BAB II Tinjauan Pustaka

26
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Batasan, Pemanfaatan, dan Karakteristik Pulau-pulau Kecil Definisi pulau secara umum menurut UNCLOS (1982) adalah: An island is a naturally formed area of land, surrounded by water, which is above water at high tide, yang memiliki arti bahwa pulau adalah suatu wilayah atau area tanah (daratan) yang terbentuk secara alami, dikelilingi air, yang berada di atas muka air pada pasang surut tinggi (tidak boleh tenggelam jika air dalam keadaan pasang tertinggi). Undang-Undang No. 27 Tahun 2007, menyatakan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km 2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.20/MEN/2008, menyatakan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan untuk kepentingan pembangunan di bidang ekonomi, sosial dan budaya dengan berbasis masyarakat dan secara berkelanjutan, yang dilakukan dengan memperhatikan aspek: (1) keterpaduan antara kegiatan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, antar Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat (termasuk pemangku kepentingan lainnya seperti perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, para tokoh masyarakat dan tokoh agama) dalam perencanaan dan pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya; (2) kepekaan/kerentanan ekosistem suatu kawasan yang berupa daya dukung lingkungan, dan sistem tata air suatu pulau kecil; (3) ekologis yang mencakup fungsi perlindungan dan konservasi; (4) kondisi sosial dan ekonomi masyarakat; (5) politik yang mencakup fungsi pertahanan, keamanan, dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (6) teknologi ramah lingkungan; serta (7) budaya dan masyarakat adat, masyarakat lokal, serta masyarakat tradisional (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya, yang pemanfaatannya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya. Pemanfataan pulau- pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan sebagai berikut: (1) konservasi; (2) pendidikan dan pelatihan; (3) penelitian dan pengembangan; (4) budidaya laut; (5) pariwisata; (6) usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari; (7) pertanian organik; dan/atau (8) peternakan.

Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batasan, Pemanfaatan, dan Karakteristik Pulau-pulau Kecil Definisi pulau secara umum menurut UNCLOS (1982) adalah: An island is

a naturally formed area of land, surrounded by water, which is above water at

high tide, yang memiliki arti bahwa pulau adalah suatu wilayah atau area tanah

(daratan) yang terbentuk secara alami, dikelilingi air, yang berada di atas muka

air pada pasang surut tinggi (tidak boleh tenggelam jika air dalam keadaan

pasang tertinggi). Undang-Undang No. 27 Tahun 2007, menyatakan bahwa

pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.20/MEN/2008,

menyatakan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya

dilakukan untuk kepentingan pembangunan di bidang ekonomi, sosial dan

budaya dengan berbasis masyarakat dan secara berkelanjutan, yang dilakukan

dengan memperhatikan aspek: (1) keterpaduan antara kegiatan Pemerintah

Pusat dengan Pemerintah Daerah, antar Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan

masyarakat (termasuk pemangku kepentingan lainnya seperti perguruan tinggi,

lembaga swadaya masyarakat, para tokoh masyarakat dan tokoh agama) dalam

perencanaan dan pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil dan perairan di

sekitarnya; (2) kepekaan/kerentanan ekosistem suatu kawasan yang berupa

daya dukung lingkungan, dan sistem tata air suatu pulau kecil; (3) ekologis yang

mencakup fungsi perlindungan dan konservasi; (4) kondisi sosial dan ekonomi

masyarakat; (5) politik yang mencakup fungsi pertahanan, keamanan, dan

kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (6) teknologi ramah

lingkungan; serta (7) budaya dan masyarakat adat, masyarakat lokal, serta

masyarakat tradisional

(dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya, yang

pemanfaatannya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara

menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya. Pemanfataan pulau-

pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih

kepentingan sebagai berikut: (1) konservasi; (2) pendidikan dan pelatihan; (3)

penelitian dan pengembangan; (4) budidaya laut; (5) pariwisata; (6) usaha

perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari; (7) pertanian

organik; dan/atau (8) peternakan.

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka

12

Departemen Kelautan dan Perikanan atau DKP (2007), menyatakan

bahwa pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki arti penting atas beberapa fungsi

yaitu:

1) Fungsi Politik. Pulau-pulau kecil terutama di perbatasan dari sudut

pertahanan dan keamanan memiliki arti penting sebagai bukti kedaulatan

negara, serta merupakan garda depan dalam menjaga dan melindungi

keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2) Fungsi Ekonomi. Wilayah pulau-pulau kecil memiliki peluang yang besar

untuk dikembangkan sebagai wilayah bisnis-bisnis potensial yang berbasis

pada sumberdaya (resource based industry) seperti industri perikanan,

pariwisata, jasa transportasi, industri olahan dan industri-industri lainnya yang

ramah lingkungan sebagai pendukung pertumbuhan wilayah;

3) Fungsi Sosial Budaya. Masyarakat pulau-pulau kecil memiliki kondisi sosial

budaya yang bersifat khas (berupa keberadaan hukum adat dan hak ulayat)

dibandingkan dengan pulau induknya, namun karena letak dan posisi

geografis pulau-pulau kecil yang relatif terisolir menyebabkan timbulnya

disparitas perkembangan sosial budaya akibat persebaran penduduk yang

tidak merata antara pulau-pulau besar yang menjadi pusat pertumbuhan

wilayah dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya.

4) Fungsi Ekologi. Ekosistem laut dan pulau-pulau kecil berfungsi sebagai

pengatur iklim global, siklus hidrologi dan bio-geokimia, penyerap limbah,

sumber plasma nutfah, sumber energi alternatif, dan sistem penunjang

kehidupan lainnya.

Retraubun (2002), menyatakan bahwa pulau atau kepulauan yang terdapat

di dunia dapat digolongkan ke dalam beberapa tipe, berdasarkan pada proses

geologinya, meliputi:

1) Pulau Benua (Continental Islands). Pulau benua terbentuk sebagai bagian

dari benua, dan setelah itu terpisah dari daratan utama. Tipe batuan dari

pulau benua adalah batuan yang kaya dengan silica. Biota yang terdapat di

pulau-pulau tipe ini sama dengan yang terdapat di daratan utama. Contoh

dari pulau tipe dimaksud adalah Madagaskar (dari Afrika), Caledonia Baru

(dari Australia), Selandia Baru (dari Antartika), Seychelles (dari Afrika). Ada

pula pulau benua bersatu dengan benua pada zaman Pleistocene, kemudian

berpisah pada zaman Holocene ketika muka laut meninggi. Contoh dari

pulau jenis ini adalah Kepulauan Inggris, Srilangka, Fauklands, Jepang,

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka

13

Tanah Hijau, Filipina, Taiwan, Tasmania. Di Indonesia, pulau tipe ini adalah

Kepulauan Sunda Besar (Sumatra, Jawa, Kalimantan) dan Pulau Papua.

2) Pulau Vulkanik (Volcanic Islands). Pulau vulkanik sepenuhnya terbentuk dari

kegiatan gunung berapi, yang timbul secara perlahan-lahan dari dasar laut ke

permukaan. Pulau jenis ini tidak pernah merupakan bagian dari daratan

benua, dan terbentuk di sepanjang pertemuan lempeng-lempeng tektonik,

dimana lempeng-lempeng tersebut saling menjauh. Tipe batuan dari pulau

tipe ini adalah basalt, silica (kadar rendah). Contoh pulau vulkanik terdapat di

daerah pertemuan lempeng benua adalah Kepulauan Sunda Kecil (Bali,

Lombok, Sumba, Sumbawa, Flores, Wetar, dan Timor). Ada pula pulau

vulkanik yang membentuk untaian pulau-pulau dan titik gunung api dan

terdapat di bagian tengah lempeng benua. Contoh dari pulau tipe ini adalah:

Kepulauan Austral-Cook, Galapagos, Hawaii, Marquesas, Aleutian, Antiles

Kecil, Solomon, dan Tonga.

3) Pulau Karang Timbul (Raised Coral Islands). Pulau karang timbul adalah

pulau yang terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas

permukaan laut karena adanya gerakan ke atas dan gerakan ke bawah dari

dasar laut karena proses geologi. Pada saat dasar laut berada di dekat

permukaan laut (kurang dari 40 m), terumbu karang mempunyai kesempatan

untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik tersebut. Setelah

berada di atas permukaan laut, terumbu karang akan mati dan menyisakan

rumahnya dan membentuk pulau karang. Jika proses ini berlangsung terus,

maka akan terbentuk pulau karang timbul. Pada umumnya, karang yang

timbul ke permukaan laut berbentuk teras-teras seperti sawah di

pegunungan. Proses ini dapat terjadi pada pulau-pulau vulkanik maupun non-

vulkanik. Pulau karang timbul ini banyak ditemui di perairan timur Indonesia

(seperti di Laut Seram, Sulu, dan Banda), serta di baratlaut Papua, Sulawesi,

Kepulauan Sunda Kecil, dan sebelah barat Sumatra. Contoh pulau karang

timbul ini adalah: Kepulauan Sangihe, Solor, Alor, dan Lembata.

4) Pulau Daratan Rendah (Low Islands). Pulau daratan rendah adalah pulau

dimana ketinggian daratannya dari muka laut tidak besar. Pulau ini dapat

berasal dari pulau-pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Pulau-pulau dari tipe

ini merupakan tipe pulau yang paling rawan terhadap bencana alam, seperti

taufan atau tsunami. Karena pulau tersebut relatif datar dan rendah, maka

massa air dari bencana alam yang datang ke pulau tersebut akan masuk jauh

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka

14

ke tengah pulau. Contoh pulau daratan rendah adalah Kepulauan Seribu di

utara Teluk Jakarta.

5) Pulau Atol (Atolls). Pulau Atol adalah pulau (pulau karang) yang berbentuk

cincin. Pada umumnya pulau atol ini adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi

oleh terumbu karang membentuk fringing reef, kemudian berubah menjadi

barrier reef, dan akhirnya berubah menjadi pulau atol. Proses pembentukan

tersebut disebabkan oleh adanya gerakan ke bawah dari pulau vulkanik

semula, dan oleh pertumbuhan vertikal dari terumbu karang. Contoh pulau

atol di Indonesia adalah pulau-pulau di Kepulauan Tukang Besi, Sulawesi

Tenggara.

Retraubun (2005), menyatakan bahwa beberapa karakteristik pulau-pulau

kecil yang dapat menjadi kendala pengembangannya antara lain adalah: (1)

Ukuran yang kecil dan terisolasi menyebabkan sangat mahalnya sarana dan

prasarana, serta minimnya sumberdaya manusia yang handal; (2) Kesulitan atau

ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan

menguntungkan (dalam hal administrasi, usaha produksi, dan transportasi); (3)

Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang ada pada

akhirnya akan menentukan daya dukung suatu sistem pulau-pulau kecil dalam

menopang kehidupan manusia dan kegiatan pengembangannya; (4)

Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang ada saling terkait

satu sama lain secara erat. Keberhasilan usaha pertanian, perkebunan atau

kehutanan di lahan darat yang melupakan prinsip-prinsip ekologis, dapat

mengakibatkan kematian/kerusakan pada industri perikanan pantai dan

pariwisata bahari di pulau-pulau kecil; dan (5) Budaya lokal yang kadangkala

bertentangan dengan kegiatan pembangunan (terutama pariwisata), karena

budaya wisatawan (asing) yang tidak sesuai dengan adat atau agama setempat.

2.2 Potensi Sumberdaya Pulau-pulau Kecil Terumbu Karang (Coral Reefs)

Terumbu karang (coral reefs) terbentuk dari endapan-endapan masif

kalsium karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk

terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, Ordo Scleractinia yang hidup

bersimbiose dengan alga bersel satu Zooxanthellae, dan sedikit tambahan dari

algae berkapur serta organisme lain yang mensekresi kalsium karbonat. Karang

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka

15

dapat hidup berkoloni atau sendiri, tetapi hampir semua karang hermatipik

merupakan koloni. Jaringan tubuh karang terdiri atas ektoderm, mesoglea, dan

endoderm. Ektoderm merupakan jaringan terluar yang mempunyai cilia, kantung

lendir (mucus), dan sejumlah nematokis. Mesoglea adalah jaringan yang terletak

antara ektoderm dan endoderm dan berbentuk seperti agar-agar. Endoderm

merupakan jaringan yang paling dalam dan sebagian besar berisi zooxanthellae.

Karang hidup menempel pada substrat seperti batu atau dasar yang keras dan

berkelompok membentuk koloni menjadi terumbu (Nybakken, 1988).

Ekosistem terumbu karang terdapat di lingkungan perairan yang agak

dangkal dan merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan paling tinggi

keanekaragaman hayatinya. Pertumbuhan maksimum kehidupan terumbu

karang berada pada perairan yang jernih, suhu yang hangat, gerakan gelombang

yang cukup besar dengan sirkulasi yang lancar agar terhindar dari proses

sedimentasi. Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling produktif

dan paling tinggi keanekaragaman hayatinya. Produksi primer kotor di daerah

terumbu karang rata-rata bervariasi dari 300-5.000 gram karbon per meter bujur

sangkar per tahun (gC/m2/tahun), sebagai pembanding, produktivitas laut lepas

hanya berkisar 50-100 gC/m2

1). Fungsi pariwisata berupa keindahan karang, kekayaan biologi, dan

kejernihan air yang membuat kawasan terumbu karang terkenal sebagai

tempat rekreasi, skin diving atau snorkeling, scuba diving dan fotografi;

/tahun. Potensi lestari sumberdaya perikanan

karang di perairan Indonesia sebesar 75.875 ton/tahun, sedangkan potensi

perikanan laut (tuna/cakalang, udang, demersal, pelagis kecil dan lainnya) sekitar

4,948,824 ton/tahun. Perairan Indonesia memiliki sekitar 350 spesies karang

keras yang termasuk ke dalam 75 genera (Supriharyono, 2000).

DKP (2007), menyebutkan terumbu karang sangat bermanfaat bagi

manusia dan sedikitnya memiliki empat fungsi meliputi:

2). Fungsi perikanan, sebagai tempat ikan-ikan karang ekonomis tinggi yang

menjadi target penangkapan. Jumlah produksi ikan, kerang, dan kepiting dari

ekosistem terumbu karang secara lestari di seluruh dunia dapat mencapai 9

juta ton atau sedikitnya 12% dari jumlah tangkapan perikanan dunia.

Terumbu karang dalam kondisi yang sangat baik mampu menghasilkan

sekitar 18 ton/km2/tahun, terumbu karang dalam kondisi baik mampu

menghasilkan 13 ton/km2/tahun, dan terumbu karang dalam kondisi yang

cukup baik mampu menghasilkan 8 ton/km2/tahun;

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka

16

3). Fungsi pelindung pantai, sebagai terumbu tepi (fringing reef) dan terumbu

penghalang (barrier reef) terumbu karang merupakan pemecah gelombang

alami yang melindungi pantai dari erosi, banjir pantai, dan peristiwa

perusakan lain yang diakibatkan oleh fenomena air laut. Terumbu karang

juga memberikan kontribusi untuk penumpukan pantai dengan memberikan

pasir untuk pantai dan memberikan perlindungan terhadap desa-desa dan

infrastruktur seperti jalan dan bangunan-bangunan lain yang berada di

sepanjang pantai. Apabila dirusak, maka diperlukan milyaran rupiah untuk

membuat penghalang buatan yang setara dengan bentuk lahan terumbu

karang dimaksud;

4). Fungsi keanekaragaman hayati (biodiversity), dimana ekosistem terumbu

karang memiliki produktivitas dan keanekaragaman jenis biota yang tinggi.

Produktivitas terumbu karang yang tinggi memungkinkan kawasan dimaksud

sebagai tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground)

dan mencari makan (feeding ground) dari kebanyakan jenis ikan, yang

secara otomatis membuat produksi ikan di daerah ini pun menjadi tinggi.

Selain itu, terumbu karang berfungsi pula sebagai pelindung pantai dari

abrasi, dan dari segi sosial ekonomi, terumbu karang adalah sumber

perikanan yang produktif dalam meningkatkan pendapatan nelayan,

penduduk pesisir dan pulau-pulau kecil, serta dapat menjadi sumber

pemasukan devisa bagi negara yang berasal dari perikanan dan pariwisata.

Dewasa ini, ditenggarai berbagai jenis biota yang hidup pada ekosistem

terumbu karang ternyata banyak mengandung senyawa bioaktif sebagai

bahan obat-obatan, makanan dan kosmetika.

Padang Lamun (Seagrass Beds)

DKP (2007), menyebutkan bahwa lamun merupakan tumbuhan berbiji

tunggal (monokotil) dari kelas angiospermae yang memiliki rhizoma, daun dan

akar sejati yang hidup terendam di dalam laut. Lamun mengkolonisasi suatu

daerah melalui penyebaran buah (propagule) yang dihasilkan secara sexual

(dioecious). Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut

yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari untuk mendukung

pertumbuhannya. Padang lamun di perairan Indonesia sering dijumpai

berdekatan dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang, sehingga interaksi

ketiga ekosistem ini satu sama lain sangat erat. Struktur komunitas dan sifat fisik

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka

17

ketiga ekosistem ini saling mendukung, sehingga bila salah satu ekosistem

terganggu, ekosistem yang lain pun akan terpengaruh. Fungsi padang lamun di

antaranya adalah menangkap sedimen, menstabilkan substrat dasar dan

menjernihkan air, sumber makanan dan habitat beberapa jenis hewan air, serta

menjadi substrat organisme yang menempel. Meskipun produktivitas primer

komunitas lamun mencapai 1 kg C/m2/thn, dari jumlah tersebut hanya sekitar 3%

yang dimanfaatkan oleh herbivora, 37% tenggelam ke perairan dan dimanfaatkan

oleh benthos, dan 12% mengapung di permukaan dan hilang dari ekosistem.

Padang lamun mendukung kehidupan biota yang beragam, berhubungan satu

sama lain dengan jaringan makanan yang kompleks.

Menurut Supriharyono (2000), padang lamun (seagrass beds) merupakan

ekosistem yang memiliki arti penting secara ekologis dan ekonomis dengan

fungsi meliputi:

1). Sebagai perangkap sedimen yang kemudian diendapkan dan distabilkan

serta menjernihkan air,

2). Lamun segar merupakan makanan bagi ikan duyung (hewan menyusui),

penyu laut, bulu babi, dan beberapa jenis ikan. Padang lamun merupakan

daerah pengembalaan (grazing ground) yang penting artinya bagi hewan-

hewan laut tersebut. Ikan laut lain dan udang tidak makan daun segar tapi

serasah (detritus) dari lamun. Detritus ini dapat tersebar luas oleh arus ke

perairan di sekitar padang lamun,

3). Merupakan habitat bagi bermacam-macam ikan (umumnya ikan berukuran

kecil) dan udang,

4). Pada permukaan daun lamun hidup melimpah ganggang-ganggang renik

(biasanya ganggang bersel tunggal), hewan-hewan renik, dan mikroba yang

merupakan makanan bagi bermacam jenis ikan yang hidup di padang lamun,

5). Banyak jenis ikan dan udang yang hidup di perairan sekitar padang lamun

menghasilkan larva yang bermigrasi ke padang lamun untuk tumbuh besar.

Bagi larva-larva ini padang lamun memang menjanjikan kondisi lingkungan

yang optimal bagi pertumbuhannya. Dengan demikian perusakan padang

lamun berarti merusak daerah asuhan (nursery ground) larva-larva tersebut,

6). Daun lamun berperan sebagai tudung pelindung yang menutupi penghuni

padang lamun dari sengatan sinar matahari,

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka

18

7). Tumbuhan lamun dapat digunakan sebagai bahan makanan dan pupuk

misal: samo-samo (enhalus acoroides) oleh penduduk Kepulauan Seribu

telah dimanfaatkan bijinya sebagai bahan makanan.

Hutan Bakau (Mangrove)

Hutan bakau (mangrove) merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang

didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan

berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Beberapa manfaat

hutan mangrove diantaranya adalah: (1) kayunya memiliki kalori yang tinggi

sehingga dapat digunakan menjadi kayu bakar atau arang; (2) kulit kayunya

merupakan sumber tannin, lem ply wood, dan zat pewarna; (3) daunnya dapat

digunakan sebagai obat tradisional dan juga sebagai makanan ternak;

(4) akarnya efektif untuk menangkap sedimen, memperlambat kecepatan arus

dan erosi pantai; (5) tempat mencari makan dan berlindung berbagai juvenile

ikan dan hewan lainnya; dan (6) merupakan suatu penyangga antara komunitas

lautan dan pesisir. Hutan bakau merupakan ekosistem pesisir yang mempunyai

produktivitas tinggi mencapai 5.000 gC/m2

DKP (2003), menyatakan bahwa secara ekologis, pulau-pulau kecil di

daerah tropis dan subtropis sangat berasosiasi dengan terumbu karang,

/tahun (Supriharyono, 2000).

Hutan bakau kadang disebut juga hutan payau atau hutan pasang surut,

umumnya memiliki vegetasi yang terdiri atas jenis-jenis yang selalu hijau

(evergreen plant) dari beberapa jenis tanaman yaitu Avicennia dan Rhizophora.

Perakaran hutan bakau yang kokoh memiliki kemampuan untuk meredam

pengaruh gelombang, menahan lumpur, dan melindungi pantai dari erosi,

gelombang pasang, dan angin topan. Hutan bakau (mangrove) memiliki

beberapa fungsi diantaranya adalah: (1) secara fisik, dengan menjaga dan

menstabilkan garis pantai dan tepian sungai, serta mempercepat pertumbuhan

lahan baru; (2) secara biologi, yaitu sebagai tempat asuhan (nursery ground),

mencari makan (feeding ground), tempat berkembang biak berbagai jenis

crustacea, ikan, burung, anggrek dan paku pakis; (3) merupakan penghasil zat

hara seperti nitrogen, magnesium, natrium, kalsium, fosfor dan sulfur; (4)

pemanfaatan secara ekonomi dengan tujuan budidaya ikan, udang, kepiting, dan

tiram; serta (5) berpotensi sebagai kawasan pariwisata (Bengen, 2003).

Sumberdaya Ikan

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka

19

sehingga kawasan ini memiliki spesies-spesies ekonomis yang menggunakan

karang sebagai habitatnya seperti ikan kerapu, napoleon, kima raksasa (Tridacna

gigas), teripang dan lain-lain. Komoditas dimaksud dapat dikatakan sebagai

komoditas spesifik pulau kecil, dengan ciri utama memiliki sifat penyebaran yang

bergantung pada terumbu karang sehingga keberlanjutan stoknya dipengaruhi

oleh kesehatan karang. Potensi sektor kelautan dan perikanan mencakup potensi

perikanan tangkap dan budidaya laut di kawasan pulau-pulau kecil secara

keseluruhan memiliki nilai sekitar US$ 72 milyar pertahun.

Menurut Dahuri (2003), rendahnya produktivitas perikanan tangkap di

kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil nelayan disebabkan karena tiga faktor

utama meliputi: (1) sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional

dengan teknologi penangkapan yang tradisional pula, sehingga kapasitas

tangkapnya rendah. Hanya sekitar 17 persen dari total armada perikanan

nasional yang dapat dikategorikan sebagai nelayan modern. Hal ini sekaligus

mencerminkan rendahnya kualitas sumberdaya manusia nelayan dan

kemampuan IPTEK penangkapan ikan; (2) adanya ketimpangan tingkat

pemanfaatan stok ikan antara satu kawasan dengan kawasan perairan laut

lainnya. Di satu pihak, terdapat kawasan-kawasan perairan yang stok ikannya

sudah mengalami kondisi overfishing, seperti Selat Malaka, Pantai Utara Jawa,

Selat Bali, dan Selatan Sulawesi; dan sebaliknya masih cukup banyak kawasan

perairan laut yang tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya belum optimal atau

bahkan belum terjamah sama sekali; dan (3) telah terjadinya kerusakan

lingkungan ekosistem laut, seperti kerusakan hutan mangrove, terumbu karang,

dan padang lamun (seagrass beds), yang padahal mereka itu merupakan tempat

(habitat) ikan dan organisme laut lainnya berpijah, mencari makan, atau

membesarkan diri (nursery ground). Kerusakan lingkungan laut ini juga

disebabkan oleh pencemaran baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat

maupun di laut.

Sedangkan dalam usaha budidaya perikanan, faktor-faktor yang

menyebabkan rendahnya produktivitas meliputi: (1) kemampuan teknologi

budidaya (mencakup pemilihan induk, pemijahan, penetasan, pembuahan,

pemeliharaan larva, pendederan, pembesaran, manajemen kualitas air,

manajemen pemberian pakan, genetika (breeding), manajemen kesehatan ikan,

dan teknik perkolaman) sebagian besar pembudidaya ikan masih rendah; (2)

kompetisi penggunaan ruang (lahan perairan) antara usaha budidaya perikanan

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka

20

dengan kegiatan pembangunan lainnya (pemukiman, industri, pertambangan,

dan lainnya) pada umumnya merugikan usaha budidaya perikanan. Belum ada

Pemerintah Daerah (propinsi atau kabupaten/kodya) yang menjadikan kawasan

budidaya perikanan (tambak udang) sebagai kawasan khusus/tertentu, yang

harus dilindungi dari segenap upaya konversi lahan atau pencemaran, dalam tata

ruangnya; (3) semakin memburuknya kualitas air sumber untuk budidaya

perikanan, khususnya di kawasan padat penduduk atau tinggi intensitas

pembangunannya, sehubungan dengan berkembangnya kegiatan industri,

pertanian, dan rumah tangga (pemukiman dan perkotaan) yang tidak ramah

lingkungan atau membuang limbahnya ke lingkungan alam (perairan) tanpa

memenuhi ambang batas baku mutu air buangan limbah; dn (4) struktur dan

mekanisasi diseminasi teknologi yang lemah disebabkan kelangkaan tenaga

penyuluh perikanan serta tenaga penyuluh pertanian, sehingga tingkat inovasi

teknologi sulit ditingkatkan (Dahuri, 2003).

Pertambangan

Aktivitas pertambangan banyak dilakukan di negara-negara pulau kecil di

dunia maupun di Indonesia pada provinsi-provinsi tertentu. Struktur batuan dan

geologi pulau-pulau kecil di Indonesia adalah struktur batuan tua yang

diperkirakan mengandung deposit bahan-bahan tambang/mineral penting seperti

emas, mangan, nikel dan lain-lain. Beberapa aktivitas pertambangan baik tahap

penyelidikan umum, eksplorasi maupun eksploitasi di pulau-pulau kecil antara

lain yaitu: (1) timah di Pulau Kundur dan Pulau Karimun (Riau); (2) nikel di Pulau

Gag (Papua), Pulau Gebe (Maluku Utara), dan Pulau Pakal (Maluku); (3)

batubara di Pulau Laut dan Pulau Sebuku (Kalsel); (4) emas di Pulau Wetar dan

Pulau Aruku (Maluku), dan (5) migas di Pulau Natuna (Riau) (DKP, 2003).

Retraubun (2003), menyebutkan bahwa beberapa negara-negara pulau

kecil memiliki aktivitas pertambangan yang tinggi seperti di Nauru (fosfat),

Kriribati (fosfat), Fiji (emas) dan New Caledonia (Nikel). Bahkan New Caledonia

di tahun 1980an merupakan negara produser nikel terbesar nomor 2 di dunia

sesudah Kanada. Walaupun demikan, banyak contoh kerusakan lingkungan

akibat aktivitas tersebut, misalnya erosi tanah dan pencemaran pesisir karena

pertambangan nikel di New Caledonia; erosi tanah dan pencemaran air karena

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka

21

pertambangan emas dan tembaga di Papua New Guinea; dan hilangnya

permukaan tanah akibat pertambangan fosfat di Nauru dan Ocean Island.

Pengelolaan pulau-pulau kecil untuk wilayah pertambangan harus dilakukan

dengan pendekatan lingkungan yang didukung pemberdayaan masyarakat lokal

setempat, agar akumulasi modal yang terkumpul dari sumberdaya di kawasan

pulau-pulau kecil dapat dikembalikan ke kemajuan dan kesejahteraan

masyarakat di kawasan pulau-pulau kecil.

Energi Kelautan

Retraubun (2003) menyatakan, luas wilayah laut Indonesia lebih besar

dibandingkan daratan. Hal ini bermakna bahwa potensi energi kelautan memiliki

prospek yang baik sebagai energi alternatif untuk mengantisipasi berkurangnya

minyak bumi, LNG, batubara, dan lain-lain sepanjang kemampuan negara

diarahkan untuk pemanfaatannya. Sumberdaya kelautan yang mungkin

digunakan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah konversi energi panas

samudera atau ocean thermal energy conversion (OTEC), panas bumi

(geothermal), energi kinetik dari gelombang, pasang surut dan arus, serta

konversi energi dari perbedaan salinitas. Keberadaan potensi ini dimasa yang

akan datang semakin signifikan manakala energi yang bersumber dari BBM

(bahan bakar minyak) semakin menipis.

Perairan Indonesia merupakan suatu wilayah perairan yang sangat ideal

untuk mengembangkan sumber energi OTEC. Hal ini dimungkinkan karena salah

satu syarat OTEC adalah adanya perbedaan suhu air (permukaan dengan

lapisan dalam) minimal 20°C dan intensitas gelombang laut sangat kecil

dibanding dengan wilayah perairan tropika lainnya. Dari berbagai sumber

pengamatan oseanografis, telah berhasil dipetakan bagian perairan Indonesia

yang potensial sebagai tempat pengembangan OTEC. Hal ini terlihat dari

banyak laut, teluk serta selat yang cukup dalam di Indonesia memiliki potensi

yang sangat besar bagi pengembangan OTEC. Salah satu pilot plant OTEC

akan dikembangkan di pantai utara Pulau Bali. Sumber energi non konvensional

dari laut lainnya, antara lain energi yang berasal dari perbedaan pasang surut,

dan energi yang berasal dari gelombang. Kedua macam energi tersebut juga

memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan di Indonesia. Kajian terhadap

sumber energi ini seperti yang dilakukan oleh BPPT bekerjasama dengan

Norwegia di Pantai Baron, D.I Yogyakarta. Hasil dari kegiatan ini merupakan

Page 12: BAB II Tinjauan Pustaka

22

masukan yang penting dan pengalaman yang berguna dalam upaya Indonesia

mempersiapkan sumberdaya manusia dalam memanfaatkan energi non

konvensional. Sementara itu, potensi pengembangan sumber energi pasang

surut di Indonesia paling tidak terdapat di dua lokasi, yaitu Bagan Siapi-Api dan

Merauke, karena di kedua lokasi ini kisaran pasang surutnya mencapai 6 meter

(DKP, 2003).

Jasa-jasa Lingkungan

Retraubun (2002) menyatakan, pulau-pulau kecil merupakan suatu

prototype kongkrit dari suatu unit kesatuan utuh dari sebuah ekosistem (suatu

unit utuh suatu ekosistem yang terkecil), yang terdiri dari berbagai komponen

yang ada di dalamnya. Komponen yang sangat signifikan dalam hal ini adalah

komponen masyarakat lpulau kecil yang mempunyai budaya dan kearifan

tradisional tersendiri dan memiliki nilai komoditas wisata yang tinggi. Salah satu

contoh adalah masyarakat Suku Lamalera di Pulau Lembata, Nusa Tenggara

Timur yang mempunyai budaya heroic “berburu ikan paus secara tradisional

(traditional whales hunter)”. Kegiatan berburu paus secara tradisional tersebut

dilakukan setelah melalui ritual-ritual budaya yang sangat khas, yang hanya di

miliki oleh Suku Lamalera, sehingga merupakan daya tarik tersendiri bagi para

wisatawan. Selain itu, pulau-pulau kecil mempunyai potensi wisata teresterial

(wisata dengan pemanfaatan lahan daratannya), yang juga mempunyai daya

tarik tersendiri bagi penikmat pariwisata, mengingat kawasan pulau-pulau kecil

adalah pulau-pulau yang sangat sepi (bahkan tidak terjamah oleh penduduk),

sehingga alamnya masih sangat asri, disamping itu juga akan banyak ditemui

flora-fauna endemik di kawasan tersebut. Sebagai ilustrasi, Kawasan Pulau

Moyo di Nusa Tenggara Barat merupakan kawasan pulau kecil yang dijadikan

sebagai kawasan wisata teresterial karena kawasan ini mempunyai kawasan

hutan yang masih asri. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh para pengusaha

pariwisata untuk dijadikan sebagai kawasan ekowisata teresterial berupa “wisata

camping” yang dikemas secara ekslusif untuk ditawarkan, sehingga di kawasan

tersebut terdapat resort yang tarifnya relatif sangat mahal, yang berkisar US $

150-250 per malam, dengan fasilitas resort yang ditawarkan adalah berupa

tenda-tenda.

DKP (2003), menyatakan bahwa pulau-pulau kecil memberikan jasa-jasa

lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya yang dapat dimanfaatkan terutama

Page 13: BAB II Tinjauan Pustaka

23

untuk pengembangan pariwisata dan pelayaran. Dewasa ini pariwisata berbasis

kelautan (wisata bahari) telah menjadi salah satu produk pariwisata yang menarik

dunia internasional. Pembangunan kepariwisataan bahari pada hakekatnya

adalah upaya untuk mengembangkan dan memanfaatkan objek dan daya tarik

wisata bahari yang terdapat di seluruh pesisir dan lautan Indonesia, yang

terwujud dalam bentuk kekayaan alam yang indah (pantai), keragaman flora dan

fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias yang diperkirakan

sekitar 263 jenis. Beberapa pemanfaatan jasa-jasa lingkungan di pulau-pulau

kecil untuk kegiatan pariwisata meliputi: (1) Wisata Bahari. Kawasan ini

berhubungan sangat erat dengan terumbu karang (coral reef), khususnya hard

corals. Di sisi lain, kondisi pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni, secara

logika akan memberikan kualitas keindahan dan keaslian dari bio-diversity yang

dimilikinya; (2) Wisata Teresterial. Wisata terestrial misalnya adalah Taman

Nasional (TN) Komodo di Nusa Tenggara Timur, sebagai lokasi Situs Warisan

Dunia (World Herritage Site); dan (3) Wisata Kultural. Budaya dan kearifan

tradisional masyarakat lokal mempunyai nilai komoditas wisata yang tinggi

sebagai obyek wisata kultural, seperti misalnya di masyarakat Suku Lamalera di

Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur yang mempunyai budaya heroik berburu

paus secara tradisional (traditional whales hunter).

Sumberdaya Manusia dan Sumberdaya Buatan

Sumberdaya manusia pulau-pulau kecil diarahkan untuk memenuhi

indikator kesejahteraan masyarakat pulau kecil yang diukur dengan kebutuhan

pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, terhindarnya

dari resiko-resiko lingkungan, dan tetap lestarinya aset pendukung kehidupan

untuk menuju masyarakat pulau yang maju dan mandiri. Kebutuhan dalam

sumberdaya manusia pulau-pulau kecil mencakup beberapa aspek sebagai

berikut: (1) sumberdaya manusia yang handal dan terampil sebagai syarat

mutlak yang harus dipenuhi dalam pengembangan suatu wilayah, mengingat

kawasan ini banyak memiliki permasalahan dan kendala dalam

pengembangannya; (2) berkembangnya mata pencaharian alternatif atau usaha

masyarakat sebagai penunjang keberlanjutan kehidupan di pulau-pulau kecil;

dan (3) peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui pembinaan dan

pendampingan kelembagaan yang sifatnya rutin dan wajib (DKP, 2007).

Page 14: BAB II Tinjauan Pustaka

24

Kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan yang dianut oleh masyarakat

yang dijadikan pegangan oleh seluruh anggota masyarakat dalam mengadakan

transaksi satu sama lainnya, yang tumbuh dan berkembang dari dan dalam

sebuah masyarakat di wilayah tertentu. Kelembagaan menurut Purwaka (2003),

memiliki kapasitas potensial, kapasitas daya dukung, dan kapasitas daya

tampung/daya lentur, dengan kinerja yang merupakan fungsi dari tata

kelembagaan, mekanisme, dan kapasitas kelembagaan yang dimilikinya.

Kearifan lokal, hukum adat dan kelembagaan yang bersifat bottom up dapat

berperan lebih aktif, efisien dan mengikat masyarakat dibandingkan dengan

hukum positif, atau pun kelembagaan yang bersifat top down, yang seringkali

berbenturan dengan masyarakat lokal bahkan adakalanya menimbulkan

terjadinya konflik-konflik horizontal.

Retraubun (2003) menyebutkan kelembagaan masyarakat pulau-pulau

kecil adalah wadah atau institusi lokal yang terbentuk dari aspirasi masyarakat

dalam upaya pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil, yang diharapkan

dapat membantu kelancaran usaha masyarakat lokal dalam hal pengaturan

alokasi sumberdaya meliputi penerapan teknologi, akses permodalan,

penyerapan tenaga kerja, serta pemecahan permasalahan-permasalahan lain

yang kadang kala timbul dalam dengan usaha pengembangan wilayah pulau-

pulau kecil.

2.3 Pengelolaan Pulau-pulau Kecil

Kebijakan pembangunan dengan paradigma daratan di masa lalu

cenderung telah menyebabkan terjadinya miss management dalam pengelolaan

sumberdaya pulau-pulau kecil beserta perairannya. Menurut Retraubun (2002),

apa yang terjadi di masa lampau dalam penerapan model konsep pembangunan

kontinental (land based oriented) di seluruh wilayah Indonesia secara seragam

dan model konsep pembangunan pulau-pulau kecil sesungguhnya merupakan

dua pendekatan yang ekstrim berbeda. Indikasi logis dari kebijakan

pembangunan yang keliru (miss management) dalam pengelolaan pulau-pulau

kecil pada masa lalu menyebabkan kawasan ini berada dalam kondisi: miskinnya

masyarakat pada kawasan ini, kemampuan sumberdaya manusia yang rendah

sebagai akibat kurangnya sentuhan pendidikan formal walaupun kaya dengan

pengetahuan tradisional, sumberdaya alam hayati maupun nir-hayatinya tidak

Page 15: BAB II Tinjauan Pustaka

25

dimanfaatkan secara efisien dan efektif, lingkungan laut maupun daratnya

mengalami kerusakan serius, dan terjadinya kesenjangan pembangunan yang

sangat besar pada pulau kecil dan kontinen.

Martadiningrat (2009), menyatakan bahwa konsep pembangunan

berorientasi ke daratan (land base oriented) adalah konsep pembangunan

nasional Indonesia masa lalu yang berdasarkan wawasan kontinental

(continental pradigm). Konsep ini sesungguhnya kurang tepat, karena jika

ditinjau dari aspek geopolitik maupun geostrategis, pembangunan Indonesia

seharusnya berorientasi kepada pembangunan maritim berdasarkan wawasan

maritim (maritime pradigm). Menurut Buwono (2009), sebagai konsekuensi dari

konsep geopolitik dan geostrategis yang melahirkan konsep wawasan nusantara,

maka Bangsa Indonesia memerlukan perubahan paradigmatis dari semangat

kontinental pembangunan daratan (land base oriented) ke arah pembangunan

kelautan (marine base oriented) sesuai dengan kondisi obyektif bangsa sebagai

negara kepulauan (archipelagic state). Lebih lanjut dinyatakan oleh Muladi

(2009), bergesernya paradigma land base oriented menjadi maritime oriented,

bukan berarti mengabaikan potensi daratan, namun berbagai kegiatan

pembangunan di daratan hendaknya bersifat sinergis dan saling menguatkan

dengan kegiatan pembangunan kelautan.

Pengelolaan pulau-pulau kecil adalah suatu konsekuensi logis, mengingat

negara Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang terdiri ribuan pulau-

pulau kecil. Menurut Wiludjeng (2007), pengelolaan atau manajemen sudah ada

sejak dahulu kala, sejak manusia memenuhi kebutuhannya melalui bantuan

orang lain. Pengelolaan atau manajemen berasal dari kata to manage yang

berarti mengatur atau mengelola. Pengelolaan atau manajemen setidaknya

memiliki unsur-unsur: (1) sebagai proses/usaha/aktivitas; (2) sebagai art atau

seni; (3) terdiri dari individu-individu/orang-orang yang melakukan aktivitas; (4)

menggunakan berbagai sumber-sumber dan faktor-faktor produksi yang tersedia

dengan cara yang efektif dan efisien; serta (5) adanya tujuan yang telah

ditetapkan terlebih dahulu. Purwaka (2003), menyebutkan bahwa manajemen

adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengejawantahan atau

perwujudan, serta pengendalian upaya anggota organisasi dalam proses

penggunaan semua sumberdaya organisasi untuk tercapainya tujuan organisasi

yang telah ditetapkan. Manajemen adalah ilmu dan seni tentang bekerja dengan

dan melalui orang-orang, untuk mencapai tujuan bersama.

Page 16: BAB II Tinjauan Pustaka

26

Menurut Retraubun (2005), dalam merumuskan kebijakan menyangkut

pengelolaan pulau-pulau kecil harus memenuhi segenap kriteria pembangunan

berkelanjutan yakni secara ekonomi efisien dan optimal (economically sound),

secara sosial-budaya berkeadilan dan dapat diterima (socio-culturally acepted

and just), dan secara ekologis tidak melampaui daya dukung lingkungan

(enviromentally friendly). Pengelolaan berkelanjutan pada dasarnya merupakan

strategi pembangunan yang memberikan suatu ambang batas/limit yang tidak

bersifat mutlak/absolut, bahkan cenderung luwes/fleksibel tergantung kondisi

pemanfaatan sumberdaya oleh manusia. Dengan kata lain, manajemen

lingkungan merupakan prasyarat pencapaian pertumbuhan ekonomi yang

sustainable dan manajemen pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang sinergi

dengan manajemen lingkungan.

Bengen (2003), menyatakan bahwa manajemen lingkungan umumnya

meliputi pemantauan dan modifikasi sumberdaya alam sebagaimana dibutuhkan

untuk menghasilkan suatu yang bernilai tambah. Namun demikian sumberdaya

merupakan komponen penentu dalam pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau

kecil tersebut, sehingga manajemen lingkungan dapat disebut sebagai

manajemen hubungan antara manusia dan lingkungan (man-environment).

Pendayagunaan potensi kawasan pulau-pulau kecil yang sesuai daya dukung

lingkungannya adalah bahwa setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan

harus mampu ditolerir oleh kemampuan dan daya dukung wilayah tersebut.

Menurut Dahuri et.al., (2001), pengelolaan berkelanjutan adalah suatu

strategi pemanfaatan ekosistem alamiah yang sedemikian rupa, sehingga

kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia

tidak rusak dan tetap terjaga. Kebijakan pengelolaan sumberdaya pulau-pulau

kecil seyogyanya harus memiliki implikasi terhadap pencegahan kerusakan

sumberdaya sebagai pilihan utama, walaupun modifikasi lingkungan untuk

meningkatkan penyediaan barang dan jasa yang berharga bagi manusia tidak

dapat dihindari.

Pengelolaan pulau-pulau kecil membutuhkan sektor-sektor yang memenuhi

prasyarat industrialisasi berbasis pada kekuatan sumberdaya alam dalam negeri,

sehingga dapat dipilih sebagai sumber pertumbuhan baru yang selanjutnya

tampil menjadi salah satu sektor keunggulan lokal, seperti halnya sektor wisata

bahari. Dahuri (2000), menyatakan bahwa sektor-sektor pembangunan yang

dapat dipilih menjadi sektor keunggulan lokal untuk memulihkan kembali

Page 17: BAB II Tinjauan Pustaka

27

kemampuan dan kapasitas produksi ekonomi nasional dan melepaskan diri dari

ketergantungan ekonomi, mengandung syarat-syarat diantaranya: (1) sektor

tersebut mampu menghasilkan devisa yang cukup besar; (2) permintaan sektor

tersebut di pasaran nasional dan internasional yang tinggi; (3) faktor-faktor

produksi sektor tersebut di dalam negeri relatif tersedia dalam jumlah yang besar;

(4) sektor tersebut dapat menyerap jumlah tenaga kerja lokal yang besar untuk

menekan jumlah pengangguran yang meningkat akibat pertambahan angkatan

kerja baru; (5) sektor tersebut dapat melibatkan partisipasi masyarakat dalam

proses produksi; (6) menarik minat penanaman modal dan investasi yang besar;

serta (7) terbebasnya sektor itu dari hambatan-hambatan berusaha, baik yang

disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi maupun kebijakan dan politik.

Secara politik, Pemerintah Pusat bertindak sebagai penyusun kebijakan

nasional berupa suatu perencanaan pembangunan nasional dalam rangka

mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih

baik dari kondisi saat ini, dengan mendorong pertumbuhan dan berkembangnya

kemampuan suatu komunitas masyarakat baik secara kualitatif maupun

kuantitatif. Bratakusumah dan Riyadi (2005), menyebutkan bahwa kewenangan

dan tanggungjawab Pemerintah Pusat dalam rangka penguatan desentralisasi

penyelenggaraan pemerintahan adalah pada penetapan kebijakan yang bersifat

norma, standar, kriteria, dan prosedur.

2.4 Pengembangan Wisata Bahari di Pulau-pulau Kecil

DKP (2006) menyatakan, bahwa laut Indonesia merupakan bagian

terbesar di kawasan Asia Tenggara yang memiliki potensi wisata bahari yang

beraneka ragam dengan berbagai keunikan yang lebih tinggi dan kelangkaan

yang lebih banyak. Asean yang merupakan bagian dari Asia Tenggara memiliki

potensi pariwisata bahari yang lebih baik dibandingkan dengan kawasan

Mediterranian dan Carribean. Dalam konteks tersebut, Indonesia berpeluang

menjadi salah satu tujuan wisata bahari di pulau-pulau kecil terbesar di dunia,

dengan basis Marine Ecotourism, khususnya dalam pengembangan wisata

bahari, yaitu bagian dari wisata lingkungan atau ekowisata yang kegiatannya

berdasarkan daya tarik kelautan. Kegiatan ini merupakan industri jasa-jasa

kelautan yang kian hari makin menjanjikan. Daya tarik wisata bahari mencakup

kegiatan yang beragam, antara lain perjalanan dengan moda laut, pengamatan

Page 18: BAB II Tinjauan Pustaka

28

kekayaan alam laut dan melakukan kegiatan di laut seperti memancing, selam,

selancar, dayung maupun menyaksikan upacara adat.

Bercermin dari pengalaman negara-negara yang telah mengembangkan

kegiatan wisata bahari di pulau-pulau kecil, terbukti dapat membangkitkan

pengaruh berganda (multiplier effect) yang sangat besar pada kegiatan dan

pertumbuhan ekonomi. Skala nasional menunjukkan bahwa pertumbuhan

ekonomi yang berasal dari wisata bahari memberikan dampak positif bagi neraca

keuangan negara, baik dari sisi pendapatan domestik maupun nasional (GDP

dan GNP). Prediksi pariwisata Indonesia terhadap GNP tahun 2007 menurut

World Tourism Center (WTC) adalah 10,1%. Jumlah tersebut sama dengan US$

67 miliar, dengan jumlah penyerapan tenaga kerja sekitar 8,5 juta orang, yang

pada tahun 1998, bahkan perputaran ekonomi pada sektor pariwisata di dunia

sebesar US$ 4,4 triliun dan menyerap 231 juta tenaga kerja. Mengingat bahwa

potensi pasar regional dan global, untuk industri wisata bahari (marine tourism)

ternyata tumbuh dan berkembang pesat dengan volume permintaan (demand)

yang terus meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan terjadinya persaingan

di sisi penawaran (supply) yang semakin ketat, maka pengembangan wisata

bahari perlu mendapat perhatian yang serius (Kamaluddin, 2002).

DKP (2006), menyebutkan bahwa nilai ekonomi wisata bahari di pulau-

pulau kecil meliputi beberapa hal berikut:

1) Keunggulan komparatif alam Indonesia (khususnya berupa sebaran terumbu

karang di pesisir dan pulau-pulau kecil) merupakan dasar wisata bahari

berbasis ekowisata yang memberikan nilai ekonomi sangat besar bagi

pembangunan daerah dan nasional;

2) Pengembangan dan pembangunan wisata bahari dengan adanya kunjungan

wisatawan memiliki efek ganda atau multiplier effect meliputi:

(1) penyerapan tenaga kerja lokal guna menekan pengangguran;

(2) pelestarian lingkungan perairan yang mendukung kelimpahan

sumberdaya ikan bagi perikanan tangkap dan terjaganya kualitas perairan

dalam mendukung kegiatan budidaya

(3) memacu pertumbuhan ekonomi sektor perikanan lokal seperti berdirinya

industri perikanan rumah tangga masyarakat lokal meliputi penangkapan,

pengolahan dan pemasaran hasil perikanan bagi wisatawan;

(4) memacu pertumbuhan ekonomi melalui perdagangan/niaga berupa

pembelian barang primer (seperti 9 bahan pokok), sekunder (seperti hasil

Page 19: BAB II Tinjauan Pustaka

29

bumi dan kerajinan tangan), dan tersier (seperti jasa atau service

pemandu wisata serta penyewaan alat-alat rekreasi seperti perahu, alat

selam dan lainnya);

(5) pembangunan fasilitas kenyamanan seperti resort dan restoran (oleh

investor), ataupun pemanfaatan home stay dan warung makan milik

masyarakat setempat;

(6) pembukaan jalur transportasi baik udara, laut maupun darat yang

membuka keterisolasian dari lokasi pulau kecil tujuan wisata ke pulau-

pulau kecil di sekitarnya;

(7) masuknya devisa melalui wisatawan asing dan kapal-kapal pesiar yang

melintas dan singgah di Indonesia.

Nilai ekonomi wisata bahari di pulau-pulau kecil dimanfaatkan dengan tetap

mempertimbangkan keterbatasan dan ketersediaan air tawar yang ada di suatu

pulau kecil. Bakosurtanal (1996), menyebutkan bahwa ketersediaan air tawar

merupakan salah satu daya dukung bagi lokasi wisata bahari. Air tawar

diperlukan untuk bermacam kebutuhan seperti bilas, mandi cuci dan kakus

(MCK) dan lain sebagainya. Jarak lokasi dengan sumber air tawar jika kurang

dari 2 km merupakan kondisi yang ideal bagi pariwisata.

Pengembangan kegiatan wisata bahari di pulau-pulau kecil dalam memacu

pertumbuhan ekonomi kawasan membutuhkan kehadiran pihak dunia usaha,

dalam hal ini para investor atau para korporat yang tidak mengejar keuntungan

ekonomi semata, namun memiliki kepedulian terhadap masyarakat dan

lingkungan, seperti melalui program company social responsibility atau CSR,

yang menjadi tuntutan tak terelakkan seiring dengan bermunculannya tuntutan

komunitas terhadap korporat (dunia usaha/perusahaan/investor). Rahman

(2009), menyebutkan bahwa suatu kegiatan disebut CSR ketika dalam

implementasinya di lapangan memiliki sejumlah unsur meliputi: (1) continuity and

suistanability, yaitu berkesinambungan dan berkelanjutannya CSR sebagai suatu

mekanisme kegiatan yang terencana, sistematis, dan dapat dievaluasi; (2)

community empowerment, sebagai indikasi suksesnya CSR dalam terwujudnya

kemandirian yang lebih pada komunitas, jika dibandingkan dengan sebelum CSR

hadir; dan (3) two ways, yang berarti CSR memiliki dua arah sehingga korporat

bukan lagi berperan sebagai komunikator semata, tetapi juga harus mampu

mendengarkan aspirasi dari suatu komunitas, sehingga terjadi adanya suatu

keseimbangan antara kepentingan korporat dan masyarakat lokal.

Page 20: BAB II Tinjauan Pustaka

30

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2004), menyatakan bahwa

pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus berpegang pada prinsip-

prinsip dasar sebagai berikut:

1) Prinsip keseimbangan. Pengelolaan pariwisata di pulau-pulau kecil harus

didasarkan pada komitmen pola keseimbangan antara pembangunan

ekonomi, sosial, budaya dan konservasi.

2) Prinsip partisipasi masyarakat . Pengelolaan pariwisata di pulau-pulau kecil

harus melibatkan masyarakat lokal.

3) Prinsip konservasi. Pengelolaan pariwisata di pulau-pulau kecil harus

memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian

lingkungan (alam dan budaya), sehingga dalam pengembangannya

diselenggarakan secara bertanggung jawab dan mengikuti kaidah-kaidah

ekologi serta peka dan menghormati nilai-nilai sosial-budaya dan tradisi

keagamaan masyarakat setempat.

4) Prinsip keterpaduan. Pengelolaan pariwisata di pulau-pulau kecil harus

direncanakan secara terpadu dengan memperhatikan ekosistem pulau luar

dan disinerjikan dengan pembangunan berbagai sektor.

5) Prinsip penegakan hukum. Pengelolaan pariwisata di pulau-pulau kecil harus

dikembangkan sesuai dengan aturan-aturan hukum yang ada, serta

dilaksanakan dengan penegakan hukum maupun peraturan yang berlaku

untuk menjamin kepastian hukum.

Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor

KM.67/UM.001/MKP/2004 menyatakan pula bahwa kegiatan wisata bahari di

pulau-pulau kecil yang berada dalam kawasan konservasi secara timbal balik

membutuhkan dan menyumbang beragam kebutuhan serta manfaat bagi upaya-

upaya konservasi lingkungan meliputi:

1) penerimaan keuntungan dari sektor wisata bahari merupakan dukungan

secara keuangan/finansial bagi upaya konservasi lingkungan.

2) wisata bahari telah terbukti ditopang oleh perencanaan dan pengelolaan

lingkungan yang komprehensif, pengelolaan sistem yang efisien, bersih dan

aman, yang dilakukan demi menjaga eksistensi industri wisata bahari itu

sendiri.

3) peningkatan kesadaran masyarakat lokal atas pentingnya arti pelestarian

lingkungan, karena wisata bahari berjalan dalam kerangka konservasi

lingkungan sejak lahir hingga mati (from cradle to grave) .

Page 21: BAB II Tinjauan Pustaka

31

Menurut DKP (2006), jika ditinjau dari aspek kepentingan bangsa,

pengembangan kawasan wisata bahari di pulau-pulau kecil dan pulau-pulau kecil

terluar merupakan suatu kegiatan strategis yang sangat besar pengaruhnya

terhadap keberhasilan program-program pembangunan daerah dan nasional

yang berkelanjutan, serta diharapkan dapat mendorong dalam upaya:

1) meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat setempat yang akan

menyokong pertumbuhan ekonomi nasional;

2) meningkatkan ketahanan nasional serta keutuhan bangsa dan negara,

karena kegiatan pariwisata bahari memberikan suatu makna akan eksistensi

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di wilayah tersebut, terutama

pulau-pulau kecil yang terletak di posisi terdepan pada batas demarkasi dan

Zona Ekonomi Eksklusif NKRI.

2.5 Analytical Hierarchy Process (AHP)

Saaty (1993), mengemukakan bahwa Analytical Hierarchy Process atau

AHP merupakan analisis pengambilan keputusan yang dilakukan dengan

menggunakan pendekatan sistem sehingga bisa membantu di dalam melakukan

prediksi untuk mengambil keputusan dengan prinsip dasar meliputi:

1) dekomposisi, yaitu memecahkan persoalan yang utuh menjadi unsur-

unsurnya;

2) comparative judgement, yaitu membuat penilaian tentang kepentingan relatif

dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di

atasnya;

3) synthesis of priority dari setiap matriks pairwise comparison vektor eigen (ciri)

untuk mendapatkan prioritas lokal;

4) logical consistency, yaitu mengelompokkan objek-objek yang serupa sesuai

keseragaman dan relevansinya dengan mencari tingkat hubungan antara

obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu.

Marimin (2004), menyatakan bahwa beberapa keuntungan yang diperoleh

bila memecahkan persoalan dan mengambil keputusan dengan menggunakan

AHP antara lain adalah:

1) kesatuan: AHP memberikan satu model tunggal yang mudah dimengerti,

luwes untuk aneka ragam persoalan tidak terstruktur.

Page 22: BAB II Tinjauan Pustaka

32

2) kompleksitas: AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan

berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.

3) saling ketergatungan: AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-

elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.

4) penyusunan hirarki: AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk

memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan

dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.

5) pengukuran: AHP memberi suatu skala untuk mengukur hal-hal yang

diwujudkan dalam suatu metode untuk menetapkan prioritas.

6) konsistensi: AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan

yang digunakan untuk menetapkan berbagai prioritas.

7) sintesis: AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan

setiap alternatif.

8) tawar-menawar: AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari

berbagai faktor sistem dan memungkinkan organisasi memilih alternatif

terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.

9) penilaian dan konsensus: AHP tidak memaksakan konsensus tetapi

mensintesiskan suatu hasil yang representatif dari penilaian yang berbeda.

10) pengulangan proses: AHP memungkinkan organisasi memperhalus definisi

pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian melalui

pengulangan.

2.6 Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT)

Menurut Rangkuti (2000), analisis SWOT atau Strengths (kekuatan),

Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang), dan Threats (ancaman)

adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi

organisasi/perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat

memaksimalkan strengths (kekuatan) dan opportunities (peluang), namun secara

bersamaan dapat meminimalkan weaknesses (kelemahan) dan threats

(ancaman), sehingga perencana strategis (strategic planner) harus dapat

menganalisis faktor-faktor strategis organisasi/perusahaan dalam kondisi yang

ada saat ini. Analisis SWOT membandingkan antara faktor internal strengths

(kekuatan) dan opportunities (peluang) dengan faktor eksternal weaknesses

(kelemahan) dan threats (ancaman) untuk menghasilkan berbagai kemungkinan

Page 23: BAB II Tinjauan Pustaka

33

alternatif strategi meliputi strategi: Strenghts-Opportunities (SO), Weaknesses-

Opportunities (WO), Strenghts-Treaths (ST) dan Weaknesses- Treaths (WT).

Marimin (2004), menyatakan bahwa dalam membuat keputusan untuk

memilih alternatif strategi sebaiknya diketahui posisi kondisi internal dan

eksternal saat ini. Posisi dimaksud dapat dikelompokkan dalam empat kuadran,

yaitu:

1) Kuadran I: merupakan posisi yang sangat menguntungkan dengan memiliki

peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada.

Strategi yang harus dilakukan adalah strategi agresif.

2) Kuadran II: merupakan posisi yang menghadapi berbagai ancaman, namun

masih memiliki kekuatan internal untuk memanfaatkan peluang jangka

panjang. Strategi yang harus dilakukan adalah strategi diversifikasi.

3) Kuadran III: merupakan posisi yang memiliki peluang yang sangat besar,

namun harus meminimalkan kelemahan internal. Strategi yang harus

dilakukan adalah strategi turn around.

4) Kuadran IV: merupakan posisi yang sangat tidak menguntungkan karena

menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal. Strategi yang harus

dilakukan adalah strategi defensif.

2.7 Pendekatan Sistem untuk Penyusunan Pola Pengelolaan

Purwaka (2008), menyatakan bahwa komponen sumberdaya terdiri atas

tiga komponen, yaitu komponen: sumberdaya manusia (kondisi sosial, ekonomi

dan budaya masyarakat lokal), sumberdaya alam (hayati dan nir hayati) dan

sumberdaya buatan (ilmu pengetahuan dan teknologi, hukum serta

kelembagaan). Sedangkan komponen kegiatan pengelolaan ketiga sumberdaya

dimaksud, terdiri atas tiga komponen pula yaitu komponen: planning and

organizing (pengumpulan, pengolahan, analisis data dan informasi), actuating

(proses pemanfaatan sumberdaya), dan controlling (pengawasan dengan sistem

pemantauan/monitoring, pengendalian/control, dan pengamatan/surveillance).

Berdasarkan kondisi tersebut, maka proses pengambilan keputusan dalam

kegiatan pengelolaan sumberdaya dapat dilakukan dengan melalui pendekatan

segitiga keterpaduan pengelolaan sumberdaya untuk memudahkan

mengalokasikan sumberdaya dalam ruang dan waktu secara berkelanjutan, guna

mewujudkan tujuan-tujuan pengelolaan yang telah ditetapkan secara sistematis.

Page 24: BAB II Tinjauan Pustaka

34

Menurut Tunas (2007), pendekatan sistem adalah suatu cara untuk

menangani suatu masalah, sehingga pendekatan sistem (system approach)

merupakan cara untuk menangani suatu masalah berdasarkan berpikir

kesisteman. Pendekatan sistem terhadap suatu masalah adalah suatu cara

untuk menangani suatu masalah dengan mempertimbangkan semua aspek yang

terkait dengan masalah itu, dan mengkonsentrasikan perhatiannya kepada

interaksi antara aspek-aspek yang terkait dari permasalahan tersebut.

Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan pemecahan masalah yang

dilakukan secara sistematis dan menyeluruh (sistemik). Sistemik yang dimaksud

adalah suatu analisis dan evaluasi yang memperhatikan seluruh faktor yang

dengan masalah dimaksud termasuk keterkaitan antar faktor yang bersangkutan.

Pemecahan masalah dengan menggunakan pendekatan sistem, memperlakukan

dan menganggap masalah yang bersangkutan sebagai suatu sistem, yang

menganggap sistem dimaksud adalah tidak baku, namun merupakan abstraksi

yang dirancang dan dirumuskan berdasarkan kepentingan pemecahan

pemasalahan yang bersangkutan, sebagai suatu masalah yang tidak berdiri

sendiri, tetapi berkaitan dengan masalah lain yang lebih besar jadi bersifat relatif,

tidak mutlak.

Eriyatno (2003), menyatakan bahwa pendekatan sistem (system approach)

tidak hanya mendekati satu segi saja, namun memperhatikan pula beberapa segi

lain secara obyektif, dengan melakukan pengelolaan berbagai fungsi dan elemen

sistem ke dalam kesatuan yang utuh dan terpadu. Metode pendekatan sistem itu

sendiri mencakup beberapa tahapan meliputi:

1) Analisis sebagai upaya untuk dapat memahami kinerja dan tingkah laku

sistem yang mencakup enam tahapan yaitu: (1) analisis kebutuhan,

(2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan alternatif

sistem, (5) determinasi dari realitas fisik, sosial dan politik, serta

(6) penentuan kelayakan ekonomi dan finansial.

2) Permodelan sebagai suatu pemilihan dari karakteristik perwakilan abstrak

yang paling tepat pada situasi yang terjadi. Permodelan mencakup tujuh

tahapan yaitu: (1) seleksi konsep, (2) rekayasa model, (3) implementasi

komputer, (4) validasi model, (5) analisis sensitivitas, (6) analisis stabilitas,

dan (7) aplikasi model.

3) Implementasi dan operasional.

Page 25: BAB II Tinjauan Pustaka

35

Hartrisari (2007) menyatakan pula bahwa, model sistem dinamis

merupakan gambaran dari suatu kondisi/sistem nyata, yang dapat digunakan

untuk mempelajari tingkah laku sistem pada pengujian di berbagai kondisi.

Model dinamis mengorganisasikan struktur, alur informasi dan kebijakan secara

komputerisasi. Simulasi komputer menghasilkan suatu representasi yang dapat

mempelajari kondisi suatu sistem, sekaligus memperlihatkan adanya perubahan

input dalam rangka memperbaiki suatu sistem. Pembuatan model terdiri dari dua

bagian yaitu: (1) bagian konsep, meliputi identifikasi, konseptualisasi dan

simulasi; dan (2) bagian teknik sebagai penerapan dari model yang dibangun.

Keberhasilan implementasi pola pengelolaan dapat dianalisis dengan

menggunakan teknik interpretative structural modelling atau ISM, yang

merupakan suatu permodelan deskriptif yang bernilai efektif bagi proses

perencanaan jangka panjang yang bersifat strategis, karena perencanaan

dimaksud meliputi suatu totalitas sistem yang tidak dapat dianalisis bagian demi

bagian, namun harus dipahami secara keseluruhan (holistik). Teknik ISM adalah

proses pengkajian kelompok (group learning process) di mana model-model

struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem,

melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta

kalimat. Teknik ISM memberikan lingkungan yang sangat sempurna untuk

memperkaya dan memperluas sudut pandang dalam konstruksi sistem yang

cukup kompleks, sehingga dapat menganalisis elemen-elemen sistem serta

memecahkannya dalam bentuk gafik dari hubungan langsung antar elemen dan

tingkat hirarki. Elemen-elemen dapat merupakan tujuan kebijakan, target

organisasi, faktor-faktor penilaian, dan lain-lain, dengan hubungan langsung

dalam konteks-konteks yang beragam (beraitan dengan hubungan kontekstual.

Hal ini menjadi penting, mengingat bahwa dalam perencanaan strategis

umumnya data dan informasi yang tersedia bersifat kualitatif dan normatif

sehingga kurang tepat jika dianalisis dengan menggunakan teknik penelitian

operasional atau metode statistik deskriptif (Eriyatno 2003; Marimin 2004).

Eriyatno (2003) menyatakan bahwa metodologi dan teknik ISM dibagi

menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hirarki dan kalsifikasi sub elemen, dengan

prinsip dasar adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem yang

memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan

untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Struktur dari suatu sistem yang

Page 26: BAB II Tinjauan Pustaka

36

berjenjang diperlukan untuk lebih menjelaskan pemahaman tentang perihal yang

dikaji. Menentukan jenjang dilakukan melalui lima pendekatan kriteria, yaitu:

1) Kekuatan pengikat dalam dan antar kelompok atau tingkat;

2) Frekuensi relatif dari oksilasi (guncangan) di mana tingkat yang lebih rendah

lebih cepat terguncang dari yang di atas;

3) Konteks di mana tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka waktu yang

lebih lambat daripada ruang yang lebih luas;

4) Liputan di mana tingkat yang lebih tinggi mencakup tingkat yang lebih

rendah;

5) Hubungan fungsional, di mana tingkat yang lebih tingi mempunyai peubah

lambat yang mempengaruhi peubah cepat tingkat di bawahnya.

Teknik ISM memberikan basis analisis di mana informasi yang dihasilkan

sangat berguna dalam formulasi kebijakan serta perencanaan strategis yang

dapat dibagi menjadi sembilan elemen meliputi:

1) Sektor masyarakat yang terpengaruh

2) Keutuhan dari program

3) Kendala utama

4) Perubahan yang dimungkinkan

5) Tujuan dari program

6) Tolok ukur untuk setiap tujuan

7) Aktivitas yang dibutuhkan

8) Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai

9) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program