Buletin Hukum Perbankan

71
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011 The Need of Legaly Mandated for Central Bank in Dealing with Financial Stability Peranan Hukum Dalam Krisis Perekonomian (Dunia) eNotaris Indonesia: Komparasi Awal Peranan Notaris dalam Penyelenggaraan Transaksi Elektronik Implementasi UU Keterbukaan Informasi Publik Di Bank Indonesia Resensi Buku: Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan Cakrawala Hukum: Kedudukan Mahkamah Kontititusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari - Mei 2011 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Januari - Mei 2011

description

monthly article about Banking in Indonesia

Transcript of Buletin Hukum Perbankan

Page 1: Buletin Hukum Perbankan

HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

The Need of Legaly Mandated for Central Bank in Dealing with Financial Stability

Peranan Hukum Dalam Krisis Perekonomian (Dunia)

eNotaris Indonesia: Komparasi Awal Peranan Notaris dalam Penyelenggaraan Transaksi Elektronik

Implementasi UU Keterbukaan Informasi Publik Di Bank Indonesia

Resensi Buku: Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik:

Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan

Cakrawala Hukum: Kedudukan Mahkamah Kontititusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari - Mei 2011

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Januari - Mei 2011

Page 2: Buletin Hukum Perbankan

Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDirektorat Hukum Bank Indonesia

PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia

Penanggung JawabAhmad Fuad, Christina Sani, Heru Pranoto, Agus Santoso

Pemimpin RedaksiAgus Santoso

Sekretaris RedaksiDyah Pratiwi

Dewan Redaksi Imam Subarkah, Sudarmaji, Arief R. Permana, Amsal Chandra Appy, Rosalia Suci, Rika S. Dewi,

Amy Rachmy Budiati, Hari Sugeng Raharjo, Suprianto, Umi Widji R.

Redaksi PelaksanaDyah Pratiwi, Hernowo Koentoadji, Ellia Syahrini, Kesumawati,

Kuwat Wijayanto, Rizal Wisnajaya

Mitra BestariProf. Dr. Erman Radjagukguk, SH, LLM

Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLMProf. Dr. Huala Adolf, SH, LLMDr. Inosentius Samsul, SH, LLMDr. Lastuti Abubakar, SH, MH

Penanggung Jawab Pelaksana dan DistribusiTim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,

Direktorat Hukum Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitiandalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.

Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember.Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletinditerbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi DirektoratStatistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: [email protected]

Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukumperbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,Direktorat Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile(021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.

“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan

publikasi, kemudian pilih publikasi”

Page 3: Buletin Hukum Perbankan

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 4: Buletin Hukum Perbankan

Pada penerbitan kali ini, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 9 Nomor 1, Edisi Mei s.d.

Agustus 2011 kembali hadir ditengah-tengah para pembaca dan pencintanya.

Topik hangat pada materi muatan Buletin adalah menyoroti mengenai mandat bagi bank sentral dalam menjaga stabilitas

sistem keuangan sebagaimana penulisan artikel: “The Need of Legaly Mandated for Central Bank in Dealing with Financial

Stability”. Perkembangan trend bank sentral modern cenderung menambah tujuan bank sentral dalam UU-nya tidak hanya

mencapai stabilitas harga, namun juga berkontribusi pada pencapaian stabilitas sistem keuangan, karenanya bank sentral

perlu mendapat mandat eksplisit dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang SSK. Krisis yang terjadi pada tahun 2008

memberikan bukti bahwa bank sentral tidak hanya mempunyai satu tanggungjawab yaitu menjaga stabilitas harga (price

stability). Dalam hal ini fungsi Lender of Last Resort (LoLR) merupakan fungsi inheren pada bank sentral sehingga secara implisit

bank sentral berperan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Dalam perkembangannya, terdapat pemikiran yang

menyarankan bank sentral untuk memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.

Selain artikel tersebut, secara lengkap, penerbitan Buletin edisi kali ini menurunkan 4 artikel, yaitu :

1. The Need of Legaly Mandated for Central Bank in Dealing with Financial Stability, oleh Agus Santoso, SH., LLM.

2. Peranan Hukum Dalam (Krisis) Perekonomian, oleh Dr. Dian Ediana Rae, SH., LLM., Kepala Perwakilan BI London, dosen

luar biasa FH UI

3. e-Notary, oleh Josua Sitompul, SH. IMM

4. Keterbukaan Informasi Publik, oleh Tim Informasi Hukum Bank Indonesia.

Disamping itu, dalam cakrawala hukum redaksi menyajikan salah satu materi workshop litigasi, yaitu artikel mengenai

Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI.

Selanjutnya, sebagai referensi, redaksi juga telah menyajikan resensi buku “Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, oleh Rizal Wisnajaya, SE, MH., Analis Hukum.

Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, buletin ini akan memuat

daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Januari sampai dengan Maret

2011, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin mempermudah pembaca

dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Selamat membaca.

Jakarta, Juni 2011

Redaksi

Dari Meja Redaksi

i

Page 5: Buletin Hukum Perbankan

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 6: Buletin Hukum Perbankan

Halaman

Dari Meja Redaksi............................................................................................................................................ i

Daftar Isi.......................................................................................................................................................... iii

The Need of Legaly Mandated for Central Bank in Dealing with Financial Stability............................................. 1 - 4

Agus Santoso, SH., LLM

Peranan Hukum Dalam Krisis Perekonomian (Dunia)......................................................................................... 5 - 9

Dr. Dian Ediana Rae, SH., LLM

eNotaris Indonesia: Komparasi Awal Peranan Notaris dalam Penyelenggaraan Transaksi Elektronik.................... 11 - 27

Josua Sitompul, SH., IMM

Implementasi UU Keterbukaan Informasi Publik Di Bank Indonesia.................................................................. 29 - 35

Tim Informasi Hukum Bank Indonesia

Resensi Buku:

Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik:

Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan ................................................................................... 37 - 38

Rizal Wisnajaya, SE, MH,

Cakrawala Hukum:

Kedudukan Mahkamah Kontititusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI................................................................. 39 - 40

Redaksi

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari - Mei 2011..................... 41 - 43

Tim Informasi Hukum

(Direktorat Hukum Bank Indonesia)

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Januari - Mei 2011.............................................................................. 45 - 63

Tim Informasi Hukum

(Direktorat Hukum Bank Indonesia)

Buletin Hukum Perbankan dan KebanksentralanVolume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

iii

Page 7: Buletin Hukum Perbankan

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 8: Buletin Hukum Perbankan

This paper focuses on the needs of central bank to have an

explicit mandate in dealing with financial stability, particularly

in crisis. It takes Bank Indonesia as a Central Bank of the

Republic of Indonesia as a case, as it might be happened in

other central banks.

This paper elaborates 6 (six) topics as follows:

1. Bank Indonesia Objective

2. Bank Indonesia and Indonesia Financial Stability

3. Central Bank’s Conventional Mandate

4. Central Bank and Financial Stability

5. Redefining the Mandate of Central Bank

6. Autonomy and Accountability

Based on Article 7 of Bank Indonesia Act, the objective of

Bank Indonesia is to achieve and maintain the stability of

the Rupiah, the currency of the Republic of Indonesia. The

meaning of the stability of the rupiah is the stability of the

Rupiah value against goods and services, as well as against

foreign currencies. As an archipelago country which has

17.508 islands and thirty three provinces, stretching at 3

different time zones with over 238 million people and the

world’s fourth most populous country,3 it is really challenging

for the central bank to conduct macro economy policy

successfully.

In order to achieve its objective, Bank Indonesia has three

tasks as follows:

a. to formulate and to implement monetary policy

b. to regulate and to safeguard the smoothness of the

payment system;

c. to regulate and to supervise banks.

The discharge of the three tasks above is mutually supportive

to achieve the stability of the rupiah. The task of formulating

and implementing monetary policy shall be conducted

through among other things, targeting monetary aggregates

and or interest rate. The effectiveness in implementing the

monetary policy task calls for the support of an efficient,

expeditious, safe, and reliable payment system (which is

the target of the task in regulating and supervising the

smoothness of the payment system). Further, the efficient,

expeditious, safe, and reliable payment system needs a

sound banking system, which is the target of the task in

banking regulation and supervision. A sound banking will

in turn facilitate monetary control since in Indonesia the

implementation of monetary policy is transmitted primarily

through the banking system (around 80% of the total

financial asset is managed by 121 commercial banks and

1680 rural banks with 14.140 commercial bank branches

and 3.996 rural bank branches).4 In this regards, Bank

Indonesia in fact has performed a range of task related to

the financial stability and has included financial stability

considerations in its monetary and micro prudential policy

making. The performance of the task in financial stability

is related to the one of important roles of a central bank,

such as lender of the last resort to provide liquidity assistance

to illiquid but solvent bank.5

To prevent 2008 financial crisis, several responses have been

taken, such as enacted Government Regulation in Liu of

1

1 Presented in the International Conferences on Legal Aspects in A Changing Global banking Sector held by the Association of Legal Adviser in the Financial And Banking System, Iasi Romania May 31 - June 4, 2011

2 Deputy Director, Directorate for Legal Affairs, Bank Indonesia

3 http://www.indonesia.go.id/in/sekilas-indonesia/geografi-indonesia.html

The Need of A Mandate for Central Bank in Dealing with Financial Stability1

By Agus Santoso2, SH, LLM

4 As of April 2011

5 Based on Bank Indonesia Act, there are three types of liquidity assistance that can be provided by Bank Indonesia, namely intraday liquidity facility, short term liquidity support facility, and emergency liquidity assistance. The intraday liquidity facility is a funding facility extended by Bank Indonesia to a bank in their capacity as a member of payment system managed by Bank Indonesia. Under the Central Bank Act, Bank Indonesia shall have a task to ensuring and maintaining the effectiveness operation of Payment System in Indonesia. The type of payment system operation in Indonesia is 1) The Real Time Gross Settlement (RTGS) that is a system for electronic funds transfer among members in domestic currency with settlement processed individually per transaction basis; and 2) national clearing system that is the clearing system that cover debit and credit clearing in which the settlement is conducted on a nationwide basis.

Page 9: Buletin Hukum Perbankan

Act Number 4 of 2008 regarding Financial System Safety

Net to provide coordination mechanism among authorities

and a crisis prevention mechanism and crisis management

system to handle financial crisis. The government also enacted

Government Regulation Number 66 of 2008 regarding The

Amount of Deposits Guaranteed by Indonesia Deposit

Insurance Corporation, to amend the amount of the deposit

guaranteed, from the most Rp100.000.000,00 (one hundred

million Rupiah) to become the most Rp2.000.000.000,00

(two billion Rupiah). Besides, Bank Indonesia Act had been

amended to broaden the collateral for short term liquidity

support, from limited collateral consist of treasury bills and

Bank Indonesia Certificate to include high rated performing

loans.

In fact, the 2008 crisis has impacted on a small bank, the

Century Bank. Although it was considered a small bank,

Bank Indonesia, Ministry of Finance and Deposit Insurance

Corporation concluded that during the crisis it was a small

but potentially systemic bank. For the sake of preventing

banking crisis, instead of closing the bank, the failing bank

has been decided to be rescued, as the best policy at that

time. The bank was rescued by way of recapitalization by

Deposit Insurance Corporation in the sum of 6.7 billion

Rupiah, instead of giving emergency liquidity assistance to

the bank as provided by Government Regulation in Liu of

Act Number 4 of 2008 regarding Financial System Safety

Net. By recapitalizing the rescued bank, the Deposit

Insurance Corporation became the majority shareholder

of the bank.6

However, the rescue of the bank from political point of

view become a dispute and has been scrutinized before the

parliament, and as the result: rejection of the Regulation

in Liu of Act Number 4 of 2008 regarding Financial System

Safety Net to become an act; investigation on the handling

of the rescued bank; filing draft law on Financial Stability

Safety Net to be discussed in the parliament.

The rejection of Regulation in Liu of Act Number 4 of 2008

regarding Financial System Safety Net to become an act

means that there is no legal basis in the level of law/statute

in Indonesia legal setting providing authority coordination

mechanism and emergency liquidity assistance mechanism

for banks and other financial institutions if financial crisis

occurs. The only legal basis to provide emergency liquidity

assistance is Article 11 section (4) of Bank Indonesia Law

which stipulates that in the event that a Bank experiences

financial difficulties with systemic impact that may result in

crisis endangering the financial system, Bank Indonesia may

provide an emergency financing facility funded by the

Government. Article 11 section (5) of Bank Indonesia Law

states that the procedures and decision making process

regarding financial difficulties of a Bank with systemic impact,

provision of the emergency financing facility, and source of

funding from the State Budget shall be stipulated in a

separate law to be promulgated no later than the end of

2004. But until now, the law has not been enacted. This

means that there is no sufficient legal basis for Bank Indonesia

to provide emergency liquidity assistance. Besides, Bank

Indonesia does not have an explicit legal mandate for financial

stability function. Bank Indonesia’s tasks do not cover the

oversight of the entire financial system from a macro

prudential perspective.7 There is no evidence that the stability

of the value of the Rupiah as an objective has a direct

relationship with the financial system stability. Under the

current legal framework the legal test for any decision and

operation would be restricted to Bank Indonesia’s monetary

objective, which is the stability of the value of the Rupiah.8

Realizing that in today’s globalized world no country is

immune from the crisis, the Governments of the Republic

of Indonesia must do its utmost to protect the country from

most vulnerable crisis. Hence, Indonesia is drafting Financial

2

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

If a bank has difficulty to settle its financial obligation related to payment transaction through clearing system or through electronic funds transfer in Real Time Gross Settlement System (RTGS), the bank may ask the central bank provide funds to clear its obligation. This fund shall be settled in the same day and covered with very liquid collateral. Short term liquidity support facility is a support from Bank Indonesia for any bank experiencing a short term liquidity problem (liquidity mismatch). The duration of this lender of the last resort facility is up to 90 days. This facility is deemed as a secured loan because it is fully backed by high quality of collateral with minimum value equivalent to the amount of facility received. Among the collaterals which are considered as high quality is government bond/bill or central bank bill. Meanwhile, the emergency liquidity assistance is an unsecured loan which is provided by the central bank as the lender of the last resort, but is guaranteed by the Government. The bank may obtain emergency assistance if its liquidity problem is considered to trigger systemic failure. Indeed, this facility is provided to prevent systemic failure in banking system that can lead to the banking crisis.

6 In its development, the Deposit Insurance Corporation has changed the name of the bank, from Century Bank to Permata Bank. This bank has become solvent and has been ready to be divested from this year to 2013.

7 Bank Indonesia is only authorized to regulate and supervise banks.

8 International Monetary Fund Report, November 2010

Page 10: Buletin Hukum Perbankan

System Safety Net Act and the new Bank Indonesia Act.

These two acts must give the clear mandate to do proper

actions by the government and central bank in preventing

and managing crisis.

Preceding the global crisis 2008, many central banks

concerned to narrow definition of the mandates of central

banks in performing price stability. In this regards, the

central banks conventional mandate broadly divided into

three main categories (keeping in view the prime emphasis

of their mandate:9) firstly, central banks with a primary

mandate. For European Central Bank, the primary objective

is to maintain price stability. Secondly, central banks with

two co-equal primary goals, like US Federal Reserve, which

has long had a dual mandate: long term price stability and

full employment. Thirdly, central banks with a broader

mandate, such as Reserve Bank of India, it includes currency

and stability, flow of credit, and price stability with growth.

However, the great majority of central banks operate under

the presumption that they have a policy responsibility for

financial stability. The responsibility for financial stability is

usually inferred from the existence of functions that relate

to it. Such functions include bank regulation (and /or licensing)

and bank supervision, deposit insurance, the provision of

safety nets through emergency liquidity assistance, provision

of honest broker services, and involvement in the payment

system in general.10

Bank for International Settlement (BIS) Report shows that

less than half of central bank statutes contain objectives

relating to financial stability in which from 146 central bank

laws, less than one fifth have an explicit objective for financial

stability per se- for instance an objective that extends beyond

objectives for functions that contribute to financial stability.

In some cases in which the central banks has an explicit

legal objective for financial stability, the objective is broad-

ranging and the central bank’s responsibility apparently far

reaching, inter alia by using the language which implies a

conditional degree of responsibility for outcomes, like: to

maintain, to contribute, to participate, to promote, and to

support. A few description of central banks laws as followed:11

- The People’s Bank of China Act states that the Bank

shall, under the leadership of the State Council, formulate

and implement monetary policies, guard against and

eliminate financial risks, and maintain financial stability.

- The Statute of Bank of Thailand states that the BOT’s

objectives are to carry on such tasks as pertain to central

banking in order to maintain monetary stability, financial

institution system stability and payment system stability.”

- Bank Negara Malaysia Act states that the principal objects

of the Bank shall be to promote monetary stability and

financial stability conducive to the sustainable growth

of the Malaysian economy.

- In Japan, the purpose of the Bank of Japan, or the central

bank of Japan, is to issue banknotes and to carry out

currency and monetary control. In addition to what is

prescribed in the preceding paragraph, the Bank of

Japan’s purpose is to ensure smooth settlement of funds

among banks and other financial institutions, thereby

contributing to the maintenance of stability of the

financial system.

- England states that an objective of the Bank shall be

to contribute to protecting and enhancing the stability

of the financial systems of the United Kingdom (the

“Financial Stability Objective”.)

- Zambia states that the central bank shall formulate and

implement monetary and bank supervisory policies that

will ensure the maintenance of price and financial

systems stability.

As mentioned before, the language implies a conditional

degree of the responsibility of outcomes: to maintain, to

contribute, to participate, to promote, or to support.

3

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

11 Issues in the Governance of Central Banks; A Report from the Central Bank Governance Group chaired by Guiilermor Ortiz, the Governor of the Bank of Mexico, BIS, May 2009

9 Grace Koshie, Reserve Bank of India “Impact of Changing Mandates on Central Bank Governance” presentation to the Seminar on Central Bank Governance: The Role of the Board, Windsor, United Kingdom, April 2011

10 source: Issues in the Governance of Central Banks; A Report from the Central Bank Governance Group chaired by Guiilermor Ortiz, the Governor of the Bank of Mexico, BIS, May 2009

Page 11: Buletin Hukum Perbankan

The crisis triggered the debate on role and responsibility of

central bank. Should central bank persist with inflation

targeting? The role of central banks as an anchor for price

stability remains crucial. But in the post-crisis environment,

central banks are expected to ensure stability in a broader

sense than just price stability. In particular, it is now more

or less universally recognized that central banks should have

a formal mandate for financial stability.12 Because central

banks are increasingly being put in charge of overseeing

systemic risk in the context, as the ultimate provider of

liquidity, in which central banks also focus on system-wide

risks and obtain an integrated view of both the individual

micro and macro prudential supervision, for Indonesia case,

the IMF has recommended Bank Indonesia to have the

financial system stability mandates. Such a framework would

provide a sound legal basis for operations and accountability

for its macro prudential work. The financial stability objective

of Bank Indonesia should be explicit and aligned with its

functions and powers. The specific wording of Bank

Indonesia’s financial stability objective should be carefully

crafted to avoid creating expectations that Bank Indonesia

cannot fulfill. The wording should not reflect Bank Indonesia

full responsible for handling financial crisis. All Bank

Indonesia’s functions and objectives should be clearly stated

and mandated in the Bank Indonesia Act. The mandate

shall comprise a consistent set of objective, functions, policy

instruments, and legal powers. This is because the policy

taken has allowed public question and political interference

in supervisory actions, which could caused a slowing down

decision making process and occasionally paralyzing the

prudential system. Therefore, central bank needs legal basis

and also effective coordination among authorities involved,

in which responsibility for financial stability cannot be beared

solely to the central bank, and therefore must be shared

by the government, the central bank and other regulators.

As for Indonesia, there are three authorities involved in

Indonesia financial system, namely Bank Indonesia, Indonesia

Deposit Insurance Corporation, and Ministry of Finance.

This financial stability mandate will raise some concerns to

be addressed further, namely central bank independence,

financial stability measures which is often carry a cost, and

greater considerations with government.13

Even though the role of capital market and non bank

financial industry in Indonesia’s financial system is less crucial

than banking sector, the Ministry of Finance has important

role in maintaining financial stability by guaranteeing an

emergency liquidity support provided by Bank Indonesia to

illiquid-systemic bank. Minister of Finance also preside the

Committee of Financial System Stability which sets the

policy for crisis prevention or crisis management, because

the cost of crisis resolution will burden the Government

Budget. From my point of view, the central bank, therefore

needs enhancing powers to influence macro-prudential

conditions.

As a conclusion, learning from the financial crisis in the

period of 1990’s and the effort to response the global

financial crisis 2008, the need to push back the boundaries

of central bank’s conventional mandate to do such

intervention on financial sector in order to prevent the

collapse of the financial system must be precisely designed

on the statute to legitimate a mandate of central bank in

handling financial stability. Indeed, well-built micro and

macro prudential supervision are essential elements in

maintaining financial stability. Strong good corporate

governance, risk management and qualified bank supervisors

have also contribute to the development of sound national

banking system significantly. Moreover, good coordination

among the authorities and, without any intention to

simplifying the situation, quick and proper responses could

be a pivotal factor in preventing contagious effect of a

crisis.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

4

12 Herve Hannoun, Deputy GM, Bank for International Settlements: The expanding role of central banks since the crisis: what are the limits?, BIS, June 2010

13 Under current regime, Indonesia adopts fragmented supervisory agency for financial sector. Bank Indonesia as the central bank is authorized as a banking supervisor both compliance based supervision and risk based supervision. While Indonesia Deposits Insurance Corporation (IDIC)’s main task is to provide (a limited) guarantee for deposits and to participate in maintaining banking system stability. The aim of guaranteeing the deposits is to maintain the public’s trust in the banking system and to protect depositors. In this regards, any bank operates in Indonesia is mandatory to be a member of IDIC’s guarantee scheme. On the other hand, the Ministry of Finance is a capital market and non bank financial industry supervisor. Currently Government of Indonesia is preparing draft law to integrate financial supervisory agency into single instruction (FSA)

Page 12: Buletin Hukum Perbankan

Pendahuluan

Dalam bukunya yang baru saja diterbitkan pada akhir tahun

2010 yang lalu, mantan Perdana Menteri Inggris Gordon

Brown menyatakan bahwa pasar memerlukan apa yang

tidak bisa dibuatnya sendiri yaitu “moral”. Pendapat ini

sebenarnya bukan pendapat baru tetapi semakin

menegaskan berbagai tulisan yang dibuat oleh banyak

penulis yang mengupas masalah krisis ekonomi yang

terjadi dewasa ini yang mempersalahkan pasar yang tidak

“bermoral”. Pendapat Gordon Brown ini tentu saja tidak

diragukan kebenarannya, dengan moral yang baik tentu

saja pada dasarnya semua aktivitas manusia, tidak saja

persoalan perekonomian, pada hakekatnya akan berjalan

dengan baik. Sebagai seorang dosen ilmu hukum (ekonomi)

tentu saja pernyataan seperti ini sangat menggelitik karena

menyentuh filosofi dasar kenapa masyarakat, ditengah-

tengah perkembangan moral agama dan moral sosial,

masih membutuhkan hukum. Hukum dalam tataran filosofis

secara pengertian sederhana dimaksudkan untuk menjamin

kehidupan manusia yang tertib dengan menghormati hak

dan kewajiban dalam semua aktivitas kehidupannya secara

normatif, dimana setiap pelanggaran hak dan kewajiban

akan memiliki implikasi hukum. Dengan adanya hukum

yang baik dan ditegakkan secara benar akan dapat ditekan

sekecil mungkin semangat naluri dasar manusia (basic

instinc) yang cenderung mementingkan diri sendiri (self-

interest) dan bahkan rakus (greedy). Tanpa adanya

keterlibatan hukum yang efektif, re-introduksi aspek moral

dalam aktivitas perekonomian semata hanya akan

mengakibatkan semua proses ekonomi tergantung kepada

sesuatu yang penuh ketidakpastian. Adalah benar apa

yang dikatakan oleh Gordon Brown apabila pengertian

moral dimaksudkan sebagai sesuatu yang diharapkan

dilakukan para pelaku bisnis dalam kondisi “kekosongan

hukum“ yang mengatur transaksi bisnis secara sehat.

Kondisi ini terlihat dari fakta yang terjadi dimana krisis

terjadi bukan karena terjadinya pelanggaran hukum,

melainkan karena apa yang disebut sebagai “financial

engeenering” dan “excessive risk taking” dalam transaksi

ekonomi. Dengan demikian, justru disinilah letak persoalan

yang utama yaitu terjadinya pelemahan atau bahkan

pembusukan peranan hukum didalam pengelolaan transaksi

perekonomian yang demikian dinamis dan berisiko. Hukum

lebih sering dianggap sebagai faktor penghambat inovasi

daripada sebaliknya.

Hukum kini dihadapkan pada tantangan yang tidak pernah

terjadi sebelumnya (unprecedented) ditengah-tengah

dalam situasi perekonomian global yang bergerak dengan

cepat dengan persoalan yang semakin rumit, luas dan

berisiko. Hukum harus membuktikan peranannya yang

besar didalam mendorong daya saing perekonomian bangsa

dan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara signifikan

ditengah gejolak dan komplikasi transaksi perekonomian.

Hal ini hanya bisa dilakukan apabila para pihak yang

terlibat dengan hukum memiliki pemahaman ekonomi dan

bekerjanya transaksi perekonomian dengan baik.

Krisis Ekonomi dan Keuangan: Perlunya Peningkatan

Peranan Hukum

Perkembangan yang terjadi dalam transaksi perekonomian

masyarakat yang disertai dengan proses globalisasi

perekonomian merupakan tantangan terbesar bagi

perkembangan ilmu hukum ekonomi dewasa ini. Ilmu

hukum sebagai ilmu normatif, nampaknya belum dapat

memberikan kontribusi yang nyata didalam upaya mengelola

proses perkembangan transaksi perekonomian dan proses

globalisasi yang dewasa ini berjalan dengan sangat cepat.

Globalisasi telah membuat negara-negara di dunia in

menjadi saling terkait dan saling tergantung

(interdependent). Interdependensi ini di satu sisi telah

memberikan dampak positif berupa peningkatan kegiatan

perdagangan dan investasi antar negara sehingga telah

membantu peningkatan pertumbuhan ekonomi di berbagai

negara, tetapi disisi lain globalisasi ini juga telah

menimbulkan tambahan risiko berupa kerawanan

5

Peranan Hukum Dalam Krisis Perekonomian (Dunia)Oleh: Dr. Dian Ediana Rae, SH., LL M.(Dosen Luar Biasa Hukum Perbankan/Keuangan/Perbankan Universitas Indonesia, Universitas Tarumanegera dan Universitas 17 Agustus 1945/Kepala Perwakilan Bank Indonesia-London)

Page 13: Buletin Hukum Perbankan

(vulnerability) dalam perekonomian, dimana masalah

ekonomi yang timbul di suatu negara akan dengan mudah

mengenai negara lainnya.

Terjadinya persoalan ekonomi dalam skala makro tidak

dapat dilepaskan dari perilaku pelaku bisnis dalam tingkat

mikro. Kita sudah menyaksikan berbagai skandal yang

terkait dengan pengelolaan bisnis, baik di Indonesia maupun

diberbagai negara yang menuntut perhatian khusus para

praktisi dan akademisi hukum untuk merespon persoalan

tersebut dengan memberikan perhatian khusus terhadap

pengembangan hukum korporasi, dan hukum-hukum

khusus seperti hukum perdagangan internasional (publik),

keuangan dan perbankan, hukum pasar modal. Disamping

itu, perlu pula membenahi hukum yang mengatur pemberi

jasa keuangan seperti Akuntan Publik, penasehat hukum,

penasehat keuangan. Demikian pula perbaikan perlu

dilakukan di bidang hukum yang terkait dengan kebijakan

persaingan usaha dan perlindungan konsumen (market

conduct and consumers’ protection). Hukum dibidang-

bidang ini harus dijadikan terintegrasi dan saling mendukung,

dan hal ini tentu saja memerlukan rekonstruksi pengajaran

dan pembangunan infrastruktur hukum yang besar.

Beberapa kali krisis yang dialami oleh Indonesia maupun

negara-negara lainnya telah menimbulkan kerugian yang

luar biasa, baik kepada Pemerintah Indonesia maupun

kepada seluruh pelaku bisnis itu sendiri. Kondisi yang

berulang ini telah menimbulkan pertanyaan yang serius

mengenai peranan dan kedudukan hukum dalam

keseluruhan sekuen krisis ekonomi tersebut, baik dalam

konteks peran pencegahan (preventive role) ataupun dalam

konteks peranan penyelesaian krisis (curative role).

Hukum seolah menjadi penonton yang pasif dari bekerjanya

semua mekanisme pasar dengan segala konsekwensinya

terhadap kehidupan perekonomian kita. Peranan hukum

sering disamakan dengan peranan pelayan yang harus bisa

melayani para pelaku bisnis dan membersihkan “piring

kotor,” ketika terjadi persoalan kemudian. Dalam ranah

perdata peranan konsultan hukum dalam penanganan

suatu transaksi perekonomian tidak sepenuhnya bisa

independen menghadapi kekuatan korporasi. Demikian

pula di ranah publik, peranan hukum dalam perumusan

peraturan perundang-undangan hanya sebatas menilai

adanya inkonsistensi atau tidak dengan berbagai peraturan

perundang-undangan lainnya, tapi tidak atau belum

diberikan peranan didalam perumusan rancang bangun

substansi peraturan perundang-undangan, termasuk peranan

didalam melakukan penilaian atas risiko terhadap kesehatan

institusi dan atau sistem ekonomi. Demikian pula didalam

pelaksanaan penanganan masalah hukum yang timbul,

baik sebagai akibat transaksi bisnis biasa maupun akibat

pengambilan kebijakan ekonomi otoritas perekonomian,

dunia hukum kita masih menghadapi kendala kredibilitas

yang serius. Dalam banyak kasus penyelesaian masalah

hukum tidak menghasilkan keputusan yang berkualitas,

bahkan semakin menciptakan ketidakpastian hukum. Banyak

keputusan pengadilan tidak bisa dijadikan precedent yang

baik dalam memprediksi arah perilaku ekonomi atau

kebijakan ekonomi di masa mendatang. Kondisi ini telah

mengakibatkan biaya yang tidak sedikit terhadap keuangan

negara, keuangan pelaku bisnis dan juga risiko reputasi

terhadap banyak pejabat pengambil keputusan.

Pertanyaannya adalah bagaimana untuk selanjutnya hukum

dapat memainkan peran yang lebih berarti didalam ikut

mendorong pelaksanaan aktivitas ekonomi yang lebih

predictable, secure dan risk free atau paling tidak less risky

didalam dunia yang semakin mengglobal dan terintegarasi

ini. Nampaknya diperlukan perubahan paradigma (paradigm

shift) yang luar biasa didalam kita melakukan perumusan

dan penegakan hukum ekonomi dewasa ini, perlu

keterlibatan langsung (hands on approach) dari para ahli

hukum didalam semua proses transaksi perekonomian, atau

bahkan instrusif. Perubahan paradigma berpikir juga terkait

dengan orientasi jurisdiksi. Logika bisnis sedang bergerak

ke arah global, ilmu hukum itu sendiri masih sangat

berorientasi secara domestik. Dewasa ini banyak norma,

standar, prinsip-prinsip, dan aturan dalam kegiatan

perekonomian, termasuk penegakan aturannya (enforcement)

dilakukan oleh berbagai organisasi Internasional publik

maupun privat. Di banyak negara, kini pemerintahan tidak

lagi menjadi pembuat aturan (rule-makers) tapi menjadi

penerima aturan (rule takers). Globalisasi norma, standar,

prinsip-prinsip, aturan-aturan dan penegakannya merupakan

bentuk globalisasi yang paling menantang untuk dunia

hukum. Globalisasi dengan demikian telah meningkatkan

komplikasi didalam merumuskan peraturan perundang-

undangan nasional. Oleh karena itu penyusunan peraturan

perundang-undangan bisa dipastikan tidak akan sempurna

tanpa penguasaan yang komprehensif dari semua aturan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

6

Page 14: Buletin Hukum Perbankan

terkait dan komitmen internasional. Peraturan perundang-

undangan tidak saja harus compatible dengan praktek-

praktek internasional terbaik (International best practices),

tetapi juga harus berdaya saing (competitive) terhadap

negara-negara lain. Masalah ini telah menimbulkan banyak

persoalan serius didalam penanganan perumusan peraturan

perundang-undangan nasional, pemahaman pelaku bisnis,

dan penyelesaian masalah hukum sehingga menjadi

tantangan tersendiri untuk para praktisi hukum dan kalangan

akademisi. Sampai dengan saat ini persoalan utama yang

menghambat pengembangan perekonomian nasional adalah

aspek kepastian hukum dari tahap penyusunan peraturan

perundang-undangannya sampai kepada tahap

penegakkannya.

Kebijakan yang dilakukan oleh berbagai negara didalam

mengatasi krisis juga menarik untuk dicermati dari aspek

paradigma hukum ekonomi yang dewasa dewasa ini

berlaku. Langkah yang telah dilakukan berbagai

Pemerintahan telah menimbulkan pertanyaan filosofis

mengenai batas antara Pemerintah dan Pasar (redrawing

the boundaries between government and markets). Krisis

keuangan yang melanda tersebut telah menuntut

pemerintahan di dunia untuk menjadi semakin intrusif

kedalam kegiatan bisnis. Dalam pengamatan penulis, krisis

yang terjadi ini antara lain disebabkan adanya jarak yang

cukup lebar antara perkembangan pasar keuangan dan

pemahaman regulator. Hal ini terjadi antara lain karena

beberapa hal: Pertama, pendekatan economic orthodoxy

yang menjauhkan regulator (pemerintah) dari pasar; Kedua,

terlalu tergantungnya kegiatan ekonomi terhadap

mekanisme pasar yang cenderung mengembangkan sikap

kepentingan pribadi dan rakus (greedy) didalam

memaksimalkan share holders’ values; Ketiga, kekurang

mampuan regulator didalam memahami komplikasi

perkembangan instrumen keuangan dan dampaknya

terhadap kesehatan dan integritas sistem keuangan.

Keempat, pengembangan komunikasi antara regulator

dan para pelaku ekonomi yang masih terbelakang dan

rigid yang masih yang masih memelihara pemikiran bahwa

kepentingan kedua lembaga ini berbeda.

Inovasi Transaksi Perekonomian dan Globalisasi

Ekonomi: Tantangan Dunia Hukum

Menarik untuk melihat perkembangan hubungan antara

hukum dan ekonomi di masa mendatang yang ditandai

dengan kemajuan teknologi, inovasi transaksi perekonomian

dan globalisasi ekonomi. Bisakah hukum memainkan

peranannya didalam menjaga “ketertiban” kegiatan

perekonomian yang ditandai dengan keseimbangan antara

manfaat bagi pelaku bisnis dan perlindungan kepentingan

umum.

Persoalan hubungan hukum dan ekonomi menyentuh hal

yang lebih mendasar yaitu ketidakmampuan hukum

memerankan posisinya sebagai “the guardian of the sound

economic transaction as well as economic stability”. Persoalan

yang dihadapi hukum ekonomi, bukan saja karena

ketidakmampuan sistem hukum untuk mengejar praktek

transaksi dan kebijakanekonomi yang terjadi, melainkan

terjadinya jurang pengetahuan (knowledge gap) yang akut

diantara perumus peraturan perundang-undangan dengan

para pelaku transaksi perekonomian yang mengakibatkan

deteksi dini dari setiap permasalahan selalu terlambat.

Hukum nampaknya gagal untuk bisa memahami dengan

baik perkembangan dinamika transaksi perekonomian yang

cenderung sangat teknis dan kompleks. Hukum oleh

karenanya dihadapkan kepada wilayah yang tidak atau

kurang diketahuinya. Hukum bahkan dapat dikatakan ikut

bertanggung-jawab didalam menciptakan sistem yang self-

defeating seperti dalam konteks hukum korporasi yang

medorong berkembangnya model kepemilikan saham dan

penciptaan instrumen yang melegalisir pengambilan risiko

dan utang yang berlebihan (excessive risk taking dan

excessive leverage) dalam pengelolaan dana masyarakat

yang pada gilirannya dapat membahayakan perekonomian

secara makro. Dalam kenyataannya sistem hukum juga

harus mampu menangani kecenderungan prilaku manusia

(human factor) dalam aktivitas perekonomian seperti sifat

mementingkan diri sendiri dan serakah (self-interest and

greed) dan moral hazard dari suatu kebijakan ekonomi.

Sistem hukum harus mampu untuk mendeteksi and

mencegah setiap kemungkinan risiko terhadap para pihak

didalam transaksi perekonomian, dan bahkan bisa

mendeteksi kemungkinan dampak terhadap sistem

perekonomian secara keseluruhan. Persoalan ini tentu

hanya mudah diucapkan tapi tidak gampang dilakukan,

masalah teknikalitas transaksi dan “self interest and greed”

begitu tersembunyi dan tidak gampang diketahui sebelum

masalah benar-benar menjadi serius. Kita bisa dengan jelas

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

7

Page 15: Buletin Hukum Perbankan

melihat dalam hal terjadi kegagalan suatu bank, baik di

Indonesia maupun di negara lainnya.

Kesulitan seperti ini sebenarnya bisa diatasi dengan studi

yang mendalam dan sistematis terhadap kekayaan

precedent/jurisprudensi yang dimiliki ilmu hukum sehingga

akan dapat memberikan clues untuk banyak perilaku

transaksi perekonomian dewasa ini dan di masa mendatang.

Memahami aspek hukum suatu transaksi perekonomian

tanpa memahami transaksi perekonomian itu sendiri telah

menjadikan hukum yang tidak efektif dan tidak relevan.

Kita menyaksikan suatu kerancuan kepada kerancuan lainnya

dalam penanganan sengketa hukum dari suatu transaksi

atau pemahaman aspek hukum dari suatu kebijakan

ekonomi, yang justru semakin menempatkan negara kita

dalam situasi ekonomi yang kurang kompetitif dan kepastian

hukum yang semakin memburuk.

Didalam dunia yang global dan kompetitif seperti sekarang,

suatu sistem hukum harus mampu memberikan nilai tambah

yang signifikan dalam mendorong inovasi dengan tetap

memelihara tingkat kepastian berusaha yang tinggi sehingga

hukum bisa memberikan kontribusi kepada daya saing suatu

negara dalam persaingan global dewasa ini. Tekanan

penyesuaian hukum nasional untuk menjadi hukum yang

fungsional dalam mendorong efisiensi dan daya saing

ekonomi nasional semakin meningkat dengan keikutsertaan

Indonesia diberbagai forum ekonomi bilateral, regional

maupun internasional. Adalah jelas bahwa akan sulit untuk

suatu negara untuk mempertahankan daya saing

perekonomiannya tanpa kerangka hukum dan regulasi yang

dapat mendorong efisiensi dan daya saing perekonomian

suatu negara.

Sistem hukum yang bekerja dengan baik mendorong

kegiatan pasar keuangan dan lembaga perantara

(intermediary). Membedakan negara-negara berdasarkan

efisiensi dari sistem hukumnya dalam mendorong transaksi

keuangan lebih berguna dibandingkan dengan membedakan

negara-negara berdasarkan apakah negara tersebut memiliki

sistem keuangan berdasar bank atau berdasar pasar (Jakob

De Haan, Sander Oosterloo, and Dirk Schoenmaker, 2009).

Untuk bisa memainkan peranan hukum seperti itu tentu

saja tidak mudah karena para ahli hukum harus memahami

dan mampu menangani berbagai persoalan yang menjadi

inti aktivitas bisnis itu sendiri seperti aspek efisiensi dan daya

saing, bekerja atau tidak bekerjanya pasar (market failure),

dan aspek risiko dari setiap transaksi perekonomian. Hanya

dengan pemahaman yang baik dari aspek ini maka kita bisa

menciptakan regulasi yang lebih baik, interpretasi yang

cerdas, dan implementasi yang lebih konsisten.

Aturan yang semata-mata menggantungkan kepada regulasi

kehati-hatian (prudential regulation) dan pengawasan berbasis

risiko (risk based supervision) sebagaimana dipraktekan

didalam dunia keuangan diberbagai negara terbukti tidak

mampu mengurangi pengambilan risiko yang berlebihan

(excessive risk taking) sehingga tidak mampu untuk mencegah

terjadinya krisis keuangan dan perekonomian yang telah

terjadi berulang-ulang. Sistem penilaian risiko yang diterapkan

oleh lembaga pengawas maupun lembaga pemeringkat

(rating agencies) terbukti tidak mampu mengungkapkan

risiko tersembunyi karena rekayasa keuangan/akutansi dan

hukum (financial/accounting and legal engeenering) yang

disinyalir banyak berkembang selama ini, dan bahkan

banyak diapresiasi di banyak institusi keuangan dalam rangka

mendorong peningkatan keuntungan yang sebenarnya tidak

dengan benar merefleksikan transaksi ekonomi nyata.

Ketidakpercayaan (distrust) terhadap regulator keuangan

dan lembaga pemeringkat dewasa ini masih terjadi dibanyak

negara.

Krisis keuangan dan ekonomi dunia dewasa ini berdampak

luar biasa terhadap kesejahteraan dan prospek kesejahteraan

rakyat kedepan. Krisis yang oleh Gordon Brown disebut

sebagai “The First Crisis of Globalization” telah menunjukkan

persoalan yang sangat fundamental dari dinamika transaksi

perekonomian yang selama ini berlangsung, dan dalam

waktu bersamaan disertai dengan proses liberalisasi dan

globalisasi perekonomian dunia. Proses inovasi perekonomian

dan globalisasi itu sendiri dilakukan dengan hanya melibatkan

peranan ahli hukum secara marginal. Oleh karena itu kedepan

para perumus kebijakan harus benar-benar memperhatikan

pendekatan holistik didalam mendorong dinamika dan daya

saing ekonomi nasional. Investasi dibidang kajian penelitian

interdisipliner harus menjadi investasi utama, baik untuk

pihak eksekutif, legislatif maupun yudikatif didalam

merumuskan kebijakan perekonomian nasional dan

memberikan suatu komitmen dalam kesepakatan global.

Globalisasi perekonomian telah menjadi bagian dari

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

8

Page 16: Buletin Hukum Perbankan

kehidupan nyata masyarakat kita, demikian pula halnya

demokratisasi kehidupan perekonomian nasional. Hukum

ekonomi pada hakekatnya harus mampu memainkan

peranannya yang lebih menonjol dalam mendorong

pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu, sistem hukum

ekonomi nasional harus dijadikan sistem hukum yang efisien

dan efektif didalam mendorong transaksi perekonomian

nasional dan global. Paradigma berpikir para perumus

peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi, para

penegak dan praktisi hukum ekonomi kita harus integrated,

mengglobal dan tidak cenderung tunduk kepada kelompok

kepentingan domestik semata.

London, 2011.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

9

Page 17: Buletin Hukum Perbankan

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 18: Buletin Hukum Perbankan

ABSTRAK:

Perkembangan dan penerapan Teknologi Informasi dan

Komunikasi yang diterapkan dalam transaksi komersial

secara elektronik memberikan banyak keuntungan bagi

masyarakat, dan baik secara perlahan-lahan maupun secara

radikal sedang mengubah kebiasaan, pola pikir dan budaya

masyarakat, serta peraturan perundang-undangan. Akan

tetapi, perkembangan dan penerapan teknologi tersebut

menyisakan setidaknya dua masalah yang masih terus dibahas

dan dicari titik temunya: legalitas dan keamanan informasi.

Dalam transaksi yang dilakukan secara elektronik, para pihak

tidak perlu bertemu muka secara langsung, dan peranan

saksi semakin tidak terlihat. Oleh karena itu, diperlukan

mekanisme yang dapat digunakan oleh para pihak untuk

memastikan identitas dan kecakapan para pihak serta untuk

memastikan persetujuan yang diberikan masing-masing

pihak. Tanda tangan elektronik adalah salah satu teknologi

yang dikembangkan untuk mengatasi permasalahan-

permasalahan yang di maksud diatas. Penyelenggara

sertifikasi elektronik merupakan pihak ketiga yang dapat

dipercaya untuk memberikan tanda tangan elektronik.

Terkait dengan hal ini, ada dua pertanyaan besar: (i) peranan

notaris dalam penyelenggaraan transaksi elektronik, dan (ii)

kemungkinan pengaturan akta notaris secara elektronik

sebagai akta autentik di Indonesia.

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengangkat wacana dalam

menjawab kedua pertanyaan di atas dengan melakukan

komparasi awal antara pengaturan penyelenggaraan

sertifikasi elektronik dan peranan notaris di Belanda dan di

Indonesia. Dari perbandingan tersebut, terlihat jelas bahwa

sebagai negara-negara yang menganut Civil Law, Belanda

dan Indonesia mengatur notaris sebagai profesional yang

memiliki kewenangan publica fides. Negara-negara tersebut

mengakui akta notaris sebagai akta autentik. Lebih lanjut,

notaris di Belanda telah mengembangkan bidang baru bagi

notaris, yaitu sebagai registration authority (RA) dalam bidang

penyelenggaraan sertifikasi elektronik. Peranan notaris

sebagai RA juga dapat diterapkan di Indonesia karena

dimungkinkan berdasarkan UU Jabatan Notaris dan UU

Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Peranan notaris

sebagai RA harus diatur dalam peraturan perundang-

undangan. UU ITE juga mengatur bahwa akta autentik

elektronik belum dapat diterapkan. Hal ini sejalan dengan

konsep publica fides. Oleh karena itu, pengaturan ini perlu

dipertahankan

Development and deployment of information and

communication technology (ICT) in electronic commercial

transaction have provided many benefits for societies. ICT

is changing habits, paradigm, and law and regulations.

However, there are two issues remain: legal and security

issues. In electronic transaction, parties have no need to

meet their counterparts personally and directly; the

importance of witness is also getting blurred. Therefore, it

is necessary for parties to establish mechanisms to ensure

the identity and capability of their counterparts and to ensure

their consent. Electronic signature is one of many technologies

developed to solve the issues. Certification Authority (CA)

is a service provider that can act as trusted third party to

deliver electronic signature. Discussion related to this topic

raised two main questions: (i) notaries’ role in certification

authority scheme, and (ii) the possibility to regulate electronic

notaries deed as authentic document in Indonesia.

This paper attempts to address the issues through comparison

of regulations in Netherland and Indonesia. From the

comparisons, it is sufficiently clear that as civil law countries,

Netherland and Indonesia regulate notaries as professional

who have publica fides. The countries acknowledge notary

deed as authentic instrument. Further, notaries in Netherlands

have developed specialization in electronic transaction

process, particularly in certification authority area; notaries

can be part of electronic transaction process as registration

authority (RA). However, it is not possible for notaris to

establish electronic notarial deed as authentic instrument.

Notaries’ role as RA can be implemented in Indonesia since

11

eNotaris Indonesia: Komparasi Awal Peranan Notaris dalam Penyelenggaraan Transaksi ElektronikOleh:Josua Sitompul, SH., IMMSecurity world and legal world are really hard to combine. (M.B. Voulon, Consultant in Governance, Law and ICT)

Page 19: Buletin Hukum Perbankan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Notary Law and Electronic Information and Transaction Law

(EIT) open the possibility; implementation regulation should

follow. EIT also regulate that it is not possible to establish

electronic notary deed. Such provision should not be revised.

A. Pendahuluan

Perkembangan dan penerapan teknologi informasi dan

komunikasi memberikan banyak keuntungan bagi

masyarakat: komunikasi yang semakin cepat dengan

biaya yang semakin murah dan dapat dilakukan dari

berbagai tempat dan waktu di dunia; transaksi komersial

dengan sistem online di berbagai bidang seperti di

perbankan, penerbangan, atau perasuransian; serta

akses terhadap informasi yang semakin luas.

Perkembangan dan penerapan teknologi informasi

tersebut baik secara perlahan-lahan maupun secara

radikal mengubah kebiasaan, pola pikir dan budaya

masyarakat, serta peraturan perundang-undangan.

Salah satu perubahan yang terjadi adalah dalam bidang

transaksi elektronik yang bersifat komersial. Menurut

M.B. Voulon (2011)1 dalam transaksi elektronik yang

bersifat komersial, perkembangan teknologi menyisakan

setidaknya dua masalah yang masih terus dibahas dan

dicari titik temunya: legalitas dan keamanan informasi.

Legalitas berbicara mengenai keabsahan suatu transaksi

elektronik, termasuk mengenai informasi yang

dipertukarkan secara elektronik, dan dapat/tidaknya

suatu informasi elektronik digunakan sebagai alat bukti

di pengadilan. Keamanan informasi, di lain pihak,

menekankan pada perlindungan terhadap data untuk

menjaga kerahasiaan (confidentiality), keutuhan (integrity),

dan ketersediaan (availability) data.

Para pihak yang melakukan transaksi komersial secara

konvensional bertemu muka dan menyepakati hak dan

kewajiban yang akan mengikat mereka secara hukum.

Untuk itu, mereka harus cakap dalam melakukan

perbuatan hukum dan memiliki itikad baik (good will).

Dalam transaksi komersial ada resiko, dan resiko dapat

dipengaruhi oleh, antara lain, nilai transaksi dan adanya

itikad baik dari pihak lawan (counter part). Selain itu,

muncul kebutuhan untuk membuat kesepakatan dalam

bentuk tertulis dan ditanda tangani oleh para pihak

sehingga diperlukan kertas dan pena untuk menuangkan

hak dan kewajiban sehingga masing-masing pihak

mengingatnya dan tidak memungkirinya. Para pihak

juga menggunakan pengaman lain dengan meminta

kehadiran saksi dalam transaksi yang mereka lakukan

untuk melindungi kepentingan mereka masing-masing.

Para pihak juga dapat meminta kehadiran pejabat, yaitu

orang yang memiliki kewenangan untuk membuat

dokumen dimaksud dan menyimpannya, dan pejabat

yang dimaksud mengukuhkan kesepakatan antara pihak.

Akan tetapi, dalam transaksi yang dilakukan secara

elektronik, para pihak tidak perlu bertemu muka secara

langsung. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting

mengenai identitas dan kecakapan mereka dalam

melakukan perbuatan hukum. Peranan saksi juga

semakin tidak terlihat. Dengan demikian, dalam transaksi

elektronik diperlukan mekanisme yang dapat digunakan

oleh para pihak untuk memastikan identitas dan

kecakapan para pihak serta mekanisme untuk memastikan

persetujuan yang diberikan masing-masing pihak.

Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang di

maksud diatas, dikembangkan teknologi untuk

mengidentifikasi dan mengautentikasi orang yang

melakukan transaksi secara elektronik, yaitu bahwa

orang tersebut adalah orang yang dimaksud dan bahwa

dia-lah yang memberikan persetujuan terhadap transaksi

yang dilakukannya. Salah satu teknologi yang

dikembangkan ialah tanda tangan elektronik.

Penyelenggaraan tanda tangan elektronik dapat

dilakukan oleh para pihak atau menggunakan pihak

ketiga yang dapat dipercaya (trusted third party) yang

mengeluarkan sertifikat tanda tangan elektronik bagi

pengguna.

Berbicara mengenai tanda tangan elektronik dan pihak

ketiga yang dapat dipercaya, muncul diskusi mengenai

peranan notaris dalam transaksi elektronik. Notaris adalah

pejabat yang berwenang untuk mengautentikasi tanda

tangan dan juga membuat akta. Berdasarkan diskusi-

diskusi tersebut, muncul dua pertanyaan besar: (i) peranan

notaris dalam penyelenggaraan transaksi elektronik, dan

(ii) kemungkinan pengaturan akta notaris secara elektronik

sebagai akta autentik di Indonesia.

12

1 Wawancara tanggal 8 April 2011.

Page 20: Buletin Hukum Perbankan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengangkat wacana

dalam menjawab kedua pertanyaan di atas yang

didasarkan pada perbandingan dengan pengaturan

eNotaris di Belanda.

B. Konsep eNotaris

Konsep eNotaris masih merupakan konsep yang ambigu

dalam sistem hukum di Indonesia. Oleh karena itu,

sebelum membahas mengenai konsep yang dimaksud,

perlu dipaparkan secara singkat mengenai beberapa

konsep yang membangun konsep eNotaris.

1. Tanda Tangan

Dalam suatu perbuatan hukum, tanda tangan

memiliki banyak fungsi. Pada dasarnya, tanda tangan

melekat pada si pemilik tanda tangan itu sendiri.

Dengan demikian, ketika seseorang membubuhkan

tanda tangannya, tanda tangan itu merujuk pada

identitas pemilik yang sekaligus merupakan alat

identifikasi. Selain itu, tindakan yang dimaksud

mengindikasikan bahwa penanda tangan hadir dan

terlibat dalam suatu perbuatan hukum2. Di sisi lain,

kehadiran tanda tangan dalam suatu dokumen

menunjukkan maksud dan tujuan perbuatan hukum

yang tercantum dalam dokumen, dan bahwa

penanda tangan menyetujui isi dari dokumen tersebut

serta mengikatkan diri dalam suatu perbuatan hukum

yang diatur dalam dokumen yang dimaksud.

2. Notaris Civil Law dan Common Law

Penjabaran mengenai peran dan fungsi notaris dalam

sistem Civil Law dan Common Law sangat penting

dalam mendiskusikan konsep eNotaris. Peran dan

fungsi notaris dalam kedua sistem hukum ini memiliki

kesamaan yang dapat dilihat mulai dari jaman

Romawi, tetapi peran dan fungsi notaris menjadi

berbeda semenjak abad pertengahan. Notaris Civil

Law lebih dikenal dengan Latin Notary, sedangkan

notaris Common Law dikenal dengan Notaries public.

Notaris Civil Law merupakan pejabat publik yang

diangkat oleh negara. Dalam konsep hukum ini,

notaris memiliki publica fides, yaitu kewenangan

untuk mengautentikasi dan menyatakan kebenaran

identitas para pihak, termasuk tanda tangan mereka.

Selain itu, notaris berwenang untuk menentukan

keakuratan dan kebenaran informasi yang diberikan

para pihak mengenai perbuatan hukum yang mereka

lakukan. Semua informasi yang dimaksud ditulis

dalam suatu akta yang dibuat berdasarkan format

tertentu3. Oleh karena itu, notaris bertanggung

jawab atas kebenaran identitas para pihak,

keautentikan tanda tangan mereka, dan keabsahan

perbuatan hukum yang mereka lakukan. Notaris

Latin menekankan tanggung jawab profesi dalam

suatu transaksi daripada tanggung jawab kepada

para pihak karena notaris memberikan layanan

kepara para pihak yang berkepentingan, dan bukan

klien4. Dalam melaksanakan tanggung jawabnya,

kemandirian dan ketidakberpihakan merupakan

prinsip-prinsip yang harus diterapkan.

Yang dimaksud dengan keabsahan transaksi ialah

semua fakta hukum dalam transaksi haruslah benar,

misalnya: kebenaran waktu, kesesuaian transaksi

dengan peraturan perundang-undangan, dan

pemahaman para pihak terhadap transaksi yang

mereka lakukan. Untuk itu, para pihak harus

menghadap notaris dan notaris harus memeriksa

semua persyaratan tersebut.

Semua detail transaksi harus tertuang dalam akta

notaris yang merupakan dokumen yang dibuat

berdasarkan format baku atau standar tertentu.

Notaris harus menyimpan dan memelihara protokol,

yaitu kumpulan dokumen yang merupakan arsip

negara. Dengan kata lain, notaris adalah wali negara

yang diberikan wewenang untuk menyimpan dan

memelihara dokumen negara5.

13

2 Yin-Miao (Vicky), Liu, 2004, Thesis, Visually Sealed and Digitally Signed Electronic Documents: Building on Asian Tradition, Information Security Research Centre Faculty of Information Technology, Queensland University of Technology.

3 Pedro A. Malavet, Counsel for the Situation: The Latin Notary, a Historical and Comparative Model, January 1996, Hastings Int’l & Comparative Law Review, Vol. 19, No.3, hal. 440.

4 Council of the Notariats of the European Union, Comparative Study on Authentic Instruments: National Provisions of Private Law, Circulation, Mutual Recognition and Enforcement, Possible Legislative Initiative by European Union England, France, Germany, Poland, Romania, Sweden, Study for the Europen Parliament No IP/C/JURI/IC/2008-019.

5 Pedro A. Malavet, Op. Cit. hal. 391.

Page 21: Buletin Hukum Perbankan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Untuk menjadi notaris, seseorang harus telah

mencapai usia tertentu (misalnya 25 tahun), dan

telah menyelesaikan studi yang khusus di bidang

kenotariatan. Tidak hanya itu, untuk menjadi notaris,

seseorang juga harus telah lulus ujian notariat dan

telah pernah bekerja di kantor notaris untuk waktu

yang ditentukan.

Di lain pihak, notaris Common Law, bukan merupakan

pejabat publik dan tidak memiliki kewenangan publica

fides. Tugas utama notaris ialah mengidentifikasi

para pihak dan mengautentikasi tanda tangan

mereka. Notaris tidak memiliki kewenangan untuk

memastikan keabsahan transaksi yang dilakukan

para pihak. Untuk menjadi notaris dalam sistem

hukum Common Law tidak diperlukan persyaratan

seketat dalam sistem Civil Law. Secara umum, untuk

menjadi notaris seseorang harus telah mencapai usia

tertentu (misalnya 18 (delapan belas tahun) di Amerika

Serikat), serta dapat membaca dan menulis dengan

baik. Notaris diharuskan memiliki pemahaman-

pemahaman dasar mengenai hukum dan memiliki

moral yang baik. Untuk menjadi notaris, seseorang

harus mengajukan permohonan kepada pejabat

negara dan diangkat oleh pejabat negara yang

bersangkutan (misalnya gubernur, letan gubernur,

atau hakim)6.

3. Akta Autentik

Dalam sistem Civil Law, secara umum, dikenal tiga

bentuk dokumen. Pertama, Akta autentik (authentic

instruments). Akta autentik memiliki kekuatan

pembuktian yang sempurna (probative value) karena

dibuat oleh pejabat yang berwenang berdasarkan

publica fides dengan kualifikasi yang ketat sebagai

profesional. Dalam hal terjadi sengketa, akta notaris

merupakan dokumen yang langsung dapat dijadikan

alat bukti tanpa perlu meminta notaris memberikan

kesaksian di hadapan pengadilan7.

Kedua, akta yang ditandatangani oleh para pihak.

Dalam hal ini, pejabat yang berwenang hanya

mengautentikasi keaslian tanda tangan para pihak,

dan bukan isi dari kesepakatan para pihak. Dengan

demikian, pejabat tersebut tidak berkewajiban untuk

memberikan konsultasi mengenai isi kesepakatan

dan bagaimana seharusnya kesepakatan tersebut

tertuang dalam suatu dokumen. Ketiga, akta dibawah

tangan, yaitu akta yang ditandatangani oleh para

pihak tanpa diautentikasi oleh pejabat yang

berwenang8.

Dalam sistem Civil Law, konsep preventive justice

merupakan dasar untuk memahami fungsi akta

autentik. Pada dasarnya mekanisme preventive justice

dalam akta autentik ialah mekanisme kontrol yuridis

yang diterapkan dalam suatu transaksi untuk

memberikan kepastian hukum melalui autentikasi

terhadap legalitas dan validitas suatu dokumen yang

dilakukan oleh pejabat yang berwenang9. Oleh karena

itu, akta autentik memiliki kekuatan pembuktian

yang sempurna (res judicata – probative value –

binding effect without the possibility of further judicial

review) dan dapat dipaksakan kepada para pihak.

Dengan demikian para pihak dapat mencegah proses

peradilan yang memakan waktu dan biaya untuk

memeriksa keabsahan akta yang merupakan bukti

bagi para pihak, termasuk ketentuan-ketentuan

dalam akta tersebut.

Kehadiran pejabat (misalnya notaris) dalam

pembuatan suatu akta autentik dalam sistem Civil

Law menunjukkan adanya kewenangan dari negara

dan kompetensi untuk membuat akta. Oleh karena

itu, kewajiban untuk tidak berpihak (impartial) adalah

salah satu syarat utama dalam menjalankan profesi

sebagai pejabat yang dimaksud. Pejabat yang

berwenang itu telah melengkapi fungsi hakim sebagai

pihak yang menyelesaikan sengketa mengenai

ketentuan yang disepakati sebelumnya oleh para

pihak10. Oleh karena itu, pihak yang melakukan

autentikasi tidak dapat berasal dari privat11.

Pejabat pembuat akta, sebelum akta yang dimaksud

ditandatangani oleh dan diserahkan kepada para

14

6 Pedro A. Malavet, Op.Cit.

7 Council of the Notariats of the European Union, Op.Cit. hal. iv.

8 Council of the Notariats of the European Union, Op.Cit. hal. 9-11.

9 Council of the Notariats of the European Union, Op.Cit. hal. 3.

10 Council of the Notariats of the European Union, Op.Cit. hal. 3-4.

11 Council of the Notariats of the European Union, Op.Cit. hal. 22-25.

Page 22: Buletin Hukum Perbankan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

pihak, harus melakukan autentifikasi dengan

memastikan bahwa para pihak yang melakukan

transaksi memiliki kecakapan (secara mental dan

hukum), ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh

para pihak tidak bertentangan dengan hukum, dan

para pihak mengerti tentang apa yang mereka

sepakati12.

Mengingat notaris Common Law tidak memiliki

kewenangan publica fides, dalam sistem Common

Law secara umum, tidak dikenal konsep akta autentik.

Dalam hal terjadi sengketa, akta notaris tidak dapat

langsung dijadikan alat bukti. Notaris harus

memberikan kesaksian di hadapan pengadilan bahwa

notaris membuat akta yang disengketakan serta

memberi kesaksian mengenai kebenaran identitas

para pihak dan keautentikan tanda tangan. Sistem

hukum Common Law hanya mengenal adanya

dokumen yang dibuat oleh para pihak yang tanda

tangannya diautentikasi oleh pejabat yang

berweanag, dan akta di bawah tangan13.

Dalam sistem hukum Common Law dikenal adanya

dokumen publik (public document), tetapi konsep

ini berbeda dari konsep akta autentik karena

dokumen publik adalah dokumen yang terkait

dengan aktivitas dari suatu instansi pemerintah dan

dikeluarkan oleh institusi pemerintah atau pejabat

publik lainnya, misalnya: akta kelahiran atau kematian

serta putusan pengadilan. Dengan demikian, konten

dari dokumen publik adalah hal-hal yang terkait

dengan publik14.

15

12 Council of the Notariats of the European Union, Op.Cit. hal. 36-37.

13 Pedro A. Malavet, Op.Cit.

14 Council of the Notariats of the European Union, Op.Cit.

Tabel Perbandingan Notaris Civil Law dan Notaris Common Law

Notaris Civil LawPerbandingan Notaris Common Law

Fungsi

Tugas utama

Persyaratan untuk menjadi notaris

Konsep Akta Autentik

Sifat akta yang dibuat notaris

Akta Notaris di pengadilan

Profesional & pejabat publik yang memiliki publica fides (governmental power – administrative – to authenticate or to certify) the contents of the documents

- membuat akta autentik (termasuk di dalamnya mengautentikasi fakta hukum)

- mengidentifikasi para pihak- mengautentikasi tanda tangan- menyimpan protokol (kumpulan dokumen

yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh notaris)

Persyaratan ketat: memiliki pendidikan hukum yang memadai dan lulus ujian serta diangkat oleh negara

Dikenal

- Akta autentik (dibuat berdasarkan ketentuan yang ketat mengenai bentuk dan isi)

- Kekuatan pembuktian yang sempurna (probative value)

Konsekuensi dari kewenangan publica fides

Tidak perlu dibuktikan dihadapan pengadilan

Tidak dapat dikatakan sebagai professional & bukan pejabat publik

- identifikasi para pihak- autentikasi tanda tangan

(tidak memiliki kewenangan untuk mengautentikasi fakta hukum)

Persyaratan: memiliki moral yang baik, kemampuan menulis dan membaca, dan ditunjuk oleh pejabat negara

Tidak dikenal

- Tidak ada konsep akta autentik

Notaris harus memberikan kesaksian di hadapan pengadilan

Page 23: Buletin Hukum Perbankan

4. Tanda Tangan Elektronik

Tanda tangan elektronik pada dasarnya adalah teknik

dan mekanisme yang digunakan untuk memberikan

kesamaan fungsi dan karakteristik tanda tangan

tertulis (basah) yang dapat diterapkan dalam

lingkungan elektronik (functional equivalence

approach). Tanda tangan elektronik merupakan data

dalam bentuk elektronik yang dilekatkan, terasosiasi

atau terkait dengan informasi elektronik yang

berguna untuk mengidentifikasi penanda tangan

dan menunjukkan persetujuan penanda tangan atas

informasi elektronik yang dimaksud. Dengan kata

lain, tanda tangan elektronik berfungsi sebagai alat

verifikasi dan autentikasi.

Ada berbagai jenis tanda tangan elektronik. Akan

tetapi, secara umum tanda tangan elektronik dapat

dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu tanda tangan

digital dan tanda tangan elektronik selain tanda

tangan digital. Tanda tangan digital dihasilkan dan

diverifikasi dengan menggunakan kriptografi, yaitu

cabang matematika terapan yang digunakan untuk

mengubah pesan ke dalam bentuk yang tidak dapat

dibaca secara langsung dan kembali kepada bentuk

awalnya. Tanda tangan digital menggunakan

kriptografi kunci publik (public-key cryptography)

yang didasarkan pada fungsi logaritma untuk

menghasilkan dua jenis kunci yang berbeda tetapi

saling terkait secara matematis. Kunci pertama

adalah kunci privat yang digunakan untuk

menghasilkan tanda tangan digital, sedangkan kunci

yang kedua adalah kunci publik yang berfungsi

untuk memverifikasi tanda tangan digital. Dengan

demikian, tanda tangan digital telah diverifikasi

apabila: (i) kunci privat digunakan untuk

menandatangani pesan, (ii) pesan tidak berubah.

C. Penyelenggaraan CA & Peranan Notaris dalam

Penyelenggaraan CA di Belanda

1. Penyelenggaraan Certification Authority (CA)

Penyelenggaraan CA di Negara Belanda terkait

dengan berbagai instrumen Uni Eropa yang

diterapkan dalam sistem hukum Belanda. Salah satu

instrumen yang dimaksud ialah European Union

Directive 1999/93/EC tentang Electronic Signature

(EU Directive on eSignature). Dalam bagian ini dibahas

secara singkat EU Directive on eSignature dan

penerapannya dalam sistem hukum Belanda.

a. EU Directive on eSignature

EU Directive on eSignature dimaksudkan untuk

memfasilitasi penggunaan tanda tangan

elektronik dan mengatur akibat hukumnya. Akan

tetapi, directive ini tidak mengatur mengenai

penyelesaian kontrak dan keabsahannya atau

mengenai kewajiban hukum lainnya tentang

penggunaan dokumen yang dipersyaratkan oleh

peraturan perundang-undangan nasional atau

peraturan Uni Eropa untuk dibuat dalam bentuk

tertentu.

EU Directive on eSignature mengatur tiga jenis

tanda tangan elektronik sebagai berikut.

1) Tanda tangan elektronik secara umum, yaitu

data dalam bentuk elektronik yang dilekatkan

kepada, atau secara logis terasosiasi dengan,

data elektronik lainnya dan berfungsi sebagai

satu metode autentikasi15.

2) Advanced electronic signatures, yaitu tanda

tangan elektronik yang memenuhi persyaratan:

a) secara unik terkait dengan penanda

tangan;

b) mampu mengidentifikasi penanda tangan;

c) dibuat dengan alat yang hanya berada

dalam kuasa penanda tangan; dan

d) terkait dengan data yang lain yang terkait

sehingga dalam hal terdapat perubahan

data dapat diketahui.

3) Advanced electronic signature yang

menggunakan qualified certificate. Qualified

certificate yang dimaksud harus memenuhi

persyaratan tertentu dan dikeluarkan oleh

penyelenggara sertifikat elektronik yang telah

memenuhi persyaratan terkait dengan

prosedur, pengoperasian, personel, sistem,

serta alat dan perangkat yang digunakan.

16

15 data in electronic form which are attached to or logically associated

with other electronic data and which serve as a method of authentication;

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 24: Buletin Hukum Perbankan

EU Directive on eSignature mengatur dengan

tegas bahwa advanced electronic signature

yang menggunakan qualified certificate dan

dibuat dengan secure-signature-creation device

merupakan jenis tanda tangan yang memiliki

tingkat keamanan yang paling tinggi

dibandingkan dengan kedua jenis tanda tangan

lainnya sehingga memiliki akibat hukum yang

sama dengan tanda tangan tertulis, dan dapat

digunakan sebagai alat bukti dalam proses

peradilan16. Namun demikian, tanda tangan

elektronik lainnya masih tetap dapat memiliki

akibat hukum dan dapat diajukan dalam proses

peradilan17.

b. Perundang-undangan di Belanda

EU Directive on eSignature diterapkan di Belanda

dengan mengamandemen Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Undang-

Undang Telekomunikasi (Telecommunicatiewet),

dan Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi

(Wet op de Economische Delicten). Tujuan

pengaturan tanda tangan elektronik tersebut

ialah dokumen elektronik dan tanda tangan

elektronik harus memiliki fungsi yang ekuivalen

atau memenuhi fungsi-fungsi yang sama dari

dokumen kertas dan tanda tangan konvensional.

Beberapa fungsi tersebut adalah: fungsi

pembuktian, fungsi informasi dan komunikasi,

dan perlindungan terhadap pihak ketiga18.

(1)Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Belanda (Burgelijk Wetboek - BW Belanda)

Dalam Buku III KUHPerdata Belanda telah

ditambahkan satu bagian baru yaitu Section

1A tentang Electronic Transactions in Respect

of Proprietary Rights (elektronisch

vermogensrechtelijk rechtsverkeer).

Berdasarkan Pasal 15a Buku III BW, tanda

tangan elektronik memiliki akibat hukum

yang sama dengan tanda tangan

konvensional apabila tanda tangan elektronik

tersebut menggunakan qualified certificate

sebagaimana diatur dalam EU Directive on

eSignature19. Dengan kata lain, pada

prinsipnya, tanda tangan elektronik yang

tidak menggunakan qualified certificate tidak

memiliki akibat hukum yang sama seperti

tanda tangan tertulis atau konvensional. Akan

tetapi, para pihak yang melakukan transaksi

dapat mengecualikan prinsip ini sebagaimana

diatur dalam Pasal 15a (6) Buku III BW.

Pengecualian tersebut harus memenuhi

ketentuan pada ayat 1, yaitu sufficiently

reliable, having regard to the purpose for

which the electronic data are used.

Berdasarkan Pasal 6:227a(2) BW mengatur

bahwa sepanjang udang-undang

mengharuskan dibuatnya akta autentik, maka

akta tersebut tidak dapat dibuat dalam bentuk

elektronik. Akan tetapi, dalam BW telah diatur

kemungkinan akta dibawah tangan yang

dibuat secara elektronik.

(2)UU Telekomunikasi

(Telecommunicatiewet)

Pasal 15a Buku III BW mengacu kepada

Telecommunicatiewet. Menurut Pasal 1.1

(ss) yang dimaksud dengan sertifikat

elektronik ialah sertifikat yang digunakan

untuk memverifikasi tanda tangan elektronik

seseorang dan memastikan identitas orang

tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan

qualified certificate ialah sertifikat yang

memenuhi persyaratan yang ditentukan

dalam Pasal 18.15, paragraf kedua dan

dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi

elektronik yang memenuhi persyaratan

sebagaimana diatur dalam Pasal 18.15,

paragraf pertama20. Akan tetapi, Pasal 18.15

tidak mengatur secara spesifik ketentuan

mengenai persyaratan qualified certificate

dan persyaratan penyelenggara sertifikasi

elektronik yang dapat mengeluarkan qualified

certificate. Pasal 18.15 mengatur bahwa

17

16 Pasal 5.1 dan lihat pertimbangan EU Directive on eSignature butir 20.

17 Pasal 5.2 EU Directive on eSignature.

18 Corien Prins, Regulating Electronic Commerce in the Netherlands, vol 6.4 ELECTRONIC JOURNAL OF COMPARATIVE LAW, (December 2002), <http://www.ejcl.org/64/art64-28.html>

19 Standar yang digunakan oleh pemerintah Belanda ialah ETSI.

20 Pasal 1.1 (tt) Telecommunicatiewet.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 25: Buletin Hukum Perbankan

ketentuan mengenai kedua hal tersebut

diatur oleh suatu organisasi tersendiri.

Organisasi inilah yang akan melakukan audit

mengenai terpenuhinya seluruh persyaratan

yang dimaksud dan menerbitkan sertifikat

bagi penyelenggara sertifikasi elektronik.

Sertifikat inilah yang menjadi bukti bahwa

penyelenggara telah memenuhi seluruh

persyaratan dan dapat mengeluarkan

qualified certificate21. Onafhankelijke Post

en Telecommunicatieautoriteit (OPTA) adalah

organisasi yang menjalankan fungsi yang

diamanatkan dalam Pasal 18.1522.

(3)Undang-Undang Tindak Pidana

Perekonomian (Wet op de Economische

Delicten)

Wet op de Economische Delicten mengatur

bahwa pelanggaran terhadap Pasal 15d

(paragraf pertama dan kedua) dan Pasal 15e

(paragraf pertama dan kedua) dari Buku III

BW merupakan salah satu tindak pidana di

bidang perekonomian.

2. Peranan Notaris dalam Penyelenggaraan CA

a. Pengaturan Notaris

Dalam sistem hukum Belanda yang menganut

sistem hukum Civil Law, notaris merupakan profesi

yang memiliki dua peran sekaligus. Di satu sisi

notaris merupakan profesi yang sejajar dengan

advokat yang memberikan layanan komersial

kepada klien. Akan tetapi, di sisi lain, notaris

sama seperti seorang hakim yang ditunjuk dan

diangkat oleh Kerajaan untuk seumur hidup

(sampai berumur 65 tahun). Oleh karena itu

notaris juga harus bertindak secara seimbang

bagi para pihak yang melakukan transaksi.

Misalnya, dalam transaksi jual beli tanah, notaris

harus memberikan layanan dan pemahaman

hukum baik kepada penjual maupun kepada

pembeli. Untuk menjadi notaris, seseorang harus

lulusan dari fakultas hukum.

Selain memberikan nasehat hukum, notaris juga

menyimpan salinan perjanjian yang dilakukan

berdasarkan ketentuan perundang-undangan

atau berdasarkan permintaan para pihak. Akta

yang dibuat oleh notaris memiliki kekuatan

pembuktian yang sempurna.

Notaris diatur dalam Wet Op Notarisambt

(UU Notaris Belanda) yang diundangkan pada 1

Oktober 1999. Beberapa hal yang diatur dalam

UU Notaris Belanda ialah notaris dilarang

mejalankan profesi selain profesi notaris. Akan

tetapi notaris dapat mengembangkan layanan

jasanya dan melakukan spesialisasi, seperti dalam

bidang mediasi, pertanian, dan penyelenggaraan

transaksi elektronik.

Notaris diawasi oleh Koninklijke Notariele

Beroepsorganisatie (KNB). Pengawasan yang

dimaksud mencakup penyelenggaraan layanan

notaris dan biaya layanan notaris. Layanan yang

diberikan oleh notaris mencakup jual beli tanah

dan bangunan, membuat atau menerbitkan

perjanjian, melegalisasi tanda tangan, membuat

dan mengubah serta melaksanakan surat wasian,

dan membuat akta pendiriaan perusahaan.

Akan tetapi, berdasarkan Undang-Undang

Notaris Belanda, notaris memiliki keleluasaan

untuk menentukan biaya layanannya. Untuk

menjalankan profesinya, seorang calon notaris

harus menyerahkan rencana bisnis kepada

Komite untuk dievaluasi.

b. Akta Autentik dalam Sistem Hukum Belanda

Dalam Wetboek van Burgeligjke van

Rechtvordering (Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Perdata Belanda – WBR) diatur mengenai

akta sebagai alat bukti. Dalam Pasal 156.1 WBR

diatur bahwa akta yang ditandatangani dapat

18

21 Pasal 18.16a Telecommunicatiewet.

22 Secara umum, OPTA adalah organisasi yang dibentuk untuk membangun lingkungan bisnis pos dan telekomunikasi di Belanda dan mengawasi serta mengevaluasi para pelaku usaha di bidang pos dan telekomunikasi. OPTA merupakan suatu organisasi administrasi yang bersifat independen dan melekat kepada Kementerian Perekonomian, Pertanian dan Inovasi (Ministrie van Economische Zaken, Landbow en Innovatie). Walaupun melekat, Kementerian Perekonomian tidak memiliki kontrol langsung terhadap OPTA termasuk yang keputusan yang dibuat oleh oranganisasi independen tersebut. Akan tetapi, Kementerian Perekonomian memiliki tanggung jawab secara politik dalam penunjukan dan pengangkatan Komisi OPTA, persetujuan anggaran dan kelangsungan OPTA.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 26: Buletin Hukum Perbankan

dijadikan alat bukti. Akta autentik ialah akta

yang dibuat berdasarkan format tertentu oleh

pejabat yang berwenang23. Akta autentik

memiliki kekuatan pembuktian yang penuh

terhadap setiap orang tentang apa yang pejabat

nyatakan dalam lingkup kewenangannya

mengenai hal-hal yang ia amati atau nyatakan.

Sedangkan berdasarkan Pasal 156.3 WBR

ditegaskan bahwa akta dibawah tangan tidak

termasuk dalam kategori akta autentik.

3. DigiNotar, suatu contoh

DigiNotar adalah salah satu penyelenggara sertifikasi

elektronik yang mengeluarkan qualified certificate

di Belanda24. Organisasi ini merupakan trusted third

party (TTP) yang dibentuk oleh notaris Civil Law dan

spesialis IT di Belanda.

Bekerja sama sama dengan sekitar 50 (lima puluh)

notaris di Belanda, DigiNotar menerbitkan beberapa

jenis sertifikat yang didasarkan pada ‘siapa’ atau

‘apa’ yang diidentifikasi oleh DigiNotar dan

‘kewenangan’ yang dimiliki oleh pengguna sertifikat.

Semua sertifikat adalah milik DigiNotar, dan semua

pengguna diberikan hak untuk menggunakan

Sertifikat dan Kunci, sehingga tidak diperbolehkan

peralihan kepemilikan. Sertifikat yang pernah

dikeluarkan oleh DigiNotar, antara lain:

1) Sertifikat Perorangan (Natuurlijk Persoonscertificaat)

ditujukan bagi pribadi kodrati (naturlijk person)

dan digunakan untuk mengidentifikasi seseorang

sebagai pribadi kodrati;

2) Sertifikat Perusahaan (Bedrijfscertificaat)

dimaksudkan untuk mengidentifikasi seseorang

yang diberi kewenangan suatu perusahaan untuk

mewakili perusahaan tersebut;

3) Sertifikat Organisasi untuk Perorangan

(Persoonsgebonden Organisatiecertificaat), yaitu

dimaksudkan untuk mengidentifikasi pribadi

kodrati sebagai pekerja dari suatu organisasi

tanpa mengindikasikan adanya kewenangan

pribadi tersebut untuk mewakili organisasi;

4) Sertifikat Profesi (Beroepscertificaat), dimaksudkan

untuk mengidentifikasi pribadi kodrati sebagai

pekerja professional yang idendependen. Sertifikat

ini diberikan kepada, misalnya, notaris, Inspektur

Pencatat Kapal (Inspecteur Scheepsregistratie),

Juru Sita (Gerechtsdeurwaarder), dan Juru Sita

Kekaisaran (Rijksdeurwaarder);

5) Sertifikat Amplop (Envelopcertificaat),

dimaksudkan untuk mengidentifikasi suatu

organisasi atau departmen dari organisasi tanpa

mengidentifikasi pribadi kodrati;

4. Peranan Notaris dalam Penerbitan Sertifikat

Elektronik

Dalam struktur DigiNotar, notaris berperan sebagai

Registration Authority (RA) dan bertugas melakukan

verifikasi data25. Menurut regulasi di Belanda, fungsi

RA dapat dilakukan tidak hanya oleh notaris. Akan

tetapi, salah satu keuntungan notaris yang berfungsi

sebagai RA ialah Notaris memiliki kewenangan

berdasarkan undang-undang untuk melakukan

identifikasi seseorang dan autentikasi tanda tangan.

Seseorang yang akan menggunakan layanan sertifikat

elektronik yang diterbitkan oleh DigiNotar harus

mengisi formulir yang dapat diakses dari website

DigiNotar sesuai dengan sertifikat yang akan

digunakan. Formulir tersebut memuat permintaan

informasi tentang, antara lain, identitas pemohon

dan kartu identitas. Dalam hal yang pemohon

diwakilkan, maka wakil tersebut harus menunjukkan

kuasa yang diberikan olehnya. Setelah semua

informasi dipenuhi, pemohon atau wakil pemohon

harus mendatangi notaris yang beraliansi dengan

DigiNotar26 atau notaris lain yang ada di Belanda

19

23 Pasal 156.2 WBR.

24 MHM Schellekens, Electronic Signatures Authentication Technology from a Legal Perspective, TMC Asser Press, the Hague, Information Technology & Law Series 5, hal. 38-39.

25 CPS DigiNotar 30 October 2007, CPS DigiNotar General Version 3.5.

26 Biaya legalisasi tanda tangan sangat beragam (sekitar €25 s.d. €50) karena regulasi di Belanda telah meliberalisasi biaya layanan kenotariatan, kecuali biaya di bidang hukum keluarga. Dengan adanya kerja sama antara DigiNotar dengan notaris, maka biaya legalisasi sudah tercakup dalam keseluruhan biaya pembuatan sertifikat elektronik.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 27: Buletin Hukum Perbankan

dengan membawa formulir dan dokumen pendukung

(seperti kartu identitas, paspor, dan akta pendirian

perusahaan). Notaris secara konvensional memeriksa

dan memastikan bahwa pemohon telah mengisi

formulir dengan benar dan memeriksa kesesuaian

antara informasi yang diberikan dan dokumen

pendukung. Dalam hal pemohon berada di luar

negara Belanda, ia dapat mendatangi Notaris Civil

Law di negara Uni Eropa lainnya atau pihak lainnya

yang berwenang.27

Melalui prosedur inilah identitas dan tanda tangan

seseorang dapat diverifikasi. Setelah itu, notaris akan

memberikan surat pertanyaan yang dibubuhkan cap

Notaris. Selain itu, RA juga berwenang untuk menolak

pengajuan penerbitan, perubahan, pembaruan, atau

pencabutan sertifikat jika hasil verifikasi menunjukkan

adanya kekurangan.

Kemudian, pemohon harus mendatangi DigiNotar

dengan membawa seluruh dokumen termasuk surat

pernyataan notaris. Sebagai CA, DigiNotar dapat

menghubungi Notaris yang bersangkutan untuk

melakukan klarifikasi. Setelah semua persyaratan

dinilai lengkap, DigiNotar mengeluarkan sertifikat

dengan dua cara, yaitu dengan cara diberikan

langsung kepada pemohon, atau diberikan melalui

pos (dalam hal ini pegawai pos harus memastikan

bahwa pemohon sendiri yang menerima sertifikat).

Sertifikat diberikan dalam media yang cukup

beragam, mulai dari smart card, USB, sampai token.

Secara umum sertifikat berlaku untuk 3 (tiga) tahun.

D. eNotaris Indonesia: Suatu Proposal

1. Pengaturan Notaris di Indonesia

Berdasarkan sejarah, negara Indonesia menganut

sistem Civil Law yang diwarisi dari hukum Belanda

sejak zaman kolonialisasi. Pada awalnya, pengaturan

mengenai notaris diatur dalam Reglement op Het

Notaris Ambt in Indonesie (Stb. 1860:3). Reglemen

ini diubah terakhir dengan Lembaran Negara Tahun

1954 Nomor 101. Selain reglemen tersebut, peraturan

peninggalan Belanda lainnya terkait dengan notaris

ialah Ordonantie 16 September 1931 yang mengatur

tentang Honorarium Notaris. Akan tetapi, mengingat

peraturan perundang-undangan di atas sudah tidak

sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan

kebutuhan masyarakat, Pemerintah mengundangkan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris (UUJN)28.

Salah satu pertimbangan dasar pembentukan UUJN

ialah kebutuhan akan akta autentik sebagai alat

bukti terkuat dan terpenuh dalam berbagai hubungan

hukum dan transaksi, seperti dalam perbankan,

pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain. Akta

autentik dinilai dapat memberikan kepastian hukum

mengenai hak dan kewajiban dari para pihak yang

melakukan hubungan hukum dan transaksi yang

dimaksud. Kepastian hukum ini sangat diperlukan

dalam hal terjadi sengketa sehingga penyelesaian

sengketa tersebut dapat lebih cepat dan murah.

Berdasarkan UUJN, akta autentik pada hakikatnya

memuat kebenaran formal sesuai dengan yang

dinyatakan para pihak kepada notaris. Akan tetapi,

notaris mempunyai kewajiban untuk memastikan

bahwa apa yang termuat dalam akta notaris

sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai

dengan kehendak para pihak. Hal ini dilakukan

dengan cara membacakan akta yang dimaksud

sehingga menjadi jelas bagi para pihak. Notaris juga

wajib memberikan akses terhadap informasi,

termasuk akses terhadap peraturan perundang-

undangan yang terkait bagi para pihak yang akan

menandatangani akta. Tujuannya ialah agar para

pihak memahami hubungan hukum yang mereka

lakukan sehingga dapat menentukan dengan bebas

untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi akta

yang akan ditandatanganinya.

20

27 CPS DigiNotar 30 October 2007, CPS DigiNotar General Version 3.5, hal. 13.

28 Selain itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah dua perundang-undangan yang diterapkan langsung dari Wetboek van Strafrecht dan Boergelijk Wetboek Belanda. Regulasi Belanda lain yang sudah “dinasionalisasi” misalnya Faillissements-Verordening, Staatsblad 1905 Nomor 217 jo Staatsblad 1906 Nomor 348 yang sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan kemudian diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 28: Buletin Hukum Perbankan

2. Kewenangan Notaris

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk

membuat akta autentik sejauh pembuatan akta

autentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat

umum lainnya. Notaris membuat akta notaris

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan atau berdasarkan permintaan para pihak.

Secara umum, persyaratan untuk menjadi notaris

sama dengan notaris latin lainnya yang mengharuskan

adanya pelimpahan wewenang dari negara untuk

menjalankan publica fides melalui penunjukan oleh

pejabat yang berwenang (dalam hal ini Menteri

Hukum dan HAM). Untuk menjaga fungsi tersebut,

UUJN mengatur persyaratan secara ketat baik dari

segi pendidikan maupun profesi.

Kewenangan utama notaris diatur dalam Pasal 15

ayat (1) UUJN yaitu membuat akta autentik mengenai

semua perbuatan hukum dan transaksi yang

diharuskan oleh peraturan perundang-undangan

atau yang dikehendaki oleh para pihak untuk

dinyatakan dalam akta autentik. Notaris juga

berwenang menjamin kepastian tanggal pembuatan

akta, menyimpan akta, memberikan grosse, serta

salinan dan kutipan akta. UUJN juga memberikan

kemungkinan bagi notaris untuk menjalankan

kewenangan lain, sepanjang kewenangan yang

dimaksud diatur dalam peraturan perundang-

undangan.

3. Esensi Akta Autentik

Sama seperti Belanda yang menganut Civil Law,

sistem hukum Indonesia mengenal konsep akta

autentik. Akta autentik ialah suatu akta yang dibuat

dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh

atau dihadapan pejabat umum yang berwenang

untuk itu di tempat akta itu dibuat29. Akta autentik

memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna

bagi para pihak yang berkepentingan beserta ahli

warisnya dan setiap orang yang mendapat hak dari

mereka mengenai apa yang termuat dalam akta

tersebut30. Dalam hal persyaratan yang dimaksud

tidak terpenuhi, akta yang dimaksud memiliki

kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan

sepanjang ditandatangani para pihak31.

Pasal 1874 KUHPerdata mengatur bahwa yang

dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah

akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat,

daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan

yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang

pejabat umum. Sedangkan yang dianggap sama

dengan tanda tangan suatu tulisan di bawah tangan

ialah pembubuhan suatu cap jempol. Pembubuhan

cap jempol yang dimaksud harus disertai dengan

pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris

atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-

undang yang menyatakan bahwa pembubuh cap

jempol itu dikenal olehnya atau telah diperkenalkan

kepadanya, bahwa si akta telah dijelaskan kepada

orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut

dibubuhkan pada tulisan yang dimaksud di hadapan

pejabat yang bersangkutan.

Akta dibawah tangan dapat memiliki kekuatan

pembuktian yang sama dengan akta autentik

sepanjang akta yang dimaksud diakui kebenarannya

oleh orang yang membuatnya atau secara hukum

dianggap telah dibenarkan olehnya. Dengan

demikian, kekuatan pembuktian tersebut berlaku

bagi ahli warisnya dan orang yang mendapatkan

hak berdasarkan akta yang dimaksud32.

4. eNotaris Indonesia

Peranan Notaris dalam penyelenggaraan transaksi

elektronik dapat dikembangkan dari fungsi Notaris

sebagai pejabat yang berwenang yang memiliki

kewenangan publica fides. Secara harfiah, publica

fides memiliki arti kepercayaan dari publik, dan

dengan kewenangan publica fides yang dimiliki,

notaris dapat mengautentikasi identitas seseorang,

termasuk menyatakan kebenaran serta keakuratan

dan keaslian informasi yang diberikannya. Notaris

juga berwenang untuk mengautentikasi dan

menyatakan kebenaran tanda tangan seseorang.

21

29 Pasal 1868 KUHPerdata

30 Pasal 1870 KUHPerdata.

31 Pasal 1869 KUHPerdata.

32 Pasal 1875 KUHPerdata.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 29: Buletin Hukum Perbankan

Dalam transaksi, notaris memiliki kewenangan dalam

menyatakan kebenaran fakta hukum yang tertuang

dalam suatu akta notaris. Oleh karena itu, sejak

awalnya, notaris latin memiliki fungsi sebagai trusted

third party dalam suatu transaksi.

a. Notaris sebagai RA

Menurut Arion et. al. (1984) trust harus ada

dalam suatu transaksi elektronik, dan karena itu,

mereka memperkenalkan konsep ‘faith’, ‘trust’,

dan ‘confidence’ yang merupakan bagian-bagian

dari belief. Yang membedakan ketiganya adalah

bukti konkrit yang tersedia bagi pengambil

keputusan. Dalam hal tidak ada bukti konkrit

sama sekali, belief dapat dilihat sebagai ‘faith’.

Sedangkan dalam hal tidak cukup bukti konkrit,

seseorang dapat menggunakan bukti-bukti

yang tersedia tersebut untuk merasionalisasi

kepercayaan (belief) mereka; dan hal ini

dinamakan ‘trust’. Akan tetapi, dalam hal ada

banyak data dan bukti kronkrit untuk

mendukung keputusan tersebut, kepercayaan

tersebut dinamakan ‘confidence’. Dengan

demikian, trust adalah salah satu mekanisme

mental yang dapat mengurangi kompleksitas

dan ketidakpastian untuk membangun atau

menjaga hubungan bahkan di dalam kondisi

yang beresiko (Luhmann, 1988)33.

Sebagai pihak ketiga yang dapat dipercaya, notaris

dapat berperan dalam penyelenggaraan sertifikasi

elektronik (certification authority) sebagai

registration authority (RA) untuk membantu

menghadirkan trust yang dimaksud. Peranan ini

dimungkinkan berdasarkan Pasal 16 ayat (3) UU

Jabatan Notaris.

Fungsi strategis RA dalam rangkaian proses

sertifikasi elektronik adalah sebagai gerbang awal

yang memeriksa kebenaran dan melakukan

verifikasi identitas pengguna layanan sertifikasi

serta kebenaran informasi yang diberikan oleh

pengguna. Fungsi ini dapat dilakukan oleh seluruh

notaris. Hasil dari pemeriksaan atau verifikasi

tersebut merupakan dasar bagi CA untuk

mengeluarkan sertifikat bagi pengguna yang

dimaksud. Sebagai RA, notaris dapat memberikan

nasehat hukum yang dibutuhkan klien klien

mengenai jenis sertifikat yang akan digunakan

oleh klien, seperti:

1) lingkup kerahasiaan atau keamanan informasi

elektronik yang akan dipertukarkan;

2) nilai ekonomis transaksi yang akan dilakukan

melalui pertukaran informasi secara elektronik;

3) posisi informasi elektronik sebagai bukti;

Tentunya tidak selalu dalam penyelenggaraan

sertifikasi elektronik membutuhkan peranan

notaris sebagai RA. Peran notaris sebagai RA

akan diperlukan dalam penerbitan sertifikat

elektronik yang membutuhkan keamanan yang

lebih tinggi dibandingkan jenis sertifikas lainnya.

Keamanan yang dimaksud dipengaruhi oleh

faktor kepastian dan kebenaran identitas serta

kebenaran dan keakuratan informasi. Jenis

sertifikat ini tentunya dapat memberikan

perlindungan yang lebih baik bagi para pihak

yang melakukan transaksi yang menurut mereka

signifikan, seperti transaksi yang bernilai besar.

Selain itu, jenis sertifikat ini juga dapat

bermanfaat untuk diterapkan dalam komunikasi

rahasia yang dilakukan oleh para pihak, termasuk

pemerintah.

Seperti yang telah disebutkan dalam bagian

sebelumnya bahwa tanda tangan menggunakan

kriptografi kunci publik (public-key cryptography)

yang didasarkan pada fungsi logaritma untuk

menghasilkan dua jenis kunci yang berbeda tetapi

saling terkait secara matematis, yaitu kunci privat

dan kunci publik. Kunci privat digunakan untuk

menghasilkan tanda tangan digital, sedangkan

kunci publik berfungsi untuk memverifikasi tanda

tangan digital. Akan tetapi, kedua kunci yang

dimaksud hanyalah kombinasi antara 0 dan 1

yang dihasilkan dari fungsi matematika dan tidak

22

33 Arion, M.J.H. Numan, H. Pitariu & R. Jorna. (1994) ‘Placig Trust in Human-Computer Interaction’, in: Proc. 7th Europen Cognitive Ergonomics Conference di dalam Florian N. Egger, Consumer Trust in E-Commerce From Psychology to Interaction Design di dalam J.E.J Prins, P.M.A. Ribbers, H.C.A. van Tilborg, A.F.L. Veth and J.G.L. van der Wees (Ed), Trust in Electronic Commerce: The Role of Trust from a legal, an Organizational and a Technical Point of View., Kluwer Law International, The Hague, The Netherlands.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 30: Buletin Hukum Perbankan

dapat menentukan bahwa penanda tangan ialah

orang yang dimaksud dalam suatu transaksi.

Kehadiran notaris sebagai RA menjembatani

fungsi kedua pasangan kunci dan orang yang

dimaksud.

Dengan demikian, peranan notaris sebagai RA

akan melahirkan bidang usaha baru. RA akan

bekerjasama dengan CA dalam bentuk aliansi

atau subordinat sehingga perlu kembangkan

model bisnis yang tepat. Peluang usaha ini perlu

ditinjau efektivitas peluang usaha yang dimaksud

melalui berbagai proyek percontohan.

b. eAkta Autentik

Seperti yang dibahas sebelumnya bahwa notaris

Indonesia termasuk dalam keluarga notaris latin

yang memiliki kewenangan dalam membuat

akta autentik. Esensi dari keautentikan akta

tersebut didasarkan pada dua hal, yaitu

kewenangan notaris sebagai pejabat yang

berwenang dan fungsi notaris dalam melakukan

autentikasi dan verifikasi identitas. Notaris ialah

wakil negara yang terlibat dalam suatu transaksi

untuk melakukan identifikasi dan verifikasi para

pihak dan menjaga kebenaran serta keakuratan

informasi dalam transaksi dengan menyatakannya

dalam suatu dokumen yang disusun berdasarkan

format dan aturan tertentu. Oleh karena itu,

pemeriksaan secara fisik menjadi bagian yang

penting. Tidak hanya itu, notaris juga wajib

membaca akta dihadapan para pihak untuk

menjamin bahwa mereka mengerti perbuatan

hukum yang mereka akan tanda tangani.

Pembacaan bukan menjadi kewajiban notaris

apabila para pihak membaca sendiri, mengetahui

dan memahami isinya; apabila hal ini dilakukan

maka notaris harus menyatakannya dalam bagian

akhir akta dan pada setiap halaman akta diparaf

oleh para pihak, saksi, dan notaris. Dalam hal

pembacaan atau pengecualian terhadap

pembacaan tidak dilakukan, akta yang dimaksud

hanya memiliki kekuatan pembuktian di bawah

tangan. Untuk menjaga netralitas, perbuatan

hukum yang dimaksud harus disaksikan oleh

minimal dua orang.

Teknologi yang ada saat ini mungkin sudah

cukup untuk memenuhi persyaratan dalam

pembuatan akta autentik secara elektronik.

Teleconference, CCTV, dan digital signature

beberapa teknologi yang dapat diterapkan untuk

memenuhi persyaratan yang dimaksud. Akan

tetapi, berdasarkan penjelasan mengenai peran

dan fungsi notaris dalam sistem Civil Law dan

Common Law di atas, konsep akta notaris dalam

bentuk elektronik lebih mungkin diterapkan

dalam sistem Common Law. Sedangkan dalam

sistem Civil Law, benturan doktrin mengenai

esensi akta autentik serta peranan dan fungsi

notaris harus menjadi perhatian utama. Hal ini

juga yang menjadi dasar pertimbangan

pengaturan Pasal 5 ayat (4) UU Nomor 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

(UU ITE). Selengkapnya Pasal 5 ayat (4) UU ITE.

Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/

atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a. surat yang menurut Undang-Undang harus

dibuat dalam bentuk tertulis; dan

b. surat beserta dokumennya yang menurut

Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk

akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat

pembuat akta.

c. Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik

Menurut UU ITE, Sertifikat Elektronik ialah

sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat

tanda tangan elektronik dan identitas yang

menunjukkan status subjek hukum para pihak

dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan

penyelenggara sertifikasi elektronik, sedangkan

penyelenggara sertifikasi elektronik ialah badan

hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak

dipercaya, yang memberikan dan mengaudit

sertifikat elektronik. Fungsi utama penyelenggara

sertifikasi Elektronik ialah memastikan keterkaitan

tanda tangan elektronik dengan pemiliknya.

Penyelenggara sertifikasi elektronik menurut UU

ITE dibagi menjadi penyelenggara sertifikasi

elektronik Indonesia dan penyelenggara asing.

Untuk yang pertama, penyelenggara yang

23

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 31: Buletin Hukum Perbankan

dimaksud harus berbadan hukum dan berdomisili

di Indonesia. Sedangkan untuk yang kedua,

sepanjang beroperasi di Indonesia, penyelenggara

yang dimaksud harus terdaftar di Indonesia.

Menurut Pasal 11 UU ITE, tanda tangan elektronik

memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum

yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai

berikut:

1) data pembuatan Tanda Tangan Elektronik

terkait hanya kepada Penanda Tangan;

2) data pembuatan Tanda Tangan Elektronik

pada saat proses penandatanganan elektronik

hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan;

3) segala perubahan terhadap Tanda Tangan

Elektronik yang terjadi setelah waktu

penandatanganan dapat diketahui;

4) segala perubahan terhadap Informasi

Elektronik yang terkait dengan TandaTangan

Elektronik tersebut setelah waktu

penandatanganan dapat diketahui;

5) terdapat cara tertentu yang dipakai untuk

mengidentifikasi siapa Penandatangannya;

dan

6) terdapat cara tertentu untuk menunjukkan

bahwa Penanda Tangan telah memberikan

persetujuan terhadap Informasi Elektronik

yang terkait.

Dalam UU ITE tidak dijelaskan apa yang dimaksud

“memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum

yang sah”. Akan tetapi, berdasarkan tujuan

pengembangan tanda tangan elektronik, yang

dimaksud dengan “memiliki kekuatan hukum

dan akibat hukum yang sah” adalah memiliki

kekuatan dan akibat hukum yang sama dengan

tanda tangan konvensional. Berdasarkan

penafsiran tersebut, maka hanya tanda tangan

elektronik yang memenuhi enam persyaratan

yang diatur dalam Pasal 11 UU ITE yang dapat

memiliki kekuatan dan akibat hukum yang sama

dengan tanda tangan tertulis. Berdasarkan

penafsiran UU ITE, tanda tangan elektronik yang

memiliki kekuatan dan akibat hukum yang sama

dengan tanda tangan elektronik itu dapat

dihasilkan dari tanda tangan yang menggunakan

sertifikasi elektronik dan yang tidak menggunakan

sertifikasi elektronik.

Kondisi yang beragam seperti ini akan

menimbulkan permasalahan dalam praktiknya.

Salah satu masalah yang dapat muncul ialah

dalam hal terjadi sengketa, seluruh tanda tangan

elektronik harus dibuktikan pemenuhannya

terhadap keenam persyaratan dalam Pasal 11

UU ITE. Pembuktian ini akan menimbulkan

masalah waktu dan biaya serta kenyamanan.

Jika mengacu kepada regulasi di Belanda mengenai

tanda tangan elektronik dan Penyelenggara

Sertifikasi Elektronik, hanya tanda tangan

elektronik yang menggunakan qualified certificate

dan diterbitkan oleh penyelenggara sertifikasi

elektronik yang telah memenuhi standar ETSI

dan standar teknis lainnya yang memiliki kekuatan

dan akibat hukum yang sama dengan tanda

tangan tertulis. Konsekuensinya, sepanjang tanda

tangan elektronik menggunakan qualified

certificate dan telah memenuhi persyaratan maka,

kecuali dibuktikan sebaliknya (secara a priori),

tanda tangan yang dimaksud memiliki kekuatan

dan akibat hukum yang sama dengan tanda

tangan konvensional. Dengan demikian, dalam

hal terjadi sengketa, tanda tangan elektronik

tersebut tidak perlu dibuktikan lagi mengenai

pemenuhan persyaratan yang ditentukan dalam

regulasi di Belanda.

E. Simpulan dan Saran

1. simpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa

satu faktor yang mempengaruhi peranan notaris

dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik adalah

konsep notaris yang dianut suatu negara. Secara

garis besar, konsep notaris dapat dibagi dua, yaitu

notaris dalam sistem hukum Civil Law dan notaris

dalam sistem hukum Common Law. Dalam konsep

Civil Law seperti di Belanda dan Indonesia, notaris

memiliki kewenangan publica fides yang diberikan

negara untuk mengautentikasi dan menyatakan

24

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 32: Buletin Hukum Perbankan

kebenaran identitas para pihak, termasuk tanda

tangan mereka dan fakta hukum yang tertulis dalam

akta notaris. Oleh karena itu, dalam sistem hukum

Civil Law, dikenal konsep akta autentik yang memiliki

kekuatan pembuktian sempurna. Sedangkan sistem

hukum Common Law tidak dikenal konsep publica

fides dan konsep akta autentik.

Pengaturan penyelenggaraan sertifikasi elektronik

di negara Belanda terkait dengan berbagai instrumen

Uni Eropa seperti EU Directive on eSignature yang

mengatur tanda tangan elektronik dalam tiga jenis.

Dari ketiga jenis tanda tangan itu, advanced electronic

signature yang menggunakan qualified certificate

dan dibuat dengan secure-signature-creation device

merupakan jenis tanda tangan yang memiliki tingkat

keamanan yang paling tinggi dibandingkan dengan

kedua jenis tanda tangan lainnya sehingga memiliki

akibat hukum yang sama dengan tanda tangan

tertulis dan dapat digunakan sebagai alat bukti dalam

proses peradilan. Negara Belanda menerapkan EU

Directive on eSignature dalam perundang-

undangannya.

Sebagai salah satu negara yang menganut sistem

hukum Civil Law, Belanda mengatur notaris dalam

penyelenggaraan sertifikasi elektronik sebagai

registration authority (RA) untuk melakukan verifikasi

data dan identitas calon pengguna tanda tangan

elektronik, seperti yang dilakukan oleh DigiNotar.

Dalam regulasi Belanda, notaris tidak dapat membuat

akta notaris elektronik. Pengaturan yang sama juga

terdapat dalam Pasal 5 ayat ayat (4) UU ITE.

Pengaturan-pengaturan ini sesuai dengan konsep

akta autentik dan peranan notaris Civil Law.

2. Saran

a. notaris di Indonesia dapat berperan sebagai RA

dalam penyelenggaraan transaksi elektronik.

Berdasarkan Pasal 16 ayat (3) UUJN, peranan

notaris dimungkinkan sepanjang diatur dalam

suatu peraturan perundang-undangan. Terkait

dengan hal ini, RPP Penyelenggaraan ITE telah

mengatur kewenangan notaris yang dimaksud

dalam Bab Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik.

Oleh karena itu, pengaturan yang dimaksud perlu

ditindaklanjuti dengan menentukan jenis sertifikat

elektronik apa yang membutuhkan peranan

notaris mengingat keterlibatan yang dimaksud

memiliki konsekuensi secara hukum dan bisnis.

Hal ini dapat diatur dalam peraturan menteri.

b. Notaris Indonesia termasuk rumpun Notaris Civil

Law. Oleh karena itu, notaris tidak dapat

membuat akta notaris elektronik. Konsep akta

notaris dalam bentuk elektronik lebih mungkin

diterapkan dalam sistem Common Law karena

dalam sistem ini tidak dikenal adanya akta

autentik yang memiliki kekuatan pembuktian

sempurna. Sedangkan dalam sistem Civil Law,

benturan doktrin mengenai esensi akta autentik

serta peranan dan fungsi notaris menjadi

perhatian utama.

c. Saat ini sedang disiapkan revisi terhadap UU ITE.

Berdasarkan penjelasan di atas, ketentuan Pasal

5 ayat (4) UU ITE seyogyanya tetap dipertahankan.

d. Perlu pengaturan yang lebih ketat dan rinci

mengenai jenis sertifikat apa yang dapat dijadikan

alat bukti yang sah. Menurut Pasal 11 UU ITE,

tanda tangan elektronik memiliki kekuatan

hukum dan akibat hukum yang sah (memiliki

kekuatan dan akibat hukum yang sama dengan

tanda tangan konvensional) sepanjang memenuhi

enam persyaratan. Dalalm Rancangan Peraturan

Pemerintah tentang Penyelenggaraan Informasi

dan Transaksi Elektronik (RPP PITE) dibuat

klasifikasi penyelenggara sertifikasi elektronik

yaitu Penyelenggara yang memiliki status

terdaftar, tersertifikasi, dan berinduk. Status

terdaftar adalah status awal untuk beroperasi.

Penyelenggara dapat memiliki status setingkat

lebih tinggi (tersertifikasi kemudian berinduk)

apabila telah memenuhi persyaratan pada status

operasi yang lebih rendah dan memenuhi

persyaratan tingkatan di atasnya. Oleh karena

itu, perlu ditentukan Penyelenggara Sertifikasi

Elektronik dengan status operasi apa yang kecuali

dibuktikan sebaliknya (secara a priori) telah

menerbitkan Sertifikat Elektronik yang memiliki

25

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 33: Buletin Hukum Perbankan

kekuatan dan akibat hukum yang sama dengan

tanda tangan tertulis. Penentuan ini akan dapat

sangat membantu penyelesaian sengketa antara

para pihak. Pola yang sama diterapkan di Belanda.

26

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 34: Buletin Hukum Perbankan

Arion, M.J.H. Numan, H. Pitariu & R. Jorna. (1994) ‘Placing Trust in Human-Computer Interaction’, in: Proc. 7th Europen Cognitive Ergonomics Conference di dalam Florian N. Egger, Consumer Trust in E-Commerce From Psychology to Interaction Design di dalam J.E.J Prins, P.M.A. Ribbers, H.C.A. van Tilborg, A.F.L. Veth and J.G.L. van der Wees (Ed), Trust in Electronic Commerce: The Role of Trust from a legal, an Organizational and a Technical Point of View., Kluwer Law International, The Hague, The Netherlands.

Barry M. Leiner, A Brief History of the Internet, http://www.isoc.org/internet/history/brief.shtml, diakses 13 Januari 2011.

Corien Prins, Regulating Electronic Commerce in the Netherlands, vol 6.4 ELECTRONIC JOURNAL OF COMPARATIVE LAW, (December 2002), http://www.ejcl.org/64/art64-28.html, diakses 29 Maret 2011.

Council of the Notariats of the European Union, Comparative Study on Authentic Instruments: National Provisions of Private Law, Circulation, Mutual Recognition and Enforcement, Possible Legislative Initiative by European Union England, France, Germany, Poland, Romania, Sweden, Study for the Europen Parliament No IP/C/JURI/IC/2008-019.

Hans C.S. Warendorf, Richard Thomas, Ian Curry-Sumner, The Civil Code of the Netherlands, Kluwer Law International, 2009, the Netherlands.

Leslie G. Smith, The Role of the Notary in Secure Electronic Commerce, Thesis, Queensland University of Technology, September 2006.

MHM Schellekens, Electronic Signatures Authentication Technology from a Legal Perspective, TMC Asser Press, the Hague, Information Technology & Law Series 5, hal. 38-39.

Paul van Der Molen dan Martin Wubbe, e-Government and e-Land Administration as an Example: The Netherlands, diakses dari http://www.fig.net/pub/costarica_1/papers/ts10/ts10_02_wubbe_vandermolen_2480.pdf, tanggal 20 Maret 2011.

Pedro A. Malavet, Counsel for the Situation: The Latin Notary, a Historical and Comparative Model, Januari 1996

Yin-Miao (Vicky), Liu, 2004, Thesis, Visually Sealed and Digitally Signed Electronic Documents: Building on Asian Tradition, Information Security Research Centre Faculty of Information Technology, Queensland University of Technology.

Daftar Pustaka

27

Page 35: Buletin Hukum Perbankan

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 36: Buletin Hukum Perbankan

ABSTRAKSI

UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi

Publik (UU KIP) telah mengatur mengenai kewajiban Badan

Publik untuk melakukan pengelolaan Informasi termasuk

menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi

Publik yang berada di bawah kewenangannnya kepada

Pemohon Informasi Publik. Disamping kewajiban tersebut,

UU KIP juga mengatur mengenai hak Badan Publik untuk

menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Terkait dengan implementasi UU KIP dimaksud, tulisan ini

akan membahas mengenai pengelolaan Informasi di Bank

Indonesia termasuk pengaturan mengenai Informasi Rahasia

sebagai Rahasia Jabatan yang merupakan Informasi yang

dikecualikan dari kewajiban pembukaan akses bagi Pemohon

Informasi.

I. PENDAHULUAN

Dalam upaya mewujudkan good corporate governance

transparansi merupakan suatu hal yang mutlak untuk

dilaksanakan. Salah satu cerminan dari transparansi

adalah dijaminnya hak warga negara untuk memperoleh

informasi yang terkait dengan penyelenggaraan negara.

Guna memberikan landasan hukum bagi warga negara

untuk memperoleh Informasi Publik telah diterbitkan

UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi

Publik (UU KIP), yang mulai berlaku 2 (dua) tahun sejak

tanggal diundangkan.

Dalam pasal 7 ayat (1) UU KIP diatur bahwa Badan Publik

wajib menyediakan, memberikan, dan/atau menerbitkan

Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya

kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang

dikecualikan sesuai dengan ketentuan.

Adapun yang dimaksud dengan Badan Publik adalah

Lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain

yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan

penyelenggaraan Negara, yang sebagian atau seluruh

dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah, atau organisasi non pemerintah

sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber

dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan

masyarakat, dan/atau luar negeri (vide Pasal 1 angka 3

UU KIP).

Dengan melihat definisi tersebut, maka Bank Indonesia

sebagai Lembaga Negara yang tugas pokoknya berkaitan

dengan penyelenggaraan negara di bidang ekonomi

yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter,

mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran,

dan mengatur dan mengawasi Bank (vide Pasal 8 UU

Nomor 23 Tahun 2009 sebagaimana telah beberapa kali

diubah, terakhir dengan UU Nomor 6 Tahun 2009

tentang Penentapan Peraturan Pemerintah Pengganti

UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang perubahan Kedua

atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2009 tentang

Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (UU BI)) tunduk

pada ketentuan dalam UU KIP.1

II. PEMBAHASAN

A. Pengaturan dalam UU KIP

UU KIP menganut prinsip MALE (maksimum access

limited exemption), sehingga dalam UU dimaksud

diatur bahwa secara prinsip Informasi Publik bersifat

terbuka, kecuali beberapa informasi yang

dikecualikan.

29

Implementasi UU Keterbukaan Informasi Publik Di Bank IndonesiaOleh: Tim Informasi Hukum Bank Indonesia

1 Keuangan Bank Indonesia tidak bersumber dari APBN, namun dalam hal jumlah modal Bank Indonesia kurang dari 2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah), pemerintah (melalui APBN) wajib menutup kekurangan tersebut yang dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan rakyat (vide Pasal 62 ayat (3) UU BI

Page 37: Buletin Hukum Perbankan

Yang dimaksud Informasi Publik adalah informasi

yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau

diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan

dengan penyelenggara dan penyelenggaraan Negara

dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan

publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang

ini serta informasi lain yang berkaitan dengan

kepentingan publik (vide Pasal 1 angka 2 UU KIP).

Dalam UU KIP telah diatur mengenai informasi

kewajiban penyediaan dan pengumuman informasi,

yang dibagi menurut urgensinya, yaitu:

a. informasi yang wajib disediakan dan diumumkan

secara berkala;

b. informasi yang wajib diumumkan serta merta;

dan

c. informasi yang wajib tersedia setiap saat.

Namun demikian, UU KIP juga telah mengatur

mengenai pengecualian terhadap kewajiban membuka

akses bagi Pemohon Informasi Publik, yaitu:

a. Informasi Publik yang apabila dibuka dan

diberikan kepada Pemohon Informasi Publik

dapat menghambat proses penegakan hukum;

b. Informasi Publik yang apabila dibuka dan

diberikan kepada Pemohon Informasi Publik

dapat mengganggu kepentingan perlindungan

hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan

dari persaingan usaha tidak sehat;

c. Informasi Publlik yang apabila dibuka dan

diberikan kepada Pemohon Informasi Publik

dapat membahayakan pertahanan dan keamanan

Negara;

d. Informasi Publik yang apabila dibuka dan

diberikan kepada Pemohon Informasi Publik

dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia;

e. Informasi Publik yang apabila dibuka dan

diberikan kepada Pemohon Informasi Publik,

dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional;

f. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan

kepada Pemohon Informasi Publik, dapat

merugikan kepentingan hubungan luar negeri;

g. Informasi Publik yang apabila dibuka dapat

mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat

pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat

seseorang;

h. Informasi Publik yang apabila dibuka dan

diberikan kepada Pemohon Informasi Publik

dapat mengungkap rahasia pribadi;

i. memorandum atau surat-surat antar Badan Publik

atau intra Badan Publik, yang menurut sifatnya

dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi

atau pengadilan;

j. Informasi yang tidak boleh diungkapkan

berdasarkan Undang-Undang

Dalam UU KIP diatur bahwa Badan Publik wajib

menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan

Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya

kepada Pemohon Informasi Publik. Untuk

melaksanakan kewajiban tersebut, Badan Publik

harus membangun dan mengembangkan sistem

informasi dan dokumentasi untuk mengelola

Informasi tersebut, dan untuk mewujudkan pelayanan

cepat, tepat, dan sederhana, Badan Publik menunjuk

Pejabat pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)

dan membuat serta mengembangkan sistem

penyediaan layanan informasi secara cepat, mudah,

dan wajar sesuai petunjuk teknis standar layanan

Informasi Publik yang berlaku secara nasional.

Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)

inilah yang bertanggungjawab dalam penyimpanan,

pendokumentasian, penyediaan dan/atau pelayanan

informasi di badan publik. Tugas PPID merupakan

salah satu ujung tombak dalam implementasi UU

KIP. Pejabat inilah yang akan melakukan klasifikasi

informasi Publik sekaligus melakukan pelayanan

informasi di badan publik.

Klasifikasi informasi merupakan salah satu hal krusial

dalam implementasi UU KIP, sehingga dalam UU

tersebut telah diatur secara tegas mengenai batasan

informasi yang wajib dibuka untuk publik dan

informasi yang dikecualikan dari kewajiban

pembukaan dimaksud. Namun demikian, dalam

peraturan Pelaksanaan UU dimaksud, yaitu PP No.

61 Tahun 2010 tentang pelaksanaan UU No. 14

Tahun 2008 tentang KIP justru diatur bahwa PPID

atas persetujuan Pimpinan Badan Publik yang

bersangkutan dapat mengubah klasifikasi Informasi

yang dikecualikan berdasarkan Pengujian Konsekuensi

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

30

Page 38: Buletin Hukum Perbankan

(vide Pasal 10 PP KIP). Adapun pengujian Konsekuensi

adalah pengujian tentang konsekuensi yang timbul

apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat

dengan mempertimbangkan secara seksama bahwa

menutup Informasi publik dapat melindungi

kepentingan yang lebih besar daripada membukanya

atau sebaliknya.

Penjelasan Pasal 10 PP tersebut memberikan contoh

perubahan klasifikasi informasi, yang terbatas pada

perubahan penggolongan informasi dalam satu

klasifikasi yang sama, bukan bukan perubahan

klasifikasi Informasi Publik dari wajib dibuka menjadi

dikecualikan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya

ketentuan dalam PP KIP tersebut akan menimbulkan

keraguan bagi PPID untuk menetapkan Informasi

sebagai Informasi yang wajib dibuka untuk publik.

Pengaturan dalam PP tersebut akan memperlemah

klasifikasi yang telah ditetapkan oleh UU KIP.

Terkait dengan hak untuk mendapatkan informasi

publik, UU KIP telah mengatur bahwa setiap orang

berhak untuk:

a. Melihat dan mengetahui Informasi Publik

b. Menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk

umum untuk memperoleh Informasi Publik

mendapatkan salinan Informasi Publik melalui

permohonan sesuai dengan UU KIP; dan/atau

c. Menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan

permintaan untuk memperoleh Informasi Publik

kepada Badan Publik terkait secara tertulis maupun

tidak tertulis. Dalam Pasal 4 UU KIP juga diatur

bahwa Setiap Pemohon Informasi Publik berhak

mengajukan permintaan Informasi Publik disertai

alasan permintaan tersebut. UU KIP maupun

peraturan pelaksanaannya tidak mengatur lebih

lanjut mengenai alasan yang dapat digunakan dalam

meminta Informasi Publik maupun kepentingan

yang dapat dijadikan alasan untuk mengajukan

permintaan informasi.

Hal ini akan membuka kesempatan yang seluasnya-

luasnya bagi setiap orang untuk mengakses dan

meminta Informasi untuk keperluan apapun. Hal ini

dapat membebani Badan Publik yang harus

menyediakan banyak sumber daya manusia untuk

melayani permintaan Informasi yang jumlahnya

banyak dan tidak terkait secara langsung dengan

kepentingan masyarakat umum. Oleh karena itu,

perlu diatur mengenai kriteria alasan/tujuan

penggunaan Informasi yang dapat dijadikan alasan

permintaan Informasi.

Pengaturan tersebut tidak akan mengurangi hak

Pengguna Informasi karena dalam UU KIP telah

diatur mengenai kewajiban Badan Publik untuk

mengumumkan informasi-informasi yang perlu

diketahui oleh masyarakat secara luas, dengan

mengumumkan secara berkala untuk informasi yang

berkaitan dengan badan publik kegiatan, kinerja,

dan laporan keuangan badan publik, maupun

mengumumkan secara serta merta suatu informasi

yang mengancam hajat hidup orang banyak dan

ketertiban umum. Pengaturan tersebut diperlukan

agar Informasi itu bisa tepat sasaran, benar-benar

diberikan kepada orang yang membutuhkan sesuai

dengan kegunaan dan tujuan Informasi tersebut.

B. Pengelolaan Informasi Di Bank Indonesia

Dengan diberlakukannya UU KIP, Bank Indonesia

tunduk pada kewajiban untuk menyediakan Informasi

Publik. Dalam Pasal 17 UU KIP telah diatur beberapa

perkecualian yang terkait dengan pelaksanaan Tugas

BI, antara lain:

a. Informasi Publik yang apabila dibuka dan

diberikan kepada Pemohon Informasi Publik

dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional:

rencana awal pembelian dan penjualan mata

uang nasional atau asing, saham dan aset vital

negara; rencana awal perubahan nilai tukar, suku

bunga, dan model operasi institusi keuangan,

rencana awal perubahan suku bunga bank,

pinjaman pemerintah; proses dan hasil

pengawasan perbankan; dan atau hal-hal yang

berkaitan dengan proses pencetakan uang

b. Informasi Publik yang apabila dibuka dan

diberikan kepada Pemohon Informasi Publik,

dapat merugikan kepentingan hubungan luar

negeri: posisi, daya tawar dan strategi yang akan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

31

Page 39: Buletin Hukum Perbankan

dan telah diambil oleh negara dalam hubungannya

dengan negosiasi internasional

c. Informasi Publik yang apabila dibuka dan

diberikan kepada Pemohon Informasi Publik

dapat mengungkap rahasia pribadi: kondisi

keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank

seseorang

d. Memorandum atau surat-surat antar Badan Publik

atau intra Badan Publik yang menurut sifatnya

dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi

atau pengadilan.

Terhadap informasi-informasi tersebut di atas, Bank

Indonesia dikecualikan dari kewajiban pembukaan

akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik.

Terkait dengan pengelolaan Informasi, di Bank

Indonesia terdapat beberapa pengaturan mengenai

pengelolaan informasi, antara lain PDG Nomor

8/17/PDG/2006 tentang Kewajiban Menjaga Informasi

Rahasia ( PDG KMIR), PDG Nomor 10/10/PDG/2008

tentang Manajemen Informasi Bank Indonesia (PDG

MIBI), SE Penatalaksanaan (Governance) Informasi

Bank Indonesia (SE Governance).

Terkait dengan pengelolaan informasi, di Bank

Indonesia telah dibentuk satuan kerja yang secara

khusus membidangi manajemen informasi,

sedangkan penatausahaan informasi dilakukan oleh

satuan kerja pemilik infomasi dan/atau satuan kerja

yang membidangi kearsipan.

Adapun terkait dengan hubungan dengan pihak

eksternal, di Bank Indonesia terdapat satuan kerja

yang mengelola publikasi terkait Bank Indonesia

kepada pihak eksternal. Dalam rangka tindaklanjut

UU KIP, satuan kerja dimaksud sekaligus berfungsi

sebagai PPID yang akan memberikan pelayanan

kepada Pemohon Informasi Publik yang mengajukan

permintaan Informasi publik kepada Bank Indonesia

C. Pengaturan Mengenai Rahasia Jabatan Terkait

UU KIP

UU KIP telah mengatur mengenai hak badan publik

untuk menolak memberikan informasi yang

dikecualikan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan. Salah satu informasi yang dikecualikan

adalah informasi yang berkaitan dengan rahasia

jabatan.

Pasal 6 UU KIP mengatur bahwa Badan Publik berhak

menolak memberikan informasi yang dikecualikan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan, yaitu:

a. informasi yang dapat membahayakan negara;

b. informasi yang berkaitan dengan kepentingan

perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak

sehat;

c. informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi;

d. informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan;

dan/atau

e. informasi Publik yang diminta belum dikuasai

dan didokumentasikan

Terkait dengan rahasia jabatan, penjelasan Pasal 6

huruf e mengatur bahwa yang dimaksud dengan

“rahasia jabatan” adalah rahasia yang menyangkut

tugas dalam suatu jabatan Badan Publik atau tugas

Negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan

peraturan perundang-undangan. Pengaturan

dimaksud masih sangat terbuka dan luas dan

memerlukan peraturan perundang-undangan lain

untuk menjabarkannya.

Di Indonesia, ketentuan mengenai rahasia jabatan

tersebar dalam beberapa peraturan perundang-

undangan yang mengatur mengenai badan publik.

Dalam Pasal 6 ayat (1) UU No.8 Tahun 1974 tentang

Pokok-pokok Kepegawaian, sebagaimana telah

diubah dengan UU No.43 Tahun 1999, diatur bahwa

“Setiap Pegawai Negeri wajib menyimpan rahasia

jabatan”.

Penjelasan ayat tersebut mengatur bahwa pada

umumnya yang dimaksud dengan "rahasia" adalah

rencana kegiatan atau tindakan yang akan, sedang

atau telah dilakukan yang dapat mengakibatkan

kerugian yang besar atau dapat menimbulkan bahaya,

apabila diberitahukan kepada atau diketahui oleh

orang yang tidak berhak. Rahasia jabatan adalah

rahasia mengenai atau yang ada hubungannya

dengan jabatan. Pada umumnya rahasia jabatan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

32

Page 40: Buletin Hukum Perbankan

dapat berupa dokumen tertulis, seperti surat, notulen

rapat, peta, dan lain-lain; dapat berupa rekaman

suara dan dapat pula berupa perintah atau keputusan

lisan dari seorang atasan. Ditinjau dari sudut

pentingnya, maka rahasia jabatan itu ditentukan

tingkatan klasifikasinya, seperti sangat rahasia,

konfidensil atau terbatas. Ditinjau dari sudut sifatnya,

maka ada rahasia jabatan yang sifat kerahasiaannya

terbatas pada waktu tertentu tetapi ada pula rahasia

jabatan yang sifat kerahasiaanya terus menerus.

Apakah sesuatu rencana, kegiatan atau tindakan

bersifat rahasia jabatan, begitu juga tingkatan

klasifikasi dan sampai bilamana hal itu menjadi rahasia

jabatan, harus ditentukan dengan tegas oleh

pimpinan instasi yang bersangkutan.

Pada umumnya Pegawai Negeri karena jabatan atau

pekerjaannya mengetahui sesuatu rahasia jabatan.

Bocornya sesuatu rahasia jabatan selalu menimbulkan

kerugian atau bahaya terhadap Negara. Pada

umumnya kebocoran sesuatu rahasia jabatan adalah

disebabkan oleh dua hal, yaitu sengaja dibocorkan

kepada orang lain atau karena kelalaian atau

tidak/kurang hati-hatinya pejabat yang bersangkutan.

Apakah kebocoran rahasia jabatan itu karena

kesengajaan atau karena kelalaian, akibatnya

terhadap Negara sama saja, oleh sebab itu setiap

Pegawai Negeri wajib menyimpan rahasia jabatan

dengan sebaik-baiknya.

Beberapa Undang-undang tidak secara spesifik

menggunakan istilah “rahasia jabatan”, meskipun

dalam UU tersebut mengatur mengenai kewajiban-

kewajiban untuk menjaga informasi rasasia terkait

jabatan/pekerjaannya.

Pasal 34 UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana

beberapa kali telah diubah dan terakhir dengan UU

No.16 Tahun 2000, mengatur bahwa:

(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada

pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau

diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam

rangka jabatan atau pekerjaannya untuk

menjalankan ketentuan peraturan perundang-

undangan perpajakan.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk

oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu

dalam pelaksanaan ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan. Dikecualikan

dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) dan ayat (2) adalah :

a. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak

sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang

pengadilan.

b. Pejabat dan tenaga ahli yang memberikan

keterangan kepada pihak lain yang ditetapkan

oleh Menteri Keuangan.

(3) Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan

berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan

tenaga-tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam

ayat (2) supaya memberikan keterangan,

memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang

Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuknya.

(4) Untuk kepentingan pemeriksaan di Pengadilan

dalam perkara pidana atau perdata atas

permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara

Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri

Keuangan dapat memberi izin tertulis untuk

meminta kepada pejabat sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2), bukti tertulis dan

keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.

(5) Permintaan Hakim sebagaimana dimaksud dalam

ayat (4), harus menyebutkan nama tersangka

atau nama tergugat, keterangan-keterangan

yang diminta serta kaitan antara perkara pidana

atau perdata yang bersangkutan dengan

keterangan yang diminta tersebut.

Adapun dalam UU Bank Indonesia, pengaturan

mengenai rahasia jabatan dimuat dalam Pasal 71,

yaitu Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi

Gubernur, pegawai Bank Indonesia, atau pihak lain

yang ditunjuk atau disetujui oleh Bank Indonesia

untuk melakukan tugas tertentu yang memberikan

keterangan dan data lainnya yang bersifat rahasia

yang diperoleh karena jabatannya secara melawan

hukum, diancam dengan pidana penjara sekurang-

kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga)

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

33

Page 41: Buletin Hukum Perbankan

tahun serta denda sekurang-kurangnya

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling

banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Keterangan dan data lainnya yang bersifat rahasia

ditetapkan dengan Peraturan Dewan Gubernur.

Ketentuan mengenai rahasia jabatan tidak hanya

terdapat dalam Undang-Undang mengenai badan

publik, namun juga terdapat dalam UU mengenai

profesi. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris, Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (1) huruf

e serta penjelasannya mengatur bahwa notaris

berkewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai

akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang

diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan

sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang

menentukan lain. Kewajiban untuk merahasiakan

segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan

surat-surat lainnya tersebut adalah untuk melindungi

kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta

tersebut.

Adapun dalam Pasal 19 UU No.18 Tahun 2003

tentang Advokat diatur bahwa Advokat wajib

merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau

diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya,

kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.

Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya

dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas

dan dokumennya terhadap penyitaan atau

pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan

atas komunikasi elektronik Advokat.

Dari beberapa pengaturan mengenai rahasia jabatan

tersebut terdapat beberapa persamaan dalam

pengaturan mengenai kriteria rahasia jabatan antara

lain:

1. segala hal baik tertulis maupun tidak tertulis yang

diperoleh karena jabatan atau pekerjaannya;

2. sifatnya rahasia, atau bisa dikelompokkan lagi

sesuai dengan tingkatannya, misalnya sangat

rahasia, konfidensil atau terbatas;

3. apabila hal rahasia tersebut diketahui oleh pihak

lain maka akan menimbulkan kerugian bagi

negara, masyarakat, klien dan/atau pihak lain

yang terkait; dan

4. terdapat sanksi bagi pihak yang membocorkan

rahasia jabatan dimaksud.

D. Pengaturan mengenai Informasi Rahasia Sebagai

Rahasia Jabatan di Bank Indonesia.

Pada PDG KMIR telah diatur mengenai kategorisasi

Informasi yang digolongkan menjadi Informasi Rahasia

di Bank Indonesia, yaitu:

a. Ditetapkan sebagai Informasi rahasia berdasarkan

peraturan perundang-undangan

b. Dinyatakan sebagai Informasi Rahasia secara

tertulis atau tidak tertulis oleh Dewan Gubernur,

Anggota Dewan Gubernur, atau Pemimpin Satuan

Kerja yang memiliki Informasi tersebut;

c. Dinyatakan sebagai informasi Rahasia secara

tertulis atau tidak tertulis oleh pihak lain di luar

Bank Indonesia yang menyampaikan Informasi

tersebut kepada Dewan Gubernur , Anggota

Dewan Gubernur, atau Pegawai Bank Indonesia

d. Diperlakukan sebagai Informasi Rahasia

berdasarkan sifat Informasi tersebut.

Selanjutnya dalam PDG KMIR juga telah diatur bahwa

Informasi rahasia yang dimiliki oleh Dewan Gubernur,

Anggota Dewan Gubernur, pemimpin Satuan kerja,

Pegawai, local Staff, tenaga honorer, tenaga

Outsourcing, dan Pihak Lain karena berkaitan dengan

pelaksanaan tugas atau pekerjaannya di Bank

Indonesia merupakan rahasia jabatan2.

Pada prinsipnya pengaturan mengenai kategorisasi

Informasi Rahasia tersebut telah sejalan dengan

pengaturan dalam UU KIP, yaitu dalam Pasal 6 ayat

(3) UU KIP yang mengatur mengenai hak badan

publik untuk menolak memberikan informasi yang

berkaitan dengan rahasia jabatan.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

34

2 Ketentuan ini merupakan pengaturan lebih lanjut dari Pasal 71 UU BI yang mengatur bahwa Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur, pegawai Bank Indonesia, atau pihak lain yang ditunjuk atau disetujui oleh Bank Indonesia untuk melakukan tugas tertentu yang memberikan keterangan dan data lainnya yang bersifat rahasia yang diperoleh karena jabatannya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Keterangan dan data lainnya yang bersifat rahasia ditetapkan dengan Peraturan Dewan Gubernur

Page 42: Buletin Hukum Perbankan

Namun demikian, PDG KMIR belum mengatur

mengenai kriteria/dasar klasifikasi pengkategorisasian

informasi sebagai informasi rahasia. Penetapannya

masih digantungkan pada Dewan Gubernur, Anggota

Dewan Gubernur,atau Pemimpin Satuan Kerja Pemilik

Informasi. Hal ini akan menimbulkan kemungkinan

adanya perbedaan klasifikasi terhadap informasi

jenisnya sama, namun dimiliki oleh satuan kerja yang

berbeda. Selain itu, tidak adanya pengaturan tersebut

dapat menyebabkan kegamangan/keraguan untuk

melakukan klasifikasi informasi dengan berdasarkan

pada UU Bank Indonesia dan UU KIP. Oleh karena

itu, perlu pengaturan secara jelas/tegas di Bank

Indonesia mengenai pengklasifikasian Informasi yang

termasuk dalam Rahasia jabatan dan merupakan

informasi Rahasia.

III. PENUTUP

1. Pengaturan terkait Informasi khususnya mengenai

rahasia jabatan di Bank Indonesia telah sejalan dengan

pengaturan dalam UU KIP, namun masih diperlukan

penyempurnaan dengan menambahkan pengaturan

mengenai pengklasifikasian Informasi yang termasuk

dalam Rahasia jabatan.

2. Pengelolaan Informasi sebagaimana diamanatkan

oleh UU KIP telah dilakukan di Bank Indonesia, dan

dilaksanakan oleh satuan kerja pemilik informasi,

satuan kerja yang membidangi manajemen informasi,

satuan kerja yang membidangi kearsipan, dan dan

PPID.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

35

Page 43: Buletin Hukum Perbankan

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 44: Buletin Hukum Perbankan

Buku ini merupakan disertasi Prof. Dr. Yuliandri, S.H., M.H

dan telah dipertahankan dalam ujian terbuka untuk

memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum pada Program

Pascasarjana Universitas Airlangga pada tahun 2007. Buku

ini menarik untuk disimak berkenaan hiruk-pikuknya

pembahasan RUU atau Amendemen UU di DPR.

Pada buku ini, Penulis berpendapat bahwa pembentukan

undang-undang dewasa ini belum memenuhi tujuan

pembuatan undang-undang yang memiliki karakteristik

berkelanjutan, karena tidak didukung oleh profesionalisme

sumber daya manusia yang berperan dalam pembentukan

undang-undang. Disamping itu proses pembentukannya

juga sangat bersifat elitis dan sarat kepentingan serta

diperparah lagi oleh lemahnya koordinasi antar sektor dalam

penyusunan peraturan materi muatan undang-undang.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa proses pembentukan

undang-undang, baik sebelum dan pasca amendemen UUD

1945, serta sebelum maupun setelah ditetapkannya UU

Nomor 10 Tahun 2004, pada kenyataannya masih dihadapkan

dengan berbagai problem, baik secara substansial, teknis

yuridis penyusunannya, maupun pelaksanaan dan penegakan

hukumnya.

Didalam buku dikutip dan dianalisis beberapa pendapat

ahli hukum antara lain menurut Biezeveld “Suatu undang-

undang dapat dikatakan berkualitas baik dan memiliki

karakteristik berkelanjutan, bisa dilihat dari sudut pandang

keberhasilan mencapai tujuan (doeltreffendheid),

pelaksanaan (uitvoerbaarheid) dan penegakan hukumnya

(handhaafbaarheid)”. Terkait dengan pendapat tersebut,

menurut penulis bahwa untuk menyelesaikan berbagai

problem di atas, perubahan pengaturan pembentukan

undang-undang, menjadi penting untuk dilakukan.

Perubahan pengaturan tidak hanya dilakukan terhadap UU

No.10 Tahun 2004, tetapi juga undang-undang tentang

Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD,

khususnya yang menyangkut tata cara pembentukan

undang-undang. Selain itu, juga perlu diubah peraturan

pelaksanaannya, serta ketentuan yang termuat dalam

peraturan tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan

Perwakilan Daerah.

Sesuai dengan judul buku, pembahasan lebih difokuskan

mengenai Perumusan asas-asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik, yang menurut penulis

ketentuan Pasal 5 UU No.10 Tahun 2010 sangat bersifat

limitatif dan sulit menampung perkembangan peraturan

hukum dimasa depan. Dengan demikian adanya pembatasan

asas dalam undang-undang, akan menutup perkembangan

asas, khususnya asas pembentukan aturan hukum yang

baik. Menurut pandangan Philipus M. Hajon bahwa rumusan

perihal asas dalam undang-undang seyogianya hanya

rumusan normatif saja, seperti: pembentukan aturan hukum

haruslah berdasarkan asas-asas pembentukan aturan hukum

yang baik (tanpa rician). Akan tetapi untuk ilustrasi asas-

asas tersebut dimasukan dalam penjelasan umum atau

penjelasan pasal yang sifatnya tidak limitatif.

Didalam buku juga dibahas bahwa berbagai permasalahan

hukum dapat terjadi ketika asas-asas pembentukan peraturan

perundang-undangan dimaksud ditentukan secara limitatif

sebagai norma dalam undang-undang. Permasalahan yang

dapat timbul antara lain adalah Pertama, akan menutup

perkembangan asas-asas pembentukan perundang-

undangan yang baik itu sendiri. Kedua, sukar memaknai

37

Resensi Buku

Judul : Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik : Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan

Penulis : Prof. Dr. Yuliandri, S.H., M.H.Penerbit : PT. RajaGrafindo Persada, Maret 2010 (ISBN: 978-979-769-259-9)Halaman : x + 284 halamanOleh : Rizal Wisnajaya, SE, MH.

Page 45: Buletin Hukum Perbankan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

dalam pembentukan undang-undang dan dalam menentukan

materi muatan undang-undang penerapan asas-asas

peraturan perundang-undanga yang baik. Ketiga, tidak ada

ketegasan , apakah asas-asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik bersifat alternatif, atau

bersifat kumulatif.

Mengutip pandangan Yusril Ihza Mahendra, asas-asas hukum

dan asas-asas pembuatan peraturan perundangan-undangan

yang baik, merupakan conditio sine quanon bagi berhasilnya

suatu peraturan perundang-undangan yang dapat diterima

dan berlaku dimasyarakat, karena telah mendapatkan

dukungan filosofis, yuridis dan sosiologis.

Penulis kembali mengutip pandangan Philipus M. Hajon

bahwa pada hakekatnya asas peraturan perundang-

undangan yang baik berfungsi sebagai dasar pengujian

dalam pembentukan aturan hukum, maupun sebagai dasar

pengujian terhadap aturan hukum yang berlaku. Dengan

demikian, dari segi pembentukan aturan hukum misalnya

pembentukan undang-undang, asas-asas tersebut haruslah

menjadi pedoman perancangan undang-undang.

Selain itu, dikutip pula pandangan A. Hamid S. Attamimi

bahwa asas-asas pembentukan peraturan perundang-

undangan yang baik, berfungsi untuk memberikan pedoman

dan bimbingan bagi penuangan isi peraturan ke dalam

bentuk dan susunan yang sesuai, bagi penggunaan metode

pembentukan yang tepat dan bagi mengikuti proses dan

prosedur pembentukan yang telah ditentukan, serta

bermanfaat bagi penyiapan, penyusunan, dan pembentukan

suatu peraturan perundang-undangan. Kemudian, dapat

digunakan oleh hakim untuk melakukan pengujian (toetsen),

agar peraturan-peraturan tersebut memenuhi asas-asas

dimaksud, serta sebagai dasar pengujian dalam pembentukan

aturan hukum maupun sebagai dasar pengujian terhadap

aturan hukum yang berlaku.

Sebagai penutup, dalam bukunya penulis menyarankan

bahwa mengatasi permasalahan tersebut, disarankan untuk

mengimplentasikan antara lain Pertama, Konsep “preview”

dalam proses pembentukan undang-undang, perlu

diwujudkan. Hal ini penting untuk mencegah suatu undang-

undang langsung diajukan ke Mahkamah Konstitusi, ketika

undang-undang tersebut baru saja diundangkan. Selain itu,

melalui mekanisme ini, akan dapat dihindari arti ganda

(ambiguity) dan kekaburan (obscurity) dari segi asas hukum

maupun teknik yuridis perancangan. Kedua, Penyusunan

Program Legislasi Nasional, yang dilakukan saat ini,

seyogyanya tidak dijadikan sebagai ambisi untuk membentuk

pelbagai undang-undang dalam tenggat waktu tertentu.

Perlu diperhitungkan bahwa terdapat keterbatasan waktu

dan biaya dalam proses persiapan dan pembahasan suatu

undang-undang. Selain itu, mekanisme partsipasi publik

juga harus diperhatikan dan dilembagakan. Ketiga, UU

No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan perlu direvisi, terutama berkaitan

dengan kedudukan asas-asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik, sebagai asas hukum yang

berbeda pengertiannya dari norma hukum. Penuangan

asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan

yang baik sebagai asas hukum, lebih tepat ditempatkan

pada bagian Penjelasan Umum atau penjelasan pasal, agar

tidak bersifat limitatif dan rigid (kaku), serta membuka

peluang bagi pengembangan asas-asas baru. Perlunya

menerapkan fungsi harmonisasi dalam pembentukan

undang-undang, agar tidak terdapat perbedaan persepsi

terhadap terminologi yang digunakan dalam berbagai

aturan hukum.

Akhirnya, peresensi merekomendasikan bahwa buku ini

dapat memenuhi “kehausan” akan pengetahuan bagaimana

mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan,

pihak-pihak mana saja yang terlibat dan perlu dilibatkan,

apakah pembahasan telah berjalan sesuai dengan idealisme

hukum di masyakarat. Buku ini cocok untuk bacaan para

pemerhati masalah hukum tata negara, praktisi/peneliti/ahli

hukum, pejabat negara, civitas akademika dan masyarakat

umum. Sedikit masukan dari peresensi, agar pemanfaatan

buku ini meluas sampai pada masyarakat umum, supaya

mudah dicerna dan dimengerti, hendaknya menggunakan

gaya bahasa ilmiah popular, sehingga kemanfaatan buku

ini akan lebih terasa.

38

Page 46: Buletin Hukum Perbankan

Pendahuluan

Gagasan pengujian undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar sebenarnya telah muncul dalam rapat besar

BPUPKI yang dilaksanakan tanggal 15 Juli 1945, ketika itu

anggota BPUPKI, yaitu Moh. Yamin menghendaki agar Balai

Agung (Mahkamah Agung) menjadi pula badan yang

membanding, sebagaimana dikemukakannya sebagai berikut

‘…apakah undang-undang yang dibuat oleh Dewan

Perwakilan Rakyat tidak melanggar Undang-Undang Dasar

Republik atau bertentangan dengan hukum adat yang diakui,

ataukah tidak bertentangan dengan syariah agama Islam’.

Anggota Soepomo tidak menyetujui gagasan Moh. Yamin

dengan alasan bahwa pengujian undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar hanya dikenal dalam suatu sistem

pemerintahan yang mengenal pemisahan kekuasaan secara

tegas (separation of power) sedangkan Indonesia menerapkan

distribution of power. Soepomo menambahkan lagi, bahwa

para ahli hukum Indonesia tidak mempunyai pengalaman

untuk tugas tersebut. Menurut Soepomo, pengujian undang-

undang terhadap Undang-Undang Dasar bukan wewenang

Mahkamah Agung, tetapi wewenang badan peradilan

khusus (‘pengadilan spesial’) yang nama Constitutionel-hof,

seperti Austria, Cekoslowakia dan Jerman di zaman

Weimar.Beliau menyimpulkan bahwa negara Indonesia masih

terlalu muda dan untuk mengerjakan hal tersebut belum

waktunya. Terhadap kesimpulan pendapat Soepomo tersebut,

Moh. Yamin sependapat untuk ditunda saja.

Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi

(constitutional court) baru terbentuk pada Perubahan

Ketiga UUD 1945 berdasarkan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal

24 C. Fungsi Mahkamah Konstitusi dilembagakan secara

konstitusional, atas dasar Pasal III Aturan Peralihan UUD

1945 yang menyatakan “Mahkamah Konstitusi dibentuk

selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum

dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah

Agung”. Pembentukan Mahkamah Konstitusi diwujudkan

melalui pengangkatan para hakim konstitusi, sesuai dengan

Pasal 24C UUD 1945 yang menyatakan “Pengangkatan

dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta

ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur

dengan undang-undang”. Selanjutnya, menyusul

pemberlakuan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, yang disahkan serta diundangkan pada tanggal

13 Agustus 2003 dalam Lembaran Negara RI No.98 dan

Tambahan Lembaran Negara RI No.4316. Atas dasar undang-

undang ini, maka proses rekruitmen calon hakim

dilaksanakan, dengan hasil pengangkatan 9 (sembilan)

hakim konstitusi yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden

No.147/M Tahun 2003.

Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI

Berkaitan dengan kedudukan Mahkamah Konstitusi, Pasal

24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan

kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,

dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya pada

Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah

Konstitusi adalah bagian dari kekuasaan kehakiman,

merupakan kekuasaan yang merdeka guna menegakkan

hukum dan keadilan. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi

bukan bagian dari Mahkamah Agung dalam makna perkaitan

struktur unity of jurisdiction ,seperti hal yang berlaku dalam

sistem hukum Anglo Saxon, namun mandiri dan terpisah

dari Mahkamah Agung secara duality of jurisdiction.

Kedudukan Mahkamah Konstitusi setara dengan kedudukan

Mahkamah Agung, keduanya adalah penyelenggara tertinggi

kekuasaan kehakiman.

Sesuai yang tercantum dalam Pasal 24C ayat (1), Mahkamah

Konstitusi memiliki 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu)

39

Cakrawala Hukum:Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI1

Oleh: Tim Redaksi

1 Artikel merupakan rangkuman dari materi yang disampaikan oleh Prof. Dr. HM. Laica Marzuki, S.H. yang merupakan salah satu pemberi materi, dalam acara Workshop Litigasi pada tanggal 24 s.d 25 Mei 2011 di Hotel Peninsula Jakarta.

Page 47: Buletin Hukum Perbankan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

kewajiban. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili

mulai pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk:

1. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945

2. Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara

yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

3. Memutuskan pembubaran partai politik, dan

4. Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Dalam hal kewajiban, Mahkamah Konstitusi wajib

memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden

dan/atau Wakil Presiden diduga:

1. Telah melakukan pelanggaran hukum berupa:

a. Penghianatan terhadap negara,

b. Korupsi

c. penyuapa

2. atau perbuatan tercela, dan/atau

3. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau

Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD

1945.

Selanjutnya terkait dengan pihak yang berhak mengajukan

permohonan pengujian undang-undang adalah:

1. Orang-per orang

2. Masyarakat adat

3. Badan Hukum Publik/Privat/Lembaga Negara

Syarat pengajuan harus ada unsur “diirugikan” dengan

berlakunya undang-undang, hal ini sama dengan hukum

acara perdata bahwa pada pengajuan gugatan harus ada

“kepentingan”.

Mahkamah Konstitusi dari sisi legislative function merupakan

negative legislation, derajat keputusan yang ditetapkan

sama dengan undang-undang dan mengikat secara umum

(Erge Omnes).

Penutup

Mahkamah Konstitusi , dari mulai berdiri sampai dengan

tanggal 7 April 2008 menerima 141 perkara pengujian

undang-undang (telah diputus 132 perkara), menerima 10

perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara dan

semuanya telah diputus, 252 perkara perselisihan hasil

pemilihan umum tahun 2004 yang diajukan oleh 23 partai

politik, dan 21 perkara yang diajukan oleh calon anggota

DPD. Hal tersebut mencerminkan tumpuan harapan para

justisiabel terhadap Mahkamah Kontitusi. Cukup banyak

yang mendukung putusan namun ada pula yang menyatakan

kekecewaannya. Ini adalah hal yang lumrah. Ketika

pembacaan putusan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk

umum maka putusan peradilan tersebut menjadi milik dan

bagian publik. Masyarakat berhak untuk mengungkapkan

kekecewaannya, sebagaimana masyarakat mendukung atas

suatu putusan Mahkamah Konstitusi. Walaupun masyarakat

terpecah antara pro dan kontra atas substansi hukum yang

dipermasalahkan namun masyarakat harus menerima dan

menghormati suatu putusan peradilan manakala Mahkamah

Kontitusi telah memutuskan. Sesuai kewenangannya,

Mahkamah Konstitusi adalah pengawal konstitusi (the

guardian of constitution) dan sekaligus penafsir resmi the

supreme law of the land.

40

Page 48: Buletin Hukum Perbankan

41

Daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI)Januari - Mei 2011

13/14/PBI/2011

13/13/PBI/2011

13/12/PBI/2011

13/11/PBI/2011

13/10/PBI/2011

13/9/PBI/2011

13/8/PBI/2011

13/7/PBI/2011

13/6/PBI/2011

13/5/PBI/2011

13/4/PBI/2011

13/3/PBI/2011

13/2/PBI/2011

13/1/PBI/2011

Tanggal Satker PerihalPeraturan

24/03/2011

24/03/2011

17/03/2011

03/03/2011

09/02/2011

08/02/2011

04/02/2011

28/01/2011

24/01/2011

24/01/2011

21/01/2011

17/01/2011

12/01/2011

05/01/2011

DPbS

DPbS

DSM

DKBU

DPNP/DKM

DPbS

DPM/UKMI/DInt/DSM/DPNP

DInt

DPbS

DPbS

DPM

DPNP

DPNP

DPNP

Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah

Perubahan atas PBI No.5/26/PBI/2003 tentang Laporan Bulanan Bank Umum Syariah

Pencabutan atas PBI Nomor 3/2/PBI/2001 tantang Pemberian Kredit Usaha Kecil dan SE BI Nomor 3/9/BKR perihal Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Kredit Usaha Kecil

Perubahan atas PBI No.12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing

Perubahan atas PBI No.10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah

Laporan Harian Bank Umum

Perubahan Kedua atas PBI No.7/1/PBI/2005 tanggal 10 Januari 2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank

Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Dalam Status Pengawasan Khusus

Batas Maksimum Penyaluran Dana Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

Pencabutan Peraturan Bank Indonesia No.10/22/PBI/2008 tentang Pemenuhan Kebutuhan Valuta Asing Korporasi Domestik melalui Bank

Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank

Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank Umum

Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum

Page 49: Buletin Hukum Perbankan

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 50: Buletin Hukum Perbankan

Tanggal Satker PerihalPeraturan

13/17/DPbS

13/18/DPbS

13/16/DPbS

13/15/DPBS

13/14/DKBU

13/13/DPM

13/12/DPU

13/11/DPbS

13/10/DPbS

13/9/DPU

13/8/DPNP

13/7/DASP

13/6/DPNP

13/5/DPNP

13/4/DPM

13/3/DPM

13/2/DPbS

13/1/DInt

30/05/2011

30/05/2011

30/05/2011

30/05/2011

12/05/2011

09/05/2011

29/04/2011

13/04/2011

13/04/2011

05/04/2011

28/03/2011

25/02/2011

18/02/2011

08/02/2011

04/02/2011

04/02/2011

31/01/2011

20/01/2011

DPbS

DPbS

DPbS

DPBS

DKBU

DPM

DPU

DPbS

DPbS

DPU

DPNP

DASP

DPNP

DPNP

DPM

DPM

DPbS

DInt

Batas Maksimum Penyaluran Dana Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/34/DPbS tanggal 22 Oktober 2008 Tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah

Perubahan atas SE Nomor 10/35/DPbS tanggal 22 Oktober 2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

Laporan Bulanan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/18/DPM tanggal 7 Juli 2010 perihal Operasi Pasar Terbuka.

Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/8/DPU tanggal 28 Februari 2008 perihal Penukaran Uang Rupiah

Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah

Penyetoran dan Penarikan Uang Rupiah oleh Bank Umum di Bank Indonesia

Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and proper test)

Self Regulatory Organization di Bidang Sistem Pembayaran

Pedoman Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko untuk Risiko Kredit dengan Menggunakan Pendekatan Standar

Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit

Biaya Laporan Harian Bank Umum

Laporan Harian Bank Umum

Tindak lanjut Penanganan terhadap Bank Pembiayaan Syariah dalam Status Pengawasan Khusus

Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri

43

Daftar Surat Edaran Ekstern (SE) Bank IndonesiaJanuari - Mei 2011

Page 51: Buletin Hukum Perbankan

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 52: Buletin Hukum Perbankan

45

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Januari - Mei 2011

RINGKASAN PBINOMOR PBI

Latar Belakang Pengaturan:

a. Perubahan kompleksitas usaha dan profil risiko, penerapan Pengawasan secara konsolidasi,

serta perubahan pendekatan penilaian kondisi Bank yang diterapkan secara internasional

mempengaruhi pendekatan penilaian Tingkat Kesehatan Bank.

b. Dalam rangka meningkatkan efektivitas penilaian Tingkat Kesehatan Bank untuk menghadapi

perubahan sebagaimana dimaksud pada huruf a diperlukan penyempurnaan penilaian

Tingkat Kesehatan Bank dengan pendekatan berdasarkan risiko.

Substansi Pengaturan:

1. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI ini adalah sebagai berikut:

a. Bank wajib melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank baik secara individual maupun

konsolidasi dengan menggunakan pendekatan risiko.

b. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara konsolidasi dilakukan bagi Bank yang

melakukan pengendalian terhadap Perusahaan Anak.

c. Periode penilaian dilakukan paling kurang setiap semester (untuk posisi akhir bulan

Juni dan Desember) serta dilakukan pengkinian sewaktu-waktu apabila diperlukan.

d. Faktor-faktor penilaian tingkat Kesehatan Bank terdiri dari: Profil risiko (risk profile),

Good Corporate Governance, Rentabilitas (earnings), dan Permodalan (capital).

e. Setiap faktor ditetapkan peringkatnya berdasarkan kerangka analisis yang komprehensif

dan terstruktur.

f. Peringkat komposit ditetapkan berdasarkan analisis secara komprehensif dan terstruktur

terhadap peringkat setiap faktor dengan memperhatikan materialitas dan signifikansi

masing-masing faktor, serta mempertimbangkan kemampuan Bank dalam menghadapi

perubahan kondisi eksternal yang signifikan.

g. Kategori Peringkat Komposit adalah Peringkat Komposit 1 sampai dengan Peringkat

Komposit 5. Urutan Peringkat Komposit yang lebih kecil mencerminkan kondisi Bank

yang lebih sehat.

h. Dalam melakukan penilaian tingkat kesehatan secara konsolidasi, mekanisme penetapan

peringkat setiap faktor penilaian dan penetapan Peringkat Komposit serta pengkategorian

peringkat setiap faktor penilaian dan peringkat komposit wajib mengacu pada

mekanisme penetapan dan pengkategorian peringkat Bank secara individual.

i. Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham wajib menyampaikan action

plan kepada Bank Indonesia dalam hal berdasarkan hasil penilaian Tingkat Kesehatan

Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan/atau self assesment oleh Bank terdapat:

PBI No.13/1/PBI/2011

Page 53: Buletin Hukum Perbankan

RINGKASAN PBINOMOR PBI

1. Faktor Tingkat Kesehatan Bank yang ditetapkan dengan peringkat 4 atau peringkat

5;

2. Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan Bank yang ditetapkan dengan peringkat

4 atau peringkat 5;

3. Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan Bank yang ditetapkan dengan peringkat

3, namun terdapat permasalahan signifikan yang perlu diatasi agar tidak

mengganggu kelangsungan usaha Bank.

j. Waktu penyampaian self assesment Tingkat Kesehatan Bank:

1. Untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara individual, paling lambat pada

tanggal 31 Juli untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Juni

dan tanggal 31 Januari untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan

Desember; dan

2. Untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara konsolidasi, paling lambat pada

tanggal 15 Agustus untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan

Juni dan tanggal 15 Februari untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir

bulan Desember

k. Waktu penyampaian action plan Tingkat Kesehatan Bank:

a. Sesuai batas waktu tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk action

plan yang merupakan tindak lanjut dari hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank

oleh Bank Indonesia;

b. Paling lambat tanggal 15 Agustus untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi

akhir bulan Juni dan tanggal 15 Februari untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank

posisi akhir bulan Desember, untuk action plan yang merupakan tindak lanjut dari

self assesment Bank.

Laporan pelaksanaan action plan disampaikan selambat-lambatnya 10 hari kerja setelah target

waktu penyelesaian action plan dan/atau 10 hari kerja setelah akhir bulan yang dilakukan secara

bulanan, apabila terdapat permasalahan signifikan yang akan mengganggu penyelesaian action

plan secara tepat waktu.

Dalam rangka persiapan penerapan secara efektif penilaian Tingkat Kesehatan Bank, Bank

wajib melaksanakan uji coba penilaian Tingkat Kesehatan Bank sejak tanggal 1 Juli 2011 untuk

posisi penilaian Tingkat Kesehatan Bank akhir bulan Juni 2011.

Dalam rangka pengawasan Bank, apabila terdapat perbedaan hasil penilaian Tingkat Kesehatan

Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan hasil self assesment yang dilakukan oleh

Bank, maka yang berlaku adalah hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang dilakukan oleh

Bank Indonesia.

Peraturan Bank Indonesia ini berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Januari 2012 yaitu untuk

penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Desember 2011 dan pada tanggal berlakunya

sekaligus mencabut PBI No. 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank

Umum.

46

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 54: Buletin Hukum Perbankan

NOMOR PBI RINGKASAN PBI

1. Fungsi Kepatuhan adalah serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang bersifat ex-

ante (preventif) untuk memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur,

serta kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank

Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk sesuai dengan

Prinsip Syariah (bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah), serta memastikan

kepatuhan Bank terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank kepada Bank Indonesia dan/atau

otoritas pengawas lain yang berwenang.

2. Pokok pokok pengaturan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan

Pada Bank Umum adalah:

• Fungsi kepatuhan merupakan bagian dari pelaksanaan framework manajemen risiko.

Fungsi kepatuhan melakukan pengelolaan risiko kepatuhan melalui koordinasi dengan

satker terkait.

• Pelaksanaan fungsi kepatuhan menekankan pada peran aktif dari seluruh elemen

organisasi kepatuhan yang terdiri dari Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan,

Kepala unit kepatuhan dan satuan kerja kepatuhan untuk mengelola risiko kepatuhan.

• Menekankan pada terwujudnya budaya kepatuhan dalam rangka mengelola risiko

kepatuhan.

• Kepatuhan merupakan tanggung jawab personil seluruh bagian dari bank dengan

tone from the top.

• Status independensi yang disandang dari elemen organisasi fungsi kepatuhan

dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan tugas dan menghindari

konflik kepentingan (conflict of interest).

3. Dengan berlakunya PBI ini maka Pasal 2 s.d. Pasal 7, Pasal 12, Pasal 14, Pasal 16 ayat (1),

Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 dari PBI No.1/6/PBI/1999 tanggal 20 September 1999

tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance Director) dan Penerapan Standar

Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum dinyatakan tidak berlaku.

Latar Belakang Pengaturan:

1. Dalam rangka mempercepat penyelesaian permasalahan bank, menjaga tingkat kepercayaan

masyarakat serta mendukung terciptanya Stabilitas Sistem Keuangan, Bank Indonesia

memberikan batasan waktu untuk setiap status pengawasan bank dan menuntut upaya

yang sungguh-sungguh dari Pengurus dan Pemegang Saham Pengendali (PSP) untuk

menyelesaikan permasalahan bank karena terdapat konsekuensi peningkatan Status

Pengawasan Bank apabila batas waktu tidak dipenuhi atau kondisi bank semakin memburuk.

2. Bank Dalam Pengawasan Intensif (BDPI) wajib menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya

paling lama 1 (satu) tahun. Perpanjangan waktu BDPI (paling lama 1 (satu) tahun) hanya

dimungkinkan untuk penyelesaian Non-performing Loan (NPL) yang bersifat kompleks.

Dalam hal permasalahan tidak dapat diselesaikan dan jangka waktu terlampaui maka bank

ditingkatkan status pengawasannya menjadi pengawasan khusus.

47

PBI No.13/2/PBI/2011

PBI No.13/3/PBI/2011

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 55: Buletin Hukum Perbankan

RINGKASAN PBINOMOR PBI

3. PBI ini mempertegas kembali kriteria status pengawasan intensif yang didasarkan atas

kriteria yang terukur yaitu keuangan (permodalan, likuiditas dan NPL) serta aspek lainnya

berupa Tingkat Kesehatan (TKS) dan profil risiko.

4. Bank Dalam Pengawasan Khusus (BDPK/SSU) wajib menyelesaikan permasalahan yang

dihadapi paling lama 3 (tiga) bulan. Bank Indonesia berwenang membekukan kegiatan

usaha tertentu (paling lama 1 (satu) bulan) dalam periode BDPK apabila kondisinya semakin

memburuk dan/atau terjadi pelanggaran ketentuan perbankan yang dilakukan oleh Direksi,

Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham pengendali.

5. Bank dimungkinkan keluar dari status BDPK, apabila terdapat setoran modal untuk memenuhi

jumlah modal yang ditetapkan Bank Indonesia.

6. Bank Indonesia berwenang menetapkan Tindakan Pengawasan (Supervisory Action) yang

lebih keras apabila Pengurus dan/atau PSP dinilai Bank Indonesia tidak sungguh-sungguh

menyelesaikan permasalahan bank.

7. Penyempurnaan ketentuan tersebut menyiratkan kepada Bank bahwa penyelesaian

permasalahan bank harus dilakukan secara maksimal pada saaat Bank Dalam Pengawasan

Intensif mengingat waktu yang sangat terbatas untuk Bank Dalam Pengawasan Khusus

(BDPK/SSU).

I. Latar Belakang dan Tujuan

Pada bulan Oktober 2008, Bank Indonesia telah mengeluarkan kebijakan pemenuhan

kebutuhan valuta asing korporasi domestik melalui Bank dalam rangka menghadapi gejolak

ekonomi yang berpengaruh terhadap ketersediaan valuta asing di pasar domestik. Kebijakan

ini merupakan temporary measure yang bertujuan untuk memberikan kepastian atas

tersedianya likuiditas valuta asing di pasar domestik kepada masyarakat, khususnya korporasi

domestik.

Dalam perkembangannya, perekonomian dan kondisi pasar valuta asing domestik telah

mengalami peningkatan yang berpengaruh pula pada peningkatan kemampuan korporasi

domestik untuk memenuhi kebutuhan valuta asing melalui mekanisme yang berlaku umum

di pasar domestik. Untuk itu, perlu dilakukan pencabutan ketentuan mengenai pemenuhan

kebutuhan valuta asing korporasi domestik melalui Bank.

II. Materi Pengaturan

Peraturan Bank Indonesia ini mencabut Peraturan Bank Indonesia No.10/22/PBI/2008

tentang Pemenuhan Kebutuhan Valuta Asing Korporasi Domestik Melalui Bank dan

selanjutnya Peraturan Bank Indonesia No.10/22/PBI/2008 dinyatakan tidak berlaku.

48

PBI No.13/4/PBI/2011

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 56: Buletin Hukum Perbankan

RINGKASAN PBINOMOR PBI

Latar Belakang

Bahwa penerapan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran dana perlu dilakukan, antara lain

dengan penyebaran portofolio penyaluran dana yang diberikan agar risiko penyaluran dana

tersebut tidak terpusat pada nasabah penerima fasilitas atau sekelompok nasabah penerima

fasilitas tertentu. Sejalan dengan hal tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Surat

Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Penyaluran Kredit Bank Perkreditan

Rakyat No.31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998.

Materi Pengaturan

1. Batas Maksimum Penyaluran Dana (BMPD) adalah persentase maksimum realisasi penyaluran

dana terhadap modal Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) yang mencakup pembiayaan

dan penempatan dana BPRS di bank lain.

2. Pelanggaran BMPD yaitu selisih lebih persentase penyaluran dana pada saat direalisasikan

terhadap modal BPRS dengan BMPD yang diperkenankan.

3. Pelampauan BMPD yaitu selisih lebih antara persentase penyaluran dana yang telah

direalisasikan terhadap modal BPRS pada saat tanggal laporan dengan BMPD yang

diperkenankan, dan penyaluran dana tersebut bukan merupakan pelanggaran BMPD.

4. BPRS wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah dalam membuat akad

pembiayaan antara BPRS dengan nasabah penerima fasilitas.

5. BPRS dilarang membuat akad pembiayaan apabila akad pembiayaan tersebut mewajibkan

BPRS untuk menyalurkan dana yang akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran BMPD.

6. BPRS dilarang memberikan penyaluran dana yang mengakibatkan pelanggaran BMPD.

7. BMPD untuk pembiayaan dihitung berdasarkan baki debet pembiayaan sedangkan BMPD

untuk penempatan dana antar bank pada BPRS lain dihitung berdasarkan nominal

penempatan dana antar bank.

8. Penyaluran dana kepada seluruh pihak terkait ditetapkan paling tinggi 10% dari modal BPRS.

9. Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan kepada pihak terkait wajib memperoleh persetujuan

dari 1 (satu) orang anggota Direksi dan 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris BPRS.

10. Penyaluran dana dalam bentuk penempatan dana antar bank kepada BPRS lain yang

merupakan pihak tidak terkait dan/atau dalam bentuk pembiayaan kepada 1 (satu) nasabah

penerima fasilitas yang merupakan pihak tidak terkait ditetapkan paling tinggi 20% (dua

puluh persen) dari modal BPRS.

49

PBI No.13/5/PBI/2011

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 57: Buletin Hukum Perbankan

NOMOR PBI RINGKASAN PBI

11. Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan kepada 1 (satu) kelompok nasabah penerima

fasilitas yang merupakan pihak tidak terkait ditetapkan paling tinggi 30% dari modal BPRS.

12. BPRS wajib menyusun dan menyampaikan rencana tindak (action plan) untuk penyelesaian

pelanggaran BMPD dan/ atau pelampauan BMPD.

13. Action plan tersebut wajib memuat paling kurang langkah-langkah untuk penyelesaian

pelanggaran BMPD dan/atau pelampauan BMPD serta target waktu penyelesaian.

14. BPRS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan untuk penyelesaian pelanggaran

BMPD dan/atau pelampauan BMPD disertai dengan bukti pendukungnya.

15. BPRS wajib menyusun dan menyampaikan laporan BMPD kepada Bank Indonesia secara

on-line setiap bulan secara benar, lengkap dan tepat waktu paling lama tanggal 14 pada

bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan.

16. Laporan BMPD mencakup:

a. Penyaluran Dana kepada pihak tidak terkait yang melanggar dan melampaui BMPD;

dan

b. Seluruh penyaluran dana kepada pihak terkait.

17. BPRS wajib melaporkan struktur kelompok usaha yang terkait dengan BPRS termasuk badan

hukum pemilik BPRS sampai dengan ultimate shareholders kepada Bank Indonesia, 1 tahun

sekali untuk posisi akhir tahun dan setiap terdapat rencana perubahan struktur kelompok

usaha yang menyebabkan perubahan pengendali BPRS.

18. BPRS wajib mengungkapkan ultimate shareholders BPRS dalam laporan keuangan tahunan

dan laporan keuangan publikasi BPRS. Kewajiban ini merupakan tambahan atas kewajiban

pengungkapan informasi mengenai pemegang saham BPRS.

19. BPRS yang tidak memenuhi Peraturan Bank Indonesia ini akan dikenakan sanksi sebagaimana

diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.

20. Ketentuan Peralihan:

a. Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank

Indonesia No.31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Batas Maksimum Pemberian

Kredit Bank Perkreditan Rakyat tetap berlaku dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah

berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.

b. Terhadap pelanggaran atas kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada huruf

19.a tetap berlaku ketentuan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan

Direksi Bank Indonesia No.31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Batas Maksimum

Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat.

50

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 58: Buletin Hukum Perbankan

RINGKASAN PBINOMOR PBI

21. Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan Direksi Bank

Indonesia No.31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Batas Maksimum Penyaluran

Kredit Bank Perkreditan Rakyat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

I. Dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri Bank Pembiayaan

Rakyat Syariah (BPRS), diperlukan upaya penyehatan terhadap BPRS yang bersifat sistematis

dan berkelanjutan guna mendorong tumbuhnya industri BPRS yang sehat. Agar upaya

penyehatan terhadap BPRS yang mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan

usahanya dapat dilakukan secara optimal, maka diperlukan upaya tindak lanjut yang sesuai

dengan kemampuan BPRS, komitmen pemilik, dan alternatif peluang yang dimiliki.

II. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI ini antara lain meliputi:

1. Bank Indonesia menetapkan BPRS dalam status pengawasan khusus apabila memenuhi

1 (satu) atau lebih kriteria sebagai berikut:

a. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) kurang dari 4% (empat

persen);

b. Cash Ratio (CR) rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga persen).

2. Dalam rangka tindak lanjut pengawasan khusus, Bank Indonesia berwenang melakukan

tindakan antara lain:

a. membatasi kewenangan rapat umum pemegang saham, dewan komisaris, direksi,

dan pemegang saham;

b. meminta pemegang saham menambah modal;

c. meminta pemegang saham mengganti anggota dewan komisaris dan/atau direksi

BPRS;

d. meminta BPRS menghapusbukukan penyaluran dana yang macet dan memperhitungkan

kerugian BPRS dengan modalnya;

e. meminta BPRS melakukan penggabungan atau peleburan dengan BPRS lain;

f. meminta BPRS dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh

kewajibannya;

g. meminta BPRS menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan BPRS

kepada pihak lain; dan/atau

h. meminta BPRS menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban BPRS

kepada pihak lain; dan/atau

i. menghentikan kegiatan usaha tertentu dalam waktu yang ditetapkan oleh Bank

Indonesia.

3. BPRS yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus wajib:

a. menyampaikan rencana tindak (action plan) penyehatan BPRS yang realistis sesuai

dengan permasalahan yang dihadapi paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak BPRS

ditetapkan dalam status pengawasan khusus yang ditandatangani oleh Direksi, Dewan

Komisaris, dan Pemegang Saham Pengendali BPRS;

51

PBI No.13/6/PBI/2011

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 59: Buletin Hukum Perbankan

RINGKASAN PBINOMOR PBI

b. melaksanakan action plan sebagaimana dimaksud pada huruf a;

c. menyampaikan laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud pada huruf

b paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan action plan; dan

d. melakukan penyesuaian action plan yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada

huruf a atas permintaan Bank Indonesia.

4. Dalam rangka pengawasan khusus, Bank Indonesia dapat menempatkan petugas Bank

Indonesia untuk melakukan pemantauan secara langsung terhadap kegiatan operasional

BPRS dan tidak mengurangi tanggung jawab Dewan Komisaris, Direksi dan/atau pemegang

saham BPRS terhadap kegiatan operasional dan kewajiban BPRS.

5. Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS mengenai BPRS yang ditetapkan dalam status

pengawasan khusus disertai dengan keterangan mengenai kondisi BPRS yang bersangkutan.

6. BPRS dalam status pengawasan khusus yang memiliki rasio KPMM sama dengan atau

kurang dari 0% (nol persen) dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir sama

dengan atau kurang dari 1% (satu persen), dilarang melakukan kegiatan penghimpunan

dan penyaluran dana yang berlaku sejak tanggal penetapan larangan sampai dengan BPRS

keluar dari status pengawasan khusus.

7. Jangka waktu pengawasan khusus ditetapkan paling lama 180 (seratus delapan puluh)

hari sejak tanggal penetapan BPRS dalam status pengawasan khusus dari Bank Indonesia.

8. Penambahan modal yang dilakukan oleh BPRS dalam status pengawasan khusus wajib

ditempatkan dalam escrow account di Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah dan

penambahan modal tersebut harus sesuai dengan ketentuan permodalan yang berlaku.

9. Jangka waktu status pengawasan khusus dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka

waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berakhirnya jangka waktu status

pengawasan khusus, dengan syarat BPRS telah meningkatkan:

a. rasio KPMM paling kurang sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari selisih untuk

mencapai rasio KPMM 4% (empat persen) dan rasio KPMM lebih dari 0% (nol persen);

dan/atau

b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar 75% (tujuh puluh

lima persen) dari selisih untuk mencapai CR 3% (tiga persen) dan CR lebih dari 1%

(satu persen).

10. Bagi BPRS yang tidak memenuhi angka 9 tersebut di atas dimana sumber dana setoran

modalnya berasal dari APBD, dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu

status pengawasan khusus disertai dengan komitmen pemegang saham untuk menambah

setoran modal sehingga meningkatkan rasio KPMM menjadi paling kurang 4% (empat

persen) dan CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang 3% (tiga persen).

52

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 60: Buletin Hukum Perbankan

RINGKASAN PBINOMOR PBI

11. Bank Indonesia menetapkan BPRS dikeluarkan dari status pengawasan khusus apabila

memenuhi kriteria Rasio KPMM paling kurang sebesar 4% (empat persen) dan CR rata-

rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar 3% (tiga persen).

12. Selama jangka waktu status pengawasan khusus, Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat

memberitahukan kepada LPS dan meminta LPS untuk memberikan keputusan menyelamatkan

atau tidak menyelamatkan BPRS, dalam hal BPRS yang ditetapkan dalam status pengawasan

khusus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. BPRS memiliki rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol persen) dan/atau

CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir sama dengan atau kurang dari 1% (satu

persen); dan

b. berdasarkan penilaian Bank Indonesia, BPRS tidak mampu meningkatkan rasio KPMM

menjadi paling kurang sebesar 4% (empat persen) dan CR rata-rata selama 6 (enam)

bulan terakhir paling kurang sebesar 3% (tiga persen).

13. Pada saat berakhirnya jangka waktu pengawasan khusus, Bank Indonesia memberitahukan

kepada LPS dan meminta LPS untuk memberikan keputusan menyelamatkan atau tidak

menyelamatkan BPRS yang memenuhi kriteria yaitu rasio KPMM kurang dari 4% (empat

persen); dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga persen).

14. Dalam hal LPS memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap BPRS, Bank

Indonesia mencabut izin usaha BPRS yang bersangkutan setelah memperoleh pemberitahuan

dari LPS serta Bank Indonesia memberitahukan keputusan pencabutan izin usaha kepada

BPRS yang bersangkutan dan LPS.

15. Sanksi:

a. Anggota Dewan Komisaris, Direksi, dan/atau pegawai BPRS dalam status pengawasan

khusus yang melanggar larangan dapat dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 63 ayat (2) huruf b Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

b. BPRS dalam status pengawasan khusus yang melanggar ketentuan dapat dikenakan

sanksi administratif sesuai dengan Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang No.21 Tahun

2008 tentang Perbankan Syariah, berupa:

1. teguran tertulis; dan/atau

2. pencantuman anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai dan pemegang saham

dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak memenuhi persyaratan

(tidak lulus) dalam uji kemampuan dan kepatutan BPRS sebagaimana diatur dalam

ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai uji kemampuan dan kepatutan

Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.

16. Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka:

a. Peraturan Bank Indonesia No.7/34/PBI/2005 tentang Tindak Lanjut Penanganan Terhadap

Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan Khusus dicabut dan dinyatakan

tidak berlaku.

53

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 61: Buletin Hukum Perbankan

54

RINGKASAN PBINOMOR PBI

b. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.7/34/PBI/2005 tentang Tindak

Lanjut Penanganan Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan

Khusus, dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan

dalam Peraturan Bank Indonesia ini.

I. Latar Belakang Pengaturan

1. Kebijakan penerapan kembali pembatasan posisi saldo harian pinjaman luar negeri

jangka pendek bank merupakan normalisasi dari kebijakan yang berlaku sebelumnya.

Ketentuan batasan posisi harian pinjaman luar negeri jangka pendek bank sebesar

30% (tiga puluh perseratus) dari modal dihapus pada 14 Oktober 2008 sebagai respon

kebijakan untuk mengantisipasi dampak krisis global yang dipicu oleh kebangkrutan

Lehman Brother. Pada saat itu terjadi outflows cukup besar yang menyebabkan likuiditas

valas domestik dan perbankan menjadi ketat.

2. Namun seiring dengan peningkatan inflow yang terus terjadi hingga saat ini, kondisi

likuiditas valas perbankan meningkat tinggi. Salah satu sumber peningkatan likuiditas

valas perbankan adalah pinjaman luar negeri jangka pendek, termasuk rekening giro

(vostro) dan instrumen keuangan luar negeri jangka pendek lainnya.

3. Oleh karena itu, kebijakan pinjaman luar negeri jangka pendek bank perlu kembali

dinormalisasi atau dibatasi kembali sebagai upaya: (1) penerapan prinsip kehati-hatian

(macro prudential) dalam mengelola pinjaman luar negeri jangka pendek bank, (2)

mendorong pinjaman luar negeri bank ke arah jangka panjang, dan (3) mendukung

pencapaian stabilitas makro dan sistem keuangan.

II. Pokok-pokok Pengaturan

1. Bank wajib membatasi posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek paling

tinggi 30% (tiga puluh perseratus) dari modal bank.

2. Hal-hal yang dikecualikan dari batasan perhitungan maksimal adalah:

a. Pinjaman luar negeri jangka pendek dari pemegang saham pengendali dalam

rangka

mengatasi kesulitan likuiditas dan penyaluran kredit ke sektor riil;

b. Dana usaha kantor cabang bank asing di Indonesia sampai dengan paling tinggi

100% (seratus perseratus) dari dana usaha yang dinyatakan (declared dana

usaha);

c. Giro, tabungan dan deposito milik perwakilan negara asing serta lembaga

internasional, termasuk anggota stafnya;

d. Giro milik bukan penduduk yang digunakan untuk kegiatan investasi di Indonesia.

Kegiatan investasi berupa penyertaan langsung, pembelian saham/obligasi

korporasi Indonesia dan Surat Berharga Negara;

PBI No.13/7/PBI/2011

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 62: Buletin Hukum Perbankan

RINGKASAN PBINOMOR PBI

e. Kewajiban bank dalam rangka perdagangan internasional (sebagaimana tertuang

dalam PBI No.7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank yang diterbitkan

pada tanggal 10 Januari 2005).

3. Pengecualian tersebut wajib didukung dengan bukti-bukti yang memadai dan

ditatausahakan oleh bank.

4. Bank yang melanggar ketentuan ini akan dikenakan sanksi kewajiban membayar

sebesar 1% (satu per seratus) pertahun dari jumlah kelebihan per hari.

5. Apabila Bank memiliki posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek melebihi

30%, Bank tidak dapat menambah saldo tersebut dan harus menurunkan posisi saldo

harian pinjaman luar negeri jangka pendek menjadi paling tinggi 30% paling lama 3

(tiga) bulan terhitung sejak tanggal mulai berlakunya PBI Perubahan ini.

1. Laporan Harian Bank Umum (LHBU) adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh

Bank Pelapor secara harian kepada Bank Indonesia, yang meliputi data transaksional dan

data non transaksional.

2. Data transaksional:

• Adalah data yang dihasilkan dari transaksi Bank Pelapor dengan pihak lain sebagai

counterparty. Termasuk di dalam data ini adalah data Pasar Uang Antar Bank (PUAB),

data pasar Uang Antar Bank berdasarkan prinsip syariah (PUAS), data perdagangan

surat berharga di pasar sekunder, dan transaksi valuta asing.

• Data transaksional wajib disampaikan segera setelah terjadinya transaksi secara real

time setiap Hari Kerja pada tanggal laporan.

3. Data non transaksional:

• Adalah data yang bukan dihasilkan dari transaksi Bank Pelapor dengan pihak lain,

dan/atau merupakan data posisi atas transaksi Bank Pelapor. Termasuk di dalam data

ini adalah posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan

pihak asing, posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan

pihak asing, posisi rekapitulasi transaksi derivatif, posisi devisa neto, pos-pos tertentu

neraca, proyeksi arus kas, tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah,

suku bunga dasar kredit, suku bunga kredit, suku bunga deposito berjangka, diskonto

sertifikat deposito, dan suku bunga tabungan, suku bunga penawaran, posisi saldo

harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank, dan posisi harian dana usaha kantor

cabang bank asing.

• Data non transaksional wajib disampaikan pada setiap Hari Kerja pada tanggal laporan.

4. Bank Pelapor menyampaikan LHBU secara on-line. Dalam hal terdapat gangguan teknis

pada Bank Pelapor atau pada Bank Indonesia, maka LHBU disampaikan secara off-line.

55

PBI No.13/8/PBI/2011

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 63: Buletin Hukum Perbankan

RINGKASAN PBINOMOR PBI

5. Hasil olahan LHBU berupa data agregat dan data individual Bank Pelapor.

6. Termasuk hasil olahan LHBU adalah Data JIBOR, yaitu suku bunga indikasi penawaran

transaksi PUAB di Indonesia yang berasal dari data suku bunga penawaran Bank-Bank

Pelapor yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai kontributor JIBOR.

7. Bank Indonesia menyediakan hasil olahan LHBU kepada Bank Pelapor dan kepada Pelanggan

LHBU.

8. Untuk menjadi Pelanggan LHBU, calon Pelanggan LHBU mengajukan permohonan secara

tertulis kepada Bank Indonesia, dan dalam hal disetujui menandatangani Perjanjian

Penggunaan LHBU.

9. Bank Indonesia menyediakan hak akses terhadap sistem LHBU kepada Bank Pelapor dan

Pelanggan LHBU. Hak akses dalam jumlah tertentu kepada bank Pelapor tidak dikenakan

biaya, sedangkan hak akses dan informasi bagi pelanggan LHBU dikenakan biaya.

10. Pelanggaran terhadap pelaporan LHBU dikenai sanksi berupa sanksi kewajiban membayar

dan/atau sanksi teguran tertulis.

11. Dengan diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka PBI No.9/2/PBI/2007 tentang

Laporan Harian Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

1. Dalam rangka menjaga kelangsungan usaha dan kualitas pembiayaan serta meminimalisasi

risiko kerugian, Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah berkewajiban menjaga kualitas

pembiayaannya, dimana salah satu upayanya dapat dengan melakukan Restrukturisasi

Pembiayaan atas nasabah yang memiliki prospek usaha dan/atau kemampuan membayar.

2. Ketentuan ini mengatur hal-hal berupa:

a. Kualitas pembiayaan yang dapat dilakukan restrukturisasi.

b. Intensitas berapa kali restrukturisasi pembiayaan dapat dilakukan dan penetapan

kualitas pembiayaan apabila melebih jumlah maksimal pelaksanaan restrukturisasi

pembiayaan sesuai ketentuan.

c. Bank wajib menetapkan jumlah maksimal pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan

untuk pembiayaan dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet.

d. Laporan restrukturisasi pembiayaan bagi BPRS.

3. Pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan, hendaknya menganut prinsip universal yang

berlaku di perbankan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan prinsip

syariah.

4. Restrukturisasi Pembiayaan dapat dilakukan untuk Pembiayaan dengan kualitas Lancar,

Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet.

56

PBI No.13/9/PBI/2011

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 64: Buletin Hukum Perbankan

RINGKASAN PBINOMOR PBI

5. Restrukturisasi Pembiayaan dengan kualitas Lancar dan Dalam Perhatian Khusus dapat

dilakukan paling banyak 1 (satu) kali, dan apabila dilakukan lebih dari 1 (satu) kali digolongkan

paling tinggi Kurang Lancar.

6. Bank wajib memiliki kebijakan dan Standard Operating Procedure tertulis mengenai

Restrukturisasi Pembiayaan, termasuk didalamnya penetapan jumlah maksimal pelaksanaan

restrukturisasi untuk Pembiayaan dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet.

7. Restrukturisasi Pembiayaan dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet, dapat

dilakukan paling banyak sesuai ketentuan bank yang mengatur mengenai jumlah maksimal

Restrukturisasi Pembiayaan, dan apabila dilakukan lebih dari jumlah maksimal tersebut

digolongkan Macet sampai dengan Pembiayaan lunas.

8. Bank Indonesia berwenang menetapkan kualitas Pembiayaan yang berbeda dengan Bank,

apabila Bank melakukan Restrukturisasi Pembiayaan tidak sesuai dengan ketentuan Bank

Indonesia mengenai Restrukturisasi Pembiayaan.

9. BPRS wajib melaporkan Restrukturisasi Pembiayaan secara on-line kepada Bank Indonesia,

sejak pelaporan bulan Mei 2011 yang disampaikan bulan Juni 2011 dan pada masa transisi

menyampaikan laporan Restrukturisasi Pembiayaan secara off-line dan on-line.

Latar Belakang Pengaturan :

a. Peningkatan arus masuk modal asing telah mengakibatkan peningkatan kondisi likuiditas

valuta asing perbankan secara signifikan. Arus masuk modal asing tersebut lebih bersifat

jangka pendek dan berdampak pada kondisi ekses likuiditas valuta asing yang dapat

menyebabkan instabilitas nilai tukar dan gangguan pada stabilitas ekonomi makro.

b. Oleh karena itu, diperlukan penguatan manajemen likuiditas valuta asing oleh bank dan

pengelolaan arus modal asing oleh Bank Indonesia melalui kebijakan peningkatan giro

wajib minimum dalam valuta asing.

Substansi Pengaturan :

1. Pokok-pokok pengaturan atau perubahan dalam PBI ini adalah sebagai berikut:

a. Bank wajib memenuhi Giro Wajib Minimum (GWM) dalam valuta asing sebesar 8%

(delapan persen) dari DPK dalam valuta asing.

b. Ketentuan pemenuhan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada huruf

a diatur sebagai berikut:

1. Sejak tanggal 1 Maret 2011 sampai dengan tanggal 31 Mei 2011, GWM dalam

valuta asing ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari DPK dalam valuta asing.

2. Sejak tanggal 1 Juni 2011, GWM dalam valuta asing ditetapkan sebesar 8%

(delapan persen) dari DPK dalam valuta asing.

57

PBI No.13/10/PBI/2011

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 65: Buletin Hukum Perbankan

RINGKASAN PBINOMOR PBI

c. Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing akan dikenakan

sanksi kewajiban membayar dalam valuta rupiah dengan menggunakan kurs tengah

Bank Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran.

2. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Latar Belakang Pencabutan

1. Peraturan Bank Indonesia No.3/2/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001 tentang Pemberian

Kredit Usaha Kecil (KUK) masih mengacu kepada Undang-Undang No.9 Tahun 1995 tentang

Usaha Kecil yang telah dicabut dan sudah tidak berlaku lagi.

2. Pemerintah telah menerbitkan UU No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah (UMKM) pada tanggal 4 Juli 2008, yang mencabut UU No.9 Tahun 1995 tentang

Usaha Kecil dan mengatur mengenai kriteria usaha yang diperluas menjadi Usaha Mikro,

Kecil, dan Menengah, yang semula pada UU No. 9 Tahun 1995 hanya terdapat kriteria

Usaha Kecil.

3. Hasil survei Redefinisi UMKM kepada Perbankan pada Juli 2008 salah satu hasilnya adalah

74,4% responden setuju definisi kredit UMKM tidak lagi didasarkan pada plafon kredit,

tetapi berdasarkan kriteria UMKM sebagaimana tercantum dalam UU No.20 Tahun 2008.

Substansi Pengaturan

1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/2/PBI/2001 Tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil dan

Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/9/BKR Perihal Petunjuk Pelaksanaan Pemberian

Kredit Usaha Kecil, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

2. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 2011.

1. Bank pelapor wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan kepada Bank Indonesia

paling lama tanggal 5 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.

2. Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan

apabila menyampaikan Laporan pada tanggal 6 dan tanggal 7 bulan berikutnya setelah

berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.

3. Bank Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan apabila

Bank Indonesia belum menerima Laporan dan/atau koreksi Laporan sampai dengan tanggal

7 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.

4. Laporan dan/atau koreksi laporan yang disampaikan secara online dapat disampaikan pada

hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan cuti bersama yang ditetapkan Bank Indonesia.

58

PBI No.13/11/PBI/2011

PBI No.13/12/PBI/2011

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 66: Buletin Hukum Perbankan

RINGKASAN PBINOMOR PBI

5. Kewajiban penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online dikecualikan

terhadap:

a. Bank Pelapor yang berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas komunikasi

untuk menyampaikan Laporan secara online;

b. Bank Pelapor yang baru dibuka dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan setelah

melakukan kegiatan operasional;

c. Bank Pelapor yang mengalami gangguan teknis dalam menyampaikan Laporan dan/atau

koreksi Laporan baik karena gangguan teknis pada Bank Pelapor maupun pada Bank

Indonesia.

6. Dalam hal gangguan teknis di Bank Indonesia dan/atau Bank Pelapor terjadi pada batas

akhir penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan, Laporan dan/atau koreksi Laporan

disampaikan paling lama pada hari kerja berikutnya secara offline.

7. Bagi Bank Pelapor yang melakukan kegiatan operasional di luar Indonesia, Laporan wajib

disusun dan disampaikan oleh kantor pusat Bank atau Unit Usaha Syariah dari Bank

Pelapor.

8. Sanksi:

a. Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan dikenakan sanksi kewajiban

membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan.

b. Bank Pelapor yang tidak menyampaikan Laporan dikenakan sanksi kewajiban membayar

sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

c. Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan dikenakan sanksi

kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja

keterlambatan.

d. Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan atas inisiatif Bank Pelapor setelah

melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian koreksi Laporan dikenakan

sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per item

kesalahan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Sementara itu, untuk koreksi Laporan yang didasarkan pada hasil penelitian dan/atau

pemeriksaan Bank Indonesia, maka Bank Pelapor akan dikenakan sanksi kewajiban

membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per item kesalahan dan paling

banyak seluruhnya sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

e. Bank Pelapor yang menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline

pada periode penyampaian online tanpa memenuhi persyaratan, dikenakan sanksi

kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap

penyampaian Laporan atau koreksi Laporan.

9. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Maret 2011 yang

disampaikan pada bulan April 2011.

59

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 67: Buletin Hukum Perbankan

60

RINGKASAN PBINOMOR PBI

1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/13/PBI/2011 tentang Penilaian Kualitas Aktiva bagi

Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah mencabut Peraturan Bank Indonesia sebelumnya

yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva

Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan

perubahannya, dengan beberapa penyempurnaan ketentuan, antara lain:

- perubahan pengaturan Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah;

- penggantian jenis penempatan dana BUS/UUS pada Bank Indonesia dari Sertifikat

Wadiah Bank Indonesia (SWBI) menjadi Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS);

- perubahan batas jumlah nominal Pembiayaan dalam penilaian kualitas Pembiayaan

yang hanya mendasarkan pada kemampuan membayar;

- perubahan pengaturan Properti Terbengkalai;

- perubahan pengaturan Agunan Yang Diambil Alih (AYDA); dan

- perubahan pengaturan validitas hasil penilaian agunan oleh Penilai Independen.

2. Penilaian kualitas aktiva dalam rangka pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA)

merupakan salah satu bentuk pengelolaan risiko yang bertujuan agar BUS/UUS dapat

menyerap potensi kerugian yang telah diperkirakan (expected loss).

3. Penilaian kualitas aktiva dilakukan terhadap Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif.

4. Aktiva Produktif terdiri dari: (i) Pembiayaan, (ii) Surat Berharga Syariah, (iii) Sertifikat Bank

Indonesia Syariah (SBIS), (iv) Penyertaan Modal, (v) Penyertaan Modal Sementara, (vi)

Penempatan Pada Bank Lain, (vii) Transaksi Rekening Administratif (komitmen & kontinjensi),

dan (viii) bentuk penyediaan dana lainnya.

5. Aktiva Non Produktif terdiri dari: (i) Agunan Yang Diambil Alih (AYDA), (ii) Properti

Terbengkalai, serta (iii) Rekening Antar Kantor dan Suspense Account.

6. Jenis aktiva dan kualitas penggolongan:

PBI No.13/13/PBI/2011

No. Jenis AktivaKualitas Aktiva

L DPK KL D M

1. Pembiayaan 2. Surat Berharga Syariah3. SBIS4. Penempatan Pada Bank Lain5. Penyertaan Modal (<20% - cost method)6. Penyertaan Modal (>20% - equity method)7. Penyertaan Modal Sementara (PMS)8. Transaksi Rekening Administratif 9. Agunan yang Diambil Alih (AYDA)10. Properti Terbengkalai11. Rekening Antar Kantor (RAK) & Suspense Account

Catatan : L=Lancar; DPK=Dalam Perhatian Khusus; KL=Kurang Lancar; D=Diragukan; dan M=Macet

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 68: Buletin Hukum Perbankan

61

RINGKASAN PBINOMOR PBI

7. Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA) terdiri dari cadangan umum dan cadangan khusus

sesuai dengan jenis aktiva sebagai berikut:

a. Aktiva Produktif wajib dibentuk cadangan umum dan cadangan khusus; dan

b. Aktiva Non Produktif wajib dibentuk cadangan khusus.

8. Cadangan umum ditetapkan paling kurang 1% dari seluruh Aktiva Produktif yang

digolongkan Lancar kecuali untuk Aktiva Produktif dalam bentuk SBIS, Surat Berharga

Syariah yang diterbitkan Pemerintah Indonesia, dan bagian Aktiva Produktif yang dijamin

dengan jaminan Pemerintah Indonesia atau agunan tunai.

9. Cadangan khusus ditetapkan paling kurang:

a. 5% dari seluruh aktiva yang digolongkan DPK setelah dikurangi agunan;

b. 15% dari seluruh aktiva yang digolongkan KL setelah dikurangi agunan;

c. 50% dari seluruh aktiva yang digolongkan D setelah dikurangi agunan; dan

d. 100% dari seluruh aktiva yang digolongkan M setelah dikurangi agunan.

10. Jenis agunan, nilai agunan sebagai pengurang PPA, dan pengikatannya:

No. Jenis Agunan

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Jaminan Pemerintah Indonesia

Agunan tunai

Surat berharga/tagihan Pemerintah Indonesia

Surat Berharga Syariah yang likuid atau memiliki peringkat investasi

Tanah/bangunan untuk tempat tinggal

Tanah/bangunan bukan untuk tempat tinggal dan mesin yang dianggap satu kesatuan dengan tanah

Pesawat udara dan kapal laut di atas 20 meter kubik

Kendaraan bermotor dan persediaan

Resi gudang

Nilai Agunan sebagai pengurang PPA Pengikatan

100% dari nilai yang dijamin

Maksimal 100%

Maksimal 100%

Maksimal 50% nilai pasar

Maksimal 70% nilai wajar

Maksimal 70% nilai wajar

Maksimal 70% nilai wajar

Maksimal 70% nilai wajar

Maksimal 70% nilai wajar

-

Diblokir disertai surat kuasa pencairan

Gadai

Hak tanggungan

Hak tanggungan

Hipotek

Fidusia

Hak jaminan atas resi gudang

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 69: Buletin Hukum Perbankan

62

RINGKASAN PBINOMOR PBI

1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/ 14 /PBI/2011 tentang Penilaian Kualitas Aktiva bagi

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah mencabut Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006

tentang Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah,

dengan beberapa penyempurnaan ketentuan, antara lain:

- perubahan pengaturan Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah;

- penghapusan penempatan dana BPRS pada Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI);

- pengaturan penempatan dana BPRS pada bank umum konvensional dan Bank

Perkreditan Rakyat;

- perubahan pengaturan Agunan Yang Diambil Alih (AYDA); dan

- perubahan pengaturan jenis dan nilai agunan nasabah sebagai faktor pengurang

dalam perhitungan Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA).

2. Penilaian kualitas aktiva dan pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA) mencakup

Aktiva Produktif, Aktiva Non Produktif dan penempatan pada bank umum konvensional.

3. Aktiva Produktif BPRS meliputi Pembiayaan dan Penempatan Pada Bank Lain, sedangkan

untuk Aktiva Non Produktif adalah Agunan Yang Diambil Alih (AYDA).

4. Penempatan dana BPRS pada bank umum konvensional hanya dapat dilakukan dalam

bentuk giro dan/atau tabungan untuk kepentingan transfer dana bagi BPRS dan nasabah

BPRS. Penempatan pada bank umum konvensional tersebut tidak diklasifikasikan sebagai

Aktiva Produktif BPRS.

5. Dalam Pembiayaan Mudharabah, BPRS tidak diwajibkan menetapkan pembayaran angsuran

pokok secara berkala kepada nasabah. Sedangkan untuk Pembiayaan Musyarakah dengan

jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, BPRS wajib menetapkan pembayaran angsuran

pokok secara berkala sesuai dengan proyeksi arus kas masuk (cash inflow) usaha nasabah.

6. BPRS hanya dapat mengambilalih agunan nasabah dalam bentuk AYDA terhadap nasabah

yang telah tergolong Macet.

7. AYDA yang dimiliki BPRS wajib dicairkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal

pengambilalihan.

8. Jenis dan kualitas penggolongan aktiva untuk BPRS adalah sebagai berikut:

PBI No.13/14/PBI/2011

No. Jenis AktivaKualitas Aktiva

L KL D M

1. Pembiayaan 2. Penempatan Pada Bank Lain3. Agunan yang Diambil Alih (AYDA)4. Penempatan pada bank umum konvensional

Catatan : L=Lancar; KL=Kurang Lancar; D=Diragukan; dan M=Macet

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 70: Buletin Hukum Perbankan

63

RINGKASAN PBINOMOR PBI

9. BPRS wajib membentuk PPA sesuai dengan jenis aktiva sebagai berikut:

a. Aktiva Produktif wajib dibentuk cadangan umum dan cadangan khusus;

b. Aktiva Non Produktif wajib dibentuk cadangan khusus; dan

c. Penempatan dana pada bank umum konvensional wajib dibentuk cadangan umum

dan cadangan khusus.

10. Beberapa tambahan jenis agunan nasabah yang dapat digunakan sebagai faktor pengurang

dalam perhitungan PPA cadangan khusus adalah:

- jaminan Pemerintah Pusat;

- jaminan Pemerintah Daerah;

- jaminan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/ Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);

- tempat usaha/kios yang dikelola oleh badan pengelola; dan

- resi gudang.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011

Page 71: Buletin Hukum Perbankan

Halaman ini sengaja dikosongkan