Buletin Hukum Perbankan
-
Upload
eza-herlambang -
Category
Documents
-
view
84 -
download
0
description
Transcript of Buletin Hukum Perbankan
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
The Need of Legaly Mandated for Central Bank in Dealing with Financial Stability
Peranan Hukum Dalam Krisis Perekonomian (Dunia)
eNotaris Indonesia: Komparasi Awal Peranan Notaris dalam Penyelenggaraan Transaksi Elektronik
Implementasi UU Keterbukaan Informasi Publik Di Bank Indonesia
Resensi Buku: Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik:
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan
Cakrawala Hukum: Kedudukan Mahkamah Kontititusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari - Mei 2011
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Januari - Mei 2011
Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDirektorat Hukum Bank Indonesia
PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia
Penanggung JawabAhmad Fuad, Christina Sani, Heru Pranoto, Agus Santoso
Pemimpin RedaksiAgus Santoso
Sekretaris RedaksiDyah Pratiwi
Dewan Redaksi Imam Subarkah, Sudarmaji, Arief R. Permana, Amsal Chandra Appy, Rosalia Suci, Rika S. Dewi,
Amy Rachmy Budiati, Hari Sugeng Raharjo, Suprianto, Umi Widji R.
Redaksi PelaksanaDyah Pratiwi, Hernowo Koentoadji, Ellia Syahrini, Kesumawati,
Kuwat Wijayanto, Rizal Wisnajaya
Mitra BestariProf. Dr. Erman Radjagukguk, SH, LLM
Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLMProf. Dr. Huala Adolf, SH, LLMDr. Inosentius Samsul, SH, LLMDr. Lastuti Abubakar, SH, MH
Penanggung Jawab Pelaksana dan DistribusiTim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,
Direktorat Hukum Bank Indonesia
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitiandalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.
Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember.Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletinditerbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi DirektoratStatistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: [email protected]
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukumperbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,Direktorat Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile(021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.
“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan
publikasi, kemudian pilih publikasi”
Halaman ini sengaja dikosongkan
Pada penerbitan kali ini, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan (Buletin) Volume 9 Nomor 1, Edisi Mei s.d.
Agustus 2011 kembali hadir ditengah-tengah para pembaca dan pencintanya.
Topik hangat pada materi muatan Buletin adalah menyoroti mengenai mandat bagi bank sentral dalam menjaga stabilitas
sistem keuangan sebagaimana penulisan artikel: “The Need of Legaly Mandated for Central Bank in Dealing with Financial
Stability”. Perkembangan trend bank sentral modern cenderung menambah tujuan bank sentral dalam UU-nya tidak hanya
mencapai stabilitas harga, namun juga berkontribusi pada pencapaian stabilitas sistem keuangan, karenanya bank sentral
perlu mendapat mandat eksplisit dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang SSK. Krisis yang terjadi pada tahun 2008
memberikan bukti bahwa bank sentral tidak hanya mempunyai satu tanggungjawab yaitu menjaga stabilitas harga (price
stability). Dalam hal ini fungsi Lender of Last Resort (LoLR) merupakan fungsi inheren pada bank sentral sehingga secara implisit
bank sentral berperan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Dalam perkembangannya, terdapat pemikiran yang
menyarankan bank sentral untuk memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.
Selain artikel tersebut, secara lengkap, penerbitan Buletin edisi kali ini menurunkan 4 artikel, yaitu :
1. The Need of Legaly Mandated for Central Bank in Dealing with Financial Stability, oleh Agus Santoso, SH., LLM.
2. Peranan Hukum Dalam (Krisis) Perekonomian, oleh Dr. Dian Ediana Rae, SH., LLM., Kepala Perwakilan BI London, dosen
luar biasa FH UI
3. e-Notary, oleh Josua Sitompul, SH. IMM
4. Keterbukaan Informasi Publik, oleh Tim Informasi Hukum Bank Indonesia.
Disamping itu, dalam cakrawala hukum redaksi menyajikan salah satu materi workshop litigasi, yaitu artikel mengenai
Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI.
Selanjutnya, sebagai referensi, redaksi juga telah menyajikan resensi buku “Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, oleh Rizal Wisnajaya, SE, MH., Analis Hukum.
Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, buletin ini akan memuat
daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Januari sampai dengan Maret
2011, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin mempermudah pembaca
dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Selamat membaca.
Jakarta, Juni 2011
Redaksi
Dari Meja Redaksi
i
Halaman ini sengaja dikosongkan
Halaman
Dari Meja Redaksi............................................................................................................................................ i
Daftar Isi.......................................................................................................................................................... iii
The Need of Legaly Mandated for Central Bank in Dealing with Financial Stability............................................. 1 - 4
Agus Santoso, SH., LLM
Peranan Hukum Dalam Krisis Perekonomian (Dunia)......................................................................................... 5 - 9
Dr. Dian Ediana Rae, SH., LLM
eNotaris Indonesia: Komparasi Awal Peranan Notaris dalam Penyelenggaraan Transaksi Elektronik.................... 11 - 27
Josua Sitompul, SH., IMM
Implementasi UU Keterbukaan Informasi Publik Di Bank Indonesia.................................................................. 29 - 35
Tim Informasi Hukum Bank Indonesia
Resensi Buku:
Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik:
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan ................................................................................... 37 - 38
Rizal Wisnajaya, SE, MH,
Cakrawala Hukum:
Kedudukan Mahkamah Kontititusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI................................................................. 39 - 40
Redaksi
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Januari - Mei 2011..................... 41 - 43
Tim Informasi Hukum
(Direktorat Hukum Bank Indonesia)
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Januari - Mei 2011.............................................................................. 45 - 63
Tim Informasi Hukum
(Direktorat Hukum Bank Indonesia)
Buletin Hukum Perbankan dan KebanksentralanVolume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
iii
Halaman ini sengaja dikosongkan
This paper focuses on the needs of central bank to have an
explicit mandate in dealing with financial stability, particularly
in crisis. It takes Bank Indonesia as a Central Bank of the
Republic of Indonesia as a case, as it might be happened in
other central banks.
This paper elaborates 6 (six) topics as follows:
1. Bank Indonesia Objective
2. Bank Indonesia and Indonesia Financial Stability
3. Central Bank’s Conventional Mandate
4. Central Bank and Financial Stability
5. Redefining the Mandate of Central Bank
6. Autonomy and Accountability
Based on Article 7 of Bank Indonesia Act, the objective of
Bank Indonesia is to achieve and maintain the stability of
the Rupiah, the currency of the Republic of Indonesia. The
meaning of the stability of the rupiah is the stability of the
Rupiah value against goods and services, as well as against
foreign currencies. As an archipelago country which has
17.508 islands and thirty three provinces, stretching at 3
different time zones with over 238 million people and the
world’s fourth most populous country,3 it is really challenging
for the central bank to conduct macro economy policy
successfully.
In order to achieve its objective, Bank Indonesia has three
tasks as follows:
a. to formulate and to implement monetary policy
b. to regulate and to safeguard the smoothness of the
payment system;
c. to regulate and to supervise banks.
The discharge of the three tasks above is mutually supportive
to achieve the stability of the rupiah. The task of formulating
and implementing monetary policy shall be conducted
through among other things, targeting monetary aggregates
and or interest rate. The effectiveness in implementing the
monetary policy task calls for the support of an efficient,
expeditious, safe, and reliable payment system (which is
the target of the task in regulating and supervising the
smoothness of the payment system). Further, the efficient,
expeditious, safe, and reliable payment system needs a
sound banking system, which is the target of the task in
banking regulation and supervision. A sound banking will
in turn facilitate monetary control since in Indonesia the
implementation of monetary policy is transmitted primarily
through the banking system (around 80% of the total
financial asset is managed by 121 commercial banks and
1680 rural banks with 14.140 commercial bank branches
and 3.996 rural bank branches).4 In this regards, Bank
Indonesia in fact has performed a range of task related to
the financial stability and has included financial stability
considerations in its monetary and micro prudential policy
making. The performance of the task in financial stability
is related to the one of important roles of a central bank,
such as lender of the last resort to provide liquidity assistance
to illiquid but solvent bank.5
To prevent 2008 financial crisis, several responses have been
taken, such as enacted Government Regulation in Liu of
1
1 Presented in the International Conferences on Legal Aspects in A Changing Global banking Sector held by the Association of Legal Adviser in the Financial And Banking System, Iasi Romania May 31 - June 4, 2011
2 Deputy Director, Directorate for Legal Affairs, Bank Indonesia
3 http://www.indonesia.go.id/in/sekilas-indonesia/geografi-indonesia.html
The Need of A Mandate for Central Bank in Dealing with Financial Stability1
By Agus Santoso2, SH, LLM
4 As of April 2011
5 Based on Bank Indonesia Act, there are three types of liquidity assistance that can be provided by Bank Indonesia, namely intraday liquidity facility, short term liquidity support facility, and emergency liquidity assistance. The intraday liquidity facility is a funding facility extended by Bank Indonesia to a bank in their capacity as a member of payment system managed by Bank Indonesia. Under the Central Bank Act, Bank Indonesia shall have a task to ensuring and maintaining the effectiveness operation of Payment System in Indonesia. The type of payment system operation in Indonesia is 1) The Real Time Gross Settlement (RTGS) that is a system for electronic funds transfer among members in domestic currency with settlement processed individually per transaction basis; and 2) national clearing system that is the clearing system that cover debit and credit clearing in which the settlement is conducted on a nationwide basis.
Act Number 4 of 2008 regarding Financial System Safety
Net to provide coordination mechanism among authorities
and a crisis prevention mechanism and crisis management
system to handle financial crisis. The government also enacted
Government Regulation Number 66 of 2008 regarding The
Amount of Deposits Guaranteed by Indonesia Deposit
Insurance Corporation, to amend the amount of the deposit
guaranteed, from the most Rp100.000.000,00 (one hundred
million Rupiah) to become the most Rp2.000.000.000,00
(two billion Rupiah). Besides, Bank Indonesia Act had been
amended to broaden the collateral for short term liquidity
support, from limited collateral consist of treasury bills and
Bank Indonesia Certificate to include high rated performing
loans.
In fact, the 2008 crisis has impacted on a small bank, the
Century Bank. Although it was considered a small bank,
Bank Indonesia, Ministry of Finance and Deposit Insurance
Corporation concluded that during the crisis it was a small
but potentially systemic bank. For the sake of preventing
banking crisis, instead of closing the bank, the failing bank
has been decided to be rescued, as the best policy at that
time. The bank was rescued by way of recapitalization by
Deposit Insurance Corporation in the sum of 6.7 billion
Rupiah, instead of giving emergency liquidity assistance to
the bank as provided by Government Regulation in Liu of
Act Number 4 of 2008 regarding Financial System Safety
Net. By recapitalizing the rescued bank, the Deposit
Insurance Corporation became the majority shareholder
of the bank.6
However, the rescue of the bank from political point of
view become a dispute and has been scrutinized before the
parliament, and as the result: rejection of the Regulation
in Liu of Act Number 4 of 2008 regarding Financial System
Safety Net to become an act; investigation on the handling
of the rescued bank; filing draft law on Financial Stability
Safety Net to be discussed in the parliament.
The rejection of Regulation in Liu of Act Number 4 of 2008
regarding Financial System Safety Net to become an act
means that there is no legal basis in the level of law/statute
in Indonesia legal setting providing authority coordination
mechanism and emergency liquidity assistance mechanism
for banks and other financial institutions if financial crisis
occurs. The only legal basis to provide emergency liquidity
assistance is Article 11 section (4) of Bank Indonesia Law
which stipulates that in the event that a Bank experiences
financial difficulties with systemic impact that may result in
crisis endangering the financial system, Bank Indonesia may
provide an emergency financing facility funded by the
Government. Article 11 section (5) of Bank Indonesia Law
states that the procedures and decision making process
regarding financial difficulties of a Bank with systemic impact,
provision of the emergency financing facility, and source of
funding from the State Budget shall be stipulated in a
separate law to be promulgated no later than the end of
2004. But until now, the law has not been enacted. This
means that there is no sufficient legal basis for Bank Indonesia
to provide emergency liquidity assistance. Besides, Bank
Indonesia does not have an explicit legal mandate for financial
stability function. Bank Indonesia’s tasks do not cover the
oversight of the entire financial system from a macro
prudential perspective.7 There is no evidence that the stability
of the value of the Rupiah as an objective has a direct
relationship with the financial system stability. Under the
current legal framework the legal test for any decision and
operation would be restricted to Bank Indonesia’s monetary
objective, which is the stability of the value of the Rupiah.8
Realizing that in today’s globalized world no country is
immune from the crisis, the Governments of the Republic
of Indonesia must do its utmost to protect the country from
most vulnerable crisis. Hence, Indonesia is drafting Financial
2
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
If a bank has difficulty to settle its financial obligation related to payment transaction through clearing system or through electronic funds transfer in Real Time Gross Settlement System (RTGS), the bank may ask the central bank provide funds to clear its obligation. This fund shall be settled in the same day and covered with very liquid collateral. Short term liquidity support facility is a support from Bank Indonesia for any bank experiencing a short term liquidity problem (liquidity mismatch). The duration of this lender of the last resort facility is up to 90 days. This facility is deemed as a secured loan because it is fully backed by high quality of collateral with minimum value equivalent to the amount of facility received. Among the collaterals which are considered as high quality is government bond/bill or central bank bill. Meanwhile, the emergency liquidity assistance is an unsecured loan which is provided by the central bank as the lender of the last resort, but is guaranteed by the Government. The bank may obtain emergency assistance if its liquidity problem is considered to trigger systemic failure. Indeed, this facility is provided to prevent systemic failure in banking system that can lead to the banking crisis.
6 In its development, the Deposit Insurance Corporation has changed the name of the bank, from Century Bank to Permata Bank. This bank has become solvent and has been ready to be divested from this year to 2013.
7 Bank Indonesia is only authorized to regulate and supervise banks.
8 International Monetary Fund Report, November 2010
System Safety Net Act and the new Bank Indonesia Act.
These two acts must give the clear mandate to do proper
actions by the government and central bank in preventing
and managing crisis.
Preceding the global crisis 2008, many central banks
concerned to narrow definition of the mandates of central
banks in performing price stability. In this regards, the
central banks conventional mandate broadly divided into
three main categories (keeping in view the prime emphasis
of their mandate:9) firstly, central banks with a primary
mandate. For European Central Bank, the primary objective
is to maintain price stability. Secondly, central banks with
two co-equal primary goals, like US Federal Reserve, which
has long had a dual mandate: long term price stability and
full employment. Thirdly, central banks with a broader
mandate, such as Reserve Bank of India, it includes currency
and stability, flow of credit, and price stability with growth.
However, the great majority of central banks operate under
the presumption that they have a policy responsibility for
financial stability. The responsibility for financial stability is
usually inferred from the existence of functions that relate
to it. Such functions include bank regulation (and /or licensing)
and bank supervision, deposit insurance, the provision of
safety nets through emergency liquidity assistance, provision
of honest broker services, and involvement in the payment
system in general.10
Bank for International Settlement (BIS) Report shows that
less than half of central bank statutes contain objectives
relating to financial stability in which from 146 central bank
laws, less than one fifth have an explicit objective for financial
stability per se- for instance an objective that extends beyond
objectives for functions that contribute to financial stability.
In some cases in which the central banks has an explicit
legal objective for financial stability, the objective is broad-
ranging and the central bank’s responsibility apparently far
reaching, inter alia by using the language which implies a
conditional degree of responsibility for outcomes, like: to
maintain, to contribute, to participate, to promote, and to
support. A few description of central banks laws as followed:11
- The People’s Bank of China Act states that the Bank
shall, under the leadership of the State Council, formulate
and implement monetary policies, guard against and
eliminate financial risks, and maintain financial stability.
- The Statute of Bank of Thailand states that the BOT’s
objectives are to carry on such tasks as pertain to central
banking in order to maintain monetary stability, financial
institution system stability and payment system stability.”
- Bank Negara Malaysia Act states that the principal objects
of the Bank shall be to promote monetary stability and
financial stability conducive to the sustainable growth
of the Malaysian economy.
- In Japan, the purpose of the Bank of Japan, or the central
bank of Japan, is to issue banknotes and to carry out
currency and monetary control. In addition to what is
prescribed in the preceding paragraph, the Bank of
Japan’s purpose is to ensure smooth settlement of funds
among banks and other financial institutions, thereby
contributing to the maintenance of stability of the
financial system.
- England states that an objective of the Bank shall be
to contribute to protecting and enhancing the stability
of the financial systems of the United Kingdom (the
“Financial Stability Objective”.)
- Zambia states that the central bank shall formulate and
implement monetary and bank supervisory policies that
will ensure the maintenance of price and financial
systems stability.
As mentioned before, the language implies a conditional
degree of the responsibility of outcomes: to maintain, to
contribute, to participate, to promote, or to support.
3
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
11 Issues in the Governance of Central Banks; A Report from the Central Bank Governance Group chaired by Guiilermor Ortiz, the Governor of the Bank of Mexico, BIS, May 2009
9 Grace Koshie, Reserve Bank of India “Impact of Changing Mandates on Central Bank Governance” presentation to the Seminar on Central Bank Governance: The Role of the Board, Windsor, United Kingdom, April 2011
10 source: Issues in the Governance of Central Banks; A Report from the Central Bank Governance Group chaired by Guiilermor Ortiz, the Governor of the Bank of Mexico, BIS, May 2009
The crisis triggered the debate on role and responsibility of
central bank. Should central bank persist with inflation
targeting? The role of central banks as an anchor for price
stability remains crucial. But in the post-crisis environment,
central banks are expected to ensure stability in a broader
sense than just price stability. In particular, it is now more
or less universally recognized that central banks should have
a formal mandate for financial stability.12 Because central
banks are increasingly being put in charge of overseeing
systemic risk in the context, as the ultimate provider of
liquidity, in which central banks also focus on system-wide
risks and obtain an integrated view of both the individual
micro and macro prudential supervision, for Indonesia case,
the IMF has recommended Bank Indonesia to have the
financial system stability mandates. Such a framework would
provide a sound legal basis for operations and accountability
for its macro prudential work. The financial stability objective
of Bank Indonesia should be explicit and aligned with its
functions and powers. The specific wording of Bank
Indonesia’s financial stability objective should be carefully
crafted to avoid creating expectations that Bank Indonesia
cannot fulfill. The wording should not reflect Bank Indonesia
full responsible for handling financial crisis. All Bank
Indonesia’s functions and objectives should be clearly stated
and mandated in the Bank Indonesia Act. The mandate
shall comprise a consistent set of objective, functions, policy
instruments, and legal powers. This is because the policy
taken has allowed public question and political interference
in supervisory actions, which could caused a slowing down
decision making process and occasionally paralyzing the
prudential system. Therefore, central bank needs legal basis
and also effective coordination among authorities involved,
in which responsibility for financial stability cannot be beared
solely to the central bank, and therefore must be shared
by the government, the central bank and other regulators.
As for Indonesia, there are three authorities involved in
Indonesia financial system, namely Bank Indonesia, Indonesia
Deposit Insurance Corporation, and Ministry of Finance.
This financial stability mandate will raise some concerns to
be addressed further, namely central bank independence,
financial stability measures which is often carry a cost, and
greater considerations with government.13
Even though the role of capital market and non bank
financial industry in Indonesia’s financial system is less crucial
than banking sector, the Ministry of Finance has important
role in maintaining financial stability by guaranteeing an
emergency liquidity support provided by Bank Indonesia to
illiquid-systemic bank. Minister of Finance also preside the
Committee of Financial System Stability which sets the
policy for crisis prevention or crisis management, because
the cost of crisis resolution will burden the Government
Budget. From my point of view, the central bank, therefore
needs enhancing powers to influence macro-prudential
conditions.
As a conclusion, learning from the financial crisis in the
period of 1990’s and the effort to response the global
financial crisis 2008, the need to push back the boundaries
of central bank’s conventional mandate to do such
intervention on financial sector in order to prevent the
collapse of the financial system must be precisely designed
on the statute to legitimate a mandate of central bank in
handling financial stability. Indeed, well-built micro and
macro prudential supervision are essential elements in
maintaining financial stability. Strong good corporate
governance, risk management and qualified bank supervisors
have also contribute to the development of sound national
banking system significantly. Moreover, good coordination
among the authorities and, without any intention to
simplifying the situation, quick and proper responses could
be a pivotal factor in preventing contagious effect of a
crisis.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
4
12 Herve Hannoun, Deputy GM, Bank for International Settlements: The expanding role of central banks since the crisis: what are the limits?, BIS, June 2010
13 Under current regime, Indonesia adopts fragmented supervisory agency for financial sector. Bank Indonesia as the central bank is authorized as a banking supervisor both compliance based supervision and risk based supervision. While Indonesia Deposits Insurance Corporation (IDIC)’s main task is to provide (a limited) guarantee for deposits and to participate in maintaining banking system stability. The aim of guaranteeing the deposits is to maintain the public’s trust in the banking system and to protect depositors. In this regards, any bank operates in Indonesia is mandatory to be a member of IDIC’s guarantee scheme. On the other hand, the Ministry of Finance is a capital market and non bank financial industry supervisor. Currently Government of Indonesia is preparing draft law to integrate financial supervisory agency into single instruction (FSA)
Pendahuluan
Dalam bukunya yang baru saja diterbitkan pada akhir tahun
2010 yang lalu, mantan Perdana Menteri Inggris Gordon
Brown menyatakan bahwa pasar memerlukan apa yang
tidak bisa dibuatnya sendiri yaitu “moral”. Pendapat ini
sebenarnya bukan pendapat baru tetapi semakin
menegaskan berbagai tulisan yang dibuat oleh banyak
penulis yang mengupas masalah krisis ekonomi yang
terjadi dewasa ini yang mempersalahkan pasar yang tidak
“bermoral”. Pendapat Gordon Brown ini tentu saja tidak
diragukan kebenarannya, dengan moral yang baik tentu
saja pada dasarnya semua aktivitas manusia, tidak saja
persoalan perekonomian, pada hakekatnya akan berjalan
dengan baik. Sebagai seorang dosen ilmu hukum (ekonomi)
tentu saja pernyataan seperti ini sangat menggelitik karena
menyentuh filosofi dasar kenapa masyarakat, ditengah-
tengah perkembangan moral agama dan moral sosial,
masih membutuhkan hukum. Hukum dalam tataran filosofis
secara pengertian sederhana dimaksudkan untuk menjamin
kehidupan manusia yang tertib dengan menghormati hak
dan kewajiban dalam semua aktivitas kehidupannya secara
normatif, dimana setiap pelanggaran hak dan kewajiban
akan memiliki implikasi hukum. Dengan adanya hukum
yang baik dan ditegakkan secara benar akan dapat ditekan
sekecil mungkin semangat naluri dasar manusia (basic
instinc) yang cenderung mementingkan diri sendiri (self-
interest) dan bahkan rakus (greedy). Tanpa adanya
keterlibatan hukum yang efektif, re-introduksi aspek moral
dalam aktivitas perekonomian semata hanya akan
mengakibatkan semua proses ekonomi tergantung kepada
sesuatu yang penuh ketidakpastian. Adalah benar apa
yang dikatakan oleh Gordon Brown apabila pengertian
moral dimaksudkan sebagai sesuatu yang diharapkan
dilakukan para pelaku bisnis dalam kondisi “kekosongan
hukum“ yang mengatur transaksi bisnis secara sehat.
Kondisi ini terlihat dari fakta yang terjadi dimana krisis
terjadi bukan karena terjadinya pelanggaran hukum,
melainkan karena apa yang disebut sebagai “financial
engeenering” dan “excessive risk taking” dalam transaksi
ekonomi. Dengan demikian, justru disinilah letak persoalan
yang utama yaitu terjadinya pelemahan atau bahkan
pembusukan peranan hukum didalam pengelolaan transaksi
perekonomian yang demikian dinamis dan berisiko. Hukum
lebih sering dianggap sebagai faktor penghambat inovasi
daripada sebaliknya.
Hukum kini dihadapkan pada tantangan yang tidak pernah
terjadi sebelumnya (unprecedented) ditengah-tengah
dalam situasi perekonomian global yang bergerak dengan
cepat dengan persoalan yang semakin rumit, luas dan
berisiko. Hukum harus membuktikan peranannya yang
besar didalam mendorong daya saing perekonomian bangsa
dan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara signifikan
ditengah gejolak dan komplikasi transaksi perekonomian.
Hal ini hanya bisa dilakukan apabila para pihak yang
terlibat dengan hukum memiliki pemahaman ekonomi dan
bekerjanya transaksi perekonomian dengan baik.
Krisis Ekonomi dan Keuangan: Perlunya Peningkatan
Peranan Hukum
Perkembangan yang terjadi dalam transaksi perekonomian
masyarakat yang disertai dengan proses globalisasi
perekonomian merupakan tantangan terbesar bagi
perkembangan ilmu hukum ekonomi dewasa ini. Ilmu
hukum sebagai ilmu normatif, nampaknya belum dapat
memberikan kontribusi yang nyata didalam upaya mengelola
proses perkembangan transaksi perekonomian dan proses
globalisasi yang dewasa ini berjalan dengan sangat cepat.
Globalisasi telah membuat negara-negara di dunia in
menjadi saling terkait dan saling tergantung
(interdependent). Interdependensi ini di satu sisi telah
memberikan dampak positif berupa peningkatan kegiatan
perdagangan dan investasi antar negara sehingga telah
membantu peningkatan pertumbuhan ekonomi di berbagai
negara, tetapi disisi lain globalisasi ini juga telah
menimbulkan tambahan risiko berupa kerawanan
5
Peranan Hukum Dalam Krisis Perekonomian (Dunia)Oleh: Dr. Dian Ediana Rae, SH., LL M.(Dosen Luar Biasa Hukum Perbankan/Keuangan/Perbankan Universitas Indonesia, Universitas Tarumanegera dan Universitas 17 Agustus 1945/Kepala Perwakilan Bank Indonesia-London)
(vulnerability) dalam perekonomian, dimana masalah
ekonomi yang timbul di suatu negara akan dengan mudah
mengenai negara lainnya.
Terjadinya persoalan ekonomi dalam skala makro tidak
dapat dilepaskan dari perilaku pelaku bisnis dalam tingkat
mikro. Kita sudah menyaksikan berbagai skandal yang
terkait dengan pengelolaan bisnis, baik di Indonesia maupun
diberbagai negara yang menuntut perhatian khusus para
praktisi dan akademisi hukum untuk merespon persoalan
tersebut dengan memberikan perhatian khusus terhadap
pengembangan hukum korporasi, dan hukum-hukum
khusus seperti hukum perdagangan internasional (publik),
keuangan dan perbankan, hukum pasar modal. Disamping
itu, perlu pula membenahi hukum yang mengatur pemberi
jasa keuangan seperti Akuntan Publik, penasehat hukum,
penasehat keuangan. Demikian pula perbaikan perlu
dilakukan di bidang hukum yang terkait dengan kebijakan
persaingan usaha dan perlindungan konsumen (market
conduct and consumers’ protection). Hukum dibidang-
bidang ini harus dijadikan terintegrasi dan saling mendukung,
dan hal ini tentu saja memerlukan rekonstruksi pengajaran
dan pembangunan infrastruktur hukum yang besar.
Beberapa kali krisis yang dialami oleh Indonesia maupun
negara-negara lainnya telah menimbulkan kerugian yang
luar biasa, baik kepada Pemerintah Indonesia maupun
kepada seluruh pelaku bisnis itu sendiri. Kondisi yang
berulang ini telah menimbulkan pertanyaan yang serius
mengenai peranan dan kedudukan hukum dalam
keseluruhan sekuen krisis ekonomi tersebut, baik dalam
konteks peran pencegahan (preventive role) ataupun dalam
konteks peranan penyelesaian krisis (curative role).
Hukum seolah menjadi penonton yang pasif dari bekerjanya
semua mekanisme pasar dengan segala konsekwensinya
terhadap kehidupan perekonomian kita. Peranan hukum
sering disamakan dengan peranan pelayan yang harus bisa
melayani para pelaku bisnis dan membersihkan “piring
kotor,” ketika terjadi persoalan kemudian. Dalam ranah
perdata peranan konsultan hukum dalam penanganan
suatu transaksi perekonomian tidak sepenuhnya bisa
independen menghadapi kekuatan korporasi. Demikian
pula di ranah publik, peranan hukum dalam perumusan
peraturan perundang-undangan hanya sebatas menilai
adanya inkonsistensi atau tidak dengan berbagai peraturan
perundang-undangan lainnya, tapi tidak atau belum
diberikan peranan didalam perumusan rancang bangun
substansi peraturan perundang-undangan, termasuk peranan
didalam melakukan penilaian atas risiko terhadap kesehatan
institusi dan atau sistem ekonomi. Demikian pula didalam
pelaksanaan penanganan masalah hukum yang timbul,
baik sebagai akibat transaksi bisnis biasa maupun akibat
pengambilan kebijakan ekonomi otoritas perekonomian,
dunia hukum kita masih menghadapi kendala kredibilitas
yang serius. Dalam banyak kasus penyelesaian masalah
hukum tidak menghasilkan keputusan yang berkualitas,
bahkan semakin menciptakan ketidakpastian hukum. Banyak
keputusan pengadilan tidak bisa dijadikan precedent yang
baik dalam memprediksi arah perilaku ekonomi atau
kebijakan ekonomi di masa mendatang. Kondisi ini telah
mengakibatkan biaya yang tidak sedikit terhadap keuangan
negara, keuangan pelaku bisnis dan juga risiko reputasi
terhadap banyak pejabat pengambil keputusan.
Pertanyaannya adalah bagaimana untuk selanjutnya hukum
dapat memainkan peran yang lebih berarti didalam ikut
mendorong pelaksanaan aktivitas ekonomi yang lebih
predictable, secure dan risk free atau paling tidak less risky
didalam dunia yang semakin mengglobal dan terintegarasi
ini. Nampaknya diperlukan perubahan paradigma (paradigm
shift) yang luar biasa didalam kita melakukan perumusan
dan penegakan hukum ekonomi dewasa ini, perlu
keterlibatan langsung (hands on approach) dari para ahli
hukum didalam semua proses transaksi perekonomian, atau
bahkan instrusif. Perubahan paradigma berpikir juga terkait
dengan orientasi jurisdiksi. Logika bisnis sedang bergerak
ke arah global, ilmu hukum itu sendiri masih sangat
berorientasi secara domestik. Dewasa ini banyak norma,
standar, prinsip-prinsip, dan aturan dalam kegiatan
perekonomian, termasuk penegakan aturannya (enforcement)
dilakukan oleh berbagai organisasi Internasional publik
maupun privat. Di banyak negara, kini pemerintahan tidak
lagi menjadi pembuat aturan (rule-makers) tapi menjadi
penerima aturan (rule takers). Globalisasi norma, standar,
prinsip-prinsip, aturan-aturan dan penegakannya merupakan
bentuk globalisasi yang paling menantang untuk dunia
hukum. Globalisasi dengan demikian telah meningkatkan
komplikasi didalam merumuskan peraturan perundang-
undangan nasional. Oleh karena itu penyusunan peraturan
perundang-undangan bisa dipastikan tidak akan sempurna
tanpa penguasaan yang komprehensif dari semua aturan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
6
terkait dan komitmen internasional. Peraturan perundang-
undangan tidak saja harus compatible dengan praktek-
praktek internasional terbaik (International best practices),
tetapi juga harus berdaya saing (competitive) terhadap
negara-negara lain. Masalah ini telah menimbulkan banyak
persoalan serius didalam penanganan perumusan peraturan
perundang-undangan nasional, pemahaman pelaku bisnis,
dan penyelesaian masalah hukum sehingga menjadi
tantangan tersendiri untuk para praktisi hukum dan kalangan
akademisi. Sampai dengan saat ini persoalan utama yang
menghambat pengembangan perekonomian nasional adalah
aspek kepastian hukum dari tahap penyusunan peraturan
perundang-undangannya sampai kepada tahap
penegakkannya.
Kebijakan yang dilakukan oleh berbagai negara didalam
mengatasi krisis juga menarik untuk dicermati dari aspek
paradigma hukum ekonomi yang dewasa dewasa ini
berlaku. Langkah yang telah dilakukan berbagai
Pemerintahan telah menimbulkan pertanyaan filosofis
mengenai batas antara Pemerintah dan Pasar (redrawing
the boundaries between government and markets). Krisis
keuangan yang melanda tersebut telah menuntut
pemerintahan di dunia untuk menjadi semakin intrusif
kedalam kegiatan bisnis. Dalam pengamatan penulis, krisis
yang terjadi ini antara lain disebabkan adanya jarak yang
cukup lebar antara perkembangan pasar keuangan dan
pemahaman regulator. Hal ini terjadi antara lain karena
beberapa hal: Pertama, pendekatan economic orthodoxy
yang menjauhkan regulator (pemerintah) dari pasar; Kedua,
terlalu tergantungnya kegiatan ekonomi terhadap
mekanisme pasar yang cenderung mengembangkan sikap
kepentingan pribadi dan rakus (greedy) didalam
memaksimalkan share holders’ values; Ketiga, kekurang
mampuan regulator didalam memahami komplikasi
perkembangan instrumen keuangan dan dampaknya
terhadap kesehatan dan integritas sistem keuangan.
Keempat, pengembangan komunikasi antara regulator
dan para pelaku ekonomi yang masih terbelakang dan
rigid yang masih yang masih memelihara pemikiran bahwa
kepentingan kedua lembaga ini berbeda.
Inovasi Transaksi Perekonomian dan Globalisasi
Ekonomi: Tantangan Dunia Hukum
Menarik untuk melihat perkembangan hubungan antara
hukum dan ekonomi di masa mendatang yang ditandai
dengan kemajuan teknologi, inovasi transaksi perekonomian
dan globalisasi ekonomi. Bisakah hukum memainkan
peranannya didalam menjaga “ketertiban” kegiatan
perekonomian yang ditandai dengan keseimbangan antara
manfaat bagi pelaku bisnis dan perlindungan kepentingan
umum.
Persoalan hubungan hukum dan ekonomi menyentuh hal
yang lebih mendasar yaitu ketidakmampuan hukum
memerankan posisinya sebagai “the guardian of the sound
economic transaction as well as economic stability”. Persoalan
yang dihadapi hukum ekonomi, bukan saja karena
ketidakmampuan sistem hukum untuk mengejar praktek
transaksi dan kebijakanekonomi yang terjadi, melainkan
terjadinya jurang pengetahuan (knowledge gap) yang akut
diantara perumus peraturan perundang-undangan dengan
para pelaku transaksi perekonomian yang mengakibatkan
deteksi dini dari setiap permasalahan selalu terlambat.
Hukum nampaknya gagal untuk bisa memahami dengan
baik perkembangan dinamika transaksi perekonomian yang
cenderung sangat teknis dan kompleks. Hukum oleh
karenanya dihadapkan kepada wilayah yang tidak atau
kurang diketahuinya. Hukum bahkan dapat dikatakan ikut
bertanggung-jawab didalam menciptakan sistem yang self-
defeating seperti dalam konteks hukum korporasi yang
medorong berkembangnya model kepemilikan saham dan
penciptaan instrumen yang melegalisir pengambilan risiko
dan utang yang berlebihan (excessive risk taking dan
excessive leverage) dalam pengelolaan dana masyarakat
yang pada gilirannya dapat membahayakan perekonomian
secara makro. Dalam kenyataannya sistem hukum juga
harus mampu menangani kecenderungan prilaku manusia
(human factor) dalam aktivitas perekonomian seperti sifat
mementingkan diri sendiri dan serakah (self-interest and
greed) dan moral hazard dari suatu kebijakan ekonomi.
Sistem hukum harus mampu untuk mendeteksi and
mencegah setiap kemungkinan risiko terhadap para pihak
didalam transaksi perekonomian, dan bahkan bisa
mendeteksi kemungkinan dampak terhadap sistem
perekonomian secara keseluruhan. Persoalan ini tentu
hanya mudah diucapkan tapi tidak gampang dilakukan,
masalah teknikalitas transaksi dan “self interest and greed”
begitu tersembunyi dan tidak gampang diketahui sebelum
masalah benar-benar menjadi serius. Kita bisa dengan jelas
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
7
melihat dalam hal terjadi kegagalan suatu bank, baik di
Indonesia maupun di negara lainnya.
Kesulitan seperti ini sebenarnya bisa diatasi dengan studi
yang mendalam dan sistematis terhadap kekayaan
precedent/jurisprudensi yang dimiliki ilmu hukum sehingga
akan dapat memberikan clues untuk banyak perilaku
transaksi perekonomian dewasa ini dan di masa mendatang.
Memahami aspek hukum suatu transaksi perekonomian
tanpa memahami transaksi perekonomian itu sendiri telah
menjadikan hukum yang tidak efektif dan tidak relevan.
Kita menyaksikan suatu kerancuan kepada kerancuan lainnya
dalam penanganan sengketa hukum dari suatu transaksi
atau pemahaman aspek hukum dari suatu kebijakan
ekonomi, yang justru semakin menempatkan negara kita
dalam situasi ekonomi yang kurang kompetitif dan kepastian
hukum yang semakin memburuk.
Didalam dunia yang global dan kompetitif seperti sekarang,
suatu sistem hukum harus mampu memberikan nilai tambah
yang signifikan dalam mendorong inovasi dengan tetap
memelihara tingkat kepastian berusaha yang tinggi sehingga
hukum bisa memberikan kontribusi kepada daya saing suatu
negara dalam persaingan global dewasa ini. Tekanan
penyesuaian hukum nasional untuk menjadi hukum yang
fungsional dalam mendorong efisiensi dan daya saing
ekonomi nasional semakin meningkat dengan keikutsertaan
Indonesia diberbagai forum ekonomi bilateral, regional
maupun internasional. Adalah jelas bahwa akan sulit untuk
suatu negara untuk mempertahankan daya saing
perekonomiannya tanpa kerangka hukum dan regulasi yang
dapat mendorong efisiensi dan daya saing perekonomian
suatu negara.
Sistem hukum yang bekerja dengan baik mendorong
kegiatan pasar keuangan dan lembaga perantara
(intermediary). Membedakan negara-negara berdasarkan
efisiensi dari sistem hukumnya dalam mendorong transaksi
keuangan lebih berguna dibandingkan dengan membedakan
negara-negara berdasarkan apakah negara tersebut memiliki
sistem keuangan berdasar bank atau berdasar pasar (Jakob
De Haan, Sander Oosterloo, and Dirk Schoenmaker, 2009).
Untuk bisa memainkan peranan hukum seperti itu tentu
saja tidak mudah karena para ahli hukum harus memahami
dan mampu menangani berbagai persoalan yang menjadi
inti aktivitas bisnis itu sendiri seperti aspek efisiensi dan daya
saing, bekerja atau tidak bekerjanya pasar (market failure),
dan aspek risiko dari setiap transaksi perekonomian. Hanya
dengan pemahaman yang baik dari aspek ini maka kita bisa
menciptakan regulasi yang lebih baik, interpretasi yang
cerdas, dan implementasi yang lebih konsisten.
Aturan yang semata-mata menggantungkan kepada regulasi
kehati-hatian (prudential regulation) dan pengawasan berbasis
risiko (risk based supervision) sebagaimana dipraktekan
didalam dunia keuangan diberbagai negara terbukti tidak
mampu mengurangi pengambilan risiko yang berlebihan
(excessive risk taking) sehingga tidak mampu untuk mencegah
terjadinya krisis keuangan dan perekonomian yang telah
terjadi berulang-ulang. Sistem penilaian risiko yang diterapkan
oleh lembaga pengawas maupun lembaga pemeringkat
(rating agencies) terbukti tidak mampu mengungkapkan
risiko tersembunyi karena rekayasa keuangan/akutansi dan
hukum (financial/accounting and legal engeenering) yang
disinyalir banyak berkembang selama ini, dan bahkan
banyak diapresiasi di banyak institusi keuangan dalam rangka
mendorong peningkatan keuntungan yang sebenarnya tidak
dengan benar merefleksikan transaksi ekonomi nyata.
Ketidakpercayaan (distrust) terhadap regulator keuangan
dan lembaga pemeringkat dewasa ini masih terjadi dibanyak
negara.
Krisis keuangan dan ekonomi dunia dewasa ini berdampak
luar biasa terhadap kesejahteraan dan prospek kesejahteraan
rakyat kedepan. Krisis yang oleh Gordon Brown disebut
sebagai “The First Crisis of Globalization” telah menunjukkan
persoalan yang sangat fundamental dari dinamika transaksi
perekonomian yang selama ini berlangsung, dan dalam
waktu bersamaan disertai dengan proses liberalisasi dan
globalisasi perekonomian dunia. Proses inovasi perekonomian
dan globalisasi itu sendiri dilakukan dengan hanya melibatkan
peranan ahli hukum secara marginal. Oleh karena itu kedepan
para perumus kebijakan harus benar-benar memperhatikan
pendekatan holistik didalam mendorong dinamika dan daya
saing ekonomi nasional. Investasi dibidang kajian penelitian
interdisipliner harus menjadi investasi utama, baik untuk
pihak eksekutif, legislatif maupun yudikatif didalam
merumuskan kebijakan perekonomian nasional dan
memberikan suatu komitmen dalam kesepakatan global.
Globalisasi perekonomian telah menjadi bagian dari
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
8
kehidupan nyata masyarakat kita, demikian pula halnya
demokratisasi kehidupan perekonomian nasional. Hukum
ekonomi pada hakekatnya harus mampu memainkan
peranannya yang lebih menonjol dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu, sistem hukum
ekonomi nasional harus dijadikan sistem hukum yang efisien
dan efektif didalam mendorong transaksi perekonomian
nasional dan global. Paradigma berpikir para perumus
peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi, para
penegak dan praktisi hukum ekonomi kita harus integrated,
mengglobal dan tidak cenderung tunduk kepada kelompok
kepentingan domestik semata.
London, 2011.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
9
Halaman ini sengaja dikosongkan
ABSTRAK:
Perkembangan dan penerapan Teknologi Informasi dan
Komunikasi yang diterapkan dalam transaksi komersial
secara elektronik memberikan banyak keuntungan bagi
masyarakat, dan baik secara perlahan-lahan maupun secara
radikal sedang mengubah kebiasaan, pola pikir dan budaya
masyarakat, serta peraturan perundang-undangan. Akan
tetapi, perkembangan dan penerapan teknologi tersebut
menyisakan setidaknya dua masalah yang masih terus dibahas
dan dicari titik temunya: legalitas dan keamanan informasi.
Dalam transaksi yang dilakukan secara elektronik, para pihak
tidak perlu bertemu muka secara langsung, dan peranan
saksi semakin tidak terlihat. Oleh karena itu, diperlukan
mekanisme yang dapat digunakan oleh para pihak untuk
memastikan identitas dan kecakapan para pihak serta untuk
memastikan persetujuan yang diberikan masing-masing
pihak. Tanda tangan elektronik adalah salah satu teknologi
yang dikembangkan untuk mengatasi permasalahan-
permasalahan yang di maksud diatas. Penyelenggara
sertifikasi elektronik merupakan pihak ketiga yang dapat
dipercaya untuk memberikan tanda tangan elektronik.
Terkait dengan hal ini, ada dua pertanyaan besar: (i) peranan
notaris dalam penyelenggaraan transaksi elektronik, dan (ii)
kemungkinan pengaturan akta notaris secara elektronik
sebagai akta autentik di Indonesia.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengangkat wacana dalam
menjawab kedua pertanyaan di atas dengan melakukan
komparasi awal antara pengaturan penyelenggaraan
sertifikasi elektronik dan peranan notaris di Belanda dan di
Indonesia. Dari perbandingan tersebut, terlihat jelas bahwa
sebagai negara-negara yang menganut Civil Law, Belanda
dan Indonesia mengatur notaris sebagai profesional yang
memiliki kewenangan publica fides. Negara-negara tersebut
mengakui akta notaris sebagai akta autentik. Lebih lanjut,
notaris di Belanda telah mengembangkan bidang baru bagi
notaris, yaitu sebagai registration authority (RA) dalam bidang
penyelenggaraan sertifikasi elektronik. Peranan notaris
sebagai RA juga dapat diterapkan di Indonesia karena
dimungkinkan berdasarkan UU Jabatan Notaris dan UU
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Peranan notaris
sebagai RA harus diatur dalam peraturan perundang-
undangan. UU ITE juga mengatur bahwa akta autentik
elektronik belum dapat diterapkan. Hal ini sejalan dengan
konsep publica fides. Oleh karena itu, pengaturan ini perlu
dipertahankan
Development and deployment of information and
communication technology (ICT) in electronic commercial
transaction have provided many benefits for societies. ICT
is changing habits, paradigm, and law and regulations.
However, there are two issues remain: legal and security
issues. In electronic transaction, parties have no need to
meet their counterparts personally and directly; the
importance of witness is also getting blurred. Therefore, it
is necessary for parties to establish mechanisms to ensure
the identity and capability of their counterparts and to ensure
their consent. Electronic signature is one of many technologies
developed to solve the issues. Certification Authority (CA)
is a service provider that can act as trusted third party to
deliver electronic signature. Discussion related to this topic
raised two main questions: (i) notaries’ role in certification
authority scheme, and (ii) the possibility to regulate electronic
notaries deed as authentic document in Indonesia.
This paper attempts to address the issues through comparison
of regulations in Netherland and Indonesia. From the
comparisons, it is sufficiently clear that as civil law countries,
Netherland and Indonesia regulate notaries as professional
who have publica fides. The countries acknowledge notary
deed as authentic instrument. Further, notaries in Netherlands
have developed specialization in electronic transaction
process, particularly in certification authority area; notaries
can be part of electronic transaction process as registration
authority (RA). However, it is not possible for notaris to
establish electronic notarial deed as authentic instrument.
Notaries’ role as RA can be implemented in Indonesia since
11
eNotaris Indonesia: Komparasi Awal Peranan Notaris dalam Penyelenggaraan Transaksi ElektronikOleh:Josua Sitompul, SH., IMMSecurity world and legal world are really hard to combine. (M.B. Voulon, Consultant in Governance, Law and ICT)
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
Notary Law and Electronic Information and Transaction Law
(EIT) open the possibility; implementation regulation should
follow. EIT also regulate that it is not possible to establish
electronic notary deed. Such provision should not be revised.
A. Pendahuluan
Perkembangan dan penerapan teknologi informasi dan
komunikasi memberikan banyak keuntungan bagi
masyarakat: komunikasi yang semakin cepat dengan
biaya yang semakin murah dan dapat dilakukan dari
berbagai tempat dan waktu di dunia; transaksi komersial
dengan sistem online di berbagai bidang seperti di
perbankan, penerbangan, atau perasuransian; serta
akses terhadap informasi yang semakin luas.
Perkembangan dan penerapan teknologi informasi
tersebut baik secara perlahan-lahan maupun secara
radikal mengubah kebiasaan, pola pikir dan budaya
masyarakat, serta peraturan perundang-undangan.
Salah satu perubahan yang terjadi adalah dalam bidang
transaksi elektronik yang bersifat komersial. Menurut
M.B. Voulon (2011)1 dalam transaksi elektronik yang
bersifat komersial, perkembangan teknologi menyisakan
setidaknya dua masalah yang masih terus dibahas dan
dicari titik temunya: legalitas dan keamanan informasi.
Legalitas berbicara mengenai keabsahan suatu transaksi
elektronik, termasuk mengenai informasi yang
dipertukarkan secara elektronik, dan dapat/tidaknya
suatu informasi elektronik digunakan sebagai alat bukti
di pengadilan. Keamanan informasi, di lain pihak,
menekankan pada perlindungan terhadap data untuk
menjaga kerahasiaan (confidentiality), keutuhan (integrity),
dan ketersediaan (availability) data.
Para pihak yang melakukan transaksi komersial secara
konvensional bertemu muka dan menyepakati hak dan
kewajiban yang akan mengikat mereka secara hukum.
Untuk itu, mereka harus cakap dalam melakukan
perbuatan hukum dan memiliki itikad baik (good will).
Dalam transaksi komersial ada resiko, dan resiko dapat
dipengaruhi oleh, antara lain, nilai transaksi dan adanya
itikad baik dari pihak lawan (counter part). Selain itu,
muncul kebutuhan untuk membuat kesepakatan dalam
bentuk tertulis dan ditanda tangani oleh para pihak
sehingga diperlukan kertas dan pena untuk menuangkan
hak dan kewajiban sehingga masing-masing pihak
mengingatnya dan tidak memungkirinya. Para pihak
juga menggunakan pengaman lain dengan meminta
kehadiran saksi dalam transaksi yang mereka lakukan
untuk melindungi kepentingan mereka masing-masing.
Para pihak juga dapat meminta kehadiran pejabat, yaitu
orang yang memiliki kewenangan untuk membuat
dokumen dimaksud dan menyimpannya, dan pejabat
yang dimaksud mengukuhkan kesepakatan antara pihak.
Akan tetapi, dalam transaksi yang dilakukan secara
elektronik, para pihak tidak perlu bertemu muka secara
langsung. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting
mengenai identitas dan kecakapan mereka dalam
melakukan perbuatan hukum. Peranan saksi juga
semakin tidak terlihat. Dengan demikian, dalam transaksi
elektronik diperlukan mekanisme yang dapat digunakan
oleh para pihak untuk memastikan identitas dan
kecakapan para pihak serta mekanisme untuk memastikan
persetujuan yang diberikan masing-masing pihak.
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang di
maksud diatas, dikembangkan teknologi untuk
mengidentifikasi dan mengautentikasi orang yang
melakukan transaksi secara elektronik, yaitu bahwa
orang tersebut adalah orang yang dimaksud dan bahwa
dia-lah yang memberikan persetujuan terhadap transaksi
yang dilakukannya. Salah satu teknologi yang
dikembangkan ialah tanda tangan elektronik.
Penyelenggaraan tanda tangan elektronik dapat
dilakukan oleh para pihak atau menggunakan pihak
ketiga yang dapat dipercaya (trusted third party) yang
mengeluarkan sertifikat tanda tangan elektronik bagi
pengguna.
Berbicara mengenai tanda tangan elektronik dan pihak
ketiga yang dapat dipercaya, muncul diskusi mengenai
peranan notaris dalam transaksi elektronik. Notaris adalah
pejabat yang berwenang untuk mengautentikasi tanda
tangan dan juga membuat akta. Berdasarkan diskusi-
diskusi tersebut, muncul dua pertanyaan besar: (i) peranan
notaris dalam penyelenggaraan transaksi elektronik, dan
(ii) kemungkinan pengaturan akta notaris secara elektronik
sebagai akta autentik di Indonesia.
12
1 Wawancara tanggal 8 April 2011.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengangkat wacana
dalam menjawab kedua pertanyaan di atas yang
didasarkan pada perbandingan dengan pengaturan
eNotaris di Belanda.
B. Konsep eNotaris
Konsep eNotaris masih merupakan konsep yang ambigu
dalam sistem hukum di Indonesia. Oleh karena itu,
sebelum membahas mengenai konsep yang dimaksud,
perlu dipaparkan secara singkat mengenai beberapa
konsep yang membangun konsep eNotaris.
1. Tanda Tangan
Dalam suatu perbuatan hukum, tanda tangan
memiliki banyak fungsi. Pada dasarnya, tanda tangan
melekat pada si pemilik tanda tangan itu sendiri.
Dengan demikian, ketika seseorang membubuhkan
tanda tangannya, tanda tangan itu merujuk pada
identitas pemilik yang sekaligus merupakan alat
identifikasi. Selain itu, tindakan yang dimaksud
mengindikasikan bahwa penanda tangan hadir dan
terlibat dalam suatu perbuatan hukum2. Di sisi lain,
kehadiran tanda tangan dalam suatu dokumen
menunjukkan maksud dan tujuan perbuatan hukum
yang tercantum dalam dokumen, dan bahwa
penanda tangan menyetujui isi dari dokumen tersebut
serta mengikatkan diri dalam suatu perbuatan hukum
yang diatur dalam dokumen yang dimaksud.
2. Notaris Civil Law dan Common Law
Penjabaran mengenai peran dan fungsi notaris dalam
sistem Civil Law dan Common Law sangat penting
dalam mendiskusikan konsep eNotaris. Peran dan
fungsi notaris dalam kedua sistem hukum ini memiliki
kesamaan yang dapat dilihat mulai dari jaman
Romawi, tetapi peran dan fungsi notaris menjadi
berbeda semenjak abad pertengahan. Notaris Civil
Law lebih dikenal dengan Latin Notary, sedangkan
notaris Common Law dikenal dengan Notaries public.
Notaris Civil Law merupakan pejabat publik yang
diangkat oleh negara. Dalam konsep hukum ini,
notaris memiliki publica fides, yaitu kewenangan
untuk mengautentikasi dan menyatakan kebenaran
identitas para pihak, termasuk tanda tangan mereka.
Selain itu, notaris berwenang untuk menentukan
keakuratan dan kebenaran informasi yang diberikan
para pihak mengenai perbuatan hukum yang mereka
lakukan. Semua informasi yang dimaksud ditulis
dalam suatu akta yang dibuat berdasarkan format
tertentu3. Oleh karena itu, notaris bertanggung
jawab atas kebenaran identitas para pihak,
keautentikan tanda tangan mereka, dan keabsahan
perbuatan hukum yang mereka lakukan. Notaris
Latin menekankan tanggung jawab profesi dalam
suatu transaksi daripada tanggung jawab kepada
para pihak karena notaris memberikan layanan
kepara para pihak yang berkepentingan, dan bukan
klien4. Dalam melaksanakan tanggung jawabnya,
kemandirian dan ketidakberpihakan merupakan
prinsip-prinsip yang harus diterapkan.
Yang dimaksud dengan keabsahan transaksi ialah
semua fakta hukum dalam transaksi haruslah benar,
misalnya: kebenaran waktu, kesesuaian transaksi
dengan peraturan perundang-undangan, dan
pemahaman para pihak terhadap transaksi yang
mereka lakukan. Untuk itu, para pihak harus
menghadap notaris dan notaris harus memeriksa
semua persyaratan tersebut.
Semua detail transaksi harus tertuang dalam akta
notaris yang merupakan dokumen yang dibuat
berdasarkan format baku atau standar tertentu.
Notaris harus menyimpan dan memelihara protokol,
yaitu kumpulan dokumen yang merupakan arsip
negara. Dengan kata lain, notaris adalah wali negara
yang diberikan wewenang untuk menyimpan dan
memelihara dokumen negara5.
13
2 Yin-Miao (Vicky), Liu, 2004, Thesis, Visually Sealed and Digitally Signed Electronic Documents: Building on Asian Tradition, Information Security Research Centre Faculty of Information Technology, Queensland University of Technology.
3 Pedro A. Malavet, Counsel for the Situation: The Latin Notary, a Historical and Comparative Model, January 1996, Hastings Int’l & Comparative Law Review, Vol. 19, No.3, hal. 440.
4 Council of the Notariats of the European Union, Comparative Study on Authentic Instruments: National Provisions of Private Law, Circulation, Mutual Recognition and Enforcement, Possible Legislative Initiative by European Union England, France, Germany, Poland, Romania, Sweden, Study for the Europen Parliament No IP/C/JURI/IC/2008-019.
5 Pedro A. Malavet, Op. Cit. hal. 391.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
Untuk menjadi notaris, seseorang harus telah
mencapai usia tertentu (misalnya 25 tahun), dan
telah menyelesaikan studi yang khusus di bidang
kenotariatan. Tidak hanya itu, untuk menjadi notaris,
seseorang juga harus telah lulus ujian notariat dan
telah pernah bekerja di kantor notaris untuk waktu
yang ditentukan.
Di lain pihak, notaris Common Law, bukan merupakan
pejabat publik dan tidak memiliki kewenangan publica
fides. Tugas utama notaris ialah mengidentifikasi
para pihak dan mengautentikasi tanda tangan
mereka. Notaris tidak memiliki kewenangan untuk
memastikan keabsahan transaksi yang dilakukan
para pihak. Untuk menjadi notaris dalam sistem
hukum Common Law tidak diperlukan persyaratan
seketat dalam sistem Civil Law. Secara umum, untuk
menjadi notaris seseorang harus telah mencapai usia
tertentu (misalnya 18 (delapan belas tahun) di Amerika
Serikat), serta dapat membaca dan menulis dengan
baik. Notaris diharuskan memiliki pemahaman-
pemahaman dasar mengenai hukum dan memiliki
moral yang baik. Untuk menjadi notaris, seseorang
harus mengajukan permohonan kepada pejabat
negara dan diangkat oleh pejabat negara yang
bersangkutan (misalnya gubernur, letan gubernur,
atau hakim)6.
3. Akta Autentik
Dalam sistem Civil Law, secara umum, dikenal tiga
bentuk dokumen. Pertama, Akta autentik (authentic
instruments). Akta autentik memiliki kekuatan
pembuktian yang sempurna (probative value) karena
dibuat oleh pejabat yang berwenang berdasarkan
publica fides dengan kualifikasi yang ketat sebagai
profesional. Dalam hal terjadi sengketa, akta notaris
merupakan dokumen yang langsung dapat dijadikan
alat bukti tanpa perlu meminta notaris memberikan
kesaksian di hadapan pengadilan7.
Kedua, akta yang ditandatangani oleh para pihak.
Dalam hal ini, pejabat yang berwenang hanya
mengautentikasi keaslian tanda tangan para pihak,
dan bukan isi dari kesepakatan para pihak. Dengan
demikian, pejabat tersebut tidak berkewajiban untuk
memberikan konsultasi mengenai isi kesepakatan
dan bagaimana seharusnya kesepakatan tersebut
tertuang dalam suatu dokumen. Ketiga, akta dibawah
tangan, yaitu akta yang ditandatangani oleh para
pihak tanpa diautentikasi oleh pejabat yang
berwenang8.
Dalam sistem Civil Law, konsep preventive justice
merupakan dasar untuk memahami fungsi akta
autentik. Pada dasarnya mekanisme preventive justice
dalam akta autentik ialah mekanisme kontrol yuridis
yang diterapkan dalam suatu transaksi untuk
memberikan kepastian hukum melalui autentikasi
terhadap legalitas dan validitas suatu dokumen yang
dilakukan oleh pejabat yang berwenang9. Oleh karena
itu, akta autentik memiliki kekuatan pembuktian
yang sempurna (res judicata – probative value –
binding effect without the possibility of further judicial
review) dan dapat dipaksakan kepada para pihak.
Dengan demikian para pihak dapat mencegah proses
peradilan yang memakan waktu dan biaya untuk
memeriksa keabsahan akta yang merupakan bukti
bagi para pihak, termasuk ketentuan-ketentuan
dalam akta tersebut.
Kehadiran pejabat (misalnya notaris) dalam
pembuatan suatu akta autentik dalam sistem Civil
Law menunjukkan adanya kewenangan dari negara
dan kompetensi untuk membuat akta. Oleh karena
itu, kewajiban untuk tidak berpihak (impartial) adalah
salah satu syarat utama dalam menjalankan profesi
sebagai pejabat yang dimaksud. Pejabat yang
berwenang itu telah melengkapi fungsi hakim sebagai
pihak yang menyelesaikan sengketa mengenai
ketentuan yang disepakati sebelumnya oleh para
pihak10. Oleh karena itu, pihak yang melakukan
autentikasi tidak dapat berasal dari privat11.
Pejabat pembuat akta, sebelum akta yang dimaksud
ditandatangani oleh dan diserahkan kepada para
14
6 Pedro A. Malavet, Op.Cit.
7 Council of the Notariats of the European Union, Op.Cit. hal. iv.
8 Council of the Notariats of the European Union, Op.Cit. hal. 9-11.
9 Council of the Notariats of the European Union, Op.Cit. hal. 3.
10 Council of the Notariats of the European Union, Op.Cit. hal. 3-4.
11 Council of the Notariats of the European Union, Op.Cit. hal. 22-25.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
pihak, harus melakukan autentifikasi dengan
memastikan bahwa para pihak yang melakukan
transaksi memiliki kecakapan (secara mental dan
hukum), ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh
para pihak tidak bertentangan dengan hukum, dan
para pihak mengerti tentang apa yang mereka
sepakati12.
Mengingat notaris Common Law tidak memiliki
kewenangan publica fides, dalam sistem Common
Law secara umum, tidak dikenal konsep akta autentik.
Dalam hal terjadi sengketa, akta notaris tidak dapat
langsung dijadikan alat bukti. Notaris harus
memberikan kesaksian di hadapan pengadilan bahwa
notaris membuat akta yang disengketakan serta
memberi kesaksian mengenai kebenaran identitas
para pihak dan keautentikan tanda tangan. Sistem
hukum Common Law hanya mengenal adanya
dokumen yang dibuat oleh para pihak yang tanda
tangannya diautentikasi oleh pejabat yang
berweanag, dan akta di bawah tangan13.
Dalam sistem hukum Common Law dikenal adanya
dokumen publik (public document), tetapi konsep
ini berbeda dari konsep akta autentik karena
dokumen publik adalah dokumen yang terkait
dengan aktivitas dari suatu instansi pemerintah dan
dikeluarkan oleh institusi pemerintah atau pejabat
publik lainnya, misalnya: akta kelahiran atau kematian
serta putusan pengadilan. Dengan demikian, konten
dari dokumen publik adalah hal-hal yang terkait
dengan publik14.
15
12 Council of the Notariats of the European Union, Op.Cit. hal. 36-37.
13 Pedro A. Malavet, Op.Cit.
14 Council of the Notariats of the European Union, Op.Cit.
Tabel Perbandingan Notaris Civil Law dan Notaris Common Law
Notaris Civil LawPerbandingan Notaris Common Law
Fungsi
Tugas utama
Persyaratan untuk menjadi notaris
Konsep Akta Autentik
Sifat akta yang dibuat notaris
Akta Notaris di pengadilan
Profesional & pejabat publik yang memiliki publica fides (governmental power – administrative – to authenticate or to certify) the contents of the documents
- membuat akta autentik (termasuk di dalamnya mengautentikasi fakta hukum)
- mengidentifikasi para pihak- mengautentikasi tanda tangan- menyimpan protokol (kumpulan dokumen
yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh notaris)
Persyaratan ketat: memiliki pendidikan hukum yang memadai dan lulus ujian serta diangkat oleh negara
Dikenal
- Akta autentik (dibuat berdasarkan ketentuan yang ketat mengenai bentuk dan isi)
- Kekuatan pembuktian yang sempurna (probative value)
Konsekuensi dari kewenangan publica fides
Tidak perlu dibuktikan dihadapan pengadilan
Tidak dapat dikatakan sebagai professional & bukan pejabat publik
- identifikasi para pihak- autentikasi tanda tangan
(tidak memiliki kewenangan untuk mengautentikasi fakta hukum)
Persyaratan: memiliki moral yang baik, kemampuan menulis dan membaca, dan ditunjuk oleh pejabat negara
Tidak dikenal
- Tidak ada konsep akta autentik
Notaris harus memberikan kesaksian di hadapan pengadilan
4. Tanda Tangan Elektronik
Tanda tangan elektronik pada dasarnya adalah teknik
dan mekanisme yang digunakan untuk memberikan
kesamaan fungsi dan karakteristik tanda tangan
tertulis (basah) yang dapat diterapkan dalam
lingkungan elektronik (functional equivalence
approach). Tanda tangan elektronik merupakan data
dalam bentuk elektronik yang dilekatkan, terasosiasi
atau terkait dengan informasi elektronik yang
berguna untuk mengidentifikasi penanda tangan
dan menunjukkan persetujuan penanda tangan atas
informasi elektronik yang dimaksud. Dengan kata
lain, tanda tangan elektronik berfungsi sebagai alat
verifikasi dan autentikasi.
Ada berbagai jenis tanda tangan elektronik. Akan
tetapi, secara umum tanda tangan elektronik dapat
dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu tanda tangan
digital dan tanda tangan elektronik selain tanda
tangan digital. Tanda tangan digital dihasilkan dan
diverifikasi dengan menggunakan kriptografi, yaitu
cabang matematika terapan yang digunakan untuk
mengubah pesan ke dalam bentuk yang tidak dapat
dibaca secara langsung dan kembali kepada bentuk
awalnya. Tanda tangan digital menggunakan
kriptografi kunci publik (public-key cryptography)
yang didasarkan pada fungsi logaritma untuk
menghasilkan dua jenis kunci yang berbeda tetapi
saling terkait secara matematis. Kunci pertama
adalah kunci privat yang digunakan untuk
menghasilkan tanda tangan digital, sedangkan kunci
yang kedua adalah kunci publik yang berfungsi
untuk memverifikasi tanda tangan digital. Dengan
demikian, tanda tangan digital telah diverifikasi
apabila: (i) kunci privat digunakan untuk
menandatangani pesan, (ii) pesan tidak berubah.
C. Penyelenggaraan CA & Peranan Notaris dalam
Penyelenggaraan CA di Belanda
1. Penyelenggaraan Certification Authority (CA)
Penyelenggaraan CA di Negara Belanda terkait
dengan berbagai instrumen Uni Eropa yang
diterapkan dalam sistem hukum Belanda. Salah satu
instrumen yang dimaksud ialah European Union
Directive 1999/93/EC tentang Electronic Signature
(EU Directive on eSignature). Dalam bagian ini dibahas
secara singkat EU Directive on eSignature dan
penerapannya dalam sistem hukum Belanda.
a. EU Directive on eSignature
EU Directive on eSignature dimaksudkan untuk
memfasilitasi penggunaan tanda tangan
elektronik dan mengatur akibat hukumnya. Akan
tetapi, directive ini tidak mengatur mengenai
penyelesaian kontrak dan keabsahannya atau
mengenai kewajiban hukum lainnya tentang
penggunaan dokumen yang dipersyaratkan oleh
peraturan perundang-undangan nasional atau
peraturan Uni Eropa untuk dibuat dalam bentuk
tertentu.
EU Directive on eSignature mengatur tiga jenis
tanda tangan elektronik sebagai berikut.
1) Tanda tangan elektronik secara umum, yaitu
data dalam bentuk elektronik yang dilekatkan
kepada, atau secara logis terasosiasi dengan,
data elektronik lainnya dan berfungsi sebagai
satu metode autentikasi15.
2) Advanced electronic signatures, yaitu tanda
tangan elektronik yang memenuhi persyaratan:
a) secara unik terkait dengan penanda
tangan;
b) mampu mengidentifikasi penanda tangan;
c) dibuat dengan alat yang hanya berada
dalam kuasa penanda tangan; dan
d) terkait dengan data yang lain yang terkait
sehingga dalam hal terdapat perubahan
data dapat diketahui.
3) Advanced electronic signature yang
menggunakan qualified certificate. Qualified
certificate yang dimaksud harus memenuhi
persyaratan tertentu dan dikeluarkan oleh
penyelenggara sertifikat elektronik yang telah
memenuhi persyaratan terkait dengan
prosedur, pengoperasian, personel, sistem,
serta alat dan perangkat yang digunakan.
16
15 data in electronic form which are attached to or logically associated
with other electronic data and which serve as a method of authentication;
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
EU Directive on eSignature mengatur dengan
tegas bahwa advanced electronic signature
yang menggunakan qualified certificate dan
dibuat dengan secure-signature-creation device
merupakan jenis tanda tangan yang memiliki
tingkat keamanan yang paling tinggi
dibandingkan dengan kedua jenis tanda tangan
lainnya sehingga memiliki akibat hukum yang
sama dengan tanda tangan tertulis, dan dapat
digunakan sebagai alat bukti dalam proses
peradilan16. Namun demikian, tanda tangan
elektronik lainnya masih tetap dapat memiliki
akibat hukum dan dapat diajukan dalam proses
peradilan17.
b. Perundang-undangan di Belanda
EU Directive on eSignature diterapkan di Belanda
dengan mengamandemen Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Undang-
Undang Telekomunikasi (Telecommunicatiewet),
dan Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi
(Wet op de Economische Delicten). Tujuan
pengaturan tanda tangan elektronik tersebut
ialah dokumen elektronik dan tanda tangan
elektronik harus memiliki fungsi yang ekuivalen
atau memenuhi fungsi-fungsi yang sama dari
dokumen kertas dan tanda tangan konvensional.
Beberapa fungsi tersebut adalah: fungsi
pembuktian, fungsi informasi dan komunikasi,
dan perlindungan terhadap pihak ketiga18.
(1)Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Belanda (Burgelijk Wetboek - BW Belanda)
Dalam Buku III KUHPerdata Belanda telah
ditambahkan satu bagian baru yaitu Section
1A tentang Electronic Transactions in Respect
of Proprietary Rights (elektronisch
vermogensrechtelijk rechtsverkeer).
Berdasarkan Pasal 15a Buku III BW, tanda
tangan elektronik memiliki akibat hukum
yang sama dengan tanda tangan
konvensional apabila tanda tangan elektronik
tersebut menggunakan qualified certificate
sebagaimana diatur dalam EU Directive on
eSignature19. Dengan kata lain, pada
prinsipnya, tanda tangan elektronik yang
tidak menggunakan qualified certificate tidak
memiliki akibat hukum yang sama seperti
tanda tangan tertulis atau konvensional. Akan
tetapi, para pihak yang melakukan transaksi
dapat mengecualikan prinsip ini sebagaimana
diatur dalam Pasal 15a (6) Buku III BW.
Pengecualian tersebut harus memenuhi
ketentuan pada ayat 1, yaitu sufficiently
reliable, having regard to the purpose for
which the electronic data are used.
Berdasarkan Pasal 6:227a(2) BW mengatur
bahwa sepanjang udang-undang
mengharuskan dibuatnya akta autentik, maka
akta tersebut tidak dapat dibuat dalam bentuk
elektronik. Akan tetapi, dalam BW telah diatur
kemungkinan akta dibawah tangan yang
dibuat secara elektronik.
(2)UU Telekomunikasi
(Telecommunicatiewet)
Pasal 15a Buku III BW mengacu kepada
Telecommunicatiewet. Menurut Pasal 1.1
(ss) yang dimaksud dengan sertifikat
elektronik ialah sertifikat yang digunakan
untuk memverifikasi tanda tangan elektronik
seseorang dan memastikan identitas orang
tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan
qualified certificate ialah sertifikat yang
memenuhi persyaratan yang ditentukan
dalam Pasal 18.15, paragraf kedua dan
dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi
elektronik yang memenuhi persyaratan
sebagaimana diatur dalam Pasal 18.15,
paragraf pertama20. Akan tetapi, Pasal 18.15
tidak mengatur secara spesifik ketentuan
mengenai persyaratan qualified certificate
dan persyaratan penyelenggara sertifikasi
elektronik yang dapat mengeluarkan qualified
certificate. Pasal 18.15 mengatur bahwa
17
16 Pasal 5.1 dan lihat pertimbangan EU Directive on eSignature butir 20.
17 Pasal 5.2 EU Directive on eSignature.
18 Corien Prins, Regulating Electronic Commerce in the Netherlands, vol 6.4 ELECTRONIC JOURNAL OF COMPARATIVE LAW, (December 2002), <http://www.ejcl.org/64/art64-28.html>
19 Standar yang digunakan oleh pemerintah Belanda ialah ETSI.
20 Pasal 1.1 (tt) Telecommunicatiewet.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
ketentuan mengenai kedua hal tersebut
diatur oleh suatu organisasi tersendiri.
Organisasi inilah yang akan melakukan audit
mengenai terpenuhinya seluruh persyaratan
yang dimaksud dan menerbitkan sertifikat
bagi penyelenggara sertifikasi elektronik.
Sertifikat inilah yang menjadi bukti bahwa
penyelenggara telah memenuhi seluruh
persyaratan dan dapat mengeluarkan
qualified certificate21. Onafhankelijke Post
en Telecommunicatieautoriteit (OPTA) adalah
organisasi yang menjalankan fungsi yang
diamanatkan dalam Pasal 18.1522.
(3)Undang-Undang Tindak Pidana
Perekonomian (Wet op de Economische
Delicten)
Wet op de Economische Delicten mengatur
bahwa pelanggaran terhadap Pasal 15d
(paragraf pertama dan kedua) dan Pasal 15e
(paragraf pertama dan kedua) dari Buku III
BW merupakan salah satu tindak pidana di
bidang perekonomian.
2. Peranan Notaris dalam Penyelenggaraan CA
a. Pengaturan Notaris
Dalam sistem hukum Belanda yang menganut
sistem hukum Civil Law, notaris merupakan profesi
yang memiliki dua peran sekaligus. Di satu sisi
notaris merupakan profesi yang sejajar dengan
advokat yang memberikan layanan komersial
kepada klien. Akan tetapi, di sisi lain, notaris
sama seperti seorang hakim yang ditunjuk dan
diangkat oleh Kerajaan untuk seumur hidup
(sampai berumur 65 tahun). Oleh karena itu
notaris juga harus bertindak secara seimbang
bagi para pihak yang melakukan transaksi.
Misalnya, dalam transaksi jual beli tanah, notaris
harus memberikan layanan dan pemahaman
hukum baik kepada penjual maupun kepada
pembeli. Untuk menjadi notaris, seseorang harus
lulusan dari fakultas hukum.
Selain memberikan nasehat hukum, notaris juga
menyimpan salinan perjanjian yang dilakukan
berdasarkan ketentuan perundang-undangan
atau berdasarkan permintaan para pihak. Akta
yang dibuat oleh notaris memiliki kekuatan
pembuktian yang sempurna.
Notaris diatur dalam Wet Op Notarisambt
(UU Notaris Belanda) yang diundangkan pada 1
Oktober 1999. Beberapa hal yang diatur dalam
UU Notaris Belanda ialah notaris dilarang
mejalankan profesi selain profesi notaris. Akan
tetapi notaris dapat mengembangkan layanan
jasanya dan melakukan spesialisasi, seperti dalam
bidang mediasi, pertanian, dan penyelenggaraan
transaksi elektronik.
Notaris diawasi oleh Koninklijke Notariele
Beroepsorganisatie (KNB). Pengawasan yang
dimaksud mencakup penyelenggaraan layanan
notaris dan biaya layanan notaris. Layanan yang
diberikan oleh notaris mencakup jual beli tanah
dan bangunan, membuat atau menerbitkan
perjanjian, melegalisasi tanda tangan, membuat
dan mengubah serta melaksanakan surat wasian,
dan membuat akta pendiriaan perusahaan.
Akan tetapi, berdasarkan Undang-Undang
Notaris Belanda, notaris memiliki keleluasaan
untuk menentukan biaya layanannya. Untuk
menjalankan profesinya, seorang calon notaris
harus menyerahkan rencana bisnis kepada
Komite untuk dievaluasi.
b. Akta Autentik dalam Sistem Hukum Belanda
Dalam Wetboek van Burgeligjke van
Rechtvordering (Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Perdata Belanda – WBR) diatur mengenai
akta sebagai alat bukti. Dalam Pasal 156.1 WBR
diatur bahwa akta yang ditandatangani dapat
18
21 Pasal 18.16a Telecommunicatiewet.
22 Secara umum, OPTA adalah organisasi yang dibentuk untuk membangun lingkungan bisnis pos dan telekomunikasi di Belanda dan mengawasi serta mengevaluasi para pelaku usaha di bidang pos dan telekomunikasi. OPTA merupakan suatu organisasi administrasi yang bersifat independen dan melekat kepada Kementerian Perekonomian, Pertanian dan Inovasi (Ministrie van Economische Zaken, Landbow en Innovatie). Walaupun melekat, Kementerian Perekonomian tidak memiliki kontrol langsung terhadap OPTA termasuk yang keputusan yang dibuat oleh oranganisasi independen tersebut. Akan tetapi, Kementerian Perekonomian memiliki tanggung jawab secara politik dalam penunjukan dan pengangkatan Komisi OPTA, persetujuan anggaran dan kelangsungan OPTA.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
dijadikan alat bukti. Akta autentik ialah akta
yang dibuat berdasarkan format tertentu oleh
pejabat yang berwenang23. Akta autentik
memiliki kekuatan pembuktian yang penuh
terhadap setiap orang tentang apa yang pejabat
nyatakan dalam lingkup kewenangannya
mengenai hal-hal yang ia amati atau nyatakan.
Sedangkan berdasarkan Pasal 156.3 WBR
ditegaskan bahwa akta dibawah tangan tidak
termasuk dalam kategori akta autentik.
3. DigiNotar, suatu contoh
DigiNotar adalah salah satu penyelenggara sertifikasi
elektronik yang mengeluarkan qualified certificate
di Belanda24. Organisasi ini merupakan trusted third
party (TTP) yang dibentuk oleh notaris Civil Law dan
spesialis IT di Belanda.
Bekerja sama sama dengan sekitar 50 (lima puluh)
notaris di Belanda, DigiNotar menerbitkan beberapa
jenis sertifikat yang didasarkan pada ‘siapa’ atau
‘apa’ yang diidentifikasi oleh DigiNotar dan
‘kewenangan’ yang dimiliki oleh pengguna sertifikat.
Semua sertifikat adalah milik DigiNotar, dan semua
pengguna diberikan hak untuk menggunakan
Sertifikat dan Kunci, sehingga tidak diperbolehkan
peralihan kepemilikan. Sertifikat yang pernah
dikeluarkan oleh DigiNotar, antara lain:
1) Sertifikat Perorangan (Natuurlijk Persoonscertificaat)
ditujukan bagi pribadi kodrati (naturlijk person)
dan digunakan untuk mengidentifikasi seseorang
sebagai pribadi kodrati;
2) Sertifikat Perusahaan (Bedrijfscertificaat)
dimaksudkan untuk mengidentifikasi seseorang
yang diberi kewenangan suatu perusahaan untuk
mewakili perusahaan tersebut;
3) Sertifikat Organisasi untuk Perorangan
(Persoonsgebonden Organisatiecertificaat), yaitu
dimaksudkan untuk mengidentifikasi pribadi
kodrati sebagai pekerja dari suatu organisasi
tanpa mengindikasikan adanya kewenangan
pribadi tersebut untuk mewakili organisasi;
4) Sertifikat Profesi (Beroepscertificaat), dimaksudkan
untuk mengidentifikasi pribadi kodrati sebagai
pekerja professional yang idendependen. Sertifikat
ini diberikan kepada, misalnya, notaris, Inspektur
Pencatat Kapal (Inspecteur Scheepsregistratie),
Juru Sita (Gerechtsdeurwaarder), dan Juru Sita
Kekaisaran (Rijksdeurwaarder);
5) Sertifikat Amplop (Envelopcertificaat),
dimaksudkan untuk mengidentifikasi suatu
organisasi atau departmen dari organisasi tanpa
mengidentifikasi pribadi kodrati;
4. Peranan Notaris dalam Penerbitan Sertifikat
Elektronik
Dalam struktur DigiNotar, notaris berperan sebagai
Registration Authority (RA) dan bertugas melakukan
verifikasi data25. Menurut regulasi di Belanda, fungsi
RA dapat dilakukan tidak hanya oleh notaris. Akan
tetapi, salah satu keuntungan notaris yang berfungsi
sebagai RA ialah Notaris memiliki kewenangan
berdasarkan undang-undang untuk melakukan
identifikasi seseorang dan autentikasi tanda tangan.
Seseorang yang akan menggunakan layanan sertifikat
elektronik yang diterbitkan oleh DigiNotar harus
mengisi formulir yang dapat diakses dari website
DigiNotar sesuai dengan sertifikat yang akan
digunakan. Formulir tersebut memuat permintaan
informasi tentang, antara lain, identitas pemohon
dan kartu identitas. Dalam hal yang pemohon
diwakilkan, maka wakil tersebut harus menunjukkan
kuasa yang diberikan olehnya. Setelah semua
informasi dipenuhi, pemohon atau wakil pemohon
harus mendatangi notaris yang beraliansi dengan
DigiNotar26 atau notaris lain yang ada di Belanda
19
23 Pasal 156.2 WBR.
24 MHM Schellekens, Electronic Signatures Authentication Technology from a Legal Perspective, TMC Asser Press, the Hague, Information Technology & Law Series 5, hal. 38-39.
25 CPS DigiNotar 30 October 2007, CPS DigiNotar General Version 3.5.
26 Biaya legalisasi tanda tangan sangat beragam (sekitar €25 s.d. €50) karena regulasi di Belanda telah meliberalisasi biaya layanan kenotariatan, kecuali biaya di bidang hukum keluarga. Dengan adanya kerja sama antara DigiNotar dengan notaris, maka biaya legalisasi sudah tercakup dalam keseluruhan biaya pembuatan sertifikat elektronik.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
dengan membawa formulir dan dokumen pendukung
(seperti kartu identitas, paspor, dan akta pendirian
perusahaan). Notaris secara konvensional memeriksa
dan memastikan bahwa pemohon telah mengisi
formulir dengan benar dan memeriksa kesesuaian
antara informasi yang diberikan dan dokumen
pendukung. Dalam hal pemohon berada di luar
negara Belanda, ia dapat mendatangi Notaris Civil
Law di negara Uni Eropa lainnya atau pihak lainnya
yang berwenang.27
Melalui prosedur inilah identitas dan tanda tangan
seseorang dapat diverifikasi. Setelah itu, notaris akan
memberikan surat pertanyaan yang dibubuhkan cap
Notaris. Selain itu, RA juga berwenang untuk menolak
pengajuan penerbitan, perubahan, pembaruan, atau
pencabutan sertifikat jika hasil verifikasi menunjukkan
adanya kekurangan.
Kemudian, pemohon harus mendatangi DigiNotar
dengan membawa seluruh dokumen termasuk surat
pernyataan notaris. Sebagai CA, DigiNotar dapat
menghubungi Notaris yang bersangkutan untuk
melakukan klarifikasi. Setelah semua persyaratan
dinilai lengkap, DigiNotar mengeluarkan sertifikat
dengan dua cara, yaitu dengan cara diberikan
langsung kepada pemohon, atau diberikan melalui
pos (dalam hal ini pegawai pos harus memastikan
bahwa pemohon sendiri yang menerima sertifikat).
Sertifikat diberikan dalam media yang cukup
beragam, mulai dari smart card, USB, sampai token.
Secara umum sertifikat berlaku untuk 3 (tiga) tahun.
D. eNotaris Indonesia: Suatu Proposal
1. Pengaturan Notaris di Indonesia
Berdasarkan sejarah, negara Indonesia menganut
sistem Civil Law yang diwarisi dari hukum Belanda
sejak zaman kolonialisasi. Pada awalnya, pengaturan
mengenai notaris diatur dalam Reglement op Het
Notaris Ambt in Indonesie (Stb. 1860:3). Reglemen
ini diubah terakhir dengan Lembaran Negara Tahun
1954 Nomor 101. Selain reglemen tersebut, peraturan
peninggalan Belanda lainnya terkait dengan notaris
ialah Ordonantie 16 September 1931 yang mengatur
tentang Honorarium Notaris. Akan tetapi, mengingat
peraturan perundang-undangan di atas sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan
kebutuhan masyarakat, Pemerintah mengundangkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (UUJN)28.
Salah satu pertimbangan dasar pembentukan UUJN
ialah kebutuhan akan akta autentik sebagai alat
bukti terkuat dan terpenuh dalam berbagai hubungan
hukum dan transaksi, seperti dalam perbankan,
pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain. Akta
autentik dinilai dapat memberikan kepastian hukum
mengenai hak dan kewajiban dari para pihak yang
melakukan hubungan hukum dan transaksi yang
dimaksud. Kepastian hukum ini sangat diperlukan
dalam hal terjadi sengketa sehingga penyelesaian
sengketa tersebut dapat lebih cepat dan murah.
Berdasarkan UUJN, akta autentik pada hakikatnya
memuat kebenaran formal sesuai dengan yang
dinyatakan para pihak kepada notaris. Akan tetapi,
notaris mempunyai kewajiban untuk memastikan
bahwa apa yang termuat dalam akta notaris
sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai
dengan kehendak para pihak. Hal ini dilakukan
dengan cara membacakan akta yang dimaksud
sehingga menjadi jelas bagi para pihak. Notaris juga
wajib memberikan akses terhadap informasi,
termasuk akses terhadap peraturan perundang-
undangan yang terkait bagi para pihak yang akan
menandatangani akta. Tujuannya ialah agar para
pihak memahami hubungan hukum yang mereka
lakukan sehingga dapat menentukan dengan bebas
untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi akta
yang akan ditandatanganinya.
20
27 CPS DigiNotar 30 October 2007, CPS DigiNotar General Version 3.5, hal. 13.
28 Selain itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah dua perundang-undangan yang diterapkan langsung dari Wetboek van Strafrecht dan Boergelijk Wetboek Belanda. Regulasi Belanda lain yang sudah “dinasionalisasi” misalnya Faillissements-Verordening, Staatsblad 1905 Nomor 217 jo Staatsblad 1906 Nomor 348 yang sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan kemudian diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
2. Kewenangan Notaris
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta autentik sejauh pembuatan akta
autentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat
umum lainnya. Notaris membuat akta notaris
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan atau berdasarkan permintaan para pihak.
Secara umum, persyaratan untuk menjadi notaris
sama dengan notaris latin lainnya yang mengharuskan
adanya pelimpahan wewenang dari negara untuk
menjalankan publica fides melalui penunjukan oleh
pejabat yang berwenang (dalam hal ini Menteri
Hukum dan HAM). Untuk menjaga fungsi tersebut,
UUJN mengatur persyaratan secara ketat baik dari
segi pendidikan maupun profesi.
Kewenangan utama notaris diatur dalam Pasal 15
ayat (1) UUJN yaitu membuat akta autentik mengenai
semua perbuatan hukum dan transaksi yang
diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
atau yang dikehendaki oleh para pihak untuk
dinyatakan dalam akta autentik. Notaris juga
berwenang menjamin kepastian tanggal pembuatan
akta, menyimpan akta, memberikan grosse, serta
salinan dan kutipan akta. UUJN juga memberikan
kemungkinan bagi notaris untuk menjalankan
kewenangan lain, sepanjang kewenangan yang
dimaksud diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
3. Esensi Akta Autentik
Sama seperti Belanda yang menganut Civil Law,
sistem hukum Indonesia mengenal konsep akta
autentik. Akta autentik ialah suatu akta yang dibuat
dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh
atau dihadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itu di tempat akta itu dibuat29. Akta autentik
memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna
bagi para pihak yang berkepentingan beserta ahli
warisnya dan setiap orang yang mendapat hak dari
mereka mengenai apa yang termuat dalam akta
tersebut30. Dalam hal persyaratan yang dimaksud
tidak terpenuhi, akta yang dimaksud memiliki
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan
sepanjang ditandatangani para pihak31.
Pasal 1874 KUHPerdata mengatur bahwa yang
dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah
akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat,
daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan
yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang
pejabat umum. Sedangkan yang dianggap sama
dengan tanda tangan suatu tulisan di bawah tangan
ialah pembubuhan suatu cap jempol. Pembubuhan
cap jempol yang dimaksud harus disertai dengan
pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris
atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-
undang yang menyatakan bahwa pembubuh cap
jempol itu dikenal olehnya atau telah diperkenalkan
kepadanya, bahwa si akta telah dijelaskan kepada
orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut
dibubuhkan pada tulisan yang dimaksud di hadapan
pejabat yang bersangkutan.
Akta dibawah tangan dapat memiliki kekuatan
pembuktian yang sama dengan akta autentik
sepanjang akta yang dimaksud diakui kebenarannya
oleh orang yang membuatnya atau secara hukum
dianggap telah dibenarkan olehnya. Dengan
demikian, kekuatan pembuktian tersebut berlaku
bagi ahli warisnya dan orang yang mendapatkan
hak berdasarkan akta yang dimaksud32.
4. eNotaris Indonesia
Peranan Notaris dalam penyelenggaraan transaksi
elektronik dapat dikembangkan dari fungsi Notaris
sebagai pejabat yang berwenang yang memiliki
kewenangan publica fides. Secara harfiah, publica
fides memiliki arti kepercayaan dari publik, dan
dengan kewenangan publica fides yang dimiliki,
notaris dapat mengautentikasi identitas seseorang,
termasuk menyatakan kebenaran serta keakuratan
dan keaslian informasi yang diberikannya. Notaris
juga berwenang untuk mengautentikasi dan
menyatakan kebenaran tanda tangan seseorang.
21
29 Pasal 1868 KUHPerdata
30 Pasal 1870 KUHPerdata.
31 Pasal 1869 KUHPerdata.
32 Pasal 1875 KUHPerdata.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
Dalam transaksi, notaris memiliki kewenangan dalam
menyatakan kebenaran fakta hukum yang tertuang
dalam suatu akta notaris. Oleh karena itu, sejak
awalnya, notaris latin memiliki fungsi sebagai trusted
third party dalam suatu transaksi.
a. Notaris sebagai RA
Menurut Arion et. al. (1984) trust harus ada
dalam suatu transaksi elektronik, dan karena itu,
mereka memperkenalkan konsep ‘faith’, ‘trust’,
dan ‘confidence’ yang merupakan bagian-bagian
dari belief. Yang membedakan ketiganya adalah
bukti konkrit yang tersedia bagi pengambil
keputusan. Dalam hal tidak ada bukti konkrit
sama sekali, belief dapat dilihat sebagai ‘faith’.
Sedangkan dalam hal tidak cukup bukti konkrit,
seseorang dapat menggunakan bukti-bukti
yang tersedia tersebut untuk merasionalisasi
kepercayaan (belief) mereka; dan hal ini
dinamakan ‘trust’. Akan tetapi, dalam hal ada
banyak data dan bukti kronkrit untuk
mendukung keputusan tersebut, kepercayaan
tersebut dinamakan ‘confidence’. Dengan
demikian, trust adalah salah satu mekanisme
mental yang dapat mengurangi kompleksitas
dan ketidakpastian untuk membangun atau
menjaga hubungan bahkan di dalam kondisi
yang beresiko (Luhmann, 1988)33.
Sebagai pihak ketiga yang dapat dipercaya, notaris
dapat berperan dalam penyelenggaraan sertifikasi
elektronik (certification authority) sebagai
registration authority (RA) untuk membantu
menghadirkan trust yang dimaksud. Peranan ini
dimungkinkan berdasarkan Pasal 16 ayat (3) UU
Jabatan Notaris.
Fungsi strategis RA dalam rangkaian proses
sertifikasi elektronik adalah sebagai gerbang awal
yang memeriksa kebenaran dan melakukan
verifikasi identitas pengguna layanan sertifikasi
serta kebenaran informasi yang diberikan oleh
pengguna. Fungsi ini dapat dilakukan oleh seluruh
notaris. Hasil dari pemeriksaan atau verifikasi
tersebut merupakan dasar bagi CA untuk
mengeluarkan sertifikat bagi pengguna yang
dimaksud. Sebagai RA, notaris dapat memberikan
nasehat hukum yang dibutuhkan klien klien
mengenai jenis sertifikat yang akan digunakan
oleh klien, seperti:
1) lingkup kerahasiaan atau keamanan informasi
elektronik yang akan dipertukarkan;
2) nilai ekonomis transaksi yang akan dilakukan
melalui pertukaran informasi secara elektronik;
3) posisi informasi elektronik sebagai bukti;
Tentunya tidak selalu dalam penyelenggaraan
sertifikasi elektronik membutuhkan peranan
notaris sebagai RA. Peran notaris sebagai RA
akan diperlukan dalam penerbitan sertifikat
elektronik yang membutuhkan keamanan yang
lebih tinggi dibandingkan jenis sertifikas lainnya.
Keamanan yang dimaksud dipengaruhi oleh
faktor kepastian dan kebenaran identitas serta
kebenaran dan keakuratan informasi. Jenis
sertifikat ini tentunya dapat memberikan
perlindungan yang lebih baik bagi para pihak
yang melakukan transaksi yang menurut mereka
signifikan, seperti transaksi yang bernilai besar.
Selain itu, jenis sertifikat ini juga dapat
bermanfaat untuk diterapkan dalam komunikasi
rahasia yang dilakukan oleh para pihak, termasuk
pemerintah.
Seperti yang telah disebutkan dalam bagian
sebelumnya bahwa tanda tangan menggunakan
kriptografi kunci publik (public-key cryptography)
yang didasarkan pada fungsi logaritma untuk
menghasilkan dua jenis kunci yang berbeda tetapi
saling terkait secara matematis, yaitu kunci privat
dan kunci publik. Kunci privat digunakan untuk
menghasilkan tanda tangan digital, sedangkan
kunci publik berfungsi untuk memverifikasi tanda
tangan digital. Akan tetapi, kedua kunci yang
dimaksud hanyalah kombinasi antara 0 dan 1
yang dihasilkan dari fungsi matematika dan tidak
22
33 Arion, M.J.H. Numan, H. Pitariu & R. Jorna. (1994) ‘Placig Trust in Human-Computer Interaction’, in: Proc. 7th Europen Cognitive Ergonomics Conference di dalam Florian N. Egger, Consumer Trust in E-Commerce From Psychology to Interaction Design di dalam J.E.J Prins, P.M.A. Ribbers, H.C.A. van Tilborg, A.F.L. Veth and J.G.L. van der Wees (Ed), Trust in Electronic Commerce: The Role of Trust from a legal, an Organizational and a Technical Point of View., Kluwer Law International, The Hague, The Netherlands.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
dapat menentukan bahwa penanda tangan ialah
orang yang dimaksud dalam suatu transaksi.
Kehadiran notaris sebagai RA menjembatani
fungsi kedua pasangan kunci dan orang yang
dimaksud.
Dengan demikian, peranan notaris sebagai RA
akan melahirkan bidang usaha baru. RA akan
bekerjasama dengan CA dalam bentuk aliansi
atau subordinat sehingga perlu kembangkan
model bisnis yang tepat. Peluang usaha ini perlu
ditinjau efektivitas peluang usaha yang dimaksud
melalui berbagai proyek percontohan.
b. eAkta Autentik
Seperti yang dibahas sebelumnya bahwa notaris
Indonesia termasuk dalam keluarga notaris latin
yang memiliki kewenangan dalam membuat
akta autentik. Esensi dari keautentikan akta
tersebut didasarkan pada dua hal, yaitu
kewenangan notaris sebagai pejabat yang
berwenang dan fungsi notaris dalam melakukan
autentikasi dan verifikasi identitas. Notaris ialah
wakil negara yang terlibat dalam suatu transaksi
untuk melakukan identifikasi dan verifikasi para
pihak dan menjaga kebenaran serta keakuratan
informasi dalam transaksi dengan menyatakannya
dalam suatu dokumen yang disusun berdasarkan
format dan aturan tertentu. Oleh karena itu,
pemeriksaan secara fisik menjadi bagian yang
penting. Tidak hanya itu, notaris juga wajib
membaca akta dihadapan para pihak untuk
menjamin bahwa mereka mengerti perbuatan
hukum yang mereka akan tanda tangani.
Pembacaan bukan menjadi kewajiban notaris
apabila para pihak membaca sendiri, mengetahui
dan memahami isinya; apabila hal ini dilakukan
maka notaris harus menyatakannya dalam bagian
akhir akta dan pada setiap halaman akta diparaf
oleh para pihak, saksi, dan notaris. Dalam hal
pembacaan atau pengecualian terhadap
pembacaan tidak dilakukan, akta yang dimaksud
hanya memiliki kekuatan pembuktian di bawah
tangan. Untuk menjaga netralitas, perbuatan
hukum yang dimaksud harus disaksikan oleh
minimal dua orang.
Teknologi yang ada saat ini mungkin sudah
cukup untuk memenuhi persyaratan dalam
pembuatan akta autentik secara elektronik.
Teleconference, CCTV, dan digital signature
beberapa teknologi yang dapat diterapkan untuk
memenuhi persyaratan yang dimaksud. Akan
tetapi, berdasarkan penjelasan mengenai peran
dan fungsi notaris dalam sistem Civil Law dan
Common Law di atas, konsep akta notaris dalam
bentuk elektronik lebih mungkin diterapkan
dalam sistem Common Law. Sedangkan dalam
sistem Civil Law, benturan doktrin mengenai
esensi akta autentik serta peranan dan fungsi
notaris harus menjadi perhatian utama. Hal ini
juga yang menjadi dasar pertimbangan
pengaturan Pasal 5 ayat (4) UU Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE). Selengkapnya Pasal 5 ayat (4) UU ITE.
Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/
atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus
dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut
Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk
akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat
pembuat akta.
c. Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik
Menurut UU ITE, Sertifikat Elektronik ialah
sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat
tanda tangan elektronik dan identitas yang
menunjukkan status subjek hukum para pihak
dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan
penyelenggara sertifikasi elektronik, sedangkan
penyelenggara sertifikasi elektronik ialah badan
hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak
dipercaya, yang memberikan dan mengaudit
sertifikat elektronik. Fungsi utama penyelenggara
sertifikasi Elektronik ialah memastikan keterkaitan
tanda tangan elektronik dengan pemiliknya.
Penyelenggara sertifikasi elektronik menurut UU
ITE dibagi menjadi penyelenggara sertifikasi
elektronik Indonesia dan penyelenggara asing.
Untuk yang pertama, penyelenggara yang
23
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
dimaksud harus berbadan hukum dan berdomisili
di Indonesia. Sedangkan untuk yang kedua,
sepanjang beroperasi di Indonesia, penyelenggara
yang dimaksud harus terdaftar di Indonesia.
Menurut Pasal 11 UU ITE, tanda tangan elektronik
memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum
yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1) data pembuatan Tanda Tangan Elektronik
terkait hanya kepada Penanda Tangan;
2) data pembuatan Tanda Tangan Elektronik
pada saat proses penandatanganan elektronik
hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan;
3) segala perubahan terhadap Tanda Tangan
Elektronik yang terjadi setelah waktu
penandatanganan dapat diketahui;
4) segala perubahan terhadap Informasi
Elektronik yang terkait dengan TandaTangan
Elektronik tersebut setelah waktu
penandatanganan dapat diketahui;
5) terdapat cara tertentu yang dipakai untuk
mengidentifikasi siapa Penandatangannya;
dan
6) terdapat cara tertentu untuk menunjukkan
bahwa Penanda Tangan telah memberikan
persetujuan terhadap Informasi Elektronik
yang terkait.
Dalam UU ITE tidak dijelaskan apa yang dimaksud
“memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum
yang sah”. Akan tetapi, berdasarkan tujuan
pengembangan tanda tangan elektronik, yang
dimaksud dengan “memiliki kekuatan hukum
dan akibat hukum yang sah” adalah memiliki
kekuatan dan akibat hukum yang sama dengan
tanda tangan konvensional. Berdasarkan
penafsiran tersebut, maka hanya tanda tangan
elektronik yang memenuhi enam persyaratan
yang diatur dalam Pasal 11 UU ITE yang dapat
memiliki kekuatan dan akibat hukum yang sama
dengan tanda tangan tertulis. Berdasarkan
penafsiran UU ITE, tanda tangan elektronik yang
memiliki kekuatan dan akibat hukum yang sama
dengan tanda tangan elektronik itu dapat
dihasilkan dari tanda tangan yang menggunakan
sertifikasi elektronik dan yang tidak menggunakan
sertifikasi elektronik.
Kondisi yang beragam seperti ini akan
menimbulkan permasalahan dalam praktiknya.
Salah satu masalah yang dapat muncul ialah
dalam hal terjadi sengketa, seluruh tanda tangan
elektronik harus dibuktikan pemenuhannya
terhadap keenam persyaratan dalam Pasal 11
UU ITE. Pembuktian ini akan menimbulkan
masalah waktu dan biaya serta kenyamanan.
Jika mengacu kepada regulasi di Belanda mengenai
tanda tangan elektronik dan Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik, hanya tanda tangan
elektronik yang menggunakan qualified certificate
dan diterbitkan oleh penyelenggara sertifikasi
elektronik yang telah memenuhi standar ETSI
dan standar teknis lainnya yang memiliki kekuatan
dan akibat hukum yang sama dengan tanda
tangan tertulis. Konsekuensinya, sepanjang tanda
tangan elektronik menggunakan qualified
certificate dan telah memenuhi persyaratan maka,
kecuali dibuktikan sebaliknya (secara a priori),
tanda tangan yang dimaksud memiliki kekuatan
dan akibat hukum yang sama dengan tanda
tangan konvensional. Dengan demikian, dalam
hal terjadi sengketa, tanda tangan elektronik
tersebut tidak perlu dibuktikan lagi mengenai
pemenuhan persyaratan yang ditentukan dalam
regulasi di Belanda.
E. Simpulan dan Saran
1. simpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa
satu faktor yang mempengaruhi peranan notaris
dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik adalah
konsep notaris yang dianut suatu negara. Secara
garis besar, konsep notaris dapat dibagi dua, yaitu
notaris dalam sistem hukum Civil Law dan notaris
dalam sistem hukum Common Law. Dalam konsep
Civil Law seperti di Belanda dan Indonesia, notaris
memiliki kewenangan publica fides yang diberikan
negara untuk mengautentikasi dan menyatakan
24
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
kebenaran identitas para pihak, termasuk tanda
tangan mereka dan fakta hukum yang tertulis dalam
akta notaris. Oleh karena itu, dalam sistem hukum
Civil Law, dikenal konsep akta autentik yang memiliki
kekuatan pembuktian sempurna. Sedangkan sistem
hukum Common Law tidak dikenal konsep publica
fides dan konsep akta autentik.
Pengaturan penyelenggaraan sertifikasi elektronik
di negara Belanda terkait dengan berbagai instrumen
Uni Eropa seperti EU Directive on eSignature yang
mengatur tanda tangan elektronik dalam tiga jenis.
Dari ketiga jenis tanda tangan itu, advanced electronic
signature yang menggunakan qualified certificate
dan dibuat dengan secure-signature-creation device
merupakan jenis tanda tangan yang memiliki tingkat
keamanan yang paling tinggi dibandingkan dengan
kedua jenis tanda tangan lainnya sehingga memiliki
akibat hukum yang sama dengan tanda tangan
tertulis dan dapat digunakan sebagai alat bukti dalam
proses peradilan. Negara Belanda menerapkan EU
Directive on eSignature dalam perundang-
undangannya.
Sebagai salah satu negara yang menganut sistem
hukum Civil Law, Belanda mengatur notaris dalam
penyelenggaraan sertifikasi elektronik sebagai
registration authority (RA) untuk melakukan verifikasi
data dan identitas calon pengguna tanda tangan
elektronik, seperti yang dilakukan oleh DigiNotar.
Dalam regulasi Belanda, notaris tidak dapat membuat
akta notaris elektronik. Pengaturan yang sama juga
terdapat dalam Pasal 5 ayat ayat (4) UU ITE.
Pengaturan-pengaturan ini sesuai dengan konsep
akta autentik dan peranan notaris Civil Law.
2. Saran
a. notaris di Indonesia dapat berperan sebagai RA
dalam penyelenggaraan transaksi elektronik.
Berdasarkan Pasal 16 ayat (3) UUJN, peranan
notaris dimungkinkan sepanjang diatur dalam
suatu peraturan perundang-undangan. Terkait
dengan hal ini, RPP Penyelenggaraan ITE telah
mengatur kewenangan notaris yang dimaksud
dalam Bab Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik.
Oleh karena itu, pengaturan yang dimaksud perlu
ditindaklanjuti dengan menentukan jenis sertifikat
elektronik apa yang membutuhkan peranan
notaris mengingat keterlibatan yang dimaksud
memiliki konsekuensi secara hukum dan bisnis.
Hal ini dapat diatur dalam peraturan menteri.
b. Notaris Indonesia termasuk rumpun Notaris Civil
Law. Oleh karena itu, notaris tidak dapat
membuat akta notaris elektronik. Konsep akta
notaris dalam bentuk elektronik lebih mungkin
diterapkan dalam sistem Common Law karena
dalam sistem ini tidak dikenal adanya akta
autentik yang memiliki kekuatan pembuktian
sempurna. Sedangkan dalam sistem Civil Law,
benturan doktrin mengenai esensi akta autentik
serta peranan dan fungsi notaris menjadi
perhatian utama.
c. Saat ini sedang disiapkan revisi terhadap UU ITE.
Berdasarkan penjelasan di atas, ketentuan Pasal
5 ayat (4) UU ITE seyogyanya tetap dipertahankan.
d. Perlu pengaturan yang lebih ketat dan rinci
mengenai jenis sertifikat apa yang dapat dijadikan
alat bukti yang sah. Menurut Pasal 11 UU ITE,
tanda tangan elektronik memiliki kekuatan
hukum dan akibat hukum yang sah (memiliki
kekuatan dan akibat hukum yang sama dengan
tanda tangan konvensional) sepanjang memenuhi
enam persyaratan. Dalalm Rancangan Peraturan
Pemerintah tentang Penyelenggaraan Informasi
dan Transaksi Elektronik (RPP PITE) dibuat
klasifikasi penyelenggara sertifikasi elektronik
yaitu Penyelenggara yang memiliki status
terdaftar, tersertifikasi, dan berinduk. Status
terdaftar adalah status awal untuk beroperasi.
Penyelenggara dapat memiliki status setingkat
lebih tinggi (tersertifikasi kemudian berinduk)
apabila telah memenuhi persyaratan pada status
operasi yang lebih rendah dan memenuhi
persyaratan tingkatan di atasnya. Oleh karena
itu, perlu ditentukan Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik dengan status operasi apa yang kecuali
dibuktikan sebaliknya (secara a priori) telah
menerbitkan Sertifikat Elektronik yang memiliki
25
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
kekuatan dan akibat hukum yang sama dengan
tanda tangan tertulis. Penentuan ini akan dapat
sangat membantu penyelesaian sengketa antara
para pihak. Pola yang sama diterapkan di Belanda.
26
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
Arion, M.J.H. Numan, H. Pitariu & R. Jorna. (1994) ‘Placing Trust in Human-Computer Interaction’, in: Proc. 7th Europen Cognitive Ergonomics Conference di dalam Florian N. Egger, Consumer Trust in E-Commerce From Psychology to Interaction Design di dalam J.E.J Prins, P.M.A. Ribbers, H.C.A. van Tilborg, A.F.L. Veth and J.G.L. van der Wees (Ed), Trust in Electronic Commerce: The Role of Trust from a legal, an Organizational and a Technical Point of View., Kluwer Law International, The Hague, The Netherlands.
Barry M. Leiner, A Brief History of the Internet, http://www.isoc.org/internet/history/brief.shtml, diakses 13 Januari 2011.
Corien Prins, Regulating Electronic Commerce in the Netherlands, vol 6.4 ELECTRONIC JOURNAL OF COMPARATIVE LAW, (December 2002), http://www.ejcl.org/64/art64-28.html, diakses 29 Maret 2011.
Council of the Notariats of the European Union, Comparative Study on Authentic Instruments: National Provisions of Private Law, Circulation, Mutual Recognition and Enforcement, Possible Legislative Initiative by European Union England, France, Germany, Poland, Romania, Sweden, Study for the Europen Parliament No IP/C/JURI/IC/2008-019.
Hans C.S. Warendorf, Richard Thomas, Ian Curry-Sumner, The Civil Code of the Netherlands, Kluwer Law International, 2009, the Netherlands.
Leslie G. Smith, The Role of the Notary in Secure Electronic Commerce, Thesis, Queensland University of Technology, September 2006.
MHM Schellekens, Electronic Signatures Authentication Technology from a Legal Perspective, TMC Asser Press, the Hague, Information Technology & Law Series 5, hal. 38-39.
Paul van Der Molen dan Martin Wubbe, e-Government and e-Land Administration as an Example: The Netherlands, diakses dari http://www.fig.net/pub/costarica_1/papers/ts10/ts10_02_wubbe_vandermolen_2480.pdf, tanggal 20 Maret 2011.
Pedro A. Malavet, Counsel for the Situation: The Latin Notary, a Historical and Comparative Model, Januari 1996
Yin-Miao (Vicky), Liu, 2004, Thesis, Visually Sealed and Digitally Signed Electronic Documents: Building on Asian Tradition, Information Security Research Centre Faculty of Information Technology, Queensland University of Technology.
Daftar Pustaka
27
Halaman ini sengaja dikosongkan
ABSTRAKSI
UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik (UU KIP) telah mengatur mengenai kewajiban Badan
Publik untuk melakukan pengelolaan Informasi termasuk
menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi
Publik yang berada di bawah kewenangannnya kepada
Pemohon Informasi Publik. Disamping kewajiban tersebut,
UU KIP juga mengatur mengenai hak Badan Publik untuk
menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Terkait dengan implementasi UU KIP dimaksud, tulisan ini
akan membahas mengenai pengelolaan Informasi di Bank
Indonesia termasuk pengaturan mengenai Informasi Rahasia
sebagai Rahasia Jabatan yang merupakan Informasi yang
dikecualikan dari kewajiban pembukaan akses bagi Pemohon
Informasi.
I. PENDAHULUAN
Dalam upaya mewujudkan good corporate governance
transparansi merupakan suatu hal yang mutlak untuk
dilaksanakan. Salah satu cerminan dari transparansi
adalah dijaminnya hak warga negara untuk memperoleh
informasi yang terkait dengan penyelenggaraan negara.
Guna memberikan landasan hukum bagi warga negara
untuk memperoleh Informasi Publik telah diterbitkan
UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik (UU KIP), yang mulai berlaku 2 (dua) tahun sejak
tanggal diundangkan.
Dalam pasal 7 ayat (1) UU KIP diatur bahwa Badan Publik
wajib menyediakan, memberikan, dan/atau menerbitkan
Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya
kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang
dikecualikan sesuai dengan ketentuan.
Adapun yang dimaksud dengan Badan Publik adalah
Lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain
yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan Negara, yang sebagian atau seluruh
dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, atau organisasi non pemerintah
sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan
masyarakat, dan/atau luar negeri (vide Pasal 1 angka 3
UU KIP).
Dengan melihat definisi tersebut, maka Bank Indonesia
sebagai Lembaga Negara yang tugas pokoknya berkaitan
dengan penyelenggaraan negara di bidang ekonomi
yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter,
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran,
dan mengatur dan mengawasi Bank (vide Pasal 8 UU
Nomor 23 Tahun 2009 sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan UU Nomor 6 Tahun 2009
tentang Penentapan Peraturan Pemerintah Pengganti
UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2009 tentang
Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (UU BI)) tunduk
pada ketentuan dalam UU KIP.1
II. PEMBAHASAN
A. Pengaturan dalam UU KIP
UU KIP menganut prinsip MALE (maksimum access
limited exemption), sehingga dalam UU dimaksud
diatur bahwa secara prinsip Informasi Publik bersifat
terbuka, kecuali beberapa informasi yang
dikecualikan.
29
Implementasi UU Keterbukaan Informasi Publik Di Bank IndonesiaOleh: Tim Informasi Hukum Bank Indonesia
1 Keuangan Bank Indonesia tidak bersumber dari APBN, namun dalam hal jumlah modal Bank Indonesia kurang dari 2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah), pemerintah (melalui APBN) wajib menutup kekurangan tersebut yang dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan rakyat (vide Pasal 62 ayat (3) UU BI
Yang dimaksud Informasi Publik adalah informasi
yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau
diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan
dengan penyelenggara dan penyelenggaraan Negara
dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan
publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang
ini serta informasi lain yang berkaitan dengan
kepentingan publik (vide Pasal 1 angka 2 UU KIP).
Dalam UU KIP telah diatur mengenai informasi
kewajiban penyediaan dan pengumuman informasi,
yang dibagi menurut urgensinya, yaitu:
a. informasi yang wajib disediakan dan diumumkan
secara berkala;
b. informasi yang wajib diumumkan serta merta;
dan
c. informasi yang wajib tersedia setiap saat.
Namun demikian, UU KIP juga telah mengatur
mengenai pengecualian terhadap kewajiban membuka
akses bagi Pemohon Informasi Publik, yaitu:
a. Informasi Publik yang apabila dibuka dan
diberikan kepada Pemohon Informasi Publik
dapat menghambat proses penegakan hukum;
b. Informasi Publik yang apabila dibuka dan
diberikan kepada Pemohon Informasi Publik
dapat mengganggu kepentingan perlindungan
hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan
dari persaingan usaha tidak sehat;
c. Informasi Publlik yang apabila dibuka dan
diberikan kepada Pemohon Informasi Publik
dapat membahayakan pertahanan dan keamanan
Negara;
d. Informasi Publik yang apabila dibuka dan
diberikan kepada Pemohon Informasi Publik
dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia;
e. Informasi Publik yang apabila dibuka dan
diberikan kepada Pemohon Informasi Publik,
dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional;
f. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan
kepada Pemohon Informasi Publik, dapat
merugikan kepentingan hubungan luar negeri;
g. Informasi Publik yang apabila dibuka dapat
mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat
pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat
seseorang;
h. Informasi Publik yang apabila dibuka dan
diberikan kepada Pemohon Informasi Publik
dapat mengungkap rahasia pribadi;
i. memorandum atau surat-surat antar Badan Publik
atau intra Badan Publik, yang menurut sifatnya
dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi
atau pengadilan;
j. Informasi yang tidak boleh diungkapkan
berdasarkan Undang-Undang
Dalam UU KIP diatur bahwa Badan Publik wajib
menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan
Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya
kepada Pemohon Informasi Publik. Untuk
melaksanakan kewajiban tersebut, Badan Publik
harus membangun dan mengembangkan sistem
informasi dan dokumentasi untuk mengelola
Informasi tersebut, dan untuk mewujudkan pelayanan
cepat, tepat, dan sederhana, Badan Publik menunjuk
Pejabat pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
dan membuat serta mengembangkan sistem
penyediaan layanan informasi secara cepat, mudah,
dan wajar sesuai petunjuk teknis standar layanan
Informasi Publik yang berlaku secara nasional.
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
inilah yang bertanggungjawab dalam penyimpanan,
pendokumentasian, penyediaan dan/atau pelayanan
informasi di badan publik. Tugas PPID merupakan
salah satu ujung tombak dalam implementasi UU
KIP. Pejabat inilah yang akan melakukan klasifikasi
informasi Publik sekaligus melakukan pelayanan
informasi di badan publik.
Klasifikasi informasi merupakan salah satu hal krusial
dalam implementasi UU KIP, sehingga dalam UU
tersebut telah diatur secara tegas mengenai batasan
informasi yang wajib dibuka untuk publik dan
informasi yang dikecualikan dari kewajiban
pembukaan dimaksud. Namun demikian, dalam
peraturan Pelaksanaan UU dimaksud, yaitu PP No.
61 Tahun 2010 tentang pelaksanaan UU No. 14
Tahun 2008 tentang KIP justru diatur bahwa PPID
atas persetujuan Pimpinan Badan Publik yang
bersangkutan dapat mengubah klasifikasi Informasi
yang dikecualikan berdasarkan Pengujian Konsekuensi
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
30
(vide Pasal 10 PP KIP). Adapun pengujian Konsekuensi
adalah pengujian tentang konsekuensi yang timbul
apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat
dengan mempertimbangkan secara seksama bahwa
menutup Informasi publik dapat melindungi
kepentingan yang lebih besar daripada membukanya
atau sebaliknya.
Penjelasan Pasal 10 PP tersebut memberikan contoh
perubahan klasifikasi informasi, yang terbatas pada
perubahan penggolongan informasi dalam satu
klasifikasi yang sama, bukan bukan perubahan
klasifikasi Informasi Publik dari wajib dibuka menjadi
dikecualikan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya
ketentuan dalam PP KIP tersebut akan menimbulkan
keraguan bagi PPID untuk menetapkan Informasi
sebagai Informasi yang wajib dibuka untuk publik.
Pengaturan dalam PP tersebut akan memperlemah
klasifikasi yang telah ditetapkan oleh UU KIP.
Terkait dengan hak untuk mendapatkan informasi
publik, UU KIP telah mengatur bahwa setiap orang
berhak untuk:
a. Melihat dan mengetahui Informasi Publik
b. Menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk
umum untuk memperoleh Informasi Publik
mendapatkan salinan Informasi Publik melalui
permohonan sesuai dengan UU KIP; dan/atau
c. Menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan
permintaan untuk memperoleh Informasi Publik
kepada Badan Publik terkait secara tertulis maupun
tidak tertulis. Dalam Pasal 4 UU KIP juga diatur
bahwa Setiap Pemohon Informasi Publik berhak
mengajukan permintaan Informasi Publik disertai
alasan permintaan tersebut. UU KIP maupun
peraturan pelaksanaannya tidak mengatur lebih
lanjut mengenai alasan yang dapat digunakan dalam
meminta Informasi Publik maupun kepentingan
yang dapat dijadikan alasan untuk mengajukan
permintaan informasi.
Hal ini akan membuka kesempatan yang seluasnya-
luasnya bagi setiap orang untuk mengakses dan
meminta Informasi untuk keperluan apapun. Hal ini
dapat membebani Badan Publik yang harus
menyediakan banyak sumber daya manusia untuk
melayani permintaan Informasi yang jumlahnya
banyak dan tidak terkait secara langsung dengan
kepentingan masyarakat umum. Oleh karena itu,
perlu diatur mengenai kriteria alasan/tujuan
penggunaan Informasi yang dapat dijadikan alasan
permintaan Informasi.
Pengaturan tersebut tidak akan mengurangi hak
Pengguna Informasi karena dalam UU KIP telah
diatur mengenai kewajiban Badan Publik untuk
mengumumkan informasi-informasi yang perlu
diketahui oleh masyarakat secara luas, dengan
mengumumkan secara berkala untuk informasi yang
berkaitan dengan badan publik kegiatan, kinerja,
dan laporan keuangan badan publik, maupun
mengumumkan secara serta merta suatu informasi
yang mengancam hajat hidup orang banyak dan
ketertiban umum. Pengaturan tersebut diperlukan
agar Informasi itu bisa tepat sasaran, benar-benar
diberikan kepada orang yang membutuhkan sesuai
dengan kegunaan dan tujuan Informasi tersebut.
B. Pengelolaan Informasi Di Bank Indonesia
Dengan diberlakukannya UU KIP, Bank Indonesia
tunduk pada kewajiban untuk menyediakan Informasi
Publik. Dalam Pasal 17 UU KIP telah diatur beberapa
perkecualian yang terkait dengan pelaksanaan Tugas
BI, antara lain:
a. Informasi Publik yang apabila dibuka dan
diberikan kepada Pemohon Informasi Publik
dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional:
rencana awal pembelian dan penjualan mata
uang nasional atau asing, saham dan aset vital
negara; rencana awal perubahan nilai tukar, suku
bunga, dan model operasi institusi keuangan,
rencana awal perubahan suku bunga bank,
pinjaman pemerintah; proses dan hasil
pengawasan perbankan; dan atau hal-hal yang
berkaitan dengan proses pencetakan uang
b. Informasi Publik yang apabila dibuka dan
diberikan kepada Pemohon Informasi Publik,
dapat merugikan kepentingan hubungan luar
negeri: posisi, daya tawar dan strategi yang akan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
31
dan telah diambil oleh negara dalam hubungannya
dengan negosiasi internasional
c. Informasi Publik yang apabila dibuka dan
diberikan kepada Pemohon Informasi Publik
dapat mengungkap rahasia pribadi: kondisi
keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank
seseorang
d. Memorandum atau surat-surat antar Badan Publik
atau intra Badan Publik yang menurut sifatnya
dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi
atau pengadilan.
Terhadap informasi-informasi tersebut di atas, Bank
Indonesia dikecualikan dari kewajiban pembukaan
akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik.
Terkait dengan pengelolaan Informasi, di Bank
Indonesia terdapat beberapa pengaturan mengenai
pengelolaan informasi, antara lain PDG Nomor
8/17/PDG/2006 tentang Kewajiban Menjaga Informasi
Rahasia ( PDG KMIR), PDG Nomor 10/10/PDG/2008
tentang Manajemen Informasi Bank Indonesia (PDG
MIBI), SE Penatalaksanaan (Governance) Informasi
Bank Indonesia (SE Governance).
Terkait dengan pengelolaan informasi, di Bank
Indonesia telah dibentuk satuan kerja yang secara
khusus membidangi manajemen informasi,
sedangkan penatausahaan informasi dilakukan oleh
satuan kerja pemilik infomasi dan/atau satuan kerja
yang membidangi kearsipan.
Adapun terkait dengan hubungan dengan pihak
eksternal, di Bank Indonesia terdapat satuan kerja
yang mengelola publikasi terkait Bank Indonesia
kepada pihak eksternal. Dalam rangka tindaklanjut
UU KIP, satuan kerja dimaksud sekaligus berfungsi
sebagai PPID yang akan memberikan pelayanan
kepada Pemohon Informasi Publik yang mengajukan
permintaan Informasi publik kepada Bank Indonesia
C. Pengaturan Mengenai Rahasia Jabatan Terkait
UU KIP
UU KIP telah mengatur mengenai hak badan publik
untuk menolak memberikan informasi yang
dikecualikan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Salah satu informasi yang dikecualikan
adalah informasi yang berkaitan dengan rahasia
jabatan.
Pasal 6 UU KIP mengatur bahwa Badan Publik berhak
menolak memberikan informasi yang dikecualikan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, yaitu:
a. informasi yang dapat membahayakan negara;
b. informasi yang berkaitan dengan kepentingan
perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak
sehat;
c. informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi;
d. informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan;
dan/atau
e. informasi Publik yang diminta belum dikuasai
dan didokumentasikan
Terkait dengan rahasia jabatan, penjelasan Pasal 6
huruf e mengatur bahwa yang dimaksud dengan
“rahasia jabatan” adalah rahasia yang menyangkut
tugas dalam suatu jabatan Badan Publik atau tugas
Negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Pengaturan
dimaksud masih sangat terbuka dan luas dan
memerlukan peraturan perundang-undangan lain
untuk menjabarkannya.
Di Indonesia, ketentuan mengenai rahasia jabatan
tersebar dalam beberapa peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai badan publik.
Dalam Pasal 6 ayat (1) UU No.8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian, sebagaimana telah
diubah dengan UU No.43 Tahun 1999, diatur bahwa
“Setiap Pegawai Negeri wajib menyimpan rahasia
jabatan”.
Penjelasan ayat tersebut mengatur bahwa pada
umumnya yang dimaksud dengan "rahasia" adalah
rencana kegiatan atau tindakan yang akan, sedang
atau telah dilakukan yang dapat mengakibatkan
kerugian yang besar atau dapat menimbulkan bahaya,
apabila diberitahukan kepada atau diketahui oleh
orang yang tidak berhak. Rahasia jabatan adalah
rahasia mengenai atau yang ada hubungannya
dengan jabatan. Pada umumnya rahasia jabatan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
32
dapat berupa dokumen tertulis, seperti surat, notulen
rapat, peta, dan lain-lain; dapat berupa rekaman
suara dan dapat pula berupa perintah atau keputusan
lisan dari seorang atasan. Ditinjau dari sudut
pentingnya, maka rahasia jabatan itu ditentukan
tingkatan klasifikasinya, seperti sangat rahasia,
konfidensil atau terbatas. Ditinjau dari sudut sifatnya,
maka ada rahasia jabatan yang sifat kerahasiaannya
terbatas pada waktu tertentu tetapi ada pula rahasia
jabatan yang sifat kerahasiaanya terus menerus.
Apakah sesuatu rencana, kegiatan atau tindakan
bersifat rahasia jabatan, begitu juga tingkatan
klasifikasi dan sampai bilamana hal itu menjadi rahasia
jabatan, harus ditentukan dengan tegas oleh
pimpinan instasi yang bersangkutan.
Pada umumnya Pegawai Negeri karena jabatan atau
pekerjaannya mengetahui sesuatu rahasia jabatan.
Bocornya sesuatu rahasia jabatan selalu menimbulkan
kerugian atau bahaya terhadap Negara. Pada
umumnya kebocoran sesuatu rahasia jabatan adalah
disebabkan oleh dua hal, yaitu sengaja dibocorkan
kepada orang lain atau karena kelalaian atau
tidak/kurang hati-hatinya pejabat yang bersangkutan.
Apakah kebocoran rahasia jabatan itu karena
kesengajaan atau karena kelalaian, akibatnya
terhadap Negara sama saja, oleh sebab itu setiap
Pegawai Negeri wajib menyimpan rahasia jabatan
dengan sebaik-baiknya.
Beberapa Undang-undang tidak secara spesifik
menggunakan istilah “rahasia jabatan”, meskipun
dalam UU tersebut mengatur mengenai kewajiban-
kewajiban untuk menjaga informasi rasasia terkait
jabatan/pekerjaannya.
Pasal 34 UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
beberapa kali telah diubah dan terakhir dengan UU
No.16 Tahun 2000, mengatur bahwa:
(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada
pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau
diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam
rangka jabatan atau pekerjaannya untuk
menjalankan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk
oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu
dalam pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) adalah :
a. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak
sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang
pengadilan.
b. Pejabat dan tenaga ahli yang memberikan
keterangan kepada pihak lain yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan.
(3) Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan
berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
tenaga-tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) supaya memberikan keterangan,
memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang
Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuknya.
(4) Untuk kepentingan pemeriksaan di Pengadilan
dalam perkara pidana atau perdata atas
permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara
Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri
Keuangan dapat memberi izin tertulis untuk
meminta kepada pejabat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), bukti tertulis dan
keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(5) Permintaan Hakim sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4), harus menyebutkan nama tersangka
atau nama tergugat, keterangan-keterangan
yang diminta serta kaitan antara perkara pidana
atau perdata yang bersangkutan dengan
keterangan yang diminta tersebut.
Adapun dalam UU Bank Indonesia, pengaturan
mengenai rahasia jabatan dimuat dalam Pasal 71,
yaitu Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi
Gubernur, pegawai Bank Indonesia, atau pihak lain
yang ditunjuk atau disetujui oleh Bank Indonesia
untuk melakukan tugas tertentu yang memberikan
keterangan dan data lainnya yang bersifat rahasia
yang diperoleh karena jabatannya secara melawan
hukum, diancam dengan pidana penjara sekurang-
kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga)
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
33
tahun serta denda sekurang-kurangnya
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Keterangan dan data lainnya yang bersifat rahasia
ditetapkan dengan Peraturan Dewan Gubernur.
Ketentuan mengenai rahasia jabatan tidak hanya
terdapat dalam Undang-Undang mengenai badan
publik, namun juga terdapat dalam UU mengenai
profesi. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (1) huruf
e serta penjelasannya mengatur bahwa notaris
berkewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai
akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang
diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang
menentukan lain. Kewajiban untuk merahasiakan
segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan
surat-surat lainnya tersebut adalah untuk melindungi
kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta
tersebut.
Adapun dalam Pasal 19 UU No.18 Tahun 2003
tentang Advokat diatur bahwa Advokat wajib
merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau
diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya,
kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.
Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya
dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas
dan dokumennya terhadap penyitaan atau
pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan
atas komunikasi elektronik Advokat.
Dari beberapa pengaturan mengenai rahasia jabatan
tersebut terdapat beberapa persamaan dalam
pengaturan mengenai kriteria rahasia jabatan antara
lain:
1. segala hal baik tertulis maupun tidak tertulis yang
diperoleh karena jabatan atau pekerjaannya;
2. sifatnya rahasia, atau bisa dikelompokkan lagi
sesuai dengan tingkatannya, misalnya sangat
rahasia, konfidensil atau terbatas;
3. apabila hal rahasia tersebut diketahui oleh pihak
lain maka akan menimbulkan kerugian bagi
negara, masyarakat, klien dan/atau pihak lain
yang terkait; dan
4. terdapat sanksi bagi pihak yang membocorkan
rahasia jabatan dimaksud.
D. Pengaturan mengenai Informasi Rahasia Sebagai
Rahasia Jabatan di Bank Indonesia.
Pada PDG KMIR telah diatur mengenai kategorisasi
Informasi yang digolongkan menjadi Informasi Rahasia
di Bank Indonesia, yaitu:
a. Ditetapkan sebagai Informasi rahasia berdasarkan
peraturan perundang-undangan
b. Dinyatakan sebagai Informasi Rahasia secara
tertulis atau tidak tertulis oleh Dewan Gubernur,
Anggota Dewan Gubernur, atau Pemimpin Satuan
Kerja yang memiliki Informasi tersebut;
c. Dinyatakan sebagai informasi Rahasia secara
tertulis atau tidak tertulis oleh pihak lain di luar
Bank Indonesia yang menyampaikan Informasi
tersebut kepada Dewan Gubernur , Anggota
Dewan Gubernur, atau Pegawai Bank Indonesia
d. Diperlakukan sebagai Informasi Rahasia
berdasarkan sifat Informasi tersebut.
Selanjutnya dalam PDG KMIR juga telah diatur bahwa
Informasi rahasia yang dimiliki oleh Dewan Gubernur,
Anggota Dewan Gubernur, pemimpin Satuan kerja,
Pegawai, local Staff, tenaga honorer, tenaga
Outsourcing, dan Pihak Lain karena berkaitan dengan
pelaksanaan tugas atau pekerjaannya di Bank
Indonesia merupakan rahasia jabatan2.
Pada prinsipnya pengaturan mengenai kategorisasi
Informasi Rahasia tersebut telah sejalan dengan
pengaturan dalam UU KIP, yaitu dalam Pasal 6 ayat
(3) UU KIP yang mengatur mengenai hak badan
publik untuk menolak memberikan informasi yang
berkaitan dengan rahasia jabatan.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
34
2 Ketentuan ini merupakan pengaturan lebih lanjut dari Pasal 71 UU BI yang mengatur bahwa Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur, pegawai Bank Indonesia, atau pihak lain yang ditunjuk atau disetujui oleh Bank Indonesia untuk melakukan tugas tertentu yang memberikan keterangan dan data lainnya yang bersifat rahasia yang diperoleh karena jabatannya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Keterangan dan data lainnya yang bersifat rahasia ditetapkan dengan Peraturan Dewan Gubernur
Namun demikian, PDG KMIR belum mengatur
mengenai kriteria/dasar klasifikasi pengkategorisasian
informasi sebagai informasi rahasia. Penetapannya
masih digantungkan pada Dewan Gubernur, Anggota
Dewan Gubernur,atau Pemimpin Satuan Kerja Pemilik
Informasi. Hal ini akan menimbulkan kemungkinan
adanya perbedaan klasifikasi terhadap informasi
jenisnya sama, namun dimiliki oleh satuan kerja yang
berbeda. Selain itu, tidak adanya pengaturan tersebut
dapat menyebabkan kegamangan/keraguan untuk
melakukan klasifikasi informasi dengan berdasarkan
pada UU Bank Indonesia dan UU KIP. Oleh karena
itu, perlu pengaturan secara jelas/tegas di Bank
Indonesia mengenai pengklasifikasian Informasi yang
termasuk dalam Rahasia jabatan dan merupakan
informasi Rahasia.
III. PENUTUP
1. Pengaturan terkait Informasi khususnya mengenai
rahasia jabatan di Bank Indonesia telah sejalan dengan
pengaturan dalam UU KIP, namun masih diperlukan
penyempurnaan dengan menambahkan pengaturan
mengenai pengklasifikasian Informasi yang termasuk
dalam Rahasia jabatan.
2. Pengelolaan Informasi sebagaimana diamanatkan
oleh UU KIP telah dilakukan di Bank Indonesia, dan
dilaksanakan oleh satuan kerja pemilik informasi,
satuan kerja yang membidangi manajemen informasi,
satuan kerja yang membidangi kearsipan, dan dan
PPID.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
35
Halaman ini sengaja dikosongkan
Buku ini merupakan disertasi Prof. Dr. Yuliandri, S.H., M.H
dan telah dipertahankan dalam ujian terbuka untuk
memperoleh gelar Doktor Ilmu Hukum pada Program
Pascasarjana Universitas Airlangga pada tahun 2007. Buku
ini menarik untuk disimak berkenaan hiruk-pikuknya
pembahasan RUU atau Amendemen UU di DPR.
Pada buku ini, Penulis berpendapat bahwa pembentukan
undang-undang dewasa ini belum memenuhi tujuan
pembuatan undang-undang yang memiliki karakteristik
berkelanjutan, karena tidak didukung oleh profesionalisme
sumber daya manusia yang berperan dalam pembentukan
undang-undang. Disamping itu proses pembentukannya
juga sangat bersifat elitis dan sarat kepentingan serta
diperparah lagi oleh lemahnya koordinasi antar sektor dalam
penyusunan peraturan materi muatan undang-undang.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa proses pembentukan
undang-undang, baik sebelum dan pasca amendemen UUD
1945, serta sebelum maupun setelah ditetapkannya UU
Nomor 10 Tahun 2004, pada kenyataannya masih dihadapkan
dengan berbagai problem, baik secara substansial, teknis
yuridis penyusunannya, maupun pelaksanaan dan penegakan
hukumnya.
Didalam buku dikutip dan dianalisis beberapa pendapat
ahli hukum antara lain menurut Biezeveld “Suatu undang-
undang dapat dikatakan berkualitas baik dan memiliki
karakteristik berkelanjutan, bisa dilihat dari sudut pandang
keberhasilan mencapai tujuan (doeltreffendheid),
pelaksanaan (uitvoerbaarheid) dan penegakan hukumnya
(handhaafbaarheid)”. Terkait dengan pendapat tersebut,
menurut penulis bahwa untuk menyelesaikan berbagai
problem di atas, perubahan pengaturan pembentukan
undang-undang, menjadi penting untuk dilakukan.
Perubahan pengaturan tidak hanya dilakukan terhadap UU
No.10 Tahun 2004, tetapi juga undang-undang tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD,
khususnya yang menyangkut tata cara pembentukan
undang-undang. Selain itu, juga perlu diubah peraturan
pelaksanaannya, serta ketentuan yang termuat dalam
peraturan tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah.
Sesuai dengan judul buku, pembahasan lebih difokuskan
mengenai Perumusan asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, yang menurut penulis
ketentuan Pasal 5 UU No.10 Tahun 2010 sangat bersifat
limitatif dan sulit menampung perkembangan peraturan
hukum dimasa depan. Dengan demikian adanya pembatasan
asas dalam undang-undang, akan menutup perkembangan
asas, khususnya asas pembentukan aturan hukum yang
baik. Menurut pandangan Philipus M. Hajon bahwa rumusan
perihal asas dalam undang-undang seyogianya hanya
rumusan normatif saja, seperti: pembentukan aturan hukum
haruslah berdasarkan asas-asas pembentukan aturan hukum
yang baik (tanpa rician). Akan tetapi untuk ilustrasi asas-
asas tersebut dimasukan dalam penjelasan umum atau
penjelasan pasal yang sifatnya tidak limitatif.
Didalam buku juga dibahas bahwa berbagai permasalahan
hukum dapat terjadi ketika asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan dimaksud ditentukan secara limitatif
sebagai norma dalam undang-undang. Permasalahan yang
dapat timbul antara lain adalah Pertama, akan menutup
perkembangan asas-asas pembentukan perundang-
undangan yang baik itu sendiri. Kedua, sukar memaknai
37
Resensi Buku
Judul : Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik : Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan
Penulis : Prof. Dr. Yuliandri, S.H., M.H.Penerbit : PT. RajaGrafindo Persada, Maret 2010 (ISBN: 978-979-769-259-9)Halaman : x + 284 halamanOleh : Rizal Wisnajaya, SE, MH.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
dalam pembentukan undang-undang dan dalam menentukan
materi muatan undang-undang penerapan asas-asas
peraturan perundang-undanga yang baik. Ketiga, tidak ada
ketegasan , apakah asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik bersifat alternatif, atau
bersifat kumulatif.
Mengutip pandangan Yusril Ihza Mahendra, asas-asas hukum
dan asas-asas pembuatan peraturan perundangan-undangan
yang baik, merupakan conditio sine quanon bagi berhasilnya
suatu peraturan perundang-undangan yang dapat diterima
dan berlaku dimasyarakat, karena telah mendapatkan
dukungan filosofis, yuridis dan sosiologis.
Penulis kembali mengutip pandangan Philipus M. Hajon
bahwa pada hakekatnya asas peraturan perundang-
undangan yang baik berfungsi sebagai dasar pengujian
dalam pembentukan aturan hukum, maupun sebagai dasar
pengujian terhadap aturan hukum yang berlaku. Dengan
demikian, dari segi pembentukan aturan hukum misalnya
pembentukan undang-undang, asas-asas tersebut haruslah
menjadi pedoman perancangan undang-undang.
Selain itu, dikutip pula pandangan A. Hamid S. Attamimi
bahwa asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik, berfungsi untuk memberikan pedoman
dan bimbingan bagi penuangan isi peraturan ke dalam
bentuk dan susunan yang sesuai, bagi penggunaan metode
pembentukan yang tepat dan bagi mengikuti proses dan
prosedur pembentukan yang telah ditentukan, serta
bermanfaat bagi penyiapan, penyusunan, dan pembentukan
suatu peraturan perundang-undangan. Kemudian, dapat
digunakan oleh hakim untuk melakukan pengujian (toetsen),
agar peraturan-peraturan tersebut memenuhi asas-asas
dimaksud, serta sebagai dasar pengujian dalam pembentukan
aturan hukum maupun sebagai dasar pengujian terhadap
aturan hukum yang berlaku.
Sebagai penutup, dalam bukunya penulis menyarankan
bahwa mengatasi permasalahan tersebut, disarankan untuk
mengimplentasikan antara lain Pertama, Konsep “preview”
dalam proses pembentukan undang-undang, perlu
diwujudkan. Hal ini penting untuk mencegah suatu undang-
undang langsung diajukan ke Mahkamah Konstitusi, ketika
undang-undang tersebut baru saja diundangkan. Selain itu,
melalui mekanisme ini, akan dapat dihindari arti ganda
(ambiguity) dan kekaburan (obscurity) dari segi asas hukum
maupun teknik yuridis perancangan. Kedua, Penyusunan
Program Legislasi Nasional, yang dilakukan saat ini,
seyogyanya tidak dijadikan sebagai ambisi untuk membentuk
pelbagai undang-undang dalam tenggat waktu tertentu.
Perlu diperhitungkan bahwa terdapat keterbatasan waktu
dan biaya dalam proses persiapan dan pembahasan suatu
undang-undang. Selain itu, mekanisme partsipasi publik
juga harus diperhatikan dan dilembagakan. Ketiga, UU
No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan perlu direvisi, terutama berkaitan
dengan kedudukan asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, sebagai asas hukum yang
berbeda pengertiannya dari norma hukum. Penuangan
asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik sebagai asas hukum, lebih tepat ditempatkan
pada bagian Penjelasan Umum atau penjelasan pasal, agar
tidak bersifat limitatif dan rigid (kaku), serta membuka
peluang bagi pengembangan asas-asas baru. Perlunya
menerapkan fungsi harmonisasi dalam pembentukan
undang-undang, agar tidak terdapat perbedaan persepsi
terhadap terminologi yang digunakan dalam berbagai
aturan hukum.
Akhirnya, peresensi merekomendasikan bahwa buku ini
dapat memenuhi “kehausan” akan pengetahuan bagaimana
mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan,
pihak-pihak mana saja yang terlibat dan perlu dilibatkan,
apakah pembahasan telah berjalan sesuai dengan idealisme
hukum di masyakarat. Buku ini cocok untuk bacaan para
pemerhati masalah hukum tata negara, praktisi/peneliti/ahli
hukum, pejabat negara, civitas akademika dan masyarakat
umum. Sedikit masukan dari peresensi, agar pemanfaatan
buku ini meluas sampai pada masyarakat umum, supaya
mudah dicerna dan dimengerti, hendaknya menggunakan
gaya bahasa ilmiah popular, sehingga kemanfaatan buku
ini akan lebih terasa.
38
Pendahuluan
Gagasan pengujian undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar sebenarnya telah muncul dalam rapat besar
BPUPKI yang dilaksanakan tanggal 15 Juli 1945, ketika itu
anggota BPUPKI, yaitu Moh. Yamin menghendaki agar Balai
Agung (Mahkamah Agung) menjadi pula badan yang
membanding, sebagaimana dikemukakannya sebagai berikut
‘…apakah undang-undang yang dibuat oleh Dewan
Perwakilan Rakyat tidak melanggar Undang-Undang Dasar
Republik atau bertentangan dengan hukum adat yang diakui,
ataukah tidak bertentangan dengan syariah agama Islam’.
Anggota Soepomo tidak menyetujui gagasan Moh. Yamin
dengan alasan bahwa pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar hanya dikenal dalam suatu sistem
pemerintahan yang mengenal pemisahan kekuasaan secara
tegas (separation of power) sedangkan Indonesia menerapkan
distribution of power. Soepomo menambahkan lagi, bahwa
para ahli hukum Indonesia tidak mempunyai pengalaman
untuk tugas tersebut. Menurut Soepomo, pengujian undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar bukan wewenang
Mahkamah Agung, tetapi wewenang badan peradilan
khusus (‘pengadilan spesial’) yang nama Constitutionel-hof,
seperti Austria, Cekoslowakia dan Jerman di zaman
Weimar.Beliau menyimpulkan bahwa negara Indonesia masih
terlalu muda dan untuk mengerjakan hal tersebut belum
waktunya. Terhadap kesimpulan pendapat Soepomo tersebut,
Moh. Yamin sependapat untuk ditunda saja.
Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi
(constitutional court) baru terbentuk pada Perubahan
Ketiga UUD 1945 berdasarkan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal
24 C. Fungsi Mahkamah Konstitusi dilembagakan secara
konstitusional, atas dasar Pasal III Aturan Peralihan UUD
1945 yang menyatakan “Mahkamah Konstitusi dibentuk
selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum
dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah
Agung”. Pembentukan Mahkamah Konstitusi diwujudkan
melalui pengangkatan para hakim konstitusi, sesuai dengan
Pasal 24C UUD 1945 yang menyatakan “Pengangkatan
dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta
ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur
dengan undang-undang”. Selanjutnya, menyusul
pemberlakuan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, yang disahkan serta diundangkan pada tanggal
13 Agustus 2003 dalam Lembaran Negara RI No.98 dan
Tambahan Lembaran Negara RI No.4316. Atas dasar undang-
undang ini, maka proses rekruitmen calon hakim
dilaksanakan, dengan hasil pengangkatan 9 (sembilan)
hakim konstitusi yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden
No.147/M Tahun 2003.
Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI
Berkaitan dengan kedudukan Mahkamah Konstitusi, Pasal
24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya pada
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah
Konstitusi adalah bagian dari kekuasaan kehakiman,
merupakan kekuasaan yang merdeka guna menegakkan
hukum dan keadilan. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi
bukan bagian dari Mahkamah Agung dalam makna perkaitan
struktur unity of jurisdiction ,seperti hal yang berlaku dalam
sistem hukum Anglo Saxon, namun mandiri dan terpisah
dari Mahkamah Agung secara duality of jurisdiction.
Kedudukan Mahkamah Konstitusi setara dengan kedudukan
Mahkamah Agung, keduanya adalah penyelenggara tertinggi
kekuasaan kehakiman.
Sesuai yang tercantum dalam Pasal 24C ayat (1), Mahkamah
Konstitusi memiliki 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu)
39
Cakrawala Hukum:Kedudukan Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI1
Oleh: Tim Redaksi
1 Artikel merupakan rangkuman dari materi yang disampaikan oleh Prof. Dr. HM. Laica Marzuki, S.H. yang merupakan salah satu pemberi materi, dalam acara Workshop Litigasi pada tanggal 24 s.d 25 Mei 2011 di Hotel Peninsula Jakarta.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
kewajiban. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
mulai pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk:
1. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945
2. Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
3. Memutuskan pembubaran partai politik, dan
4. Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Dalam hal kewajiban, Mahkamah Konstitusi wajib
memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden diduga:
1. Telah melakukan pelanggaran hukum berupa:
a. Penghianatan terhadap negara,
b. Korupsi
c. penyuapa
2. atau perbuatan tercela, dan/atau
3. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD
1945.
Selanjutnya terkait dengan pihak yang berhak mengajukan
permohonan pengujian undang-undang adalah:
1. Orang-per orang
2. Masyarakat adat
3. Badan Hukum Publik/Privat/Lembaga Negara
Syarat pengajuan harus ada unsur “diirugikan” dengan
berlakunya undang-undang, hal ini sama dengan hukum
acara perdata bahwa pada pengajuan gugatan harus ada
“kepentingan”.
Mahkamah Konstitusi dari sisi legislative function merupakan
negative legislation, derajat keputusan yang ditetapkan
sama dengan undang-undang dan mengikat secara umum
(Erge Omnes).
Penutup
Mahkamah Konstitusi , dari mulai berdiri sampai dengan
tanggal 7 April 2008 menerima 141 perkara pengujian
undang-undang (telah diputus 132 perkara), menerima 10
perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara dan
semuanya telah diputus, 252 perkara perselisihan hasil
pemilihan umum tahun 2004 yang diajukan oleh 23 partai
politik, dan 21 perkara yang diajukan oleh calon anggota
DPD. Hal tersebut mencerminkan tumpuan harapan para
justisiabel terhadap Mahkamah Kontitusi. Cukup banyak
yang mendukung putusan namun ada pula yang menyatakan
kekecewaannya. Ini adalah hal yang lumrah. Ketika
pembacaan putusan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk
umum maka putusan peradilan tersebut menjadi milik dan
bagian publik. Masyarakat berhak untuk mengungkapkan
kekecewaannya, sebagaimana masyarakat mendukung atas
suatu putusan Mahkamah Konstitusi. Walaupun masyarakat
terpecah antara pro dan kontra atas substansi hukum yang
dipermasalahkan namun masyarakat harus menerima dan
menghormati suatu putusan peradilan manakala Mahkamah
Kontitusi telah memutuskan. Sesuai kewenangannya,
Mahkamah Konstitusi adalah pengawal konstitusi (the
guardian of constitution) dan sekaligus penafsir resmi the
supreme law of the land.
40
41
Daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI)Januari - Mei 2011
13/14/PBI/2011
13/13/PBI/2011
13/12/PBI/2011
13/11/PBI/2011
13/10/PBI/2011
13/9/PBI/2011
13/8/PBI/2011
13/7/PBI/2011
13/6/PBI/2011
13/5/PBI/2011
13/4/PBI/2011
13/3/PBI/2011
13/2/PBI/2011
13/1/PBI/2011
Tanggal Satker PerihalPeraturan
24/03/2011
24/03/2011
17/03/2011
03/03/2011
09/02/2011
08/02/2011
04/02/2011
28/01/2011
24/01/2011
24/01/2011
21/01/2011
17/01/2011
12/01/2011
05/01/2011
DPbS
DPbS
DSM
DKBU
DPNP/DKM
DPbS
DPM/UKMI/DInt/DSM/DPNP
DInt
DPbS
DPbS
DPM
DPNP
DPNP
DPNP
Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Perubahan atas PBI No.5/26/PBI/2003 tentang Laporan Bulanan Bank Umum Syariah
Pencabutan atas PBI Nomor 3/2/PBI/2001 tantang Pemberian Kredit Usaha Kecil dan SE BI Nomor 3/9/BKR perihal Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Kredit Usaha Kecil
Perubahan atas PBI No.12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing
Perubahan atas PBI No.10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah
Laporan Harian Bank Umum
Perubahan Kedua atas PBI No.7/1/PBI/2005 tanggal 10 Januari 2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank
Tindak Lanjut Penanganan Terhadap Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Dalam Status Pengawasan Khusus
Batas Maksimum Penyaluran Dana Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Pencabutan Peraturan Bank Indonesia No.10/22/PBI/2008 tentang Pemenuhan Kebutuhan Valuta Asing Korporasi Domestik melalui Bank
Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank
Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank Umum
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum
Halaman ini sengaja dikosongkan
Tanggal Satker PerihalPeraturan
13/17/DPbS
13/18/DPbS
13/16/DPbS
13/15/DPBS
13/14/DKBU
13/13/DPM
13/12/DPU
13/11/DPbS
13/10/DPbS
13/9/DPU
13/8/DPNP
13/7/DASP
13/6/DPNP
13/5/DPNP
13/4/DPM
13/3/DPM
13/2/DPbS
13/1/DInt
30/05/2011
30/05/2011
30/05/2011
30/05/2011
12/05/2011
09/05/2011
29/04/2011
13/04/2011
13/04/2011
05/04/2011
28/03/2011
25/02/2011
18/02/2011
08/02/2011
04/02/2011
04/02/2011
31/01/2011
20/01/2011
DPbS
DPbS
DPbS
DPBS
DKBU
DPM
DPU
DPbS
DPbS
DPU
DPNP
DASP
DPNP
DPNP
DPM
DPM
DPbS
DInt
Batas Maksimum Penyaluran Dana Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/34/DPbS tanggal 22 Oktober 2008 Tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Perubahan atas SE Nomor 10/35/DPbS tanggal 22 Oktober 2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Laporan Bulanan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/18/DPM tanggal 7 Juli 2010 perihal Operasi Pasar Terbuka.
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/8/DPU tanggal 28 Februari 2008 perihal Penukaran Uang Rupiah
Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Penyetoran dan Penarikan Uang Rupiah oleh Bank Umum di Bank Indonesia
Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and proper test)
Self Regulatory Organization di Bidang Sistem Pembayaran
Pedoman Perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko untuk Risiko Kredit dengan Menggunakan Pendekatan Standar
Transparansi Informasi Suku Bunga Dasar Kredit
Biaya Laporan Harian Bank Umum
Laporan Harian Bank Umum
Tindak lanjut Penanganan terhadap Bank Pembiayaan Syariah dalam Status Pengawasan Khusus
Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri
43
Daftar Surat Edaran Ekstern (SE) Bank IndonesiaJanuari - Mei 2011
Halaman ini sengaja dikosongkan
45
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Januari - Mei 2011
RINGKASAN PBINOMOR PBI
Latar Belakang Pengaturan:
a. Perubahan kompleksitas usaha dan profil risiko, penerapan Pengawasan secara konsolidasi,
serta perubahan pendekatan penilaian kondisi Bank yang diterapkan secara internasional
mempengaruhi pendekatan penilaian Tingkat Kesehatan Bank.
b. Dalam rangka meningkatkan efektivitas penilaian Tingkat Kesehatan Bank untuk menghadapi
perubahan sebagaimana dimaksud pada huruf a diperlukan penyempurnaan penilaian
Tingkat Kesehatan Bank dengan pendekatan berdasarkan risiko.
Substansi Pengaturan:
1. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI ini adalah sebagai berikut:
a. Bank wajib melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank baik secara individual maupun
konsolidasi dengan menggunakan pendekatan risiko.
b. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara konsolidasi dilakukan bagi Bank yang
melakukan pengendalian terhadap Perusahaan Anak.
c. Periode penilaian dilakukan paling kurang setiap semester (untuk posisi akhir bulan
Juni dan Desember) serta dilakukan pengkinian sewaktu-waktu apabila diperlukan.
d. Faktor-faktor penilaian tingkat Kesehatan Bank terdiri dari: Profil risiko (risk profile),
Good Corporate Governance, Rentabilitas (earnings), dan Permodalan (capital).
e. Setiap faktor ditetapkan peringkatnya berdasarkan kerangka analisis yang komprehensif
dan terstruktur.
f. Peringkat komposit ditetapkan berdasarkan analisis secara komprehensif dan terstruktur
terhadap peringkat setiap faktor dengan memperhatikan materialitas dan signifikansi
masing-masing faktor, serta mempertimbangkan kemampuan Bank dalam menghadapi
perubahan kondisi eksternal yang signifikan.
g. Kategori Peringkat Komposit adalah Peringkat Komposit 1 sampai dengan Peringkat
Komposit 5. Urutan Peringkat Komposit yang lebih kecil mencerminkan kondisi Bank
yang lebih sehat.
h. Dalam melakukan penilaian tingkat kesehatan secara konsolidasi, mekanisme penetapan
peringkat setiap faktor penilaian dan penetapan Peringkat Komposit serta pengkategorian
peringkat setiap faktor penilaian dan peringkat komposit wajib mengacu pada
mekanisme penetapan dan pengkategorian peringkat Bank secara individual.
i. Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham wajib menyampaikan action
plan kepada Bank Indonesia dalam hal berdasarkan hasil penilaian Tingkat Kesehatan
Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan/atau self assesment oleh Bank terdapat:
PBI No.13/1/PBI/2011
RINGKASAN PBINOMOR PBI
1. Faktor Tingkat Kesehatan Bank yang ditetapkan dengan peringkat 4 atau peringkat
5;
2. Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan Bank yang ditetapkan dengan peringkat
4 atau peringkat 5;
3. Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan Bank yang ditetapkan dengan peringkat
3, namun terdapat permasalahan signifikan yang perlu diatasi agar tidak
mengganggu kelangsungan usaha Bank.
j. Waktu penyampaian self assesment Tingkat Kesehatan Bank:
1. Untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara individual, paling lambat pada
tanggal 31 Juli untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Juni
dan tanggal 31 Januari untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan
Desember; dan
2. Untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank secara konsolidasi, paling lambat pada
tanggal 15 Agustus untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan
Juni dan tanggal 15 Februari untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir
bulan Desember
k. Waktu penyampaian action plan Tingkat Kesehatan Bank:
a. Sesuai batas waktu tertentu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia untuk action
plan yang merupakan tindak lanjut dari hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank
oleh Bank Indonesia;
b. Paling lambat tanggal 15 Agustus untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi
akhir bulan Juni dan tanggal 15 Februari untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank
posisi akhir bulan Desember, untuk action plan yang merupakan tindak lanjut dari
self assesment Bank.
Laporan pelaksanaan action plan disampaikan selambat-lambatnya 10 hari kerja setelah target
waktu penyelesaian action plan dan/atau 10 hari kerja setelah akhir bulan yang dilakukan secara
bulanan, apabila terdapat permasalahan signifikan yang akan mengganggu penyelesaian action
plan secara tepat waktu.
Dalam rangka persiapan penerapan secara efektif penilaian Tingkat Kesehatan Bank, Bank
wajib melaksanakan uji coba penilaian Tingkat Kesehatan Bank sejak tanggal 1 Juli 2011 untuk
posisi penilaian Tingkat Kesehatan Bank akhir bulan Juni 2011.
Dalam rangka pengawasan Bank, apabila terdapat perbedaan hasil penilaian Tingkat Kesehatan
Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan hasil self assesment yang dilakukan oleh
Bank, maka yang berlaku adalah hasil penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang dilakukan oleh
Bank Indonesia.
Peraturan Bank Indonesia ini berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Januari 2012 yaitu untuk
penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Desember 2011 dan pada tanggal berlakunya
sekaligus mencabut PBI No. 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank
Umum.
46
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
NOMOR PBI RINGKASAN PBI
1. Fungsi Kepatuhan adalah serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang bersifat ex-
ante (preventif) untuk memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur,
serta kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk sesuai dengan
Prinsip Syariah (bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah), serta memastikan
kepatuhan Bank terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank kepada Bank Indonesia dan/atau
otoritas pengawas lain yang berwenang.
2. Pokok pokok pengaturan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan
Pada Bank Umum adalah:
• Fungsi kepatuhan merupakan bagian dari pelaksanaan framework manajemen risiko.
Fungsi kepatuhan melakukan pengelolaan risiko kepatuhan melalui koordinasi dengan
satker terkait.
• Pelaksanaan fungsi kepatuhan menekankan pada peran aktif dari seluruh elemen
organisasi kepatuhan yang terdiri dari Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan,
Kepala unit kepatuhan dan satuan kerja kepatuhan untuk mengelola risiko kepatuhan.
• Menekankan pada terwujudnya budaya kepatuhan dalam rangka mengelola risiko
kepatuhan.
• Kepatuhan merupakan tanggung jawab personil seluruh bagian dari bank dengan
tone from the top.
• Status independensi yang disandang dari elemen organisasi fungsi kepatuhan
dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan tugas dan menghindari
konflik kepentingan (conflict of interest).
3. Dengan berlakunya PBI ini maka Pasal 2 s.d. Pasal 7, Pasal 12, Pasal 14, Pasal 16 ayat (1),
Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 dari PBI No.1/6/PBI/1999 tanggal 20 September 1999
tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance Director) dan Penerapan Standar
Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum dinyatakan tidak berlaku.
Latar Belakang Pengaturan:
1. Dalam rangka mempercepat penyelesaian permasalahan bank, menjaga tingkat kepercayaan
masyarakat serta mendukung terciptanya Stabilitas Sistem Keuangan, Bank Indonesia
memberikan batasan waktu untuk setiap status pengawasan bank dan menuntut upaya
yang sungguh-sungguh dari Pengurus dan Pemegang Saham Pengendali (PSP) untuk
menyelesaikan permasalahan bank karena terdapat konsekuensi peningkatan Status
Pengawasan Bank apabila batas waktu tidak dipenuhi atau kondisi bank semakin memburuk.
2. Bank Dalam Pengawasan Intensif (BDPI) wajib menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya
paling lama 1 (satu) tahun. Perpanjangan waktu BDPI (paling lama 1 (satu) tahun) hanya
dimungkinkan untuk penyelesaian Non-performing Loan (NPL) yang bersifat kompleks.
Dalam hal permasalahan tidak dapat diselesaikan dan jangka waktu terlampaui maka bank
ditingkatkan status pengawasannya menjadi pengawasan khusus.
47
PBI No.13/2/PBI/2011
PBI No.13/3/PBI/2011
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
RINGKASAN PBINOMOR PBI
3. PBI ini mempertegas kembali kriteria status pengawasan intensif yang didasarkan atas
kriteria yang terukur yaitu keuangan (permodalan, likuiditas dan NPL) serta aspek lainnya
berupa Tingkat Kesehatan (TKS) dan profil risiko.
4. Bank Dalam Pengawasan Khusus (BDPK/SSU) wajib menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi paling lama 3 (tiga) bulan. Bank Indonesia berwenang membekukan kegiatan
usaha tertentu (paling lama 1 (satu) bulan) dalam periode BDPK apabila kondisinya semakin
memburuk dan/atau terjadi pelanggaran ketentuan perbankan yang dilakukan oleh Direksi,
Dewan Komisaris dan/atau pemegang saham pengendali.
5. Bank dimungkinkan keluar dari status BDPK, apabila terdapat setoran modal untuk memenuhi
jumlah modal yang ditetapkan Bank Indonesia.
6. Bank Indonesia berwenang menetapkan Tindakan Pengawasan (Supervisory Action) yang
lebih keras apabila Pengurus dan/atau PSP dinilai Bank Indonesia tidak sungguh-sungguh
menyelesaikan permasalahan bank.
7. Penyempurnaan ketentuan tersebut menyiratkan kepada Bank bahwa penyelesaian
permasalahan bank harus dilakukan secara maksimal pada saaat Bank Dalam Pengawasan
Intensif mengingat waktu yang sangat terbatas untuk Bank Dalam Pengawasan Khusus
(BDPK/SSU).
I. Latar Belakang dan Tujuan
Pada bulan Oktober 2008, Bank Indonesia telah mengeluarkan kebijakan pemenuhan
kebutuhan valuta asing korporasi domestik melalui Bank dalam rangka menghadapi gejolak
ekonomi yang berpengaruh terhadap ketersediaan valuta asing di pasar domestik. Kebijakan
ini merupakan temporary measure yang bertujuan untuk memberikan kepastian atas
tersedianya likuiditas valuta asing di pasar domestik kepada masyarakat, khususnya korporasi
domestik.
Dalam perkembangannya, perekonomian dan kondisi pasar valuta asing domestik telah
mengalami peningkatan yang berpengaruh pula pada peningkatan kemampuan korporasi
domestik untuk memenuhi kebutuhan valuta asing melalui mekanisme yang berlaku umum
di pasar domestik. Untuk itu, perlu dilakukan pencabutan ketentuan mengenai pemenuhan
kebutuhan valuta asing korporasi domestik melalui Bank.
II. Materi Pengaturan
Peraturan Bank Indonesia ini mencabut Peraturan Bank Indonesia No.10/22/PBI/2008
tentang Pemenuhan Kebutuhan Valuta Asing Korporasi Domestik Melalui Bank dan
selanjutnya Peraturan Bank Indonesia No.10/22/PBI/2008 dinyatakan tidak berlaku.
48
PBI No.13/4/PBI/2011
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
RINGKASAN PBINOMOR PBI
Latar Belakang
Bahwa penerapan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran dana perlu dilakukan, antara lain
dengan penyebaran portofolio penyaluran dana yang diberikan agar risiko penyaluran dana
tersebut tidak terpusat pada nasabah penerima fasilitas atau sekelompok nasabah penerima
fasilitas tertentu. Sejalan dengan hal tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Penyaluran Kredit Bank Perkreditan
Rakyat No.31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998.
Materi Pengaturan
1. Batas Maksimum Penyaluran Dana (BMPD) adalah persentase maksimum realisasi penyaluran
dana terhadap modal Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) yang mencakup pembiayaan
dan penempatan dana BPRS di bank lain.
2. Pelanggaran BMPD yaitu selisih lebih persentase penyaluran dana pada saat direalisasikan
terhadap modal BPRS dengan BMPD yang diperkenankan.
3. Pelampauan BMPD yaitu selisih lebih antara persentase penyaluran dana yang telah
direalisasikan terhadap modal BPRS pada saat tanggal laporan dengan BMPD yang
diperkenankan, dan penyaluran dana tersebut bukan merupakan pelanggaran BMPD.
4. BPRS wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah dalam membuat akad
pembiayaan antara BPRS dengan nasabah penerima fasilitas.
5. BPRS dilarang membuat akad pembiayaan apabila akad pembiayaan tersebut mewajibkan
BPRS untuk menyalurkan dana yang akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran BMPD.
6. BPRS dilarang memberikan penyaluran dana yang mengakibatkan pelanggaran BMPD.
7. BMPD untuk pembiayaan dihitung berdasarkan baki debet pembiayaan sedangkan BMPD
untuk penempatan dana antar bank pada BPRS lain dihitung berdasarkan nominal
penempatan dana antar bank.
8. Penyaluran dana kepada seluruh pihak terkait ditetapkan paling tinggi 10% dari modal BPRS.
9. Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan kepada pihak terkait wajib memperoleh persetujuan
dari 1 (satu) orang anggota Direksi dan 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris BPRS.
10. Penyaluran dana dalam bentuk penempatan dana antar bank kepada BPRS lain yang
merupakan pihak tidak terkait dan/atau dalam bentuk pembiayaan kepada 1 (satu) nasabah
penerima fasilitas yang merupakan pihak tidak terkait ditetapkan paling tinggi 20% (dua
puluh persen) dari modal BPRS.
49
PBI No.13/5/PBI/2011
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
NOMOR PBI RINGKASAN PBI
11. Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan kepada 1 (satu) kelompok nasabah penerima
fasilitas yang merupakan pihak tidak terkait ditetapkan paling tinggi 30% dari modal BPRS.
12. BPRS wajib menyusun dan menyampaikan rencana tindak (action plan) untuk penyelesaian
pelanggaran BMPD dan/ atau pelampauan BMPD.
13. Action plan tersebut wajib memuat paling kurang langkah-langkah untuk penyelesaian
pelanggaran BMPD dan/atau pelampauan BMPD serta target waktu penyelesaian.
14. BPRS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan untuk penyelesaian pelanggaran
BMPD dan/atau pelampauan BMPD disertai dengan bukti pendukungnya.
15. BPRS wajib menyusun dan menyampaikan laporan BMPD kepada Bank Indonesia secara
on-line setiap bulan secara benar, lengkap dan tepat waktu paling lama tanggal 14 pada
bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan.
16. Laporan BMPD mencakup:
a. Penyaluran Dana kepada pihak tidak terkait yang melanggar dan melampaui BMPD;
dan
b. Seluruh penyaluran dana kepada pihak terkait.
17. BPRS wajib melaporkan struktur kelompok usaha yang terkait dengan BPRS termasuk badan
hukum pemilik BPRS sampai dengan ultimate shareholders kepada Bank Indonesia, 1 tahun
sekali untuk posisi akhir tahun dan setiap terdapat rencana perubahan struktur kelompok
usaha yang menyebabkan perubahan pengendali BPRS.
18. BPRS wajib mengungkapkan ultimate shareholders BPRS dalam laporan keuangan tahunan
dan laporan keuangan publikasi BPRS. Kewajiban ini merupakan tambahan atas kewajiban
pengungkapan informasi mengenai pemegang saham BPRS.
19. BPRS yang tidak memenuhi Peraturan Bank Indonesia ini akan dikenakan sanksi sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
20. Ketentuan Peralihan:
a. Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No.31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Batas Maksimum Pemberian
Kredit Bank Perkreditan Rakyat tetap berlaku dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
b. Terhadap pelanggaran atas kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada huruf
19.a tetap berlaku ketentuan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia No.31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Batas Maksimum
Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat.
50
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
RINGKASAN PBINOMOR PBI
21. Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No.31/61/KEP/DIR tanggal 9 Juli 1998 tentang Batas Maksimum Penyaluran
Kredit Bank Perkreditan Rakyat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
I. Dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah (BPRS), diperlukan upaya penyehatan terhadap BPRS yang bersifat sistematis
dan berkelanjutan guna mendorong tumbuhnya industri BPRS yang sehat. Agar upaya
penyehatan terhadap BPRS yang mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan
usahanya dapat dilakukan secara optimal, maka diperlukan upaya tindak lanjut yang sesuai
dengan kemampuan BPRS, komitmen pemilik, dan alternatif peluang yang dimiliki.
II. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI ini antara lain meliputi:
1. Bank Indonesia menetapkan BPRS dalam status pengawasan khusus apabila memenuhi
1 (satu) atau lebih kriteria sebagai berikut:
a. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) kurang dari 4% (empat
persen);
b. Cash Ratio (CR) rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga persen).
2. Dalam rangka tindak lanjut pengawasan khusus, Bank Indonesia berwenang melakukan
tindakan antara lain:
a. membatasi kewenangan rapat umum pemegang saham, dewan komisaris, direksi,
dan pemegang saham;
b. meminta pemegang saham menambah modal;
c. meminta pemegang saham mengganti anggota dewan komisaris dan/atau direksi
BPRS;
d. meminta BPRS menghapusbukukan penyaluran dana yang macet dan memperhitungkan
kerugian BPRS dengan modalnya;
e. meminta BPRS melakukan penggabungan atau peleburan dengan BPRS lain;
f. meminta BPRS dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh
kewajibannya;
g. meminta BPRS menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan BPRS
kepada pihak lain; dan/atau
h. meminta BPRS menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban BPRS
kepada pihak lain; dan/atau
i. menghentikan kegiatan usaha tertentu dalam waktu yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
3. BPRS yang ditetapkan dalam status pengawasan khusus wajib:
a. menyampaikan rencana tindak (action plan) penyehatan BPRS yang realistis sesuai
dengan permasalahan yang dihadapi paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak BPRS
ditetapkan dalam status pengawasan khusus yang ditandatangani oleh Direksi, Dewan
Komisaris, dan Pemegang Saham Pengendali BPRS;
51
PBI No.13/6/PBI/2011
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
RINGKASAN PBINOMOR PBI
b. melaksanakan action plan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. menyampaikan laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud pada huruf
b paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan action plan; dan
d. melakukan penyesuaian action plan yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada
huruf a atas permintaan Bank Indonesia.
4. Dalam rangka pengawasan khusus, Bank Indonesia dapat menempatkan petugas Bank
Indonesia untuk melakukan pemantauan secara langsung terhadap kegiatan operasional
BPRS dan tidak mengurangi tanggung jawab Dewan Komisaris, Direksi dan/atau pemegang
saham BPRS terhadap kegiatan operasional dan kewajiban BPRS.
5. Bank Indonesia memberitahukan kepada LPS mengenai BPRS yang ditetapkan dalam status
pengawasan khusus disertai dengan keterangan mengenai kondisi BPRS yang bersangkutan.
6. BPRS dalam status pengawasan khusus yang memiliki rasio KPMM sama dengan atau
kurang dari 0% (nol persen) dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir sama
dengan atau kurang dari 1% (satu persen), dilarang melakukan kegiatan penghimpunan
dan penyaluran dana yang berlaku sejak tanggal penetapan larangan sampai dengan BPRS
keluar dari status pengawasan khusus.
7. Jangka waktu pengawasan khusus ditetapkan paling lama 180 (seratus delapan puluh)
hari sejak tanggal penetapan BPRS dalam status pengawasan khusus dari Bank Indonesia.
8. Penambahan modal yang dilakukan oleh BPRS dalam status pengawasan khusus wajib
ditempatkan dalam escrow account di Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah dan
penambahan modal tersebut harus sesuai dengan ketentuan permodalan yang berlaku.
9. Jangka waktu status pengawasan khusus dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka
waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berakhirnya jangka waktu status
pengawasan khusus, dengan syarat BPRS telah meningkatkan:
a. rasio KPMM paling kurang sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari selisih untuk
mencapai rasio KPMM 4% (empat persen) dan rasio KPMM lebih dari 0% (nol persen);
dan/atau
b. CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar 75% (tujuh puluh
lima persen) dari selisih untuk mencapai CR 3% (tiga persen) dan CR lebih dari 1%
(satu persen).
10. Bagi BPRS yang tidak memenuhi angka 9 tersebut di atas dimana sumber dana setoran
modalnya berasal dari APBD, dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu
status pengawasan khusus disertai dengan komitmen pemegang saham untuk menambah
setoran modal sehingga meningkatkan rasio KPMM menjadi paling kurang 4% (empat
persen) dan CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang 3% (tiga persen).
52
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
RINGKASAN PBINOMOR PBI
11. Bank Indonesia menetapkan BPRS dikeluarkan dari status pengawasan khusus apabila
memenuhi kriteria Rasio KPMM paling kurang sebesar 4% (empat persen) dan CR rata-
rata selama 6 (enam) bulan terakhir paling kurang sebesar 3% (tiga persen).
12. Selama jangka waktu status pengawasan khusus, Bank Indonesia sewaktu-waktu dapat
memberitahukan kepada LPS dan meminta LPS untuk memberikan keputusan menyelamatkan
atau tidak menyelamatkan BPRS, dalam hal BPRS yang ditetapkan dalam status pengawasan
khusus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. BPRS memiliki rasio KPMM sama dengan atau kurang dari 0% (nol persen) dan/atau
CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir sama dengan atau kurang dari 1% (satu
persen); dan
b. berdasarkan penilaian Bank Indonesia, BPRS tidak mampu meningkatkan rasio KPMM
menjadi paling kurang sebesar 4% (empat persen) dan CR rata-rata selama 6 (enam)
bulan terakhir paling kurang sebesar 3% (tiga persen).
13. Pada saat berakhirnya jangka waktu pengawasan khusus, Bank Indonesia memberitahukan
kepada LPS dan meminta LPS untuk memberikan keputusan menyelamatkan atau tidak
menyelamatkan BPRS yang memenuhi kriteria yaitu rasio KPMM kurang dari 4% (empat
persen); dan/atau CR rata-rata selama 6 (enam) bulan terakhir kurang dari 3% (tiga persen).
14. Dalam hal LPS memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan terhadap BPRS, Bank
Indonesia mencabut izin usaha BPRS yang bersangkutan setelah memperoleh pemberitahuan
dari LPS serta Bank Indonesia memberitahukan keputusan pencabutan izin usaha kepada
BPRS yang bersangkutan dan LPS.
15. Sanksi:
a. Anggota Dewan Komisaris, Direksi, dan/atau pegawai BPRS dalam status pengawasan
khusus yang melanggar larangan dapat dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 63 ayat (2) huruf b Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
b. BPRS dalam status pengawasan khusus yang melanggar ketentuan dapat dikenakan
sanksi administratif sesuai dengan Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang No.21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, berupa:
1. teguran tertulis; dan/atau
2. pencantuman anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai dan pemegang saham
dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak memenuhi persyaratan
(tidak lulus) dalam uji kemampuan dan kepatutan BPRS sebagaimana diatur dalam
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku mengenai uji kemampuan dan kepatutan
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
16. Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Peraturan Bank Indonesia No.7/34/PBI/2005 tentang Tindak Lanjut Penanganan Terhadap
Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan Khusus dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
53
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
54
RINGKASAN PBINOMOR PBI
b. Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.7/34/PBI/2005 tentang Tindak
Lanjut Penanganan Terhadap Bank Perkreditan Rakyat Dalam Status Pengawasan
Khusus, dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
I. Latar Belakang Pengaturan
1. Kebijakan penerapan kembali pembatasan posisi saldo harian pinjaman luar negeri
jangka pendek bank merupakan normalisasi dari kebijakan yang berlaku sebelumnya.
Ketentuan batasan posisi harian pinjaman luar negeri jangka pendek bank sebesar
30% (tiga puluh perseratus) dari modal dihapus pada 14 Oktober 2008 sebagai respon
kebijakan untuk mengantisipasi dampak krisis global yang dipicu oleh kebangkrutan
Lehman Brother. Pada saat itu terjadi outflows cukup besar yang menyebabkan likuiditas
valas domestik dan perbankan menjadi ketat.
2. Namun seiring dengan peningkatan inflow yang terus terjadi hingga saat ini, kondisi
likuiditas valas perbankan meningkat tinggi. Salah satu sumber peningkatan likuiditas
valas perbankan adalah pinjaman luar negeri jangka pendek, termasuk rekening giro
(vostro) dan instrumen keuangan luar negeri jangka pendek lainnya.
3. Oleh karena itu, kebijakan pinjaman luar negeri jangka pendek bank perlu kembali
dinormalisasi atau dibatasi kembali sebagai upaya: (1) penerapan prinsip kehati-hatian
(macro prudential) dalam mengelola pinjaman luar negeri jangka pendek bank, (2)
mendorong pinjaman luar negeri bank ke arah jangka panjang, dan (3) mendukung
pencapaian stabilitas makro dan sistem keuangan.
II. Pokok-pokok Pengaturan
1. Bank wajib membatasi posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek paling
tinggi 30% (tiga puluh perseratus) dari modal bank.
2. Hal-hal yang dikecualikan dari batasan perhitungan maksimal adalah:
a. Pinjaman luar negeri jangka pendek dari pemegang saham pengendali dalam
rangka
mengatasi kesulitan likuiditas dan penyaluran kredit ke sektor riil;
b. Dana usaha kantor cabang bank asing di Indonesia sampai dengan paling tinggi
100% (seratus perseratus) dari dana usaha yang dinyatakan (declared dana
usaha);
c. Giro, tabungan dan deposito milik perwakilan negara asing serta lembaga
internasional, termasuk anggota stafnya;
d. Giro milik bukan penduduk yang digunakan untuk kegiatan investasi di Indonesia.
Kegiatan investasi berupa penyertaan langsung, pembelian saham/obligasi
korporasi Indonesia dan Surat Berharga Negara;
PBI No.13/7/PBI/2011
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
RINGKASAN PBINOMOR PBI
e. Kewajiban bank dalam rangka perdagangan internasional (sebagaimana tertuang
dalam PBI No.7/1/PBI/2005 tentang Pinjaman Luar Negeri Bank yang diterbitkan
pada tanggal 10 Januari 2005).
3. Pengecualian tersebut wajib didukung dengan bukti-bukti yang memadai dan
ditatausahakan oleh bank.
4. Bank yang melanggar ketentuan ini akan dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar 1% (satu per seratus) pertahun dari jumlah kelebihan per hari.
5. Apabila Bank memiliki posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek melebihi
30%, Bank tidak dapat menambah saldo tersebut dan harus menurunkan posisi saldo
harian pinjaman luar negeri jangka pendek menjadi paling tinggi 30% paling lama 3
(tiga) bulan terhitung sejak tanggal mulai berlakunya PBI Perubahan ini.
1. Laporan Harian Bank Umum (LHBU) adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh
Bank Pelapor secara harian kepada Bank Indonesia, yang meliputi data transaksional dan
data non transaksional.
2. Data transaksional:
• Adalah data yang dihasilkan dari transaksi Bank Pelapor dengan pihak lain sebagai
counterparty. Termasuk di dalam data ini adalah data Pasar Uang Antar Bank (PUAB),
data pasar Uang Antar Bank berdasarkan prinsip syariah (PUAS), data perdagangan
surat berharga di pasar sekunder, dan transaksi valuta asing.
• Data transaksional wajib disampaikan segera setelah terjadinya transaksi secara real
time setiap Hari Kerja pada tanggal laporan.
3. Data non transaksional:
• Adalah data yang bukan dihasilkan dari transaksi Bank Pelapor dengan pihak lain,
dan/atau merupakan data posisi atas transaksi Bank Pelapor. Termasuk di dalam data
ini adalah posisi akhir hari transaksi derivatif jual valuta asing bukan investasi dengan
pihak asing, posisi akhir hari transaksi derivatif beli valuta asing bukan investasi dengan
pihak asing, posisi rekapitulasi transaksi derivatif, posisi devisa neto, pos-pos tertentu
neraca, proyeksi arus kas, tingkat imbalan deposito investasi mudharabah Bank syariah,
suku bunga dasar kredit, suku bunga kredit, suku bunga deposito berjangka, diskonto
sertifikat deposito, dan suku bunga tabungan, suku bunga penawaran, posisi saldo
harian pinjaman luar negeri jangka pendek Bank, dan posisi harian dana usaha kantor
cabang bank asing.
• Data non transaksional wajib disampaikan pada setiap Hari Kerja pada tanggal laporan.
4. Bank Pelapor menyampaikan LHBU secara on-line. Dalam hal terdapat gangguan teknis
pada Bank Pelapor atau pada Bank Indonesia, maka LHBU disampaikan secara off-line.
55
PBI No.13/8/PBI/2011
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
RINGKASAN PBINOMOR PBI
5. Hasil olahan LHBU berupa data agregat dan data individual Bank Pelapor.
6. Termasuk hasil olahan LHBU adalah Data JIBOR, yaitu suku bunga indikasi penawaran
transaksi PUAB di Indonesia yang berasal dari data suku bunga penawaran Bank-Bank
Pelapor yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai kontributor JIBOR.
7. Bank Indonesia menyediakan hasil olahan LHBU kepada Bank Pelapor dan kepada Pelanggan
LHBU.
8. Untuk menjadi Pelanggan LHBU, calon Pelanggan LHBU mengajukan permohonan secara
tertulis kepada Bank Indonesia, dan dalam hal disetujui menandatangani Perjanjian
Penggunaan LHBU.
9. Bank Indonesia menyediakan hak akses terhadap sistem LHBU kepada Bank Pelapor dan
Pelanggan LHBU. Hak akses dalam jumlah tertentu kepada bank Pelapor tidak dikenakan
biaya, sedangkan hak akses dan informasi bagi pelanggan LHBU dikenakan biaya.
10. Pelanggaran terhadap pelaporan LHBU dikenai sanksi berupa sanksi kewajiban membayar
dan/atau sanksi teguran tertulis.
11. Dengan diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia ini maka PBI No.9/2/PBI/2007 tentang
Laporan Harian Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
1. Dalam rangka menjaga kelangsungan usaha dan kualitas pembiayaan serta meminimalisasi
risiko kerugian, Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah berkewajiban menjaga kualitas
pembiayaannya, dimana salah satu upayanya dapat dengan melakukan Restrukturisasi
Pembiayaan atas nasabah yang memiliki prospek usaha dan/atau kemampuan membayar.
2. Ketentuan ini mengatur hal-hal berupa:
a. Kualitas pembiayaan yang dapat dilakukan restrukturisasi.
b. Intensitas berapa kali restrukturisasi pembiayaan dapat dilakukan dan penetapan
kualitas pembiayaan apabila melebih jumlah maksimal pelaksanaan restrukturisasi
pembiayaan sesuai ketentuan.
c. Bank wajib menetapkan jumlah maksimal pelaksanaan restrukturisasi pembiayaan
untuk pembiayaan dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet.
d. Laporan restrukturisasi pembiayaan bagi BPRS.
3. Pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan, hendaknya menganut prinsip universal yang
berlaku di perbankan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan prinsip
syariah.
4. Restrukturisasi Pembiayaan dapat dilakukan untuk Pembiayaan dengan kualitas Lancar,
Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet.
56
PBI No.13/9/PBI/2011
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
RINGKASAN PBINOMOR PBI
5. Restrukturisasi Pembiayaan dengan kualitas Lancar dan Dalam Perhatian Khusus dapat
dilakukan paling banyak 1 (satu) kali, dan apabila dilakukan lebih dari 1 (satu) kali digolongkan
paling tinggi Kurang Lancar.
6. Bank wajib memiliki kebijakan dan Standard Operating Procedure tertulis mengenai
Restrukturisasi Pembiayaan, termasuk didalamnya penetapan jumlah maksimal pelaksanaan
restrukturisasi untuk Pembiayaan dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet.
7. Restrukturisasi Pembiayaan dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet, dapat
dilakukan paling banyak sesuai ketentuan bank yang mengatur mengenai jumlah maksimal
Restrukturisasi Pembiayaan, dan apabila dilakukan lebih dari jumlah maksimal tersebut
digolongkan Macet sampai dengan Pembiayaan lunas.
8. Bank Indonesia berwenang menetapkan kualitas Pembiayaan yang berbeda dengan Bank,
apabila Bank melakukan Restrukturisasi Pembiayaan tidak sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia mengenai Restrukturisasi Pembiayaan.
9. BPRS wajib melaporkan Restrukturisasi Pembiayaan secara on-line kepada Bank Indonesia,
sejak pelaporan bulan Mei 2011 yang disampaikan bulan Juni 2011 dan pada masa transisi
menyampaikan laporan Restrukturisasi Pembiayaan secara off-line dan on-line.
Latar Belakang Pengaturan :
a. Peningkatan arus masuk modal asing telah mengakibatkan peningkatan kondisi likuiditas
valuta asing perbankan secara signifikan. Arus masuk modal asing tersebut lebih bersifat
jangka pendek dan berdampak pada kondisi ekses likuiditas valuta asing yang dapat
menyebabkan instabilitas nilai tukar dan gangguan pada stabilitas ekonomi makro.
b. Oleh karena itu, diperlukan penguatan manajemen likuiditas valuta asing oleh bank dan
pengelolaan arus modal asing oleh Bank Indonesia melalui kebijakan peningkatan giro
wajib minimum dalam valuta asing.
Substansi Pengaturan :
1. Pokok-pokok pengaturan atau perubahan dalam PBI ini adalah sebagai berikut:
a. Bank wajib memenuhi Giro Wajib Minimum (GWM) dalam valuta asing sebesar 8%
(delapan persen) dari DPK dalam valuta asing.
b. Ketentuan pemenuhan GWM dalam valuta asing sebagaimana dimaksud pada huruf
a diatur sebagai berikut:
1. Sejak tanggal 1 Maret 2011 sampai dengan tanggal 31 Mei 2011, GWM dalam
valuta asing ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari DPK dalam valuta asing.
2. Sejak tanggal 1 Juni 2011, GWM dalam valuta asing ditetapkan sebesar 8%
(delapan persen) dari DPK dalam valuta asing.
57
PBI No.13/10/PBI/2011
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
RINGKASAN PBINOMOR PBI
c. Bank yang melanggar kewajiban pemenuhan GWM dalam valuta asing akan dikenakan
sanksi kewajiban membayar dalam valuta rupiah dengan menggunakan kurs tengah
Bank Indonesia pada hari terjadinya pelanggaran.
2. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Latar Belakang Pencabutan
1. Peraturan Bank Indonesia No.3/2/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001 tentang Pemberian
Kredit Usaha Kecil (KUK) masih mengacu kepada Undang-Undang No.9 Tahun 1995 tentang
Usaha Kecil yang telah dicabut dan sudah tidak berlaku lagi.
2. Pemerintah telah menerbitkan UU No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM) pada tanggal 4 Juli 2008, yang mencabut UU No.9 Tahun 1995 tentang
Usaha Kecil dan mengatur mengenai kriteria usaha yang diperluas menjadi Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah, yang semula pada UU No. 9 Tahun 1995 hanya terdapat kriteria
Usaha Kecil.
3. Hasil survei Redefinisi UMKM kepada Perbankan pada Juli 2008 salah satu hasilnya adalah
74,4% responden setuju definisi kredit UMKM tidak lagi didasarkan pada plafon kredit,
tetapi berdasarkan kriteria UMKM sebagaimana tercantum dalam UU No.20 Tahun 2008.
Substansi Pengaturan
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/2/PBI/2001 Tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil dan
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/9/BKR Perihal Petunjuk Pelaksanaan Pemberian
Kredit Usaha Kecil, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
2. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 2011.
1. Bank pelapor wajib menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan kepada Bank Indonesia
paling lama tanggal 5 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
2. Bank Pelapor dinyatakan terlambat menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan
apabila menyampaikan Laporan pada tanggal 6 dan tanggal 7 bulan berikutnya setelah
berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
3. Bank Pelapor dinyatakan tidak menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan apabila
Bank Indonesia belum menerima Laporan dan/atau koreksi Laporan sampai dengan tanggal
7 bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan Laporan yang bersangkutan.
4. Laporan dan/atau koreksi laporan yang disampaikan secara online dapat disampaikan pada
hari Sabtu, Minggu, hari libur, dan cuti bersama yang ditetapkan Bank Indonesia.
58
PBI No.13/11/PBI/2011
PBI No.13/12/PBI/2011
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
RINGKASAN PBINOMOR PBI
5. Kewajiban penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan secara online dikecualikan
terhadap:
a. Bank Pelapor yang berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas komunikasi
untuk menyampaikan Laporan secara online;
b. Bank Pelapor yang baru dibuka dengan batas waktu paling lama 2 (dua) bulan setelah
melakukan kegiatan operasional;
c. Bank Pelapor yang mengalami gangguan teknis dalam menyampaikan Laporan dan/atau
koreksi Laporan baik karena gangguan teknis pada Bank Pelapor maupun pada Bank
Indonesia.
6. Dalam hal gangguan teknis di Bank Indonesia dan/atau Bank Pelapor terjadi pada batas
akhir penyampaian Laporan dan/atau koreksi Laporan, Laporan dan/atau koreksi Laporan
disampaikan paling lama pada hari kerja berikutnya secara offline.
7. Bagi Bank Pelapor yang melakukan kegiatan operasional di luar Indonesia, Laporan wajib
disusun dan disampaikan oleh kantor pusat Bank atau Unit Usaha Syariah dari Bank
Pelapor.
8. Sanksi:
a. Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari kerja keterlambatan.
b. Bank Pelapor yang tidak menyampaikan Laporan dikenakan sanksi kewajiban membayar
sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
c. Bank Pelapor yang terlambat menyampaikan koreksi Laporan dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari kerja
keterlambatan.
d. Bank Pelapor yang menyampaikan koreksi Laporan atas inisiatif Bank Pelapor setelah
melampaui batas waktu keterlambatan penyampaian koreksi Laporan dikenakan
sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per item
kesalahan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Sementara itu, untuk koreksi Laporan yang didasarkan pada hasil penelitian dan/atau
pemeriksaan Bank Indonesia, maka Bank Pelapor akan dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per item kesalahan dan paling
banyak seluruhnya sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
e. Bank Pelapor yang menyampaikan Laporan dan/atau koreksi Laporan secara offline
pada periode penyampaian online tanpa memenuhi persyaratan, dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap
penyampaian Laporan atau koreksi Laporan.
9. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak pelaporan data bulan Maret 2011 yang
disampaikan pada bulan April 2011.
59
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
60
RINGKASAN PBINOMOR PBI
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/13/PBI/2011 tentang Penilaian Kualitas Aktiva bagi
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah mencabut Peraturan Bank Indonesia sebelumnya
yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva
Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan
perubahannya, dengan beberapa penyempurnaan ketentuan, antara lain:
- perubahan pengaturan Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah;
- penggantian jenis penempatan dana BUS/UUS pada Bank Indonesia dari Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia (SWBI) menjadi Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS);
- perubahan batas jumlah nominal Pembiayaan dalam penilaian kualitas Pembiayaan
yang hanya mendasarkan pada kemampuan membayar;
- perubahan pengaturan Properti Terbengkalai;
- perubahan pengaturan Agunan Yang Diambil Alih (AYDA); dan
- perubahan pengaturan validitas hasil penilaian agunan oleh Penilai Independen.
2. Penilaian kualitas aktiva dalam rangka pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA)
merupakan salah satu bentuk pengelolaan risiko yang bertujuan agar BUS/UUS dapat
menyerap potensi kerugian yang telah diperkirakan (expected loss).
3. Penilaian kualitas aktiva dilakukan terhadap Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif.
4. Aktiva Produktif terdiri dari: (i) Pembiayaan, (ii) Surat Berharga Syariah, (iii) Sertifikat Bank
Indonesia Syariah (SBIS), (iv) Penyertaan Modal, (v) Penyertaan Modal Sementara, (vi)
Penempatan Pada Bank Lain, (vii) Transaksi Rekening Administratif (komitmen & kontinjensi),
dan (viii) bentuk penyediaan dana lainnya.
5. Aktiva Non Produktif terdiri dari: (i) Agunan Yang Diambil Alih (AYDA), (ii) Properti
Terbengkalai, serta (iii) Rekening Antar Kantor dan Suspense Account.
6. Jenis aktiva dan kualitas penggolongan:
PBI No.13/13/PBI/2011
No. Jenis AktivaKualitas Aktiva
L DPK KL D M
1. Pembiayaan 2. Surat Berharga Syariah3. SBIS4. Penempatan Pada Bank Lain5. Penyertaan Modal (<20% - cost method)6. Penyertaan Modal (>20% - equity method)7. Penyertaan Modal Sementara (PMS)8. Transaksi Rekening Administratif 9. Agunan yang Diambil Alih (AYDA)10. Properti Terbengkalai11. Rekening Antar Kantor (RAK) & Suspense Account
Catatan : L=Lancar; DPK=Dalam Perhatian Khusus; KL=Kurang Lancar; D=Diragukan; dan M=Macet
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
61
RINGKASAN PBINOMOR PBI
7. Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA) terdiri dari cadangan umum dan cadangan khusus
sesuai dengan jenis aktiva sebagai berikut:
a. Aktiva Produktif wajib dibentuk cadangan umum dan cadangan khusus; dan
b. Aktiva Non Produktif wajib dibentuk cadangan khusus.
8. Cadangan umum ditetapkan paling kurang 1% dari seluruh Aktiva Produktif yang
digolongkan Lancar kecuali untuk Aktiva Produktif dalam bentuk SBIS, Surat Berharga
Syariah yang diterbitkan Pemerintah Indonesia, dan bagian Aktiva Produktif yang dijamin
dengan jaminan Pemerintah Indonesia atau agunan tunai.
9. Cadangan khusus ditetapkan paling kurang:
a. 5% dari seluruh aktiva yang digolongkan DPK setelah dikurangi agunan;
b. 15% dari seluruh aktiva yang digolongkan KL setelah dikurangi agunan;
c. 50% dari seluruh aktiva yang digolongkan D setelah dikurangi agunan; dan
d. 100% dari seluruh aktiva yang digolongkan M setelah dikurangi agunan.
10. Jenis agunan, nilai agunan sebagai pengurang PPA, dan pengikatannya:
No. Jenis Agunan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Jaminan Pemerintah Indonesia
Agunan tunai
Surat berharga/tagihan Pemerintah Indonesia
Surat Berharga Syariah yang likuid atau memiliki peringkat investasi
Tanah/bangunan untuk tempat tinggal
Tanah/bangunan bukan untuk tempat tinggal dan mesin yang dianggap satu kesatuan dengan tanah
Pesawat udara dan kapal laut di atas 20 meter kubik
Kendaraan bermotor dan persediaan
Resi gudang
Nilai Agunan sebagai pengurang PPA Pengikatan
100% dari nilai yang dijamin
Maksimal 100%
Maksimal 100%
Maksimal 50% nilai pasar
Maksimal 70% nilai wajar
Maksimal 70% nilai wajar
Maksimal 70% nilai wajar
Maksimal 70% nilai wajar
Maksimal 70% nilai wajar
-
Diblokir disertai surat kuasa pencairan
Gadai
Hak tanggungan
Hak tanggungan
Hipotek
Fidusia
Hak jaminan atas resi gudang
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
62
RINGKASAN PBINOMOR PBI
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/ 14 /PBI/2011 tentang Penilaian Kualitas Aktiva bagi
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah mencabut Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006
tentang Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah,
dengan beberapa penyempurnaan ketentuan, antara lain:
- perubahan pengaturan Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah;
- penghapusan penempatan dana BPRS pada Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI);
- pengaturan penempatan dana BPRS pada bank umum konvensional dan Bank
Perkreditan Rakyat;
- perubahan pengaturan Agunan Yang Diambil Alih (AYDA); dan
- perubahan pengaturan jenis dan nilai agunan nasabah sebagai faktor pengurang
dalam perhitungan Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA).
2. Penilaian kualitas aktiva dan pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA) mencakup
Aktiva Produktif, Aktiva Non Produktif dan penempatan pada bank umum konvensional.
3. Aktiva Produktif BPRS meliputi Pembiayaan dan Penempatan Pada Bank Lain, sedangkan
untuk Aktiva Non Produktif adalah Agunan Yang Diambil Alih (AYDA).
4. Penempatan dana BPRS pada bank umum konvensional hanya dapat dilakukan dalam
bentuk giro dan/atau tabungan untuk kepentingan transfer dana bagi BPRS dan nasabah
BPRS. Penempatan pada bank umum konvensional tersebut tidak diklasifikasikan sebagai
Aktiva Produktif BPRS.
5. Dalam Pembiayaan Mudharabah, BPRS tidak diwajibkan menetapkan pembayaran angsuran
pokok secara berkala kepada nasabah. Sedangkan untuk Pembiayaan Musyarakah dengan
jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun, BPRS wajib menetapkan pembayaran angsuran
pokok secara berkala sesuai dengan proyeksi arus kas masuk (cash inflow) usaha nasabah.
6. BPRS hanya dapat mengambilalih agunan nasabah dalam bentuk AYDA terhadap nasabah
yang telah tergolong Macet.
7. AYDA yang dimiliki BPRS wajib dicairkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal
pengambilalihan.
8. Jenis dan kualitas penggolongan aktiva untuk BPRS adalah sebagai berikut:
PBI No.13/14/PBI/2011
No. Jenis AktivaKualitas Aktiva
L KL D M
1. Pembiayaan 2. Penempatan Pada Bank Lain3. Agunan yang Diambil Alih (AYDA)4. Penempatan pada bank umum konvensional
Catatan : L=Lancar; KL=Kurang Lancar; D=Diragukan; dan M=Macet
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
63
RINGKASAN PBINOMOR PBI
9. BPRS wajib membentuk PPA sesuai dengan jenis aktiva sebagai berikut:
a. Aktiva Produktif wajib dibentuk cadangan umum dan cadangan khusus;
b. Aktiva Non Produktif wajib dibentuk cadangan khusus; dan
c. Penempatan dana pada bank umum konvensional wajib dibentuk cadangan umum
dan cadangan khusus.
10. Beberapa tambahan jenis agunan nasabah yang dapat digunakan sebagai faktor pengurang
dalam perhitungan PPA cadangan khusus adalah:
- jaminan Pemerintah Pusat;
- jaminan Pemerintah Daerah;
- jaminan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/ Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
- tempat usaha/kios yang dikelola oleh badan pengelola; dan
- resi gudang.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 2, Mei - Agustus 2011
Halaman ini sengaja dikosongkan