengetahuan dengan bertopang kepada kesadaran dan keimanan terhadap kekuasaan Allah Swt. Ilmu pengetahuan dalam tradisi keilmuan Islam dengan demikian memiliki ikatan transendental yang kuat kepada Yang Maha Kuasa. Hanya atas kehendak Allah Swt lah maka indera, akal, dan ha akan mempu menguak rahasia-rahasia dari fenomena alam yang ditelaah. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan hanya dapat dikembangkan dengan indra dan akal oleh orang-orang yang dikaruniai oleh Allah Swt pemikiran yang cemerlang (ulil albaab) (QS, Ali Imron/3: 190; QS, Yunus/20: 55). Disinilah sekali lagi letak perbedaan pengembangan ilmu pengetahuan berdasarkan tradisi Islam dengan pengembangan ilmu pengetahuan posi f yang sekarang mendominasi sains Barat.

Perintah untuk melakukan peneli an atau ”membaca” dalam is lah al-Qur’an merupakan perintah yang pertama-tama kali diturunkan. Dikatakan demikian mengingat perintah ”membaca” ini terkandung dalam surat al-Alaq, ayat 1 – 5, yakni ayat-ayat al-Qur’an yang pertama kali diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw, yang terjemahannya:

”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan mu yang menciptakan”; ”Dia yang menciptakan manusia dari segumpal darah”; ”Bacalah, dan Tuhanmulah

Yang Maha Pemurah”; ”Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam”; Dia mengajarkan kepada manusia apa yang dak diketahuinya”(QS, al-’Alaq/96: 1-5).

Ini menunjukkan betapa pen ngnya peneli an dalam pandangan Islam. Kata iqro’ (bacalah) yang tercantum dalam ayat-ayat ini berbentuk amr, yakni perintah kepada umat manusia untuk membaca dengan kri s, dak saja terhadap ayat-ayat kauliyah, tetapi juga terhadap ayat-ayat kauniyah. Membaca ayat-ayat kauniyah sebagaimana yang disampaikan di atas berar melakukan peneli an secara sungguh-sungguh terhadap berbagai gejala dalam alam semesta ini.

Hanya melalui proses peneli anlah pengembangan ilmu pengetahuan dapat dilakukan. Semua gejala kebendaan dan sosial, demikian menurut perspek f Islam, berjalan sesuai dengan ketentuan Nya atau hukum alam, atau yang lazim disebut sebagai sunnatullah. Kepercayaan kepada sunnatullah merupakan faktor yang menentukan seseorang atau sekelompok orang dapat merin s dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa adanya sunnatullah, atau keteraturan dari gejala kebendaan maupun gejala sosial bagaimana mungkin ilmu itu bisa lahir dan berkembang? Hal yang se ap saat berubah sulit dicarikan formulanya. Keteraturan-keteraturan inilah yang diobservasi dan dicarikan formulanya oleh para ilmuwan.

3. Tradisi ”Membaca” dan Peradaban Bangsa

Pada awal-awal perkembangan Islam, perintah untuk mempelajari fenomena alam

Page 26: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

164 ISSN : 2252-911X

semesta tersebut menghasilkan kemajuan kultur ilmiah dalam berbagai disiplin. Kemajuan di bidang iptek yang mereka capai, menempatkan mereka sebagai bangsa yang unggul dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang lain, dan dunia Arab mencapai kejayaannya, se dak- daknya dalam beberapa abad sampai abad-abad pertengahan. Melalui penelaahan yang mendalam terhadap fenomena-fenomena alam, bangsa Arab mampu mengembangkan iptek modern, jauh lebih maju dibandingkan dengan ngkat perkembangan iptek bangsa manapun. Barat pada waktu yang sama belum apa-apa dibandingkan dengan dunia Arab. Sebenarnyalah umat Islam merupakan pelopor pengembangann iptek modern.

Sejalan dengan mengakarnya budaya iqro’ atau kultur ilmiah dalam kehidupan masyarakat muslim di dunia Arab masa keemasan, maka lahirlah berbagai cabang ilmu pengetahuan, dengan pakar-pakarnya yang terkenal sampai saat ini. Ilmuan-ilmuan besar tersebut antara lain adalah al Biruni (Fisika, Kedokteran), Jabir Haiyan (Kimia), Al-Khawarizmi (Matema ka), Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, atau Averos, Ibnu Khaldun (Filsafat, Ilmu Sosial), Al-Razi, Ibnu Sina atau Avisena (Kimia, Kedokteran), Al-Bitruji (Astronomi), Ibnu Haitsam (Teknik, Op k), dan masih banyak lagi ilmuan-ilmuan besar lainnya (Mujamil, 1993). Lewat usaha-usaha mereka, berbagai cabang ilmu pengetahuan berkembang. Jasa mereka sungguh besar terhadap perkembangan sains modern.

Andalusia di Spanyol merupakan pusat perkembangan iptek saat itu. Buku-buku iptek melimpah, dan perpustakaan-perpustakaan dengan ribuah bahkan

jutaan buku dapat dijumpai di pusat-pusat pengembangan iptek. Diantaranya yang terkenal adalah perpustakaan al-Ahkam (Andalusia), perpustakaan umum Tripoli (di daerah Syam), dan masih banyak lagi lainnya. Ini merupakan buk berkembangnya iptek waktu itu, dan menginspirasikan bangsa Barat untuk belajar. Terjemahan buku-buku iptek bangsa Arab hampir menjadi satu-satunya sumber pengajaran di perguruan-perguruan nggi di Barat selama 5 sampai 6 abad lamanya. Diantaranya sebagai contoh, buku al-Basyariyyah karya Al-Hasan bin al-Haitsam diterjemahkan oleh Ghiteleon dari Polska. Gherardo dari Cremona mengajarkan ilmu astronomi dengan menterjemahkan buku asy-Syarh karya Jabir, dan sebagainya. Buku-buku iptek bangsa Arab tersebut dijadikan sandaran oleh banyak ilmuan Barat waktu itu, seper Roger Bacon, Leonardo da Vinci, Arnold de Philipi, Raymond Lull, Albertus Magnus, Alfonso, dan yang lainnya (Mujamil, 1993). Bahkan menurut Adiwarman Karim, sebagian dari buku The Wealth of Na on Adam Smith yang terkenal itu diambil dari buku Mukaddimah karya Ibnu Khaldun tanpa menyebutkannya sebagai referansi.

Sayangnya, pencapaian iptek dunia Islam ini mengalami kemunduran sejalan dengan mundurnya tradisi iqro’ dikalangan umat Islam, yang akhirnya keunggulan dalam memegang kendali hegemoni ilmu pengetahuan yang selama beberapa abad dikuasainya dak dapat lagi dipertahankan. Sejak itu, umat Islam prak s dak atau kurang mampu lagi menangkap pesan al-Qur’an secara utuh dibidang sains. Ti k balik ini tampaknya terjadi ke ka Andalusia direbut oleh

Page 27: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 165

Barat. Pusat perkembangan iptek Dunia Arab mengalami keruntuhannya, dan sebaliknya, sejak direbutnya Andalusia tersebut, tradisi iqro’ atau kultur ilmiah mengalami perkembangan yang subur di dunia Barat. Dengan tradisi iqro’ nya yang terus menguat, Barat kemudian mengalami kejayaannya.

Ungkapan seeing is believing yang hidup di kalangan masyarakat Barat merupakan cerminan dari tradisi iqro’ yang dimaksud, yang mengandung makna sikap mental unggul dibidang peneli an, keingintahuan dan kebutuhan akan buk -buk kebenaran tentang fenomena alam yang mereka pelajari. Peneli an disegala bidang dilakukan dan dikembangkan. Mereka bersikap skep s, rasional, mengutamakan hal-hal yang bersifat empiris, dan logis dalam memahami fenomena alam jagat raya. Mereka menolak secara ekstrim terhadap pola pikir yang metafi sis, dan baru akan menerima sebagai sesuatu yang benar apabila sesuatu tersebut telah teruji melalui proses pembuk an dan penalaran yang dibenarkan oleh panca indra dan akal. Karena itulah, rasionalisme dan empirisme merupakan fenomena yang paling menonjol pada masyarakat Barat modern saat ini. Realitas yang dianggap benar sebagai akibatnya adalah yang dapat teruji secara empiris atau yang bisa dipikirkan secara rasional. Sains dalam konteks ini adalah pengetahuan yang telah teruji kebenarannya secara empiris dan rasional. Selebihnya dak nyata dan ditolak.

Sebagaimana bangsa Arab dengan tradisi iqro’ pada masa sebelumnya, dengan tradisi seeing is believing nya bangsa Barat memiliki ngkat keseriusan yang nggi dan

handal dalam melakukan kegiatan-kegiatan keilmuan, sehingga banyak temuan, baik dibidang sains maupun teknologi. Bangsa Barat bisa maju karena mereka membaca, memikirkan dan mengkonseptualisasi gejala-gejala kebendaan dan sosial. Mereka secara terus menerus membaca ayat-ayat kauniyah, sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang di kalangan mereka, betapapun lepas dari agama. Umat Islam seharusnya lebih unggul dari orang Barat, mengingat al-Qur’an merupakan pegangan hidup umat Islam, dan perintah untuk ”membaca” tersebut sangatlah jelas. Hanya saja, tradisi ”membaca” yang pernah berkembang di kalangan umat Islam dengan suburnya dak dapat dipertahankan keberlanjutannya.

Sangat wajar apabila pada saat sekarang ini iptek lebih berkembang pada masyarakat Barat, dan dengan perkembangan itu membawa mereka unggul dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Dengan capaian-capaiannya dibidang iptek, Barat pada saat ini menjadi ”kiblat” bagi ilmuan dan teknolog dari seluruh dunia. Ini semua terjadi sekali lagi akibat terutama oleh berkembangnya tradisi iqro’ atau kultur ilmiah di kalangan mereka. Berlakulah hukum sebab-akibat yang telah digariskan oleh Allah Swt, sebagai akibat dari usaha yang sungguh-sungguh dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, maka berkembanglah ilmu pengetahuan bagi yang mengusahakaannya.

Penolakan terhadap aspek metafi sis dalam tradisi keilmuan Barat membawa konsekuensi perbedaan yang besar antara tradisi keilmuan Barat dan tradisi keilmuan Islam. Kalau masyarakat Barat memiliki

Page 28: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

166 ISSN : 2252-911X

tradisi keilmuan sebagaimana yang tercermin dalam ungkapan ”saya berpikir” dan ”saya mengetahui”, maka tradisi berpikir masyarakat muslim sebagaimana yang telah diuraikan menyandarkan sumber ilmu pengetahuan pada Allah Sang Maha Pemilik Ilmu. Tradisi keilmuan Barat seper tersebut bisa dimenger , mengingat latar belakang sejarah sains Barat modern memang dibangun atas dasar semangat kebebasan dan penentangan terhadap doktrin ajaran agama (Kristen).

Sebagai salah satu dari agama-agama samawi, agama yang dianut oleh orang-orang Nasrani, seper halnya agama Islam, mengatur dak saja masalah-masalah ritual keagamaan belaka, tetapi juga mengatur seluruh segi kehidupan umat manusia, termasuk didalamnya juga masalah iptek. Karena itu, kekuasaan gereja dalam sejarah bangsa-bangsa Barat pada awalnya dak saja melipu segala aspek kehidupan manusia, tetapi malahan mendominasinya. Hanya saja, sayangnya, kekuasaan tersebut terjebak dalam suatu kesalahan historis yang mengakibatkan ins tusi-ins susi keagamaan tersebut terperangkap ke dalam perilaku-perilaku despo sme. Keterjebakan seper ini lebih lanjut mendorong munculnya sikap an pa terhadapnya. Karena itu, ke ka gerakan Renaissance muncul, yang dalam bentuk ekstrimnya sebagai gerakan yang mengedepankan akal secara berlebihan serta dalam banyak hal sebagai an tesis terhadap kepercayaan gereja, maka tradisi berpikir kri s sains Barat yang mendapatkan momentumnya saat itu mengusung pula semangat penolakan terhadap masalah-masalah yang metafi sis dan transendental

sifatnya (Chapra, 2000).

Sementara berpikir kri s dalam pemahaman tradisi Islam adalah sikap dan ndakan berpikir yang terdapat dalam jiwa

manusia yang mencakup kombinasi antara otak di kepala dan kalbu atau ha (fu’aad) di dada. Dengan penggunaan akal seper ini, seseorang dapat berpikir abstrak dan mampu membedakan antara yang benar dan yang salah (Nasu on, 1982: 20-30). Penggabungan dua komponen otak dan kalbu tampaknya dapat menghindari watak rasionalitas instrumental yang banyak dikri k terutama dari mazhab postmodernisme. Akal tanpa kalbu akan melahirkan ilmu yang bersifat instrumental untuk mengabdi pada modernitas yang cenderung domina f dan eksploita f.

4. Induksi: Metode Dari ”Membaca”?

Usaha pengembangan ilmu pengetahuan melalui pemahaman terhadap fenomena kebendaan dan sosial sekali lagi dak dapat dilakukan kecuali dengan pemikiran yang kri s, sebagai perangkat is nbath, analisa dan produsen sebuah pemikiran serta pengawasan terhadap produk dari pemikiran. Apabila produk dari suatu pemikiran dak realis s, maka perlu dilakukan telaahan ulang secara terus menerus terhadap fenomena obyek telaahan, dan melakukan penyempurnaan produk pemikiran, agar dak terjadi perbedaan antara rumusan pemikiran dan realitas.

Proses berpikir seper ini dalam terminologi metodologi peneli an lazim dikenal sebagai pola pemikiran yang induk f. Kita belum tahu sesuatupun tentang obyek yang kita ama . Melalui

Page 29: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 167

observasi dan penelaahan yang teli secara terus menerus, kita menger tentang sesuatu, berakumulasi, dan kemudian kita rumuskan sebagai pemahaman, sebagai konsep, sebagai teori, postulat, atau apa yang lainnya. Apakah ini berar bahwa metode induksi dalam memahami (membaca dalam bahasa al-Qur’an) gejala kebendaan maupun gejala sosial merupakan metode yang paling relevan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dibindingkan dengan metode yang lain? Apakah dengan metode berpikir deduk f ilmu pengetahuan dak atau kurang dapat diharapkan dapat berkembang?

Bisa jadi demikian. Meskipun berbeda atau kurang sesuai dengan cara berpikir deduk f aliran rasional-posi visme, yang menempatkan rumusan-rumusan rasio (akal) sebagai k awal dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, pemikiran induk f tersebut paling dak sejalan dengan pemikiran yang

dikembangkan oleh paham empirisme-obyek f, yang berpendirian bahwa sesuatu yang ada dalam pikiran (rasio) berasal dari pengalaman inderawi, yakni pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera. Melalui panca indra tersebut, berbagai informasi saling melengkapi dalam menjelaskan sesuatu, yang lebih lanjut suatu pemahanan atau pemikiran dapat dirumuskan.

Meskipun antara metode rasional-posi visme dan empirisme-obyek f sangat berlainan, perpaduan antara rasio dan indera (deduk f dan induk f) dalam perkembangan metodologi terkini disebut-sebut sebagai metode pemikiran ilmiah, yang dak saja menjadi penentu

untuk menemukan pengetahuan, tetapi juga menentukan layak daknya pengetahuan tersebut menjadi ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, metode berpikir yang dianggap paling layak untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sekarang ini adalah metode yang menggabungkan pemikiran induksi dan deduksi. Hanya saja, persoalan yang paling problema s atau bahkan dilema s dalam perspek f Islam adalah mengenai metode yang paling jernih dalam menjelaskan wahyu di satu sisi dan mengembangkan kualitas kehidupan manusia dengan basis kebenaran wahyu di sisi lain (Mulkhan, 1993).

Dari perspek f Islam, pengembangan ilmu pengetahuan dak dimulai dari teks, dak dari agama, akidah, syari’at, atau

berpegang teguh pada teori yang telah ada (deduksi), tetapi seper yang telah diuraikan di atas, mulai dari pemahaman tentang berbagai gejala yang nyata dari realitas (induksi). Pemahaman tentang asbaab al nuzuul, dan juga asbaab al wuruud, tampaknya akan dapat menjelaskan lebih jauh tentang cara berpikir induksi yang dimaksud (Arkoun, et.al, 2008). Asbaab al nuzuul berkaitan dengan berbagai faktor atau sebab-sebab diturunkannya ayat al-Qur’an. Sedangkan asbaab al wuruud faktor atau sebab-sebab disampaikannya sebuah hadis.

Semua ayat-ayat al-Qur’an bersifat deduk f, yang berbentuk postulat, sebagai landasan hukum bagi kehidupan umat manusia. Ayat-ayat Allah yang bersifat deduk f tersebut dak diturunkan begitu saja, tetapi melalui proses internalisasi dengan kejadian-kejadian, atau peris wa-

Page 30: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

168 ISSN : 2252-911X

peris wa empiris yang dialami oleh umat manusia. Berdasarkan pengalaman empiris tersebut, ayat al-Qur’an kemudian diturunkan, disampaikan sesuai dengan konteksnya, atau peris wa-peris wa yang mendahuluinya. Se ap ayat al-Qur’an mempunyai sebab-sebab turunnya (asbaab al nuzuul) masing-masing, dan karenanya diturunkan secara berangsur-angsur.

Demikian pula halnya dengan hadis Nabi. Proses disampaikannya sebuah hadis juga berkaitan dengan suatu peris wa tertentu atau kenyataan yang akan membantu memahami kandungan isi dari sebuah hadis (asbaab al wuruud). Hadis-hadis hukum yang juga bersifat deduk f hendaknya dipahami berdasarkan konteks atau peris wa yang mendahuluinya. Dengan kata lain, asbaab al nuzuul atau ataupun asbaab al wuruud merupakan proses sebab-akibat, sebab dari diturunkannya sebuah ayat al-Qur’an atau disampaikannya sebuah hadis.

Dengan demikian dapat disampaikan bahwa Asbaab al nuzuul atau asbaab al wuruud berar memperha kan dan memprioritaskan realita atas teks, memprioritaskan induksi atas deduksi. Perha akanlah ayat-ayat yang berbunyi ”wa yas’aluunaka ’ani-l khamr”, ”wa yas’aluunaka ’anil-mahiidh”, ”wa yas’aluunaka ’anil anfaal”, dan seterusnya. Terjemahan bebas dari penggalan ayat tersebut adalah..”dan tahukah kamu tentang minuman keras?”, ”dan tahukah kamu tentang darah haid?”, dan seterusnya. Ungkapan-ungkapan ini mengajarkan kita suatu proses metodologis dalam merumuskan suatu konsep, hepotesa, atau teori, yakni proses pemikiran yang

berangkat dari pertanyaan tentang realita dalam memahami sesuatu permasalahan.

Dalam konteks kasus kekinian, berbagai pertanyaan senada dapat kita ajukan, seper ”wa yas’aluunaka ’ani-l awlamah” (dan tahukah engkau tentang globalisasi), ”wa yas’aluunaka ’ani-l ih laal” (kolonialisme), ”wa yas’aluunaka ’ani-l faqr” (kemiskinan), ”wa yas’aluunaka ’ani-l bathaalah fi Indonesia” (pengangguran di Indonesia), dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan seper ini dalam metodologi peneli an merupakan pertanyaan peneli an atau rumusan permasalahan peneli an. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang berhasil disusun, lebih lanjut sebuah asumsi atau hipotesa peneli an dapat diajukan untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang diajukan. Dari sinilah proses pemahaman secara induk f dimulai.

Ayat-ayat al-Qur’an yang berbentuk deduk f itu hendaknya dibaca pula secara induk f apabila ingin memahami kandungan maknanya secara lebih mendalam, dak saja memahami asbaab al nuzuul nya, tetapi juga dengan cara melihat bagaimana keterkaitan substan f ayat tersebut dengan ayat-ayat yang lainnya (induksi). Semakin banyak kita mampu mengungkapkan keterkaitan antar ayat yang dimaksud, semakin baik pula kita dapat memahami suatu ayat al-Qur’an. Sebagai contoh misalnya fi rman Allah Swt dalam surat al Baqoroh ayat 6, yang ar nya ”Sesungguhnya orang-orang kafi r, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau dak kau beri peringatan, mereka dak akan beriman”. Ayat ini jelas bersifat

deduk f, sebagai semacam rumusan.

Page 31: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 169

Tanpa melihat keterkaitan substan f dengan ayat-ayat yang lain, pemahaman seseorang terhadap ayat ini sangatlah dangkal, bahwa apapun yang kita usahakan dak akan berar apa-apa bagi orang yang

telah ditetapkan kekafi rannya. Ar nya, nasib buruk seseorang telah ditetapkan oleh kekuatan di luar manusia itu sendiri. Pemahaman seper ini jelas dapat menimbulkan pertanyaan. Kalau begitu, dimana manfaat atau fungsi dari usaha yang kita lakukan? Penger an seper ini sekilas juga mengesankan adanya pertentangan dengan hukum kausalitas.

Melalui keterkaitan substansif dengan ayat-ayat dalam surat al-Baroroh lainnya misalnya, khususnya dengan ayat-ayat tentang sejarah umat terdahulu, proses dari dikutuknya suatu umat, ayat-ayat yang memuat contoh-contoh bagaimana umat-umat terdahulu dimusnahkan, dan sebagainya, baru dapat dipahami bahwa ketetapan kekafi ran seseorang atau suatu kaum terjadi setelah melalui proses yang panjang. Allah Swt dak bosan-bosan memberikan tuntunan, peringatan atau cobaan, bahkan bencana agar supaya manusia ingat dan kembali kepada fi trahnya, yakni menjadi seorang yang bertauhid (QS. Al-Baqarah/2: 26). Apabila proses ini telah terjadi dan seseorang atau suatu kaum masih tetap ingkar, barulah ketentuan atau hukum Allah tentang kekafi ran seseorang seper yang terkandung dalam ayat 6 surat al-Baqarah tersebut berlaku. Demikianlah, dengan memahami konsep asbaab al nuzuul, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa berpikir secara induk f akan menghasilkan pemahaman-pemahaman

tentang sesuatu yang belum diketahui sebelumnya.1

Pada tataran prak s, berpikir secara deduk f bersifat reduksionis, penyederhanan terhadap realitas yang ruwet yang saling kait mengait yang diama . Realitas yang ruwet tersebut kita pahami sesuai dengan pengetahuan atau rumusan yang telah ada dalam pikiran kita. Dalam proses berpikir seper ini, dak mustahil terjadi proses penyesuaian

antara realitas empiris yang ada dan type ideal kita tentang realitas. Sampai di sini, kita dapat menger mengapa al-Qur’an lebih menekankan pada pemahaman induksi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Sangat beralasan dan dapat dimenger pula apabila Hasan Langgulung (1991), mengatakan bahwa metode induk f merupakan ciri-ciri peradaban Islam modern. Untuk mendapatkan pemahaman yang baru, jelas diperlukan pemikiran yang bebas, bebas dari berbagai typologi pemikiran yang selama ini kita anggap sebagai sesuatu yang benar.

Paling dak, dalam bahasa metodologis, sebuah peneli an yang berangkat dari sebuah teori tertentu, apalagi untuk ilmu sosial dan humaniora, diperlukan perumusan kembali teori yang digunakannya. Teori atau pemikiran yang deduk f tersebut hendaknya dirumuskan kembali ke dalam bentuk-bentuk hipotesis atau asumsi yang memungkinkan seseorang berpikir dan bekerja secara induk f dalam

1 Dalam khazanah metodologi modern, ada usaha untuk keluar dari jebakan induksi dan diduksi, yaitu apa yang disebut dengan cri cal construc- vism dan cri cal realism. Bagaimanapun juga,

kedua konsep ini belum mapan.

Page 32: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

170 ISSN : 2252-911X

melaksanakan peneli an (Singarimbun dan Eff endi, 1995). Apabila dak demikian, peneli an yang dilakukan dak lebih dari sekedar verifi kasi konsep atau teori yang telah ada sebelumnya. Ilmu pengetahuan yang baru dak akan dapat dihasilkan melalui proses peneli an seper ini.

Sampai di sini telah menjadi jelas kecenderungan metodologis dari perspek f Islam dalam memahami fenomena kebendaan dan sosial untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Kecenderungan metodologis tersebut adalah metodologi pemikiran yang indukfi t sifatnya. Dengan metode berpikir induk f, hal-hal yang belum diketahui sebelumnya, baik yang berkaitan dengan ayat-ayat kauliyah maupun ayat-ayat kauniyah, dapat dipahami secara lebih mendalam.

Sebagai feetback dari terkuaknya ayat-ayat Allah Swt, baik ayat-ayat kauliyah yang termaktub dalam al-Qur’an, maupun ayat-ayat kauniyah, yang melipu fenomena kebendaan dan fenomena sosial, maka terkuak pula kebenaran ajaran Islam. Di sini barangkali penjelasannya mengapa Allah Swt menekankan pen ngnya melakukan peneli an, baik terhadap alam kebendaan maupun sosial untuk menguak ilmu Allah Swt. Ternyata, dengan kemajuan yang dicapai di bidang ilmu pengetahuan, semakin terpampang secara jelas akan buk -buk kekuasaan Allah Swt, dan karenanya keimanan seseorang kepada Allah Yang Maha Kuasa akan menjadi semakin kuat. Bagi ummat Islam, kesadaran iman dan taqwa serta penguasaan iptek erat kaitannya dengan keyakinan terhadap al-Qur’an yang diwahyukan dan pemahaman mengenai kehidupan dan alam semesta. Di

dalam keduanya, terkandung ketentuan-ketentuan Allah yang bersifat absolut, yang satu disebut kebenaran qur’ani dan yang lain disebut kebenaran kauni.

Sekali lagi, disinilah k krusial perbedaan ilmu pengetahuan yang lahir dari tradisi keilmuan Islam yang membenarkan aspek metafi sis masuk kedalam ranah ilmu pengetahuan, dengan yang lahir dari tradisi keilmuan Barat yang menolak peran aspek metafi sis tersebut. Disatu pihak, ilmu pengetahuan dalam tradisi keilmuan Islam akan membuat seseorang semakin dekat kepada Sang Pencipta. Dilain pihak, ilmu pengetahuan dalam tradisi Barat akan membawa kepada keingkaran terhadap kekuasaan Sang Maha Kuasa.

5. Keniscayaan Al-’Ilm dan Sains Modern

Pengakuan atau penolakan aspek metafi sis sebagai bagian dari ranah keilmuan, seper halnya yang terjadi antara tradisi keilmuan Islam dan tradisi keilmuan Barat mempunyai konsekuensi pada pemahaman terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Dari perspek f Islam, apa yang dimaksudkan dengan ilmu pengetahuan atau al ’ilm daklah sama persis dengan ilmu pengetahuan atau sains sebagaimana pemahaman Barat. Sebagai akibat logis dari penerimaan aspek metafi sis dalam bangunan ilmu pengetahuan, al-’ilm memiliki komponen keilmuan selain komponen empiris dan rasio sebagaimana sains Barat, juga komponen wahyu. Wahyu mencakup berbagai dimensi persoalan, mulai dari permasalahan yang berkaitan dengan pengalaman atau pengetahuan sehari-hari (knowledge), ilmu pengetahuan (science), fi lsafat yang mengandalkan akal,

Page 33: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 171

dan persoalan-persoalan supra-natural (Qomar, 2005)

Sementara sains Barat yang menolak komponen wahyu hanya menyandarkan ilmu pengetahuan hanya pada komponen rasio dan empiris. Meskipun dalam tradisi keilmuan Barat ada perbedaan-perbedaan mendasar antara rasionalisme dan empirisme, namun keduanya bersepakat bahwa rasio dan empiris merupakan komponen-komponen utama yang dak mungkin dak harus ada dalam

pembentukan ilmu pengetahuan. Hanya penekanannya sajalah yang berbeda. Apabila rasionalisme menekankan bahwa rasio merupakan komponen utama dalam ilmu pengetahuan, maka empirisme memandang pengalamanlah yang merupakan komponen utama dalam memperoleh pengetahuan. Dari perspek f Islam, ilmu pengetahuan yang bersumber pada wahyu mengandung kebenaran absolut. Sementara sains dak penghasilkan kebenaran absolut.

Sama seper sains Barat, metode mempelajari pengetahuan yang sistema s dan koheren merupakan aspek pen ng dalam proses pengembangan al-ilm. Prosedur seper ini akan menghasilkan bagian dari suatu kebenaran dari realitas, bagian yang sangat bermanfaat untuk memecahkan berbagai permasalahan yang muncul (Sardar, 2000). Dengan demikian, dengan diterimanya wahyu sebagai aspek pen ng dari ilmu pengetahuan, tampak bahwa al-’ilm memiliki akar sandaraan yang kuat dibanding sains dalam versi Barat.

Wahyu sebagai sumber asli seluruh pengetahuan memberi kekuatan yang sangat besar terhadap

bangunan pengetahuan bila mampu mentransformasikan berbagai bentuk ajaran yang bersifat norma f-doktriner menjadi teori-teori yang bisa diandalkan. Wahyu bisa dijadikan sebagai sumber pengetahuan baik pada saat seseorang menemui jalan buntu dalam perenungan dan pencarian. Wahyu bisa dijadikan rujukan pencarian pengetahuan kapan saja dibutuhkan, baik yang bersifat inspira f maupun yang bersifat eksplisit. Dengan begitu, pengetahuan yang bersumber dari wahyu memiliki sambungan ver kal, yakni Allah pemilik ilmu di seluruh alam jagat raya ini. Disinilah perbedaan pen ng antara al-’ilm dan sains Barat.

Adanya aspek wahyu tersebut, tampaknya al-’ilm memiliki bobot kualitas kebenaran yang lebih nggi daripada sains, mengingat pengetahuan yang dihasilkan dak semata-mata atau secara apriori terhadap wahyu, tetapi juga melalui tahapan-tahapan mekanisme kerja ilmiah. Hubungan antara wahyu dan kebenaran ilmiah sudah banyak terbuk . Tidak sedikit ayat al-Qur’an berkenaan dengan fenomena alam, secara ilmiah dapat dibuk kan kebenarannya. Sebut saja sebagai contoh, fi rman Allah Swt yang ar nya:

”Allah. Dia lah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendakinya; dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, dan apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba Nya yang dikehendaki Nya ba- ba mereka menjadi gembira” (QS. Ar-Ruum/30: 48).

Perkembangan iptek tentang hujan

Page 34: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

172 ISSN : 2252-911X

menyebutkan bahwa fenomena hujan dan proses turunnya hujan tersebut merupakan fenomena alam, yang kita sudah tahu dalam terminologi Islam disebut sebagai ayat kauniyah. Pola dan prosesnya telah ditetapkan oleh Allah, dan sebagaimana janji Allah, hal tersebut dak berubah. Hujan akan turun apabila awan Comulus yang ak f, yang dicirikan dengan bentuknya yang menyerupai bunga kol (bergumpal-gumpal), mengandung par kel-par kel air, dan apabila kandungan air di awan telah cukup nggi, maka turunlah hujan dari awan yang berbentuk seper kol tersebut (Masyhuri, 2010).

Demikianlah, ayat yang berkaitan dengan hujan tersebut hanyalah sekedar sebagai contohnya. Al-Qur’an memang dak hanya memberikan doktrin-doktrin yang bersifat dokma s, tetapi juga memberikan peluang terhadap para ilmuwan untuk peneli an terhadap buk kebenarannya, sebatas pada wilayah yang bisa diteli . Al-’ilm meletakkan nilai-nilai ilahiah di permukaan agar jelas dan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai aturan main yang harus ditaa (Sardar, 2000).

Berbeda dengan ini, sains modern Barat terlanjur percaya bahwa manusia mampu memecahkan segala sesuatu melalui kemampuan berpikirnya. Mereka hanya mengakui bahwa manusia adalah satu-satunya sumber pengetahuan sehingga dak membutuhkan bantuan Tuhan. Inilah

tradisi keilmuan Barat, yang berada diluar kerangka pemikiran yang sesuai dengan ajaran Islam. Menurut pemahaman Islam, terdapat banyak hal yang dak terpecahkan oleh kerja akal pikiran manusia, meskipun hal itu masih termasuk wilayah peneli an.

Apa lagi hal-hal yang ada di wilayah yang dak dapat diteli . Karena itu, al ’ilm

mengakui keterbatasan manusia dalam mengungkap pengetahuan, sehingga al ’ilm tetap menyandarkan diri pada bantuan wahyu. Allah lah yang menggenggam rahasia-rahasia alam semesta, kemudian diinformasikan kepada manusia melalui wahyu (atau ilham/inspirasi). Karena itu, ajaran wahyu melipu hal-hal yang bersifat fi sik dan metafi sik, empiris dan metaempiris, bentuk dan substansi.

Konsep al ’ilm melampaui wilayah-wilayah yang biasa dijadikan pemetaan secara sistemik, yaitu suatu konsep ilmu yang dak hanya tersusun dari segi-segi apa

(ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi), tetapi juga dari segi-segi dari mana, kenapa, dan mau kemana. Manusia dalam hal ini dirangsang untuk melakukan usaha-usaha krea f dan produk f, menelaah, serta memikirkan alam semesta ciptaan Allah, sebagaimana yang diperintahkan Nya. Dengan melalui usaha yang sungguh-sungguh akan terbukalah ilmu pengetahuan bagi yang mengusahakannya.

Ilmuwan muslim menyakini betul bahwa asal ilmu itu adalah Allah Yang Maha Tahu. Sedangkan ilmuwan adalah peramu bu ran-gu ran ilmu secara sistema k kedalam nama-nama yang disepaka bersama demi kemudahan untuk memahaminya. Dalam pemahaman ini, jika disebut hukum Newton, pada dasarnya adalah hukum Allah yang berlaku pada alam semesta, yang biasa disebut dengan sunnatullah atau law of nature yang kebetulan dipopulerkan oleh Newton. Apapun yang ditemukan dan dirumuskan oleh Newton,

Page 35: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 173

gejala alam tersebut memang telah terjadi, telah diciptakan sebagaimana pemahaman hasil temuan yang dirumuskannya. Peran Newton hanyalah memberikan penjelasan-penjelasan secara konseptual dan rasional terhadap fenomena alam tersebut sehingga dapat diterima dan dimenger oleh akal manusia. Hal yang sama berlaku pula terhadap teori rela vitas Albert Einstain, mesin uap Jem Wa , dan yang lain-lainnya.

Sebagai penutup diskusi, secara singkat dapat diikh sarkan bahwa epis mologi ilmu pengetahuan menurut tradisi al ’ilm dirancang dan dibangun atas dasar: a) Kekuatan dan kebenaran indera, kekuatan dan kebenaran akal, dan karena keduanya dak mampu memecahkan seluruh

persoalan yang dihadapi manusia, juga dibangun berdasarkan kekuatan dan kebenaran spiritual yang bersumber dari wahyu Allah Swt. b) Adanya hubungan yang harmonis antara wahyu dan akal. Akal bekerja maksimal untuk menemukan dan mengembangkan ilmu, sedangkan wahyu memberikan bimbingan serta petunjuk yang harus dilalui akal. c) Interdependensi antara akal dan intuisi. Keterbatasan penalaran akal disempurnakan oleh intuisi, dan sebaliknya intuisi diperkuat oleh akal. d) Memiliki orientasi teosentris. Ilmu dalam Islam dak hanya semata-mata berupaya mencapai kemudahan-kemudahan atau kesejahteraan duniawi, tetapi juga kebahagian kelak setelah kema an dengan menjadikan ilmu sebagai sarana untuk beribadah. Berkaitan dengan inilah ar dari ungkapan ”ilmu yang bermanfaat” yang hidup dikalangan msyarakat muslim. Epistemologi Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan karenanya terikat

dengan nilai-nilai keislaman.

Sementara epistemologi ilmu pengatahuan menurut sains Barat membangun sebuah pendekatan ilmiah atas lima prinsip dasar sebagaimana berikut. Pertama adalah skep sme, yakni sikap skep s terhadap suatu kebenaran. Ilmuan Barat dak pernah menerima kebenaran suatu pernyataan sebelum kebenaran pernyataan tersebut dapat dibuk kan dan dapat disaksikannya secara empirik. Kedua adalah rasional-empiris. Sebenarnyalah antara rasionalisme dan empirisme memiliki perbedaan yang cukup tajam dalam metodologi ilmiah yang dikembangkannya. Di satu pihak beranggapan bahwa rasio merupakan pangkal utama dari ilmu pengetahuan, sementara di pihak lain menyakini pengalaman inderawilah pangkal dari ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, perpaduan antara kekuatan rasio dan kemampuan indera merupakan hal yang sepenuhnya dibenarkan. Ke ga adalah posi vis-obyek f, yakni suatu pandangan yang menolak atau menentang pemikiran metafi sik, dan hanya menerima fakta atau realitas empiris sebagai sumber ilmu pengetahuan. Keempat adalah bersifat dikotomik. Sebagai konsekuensi dari penolakan pada hal-hal yang bersifat metafi sik, maka ilmu pengetahuan dan agama merupakan sesuatu yang berbeda, sebagai dua hal yang sama sekali terpisah (Qomar, 2005; Sardar, 1998).

Singkat kata, prinsip dari pendekatan epistemologi Barat adalah bahwa realitas hanya dapat diketahui melalui observasi dan penalaran. Panca indra dan rasio merupakan aspek metodologis yang dibenarkan dalam epistemologi ini, dan

Page 36: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

174 ISSN : 2252-911X

menolak secara ekstrim terhadap pola pikir yang metafi sis, yang menempatkan wahyu sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan.

6. Kesimpulan

Ada beberapa hal pen ng yang dapat disimpulkan dari uraian di atas. Pertama adalah bahwa ”membaca” dalam terminologi al-Qur’an mempunyai ar metodologis, sebagai sebuah tahapan awal dari proses pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. ”Membaca” yang dimaksud adalah melakukan peneli an, penelaahan, dan pemahaman dak saja terhadap ayat-ayat kauliyah,

yakni fi rman-fi rman Allah dalam al-Qur’an, tetapi juga terhadap ayat-ayat kauniyah, yakni fenomena kebendaan dari alam semesta dan fenomena sosial dari kehidupan manusia. Tanpa adanya proses ”membaca” seper ini, ilmu pengetahuan dan teknologi mustahil dapat berkembang.

Kedua adalah bahwa metode membaca secara induk f terhadap fenomena-fenomena kebendaan dan sosial merupakan metode yang paling relevan untuk pengembangan ilmu. Melalui proses berpikir induk f tersebut, berbagai kemungkinan untuk pengembangan ilmu pengetahuan terbuka luas. Berbagai fenomena empiris dari obyek yang diteli menginduksi kedalam suatu pemahaman, kategorisasi, klasifi kasi, dan abstraksi sebagai pengetahuan yang ilmiah.

Ke ga adalah semakin terungkap rahasia-rahasia dari berbagai fenomena kebendaan dan sosial, maka semakin terungkap pula kebenaran al-Qur’an, dan ajaran Islam secara keseluruhan. Memahami

ayat-ayat Allah merupakan perintah, dan dengan demikian, mengembangkan ilmu pengetahuan (dan teknologi) yang dengannya pemahaman manusia tentang ayat-ayat Allah makin sempurna meruakan perintah yang wajib untuk dilakukan pula. Di sinilah barangkali relevansi makna atau rahasia dari perintah Allah Swt untuk mempelajari berbagai gejala kebendaan dan kemasyarakatan. Dengan kata lain, mengembangkan ilmu pengetahuan seper botani, zoologi, astronomi, pertanian, dan sebagainya dapat menguak kebenaran ajaran Islam, dan karenanya segala kegiatan dibidang keilmuan dan teknologi tersebut merupakan bagian dari ibada kepada Allah Swt. Manusia memang hendaknya berlomba-lomba berbuat kebaikan dalam segala bidang kehidupan, termasuk didalamnya berlomba-lomba dalam mengembangkan berbagai disiplin dari ilmu pengetahuan.

Dalam tataran metodologi keilmuan, terdapat perbedaan yang cukup kontras antara tradisi keilmuan Islam dan tradisi keilmuan Barat. Di satu sisi, selain realitas empirik, realitas non empirik (ba niah) mendapat tempatnya tersendiri dalam tradisi keilmuan Islam, yang perlu diterjemahkan untuk memperkaya dan melengkapi capaian ilmu pengetahuan empirik. Pada sisi lain, realitas atau data-data empirik dalam tradisi keilmuan Barat merupakan satu-satunya pijakan dalam menarik kesimpulan mengenai sesuatu pengetahuan. Dalam tradisi keilmuan Islam, sumber ilmu pengetahuan bisa diperoleh melalui wahyu dan pemikiran, dari observasi atau intuisi. Sementara tradisi sains Barat menolak wahyu

Page 37: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 175

sebagai sumber ilmu pengetahuan, wahyu dikesampingkan dari proses atau mekanisme ilmu pengetahuan Barat.

Meskipun demikian, usaha mencari obyek vitas tetap merupakan hal yang prinsipiil dalam tradisi keilmuan Islam maupun sains Barat. Pencarian obyek vitas daklah khas peradaban Barat. Dalam tradisi keilmuan Islam, pencarian obyek vitas bukan hanya sah dan dianjurkan, tetapi juga memiliki signifi kansi yang amat besar dalam pengungkapan kebenaran. Hadis Nabi yang berbunyi ” katakanlah yang benar, walaupun terasa pahit” merupakan acuan kepada obyek vitas dalam menampilkan fakta atau data. Pemahaman yang benar dak akan menjadikan wahyu dan akal

dalam posisi yang berbenturan, tetapi justru menjadikan wahyu memberikan bantuan atau menyempurnakan akal. Sebagai buk nya, dak ada satupun capaian-capaian atau perkembangan di bidang iptek modern dewasa ini yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Da ar Pustaka

Abdullah, M. A. 1995, Filsafat Kalam di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Achmad, A. 1991, ”Kerangka Masalah Perguruan Tinggi Islam Sebuah Ikh ar Mencari Pola Alterna f Telaahan Kasus IAIN”, dalam Muslim Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, Tiara Wacana, Yogyakarta

Arkoun, M. 1994, Nalar Islam dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru (terjemahan), INIS, Jakarta.

Arkoun, M. 2008, Orientalisme Vis Avis Oksidentalisme (terjemahan), Pustaka Firdaus, Jakarta.

Assuyu , J. 1993, Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, (terjelaman), Diponegoro, Bandung.

Baiquni, A. 1983, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, Pustaka Salman, Bandung.

Chapra, M.U. 2000, Islam dan Tantangan Ekonomi (terjemahan), Gema Insani Press, Jakarta.

Departeman Agama Republik Indonesia. 1991. Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Departeman Agama Republik Indonesia, Jakarta.

Farooqui, Jamil, 1994, ”Islamic Perspec ve of Methodology in Social Phenomenal Contact”, dalam Mohammad Muqim (ed), Research Methodology in Islamic Perspec ve, Ins tute of Objec ve Studies, New Delhi.

Khan, I.A. 1994, ”The Islamic Method”, dalam Mohammad Muqim (ed.), Research Methodology in Islamic Perspec ve, Ins tute of Objec ve Studies, New Delhi.

Kuntowijoyo, 1991, Paradikma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Mizan, Bandung.

Page 38: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

176 ISSN : 2252-911X

Langgulung, H. 1991, Krea vitas dan Pendidikan Islam Analisis Psikologi dan Falsafah, Pustaka al-Husna, Jakarta.

Masyhuri, 2010, ”Fenomena Hujan dan Tauhid Rububiyah”, dalam Masyhuri (ed.), Bertafakkur Dengan Iptek Bertauhid Kepada Allah, Total Media, Yogyakarta.

Mujamil, 1993, Kontribusi Islam Terhadap Peradaban Manusia Sebuah Apresiasi Monumental, Ramadhani, Solo.

Mulkhan, A.M. 1993, Paradikma Intelektual Muslim Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, Sipress, Yogyakarta.

Payerabead, P. 1982, Against Method, Verso Edi on.

Qomar, M. 2005, Epistemologi Pendidikan Islam; Dari Metode Rasional Hingga Metode Kri k, Erlangga, Jakarta.

Sadali, A. 1986, ”Pengembangan Ilmu Untuk Disiplin Ilmu, Suatu Perambahan Langkah-Langkah”, dalam Amin Husni et.al, Cinta Kampus Religius Urgensi Dialog Konsep Teori k-Empiris Dengan Konsep Noma f Agama, Bina Ilmu, Surabaya.

Sardar, Z. 2000, ”Dimensi Ilmiah Al-Ilm”, dalam Ziauddin Sardar (ed.), Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim (terjemahan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Mulkhan, A.M. 1998, Jihad Intelektual Merumuskan Parameter-Parameter Sains Islam (terjemahan), Risalah Gus , Surabaya.

Singarimbun, M. dan S. Eff endi (ed.) 1995, Metode Peneli an Survai, Lembaga Peneli an, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta.

Susiasumantri, J.S. 1989, ”Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi”, dalam Jujun S. Susiasumantri (ed), Ilmu Dalam Perspek f, Gramedia, Jakarta.

Page 39: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 177

MEMAHAMI FENOMENA SOSIAL SDM IPTEK DI PERGURUAN TINGGI

Carunia M. Firdausyc, Andika Fajara, Sonny Yuliarb, Suhetris, Mochamad Panji Pujasak a,

aKementerian Riset dan Teknologi, JakartabIns tut Teknologi Bandung, Bandung

cLembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta

Abstract

Development of the Na onal Innova on System is one of the main agenda in the program of United Indonesia Cabinet Volume II. Innova on System is a strategic instrument that much enough to be raised, with the expecta on would be bring the change and increasing the dynamics of science and technology u liza on in this country, generally into the development of Indonesia. Higher Educa on and Research Ins tute is one of the important elements in the Na onal Innova on System instrument, therefore it is important for us to understand how pa erns of behavior and interac on in the community woke up, therefore the design and planning in building synergy can be done with the right approach. This paper is focusses on how the social dynamics and the characteris cs of the wake at scien fi c community in Indonesia, as well as how the phenomena that occur in it.

Keywords: social phenomenon, Human Resources of Science & Technology, University

Abstrak

Pengembangan Sistem Inovasi Nasional adalah salah satu agenda pen ng dalam program Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ini. Sistem Inovasi merupakan suatu instrumen yang cukup strategis untuk dimunculkan, dengan suatu ekspektasi akan membawa perubahan dan peningkatan dinamika kegiatan u lisasi Iptek di negeri ini pada pembangunan bangsa Indonesia. Perguruan Tinggi dan Lembaga Litbang adalah salah satu elemen pen ng dalam instrumen Sistem Inovasi Nasional, karenanya sangat pen ng bagi kita untuk memahami bagaimana pola laku dan interaksi yang terjadi dalam komunitas tersebut terbangun, sehingga disain dan perencanaan dalam membangun sinerji dapat dilakukan dengan pendekatan yang tepat. Tulisan ini akan menggambarkan bagaimana dinamika sosial serta karakteris k yang terbangun pada komunitas sain fi k di Indonesia, serta bagaimana fenomena yang terjadi di dalamnya.

Kata Kunci: Fenomena sosial, SDM Iptek, Perguruan Tinggi

Page 40: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

178 ISSN : 2252-911X

1. Pendahuluan

Merujuk pada visi dan misi Kabinet Indonesia Bersatu II, pembangunan iptek adalah penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas) dan peningkatan Peneli an, pengembangan, dan penerapan iptek, dengan sasaran pembangunan pada sistem inovasi nasional adalah menguat-nya kelembagaan Iptek, menguatnya sumberdaya iptek serta menguatnya jaringan Iptek. Pembangunan sebuah negara di era global telah menunjukkan semakin signifi kannya peran teknologi dalam peningkatan taraf dan kualitas hidup suatu bangsa. Beberapa indikasi menunjukkan bahwa Iptek Indonesia belum memberikan kontribusi yang signifi kan terhadap perbaikan kesejah teraan hidup masyarakat. Sementara itu kondisi pasar global yang lebih didominasi oleh produk-produk berbasis teknologi mengakibatkan posisi perdagangan negara kita juga semakin terpuruk.

Lemahnya ngkat daya saing bangsa ditunjukkan oleh sejumlah indikator antara lain adalah rendahnya kemampuan Iptek nasional dalam menghadapi perkembangan global. Kekuatan bangsa diukur dari kemampuan Iptek sebagai faktor primer ekonomi. Kesenjangan yang terjadi di Indonesia dari sudut pandang ilmuwan merupakan kesenjangan yang serius. Perbandingan tenaga Iptek dan kegiatan riset Indonesia dengan negara berkembang di Asia Tenggara menunjuk kan kesenjangan pertumbuhan nega f. Disadari juga bahwa kesenjangan ini akan mempengaruhi masa depan pembangunan di Indonesia termasuk pembangunan Perguruan Tinggi. Apabila dilihat dari rasio

tenaga peneli , Indonesia memiliki 4 orang peneli per 10.000 penduduk pada tahun 2008. Sementara untuk menjadi negara maju, rasio yang dicapai harus sebesar 60 peneli per 10.000 penduduk1.

Untuk mensejajarkan posisi Indonesia di antara negara-negara lain yang mempunyai rasio sumberdaya manusia Iptek lebih nggi hingga 2 persen2, maka SDM Indonesia perlu dipacu agar bersedia berkecimpung di bidang Iptek dan mampu menumbuhkembangkan kemampuan krea vitas dan inovasinya untuk mendapatkan kemandirian dan daya saing bangsa. Untuk menangani permasalahan yang kompleks tersebut perlu pembaharuan dalam membangunan konsep pemberdayaan SDM Iptek didasari adanya tuntutan perubahan di era globalisasi ini yang ditandai dengan perubahan dan penyempurnaan teknologi yang terjadi secara cepat dan terus menerus, globalisasi bisnis, dimana kompetensi menjadi semakin nggi sehingga tuntutan akan kualitas hasil produksi yang semakin pendek serta demokra sasi yang menjadi faktor pemicu perubahan pengelolaan organisasi.

Tantangan ini hanya dapat dipenuhi apabila SDM yang ada mampu menyerap dan menguasai kemajuan Iptek yang

1 Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Bab 20, Dra 12, Bappenas, Desember 2004.

Gatot wibowo, Manajemen Sumber Daya Manusia Peneli di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua,

Jurnal Pembangunan dan Inovasi Papua.2 Rekomendasi UNESCO, Peningkatan Kemampuan

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Bab 20, Dra 12, Bappenas, Desember 2004.

Page 41: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 179

dibutuhkan untuk menghasilkan ide-ide baru dan teknologi yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara inova f. Tanpa adanya perencanaan yang terarah dan terintegrasi maka akan sukar bagi negara kita untuk mengatasi tantangan ini. Modal dasar yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas dan kuan tas SDM Iptek yaitu potensi SDM dan sumber daya Iptek3 lainnya, variasi pilihan pemanfaatan, pengembangan penguasaan Iptek, keanekaragaman sumberdaya alam, dunia usaha skala besar, menengah dan kecil, potensi pasar dalam negeri. Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) telah membuk kan dirinya sebagai faktor pendorong utama bagi perkembangan ekonomi suatu negara dan peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan suatu bangsa.

Dengan iptek, negara-negara maju telah dapat mengolah sumber daya alam dengan efi sien dan efek f untuk meningkatkan nilai tambahnya dan memperoleh keuntungan di pasar internasional. Dengan memanfaatkan iptek, mereka telah berhasil merekayasa berbagai ar fak untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan juga mendapatkan keuntungan yang besar di pasar internasional. Dengan iptek pula, mereka telah berhasil meningkatkan kenyamanan hidup dan mengurangi berbagai ke daknyamanan hidup seper kemiskinan dan berbagai penyakit yang menyerang manusia. Meskipun harus diungkapkan bahwa iptek juga membawa dampak nega f dalam kehidupan manusia, namun tampaknya sulit dibantah bahwa

3 BAB III VISI IPTEK 2025, Kementerian Riset dan Teknologi 2004.

dampak posi f dan kegunaan iptek jauh lebih besar daripada dampak nega fnya.

Didorong oleh pengalaman negara maju dalam pemanfaatan iptek, maka negara-negara berkembang pun berlomba untuk mengembangkan iptek di negaranya masing-masing. Maka iptek pun masuk ke dalam agenda kebijakan mereka. Tidak terkecuali dengan Indonesia. Pemerintah Indonesia, sejak tahun 1950-an telah melakukan reformasi perguruan nggi nasional, dengan progam yang dikenal dengan is lah Kentucky Contract4, yaitu pengiriman dosen dalam jumlah masif untuk mengambil studi ke USA, dan pada perkembangannya diarahkan juga pada beberapa negara-negara OECD lainnya. Namun hingga kini u lisasinya belum terop malkan untuk terlibat dalam konteks SINas secara melembaga.

Dalam hal ini yang menjadi faktor kunci bagi daya dukung Badan Peneli an dan Pengembangan Perguruan Tinggi terhadap kebijakan pembangunan nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi adalah ketersediaan Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dimiliki oleh Badan Peneli an dan Pengembangan Perguruan Tinggi, selain faktor lainnya seper sarana, prasarana dan sebagainya. Ketersediaan Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ini tentu saja bukan hanya dari segi jumlah dan

4 Pujasak , Yuliar, Studi Tentang Konstruksi Riset di Perguruan Tinggi: Studi Kasus Restrukturisasi Pusat-Pusat Peneli an di ITB, LPPM ITB 2004.

Pauline K.M. van Roosmalen, Professors from Kentucky. The Americaniza on of Indonesian planning a er 1956, Interna onal Conference ‘The Americaniza on of Post-War Architecture’, Toronto,December 1-3, 2005.

Page 42: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

180 ISSN : 2252-911X

gelar akademis yang dimilikinya, namun ketersediaan sebuah profi l Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang mampu mendukung dan mengemban kebijakan pembangunan nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Profi l ini dapat melipu jenis, kuan tas, kualitas dan ngkat produk vitas yang dimilikinya.

Maka dalam perspek f ini Kementerian Riset dan Teknologi memandang perlu melakukan sebuah kajian untuk mengumpulkan, mengiden fi kasi, meng klasifi kasi dan mendeskripsi SDM Iptek pada tataran Badan Peneli an dan Pengembangan Perguruan Tinggi agar didapatkan gambaran profi l nyata dari kapasitas Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dimiliki. Informasi tersebut sangat pen ng untuk melihat peta kekuatan dan kecenderungan Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dimiliki untuk dibandingkan dengan kebutuhan kebijakan pembangunan nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Upaya pembandingan ini dapat dijadikan acuan untuk mengukur ngkat kesenjangan dari daya dukung

Badan Peneli an dan Pengembangan Perguruan Tinggi terhadap tujuan pembangunan nasional.

2. Strategi Pembangunan IPTEK Nasional

Melalui sejumlah analisis terhadap permasalahan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di masa lalu, realitas dan tantangan akan kebutuhan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di masa kini, serta prediksi terhadap kebutuhan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di masa depan, maka Kementerian Riset dan Teknologi menetapkan Kebijakan Strategis

Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tahun 2010 – 2014 dalam sebuah perspek f visi yang berbunyi “Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk kesejahteraan dan kemajuan peradaban”.

Visi ini dengan sendirinya mengandung perspek f yang sangat dalam, sekaligus sebuah janji yang teramat serius bahwa se ap ikh ar yang berbasis pada Ilmu Pengetahuan dan Teknologi harus bermuara pada pencapaian kesejah-teraan, baik kesejahteraan sebuah Negara bangsa maupun kesejahteraan masyarakat dan rakyat. Sebuah kesejahteraan dalam penger an luas, yang dapat melipu kesejahteraan fi sik, mental, spiritual maupun sosial. In nya, pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang berujung pada penderitaan, ketakutan atau terjadinya disharmoni baik pada tataran kebangsaan maupun tataran lintas Negara, seberapapun canggihnya produk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tersebut, sama sekali bukan menjadi mimpi dari kebijakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di negeri ini. Alhasil, pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam rangka perlombaan kecanggihan persenjataan yang digunakan untuk menginisiasi perang, misalnya, jelas bukan bagian dari ja diri Kementerian Riset dan Teknologi.

Tak hanya berakhir pada kesejahteraan, tapi visi dari pembangunan nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi juga ingin menjangkau sisi kemajuan peradaban bangsa ini. Dengan demikian, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi se dak- daknya mampu membawa bangsa ini

berdiri tegak sejajar dengan bangsa lain. Ia harus mampu menjadi sarana bagi

Page 43: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 181

tumbuh kembangnya sebuah bangsa yang luhur, diperhitungkan dan berada pada sisi terhormat dalam tata pergaulan antar bangsa. Dan sejarah secara konsisten senan asa membuk kan bahwa peradaban akan selalu berkorelasi nggi dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, walaupun tak jarang sebuah peradaban juga diakhiri oleh kecanggihan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi itu sendiri.

Sebagai sebuah cara dan sudut pandang, maka visi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ini perlu diimplementasikan dengan menggagas sebuah sistem. Kementerian Riset dan Teknologi telah berikh ar untuk mengimplementasi kannya ke dalam sistem kelembagaan berjangka panjang yang dinamakan Sistem Inovasi Nasional atau SINas.

Sistem ini lahir dari sejumlah kesadaran tentang urgensi inovasi, karena pertarungan ketat di ranah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi saat ini sangat ditentukan oleh ngkat inovasi sebuah bangsa dalam

pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Inovasilah yang akan menentukan keunikan sekaligus keunggulan sebuah karya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Dan inovasi akan menyebabkan sebuah produk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi memiliki karakter dan daya guna yang op mal dalam menyelesaikan permasalahan bangsa serta kemanusiaan.

Sebagai sebuah upaya krea f, inovasi jelas merupakan jenjang krea vitas yang paling nggi. Inovasi berawal dari ke adaan,

sehingga karya inova f senan asa bersifat baru, lain dari yang lain dan bersifat adi karya. Itulah yang membedakannya dengan bentuk krea vitas lain seper duplikasi,

adaptasi, modifi kasi maupun invensi. Dan sebuah karya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang inova f seringkali lahir dari kedalaman penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dipadukan dengan permasalahan, nilai, kearifan dan kejeniusan lokal. Prak snya gagasan, rencana dan mimpi indah ini mutlak bermula dari ketersediaan Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang dari sisi kuan tas maupun kualitas memiliki kelayakan dan kualifi kasi yang memadai untuk mewujudkannya. Karena inovasi memang tak pernah lahir dari kecanggihan instrumen, kelengkapan kepustakaan atau limpahan anggaran sekalipun. Pada peradaban manapun inovasi senan asa lahir dari ha yang gelisah, terenyuh dan peduli, yang kemudian di ndaklanju oleh otak yang cerdas dan terla h. Kejeniusan akan selalu menjadi milik manusia.

Untuk mewujudkan visi kesejahteraan dan peradaban, serta sistem yang menghajatkan lahirnya inovasi-inovasi seper yang dinyatakan di atas, maka kebijakan pembangunan Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi diarahkan untuk mencapai sasaran “Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang profesional untuk menghasilkan kekayaan intelektual melalui peningkatan kualitas dan kuan tas peneli dan perekayasa”. (Sasaran Arah Kebijakan Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ad.2.d).

Kapasitas akan senan asa berbicara tentang potensi dan daya tampung. Sebuah inovasi adalah mustahil bagi Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Page 44: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

182 ISSN : 2252-911X

dengan kapasitas terbatas. Memaksakan sebuah tanggung jawab besar kepada Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan kapasitas rendah, selain akan bermuara pada kegagalan, juga merupakan pemerkosaan dan kezaliman terhadap kemanusiaan. Sedangkan sebuah kapabilitas adalah hasil didik dan la h yang harus dilakukan terhadap kapasitas Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara memadai, agar terbentuk sebuah profesionalisme yang mampu melahirkan dan menghimpun kekayaaan-kekayaan intelektual dari waktu ke waktu, yang dalam perspek f Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dapat mewujud ke dalam bentuk-bentuk peneli an dan perekayasaan. Alhasil, profi l Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang memiliki kelayakan kapasitas dan kapabilitas profesional adalah sebuah keniscayaan.

Demi tercapainya sasaran pembangunan Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tersebut, maka pengembangan kuan tas, kualitas, produk vitas dan kesejahteraan Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan faktor kunci bagi bagi kesuksesannya. Pengembangan kuan tas merupakan kunci pertama pembangunan Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi karena tujuan pembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi jelas tak mungkin ditangani oleh seseorang atau segelin r orang. Lagi pula, sebuah asumsi yang dapat dipertanggungjawabkan menyatakan bahwa, “pada kuan tas akan didapatkan kualitas”. Kebutuhan akan pengembangan kualitas Sumber Daya

Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi juga merupakan salah satu kunci terpen ng. Bahkan dapat dikatakan bahwa kualitas akan lebih menentukan dari kuan tas. Tentunya kualitas ini tak hanya sebatas kualitas kompetensi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan profesionalitasnya, namun kita juga berharap banyak pada kualitas mental, mo vasi, komitmen, ketekunan, keuletan dan sebagainya. Tak hanya sebatas itu, namun pengembangan produk vitas merupakan kunci berikutnya. Ini adalah menyangkut output dan outcome, karena harus disadari bahwa kualitas dan kuan tas hanyalah sebuah prasyarat dan potensi bagi lahirnya karya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Bahkan kita dapat berpikir terbalik bahwa produk vitas adalah penanda dari hadirnya kuan tas dan kualitas. Sedangkan kesejahteraan akan menjadi semacam bahan bakar bagi kendaraan yang akan bergerak.

Dalam konteks Badan Peneli an dan Pengembangan Perguruan Tinggi, maka pencapaian sasaran pembangunan Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dapat diperankan melalui pengembangan Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang secara strategis mampu memberikan pelayanan, kesejahteraan dan kemandirian kepada rakyat melalui peneli an dan pengembangan yang solu f, sekaligus secara poli s memberikan dukungan op mal terhadap pemerintahan.

Pada akhirnya Badan Peneli an dan Pengembangan Perguruan Tinggi diharapkan dapat memiliki Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang memiliki profi l yang mampu

Page 45: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 183

mewujudkan rakyat yang mandiri, sejahtera dan berperadaban, serta pemerintahan yang tepat janji. Dan survey ini ditujukan untuk memetakan profi l Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Badan Peneli an dan Pengembangan Perguruan Tinggi untuk dibandingkan dengan tujuan, kebijakan dan arah kebijakan pembangunan nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, khususnya mewujudkan Sistem Inovasi Nasional atau SINas.

3. Metodologi

Untuk mencapai tujuan seper yang diuraikan di atas, dilakukan kajian kualita f dengan pendekatan studi kasus mul -situs (mul -sites case study). Pendekatan mul -situs, sebagaimana disarankan dalam Creswell (1998), dapat digunakan bila kasus yang dipelajari mencakup sejumlah program yang terpisah dalam waktu, tempat, dan konteks prak s, namun memiliki keterpautan isu-isu. Dalam peneli an ini, kasus yang dikaji mencakup: (i) proses konsepsi undang-undang mengenai badan hukum pendidikan (rancangan UU BHP); (ii) transformasi kelembagaan perguruan nggi dalam merespons Perguruan Tinggi

Otonom dan Perguruan Tinggi Riset (dalam hal ini dipilih sampel Ins tut Teknologi Bandung, Universitas Kristen Satyawacana, dan Politeknik ITB); (iii) persepsi mahasiswa tentang peran perguruan nggi; (iv) revitalisasi peran PUSPIPTEK-Kemenristek. Data yang dikumpulkan dalam kajian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer berbentuk: (i) transkrip wawancara dengan berbagai informan terkait yang dilaksanakan pada kurun waktu Mei sampai Juli 2009; (ii) catatan

dari diskusi dalam FGD yang dilaksanakan di Kemenristek dan beberapa Perguruan Tinggi di daerah pada selang tahun 2009 – 2010.

4. Kerangka Teori k

Sebagai suatu en tas yang tekait dalam budaya dan peradaban manusia, pendidikan di berbagai belahan dunia mengalami perubahan yang mendasar dalam era globalisasi. Teasdale (1999) dalam bukunya berjudul “Local Knowledge and Wisdom in Higher Educa on” menyinggung sejarah kejayaan pusat pendidikan dunia pada abad ke-16. Dikatakan bahwa pusat kejayaan pendidikan nggi dunia pernah terdapat di kota-kota besar dunia pada waktu itu seper Bagdad, Istanbul, Cordoba dan Kairo. Pada saat itu dak sedikit bangsa barat dari Eropa yang datang ke kota-kota tersebut untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara barter yaitu menukar hasil pertanian mereka dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemunculan ilmu pengetahuan modern sebagai akibat dari adanya perkembangan intelektual pada abad ke-19, mempunyai karakteris k lebih kompleks dari perkembangan intelektual abad sebelumnya. Kemunculannya dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, daerah perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin luas, dimana Amerika dan Rusia telah memberikan kontribusi yang pen ng bagi perkembangan ilmu pengetahuan, serta adanya kesadaran bangsa Eropa tentang Filsafat India. Kedua, ilmu pengetahuan yang telah menjadi kekuatan utama sejak abad XVII mengalami perluasan, khususnya dibidang geologi, biologi, dan kimia. Ke ga, mesin produksi

Page 46: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

184 ISSN : 2252-911X

yang secara pas merubah struktur sosial sekaligus memberikan konsep-konsep baru dalam hubungannya dengan lingkungan fi sik. Keempat, adanya perubahan yang cepat (revolusi) baik dibidang fi lsafat, poli k, yang telah merubah sistem pemikiran tradisional.

Di dunia modern, ilmu pengetahuan dan segala elemennya telah menjadi lambang supremasi modernisme. Metode ilmiah, baik yang berhubungan dengan alam, manusia atau sosial menjadi parameter pembuk an yang paling mujarab. Meski demikian para ilmuwan sepakat bahwa peralihan dari abad pertengahan ke abad modern ditandai oleh suatu era yang disebut “renaissance”. Renaissance adalah suatu zaman yang sangat menaruh perha an dalam bidang seni lukis, patung, arsitektur, musik, sastra, fi lsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi (H.S Lucas, The Rennaissance and the Reforma on, 1960). Pada zaman ini berbagai gerakan bersatu untuk menentang pola pemikiran abad pertengahan yang dogma s, sehingga melahirkan suatu perubahan revolusioner dalam pemikiran manusia dan membentuk suatu pola pemikiran baru dalam fi lsafat. Zaman renaissance terkenal dengan era kelahiran kembali kebebasan manusia dalam berpikir.

Ilmu pengetahuan sebagai objek merupakan himpunan informasi yang berupa pengetahuan ilmiah tentang gejala yang dapat dilihat, dirasakan, atau dialami. Gejala tersebut dapat berupa gejala alam (seper angin, gempa, ombak, gerak benda, dsb), atau gejala sosial (seper masyarakat bangsa, unjuk rasa, kemakmura, dsb), ataupun gejala pikir,

yang abstrak wujudnya, seper konsep-konsep tentang bilangan dan himpunan dalam matema ka (Sasmojo, 2004 : 57). Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi sesuatu yang sangat pen ng dalam memahami berbagai dinamika perkembangan pendidikan itu sendiri termasuk perkembangan dunia perguruan nggi yang mempunyai fungsi menjadi research university atau fungsi-fungsi yang berhubungan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Peneli an, dan Pengabdian Masyarakat). Dalam konteks khusus bahwa ilmu pengetahuan di perguruan nggi yang menjungjung nggi prinsip akademik secara ilmiah harus mampu melihat zaman atau bahkan menjadi solusi atas berbagai permasakahan yang terjadi.

Hingga awal 1970-an, masih banyak ilmuwan yang percaya bahwa ins tusi-ins tusi pendidikan adalah salah satu andalan utama untuk membangun suatu sistem sosial yang terbaik. Runtuhnya Tembok Berlin di 1989 mencerminkan pergeseran-pergeseran dalam agenda poli k global, yang membawa implikasi dalam kebijakan riset dan pendidikan nggi. Mass (2002) mencatat bahwa

sejak awal 1990-an, negara-negara OECD (Organiza on for Economic Coopera on and Development) mendapat tekanan-tekanan akibat meluasnya kesadaran publik bahwa ak vitas riset yang dibiayai dengan dana publik harus lebih bermanfaat bagi masyarakat sipil. Dengan berakhirnya Perang Dingin, berkembang meluas tuntutan untuk mewujudkan demokra sasi. Kegiatan riset makin dituntut untuk mampu menyediakan

Page 47: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 185

pengetahuan sosial dan humanitas untuk menjamin kualitas kehidupan sosial secara keseluruhan.

Pada abad milenium ini pusat kejayaan pendidikan dunia telah berada pada negara-negara maju (developed countries) seper Jepang, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Canada, US, Uni Eropa, Australia dan New Zealand. Realita ini diindikasikan dengan banyaknya hasil-hasil peneli an ilmiah (scien fi c fi ndings) dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dipublikasikan di berbagai media, website internet dan beberapa jurnal ilmiah yang bereputasi dan terakreditasi secara internasional oleh perguruan-perguruan nggi di negara tersebut. Lagi pula, negara-negara tersebut diatas maju dalam membangun bangsanya karena mereka berpegang pada paradigma “build na on build schools” yang mengandung penger an kontekstual yaitu “memajukan bangsa melalui pendidikan”.

Salah satu fungsi sistem pendidikan di banyak negara adalah menghasilkan pengetahuan teknis/administra f yang pada akhirnya diakumulasi oleh kelompok-kelompok dominan dan digunakan dalam mengontrol ekonomi, poli k, dan budaya. Dalam sejarah peradaban umat manusia, dunia akademik (pendidikan) selalu memainkan peranan sentral, apakah sebagai konservator nilai-nilai dominan yang berlaku ataukah sebagai sumber nilai-nilai baru bagi dinamika masyarakat. HAR Tilaar (2003) mengungkapkan :

“Ada masanya dunia akademik (pendidikan) dijadikan konservator nilai-nilai tertentu dari suatu sistem

kekuasaan atau diperalat oleh suatu sistem kekuasaan. Ada pula masanya dunia akademik (pendidikan) menjadi mata air perubahan sosial. Dari kedua situasi tersebut tersurat hakikat paling dalam dari dunia akademik ialah adanya kebebasan atau keterbukaan berpikir” (HAR Tilaar, 1992)

Pendidikan menurut Charles E Silberman dak sama dengan pengajaran, karena

pengajaran hanya meni kberatkan pada usaha mengembangkan intelektualitas manusia. Sedangkan pendidikan berusaha mengembangkan seluruh aspek kepribadian dan kemampuan manusia, baik dilihat dari aspek kogni f, apek f, dan psikomotor. Pendidikan mempunyai makna yang lebih luas dari pengajaran, tetapi pengajaran merupakan sarana yang ampuh dalam menyelenggarakan pendidikan. Defi nisi-defi nisi pendidikan yang lainnya, diantaranya adalah :

a. Pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pela han (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991)

b. Dalam penger an yang sempit pendidikan berar perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan (McLeod, 1989).

c. Pendidikan ialah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup serta pendidikan dapat diar kan sebagai pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal (Mudyahardjo, 2001:6)

Page 48: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

186 ISSN : 2252-911X

d. Dalam penger an yang agak luas pendidikan diar kan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara ber ngkah laku yang sesuai dengan kebutuhan (Muhibinsyah, 2003 : 10)

e. Pendidikan berar tahapan kegiatan yang bersifat kelembagaan yang dipergunakan untuk menyempurnakan perkembangan individu dalam menguasai pengetahuan, kebiasaan, sikap, dan sebagainya (Dic onary of Psychology, 1972).

f. Dalam ar luas pendidikan melipu semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, dan keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah. Ar nya pendidikan adalah usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk dengan pengaruhnya meningkatkan si anak ke kedewasaan yang selalu diar kan mampu menimbulkan tanggung jawab moril dari segala perbuatannya (Poerbajawatja dan Harahap, 1981).

4.1 Kebijakan Pendidikan

Dalam konteks persaingan global, maka tugas sektor publik adalah membangun lingkungan yang memungkinkan se ap aktor, baik bisnis maupun nirlaba, untuk mampu mengembangkan diri menjadi pelaku-pelaku yang kompe f, bukan hanya secara domes k, melainkan global. Lingkungan ini hanya dapat diciptakan secara

efek f oleh kebijakan publik. Kebijakan publik yang terbaik adalah kebijakan yang mendorong se ap warga masyarakat untuk membangun daya saingnya masing-masing, dan bukan semakin menjerumuskan ke dalam pola ketergantungan (Nugroho, 2003). Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau defi nisi mengenai apa yang dimaksud dengan kebijakan publik (public policy) dalam literatur ilmu poli k. Salah satu defi nisi mengenai kebijakan publik diberikan oleh Thomas R. Dye (1975) yang mengatakan bawa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan dak dilakukan. Seorang pakar ilmu poli k lainnya Richard Rose (dalam Winarno, 2005) menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan sendiri. Sedangkan menurut James Anderson (dalam Winarno, 2005), kebijakan merupakan arah ndakan yang mempunyai maksud yng ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Kebijakan publik dalam ar luas dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kebijakan dalam bentuk peraturan-peraturan pemerintah yang tertulis dalam bentuk peraturan perundangan, dan peraturan-peraturan yang dak tertulis namun disepaka , yaitu yang disebut konvensi-konvensi. Theodore J. Lewi membagi amatan kebijakan publik menjadi dua, yaitu yang berkenaan dengan substansi dan yang berkenaan dengan prosedur (dalam Nugroho, 2003).

Page 49: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 187

Dalam perkembangan selanjutnya, domain kebijakan publik telah melampaui ke ga bidang dalam pendekatan tradisional (masalah pertahanan, hubungan luar negeri dan masalah hukum dan keter ban), saat ini studi tentang kebijakan publik telah mencakup berbagai bidang seper misalnya pendidikan, kesehatan, perumahan, perdagangan, dan lain sebagainya (Santoso, 1993). Bila berbicara kebijakan dalam bidang pendidikan dirasakan bahwa se ap kebijakan dan praktek poli k akan berimplikasi pada dan berkaitan dengan dunia pendidikan dan se ap kebijakan dan praktek pendidikan berimplikasi pada dan berkaitan dengan dunia poli k. Banyak persoalan poli k dak dapat dipahami, dijelaskan, dan

diatasi tanpa perspek f dan pendekatan pendidikan dan begitu juga sebaliknya, banyak persoalan pendidikan dak dapat dijelaskan, dipahami, dan diatasi tanpa perspek f dan pendekatan poli k (Sirozy, 2003).

Dalam kerangka hubungan mutualisme simbiosis antara pendidikan dan poli k, kebijakan desentralisasi pendidikan dapat dilihat sebagai bagian dari strategi poli k penguatan untuk menata sistem pendidikan nasional dan dapat juga dilihat sebagai bagian dari strategi pendidikan untuk menata sistem poli k nasional. Masih menurut Sirozy (2003), walaupun dalam retorika penerapannya sarat dengan nilai-nilai dan semangat kependidikan, namun mo vasi dasarnya bisa saja untuk mewujudkan nilai-nilai dan kepen ngan poli k tertentu, bukan nilai-nilai dan kepen ngan pendidikan.

4.2 Kebijakan Pendidikan Tinggi

Kata universitas berasal dari kata la n universitas magistrorum et scholarium yang ar nya masyarakat para dosen dan pakar. Sementara itu ada kata pen ng lain yang terkait dengan universitas, yaitu academia yang aslinya akademia yang memiliki ar kolek f untuk masyarakat ilmu pengetahuan dan budaya yang melaksanakan pendidikan nggi serta riset dalam satu kesatuan. Penger an tentang perguruan nggi atau universitas pada mulanya adalah kegiatan yang memiliki in minimum peneli an atau pengembangan ilmu dengan tujuan mencari kebenaran dan mendidik pakar. Saat ini, penger an perguruan nggi telah berubah menjadi sebuah ins tusi yang mengajar mahasiswa menjadi orang yang berbudaya dan anggota masyarakat yang baik dalam keprofesiannya (Gasset, 1966 dalam Santoso 2007).

Akhir-akhir ini terjadi perubahan pen ng proses transfer ilmu, yaitu dari pengajaran kepada pembelajaran. Dengan demikian peran profesional dosen dalam pengajaran maupun kompetensi keilmuannya menjadi sangat pen ng. Suatu hal pen ng yang harus diperha kan pula ialah globalisasi ekonomi, ar nya akan berdampak pula bahwa seorang dosen harus mampu pula berperan secara global. Perlu dicerma bahwa pendidikan nggi harus mampu membentuk masyarakat jujur dan cerdas (Santoso, 2005). Jika kita memperha kan uraian tersebut, tampaknya universitas yang benar penger annya ialah perwujudan dari science center. Ar nya, mendirikan universitas seharusnya berpikir mendirikan pusat ilmu pengetahuan. Mengapa? Karena

Page 50: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

188 ISSN : 2252-911X

di universitas yang dikelola adalah ilmu pengetahuan. Perguruan nggi memiliki perbedaan mencolok jika dibandingkan dengan sekolah dasar maupun menengah. Perguruan nggi memiliki kewajiban untuk mengelola ilmu pengetahuan agar tetap berkelanjutan. Oleh karena itu komponen utama kegiatan perguruan nggi ialah riset dan pendidikan (termasuk pengabdian kepada masyarakat). Dinamika riset, inovasi, dan industri dak dapat dilepaskan dengan pertumbuhan peradaban manusia. Tanpa ada inovasi baru, manusia dan masyarakat yang telah tumbuh menjadi dak tepat lagi dengan kebutuhan manusia

atau masyarakat pada zaman tertentu. Akibatnya, industri tersebut akan menurun dan ma . Sedangkan inovasi dak mungkin muncul tanpa riset. Sehubungan dengan hal itu riset merupakan pilar pen ng bagi keberlanjutan industri.

Berkaitan dengan industri, universitas sewajarnya dapat menjadi sumber inovasi untuk keberlanjutan industri. Cara untuk mendapatkan inovasi ialah dengan melakukan riset. Dalam kaitan dengan industri, riset yang dilakukan selalu terkait dengan teknologi dalam ar cenderung kepada perangkat keras atau juga konsep-konsep untuk pertumbuhan industri jasa atau bahkan industri jasa pengetahuan. Membuat pusat riset, daklah mudah dan murah karena memerlukan sumber daya manusia dan infrastruktur yang memadai. Jika dibentuk dan dikelola dengan benar, universitas akan memenuhi syarat yang terkait, sehingga hubungan antara pendidikan nggi, ilmu pengetahuan, dan teknologi dalam industrialisasi negara dapat dikelola efek f dan efi sien. Jika kita

mengkaji peran universitas dalam suatu negara dalam perspek f semacam ini, maka yang diperlukan universitas ialah kemandirian.

4.3 Pendidikan Tinggi sebagai Sektor Publik

Menurut Kast dan Rosenzweig (1974:538) perguruan nggi didirikan dengan tujuan utama untuk menghasilkan produk berupa pengetahuan yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia sehingga memiliki nilai tambah dan mampu bersaing. Tujuan lainnya dari perguruan nggi adalah menyebarkan ilmu pengetahuan yang dihasilkannya melalui pengajaran serta melakukan pengujian melalui pengabdian kepada masyarakat untuk mengetahui kesesuaian ilmunya dengan kebutuhan masyarakat. Selanjutnya menurut Laurits Holm-Nielson (Lead Specialist for higher Educa on Science and Technology the world Bank), tren baru kecenderungan globalisasi yang terjadi saat ini berpengaruh pada bentuk dan cara penyelenggaraan pendidikan nggi. Di banyak negara, perubahan trend

ini juga telah mengubah sistem pendidikan nggi. Perubahan tersebut, antara lain

disebabkan oleh pesatnya perkembangan pengetahuan, revolusi di bidang informasi dan komunikasi, munculnya pasar tenaga kerja dunia dan perubahan sosial poli k global. Nelson menilai, pendidikan nggi merupakan kunci terpen ng dalam pembangunan ekonomi secara global. Akumulasi penguasaan pengetahuan dapat menjadi keunggulan kompe f suatu negara. Di negara-negara maju, investasi di bidang peneli an dan pengembangan (litbang) bisa mencapai 85 persen dari

Page 51: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 189

total anggaran litbang seluruh dunia. Di Cina, India, Brasil dan sejumlah negara di Asia Timur total anggaran litbangnya mencapai 11 persen dari total anggaran litbang dunia. Hanya tersisa empat persen yang dibagi oleh negara-negara sedang berkembang. Masih menurut Nelson, negara-negara sedang berkembang dak memahami strategi pertumbuhan ekonomi melalui penguasaan pengetahuan. Padahal, penguasaan pengetahuan melalui pendidikan pada akhirnya dapat meningkatkan kapasitas keuntungan kompe f negara bersangkutan.

4.4 Manfaat Pendidikan Tinggi

Mengu p laporan UNESCO, Jacques Delors et al (1998) mengatakan bahwa peran perguruan nggi di negara berkembang sangatlah sentral. Perguruan nggi merupakan tempat penyiapan sumberdaya manusia untuk mendukung pembangunan nasional, baik dari tenaga madia yang terampil, maupun para pemikir dan ilmuwan peneli yang handal. Perguruan nggi adalah lembaga pendidikan

menyumbang ilmu dan teknologi bagi masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan, dan bukan sebagai ”pabrik sarjana”, bukan sebatas menerima mahasiswa sebanyak mungkin, membangun fasilitas fi sik, namun universitas bersifat luwes dan dak terdikte oleh kebutuhan pasar belaka. Perguruan nggi mes nya lembaga pendidikan yang

juga merupakan bagian dari kebudayaan bangsa yang dak lepas dari nilai-nilai historis sebagai sumber iden tas dan kesatuan nasional. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa pendidikan dak dapat lepas sama sekali dari berbagai kepen ngan ekonomis-poli s, maka

perguruan nggi berkewajiban dan bertanggungjawab memberi nilai kultural yang membawa perubahan masyarakat lebih beradab.Di samping itu ada misi untuk mengembangkan pendidikan yang berorientasi dimensi kultural bagi produk- produk teknologi, informasi, dan seni. Dari k ini diharapkan ada sumbangan nyata

yang berujud informasi, materi, serta karya ilmiah yang menguntungkan peradaban masyarakat, baik secara biologis, kultural, psikis, sosio-ekonomis, ekologis.

Untuk memberi pemahaman lebih utuh ihwal pendidikan nggi sebagai sarana umum, perlu dikaitkan dengan fungsi dan manfaat pendidikan nggi. Anthony Chambers dalam Special Role of Higher Educa on in Society (2005) mengiden fi kasi lima fungsi pokok pendidikan nggi. (1) Fungsi riset, terkait pengembangan ilmu pengetahuan dan penemuan ilmiah (scien fi c innova on); (2) fungsi pengajaran, terkait pela han tenaga terampil dan berkualifi kasi nggi; (3) fungsi pengabdian, terkait layanan jasa bagi masyarakat; (4) fungsi penyiapan individu sebagai warga negara yang baik guna membangun masyarakat beradab dan demokra s; dan (5) fungsi kontrol sosial, kri k publik, dan penjaga moral agar perilaku masyarakat tetap merujuk nilai-nilai e ka sosial yang berlaku umum. Jelas, pendidikan nggi memberi manfaat besar bagi individu dan masyarakat, secara ekonomi ataupun sosial.

Sco London dalam Higher Educa on for the Public Good (2005) menjelaskan, di ngkat individu, manfaat pendidikan nggi secara ekonomi adalah (1) membuka peluang pengembangan karier dan pekerjaan yang

Page 52: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

190 ISSN : 2252-911X

lebih baik; (2) meningkatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan relaksasi; dan (3) membuka ruang berbagai ak vitas sosial dengan pendapatan yang lebih. Adapun manfaat di ngkat sosial individu adalah (1) menyediakan pilihan-pilihan dalam mengembangkan kehidupan; (2) mengembangkan jaringan dan membangun kemitraan untuk memupuk modal sosial; dan (3) memperluas pemikiran guna mencapai kepuasan individual.

Manfaat ekonomis pendidikan nggi di ngkat masyarakat adalah (1) merangsang

kegiatan ekonomi, menciptakan iklim bisnis yang baik, dan membuka lapangan kerja; (2) memacu belanja untuk konsumsi dan meningkatkan pendapatan pajak; dan (3) mendorong inovasi teknologi. Adapun manfaat sosial di masyarakat adalah (1) memperkuat kohesi sosial melalui pengakuan dan penghargaan atas keragaman budaya dalam masyarakat; (2) memperkuat struktur sosial sebagai basisbagi pengembangan masyarakat pluralis dan kepemimpinan poli k demokra s; dan (3) meneguhkan nilai-nilai civic morality dan public responsibility untuk menciptakan masyarakat berkeadaban.

4.5 Evolusi Perguruan Tinggi dan Reformasi Kebijakan

Dalam kajian-kajian historis tentang perguruan nggi , umumnya perguruan nggi Humbold an dinyatakan sebagai

bentuk awal dari perguruan nggi modern. Is lah Humbold an itu sendiri merujuk pada Wilhelm von Humboldt, yang pada 1809 mungusulkan gagasan tentang perguruan nggi atas dasar fi losofi idealis bahwa perguruan nggi merupakan wadah bagi pembentukan karakter

manusia (Keck, 1993). Dalam fi losofi idealis tersebut, pembentukan karakter melalui pengetahuan dipandang sebagai tujuan ter nggi dalam kehidupan individual manusia dan pewujudan nilai-nilai luhur kemanusiaan, sedangkan pencarian manfaat material dari pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang kurang berharga.

Jadi, dalam konsepsi Humbold an, perguruan nggi diselenggarakan oleh akademia yang mengabdi pada ilmu pengetahuan demi pewujudan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Ilmu-ilmu seper fi lsafat, matema ka, fi lsafat alam (natural philosophy), dan humaniora mendapat prioritas utama dalam perguruan nggi Humbold an, sementara pengetahuan empiris dan eksperimental dipandang sebagai ilmu-ilmu yang sekunder. Tetapi perkembangan perguruan nggi Humbold an menemui hambatan-hambatan sebagai dampak dari gejolak sosial-poli k. Dan ke ka terjadi Perang Napoleon, banyak perguruan nggi di Jerman yang kemudian ditutup (Keck, 1993).

Di pertengahan abad ke-19, perguruan-perguruan nggi yang berkembang di Jerman lebih berorientasi pada riset, dengan pendanaan yang berasal dari pemerintah. Salah satu yang menonjol adalah perguruan nggi Go ngen, yang didirikan oleh kerajaan Hanover. Perguruan-perguruan nggi tersebut mendapat pengawasan dari pemerintah. Melalui kebijakan yang berpola top-down, pemerintah menyediakan dana, fasilitas riset, dan mendatangkan ilmuwan-ilmuwan terkemuka untuk bekerja di perguruan-

Page 53: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 191

perguruan nggi. Sebagian besar lulusan perguruan nggi disalurkan ke instansi-instansi pemerintahan. Perkembangan seper ini dak selaras dengan konsepsi Humbold an, di mana perguruan nggi diasumsikan sebagai organisasi otonom yang terbebas dari pengawasan dan pengendalian pemerintah ataupun kelas penguasa (ruling class).

Dalam situasi-situasi seper yang dipaparkan di atas, upaya-upaya pengembangan pengetahuan baru untuk tujuan komersial ataupun industrialisasi kurang mendapatkan penghargaan di masyarakat. Perkembangan industri-industri di Jerman (di abad ke-19) kurang mendapat dukungan dari kegiatan riset perguruan nggi (Keck, 1993). Sebagai respons atas situasi seper ini, sejumlah organisasi profesi yang terkait dengan industri mengambil inisia f untuk mendirikan ins tusi pendidikan nggi lain, yang dikenal dengan nama technische Hochschule. Pendirian ins tusi ini dimaksudkan untuk menghasilkan sarjana-sarjana teknik yang mengisi kebutuhan tenaga kerja di industri-industri.

Keberadaan sistem ganda (dual system) seper ini—perguruan nggi riset dan technische Hochschule, mencerminkan adanya persaingan antarkelas sosial di masyarakat Jerman di masa itu, yang ada gilirannya membawa dinamika yang unik dalam sistem inovasi di Jerman (Keck, 1993). Sistem ganda seper ini juga berkembang di Perancis di abad ke-19, yaitu sistem perguruan nggi dan Grandes Ecoles (Nelson, 1993). Grandes Ecoles merupakan suatu bentuk sekolah teknik profesional yang memberikan

layanan pendidikan dan pela han untuk menghasilkan tenaga ahli, bukan tenaga periset. Sekolah-sekolah teknik di Perancis di masa itu dak didasarkan pada riset ilmiah. Kurikulum dirancang untuk menyerap dan menggunakan hasil-hasil ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah ada, tetapi dak menekankan metode ilmiah untuk kegiatan riset dan produksi ilmu pengetahuan dan teknologi baru (Nelson, 1993). Berdirinya Grandes Ecoles tersebut merupakan hasil dari upaya re-organisasi sistem pendidikan nggi yang dipimpin langsung oleh Napoleon (Chesnais, 1993). Perguruan-perguruan nggi di Perancis baru mulai tumbuh

berkembang pada dekade 1880-an, seiring dengan reformasi di sektor pendidikan, poli k dan sosial. Fasilitas dan infrastruktur perguruan nggi di ngkatkan, dan para profesor mendapatkan kewenangan yang nggi dalam pengelolaan internal perguruan nggi. Dengan berdirinya perguruan-perguruan nggi tersebut, sistem perguruan nggi mulai menjadi tandingan bagi Grandes Ecoles.

Jadi, di Perancis abad ke-19, seper juga di Jerman di masa itu, ilmu pengetahuan dan teknologi dan industri berkembang dalam jalur-jalur yang terpisah. Di satu sisi, kegiatan riset di perguruan nggi diarahkan pada kepen ngan kelas penguasa dan mendapatkan dukungan dana yang besar dari pemerintah. Kegiatan riset tersebut dak berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan industri. Di sisi lain, industri-industri dikembangkan dalam kelas-kelas sosial di luar kelas penguasa (the ruling class). Prak k komersialisasi hasil riset dak dikenal di Eropa di masa

Page 54: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

192 ISSN : 2252-911X

itu. Komersialisasi riset , untuk pertama kalinya, diprak kkan di Amerika Serikat (AS) di awal abad ke-20 (sebelum Perang Dunia I). Menurut catatan Mowery dan Rosenberg (1998), sampai di akhir abad ke-19 ngkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Amerika Serikat jauh ter nggal dari ngkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Eropa (terutama di Perancis, Jerman, Belanda, dan Inggris). Meski demikian, di masa itu ngkat kesejahteraan masyarakat Amerika Serikat jauh lebih nggi dari masyarakat negara-negara Eropa. Tingkat kesejahteraan yang nggi dari masyarakat Amerika Serikat tersebut ditopang oleh faktor kekayaan sumber daya alam, pasar domes k yang berukuran besar, dan meluasnya prak k wirausaha.

Komersialisasi hasil riset perguruan nggi mulai diprak kkan di Amerika Serikat ke ka Pemerintah Federal mengeluarkan kebijakan an trust yang melarang perusahaan-perusahaan melakukan prak k kartel. Sebagai respons terhadap kebijakan tersebut, perusahaan-perusahaan mulai mengubah strategi persaingan mereka, dan mencari cara-cara diferensiasi produk untuk memenagkan persaingan (Mowery dan Rosenberg, 1998). Untuk menjalankan strategi diferensiasi produk tersebut, perusahaan-perusahaan Amerika Serikat ‘meminjam’ ilmu pengetahuan dan teknologi dari Eropa, dan melakukan adaptasi untuk keperluan persaingan domes k. Para akademisi dari perguruan-perguruan nggi lokal/nasional dilibatkan untuk mendukung strategi ‘pinjam dan komersialisasi’ (borrowing and commercializing) tersebut. Salah

satu contohnya adalah proses Haber-Bosch, yang dapat mengubah nitrogen di atmosfer menjadi pupuk dalam jumlah yang berlimpah. Teknologi ini semula dikembangkan oleh para ilmuwan Jerman. Kemudian teknologi ini diadopsi oleh insinyur-insinyur industri di AS, dan setelah menempuh waktu yang panjang akhirnya berhasil dikomersialkan.

Sampai sekitar awal dekade 1940-an, kegiatan-kegiatan riset dan pengembangan produk di industri-industri di AS masih berpola ‘pinjam dan komersialisasi’. Sumber-sumber ilmu pengetahuan dan teknologi seper mesin bakar, kimia organik dan polimer, serta pesawat jet komersial semuanya berasal dari hasil-hasil riset di Eropa. Para pengusaha AS meminjam hasil-hasil riset ini, dan juga menyewa para periset dari Eropa untuk melakukan modifi kasi secara berangsur-angsur, untuk tujuan komersial. Ke ka upaya komersialisasi hasil riset mulai menunjukkan hasil, berkembanglah riset in-house dalam perusahan-perusahaan, yang kemudian melahirkan gagasan tentang ‘laboratoria industrial .’ Perguruan-perguruan nggi (terutama MIT dan universitas Stanford) mulai terlibat dalam memasok hasil riset untuk perusahaan-perusahaan swasta. Relevansi antara riset di perguruan nggi dan riset industrial mulai meningkat, dan kegiatan-kegiatan riset akademik di perguruan nggi berorientasi sepenuhnya terapan (pure applied research).

Ke ka berkembang permasalahan-permasalahan teknis di industri yang memiliki potensi ekonomik yang signifi kan, hal ini menjadi sumber inspirasi bagi

Page 55: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 193

para periset di perguruan nggi untuk melakukan riset yang bersifat fundamental (fundamental/basic research). Misalnya, dalam bidang fi sika keadaan padat (solid state physics), perkembangan yang pesat dalam riset fundamental dipicu oleh penemuan transistor pada 1947, yang telah mendemonstasikan manfaat ekonomik yang nggi. Sejak itu makin banyak ilmuwan yang memfokuskan riset mereka di aspek-aspek fundamental dari fi sika keadaan padat.

4.6 Perkembangan di Asia

Odagiri dan Goto (1993) mencatat bahwa di era Restorasi Meiji (periode 1868-1911), di masa ke ka feodalisme dihapus dari sistem pemerintahan Jepang, perubahan ini membawa pada konsolidasi sosial-poli k bangsa Jepang. Pemerintah dan rakyat Jepang mulai menengok pada posisi Jepang dalam kancah poli k internasional, dan memutuskan untuk mengejar keter nggalan ekonomik dari negara-negara Barat serta meningkatkan kekuatan militer untuk menolak ancaman penjajahan. Salah satu langkah pen ng yang ditempuh Jepang adalah melakukan impor ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemerintah Jepang melakukan berbagai upaya: menerjemahkan buku-buku asing; mengirimkan generasi muda yang berpotensi untuk studi di luar negeri; mendatangkan para pakar asing; mengimpor mesin-mesin untuk dilakukan reverse engineering . Sistem pendidikan modern dari negara-negara Barat, mulai dari ngkat dasar sampai ngkat nggi, secara bertahap diadopsi

dan diadaptasikan ke dalam konteks sosial masyarakat Jepang. Jepang, sejak sebelum

Restorasi Meiji, telah memiliki sistem pendidikan ( ngkat dasar dan menengah) yang diselenggarakan dalam biara-biara Buddha (disebut Terakoya), dan telah ada sejumlah pendidikan nggi tradisional. Di tahun 1886 engineering college pertama kali didirikan, dan menjadi cikal-bakal perguruan nggi Tokyo.

Di awal dekade 1880-an pemerintah Jepang membangun sejumlah pabrik-pabrik untuk menggerakkan industri di sektor pertambangan, kereta api, perkapalan hingga teks l. Di masa itu sektor swasta masih lemah dalam kemampuan modal, dan pemerintah mengambil peran sebagai penghela berbagai kegiatan pembangunan. Dalam konteks kebijakan seper ini, sejak awal perkembangannya perguruan-perguruan nggi di Jepang sudah berorientasi pada

riset dan pengembangan industrial. Hubungan antara perguruan nggi dan industri terjalin dengan erat, dengan dihela melalui program-program pemerintah. Se ap langkah impor teknologi yang ditempuh pemerintah Jepang selalu disertai dengan pengembangan teknologi domes k oleh para insinyur industri-industri. Ini semua membawa implikasi kemajuan teknologis yang pesat di industri-industri Jepang di masa itu. Meski di abad ke-20 sistem ekonomi Jepang mengalami banyak perubahan, karakter hubungan ga pihak perguruan nggi-industri-pemerintah di Jepang dak banyak mengalami perubahan (Odagiri dan Goto, 1993).

Uraian di atas mengenai perkembangan di Jepang memperlihatkan watak hubungan perguruan nggi-industri yang sangat

Page 56: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

194 ISSN : 2252-911X

berbeda dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Bagi masyarakat Jepang, ilmu pengetahuan dan teknologi modern bukan merupakan pewujudan (embodiement) dari pembedaan kelas-kelas sosial. Sebaliknya, di Jepang, ilmu pengetahuan dan teknologi dan ekonomi, perguruan nggi dan industri, dak pernah terceraikan. Perguruan-

perguruan nggi modern di Jepang sejak awal berdirinya sudah berorientasi pada riset dan pengembangan industrial. Di era Meiji, Jepang ‘mencuri’ ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara-negara Barat untuk memacu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tradisional. Dengan perkataan lain, Jepang berhasil melakukan kombinasi antara impor ilmu pengetahuan dan teknologi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara endogeneous, untuk tujuan membangun kekuatan dan kedaulatan nasional (Odagiri dan Goto, 1993).

Berbeda dari Jepang, beberapa negara Asia/Afrika lain yang, lantaran mengadopsi model pembangunan tertentu, melakukan adopsi dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat tanpa mengupayakan pengembangan secara endogeneous (pengembangan yang secara hakiki bersumber dari dalam). Mereka percaya bahwa apa-apa yang berkembang di Barat merupakan lambang dan sumber kemajuan. Alih-alih berupaya melakukan pengembangan dari dalam, para periset di negara-negara tersebut melakukan pengejaran keter nggalan (catch up) dengan cara-cara yang berpola imita f,

yang akhirnya justru terperangkap ke dalam kebergantungan ilmu pengetahuan dan teknologi pada negara-negara Barat (Goona lake, 1984). Negara-negara ‘Timur’ lainnya yang memperlihatkan karakter perkembangan perguruan nggi dan ilmu pengetahuan dan teknologi yang serupa dengan Jepang, tetapi dengan karakter yang spesifi k, adalah Cina dan India (Ahmad, 1988).

4.7 Pergeseran Nilai-Nilai

Pada umumnya para akademisi dan perguruan-perguruan nggi dak memiliki pengalaman dalam komersialisasi hasil-hasil riset. Sebaliknya, para pelaku usaha juga dak akrab dengan situasi riset akademik. Di era Perang Dingin, arena akademik dan arena ekonomik rela f terpisah satu dari yang lain. Keadaan ini berubah ke ka berkembang tuntutan terhadap perguruan nggi untuk meningkatkan kontribusinya dalam pembangunan sosial-ekonomik. Para periset dituntut untuk menggali potensi-potensi ekonomik dari hasil riset, dan para administrator perguruan nggi diminta untuk mendukung upaya-upaya komersialisasi riset ini. Meski terdapat kasus-kasus di mana transformasi perguruan nggi berlangsung tanpa penolakan yang berar , pada umumnya upaya-upaya untuk mengintegrasikan kegiatan akademik dan kegiatan ekonomik menimbulkan kontroversi, dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang watak seja dan tujuan perguruan nggi (Etzkowitz, 2000; Calvert, 2002; Lee,

1997; Rip, 2008).

Page 57: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 195

Tabel 1. Klasifi kasi Bentuk Perguruan Tinggi.

Bentuk Kegiatan In Misi Pemangku Kepen ngan

Pengajaran

(Teaching)

Pelestarian dan alih pengetahuan;

Pengajaran sebagai wujud pengabdian pada masyarakat (pewujudan fi losofi idealis Humbold- an)

Pemerintah/

ruling class

Riset

(Research)

Pelestarian dan alih pengetahuan; Pengembangan pengetahuan baru

Pengajaran dan riset sebagai wujud pengabdian pada masyarakat (pewujudan fi losofi idealis dan pendukungan terhadap kepen ngan strategis negara/ ruling class)

Pemerintah/

ruling class; Penyandang dana riset

Entre-pre-neurial

Pelestarian dan alih pengetahuan; Pengembangan pengetahuan baru Difusi pengetahuan ke sektor-sektor swasta melalui interaksi-interaksi

Pengajaran, riset dan difusi pengetahuan

Pemerintah;

Pelaku pasar

D e v e l o p -mental

Pelestarian dan alih pengetahuan; Pengembangan pengetahuan baru Difusi pengetahuan ke sektor-sektor publik dan swasta melalui interaksi-interaksi

Pengajaran, riset dan difusi pengetahuan

Pemerintah; Pelaku pasar; Unsur-unsur ma-syarakat sipil

Calvert (2002) secara khusus melakukan riset empiris untuk mempelajari bagaimana para ilmuwan/akademisi merespons perubahan-perubahan yang terjadi, sebagai imbas dari reformasi kebijakan riset/pendidikan nggi di dekade 1990-an. Riset tersebut dilakukan dengan menggunakan metodologi kualita f, dengan informan sejumlah ahli fi sika dan ahli biologi di

Amerika Serikat dan Inggris. Hasil dari riset empiris tersebut mengungkapkan bahwa status sering menjadi isyu yang pen ng dalam diskusi tentang hubungan antara riset basik/fundamental dan riset terapan; periset yang mengerjakan riset fundamental dianggap menyandang status ter nggi, jauh di atas status periset yang mengerjakan riset terapan. Lebih jauh lagi,

Page 58: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

196 ISSN : 2252-911X

terdapat pandangan bahwa melakukan komersialisasi riset itu menyerupai prak k ‘pros tusi’ (Calvert, 2002).

Secara umum, kekhawa ran yang berkembang adalah bahwa: (i) kepen ngan fi nansial dalam penyusunan agenda riset akan mendistorsi cara pandang para periset, terutama dalam penentuan topik-topik prioritas dan perumusan masalah riset; dan (ii) hubungan perguruan nggi dan industri pada jangka panjang dapat berefek beralihnya perha an para periset dari riset basik/fundamental (Calvert, 2002; Etzkowitz, 2000). Kekhawa ran-kekhawa ran tersebut di atas didasarkan pada asumsi bahwa nilai-nilai yang diadopsi di perguruan nggi dan nilai-nilai di luar perguruan nggi, secara intrinsik bertentangan. Oleh karena ini, kegiatan-kegiatan di perguruan nggi harus dipisahkan dari kegiatan-kegiatan di luar perguruan nggi, untuk menghindari korupsi atas nilai-nilai.

Hasil riset yang dilakukan Lee (1997) memperlihatkan suatu variasi. Hasil riset ini mengungkapkan bahwa terdapat akademisi di AS yang sebetulnya lebih menginginkan kolaborasi perguruan nggi-industri yang lebih erat. Yang mereka harapkan adalah bahwa kolaborasi perguruan nggi-industri tersebut diarahkan untuk memberikan kontribusi bagi kesejahteraan publik dan pembangunan ekonomik bangsa. Tetapi, jika kolaborasi perguruan nggi-industri dipersepsikan sebagai suatu priva sasi riset/ilmu pengetahuan dan teknologi yang hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan tertentu, para akademisi tersebut memandang kolaborasi perguruan nggi-industri sebagai hal

yang nega f. Temuan ini adalah pen ng, karena mengungkapkan cara pandang para akademisi mengenai kolaborasi perguruan nggi-industri. Pertentangan nilai-nilai yang

terjadi pada reformasi di dekade 1990-an juga pernah terjadi meluas di Eropa abad ke-19, ke ka kegiatan riset ditekankan sebagai bagian yang pen ng dari perguruan nggi (Etzkowitz, 2000; Nelson, 1993). Di

masa itu di Eropa kebanyakan perguruan nggi berkonsentrasi pada kegiatan

pengajaran (teaching). Ke ka sebagian profesor meminta pengurangan beban mengajar agar dapat lebih berkonsentrasi pada riset, sebagian profesor yang lain menuduh langkah ini sebagai pengabaian terhadap misi pendidikan. Berkembang kekhawa ran bahwa kegiatan riset akan menjauhkan para profesor dari peran tradisional mereka sebagai pengajar.

Dalam hal ini kontroversi dan perdebatan yang berkembang seiring dengan transformasi perguruan nggi berkisar pada jenis-jenis riset dan nilai-nilai yang terkait dengan jenis riset tersebut. Diasumsikan bahwa riset fundamental itu murni untuk tujuan ilmiah/kebenaran, dan karenanya menyandang status ter nggi. Sedangkan riset terapan dak murni untuk tujuan ilmiah, tetapi terkontaminasi dengan nilai-nilai lain. Begitu juga, kegiatan pengajaran berorientasi pada pendidikan individu, sesuai dengan fi losofi idealis Humbold an, sedangkan riset mengalihkan mo f pada hal yang lain. Pertanyaannya di sini adalah apakah hubungan antara jenis kegiatan akademik dan mo f/nilai berwatak intrinsik atau dak. Jadi, apakah periset yang melakukan kegiatan riset terapan pas bermo f non-ilmiah,

Page 59: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 197

sebaliknya periset fundamental semata-mata berorientasi pada kebenaran. Hasil kajian menunjukkan bahwa kegiatan riset fundamental di AS dan Uni Soviet di era Perang Dingin terpaut dengan kepen ngan pertahanan (seper riset ruang angkasa, riset fi sika in ). Tidak bisa dikatakan bahwa riset seper ini bermo vasi murni pencarian kebenaran. Di sisi lain, terdapat riset terapan yang berupaya menemukan cara-cara pengelolaan air dan sanitasi untuk menolong komunitas miskin di permukiman kumuh. Juga terdapat riset terapan untuk membantu industri-industri merevitalisasi mesin-mesin industrial untuk mendongkrak sektor usaha kecil-menengah (di Cina dan India). Riset-riset seper ini memiliki mo f sosial/ekonomik. Pertanyaannya adalah apakah se ap mo f sosial/ekonomik itu dak baik, sedangkan se ap mo f ilmiah itu baik?

Di masa-masa akhir kehidupan Albert Einstein, fi sikawan yang legendaris tersebut terlibat dalam perdebatan dengan para fi sikawan yang lain mengenai arah dari riset fundamental. Pencarian gaya-gaya fundamental dalam fi sika (wujud universal dari gaya gravitasi, gaya elektro-magnet, gaya nuklir lemah) memang berorientasi pada pencarian kebenaran. Tetapi, pada saat yang sama, riset seper ini juga membuka jalan bagi penciptaan bom-bom nuklir sebagai senjata pemunah massal. Tampaknya, asumsi bahwa jenis riset secara intrinsik berhubungan dengan mo f riset perlu dipertanyakan. Jenis riset yang berbeda akan menghasilkan pengetahuan dengan jenis dan kualitas yang berbeda. Tetapi apakah mo f dari riset tersebut, ini perlu dinyatakan secara eksplisit dan

jujur sejak awal agenda riset dirumuskan. Kemudian, suatu riset dinilai bukan hanya berdasarkan jenis dan kualitasnya, tetapi juga apakah riset dilaksanakan secara konsisten dengan mo f, orientasi dan obyek f dari riset tersebut.

Berkenaan dengan permasalahan ini, Mar n (1998), dalam pembahasan mengenai peran demokra s dari perguruan nggi , mengusulkan langkah-langkah

berikut:

• Perguruan nggi memberi perha an pada kebutuhan pengetahuan dari kelompok-kelompok non-elit, marjinal, khususnya kelompok-kelompok yang lemah dalam sumber-sumber daya intelektual, ekonomik, dan poli k;

• Perguruan nggi mengembangkan sarana-sarana untuk menyelenggara-kan akuntabilitas publik dari proses akademik, untuk menghindari terjadi nya korupsi kepen ngan/nilai-nilai dalam proses produksi pengetahuan akademik.

5. SDM Sebagai Obyek Dan Subyek Pembangunan

Pembangunan ekonomi pada hakikatnya adalah pembangunan manusia dan masyarakat Indonesia dalam rangka meningkatkan taraf dan mutu kesejahteraan rakyat serta harkat dan martabat manusia Indonesia termasuk harkat dan martabat bangsa Indonesia. Pembangunan yang berorientasi manusia itu belum berhasil meningkatkan kemampuan ekonomi bangsa Indonesia secara adil dan merata. Secara rata-rata pendapatan berkapita rakyat Indonesia tadinya sudah meningkat namun kembali

Page 60: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

198 ISSN : 2252-911X

merosot akibat krisis di mana jumlah penduduk yang berbeda di bawah garis kemiskinan semakin bertambah besar yang harus ditanggulangi. Sarana dan prasarana ekonomi dak mampu mendorong kegiatan ekonomi dan kegiatan-kegiatan lain. Penduduk Indonesia yang jumlahnya termasuk empat besar dunia merupakan modal dasar pembangunan dengan syarat harus dibina dan dibangun, sehingga dak hanya menjadi obyek pembangunan namun mampu menjadi subyek pembangunan. Dan hanya par sipasi seluruh rakyat yang membangun dan membina itu, kebangkitan kembali merupakan kerja Mahabesar bangsa Indonesia. Par sipasi seluruh rakyat Indonesia itu disertai dengan sikap mental, tekad dan semangat, ketaatan dan disiplin semua pihak. Penduduk yang berkualitas akan berperan ganda sebagai obyek dan juga merupakan subyek pembangunan. Mereka itu akan merupakan sumber daya yang akan dipilih dan terpilih menjadi kelompok-kelompok penggerak pembangunan dengan kapasitas nggi baik sebagai pemimpin-pemimpin yang berkualitas maupun tenaga-tenaga ahli yang terampil, mereka inilah yang diharapkan akan mengisi suprastruktur, infrastruktur dan struktur pemerintahan Indonesia termasuk unsur-unsur birokrasi masing-masing.

Pemimpin-pemimpin Negara yang terpilih atau terangkat menduduki seluruh jabatan Negara di dalam maupun di luar lembaga-lembaga Negara sebagai suprastruktur pemerintahan Negara Indonesia merupakan semacam direksi dari satu organisasi besar yang disebut

pemerintahan Negara seper diutarakan dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar l945. Pemimpin-pemimpin kemasyarakatan yang lain menduduki jabatan-jabatan poli k dan sosial pada organisasi poli k dan organisasi kemasyarakatan sebagai infrastruktur pemerintah Negara. Demikian pula pemimpin-pemimpin administrasi dan operasi yang mengisi seluruh birokrasi pemerintaha Negara itu juga merupakan unsur infrastruktur pemerintah Negara Indonesia.

6. Analisis

6.1 Jenjang Karir SDM Iptek

Dari hasil kajian5 Asdep SDM IPTEK tahun 2009 – 2010, terlihat bahwa jenjang karir pada jabatan fungsional Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi masih sangat didominasi oleh usia dan masa kerja. Sedangkan hal-hal yang berhubungan dengan fungsi dan prestasi kurang memberikan bobot yang besar terhadap pertumbuhan karir Sumber Daya Manusia yang bergelut di dunia peneli an dan rekayasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini ditunjukkan oleh kebijakan organisasi dan fakta. Dari sisi kebijakan organisasi, berlaku peraturan bahwa jabatan fungsional seseorang di Perguruan Tinggi, seper Guru Besar, Lektor Kepala, Lektor dan sebagainya

5 Pujasak , Firdausy, Yuliar, Revitalisasi dan Meningkatkan Peran Sistem dan Ins tusi Riset Nasional (perguruan nggi dan litbang), Kajian Asdep SDM IPTEK, Depu Dinamika Masyarakat, 2009.

Fajar, Pujasak , Demografi SDM IPTEK diPerguruan Tinggi, Kajian Asdep SDM IPTEK, Depu Sumber Daya IPTEK, Kementerian Riset dan Teknologi, 2010.

Page 61: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 199

sangat dipengaruhi oleh usia dan masa kerja. Walaupun produk vitas di bidang peneli an dan rekayasa juga menjadi determinan dalam jabatan fungsional Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi, namun perkembangan karirnya tetap dibatasi oleh usia dan masa jabatan.

Dari sisi fakta terlihat bahwa korelasi antara jabatan fungsional Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi dengan fungsinya dan produk vitasnya di bidang peneli annya dan rekayasa tergolong rendah, bahkan nega f. Korelasi antara ngginya jabatan fungsional Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi dengan produk vitas peneli an adalah -0.147968013. Sedangkan korelasi antara ngginya jabatan fungsional Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi dengan produk vitas publikasi ilmiah adalah 0.008682313.

Ke mbang prestasi dan produk vitas di bidang peneli an dan rekayasa, gelar akademis justru menjadi determinan yang lebih signifi kan dalam menyokong jabatan fungsional Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi. Hal ini tampak pada ngginya korelasi antara gelar akademis

dengan jabatan fungsional, yaitu sebesar 0.641788099. Padahal, ngginya gelar akademis Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi ternyata berkorelasi rendah baik dengan produk vitas peneli annya (0.023581035) maupun dengan publikasi ilmiah yang dihasilkannya (0.109497226).

6.2 Profi l SDM Iptek

Jika mengacu kepada profi l Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang berkarya di Perguruan Tinggi, maka secara kuan ta f dan administra f dapat dikatakan bahwa jumlah mereka hanya 3,76 dari se ap 10.000 penduduk Indonesia. Dengan perkataan lain, jumlah mereka hanya mewakili 0,0376 % dari jumlah penduduk Indonesia yang saat ini berjumlah 237 Juta jiwa. Jika di tambah dengan Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di ins tusi-ins tusi peneli an lain, baik di lembaga kementerian, non-kementerian dan industri, maka rasionya menjadi 4,1 dari se ap 10.000 penduduk Indonesia. Jumlah ini tentunya sangat rendah dibandingkan rasio jumlah Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Negara-negara maju yang mencapai 60 orang untuk se ap 10.000 penduduknya.

Dalam analisis yang lebih rinci, maka dari sekitar 89.022 Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi ini, yang memiliki jenjang pendidikan doktoral hanyalah sebanyak 17.533 orang atau sebanyak 19,7 %. Ar nya, secara teori s dapat dikatakan bahwa dari jumlalah Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang tersedia di Perguruan Tinggi tak sampai 20 % yang mampu memainkan peran-peran inova f. Ini jika kita berpegang kepada asumsi idealis k bahwa pada sarjana jenjang S3 dituntut untuk mampu menjalankan fungsi-fungsi inova f dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi.

Hal lain yang tampak pada data yang terkumpul tentang profi l Sumber Daya

Page 62: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

200 ISSN : 2252-911X

Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi adalah bahwa dari seluruh Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang ada, hanya 18,5 % yang memiliki kualifi kasi sebagai perekayasa. Walaupun persentase ini menunjukkan angka yang lebih baik bila dibandingkan dengan rasio pada lembaga-lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi yang lain, tapi persentase ini juga menyimpulkan bahwa Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi lebih banyak berkutat pada fungsi-fungsi peneli an yang lebih bersifat keilmuan daripada keteknologian. Hal ini jelas dipengaruhi oleh kenyataan bahwa Perguruan Tinggi sampai saat ini hanya menghasilkan 16.435 insinyur yang berkualifi kasi perekayasa, dan itu berhar hanya 0,0069 % dari jumlah penduduk Indonesia.

Jika profesor adalah pakar yang telah berkontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, baik melalui peneli an, perekayasaan, pendidikan maupun publikasi karya-karya ilmiah, maka jumlah profesor di kalangan Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Perguruan Tinggi yang jumlahnya adalah 4500 orang dari 89.022 orang (5,05%) menggambarkan kinerja dan ngkat produk vitas mereka. Ar nya, kualitas Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi tak berkorelasi secara signifi kan dengan gelar akademis yang dimiliki. Kesimpulan itu juga diperkuat dengan fakta bahwa hanya maksimal 34,5 % dari para Doktor yang berjumlah 13.033 di Perguruan Tinggi yang menjadi guru besar. Itupun jika

diasumsikan bahwa seluruh guru besar bergelar akademis S3.

6.3 Produk vitas SDM Iptek

Hal yang paling signifi kan dalam menggambarkan kualitas Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi tentunya terletak pada ngkat produk vitas mereka, baik dalam peneli an maupun perekayasaan, di samping aspek komposisi gelar akademis dan jabatan fungsional yang mereka sandang. Karena, sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, kedua aspek yang terakhir ternyata tak berkorelasi posi f dan signifi kan terhadap kualitas Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Hal yang menarik dari dari aspek produk vitas Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi ini adalah bahwa dari 89.022 orang Sumber Daya Manusia yang dimilikinya, selama 12 tahun mereka hanya menghasilkan 9.194 publikasi peneli an. Itu berar bahwa selama 12 tahun se ap Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi hanya menghasilkan 0,103 publikasi ilmiah. Dengan perkataan lain se ap Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi se ap tahunnya hanya menghasilkan 0,086 publikasi ilmiah. Jika diasumsikan se ap Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi bekerja selama 36 tahun, maka sepanjang masa kerjanya se ap orang hanya menghasilkan 0,31 publikasi ilmiah. Atau satu publikasi ilmiah untuk se ap ga orang selama masa kerja.

Page 63: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 201

Tampaknya ngkat produk vitas ini dak berubah dari waktu ke waktu dan

diprediksikan akan tetap untuk beberapa waktu ke depan. Memang, telah terjadi peningkatan publikasi ilmiah dari tahun ke tahun. Sejak tahun 2005 hingga 2009, rata-rata per tahun terjadi peningkatan sebesar 10,1 %. Namun demikian, jika dibandingkan dengan pertumbuhan Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara kuan ta f, maka pertumbuhan itu dak signifi kan.

6.4 Sistem Manajemen SDM Iptek

a. Organisasi Ins tusi ilmu pengetahuan dan teknologi

Walaupun sering digembar-gemborkan sebagai organisasi fungsional, pada kenyataannya Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi cenderung dikelola dengan pendekatan struktural yang feodalis k, di mana senioritas, gelar akademis, masa kerja dan usia kronologis lebih menentukan posisi seseorang dalam organisasi. Memang, secara formal is lah-is lah yang digunakan dalam organisasi ins tusi ilmu pengetahuan dan teknologi di Perguruan Tinggi mengacu kepada konsep organisasi fungsional, seper Lektor, Ahli dan sebagainya. Namun gelar-gelar fungsional tersebut cenderung didapatkan melalui faktor-faktor feodalis k di atas.

Selanjutnya, jabatan-jabatan struktural di organisasi ilmu pengetahuan dan teknologi Perguruan Tinggi yang seharusnya menjalankan fungsi suppor ng system terhadap jabatan-jabatan fungsional, sebagaimana layaknya sebuah organisasi fungsional, pada kenyataannya justru

menjalankan fungsi otorita f terhadap jabatan fungsional. Para pejabat struktural cenderung memimpin, memerintah dan mengarahkan para pejabat fungsional, bukan melayani, mendukung dan memfasilitasi mereka. Dengan pola organisasi semacam ini, akan kuat kecenderungan bahwa Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi akan sulit berkembang.

b. Karir dan Remunerasi SDM Iptek

Hasil analisis data yang menunjukkan rendahnya korelasi antara prestasi ilmu pengetahuan dan teknologi dengan karir fungsional pada Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi, menyimpulkan bahwa prestasi ilmu pengetahuan dan teknologi dak menjadi determinan yang utama

bagi pencapaian jenjang karir Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi. Determinan utama ternyata lebih ditentukan oleh gelar akademis, usia dan masa kerja. Padahal, sebagaimana selayaknya dan seharusnya sebuah organisasi fungsional, seharusnya jenjang karir Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi lebih ditentukan dari sejauh mana sebuah fungsi dapat dijalankan secara op mal, terlepas dari gelar akademis, usia dan masa kerjanya.

Konsekuensi dari sistem dan pola jenjang karir semacam ini tentunya akan berpengaruh terhadap remunerasi dan kesejahteraan yang akan mereka terima. Jika nilai remunerasi lebih ditentukan oleh jabatan fungsional yang berhasil diraih lewat gelar akademis, usia dan masa

Page 64: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

202 ISSN : 2252-911X

kerja, maka prestasi dan produk vitas ilmu pengetahuan dan teknologi dak akan mendapatkan apresiasi dan insen f ekonomis yang memadai. Pada akhirnya sistem dan pola semacam ini akan menekankan remunerasi pada aspek gaji pokok dan tunjangan, sedangkan insen f hanya akan mendapatkan porsi yang kecil.

Kedua hal di atas pada akhirnya akan mengerucut pada kecenderungan Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi untuk mengejar prestasi struktural daripada prestasi fungsional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada akhirnya akan berlomba-lomba untuk membangun kompetensi manajerial ke mbang kompetensi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Hal ini pada dasarnya merupakan perpindahan orientasi dari dunia ilmu pengetahuan dan teknologi kepada dunia manajerial. Atau, dalam bahasa yang lebih lugas, fenomena ini adalah bentuk lain dari braindrain atau pelarian potensi ilmu pengetahuan dan teknologi ke wilayah lain, walaupun masih di ins tusi dan negara yang sama.

6.5 Hasrat dan Komitmen ilmu pengetahuan dan teknologi

Jika kita mengacu kepada perbandingan antara jumlah sarjana (S1 sampai dengan S3) yang dihasilkan Perguruan Tinggi di Indonesia dengan jumlah sarjana yang menjadi Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi, maka kita akan menemukan ke mpangan dan penyusutan yang luar

biasa, mengingat hanya 2,019 % dari jumlah lulusan yang bersedia untuk menjadi Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi. Ar nya, dari se ap seratus sarjana ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan oleh Perguruan Tinggi di Indonesia, hanya dua orang yang bersedia membak kan dirinya bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Itupun jika kita berasumsi bahwa seluruh Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang bekerja di Perguruan Tinggi benar-benar menjalankan fungsi peneli an dan perekayasaan.

Yang sering menjadi kambing hitam bagi rendahnya ketertarikan para sarjana ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menjadi Sumber Daya Manusia di ins tusi ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, dan khususnya Perguruan Tinggi, adalah rendahnya apresiasi ekonomis dan kesejahteraan bagi para Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi. Hal itu tentu saja dak sepenuhnya keliru. Fakta membuk kan bahwa hanya 0,4 % dari APBN yang digunakan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, atau setara dengan 0,08 % dari Produk Domes k Bruto (PDB).

Namun demikian, kita juga dapat berkesimpulan bahwa rendahnya ketertarikan para sarjana untuk menjadi Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Indonesia, khususnya Perguruan Tinggi, diantaranya juga disebabkan oleh dak terbangunnya minat dan komitmen mereka terhadap dunia pengembangan ilmu pengetahuan dan

Page 65: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 203

teknologi di Indonesia. Perguruan Tinggi sebagai ins tusi pencetak Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dapat disimpulkan sebagai telah gagal dalam menciptakan daya tarik, hasrat, minat, passion pada mahasiswanya terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal, secara fi losofi s dapat dikatakan bahwa pendidikan kesarjanaan pada dasarnya adalah untuk menghasilkan para intelektual yang kelak akan berkiprah di dunia ilmu pengetahuan dan teknologi.

6.6 Pemahaman terhadap Konsep ilmu pengetahuan dan teknologi

Rendahnya ngkat produk vitas Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi, baik dalam bentuk peneli an maupun perekayasaan, tentunya dapat disebabkan oleh banyak faktor. Perguruan Tinggi bahkan bisa bersembunyi di balik retorika bahwa ngkat produk vitas Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi sebenarnya dak rendah. Hanya, sebagian besar dari produk vitas tersebut memang dak terpublikasikan dan tersosialisasikan. Rendahnya anggaran bagi ikh ar peneli an dan perekayasaan juga sebenarnya dapat dijadikan sasaran tembak.

Namun demikian, rendahnya ngkat produk vitas ini juga dapat disebabkan oleh pemahaman terhadap konsep dan proses ber ilmu pengetahuan dan teknologi yang juga rendah di kalangan Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi. Hal ini dapat bermula dari minimnya penguasaan terhadap fi lsafat ilmu pengetahuan dan teknologi.

Masih banyak yang berkeyakinan bahwa secara ontologis, misalnya, sebuah upaya ilmu pengetahuan dan teknologi harus sepenuhnya mengacu kepada referensi ilmiah. Masih banyak Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang gagal membedakan antara teknologi dengan teknologi nggi, dan sebagainya.

Rendahnya pemahaman ontologis pada Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi juga berakibat kelirunya penyikapan terhadap konsep orisinalitas, yang berujung pada rendahnya produk vitas. Seakan, sebuah peneli an dan perekayasaan yang baik dan berkualitas adalah peneli an dan perekayasaan yang sepenuhnya orisinal dan sama sekali baru. Akibatnya, terjadi upaya yang rendah untuk melanjutkan peneli an yang telah dilakukan oleh peneli sebelumnya, dan melanjutkan hasil peneli an terdahulu kepada ranah perekayasaan. Padahal, salah satu prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi adalah prinsip koherensi dan korelasi, yaitu melanjutkan dan menyambungkan sebuah peneli an dan perekayasaan dengan peneli an dan perekayasaan yang telah dilakukan sebelumnya.

6.7 Krea vitas SDM Iptek

Kegiatan peneli an dan perekayasaan pada dasarnya adalah sebuah kegiatan krea f, kegiatan yang membutuhkan daya cipta. Jika data di atas menyebutkan bahwa ngkat produk vitas Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Perguruan Tinggi di Indonesia tergolong rendah, maka sangat mungkin disebabkan oleh rendahnya ngkat krea vitas

Page 66: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

204 ISSN : 2252-911X

Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi. Kita barangkali tak meragukan kompetensi Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi. Namun proses peneli an dan perekayasaan tak hanya membutuhkan kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi yang notabene bekerja dengan menggunakan otak kiri, tapi juga krea vitas yang bekerja dengan menggunakan sisi otak bagian kanan.

Krea vitas juga merupakan proses mental yang tak hanya membutuhkan penalaran, olah pikir dan kemampuan pemecahan masalah semata. Ia justru sebuah ikh ar yang dimulai oleh proses emosional dan kecerdasan sosial. Energi dan mo vasi krea vitas amat sering bermula dari kegelisahan, kepriha nan, kepedulian dan gairah emosional. Emosionalitas inilah yang kemudian menggerakkan nalar dan intelektual untuk bekerja secara sistema s sekaligus lateral menghasilkan kreasi-kreasi peneli an maupun perekayasaan.

Selain emosionalitas, krea vitas di bidang peneli an dan perekayasaan juga membutuhkan kekuatan dan dimensi spiritual, karena krea vitas juga menyangkut makna (meaning) dan nilai (value) dari sebuah karya. Sebuah proses peneli an dan perekayasaan barangkali hanya sebuah ndakan yang sederhana, atau menghasilkan sebuah produk yang sederhana. Namun kesederhanaan itu bisa memberikan nilai tambah yang luar biasa karena keterlibatan dimensi spiritual tersebut. Di sisi lain, aspek spiritual juga sangat dibutuhkan dalam peneli an dan perekayasaan, karena kedua ikh ar

tersebut membutuhkan kesabaran, keuletan, ketekunan, stamina, konsistensi dan sebagainya, yang kesemuanya adalah dimensi-dimensi spiritual.

6.8 Potrait SDM IPTEK Perguruan Tinggi dalam Mendukung SINAs

Sementara ini dapat disimpulkan bahwa baik secara kuan ta f maupun kualita f, Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi Indonesia belum menunjang perwujudan visi, misi dan kebijakan strategis pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Secara kuan ta f jumlah Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Perguruan Tinggi belum memenuhi perbandingan ideal dengan jumlah penduduk Indonesia, se daknya bila dibandingkan dengan Negara-negara maju. Apalagi jika komparasi tersebut lebih dipertajam pada aspek perbandingan antara peneli dengan perekayasa, antara magister dengan doktoral, antara ilmuwan dengan teknolog dan sebagainya.

Dengan kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengacu kepada Sistem Inovasi Nasional (SINas), jelas gambaran kuan ta f di atas dak mendukung kebijakan tersebut. Inovasi jelas membutuhkan Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang memiliki daya kreasi yang nggi, yang secara formal dapat ditunjukkan melalui gelar akademis ngkat doctoral (S3). Inovasi juga lebih mengacu kepada kegiatan perekayasaan daripada kegiatan peneli an, yang biasanya membutuhkan Sumber Daya Manusia dalam jumlah yang

Page 67: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 205

banyak. Apalagi kegiatan perekayasaan juga seringkali dilakukan oleh sebuah m dengan jumlah anggota yang dak sedikit.

Secara kualita f, Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi tersebut juga menunjukkan ngkat sinkronisasi yang buruk dengan tujuan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Rendahnya jumlah hasil peneli an dan perekayasaan jelas dak mendukung upaya-upaya pencapaian

pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Sebagai Negara yang membutuhkan Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang mampu melakukan upaya implementasi prak s, ternyata ilmuwan yang dihasilkan jauh lebih banyak daripada teknolog. Jumlah engineer atau perekayasa yang dihasilkan juga sangat kecil untuk menopang kebijakan pembangunan nasional ilmu pengetahuan dan teknologi.

5. Penutup

Sebagaimana yang telah dinyatakan pada bagian pendahuluan, bahwa kegiatan peneli an dan pengembangan pada tataran Perguruan Tinggi pada dasarnya terkait dengan tema-tema dan permasalahan sosial, kemasyarakatan, kerakyatan dan kemanusiaan. Sesuai dengan sifat keberadaannya yang universal dan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang berbasis pada pendidikan, peneli an dan pengabdian kepada masyarakat, maka peneli an dan perekayasaan pada tataran Perguruan Tinggi senan asa bersifat universal, fundamental dan solu f, serta rela f terbebas dari dimensi sektoral dan poli k sesaat.

Maka, ke ka ngkat produk vitas Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi menurut data yang terkumpul cenderung rendah, baik peneli an maupun perekayasaan, maka dapat diduga bahwa hal itu disebabkan oleh rendahnya ngkat interaksi antara Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Perguruan Tinggi dengan permasalahan sosial, kemasyarakatan, kerakyatan dan kemanusiaan yang melingkupinya. Boleh jadi lembaga peneli an dan pengembangan dan Perguruan Tinggi yang menaunginya cenderung berkembang menjadi menara gading yang kehilangan sensi vitas terhadap masalah-masalah yang hadir di sekitarnya.

Kegamangan dan keterasingan Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi terhadap problema ka sosial, kemasyarakatan, kerakyatan dan kemanusiaan pada dasarnya akan berdampak buruk baik terhadap intelektualitas maupun terhadap emosionalitas mereka. Secara intelektual, kegamangan dan keterasingan ini akan membuat Sumber Daya Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Perguruan Tinggi mengalami kesulitan untuk mendapatkan tema-tema dan kasus-kasus peneli an dan perekayasaan. Sedangkan secara emosional hal ini akan berdampak pada hilangnya hasrat, kegairahan dan spirit yang kuat untuk melakukan peneli an dan perekayasaan, serta kemampuan untuk mengatasi segala kendala yang terjadi dalam proses pelaksanaannya.

Page 68: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

206 ISSN : 2252-911X

Da ar Pustaka

Anheier, H.K., dan Carison, L, (2002), Civil Society:What it is, and How to measure it?. Earthscan, London.

Aristo, Diga, (2005), Good University Governance. h p://www.google.co.id

Arifi n, Anwar, (2007), Memahami RUU BHP dan Liberalisasi. Seminar RUU & Liberalisasi Pendidikan Isyaratkan Lonceng Kema an, Jakarta.

BAB III VISI IPTEK 2025, Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta, 2004.

Bappenas, Dokumen Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Bab 20, Dra 12, Bappenas, Desember 2004.

Calvert, Jane (2002), “Making Academic Research Useful: Scien sts’ responses to changing policy demands,” NPRNet Conference 2002, Rethinking Science Policy: Analy cal Frameworks For Evidence-Based Policy. 21-23 March, SPRU, University Of Sussex, UK.

Chang, Ha Joon & Ilene Grabel, terj, (2004). Membongkar Mitos Neolib: Upaya Merebut Kembali Makna Pembangunan. Yogyakarta, INSIST Press.

Chesnais, Francois, “The French Na onal System of Innova on,” dalam Nelson, Richard (1993), Na onal Innova on Systems, Oxford University Press., New York.

Creswell, John, (1997). Qualita ve Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Tradi ons. California, SAGE Publica ons.

Dees, J.G. (1998), “The Meaning of Social Entrepreneurship,” preprint, Graduate School of Business, Stanford University.

Denzin, Norman dan Yvonna S. Lincoln (ed), (1998), Collec ng and Interpre ng Qualita ve Materials. California, SAGE Publica ons.

Etzkowitz, Henry (2003), “Research groups as ‘quasi-fi rms’: the inven on of the entrepreneurial university,” Research Policy, 32:109–121.

Etzkowitz, Henry and James Dzisah (2007), “The Triple Helix of Innova on: Towards a University-Led Development Strategy for Africa,” ATDF Journal, Volume 4, Issue 2.

Fajar, Pujasak , Demografi SDM IPTEK diPerguruan Tinggi, Kajian Asdep SDM IPTEK, Depu Sumber Daya IPTEK, Kementerian Riset dan Teknologi, 2010.

Gatot wibowo, Manajemen Sumber Daya Manusia Peneli di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua, Jurnal Pembangunan dan Inovasi Papua.

Gosh, Pradip K. (1984), Technology Policy and Development: A Third World Perspec ve, Greenwood Press, Connec cut, USA.

Goona lake, Susantha (1984), Aborted Crea vity: Science & Crea vity in the Third World, Zed Book Ltd., London.

Page 69: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 207

Held, David, (2007), Models of Democracy (terjemahan). Jakarta, The Akbar Tandjung Ins tute.

B. Hogwood, 1984. Policy Analysis for The Real World.

JAD. Holbrook, 1998. “Problems in Adap ng the Frasca Manual for Use in Resource-based Economies”, Centre for Policy Research on Science and Technology - Simon Fraser University at Harbour Centre..

Howells, John (2007), “The History of Educa on Ins tu ons in Developed Countries has Lessons for the Reform of the System of Higher Educa on in Africa,” ATDF Journal, Volume 4, Issue 2.

Husodo, Siswono, (2007), Priva sasi dan Liberalisasi Pendidikan Menghadapi Dilema Besar. Seminar RUU & Liberalisasi Pendidikan Isyaratkan Lonceng Kema an, Jakarta.

Imawan, Riswandha, (2002), Desentralisasi, Demokra sasi dan Pembentukan Governance. Jakarta, AIPI

Kadarisman, Ade, (2006), Konsepsi Peran Perguruan Tinggi Melalui Dialog di antata Stakeholders dalam Menuju Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. kajian-Program Magister Studi Pembangunan. ITB.

Keck, O o, “The Na onal System for Technical Innova on in Germany,” dalam Nelson, Richard (1993), Na onal Innova on Systems, Oxford University Press., New York.

Khalid Saeed, and Xu Honggang, 1996. “Emerging issues in the development and u liza on of S&T indicators in developing countries of the ESCAP region”, Social Science and Policy Studies - Worcester Polytechnic Ins tute

Knorr-Ce na, K. (2000), Epistemic Culture: How The Sciences Make Knowledge, Harvard University Press, London.

Law, John (1991) A Sociology of Monsters: Essays on Power, Technology and Domina on, Routledge Publisher, London and New York.

Lee, Y.S. (1997), Technology Transfer and Public Policy, Greenwood Publishing Group, Inc., New York.

Leydesdorff , Loet (2001), “Knowledge-Based Innova on Systems and the Model of a Triple Helix of University-Industry-Government Rela ons,” Paper presented at the Conference New Economic Windows: New Paradigms for the New Millennium. Salerno, Italy, 14 September.

Lindblom, Charles E. (2001), The Market System: What It Is, How It Works, and What To Make of It, Yale University Press., New Haven & London.

Mardiasmo, (2002), Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta, ANDI.

Mar n, Brian (1998), Tied Knowledge: Power in Higher Educa on, h p://www.uow.edu.au/arts/sts/bmar n/pubs/98tk/

Page 70: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

208 ISSN : 2252-911X

Mar n, Brian (1978), “The Determinants of Scien fi c Behaviour,” Society for Interdisciplinary Studies Review, Vol. 2, No. 4, pp. 112-118.

Mass, Gudrun (2002), “Science Systems Face New Challenges,” Organisa on for Economic Co-opera on and Development (OECD) Science and Technology Policy Division1, Presenta on at NPRNet Conference.

Menteri Riset dan Teknologi Republik Indonesia, Keputusan Menteri Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 193/M/Kp/Iv/2010 Tentang Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Tahun 2010-2014, Jakarta 2010.

Menteri Riset dan Teknologi Reublik Indonesia, Keputusan Menteri Riset dan Teknologi, VISI dan MISI IPTEK TAHUN 2025.

Moertopo, Ali (1974), Strategi Poli k Nasional, Penerbit CSIS, Jakarta.

Mohammad, Panji, (2004). Studi tentang Konstruksi Kegiatan Riset di Universitas: Kasus Restrukturisasi Pusat-Pusat Peneli an di ITB. kajian-Program Magister Studi Pembangunan. ITB.

Nelson, Richard (1993), Na onal Innova on Systems, Oxford University Press., New York.

Nugroho, Heru (2005), “The Poli cal Economy of Higher Educa on: The University as An Area for The Struggle for Power,” dalam Vedi

Hadiz and Daniel Dhakidae (eds) (2005), Social Science and Power in Indonesia, Equinox Publishing, Jakarta-Singapore.

Nugroho, Riant, (2001), Reinven ng Indonesia, Menata Ulang Manajemen Pemerintahan untuk Membangun Indonesia Baru dengan Keunggulan Global. Jakarta, Gramedia.

_____________, (2003), Kebijakan Publik:Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta, Gramedia.

Odagiri, Hiroyuki dan Akiro Goto, “The Japanese System of Innova on,” dalam Nelson, Richard (1993), Na onal Innova on Systems, Oxford University Press., New York.

OECD, 2002. Frasca Manual.

Pauline K.M. van Roosmalen, Professors from Kentucky. The Americaniza on of Indonesian planning a er 1956, Interna onal Conference ‘The Americaniza on of Post-War Architecture’, Toronto,December 1-3, 2005.

Periskop (2002), “Evalua on of The Indonesian Research Science and Technology Landscape,” Laporan Riset, KMNRT RI.

Piliang, Yasraf, (2005), Transpoli ka; Dinamika Poli k di dalam Era Virtualitas. Yogyakarta, Jalasutra.

Prof. Buchari Zainun, MPA. Manajemen Sumber Daya Manusia Indonesia. Penerbit Toko Gunung Agung, Jakarta. 2001.

Page 71: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 209

Pujasak , Firdausy, Yuliar, Revitalisasi dan Meningkatkan Peran Sistem dan Ins tusi Riset Nasional (perguruan nggi dan litbang), Kajian Asdep SDM

IPTEK, Depu Dinamika Masyarakat, 2009.

Pujasak , Yuliar, Studi Tentang Konstruksi Riset di Perguruan Tinggi: Studi Kasus Restrukturisasi Pusat-Pusat Peneli an di ITB, LPPM ITB 2004.

Rais, Amien, (2008), Agenda- Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia. Yogyakarta, PPSK Press.

Rekomendasi UNESCO, Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Bab 20, Dra 12, Bappenas, Desember 2004.

Simon, David, “Neo-Liberalism, Structural Adjustment and Poverty Reduc on Strategies,” dalam Desai, V. dan Po er, R. (2002), The Companion to Development Studies, Oxford University Press., USA.

Sirozy, M, (2005), Poli k Pendidikan, Dinamika Hubungan antara Kepen ngan kekuasaan dan Prak kPenyelenggaraan Pendidikan. Jakarta, PT.Raja Grafi ndo.

Stegger, Manfred B, (2002), Globalisme, Bangkitnya Ideologi Pasar (terjemahan). Yogyakarta, Lafadi Pustaka.

Swinburne University of Technology (2000), In Search of The Entrepreneurial University, Ter ary Press, Victoria, Australia.

Tilaar, H.A.R, (2002), Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung, PT. Remaja Rosda Karya.

____________, (2004), Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta, PT. Rineka Cipta.

Thee, Kian Wie (1997), Pengembangan Kemampuan Teknologi Industri di Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Tiplic, Dijana, (2006), The Governance of Higher Educa on Ins tu ons. Journal of Higher Educa on Governance. Council of Europe Publishing. Hal 135-137.

Usman, Sunyoto, (2001), Peran Civil Society (Masyarakat Madani) dalam Tata Pemerintahan. Jakarta, Bapenas.

Wibisono, Yusuf, (2007), Membedah Konsep & Aplikasi Corporate Social Responsibiliy (CSR). Gresik, Fascho Publishing.

Winarno, Budi. (2002). Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta, MedPress.

Yuliar, S. dkk. (editor) (1998), Menimbang Teknologi Memberdayakan Peneli , Penerbit Pusat Peneli an Teknologi, ITB.

Page 72: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

210 ISSN : 2252-911X

Page 73: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 211

TECHNOLOGY FORESIGHT DAN ANALISIS IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA

Dedy Saputra a

a Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta

Abstract

Technology Foresight is generally perceived as a recognised method to predict the need of science and technology in the future as well as for designing strategies of future technological development. It is believed that the implementa on of the method would have a signifi cant implica on on industrial compe veness (technology), wealth crea on (economy) and quality of life (society). Despite, the impacts are varies from countries to countries, the various methods have been used widely around the globe, including Indonesia. As a ma er of fact, the country have experienced several Technology Foresight exercises that mainly aimed at enhancing a common understanding and a vision amongst stakeholders as well as to set a priority on research and technology that might be relevant for the technological and economic development Indonesia in the future. This paper a empts to describes the current prac ce of Technology Foresight as well as to analyses the implementa on of the method in Indonesia. Through a literature search, it is found that the implementa on of methods during the process seem was not running eff ec vely. It is also revealed that the lack of fi nancial support and capability in running the method as main barriers encountered in undertaking the exercises. Moreover, the result of the prac ces mostly were not well documented, published and distributed/disseminated. Therefore, it is suggested the need for comprehensive implementa on of the method, serious considera on as well as a reliable commitment from Indonesian poli cian and decision maker to translate the results of exercise into ac on.

Abstrak

Technology Foresight, secara umum dianggap sebagai metode untuk memprediksi kebutuhan iptek dan mendesain strategi pengembangan teknologi di masa mendatang. Banyak ahli meyakini bahwa implementasi metode ini akan berdampak secara signifi kan pada daya saing industri, kesejahteraan (ekonomi) dan kualitas hidup masyarakat. Seper negara lainnya, Indonesia juga telah melakukan beberapa kali Technology Foresight dengan tujuan untuk membangun kesepahaman serta visi di antara para pemangku kepen ngan. sekaligus untuk menyusun prioritas riset dan teknologi yang diangap terkait dengan pembangunan ekonomi di masa depan. Tulisan ini bermaksud untuk mengulas mengenai perkembangan Technology Foresight serta implementasimya di Indonesia. Melalui penelusuran literatur

Page 74: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

212 ISSN : 2252-911X

secara empirik terbuk bahwa pelaksanaan Technology Foresight dak berjalan secara op mal dalam proses implementasi maupun dalam diseminasi hasil. Selain itu, penelusuran literatur juga menyiratkan beberapa faktor meneybebakan hal tersebut, yaitu kurangnya dukungan pendanaan serta ke dakmampuan dalam menerapkan metode secara utuh. Terlebih lagi, hasil dari pelaksanaan Technology Foresight tersebut dak terdokumentasi, dipublikasi dan didistribusikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis menyarankan pen ngnya untuk mengimplementasikan Technology Foresight secara utuh dan menyeluruh. Selain itu, pen ngnya komitmen dari poli si (legisla f) dan pengambil keputusan (ekseku f) untuk melanjutkannya ke aksi yang lebih konkrit.

Kata kunci: Technology Foresight, Iptek, PERISKOP

1. Pendahuluan

Dalam beberapa dekade terakhir, Technology Foresight dengan berbagai motode telah berkembang menjadi suatu pendekatan (approach) peramalan teknologi global. Dinamika kehidupan saat ini yang syarat dengan tuntuntan perubahan dan kemudahan, menyebabkan banyak kebutuhan (teknologi) yang harus ditelaah sejak dini. Terlebih lagi, persaingan ekonomi membuat berbagai bangsa di dunia berlomba dalam penguasaan teknologi, termasuk teknologi di masa depan, agar menjadi bangsa yang memiliki daya saing (compe ve na ons).

Sejarah perkembangan Technology Foresight sebagai sebuah metode berawal pada permulaan tahun 50-an, ke ka Departemen Pertahanan Amerika Serikat (US Department of Defense) menyewa sebuah perusahaan konsultan bernama RAND Corpora on untuk melakukan prakiraan (forecast) mengenai kebutuhan teknologi yang diperlukan dalam bidang pertahanan mereka untuk jangka waktu ke depan, khususnya untuk kepen ngan Angkatan Laut (US Navy) dan Angkatan Udara (US Air Forces).

Keberhasilan RAND Corpora on dalam mengerjakan proyek tersebut, membuat pemerintah negara adidaya tersebut melaku-kan hal yang sama di departemen maupun instansi lainnya, seper NASA (The Na onal Aeronau cs and Space Administra on) untuk bidang ruang angkasa (aerospace), maupun perusahaan pertambangan untuk bidang energi.

Dalam perkembangannya, Technology Fore-sight juga menarik perha an pemerintah Jepang yang selanjutnya mengirimkan beberapa akademisi dan peneli mereka untuk mempelajari metode tersebut. Selanjutnya, pada awal tahun 70an, pemerintah Jepang pertama kalinya melakukan survei untuk mengetahui kebutuhan teknologi negara tersebut untuk jangka waktu 30 tahun kedepan.

Hingga kini, Jepang sacara konsisten telah melakukan survei Technology Foresight sebanyak 8 (delapan) kali yang dilakukan secara berkala/reguler (Seya, 2000). Kemudian baru setelah itu, sekitar di awal tahun 90an beberapa negara maju lainnya seper Amerika Serikat, Selandia Baru, Jerman, Inggris, Prancis, Korea, Australia, Swedia juga mengadopsi dan

Page 75: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 213

mengaplikasikan konsep Technology Foresight.

Dalam perkembangannya, hampir semua negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD - Organisa on for Economic Co-opera on and Development) serta negara-negara maju lainnya (developed country) khususnya di daratan Eropa, telah melakukan Technology Foresight. Hal yang sama juga diiku oleh negara berkembang (developing country), khususnya yang berada di Asia dan Amerika La n (Villarroel, 2008). Menurut Unido (2005), sejak tahun 1970 dak kurang dari 30 negara di dunia yang telah menerapkan Technology Foresight.

Salah satu hal mendasar yang menyebabkan banyak negara yang menerapkannya adalah dikarenakan Technology Foresight dak hanya dapat dipergunakan sebagai

metode untuk memprediksikan kebutuhan teknologi (di masa depan), namun juga sebagai tools untuk pengambilan keputusan maupun pembuatan kebijakan iptek (Sanz and Cabello 2001).

Beberapa data empirik (Unido, Georghiou, L., 2003; Kobayasi, S., 2004, Rongping, M., & Zhongbao R., 2008) menyebutkan bahwa studi maupun survei Technology Foresight akan berimplikasi posi f terhadap perkembangan dan penguasaan iptek itu sendiri.

Diskusi atau pembahasan mengenai Technology Foresight sebagai sebuah metodologi dalam memprediksi kebutuhan teknologi di masa depan belum banyak dijadikan bahan kajian para peneli dan akademisi di bidang kebijakan iptek (science

and technology policy) di Indonesia. Meskipun demikian, Indonesia termasuk satu dari sedikit negara di Asia Seper beberapa negara Asia lainnya (Jepang, Korea, China, dan Thailand) yang pernah melakukan kajian dan survei Techology Foresight baik yang makro, messo dan mikro.

Hanya saja, menurut hasil kajian m PERISKOP (2006), Technology Foresight di Indonesia belum op mal baik dalam proses pelaksanaan maupun implementasi hasilnya. Akibatnya, implikasi dari pelaksanaan kegiatan tersebut belum terlalu signifi kan baik terhadap penguatan dan penguasan iptek nasional, maupun dalam menjadikan iptek arus utama (mainstream) dalam pembangunan nasional.

2. Konsep dan Perkembangan Technology Foresight

a. Defi nisi

Secara ontologi, technology foresight, technology forecast, dan technology assessment sebenarnya sudah lama masuk dalam ranah keilmuan yang mengenai masa depan (future study) atau dikenal futurologi. Namun demikian, Technology Foresight baru mengalami perkembangan yang pesat di tahun 90an. Banyak akademisi yang mulai tertarik untuk menjadikan Technology Foresight sebagai fokus kajian mereka sehingga membuatnya menjadi konsep yang universal.

Adalah akademisi dari Science Policy Research Unit (SPRU), The University of Sussex, Inggris bernama Ben Mar n bersama John Irvine yang dianggap sebagai pelopor sekaligus berperan dalam

Page 76: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

214 ISSN : 2252-911X

universalisasi konsep Techology Foresight (Miles, 2010). Secara terminologi, menurut Ben Mar n (2001) Technology Foresight didefi nisikan sebagai proses yang melibatkan upaya yang sistema s untuk melihat lebih jauh kedepan, mengenai iptek, ekonomi dan sosial dengan tujuan untuk mengiden fi kasi area dari riset yang strategis dan lahirnya teknologi generik yang sekiranya dapat memberikan keuntungan ekonomi maupun sosial.

Menurutnya, frasa foresight berbeda dengan forecas ng, karena foresight lebih menekankan pada proses bukanlah teknik. Karenanya, Technology Foresight bukanlah memprediksi-kan (predic ng) namun membentuk (shaping) atau membangun (construc ng) masa depan dengan dengan mengintegrasikan antara penawaran dan dorongan penawaran (supply push) dengan tarikan penawaran (demand pull).

Dalam perspek f yang lebih luas, Michael Keenan (2005) mendefi nisikan Technology Foresight sebagai kesatuan dari proses yang sistemik dan mempunyai tujuan yang jelas terhadap masa depan di antara pelaku inovasi di ngkat regional untuk mengiden asikan berbagai ndakan yang harus dilakukan sekarang untuk masa depan yang lebih baik. Keenan juga menggaris bawahi perbedaan foresight dengan forecas ng. Menurutnya, forecas ng hanya memunculkan satu kemung-kinan di masa depan. Sedangkan foresight dapat menghasilkan beberapa kemungkinan. Lebih dari itu, kemungkinan-kemungkinan masa depan tersebut dapat diciptakan melalui berbagai ndakan (ac ons) yang dilakukan saat ini.

Sementara itu, dalam buku The Handbook of Technology Foresight: Concept and Prac ce (1996), Professor Luke Georghiou dari Policy Research in Engineering Science and Technology (PREST) University of Manchester mendeskripsikan Technology Foresight sebagai alat (tools) sistema k untuk menilai per-kembangan iptek yang diperkirakan memiliki dampak terhadap daya saing industri, penciptaan kesejahteraan dan kualitas hidup. Dalam Konteks ini, Georghiou melihat Technology Foresight dak hanya dari aspek pemenuhan kebutuhan semata, namun juga sebagai tahapan untuk menuju kesejahteraan dan keunggulan malalui penguasaan teknologi.

Berdasarkan defi nisi-defi nisi diatas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa Technology Foresight merupakan sebuah proses dengan menggunakan (beberapa) metode untuk mengetahui kebutuhan iptek di masa depan sekaligus mempersiapkan upaya yang harus dilakukan untuk mencapai keunggulan (teknologi) yang diharapkan ber-implikasi posi f terhadap daya saing (teknologi), kualitas hidup (sosial) serta kesejahteraan (ekonomi).

Untuk menguatkan hal tersebut, Mar n (1995) menekankan bahwa terdapat 2 (dua) hal mendasar yang menjadi penekanan dalam technology foresight. Pertama, technology foresight adalah sebuah proses bukan hanya sekedar sekumpulan teknik, namun mencakup proses konsultasi untuk mendapatkan masukan (feedback) dari pihak terkait. Kedua k awal dari technology foresight adalah keyakinan akan begitu banyaknya kemungkinan terjadi di masa depan. Kepasi an akan masa depan

Page 77: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 215

tersebut sebagian sangat tergantung pada keputusan yang diambil saat ini.

Technology Foresight terus mengalami perkembangan, baik secara konseptual, metodologi maupun penerapannya. Menurut Luke Georgehiou (2007), secara konseptual Technology Foresight telah sampai pada generasi kelima, dengan uraian sebagai berikut:

• Generasi Pertama (First Genera on)

Technology foresight mulai dikenal sebagai ak vitas untuk memprediksi (forecas ng) dan lebih mengandalkan pada para akademisi memprediksi mengenai kebutuhaan teknologi di masa depan.

• Generasi Kedua (Second Genera on)

Technology Foresight generasi kedua untuk mengaitkan secara langsung antara teknologi dan permintaan pasar. Karenanya, ak fi tas yang dilakukan lebih pada memprediksi teknologi yang berorientasi pasar. Dalam tahapan ini, pelaku bisnis (professional) mulai dilibatkan.

• Generasi Ke ga (Third Genera on)

Masih berorientasi pada perspek f pasar, namun dalam perspek f yang lebih luas mulai memperha kan faktor sosial dan lingkungan (environmental) dalam memprediksi kebutuhan teknologi. Selain itu dalam penerapannya sudah melibatkan berbagai aktor terkait termasuk didalamnya masyarakat awam.

• Generasi Keempat (Fourth Genera on)

Technology Foresight mulai merambah pada dimensi yang lebih luas baik dalam hal cakupan keilmuan maupun metode yang diterapkan. Dalam prakteknya melibatkan

para pemangku kepen ngan (stakeholders) lain dalam proses.

• Generasi Kelima (Fi h Genera on)

Tahapan ini ditandai dengan adanya kombinasi dari metode yang dipergunakan dengan tetap mempertahankan dimensi keilmuan maupun perkembangan sosial-ekonomi.

Adapun model perkembangan Technology Foresight dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini:

Gambar 1. Generasi Technology Foresight

Sumber : Georghiou, L., (2007)

Sejalan dengan perkembangannya dari generasi pertama hingga generasi kelima, secara empirik Technology Foresight semakin diterima sebagai konsep universal dan dianggap sebagai elemen pen ng dalam perumusan dan implementasi kebijakan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).

Page 78: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

216 ISSN : 2252-911X

Menurut UNIDO (2005) ada beberapa hal yang membuat Technology Foresight menjadi pen ng dalam ranah kebijakan publik, yaitu:

Pertama, menggambarkan kondisi riil saat ini, terutama dikaitkan dengan teknologi dan pemanfaataanya.

Kedua, dak hanya untuk mengetahui kebutuhan teknologi di masa depan, namun juga upaya yang harus dilakukan (pengembangan ilmu) untuk menguasai teknologi tersebut.

Dalam konteks tersebut, ada beberapa hal pen ng yang dapat diperoleh dengan dilakukan Technology Foresight, diantaranya :

1. Mengiden fi kasi kerangka pikir kebijakan yang kondusif dengan menerapkan konsep perumusan kebijakan sistema s dan pragma s.

2. Memperkuat interaksi, komunikasi dan kerjasama diantara pemangku kepen- ngan (stakeholders) terkait dalam

konteks Sitem Inovasi Nasional (SIN).

3. Membantu para pengambil keputusan dalam mengiden fi kasikan bidang prioritas dari industri pilihan yang berdaya saing untuk mendapatkan akses bagi produk dan pelayanan ke pasar regional dan global.

4. Membangun kapasitas dalam ngkatan kelembagaan dan perusahaan untuk mengiden fi kasi resiko dan kesempatan dalam rangka meningkatkan daya saing melalui aplikasi dan penggunaan analisis dan metodologi Technology Foresight.

Perkembangan lainnya adalah, bahwa Technology Foresight telah merambah dak hanya dalam tataran makro

(na onal), namun juga dapat dilakukan dalam ngkatan messo (asosiasi industri), maupun mikro (organisasi/insi tusi).

Dalam konteks yang rela f hampir sama, UNIDO dalam “The Unido Technology Foresight Training Manual” (2005) mengklasifi kasi penerapan Technology Foresight dalam 4 ngkatan (level), yaitu: the suprana onal level, the na onal level, the subna onal regional level, dan the company level.

Technology Foresight dalam konteks suprana onal level dapat di menjadi 4 (empat) kategori sebagai berikut:

(i) Technology Foresight dilakukan oleh negara-negara yang tegabung dalam organisasi tertentu seper : UNIDO OECD, European Commission, ASEAN dan lain-lain.

(ii) Technology Foresight yang dilakukan di oleh lebih dari satu negara dengan maksud sebagai pembanding (benchmarking). Kegiatan ini pernah dilakukan oleh negara-negara seper Jepang – Jerman serta Inggris - Wales.

(iii) Technology Foresight yang dilakukan oleh negara-negara yang berdekatan secara geografi s seper negara Amerika la n (Brazil, Chile, Colombia dan Venezuela), negara Skandinavia (Nordic Countries) yaitu Denmark, Finlandina, islandia, Norwegia, dan Swedia).

(iv) Technology Foresight yang dilakukan oleh negara-negara yang terikat dalam

Page 79: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 217

organisasi kawasan regional tertentu, seper : European Commission (EC), Asia-Pacifi c Economic Coopera on (APEC), ASEAN Technology Foresight dalam lingkup na onal level adalah yang paling banyak dilakukan baik dalam bentuk survei maupun kajian. Menurut Unido (2005), sejak tahun 1970 dak kurang dari 30 negara di dunia yang telah menerapkan Technology Foresight .

Dalam lingkup na onal level, sejak tahun 1970 dak kurang dari 30 negara di dunia yang telah menerapkan Technology Foresight paling dak baik negara maju mupun berkembang. Hal tersebut dapat terlihat pada gambar 2. di bawah ini:

Gambar 2. Technology Foresight di Beberapa Negara

Sumber: Kozlowski dalam UNIDO (2005)

Technology Foresight dalam lingkup Subna onal mengacu kepada Keenan (2005) dan UNIDO (2005) pernah dilakukan antara lain di Lombardy (Italy), West Midlands (Inggris). Catalonia (Spanyol) dan Lyon (Prancis).

Sedangkan dalam ngkat perusahaan (company level), Technology Foresight pernah diterapkan di Daimler Chrysler (perusahaan otomo f), Bri sh Telecom (telekomunikasi), Procter & Gamble (farmasi), BASF (kimia), IBM, dan Ericsson (Becker, 2010). Beberapa aspek yang menjadi fokus adalah terkait antara lain: technology assessment, technology monitoring, compe on analysis serta product impact assessment/innova on.

b. Metode

Seper yang telah disebutkan diatas Technology Foresight dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode. Menurut Greg Tegart (2003), beberapa metode yang biasa dipergunakan dalam melakukan survei Technology Foresight antara lain: delphi survei (delphi survey), konsultasi, skenario (scenario crea on), analisa paten (patent analysis), cri cal technologies, dan technology roadmapping.

Sedangkan Miles (2007) mengiden asi se daknya 10 (sepuluh) metode Technology Foresight yang banyak dipergunakan di negara-negara anggota OECD dan Eropa yaitu: Scenarios, Brainstorming, Delphi, SWOT, Expert Panels, Future Workshop, Interview, Literature Review Extrapola on, Patent Analysis, dan Technology Roadmapping.

Dalam perspek f lain, Popper (2006) dalam Miles (2007), metode yang dipergunakan

Page 80: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

218 ISSN : 2252-911X

dalam Technology Foresight pada dasarnya bermuara pada 4 (empat) perspek f yaitu: Crea vity atau Krea vitas, Interac on atau Interaksi, Evidence atau Buk , serta Exper se atau Keahlian. Dalam model yang dikenal dengan Foresight Diamond tersebut Popper menegaskan bahwa dari sekitar 33 metode yang ada, maka dapat dikategorikan berdasarkan pendekatan (approach) sebagai berikut: Kualita f (15 metode), Semi-Kuan ta f (6 metode) dan Kuan ta f (3 motode).

Untuk lebih jelasnya mengenai metode berdasarkan pengkategoriannya dapat di lihat pada gambar 2 di bawah ini:

Gambar 3. Foresight Diamond

Sumber : Popper (2006) dalam Miles, I., (2007)

Secara umum, dak ada ketentuan khusus dalam pemilihan metode serta pembatasan jumlah penggunaan metode dalam penerapan Technology Foresight (Miles, 2007). Menurutnya, metode yang dipergunakan disesuaikan dengan

kebutuhan maupun kondisi yang ada.

Hal ini diperkuat oleh Popper (2008) yang menyatakan bahwa “There is no “ideal” methodological framework providing the “best” combina on of methods. In fact, there is no “ideal” number of methods to be used in a project”.

Dalam konteks ini, sangat memungkinkan untuk menggunakan lebih dari satu metode dalam pelaksanaan Technology Foresight. Bahkan dak menutup kemungkinan untuk mengkombinasikan metode yang ada dalam penerapan.

Selain itu, penggunaan metode yang sama pada negara yang berbeda belum tentu menghasilkan hasil yang sama. Bahkan dak jarang penerapan Technology Foresight pada satu negara dilakukan beberapa kali dengan metode yang berbeda.

Dari hasil penelusuran penulis, terdapat beberapa metode yang dipergunakan di negara berkembang dan Indonesia antara lain: Deplhi Survey, SWOT, Brainstorming, Scenario Wri ng/Planning. Adapun defi nisi dari metode tersebut adalah sebegai berikut:

Delphi Survey: adalah merupakan salah satu metode technology foresight yang cukup banyak dipergunakan. Dikembangkan pertama kali oleh RAND Corpora on pada tahun 50an. Metode ini masuk falam kategori subjec ve-intui ve methods of foresight dan melibatkan beberapa ahli dalam menentukan teknologi prioritas. Para ahli diminta tanggapannya terhadap beberapa topik teknologi yang hasilnya diolah secara sta s k.

SWOT: adalah metode yang digunakan untuk memprediksi kebutuhan teknologi di

Page 81: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 219

masa depan dengan dengan menganalisis kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportuni es), dan ancaman (threats).

Expert Panel: adalah untuk menentukan pilihan teknologi yang tepat, yang paling sederhana adalah dengan menanyakan langsung kepada seorang pakar yang keahliannya paling menonjol dalam suatu bidang teknologi.

Brainstorming: adalah proses penentuan atau prediksi yang melibatkan para

pemangku kepen ngan (stakeholders), jadi bukan hanya oleh ahli teknologi.

Scenario Wri ng/Planning: adalah proses untuk melakukan penilaian jangka panjang terhadap kategori dan bidang teknologi yang menjadi prioritas dimasa akan datang sebagai masukan kepada pembuat kebijakan (policy maker).

Berikut ini adalah da ar negara yang telah melakukan Technology Foresight beserta motode yang dipergunakan.

Tabel 1. Da ar Negara yang telah Menerapkan Technology Foresight

Sumber : Popper. R., (2008)

Page 82: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

220 ISSN : 2252-911X

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa di awal perkembangannya (1971-1999), beberapa negara banyak yang menggunakan metode delphi dalam melakukan technology foresight. Jepang adalah merupakan salah satu negara yang secara konsisten menggunakan metode tersebut.

c. Implementasi

Seper telah uraikan dalam pembahasan sebelumnya bahwa Technology Foresight telah banyak diimplementasikan di banyak negara, baik negara maju (developed country) maupun negara berkembang (developing country). Technology Foresight juga telah diimplementasikan di banyak negara baik negara maju mupun berkembang. Sejak tahun 1970 dak kurang dari 30 negara di dunia yang telah menerapkan Technology Foresight dengan berbagai konsep dan metodologi (Unido, 2005).

Impelementasi/penerapan Technology Fore-sight di ap negara sangat berbeda baik dalam hal tujuan (objec ves), durasi/jangka waktu, maupun metodologi. Fakta lainnya adalah, ap- ap negara memiliki hasil yang berbeda atau spesifi k yang dilandaskan oleh perbedaan dalam hal poli k, kondisi perekonomian, serta ngkat perkembangan teknologi. Beberapa negara menekankan pada dampak teknologi terhadap perekonomian dan masyarakat, pemasaran, industri, pelestarian lingkungan (environmental protec on) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Sedangkan sebagian lainnya lebih beorientasi pada iden fi kasi pengembangan teknologi baru. Hal ini mengindikasikan bahwa Technology

Foresight merupakan bagian pen ng dalam konteks pembangunan nasional.

• Technology Foresight di Negara Berkembang

Berdasarkan Processeding of Interna onal Conference on Technology Foresight di Jepang pada tahun 2001 disebutkan beberapa negara yang telah mengaplikasikan dan melakukan studi Technology Foresight antara lain Inggris, Australia, Canada, Swedia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Jerman, Austria dan Jepang.

Jepang adalah satu dari sejumlah negara maju yang secara konsisten melakukan survei Technology Foresight. Sejak 1971, Jepang sudah melakukan dak kurang dari 8 (delapan) kali survei terkait Technology Foresight yang dilakukan secara regular hampir se ap 5 (lima) tahun sekali. Pada survei yang kedelapan (2003-2004), survei diperluas dengan memasukkan aspek sosial-ekonomi. Saat ini, Jepang bahkan sedang mempersiapkan survei yang kesembilan. Secara empirik dampak dari pelaksanaan Technology Foresight di Jepang adalah adanya fokus yang jelas dalam pencapaian sasaran kemajuan iptek di Jepang. Sebagai implikasinya, Jepang berhasil membangun iptek mereka sekaligus mampu memanfaatkan untuk kesejahteraan masya-rakatnya.

Selain itu, menurut Michio Seya (2000), pelaksanaan survei Technology Foresight di Jepang memiliki banyak implikasi, 3 ( ga) di antaranya:

Pertama, terhadap pengkajian teknologi (technology assesement). Jepang yang secara formal dak memiliki kegiatan

Page 83: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 221

pengkajian teknologi (technology assessment). Namun, sejak tahun 2005 lalu NISTEP melakukan sebuah proyek besar yang dinamakan “Study for Evalua ng the Achivements of the S&T Basic Plans in Japan” atau dikenal dengan proyek Basic Plan Review. Proyek ini bertujuan untuk mengevaluasi kembali hasil dari kebijakan-kebijakan di bidang iptek selama ini, sekaligus sebagai bahan untuk menyusun Basic Plan berikutnya.

Kedua, meraih dukungan poli k terhadap iptek. Keterlibatan yang massive dari para pakar beserta kelompok-kelompok akademi dan peneli dalam kegiatan Technology Foresight tentunya memberikan dampak legi masi yang cukup nggi akan hasil survei dan kajian, termasuk ke ka memasuki ranah poli k. Hasilnya adalah ilmu pengetahuan dan teknologi terlibat dan menjadi bagian pen ng dalam keputusan poli k pemerintah. Dampak lanjutannya adalah terlihat pada peningkatan jumlah anggaran peneli an yang diberikan pemerintah terhadap bidang-bidang yang berdasarkan hasil survei dianggap sebagai prioritas.

Ke ga, implikasi terhadap universalisasi Technology Foresight. Keberhasilan Jepang banyak diadop oleh negara lain. Hal ini dak terlepas dari dari kinerja dan kesinambungan pelaksanaannya di Jepang.

• Technology Foresight di Negara Berkembang

Dalam satu dekade terakhir, beberapa negara bekembang juga sudah mulai mengadopsi dan menerapkan konsep Technology Foresight. Beberapa kajian yang dilakukan oleh UNIDO dan APEC Centre

for Technology Foresight menyebutkan bahwa pendekatan dalam pengaplikasian Technology Foresight di negara berkembang lebih difokuskan kepada isu pembangunan industri (industrial development). Tujuannya adalah untuk membantu negara berkembang agar dapat meningkatkan sektor industri mereka dari resource-based menjadi technology-based agar lebih dapat mengintegrasikan produksi mereka kedalam perekonomian internasional.

China adalah satu profi l negara berkembang yang secara intensif mencoba menerapkan Technology Foresight. Sejak mereformasi kebiijakan eknominya China telah 2 (dua) kali melakukan Na onal Technology Foresight (NTF), yaitu tahun 2002 dan tahun 2004. Kedua kegiatan tersebut melibatkan sekitar 5200 orang pakar dan membahas 483 topik teknologi.

Dalam sebuah tulisan, Technology Foresight Towards 2020 in China : The Prac ce and its Impacts, Mu Rongping dan Ren Zhongbao (2008) menggaris bawahi, bahwa paling dak terdapat 3 ( ga) implikasi sebagai

hasil dari pelaksanaan NTF di China, yaitu :

Pertama, implikasi terhadap pengambilan keputusan pada kebijakan iptek. Pelaksanaan Technology Foresight di China telah mengilhami para pengambil keputusan di negeri rai bambu tersebut untuk merumuskan dokumen “The Technology Foresight Towards 2020 in China”. Dokumen ini adalah salah satu dokumen pen ng bagi pembangunan masa depan iptek di China untuk jangka menengah maupun panjang.

Kedua, implikasi terhadap komunitas ilmiah (the scien fi c community). Sejak

Page 84: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

222 ISSN : 2252-911X

diluncurkannya proyek “Technology Foresight Towards 2020 in China”, komunitas ilmiah yang didalamnya terdiri dari para akademisi, peneli dan pemerha secara reguler dilibatkan dalam berbagai rangkaian form disksusi maupun kegiatan lainnya. Lebih dari 60 ilmuan terkemuka (dari 4 bidang prioritas) telah dinominasikan untuk dijadikan bagian dari anggota kelompok peneli (experts group). Selain itu, untuk menampung berbagai pandangan dari pengguna (user), maka dilakukan forum “Technology Demand from Contruc on of Well Off Society”.

Ke ga, implikasi terhadap pemahaman publik akan Iptek. Media lokal sangat menaruh perha an besar tarhadap proyek Technology Foresight di China. Beberapa media lokal secara berkala mempublikasikan perkem-bangan dan hasil-hasil dan dari proyek tersebut dan melakukan wawancara dengan para kelompok peneli . Selain itu, lebih dari 547.000 website yang terkait dengan hal itu (dalam bahasa China) dapat dengan mudah diakses melalui mesin pencari “google”. Meskipun ada juga yang berharap agar hasil daril proyek ini dapat dipublikasi dengan bahasa yang lebih sederhana.

3. Technology Foresight di Indonesia

a. Implementasi

Seper telah dipetakan oleh Kozlowski dalam UNIDO (2005), bahwa Indonesia telah mulai mengimplementasikan sejak tahun 1996. Indonesia rela f lebih dahulu dibandingkan negara lainnya seper Thailand dan beberapa negara maju lainnya seper Canada, Finlandia, Spanyol dan Swedia.

Beberapa kegiatan Technology Foresight dalam skala makro antara lain Delphi Survei oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi/ BPPT (1996-1998), Delphi Survei oleh Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi/KMNRT (1996-2000), Skenario Masa Depan oleh KMNRT (1999), Skenario Masa Depan oleh Tim Indonesia Masa Depan 2010 (1998-2001) dan Scenario Wri ng yang dilakukan KMNRT bekerjasama dengan BMBF (Kementerian Pendidikan dan Peneli an Jerman). Kegiatan Technology Foresight dalam skala messo, adalah kegiatan yang dilakukan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia/AIPI (1992-2000). Sedangkan Technology Foresight dalam skala mikro adalah kegiatan “Masa Depan BPPT” (1998-2001).

Di bawah ini akan diuraikan sekilas tentang pelaksanaan 2 (dua) kegiatan Technology Foresight yang pernah dilakukan di Indonesia, yaitu Deplhi Survei yang diakukan oleh BPPT (1998); serta Scenario Wri ng oleh KNRT dan BMBF/Kementerian Sains dan Teknologi Pemerintah Jerman(2002).

• Delphi Survei oleh BPPT

Delphi Survei yang dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada tahun 1996 ini boleh dianggap sebagai kegiatan Technology Foresight yang pertama kali dilakukan di Indonesia. Secara umum, tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendapatkan masukan dari para ahli dan prak sis (industri) terhadap arah pengembangan teknologi di Indonesia hingga tahun 2020. Beberapa aspek yang menjadi cakupan antara lain:

Pertama, permasalahan atau kecendrungan yang akan berdampak

Page 85: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 223

terhadap perkembangan teknologi di Indonesia hingga akhir tahun 2020;

Kedua, kemungkinan pengembangan produk teknologi yang dapat diserap dan dibutuhkan oleh pasar dalam negeri dan;

Ke ga, kemungkinan inovasi teknologi maupun terobosan dalam bidang iptek dengan memperha kan dampak ekonomi, sosial serta jangka waktu realisasi.

Penggunaan metode Delphi dalam kegiatan ini dengan per mbangan bahwa metode tersebut dianggap sudah cukup teruji dan telah banyak dipergunakan di negara lain, seper Jepang, Inggris dan Jerman. Kegiatan yang dilakukan oleh BPPT inipun sebenarnya terinspirasi oleh kegiatan serupa yang dilakukan negara Inggris yang mengusung 11 bidang teknologi prioritas, yaitu: dirgantara, mari m, energi, agrikultur, material, teknik sipil, transportasi, teknologi informasi dan komunikasi, kesehatan, lingkungan dan pertahanan.

Secara umum, pelaksanaan kegiatan ini masih belum op mal, karena masih terkendala oleh beberapa faktor, di antaranya:

Pertama, masalah pendanaan. Hal ini menyebabkan pelaksanaan kegiatan hanya belangsung dalam 1 (satu) putaran dari 2 (dua) putaran yang direncanakan.

Kedua, ngkat respon responden terhadap pertanyaan yang diberikan sangat rendah. Berdasarkan hasil jawaban responden, hanya 2 (dua) dari 11 (sebelas) kategori teknologi yang mendapat respon (response rates) cukup baik.

Ke ga, kecenderungan dari kebanyakan

responden yang ada untuk memberikan masukan dengan perspek f jangka pendek (short-term). Sebagai contoh, untuk pertanyaan bidang elektronika, hampir 50 persen responden menjawab dapat terealisasi dalam kurun waktu 5 (lima) tahun. Sedangkan yang menganggap bahwa realisasi teknologi tesebut tercapai dalam 15 (lima belas) tahun hanya 6 (enam) persen.

• Scenario Wri ng oleh KMNRT dan BMBF 2002

Pada tahun 2000-2002, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi (KMNRT) bekerjasama dengan BMBF (Federal Ministry of Educa on and Research/Kementerian pendidikan dan Riset Federal) Jerman melalui sebuah proyek yang bernama PERISKOP (Proyek Riset Sains Teknologi untuk Pembangunan). Secara umum, proyek ini bertujuan untuk menghasilkan suatu prinsip dasar dalam merumuskan kebijakan riset iptek dengan melihat kebutuhan iptek di Indonesia terutama pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan keadaan kinerja riset ilmu pengetahuan dan teknologi (Riptek) di Indonesia.

Secara garis besar, proyek ini terbagi dalam 3 ( ga) kegiatan utama, yaitu: analisis kebutuhan industri dan masyarakat akan riset iptek (Analysis of Industrial Demands and Social Needs for Science, Research and Technology/ SRT), pengkaijan akan kinerja system riset iptek saat ini (The Assessment of The Performance Presence SRT System) dan prinsip desain untuk meningkatkan Sistem Inovasi Nasional (Design Principle to Improve Na onal Innova on System).

Page 86: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

224 ISSN : 2252-911X

Salah satu aspek kajian yang dibahas dalam modul pertama adalah Se ng Up on Technology Foresight Process. Tujuan dari kajian ini adalah untuk membangun proses par sipasi (par cipatory process) di dalam menentukan prioritas iptek, dengan mengaplikasikan konsep Technology Foresight. Karenanya, ada 3 ( ga) hal yang dilakukan dalam kajian ini, yaitu: Pertama, menelaah (review) kembali konsep Technology Foresight dan aplikasi di beberapa negara, Kedua, mengkaji kegiatan Technology Foresight yang telah dilakukan sebelumnya; Ke ga, mengaplikasikan konsep Technology Foresight dengan menggunakan metode Scenario Wri ng.

Dipilihnya metode Scenario Wri ng dalam kegiatan ini dikarenakan pada waktu itu metode ini belum pernah dilakukan pada kegiatan Technology Foresight sebelumnya di Indonesia. Selain itu, penerapan metode yang diterapkan pada kegiatan sebelumnya belum diterapkan secara op mal, sehingga hasil diperoleh juga kurang maksimal. Dibandingkan dengan metode lain seper konsultasi atau Delphi, Scenario Wri ng lebih difokuskan pada pendekatan foresight dalam rangka mendukung proses perencanaan strategis, sepe di bidang kebijakan iptek. Metode Scenario Wri ng sendiri juga telah banyak dipergunakan sebagai salah satu metode dalam melakukan Technology Foresight oleh beberapa negara seper Inggris dan Belanda.

Secara garis besar, pelaksanaan kegiatan ini terdiri 2 (dua) tahapan utama yaitu: Technology Selec on Workhop dan Scenario Wri ng Workshop.

Tahapan pertama, Technology Selec on Worskhop, yaitu untuk memilih kategori teknologi (technology categories) dan bidang teknologi (technology fi elds). Kegiatan ini melibatkan 36 orang pakar, masing-masing dari lembaga pemerintah (14 orang), akademisi (15 orang) dan industri (7 orang) para pakar yang dipilih oleh m konsultan PERISKOP.

Pemilihan bidang teknologi mengacu kepada ”A List of Interna onally Cr cal Technology” yang dibuat oleh Cri cal Technology Insi tute, RAND Corpora on, Amerika Serikat. Da ar yang merupakan kompilasi laporan di beberapa negara seper Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, dan Jepang, serta laporan internasional yang dibuat oleh dan OECD ini pernah disampaikan pada APEC Symposium in Technology Foresight tahun 1997 di Thailand.

Da ar ini terbagi dalam hirarki sebagai berikut: pertama, sektor industri; kedua, kategori teknologi (teknologi klaster dengan kesamaan dalam hal fungsi, proses produksi dan produk yang dihasilkan); ke ga, jenis teknologi (kelompok teknologi yang memiliki kesamaan fungsi). Dari hasil workshop ini terpilih 3 kategori teknologi yaitu: (i) Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK); (ii) Bioteknologi, dan (iii) Pertanian dan Pangan. Setelah melalui proses, maka diputuskan bahwa dalam Scenario Wri ng dipergunakan tema “Bioteknologi yang diaplikasikan untuk pertanian dan pangan”.

Tahapan kedua, Scenario Wri ng Workshop, kegiatan ini bertujuan untuk melakukan penilaian jangka panjang

Page 87: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 225

terhadap kategori dan bidang teknologi yang menjadi prioritas, yaitu : “Bioteknologi yang diaplikasikan untuk pertanian dan pangan”. Kegiatan terdiri dari 8 (delapan) langkah dan melibatkan beberapa orang pakar di mulai dengan pemilihan bidang ilmu yang yang menjadi prioritas hingga penulisan skenario (Scenario Wri ng). Beberapa kesepakatan/keputusan yang dihasil-kan dari kegiatan antara lain: Gene c Engineering (GE) sebagai bidang ilmu utama yang akan dipergunakan untuk pengembangan bidang teknologi yang menjadi prioritas; KMNRT sebagai menentukan organisasi/unit yang akan mengkorodinasikan kegitan; durasi ( me frame) untuk skenario 15 tahun; serta aspek yang mes diper mbangkan dalam pengambilan keputusan adalah teknologi, ekonomi, kebijakan dan lingkungan.

Hasil dari kegitan ini adalah 2 (dua) skenario mengenai perkembangan bidang ilmu Gene c Engineering (GE) dan aplikasinya dalam mendukung perkembangan bidang bio-teknologi untuk kurun waktu 15 tahun (2001-2016). Skenario pertama adalah bahwa bidang ilmu GE akan menjadi bidang prioritas yang dipergunakan dalam pemanafaatan kekayaan biodiversity Indonesia, khususnya kelapa sawit untuk dikembangkan menjadi produk unggulan dengan segala diversi asinya.

Pada tahun 2006 diharapkan aplikasinya sudah dapat diterapkan dan bersaing dengan bidang ilmu biorobo cs technology yang dikembang-kan oleh Malaysia. Untuk menghadapi hal tersebut, KMNRT menyiapkan alterna f dengan memanfaatkan GE pada untuk diverisikasi engineering produk berbasis kelapa.

Diharapkan pada tahun 20016, teknologi ini telah mampu membuat produk berbasis kelapa sawit dan kelapa bersaing di pasar internasional.

Skenario kedua, merupakan skenario nega f dalam pengembangan bidang ilmu GE di Indonesia. Dalam 5 (lima) tahun pertama (2001-2006) perkembangan GE dak masih menggembirakan. Karena

masih belum menjadi bidang ilmu prioritas. Pemerintah memfokuskan pada bidang Teknologi Informasi (TI).

Selain isu-isu lingkungan juga turut menjadi kendala dalam pengembangan GE. Kemudian untuk jangka waktu 2006-2011 terjadi perubahan yang cukup signifi kan, dimana GE sudah menjadi program prioritas serta adanya dukungan di dunia pendidikan. Namun demikian pengembangan GE tetap menjadi kontroversi.

Sementara pada tahun 2011-2016, alokasi pendanaan untuk riset di bidang GE dak banyak mengalami perubahan, meskipun mulai terlihat adanya kontribusi dari pihak swasta. Selain itu, banyak lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tetap mengkampanye-kan dampak buruk GE terhadap lingkungan. Ditambah lagi, pemberlakuan sistem hak paten internasional yang baru membuat negara berkembang menjadi sulit untuk bersaing dengan negara maju dalam mengembangkan GE.

Beberapa isu juga juga mewarnai pelaksanaan proses Scenario Wir ng ini antara lain: pertama, jumlah responden yang kurang memadai. Dari 47 pakar yang diundang, hanya sekitar 17 orang yang hadir, dimana perdebatan dari pakar

Page 88: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

226 ISSN : 2252-911X

yang berasal dari kalangan akademisi dan peneli mengenai validitas metode yang dipergunakan. Kedua, adanya keberatan dari sebagian pakar bidang ilmu sosial yang menganggap kurang terakomodasinya ilmu sosial.

Meskipun demikian, dibandingkan dengan kedua Technology Foresight yang dilakukan sebelumnya, Technology Foresight yang dilakukan oleh KNRT dan BMBF boleh dianggap lebih komprehensif baik dari segi substansi, proses, maupun output. Hal ini dikarenakan 3 ( ga) faktor. Pertama, dukungan pendanaan yang mencukupi. Kedua, adopsi terhadap konsep/metode Scenario Wri ng yang menyeluruh. Ke ga, adanya Workshop Technology Selec on maupun Scenario Wri ng Workshop terhadap peserta atau pakar yang dilibatkan.

b. Implikasi

Secara empirik, implikasi dari pelaksanaan Technology Foresight belum terlalu signifi kan terhadap penguatan dan penguasan iptek nasional, maupun di dalam mengarusutamakan (mainstream) iptek dalam tataran kebijakan pembangunan nasional. Namun demikian, dalam konteks yang lebih luas pelaksanaan kegiatan tersebut memberikan iklim yang lebih baik, khususnya dalam beberapa hal berikut:

Pertama, sebagai learning process dalam melakukan pengkajian teknologi (technology assessment) sekaligus technology forecas ng dalam konteks Indonesia. Selama ini, Indonesia mencari formulasi yang tepat untuk mengkaji kemampuan iptek nasional sekaligus untuk mengiden fi kasikan kebutuhan

iptek di masa depan. Banyak negara telah mengadopsi konsep Technology Foresight dan terbuk secara empirik memberikan dampak posi f terhadap perekonomian maupun dalam percepatan pembangunan iptek.

Kedua, memperbaiki proses formulasi kebijakan melalui penyediaan informasi yang lebih baik bagi pengambil keputusan (decision maker). Selama ini, kecedendrungan dalam proses formulasi kebijakan, khususnya kebijakan iptek selalu mempergunakan pendekatan top-down. Technology Foresight, menggunakan pendekatan yang bersifat bo om-up, yaitu dengan melibatkan para pakar dan masyarakat dalam proses formulasi kebijakan. Salah satu kebijakan yang lahir melalui proses ini adalah Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Jakstra Ipteknas) 2000-2004.

Ke ga, sebagai sarana untuk mempertemukan para peneli dengan pelaku industri dalam penentuan priro as (priority se ng) dengan cara yang sistema k. Salah satu kelemahan dalam pembangunan sistem inovasi/iptek nasional di Indonesia adalah kurangnya interaksi dan komunikasi antara pelaku industri dan peneli (baik yang berasal dari perguruan nggi maupun lembaga litbang). Dengan adanya Technology Foresight, memungkinkan keduanya untuk duduk bersama membahas kebutuhan teknologi serta memikirkan upaya yang dapat dilakuakn untuk merealisasikannya.

c. Hambatan

Dari beberapa kali pelaksanaan Technology Foresight di Indonesia terlihat jelas, bahwa

Page 89: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 227

masih terdapat beberapa faktor yang menghambat proses pelaksanaan maupun implementasi Technology Foresight di Indonesia. Berdarakan analisis literatur yang ada, hambatan dalam proses pelaksanaan kegiatan Technology Foresight di Indonesia diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Keterbatasan pendanaan (fi nancial resources). Hal ini tentunya berdampak terhadap pelaksanaan kegiatan, yaitu menyebabkan tahapan pelaksanaan kegiatan dak berjalan sesuai dengan rencana. Sebagai contoh pelaksanaan Technology Foresight yang dilakukan baik oleh BPPT dan KMNRT yang rencananya dilakukan dalam 2 (dua) putaran, karena keterbatasan dana maka hanya dilakukan dalam satu putaran saja.

2. Keterbatasan jumlah responden yang memadai dengan kualifi kasi yang memadai pula. Hal ini menyebabkan validitas dari hasil kegiatan masih diragukan; sebagai contoh dalam dari 65 orang pakar yang diundang untuk terlibat dalam kegiatan scenario wri ng, hanya 36 orang yang hadir.

3. Tingkat respon (response rates) dari respoden yang sangat rendah. Kecenderungan hal ini juga berdampak terhadap validitas hasil kegiatan.

4. Kecenderungan responden untuk mem-berikan masukan dengan k pandang (point of view) jangka pendek (short term).

5. Kurangnya kemampuan (knowledge) dalam penggunaan metode Technology Foresight.

Sementara itu, hambatan dalam proses implementasi antara lain :

1. Kurangnya pendokumentasian dan publi-kasi hasil kegiatan yang terkait dengan Technology Foresight. Dari beberapa kali kegiatan yang dilakukan hanya sedikit diantaranya yang terdokumentasi dan terpublikasi dengan baik. Hal ini tentunya selain kurang efi sien juga berdampak pada kesulitan apabila akan dilakukan kegiatan lanjutan.

2. Kurang responsifnya pelaku iptek terhadap hasil kegiatan. Terlepas dari beberapa kelemahan, pelaksanaan kegiatan Technology Foresight telah menghasilkan beberapa rekomendasi, khususnya priotas bidang peneli an. Namun demikian, hal ini kurang mendapat tanggapan dari pelaku riset dan industri. Ini diindikasikan dengan masih belum terfokusnya kegiatan peneli an yang dilakukan kepada bidang-bidang prioritas tersebut.

3. Kurangnya dukungan dari poli k pemerintah terhadap hasil kegiatan. Salah satu kebijakan yang lahir melalui proses ini adalah Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Jakstra Ipteknas) 2000-2010. Seyogyanya kebijakan tersebut dapat dijadikan pegangan dalam pembangunan iptek nasional dan mendapat dukungan poli k, termasuk dalam hal pendanaan.

4. Kesimpulan dan Saran

Technology Foresight adalah sebuah konsep universal yang secara empirik telah

Page 90: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

228 ISSN : 2252-911X

terbuk rmemberikan dampak posi f terhadap percepatan pembangunan iptek maupun perekonomian di banyak negara. Seper negara lainnya, Indonesia telah mengadopsi konsep tersebut baik dalam lingkup makro, meso, dan mikro sebagai bagian dari upaya untuk memetakan kemampuan iptek saat ini sekaligus prediksi terhadap kebutuhan iptek di masa depan.

Beberapa implikasi posi f yang diperoleh dari pelaksanaan Technology Foresight di Indonesia antara lain: Pertama, sebagai learning process dalam melakukan pengkajian teknologi (technology assessment) sekaligus technology forecas ng dalam konteks Indonesia. Kedua, sebagai bagian dari proses formulasi kebijakan melalui penyediaan informasi yang lebih baik bagi pengambil keputusan (decision maker). Ke ga, sebagai sarana untuk mempertemukan para peneli dengan pelaku industri dalam penentuan priro as (priority se ng) dengan cara yang sistema k.

Namun demikian, masih terdapat beberapa kendala, baik dalam pelaksanaan maupun implementasi dari hasil Technology Foresight. Beberapa permasalahan dalam pelaksanaan di antaranya, pendanaan, pemahaman pelaksana kegiatan serta komitmen keterlibatan pakar. Keterbatasan pendanaan, keterbatasan responden yang berkualifi tas, ngkat respon (response rates) dari respoden yang sangat rendah, kecenderungan responden berpikir jangka pendek serta kurangnya kemampuan (knowledge) dalam penggunaan metode Technology Foresight.

Sedangkan dalam implementasi hasil kegiatan, beberapa hal masih menjadi kendala diantaranya, kurangnya pendokumentasian dan publikasi hasil kegiatan, kurang responsif-nya pelaku iptek terhadap hasil kegiatan serta kurangnya dukungan dari poli k pemerintah terhadap hasil kegiatan.

Berdasarkan hal tersebut, beberapa rekomen-dasi yang dapat dipe mbangkan dalam proses pelaksanaan dan implementasi kegiatan Technology Foresight, antara lain :

Pertama, pen ngnya dukungan poli k pemerintah, baik secara kebijakan maupun anggaran. Kita perlu mencontoh bagaimana dukungan yang diberikan pemerintah Jepang, China dan Thailand dalam pelaksanaan kegiatan Technology Foresight. Sebagai hasilnya, Jepang telah menyelenggarakan kegiatan tersebut secara reguler dalam kurun waktu 38 tahun terakhir. Demikian halnya China, yang pelaksanaan Technology Foresight-nya mendapat tangapan langsung dari pemimpin pemerintahan ter nggi negara terebut. Bahkan pemerintah Thailand bersedia menjadikan negaranya sebagai APEC Center for Technology Foresight (APEC CTF). Hal ini tentunya akan berimplikasi posi f terhadap pelaksanaan dan implementasi Technology Foresight di negara mereka.

Kedua, perlunya dukungan dan komitmen dari para pakar. Dari beberapa kegiatan yang dilakukan terlihat bahwa dukungan dan komitmen para pakar untuk terlibat Technology Foresight masih sangat rendah.

Page 91: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 229

Hal ini dapat dilihat dari komitmen pada keterlibatan dalam proses kegiatan kehadiran maupun respon yang diberikan. Padahal akan sangat berdampak terhadap bidang yang akan menjadi prioritas. Pelaksanaan Technology Foresight di China mendapatkan respon yang luar biasa dari para pakar dengan melibatkan sekitar 5200 orang pakar dalam kegiatan. Oleh karena itu, dimasa yang akan datang perlu upaya untuk meningkatkaan kesadaran para pakar untuk lebih mendukung dan berkomitmen terhadap kegiatan Technology Foresight.

Ke ga, perlunya komitmen penyelenggara acara, dak hanya dalam pelaksanaan keseluruhan tahapan/proses kegiatan secara komprehensif, namun juga untuk mendokumentasikan hasil kegiatan dengan baik. Selain itu, hasil kegitan juga harus dipublikasikan dan diseminasikan kepada pihak terkait, khususnya pemangku kepen ngan (stakeholders). Hal ini pen ng agar hasil kegiatan tersebut dapat dilanjutkan bila diperlukan ataupun di ndaklanju dalam bentuk kegiatan yang lebih konkrit. Kita dapat mencontoh pelaksanaan Teknologi Foresight di Jepang yang mendokumentasikan hasil kegiatan dengan baik sejak dilakukan untuk pertama kalinya di tahun 1970.

Da ar Pustaka

Becker, P., 2002, Corporate Foresight in Europe: A First Overview, Working Paper: Ins tute for Science and Technology Studies University of Bielefeld, Germany, OCTOBER 2002, p:// p.cordis.europa.eu/pub/foresight/docs/st_corporate_foresight_040109.pdf

Georghiou, L., 2003, Evalua ng Foresight and Lessons for Its Future Impact, The Second Interna onal Conference On Technology Foresight – Tokyo, 27-28 Feb. 2003 h p://www.nistep.go.jp/IC/ic030227/pdf/p6-1.pdf.

Georghiou, L., 2001, Third Genera on Foresight - Integra ng the Socio-economic Dimension, h p://www.nistep.go.jp/achiev/ftx/eng/mat077e/html/mat077oe.html).

Keenan, M., 2005, Regional Innova on Regional Innova on : Strategies and Foresight Strategies and Foresight , Euro Coop Workshop, Berlin Euro Coop, Berlin, November 2005, http://www.iccrinternational.org/eurocoop/docs/ws1/keenan.pdf.

Kobayasi, S., 2004 Technology Assesment in Japan: Technology Assessment in Japan: Past, Present, and Future, “Technikfolgenabschätzung”, Nr. 2, 13. Jahrgang - Juni 2004, S. 86-89, http://www.itas.fzk.de/tatup/042/koba04a.htm.

Page 92: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

230 ISSN : 2252-911X

Sanz, L. an Cabello C., 2001, Understanding Technology Foresight: The Relevance Of Its S&T Policy Context, Interna onal Journal of Technology Management, 21 (7-8): 661-679, 2001, h p://digital.csic.es/bitstream/10261/1562/1/dt-9911.pdf

Mar n, B., 2001 Technology Foresight in a Rapidly Globalizing Economy, Invited Presenta on at the Interna onal Conference o ‘Technology Foresight for Central and Eastern Europe and the Newly Independent States’, Vienna, Austria, 4-5 April 2001, www.unido.org/fi leadmin/import/12224_01Mar nslide.pdf.

Mar n, B. , 1995, Foresight in Science and Technology, Technology Analysis & Strategic Management Vol. 7 No. 2, http://www.unido.org/fileadmin/import/16959_DelphiMethod.pdf

Miles, I., 2007, Foresight Methods, Paper for UNIDO Workshop, to accompany the presenta on “Methods in Technology Foresight”, UNIDO Regional Ini a ve on Technology Foresight,Gebze (Turkey) November 2007, h ps://www.unido.org /foresight/rwp/dokums_pres/foresight_methods_gebze_122.pdf.

Miles, I., 2010, The development of technology foresight: A review, Technological Forecas ng and Social Change Volume 77, Issue 9, November 2010, h p://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0040162510001794

NISTEP, 2001, Proceeding of Interna onal Conference on Technology Foresight, Jepang, h p://www.nistep.go.jp/achiev/ftx/eng /mat077e/html/mat0772e.html.

PERISKOP, 2002, Evalua on of the Indonesian Science, Research and Technology Landscape to Strengten the Na onal Innova on System, Ristek, bmb+f, Fraunhofer Germany.

Popper, R., 2008, Foresight: processes, prac ces and methodologies, PREST - Manchester Ins tute of innova on Research, University of Manchester, h p://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=poppers%2C+technology+foresight%2C+ppt&source=web&cd=1&ved=0CCAQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.eulaks.eu%2Fattach%2FPOPPER_Proceso_de_Foresight.ppt&ei=opOhUK7HLYf5rQeTmIDgBA&usg=AFQjCNGSMp8TqmzTYHs-OUZYh8QigKenJA&cad=rja

Popper, R., 2008, Foresight Methodology, in Georghiou, L., Cassingena, J., Keenan, M., Miles, I. and Popper, R. (eds.), The Handbook of Technology Foresight, h p://rafaelpopper.wordpress.com/foresight-diamond/

PREST, 2006, Evalua on of the United Kingdom Foresight Programme Final Report March 2006 www.foresight.gov.uk//publications/publications.htm

Page 93: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 231

Rongping, M., & Zhongbao R., 2008, Technology Foresight Toward 2020 in China: The Prac ce and its Impact, Technology Analysis & Strategic Management , Vol. 20, Iss. 3, 2008 , P. 287 – 307,forera.jrc.ec.europa.eu/documents/papers/Technology%20Foresight-murongping.pdf .

Seya, M., 2000, Technology Foresight in Japan, paper presented at Interna onal S eminar: Foresight Studies on Science and Technology, Brasilia, Brazil, September 27, 2000, ftp.mct.gov.br/cct/Prospectar/Eventos/Palestras/MichioSeya1.PDF.

Tegat, G., 2003, Technology Foresight : Philosophy and Principles, Innova on: Management, Policy & Prac ce, Volume: 5 | Issue: 2-3 Cover date: December 2003 Page(s): 279-285, h p://www.innova on-enterprise.com/archives/vol/5/issue/2-3/article/1486/technology-foresight.

UNIDO, 2005, Technology Foresight Manual Volume 1: Organiza on and Methods, Https://Www.Unido.Org/Foresight/R e g i s t r a t i o n / D o k u m s _ R a w /Volume1_Unido_Tf_manual.pdf.

Villarroel, Y., 2008, Foresight in La n America. Experiences in six Countries. Argen na, Brazil, Chile, Colombia, Peru, Venezuela, h p://www.forschungsinfo.de/Archiv/iFQ_Jahrestagung_08/beitraege/villarroel.pdf

Page 94: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta
Page 95: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 233

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai Lokomo f Pertumbuhan Ekonomi

Anwar Darwadi

Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta

Abstract

Economic development paradigm narrowly focused on growth and neglec ng well-structured eff orts to develop capacity to grow will not only cause serious dependency on foreign direct investment (FDI) but also will over burden future genera on of Indonesia with various economic problems. This ar cle is intended to discuss on how Indonesia should develop its science and technology (S&T) capaci es in long terms such that it will be able to play its role as locomo ve for economic growth of the na on. There are some factors that may cause technology adop on ‘lock-in’ by domes c industries. To overcome these obstacles, S&T and economic policies should be synchronized and reciprocally-mutualis c to both sides, nurtured in a conducive ecosystem of smoothly-integrated and fully-comprehensive na onal policy.

Abstrak

Paradigma pembangunan yang meninjau pertumbuhan ekonomi secara sempit karena sangat terfokus hanya pada pertumbuhan dan bukan pada kemampuan untuk tumbuh dak hanya mengakibatkan ekonomi Indonesia jalan ditempat dan menjadi sangat tergantung pada investasi asing (FDI), juga dalam jangka panjang akan memperbesar beban yang harus ditanggung oleh generasi mendatang. Ar kel ini membahas tentang bagaimana Indonesia dapat membangun kemampuan Ipteknya agar dalam jangka panjang dapat menjadi lokomo f pertumbuhan ekonomi. Terdapat sejumlah faktor yang mengakibatkan perkembangan adopsi hasil riset oleh perusahaan mengalami lock-in. Untuk mengatasi keadaan tersebut, kebijakan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi haruslah terkait secara mbal balik dengan kebijakan di bidang ekonomi dan kemasyarakatan, yang secara keseluruhan merupakan kebijakan nasional yang terpadu dan saling memperkuat.

Kata kunci: pertumbuhan ekonomi, neraca perdagangan, riset dan pengembangan, teknologi, inovasi

1. Pendahuluan

Pengalaman di negara-negara maju menunjukkan bahwa perkembangan ekonomi yang berakar pada kemampuan teknologi dan inovasi dak hanya

memberikan kekuatan untuk bersaing di kancah perdagangan internasional, namun juga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Kemampuan teknologi membuka peluang untuk memperpanjang

Page 96: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

234 ISSN : 2252-911X

rantai nilai pasok (supply chain) untuk memperbesar nilai tambah ekonomi dan mempertajam “compe ve edge” dari rantai nilai tersebut. Dengan demikian mereka dapat mencapai dua hal yang sangat fundamental. Pertama, mereka mampu memperkuat dan mempertahankan posisi dalam kancah perdagangan internasional yang sangat kompe f. Kedua, mereka memperbesar peluang bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses pertambahan nilai, sehingga pendapatan per-kapita masyarakat dan taraf hidup masyarakat dapat diperbaiki secara berkelanjutan. Namun apa yang mereka capai bukan sesuatu fenomena yang berdiri sendiri. Fenomena itu terjadi melalui proses panjang dan dalam suatu lingkungan sistem yang memungkinkan masyarakat menggali dan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menghasilkan berbagai inovasi, serta mendifusikan inovasi tersebut ke dalam berbagai proses pertambahan nilai dan mendulang nilai tambah yang dihasilkan untuk memperkuat

perekonomian negara dan meningkatkan pendapatan masyarakat.

Berbagai studi menggarisbawahi bahwa fenomena tersebut merupakan resultan dari kemampuan negara menumbuhkan suatu sistem ekonomi dan kemasyarakatan yang yang memungkinkan pembentukan fondasi dan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan kecerdasan dan krea vitas.

2. Tantangan yang Dihadapi

PDB yang dihasilkan kegiatan produksi ditambah dengan impor dipergunakan untuk pemenuhan permintaan pasar dalam negeri apakah itu konsumsi masyarakat maupun belanja pemerintah, untuk ekspor, serta sebagian lagi untuk keperluan investasi. Sebagian dari investasi dipergunakan sebagai umpan balik hasil ekonomi untuk meningkatkan daya saing atau memperbesar kapasitas produksi di dalam negeri. Sedangkan sebagian lagi dipergunakan untuk membeli aset di luar negeri dan yang tentunya akan meningkatkan pendapatan luar negeri (Gambar 1).

Gambar 1. Hubungan Kegiatan Produksi dengan Perkembangan Ekonomi Makro

Page 97: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 235

Suatu negara juga mendapatkan aliran investasi dari luar negeri yang tentu saja juga akan meningkatkan kapasitas produksi, namun tentu saja akan memperbesar kewajiban pembayaran luar negeri. Selisih neraca pendapatan dan pembayaran kepada pihak luar negeri, ditambah selisih ekspor dan impor adalah transaksi berjalan (current account) yang mempengaruhi naik turunnya cadangan devisa yang dimiliki untuk membiayai impor dan pembayaran kewajiban kepada pihak luar negeri.

Di dalam mekanisme tersebut, peran ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai suatu kemampuan dapat di njau sebagai berikut: Pertama, sebagai kemampuan yang di-perdagangkan sebagai jasa. Lokomo f ekonomi negara-negara maju semakin bergeser ke arah ini.

Kedua, sebagai kemampuan yang tertanam (embodying) dalam kegiatan produksi untuk menghasilkan produk untuk memenuhi permintaan pasar domes k dan ekspor. Kemampuan ini dipergunakan untuk keperluan merancang dan mengendalikan proses produksi, inovasi dan pengembangan produk atau metoda dan proses produksi, pengendalian distribusi input dan output produksi, dan sebagainya. Landasan daya saing negara-negara maju saat ini sebagian besar masih terletak di sini.

Ke ga, sebagai kemampuan menggali manfaat ilmu pengetahuan untuk mendukung kedua kemampuan di atas. Unsur ini diperlukan untuk menumbuhkan tacit knowledge yang sangat pen ng bagi petumbuhan kemampuan inovasi serta kemampuan mengadopsi, memodifi kasi

dan menerapkan ilmu pengetahuan yang berkembang di luar negeri.

Bagaimana dengan berbagai permesinan dan peralatan yang oleh banyak orang sering disebut sebagai teknologi? permesinan dan peralatan merupakan “barang” hasil kreasi kemampuan yang tertanam dalam kegiatan produksi.

Ke ga unsur kemampuan tersebut terkait satu sama lain. Cikal bakal kemampuan pertama pada dasarnya adalah akumulasi kemampuan kedua. Kemampuan ke ga merupakan fondasi untuk menumbuhkan kemampuan kedua kemampuan yang lain, khususnya kemampuan kedua. Kemampuan ke ga ini seringkali kurang mendapatkan perha an karena dalam waktu yang singkat dak memberikan kontribusi kepada

pertumbuhan ekonomi. Namun harus diingat bahwa semakin kuat kemampuan ini semakin baik pula posisi suatu negara dalam masyarakat ilmu pengetahuan global. Oleh karena hubungan dalam masyarakat ini bersifat saling percaya dan resiprokal, akses terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di luar negeri sangat dipengaruhi kemampuan tersebut. Di negara maju kemampuan ke ga ini mendapatkan perha an khusus dari pemerintah baik untuk memperkuat pasokan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kegiatan produksi atau untuk memperluas akses mereka terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di negara-negara lain.

Uraian di atas menjaring sejumlah kesimpulan sebagai berikut:

a) Pada era ini dak ada satu negara pun yang dak memerlukan barang

Page 98: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

236 ISSN : 2252-911X

yang dihasilkan negara lain apakah itu produk manufaktur, komodi pertanian, atau bahan baku tambang. Oleh karena itu, suatu negara harus memiliki cadangan devisa yang memadai untuk membayar impor. Seper telah dibahas sebelumnya, cadangan devisa diperoleh dari ekspor barang atau jasa, serta pendapatan luar negeri yang diperoleh dari investasi di luar negeri.

b) Neraca perdagangan juga merupakan indikator yang pen ng karena peningkatan ekspor yang dak diiku oleh peningkatan neraca perdagangan dak akan memper-kuat cadangan

devisa negara itu.

c) Peningkatan neraca perdagangan dapat dicapai melalui sejumlah cara tergantung di mana negara itu dapat bersaing dengan negara-negara lain. Pertama adalah menghasilkan barang murah walaupun kualitasnya dak unggul (seper Cina). Kedua

menghasilkan barang yang memiliki nilai ekonomi yang jauh lebih nggi daripada produk yang dimpor (seper USA, Jepang, EU). Ke ga menjual karunia Tuhan YME, yaitu sumber daya tambang dan haya . Keempat adalah menjual kemampuan dalam bentuk jasa (seper USA dan EU).

Walaupun dengan cara pertama Cina dapat mengubah dirinya menjadi raksasa ekonomi dunia dalam jangka panjang cara ini dak sustainable karena tuntutan rakyat untuk meningkatkan kualitas hidup akan mendorong peningkatan biaya tenaga kerja yang

merupakan elemen biaya produksi yang signifi kan. Cara ke ga juga dak akan sustainable apabila sumber daya karunia YME tersebut bukan sumber daya yang terbarui (renewable resources) atau memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar untuk memperbaruinya. Harus pula digaris-bawahi bahwa pemanfaatan sumber daya tanpa keha -ha an yang nggi akan menimbulkan kerusakan

lingkungan yang untuk mengatasinya memerlukan biaya yang besar dan waktu yang lama, sehingga dapat membebani generasi mendatang. Hanya cara kedua dan keempat yang sustainable karena pada dasarnya yang diperdagangkan adalah kemampuan (ilmu pengetahuan dan teknologi) yang dikuasai negara itu.

Cina dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 9% menjadi 10% selama beberapa tahun terakhir ini terus berupaya untuk meningkatkan kualitas barang yang dihasilkannya melalui peningkatan investasi litbangnya sekitar 12% se ap tahunnya. Beberapa tahun yang lalu, China juga telah men-canangkan untuk meningkatkan anggaran litbangnya menjadi 2% dari PDB pada tahun 2010 dan 2,5% pada tahun 2020. Walaupun target ini dak tercapai karena pertumbuhan PDB yang cukup cepat, anggaran litbang Cina meningkat dari sekitar 0,6% dari PDB pada tahun 1995 menjadi sekitar 1,6% pada tahun 2011 atau sebesar 174.9 juta U$ - Cina sekarang negara terbesar kedua dalam hal pengeluaran litbang (Ba elle, 2011).

Page 99: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 237

3. Kondisi Indonesia

Argumentasi bahwa sumber daya haya Indonesia dapat diandalkan perlu di-pertanyakan. Bagaimana dengan kondisi hutan Indonesia? Mengandalkan sektor pertanian yang memiliki siklus pertumbuhan yang pendek juga harus di njau secara rasional. Walaupun Indonesia memiliki tanah yang (pernah) subur dan iklim yang mendukung, ada sejumlah faktor yang perlu diperha kan.

Pertama, karunia YME dalam bentuk kesuburan perlu dipelihara agar sektor ini sustainable, sehingga dak boleh dikorbankan untuk kepen ngan jangka pendek.

Kedua, infrastruktur seper irigasi sangat menentukan produk vitas dan biaya produksi dapat bersaing. Hal ini seper terabaikan, Menteri Pekerjaaan Umum, Djoko Kirmanto menyatakan bahwa “Dari data yang ada, ngkat kerusakan irigasi di Indonesia mencapai 52 persen. Tingkat kerusakannya terbagi dari rusak ringan, sedang dan rusak berat” (Antara, 13 Mei 2012).

Ke ga, dan barangkali yang paling sering dilupakan adalah kembali “ilmu pengetahuan dan teknologi”. Perkembangan bioteknologi dan rekayasa gene ka telah dan akan semakin mempengaruhi daya saing sektor ini, khususnya dalam hal penyediaan benih yang unggul. Berbagai bentuk obat pemberantas hama dan penyakit juga merupakan hasil kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Keempat dan barangkali yang paling mema kan adalah struktur sektor ini. Pada saat ini struktur sektor produksi

ini terdiri dari jutaan usaha tani dengan skala ekonomi yang sangat kecil. Dengan demikian mereka harus menghadapi perfect compe on. Sementara itu, pemasok pupuk, benih dan pasokan produksi pertanian lain pada umumnya dikuasai segelin r perusahaan besar, dan dapat dipas kan dak menghadapi perfect compe on. Demikian pula, pasar pada umumnya dikuasai pengumpul besar atau industri yang memiliki skala menengah atau besar. Dengan demikian, di samping perfect compe on unit usaha tani juga menghadapi ancaman yang oleh M.Porter didefi nisikan sebagai threat of suppliers dan threat of buyers. Posisi tawar (bargainning posis on) unit usaha tani sangat rendah. Dalam skala ekonomi yang begitu kecil hampir dak ada teknologi produksi yang dapat mereka serap, sehingga prak s proses produksi yang dilaksanakan tetap merupakan pola yang tradisional. Oleh karena itu dari seluruh rantai produksi pertanian di Indonesia pada saat ini, keuntungan terbesar diserap industri pemasok pupuk, benih obat-obatan, serta distributor dan industri hilir penghasil produk deriva f. Pendapatan petani sangat marginal sehingga sektor ini gagal meningkatkan kualitas hidup rakyat dan dak dapat diandalkan sebagai andalan ekspor. Bahkan, sustainability industri ini perlu diragukan karena lahan pertanian akan terus menyusut dak mampu menghadapi tekanan persaingan dari sektor produksi lain. Menteri Pertanian (Mentan) Suswono mengungkapkan, saat ini alih fungsi lahan pertanian sudah terjadi secara besar-besaran. Bahkan, se ap tahunnya bisa mencapai 140 ribu hektar (Rakyat Merdeka Online, 03 Mei 2012).

Page 100: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

238 ISSN : 2252-911X

Di industri manufaktur, kelemahan ilmu pengetahuan dan teknologi mengakibatkan rantai pasok (supply chain) industri ini di Indonesia tetap pendek, terfokus pada penghasil produk akhir (end product) yang dapat dikonsumsi atau digunakan secara langsung oleh masyarakat, dan sangat ter-gantung pada pasokan peralatan produksi serta komponen atau bahan baku impor. Kemam-puan inovasi yang menjadi jiwa dari industri ini dapat dikatakan dak mengalami kemajuan yang berar , sehingga ketergantungan pada teknologi impor tetap mewarnai perkembangan kedepan. Dengan demikian industri ini dak hanya dak memiliki daya saing yang cukup kuat untuk bersaing di pasar global, namun juga dak mampu memanfaatkan sofi s kasi pasar domes k yang didefi nisikan oleh M. Porter sebagai faktor demand yang mempengaruhi

perkembangan industri. Walaupun memberikan kontribusi yang cukup besar bagi PDB (26,38% pada tahun 2009), neraca perdagangan dari industri ini sangat marginal atau bahkan nega f. Indikator Iptek Indonesia 2011 (Gambar 2) menunjukkan perkembangan neraca perdagangan produk manufaktur menurut kategori kandungan teknologi. Pada kurun 1999–2010, neraca perdagangan produk manufaktur hanya produk dengan kandungan teknologi rendah yang mengalami keadaan surplus dan cenderung meningkat. Sedangkan untuk produk manufaktur dengan kandungan teknologi lainnya masih sangat marginal, bahkan nega f. Sejak tahun 2007 neraca perdagangan untuk produk dengan kandungan teknologi nggi, menengah- nggi dan menengah-rendah mengalami

defi sit.

Gambar 2. Neraca Perdagangan Industri Manufaktor Berdasarkan Intensitas Teknologi

Page 101: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 239

Penyumbang terbesar dalam surplus neraca perdagangan produk manufaktur dengan kandungan teknologi rendah adalah makanan, minuman dan tembakau serta teks l, barang dari teks l, kulit, dan barang dari kulit. Sementara mesin kantor, komputer, radio, TV, serta alat komunikasi lainnya merupakan produk yang memberi sumbangan terbesar terhadap defi sit neraca perdagangan produk manufaktur dengan kandungan teknologi nggi.

Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memperkuat cadangan devisa, pilihan Indonesia jatuh pada 2 pendekatan, yaitu (1) memacu aliran investasi asing dan (2) meningkatkan eksploitasi bahan tambang yang kemudian diekspor tanpa melalui proses pertambahan nilai yang

signifi kan. Menteri Perindustrian MS Hidayat menyatakan bahwa sejak 2008 sampai 2012, kenaikan ekspor lima komoditas tambang, yakni nikel, bijih besi, pasir besi, tembaga dan bauksit rata-rata 500% sampai 800% (KOMPAS.com, 02 Mei 2012).

Ilustrasi sederhana mengenai permasalahan yang Indonesia hadapi dapat dilihat pada gambar 3. Paradigma pembangunan yang meninjau pertumbuhan ekonomi secara sempit karena sangat terfokus pada pertumbuhan itu sendiri dan bukan pada “kemampuan untuk tumbuh” dak hanya mengakibatkan Indonesia jalan ditempat dan menjadi sangat tergantung pada investasi asing (FDI), tetapi juga dalam jangka panjang akan memperbesar beban yang harus ditanggung generasi mendatang.

Asumsi keberhasilan pembangunan ekonomi terfokus pada pertumbuhan ekonomi bukan pada kemampuan untuk tumbuh

Investasi dianggapsebagai

Daya saing lemah Tergantung pada investasi asing

Tabungan domestik terbatas

Penguatan iptek kurang diperhatikan

Curent Account terbatas

Kewajiban pembayaran luar negeri meningkat

Neraca perdagangan marginal

eksploitasi sumber daya alam sangat diperlukan

Industri pengolahan tidak berkembang

Nilai tambah terbatas

Eksploitasi sumber daya alam secara berkelebihan

Memerlukan investasi besar

Kerusakan lingkungan hidup

Membebani generasi mendatang

Sumber: Kementerian Riset dan Teknologi (2009)

Gambar 3. Dilema Paradigma Pembangunan

Page 102: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

240 ISSN : 2252-911X

Banyak argumentasi terkait dengan FDI, seper alih teknologi dan best prac ces, lapangan kerja, penguatan export dan lain-lain. Dalam jangka pendek, FDI memang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara efek f. Namun, efek sebagai berikut perlu diper mbangkan:

• Perkembangan kegiatan produksi yang dak ditunjang kemampuan teknologi

dan rantai pasok yang kuat akan menimbulkan kebutuhan impor input produksi dan barang modal yang besar, sehingga neraca per-dagangan industri manufaktur Indonesia cenderung tetap marginal.

• Ketergantungan pada FDI akan meng-akibatkan neraca pendapatan luar negeri menjadi cenderung nega f karena kewajiban pembayaran luar negeri lebih besar dari pendapatan yang diperoleh dari pemilikan aset di luar negeri

• Untuk meningkatkan neraca perdagangan dan current account diperlukan eksploitasi sumber daya alam, yang seringkali memerlukan investasi besar. Oleh karena kebutuhan investasi tersebut dak dapat dipenuhi melalui tabungan nasional, FDI menjadi semakin diperlukan.

Dapat dimenger bahwa dengan paradigma pembangunan yang demikian, investasi akan selalu menjadi konstrain dan ketergantungan pada FDI akan terus meningkat. Di samping itu, kebutuhan untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara ekstensif menimbulkan per-masalahan baru sebagai berikut: (a) terjadi kerusakan fungsi lingkungan yang untuk

mengatasinya akan memerlukan biaya yang sangat besar dan akan membebani generasi mendatang, (b) pembangunan menjadi semakin terfokus pada permasalahan per-modalan bagi perusahaan besar karena untuk mengekploitasi sumber daya alam diperlukan biaya modal yang cukup besar. Perkembangan perusahaan kecil menengah, apalagi yang berbasis kemampuan teknologi dan inovasi, dak mendapatkan perha an yang serius.

Selain itu, kita perlu memperha kan berbagai defi nisi daya saing yang berkembang pada akhir-akhir ini. Diantara defi nisi-defi nisi tersebut yang paling menarik adalah yang diutarakan Ralp Landau (Landau, R., 1991) – salah seorang tokoh US-Academy of Engineering sebagai berikut:

“What we should mean by compe veness, and thus the principle goal of our economic policy, is the ability to sustain, in global economy, a socially acceptable rate of growth in real standard of living of the popula on with poli cally acceptable fair distribu on, while effi ciently providing employment for those who can and wish to work, and doing so without reducing the growth poten al in standard of living of future genera ons. This last condi on constraints borrowing from abroad, or incurring excessive future spending obliga ons, to pay for present genera on’s higher living standard” .

Yang ditekankan adalah pertumbuhan ngkat hidup masyarakat, bukan semata-

mata pertumbuhan ekonomi, tanpa harus menimbulkan beban yang menghambat perkembangan generasi mendatang,

Page 103: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 241

yang tentu hanya dapat dicapai apabila masyarakat memiliki kemampuan (ilmu pengetahuan dan teknologi) sehingga mampu terlibat dalam proses produksi yang menghasilkan produk yang memiliki nilai ekonomi yang nggi dengan nilai tambah yang besar. Defi nisi yang diuraikan US - Presiden al Commission on Industrial Compe veness secara jelas mengkaitkan kemampuan tersebut dengan daya saing nasional .

“Na onal compe veness is the degree to which a na on can, under free and fair market condi ons, produce goods and services that meet the test of interna onal markets while simultaneously maintaining and expanding the real income of its people over the long-term. This long-term perspec ve implies the need to reduce ecological impacts and resource intensity to a level at least in line with the carrying capacity of the na on’s ecosystems” (Howard, William G., 1992).

4. Faktor Kebijakan Pemerintah

Uraian di atas menunjukkan bahwa Indonesia dak dapat lagi mengabaikan bahwa

pendorong utama pertumbuhan ekonomi haruslah kemampuan bangsa di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana telah terbuk di negara-negara maju. Pemerintah perlu memper mbangkan pembentukan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memerlukan kurun waktu yang panjang dak kalah pen ng dibandingkan dengan

pertumbuhan ekonomi yang merupakan sasaran jangka pendek. Pertanyaan yang sangat pen ng adalah bagaimana pemerintah melalui kebijakannya dapat

mengintervensi keadaan yang Indonesia hadapi sampai saat ini.

Untuk itu perlu dibahas lebih dahulu hubungan interak f perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai kemampuan seper ilustrasi pada gambar di bawah.

Sumber: Kline dan Rosenberg, 1986 (modifi kasi)

Gambar 4. Hubungan Interak f Kegiatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi terbentuk melalui akumulasi proses pembelajaran interak f yang terjadi dalam berbagai kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi (lundval). Kegiatan desain enjiniring pengembangan produk dan pengendalian produksi terkait langsung dengan permintaan pasar, sehingga memiliki kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada kegiatan ini terjadi pembelajaran interak f antara pemasaran, produksi dan pengembangan produk. Sesuai dengan defi nisi US -

Riset terapan

Inovasi

Desain & enjiniring

pengembangan produk

Pengendalian produksi

Kasanah iptek

Enjiniring produksi

Riset dasar

Permintaan pasar

Page 104: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

242 ISSN : 2252-911X

Presiden al Commission on Industrial Compe veness produk yang dihasilkan harus memenuhi persyaratan pasar internasional.

Dengan demikian kemampuan memanfaatkan kemajuan teknologi yang diperlukan untuk memenuhi standar internasional menjadi sangat krusial. Ini pula yang mengharuskan Indonesia menyesuaikan standar nasional dengan standar internasional.

Kegiatan inovasi yang didefi nisikan sebagai “the fi rst applica on of science and technology in a new way, with commercial success” pada dasarnya merupakan peng-hubung antara proses pembelajaran inter-ak f yang terjadi pada kegiatan-kegiatan di atas dengan proses pembelajaran interak f yang terakumulasi dalam kegiatan riset, khususnya riset terapan. Hubungan tersebut dapat merupakan hubungan langsung atau melalui himpunan khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi yang terbentuk melalui kegiatan riset, baik khasanah yang berbentuk codifi ed knowledge maupun tacit knowledge. Perlu diperha kan bahwa khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbentuk codifi ed knowledge pada umumnya dak dibatasi juridiksi wilayah negara, sedangkan yang berbentuk tacit knowledge merupakan aset yang spesifi k dari satu negara ke negara lain. Oleh karena itu perkembangan riset dasar dan terapan dak dapat diabaikan begitu saja walaupun dak memiliki kontribusi ekonomi secara langsung, karena tacit knowledge yang terbentuk sangat diperlukan untuk mengiku dan mengadopsi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terbentuk dalam lingkungan global.

Defi nisi inovasi diatas juga perlu difahami secara baik. Pertama, inovasi dak selalu terkait dengan teknologi yang baru sama sekali, karena dapat saja merupakan cara pemanfaatan baru dari sejumlah teknologi yang telah ada. Ini yang membedakan inovasi dan invensi yang menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi baru. Kedua, suatu inovasi harus berbentuk produk atau proses yang terbuk mampu mempenetrasi pasar. Dapat dimenger bahwa melalui kegiatan ini, berbagai persyaratan komersial dan persyaratan pasar merupakan faktor yang pen ng. Risiko terbesar dari kegiatan inovasi adalah ke dakpas an respon pasar. Hal ini juga menimbulkan fenomena yang dikenal sebagai “valey of the death” yaitu kesenjangan (gap) antara proses pembelajaran interak f yang terjadi di lingkungan riset yang berorientasi pada kemajuan ilmu pengetahuan dengan proses pembelajaran interak f yang terbentuk di lingkungan dunia usaha yang harus berorientasi pada faktor komersial dan persaingan pasar.

Fenomena ini mengakibatkan dak semua hasil riset diadopsi perusahaan. Fenomena ini menjadi semakin kri s apabila:

• Lembaga riset dak mau mempe-r mbangkan faktor komersial dan pasar yang menjadi per mbangan utama dunia usaha

• Sebagian besar perusahaan dak memiliki kemampuan untuk melakukan valuasi terhadap prospek komersial hasil riset dan dak mampu mentranslasikan hasil riset ke dalam produk yang memiliki prospek pasar yang baik.

• Tidak ada mekanisme/saluran yang

Page 105: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 243

dapat menjembatani atau memfasilitasi kesenjangan orientasi dari kedua proses pembelajaran di atas.

Analisis lanjut terhadap hasil survei BPPT (2005) terhadap sejumlah perusahaan

menyimpulkan sejumlah faktor yang mengakibatkan perkembangan adopsi hasil riset oleh perusahaan mengalami lock-in sehingga dak dapat berkembang secara baik (Gambar 5)

Sumber: Kementerian Negara Riset dan Teknologi (2009)

Gambar 5. Lock-In Perkembangan Adopsi Hasil Riset oleh Perusahaan

Perusahaan kurang percaya Kepada lembaga litbang

Aplikasi “komersial” hasil litbang tidak proven

Jasa lembaga litbang tidak profesional

Perusahaan tidak menyediakan biaya kerja sama dengan lembaga litbang

Banyak perusahaan terikat aturan prinsipal

Hasil litbang tidak sesuai kebutuhan pasar

Kurang memperhatikan faktor standar

Teknologi out of date

Kurang memperhatikan permasalahan HKI

Akses hasil litbang tidak jelas

Komersialisasi hasil litbang sangat terbatas Dampak ekonomi hasil

litbang terbatas pembiayaan lembaga litbang sangat

tergantung pemerintah

Lembaga litbang tidak terekspos pada permasalahan bisnis

Prioritas anggaran litbang rendah

Pembiayaan lembaga litbang tidak memadai

Pembinaan SDM & sarana litbang tidak memadai

Birokrasi Lamban

Informasi & mekanisme tidak memadai

Dukungan regulasi insentif pemerintah tidak memadai

Gambar 5 menunjukkan bahwa perusahaan dak menyediakan anggaran yang

memadai untuk melakukan kerja sama dan mengadopsi hasil litbang yang dilakukan lembaga pemerintah dan perguruan nggi karena:

• mereka kurang percaya kepada lembaga litbang, karena jasa yang disediakan lembaga litbang dak profesional, kurang memperha kan aspek HKI untuk

mengurangi ngkat risiko pelaku usaha yang akan mengadopsi hasil litbang, dan dak memenuhi faktor komersial karena dak sesuai dengan kebutuhan pasar,

kurang memperha kan faktor standar, dan teknologi yang dipergunakan out-of-date;

• mereka merasa dak memiliki akses yang mudah untuk menggunakan hasil litbang karena keterbatasan informasi

Page 106: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

244 ISSN : 2252-911X

dan dak ada saluran/mekanisme yang jelas.

• Mereka terikat pada kebijakan perusahaan prinsipal

• Kurangnya dukungan regulasi dan insen f dari pemerintah

Dalam keadaan demikian, komersialisasi hasil litbang menjadi sangat terbatas. Hal ini menimbulkan dampak sebagai berikut: (1) lembaga litbang dak terekspos pada permasalahan pelaku usaha sehingga kegiatan mereka dak dipengaruhi kebutuhan pasar, (2) lembaga litbang menjadi sangat tergantung pada pembiayaan pemerintah; dan (3) dampak ekonomi yang dihasilkan lembaga litbang menjadi terbatas pula. Dapat dimenger bahwa kemudian ngkat prioritas anggaran pemerintah bagi kegiatan litbang juga menurun, sehingga sebagian besar lembaga litbang dak mendapatkan pembiayaan yang cukup untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia dan sarana riset mereka sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

5. Rekomendasi

Untuk mengatasi keadaan tersebut Indonesia perlu melakukan langkah-langkah untuk mengintervensi keadaan tersebut. Dalam merancang intervensi tersebut, perlu memper mbangkan sejumlah perspek f sebagai berikut:

1) Dari perspek f ekonomi makro, untuk meningkatkan kontribusi ekonomi secara sustainable diperlukan dua (2) strategi yang saling mendukung,

yaitu: (1) Strategi peningkatkan produk vitas dunia usaha untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan neraca perdagangan, dan (2) Strategi penguatan kemampuan inovasi untuk meningkatkan daya saing.

Penetapan strategi tersebut harus memper mbangkan fokus pembentukan daya saing serta berbagai faktor produksi, faktor pasar, prospek perkembangan rantai pasok, dan berbagai kondisi yang mempengaruhi perilaku dan investasi pelaku usaha.

2) Kedua strategi tersebut hanya akan berhasil apabila didukung dunia usaha. Perspek f mereka terhadap daya saing harus secara bertahap bergeser dari pemanfaatan ketersediaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang murah, kearah pembentukan kemampuan inovasi dan produk vitas. Di samping itu pertumbuhan perusahaan baru yang inova f perlu di-suburkan. Untuk keperluan ini pemerintah perlu mengembangkan berbagai instrumen kebijakan dan s mulus. Beberapa contoh sebagai berikut dapat diper mbangkan:

• Menyediakan insen f (seper insen f pajak) serta dukungan teknologi dan ser fi kasi untuk mendorong perusahaan memenuhi standar internasional dan mengadopsi berbagai kecenderungan global supply chain seper penerapan just-in- me, food chain security dan supply chain security yang akan mempengaruhi perkembangan rantai pasok di Indonesia.

Page 107: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 245

• Memanfaatkan kebutuhan pemerintah untuk mendorong inovasi dan menyediakan pasar bagi produk-produk yang inova f. Contoh yang baik adalah program ATP (Advanced Technology Program) di US, di mana berbagai departemen menyediakan dana hibah bersaing bagi perusahaan untuk mengembang berbagai inovasi dan memproduksi produk yang diperlukan departemen tersebut, dan memberikan peluang pasar bagi produk-produk tersebut.

• Mengembangkan berbagai inisia f untuk memperbesar aliran permodalan bagi perusahaan baru yang inova f. Penyediaan matching fund untuk mengurangi risiko perusahaan modal ventura adalah salah satu contoh program yang dapat diterapkan.

• Mengembangkan sejumlah sarana yang dapat menjebatani lembaga litbang dengan pelaku usaha, seper prototyping center, technology valua on center, prototype cer fi ca on center.

3) Pemerintah juga harus mens mulasi perubahan di lingkungan lembaga litbang, khususnya yang mendapatkan anggaran pemerintah. Lembaga litbang perlu meninjau kembali jenjang karier dan ukuran kinerja

bagi peneli yang terlibat dalam kegiatan riset dasar, riset terapan dan kegiatan enjiniring dan teknologi yang terkait dengan proses inovasi dan pengembangan produk. Penerapan ukuran kinerja yang dak tepat bagi se ap jenis kegiatan tersebut sangat menghambat perkembangan kegiatan-kegiatan tersebut. Restrukturisasi anggaran lembaga litbang juga perlu mendapatkan perha an. Disamping untuk pemenuhan pengembangan diri dan pelaksanaan peneli an dasar dan terapan, lembaga litbang sebaiknya mendapatkan alokasi anggaran yang diukur berdasarkan keberhasilan lembaga itu menghasilkan teknologi yang secara nyata menghasilkan kontribusi ekonomi karena hasil kerja mereka diadopsi dunia usaha. Lembaga litbang yang memperoleh anggaran ini harus terlebih dahulu mempersiapkan mekanisme dan informasi pelayanan serta menetapkan kebijakan alih teknologi sesuai dengan UU 18 Tahun 2002.

Berdasarkan perspek f di atas, dapat dikatakan bahwa kebijakan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi haruslah terkait secara mbal balik dengan kebijakan di bidang ekonomi dan kemasyarakatan, yang secara keseluruhan merupakan kebijakan nasional yang terpadu dan saling memperkuat.

Page 108: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

246 ISSN : 2252-911X

Da ar Pustaka

1. Allo , S. 2006. From science to growth: What exactly is the mechanism by which scien fi c research turns into economic growth. Lecture delivered at Hughes Hall, Cambridge, 6th March 2006. Downloadable via h p://www.trinamo.com/news/ar cles.htm

2. Asisten Depu Bidang Perkembangan Sipteknas. 2008. Laporan Akhir Analisis Kebijakan Lingkungan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Tahun 2008, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Jakarta

3. Asisten Depu Bidang Perkembangan Sipteknas. 2009. Laporan Akhir Analisis Kebijakan Lingkungan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Tahun 2009, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Jakarta

4. Aubert, J.E. 2004. Promo ng Innova on In Developing Countries: A Conceptual Framework, World Bank, July 2004

5. Ba elle. 2011. 2012 Global R&D Funding Forecast, R&D Magazine, p. 3-4, 16 Dec 2011 (see: h p: //ba elle.org/ docs/ default-document-library/ 2012_global_forecast.pdf?sfvrsn=2

6. Feinson, S., 2003. Na onal Innova on System Overview and Country Case, in Knowledge Flows, Innova on, and Learning in Developing Countries, p. 13-38, Rockefeller Founda on.

7. Howard, William G., Jr. and Guile, Bruce R. 1992. Profi ng From Innova on, Na onal Academy of Engineering, Free Press

8. Hulbert, J. M., Capon, N. and Piercy, N. F. Total integrated marke ng: breaking the bounds of the func on. New York: Free Press, 2009

9. J. Fouke (Ed.), T. Bell, and D. Dooling. 2000. “Engineering tomorrow, Today’s technology experts envision the next century”. IEEE Press,

10. Johnson, Björn, Charles Edquist, dan Bengt-Åke Lundvall. 2003. Economic Development and the Na onal System of Innova on Approach. First Globelics Conference, Rio de Janeiro. November 3 – 6, 2003. Dari h p://sinal.redesist.ie.ufrj.br/.../pdfs/GLOBELICS_0054_Johnson et alli.pdf

11. Kline, Stephen J. dan Nathan Rosenberg. 1986. An Overview of Innova on - The Posi ve Sum Strategy: Harnessing Technology for Economic Growth (1986). Na onal Academy of Sciences. The Na onal Academy Press. Dari h p://www.nap.edu/books/ 0309036305/html/

12. LIPI. 2012. Indikator Iptek Indonesia 2011. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta

13. Lundvall, B.-Å., 2007. Na onal Innova on System: Analy cal Focusing Device and Policy Learning Tool. Working paper, R2007:004. Östersund: ITPS Swedish Ins tute for Growth Policy Studies;

14. Landau, R. 1991. How Compe veness Can Be Achieved, Technology & Economics, US Na onal Academy Press

Page 109: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 247

15. OECD. 2002. Dynamising Na onal Innova on Systems. Organisa on for Economic Coopera on and Development (OECD)

16. OECD. 1992. Technology and the Economy: The Key Rela onships, Paris

17. Porter, Michael E. 1990. The Compe ve Advantage of Na ons. The Free Press. New York

18. Porter, Michael E. 1980. Compe ve Strategy: Techniques for Analysing Industries and Compe tors, New York, The Free Press

19. S ne, Deborah D. 2009. Science and Technology Policy Making: A Primer. Washington, Congressional Research Service, 38 p. (CRS-RL34454)

20. Taylor, D.A. 2004. Supply Chains: a Manager’s Guide., Boston, MA: Addison-Wesley

Page 110: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta
Page 111: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 249

PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL TEKNOVASI INDONESIAVolume II Tahun 2013

Buku Teknovasi Indonesia merupakan jurnal ilmiah yang menerbitkan ar kel hasil peneli an dan atau ulasan (literature review) 5 (lima) tahun terakhir tentang teknovasi Indonesia.

Buku Teknovasi Indonesia diterbitkan dua kali setahun, yaitu pada bulan Juni dan Oktober. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia. Naskah yang diterima adalah naskah yang belum pernah dipublikasikan atau dak sedang dalam proses publikasi pada berkala ilmiah nasional maupun internasional lainnya. Se ap naskah yang masuk dalam Buku Teknovasi Indonesia akan ditelaah oleh redaksi dan sekurang-kurangnya dua orang reviewer/editor. Redaksi berhak meminta penulis untuk memperbaikinya sebelum naskah dikirimkan kepada reviewer/editor.

Pengiriman Naskah

Naskah dapat dikirimkan kepada Redaksi Teknovasi Indonesia melalui surat elektronik (surel) ke alamat: ye [email protected] Pengiriman naskah dapat juga dilakukan dengan cara konvensional, yaitu ga eksemplar naskah asli dan satu so

copy dikirimkan ke alamat:

Redaksi Teknovasi Indonesia Asdep Budaya Dan E ka Depu Bidang Kelembagaan IptekKementerian Riset Dan TeknologiJl. M.H.Thamrim No. 8, Jakarta 10340Telpon: 3169286, Faksimili: 3102014Email: ye [email protected]

Keputusan penerbitan se ap naskah oleh Redaksi Teknovasi Indonesia berdasarkan hasil penelaahan reviewer/editor.

Format Naskah

• Naskah dike k dengan pe huruf Arial font 12, spasi ganda di kertas berukuran A4, satu kolom, dan dicetak satu muka pada kertas ukuran A4. Batas tepi pada semua sisi masing-masing 3 cm.

• Nomor halaman ditempatkan pada bagian kanan bawah

• Gambar dan tabel harus jelas serta ditempatkan pada bagian akhir naskah setelah da ar pustaka.

• Teks dan angka dalam gambar dan tabel menggunakan huruf Arial font 10.

• Ar kel yang pernah disajikan dalam pertemuan ilmiah, tetapi belum pernah diterbitkan dalam bentuk prosiding, perlu disertai keterangan mengenai pertemuan ilmiah tersebut cetakan kaki.

• Naskah ar kel hasil peneli an memiliki struktur terdiri dari Judul, Abstrak, Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil, Pembahasan, Kesimpulan dan Da ar Pustaka (lihat Format Naskah dalam rincian). Naskah berkisar antara 14-16 halaman ke kan spasi ganda (termasuk gambar dan tabel).

• Naskah ulasan ditulis mengiku format khusus tanpa pembagian menjadi Bahan dan Metode, Hasil dan

Page 112: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

250 ISSN : 2252-911X

Pembahasan. Struktur ulasan terdiri dari Judul, Abstrak, Pendahuluan, Topik-topik yang dibahas, Kesimpulan dan Da ar Pustaka. Panjang naskah berkisar 12-14 halaman ke kan spasi ganda (termasuk gambar dan tabel).

Struktur Penulisan Naskah1. Judul2. Alamat penulis (ditulis lengkap)3. Data penulis korespondensi:4. Faksimili, dan email5. Abstrak (abstrak berbahasa Inggris dan

Indonesia)6. Kata Kunci (Keywords)7. Pendahuluan 8. Bahan dan Metode 9. Hasil 10. Pembahasan 11. Kesimpulan 12. Da ar Pustaka

Uraian Struktur Penulisan Naskah

Judul. Judul singkat dan jelas (≤ 14 kata), dike k dengan huruf besar pada se ap awal kata dengan pengecualian sesuai kaidah bahasa yang digunakan. Nama la n dan is lah asing lainnya dike k dengan huruf miring.

Data penulis. Nama lengkap semua penulis dan alamat semua penulis (lengkap dengan nama lembaga, kota dan kode pos). Penulis korespondensi diberi tanda* dan dilengkapi dengan alamat surat lengkap, nomor telepon dan faksimil, dan alamat surat elektronik sebagai catatan kaki.

Abstrak. Ditulis dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Panjang abstrak dak lebih

dari 250 kata yang dituangkan dalam satu paragraf yang mengandung ringkasan dari (a) latar belakang masalah dan tujuan peneli an, (b) metodologi, (c) hasil atau dampak (ulasan) dan (d) kesimpulan.

Kata Kunci (Key Words). Kata kunci terdiri dari atas 3-8 kata atau gugus kata.

Pendahuluan. Bagian pendahuluan berisi latar belakang pengacuan pada pustaka-pustaka primer pen ng terkait dan diakhiri dengan paragraf tujuan peneli an.

Bahan dan Metode. Spesifi kasi dan sumber bahan-bahan yang digunakan dituliskan dengan jelas. Metode yang digunakan dituliskan dengan jelas. Metode yang digunakan, termasuk cara penggunaan alat, dituliskan secara terperinci bila belum pernah diterbitkan. Metode yang sudah diterbitkan cukup dijelaskan prinsipnya disertai pustakanya. Metode yang dimodifi kasi dijelaskan modifi kasinya disertai pustaka sebelumnya.

Hasil. Hasil peneli an ditullis secara terpisah dari pembahasan. Pemaparan hasil harus jelas dan akurat, dak disertai pustaka atau pembahasan, dan dak mengulang cara kerja yang sudah dijelaskan di bagian bahan dan metode. Data yang sama dak dapat disajikan dalam bentuk tabel dan gambar (grafi k) sekaligus, harus dipilih salah satu. Format tabel dan grafi k dibuat dalam bentuk terbuka (tanpa garis batas atas dan kanan). Judul tabel (di atas tabel) dan judul gambar (dibawah gambar) diberi nomor sesuai urutan pengacuannya didalam teks dan diawali dengan huruf besar, selanjutnya huruf kecil dengan pengecualian sesuai kaidah bahasa yang

Page 113: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta

TEKNOVASI INDONESIA Vol. I, No. 2, November 2012

ISSN : 2252-911X 251

berlaku. Contoh tabel dan gambar dapat dilihat pada Jurnal Teknovasi Indonesia Vol. 1, No. 1, Juni 2012.

Pembahasan. Hasi-hasil pen ng dibahas dan diinterpretasikan data yang ditemukan. Persamaan, perbedaan, dan keunikan hasil peneli an yang diperoleh dibandingkan dengan informasi terkini dari peneli an sebelumnya. Jika ada temuan baru, hendaknya tegas dikemukakan dalam pembahasan. Pada bagian akhir pembahasan dikemukakan implikasi bagi bidang terkait.

Kesimpulan. Penarikan kesimpulan didasari hasil yang diperoleh, dengan memperha kan perumusan masalah dan tujuan peneli an.

Da ar pustaka. Da ar pustaka terdiri dari da ar referensi materi yang diterbitkan atau diterima untuk dipublikasi, disarankan minimal 90% pustaka primer (ar kel jurnal), se daknya ada beberapa pustaka terbitan 3 tahun terakhir. Da ar pustaka disusun berdasarkan urutan abjad nama akhir penulis pertama. Nama penulis pertama dan nama penulis berikutnya didahului nama akhir yang diiku singkatan nama tengah tampa dipisahkan tanda koma atau k.

Page 114: JURNAL TEKNOVASI edisi 2 · PDF fileAlamat Redaksi : Asdep Budaya Dan E ... characteris cs that have to be enriched star ng at early age, i.e. communalism, universalism, ... play sta