ANALISIS PENGEMBANGAN KOTA MAGELANG SEBAGAI …eprints.undip.ac.id/27857/1/JURNAL_C2B007055.pdf ·...
Transcript of ANALISIS PENGEMBANGAN KOTA MAGELANG SEBAGAI …eprints.undip.ac.id/27857/1/JURNAL_C2B007055.pdf ·...
1
ANALISIS PENGEMBANGAN KOTA MAGELANG SEBAGAI PUSAT
PERTUMBUHAN KAWASAN PURWOMANGGUNG JAWA TENGAH
Disusun oleh :
Retno Zulaechah
NIM. C2B007055
Dosen Pembimbing :
Drs. H. Wiratno, M.Ec.
NIP. 194602201973061001
ABSTRACT
The most important thing from the regional development by implementing
the regional autonomy is improving the regional motivation to have a high growth
rate. If that thing happens, it will cause the improvement of regional gap. One of
the Central Java Government policies to create a balance between economy
growth rate and per capita income is through regional cooperation concept.
Purwomanggung region is one of the result of that policy which consist are these
districts: Purworejo, Wonosobo, Magelang, Temanggung, and Magelang City as
the growth pole. The problem of this research is Magelang as a growth pole is
have not been a fast growth city yet, and the dominant contribution sector towards
GDRP is still having a low growth.
This research aims to identify the economic interaction Magelang City
with hinterland and analize the potential economic sector for the development of
Magelang City. The kind of data that used for this research are secondary data
since 2003 – 2008. Analysis method that used are Gravity model, Location
Quotient analysis, Growth Ratio Model, Overlay analysis, and Shift Share
analysis.
This research is show based on gravity analysis, the low economic
interaction between Magelang City with hinterland. Based on Overlay and Shift
Share analysis shows that Magelang City have many potential sector such as:
electricity sector, building sector, transportation sector, trade sector, financial
sector, and service sector. Among the sixth sectors that become the first priority of
Magelang City development is transportation sector, the second is electricity
sector, trade sector, financial sector and the third is service sector. From all those
analysis above, it can be conclude that Magelang city has not complete yet some
criteria of the growth pole, because Magelang City have less interesting view for
hinterland, although it has potential sector, but the sector growth progress is still
low.
Key words : Regional Development, Growth Pole, Gravity Model, Overlay
Analysis, Shift Share Analysis.
2
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah
daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu
pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta dengan tujuan
menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru dan merangsang perkembangan
kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut (Arsyad,2002).Pemerintah melalui UU
No.32 Tahun 2004 tentang “Pemerintah Daerah” dan UU No.33 Tahun 2004
tentang “Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah”, mengenai
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk
merencanakan dan mengelola pembangunan daerahnya masing – masing
berdasarkan potensi dan permasalahan wilayah.
Berlakunya otonomi daerah yang paling penting bagi pembangunan daerah
dewasa ini adalah meningkatkan motivasi daerah untuk memiliki tingkat
pertumbuhan yang tinggi melalui pemberdayaan potensi ekonomi lokal. Hal
tersebut mengakibatkan daerah yang memiliki potensi ekonomi lokal yang
melimpah akan semakin kaya, sedangkan daerah yang memiliki potensi ekonomi
lokal yang terbatas akan semakin miskin.Apabila kondisi tersebut dibiarkan maka
akan semakin meningkatkan kesenjangan antardaerah.
Provinsi Jawa Tengah melalui Perda Provinsi Jawa Tengah No. 21 Tahun
2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 –
2018 dengan pembaruan Perda Provinsi Jawa Tengah No. 6 Tahun 2010 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 – 2029
menetapkan daerah – daerah yang dijadikan kawasan kerjasama antardaerah
kabupaten/kota. Diharapkan dengan adanya kawasan kerjasama, masing – masing
daerah dalam suatu kawasan kerjasama akan saling berupaya untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pembangunan. Salah satu dari hasil
kebijakan tersebut adalah dikelompokkannya beberapa daerah dalam Kawasan
Purwomanggung yang terdiri dari Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo,
Kota Magelang, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Temanggung. Kota
Magelang merupakan pusat pertumbuhan di Kawasan Purwomanggung. Kriteria
3
pusat pertumbuhan yaitu sebagai daerah cepat tumbuh, memiliki sektor unggulan
dan memiliki interaksi ekonomi dengan daerah belakangnya.
Kinerja perekonomian suatu daerah dapat dilihat dari nilai PDRB dan
pertumbuhan PDRBnya. Sedangkan tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu
wilayah dapat dilihat daro PDRB per kapita. Berikut laju pertumbuhan PDRB dan
PDRB per kapita kabupaten/kota di Kawasan Purwomanggung :
Tabel 1.1
Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000
Kawasan Purwomanggung Tahun 2003 – 2008 (persen)
Sumber : PDRB Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah, diolah
Tabel 1.2
Rata – rata PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000
Kawasan Purwomanggung Tahun 2003 – 2008
Sumber : PDRB per kapita Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah, diolah
Rata – rata laju pertumbuhan ekonomi Kota Magelang dan rata – rata
PDRB per kapita Kota Magelang antara tahun 2003 – 2008, dapat dijadikan dua
indikator utama untuk mengetahui tentang pola dan struktur pertumbuhan
ekonomi Kota Magelang. Menurut Tipologi Klassen, Kota Magelang termasuk
kriteria daerah maju tertekan karena memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi,
tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding dengan Provinsi
Jawa Tengah. Mengingat Kota Magelang adalah pusat pertumbuhan kawasan
Purwomanggung, seharusnya memiliki kriteria cepat tumbuh.
Berdasarkan Tabel 1.3 dapat dilihat sektor yang mempunyai kontribusi
tiga terbesar dalam PDRB Kota Magelang pada tahun 2003 dan 2008 yaitu sektor
No Kabupaten/Kota 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata –
rata
1 Kota Magelang 3,74 3,71 4,33 2,44 5,17 5,05 4,07
2 Kabupaten Magelang 4,01 4,03 4,91 4,91 5,21 4,99 4,68
3 Kabupaten Temanggung 3,37 3,92 3,31 3,31 4,03 3,54 3,58
4 Kabupaten Wonosobo 2,28 2,34 3.23 3,23 3,58 3,69 3,06
5 Kabupaten Purworejo 5,08 4,17 4,91 5,23 6,08 5,62 5,18
Jawa Tengah 4,98 4,70 4,41 4,41 4,50 4,99 4,67
No Kabupaten/Kota Rata – rata PDRB per Kapita
(Rupiah)
1 Kota Magelang 7.362.945,67
2 Kabupaten Purworejo 3.365.979,59
3 Kabupaten Wonosobo 2.110.069,90
4 Kabupaten Magelang 2.887.465,38
5 Kabupaten Temanggung 2.939.842,96
Jawa Tengah 4.561.410,43
4
jasa – jasa, sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor bangunan, akan
tetapi pertumbuhan ketiga sektor tersebut masih dibawah sektor lain yang bukan
merupakan kontribusi utama dalam pembentukan PDRB.
Tabel 1.3
PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Kota Magelang
Tahun 2003 dan 2008
Sumber : PDRB Kota Magelang, diolah
Mencermati perkembangan perekonomian Kota Magelang sebagaimana
diuraikan diatas maka menarik untuk mengkaji dan menganalisis interaksi
ekonomi Kota Magelang sebagai pusat pertumbuhan Kawasan Purwomanggung
dengan daerah belakangnya dan menganalisis mengenai pengembangan sektor
ekonomi yang potensial untuk dikembangkan berdasarkan potensi dan
permasalahan sumber daya wilayah yang ada menjadi leading sector bagi Kota
Magelang. Oleh karena itu penelitian ini mengambil judul “ANALISIS
PENGEMBANGAN KOTA MAGELANG SEBAGAI PUSAT
PERTUMBUHAN KAWASAN PURWOWANGGUNG JAWA TENGAH”.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah dalam penelitian ini adalah Kota Magelang sebagai pusat
pertumbuhan seharusnya memiliki kriteria cepat tumbuh, akan tetapi Kota
Magelang masih berada pada kriteria daerah maju tertekan. Kota Magelang juga
harus memiliki sektor unggulan, tetapi sektor ekonomi di Kota Magelang yang
merupakan kontribusi utama terhadap PDRB pertumbuhannya masih lambat.
Perlu dianalisis penetapan Kota Magelang sebagai pusat pertumbuhan Kawasan
Purwomanggung, dilihat dari interaksi ekonomi dengan daerah belakangnya dan
No Lapangan Usaha Tahun Perubahan
2003 2008 Absolut Persen
(Jutaan Rupiah) (Jutaan Rupiah)
1 Pertanian 25.240,72 29.677,66 4.436,94 17.58
2 Pertambangan dan Penggalian 0 0 0 0.00
3 Industri Pengolahan 30.051,37 35.139,12 5.087,75 16.93
4 Listrik, Gas, dan Air Bersih 21.136,51 26.358,75 5.222,24 24.71
5 Bangunan 132.088,60 150.980,54 18.891,94 14.30
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 53.825,48 77.473,22 23.647,74 43.93
7 Pengangkutan dan Komunikasi 154.119,84 191.133,31 37.013,47 24.02
8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 86.159,21 110.376,01 24.216,80 28.11
9 Jasa – Jasa 309.019,77 372.725,22 63.705,45 20.62
Total PDRB 811.631,5 993.863,81 182.232,31 22.45
5
sektor ekonomi apa yang merupakan sektor potensial serta bagaimana penentuan
prioritas sektor potensial untuk pengembangan wilayah, sehingga dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi Kota Magelang dan menciptakan spread effect
untuk daerah sekitarnya.
1.3 Tujuan dan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1. Mengidentifikasi interaksi ekonomi Kota Magelang dengan daerah
belakangnya dalam satu Kawasan Purwomanggung.
2. Menganalisis sektor ekonomi yang potensial untuk dikembangkan sebagai
penggerak perekonomian Kota Magelang.
3. Menentukan prioritas sektor potensial untuk pengembangan wilayah Kota
Magelang.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi Daerah
2.1.1.1 Teori Harrod-Domar dalam Sistem Regional
Teori Harrod-Domar berdasarkan pada asumsi antara lain perekonomian
bersifat tertutup, hasrat menabung adalah konstan, proses produksi memiliki
koefisien yang tetap, tingkat pertumbuhan angkatan kerja adalah konstan dan
sama dengan tingkat pertumbuhan. Pertumbuhan jangka panjang yang mantap
hanya bisa tercapai apabila terpenuhi syarat – syarat keseimbangan sebagai
berikut :
g = k = n (2.1)
dimana : g = Growth (tingkat pertumbuhan output)
k = Capital (tingkat pertumbuhan modal) n = Tingkat pertumbuhan angka kerja
Agar terdapat keseimbangan maka antara tabungan (S) dan investasi (I)
harus terdapat kaitan yang saling menyeimbangkan. Padahal peran k untuk
menghasilkan tambahan produksi ditentukan oleh v (capital output ratio). Apabila
tabungan dan investasi adalah sama (S=I),maka:
I
K=
S
K=
S
Y=
Y
K=
S/Y
K/Y=
S
V (2.2)
6
agar pertumbuhan tersebut mantap, harus dipenuhi syarat g = n = s/v.
Untuk perekonomian daerah, Harry W. Richardson (dikutip oleh Tarigan,
2005:50) menyatakan syarat bagi perekonomian daerah yang bersifat terbuka
yaitu
S + M = I + X, dimana X = ekspor dan M = impor (2.3)
(s + m) Y = I + X (2.4)
I
Y= s + m −
X
Y (2.5)
X = Mijnj=1 = miYj
nj=1 (2.6)
I
Y=
S
Y=
s.v
v dimana g =
s
v (2.7)
Dengan demikian, Richardson (dikutip oleh Tarigan, 2005:51)
merumuskan persamaan pertumbuhan suatu wilayah adalah:
g𝑖 =𝑠𝑖+𝑚 𝑖− 𝑚 𝑗𝑖 𝑌𝑗 /𝑌𝑖
𝑣𝑖 (2.8)
2.1.1.2 Teori Pertumbuhan Neoklasik
Teori Solow – Swan, adanya pertumbuhan yang mantap disebabkan
kemungkinan substitusi antara modal (K) dan tenaga kerja (L), serta
dimasukkannya unsur kemajuan teknologi (T). Oleh sebab itu, fungsi produksinya
berbentuk:
𝑌𝑖 = 𝑓𝑖(𝐾, 𝐿, 𝑡) (2.9)
Dalam kerangka ekonomi wilayah, Richardson (dikutip oleh
Tarigan,2005:53) kemudian menderivasikan rumus di atas menjadi sebagai
berikut :
𝑌𝑖 = a𝑖𝑘𝑖 + 1 − a𝑖 𝑛𝑖 + T (2.10)
dimana 𝑌𝑖 = Besarnya output 𝑘𝑖 = Tingkat Pertumbuhan Modal
𝑇𝑖 = Kemajuan Teknologi 𝑛𝑖 = Tingkat Pertumbuhan tenaga kerja
a = Bagian yang dihasilkan oleh faktor modal
(1-a) = Bagian yang dihasilkan oleh faktor di luar modal
2.1.1.3 Teori Basis Ekspor
Teori basis – ekspor membagi kegiatan sektor yang terdapat di suatu
daerah menjadi kegiatan sektor basis adalah kegiatan yang bersifat exogenous
artinya tidak terikat kondisi internal perekonomian daerah dan sekaligus berfungsi
mendorong tumbuhnya kegiatan sektor lainnya dan kegiatan non basis adalah
7
kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah itu sendiri. Hubungan
antara perubahan pendapatan basis dengan perubahan total pendapatan, Tiebout
(dikutip oleh Tarigan, 2005:37) merumuskan sebagai berikut :
∆𝑌𝑡 = 𝐾 . ∆𝑌𝑏 (2.12)
dimana, 𝑌𝑡 = Pendapatan total K = Pengganda basis
𝑌𝑏= Pendapatan basis Δ = Perubahan
2.1.1.4 Model Pertumbuhan Interegional
Model Pertumbuhan Interegional memperluas teori basis – ekspor dengan
memasukkan dampak dari daerah tetangga atau faktor eksogen, karena suatu
daerah terikat kepada suatu sistem yang terdiri dari beberapa daerah yang
berhubungan erat. Kegiatan yang dilakukan oleh daerah lain dapat memberikan
pengaruh baik positif maupun negatif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu
daerah.
2.1.2 Teori Pusat Pertumbuhan
Pusat pertumbuhan dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara
fungsional, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha
atau cabang industri yang karena sifat hubungannya memiliki unsur-unsur
kedinamisan sehingga mampu mendorong kehidupan ekonomi baik ke dalam
maupun ke luar. Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang
banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik.
Suatu kota dikatakan sebagai pusat pertumbuhan apabila memiliki empat ciri-ciri
pusat pertumbuhan yaitu sebagai berikut : (Tarigan,2005)
1. Adanya hubungan intern dari berbagai macam kegiatan
2. Adanya unsur pengganda
3. Adanya kosentrasi geografis
4. Bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Wiyadi dan Rina Trisnawati dengan judul
analisis potensi daerah untuk mengembangkan wilayah di Eks-Karesidenan
Surakarta menggunakan teori pusat pertumbuhan, memberikan kesimpulan bahwa
berdasar analisis Location Quotient sektor basis adalah sektor listrik, keuangan,
8
dan jasa. Hasil analisis gravitasi menunjukkan interaksi kota-desa yang paling erat
dengan Kota Surakarta adalah Kabupaten Sukoharjo.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bayu Wijaya dan Hastarini Dwi
Atmanti yang berjudul analisis pengembangan wilayah dan sektor potensial guna
mendorong pembangunan di Kota Salatiga adalah sektor basis yang dimiliki Kota
Salatiga dilihat dari analisis Location Quotient adalah sektor listrik, bangunan,
pengangkutan, persewaan, dan jasa. Kota Salatiga menurut analisis Shift Share
berspesialisasi pada sektor pertambangan, listrik, dan perdagangan. Model
Garvitasi memperlihatkan Kota Salatiga memiliki interaksi yang tinggi dengan
Kabupaten Semarang. Sektor yang potensial dikembangkan adalah sektor
bangunan, pengangkutan, keuangan, dan jasa.
2.3 Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1
Alur Pikir Pengembangan Kota Magelang Sebagai Pusat Pertumbuhan
Sektor Prioritas untuk dikembangkan
Shift Share :
Sektor keunggulan
kompetitif dan
spesialisasi
Sektor keunggulan
kompetitif
Sektor spesialisasi
Sektor ketidakunggulan
kompetitif dan non
spesialisasi
LQ, MRP, dan Overlay :
Sektor Unggulan
Sektor non Unggulan
Sektor Potensial dalam
Pengembangan Kota Magelang
Model Gravitasi :
Interaksi Kuat
Interaksi Lemah
Daerah Interaksi Terkuat
Sebagai Prioritas Daerah Kerjasama
Pengembangan Interaksi
Ekonomi Antardaerah
Otonomi Daerah
UU No 32 Tahun 2004
RTRW Provinsi Jawa Tengah :
Kawasan Kerjasama Purwomanggung
Kota Magelang Sebagai Pusat Pertumbuhan :
Daerah Maju Tertekan (Tipologi Klassen)
Potensi Ekonomi Kota Magelang
Penetapan Kota Magelang
Sebagai Pusat Pertumbuhan
Kawasan Purwomanggung Jawa Tengah
9
III. METODE PENELITIAN
3.1 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional dan variabel yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu :
1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
adalah PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 dengan ukuran jutaan
rupiah.
2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita
adalah total PDRB pertahun dibagi dengan jumlah penduduk di daerah
tersebut untuk tahun yang sama (Tarigan,2005:21). Satuan yang digunakan
adalah rupiah.
3. Interaksi ekonomi daerah
adalah wujud dari adanya hubungan antara pusat pertumbuhan dan daerah
belakangnya (Soepono,2000:418). Semakin tinggi nilai Indeks Gravitasi ( 𝐼12)
maka interaksi ekonomi antar daerah semakin kuat.
4. Pertumbuhan Ekonomi
adalah total PDRB atau sektor pada tahun akhir dikurangi total PDRB atau
sektor pada tahun awal dibagi total PDRB atau sektor pada tahun awal
dikalikan seratus persen dengan hasil dalam persentase.
5. Sektor Basis
adalah sektor yang memiliki nilai Indeks Location Quotient lebih dari satu
(LQ>1).
6. Sektor non Basis
adalah sektor yang memiliki nilai Indeks Location Qoutient kurang dari satu
(LQ < 1).
7. Sektor Spesialisasi
adalah apabila memiliki nilai Komponen Proportional Shift (𝑃𝑟 ,𝑖) positif (+),
8. Sektor Keunggulan Kompetitif
adalah apabila memiliki nilai Komponen Differential Shift ( 𝐷𝑟 ,𝑖) positif (+).
9. Sektor Potensial
10
adalah sektor yang mampu mengekspor outputnya ke daerah lain atau
memiliki keunggulan komparatif dan memiliki keunggulan kompetitif serta
spesialisasi. Cara memperolehnya dengan metode Overlay yang memiliki
nilai positif (+) dan dengan metode Shift Share (SS) dengan nilai 𝑃𝑟 ,𝑖 dan 𝐷𝑟 ,𝑖
positif (+).
10. Sektor prioritas untuk pengembangan wilayah
adalah sektor potensial yang memiliki jumlah skor terendah, skor tersebut
diperoleh dari hasil perhitungan metode Location Quotient, pertumbuhan
ekonomi sektoral, dan metode Shift Share yang telah diberi skor sesuai
peringkat hasil absolut dari perhitungan tersebut.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa data time series
dengan periode pengamatan tahun 2003-2008. Sumber data antara lain: BPS
Provinsi Jawa Tengah dan Kota Magelang, BAPPEDA Provinsi Jawa Tengah dan
Kota Magelang, Dinas instansi terkait dan jurnal serta literatur yang berkaitan
dengan penelitian ini.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi yaitu
pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara mempelajari buku – buku
terbitan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Magelang seperti
BAPPEDA, BPS, dinas instansi terkait, artikel – artikel, jurnal – jurnal, dan buku
– buku yang mempunyai relevansi dengan masalah yang diangkat dalam
penelitian ini, yang diperoleh melalui perpustakaan dan download internet.
3.4 Metode Analisis
3.4.1 Model Gravitasi
Analisis ini digunakan untuk mengidentifikasikan interaksi ekonomi Kota
Magelang dengan daerah belakangnya dan mencari daerah mana di sekitar Kota
Magelang dalam satu Kawasan Purwomanggung yang memiliki interaksi ekonomi
yang kuat dengan Kota Magelang.
Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung interaksi ekonomi antar
daerah menurut Suwarjoko (dikutip oleh Wiyadi dan Rina,2002) adalah :
I12 = a(W1P1) (W2P2)/J12b (3.1)
11
Keterangan :
I12 : interaksi dalam wilayah 1 dan 2 P1 : jumlah penduduk wilayah 1
W1 : PDRB perkapita wilayah 1(rupiah) P1 : jumlah penduduk wilayah 1
W2 : PDRB perkapita wilayah 2(rupiah) J12: jarak antar wilayah 1 dan 2 (meter)
a : konstanta yang nilainya 1 b : konstanta yang nilainya 2
Nilai 𝐼12 menunjukkan eratnya hubungan antar wilayah 1 dan wilayah 2,
semakin tinggi nilai 𝐼12 maka semakin erat hubungan antara dua wilayah, dengan
demikian semakin banyak pula perjalanan kegiatan ekonomi atau arus barang dan
jasa antar wilayah tersebut sebagai konsekuensi interaksi antar daerah dalam satu
kawasan
3.4.2 Analisis Location Quotient
Alat analisis Location Quotient (LQ) membandingkan besarnya peranan
sektor di suatu daerah (Kota Magelang) terhadap besarnya peranan sektor tersebut
di tingkat daerah di atasnya (Provinsi Jawa Tengah). Analisis ini digunakan untuk
mengidentifikasi potensi internal yang dimiliki daerah tersebut yaitu sektor basis
dan sektor non basis.
Rumus LQ dapat ditulis sebagai berikut :
𝐿𝑄 = 𝑠𝑖/𝑆
𝑛𝑖/𝑁 (3.3)
Keterangan :
LQ : Indeks Location Quotient
𝑠𝑖 : PDRB sektor i di Kota Magelang dalam juta rupiah
𝑆 : PDRB total di Kota Magelang dalam juta rupiah
𝑛𝑖 : PDRB sektor i di Provinsi Jawa Tengah dalam juta rupiah
𝑁 : PDRB total di Provinsi Jawa Tengah dalam juta rupiah
Kriteria pengukuran LQ menurut Bendavid-Val (dikutip oleh
Kuncoro,2002) yaitu LQ > 1 sektor tersebut merupakan sektor basis di daerah
dan potensial untuk dikembangkan sebagai pendorong perekonomian daerah. LQ
< 1 berarti sektor tersebut bukan merupakan sektor basis dan kurang potensial
untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian daerah.
3.4.3 Analisis Shift Share
Analisis Shift Share juga membandingkan perbedaan laju pertumbuhan
berbagai sektor di daerah studi dengan daerah referensi, yang membedakan
12
dengan analisis Location Quetient adalah metode shift share memperinci
penyebab perubahan atas beberapa variabel. Tujuan analisis ini adalah untuk
menunjukkan sektor yang berkembang di suatu wilayah jika dibandingkan dengan
perekonomian daerah diatasnya, selain itu analisis ini digunakan pula untuk
melihat pertumbuhan PDRB dari sektor – sektor yang dimiliki baik dari pengaruh
internal (faktor lokasional) maupun pengaruh eksternal (struktur industri).
∆𝐸𝑟 ,𝑖 ,𝑡 = (𝑁𝑠𝑖+𝑃𝑟 ,𝑖+𝐷𝑟 ,𝑖) (3.4)
𝑁𝑠𝑖 ,𝑡 = 𝐸𝑟 ,𝑖,𝑡−𝑛(EN,t/EN,t−n) − Er,i,t−n (3.5)
𝑃𝑟 ,𝑖 ,𝑡 = {(𝐸𝑁,𝑖 ,𝑡/𝐸𝑁,𝑖,𝑡−𝑛) − (𝐸𝑁,𝑡/𝐸𝑁,𝑡−𝑛)} × 𝐸𝑟 ,𝑖 ,𝑡−𝑛 (3.6)
𝐷𝑟 ,𝑖,𝑡 = {𝐸𝑖 ,𝑟 ,𝑡 − (𝐸𝑁,𝑖 ,𝑡/𝐸𝑁,𝑖 ,𝑡−𝑛)𝐸𝑟 ,𝑖 ,𝑡−𝑛} (3.7)
Keterangan :
∆ : Perubahan,tahun akhir (tahun t) dikurangi dengan tahun awal (tahun t-n)
N : Provinsi Jawa Tengah r : Kota Magelang
E : Total PDRB (juta rupiah) i : Sektor
t : Tahun t – n : Tahun awal
𝑁𝑠𝑖 : National share (juta rupiah)
𝑃𝑟 ,𝑖 : Proportional shift (juta rupiah)
𝐷𝑟 ,𝑖 : Differential shift (juta rupiah)
Pengukuran dari analisis Shift Share (Soepono,1999:45): 𝑁𝑠𝑖 bernilai
positif, menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor i di daerah lebih cepat dibanding
dengan pertumbuhan sektor yang sama di daerah provinsi. Apabila 𝑁𝑠𝑖 bernilai
negatif, menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor i di daerah lebih lambat
dibanding dengan pertumbuhan sektor yang sama di daerah provinsi. 𝑃𝑟 ,𝑖 positif di
daerah yang berspesialisasi di sektor secara nasional tumbuh lebih cepat dan
negatif bila daerah berspesialisasi pada sektor yang tumbuh lebih lambat. 𝐷𝑟 ,𝑖
bernilai positif pada sektor yang memiliki keunggulan kompetitif dan 𝐷𝑟 ,𝑖 bernilai
negatif pada sektor yang tidak memiliki keunggulan kompetitif.
3.4.4 Analisis Model Rasio Pertumbuhan
Model Rasio Pertumbuhan adalah perbandingan pertumbuhan suatu
kegiatan dalam wilayah referensi (Provinsi Jawa Tengah) dan wilayah studi (Kota
Magelang). Pendekatan MRP dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Rasio pertumbuhan wilayah referensi (RPr)
13
Dalam hal ini RPr membandingkan pertumbuhan masing – masing sektor
dalam konteks wilayah referensi (Provinsi Jawa Tengah) dengan PDRB Kota
Magelang.
Rumus RPr yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
RPr = ΔEN ,i,t /EN ,i,t−n
ΔEN ,t /EN ,t−n (3.8)
2. Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi
Dalam hal ini RPs membandingkan pertumbuhan masing – masing sektor
dalam konteks wilayah studi (Kota Magelang) dengan pertumbuhan sektor
Provinsi Jawa Tengah.
Rumus RPs yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
RPs = ΔEr ,i ,t /Er ,i ,t−n
ΔEN ,i,t /EN ,i,t−n (3.10)
Keterangan :
RPr : rasio pertumbuhan wilayah referensi (Provinsi Jawa Tengah)
RPs : rasio pertumbuhan wilayah studi (Kota Magelang)
∆ : Perubahan,tahun akhir (tahun t) dikurangi dengan tahun awal (tahun t-n)
𝐸𝑟 ,𝑖 : PDRB sektor i di Kota Magelang
𝐸𝑁 : PDRB di Provinsi Jawa Tengah
𝐸𝑁,𝑖 : PDRB sektor i di Provinsi Jawa Tengah
t : tahun t – n : tahun awal
Dari hasil analisis MRP akan diperoleh nilai riil dan nilai nominal
kemudian hasil kombinasi keduanya dapat diperoleh deskripsi sektor ekonomi
yang potensial dikembangkan di daerah kabupaten/kota di provinsi yang dapat
diklasifikasikan menjadi empat bagian (Yusuf,1999), yaitu :
a. Klasifikasi 1, yaitu nilai RPr (+) dan RPs (+) berarti sektor tersebut memiliki
pertumbuhan yang menonjol baik di tingkat provinsi maupun tingkat
kabupaten/kota. sektor ini disebut sebagai dominan pertumbuhan.
14
b. Klasifikasi 2, yaitu nilai RPr (+) dan RPs (-) berarti sektor tersebut memiliki
pertumbuhan yang menonjol di tingkat provinsi, namun belum menonjol di
tingkat kabupaten/ kota.
c. Klasifikasi 3, yaitu nilai RPr (-) dan RPs (+) berarti sektor tersebut memiliki
pertumbuhan yang tidak menonjol di tingkat provinsi sementar pada tingkat
kabupaten/kota termasuk menonjol.
d. Klasifikasi 4, yaitu nilai RPr (-) dan RPs (-) berarti sektor tersebut memiliki
pertumbuhan yang rendah baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat
provinsi.
3.4.5 Analisis Overlay
Analisis Overlay digunakan untuk menentukan sektor unggulan dengan
menggabungkan alat analisis dengan tujuan untuk menyaring hasil analisis yang
paling baik, dimana hasil akhir dapat merupakan beberapa kemungkinan ataupun
hanya merupakan hasil yang diinginkan saja. Dalam penelitian ini, analisis
overlay merupakan rangkuman antara hasil dari analisis LQ dengan Model Rasio
Pertumbuhan (MRP) yaitu Rasio pertumbuhan Wilayah Referensi (RPr) dan
Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi (RPs). Terdapat tiga kriteria dalam analisis
overlay yaitu :
a. RPr, RPs, dan LQ ketiganya bernilai positif (+), berarti sektor tersebut
mempunyai potensi daya saing kompetitif maupun komparatif yang lebih
unggul dibanding kegiatan yang sama di tingkat provinsi.
b. RPr bernilai negatif (-), sedangkan RPs dan LQ bernilai positif (+), berarti
sektor tersebut merupakan spesialisasi kegiatan ekonomi di kabupaten/kota.
c. RPr, RPs, dan LQ ketiganya bernilai negatif (-), berarti sektor tersebut kurang
memiliki daya saing kompetitif maupun komparatif yang lebih unggul
dibandingkan kegiatan yang sama pada tingkat provinsi.
3.4.6 Menentukan Sektor Prioritas untuk Pengembangan
Untuk menentukan sektor potensial yang diprioritaskan dalam
pengembangan wilayah di Kota Magelang, menggunakan hasil analisis Location
Quotient (LQ), pertumbuhan sektoral, dan analisis Shift Share untuk spesialisasi
dan keunggulan kompetitif, yang semuanya diskorkan sesuai dengan nilai absolut
yang ada di masing – masing sektor dalam kategori. Skala skor antara 1 sampai 8
15
sesuai dengan jumlah sektor yang ada di Kota Magelang, skor 1 untuk nilai
tertinggi dan skor 8 untuk nilai terendah. Skala skor dapat digambar sebagai
berikut :
Gambar 3.1
Skala Skor Penentuan Sektor Prioritas untuk Pengembangan
A B C D E F G H
1 2 3 4 5 6 7 8
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Model Gravitasi
Dari hasil analisis gravitasi (lihat Tabel 4.1) dapat diketahui bahwa
kabupaten/kota di Kawasan Purwomanggung yang memiliki interaksi ekonomi
paling kuat dengan Kota Magelang hanya satu yaitu Kabupaten Magelang.
Sedangkan Kota Magelang, Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Purworejo
memiliki interaksi ekonomi paling kuat dengan Kabupaten Magelang dan
Kabupaten Wonosobo memiliki interaksi ekonomi paling kuat dengan Kabupaten
Temanggung.
Kota Magelang kurang memiliki daya tarik bagi daerah belakangnya,
dilihat dari kekuatan interaksi ekonomi hasil analisis gravitasi berarti Kota
Magelang tidak memenuhi kriteria pusat pertumbuhan yaitu daerah yang memiliki
interaksi ekonomi dengan daerah belakangnya. Akan tetapi Kota Magelang perlu
dianggap sebagai pusat pertumbuhan karena memiliki berbagai fasilitas kota yang
tidak dimiliki oleh kabupaten lain di Kawasan Purwomanggung sehingga ada
kosentrasi berbagai sektor dan menciptakan efisiensi di antara sektor – sektor
yang saling membutuhkan yang dapat meningkatkan daya tarik dari Kota
Magelang.
Berbagai fasilitas yang ada di Kota Magelang merupakan daya tarik
tersendiri bagi daerah – daerah sekitarnya, fasilitas – fasilitas yang ada antara lain
16
menyangkut jasa pelayanan yaitu jasa layanan perdagangan, pendidikan, fasilitas
kesehatan, fasilitas transportasi, keuangan, pemukiman dan perumahan, dan
hiburan atau rekreasi, serta fasilitas penunjang lainnya. Dimana jasa dan fasilitas
tersebut masih menjadi pusat fasilitas jasa bagi daerah disekitarnya karena skala
produksi maupun aspek teknologi yang lebih baik dibanding dari daerah – daerah
sekitarnya.
Kota Magelang memiliki keterkaitan yang kuat dengan Kabupaten
Magelang dan Kabupaten Temanggung (lihat Tabel 4.1), ada baiknya dilakukan
kerjasama dengan kedua daerah tersebut untuk pengembangan wilayah Kota
Magelang dengan tidak mengabaikan potensi yang dimiliki Kabupaten Purworejo
dan Kabupaten Wonosobo. Salah satu faktor yang akan mendorong kerjasama
Kota Magelang dengan daerah sekitarnya adalah dukungan transportasi yang
memadai diantara daerah. Maka dari itu, terlebih dahulu perlu adanya kerjasama
penyelenggaraan layanan transportasi sehingga akan mendukung pengembangan
fungsi – fungsi ragam layanan jasa di Kota Magelang dan memudahkan mobilitas
ekonomi bergerak di antara Kota Magelang dan daerah sekitarnya (hinterland) di
Kawasan Purwomanggung. Dengan demikian dapat meningkatkan peran Kota
Magelang sebagai pusat pertumbuhan.
Tabel 4.1
Indeks Gravitasi Rata – rata Antar Kabupaten/Kota
di Kawasan Purwomanggung Tahun 2003 – 2008
Kota
Magelang
Kabupaten
Magelang
Kabupaten
Temanggung
Kabupaten
Purworejo
Kabupaten
Wonosobo
Kota Magelang 140,63×10
20 40,36×10
20 12,32×10
20 3,97×10
20
Kabupaten
Magelang 140,63×10
20 50,54×10
20 50,50×10
20 9,36×10
20
Kabupaten
Temanggung 40,37×10
20 50,54×10
20 11,43×10
20 21,70×10
20
Kabupaten
Purworejo 12,32×10
20 50,50×10
20 11,43×10
20 15,56×10
20
Kabupaten
Wonosobo 3,97×10
20 9,36×10
20 21,93×10
20 15,56×10
20
Sumber : data diolah
4.2 Analisis Location Quotient
Rata – rata LQ dari sembilan sektor minus sektor pertambangan selama
periode pengamatan (lihat Tabel 4.8), terdapat tiga sektor yang memiliki nilai LQ
17
kurang dari satu (LQ < 1) yaitu sektor pertanian (0,14), sektor industri pengolahan
(0,10) dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran (0,32). Artinya menurut
analisis LQ bahwa ketiga sektor tersebut merupakan sektor non basis dan kurang
potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian Kota Magelang.
Sedangkan sektor yang memiliki nilai koefisien LQ rata – rata lebih dari satu (LQ
> 1) dalah sektor pengangkutan dan komunikasi (3,63), sektor jasa – jasa (3,47),
sektor listrik, gas, dan air bersih (3,07), sektor keuangan, persewaan, dan jasa
perusahaan (2,83), dan sektor bangunan (2,64). Artinya menurut analisis LQ
kelima sektor tersebut adalah sektor basis dan potensial untuk dikembangkan
sebagai penggerak perekonomian Kota Magelang.
Tabel 4.2
Koefisien Location Quotient Kota Magelang Tahun 2003 – 2008
No Lapangan Usaha Koefisien LQ LQ
2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-
rata
1 Pertanian 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14
2 Pertambangan dan
Penggalian - - - - - - -
3 Industri Pengolahan 0,11
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 3,22
3,11
3,06
3,05
2,99
2,96
3,07
5 Bangunan 2,86
2,79
2,57
2,59
2,53
2,47
2,64
6 Perdagangan, Hotel dan
Restoran
0,29
0,31
0,32
0,32
0,33
0,34
0,32
7 Pengangkutan dan
Komunikasi
3,70
3,72
3,67
3,61
3,56
3,49
3,63
8 Keuangan, Persewaan, dan
Jasa Perusahaan
2,77
2,82
2,88
2,87
2,86
2,80
2,83
9 Jasa – jasa 3,57 3,53 3,57 3,44 3,39 3,32 3,47
Sumber : data diolah
4.3 Analisis Model Rasio Pertumbuhan
Hasil perhitungan Model Rasio Pertumbuhan (MRP) selama periode
pengamatan yaitu pada tahun 2003 – 2008 (Lihat Tabel 4.3) menunjukkan bahwa
di Kota Magelang tidak terdapat sektor yang memenuhi klasifikasi pertama.
Kegiatan sektor yang tingkat pertumbuhannya memenuhi klasifikasi kedua adalah
sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan
komunikasi, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, dan sektor jasa –
jasa berarti pada tingkat Kota Magelang sektor tersebut mempunyai pertumbuhan
kurang menonjol namun pada tingkat Provinsi Jawa Tengah menonjol.
18
Tabel 4.3
Koefisien Model Rasio Pertumbuhan Kota Magelang Tahun 2003 – 2008
No Lapangan Usaha RPr RPs
Riil Notasi Riil Notasi
1 Pertanian 0,79 - 0,76 -
2 Pertambangan dan Penggalian - - - -
3 Industri Pengolahan 0,97 - 0,59 -
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 1,47 + 0,57 -
5 Bangunan 1,35 + 0,36 -
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 0,98 - 1,53 +
7 Pengangkutan dan Komunikasi 1,33 + 0,61 -
8 Keuangan, Persewaan, dan Jasa
Perusahaan
1,14 + 0,83 -
9 Jasa – jasa 1,26 + 0,56 -
Sumber : Lampiran E
Kegiatan sektor yang tingkat pertumbuhannya memenuhi klasifikasi ketiga
adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran, berarti kegiatan sektor tersebut
pada tingkat Kota Magelang menonjol namun pada tingkat Provinsi Jawa Tengah
kurang menonjol. Sedangkan kegiatan sektor yang tingkat pertumbuhannya
memenuhi klasifikasi keempat adalah sektor pertanian dan sektor industri
pengolahan, berarti berarti kegiatan kedua sektor tersebut pada tingkat Provinsi
Jawa Tengah maupun Kota Magelang mampunyai pertumbuhan kurang menonjol.
4.4 Analisis Overlay
Tabel 4.4
Analisis Overlay PDRB Kota Magelang
No Lapangan Usaha RPr RPs LQ Overlay
Riil Notasi Riil Notasi Riil Notasi Notasi
1 Pertanian 0,79 - 0,76 - 0,15 - - - -
2 Pertambangan dan
Penggalian
- - - - - - -
3 Industri Pengolahan 0,97 - 0,59 - 0,11 - - - -
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 1,47 + 0,57 - 3,28 + + - +
5 Bangunan 1,35 + 0,36 - 2,28 + + - +
6 Perdagangan, Hotel dan
Restoran
0,98 - 1,53 + 0,34 - - + -
7 Pengangkutan dan
Komunikasi
1,33 + 0,61 - 3,87 + + - +
8 Keuangan, Persewaan, dan
Jasa Perusahaan
1,14 + 0,83 - 3,03 + + - +
9 Jasa – jasa 1,26 + 0,56 - 3,17 + + - +
Sumber : data diolah
19
Hasil analisis Overlay menunjukkan bahwa selama periode tahun 2003 –
2008 (lihat Tabel 4.4) di Kota Magelang tidak terdapat kegiatan sektoral yang
memenuhi kriteria pertama dan kriteria kedua. Kegiatan sektor yang memenuhi
kriteria ketiga adalah sektor pertanian dan sektor industri pengolahan. Artinya
kedua sektor tersebut kurang memiliki daya saing kompetitif maupun komparatif
yang lebih unggul dibandingkan kegiatan yang sama pada tingkat Provinsi Jawa
Tengah.
Sektor – sektor lain yang tidak termasuk dalam ketiga kriteria analisis
overlay mempunyai notasi yang bervariasi yaitu terdapat lima sektor yang
memiliki nilai RPr dan LQ positif (+) sedangkan nilai RPs negatif (-) adalah
sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan
komunikasi, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, dan sektor jasa –
jasa, yang berarti kelima sektor tersebut mempunyai pertumbuhan sektoral yang
tinggi di tingkat Provinsi Jawa Tengah dan kontribusi sektoral di Kota Magelang
lebih tinggi dari Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan sektor lain yaitu sektor
perdagangan, hotel, dan restoran memiliki nilai RPs positif (+) sedangkan nilai
RPr dan LQ negatif (-), berarti kegiatan sektor tersebut di Kota Magelang lebih
unggul dibandingkan sektor yang sama di tingkat Provinsi Jawa Tengah, tetapi
kontribusi sektor tersebut di Kota Magelang lebih rendah dari Provinsi Jawa
Tengah.
4.5 Analisis Shift Share
Hasil analisis Shift Share (lihat Tabel 4.5) menunjukkan selama periode
tahun 2003 – 2008 pertumbuhan di Kota Magelang sebesar Rp 182.232,33 Juta,
terwujud dari adanya pengaruh positif dari pertumbuhan Provinsi Jawa Tengah
yaitu sebesar Rp 239.273,60 Juta, pengaruh positif dari spesialisasi sebesar Rp
56.290,77 Juta dan pengaruh negatif dari keunggulan kompetitif yang telah
mengurangi pertumbuhan Kota Magelang sebesar Rp 113.332,04 Juta.
Mencermati hasil analisis Shift Share sepanjang periode pengamatan (lihat
Tabel 4.5) menunjukkan bahwa di Kota Magelang tidak ada sektor yang memiliki
spesialisasi sekaligus keunggulan kompetitif. Walaupun sektor keunggulan
kompetitif yang dimiliki Kota Magelang hanya satu yaitu sektor perdagangan,
hotel, dan restoran karena faktor lokasional berupa satrategisnya lokasi Kota
20
Magelang yang berada di persilangan lalu lintas ekonomi, tetapi di Kota
Magelang terdapat banyak sektor spesialisasi yaitu sektor listrik, gas, dan air
bersih, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan,
persewaan, dan jasa perusahaan, dan sektor jasa – jasa. Sektor – sektor yang
memiliki keunggulan kompetitif maupun spesialisasi tersebut merupakan sektor
potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi Kota
Magelang dan daerah sekitarnya.
Tabel 4.5
Analisis Shift Share Kota Magelang Tahun 2003 – 2008 (Juta Rupiah)
Sumber : data diolah
4.6 Menentukan Sektor Prioritas untuk Pengembangan
Dari hasil penjumlahan skor nilai masing – masing kategori (Lihat Tabel
4.6), sektor prioritas untuk pengembangan Kota Magelang yaitu pertama dengan
jumlah skor 13 adalah sektor pengangkutan dan komunikasi; kedua dengan
jumlah skor 15 adalah sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor perdagangan, hotel,
dan restoran, dan sektor keuangan ,persewaan, dan jasa perusahaan; ketiga dengan
jumlah skor 16 adalah sektor jasa – jasa; keempat dengan jumlah skor 23 adalah
sektor bangunan dan sektor pertanian; kelima dengan jumlah skor 24 adalah
sektor industri pengolahan.
No Lapangan Usaha Pengaruh
Pertumbuhan
Jawa Tengah
(NSr,i)
Pengaruh
Spesialisasi
(Pr,i)
Pengaruh
Keunggulan
Kompetitif
(Dr,i)
Pertumbuhan Kota
Magelang
(ΔEr,i)
1 Pertanian 7.438,16
-1.560,56 -1.430,66 4.446,94
2 Pertambangan dan Penggalian - - - -
3 Industri Pengolahan 8.859,32 -274,44
-3.497,13 5.087,75
4 Listrik, Gas dan Air Bersih 6.231,16
2.918,55 -3.927,47 5.222,24
5 Bangunan 38.940,47
13.463,59 -33.512,13 18.891,93
6 Perdagangan, Hotel dan
Restoran
15.868,06
-382,31 8.161,99 23.647,74
7 Pengangkutan dan Komunikasi 45.435,41
14.973,36 -23.395,30 37.013,47
8 Keuangan, Persewaan, dan
Jasa Perusahaan
25.400,23
3.632,68 -4.816,11 24.216,80
9 Jasa – jasa 91.100,79 23.519,89 -50.915,23 63.705,45
Jumlah 239.273,60 56.290,77 -113.332,04 182.232,33
21
Dalam penelitian ini strategi pengembangan sektor potensial untuk
mendorong perekonomian Kota Magelang diambil sektor prioritas utama yaitu
sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor listrik, gas, dan air bersih; sektor
perdagangan, hotel dan restoran; sektor keuangan, persewaan, dan jasa
perusahaan dan sektor jasa – jasa. Peran pemerintah Kota Magelang dalam
pengembangan wilayah sebaiknya memberikan prioritas pengembangan terhadap
kelima sektor tersebut karena memiliki potensi berkembang cukup besar sehingga
dapat tumbuh dan berkembang cepat yang akan merangsang sektor – sektor lain
terkait baik sebagai input maupun sebagai imbas untuk berkembang mengimbangi
perkembangan kelima sektor tersebut.
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari temuan dalam pelaksanaan penelitian
adalah sebagai berikut :
1. Hasil analisis model gravitasi menunjukkan lemahnya interaksi ekonomi
Kota Magelang dengan daerah belakangnya, berarti kurang tepatnya
penetapan Kota Magelang sebagai pusat pertumbuhan. Sedangkan nilai
indeks gravitasi Kota Magelang dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten
Temanggung menunjukkan nilai indeks gravitasi tertinggi dan memiliki
kecenderungan yang meningkat sehingga menjadikan kedua daerah tersebut
sebagai prioritas pengembangan daerah kerjasama.
2. Hasil analisis Location Quotient, Analisis Model Rasio Pertumbuhan,
Analisis Overlay dan Analisis Shift Share menunjukkan hasil yang sama yaitu
sektor yang merupakan sektor potensial untuk dikembangkan adalah sektor
listrik, gas, dan air bersih, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor
bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan,
persewaan, dan jasa perusahaan, dan sektor jasa – jasa.
3. Hasil penentuan sektor prioritas untuk pengembangan wilayah Kota
Magelang memperlihatkan sektor yang menjadi prioritas pertama adalah
22
sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor prioritas kedua adalah sektor
listrik, gas, dan air bersih, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor
keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, dan sektor prioritas ketiga adalah
sektor jasa – jasa.
4. Hasil perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan alat – alat analisis
yang dipakai menunjukkan bahwa pertimbangan penetapan Kota Magelang
sebagai pusat pertumbuhan di Kawasan Purwomanggung hanya mengacu
pada banyaknya sektor unggulan yang ditunjukkan oleh hasil analisis LQ,
MRP, Overlay dan Shift Share, dan pendapatan per kapita Kota Magelang
yang lebih tinggi dibanding daerah lain dalam satu Kawasan
Purwomanggung dan Provinsi Jawa Tengah. Keterkaitan
antardaerah/kekuatan interaksi ekonomi antardaerah dan laju pertumbuhan
tidak dipertimbangkan. Dengan demikian penetapan Kota Magelang sebagai
pusat pertumbuhan belum memenuhi kriteria sebagai pusat pertumbuhan.
5. Peran Kota Magelang sebagai pusat pertumbuhan dapat ditingkatkan dengan
mengembangkan fasilitas pelayanan jasa, mengembangkan kerjasama dengan
daerah sekitarnya khususnya yang memiliki interaksi paling kuat (Kabupaten
Temanggung dan Kabupaten Magelang) tanpa mengabaikan kerjasama
dengan Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Purworejo, dan pengembangan
sektor prioritas dengan menjalin kerjasama dengan daerah belakangnya
melalui pertukaran sektor potensial.
5.2 Keterbatasan
Penelitian ini tidak terlepas dari keterbatasan – keterbatasan antara lain :
1. Penelitian ini menggunakan jangka waktu penelitian selama enam tahun
yakni tahun 2003 – 2008 dengan maksud untuk melihat perubahan
pertumbuhan ekonomi dari tahun ditetapkannya Kota Magelang sebagai pusat
pertumbuhan di Kawasan Purwomanggung sampai data tahun terbaru yang
tersedia. Tapi karena jumlah penggunaan tahun yang sedikit sehingga
perubahan pertumbuhan ekonomi kurang terlihat.
2. Penelitian ini menganalisis sektor – sektor ekonomi hanya sampai pada sektor
potensial yang dimiliki Kota Magelang, sehingga untuk mengetahui sektor
yang dapat menarik dan mendorong sektor lain untuk lebih efektif dalam
23
menentukan strategi pengembangan diperlukan penelitian yang lebih
mendalam.
5.3 Saran
Saran yang dapat direkomendasikan dari dilakukannya penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Perlu dikembangkan kerjasama secara intensif dan berkelanjutan dengan
daerah belakangnya terutama daerah yang memiliki interaksi ekonomi paling
kuat yaitu Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung dengan
mensinergikan program – program atau kegiatan – kegiatan guna
menggerakkan perekonomian secara bersama – sama tanpa mengabaikan
kerjasama dengan Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo.
2. Pemerintahan Kota Magelang perlu menetapkan kebijakan pembangunan
dengan prioritas sektor potensial yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi,
sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor keuangan, persewaan, dan jasa
perusahaan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, dan sektor jasa – jasa,
dengan tetap memperhatikan sektor lainnya secara proporsional sesuai
dengan potensi dan peluang pengembangannya.
3. Pemerintahan Kota Magelang perlu meningkatkan kualitas jasa pelayanan
seperti jasa pelayanan perdagangan, pendidikan, serta hiburan, dimana
pelayanan jasa yang kurang dimiliki oleh daerah sekitarnya guna
meningkatkan daya kompetitif dan daya tarik bagi masuknya sumber –
sumber ekonomi dari luar Kota Magelang.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Lincolin. 2002. Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah.
Yogyakarta: BPFE – Yogyakarta.
Jhingan, MI.1992. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: Grafindo
Persada.
Kuncoro,Mudrajad. 2002. “Evaluasi Penetapan Kawasan Andalan: Studi Empiris
di Kalimantan Selatan 1993 – 1999”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia, Vol. 17, No. 1, h. 27 – 45
24
----------------- ------- .2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah Reformasi,
Perencanaan, dan Peluang. Jakarta: Erlangga.
Nugroho, SBM. 2004. “Model Ekonomi Basis Untuk Perencanaan Pembangunan
Daerah”. Jurnal Pembangunan, Vol. 1, No. 1, h. 23 – 30
Richardson. 2001. Dasar – dasar Ilmu Ekonomi Regional. Jakarta: FEUI.
Soepono, Prasetyo. 1993. “Analisis Shift – Share: Perkembangan dan Penerapan”.
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 10, No. 1, h. 43 – 54
--------------- ------- . 2000. “Model Gravitasi Sebagai Alat Pengukuran Hinterland
dari Central Place : Suatu Kajian Teoritik”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia, Vol. 15, No. 4, h. 414 – 423
Susantono, B. 2009. Strategi dalam Penataan Ruang dan Pengembangan
Wilayah. Jakarta: Kata Hasta Pustaka.
Tarigan, Robinson. 2005a. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
------------- --------- . 2005b. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Edisi Revisi.
Jakarta : PT Bumi Aksara.
Todaro, Michael P. 2006. Pembangunan Ekonomi Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Wijaya, B. dan Hastarini. 2006. “Analisis Pengembangan Wilayah dan Sektor
Potensial Guna Mendorong Pembangunan di Kota Salatiga”.Jurnal
Pembangunan, Vol. 3, No. 2, h. 101 – 118.
Wiyadi dan Rina Trisnawati. 2002. “Analisis Potensi Daerah untuk
Mengembangkan Wilayah di Eks-Karesidenan Surakarta Menggunakan
Teori Pusat Pertumbuhan”. Fokus Ekonomi, Desember 2002.
Yana, Maulana.1999. ”Model Rasio Pertumbuhan (MRP) Sebagai Salah Satu Alat
Analisis Alternatif dalam Perencanaan Wilayah dan Kota Aplikasi
Model, Wilayah Bangka – Belitung”. Jurnal Ekonomi dan Keuangan
Indonesia, Juni Vol. XLVII 2, h. 219 – 233.
25
Tabel 4.6
Prioritas Sektor Potensial untuk Pengembangan Kota Magelang
Dilihat dari Analisis LQ, Pertumbuhan Sektoral, Analisis Shift Share
No Lapangan Usaha LQ Pertumbuhan
sektoral
Spesialisasi Keunggulan
kompetitif
Jumlah
skor
Prioritas
sektor
potensial Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor
1 Pertanian 0,14 7 3,31 6 -1.560,56 8 -1.430,66 2 23 4
2 Pertambangan dan
Penggalian
- - - - - - - - - -
3 Industri Pengolahan 0,10 8 3,26 7 -274,44 6 -3.497,13 3 24 5
4 Listrik, Gas dan Air
Bersih
3,07 3 4,53 3 2.918,55 5 -3.927,47 4 15 2
5 Bangunan 2,64 5 2,74 8 13.463,59 3 -33.512,13 7 23 4
6 Perdagangan, Hotel
dan Restoran
0,32 6 7,58 1 -382,31 7 8.161,99 1 15 2
7 Pengangkutan dan
Komunikasi
3,63 1 4,41 4 14.973,36 2 -23.395,30 6 13 1
8 Keuangan, Persewaan,
dan Jasa Perusahaan
2,83 4 5,08 2 3.632,68 4 -4.816,11 5 15 2
9 Jasa – jasa 3,47 2 3,83 5 23.519,89 1 -50.915,23 8 16 3
Sumber :data diolah