6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

36
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on Application The Feasibility of Renewable Energy Case Study Feasibility Analysis of Renewable Energy Supply Options for Small to Medium-Sized Tourist Accommodationst dilakukan oleh G.J. Dalton, D.A. Lockington dan T.E. Baldock (2009). Penelitian ini memanfaatkan beban listrik dari tiga akomodasi yang sudah menerapkan sistem hibrida untuk energi terbarukan. Operasional karakteristik khusus, seperti operasional 24 jam, penyediaan kenyamanan dan tingkat kegagalan yang rendah adalah penilaian viabilitas energi terbarukan untuk sektor ini. Kriteria untuk Net Present Cost (NPC), faktor terbarukan dan waktu pengembalian modal menjadi penilaian yang utama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu pengembalian sistem hibrida dari energi terbarukan akan menjadi sekitar setengah jika harga solar meningkat dan karbon pajak dilaksanakan. Ini menunjukkan bahwa energi terbarukan layak secara teknis dan ekonomis dipergunakan untuk akomodasi pariwisata skala kecil dan menengah. Techno-Economic Feasibility of Grid Connected Solar PV System in Bangladesh dilakukan oleh Alam Hossain Mondal dan Sadrul Islam (2009). Penelitian ini menganalisis kelayakan teknis dan ekonomi untuk sistem grid 500kW PV di Rajshahi Bangladesh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya produksi listrik untuk sistem grid PV dengan umur proyek 20 tahun dan tingkat diskonto 10% adalah 14,51 BDT (Bangladesh Taka). Biaya ini menjadi bervariasi 6

Transcript of 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

Page 1: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 State of The Art Review on Application The Feasibility of Renewable

Energy

Case Study Feasibility Analysis of Renewable Energy Supply Options for

Small to Medium-Sized Tourist Accommodationst dilakukan oleh G.J. Dalton,

D.A. Lockington dan T.E. Baldock (2009). Penelitian ini memanfaatkan beban

listrik dari tiga akomodasi yang sudah menerapkan sistem hibrida untuk energi

terbarukan. Operasional karakteristik khusus, seperti operasional 24 jam,

penyediaan kenyamanan dan tingkat kegagalan yang rendah adalah penilaian

viabilitas energi terbarukan untuk sektor ini. Kriteria untuk Net Present Cost

(NPC), faktor terbarukan dan waktu pengembalian modal menjadi penilaian yang

utama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu pengembalian sistem hibrida

dari energi terbarukan akan menjadi sekitar setengah jika harga solar meningkat

dan karbon pajak dilaksanakan. Ini menunjukkan bahwa energi terbarukan layak

secara teknis dan ekonomis dipergunakan untuk akomodasi pariwisata skala kecil

dan menengah.

Techno-Economic Feasibility of Grid Connected Solar PV System in

Bangladesh dilakukan oleh Alam Hossain Mondal dan Sadrul Islam (2009).

Penelitian ini menganalisis kelayakan teknis dan ekonomi untuk sistem grid

500kW PV di Rajshahi Bangladesh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya

produksi listrik untuk sistem grid PV dengan umur proyek 20 tahun dan tingkat

diskonto 10% adalah 14,51 BDT (Bangladesh Taka). Biaya ini menjadi bervariasi

6

Page 2: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

7

antara 14,10 dan 15,25 BDT berdasarkan data radiasi matahari terendah dan

tertinggi. Hasil penelitian ini kemudian dibandingkan dengan biaya grid

connected dari pembangkit listrik diesel yang besarnya sekitar 15-18 BDT. Hasil

perbandingan tersebut menunjukkan bahwa biaya produksi per satuan unit listrik

dari grid connected PV kompetitif dengan biaya grid connected dari pembangkit

diesel. Bahkan jika mekanisme pembangunan bersih, pajak karbon dan kenaikan

harga minyak dipertimbangkan maka biaya satuan akan lebih rendah daripada

grid connected pembangkit diesel.

Design and Economic Analysis of a Stand-Alone PV System to Electrify a

Remote Area Household in Egypt dilakukan oleh Abd El-Shafy A. Nafeh (2009).

Penelitian ini menyajikan sebuah design lengkap dan analisis biaya siklus hidup

untuk sistem Photovoltaic (PV) Stand-Alone, yang dilakukan untuk satu rumah

tangga di kota Rudies Abu Semenanjung Sinai Mesir, yang letaknya terisolasi dan

terpencil serta jauh dari jaringan listrik nasional. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa sistem PV yang dikembangkan untuk lokasi terpencil yang jauh dari

jaringan listrik Mesir, berada pada kisaran harga $ 0,74/kWh. Harga ini sangat

tinggi bila dibandingkan dengan biaya listrik di Mesir ($ 0,1/kWh). Akan tetapi

pada penelitian ini juga dinyatakan bahwa harga sistem PV dapat turun menjadi

$ 0,49/kWh jika biaya awal modul PV turun $ 0,1/Wp. Pada saat yang sama,

karena peningkatan dalam harga bahan bakar konvensional maka biaya listrik di

Mesir menjadi lima kali nilai saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa pembangkit

sistem PV bermanfaat dan cocok untuk investasi jangka panjang, terutama jika

Page 3: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

8

harga awal sistem PV mengalami penurunan serta didukung oleh peningkatan

efisiensi komponennya.

Faisal Ahammed dan Abdullahil Azeem (2009), melakukan penelitian

tentang An Economic Analysis of Solar PV Micro-Utility in Rural Areas of

Bangladesh. Penelitian ini menganalisis kelayakan ekonomi PV Micro-Utility di

Manikgang Bazaar Bangladesh, dengan menggunakan Net Present Value (NPV),

Benefit Cost Ratio (BCR), Internal Rate of Return (IRR) dan Discounted Pay

Back Period. Untuk mengatasi biaya investasi awal PV yang relatif mahal maka

diperlakukan konsep pembayaran tarif harian untuk setiap pelanggan yang

terhubung ke utility. Diasumsikan discount rate sebesar 10% untuk pertimbangan

nilai waktu uang. Hasil analisis menunjukkan bahwa NPV lebih besar dari 0 (nol),

sedangkan untuk BCR menunjukkan nilai lebih besar dari 1 (satu). Discount

payback period pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa pada tahun ke-11,

biaya investasi proyek akan kembali. Dari tingkat diskonto terlihat bahwa IRR

proyek lebih besar yaitu 14%, nilai ini lebih besar dari nilai biaya modal (10%).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proyek PV Micro-Utility telah layak

secara ekonomi.

2.2 Pembangkit Listrik Tenaga Surya

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) adalah suatu pembangkit yang

mengkonversikan energi foton dari surya menjadi energi listrik. Konversi ini

terjadi pada panel surya yang terdiri dari sel-sel surya. PLTS memanfaatkan

cahaya matahari untuk menghasilkan listrik DC (Direct Current), yang dapat

diubah menjadi listrik AC (Alternating Current) apabila diperlukan. PLTS pada

Page 4: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

9

dasarnya adalah pencatu daya dan dapat dirancang untuk mencatu kebutuhan listrik

dari yang kecil sampai dengan yang besar, baik secara mandiri maupun hibrida.

2.2.1 Sel Surya

Sel surya tersusun dari dua lapisan semikonduktor dengan muatan yang

berbeda. Lapisan atas sel surya bermuatan negatif sedangkan lapisan bawahnya

bermuatan positif. Silikon adalah bahan semikonduktor yang paling umum

digunakan untuk sel surya. Ketika cahaya mengenai permukaan sel surya,

beberapa foton dari cahaya diserap oleh atom semikonduktor untuk membebaskan

elektron dari ikatan atomnya sehingga menjadi elektron yang bergerak bebas.

Adanya perpindahan elektron-elektron inilah yang menyebabkan terjadinya arus

listrik (Quaschning, 2005). Gambar 2.1 menunjukkan struktur dari sel surya.

Sumber : Quaschning, 2005

Gambar 2.1 Struktur Sel Surya

2.2.2 Karakteristik Sel Surya

Total pengeluaran listrik (Watt) dari sel surya adalah sama dengan

tegangan (V) operasi dikalikan dengan arus (I) operasi. Tegangan serta arus

Page 5: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

10

keluaran yang dihasilkan ketika sel surya memperoleh penyinaran merupakan

karakteristik yang disajikan dalam bentuk kurva I-V pada gambar 2.2. Kurva ini

menunjukkan bahwa pada saat arus dan tegangan berada pada titik kerja maksimal

(Maximum Power Point) maka akan menghasilkan daya keluaran maksimum

(PMPP). Tegangan di Maximum Power Point (MPP) VMPP, lebih kecil dari

tegangan rangkaian terbuka (Voc) dan arus saat MPP IMPP, adalah lebih rendah

dari arus short circuit (Isc) (Quaschning, 2005) .

a) Short Circuit Current (Isc) : terjadi pada suatu titik dimana tegangannya adalah

nol, sehingga pada saat ini, daya keluaran adalah nol.

b) Open Circuit Voltage (Voc) : terjadi pada suatu titik dimana arusnya adalah

nol, sehingga pada saat ini pun daya keluaran adalah nol.

c) Maximum Power Point (MPP) : adalah titik daya output maksimum, yang

sering dinyatakan sebagai ”knee” dari kurva I-V.

Sumber : Quaschning, 2005

Gambar 2.2 Kurva I-V

Page 6: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

11

2.3 Komponen-komponen PLTS

Pemanfaatan tenaga surya sebagai pembangkit tenaga listrik, umumnya

terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut :

2.3.1 Panel (Modul) Surya

Panel surya merupakan komponen yang berfungsi untuk mengubah energi

sinar matahari menjadi energi listrik. Panel ini tersusun dari beberapa sel surya

yang dihubungkan secara seri maupun paralel. Sebuah panel surya umumnya

terdiri dari 32-40 sel surya, tergantung ukuran panel (Quaschning, 2005).

Gabungan dari panel-panel ini akan membentuk suatu “Array”.

Sumber : Patel, 1999

Gambar 2.3 Hubungan Sel Surya, Panel Surya dan Array

Jenis panel surya yang terjual di pasaran saat ini, antara lain adalah :

1) Monokristal Silikon (Mono-crystalline Silicon)

Monokristal merupakan panel (modul) yang paling efisien, yaitu mencapai

angka sebesar 16-25% (Narayana, 2010).

2) Polikristal Silikon (Poly-crystalline Silicon)

Polikristal merupakan panel surya yang memiliki susunan kristal acak.

Tipe ini memiliki efisiensi sebesar 14-16% (Narayana, 2010).

Page 7: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

12

3) Amorphous Silicon

Amorphous adalah tipe panel dengan harga yang paling murah akan tetapi

efisiensinya paling rendah, yaitu antara 9-10,4% (Narayana, 2010).

Pengoperasian maksimum panel surya sangat tergantung pada hal-hal sebagai

berikut :

1) Temperatur

Sebuah panel surya dapat beroperasi secara maksimum jika temperatur

yang diterimanya tetap normal pada temperatur 25oC. Kenaikan temperatur

lebih tinggi dari temperatur normal pada panel surya akan melemahkan

tegangan (Voc) yang dihasilkan. Setiap kenaikan temperatur panel surya 1oC

(dari 25oC) akan mengakibatkan berkurang sekitar 0,5% pada total tenaga

(daya) yang dihasilkan (Foster dkk., 2010). Untuk menghitung besarnya daya

yang berkurang pada saat temperatur di sekitar panel surya mengalami

kenaikan oC dari temperatur standarnya, dipergunakan rumus sebagai berikut :

Psaat t naik oC = 0,5% /

oC x PMPP x kenaikan temperatur (

oC)..........2.1

Dimana :

Psaat t naikoC = daya pada saat temperatur naik

oC dari temperatur

standarnya.

PMPP = daya keluaran maksimum panel surya.

Daya keluaran maksimum panel surya pada saat temperaturnya naik

menjadi toC dari temperatur standarnya diperhitungkan dengan rumus sebagai

berikut :

PMPP saat naik menjadi toC = PMPP - Psaat t naik

oC ...................................2.2

Page 8: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

13

Dimana :

PMPP saat naik menjadi toC adalah daya keluaran maksimum panel surya

pada saat temperatur di sekitar panel surya naik menjadi toC dari

temperatur standarnya.

Faktor koreksi temperatur (Temperature Correction Factor)

diperhitungkan dengan rumus sebagai berikut :

TCF = P

MPP saat naik menjadi t oC

PMPP .....................................2.3

Sumber : Strong, 1987

Gambar 2.4 Pengaruh Temperatur terhadap Panel Surya

2) Intensitas Cahaya Matahari

Intensitas cahaya matahari akan berpengaruh pada daya keluaran panel

surya. Semakin rendah intensitas cahaya yang diterima oleh panel surya maka

arus (Isc) akan semakin rendah. Hal ini membuat titik Maximum Power Point

berada pada titik yang semakin rendah.

Page 9: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

14

Sumber : Strong 1987

Gambar 2.5 Pengaruh Intensitas Radiasi terhadap Panel Surya

3) Orientasi Panel Surya (Array)

Orientasi dari rangkaian panel surya (array) ke arah matahari adalah

penting, agar panel surya (array) dapat menghasilkan energi maksimum.

Misalnya, untuk lokasi yang terletak di belahan bumi Utara maka panel surya

(array) sebaiknya diorientasikan ke Selatan. Begitu pula untuk lokasi yang

terletak di belahan bumi Selatan maka panel surya (array) diorientasikan ke

Utara (Foster dkk., 2010).

4) Sudut Kemiringan Panel Surya (Array)

Sudut kemiringan memiliki dampak yang besar terhadap radiasi matahari

di permukaan panel surya. Untuk sudut kemiringan tetap, daya maksimum

selama satu tahun akan diperoleh ketika sudut kemiringan panel surya sama

dengan lintang lokasi (Foster dkk., 2010). Misalnya panel surya yang terpasang

di khatulistiwa (lintang = 0o) yang diletakkan mendatar (tilt angle = 0

o), akan

menghasilkan energi maksimum.

Page 10: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

15

Sumber : Foster dkk., 2010

Gambar 2.6 Pemasangan Panel Surya dengan Sudut Kemiringan

2.3.2 Charge Controller

Charge controller adalah perangkat elektronik yang digunakan untuk

mengatur pengisian arus searah dari panel surya ke baterai dan mengatur

penyaluran arus dari baterai ke peralatan listrik (beban). Charge controller

mempunyai kemampuan untuk mendeteksi kapasitas baterai. Bila baterai sudah

penuh terisi maka secara otomatis pengisian arus dari panel surya berhenti. Cara

deteksi adalah melalui monitor level tegangan baterai. Charge controller akan

mengisi baterai sampai level tegangan tertentu, kemudian apabila level tegangan

telah mencapai level terendah, maka baterai akan diisi kembali. Charge controller

adalah indikator yang akan memberikan informasi mengenai kondisi baterai

sehingga pengguna PLTS dapat mengendalikan konsumsi energi menurut

ketersediaan listrik yang terdapat di dalam baterai.

2.3.3 Baterai

Baterai adalah komponen PLTS yang berfungsi menyimpan energi listrik

yang dihasilkan oleh panel surya pada siang hari, untuk kemudian dipergunakan

pada malam hari dan pada saat cuaca mendung. Baterai yang dipergunakan pada

PLTS mengalami proses siklus mengisi (Charging) dan mengosongkan

Page 11: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

16

(Discharging), tergantung pada ada atau tidaknya sinar matahari. Selama ada sinar

matahari, panel surya akan menghasilkan energi listrik. Apabila energi listrik

yang dihasilkan tersebut melebihi kebutuhan bebannya, maka energi listrik

tersebut akan segera dipergunakan untuk mengisi baterai. Sebaliknya selama

matahari tidak ada, permintaan energi listrik akan disuplai oleh baterai. Proses

pengisian dan pengosongan ini disebut satu siklus baterai.

Ada dua jenis baterai isi ulang yang dapat dipergunakan untuk sistem

PLTS, yaitu baterai Asam Timbal (Lead Acid) dan baterai Nickel-Cadmium. Akan

tetapi karena memiliki efisiensi yang rendah dan biaya yang lebih tinggi,

membuat baterai Nickel-Cadmium relatif lebih sedikit dipergunakan dalam sistem

PLTS. Sebaliknya baterai Asam Timbal adalah baterai dengan efisiensi tinggi

dengan biaya yang lebih ekonomis. Hal inilah membuat baterai Asam Timbal

menjadi perangkat penyimpanan yang penting untuk beberapa tahun ke depan,

terutama untuk sistem PLTS ukuran menengah dan besar (Messenger dan Ventre,

2005).

Kapasitas baterai umumnya dinyatakan dalam Ampere hour (Ah). Nilai

Ah pada baterai menunjukkan nilai arus yang dapat dilepaskan, dikalikan dengan

nilai waktu untuk pelepasan tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka secara

teoritis, baterai 12 V, 200 Ah harus dapat memberikan baik 200 A selama satu

jam, 50 A selama 4 jam, 4 A untuk 50 jam, atau 1 A untuk 200 jam. Pada saat

mendesain kapasitas baterai yang akan dipergunakan dalam sistem PLTS, penting

juga untuk menentukan ukuran hari-hari otonomi (days of autonomy).

(Polarpowerinc, 2011).

Page 12: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

17

Suatu ketentuan yang membatasi tingkat kedalaman pengosongan

maksimum, diberlakukan pada baterai. Tingkat kedalaman pengosongan (Depth

of Discharge) baterai biasanya dinyatakan dalam persentase. Misalnya, suatu

baterai memiliki DOD 80%, ini berarti bahwa hanya 80% dari energi yang

tersedia dapat dipergunakan dan 20% tetap berada dalam cadangan. Pengaturan

DOD berperan dalam menjaga usia pakai (life time) dari baterai tersebut. Semakin

dalam DOD yang diberlakukan pada suatu baterai maka semakin pendek pula

siklus hidup dari baterai tersebut. Gambar 2.7, menunjukkan hubungan antara

DOD dengan siklus hidup baterai.

Sumber : Polarpowerinc, 2011

Gambar 2.7 Hubungan DOD dengan Siklus Hidup Baterai

2.3.4 Inverter

Inverter adalah peralatan elektronika yang berfungsi untuk mengubah arus

listrik searah (direct current) dari panel surya atau baterai menjadi arus listrik

bolak-balik (alternating current) dengan frekuensi 50Hz/60Hz. Pemilihan inverter

yang tepat untuk aplikasi tertentu, tergantung pada kebutuhan beban dan juga

tergantung pada apakah inverter akan menjadi bagian dari sistem yang terhubung

ke jaringan listrik atau sistem yang berdiri sendiri. Efisiensi inverter pada saat

pengoperasian adalah sebesar 90% (Foster dkk., 2010).

Page 13: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

18

Berdasarkan bentuk gelombang yang dihasilkan, inverter dikelompokkan

menjadi tiga yaitu inverter dengan gelombang keluaran berbentuk square,

modified, dan true sine wave. Inverter yang terbaik adalah yang mampu

menghasilkan gelombang sinusoida murni atau true sine wave yaitu bentuk

gelombang yang sama dengan bentuk gelombang dari jaringan listrik (grid

utility).

2.4 Sistem PLTS

Sistem PLTS umumnya diklasifikasikan menurut konfigurasi

komponennya. Pada prinsipnya ada dua klasifikasi sistem PLTS (Florida Solar

Energy Center, 2011), yaitu PLTS yang terhubung dengan jaringan listrik (PLTS-

Grid Connected) dan PLTS yang berdiri sendiri (Stand Alone).

2.4.1 PLTS-Grid Connected

Sistem PLTS-Grid Connected pada dasarnya adalah menggabungkan

PLTS dengan jaringan listrik (PLN). Komponen utama dalam sistem ini adalah

inverter, atau Power Conditioning Unit (PCU). Inverter inilah yang berfungsi

untuk mengubah daya DC yang dihasilkan oleh PLTS menjadi daya AC sesuai

dengan persyaratan dari jaringan listrik yang terhubung (utility grid).

Sumber: Florida Solar Energy Center, 2011

Gambar 2.8 Diagram Sistem PLTS-Grid Connected

Page 14: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

19

Apabila penggabungan PLTS dengan jaringan listrik (PLN), dilakukan

pada sisi konsumen (setelah kWhmeter) maka diagram sistemnya dapat dilihat

pada gambar 2.9.

Sumber : Bien dkk., 2008

Gambar 2.9 Diagram Sistem Hibrida PLTS-Electric Utility

2.4.2 PLTS Berdiri Sendiri (Stand- Alone)

Sistem PLTS yang berdiri sendiri (Stand-Alone) dirancang beroperasi

mandiri untuk memasok beban DC atau AC. Jenis sistem ini dapat diaktifkan oleh

array photovoltaic saja, atau dapat menggunakan sumber tambahan energi lain,

seperti : air, angin dan mesin diesel. Baterai digunakan pada kebanyakan sistem

PLTS yang berdiri sendiri untuk penyimpanan energi. Gambar 2.10 menunjukkan

diagram dari PLTS yang berdiri sendiri.

Sumber: Florida Solar Energy Center, 2011

Gambar 2.10 Diagram Sistem PLTS Berdiri Sendiri dengan Baterai

Page 15: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

20

2.5 Kapasitas Komponen PLTS

2.5.1 Jumlah Panel Surya

Daya (Wpeak) yang dibangkitkan PLTS untuk memenuhi kebutuhan energi,

diperhitungkan dengan persamaan-persamaan sebagai berikut (Nafeh, 2009) :

2.5.1.1 Menghitung Area Array (PV Area)

Area array (PV Area) diperhitungkan dengan menggunakan rumus sebagai

berikut :

PV Area = 𝐸L

𝐺𝑎𝑣 𝑥 𝜂𝑃𝑉 𝑥 𝑇𝐶𝐹 𝑥 𝜂 𝑂𝑢𝑡 .............……………….2.4

Dimana :

EL adalah pemakaian energi (kWh/hari).

Gav adalah insolasi harian matahari rata-rata (kWh/m2/hari).

ηPV adalah efisiensi panel surya.

TCF adalah temperature correction factor.

𝜂 𝑜𝑢𝑡 adalah efisiensi inverter.

2.5.1.2 Menghitung Daya yang Dibangkitkan PLTS (Watt peak)

Dari perhitungan area array, maka besar daya yang dibangkitkan PLTS

(Watt peak) dapat diperhitungkan dengan rumus sebagai berikut :

P Watt peak = Area array x PSI x ηPV.............................................2.5

Dimana :

PSI (Peak Solar Insolation) adalah 1000 W/m2.

ηPV adalah efisiensi panel surya.

Page 16: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

21

Selanjutnya berdasarkan besar daya yang akan dibangkitkan (Wpeak), maka

jumlah panel surya yang diperlukan, diperhitungkan dengan rumus sebagai berikut :

Jumlah panel surya = 𝑃Watt 𝑝𝑒𝑎𝑘

PMPP ……………………..…...…2.6

Dimana :

PWatt Peak = Daya yang dibangkitkan (Wp).

PMPP = Daya maksimum keluaran (output) panel surya (W).

Untuk memperoleh besar tegangan, arus dan daya yang sesuai dengan

kebutuhan, maka panel-panel surya tersebut harus dikombinasikan secara seri dan

paralel dengan aturan sebagai berikut :

1) Untuk memperoleh tegangan keluaran yang lebih besar dari tegangan keluaran

panel surya, maka dua buah (lebih) panel surya harus dihubungkan secara seri.

2) Untuk memperoleh arus keluaran yang lebih besar dari arus keluaran panel

surya, maka dua buah (lebih) panel surya harus dihubungkan secara paralel.

3) Untuk memperoleh daya keluaran yang lebih besar dari daya keluaran panel

surya dengan tegangan yang konstan maka panel-panel surya harus

dihubungkan secara seri dan pararel.

Sumber : Kaltschmitt dkk., 2007

Gambar 2.11 Hubungan Panel Surya

Page 17: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

22

2.5.2 Kapasitas Charge Controller

Charge controller diperlukan untuk melindungi baterai dari pengosongan

dan pengisian berlebih. Masukan atau keluaran untuk Charge controller

disesuaikan dengan arus (IMPP) keluaran array dan tegangan baterai,VB

(Messenger dan Ventre, 2005).

2.5.3 Kapasitas Baterai

Besar kapasitas baterai yang dibutuhkan untuk memenuhi konsumsi energi

harian menurut Lynn (2010), dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

C = N x Ed

Vs x DOD x η ……………………………………………2.7

Dimana :

C = Kapasitas baterai (Ah).

N = Hari-hari otonomi (hari).

Ed = Konsumsi energi harian (kWh).

Vs = Tegangan baterai (Volt).

DOD = Kedalaman maksimum untuk pengosongan baterai.

η = Efisiensi baterai x efisiensi inverter.

2.5.4 Kapasitas Inveter

Pada pemilihan inverter, diupayakan kapasitas kerjanya mendekati

kapasitas daya yang dilayani. Hal ini agar efisiensi kerja inverter menjadi

maksimal (Foster dkk., 2010).

Page 18: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

23

2.6 Pembangkit Listrik Tenaga Surya PT. PLN Distribusi Bali di Nusa

Penida

Pemanfaatan tenaga matahari sebagai sumber energi listrik untuk

pengadaan energi listrik PLN di Nusa Penida, dimulai pada tahun 2008. Ada dua

unit Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dibangun di Nusa Penida,

yaitu unit I dengan kapasitas 32,4 kW dan unit II dengan kapasitas 30 kW.

Sumber : PT. PLN Distribusi Bali, 2010

Gambar 2.12 Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Nusa Penida

Kedua unit PLTS PLN di Nusa Penida mempergunakan sistem PLTS-Grid

Connected, yaitu menghubungkan PLTS dengan jaringan listrik PLN (Grid

Connected System) pada tegangan 20 kV.

Sumber: PT. PLN Distribusi Bali, 2010

Gambar 2.13 Sistem PLTS-Grid Connected di Nusa Penida

Page 19: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

24

2.6.1 Komponen-komponen PLTS di Nusa Penida

Komponen-komponen PLTS PLN di Nusa Penida yang tidak dilengkapi

dengan baterai, terdiri dari panel surya dan inverter. Data teknik panel surya dan

inverter yang terpasang untuk PLTS PLN di Nusa Penida dapat dilihat pada tabel

2.1 dan tabel 2.2.

Tabel 2.1

Data Teknik Panel Surya BP 3150N

Technical Data BP 3150N

Maximum Power (Pmax)

Voltage at Pmax (Vmp)

Current at Pmax (Imp)

Warranted min Pmax

Short-circuit current (Isc)

Open-circuit voltage (Voc)

Min bypass diode

Max series fuse

Electrical rating at STC

Warranty level

1 Panel terdapat

150 W

34,5 V

4,35 A

145,5 W

4,75 A

43,5 V

8 A

15 A

1000W/m2

25-12-5

72 sel surya Sumber : PT. PLN Distribusi Bali, 2010

Tabel 2.2

Data Teknik Inverter SMC 5000A

Technical Data SMC 5000A

Input Values

Vdc max

Vdc Mpp

Idc max

Output Values

Vac nom

fac nom

Pac nom

Iac max

Cos φ

600 V

246-480 V

26 A

230 V

50/60 Hz

5000W

21,7

1

Sumber : PT. PLN Distribusi Bali, 2010

Page 20: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

25

PLTS unit I dengan kapasitas 32,4 kW, dibangun dengan panel surya

sebanyak 216 buah panel dan inverter sebanyak 6 buah. Sistem satu fasa (1Ø)

PLTS ini terbentuk dari 3 rangkaian (string) yang terhubung paralel, dengan satu

rangkaian terdiri dari 12 panel surya yang terhubung secara seri. Jumlah total

panel untuk sistem 1Ø adalah sebanyak 36 panel surya yang dilayani oleh satu

inverter. Sehingga untuk sistem tiga fasa (3Ø), terdiri dari 108 panel surya dengan

9 rangkaian yang terhubung paralel.

PLTS unit II dengan kapasitas 30 kW, dibangun dengan panel (modul)

surya sebanyak 198 buah dan inverter sebanyak 6 buah. Sistem satu phasa (1Ø)

PLTS ini terbentuk dari 3 rangkaian (string) yang terhubung paralel dengan satu

rangkaian terdiri dari 11 panel surya yang terhubung secara seri. Jumlah total

panel untuk 1Ø adalah sebanyak 33 panel surya yang dilayani oleh satu inverter.

Sehingga untuk sistem tiga phasa (3Ø), terdiri dari 99 panel surya dengan 9

rangkaian yang terhubung paralel.

2.6.2 Data Produksi PLTS di Nusa Penida

Hasil pengamatan produksi harian yang dilakukan pada PLTS Unit II

tahun 2010, menunjukkan bahwa PLTS mulai berproduksi pada pukul 06.00 pagi

dengan menghasilkan energi sebesar 0,80 kWh. Menjelang siang hari mulai pukul

11.00 produksi PLTS meningkat cukup tinggi, yaitu menghasilkan energi sebesar

14 kWh. Produksi pembangkit ini mencapai puncaknya pada saat waktu

menunjukkan pukul 12.00, dengan produksi energi sebesar 19 kWh. Kemudian

menjelang sore hari mulai pukul 13.00 kWh produksi PLTS menurun, seiring

berkurangnya radiasi matahari ke bumi. PLTS PLN di Nusa Penida tidak

Page 21: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

26

dilengkapi dengan baterai, sehingga pembangkit ini tidak akan berproduksi saat

matahari terbenam.

Sumber : PT. PLN Distribusi Bali, 2010

Gambar 2.14 Grafik kWh Produksi Harian PLTS Unit II

Tabel 2.3 menunjukkan tingkat persentase kWh produksi yang dihasilkan

oleh PLTS PLN Unit II Nusa Penida dalam rentang waktu pukul 06.00-18.00.

Tabel 2.3

Tingkat Persentase kWh Produksi Harian PLTS Unit II

Sumber : PT. PLN Distribusi Bali, 2010

Waktu

Tingkat Persentase (%) Produksi

kWh Produksi PLTS

00.00-01.00 - - 01.00-02.00 - - 02.00-03.00 - - 03.00-04.00 - - 04.00-05.00 - - 05.00-06.00 4,21 0,80 06.00-07.00 8,95 1,70 07.00-08.00 27,89 5,30 08.00-09.00 28,95 5,50 09.00-10.00 34,21 6,50 10.00-11.00 73,68 14,00 11.00-12.00 100,00 19,00 12.00-13.00 94,74 18,00 13.00-14.00 63,16 12,00 14.00-15.00 52,63 10,00 15.00-16.00 31,58 6,00 16.00-17.00 10,53 2,00 17.00-18.00 0,53 0,50 18.00-19.00 - - 19.00-20.00 - - 20.00-21.00 - - 21.00-22.00 - - 22.00-23.00 - - 23.00-00.00 - -

Page 22: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

27

2.7 Data Insolasi Matahari dan Temperatur di Nusa Lembongan

2.7.1 Data Insolasi Matahari di Nusa Lembongan

Menurut Florida Solar Energy System (2011), pada dasarnya insolasi

matahari adalah radiasi matahari rata-rata yang terintegrasi terhadap waktu.

Sehingga dapat dinyatakan bahwa insolasi matahari adalah jumlah energi

matahari yang diterima oleh suatu permukaan (lokasi) tertentu, yang biasanya

dinyatakan dalam satuan kilowatthours per meter persegi (kWh/m2).

Data insolasi harian matahari untuk wilayah Nusa Lembongan selama

periode tahun 2008 sampai 2010 dapat dilihat pada tabel 2.4.

Tabel 2.4

Data Insolasi Harian Matahari di Nusa Lembongan (kWh/m2/hari)

Sumber : NASA, 2011

2.7.2 Data Temperatur Di Nusa Lembongan

Temperatur mempengaruhi pengoperasian maksimum panel surya. Setiap

kenaikan temperatur 1oC (dari 25

oC) mengakibatkan total daya yang dihasilkan

panel surya berkurang sekitar 0,5%. Hal tersebut menunjukkan bahwa temperatur

Bulan 2008 2009 2010

Januari 5,49 4,98 5,41

Pebruari 5,74 5,22 5,80

Maret 5,13 5,94 5,89

April 5,56 5,76 4,92

Mei 5,12 4,96 4,29

Juni 5,04 5,20 4,74

Juli 5,16 5,21 5,01

Agustus 5,37 5,75 5,55

September 6,34 5,91 5,64

Oktober 6,36 6,47 5,74

November 5,51 6,60 5,74

Desember 5,08 6,15 4,38

Rata-rata 5,49 5,68 5,26

Page 23: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

28

adalah salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam memperhitungkan

kapasitas daya (Wp) PLTS yang akan dibangkitkan.

Data temperatur maksimum (oC) untuk wilayah Nusa Lembongan selama

periode tahun 2008 sampai 2010 dapat dilihat pada tabel 2.5.

Tabel 2.5

Data Temperatur Maksimum di Nusa Lembongan (oC)

Sumber : NASA, 2011

2.8 Aspek Biaya

2.8.1 Biaya Siklus Hidup (Life Cycle Cost)

Biaya siklus hidup suatu sistem adalah semua biaya yang dikeluarkan oleh

suatu sistem, selama kehidupannya. Pada sistem PLTS, biaya siklus hidup (LCC)

ditentukan oleh nilai sekarang dari biaya total sistem PLTS yang terdiri dari biaya

investasi awal, biaya jangka panjang untuk pemeliharaan dan operasional serta

biaya penggantian baterai (Kolhe dkk., 2002; Foster dkk., 2010). Biaya siklus

hidup (LCC) diperhitungkan dengan rumus sebagai berikut :

LCC = C + MPW + RPW ...............................................................2.8

Bulan 2008 2009 2010

Januari 28,51 27,98 28,59

Pebruari 27,96 28,14 29,22

Maret 27,88 28,49 29,33

April 29,01 29,37 29,19

Mei 28,23 28,33 28,65

Juni 28,75 28,58 28,27

Juli 27,83 28,03 28,09

Agustus 27,88 27,90 28,83

September 29,21 28,71 28,97

Oktober 29,94 29,82 29,34

November 28,68 31,21 29,71

Desember 28,66 30,14 28,56

Rata-rata 28,55 28,89 28,90

Page 24: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

29

Dimana :

LCC = Biaya siklus hidup (Life Cycle Cost).

C = Biaya investasi awal adalah biaya awal yang dikeluarkan untuk

pembelian komponen-komponen PLTS, biaya instalasi dan

biaya lainnya misalnya biaya untuk rak penyangga.

MPW = Biaya nilai sekarang untuk total biaya pemeliharaan dan

operasional selama n tahun atau selama umur proyek.

RPW = Biaya nilai sekarang untuk biaya penggantian yang harus

dikeluarkan selama umur proyek. Contohnya adalah biaya

untuk penggantian baterai.

Nilai sekarang biaya tahunan yang akan dikeluarkan beberapa waktu

mendatang (selama umur proyek) dengan jumlah pengeluaran yang tetap, dihitung

dengan rumus sebagai berikut (Halim, 2009; Al-Qutub, 2010) :

P = A (1+𝑖)𝑛− 1

𝑖(1+𝑖)𝑛 .....................................................................2.9

Dimana :

P = Nilai sekarang biaya tahunan selama umur proyek.

A = Biaya tahunan.

i = Tingkat diskonto.

n = Umur proyek.

Page 25: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

30

2.8.1.1 Faktor Diskonto

Perbandingan yang valid antara penerimaan-penerimaan di masa

mendatang dengan pengeluaran dana sekarang adalah hal yang sulit dilakukan

karena ada perbedaan nilai waktu uang. Masalah ini dapat diatasi dengan

menggunakan konsep nilai waktu uang (Time Value of Money). Berdasarkan

konsep tersebut maka penerimaan-penerimaan di masa mendatang didiskontokan

ke nilai sekarang sehingga dapat dibandingkan dengan pengeluaran pada saat ini.

Faktor diskonto (Discount factor) adalah faktor yang digunakan untuk

menilaisekarangkan penerimaan-penerimaan di masa mendatang sehingga dapat

dibandingkan dengan pengeluran pada masa sekarang (Halim, 2009). Sedangkan

tingkat diskonto yang digunakan untuk menilaisekarangkan penerimaan-

penerimaan tersebut dapat berupa tingkat suku bunga pasar (tingkat suku bunga

bank). Adapun rumus faktor diskonto adalah sebagai berikut :

DF = 1

(1+i )n .......................................................................2.10

Dimana :

DF = Faktor diskonto.

i = Tingkat diskonto.

n = Periode dalam tahun (umur investasi).

2.8.2 Biaya Energi (Cost of Energy)

Biaya energi merupakan perbandingan antara biaya total per tahun dari

sistem dengan energi yang dihasilkannya selama periode yang sama (Wengqiang

dkk., 2004). Dilihat dari sisi ekonomi, biaya energi PLTS berbeda dari biaya

Page 26: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

31

energi untuk pembangkit konvensional (Nafeh, 2009). Hal ini karena biaya energi

PLTS, dipengaruhi oleh biaya-biaya seperti :

a) Biaya awal (biaya modal) yang tinggi.

b) Tidak ada biaya untuk bahan bakar.

c) Biaya pemeliharaan dan operasional rendah.

d) Biaya penggantian rendah (terutama hanya untuk baterai).

Perhitungan biaya energi suatu PLTS ditentukan oleh biaya siklus hidup

(LCC), faktor pemulihan modal (CRF) dan kWh produksi tahunan PLTS.

2.8.2.1 Faktor Pemulihan Modal (Capital Recovery Factor)

Faktor pemulihan modal adalah faktor yang dipergunakan untuk

mengkonversikan semua arus kas biaya siklus hidup (LCC) menjadi serangkaian

pembayaran atau biaya tahunan dengan jumlah yang sama (Kolhe dkk., 2002 ;Al-

Qutub, 2010). Faktor pemulihan modal diperhitungkan dengan rumus sebagai

berikut :

CRF = i(1+i)n

(1+i)n−1 .......................................................................2.11

Dimana :

CRF = Faktor pemulihan modal.

i = Tingkat diskonto.

n = Periode dalam tahun (umur investasi).

Page 27: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

32

Biaya energi (Cost Of Energy ) PLTS diperhitungkan dengan rumus

sebagai berikut :

COE = LCC x CRF

A kWh ………..........………………..…………2.12

Dimana :

COE = Cost of Energy atau Biaya Energi (Rp/kWh).

CRF = Faktor pemulihan modal.

A kWh = Energi yang dibangkitkan tahunan (kWh/year).

2.8.3. Teknik Analisis Kelayakan Investasi

2.8.3.1. Net Present Value (NPV)

Net Present Value (NPV) menyatakan bahwa seluruh aliran kas bersih

dinilaisekarangkan atas dasar faktor diskonto (discount factor). Teknik ini

menghitung selisih antara seluruh kas bersih nilai sekarang dengan investasi awal

yang ditanamkan (Halim, 2009). Untuk menghitung Net Present Value (NPV)

dipergunakan rumus sebagai berikut :

NPV = NCFt

(1+i)t

𝑛

𝑡=1

− II ........…………………...………. 2.13

Dimana :

NCFt = Net Cash Flow periode tahun ke-1 sampai tahun ke-n.

II = Investasi awal (Initial Investment).

i = Tingkat diskonto.

n = Periode dalam tahun (umur investasi).

Kriteria pengambilan keputusan apakah usulan investasi layak diterima

atau layak ditolak adalah sebagai berikut :

Page 28: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

33

a) Investasi dinilai layak, apabila Net Present Value (NPV) bernilai positif (> 0).

b) Investasi dinilai tidak layak, apabila Net Present Value (NPV) bernilai negatif

(< 0).

2.8.3.2 Profitability Index (PI)

Profitability Index merupakan perbandingan antara seluruh kas bersih nilai

sekarang dengan investasi awal. Teknik ini juga sering disebut dengan model

rasio manfaat biaya (benefit cost ratio). Teknik Profitability Index dihitung

dengan rumus sebagai berikut :

PI = NCF t (1+𝑖)−t𝑛

𝑡=1

II ………………………………...2.14

Dimana :

NCFt = Net Cash Flow periode tahun ke-1 sampai tahun ke-n.

II = Investasi awal (Initial Investment).

i = Tingkat diskonto.

n = Periode dalam tahun (umur investasi).

Kriteria pengambilan keputusan apakah usulan investasi layak diterima atau

layak ditolak adalah sebagai berikut :

a) Investasi dinilai layak, apabila Profitability Index (PI) bernilai lebih besar dari

satu (>1).

b) Investasi dinilai tidak layak, apabila Profitability Index (PI) bernilai lebih kecil

dari satu (< 1).

Page 29: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

34

2.8.3.3 Discounted Payback Period (DPP)

Payback Period adalah periode lamanya waktu yang dibutuhkan untuk

mengembalikan nilai investasi melalui penerimaan-penerimaan yang dihasilkan

oleh proyek (investasi). Sedangkan Discounted Payback Period adalah periode

pengembalian yang didiskontokan. Discounted Payback Period (DPP) dapat

dicari dengan menghitung berapa tahun kas bersih nilai sekarang (PVNCF)

kumulatif yang ditaksir akan sama dengan investasi awal.

Kriteria pengambilan keputusan apakah usulan investasi layak diterima

atau layak ditolak adalah :

a) Investasi dinilai layak, apabila DPP memiliki periode waktu lebih pendek dari

umur proyek (periode cutoff).

b) Investasi dinilai tidak layak, apabila DPP memiliki periode waktu lebih

panjang dari umur proyek (periode cutoff).

2.9 Konsumsi Bahan Bakar Spesifik (Specific Fuel Consumption)

Konsumsi bahan bakar spesifik adalah parameter unjuk kerja mesin yang

berhubungan langsung dengan nilai ekonomis sebuah mesin. Dengan

menggunakan parameter ini maka jumlah bahan bakar yang dibutuhkan untuk

menghasilkan sejumlah daya dalam selang waktu tertentu dapat dihitung.

Berdasarkan SPLN No. 80 tahun 1989, untuk menghitung konsumsi bahan bakar

spesifik (SFC) dipergunakan rumus sebagai berikut :

SFCB = Qf

kWh B ........................................................................2.15

Page 30: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

35

Dimana :

SFCB = Konsumsi bahan bakar spesifik (liter/kWh).

Qf = Jumlah bahan bakar yang dipakai (liter).

kWhB = Jumlah kWh yang dibangkitkan generator (kWh).

2.10 Regulasi Energi Terbarukan

2.10.1 Regulasi Energi Terbarukan Berbagai Negara di Dunia

Regulasi untuk mempromosikan energi terbarukan telah ada di beberapa

negara pada tahun 1980 hingga awal 1990-an, tetapi regulasi energi terbarukan

mulai banyak muncul di berbagai negara selama periode 1998-2005 (REN21,

2011). Untuk meningkatkan peranan energi terbarukan pada bauran konsumsi

energi finalnya, maka beberapa negara di dunia telah menetapkan persentase

target kebijakan penggunaan energi terbarukan hingga tahun 2020. Tabel 2.6.

menunjukkan target kebijakan energi terbarukan pada beberapa negara di dunia.

Upaya lain yang dilakukan oleh berbagai negara di dunia untuk

mendorong pengembangan dan pemanfaatan sumber energi terbarukan adalah

dengan menerapkan regulasi (kebijakan) Feed-in Tariff. Mekanisme kebijakan ini

dirancang dengan menempatkan kewajiban kepada perusahaan listrik negara

untuk membeli listrik dari produsen energi terbarukan dengan harga yang

ditetapkan oleh pemerintah setempat. Tujuan dari kebijakan Feed-in Tariff adalah

untuk memberikan kepastian harga dan kompensasi biaya dalam kontrak jangka

panjang kepada produsen energi terbarukan, sehingga hal tersebut akan membantu

membiayai investasi energi terbarukan yang telah dilakukan. Di beberapa negara

penetapan Feed-in Tariff biasanya dilakukan dengan berdasarkan biaya

Page 31: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

36

pembangkitan dari setiap penggunaan teknologi yang berbeda dan kualitas sumber

daya lokal.

Tabel 2.6

Target Energi Nasional Sumber Terbarukan 2020 di Berbagai Negara

Share of energy from

renewable sources in final

consumption of energy,

2005

Target for share for energy

from renewable sources in

final consumption of energy,

2020

Belgium 2,2 % 13 %

Bulgaria 9,4 % 16 %

The Czech Republic 6,1 % 13 %

Denmark 17,0 % 30 %

Germany 5,8 % 18 %

Estonia 18,0 % 25 %

Ireland 3,1 % 16 %

Greece 6,9 % 18 %

Spain 8,7 % 20 %

France 10,3 % 23 %

Italy 5,2 % 17 %

Cyprus 2,9 % 13 %

Latvia 34,9 % 42 %

Lithuania 15,0 % 23 %

Luxembourg 0,9 % 11 %

Hungary 4,3 % 13 %

Malta 0,0 % 10 %

The Netherland 2,4 % 14 %

Austria 23,3 % 34 %

Poland 7,2 % 15 %

Portugal 20,5 % 31 %

Romania 17,8 % 24 %

Slovenia 16,0 % 25 %

The Slovak Republic 6,7 % 14 %

Finland 28,5 % 38 %

Sweden 39,8 % 49 %

United Kingdom 1,3 % 15 %

China 8 % 15 %

Egypt 4,2 % 14 %

Jordan 1,1 % 10 %

Mali - 15 %

Sumber : European Renewable Energy Council (2011) dan REN21, 2011

Page 32: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

37

Jerman adalah salah satu negara yang paling sukses menerapkan Feed-in

Tariff dalam pengembangan energi terbarukan. Negara ini mulai menerapkan

kebijakan Feed-in Tariff pada tahun 1990, akan tetapi kebijakan yang ditetapkan

saat itu belum efektif untuk mendorong pengembangan sumber energi terbarukan

dengan teknologi mahal seperti energi surya fotovoltaik. Feed-in Tariff tahun

1990 tersebut kemudian mengalami restrukturisasi pada tahun 2000, dengan

beberapa perubahan seperti : harga pembelian energi ditetapkan berdasarkan biaya

pembangkitan dan jaminan pembelian yang diperpanjang untuk periode 20 tahun.

Karena terbukti efektif mempercepat pengembangan sumber energi terbarukan,

maka Feed-in Tariff tahun 2000 ini kemudian diamandemenkan oleh pemerintah

Jerman pada tahun 2004. Energi surya fotovoltaik adalah salah satu energi

terbarukan yang mengalami perkembangan sangat pesat di Jerman. Ini terlihat

dari besarnya peningkatan kapasitas daya terpasang energi surya fotovoltaik di

negara tersebut, yaitu dari 2,6 GW di tahun 2006 menjadi 9,8 GW di tahun 2009

(REN21, 2011). Tabel 2.7 menunjukkan besarnya Feed-in Tariff yang diterapkan

oleh pemerintah Jerman untuk energi surya fotovoltaik.

Tabel 2.7

Tarif Energi Surya Fotovoltaik di Jerman

Letak Pemasangan Jaminan Tahun Pembelian Tarif ($/kWh)

Berdiri Bebas (Freestanding) 20 0,542

Di atap ( < 30kW ) 20 0,703

Di atap ( < 100 kW ) 20 0,688

Di atap ( > 100 kW ) 20 0,661

Sumber : Peter dan Weis, 2008

Page 33: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

38

Pemberian subsidi terhadap industri energi terbarukan di beberapa negara,

telah membuat pertumbuhan energi ini menjadi cukup signifikan. Salah satu

energi terbarukan yang saat ini mengalami perkembangan cukup pesat adalah

energi surya. Pemberian subsidi terhadap industri energi surya telah membuat

penurunan biaya produksi untuk per Wp (Wattpeak) . Ini terlihat dari penurunan

harga per Wattpeak yang berlaku di beberapa negara, seperti USA (US $ 1,76/Wp),

Spanyol, Jerman dan Inggris (US $ 1,68/Wp), Jepang (US $ 2,04/ Wp), serta Cina

dan Taiwan (US $ 1,68/ Wp) (Astawa, 2011).

Selain dengan sistem Feed-in Tariff, beberapa negara juga menerapkan

aturan subsidi dengan sistem kredit seperti sistem kredit untuk perumahan.

Bantuan pendanaan sistem ini berasal dari pihak ketiga seperti bank, dengan

jangka waktu tertentu. Adanya program insentif ini, membuat konsumen dapat

menikmati harga energi surya dengan investasi awal yang tidak memberatkan.

Biasanya penerapan sistem ini disertai dengan program Feed-in Tariff sehingga

waktu pelunasan kredit terbantukan dengan adanya pemasukan dari penjualan

listrik ke perusahaan listrik, yang pada akhirnya akan mempersingkat masa

pembayaran atau meringankan pengeluaran. Program ini sudah cukup mapan

ditemui di USA (negara bagian California) maupun Uni Eropa seperti, Jerman,

Belanda, Perancis dan Spanyol. Di negara berkembang, program kredit ini baru

tercatat telah dikembangkan oleh negara Bangladesh. Program ini bertujuan untuk

memberdayakan masyarakat pedesaan atau daerah yang terisolir jaringan listrik

(Tenaga surya, 2011).

Page 34: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

39

2.10.2 Regulasi Energi Terbarukan di Indonesia

Pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia, mengacu

kepada Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi

Nasional. Dalam Perpres disebutkan kontribusi EBT dalam bauran energi primer

nasional pada tahun 2025 adalah sebesar 17% dengan komposisi Bahan Bakar

Nabati sebesar 5%, Panas Bumi 5%, Biomasa, Nuklir, tenaga Air, tenaga Surya,

dan tenaga Angin sebesar 5% serta batubara yang dicairkan sebesar 2% (ESDM,

2011).

Kebijakan Feed-in Tariff (FiT) di Indonesia sudah mulai diterapkan dalam

skala terbatas sejak tahun 2002, yaitu melalui Kepmen ESDM No. 1122

K/30/MEM/2002. Kepmen ini mengatur tentang Pedoman Pengusahaan Pembangkit

Tenaga Listrik Skala Kecil Tersebar (PSK Tersebar, kurang dari 1 MW), badan

usaha atau koperasi dapat menjual listrik kepada PLN dari sumber energi

terbarukan dengan harga tertentu. Kepmen ini kemudian diperbaharui pada tahun

2009 dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 31 Tahun 2009

tentang harga pembelian tenaga listrik oleh PT. PLN (Persero) dari pembangkit

tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah atau

kelebihan tenaga listrik. FiT ini mewajibkan perusahaan jaringan listrik nasional

untuk membeli listrik yang dihasilkan dari sumber-sumber energi terbarukan

seperti energi surya, energi angin, biomassa, panas bumi maupun air. Pemerintah

Indonesia melalui Peraturan Menteri ESDM No. 31 Tahun 2009 telah menetapkan

kebijakan FiT untuk energi terbarukan dengan harga Rp 656/kWh jika terinterkoneksi

Page 35: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

40

pada tegangan menengah atau Rp 1.004/kWh jika terinterkoneksi pada tegangan

rendah (ESDM, 2011).

Dalam draft Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang

Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2010-2050, pemerintah membuat kebijakan

terkait energi surya. Kebijakan-kebijakan tersebut diantaranya menerapkan

kebijakan penggunaan sel surya pada pemakai tertentu seperti industri besar,

gedung komersial, rumah mewah, serta PLN. Sejalan dengan itu, pemerintah juga

akan menggalakkan industri sistem dan komponen peralatan instalasi Pembangkit

Listrik Tenaga Surya (PLTS), mewujudkan keekonomian PLTS, meningkatkan

penguasaan teknologi PLTS dan surya termal dalam negeri melalui penelitian dan

pengembangan serta pembelian lisensi (ESDM, 2011).

2.11. Analisis SWOT

Analisis SWOT adalah suatu metode perencanaan strategis yang

digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor yang menjadi kekuatan (Strengths),

kelemahan (Weaknesses), peluang (Opportunities), dan ancaman (Threats) yang

mungkin terjadi dalam mencapai suatu tujuan dari kegiatan proyek atau usaha,

institusi atau lembaga dalam skala yang lebih luas. Untuk keperluan tersebut

diperlukan kajian dari aspek lingkungan baik yang berasal dari lingkungan

internal maupun eskternal yang mempengaruhi pola strategi kegiatan proyek,

institusi atau lembaga dalam mencapai tujuan.

Analisis SWOT dilakukan dalam suatu matrik, yang memaparkan secara

jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi oleh kegiatan

proyek atau usaha dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang

Page 36: 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review on ...

41

dimilikinya. Matrik ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternatif

strategis seperti ditunjukkan pada gambar berikut ini.

Internal Strategic

Factors Analysis

External ( IFAS)

Strategic

Factors Analysis

(EFAS)

STRENGTHS (S)

Tentukan faktor-faktor

kekuatan internal

WEAKNESSES (W)

Tentukan faktor-faktor

kelemahan internal

OPPORTUNIES (O)

Tentukan faktor peluang

eksternal

STRATEGI SO

Ciptakan strategi yang

menggunakan kekuatan untuk

memanfaatkan peluang

STRATEGI WO

Ciptakan strategi yang

meminimalkan kelemahan

untuk memanfaatkan

peluang TREATHS (T)

Tentukan faktor

ancaman eksternal

STRATEGI ST

Ciptakan strategi yang

menggunakan kekuatan untuk

mengatasi ancaman

STRATEGI WT

Ciptakan strategi yang

meminimalkan kelemahan

dan menghindari ancaman

Sumber : Rangkuti, 2009

Gambar 2.15 Matrik SWOT