Post on 31-Dec-2015
description
LEGAL STANDING, CLASS ACTION,
CITIZEN LAWSUIT
KELOMPOK:
1. Sony Hardiandro (110113080088)
2. Jefri Gerald (110113080119)
3. Aditya Lutfhi P. (110113080147)
4. M. Rizky Subardy (110113080142)
5. Firman Febiansyah (110113080094)
6. Muharman (110111100154)
DOSEN :
AAM SURYAMAH,SH.,MH
MATAKULIAH :
Hukum Acara Perdata
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2012
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Konsekuensi suatu negara hukum adalah menempatkan hukum di atas segala kehidupan
bernegara dan bermasyarakat. Negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum,
bukan diperintah oleh manusia. Hukum berada di atas segala-segalanya, kekuasaan dan
penguasa tunduk kepada hukum.
Salah satu unsur negara hukum adalah berfungsinya kekuasaan kehakiman yang
merdeka yang dilakukan oleh badan peradilan. Pemberian kewenangan yang merdeka
tersebut merupakan “katup penekan” (pressure valve), atas setiap pelanggaran hukum tanpa
kecuali. Pemberian kewenangan ini dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan
peradilan sebagai benteng terakhir (the last resort) dalam upaya penegakan “kebenaran” dan
“keadilan”. Dalam hal ini tidak ada badan lain yang berkedudukan sebagai tempat mencari
penegakan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice) apabila timbul sengketa
atau pelanggaran hukum.
Dalam perkembangan sejarah perlindungan hukum di Indonesia, khusus mengenai
perlindungan hukum melalui gugatan perwakilan (class actions) dan hak gugat organisasi
(legal standing/ius standi) sedang hangat-hangatnya dibicarakan baik dalam kalangan
akademi, maupun di kalangan penasehat hukum, lembaga swadaya masyarakat dan di
kalangan badan peradilan sendiri.
Karena baru mengenal konsep gugatan perwakilan (class actions), maka masih banyak
kalangan praktisi hukum memberikan pengertian gugatan perwakilan (class actions) identik
atau sama dengan pengertian hak gugat organisasi (legal standing/ius standi) pada hal
pengertian gugatan perwakilan (class actions) berbeda dengan pengertian gugatan organisasi
(legal standing).
Sama halnya dengan class action dan legal standing, citizen lawsuit atau dapat juga
disebut actio popularis pun banyak menuai pro dan kontra. Hal ini dikarenakan di Indonesia
belum ada pengaturannya.Nnamun telah ada beberapa gugatan AP/CLS yang diperiksa dan
ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Majelis Hakim pun mendasarkan pertimbangannya berdasarkan ketentuan UU Nomor 4
tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang menyatakan hakim tidak boleh menilak
perkara dengan alasan belum ada hukumnya. Selain itu pula hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan Pasal 7
UU nomor 35 tahun 1999.
Melalui tulisan ini kami ingin memberikan gambaran tentang gugatan class actions ,
legal standing, dan citizen lawsuit khususnya dalam hal pengugatan dan tata cara dalam
peradilannya.
B. Rumusan Masalah
1. Prosedur pengajuan gugatan class actions dan legal standing di Peradilan TUN
2. Perbedaan antara Legal Standing , class action, citizen lawsuit.
3. Bagaimana kasus Legal Standing , class action, citizen lawsuit.
BAB II
PEMBAHASAN
Antara gugatan perwakilan (class actions) dengan hak gugat organisasi (legal standing)
memiliki perbedaan yang sangat prinsipal. Perbedaan-perbedaan itu antara lain: Dalam
gugatan perwakilan (class actions). 1) seluruh anggota kelas (class representatives dan class
members) sama-sama langsung mengalami atau menderita suatu kerugian, 2) tuntutannya
dapat berupa ganti kerugian berupa uang (monetary damage) dan/atau tuntutan pencegahan
(remedy) atau tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu (injunction) yang sifatnya deklaratif.
Sedangkan dalam hak gugatan organisasi (legal standing). 1) organisasi tersebut tidak
mengalami kerugian langsung, kerugian dalam konteks gugatan organisasi (legal standing)
lebih dilandasi suatu pengertian kerugian yang bersifat publik. 2) tuntutan organisasi (legal
standing) tidak dapat berupa ganti kerugian berupa uang, kecuali ganti kerugian yang telah
dikeluarkan organisasi untuk penanggulangannya objek yang dipermasalahkannya dan
tuntutannya hanya berupa permintaan pemulihan (remedy) atau tuntutan berupa perintah
pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (injunction) yang bersifat
deklaratif.
Secara materiel hukum nasional telah mengatur gugatan perwakilan (class actions) dan
hak gugat organisasi (legal standing/ius standi), namun hukum acara yang ditunjuk sebagai
hukum formil yang mempertahankan hukum materieal tersebut belum diatur.
A.1. Pengertian Gugatan Perwakilan (Class Action)
Rumusan gugatan perwakilan (class actions) yang diberikan oleh para ahli hukum
Indonesia pada prinsipnya memberikan pengertian dan rumusan yang hampir bersesuaian
satu sama lain.
Mas Achmad Santosa memberikan pengertian class actions (gugatan perwakilan)
adalah merupakan prosedur beracara dalam perkara perdata yang memberikan hak prosedural
bagi satu atau sejumlah orang (jumlah yang tidak banyak) bertindak sebagai penggugat untuk
memperjuangkan kepentingan ratusan, ribuan atau jutaan orang lainnya yang mengalami
kesamaan penderitaan atau kerugian. Orang atau orang (lebih dari satu) yang tampil sebagai
penggugat disebut wakil kelas (representative class), sedangkan sejumlah orang banyak yang
diwakilinya disebut dengan class members.
Az. Nasution memberikan pengertian dan persyaratan gugatan kelompok (class
actions) yang dapat diadili oleh Pengadilan apabila:
1. penggugatnya berjumlah besar, sehingga tidak praktis apabila digunakan secara
perkara biasa,
1. seorang atau beberapa orang dari kelompok itu mengajukan gugatannya sebagai
perwakilan,
2. terdapat masalah hukum dan fakta gugatan atau perlawanan bersama, dan
3. wakil yang bersidang harus mampu mempertahankan kepentingan kelompok.
Erman Rajagukguk, dkk., memberikan pengertian, class actions adalah suatu cara yang
diberikan kepada sekelompok orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu masalah, baik
seorang atau lebih anggotanya menggugat atau digugat sebagai perwakilan kelompok tanpa
harus turut serta dari setiap anggota kelompok.
Erman Rajagukguk, dkk., menyatakan keterlibatan pengadilan dalam gugatan class
actions sangat besar setiap perwakilan untuk maju ke pengadilan harus mendapat persetujuan
dari Pengadilan dengan memperhatikan:
a. class actions merupakan tindakan yang paling baik untuk mengajukan gugatan.
b. mempunyai kesamaan tipe tuntutan yang sama.
c.penggugatnya sangat banyak, dan d. perwakilan layak/patut.
A.2. Gugatan Perwakilan (class action) di Pengadilan Tata Usaha Negara
Menurut dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang dapat
bertindak sebagai penggugat dalam sengketa tata usaha negara ialah:
Seseorang (atau beberapa orang masing-masing selaku pribadi);
Badan hukum perdata, yaitu setiap badan yang bukan badan hukum publik, seperti
perusahaan-perusahaan swasta, organisasi-organisasi, atau perkumpulan-perkumpulan
kemasyarakatan yang dapat diwakili oleh pengurusnya yang ditunjuk oleh anggaran
dasarnya.
Pada prinsipnya objek sengketa yang dapat diajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara
ada 2 macam:
Pertama surat keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir
ke 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat final, konkrit,
individual, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Kedua, surat keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu apabila badan atau pejabat tata usaha negara
tidak mengeluarkan keputusan, sedang hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut
disamakan dengan keputusan tata usaha negara lajimnya disebut “keputusan fiktif negatif”.
Dari uraian di atas secara limitatif telah ditentukan pihak-pihak yang dapat menjadi
penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah seseorang atau badan hukum perdata
yang kepentingannya merasa dirugikan atas diterbitkannya surat keputusan tata usaha negara.
Kepentingan kerugian yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
sifatnya adalah kepentingan yang bersifat pribadi yang secara langsung diderita atau
dirugikan atas penerbitan surat keputusan yang merugikan tersebut, jadi kepentingan
kerugian di sini tidak bersifat derefatif.
Berbeda halnya seperti kepentingan yang dimaksud dalam gugatan perwakilan (class
actions) kepentingan yang dirugikan di sini tidak bersifat individual atau telah lebih condong
kepentingan publik atau masyarakat orang banyak, apalagi misi kepentingan dalam kepastian
hak gugat organisasi (legal standing/ius standi) misi kepentingannya bukan kepentingan
pribadi secara langsung, melainkan kepentingan objek alam atau kepentingan masyarakat
yang menurut visi anggaran dasar atau rumah tangganya mengatur untuk itu.
Timbul suatu pertanyaan, bagaimana apabila ada pelanggaran terhadap kaedah-kaedah
hukum administrasi negara atau tata usaha negara yang sifat kepentingannya tidak bersifat
individual tetapi secara faktual menimbulkan kerugian bagi publik atau masyarakat atau
seseorang/organisasi yang secara tidak langsung menderita kerugian akibat tindakan hukum
badan atau pejabat tata usaha negara, apakah dimungkinkan sengketa ini dapat diajukan di
Pengadilan Tata Usaha Negara seperti layaknya prosedur gugatan perwakilan (class actions)
apalagi gugatan yang diajukan berdasarkan hak gugat organisasi kemasyarakatan.
Untuk menjawab pertanyaan di atas terlebih dahulu akan dibahas mengenai tindakan
hukum yang dilakukan berdasarkan kaedah hukum administrasi negara atau tata usaha
negara.
Administrasi negara mempunyai kewenangan, warga memiliki hak, sedangkan
sebaliknya warga serta administrasi negara memperoleh pula kewajiban.
Administrasi negara di dalam melaksanakan tugas sebagai publik servis, memiliki
keleluasan untuk menentukan kebijakan-kebijakan, namun demikian sikap tindaknya tersebut
harus dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun secara hukum.
Dalam posisi demikian peranan Hukum Administrasi Negara (HAN) sangat dominan
dan penting, sebab inti hakikat HAN adalah: 1) memungkinkan administrasi negara untuk
menjalankan fungsinya. 2) melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara dan
juga melindungi administrasi itu sendiri.
Kepustakaan hukum mengenai konsep tanggung gugat negara, mengandung makna
negara dapat digugat atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh badan pemerintah.
Konsep tanggung gugat negara ini mengandung pengertian tersedianya sarana hukum bagi
warga negara untuk mengajukan gugatan terhadap badan pemerintah juga merupakan sarana
penegakan hukum lingkungan administratif.
Pemerintah/eksekuti dalam menjalankan fungsinya merupakan pihak yang melayani
dan warga masyarakat merupakan pihak yang dilayani. Pelayanan yang baik dalam
pemerintahan adalah sarana menuju masyarakat negara yang sejahtera (welfare state).
Pelayanan dimaksud pada dasarnya merupakan cerminan dari perbuatan pemerintah yang
tidak saja berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku (wetmatigheid dan
rechtmatigheid), akan tetapi lebih dari itu bahwa administrasi dalam menyelenggarakan
pemerintahan harus juga berdasarkan kepatutan (billijkheid) serta kesusilaan, sehingga
dibutuhkan kecermatan dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat, khususnya dalam
membuat keputusan (beschikking) oleh karena bukanlah ada semboyan lebih baik secara dini
menghindarkan sengketa dari pada nanti digugat di pengadilan untuk mempertahankan
diri.
Gugatan hukum lingkungan administratif dapat terjadi karena kesalahan dalam proses
penerbitan suatu keputusan tata usaha negara yang berdampak penting terhadap lingkungan.
Gugatan tata usaha negara di samping sebagai sarana untuk menekan pejabat tata usaha
negara agar mematuhi prosedural, juga sebagai sarana perlindungan hukum bagi rakyat.
Prosedur adalah tahapan-tahapan yang harus dilalui baik oleh organ negara/tata usaha
negara/instansi maupun oleh warga masyarakat sebelum keputusan/ketetapan dikeluarkan.
Prosedur diperlukan untuk melahirkan suatu keputusan yang baik, tanpa mengikuti prosedur
tertentu dalam melahirkan keputusan sulit dibayangkan akibat hukum yang menjadi tujuan
dari suatu keputusan.
Penegakan hukum merupakan suatu kewajiban, pelanggar hukum baik tertulis maupun
tidak tertulis harus diberi sanksi termasuk sikap tindak administrasi negara dalam
menjalankan tugasnya yang salah dalam memberikan administrasi perizinan.
Jadi pelanggar atas hukum administrasi negara baik itu administrasi negara itu sendiri
maupun masyarakat pengguna administrasi itu sendiri harus diberikan sanksi adminsitratif.
Sanksi administratif misalnya seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 meliputi: paksaan pemerintah,embayaran sejumlah uang tertentu,dan pencabutan
izin usaha dan atau kegiatan.
Paksaan pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UUPLH dapat berupa:
a. Tindakan untuk mencegah terjadinya pelanggaran.
b. Tindakan untuk mengakhiri pelanggaran
c. Tindakan menanggulangi akibat yang timbul
d. Tindakan penyelamatan
e. Tindakan pemulihan.
Tindakan pemberian izin, pencabutan izin, pengawasan dan pemberian sanksi seperti di
atas adalah merupakan tindakan administratif, sehingga apabila timbul sengketa maka
sengketa tersebut adalah merupakan sengketa hukum administrasi negara yang menjadi
yuridiksi Badan Peradilan Administrasi/PTUN.
A.3.Contoh Kasus Class Action
Di Indonesia, gugatan class action sesungguhnya tidaklah terlalu asing. Setidaknya
sudah beberapa kali gugatan model ini diajukan ke pengadilan. Gugatan sekelompok
masyarakat yang sempat muncul di media cetak di antaranya adalah Bentoel Remaja, Inti
Indorayon Utama, gugatan kelompok pembaca majalah Tempo, dan pembangunan listrik
tegangan tinggi (sutet) di Singosari, Malang.
Boleh dibilang, pelopor gugatan class action di Indonesia adalah pengacara R.O.
Tambunan. Pengacara yang kini tercatat sebagai Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia
(TPDI) itu melakukan upaya hukum yang lain daripada yang lain tersebut pada pertengahan
1980-an. Yang ia ajukan ke meja hijau adalah produsen rokok Bentoel. Ia memperkarakan
perusahaan rokok asal Malang tersebut lantaran memproduksi rokok Bentoel Remaja.
Tambunan menilai produk yang menggunakan sekelompok remaja sebagai iklannya itu
sangat merusak generasi muda di Indonesia. Sayang, terobosan hukum R.O. Tambunan
akhirnya mentok. Majelis hakim menolak gugatan tersebut. Alasannya, pengacara kondang
itu tak memiliki surat kuasa khusus untuk mengajukan gugatan. Singkat kata, Tambunan
yang mengklaim mewakili remaja seluruh Indonesia itu tak punya kepentingan langsung dan
sama sekali tak menderita kerugian. Kendati begitu, toh langkah Tambunan tak terlalu sia-sia.
Belakangan, Bentoel akhirnya menarik produk bermasalah itu dari peredaran.
Kecuali mendaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN), ada pula perkara yang diajukan langsung ke Mahkamah Agung (MA).
Kasus itu tak lain adalah gugatan kelompok pembaca majalah Tempo tiga tahun silam.
Sekitar 1.000 pembaca menggugat dengan alasan kehilangan hak akan informasi. Mereka
menilai Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) No. 1/1984 yang menjadi landasan SK
Menteri Penerangan untuk memberangus Tempo bertentangan dengan Undang-
Undang Pokok Pers. Maka itu, mereka menuntut MA sebagai lembaga peradilan
tertinggi melakukan hak uji material (judicial review) terhadap Permenpen tadi.
B.1 Pengertian Gugatan Organisasi (legal standing)
Pada prinsipnya istilah standing dapat diartikan secara luas yaitu akses orang
perorangan atau kelompok/organisasi di pengadilan sebagai pihak penggugat.
Legal standing, Standing tu Sue, Ius Standi, Locus Standi dapat diartikan sebagai hak
seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai penggugat
dalam proses gugatan perdata (Civil Proceding) disederhanakan sebagai “hak gugat”. Secara
konvensional hak gugat hanya bersumber pada prinsip “tiada gugatan tanpa kepentingan
hukum” (poit d’interest point d’action). Kepentingan hukum (legal interest) yang dimaksud
di sini adalah merupakan kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan (propietary
interest) atau kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara langsung (injury in
fact).
Perkembangan hukum konsep hak gugat konvensional berkembang secara pesat seiring
pula dengan perkembangan hukum yang menyangkut hajad hidup orang banyak (public
interest law) di mana seorang atau sekelompok orang atau organisasi dapat bertindak sebagai
penggugat walaupun tidak memiliki kepentingan hukum secara langsung, tetapi dengan
didasari oleh suatu kebutuhan untuk memperjuangkan kepentingan, masyarakat luas atas
pelanggaran hak-hak publik seperti lingkungan hidup, perlindungan konsumen, hak-hak Civil
dan Politik.
Pendapat di atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Paulus Effendi
Lotulung, yang menyatakan dalam bidang lingkungan hidup dapat terjadi suatu keadaan
dimana suatu organisasi atau kelompok orang mengajukan gugatan dengan mendasarkan
kepada kepentingan yang tidak bersifat diri pribadi mereka atau kelompok mereka, tetapi
mengatas namakan kepentingan umum atau kepentingan orang banyak (masyarakat) atau
yang disebut sebagai “algemeen belang”.
Selanjutnya Stone berpendapat, organisasi lingkungan yang memiliki data dan alasan
untuk menduga bahwa suatu proyek/kegiatan bakal merusak lingkungan, kelompok tersebut
dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan agar mereka ditunjuk sebagai wali
(guardian) dari objek alam tersebut untuk melakukan pengawasan maupun pengurusan
terhadap objek alam terhadap indikasi pelanggaran atas hak hukum.
B.2. Hak gugatan organisasi (legal standing/ius standi) di Pengadilan TUN
Setelah berdirinya Peradilan Tata Usaha Negara perkembangannya sangat
menggembirakan, hal ini dapat dilihat dari putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
dalam kasus yang terkenal sebagai kasus Dana Raboisasi, yang diajukan WALHI, dkk.,
sebagai Penggugat v. Presiden RI dalam kapasitas pejabat negara, terhadap pembatalan Surat
Keputusan Presiden No.42 Tahun 1994 tentang Bantuan Pinjaman Kepada Perusahaan
Perseroan (Persero) PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT. IPTN).
Dikatakan sangat menggembirakan karena secara tidak disadari telah memperluas arti
kepentingan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, sebab dalam perkara tersebut
pengadilan telah menerima organisasi kemasyarakatan sebagai penggugat di Pengadilan Tata
Usaha Negara yang walaupun sebahagian dari penggugat dinyatakan tidak berkualitas
sebagai penggugat yang akhirnya dikeluarkan sebagai penggugat.
Kepentingan yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 merupakan
kepentingan perseorangan/individual yang langsung mengalami/ menderita kerugian atas
diterbitkannya objek sengketa/surat keputusan tata usaha negara, dalam kapasitas gugatan
organisasi, sudah barang tentu kepentingan yang dirugikan itu tidak langsung dialami oleh
organisasi itu.
Adapun dasar pertimbangan pengadilan menerima dan menetapkan hak standing LSM
dalam kasus ini adalah:
1. Bahwa tujuan organisasi tersebut adalah benar-benar melindungi lingkungan hidup atas
menjaga kelestarian alam, dimana tujuan tersebut harus tercantum dan dapat dilihat dalam
anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
2. Bahwa organisasi yang bersangkutan haruslah berbentuk badan hukum ataupun yayasan.
3. Bahwa organisasi tersebut harus secara berkesinambungan menunjukkan adanya
kepedulian terhadap perlindungan lingkungan hidup yang nyata di masyarakat.
Agar ada suatu kesamaan bentuk maupun tahapan-tahapan yang akan dilalui dalam
pengajuan dan penyelesaian gugatan perwakilan (class actions), sebaiknya diatur dalam suatu
peraturan hukum acara sebagai payung beracara menurut prosedur gugatan perwakilan (class
actions) dan hak gugatan organisasi (legal standing).
B.3. Contoh Kasus Legal Standing
Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Kasus Lumpur Panas Sidoarjo.
Gugatan ini menggunakan mekanisme Legal Standing Organisasi, dimana Penggugat
sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berdasarkan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangganya memperjuangkan Hak Asasi Manusia dan mempunyai hak
untuk melakukan gugatan yang berkaitan derngan apa yang selama ini diperjuangkan.
Penggugat juga merupakan bagian dari komponen masyarakat sipil di negara Indonesia.
Sementara itu Tergugat I, II, dan III adalah bagian dari pemerintahan yang mempunyai
tanggung jawab untuk menegakkan dan memenuhi hak asasi manusia pada umumnya, dan
warga Sidoarjo korban semburan lumpur panas yang mengalamai pelanggaran hak terutama
Hak Asasi di bidang Ekonomi, Sosial, Budaya (EKOSOB). Terlanggarnya hak-hak korban,
telah menimbulkan peristiwa hukum berupa Perbuatan Melawan Hukum.Untuk itulah
Penggugat mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum.
C.1 Pengertian Gugatan Citizen lawsuit
Di negara Common Law system dikenal sebagai Citizen Law Suit, sedang di Belanda
dikenal sebagai Actio Popularis.
Citizen lawsuit adalah mekanisme gugatan warga negara terhadap penyelenggara
negara berkenaan kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi atau orang per orang.
Unsur kepentingan umum ini membuatnya menjadi tidak sama dengan Gugatan Tata Usaha
Negara walaupun kedua mekanisme ini sama-sama menggugat penyelenggara negara. Inti
citizen lawsuit adalah menggugat tanggung jawab penyelenggara negara atas kelalaian dalam
memenuhi hak-hak warga negara. Kelalaian tersebut didalilkan sebagai perbuatan melawan
hukum (onrechtmatigedaad). Atas kelalaiannya itu negara dihukum untuk memperbaikinya
dengan cara mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur umum (regeling) agar pelanggaran
hak warga negara tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Di Amerika Serikat (AS) gugatan ini dipakai pertama sekali dalam kasus lingkungan
hidup yang juga dimenangkan oleh hakim. Setelah itu legislator AS di tingkat negara bagian
dan federal meluaskan mekanisme ini ke bidang hukum yang lain, dengan mencantumkan
pasal yang membolehkan gugatan warga negara misalnya Undang-undang Penyandang Cacat
Tubuh Amerika (Americans with Disabilities Act) dan Undang-undang Perumahan yang Adil
(Fair Housing Amendments Act). Saat ini setidaknya 16 negara bagian AS telah
mencantumkan pasal yang mengatur tentang penggunaan mekanisme citizen lawsuit dalam
undang-undang lingkungan hidup.
Uniknya dalam perkembangan lebih lanjut citizen lawsuit a la negeri Paman Sam ini
justru menjadi tidak suitable lagi dengan karakteristik citizen lawsuit baik yang telah
dilakukan dan maupun yang dicita-citakan (ius constituendum) di negara kita.
Jika ada yang mengatakan perintis mekanisme citizen lawsuit adalah bidang hukum
lingkungan, itu ada benarnya jika contoh India dan AS dijadikan basis argumen. Namun di
Indonesia yang menjadi perintis mekanisme ini adalah bidang hak-hak sipil warga negara,
sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut.
C.2. Karakteristik
Berdasarkan gagasan pokok sebagaimana telah dijelaskan dalam definisi di atas, maka
dapat dijabarkan karakteristik citizen lawsuit berdasarkan beberapa perkara yang pernah
diputuskan oleh pengadilan Indonesia yang menggunakan mekanisme ini.Karakteristik
disusun dengan memperhatikan batasan-batasan yang telah ada dalam mekanisme acara yang
lain (perdata umum, TUN, dan MK). Jadi karakteristik ini adalah semacam gap filler, pengisi
keluangan yang ditinggalkan oleh mekanisme acara yang telah ada dan baku. Sekaligus
sebagai visi bagi bentuk mekanisme ini kelak jika diatur dalam peraturan perundangan.
Ada empat karakteristik dalam citizen lawsuit. Yaitu:
1. Pertama, penggugat adalah warga negara yang bertindak mengatasnamakan seluruh
atau sebagian Warga Negara Indonesia. Penggugat dalam hal ini cukup membuktikan
bahwa dirinya adalah Warga Negara Indonesia. Penggugat tidak harus merupakan
individu atau kelompok warga negara yang dirugikan secara langsung oleh negara.
Oleh karena itu penggugat tidak harus membuktikan kerugian materil yang telah
dideritanya sebagai dasar gugatan, berbeda dengan gugatan perdata biasa.
2. Kedua, tergugat adalah penyelenggara negara, dari Presiden Republik Indonesia,
menteri dan terus sampai kepada pejabat negara di bidang yang dianggap telah
melakukan kelalaian dalam memenuhi hak warga negaranya.Pihak-pihak selain
penyelenggara negara tidak boleh didicantumkan sebagai tergugat ataupun turut
tergugat. Jika ada pihak lain (individu atau badan hukum) yang ditarik sebagai
tergugat/turut tergugat maka gugatan tersebut bukan citizen lawsuit lagi, ia menjadi
gugatan biasa karena ada unsur warga negara melawan sesama warga negara. Gugatan
tersebut tidak bisa diperiksa dengan mekanisme citizen lawsuit.
3. Ketiga, perbuatan melawan hukum yang digugat adalah kelalaian penyelenggara
negara dalam pemenuhan hak-hak warga negara. Dalam gugatan harus jelas diuraikan
bentuk kelalaian negara sehingga hak warga negara menjadi tidak terpenuhi. Hak
warga negara yang gagal dipenuhi oleh negara juga harus dijelaskan.
4. Keempat, surat gugatan mekanisme ini ditandai oleh beberapa karekteristik khas
yaitu:
Tuntutan (petitum) dalam gugatan ini harus berisi permohonan agar negara
mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur umum (regeling) agar perbuatan melawan
hukum berupa kelalaian negara dalam pemenuhan hak warganya tersebut di masa yang akan
datang tidak terjadi lagi.
Petitum tidak boleh berisi permohonan ganti rugi materil atau permohonan untuk
membayar sejumlah uang.Karena warga negara yang menggugat bukan yang dirugikan
secara materil maka penggugat tidak berhak meminta ganti rugi langsung. Ia juga tidak boleh
berisi permohonan agar hakim memerintahkan pemutusan atau pelaksanaan hubungan hukum
perdata antar warga negara.
Ini juga membedakan citizen lawsuit di Indonesia dengan citizen lawsuit a la AS.Di AS
diperkenankan menuntut sejumlah uang dari tergugat namun sekadar cukup untuk membayar
jasa advokad yang mendampingi penggugat dan biaya-biaya perkara lainnya.
Petitum juga tidak boleh berisi permohonan pembatalan atas suatu Keputusan
Penyelenggara Negara (Keputusan Tata Usaha Negara) yang bersifat konkrit individual dan
final karena hal tersebut merupakan kewenangan dari Peradilan Tata Usaha Negara.
Terakhir, petitum juga tidak boleh memohon pembatalan atas suatu undang-undang
karena itu merupakan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi (MK), dan tidak boleh
meminta pembatalan atas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang karena itu
merupakan kewenangan Mahkamah Agung (MA).
Itulah karakteristik citizen lawsuit yang disarikan dari praktek mekanisme ini dan
membandingkannya dengan mekanisme lain yang hidup dalam hukum acara kita.
C.3. Contoh Kasus Citizen Lawsuit
Contoh kasus di luar negeri
Seorang warga negara India mengatasnamakan kepentingan umum menggugat
pemerintah India yang melalaikan pengelolaan Sungai Gangga sehingga tercemar
sedangkan Sungai Gangga bagi masyarakat Hindu di India merupakan tempat yang suci.
Robert Cohen warga negara Amerika Serikat menggugat FDA dan Depatement of Health
and Human Services karena kedua lembaga tersebut telah melanggar Freedom of Act
dengan tidak mempublikasikan pengetahuan kedua lembaga tersebut bahwa RBST
(Recombinant Bovine Somatotropin) hormon yang disuntikkan pada sapi-sapi penghasil
susu dapat memicu kanker pada maniusia, padahal masyarakat AS banyak yang
mengkonsumsi susu tersebut tanpa tahu bahayanya.
Kasus Smokers versus Tobacco Companies adalah gugatan Class ActionNorma Broin
mantan pramugari American Airlines yang menderita kanker paru-paru karena menjadi
perokok pasif selama bertugas sebagai pramugari. Ia mewakili dirinya sendiri dan teman-
teman sekerjanya yang menderita maupun belum terkena kanker paru-paru. Pengadilan
negeri Miami, Florida memutuskan kepada perusahaan rokok untuk membayar sebanyak
US$ 300.000.000 unutk melakukan studi tentang penyakit-penyakit yang disebabkan oleh
rokok, sedangkan kompensasi untuk dirinya sendiri tidak dikabulkan.
Contoh kasus di Indonesia
Warga Kelurahan Teluk Meranti sejak lama hidup makmur dikarenakan kekayaan alam
yang melimpah. Hidup dari hasil pertanian, perikanan, dan hasil kayu.Namun, sejak
masuknya PT Riau Pulp and Paper (PT RAPP), dengan mengantongi SK Menhhut 327
tahun 2009 keadaan berbalik. Hasil kehidupan mereka dari alam sirna. Walaupun masih
bisa berladang, namun penghasilan sedikit, karena banyaknya hama babi hutan. PT RAPP
dapat konsesi lewat SK Menhut 327 tahun 2009 secara keseluruhan seluas 151.254 hektar
di Kabupaten Pelalawan.
Berawal dari penolakan kolektif masyarakat terhadap keberadaan PT. RAPP yang
berada di kawasan Semenanjung Kampar khususnya yang masuk dalam willayah administrasi
Kelurahan Teluk Meranti dan Desa Teluk Binjai dimana penolakan tersebut dituangkan
dalam Surat Penolakkan Masyarakat Teluk Meranti terhadap PT. RAPP (APRIL) pada 20
Juni 2009 yang ditujukan kepada Direktur PT. RAPP dan ditembuskan kepada Pemerintah
Pusat dan Daerah serta Surat Penolakan Masyarakat Desa Teluk Binjai terhadap Rencana
Operasional PT. RAPP di Desa Teluk Binjai pada 31 Juli 2009 dimana kedua surat penolakan
tersebut ditanda tangani langsung oleh Lurah Teluk Meranti dan Kepala Desa Teluk Binjai.
Sampai pada akhirnya PT. RAPP datang ke masyarakat dan mengatakan bahwa mereka
sudah punya Izin pengelolaan Kawasan Semenanjung Kampar, masyarakat setuju atau tidak
setuju mereka akan tetap melakukan kegiatan. Dengan pola pendekatan yang dilakukan oleh
perusahaan terhadap aparat Kelurahan dan aparat Desa serta beberapa tokoh masyarakat telah
menimbulkan perbedaan pendapat di masyarakat yang menyebabkan masyarakat menjadi
terkotak-kotak, ada yang mendukung dan ada yang menolak. Masyarakat seakan diposisikan
tidak bisa berbuat apa-apa dengan izin yang perusahaan kantongi.
Dengan dibantu berbagai pihak maka secara resmi masyarakat Teluk Meranti
mendaftarkan gugatan pada 26 Oktober 2011 di Pengadilan Negeri Pelalawan. Nama
gugatannya citizen law suit. Kantor Bantuan Hukum (KBH) Riau dan Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Pekanbaru menjadi Kuasa Hukum mereka. Mereka menggugat Menteri
Kehutanan Republik Indonesia dan Bupati Pelalawan. Citizen Lawsuit adalah gugatan yang
memperjuangkan kepentingan publik karena negara tidak melakukan kewajibannya untuk
melindungi hak asasi manusia (hak warganegara). Penggugat biasanya Individu, Kelompok,
Masyarakat, Badan Hukum dan NGO. Tergugagat adalah pemerintah. Tuntutan umumnya
Ganti rugi maupun pemulian suatu keadaan. Masyarakat Teluk sebagai Penggugat. Menteri
Kehutanan sebagai Tergugat I. Bupati Pelalawan sebagai Tergugat II. Penggugat menuntut
Pemulihan Suatu Keadaan akibat terbitnya SK No 327 tahun 2009 atas nama HTI PT RAPP
di Pelalawan.Sampai saat ini pun kasus ini belum selesai dan masih dalam tahap pengadilan.
Pada tanggal 21 Maret 2012 akan memasuki sidang ke 6.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dan data yang telah kami paparkan diatas tentang class action, legal
standing, dan citizen lawsuit maka kami menyimpulkan beberapa hal yang dapat dijadikan
sebagai bahan pembanding diantara tiga hal tersebut. Kesimpulan-kesimpulan yang kami
dapatka adalah:
1. Gugatan perwakilan (class actions) adalah gugatan dari sekelompok masyarakat
dalam jumlah besar yang mempunyai kesamaan kepentingan (interest) yang dirugikan
atas suatu persoalan hukum, yang diwakili oleh seorang atau sekelompok untuk
bertindak atas diri mereka dan mewakili kepentingan dari kelompok masyarakat
lainnya (class members).
2. Prosedur pemeriksaan gugatan perwakilan (class actions) dalam pengadilan tata usaha
negara pada prinsipnya sama seperti pemeriksaan gugatan perwakilan (class actions)
di pengadilan perdata asalkan objek yang dipermasalahkannya tersebut merupakan
pelanggaran terhadap kaedah hukum administrasi negara/tata usaha negara. Yang
terpenting dalam pengajuan gugatan perwakilan ini ada suatu permohonan untuk
pemeriksaan gugatan atas dasar asas-asas yang terdapat dalam class actions, misalnya
adanya uji kelayakan menjadi perwakilan kelas (prelminary certification test) yang
dilakukan dengan cara notification, dan pemberian kesempatan untuk masuk (opt in)
atau keluar dari suatu gugatan (opt out).
3. Apabila suatu gugatan memenuhi persyaratan untuk diperiksa secara class actions
maka pengadilan akan mengabulkan permohonan tersebut dalam bentuk penetapan.
Sebaliknya apabila gugatan yang dimohonkan tidak memenuhi persyaratan untuk
diperiksa menurut prosedur class actions maka gugatan tersebut ditolak
pemeriksaannya dengan proses pemeriksaan gugatan perwakilan (class actions) dan
selanjutnya gugatan tersebut akan diperiksa secara gugatan perkara biasa saja.
4. Pada prinsipnya istilah standing dapat diartikan secara luas yaitu akses orang
perorangan atau kelompok/organisasi di pengadilan sebagai pihak penggugat.
5. Legal standing, Standing tu Sue, Ius Standi, Locus Standi dapat diartikan sebagai hak
seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai
penggugat dalam proses gugatan perdata (Civil Proceding) disederhanakan sebagai
“hak gugat”. Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada prinsip “tiada
gugatan tanpa kepentingan hukum” (poit d’interest point d’action). Kepentingan
hukum (legal interest) yang dimaksud di sini adalah merupakan kepentingan yang
berkaitan dengan kepemilikan (propietary interest) atau kepentingan material berupa
kerugian yang dialami secara langsung (injury in fact).
6. Citizen lawsuit adalah mekanisme gugatan warga negara terhadap penyelenggara
negara berkenaan kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi atau orang
per orang. Unsur kepentingan umum ini membuatnya menjadi tidak sama dengan
Gugatan Tata Usaha Negara walaupun kedua mekanisme ini sama-sama menggugat
penyelenggara negara. Inti citizen lawsuit adalah menggugat tanggung jawab
penyelenggara negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga negara.
Kelalaian tersebut didalilkan sebagai perbuatan melawan hukum
(onrechtmatigedaad). Atas kelalaiannya itu negara dihukum untuk memperbaikinya
dengan cara mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur umum (regeling) agar
pelanggaran hak warga negara tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari.
7. Berdasarkan gagasan pokok sebagaimana telah dijelaskan dalam definisi, maka dapat
dijabarkan karakteristik citizen lawsuit berdasarkan beberapa perkara yang pernah
diputuskan oleh pengadilan Indonesia yang menggunakan mekanisme
ini.Karakteristik disusun dengan memperhatikan batasan-batasan yang telah ada
dalam mekanisme acara yang lain (perdata umum, TUN, dan MK). Jadi karakteristik
ini adalah semacam gap filler, pengisi keluangan yang ditinggalkan oleh mekanisme
acara yang telah ada dan baku. Sekaligus sebagai visi bagi bentuk mekanisme ini
kelak jika diatur dalam peraturan perundangan.
8. Tuntutan (petitum) dalam gugatan ini harus berisi permohonan agar negara
mengeluarkan suatu kebijakan yang mengatur umum (regeling) agar perbuatan
melawan hukum berupa kelalaian negara dalam pemenuhan hak warganya tersebut di
masa yang akan datang tidak terjadi lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Hukum Acara Perdata, Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.
Wikipedia.com
Hukum online.com
UU Nomor 4 tahun 2004
UU nomor 35 tahun 1999.