BAB II Tinjauan Pustaka
-
Upload
dhita-rurin-adistyaningsih -
Category
Documents
-
view
92 -
download
1
Transcript of BAB II Tinjauan Pustaka
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Batasan, Pemanfaatan, dan Karakteristik Pulau-pulau Kecil Definisi pulau secara umum menurut UNCLOS (1982) adalah: An island is
a naturally formed area of land, surrounded by water, which is above water at
high tide, yang memiliki arti bahwa pulau adalah suatu wilayah atau area tanah
(daratan) yang terbentuk secara alami, dikelilingi air, yang berada di atas muka
air pada pasang surut tinggi (tidak boleh tenggelam jika air dalam keadaan
pasang tertinggi). Undang-Undang No. 27 Tahun 2007, menyatakan bahwa
pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.20/MEN/2008,
menyatakan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya
dilakukan untuk kepentingan pembangunan di bidang ekonomi, sosial dan
budaya dengan berbasis masyarakat dan secara berkelanjutan, yang dilakukan
dengan memperhatikan aspek: (1) keterpaduan antara kegiatan Pemerintah
Pusat dengan Pemerintah Daerah, antar Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan
masyarakat (termasuk pemangku kepentingan lainnya seperti perguruan tinggi,
lembaga swadaya masyarakat, para tokoh masyarakat dan tokoh agama) dalam
perencanaan dan pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil dan perairan di
sekitarnya; (2) kepekaan/kerentanan ekosistem suatu kawasan yang berupa
daya dukung lingkungan, dan sistem tata air suatu pulau kecil; (3) ekologis yang
mencakup fungsi perlindungan dan konservasi; (4) kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat; (5) politik yang mencakup fungsi pertahanan, keamanan, dan
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (6) teknologi ramah
lingkungan; serta (7) budaya dan masyarakat adat, masyarakat lokal, serta
masyarakat tradisional
(dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya, yang
pemanfaatannya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara
menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya. Pemanfataan pulau-
pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih
kepentingan sebagai berikut: (1) konservasi; (2) pendidikan dan pelatihan; (3)
penelitian dan pengembangan; (4) budidaya laut; (5) pariwisata; (6) usaha
perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari; (7) pertanian
organik; dan/atau (8) peternakan.
12
Departemen Kelautan dan Perikanan atau DKP (2007), menyatakan
bahwa pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki arti penting atas beberapa fungsi
yaitu:
1) Fungsi Politik. Pulau-pulau kecil terutama di perbatasan dari sudut
pertahanan dan keamanan memiliki arti penting sebagai bukti kedaulatan
negara, serta merupakan garda depan dalam menjaga dan melindungi
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2) Fungsi Ekonomi. Wilayah pulau-pulau kecil memiliki peluang yang besar
untuk dikembangkan sebagai wilayah bisnis-bisnis potensial yang berbasis
pada sumberdaya (resource based industry) seperti industri perikanan,
pariwisata, jasa transportasi, industri olahan dan industri-industri lainnya yang
ramah lingkungan sebagai pendukung pertumbuhan wilayah;
3) Fungsi Sosial Budaya. Masyarakat pulau-pulau kecil memiliki kondisi sosial
budaya yang bersifat khas (berupa keberadaan hukum adat dan hak ulayat)
dibandingkan dengan pulau induknya, namun karena letak dan posisi
geografis pulau-pulau kecil yang relatif terisolir menyebabkan timbulnya
disparitas perkembangan sosial budaya akibat persebaran penduduk yang
tidak merata antara pulau-pulau besar yang menjadi pusat pertumbuhan
wilayah dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya.
4) Fungsi Ekologi. Ekosistem laut dan pulau-pulau kecil berfungsi sebagai
pengatur iklim global, siklus hidrologi dan bio-geokimia, penyerap limbah,
sumber plasma nutfah, sumber energi alternatif, dan sistem penunjang
kehidupan lainnya.
Retraubun (2002), menyatakan bahwa pulau atau kepulauan yang terdapat
di dunia dapat digolongkan ke dalam beberapa tipe, berdasarkan pada proses
geologinya, meliputi:
1) Pulau Benua (Continental Islands). Pulau benua terbentuk sebagai bagian
dari benua, dan setelah itu terpisah dari daratan utama. Tipe batuan dari
pulau benua adalah batuan yang kaya dengan silica. Biota yang terdapat di
pulau-pulau tipe ini sama dengan yang terdapat di daratan utama. Contoh
dari pulau tipe dimaksud adalah Madagaskar (dari Afrika), Caledonia Baru
(dari Australia), Selandia Baru (dari Antartika), Seychelles (dari Afrika). Ada
pula pulau benua bersatu dengan benua pada zaman Pleistocene, kemudian
berpisah pada zaman Holocene ketika muka laut meninggi. Contoh dari
pulau jenis ini adalah Kepulauan Inggris, Srilangka, Fauklands, Jepang,
13
Tanah Hijau, Filipina, Taiwan, Tasmania. Di Indonesia, pulau tipe ini adalah
Kepulauan Sunda Besar (Sumatra, Jawa, Kalimantan) dan Pulau Papua.
2) Pulau Vulkanik (Volcanic Islands). Pulau vulkanik sepenuhnya terbentuk dari
kegiatan gunung berapi, yang timbul secara perlahan-lahan dari dasar laut ke
permukaan. Pulau jenis ini tidak pernah merupakan bagian dari daratan
benua, dan terbentuk di sepanjang pertemuan lempeng-lempeng tektonik,
dimana lempeng-lempeng tersebut saling menjauh. Tipe batuan dari pulau
tipe ini adalah basalt, silica (kadar rendah). Contoh pulau vulkanik terdapat di
daerah pertemuan lempeng benua adalah Kepulauan Sunda Kecil (Bali,
Lombok, Sumba, Sumbawa, Flores, Wetar, dan Timor). Ada pula pulau
vulkanik yang membentuk untaian pulau-pulau dan titik gunung api dan
terdapat di bagian tengah lempeng benua. Contoh dari pulau tipe ini adalah:
Kepulauan Austral-Cook, Galapagos, Hawaii, Marquesas, Aleutian, Antiles
Kecil, Solomon, dan Tonga.
3) Pulau Karang Timbul (Raised Coral Islands). Pulau karang timbul adalah
pulau yang terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas
permukaan laut karena adanya gerakan ke atas dan gerakan ke bawah dari
dasar laut karena proses geologi. Pada saat dasar laut berada di dekat
permukaan laut (kurang dari 40 m), terumbu karang mempunyai kesempatan
untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik tersebut. Setelah
berada di atas permukaan laut, terumbu karang akan mati dan menyisakan
rumahnya dan membentuk pulau karang. Jika proses ini berlangsung terus,
maka akan terbentuk pulau karang timbul. Pada umumnya, karang yang
timbul ke permukaan laut berbentuk teras-teras seperti sawah di
pegunungan. Proses ini dapat terjadi pada pulau-pulau vulkanik maupun non-
vulkanik. Pulau karang timbul ini banyak ditemui di perairan timur Indonesia
(seperti di Laut Seram, Sulu, dan Banda), serta di baratlaut Papua, Sulawesi,
Kepulauan Sunda Kecil, dan sebelah barat Sumatra. Contoh pulau karang
timbul ini adalah: Kepulauan Sangihe, Solor, Alor, dan Lembata.
4) Pulau Daratan Rendah (Low Islands). Pulau daratan rendah adalah pulau
dimana ketinggian daratannya dari muka laut tidak besar. Pulau ini dapat
berasal dari pulau-pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Pulau-pulau dari tipe
ini merupakan tipe pulau yang paling rawan terhadap bencana alam, seperti
taufan atau tsunami. Karena pulau tersebut relatif datar dan rendah, maka
massa air dari bencana alam yang datang ke pulau tersebut akan masuk jauh
14
ke tengah pulau. Contoh pulau daratan rendah adalah Kepulauan Seribu di
utara Teluk Jakarta.
5) Pulau Atol (Atolls). Pulau Atol adalah pulau (pulau karang) yang berbentuk
cincin. Pada umumnya pulau atol ini adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi
oleh terumbu karang membentuk fringing reef, kemudian berubah menjadi
barrier reef, dan akhirnya berubah menjadi pulau atol. Proses pembentukan
tersebut disebabkan oleh adanya gerakan ke bawah dari pulau vulkanik
semula, dan oleh pertumbuhan vertikal dari terumbu karang. Contoh pulau
atol di Indonesia adalah pulau-pulau di Kepulauan Tukang Besi, Sulawesi
Tenggara.
Retraubun (2005), menyatakan bahwa beberapa karakteristik pulau-pulau
kecil yang dapat menjadi kendala pengembangannya antara lain adalah: (1)
Ukuran yang kecil dan terisolasi menyebabkan sangat mahalnya sarana dan
prasarana, serta minimnya sumberdaya manusia yang handal; (2) Kesulitan atau
ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan
menguntungkan (dalam hal administrasi, usaha produksi, dan transportasi); (3)
Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang ada pada
akhirnya akan menentukan daya dukung suatu sistem pulau-pulau kecil dalam
menopang kehidupan manusia dan kegiatan pengembangannya; (4)
Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang ada saling terkait
satu sama lain secara erat. Keberhasilan usaha pertanian, perkebunan atau
kehutanan di lahan darat yang melupakan prinsip-prinsip ekologis, dapat
mengakibatkan kematian/kerusakan pada industri perikanan pantai dan
pariwisata bahari di pulau-pulau kecil; dan (5) Budaya lokal yang kadangkala
bertentangan dengan kegiatan pembangunan (terutama pariwisata), karena
budaya wisatawan (asing) yang tidak sesuai dengan adat atau agama setempat.
2.2 Potensi Sumberdaya Pulau-pulau Kecil Terumbu Karang (Coral Reefs)
Terumbu karang (coral reefs) terbentuk dari endapan-endapan masif
kalsium karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk
terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, Ordo Scleractinia yang hidup
bersimbiose dengan alga bersel satu Zooxanthellae, dan sedikit tambahan dari
algae berkapur serta organisme lain yang mensekresi kalsium karbonat. Karang
15
dapat hidup berkoloni atau sendiri, tetapi hampir semua karang hermatipik
merupakan koloni. Jaringan tubuh karang terdiri atas ektoderm, mesoglea, dan
endoderm. Ektoderm merupakan jaringan terluar yang mempunyai cilia, kantung
lendir (mucus), dan sejumlah nematokis. Mesoglea adalah jaringan yang terletak
antara ektoderm dan endoderm dan berbentuk seperti agar-agar. Endoderm
merupakan jaringan yang paling dalam dan sebagian besar berisi zooxanthellae.
Karang hidup menempel pada substrat seperti batu atau dasar yang keras dan
berkelompok membentuk koloni menjadi terumbu (Nybakken, 1988).
Ekosistem terumbu karang terdapat di lingkungan perairan yang agak
dangkal dan merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan paling tinggi
keanekaragaman hayatinya. Pertumbuhan maksimum kehidupan terumbu
karang berada pada perairan yang jernih, suhu yang hangat, gerakan gelombang
yang cukup besar dengan sirkulasi yang lancar agar terhindar dari proses
sedimentasi. Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling produktif
dan paling tinggi keanekaragaman hayatinya. Produksi primer kotor di daerah
terumbu karang rata-rata bervariasi dari 300-5.000 gram karbon per meter bujur
sangkar per tahun (gC/m2/tahun), sebagai pembanding, produktivitas laut lepas
hanya berkisar 50-100 gC/m2
1). Fungsi pariwisata berupa keindahan karang, kekayaan biologi, dan
kejernihan air yang membuat kawasan terumbu karang terkenal sebagai
tempat rekreasi, skin diving atau snorkeling, scuba diving dan fotografi;
/tahun. Potensi lestari sumberdaya perikanan
karang di perairan Indonesia sebesar 75.875 ton/tahun, sedangkan potensi
perikanan laut (tuna/cakalang, udang, demersal, pelagis kecil dan lainnya) sekitar
4,948,824 ton/tahun. Perairan Indonesia memiliki sekitar 350 spesies karang
keras yang termasuk ke dalam 75 genera (Supriharyono, 2000).
DKP (2007), menyebutkan terumbu karang sangat bermanfaat bagi
manusia dan sedikitnya memiliki empat fungsi meliputi:
2). Fungsi perikanan, sebagai tempat ikan-ikan karang ekonomis tinggi yang
menjadi target penangkapan. Jumlah produksi ikan, kerang, dan kepiting dari
ekosistem terumbu karang secara lestari di seluruh dunia dapat mencapai 9
juta ton atau sedikitnya 12% dari jumlah tangkapan perikanan dunia.
Terumbu karang dalam kondisi yang sangat baik mampu menghasilkan
sekitar 18 ton/km2/tahun, terumbu karang dalam kondisi baik mampu
menghasilkan 13 ton/km2/tahun, dan terumbu karang dalam kondisi yang
cukup baik mampu menghasilkan 8 ton/km2/tahun;
16
3). Fungsi pelindung pantai, sebagai terumbu tepi (fringing reef) dan terumbu
penghalang (barrier reef) terumbu karang merupakan pemecah gelombang
alami yang melindungi pantai dari erosi, banjir pantai, dan peristiwa
perusakan lain yang diakibatkan oleh fenomena air laut. Terumbu karang
juga memberikan kontribusi untuk penumpukan pantai dengan memberikan
pasir untuk pantai dan memberikan perlindungan terhadap desa-desa dan
infrastruktur seperti jalan dan bangunan-bangunan lain yang berada di
sepanjang pantai. Apabila dirusak, maka diperlukan milyaran rupiah untuk
membuat penghalang buatan yang setara dengan bentuk lahan terumbu
karang dimaksud;
4). Fungsi keanekaragaman hayati (biodiversity), dimana ekosistem terumbu
karang memiliki produktivitas dan keanekaragaman jenis biota yang tinggi.
Produktivitas terumbu karang yang tinggi memungkinkan kawasan dimaksud
sebagai tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground)
dan mencari makan (feeding ground) dari kebanyakan jenis ikan, yang
secara otomatis membuat produksi ikan di daerah ini pun menjadi tinggi.
Selain itu, terumbu karang berfungsi pula sebagai pelindung pantai dari
abrasi, dan dari segi sosial ekonomi, terumbu karang adalah sumber
perikanan yang produktif dalam meningkatkan pendapatan nelayan,
penduduk pesisir dan pulau-pulau kecil, serta dapat menjadi sumber
pemasukan devisa bagi negara yang berasal dari perikanan dan pariwisata.
Dewasa ini, ditenggarai berbagai jenis biota yang hidup pada ekosistem
terumbu karang ternyata banyak mengandung senyawa bioaktif sebagai
bahan obat-obatan, makanan dan kosmetika.
Padang Lamun (Seagrass Beds)
DKP (2007), menyebutkan bahwa lamun merupakan tumbuhan berbiji
tunggal (monokotil) dari kelas angiospermae yang memiliki rhizoma, daun dan
akar sejati yang hidup terendam di dalam laut. Lamun mengkolonisasi suatu
daerah melalui penyebaran buah (propagule) yang dihasilkan secara sexual
(dioecious). Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut
yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari untuk mendukung
pertumbuhannya. Padang lamun di perairan Indonesia sering dijumpai
berdekatan dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang, sehingga interaksi
ketiga ekosistem ini satu sama lain sangat erat. Struktur komunitas dan sifat fisik
17
ketiga ekosistem ini saling mendukung, sehingga bila salah satu ekosistem
terganggu, ekosistem yang lain pun akan terpengaruh. Fungsi padang lamun di
antaranya adalah menangkap sedimen, menstabilkan substrat dasar dan
menjernihkan air, sumber makanan dan habitat beberapa jenis hewan air, serta
menjadi substrat organisme yang menempel. Meskipun produktivitas primer
komunitas lamun mencapai 1 kg C/m2/thn, dari jumlah tersebut hanya sekitar 3%
yang dimanfaatkan oleh herbivora, 37% tenggelam ke perairan dan dimanfaatkan
oleh benthos, dan 12% mengapung di permukaan dan hilang dari ekosistem.
Padang lamun mendukung kehidupan biota yang beragam, berhubungan satu
sama lain dengan jaringan makanan yang kompleks.
Menurut Supriharyono (2000), padang lamun (seagrass beds) merupakan
ekosistem yang memiliki arti penting secara ekologis dan ekonomis dengan
fungsi meliputi:
1). Sebagai perangkap sedimen yang kemudian diendapkan dan distabilkan
serta menjernihkan air,
2). Lamun segar merupakan makanan bagi ikan duyung (hewan menyusui),
penyu laut, bulu babi, dan beberapa jenis ikan. Padang lamun merupakan
daerah pengembalaan (grazing ground) yang penting artinya bagi hewan-
hewan laut tersebut. Ikan laut lain dan udang tidak makan daun segar tapi
serasah (detritus) dari lamun. Detritus ini dapat tersebar luas oleh arus ke
perairan di sekitar padang lamun,
3). Merupakan habitat bagi bermacam-macam ikan (umumnya ikan berukuran
kecil) dan udang,
4). Pada permukaan daun lamun hidup melimpah ganggang-ganggang renik
(biasanya ganggang bersel tunggal), hewan-hewan renik, dan mikroba yang
merupakan makanan bagi bermacam jenis ikan yang hidup di padang lamun,
5). Banyak jenis ikan dan udang yang hidup di perairan sekitar padang lamun
menghasilkan larva yang bermigrasi ke padang lamun untuk tumbuh besar.
Bagi larva-larva ini padang lamun memang menjanjikan kondisi lingkungan
yang optimal bagi pertumbuhannya. Dengan demikian perusakan padang
lamun berarti merusak daerah asuhan (nursery ground) larva-larva tersebut,
6). Daun lamun berperan sebagai tudung pelindung yang menutupi penghuni
padang lamun dari sengatan sinar matahari,
18
7). Tumbuhan lamun dapat digunakan sebagai bahan makanan dan pupuk
misal: samo-samo (enhalus acoroides) oleh penduduk Kepulauan Seribu
telah dimanfaatkan bijinya sebagai bahan makanan.
Hutan Bakau (Mangrove)
Hutan bakau (mangrove) merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang
didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Beberapa manfaat
hutan mangrove diantaranya adalah: (1) kayunya memiliki kalori yang tinggi
sehingga dapat digunakan menjadi kayu bakar atau arang; (2) kulit kayunya
merupakan sumber tannin, lem ply wood, dan zat pewarna; (3) daunnya dapat
digunakan sebagai obat tradisional dan juga sebagai makanan ternak;
(4) akarnya efektif untuk menangkap sedimen, memperlambat kecepatan arus
dan erosi pantai; (5) tempat mencari makan dan berlindung berbagai juvenile
ikan dan hewan lainnya; dan (6) merupakan suatu penyangga antara komunitas
lautan dan pesisir. Hutan bakau merupakan ekosistem pesisir yang mempunyai
produktivitas tinggi mencapai 5.000 gC/m2
DKP (2003), menyatakan bahwa secara ekologis, pulau-pulau kecil di
daerah tropis dan subtropis sangat berasosiasi dengan terumbu karang,
/tahun (Supriharyono, 2000).
Hutan bakau kadang disebut juga hutan payau atau hutan pasang surut,
umumnya memiliki vegetasi yang terdiri atas jenis-jenis yang selalu hijau
(evergreen plant) dari beberapa jenis tanaman yaitu Avicennia dan Rhizophora.
Perakaran hutan bakau yang kokoh memiliki kemampuan untuk meredam
pengaruh gelombang, menahan lumpur, dan melindungi pantai dari erosi,
gelombang pasang, dan angin topan. Hutan bakau (mangrove) memiliki
beberapa fungsi diantaranya adalah: (1) secara fisik, dengan menjaga dan
menstabilkan garis pantai dan tepian sungai, serta mempercepat pertumbuhan
lahan baru; (2) secara biologi, yaitu sebagai tempat asuhan (nursery ground),
mencari makan (feeding ground), tempat berkembang biak berbagai jenis
crustacea, ikan, burung, anggrek dan paku pakis; (3) merupakan penghasil zat
hara seperti nitrogen, magnesium, natrium, kalsium, fosfor dan sulfur; (4)
pemanfaatan secara ekonomi dengan tujuan budidaya ikan, udang, kepiting, dan
tiram; serta (5) berpotensi sebagai kawasan pariwisata (Bengen, 2003).
Sumberdaya Ikan
19
sehingga kawasan ini memiliki spesies-spesies ekonomis yang menggunakan
karang sebagai habitatnya seperti ikan kerapu, napoleon, kima raksasa (Tridacna
gigas), teripang dan lain-lain. Komoditas dimaksud dapat dikatakan sebagai
komoditas spesifik pulau kecil, dengan ciri utama memiliki sifat penyebaran yang
bergantung pada terumbu karang sehingga keberlanjutan stoknya dipengaruhi
oleh kesehatan karang. Potensi sektor kelautan dan perikanan mencakup potensi
perikanan tangkap dan budidaya laut di kawasan pulau-pulau kecil secara
keseluruhan memiliki nilai sekitar US$ 72 milyar pertahun.
Menurut Dahuri (2003), rendahnya produktivitas perikanan tangkap di
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil nelayan disebabkan karena tiga faktor
utama meliputi: (1) sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional
dengan teknologi penangkapan yang tradisional pula, sehingga kapasitas
tangkapnya rendah. Hanya sekitar 17 persen dari total armada perikanan
nasional yang dapat dikategorikan sebagai nelayan modern. Hal ini sekaligus
mencerminkan rendahnya kualitas sumberdaya manusia nelayan dan
kemampuan IPTEK penangkapan ikan; (2) adanya ketimpangan tingkat
pemanfaatan stok ikan antara satu kawasan dengan kawasan perairan laut
lainnya. Di satu pihak, terdapat kawasan-kawasan perairan yang stok ikannya
sudah mengalami kondisi overfishing, seperti Selat Malaka, Pantai Utara Jawa,
Selat Bali, dan Selatan Sulawesi; dan sebaliknya masih cukup banyak kawasan
perairan laut yang tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya belum optimal atau
bahkan belum terjamah sama sekali; dan (3) telah terjadinya kerusakan
lingkungan ekosistem laut, seperti kerusakan hutan mangrove, terumbu karang,
dan padang lamun (seagrass beds), yang padahal mereka itu merupakan tempat
(habitat) ikan dan organisme laut lainnya berpijah, mencari makan, atau
membesarkan diri (nursery ground). Kerusakan lingkungan laut ini juga
disebabkan oleh pencemaran baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat
maupun di laut.
Sedangkan dalam usaha budidaya perikanan, faktor-faktor yang
menyebabkan rendahnya produktivitas meliputi: (1) kemampuan teknologi
budidaya (mencakup pemilihan induk, pemijahan, penetasan, pembuahan,
pemeliharaan larva, pendederan, pembesaran, manajemen kualitas air,
manajemen pemberian pakan, genetika (breeding), manajemen kesehatan ikan,
dan teknik perkolaman) sebagian besar pembudidaya ikan masih rendah; (2)
kompetisi penggunaan ruang (lahan perairan) antara usaha budidaya perikanan
20
dengan kegiatan pembangunan lainnya (pemukiman, industri, pertambangan,
dan lainnya) pada umumnya merugikan usaha budidaya perikanan. Belum ada
Pemerintah Daerah (propinsi atau kabupaten/kodya) yang menjadikan kawasan
budidaya perikanan (tambak udang) sebagai kawasan khusus/tertentu, yang
harus dilindungi dari segenap upaya konversi lahan atau pencemaran, dalam tata
ruangnya; (3) semakin memburuknya kualitas air sumber untuk budidaya
perikanan, khususnya di kawasan padat penduduk atau tinggi intensitas
pembangunannya, sehubungan dengan berkembangnya kegiatan industri,
pertanian, dan rumah tangga (pemukiman dan perkotaan) yang tidak ramah
lingkungan atau membuang limbahnya ke lingkungan alam (perairan) tanpa
memenuhi ambang batas baku mutu air buangan limbah; dn (4) struktur dan
mekanisasi diseminasi teknologi yang lemah disebabkan kelangkaan tenaga
penyuluh perikanan serta tenaga penyuluh pertanian, sehingga tingkat inovasi
teknologi sulit ditingkatkan (Dahuri, 2003).
Pertambangan
Aktivitas pertambangan banyak dilakukan di negara-negara pulau kecil di
dunia maupun di Indonesia pada provinsi-provinsi tertentu. Struktur batuan dan
geologi pulau-pulau kecil di Indonesia adalah struktur batuan tua yang
diperkirakan mengandung deposit bahan-bahan tambang/mineral penting seperti
emas, mangan, nikel dan lain-lain. Beberapa aktivitas pertambangan baik tahap
penyelidikan umum, eksplorasi maupun eksploitasi di pulau-pulau kecil antara
lain yaitu: (1) timah di Pulau Kundur dan Pulau Karimun (Riau); (2) nikel di Pulau
Gag (Papua), Pulau Gebe (Maluku Utara), dan Pulau Pakal (Maluku); (3)
batubara di Pulau Laut dan Pulau Sebuku (Kalsel); (4) emas di Pulau Wetar dan
Pulau Aruku (Maluku), dan (5) migas di Pulau Natuna (Riau) (DKP, 2003).
Retraubun (2003), menyebutkan bahwa beberapa negara-negara pulau
kecil memiliki aktivitas pertambangan yang tinggi seperti di Nauru (fosfat),
Kriribati (fosfat), Fiji (emas) dan New Caledonia (Nikel). Bahkan New Caledonia
di tahun 1980an merupakan negara produser nikel terbesar nomor 2 di dunia
sesudah Kanada. Walaupun demikan, banyak contoh kerusakan lingkungan
akibat aktivitas tersebut, misalnya erosi tanah dan pencemaran pesisir karena
pertambangan nikel di New Caledonia; erosi tanah dan pencemaran air karena
21
pertambangan emas dan tembaga di Papua New Guinea; dan hilangnya
permukaan tanah akibat pertambangan fosfat di Nauru dan Ocean Island.
Pengelolaan pulau-pulau kecil untuk wilayah pertambangan harus dilakukan
dengan pendekatan lingkungan yang didukung pemberdayaan masyarakat lokal
setempat, agar akumulasi modal yang terkumpul dari sumberdaya di kawasan
pulau-pulau kecil dapat dikembalikan ke kemajuan dan kesejahteraan
masyarakat di kawasan pulau-pulau kecil.
Energi Kelautan
Retraubun (2003) menyatakan, luas wilayah laut Indonesia lebih besar
dibandingkan daratan. Hal ini bermakna bahwa potensi energi kelautan memiliki
prospek yang baik sebagai energi alternatif untuk mengantisipasi berkurangnya
minyak bumi, LNG, batubara, dan lain-lain sepanjang kemampuan negara
diarahkan untuk pemanfaatannya. Sumberdaya kelautan yang mungkin
digunakan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah konversi energi panas
samudera atau ocean thermal energy conversion (OTEC), panas bumi
(geothermal), energi kinetik dari gelombang, pasang surut dan arus, serta
konversi energi dari perbedaan salinitas. Keberadaan potensi ini dimasa yang
akan datang semakin signifikan manakala energi yang bersumber dari BBM
(bahan bakar minyak) semakin menipis.
Perairan Indonesia merupakan suatu wilayah perairan yang sangat ideal
untuk mengembangkan sumber energi OTEC. Hal ini dimungkinkan karena salah
satu syarat OTEC adalah adanya perbedaan suhu air (permukaan dengan
lapisan dalam) minimal 20°C dan intensitas gelombang laut sangat kecil
dibanding dengan wilayah perairan tropika lainnya. Dari berbagai sumber
pengamatan oseanografis, telah berhasil dipetakan bagian perairan Indonesia
yang potensial sebagai tempat pengembangan OTEC. Hal ini terlihat dari
banyak laut, teluk serta selat yang cukup dalam di Indonesia memiliki potensi
yang sangat besar bagi pengembangan OTEC. Salah satu pilot plant OTEC
akan dikembangkan di pantai utara Pulau Bali. Sumber energi non konvensional
dari laut lainnya, antara lain energi yang berasal dari perbedaan pasang surut,
dan energi yang berasal dari gelombang. Kedua macam energi tersebut juga
memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan di Indonesia. Kajian terhadap
sumber energi ini seperti yang dilakukan oleh BPPT bekerjasama dengan
Norwegia di Pantai Baron, D.I Yogyakarta. Hasil dari kegiatan ini merupakan
22
masukan yang penting dan pengalaman yang berguna dalam upaya Indonesia
mempersiapkan sumberdaya manusia dalam memanfaatkan energi non
konvensional. Sementara itu, potensi pengembangan sumber energi pasang
surut di Indonesia paling tidak terdapat di dua lokasi, yaitu Bagan Siapi-Api dan
Merauke, karena di kedua lokasi ini kisaran pasang surutnya mencapai 6 meter
(DKP, 2003).
Jasa-jasa Lingkungan
Retraubun (2002) menyatakan, pulau-pulau kecil merupakan suatu
prototype kongkrit dari suatu unit kesatuan utuh dari sebuah ekosistem (suatu
unit utuh suatu ekosistem yang terkecil), yang terdiri dari berbagai komponen
yang ada di dalamnya. Komponen yang sangat signifikan dalam hal ini adalah
komponen masyarakat lpulau kecil yang mempunyai budaya dan kearifan
tradisional tersendiri dan memiliki nilai komoditas wisata yang tinggi. Salah satu
contoh adalah masyarakat Suku Lamalera di Pulau Lembata, Nusa Tenggara
Timur yang mempunyai budaya heroic “berburu ikan paus secara tradisional
(traditional whales hunter)”. Kegiatan berburu paus secara tradisional tersebut
dilakukan setelah melalui ritual-ritual budaya yang sangat khas, yang hanya di
miliki oleh Suku Lamalera, sehingga merupakan daya tarik tersendiri bagi para
wisatawan. Selain itu, pulau-pulau kecil mempunyai potensi wisata teresterial
(wisata dengan pemanfaatan lahan daratannya), yang juga mempunyai daya
tarik tersendiri bagi penikmat pariwisata, mengingat kawasan pulau-pulau kecil
adalah pulau-pulau yang sangat sepi (bahkan tidak terjamah oleh penduduk),
sehingga alamnya masih sangat asri, disamping itu juga akan banyak ditemui
flora-fauna endemik di kawasan tersebut. Sebagai ilustrasi, Kawasan Pulau
Moyo di Nusa Tenggara Barat merupakan kawasan pulau kecil yang dijadikan
sebagai kawasan wisata teresterial karena kawasan ini mempunyai kawasan
hutan yang masih asri. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh para pengusaha
pariwisata untuk dijadikan sebagai kawasan ekowisata teresterial berupa “wisata
camping” yang dikemas secara ekslusif untuk ditawarkan, sehingga di kawasan
tersebut terdapat resort yang tarifnya relatif sangat mahal, yang berkisar US $
150-250 per malam, dengan fasilitas resort yang ditawarkan adalah berupa
tenda-tenda.
DKP (2003), menyatakan bahwa pulau-pulau kecil memberikan jasa-jasa
lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya yang dapat dimanfaatkan terutama
23
untuk pengembangan pariwisata dan pelayaran. Dewasa ini pariwisata berbasis
kelautan (wisata bahari) telah menjadi salah satu produk pariwisata yang menarik
dunia internasional. Pembangunan kepariwisataan bahari pada hakekatnya
adalah upaya untuk mengembangkan dan memanfaatkan objek dan daya tarik
wisata bahari yang terdapat di seluruh pesisir dan lautan Indonesia, yang
terwujud dalam bentuk kekayaan alam yang indah (pantai), keragaman flora dan
fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias yang diperkirakan
sekitar 263 jenis. Beberapa pemanfaatan jasa-jasa lingkungan di pulau-pulau
kecil untuk kegiatan pariwisata meliputi: (1) Wisata Bahari. Kawasan ini
berhubungan sangat erat dengan terumbu karang (coral reef), khususnya hard
corals. Di sisi lain, kondisi pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni, secara
logika akan memberikan kualitas keindahan dan keaslian dari bio-diversity yang
dimilikinya; (2) Wisata Teresterial. Wisata terestrial misalnya adalah Taman
Nasional (TN) Komodo di Nusa Tenggara Timur, sebagai lokasi Situs Warisan
Dunia (World Herritage Site); dan (3) Wisata Kultural. Budaya dan kearifan
tradisional masyarakat lokal mempunyai nilai komoditas wisata yang tinggi
sebagai obyek wisata kultural, seperti misalnya di masyarakat Suku Lamalera di
Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur yang mempunyai budaya heroik berburu
paus secara tradisional (traditional whales hunter).
Sumberdaya Manusia dan Sumberdaya Buatan
Sumberdaya manusia pulau-pulau kecil diarahkan untuk memenuhi
indikator kesejahteraan masyarakat pulau kecil yang diukur dengan kebutuhan
pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, terhindarnya
dari resiko-resiko lingkungan, dan tetap lestarinya aset pendukung kehidupan
untuk menuju masyarakat pulau yang maju dan mandiri. Kebutuhan dalam
sumberdaya manusia pulau-pulau kecil mencakup beberapa aspek sebagai
berikut: (1) sumberdaya manusia yang handal dan terampil sebagai syarat
mutlak yang harus dipenuhi dalam pengembangan suatu wilayah, mengingat
kawasan ini banyak memiliki permasalahan dan kendala dalam
pengembangannya; (2) berkembangnya mata pencaharian alternatif atau usaha
masyarakat sebagai penunjang keberlanjutan kehidupan di pulau-pulau kecil;
dan (3) peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui pembinaan dan
pendampingan kelembagaan yang sifatnya rutin dan wajib (DKP, 2007).
24
Kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan yang dianut oleh masyarakat
yang dijadikan pegangan oleh seluruh anggota masyarakat dalam mengadakan
transaksi satu sama lainnya, yang tumbuh dan berkembang dari dan dalam
sebuah masyarakat di wilayah tertentu. Kelembagaan menurut Purwaka (2003),
memiliki kapasitas potensial, kapasitas daya dukung, dan kapasitas daya
tampung/daya lentur, dengan kinerja yang merupakan fungsi dari tata
kelembagaan, mekanisme, dan kapasitas kelembagaan yang dimilikinya.
Kearifan lokal, hukum adat dan kelembagaan yang bersifat bottom up dapat
berperan lebih aktif, efisien dan mengikat masyarakat dibandingkan dengan
hukum positif, atau pun kelembagaan yang bersifat top down, yang seringkali
berbenturan dengan masyarakat lokal bahkan adakalanya menimbulkan
terjadinya konflik-konflik horizontal.
Retraubun (2003) menyebutkan kelembagaan masyarakat pulau-pulau
kecil adalah wadah atau institusi lokal yang terbentuk dari aspirasi masyarakat
dalam upaya pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil, yang diharapkan
dapat membantu kelancaran usaha masyarakat lokal dalam hal pengaturan
alokasi sumberdaya meliputi penerapan teknologi, akses permodalan,
penyerapan tenaga kerja, serta pemecahan permasalahan-permasalahan lain
yang kadang kala timbul dalam dengan usaha pengembangan wilayah pulau-
pulau kecil.
2.3 Pengelolaan Pulau-pulau Kecil
Kebijakan pembangunan dengan paradigma daratan di masa lalu
cenderung telah menyebabkan terjadinya miss management dalam pengelolaan
sumberdaya pulau-pulau kecil beserta perairannya. Menurut Retraubun (2002),
apa yang terjadi di masa lampau dalam penerapan model konsep pembangunan
kontinental (land based oriented) di seluruh wilayah Indonesia secara seragam
dan model konsep pembangunan pulau-pulau kecil sesungguhnya merupakan
dua pendekatan yang ekstrim berbeda. Indikasi logis dari kebijakan
pembangunan yang keliru (miss management) dalam pengelolaan pulau-pulau
kecil pada masa lalu menyebabkan kawasan ini berada dalam kondisi: miskinnya
masyarakat pada kawasan ini, kemampuan sumberdaya manusia yang rendah
sebagai akibat kurangnya sentuhan pendidikan formal walaupun kaya dengan
pengetahuan tradisional, sumberdaya alam hayati maupun nir-hayatinya tidak
25
dimanfaatkan secara efisien dan efektif, lingkungan laut maupun daratnya
mengalami kerusakan serius, dan terjadinya kesenjangan pembangunan yang
sangat besar pada pulau kecil dan kontinen.
Martadiningrat (2009), menyatakan bahwa konsep pembangunan
berorientasi ke daratan (land base oriented) adalah konsep pembangunan
nasional Indonesia masa lalu yang berdasarkan wawasan kontinental
(continental pradigm). Konsep ini sesungguhnya kurang tepat, karena jika
ditinjau dari aspek geopolitik maupun geostrategis, pembangunan Indonesia
seharusnya berorientasi kepada pembangunan maritim berdasarkan wawasan
maritim (maritime pradigm). Menurut Buwono (2009), sebagai konsekuensi dari
konsep geopolitik dan geostrategis yang melahirkan konsep wawasan nusantara,
maka Bangsa Indonesia memerlukan perubahan paradigmatis dari semangat
kontinental pembangunan daratan (land base oriented) ke arah pembangunan
kelautan (marine base oriented) sesuai dengan kondisi obyektif bangsa sebagai
negara kepulauan (archipelagic state). Lebih lanjut dinyatakan oleh Muladi
(2009), bergesernya paradigma land base oriented menjadi maritime oriented,
bukan berarti mengabaikan potensi daratan, namun berbagai kegiatan
pembangunan di daratan hendaknya bersifat sinergis dan saling menguatkan
dengan kegiatan pembangunan kelautan.
Pengelolaan pulau-pulau kecil adalah suatu konsekuensi logis, mengingat
negara Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang terdiri ribuan pulau-
pulau kecil. Menurut Wiludjeng (2007), pengelolaan atau manajemen sudah ada
sejak dahulu kala, sejak manusia memenuhi kebutuhannya melalui bantuan
orang lain. Pengelolaan atau manajemen berasal dari kata to manage yang
berarti mengatur atau mengelola. Pengelolaan atau manajemen setidaknya
memiliki unsur-unsur: (1) sebagai proses/usaha/aktivitas; (2) sebagai art atau
seni; (3) terdiri dari individu-individu/orang-orang yang melakukan aktivitas; (4)
menggunakan berbagai sumber-sumber dan faktor-faktor produksi yang tersedia
dengan cara yang efektif dan efisien; serta (5) adanya tujuan yang telah
ditetapkan terlebih dahulu. Purwaka (2003), menyebutkan bahwa manajemen
adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengejawantahan atau
perwujudan, serta pengendalian upaya anggota organisasi dalam proses
penggunaan semua sumberdaya organisasi untuk tercapainya tujuan organisasi
yang telah ditetapkan. Manajemen adalah ilmu dan seni tentang bekerja dengan
dan melalui orang-orang, untuk mencapai tujuan bersama.
26
Menurut Retraubun (2005), dalam merumuskan kebijakan menyangkut
pengelolaan pulau-pulau kecil harus memenuhi segenap kriteria pembangunan
berkelanjutan yakni secara ekonomi efisien dan optimal (economically sound),
secara sosial-budaya berkeadilan dan dapat diterima (socio-culturally acepted
and just), dan secara ekologis tidak melampaui daya dukung lingkungan
(enviromentally friendly). Pengelolaan berkelanjutan pada dasarnya merupakan
strategi pembangunan yang memberikan suatu ambang batas/limit yang tidak
bersifat mutlak/absolut, bahkan cenderung luwes/fleksibel tergantung kondisi
pemanfaatan sumberdaya oleh manusia. Dengan kata lain, manajemen
lingkungan merupakan prasyarat pencapaian pertumbuhan ekonomi yang
sustainable dan manajemen pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang sinergi
dengan manajemen lingkungan.
Bengen (2003), menyatakan bahwa manajemen lingkungan umumnya
meliputi pemantauan dan modifikasi sumberdaya alam sebagaimana dibutuhkan
untuk menghasilkan suatu yang bernilai tambah. Namun demikian sumberdaya
merupakan komponen penentu dalam pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau
kecil tersebut, sehingga manajemen lingkungan dapat disebut sebagai
manajemen hubungan antara manusia dan lingkungan (man-environment).
Pendayagunaan potensi kawasan pulau-pulau kecil yang sesuai daya dukung
lingkungannya adalah bahwa setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan
harus mampu ditolerir oleh kemampuan dan daya dukung wilayah tersebut.
Menurut Dahuri et.al., (2001), pengelolaan berkelanjutan adalah suatu
strategi pemanfaatan ekosistem alamiah yang sedemikian rupa, sehingga
kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia
tidak rusak dan tetap terjaga. Kebijakan pengelolaan sumberdaya pulau-pulau
kecil seyogyanya harus memiliki implikasi terhadap pencegahan kerusakan
sumberdaya sebagai pilihan utama, walaupun modifikasi lingkungan untuk
meningkatkan penyediaan barang dan jasa yang berharga bagi manusia tidak
dapat dihindari.
Pengelolaan pulau-pulau kecil membutuhkan sektor-sektor yang memenuhi
prasyarat industrialisasi berbasis pada kekuatan sumberdaya alam dalam negeri,
sehingga dapat dipilih sebagai sumber pertumbuhan baru yang selanjutnya
tampil menjadi salah satu sektor keunggulan lokal, seperti halnya sektor wisata
bahari. Dahuri (2000), menyatakan bahwa sektor-sektor pembangunan yang
dapat dipilih menjadi sektor keunggulan lokal untuk memulihkan kembali
27
kemampuan dan kapasitas produksi ekonomi nasional dan melepaskan diri dari
ketergantungan ekonomi, mengandung syarat-syarat diantaranya: (1) sektor
tersebut mampu menghasilkan devisa yang cukup besar; (2) permintaan sektor
tersebut di pasaran nasional dan internasional yang tinggi; (3) faktor-faktor
produksi sektor tersebut di dalam negeri relatif tersedia dalam jumlah yang besar;
(4) sektor tersebut dapat menyerap jumlah tenaga kerja lokal yang besar untuk
menekan jumlah pengangguran yang meningkat akibat pertambahan angkatan
kerja baru; (5) sektor tersebut dapat melibatkan partisipasi masyarakat dalam
proses produksi; (6) menarik minat penanaman modal dan investasi yang besar;
serta (7) terbebasnya sektor itu dari hambatan-hambatan berusaha, baik yang
disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi maupun kebijakan dan politik.
Secara politik, Pemerintah Pusat bertindak sebagai penyusun kebijakan
nasional berupa suatu perencanaan pembangunan nasional dalam rangka
mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih
baik dari kondisi saat ini, dengan mendorong pertumbuhan dan berkembangnya
kemampuan suatu komunitas masyarakat baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Bratakusumah dan Riyadi (2005), menyebutkan bahwa kewenangan
dan tanggungjawab Pemerintah Pusat dalam rangka penguatan desentralisasi
penyelenggaraan pemerintahan adalah pada penetapan kebijakan yang bersifat
norma, standar, kriteria, dan prosedur.
2.4 Pengembangan Wisata Bahari di Pulau-pulau Kecil
DKP (2006) menyatakan, bahwa laut Indonesia merupakan bagian
terbesar di kawasan Asia Tenggara yang memiliki potensi wisata bahari yang
beraneka ragam dengan berbagai keunikan yang lebih tinggi dan kelangkaan
yang lebih banyak. Asean yang merupakan bagian dari Asia Tenggara memiliki
potensi pariwisata bahari yang lebih baik dibandingkan dengan kawasan
Mediterranian dan Carribean. Dalam konteks tersebut, Indonesia berpeluang
menjadi salah satu tujuan wisata bahari di pulau-pulau kecil terbesar di dunia,
dengan basis Marine Ecotourism, khususnya dalam pengembangan wisata
bahari, yaitu bagian dari wisata lingkungan atau ekowisata yang kegiatannya
berdasarkan daya tarik kelautan. Kegiatan ini merupakan industri jasa-jasa
kelautan yang kian hari makin menjanjikan. Daya tarik wisata bahari mencakup
kegiatan yang beragam, antara lain perjalanan dengan moda laut, pengamatan
28
kekayaan alam laut dan melakukan kegiatan di laut seperti memancing, selam,
selancar, dayung maupun menyaksikan upacara adat.
Bercermin dari pengalaman negara-negara yang telah mengembangkan
kegiatan wisata bahari di pulau-pulau kecil, terbukti dapat membangkitkan
pengaruh berganda (multiplier effect) yang sangat besar pada kegiatan dan
pertumbuhan ekonomi. Skala nasional menunjukkan bahwa pertumbuhan
ekonomi yang berasal dari wisata bahari memberikan dampak positif bagi neraca
keuangan negara, baik dari sisi pendapatan domestik maupun nasional (GDP
dan GNP). Prediksi pariwisata Indonesia terhadap GNP tahun 2007 menurut
World Tourism Center (WTC) adalah 10,1%. Jumlah tersebut sama dengan US$
67 miliar, dengan jumlah penyerapan tenaga kerja sekitar 8,5 juta orang, yang
pada tahun 1998, bahkan perputaran ekonomi pada sektor pariwisata di dunia
sebesar US$ 4,4 triliun dan menyerap 231 juta tenaga kerja. Mengingat bahwa
potensi pasar regional dan global, untuk industri wisata bahari (marine tourism)
ternyata tumbuh dan berkembang pesat dengan volume permintaan (demand)
yang terus meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan terjadinya persaingan
di sisi penawaran (supply) yang semakin ketat, maka pengembangan wisata
bahari perlu mendapat perhatian yang serius (Kamaluddin, 2002).
DKP (2006), menyebutkan bahwa nilai ekonomi wisata bahari di pulau-
pulau kecil meliputi beberapa hal berikut:
1) Keunggulan komparatif alam Indonesia (khususnya berupa sebaran terumbu
karang di pesisir dan pulau-pulau kecil) merupakan dasar wisata bahari
berbasis ekowisata yang memberikan nilai ekonomi sangat besar bagi
pembangunan daerah dan nasional;
2) Pengembangan dan pembangunan wisata bahari dengan adanya kunjungan
wisatawan memiliki efek ganda atau multiplier effect meliputi:
(1) penyerapan tenaga kerja lokal guna menekan pengangguran;
(2) pelestarian lingkungan perairan yang mendukung kelimpahan
sumberdaya ikan bagi perikanan tangkap dan terjaganya kualitas perairan
dalam mendukung kegiatan budidaya
(3) memacu pertumbuhan ekonomi sektor perikanan lokal seperti berdirinya
industri perikanan rumah tangga masyarakat lokal meliputi penangkapan,
pengolahan dan pemasaran hasil perikanan bagi wisatawan;
(4) memacu pertumbuhan ekonomi melalui perdagangan/niaga berupa
pembelian barang primer (seperti 9 bahan pokok), sekunder (seperti hasil
29
bumi dan kerajinan tangan), dan tersier (seperti jasa atau service
pemandu wisata serta penyewaan alat-alat rekreasi seperti perahu, alat
selam dan lainnya);
(5) pembangunan fasilitas kenyamanan seperti resort dan restoran (oleh
investor), ataupun pemanfaatan home stay dan warung makan milik
masyarakat setempat;
(6) pembukaan jalur transportasi baik udara, laut maupun darat yang
membuka keterisolasian dari lokasi pulau kecil tujuan wisata ke pulau-
pulau kecil di sekitarnya;
(7) masuknya devisa melalui wisatawan asing dan kapal-kapal pesiar yang
melintas dan singgah di Indonesia.
Nilai ekonomi wisata bahari di pulau-pulau kecil dimanfaatkan dengan tetap
mempertimbangkan keterbatasan dan ketersediaan air tawar yang ada di suatu
pulau kecil. Bakosurtanal (1996), menyebutkan bahwa ketersediaan air tawar
merupakan salah satu daya dukung bagi lokasi wisata bahari. Air tawar
diperlukan untuk bermacam kebutuhan seperti bilas, mandi cuci dan kakus
(MCK) dan lain sebagainya. Jarak lokasi dengan sumber air tawar jika kurang
dari 2 km merupakan kondisi yang ideal bagi pariwisata.
Pengembangan kegiatan wisata bahari di pulau-pulau kecil dalam memacu
pertumbuhan ekonomi kawasan membutuhkan kehadiran pihak dunia usaha,
dalam hal ini para investor atau para korporat yang tidak mengejar keuntungan
ekonomi semata, namun memiliki kepedulian terhadap masyarakat dan
lingkungan, seperti melalui program company social responsibility atau CSR,
yang menjadi tuntutan tak terelakkan seiring dengan bermunculannya tuntutan
komunitas terhadap korporat (dunia usaha/perusahaan/investor). Rahman
(2009), menyebutkan bahwa suatu kegiatan disebut CSR ketika dalam
implementasinya di lapangan memiliki sejumlah unsur meliputi: (1) continuity and
suistanability, yaitu berkesinambungan dan berkelanjutannya CSR sebagai suatu
mekanisme kegiatan yang terencana, sistematis, dan dapat dievaluasi; (2)
community empowerment, sebagai indikasi suksesnya CSR dalam terwujudnya
kemandirian yang lebih pada komunitas, jika dibandingkan dengan sebelum CSR
hadir; dan (3) two ways, yang berarti CSR memiliki dua arah sehingga korporat
bukan lagi berperan sebagai komunikator semata, tetapi juga harus mampu
mendengarkan aspirasi dari suatu komunitas, sehingga terjadi adanya suatu
keseimbangan antara kepentingan korporat dan masyarakat lokal.
30
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2004), menyatakan bahwa
pengembangan pariwisata di pulau-pulau kecil harus berpegang pada prinsip-
prinsip dasar sebagai berikut:
1) Prinsip keseimbangan. Pengelolaan pariwisata di pulau-pulau kecil harus
didasarkan pada komitmen pola keseimbangan antara pembangunan
ekonomi, sosial, budaya dan konservasi.
2) Prinsip partisipasi masyarakat . Pengelolaan pariwisata di pulau-pulau kecil
harus melibatkan masyarakat lokal.
3) Prinsip konservasi. Pengelolaan pariwisata di pulau-pulau kecil harus
memiliki kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian
lingkungan (alam dan budaya), sehingga dalam pengembangannya
diselenggarakan secara bertanggung jawab dan mengikuti kaidah-kaidah
ekologi serta peka dan menghormati nilai-nilai sosial-budaya dan tradisi
keagamaan masyarakat setempat.
4) Prinsip keterpaduan. Pengelolaan pariwisata di pulau-pulau kecil harus
direncanakan secara terpadu dengan memperhatikan ekosistem pulau luar
dan disinerjikan dengan pembangunan berbagai sektor.
5) Prinsip penegakan hukum. Pengelolaan pariwisata di pulau-pulau kecil harus
dikembangkan sesuai dengan aturan-aturan hukum yang ada, serta
dilaksanakan dengan penegakan hukum maupun peraturan yang berlaku
untuk menjamin kepastian hukum.
Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor
KM.67/UM.001/MKP/2004 menyatakan pula bahwa kegiatan wisata bahari di
pulau-pulau kecil yang berada dalam kawasan konservasi secara timbal balik
membutuhkan dan menyumbang beragam kebutuhan serta manfaat bagi upaya-
upaya konservasi lingkungan meliputi:
1) penerimaan keuntungan dari sektor wisata bahari merupakan dukungan
secara keuangan/finansial bagi upaya konservasi lingkungan.
2) wisata bahari telah terbukti ditopang oleh perencanaan dan pengelolaan
lingkungan yang komprehensif, pengelolaan sistem yang efisien, bersih dan
aman, yang dilakukan demi menjaga eksistensi industri wisata bahari itu
sendiri.
3) peningkatan kesadaran masyarakat lokal atas pentingnya arti pelestarian
lingkungan, karena wisata bahari berjalan dalam kerangka konservasi
lingkungan sejak lahir hingga mati (from cradle to grave) .
31
Menurut DKP (2006), jika ditinjau dari aspek kepentingan bangsa,
pengembangan kawasan wisata bahari di pulau-pulau kecil dan pulau-pulau kecil
terluar merupakan suatu kegiatan strategis yang sangat besar pengaruhnya
terhadap keberhasilan program-program pembangunan daerah dan nasional
yang berkelanjutan, serta diharapkan dapat mendorong dalam upaya:
1) meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat setempat yang akan
menyokong pertumbuhan ekonomi nasional;
2) meningkatkan ketahanan nasional serta keutuhan bangsa dan negara,
karena kegiatan pariwisata bahari memberikan suatu makna akan eksistensi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di wilayah tersebut, terutama
pulau-pulau kecil yang terletak di posisi terdepan pada batas demarkasi dan
Zona Ekonomi Eksklusif NKRI.
2.5 Analytical Hierarchy Process (AHP)
Saaty (1993), mengemukakan bahwa Analytical Hierarchy Process atau
AHP merupakan analisis pengambilan keputusan yang dilakukan dengan
menggunakan pendekatan sistem sehingga bisa membantu di dalam melakukan
prediksi untuk mengambil keputusan dengan prinsip dasar meliputi:
1) dekomposisi, yaitu memecahkan persoalan yang utuh menjadi unsur-
unsurnya;
2) comparative judgement, yaitu membuat penilaian tentang kepentingan relatif
dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di
atasnya;
3) synthesis of priority dari setiap matriks pairwise comparison vektor eigen (ciri)
untuk mendapatkan prioritas lokal;
4) logical consistency, yaitu mengelompokkan objek-objek yang serupa sesuai
keseragaman dan relevansinya dengan mencari tingkat hubungan antara
obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu.
Marimin (2004), menyatakan bahwa beberapa keuntungan yang diperoleh
bila memecahkan persoalan dan mengambil keputusan dengan menggunakan
AHP antara lain adalah:
1) kesatuan: AHP memberikan satu model tunggal yang mudah dimengerti,
luwes untuk aneka ragam persoalan tidak terstruktur.
32
2) kompleksitas: AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan
berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.
3) saling ketergatungan: AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-
elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
4) penyusunan hirarki: AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk
memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan
dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat.
5) pengukuran: AHP memberi suatu skala untuk mengukur hal-hal yang
diwujudkan dalam suatu metode untuk menetapkan prioritas.
6) konsistensi: AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan
yang digunakan untuk menetapkan berbagai prioritas.
7) sintesis: AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan
setiap alternatif.
8) tawar-menawar: AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari
berbagai faktor sistem dan memungkinkan organisasi memilih alternatif
terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.
9) penilaian dan konsensus: AHP tidak memaksakan konsensus tetapi
mensintesiskan suatu hasil yang representatif dari penilaian yang berbeda.
10) pengulangan proses: AHP memungkinkan organisasi memperhalus definisi
pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian melalui
pengulangan.
2.6 Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT)
Menurut Rangkuti (2000), analisis SWOT atau Strengths (kekuatan),
Weaknesses (kelemahan), Opportunities (peluang), dan Threats (ancaman)
adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi
organisasi/perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan strengths (kekuatan) dan opportunities (peluang), namun secara
bersamaan dapat meminimalkan weaknesses (kelemahan) dan threats
(ancaman), sehingga perencana strategis (strategic planner) harus dapat
menganalisis faktor-faktor strategis organisasi/perusahaan dalam kondisi yang
ada saat ini. Analisis SWOT membandingkan antara faktor internal strengths
(kekuatan) dan opportunities (peluang) dengan faktor eksternal weaknesses
(kelemahan) dan threats (ancaman) untuk menghasilkan berbagai kemungkinan
33
alternatif strategi meliputi strategi: Strenghts-Opportunities (SO), Weaknesses-
Opportunities (WO), Strenghts-Treaths (ST) dan Weaknesses- Treaths (WT).
Marimin (2004), menyatakan bahwa dalam membuat keputusan untuk
memilih alternatif strategi sebaiknya diketahui posisi kondisi internal dan
eksternal saat ini. Posisi dimaksud dapat dikelompokkan dalam empat kuadran,
yaitu:
1) Kuadran I: merupakan posisi yang sangat menguntungkan dengan memiliki
peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada.
Strategi yang harus dilakukan adalah strategi agresif.
2) Kuadran II: merupakan posisi yang menghadapi berbagai ancaman, namun
masih memiliki kekuatan internal untuk memanfaatkan peluang jangka
panjang. Strategi yang harus dilakukan adalah strategi diversifikasi.
3) Kuadran III: merupakan posisi yang memiliki peluang yang sangat besar,
namun harus meminimalkan kelemahan internal. Strategi yang harus
dilakukan adalah strategi turn around.
4) Kuadran IV: merupakan posisi yang sangat tidak menguntungkan karena
menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan internal. Strategi yang harus
dilakukan adalah strategi defensif.
2.7 Pendekatan Sistem untuk Penyusunan Pola Pengelolaan
Purwaka (2008), menyatakan bahwa komponen sumberdaya terdiri atas
tiga komponen, yaitu komponen: sumberdaya manusia (kondisi sosial, ekonomi
dan budaya masyarakat lokal), sumberdaya alam (hayati dan nir hayati) dan
sumberdaya buatan (ilmu pengetahuan dan teknologi, hukum serta
kelembagaan). Sedangkan komponen kegiatan pengelolaan ketiga sumberdaya
dimaksud, terdiri atas tiga komponen pula yaitu komponen: planning and
organizing (pengumpulan, pengolahan, analisis data dan informasi), actuating
(proses pemanfaatan sumberdaya), dan controlling (pengawasan dengan sistem
pemantauan/monitoring, pengendalian/control, dan pengamatan/surveillance).
Berdasarkan kondisi tersebut, maka proses pengambilan keputusan dalam
kegiatan pengelolaan sumberdaya dapat dilakukan dengan melalui pendekatan
segitiga keterpaduan pengelolaan sumberdaya untuk memudahkan
mengalokasikan sumberdaya dalam ruang dan waktu secara berkelanjutan, guna
mewujudkan tujuan-tujuan pengelolaan yang telah ditetapkan secara sistematis.
34
Menurut Tunas (2007), pendekatan sistem adalah suatu cara untuk
menangani suatu masalah, sehingga pendekatan sistem (system approach)
merupakan cara untuk menangani suatu masalah berdasarkan berpikir
kesisteman. Pendekatan sistem terhadap suatu masalah adalah suatu cara
untuk menangani suatu masalah dengan mempertimbangkan semua aspek yang
terkait dengan masalah itu, dan mengkonsentrasikan perhatiannya kepada
interaksi antara aspek-aspek yang terkait dari permasalahan tersebut.
Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan pemecahan masalah yang
dilakukan secara sistematis dan menyeluruh (sistemik). Sistemik yang dimaksud
adalah suatu analisis dan evaluasi yang memperhatikan seluruh faktor yang
dengan masalah dimaksud termasuk keterkaitan antar faktor yang bersangkutan.
Pemecahan masalah dengan menggunakan pendekatan sistem, memperlakukan
dan menganggap masalah yang bersangkutan sebagai suatu sistem, yang
menganggap sistem dimaksud adalah tidak baku, namun merupakan abstraksi
yang dirancang dan dirumuskan berdasarkan kepentingan pemecahan
pemasalahan yang bersangkutan, sebagai suatu masalah yang tidak berdiri
sendiri, tetapi berkaitan dengan masalah lain yang lebih besar jadi bersifat relatif,
tidak mutlak.
Eriyatno (2003), menyatakan bahwa pendekatan sistem (system approach)
tidak hanya mendekati satu segi saja, namun memperhatikan pula beberapa segi
lain secara obyektif, dengan melakukan pengelolaan berbagai fungsi dan elemen
sistem ke dalam kesatuan yang utuh dan terpadu. Metode pendekatan sistem itu
sendiri mencakup beberapa tahapan meliputi:
1) Analisis sebagai upaya untuk dapat memahami kinerja dan tingkah laku
sistem yang mencakup enam tahapan yaitu: (1) analisis kebutuhan,
(2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan alternatif
sistem, (5) determinasi dari realitas fisik, sosial dan politik, serta
(6) penentuan kelayakan ekonomi dan finansial.
2) Permodelan sebagai suatu pemilihan dari karakteristik perwakilan abstrak
yang paling tepat pada situasi yang terjadi. Permodelan mencakup tujuh
tahapan yaitu: (1) seleksi konsep, (2) rekayasa model, (3) implementasi
komputer, (4) validasi model, (5) analisis sensitivitas, (6) analisis stabilitas,
dan (7) aplikasi model.
3) Implementasi dan operasional.
35
Hartrisari (2007) menyatakan pula bahwa, model sistem dinamis
merupakan gambaran dari suatu kondisi/sistem nyata, yang dapat digunakan
untuk mempelajari tingkah laku sistem pada pengujian di berbagai kondisi.
Model dinamis mengorganisasikan struktur, alur informasi dan kebijakan secara
komputerisasi. Simulasi komputer menghasilkan suatu representasi yang dapat
mempelajari kondisi suatu sistem, sekaligus memperlihatkan adanya perubahan
input dalam rangka memperbaiki suatu sistem. Pembuatan model terdiri dari dua
bagian yaitu: (1) bagian konsep, meliputi identifikasi, konseptualisasi dan
simulasi; dan (2) bagian teknik sebagai penerapan dari model yang dibangun.
Keberhasilan implementasi pola pengelolaan dapat dianalisis dengan
menggunakan teknik interpretative structural modelling atau ISM, yang
merupakan suatu permodelan deskriptif yang bernilai efektif bagi proses
perencanaan jangka panjang yang bersifat strategis, karena perencanaan
dimaksud meliputi suatu totalitas sistem yang tidak dapat dianalisis bagian demi
bagian, namun harus dipahami secara keseluruhan (holistik). Teknik ISM adalah
proses pengkajian kelompok (group learning process) di mana model-model
struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem,
melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta
kalimat. Teknik ISM memberikan lingkungan yang sangat sempurna untuk
memperkaya dan memperluas sudut pandang dalam konstruksi sistem yang
cukup kompleks, sehingga dapat menganalisis elemen-elemen sistem serta
memecahkannya dalam bentuk gafik dari hubungan langsung antar elemen dan
tingkat hirarki. Elemen-elemen dapat merupakan tujuan kebijakan, target
organisasi, faktor-faktor penilaian, dan lain-lain, dengan hubungan langsung
dalam konteks-konteks yang beragam (beraitan dengan hubungan kontekstual.
Hal ini menjadi penting, mengingat bahwa dalam perencanaan strategis
umumnya data dan informasi yang tersedia bersifat kualitatif dan normatif
sehingga kurang tepat jika dianalisis dengan menggunakan teknik penelitian
operasional atau metode statistik deskriptif (Eriyatno 2003; Marimin 2004).
Eriyatno (2003) menyatakan bahwa metodologi dan teknik ISM dibagi
menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hirarki dan kalsifikasi sub elemen, dengan
prinsip dasar adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem yang
memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan
untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Struktur dari suatu sistem yang
36
berjenjang diperlukan untuk lebih menjelaskan pemahaman tentang perihal yang
dikaji. Menentukan jenjang dilakukan melalui lima pendekatan kriteria, yaitu:
1) Kekuatan pengikat dalam dan antar kelompok atau tingkat;
2) Frekuensi relatif dari oksilasi (guncangan) di mana tingkat yang lebih rendah
lebih cepat terguncang dari yang di atas;
3) Konteks di mana tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka waktu yang
lebih lambat daripada ruang yang lebih luas;
4) Liputan di mana tingkat yang lebih tinggi mencakup tingkat yang lebih
rendah;
5) Hubungan fungsional, di mana tingkat yang lebih tingi mempunyai peubah
lambat yang mempengaruhi peubah cepat tingkat di bawahnya.
Teknik ISM memberikan basis analisis di mana informasi yang dihasilkan
sangat berguna dalam formulasi kebijakan serta perencanaan strategis yang
dapat dibagi menjadi sembilan elemen meliputi:
1) Sektor masyarakat yang terpengaruh
2) Keutuhan dari program
3) Kendala utama
4) Perubahan yang dimungkinkan
5) Tujuan dari program
6) Tolok ukur untuk setiap tujuan
7) Aktivitas yang dibutuhkan
8) Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai
9) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program