jurding kulit

17
PENGGUNAAN ANTIBIOTIK SEBELUM SKRINING CHLAMYDIA DAN GONORRHEA GENITAL DAN EKSTRAGENITAL PADA PENGATURAN KLINIS INFEKSI MENULAR SEKSUAL Nicole H. T. M. Dukers-Muijrers,a,b Genevieve A. F. S. van Liere,a,b Petra F. G. Wolffs,b Casper Den Heijer,a Marita I. L. S. Werner,a Christian J. P. A. Hoebea,b Department of Sexual Health, Infectious Diseases and Environmental Health, South Limburg Public Health Service, Geleen, the Netherlandsa; Department of Medical Microbiology, School of Public Health and Primary Care, Maastricht University Medical Centre, Maastricht, the Netherlands Latar belakang penggunaan antibiotik (pemberian antibiotik secara tidak langsung terkait infeksi Chlamydia trachomatis atau Neisseria gonorrhoeae) telah dihubungkan dengan prevalensi yang lebih rendah dari infeksi genital C. trachomatis pada pengaturan klinis. Hubungan dengan tipe antibiotik spesifik atau dengan N. gonorrhoeae kurang. Disini, kami menilai prevalensi penggunaan antibiotik, perbedaan kelas dan agen digunakan, dan mereka dihubungkan dengan hasil tes klinis infeksi menular seksual (STI) C. trachomatis dan N. gonorrhoeae. Pada klinis STI kami, kami secara sistematis mendata antibiotik yang digunakan pada bulan yang lalu (pada 29% kasus, agen antibiotik spesifik diketahui). Pasien diskrining C. trachomatis dan N. gonorrhoeae pada urogenital; C. trachomatis dan N. gonorrhoeae juga diskrining pada anorektal, orofaringeal. Proporsi penggunaan antibiotik dan hubungannya dengan prevalensi C. trachomatis dan N. gonorrhoeae dinilai dari heteroseksual, hubungan seksual dengan sesama jenis (MSM) dan wanita. Selama konsultasi klinis 14,775, penggunaan antibiotik dilaporkan sebanyak 12.2% (interval kepercayaan 95% [CI], 11.7% sampai 12.7%) yaitu, 14.8% wanita, 8.6% heteroseksual dan 11.6% MSM. Antibiotik yang paling sering dilaporkan adalah penisilin, tetrasiklin, dan makrolide, masing-masing. Prevalensi 11.0% (CI 95%, 10.3% sampai 11.3%) untuk C. trachomatis dan 1.9% (CI 95%, 1.7% sampai 2.1%) untuk N. gonorrhoeae. Hanya tertrasiklin yang berhubungan dengan prevalensi C. Trachomatis lebih rendah (3%). Secara keseluruhan penggunaan antibiotik dihubungkan dengan prevalensi C. trachomatis lebih rendah pada anorektal hanya pada

description

jurding

Transcript of jurding kulit

Page 1: jurding kulit

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK SEBELUM SKRINING CHLAMYDIA DAN GONORRHEA GENITAL DAN EKSTRAGENITAL PADA PENGATURAN KLINIS INFEKSI

MENULAR SEKSUAL

Nicole H. T. M. Dukers-Muijrers,a,b Genevieve A. F. S. van Liere,a,b Petra F. G. Wolffs,b Casper Den Heijer,a Marita I. L. S. Werner,a Christian J. P. A. Hoebea,b

Department of Sexual Health, Infectious Diseases and Environmental Health, South Limburg Public Health Service, Geleen, the Netherlandsa; Department of Medical Microbiology, School of Public Health and Primary

Care, Maastricht University Medical Centre, Maastricht, the Netherlands

Latar belakang penggunaan antibiotik (pemberian antibiotik secara tidak langsung terkait infeksi Chlamydia trachomatis atau Neisseria gonorrhoeae) telah dihubungkan dengan prevalensi yang lebih rendah dari infeksi genital C. trachomatis pada pengaturan klinis. Hubungan dengan tipe antibiotik spesifik atau dengan N. gonorrhoeae kurang. Disini, kami menilai prevalensi penggunaan antibiotik, perbedaan kelas dan agen digunakan, dan mereka dihubungkan dengan hasil tes klinis infeksi menular seksual (STI) C. trachomatis dan N. gonorrhoeae. Pada klinis STI kami, kami secara sistematis mendata antibiotik yang digunakan pada bulan yang lalu (pada 29% kasus, agen antibiotik spesifik diketahui). Pasien diskrining C. trachomatis dan N. gonorrhoeae pada urogenital; C. trachomatis dan N. gonorrhoeae juga diskrining pada anorektal, orofaringeal. Proporsi penggunaan antibiotik dan hubungannya dengan prevalensi C. trachomatis dan N. gonorrhoeae dinilai dari heteroseksual, hubungan seksual dengan sesama jenis (MSM) dan wanita. Selama konsultasi klinis 14,775, penggunaan antibiotik dilaporkan sebanyak 12.2% (interval kepercayaan 95% [CI], 11.7% sampai 12.7%) yaitu, 14.8% wanita, 8.6% heteroseksual dan 11.6% MSM. Antibiotik yang paling sering dilaporkan adalah penisilin, tetrasiklin, dan makrolide, masing-masing. Prevalensi 11.0% (CI 95%, 10.3% sampai 11.3%) untuk C. trachomatis dan 1.9% (CI 95%, 1.7% sampai 2.1%) untuk N. gonorrhoeae. Hanya tertrasiklin yang berhubungan dengan prevalensi C. Trachomatis lebih rendah (3%). Secara keseluruhan penggunaan antibiotik dihubungkan dengan prevalensi C. trachomatis lebih rendah pada anorektal hanya pada MSM (odds rasio, 0.4; CI 95%, 0.2 sampai 0.8). pengunjung klinik STI secara umum dilaporkan saat ini menggunakan antibiotik. Walaupun di negara dengan konsumsi antibiotik rendah, tertrasiklin berdampak pada prevalensi C. trachomatis, sedangkan tidak ada hubungannya dengan azitroimisin.

Hal ini merupakan tantangan yang berlanjut untuk mengontrol penyebaran penyakit menular seksual (STIs). Kebanyakan kasus diabaikan dan sisanya tidak dilakukan tes maupun diobati, sebagai contoh, kasus C. trachomatis dan N. gonorrhoeae (1,2). Selanjutnya, kontrol N. gonorrhoeae terhambat dengan pertumbuhan resisten antimikroba (3-5). C. trachomatis dan N. gonorrhoeae merupakan bakteri STIs paling umum. Jika tidak diobati dengan adekuat, mereka dapat menyebabkan komplikasi yang serius seperti epididimitis pada pria dan penyakit radang pelvik, infertilitas dan kehamilan ektopik pada wanita (6). Infeksi C. trachomatis dapat diobati dengan beberapa kelas antibiotik; makrolide (azitromisin) dan tetrasiklin (doksisiklin) merupakan pilihan yang direkomendasikan. Sebagia alternatif, fluorokuinolon dan kuinolon (ofloksasin) dapat diresepkan (7,8,9). N. gonorrhoeae dapat

Page 2: jurding kulit

diobati dengan seftriakson atau dengan siprofloksasin ketika seftriakson dikontraindikasikan dan strain menunjukkan tidak resisten terhadap siprofloksasin (7,8,9). Pengobatan N. gonorrhoeae rumit dengan peningkatan resitensi terhadao kuinolon, tetrasiklin, dan penisilin dan penurunan kerentanan terhadap sefalosporin (3-5).

Peneliti Australia menyatakan bahwa C. trachomatis mungkin secara tidak sengaja diobati dinegara dengan latar belakang konsumsi antibiotik yang tinggi (10,11), sebagai jumlah tahunan keseluruhan resep antibiotik secara umum melebihi frekuensi pengujian C. trachomatis. Volume penguunaan antibiotik pada pasien rawat jalan meningkat di sebagian besar negara-negara Eropa antara tahun 1997 dan 2003, sementara konsumsi tetap stabil antara 2007 dan 2011 di konsumsi rata-rata 19,5 dosis harian yang ditetapkan (DDD) per 1.000 penduduk per hari (12,13). Penelitian analisis ekologi dari 12 negara Eropa menunjukkan korelasi terbalik antara tetrasiklin dan makrolide pada tahun 2002 dan prevalensi C. trachomatis genitaldi semua negara kecuali Belanda (12). Tetrasiklin dan makrolide termasuk dalam kelompok antibiotik sistemik yang paling sering diresepkan setelah penisilin (1).

Belanda secara historis memiliki tingkat resep terendah dari semua negara-negara Eropa, meskipun peningkatan telah dicatat (mencapai 11,4 DDD per 1.000 penduduk per hari pada tahun 2011) (13). Uji tingkat C. trachomatis di Belanda telah diperkirakan 3 per 1.000 orang di komunitas (14). Sementara latar belakang penggunaan antibiotik dapat mempengaruhi penularan STI pada tingkat populasi, juga dapat mempengaruhi praktek klinis karena mempengaruhi hasil tes diagnostik STI dan dapat berinteraksi dengan pengobatan selanjutnya. Penelitian antara pria dan wanita muda menerima antenatal, dokter umum, atau kesehatan seksual di Australia menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik baru-baru ini dikaitkan dengan prevalensi yang lebih rendah dan kejadian C. trachomatis genital (1,15,16,17). Namun, agen antibiotik tertentu tidak diteliti.

Laporan tersebut kurang untuk N. gonorrhoeae, namun fenomena yang sama dapat diamati. Konsumsi antibiotik dapat menyebabkan meningkatnya tingkat resistensi dalam populasi, sehingga penggunaan antibiotik secara keseluruhan dapat mempengaruhi praktek klinis pengujian STI. Jumlah pengobatan infeksi N. gonorrhoeae secara tidak sengaja mungkin minimal, seperti N. gonorrhoeae lebih bergejala dan ada kedepan lebih mungkin untuk diidentifikasi dan segera diobati.

Dalam penelitian ini, dilakukan di negara dengan konsumsi antibiotik rendah per kapita (yaitu, Belanda), kami menilai proporsi penggunaan antibiotik sistemik sebelum C.trachomatis dan N. gonorrhoeae skrining genital dan ekstragenital (anorektal dan orofaringeal) pada wanita dan pria mengunjungi klinik STI. Selanjutnya, kami menguji hubungan antara keseluruhan penggunaan antibiotik sistemik dan agen tertentu dan hasil dari C. trachomatis berikutnya dan tes N. gonorrhoeae.

MATERIAL DAN METODEProsedur dan populasi penelitian. Klinik rawat jalan STI dari Dinas Kesehatan Limburg Selatan menawarkan pemeriksaan gratis dan pengobatan STI. Klinik ini memiliki empat lokasi pengujian tetap di Limburg Selatan (populasi, 630.000). Populasi penelitian mencakup data surveilans dari semua pasien 18 tahun dan lebih tua yang mengunjungi klinik STI kami antara Agustus 2010 dan Oktober 2013 (n 14,945). Pada setiap konsultasi baru, pasien diuji

Page 3: jurding kulit

urogenital untuk C. trachomatis dan N. gonorrhoeae pada first-void urin (pria) atau self-swab (wanita), dan beberapa pasien (38%; n 5691) juga diuji anorektal self-swab (pria dan wanita) dan / atau orofaringeal oleh perawat diswab (pria dan wanita). Pengujian dilakukan dengan tes amplifikasi asam nukleat (NAAT) (untai perpindahan amplifikasi [SDA] tersedia secara komersial [ProbeTec ET sistem; Becton Dickinson, MD, USA] atau PCR [Cobas Amplicor atau Cobas 4800; Roche, CA, USA); N. gonorrhoeae tes positif dikonfirmasi oleh in-house PCR.

Sesuai dengan pedoman nasional, pasien yang dinyatakan positif diminta kembali untuk pengobatan dengan azitromisin atau doksisiklin (dalam kasus C. trachomatis) atau dengan seftriakson (dalam kasus N. gonorrhoeae). Sejak bulan Agustus 2010, kami secara sistematis mencatat (dengan laporan pribadi) apakah pasien telah menggunakan antibiotik di bulan sebelumnya tes skrining. Pertanyaan terbuka tambahan ditanya tentang jenis rejimen yang digunakan; pasien mengisi resep mereka dan atau indikasi mereka untuk digunakan.Variabel dan analisis statistik. Kami menilai prevalensi penggunaan antibiotik sistemik dan hubungannya dengan diagnosa C. trachomatis atau N. gonorrhoeae. Untuk mengurangi pembiasan oleh indikasi (sehingga tidak termasuk orang-orang yang baru-baru ini dirawat karena STI), kami menghapus konsultasi tertentu dari data: mereka yang terjadi dalam waktu 45 hari setelah konsultasi klinik STI sebelumnya (N100) atau konsultasi di mana klien melaporkan C . trachomatis atau N. gonorrhoeae diagnosis pada bulan lalu (n70). Hal ini menghasilkan 14.775 konsultasi dalam analisis kami. Dari semua orang yang menjawab "ya" untuk penggunaan antibiotik (n1,994), 132 dilaporkan menggunakan obat selain pengobatan antibakteri sistemik (misalnya, obat penghilang rasa sakit, bukan sistemik [misalnya, topikal] antibiotik, antijamur, obat inhalasi, atau antihistamin), dan tambahan 61 melaporkan tidak ada agen antibiotik sistemik tetapi indikasi itu tidak mungkin untuk penggunaan antibiotik sistemik (yaitu, infeksi jamur, herpes, infeksi mata, cacing parasit, demam, atau impetigo). Dalam analisis kami, kami menganggap pasien pada 193 konsultasi ini tidak menggunakan antibiotik sistemik.

Dari 1.801 konsultasi yang tersisa di mana penggunaan antibiotik dilaporkan, agen bernama diberi di 541 dan tidak ada agen yang bernama di sisa 1.260. Kami membangun beberapa variabel pada penggunaan antibiotik (ya / tidak) berdasarkan agen yang laporan agen antibiotik yang direkomendasikan untuk digunakan melawan C. trachomatis atau N. gonorrhoeae: doksisiklin, azitromisin, ofloksasin, eritromisin, amoksisilin, seftriakson, dan siprofloksasin. Variabel lain yang dibangun pada kelas gabungan dari agen dilaporkan: tetrasiklin, makrolide, fluorokuinolon dan kuinolon, penisilin, sefalosporin, nitrofurantoin / fosfomisin / trimetoprim, dan lainnya (terutama metronidazol).

Pertama, kami menggunakan analisis chi-square untuk membandingkan karakteristik populasi penelitian, termasuk penggunaan antibiotik, antara wanita, heteroseksual, dan hubungan sesama jenis (MSM). Kedua, kami menggunakan tes chi-square untuk membuat hubungan antara penggunaan antibiotik secara keseluruhan dan umur, jenis kelamin, orientasi seksual, dan HIV positif pada kelompok total 14.775 konsultasi. Ketiga, kami menggunakan analisis regresi logistik univariat dan multivariat, menghitung untuk pengukuran ulang, untuk menilai penggunaan antibiotik secara keseluruhan dan penggunaan antibiotik oleh agen, jenis kelamin, orientasi seksual, status HIV, dan usia (dan interaksi mereka) sebagai penentu untuk C. trachomatis dan untuk N. gonorrhoeae positif. Dalam analisis mengevaluasi penggunaan

Page 4: jurding kulit

antibiotik oleh agen tertentu, kami mengecualikan konsultasi di mana antibiotik dilaporkan tapi tidak ada nama agen khusus (n 1,260, sehingga n 13,515 digunakan dalam analisis). Keseluruhan kehadiran C. trachomatis dan N. gonorrhoeae (di lokasi manapun) digunakan sebagai hasilnya, tetapi kami juga melakukan analisis dikelompokkan berdasarkan lokasi anatomi. Kami mencatat perbedaan antara lokasi anatomi dan dianggap sebagai nilai P 0,05 menjadi signifikan secara statistik. Analisis dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 20 paket (IBM Inc, Somers, New York, USA).Persetujuan etis. Komite etika medis Maastricht University menyetujui penelitian ini (no. 11-4-108).

HASILPenggunaan antibiotik sebelum pengujian STI. Selama 14.775 konsultasi pengujian klinik STI, 12,2% (n1,801) ( Interval kepercayaan [CI] 95%, 11,7% menjadi 12,7%) dari pasien klinik melaporkan penggunaan antibiotik baru-baru ini. Perempuan memiliki tingkat yang lebih tinggi dari penggunaan antibiotik daripada heteroseksual atau MSM, dan penggunaan antibiotik meningkat dengan usia (semua P 0,001) (Gambar 1). Penggunaan antibiotik juga lebih tinggi bagi mereka yang positif HIV (18,6%, dibandingkan 12,1% untuk pasien HIV-negatif) (P 0,004). Antibiotik digunakan untuk berbagai alasan (misalnya untuk infeksi saluran kemih [UTI] dan infeksi saluran pernapasan [RTI]), namun dalam sebagian besar kasus (63%), data tentang penggunaan antibiotik tidak ada.

Agen tertentu bernama di 541 (30,0%) dari konsultasi di mana pasien melaporkan penggunaan antibiotik. Frekuensi yang dilaporkan digunakan ditampilkan pada Tabel 1 dan penggunaan pada Gambar. 2. Dari agen bernama, 26,2% (n142) terdiri dari salah satu dari berikut: doksisiklin, azitromisin, ofloksasin, atau eritromisin. Lainnya 6,3% (n 34) terdiri dari seftriakson atau ciprofloxacin. Dalam 46 konsultasi, pasien melaporkan menggunakan kombinasi dua agen yang berbeda. Antibiotik digunakan bervariasi berdasarkan gender dan

Page 5: jurding kulit

orientasi seksual (Tabel 1). Penisilin yang paling sering dilaporkan, diikuti oleh nitrofurantoin / trimetoprim / fosfomisin (biasa digunakan untuk UTI) pada wanita dan tetrasiklin dan makrolida baik pada pria dan wanita (Gambar. 2).

Prevalensi C. trachomatis dan hubungan dengan penggunaan antibiotik. Prevalensi keseluruhan C. trachomatis adalah 10,8% (CI 95%, 10,3% menjadi 11,3%) (Tabel 1), dan penggunaan antibiotik baru-baru ini dilaporkan 10,8% (173 / 1.597) dari pasien yang menerima diagnosa C. trachomatis. Hubungan antara penggunaan antibiotik dan C. trachomatis berbeda antara wanita, heteroseksual, dan MSM (istilah interaksi P keseluruhan, 0.019). Dalam analisis univariat, penggunaan antibiotik baru-baru ini dikaitkan dengan rendahnya C. trachomatis. Prevalensi pada heteroseksual dan MSM tapi tidak pada wanita (Tabel 2). Kapan disesuaikan untuk usia dan status HIV, perkiraan risiko heteroseksual sedikit dilemahkan dan menjadi non-statistik yang signifikan; Namun, risiko tetap untuk MSM (Tabel 2). stratifikasi analisis MSM oleh lokasi anatomi, bahwa ada hubungan terbalik antara penggunaan antibiotik dan C. trachomatis diamati hanya untuk C. trachomatis anorektal di MSM (rasio odds [OR] disesuaikan untuk HIV dan usia, 0,42; CI 95%, 0,19-0,94) dan bukan untuk C. trachomatis genital di MSM (disesuaikan OR, 0.58; CI 95%, 0,27-1,23) atau lisan C. trachomatis di MSM (OR, 1,10; CI 95%, 0,24-4,98).

Page 6: jurding kulit

Kami juga mengevaluasi hubungan dengan agen tertentu, sehingga tidak termasuk dari kami menganalisis konsultasi dengan pasien yang melaporkan penggunaan antibiotik tetapi gagal untuk nama agen yang digunakan (Tabel 3). Analisis tambahan menunjukkan bahwa ada atau tidak agen antibiotik tertentu dilaporkan tidak terkait dengan C. trachomatis (atau dengan N. gonorrhoeae), juga tidak alasan penggunaan antibiotik (IMS, RTI, atau lainnya) (data tidak ditampilkan). Karena tidak ada interaksi yang diamati antara agen yang dievaluasi dan orientasi seksual (semua P 0,20), makalah ini menyajikan keseluruhan model dalam menilai C. trachomatis dan N. gonorrhoeae (bukan model terpisah untuk wanita, heteroseksual, dan MSM). Dalam univariat dan multivariat, penggunaan tetrasiklin berbanding terbalik dikaitkan dengan C. trachomatis (Tabel 3). Analisis lebih lanjut menunjukkan asosiasi antara penggunaan tetrasiklin dan lokasi anatomi yang spesifik: untuk C. trachomatis genital (OR disesuaikan dengan jenis kelamin, orientasi seksual, usia, dan status HIV, 0,25; CI 95%, 0,06-1,03) dan untuk C. trachomatis anorektal (OR, 0,26; CI 95%, 0,04-1,88). C. trachomatis orofaringeal tidak dievaluasi karena jumlah kecil.Prevalensi N. gonorrhoeae dan hubungannya dengan penggunaan antibiotik. Prevalensi keseluruhan N. gonorrhoeae adalah 1,9% (CI 95%, 1,7% sampai 2,1%) (Tabel 1), dan penggunaan antibiotik baru-baru ini dilaporkan oleh 13,1% (37/282) dari pasien yang menerima diagnosa N. gonorrhoeae. Secara keseluruhan penggunaan antibiotik tidak terkait dengan N. gonorrhoeae, bahkan ketika menilai hubungan untuk genital, anorektal, atau oral N.gonorrhoeae (data tidak ditampilkan) atau dengan orientasi seksual (Tabel 2). Dalam analisis univariat, penggunaan kuinolon dikaitkan secara positif dengan N. gonorrhoeae, sedangkan estimasi risiko dilemahkan agak dan menjadi non-statistik yang signifikan dalam analisis multivariat (Tabel 3).

Page 7: jurding kulit

DISKUSIIni merupakan penelitian pertama untuk menilai secara sistematis konsumsi baru-baru

ini agen antibiotik yang berbeda sebelum pengujian STI dan dampak latar belakang penggunaan antibiotik pada hasil tes diagnostik C. trachomatis dan N. gonorrhoeae dalam pengaturan klinis. Satu dari delapan pasien klinik melaporkan penggunaan antibiotik baru-baru ini, yang hanya minoritas yang perawatan lini pertama untuk C. trachomatis atau N. gonorrhoeae. Tetrasiklin adalah satu-satunya agen ditemukan terkait dengan rendahnya prevalensi C.trachomatis. Dalam MSM, penggunaan antibiotik secara keseluruhan dikaitkan dengan rendahnya prevalensi C. trachomatis anorektal. Penggunaan antibiotik sebelum itu tidak terkait dengan N. gonorrhoeae.

Tingkat konsumsi antibiotik yang diamati baru-baru ini (12%) mungkin lebih tinggi dari yang diharapkan (5,5%, berdasarkan konsumsi latar belakang antibiotik di Belanda 11.4 DDD per 1.000 orang per hari, mengingat program tipikal 5 hari dengan dosis harian di setiap program sama dengan DDD, tergantung pada distribusi program antara individu) (11,13). Ada kemungkinan bahwa gejala-gejala yang menyebabkan beberapa pasien untuk mengunjungi klinik STI mungkin juga diminta sebelumnya kunjungan perawatan kesehatan (misalnya, untuk dokter umum mereka). Hal ini juga tidak jarang di beberapa komunitas global untuk menggunakan antibiotik untuk alasan profilaksis sebelum tes skrining (18).

Page 8: jurding kulit

Pemmbagian nama kelas sejalan dengan tingkat dilaporkan dari jaringan surveilans, dengan penisilin yang paling umum digunakan (13). Tetrasiklin (sebagian besar terdiri dari doksisiklin) dikaitkan dengan prevalensi lebih rendah C. trachomatis, membenarkan korelasi ekologis yang ditemukan di negara-negara Eropa lainnya antara tetrasiklin dan prevalensi rendah C. trachomatis (11).

Ketika konsumsi makrolide per kapita juga dikaitkan secara signifikan dengan prevalensi rendah C. trachomatis di Eropa, ketidak adaan hubungan antara makrolide (bagian azitromisin) dan prevalensi C. trachomatis dalam penelitian kami saat ini dicatat. Azitromisin secara umum diaplikasikan dengan penggunaan 500mg perhari 3 sampai 5 kali sehari pada infeksi non C. trachomatis (misalnya pada RTI); pada infeksi C. trachomatis, dosis yang direkomendasikan lebih tinggi tetapi durasi lebih singkat (satu dosis 1000 mg). Perbedaan dari regimen mungkin menjelaskan tidak adanya hubungan anatara latar belakang penggunaan azitromisin dan C. trachomatis. Masih, perbedaan regimen juga ditunjukkan pada doksisiklin dan makrolide lain (misalnya, dosis yang direkomendasikan untuk non C. trachomatis sinusitis lebih rendah, namun durasi sama dengan yang untuk infeksi C. trachomatis). Meskipun azitromisin adalah pengobatan yang paling umum digunakan untuk C. trachomatis di banyak negara, keberhasilan adalah saat ini masih diperdebatkan, dan beberapa penelitian telah menunjukkan deteksi setelah pengobatan C. trachomatis (19,20).Sementara DNA C. trachomatis dapat tetap terdeteksi pada pasien hingga 40% setelah 3 minggu pengobatan dengan azitromisin, tidak diketahui apakah deteksi menunjukkan "bertahan" infeksi C. trachomatis dan apakah tingkat deteksi berbeda antara azitromisin dan doksisiklin (19,20 ). Tidak ada perbandingan data dari penelitian lain, karena tidak ada hubungan agen khusus pada tingkat individu yang dilaporkan (15-17).

Kami tidak bisa mengkonfirmasi pengamatan awal Australia pada hubungan terbalik antara penggunaan antibiotik secara keseluruhan dan prevalensi C. trachomatis, kecuali MSM. Hal ini mungkin karena perbedaan dalam populasi penelitian; orang-orang dalam penelitian ini lebih tinggi berisiko mengunjungi klinik STI yang berpotensi lebih rentan terhadap mengakuisisi STI baru setelah penggunaan antibiotik baru-baru ini tapi sebelum skrining, melemahkan hubungan populasi STI di klinik.Namun, klinik IMS cenderung tidak menguji individu dengan paparan IMS baru-baru ini (pasien diminta datang kembali setelah fase jendela tertentu), dan karena itu, efek yang mungkin adalah minimal. Penjelasan yang lebih mungkin adalah bahwa konsumsi lebih rendah dari kelas anti C. trachomatis di Belanda daripada di Australia dapat menjelaskan perbedaan tersebut. MSM dalam penelitian kami melaporkan penggunaan tetrasiklin lebih tinggi dibandingkan laki-laki atau perempuan heteroseksual; kelompok kedua melaporkan tingkat yang relatif tinggi penggunaan nitrofurantoin, trimetoprim, atau fosfomisin (yaitu, agen tidak dianggap efektif terhadap C. trachomatis). Untuk pengetahuan kami, ini adalah laporan pertama untuk hubungan antara penggunaan antibiotik saat ini dan N. gonorrhoeae. Kami mengamati tidak ada hubungan antara penggunaan antibiotik baru dan N. gonorrhoeae.

Implikasi untuk penggunaan antibiotik yang luas dan berkisar dari kontribusi untuk resistensi antibiotik, utilitas skrining, dan dampaknya terhadap transmisi dan epidemiologi infeksi. Dampak dari hasil kami pada praktek klinis harus dipertimbangkan dalam pengujian selanjutnya (dari kasus yang tidak sengaja diobati) atau efek yang tidak diinginkan dari pengobatan selanjutnya (yaitu, interaksi pengobatan atau induksi pengobatan resistensi isolat

Page 9: jurding kulit

N. gonorrhoeae). Untuk N. gonorrhoeae, pengujian selanjutnya kemungkinan tidak masalah, karena seftriakson (lini pertama pengobatan N. gonorrhoeae) yang jarang digunakan, dan karena dampaknya terhadap pengobatan tidak sengaja pada kasus N. gonorrhoeae mungkin terbatas. Untuk C. trachomatis, salah satu mungkin berpendapat bahwa pasien yang telah diobati saat ini (misalnya, dengan azitromisin atau doksisiklin) tidak boleh di skrining lagi untuk C.trachomatis, karena mereka bisa diasumsikan telah sembuh (diobati) atau mereka telah memperoleh infeksi yang saat ini (setelah penggunaan antibiotik). Dalam kedua kasus mereka tidak akan memenuhi syarat untuk skrining. Namun, penggunaan makrolide (atau azitromisin) tidak dikaitkan dengan rendahnya prevalensi C. trachomatis, dan pada pasien yang telah menggunakan tetrasiklin, prevalensi C. trachomatis rendah (3%) tetapi tidak benar-benar nol. Seperti disebutkan sebelumnya, hal tersebut belum diketahui apakah deteksi DNA C. trachomatis benar-benar menunjukkan "persisten" infeksi pada kasus ditangani, karena tidak ada tes laboratorium yang dapat menguji hal ini.

Resistensi antimikroba dan terlalu sering menggunakan antimikroba dianggap suatu ancaman serius, terutama untuk pengobatan N. gonorrhoeae (5). Pada tahun 2011, European Gonococcal Antimicrobial Surveillance Programme (Euro-GASP) menemukan bahwa 7,6% dari isolat resisten terhadap sefotaksim (2,3% di Belanda) (RIVM, GRAS, 2013). Euro-GASP juga mendeteksi isolat dengan penurunan kerentanan terhadap seftriakson untuk pertama kalinya (21,22). Penisilin, tetrasiklin, kuinolon, dan fluorokuinolon resisten isolat N. gonorrhoeae sekarang disebarluaskan secara global.

Dari semua pasien dengan didiagnosis N. gonorrhoeae dalam penelitian kami, 13% melaporkan penggunaan antibiotik baru-baru ini. Potensi induksi resistensi terhadap lini pertama pengobatan N. gonorrhoeae (seftriakson) tidak (belum) tampaknya menjadi faktor penting dalam pengobatan klinis N. gonorrhoeae saat ini. Namun, N. gonorrhoeae tampaknya mempertahankan resistensi terhadap beberapa kelas antimikroba, bahkan ketika antimikroba tersebut dihentikan. Oleh karena itu, resistensi terhadap antimikroba lain mungkin masih menjadi titik perhatian.

Prevalensi N. gonorrhoeae dan C. trachomatis pada pasien yang menggunakan kuinolon lebih tinggi dari pada mereka yang tidak menggunakan kuinolon. Temuan ini harus ditafsirkan dengan hati-hati karena jumlahnya yang relatif rendah. Namun demikian, hal itu mungkin mencerminkan kemungkinan bahwa gejala yang berhubungan dengan C. trachomatis dan N. gonorrhoeae menyebabkan pasien untuk menggunakan kuinolon sebelum mengunjungi klinik STI untuk pengujian lebih lanjut. Di sisi lain, hal ini dapat dihipotesiskan bahwa hubungan marginal positif mungkin mencerminkan kemungkinan peningkatan kerentanan karena efeknya pada perlindungan mikrobiota alternatif (23). Akhirnya, mungkin efek interaksi (antagonis atau sinergis) antara pengobatan harus selalu hati-hati dalam praktek klinis untuk orang-orang yang sedang menggunakan antibiotik. Secara keseluruhan, dampak dari latar belakang penggunaan antibiotik pada praktek klinik STI tampaknya relatif terbatas sejauh ini, meskipun hal ini dapat berubah dengan meningkatnya konsumsi antibiotik dan mungkin berbeda di negara-negara dengan konsumsi antibiotik latar belakang yang lebih tinggi.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, informasi tentang penggunaan antibiotik didasarkan pada laporan pribadi, yang mana subjek dapat membuat bias laporan yang kurang atau berlebihan. Kedua, agen antibiotik tertentu tidak dapat

Page 10: jurding kulit

diidentifikasi dalam dua-pertiga dari konsultasi. Indikasi yang dilaporkan tidak dikaitkan dengan agen tertentu, sebagai rejimen lini pertama dan penggunaannya dalam praktek tidak mengacu pada agen tunggal atau kelas antibiotik. Keterbatasan analisis kami sampai batas tertentu, terutama oleh sebagian besar yang disepelekan prevalensi penggunaan agen tertentu dalam total populasi dan mungkin melemahkan hubungan prevalensi STI yang diamati. Kami tidak memiliki alasan untuk menganggap bahwa potensial laporan bias mungkin mempengaruhi agen dilaporkan (seperti yang ditampilkan pada Gambar. 2). Meskipun penelitian ini adalah satu-satunya penelitian sampai saat ini untuk melaporkan latar belakang agen spesifik penggunaan antibiotik pada tingkat individu dalam pengaturan klinik, jumlah untuk beberapa agen yang kecil, analisis statistik yang terbatas untuk mendeteksi adanya keterkaitan. Ketiga, tidak ada informasi yang tersedia tentang dosis yang tepat, tanggal untuk memulai, dan durasi. Tidak ada juga informasi mengenai apakah klien saat ini menggunakan antibiotik atau telah berhenti lebih dari seminggu yang lalu. Dalam praktek klinis, itu akan berguna untuk mengetahui apakah pengobatan saat ini atau bukan saat ini. Ketika merancang penelitian selanjutnya, masalah ini perlu diperhitungkan, misalnya, dengan penilaian yang sistematis konsumsi antibiotik oleh pewawancara terlatih. Bila tersedia, catatan resep akan membatasi kekurangan laporan diri. Keempat, ada kemungkinan bahwa infeksi non genital yang terlewatkan sebagai C. trachomatis dan N. gonorrhoeae anorektal atau orofaringeal tidak diuji pada semua individu, mungkin melemahkan hubungan dengan penggunaan antibiotik. Namun, potensi menyepelekan estimasi risiko kemungkinan minimal, sebagai membatasi data orang yang diuji di semua lokasi anatomi mengungkapkan hasil yang sangat serupa (yaitu, untuk perempuan OR adalah 0,86 [CI 95%, 0,50-1,49; total kelompok OR, 1,09] , untuk heteroseksual itu 0,86 [CI 95%, 0,34-2,20; total kelompok OR, 0,74], dan untuk MSM itu 0,42 [CI 95%, 0,22-0,82; total kelompok OR, 0,49]).

Kesimpulannya, penggunaan antibiotik baru-baru ini adalah umum; salah satu dari delapan pasien klinik melaporkan sebelum diskrining untuk STI. Tetrasiklin berhubungan dengan rendahnya prevalensi C. trachomatis, sementara ada tidak adanya hubungan antara C. trachomatis dan azitromisin. Beberapa pasien yang dinyatakan positif C. trachomatis dan N.

Page 11: jurding kulit

gonorrhoeae telah sangat baru-baru ini diobati dengan antibiotik, sehingga memungkinkan interaksi dengan pengobatan klinik saat ini perlu dipertimbangkan dengan cermat. Namun, sebagian besar antibiotik dilaporkan bukan merupakan lini pertama pengobatan terhadap C. trachomatis atau N. gonorrhoeae. Dampak dari latar belakang penggunaan antibiotik pada praktek klinik STI tampaknya menjadi relatif terbatas, meskipun yang mungkin berbeda di negara-negara dengan konsumsi antibiotik latar belakang yang lebih tinggi.

UCAPAN TERIMA KASIHKami berterima kasih kepada staf klinik IMS, Helen Sijstermans (Pelayanan Kesehatan Limburg Selatan), dan Kevin Theunissen (Pelayanan Kesehatan Limburg Selatan) untuk bantuan dalam mengambil data.Tidak ada konflik kepentingan. Penulis yang sesuai telah memiliki akses penuh ke semua data dalam penelitian dan memiliki tanggung jawab akhir untuk keputusan untuk mengirimkan untuk publikasi.Pendanaan penyidik dimulai. N.H.T.M.D.-M. menganalisis data dan menulis naskah; semua penulis kontribusi terhadap draft akhir naskah.