ANALISIS PENGEMBANGAN KOTA MAGELANG SEBAGAI …eprints.undip.ac.id/27857/1/JURNAL_C2B007055.pdf ·...

25
1 ANALISIS PENGEMBANGAN KOTA MAGELANG SEBAGAI PUSAT PERTUMBUHAN KAWASAN PURWOMANGGUNG JAWA TENGAH Disusun oleh : Retno Zulaechah NIM. C2B007055 Dosen Pembimbing : Drs. H. Wiratno, M.Ec. NIP. 194602201973061001 ABSTRACT The most important thing from the regional development by implementing the regional autonomy is improving the regional motivation to have a high growth rate. If that thing happens, it will cause the improvement of regional gap. One of the Central Java Government policies to create a balance between economy growth rate and per capita income is through regional cooperation concept. Purwomanggung region is one of the result of that policy which consist are these districts: Purworejo, Wonosobo, Magelang, Temanggung, and Magelang City as the growth pole. The problem of this research is Magelang as a growth pole is have not been a fast growth city yet, and the dominant contribution sector towards GDRP is still having a low growth. This research aims to identify the economic interaction Magelang City with hinterland and analize the potential economic sector for the development of Magelang City. The kind of data that used for this research are secondary data since 2003 2008. Analysis method that used are Gravity model, Location Quotient analysis, Growth Ratio Model, Overlay analysis, and Shift Share analysis. This research is show based on gravity analysis, the low economic interaction between Magelang City with hinterland. Based on Overlay and Shift Share analysis shows that Magelang City have many potential sector such as: electricity sector, building sector, transportation sector, trade sector, financial sector, and service sector. Among the sixth sectors that become the first priority of Magelang City development is transportation sector, the second is electricity sector, trade sector, financial sector and the third is service sector. From all those analysis above, it can be conclude that Magelang city has not complete yet some criteria of the growth pole, because Magelang City have less interesting view for hinterland, although it has potential sector, but the sector growth progress is still low. Key words : Regional Development, Growth Pole, Gravity Model, Overlay Analysis, Shift Share Analysis.

Transcript of ANALISIS PENGEMBANGAN KOTA MAGELANG SEBAGAI …eprints.undip.ac.id/27857/1/JURNAL_C2B007055.pdf ·...

1

ANALISIS PENGEMBANGAN KOTA MAGELANG SEBAGAI PUSAT

PERTUMBUHAN KAWASAN PURWOMANGGUNG JAWA TENGAH

Disusun oleh :

Retno Zulaechah

NIM. C2B007055

Dosen Pembimbing :

Drs. H. Wiratno, M.Ec.

NIP. 194602201973061001

ABSTRACT

The most important thing from the regional development by implementing

the regional autonomy is improving the regional motivation to have a high growth

rate. If that thing happens, it will cause the improvement of regional gap. One of

the Central Java Government policies to create a balance between economy

growth rate and per capita income is through regional cooperation concept.

Purwomanggung region is one of the result of that policy which consist are these

districts: Purworejo, Wonosobo, Magelang, Temanggung, and Magelang City as

the growth pole. The problem of this research is Magelang as a growth pole is

have not been a fast growth city yet, and the dominant contribution sector towards

GDRP is still having a low growth.

This research aims to identify the economic interaction Magelang City

with hinterland and analize the potential economic sector for the development of

Magelang City. The kind of data that used for this research are secondary data

since 2003 – 2008. Analysis method that used are Gravity model, Location

Quotient analysis, Growth Ratio Model, Overlay analysis, and Shift Share

analysis.

This research is show based on gravity analysis, the low economic

interaction between Magelang City with hinterland. Based on Overlay and Shift

Share analysis shows that Magelang City have many potential sector such as:

electricity sector, building sector, transportation sector, trade sector, financial

sector, and service sector. Among the sixth sectors that become the first priority of

Magelang City development is transportation sector, the second is electricity

sector, trade sector, financial sector and the third is service sector. From all those

analysis above, it can be conclude that Magelang city has not complete yet some

criteria of the growth pole, because Magelang City have less interesting view for

hinterland, although it has potential sector, but the sector growth progress is still

low.

Key words : Regional Development, Growth Pole, Gravity Model, Overlay

Analysis, Shift Share Analysis.

2

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah

daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu

pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta dengan tujuan

menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru dan merangsang perkembangan

kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut (Arsyad,2002).Pemerintah melalui UU

No.32 Tahun 2004 tentang “Pemerintah Daerah” dan UU No.33 Tahun 2004

tentang “Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah”, mengenai

pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk

merencanakan dan mengelola pembangunan daerahnya masing – masing

berdasarkan potensi dan permasalahan wilayah.

Berlakunya otonomi daerah yang paling penting bagi pembangunan daerah

dewasa ini adalah meningkatkan motivasi daerah untuk memiliki tingkat

pertumbuhan yang tinggi melalui pemberdayaan potensi ekonomi lokal. Hal

tersebut mengakibatkan daerah yang memiliki potensi ekonomi lokal yang

melimpah akan semakin kaya, sedangkan daerah yang memiliki potensi ekonomi

lokal yang terbatas akan semakin miskin.Apabila kondisi tersebut dibiarkan maka

akan semakin meningkatkan kesenjangan antardaerah.

Provinsi Jawa Tengah melalui Perda Provinsi Jawa Tengah No. 21 Tahun

2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 –

2018 dengan pembaruan Perda Provinsi Jawa Tengah No. 6 Tahun 2010 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 – 2029

menetapkan daerah – daerah yang dijadikan kawasan kerjasama antardaerah

kabupaten/kota. Diharapkan dengan adanya kawasan kerjasama, masing – masing

daerah dalam suatu kawasan kerjasama akan saling berupaya untuk meningkatkan

pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pembangunan. Salah satu dari hasil

kebijakan tersebut adalah dikelompokkannya beberapa daerah dalam Kawasan

Purwomanggung yang terdiri dari Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo,

Kota Magelang, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Temanggung. Kota

Magelang merupakan pusat pertumbuhan di Kawasan Purwomanggung. Kriteria

3

pusat pertumbuhan yaitu sebagai daerah cepat tumbuh, memiliki sektor unggulan

dan memiliki interaksi ekonomi dengan daerah belakangnya.

Kinerja perekonomian suatu daerah dapat dilihat dari nilai PDRB dan

pertumbuhan PDRBnya. Sedangkan tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu

wilayah dapat dilihat daro PDRB per kapita. Berikut laju pertumbuhan PDRB dan

PDRB per kapita kabupaten/kota di Kawasan Purwomanggung :

Tabel 1.1

Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000

Kawasan Purwomanggung Tahun 2003 – 2008 (persen)

Sumber : PDRB Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah, diolah

Tabel 1.2

Rata – rata PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000

Kawasan Purwomanggung Tahun 2003 – 2008

Sumber : PDRB per kapita Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah, diolah

Rata – rata laju pertumbuhan ekonomi Kota Magelang dan rata – rata

PDRB per kapita Kota Magelang antara tahun 2003 – 2008, dapat dijadikan dua

indikator utama untuk mengetahui tentang pola dan struktur pertumbuhan

ekonomi Kota Magelang. Menurut Tipologi Klassen, Kota Magelang termasuk

kriteria daerah maju tertekan karena memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi,

tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding dengan Provinsi

Jawa Tengah. Mengingat Kota Magelang adalah pusat pertumbuhan kawasan

Purwomanggung, seharusnya memiliki kriteria cepat tumbuh.

Berdasarkan Tabel 1.3 dapat dilihat sektor yang mempunyai kontribusi

tiga terbesar dalam PDRB Kota Magelang pada tahun 2003 dan 2008 yaitu sektor

No Kabupaten/Kota 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata –

rata

1 Kota Magelang 3,74 3,71 4,33 2,44 5,17 5,05 4,07

2 Kabupaten Magelang 4,01 4,03 4,91 4,91 5,21 4,99 4,68

3 Kabupaten Temanggung 3,37 3,92 3,31 3,31 4,03 3,54 3,58

4 Kabupaten Wonosobo 2,28 2,34 3.23 3,23 3,58 3,69 3,06

5 Kabupaten Purworejo 5,08 4,17 4,91 5,23 6,08 5,62 5,18

Jawa Tengah 4,98 4,70 4,41 4,41 4,50 4,99 4,67

No Kabupaten/Kota Rata – rata PDRB per Kapita

(Rupiah)

1 Kota Magelang 7.362.945,67

2 Kabupaten Purworejo 3.365.979,59

3 Kabupaten Wonosobo 2.110.069,90

4 Kabupaten Magelang 2.887.465,38

5 Kabupaten Temanggung 2.939.842,96

Jawa Tengah 4.561.410,43

4

jasa – jasa, sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor bangunan, akan

tetapi pertumbuhan ketiga sektor tersebut masih dibawah sektor lain yang bukan

merupakan kontribusi utama dalam pembentukan PDRB.

Tabel 1.3

PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Kota Magelang

Tahun 2003 dan 2008

Sumber : PDRB Kota Magelang, diolah

Mencermati perkembangan perekonomian Kota Magelang sebagaimana

diuraikan diatas maka menarik untuk mengkaji dan menganalisis interaksi

ekonomi Kota Magelang sebagai pusat pertumbuhan Kawasan Purwomanggung

dengan daerah belakangnya dan menganalisis mengenai pengembangan sektor

ekonomi yang potensial untuk dikembangkan berdasarkan potensi dan

permasalahan sumber daya wilayah yang ada menjadi leading sector bagi Kota

Magelang. Oleh karena itu penelitian ini mengambil judul “ANALISIS

PENGEMBANGAN KOTA MAGELANG SEBAGAI PUSAT

PERTUMBUHAN KAWASAN PURWOWANGGUNG JAWA TENGAH”.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah dalam penelitian ini adalah Kota Magelang sebagai pusat

pertumbuhan seharusnya memiliki kriteria cepat tumbuh, akan tetapi Kota

Magelang masih berada pada kriteria daerah maju tertekan. Kota Magelang juga

harus memiliki sektor unggulan, tetapi sektor ekonomi di Kota Magelang yang

merupakan kontribusi utama terhadap PDRB pertumbuhannya masih lambat.

Perlu dianalisis penetapan Kota Magelang sebagai pusat pertumbuhan Kawasan

Purwomanggung, dilihat dari interaksi ekonomi dengan daerah belakangnya dan

No Lapangan Usaha Tahun Perubahan

2003 2008 Absolut Persen

(Jutaan Rupiah) (Jutaan Rupiah)

1 Pertanian 25.240,72 29.677,66 4.436,94 17.58

2 Pertambangan dan Penggalian 0 0 0 0.00

3 Industri Pengolahan 30.051,37 35.139,12 5.087,75 16.93

4 Listrik, Gas, dan Air Bersih 21.136,51 26.358,75 5.222,24 24.71

5 Bangunan 132.088,60 150.980,54 18.891,94 14.30

6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 53.825,48 77.473,22 23.647,74 43.93

7 Pengangkutan dan Komunikasi 154.119,84 191.133,31 37.013,47 24.02

8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 86.159,21 110.376,01 24.216,80 28.11

9 Jasa – Jasa 309.019,77 372.725,22 63.705,45 20.62

Total PDRB 811.631,5 993.863,81 182.232,31 22.45

5

sektor ekonomi apa yang merupakan sektor potensial serta bagaimana penentuan

prioritas sektor potensial untuk pengembangan wilayah, sehingga dapat

mendorong pertumbuhan ekonomi Kota Magelang dan menciptakan spread effect

untuk daerah sekitarnya.

1.3 Tujuan dan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

1. Mengidentifikasi interaksi ekonomi Kota Magelang dengan daerah

belakangnya dalam satu Kawasan Purwomanggung.

2. Menganalisis sektor ekonomi yang potensial untuk dikembangkan sebagai

penggerak perekonomian Kota Magelang.

3. Menentukan prioritas sektor potensial untuk pengembangan wilayah Kota

Magelang.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi Daerah

2.1.1.1 Teori Harrod-Domar dalam Sistem Regional

Teori Harrod-Domar berdasarkan pada asumsi antara lain perekonomian

bersifat tertutup, hasrat menabung adalah konstan, proses produksi memiliki

koefisien yang tetap, tingkat pertumbuhan angkatan kerja adalah konstan dan

sama dengan tingkat pertumbuhan. Pertumbuhan jangka panjang yang mantap

hanya bisa tercapai apabila terpenuhi syarat – syarat keseimbangan sebagai

berikut :

g = k = n (2.1)

dimana : g = Growth (tingkat pertumbuhan output)

k = Capital (tingkat pertumbuhan modal) n = Tingkat pertumbuhan angka kerja

Agar terdapat keseimbangan maka antara tabungan (S) dan investasi (I)

harus terdapat kaitan yang saling menyeimbangkan. Padahal peran k untuk

menghasilkan tambahan produksi ditentukan oleh v (capital output ratio). Apabila

tabungan dan investasi adalah sama (S=I),maka:

I

K=

S

K=

S

Y=

Y

K=

S/Y

K/Y=

S

V (2.2)

6

agar pertumbuhan tersebut mantap, harus dipenuhi syarat g = n = s/v.

Untuk perekonomian daerah, Harry W. Richardson (dikutip oleh Tarigan,

2005:50) menyatakan syarat bagi perekonomian daerah yang bersifat terbuka

yaitu

S + M = I + X, dimana X = ekspor dan M = impor (2.3)

(s + m) Y = I + X (2.4)

I

Y= s + m −

X

Y (2.5)

X = Mijnj=1 = miYj

nj=1 (2.6)

I

Y=

S

Y=

s.v

v dimana g =

s

v (2.7)

Dengan demikian, Richardson (dikutip oleh Tarigan, 2005:51)

merumuskan persamaan pertumbuhan suatu wilayah adalah:

g𝑖 =𝑠𝑖+𝑚 𝑖− 𝑚 𝑗𝑖 𝑌𝑗 /𝑌𝑖

𝑣𝑖 (2.8)

2.1.1.2 Teori Pertumbuhan Neoklasik

Teori Solow – Swan, adanya pertumbuhan yang mantap disebabkan

kemungkinan substitusi antara modal (K) dan tenaga kerja (L), serta

dimasukkannya unsur kemajuan teknologi (T). Oleh sebab itu, fungsi produksinya

berbentuk:

𝑌𝑖 = 𝑓𝑖(𝐾, 𝐿, 𝑡) (2.9)

Dalam kerangka ekonomi wilayah, Richardson (dikutip oleh

Tarigan,2005:53) kemudian menderivasikan rumus di atas menjadi sebagai

berikut :

𝑌𝑖 = a𝑖𝑘𝑖 + 1 − a𝑖 𝑛𝑖 + T (2.10)

dimana 𝑌𝑖 = Besarnya output 𝑘𝑖 = Tingkat Pertumbuhan Modal

𝑇𝑖 = Kemajuan Teknologi 𝑛𝑖 = Tingkat Pertumbuhan tenaga kerja

a = Bagian yang dihasilkan oleh faktor modal

(1-a) = Bagian yang dihasilkan oleh faktor di luar modal

2.1.1.3 Teori Basis Ekspor

Teori basis – ekspor membagi kegiatan sektor yang terdapat di suatu

daerah menjadi kegiatan sektor basis adalah kegiatan yang bersifat exogenous

artinya tidak terikat kondisi internal perekonomian daerah dan sekaligus berfungsi

mendorong tumbuhnya kegiatan sektor lainnya dan kegiatan non basis adalah

7

kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah itu sendiri. Hubungan

antara perubahan pendapatan basis dengan perubahan total pendapatan, Tiebout

(dikutip oleh Tarigan, 2005:37) merumuskan sebagai berikut :

∆𝑌𝑡 = 𝐾 . ∆𝑌𝑏 (2.12)

dimana, 𝑌𝑡 = Pendapatan total K = Pengganda basis

𝑌𝑏= Pendapatan basis Δ = Perubahan

2.1.1.4 Model Pertumbuhan Interegional

Model Pertumbuhan Interegional memperluas teori basis – ekspor dengan

memasukkan dampak dari daerah tetangga atau faktor eksogen, karena suatu

daerah terikat kepada suatu sistem yang terdiri dari beberapa daerah yang

berhubungan erat. Kegiatan yang dilakukan oleh daerah lain dapat memberikan

pengaruh baik positif maupun negatif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu

daerah.

2.1.2 Teori Pusat Pertumbuhan

Pusat pertumbuhan dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara

fungsional, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha

atau cabang industri yang karena sifat hubungannya memiliki unsur-unsur

kedinamisan sehingga mampu mendorong kehidupan ekonomi baik ke dalam

maupun ke luar. Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang

banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik.

Suatu kota dikatakan sebagai pusat pertumbuhan apabila memiliki empat ciri-ciri

pusat pertumbuhan yaitu sebagai berikut : (Tarigan,2005)

1. Adanya hubungan intern dari berbagai macam kegiatan

2. Adanya unsur pengganda

3. Adanya kosentrasi geografis

4. Bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Wiyadi dan Rina Trisnawati dengan judul

analisis potensi daerah untuk mengembangkan wilayah di Eks-Karesidenan

Surakarta menggunakan teori pusat pertumbuhan, memberikan kesimpulan bahwa

berdasar analisis Location Quotient sektor basis adalah sektor listrik, keuangan,

8

dan jasa. Hasil analisis gravitasi menunjukkan interaksi kota-desa yang paling erat

dengan Kota Surakarta adalah Kabupaten Sukoharjo.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bayu Wijaya dan Hastarini Dwi

Atmanti yang berjudul analisis pengembangan wilayah dan sektor potensial guna

mendorong pembangunan di Kota Salatiga adalah sektor basis yang dimiliki Kota

Salatiga dilihat dari analisis Location Quotient adalah sektor listrik, bangunan,

pengangkutan, persewaan, dan jasa. Kota Salatiga menurut analisis Shift Share

berspesialisasi pada sektor pertambangan, listrik, dan perdagangan. Model

Garvitasi memperlihatkan Kota Salatiga memiliki interaksi yang tinggi dengan

Kabupaten Semarang. Sektor yang potensial dikembangkan adalah sektor

bangunan, pengangkutan, keuangan, dan jasa.

2.3 Kerangka Pemikiran

Gambar 2.1

Alur Pikir Pengembangan Kota Magelang Sebagai Pusat Pertumbuhan

Sektor Prioritas untuk dikembangkan

Shift Share :

Sektor keunggulan

kompetitif dan

spesialisasi

Sektor keunggulan

kompetitif

Sektor spesialisasi

Sektor ketidakunggulan

kompetitif dan non

spesialisasi

LQ, MRP, dan Overlay :

Sektor Unggulan

Sektor non Unggulan

Sektor Potensial dalam

Pengembangan Kota Magelang

Model Gravitasi :

Interaksi Kuat

Interaksi Lemah

Daerah Interaksi Terkuat

Sebagai Prioritas Daerah Kerjasama

Pengembangan Interaksi

Ekonomi Antardaerah

Otonomi Daerah

UU No 32 Tahun 2004

RTRW Provinsi Jawa Tengah :

Kawasan Kerjasama Purwomanggung

Kota Magelang Sebagai Pusat Pertumbuhan :

Daerah Maju Tertekan (Tipologi Klassen)

Potensi Ekonomi Kota Magelang

Penetapan Kota Magelang

Sebagai Pusat Pertumbuhan

Kawasan Purwomanggung Jawa Tengah

9

III. METODE PENELITIAN

3.1 Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional dan variabel yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu :

1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

adalah PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 dengan ukuran jutaan

rupiah.

2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita

adalah total PDRB pertahun dibagi dengan jumlah penduduk di daerah

tersebut untuk tahun yang sama (Tarigan,2005:21). Satuan yang digunakan

adalah rupiah.

3. Interaksi ekonomi daerah

adalah wujud dari adanya hubungan antara pusat pertumbuhan dan daerah

belakangnya (Soepono,2000:418). Semakin tinggi nilai Indeks Gravitasi ( 𝐼12)

maka interaksi ekonomi antar daerah semakin kuat.

4. Pertumbuhan Ekonomi

adalah total PDRB atau sektor pada tahun akhir dikurangi total PDRB atau

sektor pada tahun awal dibagi total PDRB atau sektor pada tahun awal

dikalikan seratus persen dengan hasil dalam persentase.

5. Sektor Basis

adalah sektor yang memiliki nilai Indeks Location Quotient lebih dari satu

(LQ>1).

6. Sektor non Basis

adalah sektor yang memiliki nilai Indeks Location Qoutient kurang dari satu

(LQ < 1).

7. Sektor Spesialisasi

adalah apabila memiliki nilai Komponen Proportional Shift (𝑃𝑟 ,𝑖) positif (+),

8. Sektor Keunggulan Kompetitif

adalah apabila memiliki nilai Komponen Differential Shift ( 𝐷𝑟 ,𝑖) positif (+).

9. Sektor Potensial

10

adalah sektor yang mampu mengekspor outputnya ke daerah lain atau

memiliki keunggulan komparatif dan memiliki keunggulan kompetitif serta

spesialisasi. Cara memperolehnya dengan metode Overlay yang memiliki

nilai positif (+) dan dengan metode Shift Share (SS) dengan nilai 𝑃𝑟 ,𝑖 dan 𝐷𝑟 ,𝑖

positif (+).

10. Sektor prioritas untuk pengembangan wilayah

adalah sektor potensial yang memiliki jumlah skor terendah, skor tersebut

diperoleh dari hasil perhitungan metode Location Quotient, pertumbuhan

ekonomi sektoral, dan metode Shift Share yang telah diberi skor sesuai

peringkat hasil absolut dari perhitungan tersebut.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa data time series

dengan periode pengamatan tahun 2003-2008. Sumber data antara lain: BPS

Provinsi Jawa Tengah dan Kota Magelang, BAPPEDA Provinsi Jawa Tengah dan

Kota Magelang, Dinas instansi terkait dan jurnal serta literatur yang berkaitan

dengan penelitian ini.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi yaitu

pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara mempelajari buku – buku

terbitan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Magelang seperti

BAPPEDA, BPS, dinas instansi terkait, artikel – artikel, jurnal – jurnal, dan buku

– buku yang mempunyai relevansi dengan masalah yang diangkat dalam

penelitian ini, yang diperoleh melalui perpustakaan dan download internet.

3.4 Metode Analisis

3.4.1 Model Gravitasi

Analisis ini digunakan untuk mengidentifikasikan interaksi ekonomi Kota

Magelang dengan daerah belakangnya dan mencari daerah mana di sekitar Kota

Magelang dalam satu Kawasan Purwomanggung yang memiliki interaksi ekonomi

yang kuat dengan Kota Magelang.

Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung interaksi ekonomi antar

daerah menurut Suwarjoko (dikutip oleh Wiyadi dan Rina,2002) adalah :

I12 = a(W1P1) (W2P2)/J12b (3.1)

11

Keterangan :

I12 : interaksi dalam wilayah 1 dan 2 P1 : jumlah penduduk wilayah 1

W1 : PDRB perkapita wilayah 1(rupiah) P1 : jumlah penduduk wilayah 1

W2 : PDRB perkapita wilayah 2(rupiah) J12: jarak antar wilayah 1 dan 2 (meter)

a : konstanta yang nilainya 1 b : konstanta yang nilainya 2

Nilai 𝐼12 menunjukkan eratnya hubungan antar wilayah 1 dan wilayah 2,

semakin tinggi nilai 𝐼12 maka semakin erat hubungan antara dua wilayah, dengan

demikian semakin banyak pula perjalanan kegiatan ekonomi atau arus barang dan

jasa antar wilayah tersebut sebagai konsekuensi interaksi antar daerah dalam satu

kawasan

3.4.2 Analisis Location Quotient

Alat analisis Location Quotient (LQ) membandingkan besarnya peranan

sektor di suatu daerah (Kota Magelang) terhadap besarnya peranan sektor tersebut

di tingkat daerah di atasnya (Provinsi Jawa Tengah). Analisis ini digunakan untuk

mengidentifikasi potensi internal yang dimiliki daerah tersebut yaitu sektor basis

dan sektor non basis.

Rumus LQ dapat ditulis sebagai berikut :

𝐿𝑄 = 𝑠𝑖/𝑆

𝑛𝑖/𝑁 (3.3)

Keterangan :

LQ : Indeks Location Quotient

𝑠𝑖 : PDRB sektor i di Kota Magelang dalam juta rupiah

𝑆 : PDRB total di Kota Magelang dalam juta rupiah

𝑛𝑖 : PDRB sektor i di Provinsi Jawa Tengah dalam juta rupiah

𝑁 : PDRB total di Provinsi Jawa Tengah dalam juta rupiah

Kriteria pengukuran LQ menurut Bendavid-Val (dikutip oleh

Kuncoro,2002) yaitu LQ > 1 sektor tersebut merupakan sektor basis di daerah

dan potensial untuk dikembangkan sebagai pendorong perekonomian daerah. LQ

< 1 berarti sektor tersebut bukan merupakan sektor basis dan kurang potensial

untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian daerah.

3.4.3 Analisis Shift Share

Analisis Shift Share juga membandingkan perbedaan laju pertumbuhan

berbagai sektor di daerah studi dengan daerah referensi, yang membedakan

12

dengan analisis Location Quetient adalah metode shift share memperinci

penyebab perubahan atas beberapa variabel. Tujuan analisis ini adalah untuk

menunjukkan sektor yang berkembang di suatu wilayah jika dibandingkan dengan

perekonomian daerah diatasnya, selain itu analisis ini digunakan pula untuk

melihat pertumbuhan PDRB dari sektor – sektor yang dimiliki baik dari pengaruh

internal (faktor lokasional) maupun pengaruh eksternal (struktur industri).

∆𝐸𝑟 ,𝑖 ,𝑡 = (𝑁𝑠𝑖+𝑃𝑟 ,𝑖+𝐷𝑟 ,𝑖) (3.4)

𝑁𝑠𝑖 ,𝑡 = 𝐸𝑟 ,𝑖,𝑡−𝑛(EN,t/EN,t−n) − Er,i,t−n (3.5)

𝑃𝑟 ,𝑖 ,𝑡 = {(𝐸𝑁,𝑖 ,𝑡/𝐸𝑁,𝑖,𝑡−𝑛) − (𝐸𝑁,𝑡/𝐸𝑁,𝑡−𝑛)} × 𝐸𝑟 ,𝑖 ,𝑡−𝑛 (3.6)

𝐷𝑟 ,𝑖,𝑡 = {𝐸𝑖 ,𝑟 ,𝑡 − (𝐸𝑁,𝑖 ,𝑡/𝐸𝑁,𝑖 ,𝑡−𝑛)𝐸𝑟 ,𝑖 ,𝑡−𝑛} (3.7)

Keterangan :

∆ : Perubahan,tahun akhir (tahun t) dikurangi dengan tahun awal (tahun t-n)

N : Provinsi Jawa Tengah r : Kota Magelang

E : Total PDRB (juta rupiah) i : Sektor

t : Tahun t – n : Tahun awal

𝑁𝑠𝑖 : National share (juta rupiah)

𝑃𝑟 ,𝑖 : Proportional shift (juta rupiah)

𝐷𝑟 ,𝑖 : Differential shift (juta rupiah)

Pengukuran dari analisis Shift Share (Soepono,1999:45): 𝑁𝑠𝑖 bernilai

positif, menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor i di daerah lebih cepat dibanding

dengan pertumbuhan sektor yang sama di daerah provinsi. Apabila 𝑁𝑠𝑖 bernilai

negatif, menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor i di daerah lebih lambat

dibanding dengan pertumbuhan sektor yang sama di daerah provinsi. 𝑃𝑟 ,𝑖 positif di

daerah yang berspesialisasi di sektor secara nasional tumbuh lebih cepat dan

negatif bila daerah berspesialisasi pada sektor yang tumbuh lebih lambat. 𝐷𝑟 ,𝑖

bernilai positif pada sektor yang memiliki keunggulan kompetitif dan 𝐷𝑟 ,𝑖 bernilai

negatif pada sektor yang tidak memiliki keunggulan kompetitif.

3.4.4 Analisis Model Rasio Pertumbuhan

Model Rasio Pertumbuhan adalah perbandingan pertumbuhan suatu

kegiatan dalam wilayah referensi (Provinsi Jawa Tengah) dan wilayah studi (Kota

Magelang). Pendekatan MRP dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Rasio pertumbuhan wilayah referensi (RPr)

13

Dalam hal ini RPr membandingkan pertumbuhan masing – masing sektor

dalam konteks wilayah referensi (Provinsi Jawa Tengah) dengan PDRB Kota

Magelang.

Rumus RPr yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

RPr = ΔEN ,i,t /EN ,i,t−n

ΔEN ,t /EN ,t−n (3.8)

2. Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi

Dalam hal ini RPs membandingkan pertumbuhan masing – masing sektor

dalam konteks wilayah studi (Kota Magelang) dengan pertumbuhan sektor

Provinsi Jawa Tengah.

Rumus RPs yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

RPs = ΔEr ,i ,t /Er ,i ,t−n

ΔEN ,i,t /EN ,i,t−n (3.10)

Keterangan :

RPr : rasio pertumbuhan wilayah referensi (Provinsi Jawa Tengah)

RPs : rasio pertumbuhan wilayah studi (Kota Magelang)

∆ : Perubahan,tahun akhir (tahun t) dikurangi dengan tahun awal (tahun t-n)

𝐸𝑟 ,𝑖 : PDRB sektor i di Kota Magelang

𝐸𝑁 : PDRB di Provinsi Jawa Tengah

𝐸𝑁,𝑖 : PDRB sektor i di Provinsi Jawa Tengah

t : tahun t – n : tahun awal

Dari hasil analisis MRP akan diperoleh nilai riil dan nilai nominal

kemudian hasil kombinasi keduanya dapat diperoleh deskripsi sektor ekonomi

yang potensial dikembangkan di daerah kabupaten/kota di provinsi yang dapat

diklasifikasikan menjadi empat bagian (Yusuf,1999), yaitu :

a. Klasifikasi 1, yaitu nilai RPr (+) dan RPs (+) berarti sektor tersebut memiliki

pertumbuhan yang menonjol baik di tingkat provinsi maupun tingkat

kabupaten/kota. sektor ini disebut sebagai dominan pertumbuhan.

14

b. Klasifikasi 2, yaitu nilai RPr (+) dan RPs (-) berarti sektor tersebut memiliki

pertumbuhan yang menonjol di tingkat provinsi, namun belum menonjol di

tingkat kabupaten/ kota.

c. Klasifikasi 3, yaitu nilai RPr (-) dan RPs (+) berarti sektor tersebut memiliki

pertumbuhan yang tidak menonjol di tingkat provinsi sementar pada tingkat

kabupaten/kota termasuk menonjol.

d. Klasifikasi 4, yaitu nilai RPr (-) dan RPs (-) berarti sektor tersebut memiliki

pertumbuhan yang rendah baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat

provinsi.

3.4.5 Analisis Overlay

Analisis Overlay digunakan untuk menentukan sektor unggulan dengan

menggabungkan alat analisis dengan tujuan untuk menyaring hasil analisis yang

paling baik, dimana hasil akhir dapat merupakan beberapa kemungkinan ataupun

hanya merupakan hasil yang diinginkan saja. Dalam penelitian ini, analisis

overlay merupakan rangkuman antara hasil dari analisis LQ dengan Model Rasio

Pertumbuhan (MRP) yaitu Rasio pertumbuhan Wilayah Referensi (RPr) dan

Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi (RPs). Terdapat tiga kriteria dalam analisis

overlay yaitu :

a. RPr, RPs, dan LQ ketiganya bernilai positif (+), berarti sektor tersebut

mempunyai potensi daya saing kompetitif maupun komparatif yang lebih

unggul dibanding kegiatan yang sama di tingkat provinsi.

b. RPr bernilai negatif (-), sedangkan RPs dan LQ bernilai positif (+), berarti

sektor tersebut merupakan spesialisasi kegiatan ekonomi di kabupaten/kota.

c. RPr, RPs, dan LQ ketiganya bernilai negatif (-), berarti sektor tersebut kurang

memiliki daya saing kompetitif maupun komparatif yang lebih unggul

dibandingkan kegiatan yang sama pada tingkat provinsi.

3.4.6 Menentukan Sektor Prioritas untuk Pengembangan

Untuk menentukan sektor potensial yang diprioritaskan dalam

pengembangan wilayah di Kota Magelang, menggunakan hasil analisis Location

Quotient (LQ), pertumbuhan sektoral, dan analisis Shift Share untuk spesialisasi

dan keunggulan kompetitif, yang semuanya diskorkan sesuai dengan nilai absolut

yang ada di masing – masing sektor dalam kategori. Skala skor antara 1 sampai 8

15

sesuai dengan jumlah sektor yang ada di Kota Magelang, skor 1 untuk nilai

tertinggi dan skor 8 untuk nilai terendah. Skala skor dapat digambar sebagai

berikut :

Gambar 3.1

Skala Skor Penentuan Sektor Prioritas untuk Pengembangan

A B C D E F G H

1 2 3 4 5 6 7 8

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Model Gravitasi

Dari hasil analisis gravitasi (lihat Tabel 4.1) dapat diketahui bahwa

kabupaten/kota di Kawasan Purwomanggung yang memiliki interaksi ekonomi

paling kuat dengan Kota Magelang hanya satu yaitu Kabupaten Magelang.

Sedangkan Kota Magelang, Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Purworejo

memiliki interaksi ekonomi paling kuat dengan Kabupaten Magelang dan

Kabupaten Wonosobo memiliki interaksi ekonomi paling kuat dengan Kabupaten

Temanggung.

Kota Magelang kurang memiliki daya tarik bagi daerah belakangnya,

dilihat dari kekuatan interaksi ekonomi hasil analisis gravitasi berarti Kota

Magelang tidak memenuhi kriteria pusat pertumbuhan yaitu daerah yang memiliki

interaksi ekonomi dengan daerah belakangnya. Akan tetapi Kota Magelang perlu

dianggap sebagai pusat pertumbuhan karena memiliki berbagai fasilitas kota yang

tidak dimiliki oleh kabupaten lain di Kawasan Purwomanggung sehingga ada

kosentrasi berbagai sektor dan menciptakan efisiensi di antara sektor – sektor

yang saling membutuhkan yang dapat meningkatkan daya tarik dari Kota

Magelang.

Berbagai fasilitas yang ada di Kota Magelang merupakan daya tarik

tersendiri bagi daerah – daerah sekitarnya, fasilitas – fasilitas yang ada antara lain

16

menyangkut jasa pelayanan yaitu jasa layanan perdagangan, pendidikan, fasilitas

kesehatan, fasilitas transportasi, keuangan, pemukiman dan perumahan, dan

hiburan atau rekreasi, serta fasilitas penunjang lainnya. Dimana jasa dan fasilitas

tersebut masih menjadi pusat fasilitas jasa bagi daerah disekitarnya karena skala

produksi maupun aspek teknologi yang lebih baik dibanding dari daerah – daerah

sekitarnya.

Kota Magelang memiliki keterkaitan yang kuat dengan Kabupaten

Magelang dan Kabupaten Temanggung (lihat Tabel 4.1), ada baiknya dilakukan

kerjasama dengan kedua daerah tersebut untuk pengembangan wilayah Kota

Magelang dengan tidak mengabaikan potensi yang dimiliki Kabupaten Purworejo

dan Kabupaten Wonosobo. Salah satu faktor yang akan mendorong kerjasama

Kota Magelang dengan daerah sekitarnya adalah dukungan transportasi yang

memadai diantara daerah. Maka dari itu, terlebih dahulu perlu adanya kerjasama

penyelenggaraan layanan transportasi sehingga akan mendukung pengembangan

fungsi – fungsi ragam layanan jasa di Kota Magelang dan memudahkan mobilitas

ekonomi bergerak di antara Kota Magelang dan daerah sekitarnya (hinterland) di

Kawasan Purwomanggung. Dengan demikian dapat meningkatkan peran Kota

Magelang sebagai pusat pertumbuhan.

Tabel 4.1

Indeks Gravitasi Rata – rata Antar Kabupaten/Kota

di Kawasan Purwomanggung Tahun 2003 – 2008

Kota

Magelang

Kabupaten

Magelang

Kabupaten

Temanggung

Kabupaten

Purworejo

Kabupaten

Wonosobo

Kota Magelang 140,63×10

20 40,36×10

20 12,32×10

20 3,97×10

20

Kabupaten

Magelang 140,63×10

20 50,54×10

20 50,50×10

20 9,36×10

20

Kabupaten

Temanggung 40,37×10

20 50,54×10

20 11,43×10

20 21,70×10

20

Kabupaten

Purworejo 12,32×10

20 50,50×10

20 11,43×10

20 15,56×10

20

Kabupaten

Wonosobo 3,97×10

20 9,36×10

20 21,93×10

20 15,56×10

20

Sumber : data diolah

4.2 Analisis Location Quotient

Rata – rata LQ dari sembilan sektor minus sektor pertambangan selama

periode pengamatan (lihat Tabel 4.8), terdapat tiga sektor yang memiliki nilai LQ

17

kurang dari satu (LQ < 1) yaitu sektor pertanian (0,14), sektor industri pengolahan

(0,10) dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran (0,32). Artinya menurut

analisis LQ bahwa ketiga sektor tersebut merupakan sektor non basis dan kurang

potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian Kota Magelang.

Sedangkan sektor yang memiliki nilai koefisien LQ rata – rata lebih dari satu (LQ

> 1) dalah sektor pengangkutan dan komunikasi (3,63), sektor jasa – jasa (3,47),

sektor listrik, gas, dan air bersih (3,07), sektor keuangan, persewaan, dan jasa

perusahaan (2,83), dan sektor bangunan (2,64). Artinya menurut analisis LQ

kelima sektor tersebut adalah sektor basis dan potensial untuk dikembangkan

sebagai penggerak perekonomian Kota Magelang.

Tabel 4.2

Koefisien Location Quotient Kota Magelang Tahun 2003 – 2008

No Lapangan Usaha Koefisien LQ LQ

2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-

rata

1 Pertanian 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14

2 Pertambangan dan

Penggalian - - - - - - -

3 Industri Pengolahan 0,11

0,10

0,10

0,10

0,10

0,10

0,10

4 Listrik, Gas dan Air Bersih 3,22

3,11

3,06

3,05

2,99

2,96

3,07

5 Bangunan 2,86

2,79

2,57

2,59

2,53

2,47

2,64

6 Perdagangan, Hotel dan

Restoran

0,29

0,31

0,32

0,32

0,33

0,34

0,32

7 Pengangkutan dan

Komunikasi

3,70

3,72

3,67

3,61

3,56

3,49

3,63

8 Keuangan, Persewaan, dan

Jasa Perusahaan

2,77

2,82

2,88

2,87

2,86

2,80

2,83

9 Jasa – jasa 3,57 3,53 3,57 3,44 3,39 3,32 3,47

Sumber : data diolah

4.3 Analisis Model Rasio Pertumbuhan

Hasil perhitungan Model Rasio Pertumbuhan (MRP) selama periode

pengamatan yaitu pada tahun 2003 – 2008 (Lihat Tabel 4.3) menunjukkan bahwa

di Kota Magelang tidak terdapat sektor yang memenuhi klasifikasi pertama.

Kegiatan sektor yang tingkat pertumbuhannya memenuhi klasifikasi kedua adalah

sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan

komunikasi, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, dan sektor jasa –

jasa berarti pada tingkat Kota Magelang sektor tersebut mempunyai pertumbuhan

kurang menonjol namun pada tingkat Provinsi Jawa Tengah menonjol.

18

Tabel 4.3

Koefisien Model Rasio Pertumbuhan Kota Magelang Tahun 2003 – 2008

No Lapangan Usaha RPr RPs

Riil Notasi Riil Notasi

1 Pertanian 0,79 - 0,76 -

2 Pertambangan dan Penggalian - - - -

3 Industri Pengolahan 0,97 - 0,59 -

4 Listrik, Gas dan Air Bersih 1,47 + 0,57 -

5 Bangunan 1,35 + 0,36 -

6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 0,98 - 1,53 +

7 Pengangkutan dan Komunikasi 1,33 + 0,61 -

8 Keuangan, Persewaan, dan Jasa

Perusahaan

1,14 + 0,83 -

9 Jasa – jasa 1,26 + 0,56 -

Sumber : Lampiran E

Kegiatan sektor yang tingkat pertumbuhannya memenuhi klasifikasi ketiga

adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran, berarti kegiatan sektor tersebut

pada tingkat Kota Magelang menonjol namun pada tingkat Provinsi Jawa Tengah

kurang menonjol. Sedangkan kegiatan sektor yang tingkat pertumbuhannya

memenuhi klasifikasi keempat adalah sektor pertanian dan sektor industri

pengolahan, berarti berarti kegiatan kedua sektor tersebut pada tingkat Provinsi

Jawa Tengah maupun Kota Magelang mampunyai pertumbuhan kurang menonjol.

4.4 Analisis Overlay

Tabel 4.4

Analisis Overlay PDRB Kota Magelang

No Lapangan Usaha RPr RPs LQ Overlay

Riil Notasi Riil Notasi Riil Notasi Notasi

1 Pertanian 0,79 - 0,76 - 0,15 - - - -

2 Pertambangan dan

Penggalian

- - - - - - -

3 Industri Pengolahan 0,97 - 0,59 - 0,11 - - - -

4 Listrik, Gas dan Air Bersih 1,47 + 0,57 - 3,28 + + - +

5 Bangunan 1,35 + 0,36 - 2,28 + + - +

6 Perdagangan, Hotel dan

Restoran

0,98 - 1,53 + 0,34 - - + -

7 Pengangkutan dan

Komunikasi

1,33 + 0,61 - 3,87 + + - +

8 Keuangan, Persewaan, dan

Jasa Perusahaan

1,14 + 0,83 - 3,03 + + - +

9 Jasa – jasa 1,26 + 0,56 - 3,17 + + - +

Sumber : data diolah

19

Hasil analisis Overlay menunjukkan bahwa selama periode tahun 2003 –

2008 (lihat Tabel 4.4) di Kota Magelang tidak terdapat kegiatan sektoral yang

memenuhi kriteria pertama dan kriteria kedua. Kegiatan sektor yang memenuhi

kriteria ketiga adalah sektor pertanian dan sektor industri pengolahan. Artinya

kedua sektor tersebut kurang memiliki daya saing kompetitif maupun komparatif

yang lebih unggul dibandingkan kegiatan yang sama pada tingkat Provinsi Jawa

Tengah.

Sektor – sektor lain yang tidak termasuk dalam ketiga kriteria analisis

overlay mempunyai notasi yang bervariasi yaitu terdapat lima sektor yang

memiliki nilai RPr dan LQ positif (+) sedangkan nilai RPs negatif (-) adalah

sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan

komunikasi, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, dan sektor jasa –

jasa, yang berarti kelima sektor tersebut mempunyai pertumbuhan sektoral yang

tinggi di tingkat Provinsi Jawa Tengah dan kontribusi sektoral di Kota Magelang

lebih tinggi dari Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan sektor lain yaitu sektor

perdagangan, hotel, dan restoran memiliki nilai RPs positif (+) sedangkan nilai

RPr dan LQ negatif (-), berarti kegiatan sektor tersebut di Kota Magelang lebih

unggul dibandingkan sektor yang sama di tingkat Provinsi Jawa Tengah, tetapi

kontribusi sektor tersebut di Kota Magelang lebih rendah dari Provinsi Jawa

Tengah.

4.5 Analisis Shift Share

Hasil analisis Shift Share (lihat Tabel 4.5) menunjukkan selama periode

tahun 2003 – 2008 pertumbuhan di Kota Magelang sebesar Rp 182.232,33 Juta,

terwujud dari adanya pengaruh positif dari pertumbuhan Provinsi Jawa Tengah

yaitu sebesar Rp 239.273,60 Juta, pengaruh positif dari spesialisasi sebesar Rp

56.290,77 Juta dan pengaruh negatif dari keunggulan kompetitif yang telah

mengurangi pertumbuhan Kota Magelang sebesar Rp 113.332,04 Juta.

Mencermati hasil analisis Shift Share sepanjang periode pengamatan (lihat

Tabel 4.5) menunjukkan bahwa di Kota Magelang tidak ada sektor yang memiliki

spesialisasi sekaligus keunggulan kompetitif. Walaupun sektor keunggulan

kompetitif yang dimiliki Kota Magelang hanya satu yaitu sektor perdagangan,

hotel, dan restoran karena faktor lokasional berupa satrategisnya lokasi Kota

20

Magelang yang berada di persilangan lalu lintas ekonomi, tetapi di Kota

Magelang terdapat banyak sektor spesialisasi yaitu sektor listrik, gas, dan air

bersih, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan,

persewaan, dan jasa perusahaan, dan sektor jasa – jasa. Sektor – sektor yang

memiliki keunggulan kompetitif maupun spesialisasi tersebut merupakan sektor

potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi Kota

Magelang dan daerah sekitarnya.

Tabel 4.5

Analisis Shift Share Kota Magelang Tahun 2003 – 2008 (Juta Rupiah)

Sumber : data diolah

4.6 Menentukan Sektor Prioritas untuk Pengembangan

Dari hasil penjumlahan skor nilai masing – masing kategori (Lihat Tabel

4.6), sektor prioritas untuk pengembangan Kota Magelang yaitu pertama dengan

jumlah skor 13 adalah sektor pengangkutan dan komunikasi; kedua dengan

jumlah skor 15 adalah sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor perdagangan, hotel,

dan restoran, dan sektor keuangan ,persewaan, dan jasa perusahaan; ketiga dengan

jumlah skor 16 adalah sektor jasa – jasa; keempat dengan jumlah skor 23 adalah

sektor bangunan dan sektor pertanian; kelima dengan jumlah skor 24 adalah

sektor industri pengolahan.

No Lapangan Usaha Pengaruh

Pertumbuhan

Jawa Tengah

(NSr,i)

Pengaruh

Spesialisasi

(Pr,i)

Pengaruh

Keunggulan

Kompetitif

(Dr,i)

Pertumbuhan Kota

Magelang

(ΔEr,i)

1 Pertanian 7.438,16

-1.560,56 -1.430,66 4.446,94

2 Pertambangan dan Penggalian - - - -

3 Industri Pengolahan 8.859,32 -274,44

-3.497,13 5.087,75

4 Listrik, Gas dan Air Bersih 6.231,16

2.918,55 -3.927,47 5.222,24

5 Bangunan 38.940,47

13.463,59 -33.512,13 18.891,93

6 Perdagangan, Hotel dan

Restoran

15.868,06

-382,31 8.161,99 23.647,74

7 Pengangkutan dan Komunikasi 45.435,41

14.973,36 -23.395,30 37.013,47

8 Keuangan, Persewaan, dan

Jasa Perusahaan

25.400,23

3.632,68 -4.816,11 24.216,80

9 Jasa – jasa 91.100,79 23.519,89 -50.915,23 63.705,45

Jumlah 239.273,60 56.290,77 -113.332,04 182.232,33

21

Dalam penelitian ini strategi pengembangan sektor potensial untuk

mendorong perekonomian Kota Magelang diambil sektor prioritas utama yaitu

sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor listrik, gas, dan air bersih; sektor

perdagangan, hotel dan restoran; sektor keuangan, persewaan, dan jasa

perusahaan dan sektor jasa – jasa. Peran pemerintah Kota Magelang dalam

pengembangan wilayah sebaiknya memberikan prioritas pengembangan terhadap

kelima sektor tersebut karena memiliki potensi berkembang cukup besar sehingga

dapat tumbuh dan berkembang cepat yang akan merangsang sektor – sektor lain

terkait baik sebagai input maupun sebagai imbas untuk berkembang mengimbangi

perkembangan kelima sektor tersebut.

V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari temuan dalam pelaksanaan penelitian

adalah sebagai berikut :

1. Hasil analisis model gravitasi menunjukkan lemahnya interaksi ekonomi

Kota Magelang dengan daerah belakangnya, berarti kurang tepatnya

penetapan Kota Magelang sebagai pusat pertumbuhan. Sedangkan nilai

indeks gravitasi Kota Magelang dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten

Temanggung menunjukkan nilai indeks gravitasi tertinggi dan memiliki

kecenderungan yang meningkat sehingga menjadikan kedua daerah tersebut

sebagai prioritas pengembangan daerah kerjasama.

2. Hasil analisis Location Quotient, Analisis Model Rasio Pertumbuhan,

Analisis Overlay dan Analisis Shift Share menunjukkan hasil yang sama yaitu

sektor yang merupakan sektor potensial untuk dikembangkan adalah sektor

listrik, gas, dan air bersih, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor

bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan,

persewaan, dan jasa perusahaan, dan sektor jasa – jasa.

3. Hasil penentuan sektor prioritas untuk pengembangan wilayah Kota

Magelang memperlihatkan sektor yang menjadi prioritas pertama adalah

22

sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor prioritas kedua adalah sektor

listrik, gas, dan air bersih, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor

keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, dan sektor prioritas ketiga adalah

sektor jasa – jasa.

4. Hasil perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan alat – alat analisis

yang dipakai menunjukkan bahwa pertimbangan penetapan Kota Magelang

sebagai pusat pertumbuhan di Kawasan Purwomanggung hanya mengacu

pada banyaknya sektor unggulan yang ditunjukkan oleh hasil analisis LQ,

MRP, Overlay dan Shift Share, dan pendapatan per kapita Kota Magelang

yang lebih tinggi dibanding daerah lain dalam satu Kawasan

Purwomanggung dan Provinsi Jawa Tengah. Keterkaitan

antardaerah/kekuatan interaksi ekonomi antardaerah dan laju pertumbuhan

tidak dipertimbangkan. Dengan demikian penetapan Kota Magelang sebagai

pusat pertumbuhan belum memenuhi kriteria sebagai pusat pertumbuhan.

5. Peran Kota Magelang sebagai pusat pertumbuhan dapat ditingkatkan dengan

mengembangkan fasilitas pelayanan jasa, mengembangkan kerjasama dengan

daerah sekitarnya khususnya yang memiliki interaksi paling kuat (Kabupaten

Temanggung dan Kabupaten Magelang) tanpa mengabaikan kerjasama

dengan Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Purworejo, dan pengembangan

sektor prioritas dengan menjalin kerjasama dengan daerah belakangnya

melalui pertukaran sektor potensial.

5.2 Keterbatasan

Penelitian ini tidak terlepas dari keterbatasan – keterbatasan antara lain :

1. Penelitian ini menggunakan jangka waktu penelitian selama enam tahun

yakni tahun 2003 – 2008 dengan maksud untuk melihat perubahan

pertumbuhan ekonomi dari tahun ditetapkannya Kota Magelang sebagai pusat

pertumbuhan di Kawasan Purwomanggung sampai data tahun terbaru yang

tersedia. Tapi karena jumlah penggunaan tahun yang sedikit sehingga

perubahan pertumbuhan ekonomi kurang terlihat.

2. Penelitian ini menganalisis sektor – sektor ekonomi hanya sampai pada sektor

potensial yang dimiliki Kota Magelang, sehingga untuk mengetahui sektor

yang dapat menarik dan mendorong sektor lain untuk lebih efektif dalam

23

menentukan strategi pengembangan diperlukan penelitian yang lebih

mendalam.

5.3 Saran

Saran yang dapat direkomendasikan dari dilakukannya penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Perlu dikembangkan kerjasama secara intensif dan berkelanjutan dengan

daerah belakangnya terutama daerah yang memiliki interaksi ekonomi paling

kuat yaitu Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung dengan

mensinergikan program – program atau kegiatan – kegiatan guna

menggerakkan perekonomian secara bersama – sama tanpa mengabaikan

kerjasama dengan Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo.

2. Pemerintahan Kota Magelang perlu menetapkan kebijakan pembangunan

dengan prioritas sektor potensial yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi,

sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor keuangan, persewaan, dan jasa

perusahaan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, dan sektor jasa – jasa,

dengan tetap memperhatikan sektor lainnya secara proporsional sesuai

dengan potensi dan peluang pengembangannya.

3. Pemerintahan Kota Magelang perlu meningkatkan kualitas jasa pelayanan

seperti jasa pelayanan perdagangan, pendidikan, serta hiburan, dimana

pelayanan jasa yang kurang dimiliki oleh daerah sekitarnya guna

meningkatkan daya kompetitif dan daya tarik bagi masuknya sumber –

sumber ekonomi dari luar Kota Magelang.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Lincolin. 2002. Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah.

Yogyakarta: BPFE – Yogyakarta.

Jhingan, MI.1992. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: Grafindo

Persada.

Kuncoro,Mudrajad. 2002. “Evaluasi Penetapan Kawasan Andalan: Studi Empiris

di Kalimantan Selatan 1993 – 1999”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis

Indonesia, Vol. 17, No. 1, h. 27 – 45

24

----------------- ------- .2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah Reformasi,

Perencanaan, dan Peluang. Jakarta: Erlangga.

Nugroho, SBM. 2004. “Model Ekonomi Basis Untuk Perencanaan Pembangunan

Daerah”. Jurnal Pembangunan, Vol. 1, No. 1, h. 23 – 30

Richardson. 2001. Dasar – dasar Ilmu Ekonomi Regional. Jakarta: FEUI.

Soepono, Prasetyo. 1993. “Analisis Shift – Share: Perkembangan dan Penerapan”.

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 10, No. 1, h. 43 – 54

--------------- ------- . 2000. “Model Gravitasi Sebagai Alat Pengukuran Hinterland

dari Central Place : Suatu Kajian Teoritik”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis

Indonesia, Vol. 15, No. 4, h. 414 – 423

Susantono, B. 2009. Strategi dalam Penataan Ruang dan Pengembangan

Wilayah. Jakarta: Kata Hasta Pustaka.

Tarigan, Robinson. 2005a. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi.

Jakarta: PT Bumi Aksara.

------------- --------- . 2005b. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Edisi Revisi.

Jakarta : PT Bumi Aksara.

Todaro, Michael P. 2006. Pembangunan Ekonomi Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Wijaya, B. dan Hastarini. 2006. “Analisis Pengembangan Wilayah dan Sektor

Potensial Guna Mendorong Pembangunan di Kota Salatiga”.Jurnal

Pembangunan, Vol. 3, No. 2, h. 101 – 118.

Wiyadi dan Rina Trisnawati. 2002. “Analisis Potensi Daerah untuk

Mengembangkan Wilayah di Eks-Karesidenan Surakarta Menggunakan

Teori Pusat Pertumbuhan”. Fokus Ekonomi, Desember 2002.

Yana, Maulana.1999. ”Model Rasio Pertumbuhan (MRP) Sebagai Salah Satu Alat

Analisis Alternatif dalam Perencanaan Wilayah dan Kota Aplikasi

Model, Wilayah Bangka – Belitung”. Jurnal Ekonomi dan Keuangan

Indonesia, Juni Vol. XLVII 2, h. 219 – 233.

25

Tabel 4.6

Prioritas Sektor Potensial untuk Pengembangan Kota Magelang

Dilihat dari Analisis LQ, Pertumbuhan Sektoral, Analisis Shift Share

No Lapangan Usaha LQ Pertumbuhan

sektoral

Spesialisasi Keunggulan

kompetitif

Jumlah

skor

Prioritas

sektor

potensial Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor Nilai Skor

1 Pertanian 0,14 7 3,31 6 -1.560,56 8 -1.430,66 2 23 4

2 Pertambangan dan

Penggalian

- - - - - - - - - -

3 Industri Pengolahan 0,10 8 3,26 7 -274,44 6 -3.497,13 3 24 5

4 Listrik, Gas dan Air

Bersih

3,07 3 4,53 3 2.918,55 5 -3.927,47 4 15 2

5 Bangunan 2,64 5 2,74 8 13.463,59 3 -33.512,13 7 23 4

6 Perdagangan, Hotel

dan Restoran

0,32 6 7,58 1 -382,31 7 8.161,99 1 15 2

7 Pengangkutan dan

Komunikasi

3,63 1 4,41 4 14.973,36 2 -23.395,30 6 13 1

8 Keuangan, Persewaan,

dan Jasa Perusahaan

2,83 4 5,08 2 3.632,68 4 -4.816,11 5 15 2

9 Jasa – jasa 3,47 2 3,83 5 23.519,89 1 -50.915,23 8 16 3

Sumber :data diolah