Bab II Tinjauan Kepustakaan

27
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Hipertensi 2.1.1 Definisi Hipertensi Berdasarkan Joint National Commitee on Prevention Detection, Evaluation, and Treatment of High Pressure (JNC 7), hipertensi adalah peningkatan tekanan darah diatas normal, yaitu tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau Tekanan darah diastolik ≥ 90mmHg (Chobanian, et al. 2003). Definisi lain menyatakan hipertensi merupakan tekanan darah sistolik lebih atau sama dengan 140 mmHg atau tekanan darah diastolik lebih atau sama dengan 90 mmHg atau mengkonsumsi obat antihipertensi atau telah dinyatakan mengalami tekanan darah tinggi oleh tenaga kesehatan setelah melakukan pemeriksaan minimal sebanyak dua kali (AHA, 2013; Sinaga, 2010). 2.1.2 Klasifikasi Hipertensi 5

Transcript of Bab II Tinjauan Kepustakaan

Page 1: Bab II Tinjauan Kepustakaan

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Hipertensi

2.1.1 Definisi Hipertensi

Berdasarkan Joint National Commitee on Prevention Detection,

Evaluation, and Treatment of High Pressure (JNC 7), hipertensi adalah

peningkatan tekanan darah diatas normal, yaitu tekanan darah sistolik ≥

140 mmHg dan atau Tekanan darah diastolik ≥ 90mmHg (Chobanian,

et al. 2003).

Definisi lain menyatakan hipertensi merupakan tekanan darah

sistolik lebih atau sama dengan 140 mmHg atau tekanan darah diastolik

lebih atau sama dengan 90 mmHg atau mengkonsumsi obat

antihipertensi atau telah dinyatakan mengalami tekanan darah tinggi

oleh tenaga kesehatan setelah melakukan pemeriksaan minimal

sebanyak dua kali (AHA, 2013; Sinaga, 2010).

2.1.2 Klasifikasi Hipertensi

Menurut The Seventh Report of The Joint National Committe on

Prevention, Detection, Evaluaion, and Treatment of High Blood

Pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi

menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan

derajat 2 yang ditunjukkan pada tabel 2.1 (Chobanian, et al. 2003).

5

Page 2: Bab II Tinjauan Kepustakaan

6

Tabel 2.1 Klasifikasi hipertensi menurut JNC VII

Klasifikasi tekanan darah

Tekanan sistolik (mmHg)

Dan/atauTekanan diastolik (mmHg)

Normal 120 Dan 80Pre hipertensi 120-139 Atau 80-89

Hipertensi derajat 1 140-159 Atau 90-99Hipertensi derajat 2 160 Atau 100

Berdasarkan etiologinya hipertensi dibagi menjadi dua

golongan, yaitu: hipertensi esensial atau hipertensi primer dan

hipertensi sekunder. Hipertensi primer merupakan peningkatan tekanan

darah secara persisten yang belum diketahui secara pasti penyebabnya,

lebih dari 90% dari hipertensi tidak diketahui penyebabnya dan

tergolong pada hipertensi primer. Umumnya, hipertensi primer tidak

disebabkan oleh faktor tunggal, melainkan disebabkan oleh beberapa

faktor yang berkaitan seperti genetik, peningkatan aktivitas dari sistem

saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, ketidakmampuan ginjal untuk

mengekskresikan natrium pada tekanan darah normal, peningkatan

tahanan perifer dari arteriola, faktor hormonal, lingkungan, dan faktor-

faktor yang meningkatkan resiko seperti, merokok, alkohol, dan

obesitas (Geyer dan Gomez, 2009; Zandi, 2013).

Kurang dari 10% penderita hipertensi sekunder dari penyakit

komorbid atau obat-obatan tertentu yang dapat meningkatkan tekanan

darah. Penyebab hipertensi sekunder yang telah diketahui antara lain

penyakit ginjal, hipertensi vaskular ginjal, hipertirodisme,

hiperaldosteronisme primer, sindrom cushing, koarktasio aorta,

Page 3: Bab II Tinjauan Kepustakaan

7

feokromasitoma, obat-obatan, dan hipertensi yang berhubungan dengan

kehamilan (Geyer dan Gomez, 2009; Kaplan dan Weber, 2010).

2.1.3 Faktor Resiko

Hipertensi merupakan penyakit yang timbul karena interaksi

berbagai faktor resiko. Beberapa diantaranya ada yang tidak dapat

dimodifikasi dan dapat dimodifikasi. Faktor resiko yang tidak dapat

dimodifikasi adalah kerturunan (genetik), jenis kelamin, dan umur

(Julius, 2008).

Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan

menyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal

ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan

rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium. Individu yang

memiliki orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih

besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak

mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan

70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam

keluarga (Anggraini, et al. 2009).

Jenis kelamin mempunyai pengaruh penting dalam regulasi

tekanan darah. Prevalensi terjadinya hipertensi antara pria dan wanita

hampir sama. Akan tetapi, wanita terlindungi oleh hormon estrogen dari

penyakit kardiovaskular sebelum menopause. Hormon estrogen

berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL).

Kadar HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah

Page 4: Bab II Tinjauan Kepustakaan

8

arterosklerosis. Prevalensi hipertensi pada wanita meningkat pada saat

wanita mulai kehilangan hormon estrogen pada masa premenopause

saat usia 45-55 tahun (Kumar, 2008).

Beberapa penelitian yang dilakukan, ternyata terbukti bahwa

semakin tinggi umur seseorang maka semakin tinggi tekanan darahnya.

Hal ini disebabkan elastisitas dinding pembuluh darah semakin

menurun dengan bertambahnya umur. Sebagian besar hipertensi terjadi

pada umur lebih dari 65 tahun. Sebelum umur 55 tahun tekanan darah

pada laki – laki lebih tinggi daripada perempuan. Setelah umur 65

tekanan darah pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Dengan

demikian, risiko hipertensi bertambah dengan semakin bertambahnya

umur (Gray, et al. 2005).

Adapun faktor resiko yang dapat dimodifikasi adalah merokok,

aktivitas fisik, asupan natrium dan garam. Merokok dapat

meningkatkan beban kerja jantung dan menaikkan tekanan darah.

Menurut penelitian, diungkapkan bahwa merokok dapat meningkatkan

tekanan darah. Nikotin yang terdapat dalam rokok sangat

membahayakan kesehatan, karena nikotin dapat meningkatkan

penggumpalan darah dalam pembuluh darah dan dapat menyebabkan

pengapuran pada dinding pembuluh darah. Nikotin bersifat toksik

terhadap jaringan saraf yang menyebabkan peningkatan tekanan darah

baik sistolik maupun diastolik, denyut jantung bertambah, kontraksi

otot jantung meningkat, pemakaian oksigen bertambah, aliran darah

Page 5: Bab II Tinjauan Kepustakaan

9

pada koroner meningkat dan vasokontriksi pada pembuluh darah perifer

(Gray, et al. 2005).

Asupan natrium dan garam tergolong faktor resiko hipertensi

yang kontroversial. Beberapa individu peka terhadap natrium, baik

yang berasal dari garam kemasan atau bahan lain yang mengandung

natrium, dan hidangan cepat saji, tetapi respon terhadap natrium pada

setiap orang tidak sama. Natrium merupakan salah satu bentuk mineral

atau elektrolit yang berpengaruh terhadap tekanan darah. Peningkatan

asupan mineral lain mungkin sama pentingnya atau lebih penting

daripada penurunan asupan natrium bagi seseorang (Stephen, et.al

2010).

Asupan garam yang tinggi akan menyebabkan pengeluaran

berlebihan hormon natriuretik yang secara tidak langsung akan

meningkatkan tekanan darah. Kebiasaan merokok berpengaruh dalam

meningkatkan risiko hipertensi walaupun mekanisme timbulnya

hipertensi belum diketahui secara pasti (Anggraini, 2009).

2.1.4 Patofisiologi Hipertensi

Peningkatan tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan

resistensi perifer yang memiliki interaksi kompleks dengan berbagai

faktor seperti genetik, lingkungan, dan demografi. Total curah jantung

dipengaruhi oleh volume darah, sementara volume darah sangat

bergantung pada homeostasis natrium. Hormonal dan persarafan

mempengaruhi resistensi perifer total pada tingkat arteriol. Tonus

Page 6: Bab II Tinjauan Kepustakaan

10

vaskular normal mencernimkan keseimbangan antara vasokonstriktor

humoral (katekolamin dan angiotensin II) dan vassodilator seperti nitrat

oksida, prostaglandin, dan kinin (Kumar, 2008).

Sistem renin angiotensin aldosteron (RAA) memainkan peranan

penting proses terjadinya hipertensi. Renin adalah enzim dengan protein

kecil yang disimpan dan disintesis dalam bentuk inaktif yang disebut

prorenin dalam sel-sel jukstaglomelular pada ginjal dan akan dilepaskan

dalam darah bila ginjal mendeteksi tekanan yang rendah pada arteri.

Renin bekerja secara enzimatik pada protein plasma lain yaitu suatu

globulin yang disebut bahan renin atau angiotensinogen, untuk

melepaskan peptida asam amino-10 yaitu angiotensin I. Pada fungsi

sirkulasi, angiotensin I memiliki sifat sebagai vasokonstriktor ringan

tetapi tidak cukup untuk menyebabkan perubahan fungsional yang

bermakna. Renin menetap dalam darah selama kurang lebih satu jam

dan menyebabkan pembentukan angiotensin I pada selang waktu

tersebut (Guyton, 2007).

Beberapa detik setelah pembentukan angiotensin I, terdapat dua

asam amino tambahan yang memecah dari angiotensin untuk

membentuk angiotensin II peptide asam amino-8. Perubahan ini hampir

terjadi seluruhnya selama beberapa detik. Peptida ini selanjutnya

dibawa oleh darah melalui pembuluh kecil pada paru-paru dan akan

diubah menjadi Angiotensin II oleh suatu enzim pengubah yang

terdapat pada endotel pembuluh darah paru. Enzim ini adalah

Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Angiotensin II merupakan

Page 7: Bab II Tinjauan Kepustakaan

11

vasokonstriktor kuat dan memiliki efek lain yang juga mempengaruhi

sirkulasi. Tidak seperti angiotensin I, angiotensin II menetap dalam

darah hanya selama kurang lebih dua menit karena angiotensin II akan

diinaktifkan oleh berbagai enzim darah dan jaringan secara cepat.

Enzim tersebut bersama-sama disebut angiotensinase (Guyton, 2007).

Angiotensin II mempunyai dua pengaruh utama dalam

meningkatkan tekanan arteri selama berada di dalam darah. Pengaruh

pertama yaitu sebagai vasokonstriksi yang timbul secara cepat.

Vasokonstriksi terutama terjadi pada arteri dibandingkan pada vena.

Konstriksi pada arteriol akan meningkatkan tahanan perifer akibatnya

akan meningkatkan tekana arteri. Peningkatan aliran darah balik vena

ke jantung juga terjadi akibat kontriksi ringan pada pembuluh vena,

sehingga membantu pompa jantung melawan kenaikan tekanan

(Guyton, 2007).

Pengaruh angiotensin II yang kedua dalam hal peningkatan

tekanan darah adalah dengan bekerja pada ginjal untuk menurunkan

ekskresi garam dan air. Terdapat dua mekanisme kerja angiotensin II

pada ginjal, yang pertama yaitu peningkatan sekresi hormon

antidiuretik (ADH). Produksi ADH terjadi di hipotalamus (kelenjar

pituitari) dan mengatur osmalaritas dan volume urin ketika bekerja

dalam ginjal. Dengan meningkatnya ADH, urin yang diekskresikan ke

luar tubuh menjadi sedikit (antidiuresis), sehingga urin menjadi pekat

dan tinggi osmolaritasnya. Untuk mengencerkannya, cairan harus

ditarik dari intraselular ke ekstravaskular agar terjadi peningkatan

Page 8: Bab II Tinjauan Kepustakaan

12

cairan ekstravaskular. Tekanan darah akan mengalami peningkatkan

karena volume darah yang meningkat. Mekanisme kedua adalah

menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron

merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal.

Aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) denagn

merabsorspsinya dari tubulus ginjal untuk mengatur volume

ekstraseluler. Peristiwa ini akan meningkatkan konsentrasi NaCl yang

kemudian akan diencerkan kembali dengan meningkatkan volume

cairan ekstraselular yang akhirnya akan meningkatkan volume dan

tekanan darah (Guyton, 2007).

Setiap kemungkinan penyebab hipertensi yang disebutkan diatas

dapat terjadi akibat peningkatan aktivitas susunan saraf simpatis atau

responsivitas berlebihan dari tubuh terhadap rangsagan simpatis normal

dapat menyebabkan hipertensi. hal ini terjadi pada stress jangka panjang

yang diketahui melibatkan pengaktifan sistem simpatis atau akibat

berlebihnya genetik reseptor norepinefrin di jantung atau otot polos

vaskular (Corwin, 2009).

2.1.5 Diagnosis Hipertensi

Dalam menegakkan diagnosis pasien hipertensi yang harus

dilakukan adalah anamnesis tentang keluhan pasien, riwayat penyakit

dahulu dan riwayat penyakit keluarga pasien, pemeriksaan fisik serta

pemeriksaan penunjang. Seseorang dikatakan hipertensi jika pada dua

kali atau lebih kunjungan yang berbeda didapatkan tekanan darah rata-

Page 9: Bab II Tinjauan Kepustakaan

13

rata dari dua atau lebih pengukuran setiap kunjungan, tekanan darah

diastolik 90 mmHg atau lebih, dan atau tekanan darah diastolik 140

mmHg atau lebih. Selain itu, evaluasi terhadap penyakit penyerta,

kerusakan organ target serta kemungkinan adanya hipertensi essensial

juga harus dilakukan untuk mendukung diagnosis hipertensi

(Yogiantoro, 2009).

2.1.6 Penatalaksanaan Hipertensi

Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah penurunan

mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi.

Mortalitas dan morbiditas ini berhubungan dengan kerusakan organ

target (misal: kejadian kardiovaskular atau serebrovaskular, gagal

jantung, dan penyakit ginjal). Mengurangi risiko merupakan tujuan

utama terapi hipertensi, dan pilihan terapi obat dipengaruhi secara

bermakna oleh bukti yang menunjukkan pengurangan resiko

(Chobanian, et al, 2003). Guideline tata laksana hipertensi di antaranya

adalah dari JNC 7 (2003) dan dari ESC/ESH (2007). Keduanya

merupakan rujukan utama tatalaksana hipertensi (Tedjasukmana, 2012).

2.1.6.1 Target tekanan darah

Pengobatan hipertensi dilakukan dengan tujuan untuk

mencapai tekanan darah target. Sekali obat antihipertensi

digunakan, selanjutnya sangat diperlukan pemeriksaan rutin

untuk menilai perkembangan pengobatan yang dilakukan.

Page 10: Bab II Tinjauan Kepustakaan

14

Pemeriksaan rutin dilakukan paling tidak sebulan sekali, dan

kunjungan akan lebih sering pada pasien dengan hipertensi stage

2 atau pasien dengan penyakit penyerta. Jika pasien telah

mencapai tekanan darah target, follow up dapat dilakukan dalam

interval 3-6 bulan sekali. Namun, jika dalam 6 bulan target

tekanan darah tidak tercapai dengan penggunaan obat dosis

optimal dan kombinasi beberapa obat yang sesuai,

dipertimbangkan untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis

(Yogiantoro, 2009).

Menurut Joint National Committee (JNC) 7,

rekomendasi target tekanan darah yang harus dicapai adalah <

140/90 mmHg dan target tekanan darah untuk pasien penyakit

ginjal kronik dan diabetes adalah ≤ 130/80 mmHg. American

Heart Association (AHA) merekomendasikan target tekanan

darah yang harus dicapai, yaitu 140/90 mmHg, 130/80 mmHg

untuk pasien dengan penyakit ginjal kronik, penyakit arteri

kronik atau ekuivalen penyakit arteri kronik, dan ≤ 120/80

mmHg untuk pasien dengan gagal jantung (Chobanian et al,

2003). Sedangkan menurut National Kidney Foundation (NKF),

target tekanan darah yang harus dicapai adalah 130/80 mmHg

untuk pasien dengan penyakit ginjal kronik dan diabetes, dan <

125/75 mmHg untuk pasien dengan > 1 g proteinuria (Cohen,

2008).

Page 11: Bab II Tinjauan Kepustakaan

15

2.1.6.2 Terapi non farmakologi

Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat

menurunkan tekanan darah, dan secara umum sangat

menguntungkan dalam menurunkan risiko permasalahan

kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1,

tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup

sehat merupakan tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani

setidaknya selama 4 sampai 6 bulan. Bila setelah jangka waktu

tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang

diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang

lain, maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi

(Soenarta, et al. 2015).

Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak

guidelines yaitu pertama, penurunan berat badan dapat

dilakukan dengan cara mengganti makanan tidak sehat dengan

memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat

memberikan manfaat yang lebih selain penurunan tekanan

darah, seperti menghindari diabetes dan dislipidemia (Soenarta,

et al. 2015).

Kedua, diet rendah garam. Di negara kita, makanan

tinggi garam dan lemak merupakan makanan tradisional pada

kebanyakan daerah. Tidak jarang pula pasien tidak menyadari

kandungan garam pada makanan cepat saji, makanan kaleng,

Page 12: Bab II Tinjauan Kepustakaan

16

daging olahan dan sebagainya. Dianjurkan untuk asupan garam

tidak melebihi 2 gr/hari (Soenarta, et al. 2015).

Ketiga, olahraga yang dilakukan secara teratur sebanyak

30 – 60 menit/hari, minimal 3 hari/minggu, dapat menolong

penurunan tekanan darah. Terhadap pasien yang tidak memiliki

waktu untuk berolahraga secara khusus, sebaiknya harus tetap

dianjurkan untuk berjalan kaki, mengendarai sepeda atau

menaiki tangga dalam aktifitas rutin mereka di tempat kerjanya

(Soenarta, et al. 2015).

Keempat, mengurangi konsumsi alkohol. Walaupun

konsumsi alkohol belum menjadi pola hidup yang umum di

negara kita, namun konsumsi alkohol semakin hari semakin

meningkat seiring dengan perkembangan pergaulan dan gaya

hidup, terutama di kota besar. Konsumsi alkohol lebih dari 2

gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita, dapat

meningkatkan tekanan darah. Dengan demikian membatasi atau

menghentikan konsumsi alkohol sangat membantu dalam

penurunan tekanan darah (Soenarta, et al. 2015).

Kelima, berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat

ini belum terbukti berefek langsung dapat menurunkan tekanan

darah, tetapi merokok merupakan salah satu faktor risiko utama

penyakit kardiovaskular, dan pasien sebaiknya dianjurkan untuk

berhenti merokok (Soenarta, et al. 2015).

Page 13: Bab II Tinjauan Kepustakaan

17

2.1.6.3 Terapi farmakologis.

Obat antihipertensi perlu dimulai berdasarkan pada 2

kriteria: 1) tingkatan tekanan darah sistolik dan diastolik, dan 2)

tingkatan risiko kardiovaskular (tabel 2.2).

Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis

yang dianjurkan oleh JNC 7 adalah diuretika, terutama jenis

Thiazide (Thiaz) atau Aldosterone antagonist (Aldo Ant), Beta

Blocker (BB), Calcium Channel Blocker atau Calcium

antagonist (CCB), Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor

(ACEI), Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor

antagonist/blocker (Chobanian, et al. 2003 ; Yogiantoro, 2006).

Diuretika golongan tiazid bekerja meningkatkan ekskresi

natrium, air dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan

cairan ekstraseluler akibatnya terjadi penurunan curah jantung

dan tekanan darah. Adapun yang termasuk golongan tiazid yaitu

hidroklorotiazid (HCT), klortalidon, indapamid,

bendroflumetiazid, metolazon dan xipamid (Chobanian, et al.

2003; Yogiantoro, 2006).

Obat golongan beta bloker terbagi menjadi kardioselektif

dan non selektif. Golongan kardioselektif terdiri dari asebutolol,

atenolol, bisoprolol, dan metoprolol. Sedangkan golongan non

selektif terdiri dari alprenolol, karteolol, nadolol, oksprenolol,

pindolol, propranolol, timolol, karvedilol, dan labetalol

(Chobanian, et al. 2003; Yogiantoro, 2006).

Page 14: Bab II Tinjauan Kepustakaan

18

Beberapa obat yang termasuk dalam golongan antagonis

kalsium yaitu nifedipin, verapamil, diltiazem, amlodipin,

nikardipin, isradipin, felodipin (Chobanian, et al. 2003;

Yogiantoro, 2006).

Golongan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor

(ACEI) terdiri atas captopril, benazepril, enalapril, fosinopril,

lisinopril, perindopril, quinapril, trandolapril, dan imidapril.

Beberapa obat yang tergolong ARB yaitu losartan, valsartan,

irbesartan, telmisartan, dan candesartan (Chobanian, et al. 2003;

Yogiantoro, 2006).

Tabel 2.2 Penanganan tekanan darah tinggi berdasarkan klasifikasi (Chobanian, et al. 2003).

Klasifikasi tekanan darah

Modifikasi gaya hidup

Obat Awal

Tanpa indikasi Dengan indikasi

Normal Anjuran Tidak Perlu menggunakan

obat antihipertensi

Gunakan obat yang spesifik

dengan indikasi (resiko).

Pre-hipertensi

Ya

Hipertensi stage 1

Ya Untuk semua kasus gunakan diuretik jenis

thiazide, pertimbangkan ACEi, ARB,

BB, CCB, atau kombinasikan

Gunakan obat yang spesifik

dengan indikasi (resiko).

Kemudian tambahkan obat antihipertensi

(diretik, ACEi, ARB, BB, CCB)

seperti yang dibutuhkan

Hipertensi stage 2

Ya Gunakan kombinasi 2

obat (biasanya diuretik jenis thiazide dan

ACEi/ARB/BB/CCB

Page 15: Bab II Tinjauan Kepustakaan

19

2.2 Kepatuhan

2.2.1 Definisi Kepatuhan

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, patuh adalah suka

menurut perintah, taat pada perintah. Sedangkan kepatuhan adalah

perilaku sesuai aturan dan berdisplin (Departemen Pendidikan

Nasional, 2008). Kepatuhan terhadap pengobatan diartikan secara

umum sebagai tindakan perilaku dimana pasien menggunakan obat dan

mentaati semua aturan dan nasihat yang dianjurkan oleh tenaga

kesehatan (Osterberg dan Blashke, 2005).

Kepatuhan merupakan suatu perubahan perilaku dari perilaku

yang tidak mentaati peraturan ke perilaku yang mentaati peraturan

(Notoatmodjo, 2007).

Kepatuhan minum obat adalah keselarasan pasien dengan

rekomendasi pelayan kesehatan yang sesuai dengan waktu, dosis, dan

frekuensi menggunakan obat sepanjang waktu yang ditentukan

(Chowdhury, 2013).

2.2.2 Cara mengukur kepatuhan

Terdapat dua metode yang bisa digunakan untuk mengukur

kepatuhan yaitu metode langsung dan metode tidak langsung.

Pengukuran kepatuhan dengan metode langsung dapat dilakukan

dengan observasi pengobatan secara langsung, mengukur konsentrasi

obat dan metabolitnya dalam darah atau urin serta mengukur biologic

marker yang ditambahkan pada formulasi obat. Kelemahan metode ini

Page 16: Bab II Tinjauan Kepustakaan

20

adalah biayanya yang mahal, memberatkan tenaga kesehatan dan rentan

terhadap penolakan pasien (Osterberg dan Blaschke, 2005).

Metode tidak langsung dapat dilakukan dengan menanyakan

pasien tentang cara pasien menggunakan obat, menilai respon klinik,

melakukan perhitungan obat (pill count), menilai angka refilling

prescriptions, mengumpulkan kuesioner pasien, menggunakan

electronic medication monitor, menilai kepatuhan pasien anak dengan

menanyakan kepada orang tua (Osterberg dan Blaschke, 2005).

Pengukuran tingkat kepatuhan dapat menggunakan kuesioner.

Metode ini cukup sederhana, murah dan mudah dilakukan. Kuesioner

Morisky scale sudah terbukti dan tervalidasi bisa digunakan untuk

mengukur kepatuhan penggunaan obat pada penyakit-penyakit terapi

jangka panjang seperti diabetes mellitus, jantung koroner dan hipertensi

(Morisky, et al, 2008).

2.2.3 Kuesioner Morisky Scale 8-items

Salah satu metode pengukuran kepatuhan secara tidak langsung

adalah dengan menggunakan kuesioner. Metode ini dinilai cukup

sederhana, murah dalam pelaksanaannya. Salah satu model kuesioner

yang telah tervalidasi untuk menilai kepatuhan terapi jangka panjang

adalah Morisky scale 8-items. Pada mulanya Morisky mengembangkan

beberapa pertanyaan singkat (dengan 4 butir pertanyaan) untuk

pengukur kepatuhan pengobatan pada pasien hipertensi. Namun saat ini

kuesioner Morisky Scale telah dimodifikasi menjadi 8 pertanyaan

Page 17: Bab II Tinjauan Kepustakaan

21

dengan modifikasi beberapa pertanyaan sehinggan lebih lengkap dalam

penelitian kepatuhan. Modifikasi kuesioner Morisky tersebut saat ini

telah dapat digunakan untuk pengukuran kepatuhan pengobatan

penyakit yang memerlukan terapi jangka panjang (Morisky, et al,

2008).

2.3 Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian

2.4 Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Pencapaian Target Tekanan Darah

Kepatuhan minum obat

Pencapaian Target Tekanan Darah

Kepatuhan minum obat

Menurunkan BB

Diet rendah garam

Olahraga teraturPola Hidup

Sehat

Kurangi konsumsi alkohol

Berhenti merokok

Page 18: Bab II Tinjauan Kepustakaan

22

2.5 Hipotesis penelitian

Ada hubungan antara tingkat kepatuhan minum obat terhadap pencapaian

target tekanan darah pada penderita hipertensi di poliklinik lanjut usia (lansia)

Puskesmas Rawat Inap Sidomulyo Pekanbaru.