BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konstruksi Sosialeprints.umm.ac.id/58860/3/BAB II.pdf · 9 BAB 2...
Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konstruksi Sosialeprints.umm.ac.id/58860/3/BAB II.pdf · 9 BAB 2...
9
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konstruksi Sosial
Istilah konstruksi menjadi terkenal setelah diperkenalkan oleh Peter
L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul “The Social
Construction of Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge” (1966).
Mereka meggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksi, di mana
individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan
dialami secara subjektif.1
Suparno dalam Bungin menjelaskan asal mula kontruksi sosial dari
filsafat konstruktivisme yang diawali dari gagasan-gagasan konstruktif
kognitif. Gagasan-gagasan pokok konstruktivime sebenarnya telah dimulai
oleh Giambatissta Vico, seorang epistimolog dari Italia, ia merupakan cikal
bakal konstruktivisme.2
Selain itu, Bertens dalam Bungin menjelaskan dalam aliran filsafat,
gagasan konstrukivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam
tubuh manusia dan sejak Plato menemukan akal budi dan ide.3 Hasil
pemikiran tersebut lebih konkret setelah Aristosteles mengenalkan istilah,
informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi, dan sebagainya.
1 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm.13 2 Ibid., hlm.13. 3 Ibid., hlm.13.
10
Aristosteles menyebutkan bahwa manusis adalah makhluk social, setiap
pernyataannya harus dibuktikan kebenarannya, kunci pengetahuan adalah
logika dan dasar pengetahuan adalah fakta.
Suparno dalam Bungin menyebutkan ada tiga macam konstruktivisme
yaitu pertama, konstruktivisme radikal. kedua, konstruktivisme realisme
hipotesis; ketiga, konstruktivisme biasa. 4 Konstruktivisme radikal hanya bisa
mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran manusia. Kaum konstruktivisme
radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan
sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi kaum ini tidak
merefleksikan suatu realitas ontologis objektif, namun sebagai sebuah realitas
yang dibentuk oleh pengalaman seseorang.
Dalam konstruktivisme realisme hipotesis, pengetahuan adalah
sebuah anggapan dasar dari struktur realitas yang mendekati realitas dan
menuju kepada pengetahuan yang hakiki. Selanjutnya konstruktivisme biasa
mengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan memahami pengetahuan
sebagai gambaran dari realitas itu. Sehingga berdasarkan ketiga macam
konstruktivisme terdapat kesamaan di mana konstruktivisme dilihat sebagai
sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada,
karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang
disekitar.
4 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm.14
11
Berger dan Luckmann dalam Bungin mengawali penjelasan realitas
sosial dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”.
Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas,
yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada
kehendak kita sendiri. Sementara itu, pengetahuan didefiniskan sebagai
kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata dan memiliki karakteristik yang
spesifik.
Berger dan Luckmann dalam Bungin mengatakan, pranata
masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan
interaksi manusia. Walaupun masyarakat dan pranata sosial terlihat nyata
secara objektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi
subjektif melalui proses interaksi. Singkat kata Berger dan Luckmann
mengatakan terjadi dialetika antara individu menciptakan masyarakat dan
masyarakat menciptakan individu. Proses dialetika ini terjadi melalui
eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.5
• Eksternalisasi
Ekternalisasi menjadi bagian penting dalam kehidupan individu dan
menjadi bagian dari dunia sosiso-kulturalnya. Artinya eksternalisasi
terjadi pada tahap yang sangat mendasar, dalam satu perilaku interaksi
antara individu dengan produk-produk sosial masyarakatnya. Dengan kata
lain eksternalisai berlangsung ketika produk sosial tercipta di suatu
masyarakat, kemudian individu mengeksternalisasi (melakukan
5 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm.15
12
penyuasaian diri) ke dalam dunia sosio-kulturalnya sebagai bagian dari
produk manusia.
• Objektivasi
Tahap objektivitas terjadi dalam dunia intersubjektif masyarakat
yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Sedangkan
individu mewujudkan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang
tersedia baik bagi produsennya ataupun bagi orang lain sebagai unsur dari
dunia bersama. Artinya objektifitas dapat terjadi melalui penyebaran opini
sebuah produk sosial yang berkembang di masyarakat, melalui gagasan
opini masyarakat tentang produk sosial dan tanpa harus terjadi sebuah
tatap muka antar personal dan pencipta produk sosial tersebut.
Salah satu hal penting dalam objektivitas ialah pembuatan
signifikasi , yaitu pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Suatu tanda dapat
dibedakan dari objektivitas-objektivitas lain, karena memiliki tujuan yang
eksplisit untuk digunakan sebagai indeks bagi pemaknaan subjektif.
• Internalisasi
Internalisasi dalam arti umum merupakan dasar bagi pemahaman
mengenai “sesama saya”, yakni pemahaman individu dan orang lain serta
pemahaman mengenai dunia sebagai suatu yang maknawi dari kenyataan
sosial. Pemahaman ini bukan dari hasil penciptaan makna secara otonom
oleh individu yang terisolasi, melainkan diawali dengan individu yang
“mengambil alih” dunia di mana sudah terdapat orang lain.
13
Pemahaman langsung dari sesuatu peristiwa objektif sebagai
proses pengungkapan suatu makna. Dalam hal ini dapat diartikan sebagai
perwujudan dari proses-proses subjektif orang lain serta pemahaman
mengenai dunia sebagai suatu yang maknawi dari kenyataan sosial.
2.1.1 Konstruksi Sosial Media
1. Tahap Konstruksi Sosial Media
Teori dan pendekatan konstruksi sosisal atas realitas terjadi
secara stimulan melalui tiga proses sosial, yaitu eksternalisasi,
objektivitas, dan internalisasi. Tiga proses ini terjadi diantara satu
individu dengan individu lainnya dalam masyarakat. Teori dan
pendekatan konstruksi sosial atas realitas dari Berger dan
Luckmann merupakan proses stimulan yang terjadi secara alami
melalui bahasa di dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah
komunitas primer dan semi-sekunder. Di mana basis sosial dari
teori dan pendekatan ini ialah masyarakat transisi modern di
Amerika sekitar tahun 1960-an, dalam hal ini media massa belum
menjadi sebuah fenomena yang menarik unuk dibicarakan.6
Bungin berpendapat bahwa pada kenyataannya konstruksi
sosial atas realitas berlangsung lamban, membutuhkan waktu
cukup lama, bersifat berkenaan dalam ruang dan waktu, dan
berlangsung sceara hierarkis-vertikal. Di mana konstruksi sosial
berlangsung dari atasan kepada bawahan, atasan kepada massanya,
kyai kepada santrinya, guru kepada muridnya, dan sebagainya.
6 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm.206
14
Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas reliatas dari Peter
L. Berger dam Thomas Luckmann telah direvisi oleh Bungin
dengan memperhatikan fenomena media massa menjadi sangat
substansi dalam proses eksternalisasi, subjektivitas, dan
internalisasi. Hal ini kemudian dikenal dengan kosntruksi media
massa. Inti dari konstruksi sosial media massa terletak pada
sirkulasi informasi yang cepat dan penyebarannya merata. Realitas
yang terkontruksi tersebut akhirnya membentuk opini massa,
massa cenderung beranggapan atas sesuatu yang belum diketahui
kebenarannya dan opini massa cenderung sinis. Dalam memahami
proses konstruksi sosial media massa, terdapat empat tahapan
sebagai berikut:
• Tahap Menyiapkan Materi Konstruksi
Tahap menyiapkan materi konstruksi sosial media massa
adalah tugas dari redaksi media massa. Tugas tersebut
didistribusikan pada bagian editor yang terdapat di media
massa. Isu-isu penting menjadi fokus media massa, khususnya
yang berkaitan dengan kedudukan, tahta, dan perempuan. Selain
tiga hal tersebut juga terdapat fokus lain, misalnya informasi
yang bersifat menyentuh perasaan khalayak yakni permasalahan
sensivitas, sensualitas, maupun ketakutan. Sensivitas terkait
tentang persoalan-persoalan sensitif di masyarakat seperti isu-
isu yang menggelisahkan masyarakat atau agama tertentu.
15
Sensualitas yakni berkaitan dengan seks, aurat, syahwat,
pornomedia, dan sebagainya.
Selain itu, terdapat tiga hal penting dalam menyiapkan
materi konstruksi sosial yakni:
⎯ Keberpihakan media massa kepada kapitalisme
Seperti telah diketahui bahwa kini hampir tidak ada lagi
media massa yang tidak dimiliki oleh kapitalis. Dalam
artian, media massa digunakan oleh kekuatan kapital untuk
menjadikan media massa sebagai mesin penciptaan uang
dan melibat gandakan modal. Semua elemen media massa,
termasuk orang-orang di dalamnya berpikir untuk melayani
kapitalisme, di mana ideologi mereka adalah membuat
media massa yang laku di masyarakat.
⎯ Keberpihakan semu kepada masyarakat
Adapun bentuk dari keberpihakan ini ialah empati,
simpati, dan berbagai partisipasi kepada masyarakat,
namun pada akhirnya adalah untuk menjual berita dan
menaikkan kepentingan kapitalis. Contoh kasus yang dapat
dilihat dari keberpihakan ini adalah pemberitaan bencana
Tsunami yang terjadi di Aceh dan sekitarnya dalam
kemasan berita “Indonsia Menangis” dan sejenisnya secata
terus menerus diekspose bahkan sampai pada sisi yang telah
meninggalkan hak-hak sumber berita. Begitu juag dengan
reality show seperti bedah rumah, rezeki nomplok, KDI,
16
Indonesian Idol, yang mengekspos kesedihan dan air mata,
sejenis acara derap hukum, kriminal, dan sebagainya,
berbagai sinetron yang mengumbar empati, simpati, atau
pun kontroversi.
⎯ Keberpihakan pada kepentingan umum
Bentuk dari keberpihakan ini dalam arti sesungguhnya
adalah visi dari setiap media massa, di mana akhir-akhir ini
visi tersebut tidak pernah menunjukkan jati dirinyaa, namun
slogan-slogan tentang visi ini tetap didengar.
• Tahap Sebaran Konstruksi
Sebaran konstruksi media massa dilakukan melalui strategi
media massa. Konsep pasti strategi sebaran masing-masing
media massa berbeda, namum prinsip utamanya yaitu real-time.
Sebab sifatnya yang langsung (live) makan yang dimaksud real-
time ialah seketika disiarkan maka sekita itu juga pemberitaan
sampai pada pemirsa atau pendengar. Namun untuk sifat real-
time dari media cetak terdiri dari beberapa konsep hari, minggu,
atau bulan. Meskipun media cetak memiliki konsep real-time
yang sifatnya dalah tertunda, namun prinsip aktualitas menjadi
pertimbangan utama. Sehingga pembaca merasa tepat waktu
memperoleh berita tersebut.
Pilihan-pilihan wilayah sebaran adalah strategi lain dalam
sebaran konstruksi media berdasarkan segmentasi. Informasi
tentang profil olahragawan tinju yang amu bertanding minggu
17
ini adalah milik segmentasi yang berbeda dengan informasi
tentang kosmetika. Pilihan sumber informasi juga dapat dipilih
berdasarkan pemetaan kekuasaan sosial sumber informasi itu di
masyarakatnya. Misalnya pilihan Menteri Pendidikan sebagai
sumber informasi kenaikan gaji guru adalah berdasarkan
wilayah kekuasaan Menteri Pendidikan dalam mengatur
kesejahteraan guru, dan sebagainya.
Umumnya sebaran konstruksi sosial media massa
menggunakan model satu arah, di mana media menyodorkan
informasi sementara konsumen media tidak memiliki pilihan
lain selain mengonsumsi informasi tersebut. Model satu arah ini
khususnya terjadi di media cetak. Sedangkan untuk media
lainnya seperti media eletronik khususnya radio yang dapat
dilakukan dua arah, meskipun konstruksi masih didominasi oleh
media. Prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa
ialah seluruh informasi harus sampai pada pemirsa atau
pembaca secepatnya dan setepatnya berdasarkan pada agenda
media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi
penting pula bagi pemirsa atau pembaca.
• Tahap Pembentukan Konstruksi
a. Tahap Pembentukan Konstruksi Realitas
Setelah pemberitaan sampai pada pembaca atau
pemirsa, yaitu terjadi pembentukan konstruksi di
masyarakat melalui tiga tahap yang berlangsung secara
18
umum. Pertama, konstruksi realitas pembenaran. Tahap ini
sebagai suatu bentuk konstruksi media massa yang
terbangun di masyarakat, di mana cenderung membenarkan
apa saja yang disajikan di media massa sebagai suatu
pembenaran. Dapat diartikan bahwa informasi media massa
sebagai otoritas sikap untuk membenarkan sebuah kejadian.
Kedua, kesediaan dikonstruksi oleh media. Tahap ini
merupakan sikap umum dari tahap sebelumnya. Ketika
seseorang memilih untuk menjadi pembaca dan pemirsa
dari suatu media massa, maka bersedia pikirannya untuk
dikonstruksi oleh media massa. Ketiga, sebagai pilihan
konsumtif. Pada tahap ini seseorang secara habit tergantung
pada media massa. Media massa merupakan bagian dari
suatu kebiasaan hidup yang tidak dapat dipisahkan.
b. Pembentukan Konstruksi Citra
Pembentukan konstruksi citra adalah bangunan yang
diinginkan oleh tahap konstruksi. Di mana bangunan
konstruksi citra yang dibangun oleh media massa ini
terbentuk dalam dua model; (1) model good news, sebuah
konstruksi yang cenderung mengkonstruksi suatu
pemberitaan sebagai pemberitaan yang baik. Pada model ini
objek pemberitaan dikonstruksi sebagai suatu yang
memiliki citra baik, sehingga terkesan lebih baik dari
sesungguhnya kebaikan yang terdapat pada objek tersebut.
19
(2) Model bad news, suatu konstruksi yang cenderung
mengonstruksi kejelekan atau memberi citra buruk pada
objek pemberitaan sehingga terkesan lebih jelek, lebih
buruk, lebih jahat dari sesungguhnya sifat jelek, buruk,
yang ada pada objek pemberitaan itu sendiri. Setiap
pemberitaan memiliki tujuan-tujuan tertentu dalam model
pencitraan di atas. Sehingga misalnya pada pembertitaan
kriminal, maka model bad news menjadi tujuan akhir. Di
mana terbentuknya citra buruk sebagai penjahat, koruptor,
terdakwa dan sebagainya.
• Tahap Konfirmasi
Konfirmasi merupakan tahapan ketika media massa
maupun pembaca dan pemirsa memberi argumentasi dan
akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam tahap
pembentukan konstruksi. Bagi media, tahapan ini perlu sebagai
bagian untuk memberi argumentasi terhadap alasan-alasannya
konstruksi sosial. Sementara untuk pemirsa dan pembacanya,
tahapan ini juga sebagai bagian untuk menjelaskan mengapa ia
bersedia dan terlibat dalam proses kontruksi sosial.
Alasan-alasan yang sering digunakan dalam tahap
konfirmasi ini adalah (a) kehidupan modern menghendaki
pribadi yang selalu berubah dan menjadi bagian dari produksi
media massa. (b) Kedekatan dengan media adalah life style
orang modern. Di mana orang modern menyukai popularitas,
20
terutama sebagai subjek media massa itu sendiri. (c) Walaupun
media massa memiliki kemampuan mengkonstruksi realitas
media berdasarkan subjektivitas media, namun kehadiran media
massa dalam kehidupan seseorang merupakan sumber
pengetahuan tanpa batas yang sewaktu-waktu dapat diakses.
2. Realitas Media; Realitas yang Dikonstruksi oleh Media
Mengenai proses konstruksi realitas, prinsipnya setiap usaha
“menceritakan” sebuah peristiwa, keadaan, atau benda tanpa
pengecualian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan
merupakan sebuah usaha dari mengkonstruksikan realitas.7
Laporan tentang kegiatan orang yang berkumpul di lapangan untuk
mendengarkan pidato pemilu merupakan hasil konstruksi realitas
mengenai peristiwa yang biasa disebut dengan kamapanye pemilu.
Sebab sifat dan fakta tentang pekerjaan media adalah
menceritakan peristiwa-peristiwa, maka kesibukan media adalah
mengkonstruksi berbagai realitas yang akan disiarkan. Media
menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga
menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Media sebenarnya
berada ditengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai
kepentingan, konflik, dan fakta ang kompleks dan beragam.8 Hal
7 Ibnu Hamad, “Konstruksi Realitas Sosial dalam Media Massa Sebuah Studi Critical Discourse
Analysis terhadap Berita-berita Politik”, (Jakarta: Granit, 2004), hlm. 11
(https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=BkEB7gJQMLQC&oi=fnd&pg=PA5&dq=konst
ruksi+realitas&ots=khYZeSkezD&sig=R94i1RzMzlMCWmvZOas8k3j136k&redir_esc=y#v=one
page&q=konstruksi%20realitas&f=false diakses pada tanggal 15 April 2019) 8 Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan
Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015), hlm. 29-30
21
ini mengartikan bahwa di satu sisi media dapat berperan sebagai
sarana penyebaran ideologi kekuasaan, alat legitimasi, dan kontrol
atas wacana publik.
Sebagai suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian,
atau gambaran umum tentang banyak hal, media mempunyai
kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat
membentuk opini publik karena media juga dapat berkembang
menjadi kelompok penekan atas ide atau gagasan terentu, bahkan
suatu kepentingan atau citra yang merepresentasikan untuk
diletakkan dalam konteks kehidupan. Dengan demikian,
sebenarnya media berada pada posisi mendua, dalam pengertian
bahwa media dapat memberikan pengaruh positif ataupun negatif.
Media tidak hanya memberikan informasi dan hiburan
namun juga memberikan pengetahuan kepada khalayak, sehingga
proses berpikir dan menganalisis sesuatu menjadi berkembang
yang pada akhirnya membawa pada suatu kerangka berpikir sosial
bagi terbentuknya sebuah kebijakan publik yang merupakan
implikasi dari proses tersebut. Hal tersebut merupakan bagian cara
media mengkonstruksi realitas sosial di masyarakat. Berdasarkan
penjelasan tersebut, makan berdasarkan kemungkinan yang dapat
diperankan, media merupakan sebuah kekuataan raksasa yang
sangat perlu diperhitungkan.
22
2.1.2 Bahasa Sebagai Realitas Sosial
Menurut Berger dan Luckmann dalam Hamad, dalam proses
konstruksi realitas bahasa merupakan unsur utama. Bahasa
merupakan unsur pokok untuk menceritakan realitas. Di samping itu
bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi. Selanjutnya
penggunaan bahasa (simbol) tertentu menentukan format narasi dan
makna tertentu. Lebih dari itu, keberadaan bahasa khususnya dalam
media tidak lagi sebagai alat untuk mengkonstruksi realitas, namun
dapat menentukan gambaran atau makna citra mengenai suatu
realitas-realitas media yang akan muncul di benak khalayak.
DeFleur dan Ball-Rokeach dalam Hamad mengatakan bahwa
terdapat beberapa cara media dalam mempengaruhi bahasa dan makna
yaitu mengembangkan kata-kata baru beserta makna asosiatifnya,
memperluas makna dan istilah-istilah yang ada, mengganti makna
yang lama menjadi sebuah istilah makna yang baru, memantapkan
konvensi makna yang sudah ada dalam sebuah sistem bahasa.9 Maka
dari itu persoalan makna tersebut, membuat penggunaan bahasa
menjadi berpengaruh terhadap konstruksi realitas. Penggunaan bahasa
tertentu berdampak pada bentuk konstruksi realitas dan makna yang
dikandungnya. Pemilihan kata dan cara penyajian suatu realitas turut
menentukan struktur konstruksi realitas dan makna yang muncul
9 Ibnu Hamad, “Konstruksi Realitas Sosial dalam Media Massa Sebuah Studi Critical Discourse
Analysis terhadap Berita-berita Politik”, (Jakarta: Granit, 2004), hlm. 12
(https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=BkEB7gJQMLQC&oi=fnd&pg=PA5&dq=konst
ruksi+realitas&ots=khYZeSkezD&sig=R94i1RzMzlMCWmvZOas8k3j136k&redir_esc=y#v=one
page&q=konstruksi%20realitas&f=false diakses pada tanggal 19 Januari 2020)
23
darinya. Melalui perspektif ini bahasa tidak hanya mampu untuk
mencerminkan relitas, namun juga mampu menciptakan suatu realitas.
Berdasarkan penjelasan di atas maka terdapat tiga tindakan yang biasa
dilakukan media khususnya oleh komunikator ketika ingin melakukan
konstruksi realitas yaitu pemilihan symbol (fungsi bahasa), pemilihan
fakta yang akan disajikan, dan kesediaan memberi tempat.
2.2 Media Baru
Media komunikasi saat ini yang sedang mengalami pertumbuhan
pesat ialah media baru yang sebagian besarnya berupa media digital,
komputer, dan jaringan informasi dan komunikasi di abad ke-20.10
Komputer dan internet merupakan beberapa contoh nyata media dari hasil
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang sedang
banyak digunakan. Bahkan penggunaan internet kini sudah menjadi bagian
dari kehidupan yang tidak dapat dilepaskan.
Perkembangan teknologi informasi mengubah kebiasaan
masyarakat untuk berkomunikasi, mengonsumsi barang ataupun jasa, dan
sebagainya. Beberapa perkembangan digital dapat ditandai dengan
pengutamaan pada personalia, partisipasi, dan kemitraan, serta penggunaan
platform media sosial.11 Teknologi informasi inilah yang saat ini populer
dikenal dengan new media (media sosial).12 Eksistensi media baru banyak
10 Yesi Puspita, “Pemanfaatan New Media dalam Memudahkan Komunikasi dan Transaksi
Pelacur Gay”, Jurnal Pekommas Vol. 18 No. 3, 2015, hlm.204
(https://jurnal.kominfo.go.id/index.php/pekommas/article/view/1180306/256 diakses pada tanggal
28 April 2019) 11 Agung Laksamana, Public Relations in the Age of Disruption, (Yogyakarta: Bentang Pustaka,
2018), hlm. 49 12 Yesi Puspita, “Pemanfaatan New Media dalam Memudahkan Komunikasi dan Transaksi
Pelacur Gay”, Jurnal Pekommas Vol. 18 No. 3, 2015, hlm.204
24
membawa manfaat baik dari sisi positif ataupun negatif. Beberapa manfaat
yang dapat dirasakan dari adanya new media ialah kemudahan masyarakat
dalam memperoleh informasi. Selain itu, kini banyak juga instansi ataupun
organisasi yang menggunakan new media untuk menjangkau audience
mereka.
Youtube merupakan bagian dari new media yang saat ini sedang
banyak diminati masyarakat. Sambutan masyarakat terhadap Youtube
dinilai sangat fantastis. Lebih dari 1,9 miliar pengguna yang mengunjungi
youtube di setiap bulannya dan juga lebih dari dari satu miliar orang setiap
harinya menonton youtube.13 Hal ini merupakan sepertiga dari seluruh
pengguna internet di dunia. Popularitas Youtube diprediksi akan terus
mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah pengguna.14
Tingginya popularitas yang didapatkan oleh Youtube dilatar belakangi oleh
meningkatnya nilai fungsi Youtube sebagai bagian dari new media. Kini
Youtube dapat diakses dalam 80 bahasa dan telah meluncurkan versi
lokalnya di 91 negara. Selain itu, dikutip dari globalwebindex dalam
katadataco.id bahwa YouTube merupakan platform media sosial yang
paling sering digunakan dengan persentase sebanyak 43%.15
(https://jurnal.kominfo.go.id/index.php/pekommas/article/view/1180306/256 diakses pada tanggal
28 April 2019) 13 Youtube, www.youtube.com diakses tanggal 14 April 2019 14 Diaz Praditya, “3 Fakta Menarik dari Riset Google Tentang Perkembangan Youtube di
Indonesia”, (https://id.techinasia.com/fakta-perkembangan-youtube-di-indonesia, diakses pada
tanggal 14 April 2019 15 Katadata, “Ini Media Sosial Paling Populer di Indonesia”,
(https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/02/01/media-sosial-apa-yang-paling-sering-
digunakan-masyarakat-indonesia, diakses pada tanggal 14 April 2019).
25
2.2.1 Youtube Sebagai Media Dakwah
Dewasa ini tidak dapat dipungkiri bahwa dakwah melalui
media sosial merupakan pilihan dari banyak dai. Salah satunya yaitu
Youtube. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini akan sangat
menguntungkan apabila dimanfaatkan dengan maksimal dan bijak
oleh para dai. Sebagai platform yang berisikan konten video,
YouTube diklasifikasikan sebagai kategori media audio visual.
Sehingga jika digunakan sebagai media dakwah di era saat ini akan
memberikan informasi yang efektif karena mudah diterima oleh
masyarakat.
Salah satu pertimbangan utama untuk menjadikan YouTube
sebagai media dakwah tentu saja berkaitan erat dengan posisi dari
YouTube itu sendiri sebagai platfrom media sosial terkemuka dan
paling diminati saat ini. YouTube sebagai media dakwah merupakan
hasil dari pemanfaatan dan penerapan hasil teknologi modern. Selain
itu, memanfaatkannya sebagai media dakwah juga merupakan
bagian dari kulturasi dakwah, yakni dakwah yang
mempertimbangkan potensi dan kecenderungan kultural yang ada di
masayarakat.16 Di mana nantinya dengan pemanfaatan dan
penerapan ini diharapkan dapat mecapai sasaran dakwah yang lebih
optimal.
16 Abdullah, Ilmu Dakwah Kajian Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan Aplikasi Dakwah,
(Depok: Rajawali Pers, 2018), hlm. 161
26
2.3 Analisis Wacana
Wacana banyak digunakan dalam berbagai disiplin ilmu. Mulai dari
studi bahasa, komunikasi, sastra, psikologi, politik dan sebagainya. Namun
secara spesifik definisi, pengertian, atau arti dari wacana itu sendiri sesuai
dengan konteks disiplin ilmu tersebut. Sehingga banyak ahli yang
mendefinsikan dan memberikan batasan yang berbeda-beda. Istilah wacana
saat ini digunakan sebagai terjemahan dari perkataan bahasa Inggris yaitu
discourse. Kata discourse berasal dari bahasa Latin discursus, dis : ‘dari,
dalam arah yang berbeda’, dan currere ‘lari’.17
Yoce Aliah menjelaskan bahwa wacana ialah satuan bahasa yang
lengkap, sehingga dalam urutan tingkatan tata bahasa merupakan satuan tata
bahasa tertinggi dan terbesar.18 Sementara itu Sobur mengartikan wacana
sebagai rangkaian kata atau tindak tutur yang mengungkapkan akan suatu hal,
disajikan secara teratur, sistematis, dalam satu kesatuan yang berhubungan,
baik yang dibentuk secara segmental ataupun nonsegmental bahasa.19 Jika
berpegang dari definisi di atas, maka semua tulisan yang teratur, yang sesuai
dengan urut-urutan semestinya, atau logis dapat dikatakan sebagai wacana.
Oleh karena itu, wacana harus memiliki dua unsur yaitu kesatuan dan
kepaduan.
Pembahasan wacana dari segi lain dikemukakan oleh Muslimin
Machmud yang berpendapat bahwa wacana adalah proses pengembangan
dari komunikasi, menggunakan simbol-simbol, yang berkaitan dengan
17 Alex Sobur, AnalisisTteks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik,
dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2015), hlm. 9 18 Yoce Aliah, Analisis Wacana dalam Multiperspektif, (Bandung: Refika Aditama, 2014), hlm. 6 19 Alex Sobur, Op.Cit., hlm 11.
27
interpretasi dan peristiwa-peristiwa di dalam sistem kemasyarakatan yang
luas.20 Dalam pengertian lain juga, Hawthorn dalam Aris Badara menyebut
wacana merupakan komunikasi kebahasaan yang terlibat sebagai sebuah
pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas
personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya.21
Sara Mills dalam Eriyanto memberikan gambaran terkait perbedaan
disiplin ilmu analisis wacana.22 Menurut pandangan sosiologi, wacana
menjelaskan khususnya pada hubungan konteks sosial dari pemakaian
bahasa. Perspektif psikologi sosial, analisis wacana diartikan sebagai
pembicaraan. Wacana yang dimaksud di sini sedikit mirip dengan struktur
dan bentuk wawancara dan praktik dari pemakaiannya. Sementara dalam
lapangan politik analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama
politik bahasa. Sebab bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu
objek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah
yang dipelajari dalam analisis wacana.
Menurut Eriyanto (2003) dan Yoce Aliah (2014) dalam penerapannya
ada beberapa sudut pandang dalam menganalisis wacana. Perbedaan tersebut
didasari akan adanya perbedaan sudut pandang mengenai bahasa. Setidakya
terdapat tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana yakni
sebagai berikut: Pertama pandangan kaum positivisme-empiris, melihat
bahwa bahasa sebagai perantara antara manusia dengan objek di luar dirinya.
20 Muslimin Machmud, Tuntunan Penulisan Tugas Akhir Berdasarkan Prinsip Penelitian Ilmiah,
(Malang: Selaras, 2016), hlm. 162 21 Aris Badara, Analisis Wacana Teori, Metode, dan Penerapannya Pada Wacana Media, (Jakarta:
Kencana, 2012), hlm. 16 22 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 3
28
Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat diekpresikan secara
langsung melalui bahasa tanpa adanya kendala atau distorsi, sejauh
dinyatakan dengan pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis, dan memiliki
keterkaitan dengan pengalaman empiris. Dalam hubungannya dengan analisis
wacana, konsekuensi logis dari pandangan ini ialah orang tidak perlu
mengetahui makna-makna atau nilai-nilai yang mendasari pernyataannya.
Bagian terpentingnya ialah dalam analisis wacana dimaksudkan untuk
menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama.
Kemudia tolak ukurnya dengan pertimbangan benar atau tidak benar
berdasarkan sintaksis dan semantik. Kedua pandangan konstruktivisme, di
mana pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi.
Paradigma ini menganggap bahwa bahasa diatur dan dihidupkan oleh
penyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap peryataan merupakan sebuah
tindakan dari pembuatan makna seperti, tindakan pembentukan diri serta
pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Oleh karena itu, analisis wacana
dalam paradigma ini dimaksudkan sebagai suatu upaya membongkar atau
mengungkapkan maksud tersembunyi dari subjek yang mengemukakan suatu
pernyataan.
Ketiga pandangan paradigma kritis. Pandangan ini mengoreksi
pandangan konstruktivisme yang dianggap kurang sensitif pada proses
produksi dan reproduksi makna yang terjadi baik secara historis ataupun
institusional. Analisis wacana dalam paradigma ini menekankan pada
konstelasi (pengontrolan) kekuatan yang terjadi saat proses produksi dan
reproduksi makna. Subjek tidak dianggap sebagai pihak netral yang dapat
29
menafsirkan secara bebas sesuai dengan pemikirannya, akan tetapi sangat
berkaitan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada di dalam
masyarakat. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi
yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema wacana tertentu,
maupun strategi di dalamnya. Oleh karena itu dalam paradigma ini, analisis
wacana digunakan untuk membongkar kuasa yang ada di dalam setiap proses
produksi bahasa.
2.3.1 Pendekatan Analisis Wacana
Eriyanto (2003) dan Aliah (2014) dan Machmud (2016)
mengemukakan bahwa terdapat lima pendekatan dalam analisis
wacana kritis yang disampaikan para ahli. Pendekatan-pendekatan
tersebut antara lain:
a. Pendekatan Bahasa Kritis atau Analisis Bahasa Kritis
(Critical Linguistics)
Pendekatan bahasa kritis ini dibangun pada tahun 1970-an
oleh sekelompok pengajar di Universitas East Anglia. Pendekatan
ini memusatkan analisis wacana pada bahasa atau struktur tata
bahasa dan menghubungkannya dengan ideologi. Artinya
bagaimana tata bahasa membawa posisi dan makna ideologi
tertentu. Aspek ideologi dapat diamati dengan melihat pilihan
bahasa dan struktur tata bahasa yang digunakan. Bahasa dipahami
sebagai pilihan kata atau struktur bahasa yang akan dipilih dan
diungkapkan untuk menciptakan suatu makna ideologi tertentu.
30
Ideologi dalam taraf umum memperlihatkan cara suatu
kelompok berusaha mendapatkan dukungan publik, dan
kelompok lain berusaha untuk dimarginalkan lewat pemakaian
bahasa dan struktur tata bahasa tertentu. Bahasa merupakan suatu
sistem kategorisasi, di mana kosakata tertentu dapat dipilih
sehingga memberikan makna tertentu. Pemilihan penggunaan
kosa kata akan menunjukkan perbedaan satu kelompok dengan
kelompok lainnya. Dengan kata lain, sebuah peristiwa yang sama
dapat dibahasakan dengan bahasa yang berbeda tergantung pada
pengalaman budaya, politik, dan juga sosialnya.
b. Analisis Wacana Pendekatan Perancis (French Discourse
Analysis)
Pendekatan ini banyak dipengaruhi oleh teori ideologi
Althusser dan teori wacana Foucalt. Dalam pandangan ini, kata
yang digunakan serta makna dari kata-kata tersebut
memperlihatkan posisi seseorang dalam kelas tertentu. Bahasa
adalah tempat pertarungan, berbagai kelompok dan kelas sosial
berusaha menanamkan keyakinan dan pemahamannya.
Pendekatan ini berusaha memusatkan perhatian pada efek
ideologi dan bagaimana mengkomunikasikan sesuatu yang
memposisikan seseorang sebagai subjek dalam situasi sosial
tertentu.
31
c. Pendekatan Kognisi Sosial (Socio Cognitive Approach)
Pendekatan kognisi sosial ini dikembangkan oleh pengajar
Universitas Amsterdam, Belanda, dengan tokoh utamanya Teun
A. Van Dijk. Pendekatan ini disebut juga dengan kognisi sosial.
Van Dijk memandang bahwa faktor kognisi sebagai elemen
terpenting dalam produksi wacana. Dalam hal ini wacana bukan
saja berdasarkan struktur wacana, tetapi juga menyertakan
bagaimana proses wacana itu dihasilkan. Berdasarkan analisis
teks misalnya dapat diketahui bahwa wacana cenderung
memojokkan kelompok minoritas dalam berbagai pembicaraan
publik. Sedangkan menurut Van Dijk munculnya wacana seperti
itu hanya tumbuh dalam suasana kognisi pembuat teks yang
berpandangan cenderung memojokkan kelompok minoritas.
Terkait hal ini, dengan melakukan penelitian yang lebih luas dan
mendalam mengenai kognisi sosial akan dapat dilihat sejauh
mana keterkaitan tersebut, sehingga wacana dapat dilihat secara
lebih utuh.
d. Pendekatan Perubahan Sosial (Sociocultural Change
Approach)
Analisis wacana ini memusatkan perhatian pada bagaimana
wacana dan perubahan sosial. Pendekatan ini melihat wacana
sebagai praktik sosial. Memandang wacana sebagai praktik
sosial, ada keterkaitan dialektis antara praktik diskursif tersebut
32
dengan identitas dan relasi sosial. Wacana juga melekat pada
situasi, institusi, dan kelas sosial tertentu.
e. Pendekatan Wacana Sejarah (Discourse Historical
Approaches)
Pendekatan wacana sejarah ini dikembangkan oleh
sekelompok pengajar di Vienna di bawah Ruth Wodak dan
koleganya. Wodak dan keloganya dipengaruhi oleh pemikiran
dari sekolah Frankfurt, khususnya Jurgen Habermas.
Penelitiannya terutama untuk menunjukkan bagaimana wacana
seksisme, antisemit dan rasialisme dalam media dan masyarakat
kontemporer. Analisis wacana yang dikembangkan oleh Ruth
Wodak disebut juga wacana historis. Menurut Wodak dkk
analisis wacana harus mengikutsertakan konteks sejarah,
bagaimana wacana tentang suatu kelompok dijelaskan. Sebagai
contoh penggambaran yang buruk atau rasis tentang suatu
kelompok, menurut Wodak hal tersebut terbangun melalui proses
sejarah yang panjang. Prasangka, bias, dan sebagainya harus
dibuka dengan melakukan tinjauan sejarah.
33
2.4 Dakwah
2.4.1 Pengertian Dakwah
Secara etimologis dakwah berasal dari bahasa Arab yakni
da’a, yad’u, da’watan yang artinya seruan, ajakan, panggilan.23
Sedangkan secara terminilogis banyak para ahli telah
mendefinisikan apa itu dakwah. Setiap ahli memberikan definisi
yang berbeda-beda, sehingga istilah dari satu ahli ke ahli lainnya
sering kali terdapat kesamaan ataupun perbedaan. Menurut Wahyu
Ilaihi dakwah adalah ajakan atau seruan kepada manusia untuk ke
jalan kebaikan dan menjadi yang lebih baik.24
Toha Yahya menjelaskan bahwa dakwah merupakan proses
mengajak manusia untuk ke jalan Tuhan dengan cara yang bijaksana
agar memperoleh keselamatan serta kebahagiaan di dunia dan
akhirat.25 Sementara itu, Kustadi Suhandang mengartikan dakwah
dengan perspektif komunikasi. Istilah dakwah dapat diartikan
sebagai mengkomunikasikan ajaran Islam dengan artian kegiatan
pelaku dakwah dalam menyerukan kepada manusia untuk menganut
ajaran Islam, memberikan informasi pesan-pesan dakwah tentang
amar makruf nahi mungkar baik secara lisan ataupun tulisan agar
terwujudnya kebahagiaan di dunia dan di akhirat. 26
23 Samsul Munir, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 1 24 Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010), hlm. 17 25 Toha Yahya, Islam dan Dakwah, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2004), hlm.67 26 Kustadi Suhandang, Ilmu Dakwah, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2018), hlm. 12
34
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa dakwah merupakan kegiatan untuk menyerukan, mengajak,
dan memanggil manusia untuk beriman dan taat kepada Allah SWT
sesuai dengan aqidah dan syariat Islam yang dilakukan dengan
berbagai cara demi tercapainya kemaslahatan dan kebahagiaan di
dunia maupun di akhirat.
2.4.2 Tujuan Dakwah
Kegiatan dakwah adalah serangkaian kegiatan untuk
mencapai tujuan tertentu. Tujuan ini dimaksudkan untuk
memberikan arahan, pedoman, petunjuk, dan metode pada aktivitas
dakwah. Di mana para pelaku dakwah harus dapat memahami apa
tujuan akhir dari semua aktivitas dakwah yang dilaksanakan. Lebih
dari itu tujuan dakwah juga menentukan dan berpegaruh terhadap
penggunaan metode, media, sasaran, hingga strategi dakwah. Oleh
karena itu, dengan adanya tujuan yang jelas dapat memudahkan
pelaku dakwah dalam melaksanakan aktivitas dakwah.
a. Secara khusus Wahyu Illahi membedakan tujuan dakwah
menjadi beberapa segi yaitu:27
• Segi mitra dakwah
⎯ Tujuan perseorangan, terbentuknya pribadi muslim
dengan memiliki iman yang kuat, berperilaku sesuai
dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah SWT
dan berakhlak karimah.
27 Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010), hlm. 39
35
⎯ Tujuan untuk keluarga, terbentuknya keluarga bahagia
yang penuh dengan ketentraman dan cinta kasih antara
anggota keluarga.
⎯ Tujuan untuk masyarakat, terciptanya kesejahteraan
masyarakat yang dikelilingi dengan suasana keislaman.
⎯ Tujuan untuk umat manusia di seluruh dunia, terciptanya
kehidupan masyarakat dunia yang dikelilingi dengan
kedamaian dan ketentraman seperti tegaknya keadilan,
persamaan hak dan kewajiban, tidak mendiskriminasi,
saling membantu dan menghormati antar umat manusia.
• Segi Pesan
⎯ Tujuan Akidah, tertanamnya suatu akidah yang mantap
di dalam hati umat manusia, sehingga tidak ada lagi
keraguan yang muncul terhadap ajaran-ajaran Islam.
⎯ Tujuan Hukum, terbentuknya pribadi muslim yang
berakhlakul karimah, patuh terhadap hukum-hukum
yang telah disyariatkan oleh Allah SWT.
b. Jalaluddin Rakhmat dalam Wahyu Ilaihi juga mengungkapkan
tujuan dakwah dalam perpektif komunikasi yaitu:28
• Informatif (Memberitahukan)
Ditujukan untuk menambah wawasan dan pengetahuan
penerima dakwah. Dalam hal ini pelaku dakwah selaku
28 Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010), hlm. 39
36
komunikator memberikan penjelasan dan keterangan-
keterangan terkait topik yang dibahas.
• Persuasif (Mempengaruhi)
Ditujukan agar orang percaya terhadap apa yang
disampaikan sehingga tumbuh kesadaran, semangat, dan
antusias untuk melalukannya.
• Rekreatif (Menghibur)
Pada tujuan ini, reaksi pendengar adalah yang
diharapkan terhadap humor, perhatian, dan kesenangan
dalam menerima dakwah. Sehingga dalam menyampaikan
dakwah menggunakan bahasa yang ringan dan mudah
dimengerti oleh penerima dakwah.
Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa tujuan dakwah
adalah terwujudnya ajaran-ajaran Islam dari segala aspek kehidupan
sehingga dapat mendatangkan kedamaian, ketentraman, dan
kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.
2.4.3 Unsur-unsur Dakwah
Unsur-unsur dakwah merupakan salah satu hal penting di
dalam kegiatan dakwah. Sebab, jika unsur-unsur tersebut tidak
terpenuhi maka kegiatan dakwah akan mengalami hambatan hingga
kegagalan. Unsur-usur dakwah merupakan komponen yang ada pada
setiap aktivitas dakwah. Adapun unsur-unsur dakwah menurut Aziz
(2004) dan Ilaihi (2010) meliputi Da’i (pelaku dakwah), Mad’u
37
(penerima dakwah), Maddah (materi dakwah), Wasilah (media
dakwah), Atsar (efek dakwah), dan Thariqah (metode dakwah).
Adapun Tata Sukayat mengklasifikasikan unsur-unsur
dakwah meliputi Da’i, Mad’u, Mawdhu’al-da’wah (pesan
dakwah), Uslub al-Da’wah (metode dakwah), Wasilah al-Da’wah
(media dakwah).29 Secara garis besar unsur-unsur dakwah yang
diklasifikasikan oleh Tata sama dengan Ilaihi dan Aziz. Hanya saja
letak perbedaan terdapat pada efek dakwah. Dalam
mengklasifikasikan unsur-unsur dakwah Tata tidak memasukkan
efek dakwah ke dalamnya. Pada penelitian ini yang peniliti gunakan
ialah milik Ilaihi dan Aziz. Sebab, selain karena mengikuti
pernyataan terbanyak di sini peneliti menganlisis dalam konteks
komunikasi dakwah. Di mana dalam unsur-unsur komunikasi
terdapat efek di dalamnya agar dapat membangun sebuah
komunikasi yang sempurna. Adapun penjelasan unsur-unsur
dakwah secara lebih dalam antara lain:
a. Dai (Pelaku Dakwah)
Dai merupakan orang yang melakukan aktivitas dakwah
secara lisan, tulisan, ataupun perbuatan dan baik dilaksanakan
secara individu, kelompok, maupun organisasi atau lembaga.30 Di
dalam masyarakat Islam Indonesia istilah dai juga sering disebut
dengan mubaligh, ulama, dan kiai. Ketiga aspek tersebut
memiliki makna yang lebih sempit atau dapat dikatakan bahwa
29 Tata Sukayat, Quantum Dakwah, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 25 30 Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010), hlm. 19
38
ketiga istilah tersebut digunakan untuk aspek yang menonjol dari
kepemimpinan agama tersebut.
Faktor pelaku dakwah cukup menentukan sebagai salah
satu keberhasilan dakwah. Maka para pelaku dakwah hendaknya
mampu menjadi penggerak dakwah yang profesional. Selain itu,
pelaku dakwah juga harus paham dan menguasai tentang apa
yang akan disampaikan dalam berdakwah, serta dapat
memberikan solusi terhadap problema yang dihadapkan manusia,
menghadirkan metode-metode agar pemikiran dan perilaku
manusia tidak melenceng. Sehubungan dengan hal tersebut
adapun sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang dai yaitu:31
• Memahami serta mendalami Al-Qur’an, As-Sunnah, dan
sejarah kehidupan Rasul, serta lemah lembut dan bijaksana.
• Paham akan keadaan masyarakat yang akan menerima
dakwah.
• Memiliki keberanian dalam mengungkapkan kebenaran.
• Ikhlas dalam melaksanakan aktivitas dakwah dan tidak
tergoda dengan nikmat materi.
• Memiliki keseimbangan antara apa yang dikatakan dengan apa
yang dilakukan.
• Dapat menghindari dan terjauh dari hal-hal yang dapat
menjatuhkan harga diri.
b. Mad’u (Penerima Dakwah)
31 Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 81
39
Mad’u adalah pihak yang menerima atau menjadi sasaran
dakwah untuk tujuan tertentu. Dalam hal ini pihak yang
menerima pesan adalah semua orang yang dijadikan sasaran
aktivitas dakwah dapat berupa individu maupun kelompok.
Syamsuddin mengungkapkan, jika ditinjau dari segi kerisalahan
Rasulullah SAW maka mad’u (penerima dakwah) dapat
digolongkan menjadi dua kelompok:32 pertama, umat dakwah
yakni umat yang belum meyakini, menerima, dan mengamalkan
ajaran-ajaran Islam. Kedua, umat ijabah yakni umat yang secara
ikhlas telah memeluk agama Islam dan disamping itu kepada
mereka juga diberikan tanggung jawab untuk melakukan aktivitas
dakwah. Sedangkan Abduh dalam Wahyu Ilaihi membagi mad’u
menjadi tiga golongan sebagai berikut:33
• Golongan cerdik cendikiawan: golongan ini merupakan
golongan yang cinta akan kebenaran, dapat berpikir kritis dan
juga dapat cepat menangkap persoalan.
• Golongan awam: kebanyakan orang pada golongan ini belum
dapat berpikir secara kritis dan mendalam. Selain itu golongan
ini juga belum dapat menangkap dan memahami makna yang
tinggi.
32 Syamsuddin AB, Pengantar Sosiologi Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 14
(https://books.google.co.id/books?id=Q9xDDwAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=sosiologi+dak
wah&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjP2bm71LbhAhVZfX0KHb9pCF8Q6AEIKTAA#v=onepage
&q=sosiologi%20dakwah&f=false diakses tanggal 06 April 2019). 33 Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010), hlm. 20
40
• Golongan yang berbeda dengan golongan di atas adalah
mereka yang suka membahas sesuatu, tapi hanya dalam batas-
batas tertentu, serta tidak sanggup mendalami dengan benar.
Dengan demikian mengingat keberadaan mad’u yang beraneka
ragam baik dari strata ekonomi, tingkat pendidikan, usia, jenis
kelamin, dan lain sebagainya maka dai sebagai pelau dakwah perlu
memperhatikan hal tersebut. Selain itu nantinya juga dapat dijadikan
pertimbangan dalam menentukan model berdakwah. Sehingga
aktivitas dakwah yang dilakukan berhasil menyentuh persoalan
kehidupan umat manusia dan dapat berjalan secara efektif.
c. Maddah (Materi Dakwah)
Materi dakwah adalah isi pesan yang ingin disampaikan
dari dai kepada mad’unya yaitu tentang ajaran-ajaran Islam
sebagaimana yang terdapat dalam Al-Quran ataupun Al-Hadist.34
Pada dasarnya materi dakwah yang disampaikan tergantung
dengan tujuan yang ingin dicapai dalam aktivitas dakwah. Oleh
karena itu, pelaku dakwah perlu memperhatikan siapa yang akan
menjadi penerima dakwahnya. Berikut ini beberapa klasifikasi
materi dakwah menurut beberapa ahli:
a. Wahyu Ilaihi mengkelompokkan materi dakwah menjadi tiga
yaitu akidah, syariah, dan akhlak.35
34 Syamsuddin AB, Pengantar Sosiologi Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 15
(https://books.google.co.id/books?id=Q9xDDwAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=sosiologi+dak
wah&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjP2bm71LbhAhVZfX0KHb9pCF8Q6AEIKTAA#v=onepage
&q=sosiologi%20dakwah&f=false diakses tanggal 06 April 2019). 35 Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010), hlm. 20
41
b. Menurut Enung Asmaya (2004) dan Samsul Munir (2009)
materi dakwah disesuaikan pada tujuan dakwah yang ingin
dicapai. Namun, secara umum kategorisasi pesan dakwah
tersebut antara lain keimanan (akidah), masalah keislaman
(syariah), masalah budi pekerti (akhlaq al-karimah).
c. Syahidin dkk mengkategorisasikan materi dakwah ke dalam
empat hal yaitu: aqidah, syariah (ibadah), syari’ah
(muamalah), dan akhlaq dan tasawuf.36
Dengan demikian di sini peneliti mengklasifikaikan materi
dakwah menjadi tiga yakni akidah, syariah, dan akhlak sesuai dengan
penjelasan sumber-sumber terbanyak. Berikut ini penjelasan dari
masing-masing materi dakwah:
• Akidah
Secara bahasa Akidah berasal dari kata “aqada , ya’qidu,
aqdan” yaitu “mengikatkan atau mempercayai atau meyakini.37
Jadi, akidah memiliki arti yaitu ikatan, kepercayaan atau
keyakinan dengan apa yang telah ditetapkan dan diwajibkan oleh
Allah SWT. Pesan Akidah dalam Islam erat kaitannya dengan
rukun iman. Hal ini seperti yang dijelaskan Wahyu Ilaihi bahwa
pesan aqidah meliputi Iman kepada Allah SWT, Iman kepada
Malaikat, Iman kepada Kitab-kitab Allah SWT, Iman kepada
36 Syahidin dkk, Moral dan Kognisi Islam, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 91 37 Ibid., hlm. 91.
42
Rasul-rasul Allah SWT, Iman kepada Hari Akhir, Iman kepada
Qadha dan Qadhar.38
• Syari’ah
Syari’ah menurut etimologis berarti jalan, aturan, ketentuan
ataupun undang-undang yang telah dibuat oleh Allah SWT.
Sedangkan secara terminologis syari’ah ialah aturan, ketentuan,
atau hukum-hukum dari Allah SWT yang berisikan tentang tata
cara pengaturan perilaku hidup manusia dalam menjalin
hubungan dengan Allah, sesama manusia, dan lingkungan untuk
mendapatkan ridha Allah SWT.39 Ruang lingkup Syariah
mencakup dua persoalan pokok yaitu :
⎯ Ibadah khusus atau ibadah Mahdlah, yakni ibadah yang
dalam pelaksanaannya telah dicontohkan secara langsung
oleh Nabi Muhammad SAW seperti shalat, zakat, puasa,
thaharah, haji.
⎯ Ibadah umum atau Ghair Mahdlah dapat disebut juga
muamalah. Muamalah adalah bentuk ibadah yang bersifat
umum dan dalam pelaksanaannya tidak semuanya
dicontohkan langsung oleh Rasulullah. Hanya prinsip-
prinsip dasar yang diberikan oleh Rasulullah. Ruang lingkup
Muamalah mencakup seperti aturan-aturan dasar hubungan
antar manusia, hukum perdata meliputi hukum niaga, hukun
38 Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010), hlm. 101-102 39 Syahidin dkk, Moral dan Kognisi Islam, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 115
43
nikah, hukum waris, dan sebagainya. Selain hukum perdata
juga mencakup hukum publik yang meliputi hukum pidana,
hukum tata negara, hukum perang dan damai, dan
sebagainya.
• Akhlak
Secara etimologis kata akhlak berasal bahasa arab jama’
yakni khuluqun (perangai, budi pekerti, dan tingkah laku) atau
dari kata khalqun (kejadian, ciptaan, dan buatan).40 Sehingga
akhlak dapat didefinisikan sebagai terbentuknya sistem nilai yang
didalamnya mengatur pola sikap dan tindakan manusia di bumi.
Dengan demikian, ruang lingkup akhlak mencakup hal-hal
sebagai berikut:
⎯ Akhlak terhadap Allah SWT seperti bertaqwa kepada Allah,
memohon pertolongan Allah, berdzikir siang atau malam,
bertawakal kepada Allah
⎯ Akhlak terhadap makhluk yakni: pertama, terhadap manusia
seperti kepada Rasulullah (menegakkan sunnah Rasul,
bersholawat untuk Rasul), kepada diri sendiri (bersyukur atas
nikmat Allah, tawadhu, tidak sombong, jujur dan
sebagainya), kepada keluarga (berbakti kepada orang tua,
baik bertutur kata, dan sebagainya), kepada tetangga atau
masyarakat ( menegakkan keadilan, membela orang-orang
lemah, menjaga perasaan sesama manusia, mentaati
62 Syahidin dkk, Moral dan Kognisi Islam, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 235
44
pemimpin, terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan, dan
sebagainya). Kedua, akhlak terhadap lingkungan seperti
menjaga kelestarian alam, tidak membuang sampah
sembarangan, tidak membunuh binatang secara liar, dan
sebagainya.
d. Wasilah (Media Dakwah)
Agar aktivitas dakwah yang dilakukan dapat berjalan
dengan cepat, tepat, dan sinergis maka diperlukan sebuah media
untuk menyampaikan pesan dakwah. Enung Asmaya
menjelaskan media dakwah adalah segala sesuatu yang dapat
digunakan untuk menjadi alat dalam mencapai tujuan dakwah
yang telah ditetapkan.41 Abdullah juga mendefinisikan media
dakwah adalah sebuah alat atau sarana yang dapat dipergunakan
untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam dari dai kepada
mad’u.42 Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa
media dakwah merupakan sarana atau alat yang digunakan untuk
mencapai tujuan dalam menyampaikan materi dakwah dari dai
kepada jamaahnya.
Media dakwah merupakan salah satu unsur penting dalam
mengembangkan aktivitas dakwah saat ini. Oleh sebab itu, dalam
memilih dan menentukan media dakwah terlebih dahulu melihat
keadaan masyarakat yang ingin ditargetkan. Hal ini bertujuan
41 Enung Asmaya, AA Gym Dai Sejuk dalam Masyarakat Majemuk, (Jakarta: Hikmah, 2004), hlm.
39-40 42 Abdullah, Ilmu Dakwah Kajian Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan Aplikasi Dakwah,
(Depok: Rajawali Pers, 2018)., hlm. 147
45
agar memudahkan dai dalam menyampaikan pesan-pesan
dakwah kepada mad’u-nya. Selain itu, agar pesan-pesan dakwah
yang disampaikan juga dapat berjalan dengan efektif para ahli
telah mengklasifikasikan media dakwah sebagai berikut:
a. Ali Aziz mengklasifikasikan bentuk dakwah berdasarkan
dari segi sifatnya yakni:43
• Media tradisional: berbagai macam seni pertunjukan yang
dipentaskan di depan khalayak secara tradisional, seperti
ludruk, wayang, drama, dan sebagainya.
• Media modern: media yang terlahir dari teknologi, seperti
televisi, radio, surat kabar, dan sebagainya.
b. Berikut ini berbagai macam media dakwah yang telah
diklasifikasikan oleh Abdullah:
• Media Cetak
Semua jenis tulisan atau barang yang di cetakan
dapat disebut media cetak. Sebuah media cetak dapat
dikatakan sebagai media dakwah apabila isi cetakan
mengandung pesan ajaran Islam. Adapun jenis-jenis
media cetak yaitu :
⎯ Surat Sebagai Media Dakwah
Media surat telah dipraktekkan pada zaman Nabi
Sulaiman as dan Nabi Muhammad SAW untuk
berdakwah. Nabi Sulaiman as saat berkomunikasi
43 Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 149
46
dengan Ratu Balqis menggunakan dua media sekaligus
yaitu surat dan burung Hud-hud. Surat dapat dikatakan
media sebab dapat menghubungkan antara komunikator
dan komunikan. 44
⎯ Brosur dan Buletin
Brosur dan buletin memiliki makna yag berbeda.
Jika brosur biasanya tidak diterbitkan secara berkala
namun sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan untuk
buletin biasanya diterbitkan secara berkala seperti
mingguan, dua minggu sekali ataupun bulanan. Namun
yang paling penting ialah bahwa dua media ini dapat
dijadikan sebagai media dakwah yang efektif untuk
berdakwah.
⎯ Surat Kabar
Surat kabar merupakan salah satu media yang
dapat membentuk opini masyarakat, karena fungsi
pertama dan utamanya ialah menyiarkan informasi.45
Umumnya orang membeli surat kabar untuk
memperoleh informasi atau berita terkait peristiwa yang
baru terjadi. Namun melalui surat kabar, orang juga
dapat memperoleh gagasan atau pikiran orang lain. Surat
kabar juga memuat dan mempublikasikan tulisan-tulisan
44 Abdullah, Ilmu Dakwah Kajian Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan Aplikasi Dakwah,
(Depok: Rajawali Pers, 2018), hlm. 154 45 Ibid., hlm 155.
47
yang bernuansa ilmu pengetahuan. Kaitannya dengan
dunia dakwah, berdakwah menggunakan media ini dapat
berwujud seperti berita-berita Islam, artikel-artikel
Islam, dan sebagainya.
• Media Audio
Media audio merupakan alat yang dapat digunakan
untuk menunjang kegiatan dakwah melalui indera
pendengaran. Jenis-jenis media yang tergolong dalam
media ini yakni radio, tape recorder. Di era modern media
audio masih cukup diminati dan disukai oleh masyarakat.
Faktor lain yang menyebabkan radio masih menjadi salah
satu pilihan untuk dinikmati ialah radio memiliki tiga
unsur sumber daya tarik yang serba hidup yakni musik,
kata-kata, dan efek suara.
Radio juga akan sangat efektif bila digunakan
sebagai media dakwah. Sebab radio merupakan alat
komunikasi yang dapat menjangkau hingga ke tempat-
tempat terpencil. Daerah-daerah terpencil yang sulit
dijangkau dakwah melalui media lain, dapat diatasi
dengan media audio ini. Radio juga dianggap memiliki
kekuatan yang tidak mengenal jarak dan ruang selain
waktu.
48
Selain itu, berdakwah menggunakan tape recorder
juga dapat berjalan dengan efektif. Mengingat fungsi dari
media ini ialah untuk merekam suara ke dalam pita kaset.
Dengan menggunakan tape recorder informasi yang
disampaikan oleh dai dapat direkam secara utuh. Selain
itu, kelebihan dari media ini ialah rekaman dakwah dapat
diputar secara berulang-ulang.
• Media Audio Visual
Media audio visual ialah sebuah sarana atau alat
yang dapat menampilkan unsur visual dan suara secara
bersamaan untuk menyampaikan sebuah pesan dan
informasi.
⎯ Televisi Sebagai Media Dakwah
Media televisi merupkan salah satu media yang
sangat diminati oleh masyarakat. Berbagai perubahan
sosial yang terjadi di masyarakat tidak dapat
dipisahkan dari peran media televisi. Jika berdakwah
dengan memanfaatkan media televisi dengan baik,
maka jangkauan dakwah akan lebih luas dan kesan
keagamaan yang ditimbulkan akan lebih mendalam.
Aktivitas dakwah melalui televisi dapat dilakukan
dengan berbagai cara seperti ceramah, sandiwara,
drama, dan sebagainya.
49
⎯ Film
Film hingga saat ini masih sangat diminati oleh
masyarakat Indonesia. Salah satu kelebihan
berdakwah melalui media film dapat memberikan
gambaran secara langsung kepada penontonnya.
Banyak hal yang terkadang sulit untuk dijelaskan,
dapat divisualkan melalui adegan-adegan di dalam
film. Berdakwah melalui film juga dapat
mempengaruhi dan menyentuh emosi penonton
secara tidak langsung.
• Media Internet
Perkembangan teknologi komunikasi telah
melalui proses perubahan yang signifikan. Saat ini hampir
tidak ada lagi batasan bagi manusia untuk berkomunikasi
kapan saja dan di mana saja. Terlebih lagi memasuki era
transisi yakni dari era globalisasi menuju era digitalisasi,
yang dimana saat ini peranan new media dan media sosial
dalam dunia dakwah sangat penting dan mulai banyak
digunakan. Kini aktivitas dakwah tidak hanya dilakukan
di masjid saja tetapi juga dapat dilakukan di internet. Bagi
masyarakat perkotaan internet sudah sangat dekat dengan
kehidupan kesaharian mereka, karena informasi telah
menjadi kebutuhan pokok yang dapat diakses melalui
smartphone. Melalui dunia maya, berikut ini media-media
50
yang dapat dijadikan untuk media dakwah yaitu blog,
email, mailing list, forum diskusi, dan wikipedia.46
Selain itu media sosial seperti facebook juga
sangat dapat digunakan untuk berdakwah.47 Melihat
beberapa tahun terakhir facebook merupakan salah satu
jejaring sosial yang cukup banyak digunakan oleh
masyarakat. Facebook memiliki jutaan pengguna dengan
berbagai macam latar belakang pendidikan, profesi, dan
sebagainya. Mulai dari anak muda hingga orang dewasa,
dari masyarakat terpelajar hingga orang awam.
Berdakwah menggunakan facebook memiliki beraneka
ragam kelebihan. Misalnya seperti berbagi pesan-pesan
dakwah yang ringan dan mudah dipahami, saling
mengingatkan kepada kebaikan, mengundang untuk hadir
pada acara-acara keagamaan yang terdekat. Sehingga
pesatnya teknologi informasi harus dimanfaatkan dan
ditentukan ke arah mana media tersebut akan digunakan.
Berdasarkan diskusi para ahli terkait bentuk-bentuk media
dakwah, pada dasarnya semua jenis media dapat digunakan sebagai
alat atau sarana dalam menyampaikan pesan dakwah. Masing-masing
media tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan. Untuk itu,
46 Abdullah, Ilmu Dakwah Kajian Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan Aplikasi Dakwah,
(Depok: Rajawali Pers, 2018), hlm. 160 47 Abdullah, Ilmu Dakwah Kajian Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan Aplikasi Dakwah,
(Depok: Rajawali Pers, 2018), hlm. 160
51
bagaimana pelaku dakwah nantinya dalam memilih media yang
efektif dan efisien untuk dijadikan alat mencapai tujuan dakwahnya.
Salah satu yang perlu diperhatikan ialah bahwa saat ini telah
memasuki era teknologi informasi. Di mana banyak media-media baru
yang bermunculan dan juga sangat dekat dengan keseharian
masyarakat. Oleh karena itu untuk peningkatan dan pengembangan
sekaligus efisiensi dakwah, semua media tersebut harus dimanfaatkan
dengan baik. Keberhasilan media dakwah untuk era teknologi ini
tentunya berpeluang pada kesiapan pengemban dakwah, terutama
calon-calon pelaku dakwah yang memiliki kreativitas, keterampilan ,
dan intelektualitas yang mendukung. Satu hal yang perlu dilakukan
dalam konteks dakwah di era teknologi informasi ini yaitu kesiapan
dalam mengkonstruksi ataupun mendekonstruksi konsep para pelaku
dawkah.
e. Thariqah (Metode Dakwah)
Metode dakwah adalah cara-cara yang dipilih oleh dai
untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah kepada mad’u baik
secara individu, kelompok, dan masyarakat agar pesan dakwah
mudah diterima, diyakini, dipahami, dan diamalkan.48 Selain itu,
metode dakwah juga perlu digunakan sebagai cara agar tujuan
dakwah dapat berhasil. Enung Asmaya (2004) dan Wahyu Ilaihi
48 Syamsuddin AB, Pengantar Sosiologi Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 15
(https://books.google.co.id/books?id=Q9xDDwAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=sosiologi+dak
wah&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjP2bm71LbhAhVZfX0KHb9pCF8Q6AEIKTAA#v=onepage
&q=sosiologi%20dakwah&f=false diakses tanggal 07 April 2019).
52
(2010) dan Syamsuddin (2016) dan Abdullah (2018) sependapat
dalam menjelaskan prinsip-prinsip menggunakan metode dakwah
yang menjadi dasar dalam melakukan aktivitas dakwah yaitu:
• Hikmah, yakni berdakwah dengan memperhatikan keadaan
dan kondisi mad’u dengan menekankan pada kepandaian
mereka melalui kata-kata bijak. Sehingga di dalam
menjalankan ajaran-ajaran Islam selanjutnya, mereka tidak
mengalami keterpaksaan.
• Mauizhah Hasanah, yakni berdakwah dengan menggunakan
nasihat-nasihat atau menyampaikan dengan kasih sayang
seperti menggunakan perumpaan yang menyentuh hati sesuai
dengan tingkat pengetahuan mereka yang sederhana.
• Mujadalah, yakni berdakwah dengan cara bedebat atau
bertukar pikiran dan membantah dengan cara yang terbaik
yaitu dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari
kekerasan dan umpatan, serta tidak menjelakkan yang menjadi
mitra dakwah.
f. Atsar (Efek Dakwah)
Dalam ilmu komunikasi efek biasa disebut dengan feed
back yaitu umpan balik dari respon dalam proses aktivitas
dakwah. Apabila feed back dakwah yang didapatkan sesuai
dengan tujuannya, maka kegiatan dakwah tersebut dapat
53
dikatakan berhasil. Ali Aziz dalam Jalaludin Rahmat membagi
efek menjadi 3 tataran:49
• Efek Kognitif : efek ini terjadi jika ada perubahan dari apa
yang telah diketahui, dipahami, dan dipersepsi oleh khalayak.
Efek ini merupakan trasnmisi dari pengetahuan, keterampilan,
informasi maupun kepercayaan.
• Efek Afektif : efek ini dapat muncul jika ada perubahan pada
perasaan seperti apa yang dirasakan, disenangi, dan dibenci
oleh khalayak meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan
emosi, sikap, dan nilai.
• Efek Behavioral : efek ini dapat dilihat dari perilaku nyata
yang dapat diamati meliputi pola-pola tindakan, sikap,
kegiatan, maupun kebiasaan dalam berperilaku.
2.5 Penelitian Terdahulu
Kajian yang membahas tentang analisis wacana ataupun pesan dakwah
bukanlah suatu hal baru, banyak peneliti yang telah mengkaji pada berbagai
macam latar belakang dan fokus penelitian yang berbeda-beda. Penelitian
tersebut antara lain:
No Judul Hasil Penelitian Relevansi Penelitian
1 Analisis Wacana
Teun A. Van
Dijk Terhadap
Hasil penelitian pada Film
“Perempuan Punya Cerita”
yakni membahas mengenai
Relevansi penelitian yang
dilakukan oleh Umam
dengan penelitian yang akan
49 Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 139
54
Skenario Film
“Perempuan
Punya Cerita”
oleh Haiatul
Umam pada tahun
2009.
permasalahan yang menimpa
sebagian perepuan di
Indonesia. Diantaranya tentang
hak-hak perempuan, kesehatan
reproduksi perempuan, dan
kekerasan terhadap perempuan.
Penyampaian informasi dalam
film dikemas dengan gaya
Bahasa yang ekspresif dan
sederhana. Selain itu,
penokohan di dalam film juga
terlihat kuat. Mealui analisis
wacana Van Dijk juga
menangkap bahwa dalam film
“Perempuan Punya Cerita”
merupakan salah satu
representasi dari keadaan
perempuan di Indonesia yang
mengalami berbagai macam
persoalan.
dilakukan peneliti memiliki
kesamaan. Persamaan
tersebut yakni dalam
penggunaan teknis analisis
data yang menggunakan
model Teun A. Van Dijk.
Perbedaan terdapat dalam
ruang lingkup penelitian, di
mana penelitian Umam
mengkaji tentang pesan
tekstual yang terdapat dalam
skenario film “Perempuan
Puna Cerita”. Perbedaan
selanjutnya terdapat pada
media yang digunakan yakni
Umam menggunakan media
film.
2 “Analisis
Wacana Pesan
Dakwah dalam
Novel Rumah
Tanpa Jendala
Karya Asma
Nadia” oleh Suci
Gusti Gunarti
pada tahun 2014.
Hasil dari penelitian bahwa
novel yang ditulis oleh Asma
Nadia banyak menghimpun
kisah-kisah yang bermuatan
nilai ajaran Islam berlandaskan
Al-Quran dan Hadist. Dalam
novel tersebut banyak
mengandung pesan dakwah
tentang percaya dan pasrah
kepada Allah SWT. Karya
Asma Nadia ini dikemas
Penelitian ini memiliki
relevansi dengan penelitian
yang akan dilakukan oleh
peneliti. Secara garis besar
pembahasan memiliki
kesamaan dengan yang akan
dilakukan oleh peneliti yakni
mengkaji tentang pesan
dakwah, dengan teknis
analisis data menggunakan
model Teun A. Van Dijk.
55
dengan bahasa yang ringan,
lugas, sederhana, tidak
tersekan menggurui, dan
menghindari kejenuhan dari
bahasa formal dan budaya
tradisional.
Kognisi sosial yang didapat
pada penelitian ini adalah
bahwa novel “Rumah Tanpa
Jendela” merupakan
representasi nilai-nilai
kehidupan dari Asma Nadia.
Di dalam novel dapat ditemui
pernyataan-pernyataan tokoh
utama tentang impian,
berjuang, dan konsisten dalam
menggapai mimpi. Selain itu,
dalam menulis novel Asma
Nadia dipengaruhi oleh
konsep-konsep kepercayaan
dalam Islam. Pada segi konteks
sosial dalam penelitian ini
yakni penulis ingin
membuktikan bahwa pesan
dakwah dan sosial dapat
menjadi sebuah pesan yang
menarik apabila diolah secara
kreatif. Sebagai seorang
muslimah dan aktifis yang
memiliki jiwa sosial, dalam
menulis Asma Nadia
Perbedaan terdapat dalam
ruang lingkup penelitian dan
media dakwah yang
digunakan. Pada penelitian
Suci ruang lingkupnya adalah
pesan dakwah yang terdapat
dalam Novel “Rumah Tanpa
Jendela”. Sementara ruang
lingkup peneliti ialah
transkrip video dakwah
Ustadz Hanan Attaki ditiga
video yang telah peneliti
tentukan.
56
dipengaruhi oleh realitas yang
terjadi. Sehingga dalam karya-
karyanya lebih banyak
menonjolkan nilai-nilai sosial
dibandingkan dengan kisah
fiksi semata.
3 “Analisis Isi
Pesan dakwah
Ustadz Hanan
Attaki dalam
Akun Youtube
Pemuda Hijrah”
oleh Anis Fitriani
di tahun 2018.
Adapun hasil dari penelitian
ini bahwa pesan dakwah yang
disampaikan Ustadz Hanan
Attaki mengandung tiga unsur
yakni aqidah, syariah, dan
akhlak. Sementara itu, isi pesan
dakwah yang paling dominan
disampaikan oleh Ustadz
Hanan dalam akun YouTube
Pemuda Hijrah ialah pesan
akhlak dengan perolehan
persentase 58,15% diikuti
dengan pesan aqidah 29,08%
dan terakhir pesan syariah
12,77%.
Penelitian ini memiliki
relevansi dengan penelitian
yang akan dilakukan oleh
peneliti. Anis mengangkat
judul “Analisis Isi Pesan
dakwah Ustadz Hanan Attaki
dalam Akun Youtube Pemuda
Hijrah” yang secara general
pembahasan memiliki
kesamaan dengan yang ingin
diteliti yakni pesan dakwah
Ustadz Hanan Attaki dan
menggunakan media
YouTube. Perbedaanya
terdapat pada metode
penelitian yang digunakan
Anis yakni analisis isi.
4 “Pesan Dakwah
Ustadz Hanan
Attaki (Analisis
Isi Kajian Fathi
“Pegang Janji
Allah” Episode
27 September
2017 Via
Hasil dari penelitian ini
bahwa pesan dakwah yang
paling dominan pada video
akun YouTube Kajian Fathi
“Pegang Janji Allah” Episode
27 September 2017 adalah
pesan aqidah dengan
persentase 52,5%. Selanjutnya
Relevansi penelitian ini
dengan penelitian yang akan
peneliti lakukan secara umum
juga memiliki kesamaan yaitu
pesan dakwah Ustadz Hanan
Attaki dan menggunakan
media YouTube. Perbedaanya
terletak pada metode
57
YouTube)” tahun
2018.
diikuti dengan pesan akhlak
dengan perolehan persentase
35% dan terakhir pesan
syariah dengan persentase
12,5%.
penelitian yang digunakan
oleh Ulfa yakni analisis isi
dan subjek penelitian channel
YouTube Kajian Fathi
dengan video “Pegang Janji
Allah”.
5 “Retorika
Ustadz Hanan
Attaki dalam
Berceramah di
Masjid Agung
Bandung
(Analisis
Semiotik Model
Ferdinand De
Saussure)” pada
tahun 2018.
Hasil dari penelitian ini
adalah dalam berdakwah
Ustadz Hanan Attaki
menggunakan gaya bahasa
yang ringan, tidak resmi,
sederhana yang disampaikan
dengan suara dan nada normal
serta lembah lembut. Selain itu,
dalam melakukan aktivitas
dakwah, Ustadz Hanan Attaki
sesekali tersenyum kepada
mad’u apabila menyajikan
sebuah humor yang sesuai
dengan anak muda. Beliau juga
menggunakan pakaian yang
santai dan gaul untuk
mengimbangi mad’u yang
dominan anak muda.
Adapun penelitian ini
memiliki relevansi dengan
penelitian yang akan
dilakukan oleh peneliti.
Secara general mempunyai
kesamaan pembahasan yakni
pesan dakwah Ustadz Hanan
Attaki. Perbedaan terdapat di
metode penelitian yang
digunakan Nadiatan yaitu
analisis semiotik dan subjek
penelitian yakni video “Math
of God”.
2.6 Fokus Penelitian
Fokus penelitian bertujuan untuk membatasi pembahasan studi atau
bidang yang sedang dikaji. Adapun fokus penelitian pada penelitian ini yaitu
pesan dakwah yang terdapat pada video dakwah “Keep Happy” episode 29
58
September 2017, “Kangen” episode 06 Desember 2017, dan “Sabar” episode
12 April 2018. Peneliti akan mengkaji konstruksi pesan dakwah Ustadz
Hanan Attaki dengan menggunakan pendekatan Teun A. Van Dijk.
Adapun yang akan dikaji meliputi tiga hal yakni, pertama peneliti
akan mengkaji teks pesan dakwah Ustadz Hanan Attaki dengan menggunakan
struktur elemen wacana Teun A. Van Dijk meliputi struktur makro,
superstruktur, dan struktur mikro. Kedua, peneliti akan menganalisis tentang
kognisi Ustadz Hanan Attaki. Maksud dari kognisi di sini adalah dengan
melihat pemahaman yang dilakukan oleh Ustadz Hanan Attaki dalam video
yang berjudul “Keep Happy” episode 29 September 2017, “Kangen” episode
06 Desember 2017, dan “Sabar” episode 11 April 2018. Ketiga, peneliti akan
menganalisis konteks sosial atau faktor-faktor yang mempengaruhi teks yang
berasal dari luar, sehingga menjadi salah satu alasan dari komunikator dalam
membuat video yang berjudul “Keep Happy” episode 29 September 2017,
“Kangen” episode 06 Desember 2017, dan “Sabar” episode 11 April 2018.