(Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen)
Volume 2, No.2, November 2020 (28-59)
htttp://e-journal.sttaw.ac.id/index.php/kaluteros
TRANSFORMASI MISI DALAM KONTEKS BUDAYA SUKU
KUBU
Stevanus Parinussa
STT Tabernakel Indonesia Surabaya
ABSTRACT
The research has a purpose to understand the problem
in kubu’s tribe society with their values of live and how they
formulated their trabsformatif ministry for a miision
ministryto improve the balance of lives with God’s will.
Qualitative descriptive research through social phenomena
trying to interpret the meaningin the daily live. The goal of
the research is: (1) the eternity value from a mission
transformation process to represent Christ inKubu tribe’s
society context. (2) facing with culture, the changing of
mission transformation to improve the test, (3) a
comprehensive Bible perpective to undertand a
comprehensive culture’s contex of Kubu tribe to avoid
subjective assessment
Key word: miision transformation, context, culture,
communicating gospel
Stevanus Parinussa: Transformasi Misi dalam Konteks Budaya Suku Kubu…
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 29
ABSTRAK
Kajian ini bertujuan untuk memahami
permasalahan yang ada di lingkup kehidupan masyarakat
suku Kubu dengan aneka ragam nilai yang dianut, dan
bagaimana merumuskan pelayanan bersifat transformatif
bagi terwujudnya pelayaan misi yang mampu memberikan
tatanan nilai yang bermartabat demi tercapainya
keselarasan hidup dengan tujuan agenda Allah bagi manusia.
Pendekatan penelitian deskriptif kualitatif dengan
penekanan pada fenomena sosial berupaya
menginterpretasikan dan memahami makna yang disusun
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Hasil yang
diperoleh dari kajian ini, yaitu: 1) adanya nilai kekekalan
dari proses transformasi misi untuk menghadirkan Kristus
dalam konteks yang dapat dimengerti dan diterima oleh
masyarakat Kubu. 2) dalam perjumpaannya dengan
kebudayaan, dinamika perubahan dalam pelaksanaan
transformasi misi perlu mempunyai prinsip atau kaidah
yang mutlak untuk menguji kebudayaan tersebut. Alkitab
adalah satu-satunya tolok ukur untuk menguji suatu
kebudayaan, dan 3) diperlukan perspektif yang Alkitabiah
dan komprehensif untuk memahami konteks budaya suku
Kubu agar terhindar dari penilaian bersifat subyektivitas.
Kata kunci: Transformasi Misi, Kontekstual, Kebudayaan,
Mengomunikasikan Injil
PENDAHULUAN
Keberadaan suku terasing yang tersebar di beberapa
wilayah kabupaten di propinsi Jambi memiliki pola hidup
berpindah tempat. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh
kepercayaan animisme yang di dalamnya memiliki konsep
berkat dan kutuk yang bersumber dari kebaikan dan
kemarahan dewa-dewa atas respon masyarakat Kubu untuk
mematuhi tradisi adat nenek moyang. Gaya hidup nomaden
KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen), Vol 2, No 2 Nov. 2020
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 30
menyebabkan pembinaan-pembinaan yang dilakukan oleh
pemerintah bagi masyarakat ini terasa sulit untuk dicapai.
Demikian pula dengan upaya misi dalam membantu
masyarakat mengalami dinamika perubahan yang lebih baik
sebagai perwujudan transformasi misi yang arif dan
bijaksana. Permasalah suku Kubu adalah bagaimana
merumuskan transformasi misi bagi masyarakat Kubu
dirasakan penting agar memberikan tatanan nilai yang
mengubah kehidupan menjadi lebih baik dan bermatabat,
yang tentunya dengan menggunakan pendekatan terhadap
elemen budaya suku Kubu, filosofi dan pola pikir
masyarakat Kubu.
Nilai kebudayaan merupakan suatu obyektifikasi,
suatu ekspresi dalam bentuk perkataan dan pekerjaan, dari
roh masyarakat (semangat zaman) yang hidup dalam ruang
dan waktu tertentu untuk mengekspresikan diri dengan cara
mewujudkan kepercayaan dan nilai-nilai melalui
kebebasan.1 Lebih lanjut dijelaskan bahwa kebudayaan
adalah sistem yang menghasilkan dan mengomunikasikan
tatanan sosial melalui berbagai praktek bermakna yang
mencakup karya monumental manusia.2
Berkenaan dengan pergulatan paradigma di atas,
dimensi transformasi misi berkesempatan dan bertanggung
jawab untuk masuk ke dalam kancah perdebatan
interpretasi mengenai arti keberadaan manusia dan cara
terbaik untuk mencapai pemenuhannya. Dalam taraf
masyarakat inilah studi mengenai kebudayaan dan teori
sosial bersinggungan dan kehadiran transformasi misi
1Herman Dooyeweerd mengatakan, Aktivitas
kebudayaan selalu mencakup pemberian bentuk pada materi dalam kontrol bebas terhadap materi (Roots of Western Culture: Pagan, Secular, and Christian Options. Toronto: Wedge, 1979, 64) dalam D. A. Carson & John D. Woodbridge (ed), God and Culture, (Grand Rapids, Michigan: William. B. Eerdmans Publishing Co.T.th.), 6.
2Raymond Williams, Culture (London: Fontana, 1981),
13.
Stevanus Parinussa: Transformasi Misi dalam Konteks Budaya Suku Kubu…
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 31
sangat diperlukan karena semakin banyak orang yang
menyangkal adanya hal-hal yang perlu dilestarikan dalam
kebudayaan. Transformasi misi harus berani memasuki
perdebatan dengan kekuatan Firman Tuhan dan mandat
budaya, lalu menyuarakan pandangannya mengenai
kebudayaan bersama. Interpretasi kebudayaan mempelajari
bagaimana dan apa arti ekspresi tersebut sebenarnya.
Melalui interpretasi kebudayaan manusia berusaha
menemukan roh dari suatu budaya. Interpretasi kebudayaan
mempelajari kepercayaan manusia tentang arti hidup dan
jati diri.3
Kebudayaan adalah dunia makna manusia, yaitu
totalitas karya manusia yang secara obyektif
mengekspresikan kepercayaan, nilai dan harapan manusia
yang tertinggi atau mengekspresikan pandangan manusia
tentang manusia seutuhnya. Konflik interpretasi
kebudayaan melibatkan perbedaan metode dan
ketidaksepakatan tentang motif dasar kebudayaan.
Gagasan dan nilai-nilai akan lenyap jika tidak
diteruskan secara budaya dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Tradisi adalah semacam kesinambungan
interpretasi budaya atas karya-karya dasar. Dengan
demikian, jika manusia ingin memiliki manfaat dari sejarah,
maka harus menginterpretasikannya agar dapat mengatasi
jarak kebudayaan. Semangat zaman dapat dilihat secara
obyektif dalam berbagai media kebudayaan. Karena itu
beberapa ahli menginterpretasikan kebudayaan dengan
mencari tema atau motif yang muncul berulang-ulang dalam
berbagai cabang kebudayaan. Kritik kebudayaan seperti ini
sangat populer di kalangan pemikir Kristen.
3D. A. Carson & John D. Woodbridge (ed), God and
Culture, 18.
KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen), Vol 2, No 2 Nov. 2020
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 32
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
deskriptif, yaitu penelitian yang menekankan pada
penafsiran fenomena sosial yang muncul di masyarakat yang
menjadi obyek, selanjutnya fenomena di analisis dan
diinterpretasikan. Moleong mengutip pendapat Bogdan dan
Taylor bahwa pengertian dari kualitatif ialah suatu prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan dari perilaku yang diamati.4 Oleh
karena menekankan pada penafsiran fenomena sosial, maka
penelitian ini juga melihat dengan pendekatan fenomenologi
yang berupaya memahami makna peristiwa secara interaksi
pada orang-orang dalam situasi tertentu. Pendekatan ini
membawa masuk dalam dunia konseptual subyek agar dapat
memahami bagaimana dan apa makna yang disusun subyek
tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
PEMBAHASAN
Transformasi Misi
Transformation sebagai dampak supranatural yang
progresif dan berkelanjutan yang terukur dari kehadiran
dan kuasa Allah yang bekerja di dalam, melalui dan terpisah
dari gereja pada masyarakat dan struktur manusia. Di
gereja, ini ditandai dengan meningkatnya kekudusan hidup,
rekonsiliasi dalam hubungan, dan keinginan untuk berdoa
dan beribadah. Dalam budaya, ini dapat ditandai dengan
kesadaran yang meluas akan realitas Allah, koreksi radikal
dari penyakit sosial, penurunan tingkat kejahatan yang
sepadan, berkah supranatural dalam perdagangan lokal,
penyembuhan yang patah hati (yang teralienasi dan
kehilangan hak pilih), dan regeneratif tindakan memulihkan
produktivitas tanah.
4Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), 3.
Stevanus Parinussa: Transformasi Misi dalam Konteks Budaya Suku Kubu…
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 33
Menilik dari artinya kata transformasi memiliki arti
berubah bentuk. Ada dua kata dalam Perjanjian Baru yang
sepadan dengan kata ini, yaitu: Pertama, kata alaso
(KPR.6:14; 1 Korintus15:51-52) artinya mengubah atau
membuat berbeda. Transformasi adalah hasil proses
perubahan, buah dari kerja keras. Perubahan luar biasa
Eropa dan belahan Asia pada zaman Paulus adalah hasil dari
penginjilannya yang tak kenal lelah, bukan hanya karena
pergumulan doa dan harapan (KPR.6:14). Dalam sejarah,
setiap perubahan selalu melalui mekanisme proses, bukan
sesuatu yang instan. Transformasi adalah perubahan yang
bersifat menyeluruh, biasanya menjadi sesuatu yang lebih
baik dan lebih berguna. Kedua, kata metamorfoo (Roma
12:2) artinya berubah, berganti sosok, dan perubahan secara
bertahap.
Transformasi adalah perubahan dari kondisi
keberadaan manusia yang bertentangan dengan tujuan
Tuhan menjadi kondisi di mana orang dapat menikmati
kepenuhan hidup yang selaras dengan Tuhan. Menurut
pandangan alkitabiah tentang kehidupan manusia, maka
transformasi adalah perubahan dari kondisi keberadaan
manusia yang bertentangan dengan tujuan Allah menjadi
kondisi di mana manusia dapat menikmati kepenuhan hidup
selaras dengan Allah (Yohanes 10:10; Kolose 3:8-15; Efesus
4:13). Transformasi merupakan perubahan secara bertahap
dalam proses pembaruan pikiran atas orang-orang yang
sudah percaya. Orang percaya dipanggil untuk menjadi tidak
serupa dengan dunia ini. Pembaruan pikiran di sini sama
artinya dengan pembaruan pengertian atau pemahaman
secara berkesinambungan, melalui perubahan cara berpikir.
Pikiran dalam Roma 12, digunakan kata nus yang berarti
budi, pikiran, pengertian, bertalian dengan kesadaran
terhadap kebenaran yang membangun persepsi dalam diri
seseorang.
Sejalan dengan pengertian di atas terkait dengan
misi, Bosch memberikan pendapatnya bahwa transformasi
KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen), Vol 2, No 2 Nov. 2020
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 34
misi adalah suatu kegiatan mengubah yang obyeknya adalah
misi.5 Dalam hal ini, misi bukan sebagai usaha yang
mengubah realitas, melainkan sesuatu yang sedang diubah
atau berubah. Upaya untuk mendefinisikan pendekatan
komprehensif untuk transformasi harus “berakar pada
teologi misi Kerajaan Allah dan berupaya untuk
mengekspresikan KeTuhanan Yesus atas setiap aspek
kehidupan, ekonomi, agama, pribadi, dan politik. Itu tidak
memberikan prioritas pada bidang kehidupan apa pun
sebagai bidang misi … tetapi perubahan ini akan dilakukan
kapan pun orang mengatasi masalah kehidupan secara
langsung, berakar pada perspektif Injil.”6
Jadi, proses transformasi ini akan membangun
manusia batiniah yang cemerlang seperti yang dikemukakan
oleh Paulus dalam 2 Korintus 4:16-18. Hamba Tuhan bukan
saja mengalami perubahan secara moral, perilaku menjadi
baik tetapi juga perubahan filosofi hidup secara menyeluruh,
dari logika duniawi menjadi logika rohani, artinya pola pikir
yang memiliki, memperhatikan dan menghargai nilai
kekekalan.7
Konsep Budaya
Secara umum kata kebudayaan berasal dari bahasa
Sansekerta buddhaya ialah bentuk jamak dari kata buddhi
yang berarti akal atau pandangan. Asal kata kebudayaan
bahwa kata itu merupakan suatu perkembangan dari kata
majemuk budi-daya, artinya daya dari budi atau kekuatan
5David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2016), xiii. 6T.p., Mission as Trasnformation-Transform World
dalam https://www.transform-world.net/vision-mission/ (diakses
3 Oktober 2020 pukul 19.45 WIB).
7Berdasarkan Majalah Truth: Mengungkap Kebenaran
Edisi 20, (Jakarta: Rehobot Ministry, T.th.), 15.
Stevanus Parinussa: Transformasi Misi dalam Konteks Budaya Suku Kubu…
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 35
akal sebagai hasil cipta, karsa dan rasa. Koentjaraningrat
mendefinisikan kata kebudayaan sebagai keseluruhan
gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya
dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan
karyanya itu.8 Budaya atau kultur dimaksudkan juga untuk
menyebut nilai-nilai yang digumulkan oleh masyarakat
dalam bertindak dan berperilaku.9 Manusia berusaha untuk
memenuhi hasrat terhadap keindahan itu dengan
menciptakan kebudayaan sebagai media yang dianggap
dapat mencapai kesempurnaan hidup. Yang dimaksud
dengan kata ‘menyempurnakan hidup’ adalah manusia
merasa lengkap di dalam hidupnya karena terpenuhi
kebutuhannya.
Bernard T. Adeney mengatakan bahwa segala adat-
istiadat atau kebudayaan yang merupakan pedoman hidup
yang berlaku di dalam persekutuan suatu masyarakat atau
suku haruslah dikonfrontasikan dengan Injil Allah, kepada
Yesus Kristus. Segala sesuatu dalam adat, kebudayaan yang
bermaksud mengabdi kepada Allah dan memiliki kebaikan
bagi sesama manusia berasal dari Allah sedang segala
sesuatu dalam kebudayaan yang dengan sadar atau tidak
sadar menghujat nama Allah dan merusak prikemanusiaan
adalah dari Iblis asalnya.10 Adat-istiadat itu yang
menyangkut suatu masyarakat bersama, memiliki jati diri,
martabat, keamanan dan kesinambungan. Kebudayaan ada
disebabkan alam beserta lingkungan cenderung
memberikan ketegangan-ketegangan dalam kehidupan
8Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan
Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1985), 9 mengatakan bahwa budaya sebagai suatu kumpulan gagasan. Konsepsi, nilai, norma dan peraturan dapat disamakan dengan adat, tata kelakuan atau adat-istiadat.
9P. Hariyono, Pemahaman Kontekstual Tentang Ilmu
Budaya Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 45.
10Bernard T. Adeney, Etika Sosial Lintas Budaya,
(Yogyakarta: Kanisius, 2000), 19 dan J. Verkuyl, Etika Kristen Bagian Umum, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 9.
KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen), Vol 2, No 2 Nov. 2020
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 36
manusia baik yang memberikan rasa puas dalam kehidupan,
juga ketegangan yang mengancam hidup manusia. Reaksi
manusia menghadapi peristiwa di luar dirinya adalah
mengupayakan kebudayaan sebagai proses pembebasan
kesulitan hidupnya. Reaksi manusia tersebut tertuju pada
alam, sesama manusia maupun alam adikodrati. Pada sisi
lain, seiring dengan perubahan hidup kelompok masyarakat
terjadi karena pengenalan baru, pengetahuan baru,
teknologi baru, kadangkala terjadi pula perubahan atau
pergeseran kebudayaan dalam masyarakat bersangkutan.
Hal itu berakibat bahwa kebudayaan menjadi bersifat
penyesuaian terhadap cara hidup dan kebiasaan kepada
pergeseran situasi baru. Namun demikian, tidak setiap
perubahan dapat dianggap suatu kemajuan budaya.11
Berkaitan dengan pandangan di atas, ada beberapa
unsur kebudayaan universal yang dilakukan manusia, yaitu:
1) bahasa, 2) pranata-pranata sosial, 3) sistem peralatan
hidup dan teknologi, 4) sistem mata pencaharian atau
ekonomi, 5) sistem religius, yaitu gagasan-gagasan abstrak
dan keyakinan tentang roh nenek moyang, 6) kesenian, dan
7) sistem ilmu pengetahuan.12 Sistem nilai budaya (ukuran,
batasan yang ditetapkan) merupakan tingkat yang paling
tinggi dari kebudayaan, yang tidak bisa diraba dan diamati.
Hal ini terletak pada pemikiran sekelompok orang atau
masyarakat, sehingga jika terjadi perbedaan orientasi nilai
budaya tanpa pemahaman yang benar akan menimbulkan
konflik di antara penganutnya.13
Perbedaan orientasi nilai budaya terjadi karena
adanya multikulturalisme kebudayaan, meminta setiap
manusia untuk saling mengenal, mengetahui, mempelajari,
11
P. Hariyono, Pemahaman Kontekstual Tentang Ilmu Budaya Dasar, 45.
12Koentjaraningrat, Seri Etnografi Masyarakat Terasing
Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1993), 20-34. 13
J.W.M. Bakker, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), 113.
Stevanus Parinussa: Transformasi Misi dalam Konteks Budaya Suku Kubu…
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 37
menghayati, menghormati antara masyarakat satu dengan
masyarakat lain, sehingga terjalin suatu keharmonisan
hidup antara umat berbudaya.14
Korelasi Transformasi Misi dengan Budaya
Unsur budaya penerima maupun budaya asal
pemberita tidak dapat dipisahkan dari keberadaan masing-
masing di dalam upaya transformasi misi. Transformasi misi
pekabaran Injil juga terbungkus dalam kebudayaan Yunani,
yaitu hebraic-helenistik.15 Obyek transformasi misi adalah
manusia budaya, sehingga untuk transformasi misi manusia
budaya harus memahami situasi manusia budaya yang akan
diInjili dengan tidak terlepas dari kebudayaannya.
Seorang pelaku perubahan harus dapat
menyesuaikan diri, berupaya memahami secara serius
kebudayaan yang akan diInjili dan menggunakan dengan
sebaik-baiknya prinsip kebenaran Alkitab agar mampu
memengaruhi dan memberikan perubahan pada
kebudayaan itu.16 Sejalan dengan pendapat tersebut,
Fridolin Ukur menjelaskan tentang pemanfaatan sarana
budaya dalam transformasi misi sebagai berikut:
“Pemanfaatan sarana budaya dalam pemahaman
oikumenis pemberita Injil haruslah mencakup
keinginan, kemampuan mengekspresikan iman
melalui pola-pola budaya yang dihayati, sehingga jika
iman kristiani diungkapkan melalui budaya sendiri
yang telah diberi isi baru, maka penyampaian iman
tersebut bersifat komunikatif terhadap orang-orang
yang ingin disentuh.17
14
J.C. Vergoumen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak, (Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara, 2004), 19.
15Merril C. Tenney, Survey Perjanjian Baru, (Malang:
Gandum Mas, 2001), 19. 16
Peter Wongso, Tugas Gereja dan Misi Masa Kini, (Malang: SAAT, 1999), 138.
17Daniel Damaledo (editor), Gereja Dalam Pendakian
Puncak Sejarah Dunia, (Yogyakarta: Andi, 1987), 90.
KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen), Vol 2, No 2 Nov. 2020
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 38
Identitas Kehidupan Suku Kubu
Identitas kehidupan masyarakat terasing18 Kubu
oleh Pemerintah Jambi disebut dengan istilah Suku Anak
Dalam untuk memperhalus pengertian dari sebutan Kubu.19
Terkait dengan kehidupan nomaden, asal-usul suku Kubu
juga menghasilkan pendapat yang berbeda-beda dari para
peneliti budaya, yaitu: Pertama, ada yang mengatakan suku
Kubu berasal dari Rejang Lebong (satu daerah di Bengkulu).
Kedua, para peneliti menyebut suku Kubu dari Minangkabau
karena dialek bahasanya mirip orang Padang. Ketiga,
berpendapat suku Kubu sejarahnya memiliki kaitan erat
dengan Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya pada masa
lampau, sedangkan antropolog Swedia, Oyvind Sandbukt,
mengatakan suku Kubu berasal dari ras Melayu, tepatnya
proto Melayu atau Melayu Tua.20
Suku Kubu tersebar dalam empat wilayah daerah
tinggkat II Jambi, yaitu Kabupaten Batanghari, Tanjung
Jabung, Bungo Tebo dan Sarolangun bangko. Wilayah ini
juga dibagi dalam dua bagian besar, yaitu: Pertama, suku
Kubu bagian Timur daerah Jambi, kira-kira berpusat di
18
Masyarakat terasing adalah masyarakat yang terisolir, memiliki kemampuan terbatas untuk berkomunkasi dengan masyarakat lain yang lebih maju, sehingga bersifat terbelakang, tertinggal dalam proses mengembangkan kehidupan ekonomi, politik, sosial-budaya, keagamaan dan ideolog, dalam Sudarto, Informasi Bina Masyarakat Terasing, (Jakarta: Depsos RI, 1989), 3.
19Kubu dalam bahasa Melayu Jambi berasal dari kata
Ngubu menyembunyikan diri ke hutan sebagai sikap bertahan demi pandangan hidup suku yang turun-temurun, dalam Hasan Basri Madjid, Kondisi dan Permasalahan Pendidikan dan Kesehatan Masyarakat Suku Anak Dalam di Daerah Jambi, (Jambi: Kanwil Depsos-UNJA Jambi, 1993), 4. Namun pandangan orang Kubu sendiri tidak mau disebut ‘Kubu’ karena menurut mereka artinya ‘kebodohan’ (suatu penghinaan), komunitas ini lebih senang disebut Orang Rimbo, Orang Kelam atau Sanak (Data Museum Negeri Propinsi Jambi, 2005).
20Fahcruddin Saudagar, Kebudayaan Melangun Suku
Anak Dalam Jambi, (Jambi: FKIP-UNJA, 1993), 4.
Stevanus Parinussa: Transformasi Misi dalam Konteks Budaya Suku Kubu…
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 39
daerah Tempino (perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan),
yaitu desa Palempang, desa Nyogan, Bayung Lincir dan Ulu
Sekayu di Sumatera Selatan. Kedua, suku Kubu bagian Barat
dan Tengah tersebar di hutan belukar yang sukar dan sulit
dijamah kehidupan pedesaan yang ada di sekitarnya.
Keterangan hasil survei penduduk menunjukkan
bahwa perkembangan populasi dan sebaran orang Rimba
terbagi dari, yaitu: Orang Rimba, hidup secara berkelompok
di hulu-hulu sungai di dalam hutan. Konsentrasi terbesar
orang Rimba di Jambi berada di kawasan Taman Nasional
Bukit Dua Belas (TNBD) yang secara geografis terletak
antara 102° 30o - 102° 55o BT dan 10° 45o - 20° LS, dengan
jumlah 2.546 jiwa (survei 2017) dan sebagian kecil ada di
wilayah Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) sebanyak
474 jiwa (survei 2013). Orang Rimba juga dapat ditemukan
di hutan-hutan sekunder dan perkebunan kelapa sawit
sepanjang jalur lintas Sumatera hingga ke batas Sumatera
Selatan, dengan jumlah populasi 1.373 jiwa (survei 2013).21
Hukum Adat sebagai Pengendali Sosial22
Hukum adat sebagai aspek kebudayaan yang
praktiknya dapat diamati dari perilaku sehari-hari dimana
berfungsi sebagai pedoman bertingkah laku. Ketaatan
masyarakat Kubu terhadap norma-norma yang berlaku
sangat tinggi.23 Undang-undang adat yang menjadi norma
hidup disebut dengan nenek moyang delapan, pucuk undang
delapan, pucuk teliti duabelas. Empat moyang adalah
21
KKI Warsi, The Indonesian Conservation Communit, Orang Rimba, Kubu dan Suku Anak Dalam (SAD), http://warsi.or.id/content/showing/55/content (diakses, 4 Oktober 2020, pukul 16.50 WIB).
22Sutomo Muntholib, Orang Rimbo: Kajian Fungsional
Masyarakat Terasing di Makekal Propinsi Jambi, (Bandung: Universitas Padjajaran, 1995), 133.
23Permono, Hubungan Hukum Adat Dengan Status
Tanah Dan Hutan Bagi Masyarakat Suku Anak Dalam Di Propinsi Jambi, (Jambi: Fakultas Hukum – UNJA, 1993), 2.
KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen), Vol 2, No 2 Nov. 2020
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 40
undang-undang yang seringkali diisyaratkan dengan seloka
adat. Keempatnya mengenai ketaatan tradisi nenek moyang
untuk hidup di hutan, tradisi adat yang harus ditegakkan
terus dan tentang musyawarah dalam pengambilan
keputusan.
Undang-undang delapan dibagi menjadi dua bagian,
yaitu: empat di atas dan empat di bawah. Empat di atas
berisi tentang aturan norma kesusilaan. Hukuman dahulu
adalah hukuman mati. Empat di bawah berisi peraturan
yang menyikapi pelanggaran kemasyarakatan, misalnya
menyakiti orang hingga terluka, menipu, dan sebagainya.
Untuk hal-hal di luar empat di atas biasanya dikarenakan
hukuman denda kain atau denda hasil buruan atau meramu.
Undang-undang duabelas pada dasarnya sama dengan
undang-undang delapan, tetapi memiliki aturan-aturan
tambahan dan materi yang bertambah. Sedangkan teliti
adalah norma yang telah diperkuat dengan tambahan
peraturan khusus atas dasar kesepakatan tokoh adat. Fungsi
teliti adalah untuk meninjau kembali berat atau besar
hukuman yang dapat diperkecil kembali.
Nilai Kerohanian/Spiritualitas Budaya Suku Kubu
Konsep Allah
Suku Kubu menganut kepercayaan animisme.
Komunitas ini meyakini adanya alam dunia yang tidak
nampak dalam arti di luar batas pencaindera dan di luar
batas akal. Dunia gaib itu menurut sistem kepercayaan
masyarakat Kubu mengandung bayangan tentang wujudnya
dewa (baik dan jahat).24 Pada sebagian masyarakat Kubu
24
Sutomo Muntholib, Orang Rimbo: Kajian Fungsional Masyarakat Terasing di Makekal Propinsi Jambi, 158. Muntholib cenderung mengaitkan nama dewa sebagai nama lain dari malaikat-malaikat, sesuai dengan beberapa bagian suku Kubu yang menerima pengaruh ajaran Islam dari penyiar-penyiar Islam yang difasilitasi pemerintah.
Stevanus Parinussa: Transformasi Misi dalam Konteks Budaya Suku Kubu…
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 41
juga mengenal istilah rajo nyawo sebagai pemiliki nyawa
manusia.
Masyarakat Kubu memiliki pengertian tentang roh-
roh halus lain yang dikenal dengan sebutan mambang,
hantu, peri, yang dapat berhubungan dengan dukun (alim)
melalui upacara keagamaan, dan kekuatan-kekuatan
supranatural yang dapat berguna atau menimbulkan
bencana. Hantu merupakan mahkluk gaib yang dapat
bersatu dengan angin ribut atau puting beliung, hujan deras
yang lama yang merusak sarana kehidupan yang berupa
hutan, rumah dan ladang. Hantu jahat ini dikenal dengan
sebutan nyaru atau raja brail.
E.B. Tailor25 seorang antorolog Inggris mengatakan
bahwa mahkluk-mahkluk yang berupa dewa itu dipahami
suku primitif berasal dari jiwa yang sudah lepas dari tubuh
manusia dan hidup terus sepanjang masa. Pemunculan dewa
ditandai datangnya malapetaka atau sebaliknya ditandai
datangnya suatu keberhasilan dalam menghadapi
kehidupan. Masyarakat Kubu memuja raoh yang berasal dari
dewa baik agar memberkati hidup dan usaha mereka,
sedangkan sebagai bentuk pendamaian dengan dewa yang
murka, masyarakat Kubu akan melakukan adat basale yang
dipimpin oleh dukun (alim).
Pandangan tentang Keselamatan
Masyarakat Kubu meyakini bahwa manusia yang
berbuat jahat dan melanggar adat nenek moyang tidak
hanya sengsara di dunia tetapi juga mengakibatkan
kesengsaraan kaum kerabatnya dan sengsara di akhirat
(dunia lain) yang berarti masuk neraka.26 Sedangkan
25
Sagimun M.D., Adat Istiadat Daerah Jambi, (Jambi: Depdikbud, 1985), 127.
26Pemahaman ini akibat dari masuknya ajaran Islam
yang memberikan pengertian kepada sebagian masyarakat
KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen), Vol 2, No 2 Nov. 2020
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 42
manusia baik dan menaati adat-istiadatnya akan masuk
surga, namun pada sebagian besar masyarakat Kubu tidak
tahu akan ke mana setelah meninggal dan mereka tidak
terlalu peduli. Hal tersebut menyebabkan masyarakat Kubu
selalu berusaha menaati adat dan bila terpaksa
melanggarnya akan berusaha secepatnya membayar denda
adat yang dianggap dapat mengurangi dosa.27
Pada umumnya masyarakat Kubu percaya roh nenek
moyang atau anggota keluarga yang telah meninggal dapat
mengawasi kehidupan dan ketaatan masyarakat Kubu dalam
melaksanakan tradisi adatnya. Hal itu dapat berhubungan
dengan keluarga yang masih hidup melalui upacara sale atau
basale melalui dukun. Orang yang telah meninggal tersebut
telah menjadi mambang atau pelayan dewa penyebab
kematiannya.
Upacara Keagamaan
Pengertian klasik mengenai magi adalah ritual yang
menerapkan kepercayaan bahwa kekuatan supranatural itu
ada dan dapat dipaksa aktif untuk tujuan baik dengan cara
tertentu. Membedakan magi dengan ajaran agama menurut
Sutomo Muntholib dilihat sebagai cara untuk mengambil
hati atau memenangkan kekuatan yang melebihi kekuatan
manusia yang dipercayai dapat membimbing dan
mengendalikan nasib dan kehidupan manusia, sedangkan
magi adalah usaha memanipulasi hukum alam tertentu.
Ritual magi sebagai upacara keagamaan tersebut.28 Secara
umum upacara basale meliputi tiga fungsi, yaitu: Pertama,
upacara kelahiran bayi. Kedua, upacara pernikahan; dan
ketiga, upacara menolak atau menyembuhkan penyakit.
Kubu bahwa neraka adalah api yang panasnya tujuh kali panas api di dunia.
27Kharinal, Tata Kehidupanh Yang Layak
Dikembangkan Bagi Masyarakat Terasing Di Dwi Karya Bhakti Bungo Tebo, (tk: tp, t.th), 25-26.
28Sutomo Muntholib, Orang Rimbo: Kajian Fungsional
Masyarakat Terasing di Makekal Propinsi Jambi, 159.
Stevanus Parinussa: Transformasi Misi dalam Konteks Budaya Suku Kubu…
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 43
Nilai Tradisi Pernikahan
Upacara pernikahan dipimpin oleh dukun dengan
mengucapkan mantera dan syair adat. Janji pernikahan
dilakukan dengan cara memegang kedua tangan pengantin
sambil mengucapkan kalimat: ‘seko sianu kembali kepada
seko sianu, selanjutnya semalam iko sianu nikah sampai
menyeluat betingkat tebu seruas, lah lengkok nyawo yang
jantan maupun betino, nak sedingin air nak sepanjang rotan’
(disebut nama laki-laki dan wanitanya, si wanita atau
[nama], kembali kepada si pria [nama], selanjutnya malam
ini mereka akan nikah atau menjadi suami isteri sampai
seterusnya, sampai masa tua, sampai ajal keduanya
menjemput). Kemudian kedua tangan pengantin ditepuk
sebanyak tujuh kali, serta kedua keningnya diperadukan
tujuh kali. Upacara ini dilakukan juga dengan menari
mengelilingi cawan yang berisi tujuh macam bunga hutan
yang harum, dan setiap tamu bergantian menari semalam
suntuk. Tujuan upacara agar kedua mempelai selamat,
banyak rejeki dan cepat dikaruniakan anak.29
Ada hal yang khas sebagai syarat pernikahan yaitu
kelulusan calon pengantin pria dalam ketangkasan
keterampilan bekerja. Tujuannya untuk membuktikan
kemampuan kerja dan perilaku. Sedangkan calon mempelai
wanita dipandang baik perilakunya jika mau mengantar
makanan dan membuat tikar anyaman sendiri untuk calon
mertua. Mas kawin masyarakat Kubu berupa sejumlah kain
(harta kekayaan). Umumnya mas kawin sekitar dua ratus
lembar kain.30
Masyarakat Kubu memandang fungsi pernikahan
adalah: Pertama, untuk meneruskan generasi baru nenek
29
Aswinar Mahmud, Lingkaran Hidup Suku Anak Dalam Jambi, (Jambi: Kanwil Depdikbud, 1978), 19.
30Hasan Basri Madjid, Kondisi dan Permasalahan
Pendidikan dan Kesehatan Masyarakat Suku Anak Dalam di Daerah Jambi, 9.
KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen), Vol 2, No 2 Nov. 2020
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 44
moyang atau keturunan. Kedua, agar keberadaan seseorang
di kalangan adat masyarakat Kubu mendapat perhatian. Pria
dan wanita yang belum menikah dianggap ‘belum sebagai
masyarakat penuh’. Hal ini terkait dengan adat yang berlaku
bahwa isteri berhak mendapat perlindungan suami dan
suami berhak memeroleh pelayanan dari isteri sesuai
dengan pepatah adat ‘bini sekato laki’ (pria dalam rumah
tangga adalah kepala keluarga yang patut dihormati
wanita).31 Pernikahan juga menjadi bentuk ikatan baru,
menjadi kelompok yang sama ‘urang kito’ yang menyatu
dengan kelompok yang lain. Ketiga, mengatur perilaku
seksualitas seseorang. Keempat, pernikahan juga sebagai
bentuk perlindungan terhadap anak-wanita yang tidak
memiliki orangtua atau sanak saudara, atau bagi janda muda
yang masih memiliki anak yang kecil.32 Pada masyarakat
Kubu adanya larangan pernikahan sekandung, larangan
perceraian, larangan poligami (meskipun ada juga yang
melakukannya, namun akan berhadapan dengan ketentuan
adat yang berlaku).
Nilai Tradisi Kelahiran
Proses dan peristiwa kelahiran bagi masyarakat
Kubu dianggap sebagai awal kehidupan manusia yang
merupakan karunia bagi keluarga, sebab kelanjutan hidup
nenek moyang berlanjut dengan adanya generasi baru yang
akan memelihara hutan. Pandangan ini menimbulkan
aturan-aturan yang membimbing calon ibu mulai dari
kondisi kehamilan hingga melahirkan dalam keadaan baik.
Suku Kubu memandang kehidupan manusia berasal
dari dewa dan sebagai bentuk permohonan agar proses
31
Aswinar Mahmud, Lingkaran Hidup Suku Anak Dalam Jambi, 5-20.
32Pernikahan suku Kubu dengan masyarakat luar (desa
biasa) jarang terjadi, karena orang desa akan merasa sangat terhina dan malu, jikalaupun ada biasanya orang Kubu tersebut harus mengikuti agama mayoritas.
Stevanus Parinussa: Transformasi Misi dalam Konteks Budaya Suku Kubu…
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 45
kelahiran berlangsung dengan lancar. Peranan dukun dan
ayah sang bayi akan melakukan ritual doa permohonan
dengan cara dukun membaca mantera dan sang ayah
membuat bunyi-bunyian dari peralatan dapur yang dipukul-
pukul.33 Masyarakat Kubu juga memiliki pengertian bahwa
sejak kelahiran, manusia telah diperhadapan dengan
kekuatan gaib yang berusaha mengganggu kehidupannya.
Sebagai usaha perlindungan, diadakan upacara basale untuk
bayi dan sang ibu.
Ritual penyambutan bayi dilakukan dengan
mengoleskan ramuan yang telah dimanterai pada sekujur
tubuh bayi dan ibu. Bahan ramuan tersebut terdiri dari
dedaunan hutan, kulit kayu, akar-akaran, getah-getahan
yang diletakkan dalam wadah yang berisi air. Jika diamati, isi
ramuan tersebut sebenarnya berfungsi untuk pengobatan
dan perawatan paska melahirkan, karena beberapa tanaman
hutan dimanfaatkan masyarakat Kubu untuk obat-obatan,
sedangankan ari-ari bayi ditanam di bawah pohon ketubung
dan dikeramatkan.34
Nilai Tradisi Kematian
Kematian bagi masyarakat Kubu dipandang bukan
hanya sebagai peristiwa kemalangan, namun lebih jauh
merupakan suatu bentuk kesialan akibat kemarahan dewa
setempat atau kutuk. Kesialan tersebut dikaitkan pada
tempat tinggal dan cara mereka hidup (berhuma, berburu
dan menangkap ikan). Dengan meninggalnya anggota
keluarga mereka percaya tempat tersebut juga membawa
hal buruk. Untuk menghindari kesialan, maka harus
melangun, pindah dari tempat itu. Upacara atau ritual tradisi
33
Yang TR, Basale: Upacara Ritual Suku Kubu, (Jambi: Perpustakaan Jambi, 1997), 10.
34Siswoyo (editor), Kembali ke Alam, Manfaatkan Obat-
obatan Tradisional, (Jakarta: Penelitian Biota Medika Depkes-IPB-UI-LIPI, 1999), 47-50.
KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen), Vol 2, No 2 Nov. 2020
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 46
kematian adalah upaya akhir yang dapat dilakukan untuk
menghindari kondisi yang terburuk.35
Upacara dipimpin oleh dukun yang mampu
berhubungan dengan roh-roh gaib melalui mantera yang
diucapkannya. Roh-roh gaib yang dipanggil dalam upacara
tersebut disebut mambang atau pembantu rajo nyawo atau
dewa nyawa yang mampu mengambil nyawa manusia. Orang
Kubu percaya bahwa orang-orang yang telah meninggal
rohnya akan dijadikan pelayan dewa nyawa dan dapat
menjadi perantara dukun untuk berhubungan dengan dewa
nyawa. Persiapan yang dalam upacara kematian mencakup
aneka rupa kembang, burung-burungan ondan yang terbuat
dari anyaman daun enau sebagai lambang kendaraan roh
halus, ramuan dan kemenyan dan rumah-rumahan atau bale
pengasuh untuk persinggahan roh gaib yang akan
dipanggil.36
Tanda kematian yang dimengerti masyarakat Kubu
yaitu apabila lidah si sakit ditetesi air garam atau bagian
kulit luar tubuhnya digores dengan benda tajam tidak
bereaksi.37 Orang Kubu yang meninggal tidak ditanam, tetapi
diletakkan di dalam pondok yang dibuat khusus dengan
lokasinya tidak berjauhan dari pemukimannya semasa
hidup. Beberapa barang milikinya akan disertakan agar
dapat digunakan di alam rohnya. Upacara pemakaman
dilaksanakan dalam suasana berkabung dan tangisan yang
sangat memilukan hati. Selesai upacara pemakaman,
keluarga kerabat akan pergi jauh melangun untuk
menghindari kesialan yang semakin meluas dan melupakan
35
Dalam kehidupannya, suku Kubu sering menjumpai masalah serius yang menimbulkan kegelisahan. Mereka bertindak mengatasinya sesuai cara sebagaimana mereka ketahui, namun tindakan tersebut seringkali tidak menyelesaikan masalahnya.
36Yang TR., Basale: Upacara Ritual Suku Kubu, 12-30.
37Isi mantera basale yang mengandung unsur magi
sangat tabu untuk diketahui masyarakat luar karena jika diucapkan sembarangan dapat menyebabkan kutuk.
Stevanus Parinussa: Transformasi Misi dalam Konteks Budaya Suku Kubu…
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 47
kesedihan. Bagi yang tidak melaksanakan tradisi melangun
akan kena kutuk dan masyarakat Kubu sangat takut akan
kutuk.38
Transformasi Misi Mengomunikasikan Injil
Fungsi transformasi misi yang utama dalam
eksistensinya di dunia ini adalah mengomunikasikan Injil
melalui perkataan dan tindakan. Hal ini harus dipahami oleh
setiap pelaku perubahan karena transformasi misi
merupakan inti dari fungsi keberadaannya untuk
mengomunikasi Injil di tengah-tengah budaya masyarakat
Kubu. Misi dengan memberitakan Firman Allah dan
memperkenalkan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat,
sehingga mengalami dinamika perubahan yang signifikan
adalah tujuan transformasi misi, tetapi tidak melakukan
sesuatu untuk mengatasi keadaan sosial yang tragis, adalah
ibarat imam orang Lewi dalam perumpamaan Yesus tentang
orang Samaria yang murah hati.39
Jadi, dalam melaksanakan transformasi misi sebagai
perwujudan dari amanat agung Yesus Kristus, setiap pelaku
perubahan harus menyatukan secara harmoni antara
perkataan dan tindakan. Iman tanpa perbuatan adalah mati.
Pertanyaannya adalah bagaimana caranya
mengimplementasikan fungsi tersebut dalam konteks
masyarakat Kubu yang sangat kompleks?
Beberapa hal yang penting diketahui dari kultur
masyarakat Kubu adalah:
1) Orang Kubu sangat mencintai keseniannya. Hal ini dapat
menjadi pintu bagi pemberitaan Injil Kristus dan Injil Kerajaan
38
Kebiasaan tidak menanam jenazah disebabkan beberapa hal, yaitu: Pertama, zaman dahulu lahan hutan masih sangat luas, tidak dihuni dan masyarakat Kubu tidak mengenal sistem penguburan. Kedua, alasan belas kasihan dan harapan kecil dari keluarga bahwa jika anggota keluarga yang sakit kondisinya tiba-tiba membaik.
39Tissa Balasurya, Teologi Ziarah, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1994), 210.
KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen), Vol 2, No 2 Nov. 2020
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 48
Allah. Transformasi misi dalam mengomunikasikan Injil
dengan menggunakan perangkat kebudayaan haruslah
dilaksanakan secara bijak.
2) Orang Kubu memiliki hubungan sosial yang baik. Sehingga
transformasi misi di tanah suku Kubu harus menjadi misi yang
memasyarakat. Dalam keberadaannya, fungsi transformasi
misi harus mampu menjadi garam dan terang. Sebagai garam,
kehadirannya dibutuhkan banyak orang. Sebagai terang,
dinamika perubahan harus menuntun orang Kubu kepada
Kristus.
3) Masyarakat Kubu cukup terbuka pada hal-hal baru asalkan
tidak memaksa mereka untuk meninggalkan keseniannya.
Dalam hal ini, fungsi transformasi misi bukan mengharuskan
menganggap kebudayaan sebagai sesuatu yang jahat, tetapi
memberitakan kebenaran kepada suku Kubu dan membiarkan
terang Firman Allah menerangi kebudayaan mereka.
4) Injil harus diberitakan dengan kasih Ilahi, tanpa sikap
menggurui dan mempersalahkan keadaan yang sudah ada
sebelum Injil diberitakan.
5) Pusat transformasi misi adalah Yesus Kristus dan karyaNya.
Sehingga orang-orang yang dimenangkan adalah bagi
kemuliaan nama Kristus dan bukan untuk kebesaran para
pelaku transformasi misi tersebut.
Dengan memahami kelima hal di atas, maka fungsi
pelayanan transformasi misi di tanah Kubu memiliki nilai
yang kekal. Dengan nilai kekekalan inilah transformasi misi
mampu menghadirkan Kristus dalam konteks yang dapat
dimengerti dan diterima oleh masyarakat Kubu.
Interpretasi Injil terhadap Budaya Suku Kubu
Transformasi misi di tengah budaya suku Kubu, bukan
supaya suku Kubu membentuk komunitas tertentu yang terpisah
dari dunia dan menyingkirkan diri dari pengaruh kebudayaan di
mana transformasi misi dilaksanakan serta memandang
kebudayaan sebagai sesuatu yang jahat. Sebaliknya, transformasi
misi dalam konteks budaya harus membawa masyarakat Kubu
Stevanus Parinussa: Transformasi Misi dalam Konteks Budaya Suku Kubu…
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 49
kepada Kristus. Hal ini juga, tidak berarti dalam dinamika
perubahan dari pelaksanaan transformasi misi harus menerima
semua pengaruh kebudayaan tanpa pertimbangan terhadap
dampak yang ditimbulkan oleh kebudayaan tersebut. Dalam hal
ini diperlukan sikap kritis dan bijaksana sangat diperlukan untuk
dapat memandang kebudayaan itu dalam terang Firman Allah.
Interpretasi Injil di masyarakat Kubu berhadapan
langsung dengan kebudayaan Kubu yang unik dan kuat.
Kebudayaan ada karena Allah yang menciptakannya.40
Oktavianus menjelaskan bahwa: ‘Amanat kebudayaan
berasal dari Allah Sang Pencipta, Penopang dan Tuhan
semesta alam. Amanat itu diberikan kepada manusia yang
diciptakan menurut gambar dan rupaNya.’41
Kedua pernyataan tersebut menunjukkan bahwa
kebudayaan itu adalah jelas karena diciptakan Allah dan
amanat kebudayaan itu diberikan kepada manusia sebelum
manusia jatuh ke dalam dosa (Kejadian 1:26-28). Dan tujuan
semula dari mandat kebudayaan ini ialah supaya manusia
dapat berhubungan dengan Allah dan memuliakanNya. Allah
memakai kebudayaan itu untuk menyatakan diriNya kepada
manusia. Manusia dapat mengerti penyataan Allah dalam
konteks budayanya. Bahkan manusia dapat menggunakan
budaya untuk memuji dan memuliakan Allah, misalnya
dengan musik, nyanyian dan tari-tarian.42
Ketika manusia jatuh dalam dosa, kebudayaan
dicemari oleh dosa manusia. Namun demikian, amanat
kebudayaan tidak pernah ditarik kembali. Dalam
perjumpaannya dengan kebudayaan, dinamika perubahan
dalam pelaksanaan transformasi misi perlu mempunyai
prinsip atau kaidah yang mutlak untuk menguji kebudayaan
tersebut. Alkitab adalah satu-satunya tolok ukur untuk
40
Leland Ryken, Culture in Christian Perspective, (Portland, Oregon: Multomah Press, 1986), 65.
41Petrus Octavianus, Identitas Kebudayaan Asia Dalam
Terang Firman Allah, (Malang: Gandum Mas, 1985), 11. 42
Leland Ryken, Culture in Christian Perspective, 42.
KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen), Vol 2, No 2 Nov. 2020
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 50
menguji suatu kebudayaan. Segala kebudayaan yang dibawa
kepada terang Firman Allah dapat diubah dan dibersihkan
dari segala kecemaran dosa, sehingga dinamika perubahan
ke arah yang lebih baik dapat tercapai.
Prespektif Injil dalam Budaya Suku Kubu
Penentuan sikap misi terhadap kebudayaan Kubu
merupakan salah satu unsur penting bagi prospek
mengomunikasikan Injil di lingkungan masyarakat Kubu. Di
dalam bersikap tersebut terhadap kebudayaan Kubu,
transformasi misi tetap harus berpegang pada kebenaran
Firman Allah. Hal ini menuntut setiap pelaku perubahan
bersikap selektif dan bijaksana dalam menentukan sikap dan
pandangannya untuk menghindari gap atau konflik dari
pandangan yang salah dan menjadikan jerat bagi
keberadaan misi itu sendiri. Sebab transformasi misi dalam
konteks budaya atau cross culture bukan perkara mudah
untuk dilakukan, namun juga bukan perkara teramat sulit
untuk dicapai. Diperlukan perspektif yang Alkitabiah dan
komprehensif terhadap budaya Kubu tersebut.
Merumuskan Transformasi Misi terhadap Budaya Suku
Kubu
Pendekatan Transformasi Misi terhadap Konsep Allah
Perkenalkan konsep Allah yang benar melalui
pendekatan konsep kepercayaan suku Kubu tentang
penguasa tertinggi di atas segala dewa, sebagai Pencipta dan
Pemilik alam semesta, termasuk manusia, hewan dan
tumbuhan. Kemudian, menggunakan istilah ‘penguasa
tertinggi atau dewa tertinggi’ diberi pengertian baru yang
bernama Yesus Kristus.
Pendekatan Transformasi Misi terhadap Pandangan
tentang Keselamatan
Upaya yang bersifat dialogis dengan memberikan
penjelasan tentang cara memeroleh keselamatan, yaitu: 1)
Stevanus Parinussa: Transformasi Misi dalam Konteks Budaya Suku Kubu…
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 51
pertobatan, berpaling pada Allah dan menerima Kristus
sebagai Tuhan dan Juruselamat. Dibaptiskan dan hidup
merdeka, bebas dari pengaruh cara penebusan dosa dengan
membayar denda adat-istiadat. 2) memiliki iman kepada
Kristus. 3) kelahiran baru. 4) dibenarkan. 5) penyucian atau
pengudusan, dan 6) doa. Dengan demikian, tradisi
membayar adat untuk penebusan dosa, ditiadakan, karena
keselamatan merupakan kasih karunia Allah semata, bukan
usaha manusia. Pembayaran denda adat hanya dimaksudkan
sebagai ketaatan kepada tatanan hukum atau ketentuan
yang berlaku di masyarakat Kubu, berfungsi untuk mengatur
keseimbangan kehidupan sosial masyarakat.
Pendekatan Transformasi Misi terhadap Upacara
Keagamaan
1) Untuk tradisi basale ini dapat dilakukan dengan dua tahap
pendekatan, yaitu: (a) pendekatan diaologis dengan
memberikan penjelasan bahwa Allah memang menghendaki
manusia untuk mengenang secara hikmat anggota keluarga
yang telah meninggal dengan rasa hormat dan terima kasih
atas segala kebaikan yang telah dilakukan semasa hidupnya,
akan tetapi Allah melarang untuk memper’allah’ atau memuja
mereka. Hal semacam itu disamakan dengan tindakan
bersekutu dan pemujaan kepada arwah dan dikategorikan
‘zina’ secara rohani. Jadi, posisi mambang harus dialihkan
untuk berpaling kepada posisi Yesus Kristus. (b) pendekatan
bentuk dan isi, upacara basale (bentuk) tetap berlangsung,
namun (isi) basale perlu ditransformasi. Upacara tersebut
ditujukan untuk memuja dan menyembah Allah. Konsep dewa
atau allah suku Kubu perlu ditransformasi beralih kepada
konsep Allah yang benar, Allah yang hidup, Yang Maha kuasa,
Maha hadir dan mampu memberikan pertolongan.
2) Membuang pemakaian alat-alat sebagai simbol upacara seperti
balai pengasuh (tempat hadirnya roh/arwah) dan simbol
ondan. Transformasi misi dalam memperkenalkan ‘Allah yang
hidup’ harus dapat ditangkap oleh pemikiran suku Kubu
KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen), Vol 2, No 2 Nov. 2020
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 52
sebagai sosok Pribadi yang Maha Kuasa bukan dalam konsep
allah yang terbatas dalam ruang dan waktu.
3) Membuang pemakaian mantera yang mengandung unsur magi.
Menurut Kraemer magi selalu bersifat egosentris bukan
Teosentris.43 Mantera dapat diganti menjadi doa kepada Allah
dalam bentuk syair yang dilantunkan (mirip dengan simbol
seloka adat yang dikenal mereka) yang isinya doa
pengampunan dosa dan kutuk.44 Semua aspek upacara basale
sebaiknya dijadikan upaya transformasi misi.
4) Mengubah makna syair, tari-tarian, dan bunyi-bunyian dari
pengiring (simbol) dengan memberi pengertian baru yang
isinya bertujuan untuk penyembahan dan pengagungan
kepada Allah yang hidup dengan pengharapan yang baru
dalam iman Kristen. Bentuk atau simbol tersebut hanyalah
bagian dari ekspresi doa seperti ibadah Daud yang diwarnai
dengan pujian dan penyembahan, sorak-sorai serta alat musik.
5) Pelajari secara baik makna (isi) yang terkandung dari simbol-
simbol upacara basale, seloka adat (yang dilantunkan dengan
syair, pantun dan ungkapan-ungkapan) dengan makna
menyangkut pandangan hidup suku Kubu serta bahasa asli
mereka. Dengan demikian, suku Kubu lebih mudah merasa
menyatu dengan isi Injil yang dikomunikasikan dalam upaya
transformasi misi.
6) Arahkan pengharapan masyarakat Kubu kepada kehidupan
kekal, iman pengharapan dalam Yesus Kristus, karena seperti
Paulus katakan ‘jika pengharapan manusia kepada Kristus
terbatas dalam kehidupan di bumi saja, maka mereka adalah
orang yang paling malang di dunia. Karena iman kepada
Kristus tidak dibatasi oleh kematian yang menandai
berakhirnya kehidupan jasmani, namun pengharapan itu juga
ada sesudah kematian.
43
Kraemer dalam J. Verkuyl, Etika Kristen Kapita Selekta, 51.
44Derek Prince, Berkat atau Kutuk: Pilihan ada di
Tangan Anda, 85.
Stevanus Parinussa: Transformasi Misi dalam Konteks Budaya Suku Kubu…
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 53
Pendekatan Transformasi Misi terhadap Tradisi
Pernikahan
1) Menggunakan tradisi mahas (bentuk) namun mengubah
maknanya (isi),45 yaitu mendialogkan tentang pandangan baru
mengenai nilai manusia dalam pandangan Alkitab.
2) Mengubah nilai-nilai adat dalam tujuan pernikahan suku Kubu
yang diarahkan pada konsep pernikahan Kristen yang
merupakan lembaga kudus sebagai gambaran relasi antara
Allah dengan umatNya. Dengan demikian, rumah tangga yang
akan dibina haruslah mencerminkan nilai-nilai kristiani.46
Tentunya hla ini dengan sikap tidak memaksakan pandangan
tradisi lama yang mengatakan status menikah lebih terhormat
daripada tidak menikah.
3) Mengubah konsep suami kepala rumah tangga dan bini sekato
laki dengan cara memberi nilai baru pada isi pernikahan
masyarakat Kubu yang diarahkan pada konsep pernikahan
dalam iman Kristen yang bersumber pada penjabaran ajaran
kasih.47 Jadi, baik hak dan kewajiban suami harus diarahkan
pada keteladanan kasih Kristus dalam bentuk memelihara,
mengambil keputusan yang bijaksana demi orang-orang yang
dikasihinya.
4) Membuang (tidak membenarkan apalagi memakai) tradisi
poligami dan perceraian, karena bertentangan dengan konsep
awal Allah tentang rumah tangga yang monogami dan prinsip
kasih.
5) Menggunkan upacara pernikahan (bentuk) seperti menari
mengelilingi cawan yang berisi berbagai bunga hutan (sebagai
bentuk wewangian yang dikenal masyarakat Kubu), mengubah
syair-syair adat (yang maknanya telah diganti dengan nilai
kristiani), serta mengubah mantera dengan doa pemberkatan
45
David J. Hesselgrave, Edward Rommen, Kontekstualisasi Makna, Metode dan Model, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 54.
46Billy Joe Dauherty, Pernikahan yang Kokoh, (Jakarta:
Metanoia, 2004), 24-25. 47
Dave & Neta Jackson, Memulai Membangun Keluarga Bersama, (Malang SAAT, 2001), 63.
KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen), Vol 2, No 2 Nov. 2020
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 54
nikah dan penyampaian Firman Tuhan yang dilakukan oleh
pendeta yang melayani upacara pernikahan tersebut.
6) Mengubah isi dari bentuk pemberkatan pernikahan asli
masyarakat Kubu yang dapat saja disisipkan secara teknis saat
penrtanyaan janji iman kedua calon mempelai. Sangat
disarankan lebih baik bahasa pengantar yang digunakan
pendeta adalah bahasa asli suku Kubu.
Pendekatan Transformasi Misi terhadap Tradisi
Kelahiran
1) Pendekatan dialogis, memberikan penjelasan bahwa hidup
manusia adalah berasal dari Allah, anugerah Allah dan
kewajiban orangtua adalah merawat, mengasuh, mendidik
anak-anak yang dipercayakan kepada mereka. sejak kelahiran,
manusia telah diperhadapkan dengan kekuatan si jahat yang
berlawanan dengan kehendak Allah.
2) Mengubah isi tradisi yang bersifat larangan seperti meniti
titian licin, mandi subuh, memakan buah nenas, berkumpul
dengan suami saat kehamilan tua, dengan pengertian baru dari
segi pengetahuan, seperti titian licin dapat membuat orang
jatuh tergelincir dan sang ibu dapat mengalami kecelakan
bahkan kematian.
3) Membuang atau tidak membenarkan larangan membuat tikar
di dapur, menancapkan kayu bulat dalam tanah, karen tidak
didukung kebenaran Alkitab dan cenderung dari pengertian
mistis, maka pendekatan transformasi misi mampu
menawarkan hal baru seperti bersama-sama membuat tikar di
tempat yang tidak monoton, sehingga aktivitas tersebut
perlahan mengalami perubahan hanya di anggap sebagai
aktivitas kerja biasa yang tidak memiliki nilai mistis.
4) Mengubah isi dari larangan membunuh binatang dan
bermenung di depan pintu (hal ini cenderung bersifat
psikologis bagi ibu dan ayah) dengan memberikan pandangan
baru untuk mengasihi makhluk ciptaan Tuhan dan
menjelaskan bahwa hati yang gembira Tuhan senang. Arahkan
keyakinan mereka kepada perlindungan Allah yang hidup.
Stevanus Parinussa: Transformasi Misi dalam Konteks Budaya Suku Kubu…
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 55
5) Memakai tradisi sirih gading sebagai bentuk penghargaan
kepada kepada dukun yang membantu proses kelahiran
sebagai sikap saling menolong, menghormati dan mengasihi
sesama.
6) Pada proses kelahiran, mantera dapat diganti menjadi doa
kepada Allah agar ibu dan anak selamat dan sehat. Kekuatan
gaib cukup diusir dalam nama Yesus yang memiliki otoritas,
sehingga tidak perlu membunyikan perabotan dapur. Bunyi
perabotan dapur dapat digantikan dengan pujian lagu rohani
atau musik yang lembut sebagai salah satu bentuk terapi.
7) Mengubah isi ritual mengusir setan selesai melahirkan, sebab
ramuan yang dipakai pun memiliki khasiat bagi perawatan
setelah kelahiran disertai dengan doa kepada Allah sumber
kehidupan yang memberkati dan melindungi ibu dan anaknya.
8) Mengubah tradisi memandikan bayi yang sering dilakukan
setelah beberapa hari (hal ini sebenarnya terjadi karena
lingkungan hutan sekitar mereka letak sumber air sangat
jarang). Perubahan yang dilakukan dengan membersihkan bayi
menggunakan kain basah dengan air hangat sebagai antiseptik
(tentunya perlu diberikan pengarahan tentang kebersihan).
Untuk masyarakat Kubu yang bertempat tinggal dekat dengan
sumber air, tentu tradisi tersebut dapat ditinggalkan secara
penuh.
9) Mengubah isi proses pemandian anak pertama kali yang
kebiasaan tradisinya diiringi dengan ritual doa oleh dukun.
Pola ini diganti maknanya menjadi prosesi penyerahan anak
kepada Allah.
Pendekatan Transformasi Misi terhadap Tradisi
Kematian
1) Pendekatan dialog, suku Kubu perlu dituntun untuk mengerti
asal kematian dimulai dari kejatuhan manusia dalam dosa
‘kutuk’ karena berpaling dari perintah Allah, yaitu: (a) manusia
diciptakan Allah dengan amat baik, sebagai gambar dan rupa
Allah. (b) kejatuhan manusia dalam dosa merupakan
pelanggaran perintah dan kehendak Allah yang membuat
KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen), Vol 2, No 2 Nov. 2020
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 56
manusia dan keturunannya mengalami kematian, baik fisik
maupun rohani. Manusia terpisah dari Allah dan gambar dan
rupa Allah rusak. (c) kematian Kristus merupakan cara Allah
mengalahkan Iblis, sebagai dasar pengampunan dan pemulihan
relasi antara Allah dengan manusia serta untuk melepaskan
atau menebus manusia dari dosa kematian. (d) kebangkitan
Kristus menandakan maut tidak berkuasa terhadap kematian
orang-orang percaya, pindah dari maut ke dalam hidup, dan
membaharui manusia atau kelahiran kembali.
2) Membuang tradisi melangun, untuk menghindari kesialan atau
kutuk, dan cara keluarga untuk menghapus rasa pilu.
Pendekatan dialog, yaitu: (a) memberi pengertian bahwa
tradisi melangun bukan cara yang tepat untuk melepaskan diri
dari kutuk kematian, usaha tersebut hanyalah kesia-siaan.
Disinilah transformasi misi dapat kreativitasnya untuk
mengomunikasikan Injil dengan pemberitaan karya penebusan
dan pembebasan yang dilakukan oleh Kristus yang tersalib
sebagai bentuk analogi penebusan dan pembebasan suku Kubu
dari kutuk-kutuk nenek moyang.48 (b) arahkan pemikiran
kutuk kepada berkat-berkat Allah bagi orang-orang yang
percaya dalam Kristus. Hal tersebut mencakup; dosa, kutuk,
nasib buruk, kesulitan, kemiskinan, kebinasaan yang semuanya
telah selesai, dan yang baru dialami seperti: kesucian, berkat,
nasib baik, kesehatan, kekayaan dan kehidupan.49 (c) suku
Kubu juga perlu diberikan penyuluhan pola hidup sehat untuk
memperkecil tingkat sakit penyakit, mengelola sumber bahan
makanan sederhana namun bergizi dan memanfaatkan fasilitas
kesehatan. Allah sendiri mau umatNya dalam keadaan sehat.
3) Memakai tradisi adat masyarakat Kubu untuk memelihara
hutan dan lingkungan ekosistemnya sebab tidak bertentangan
48
Lihat metode yang dilakukan oleh Don Richarson, Anak Perdamaian, (Bandung: Kalam Hidup, 1974), 212-222 dan Penguasa-penguasa Bumi, (Bandung: Kalam Hidup, 1995), 112.
49Abraham Alex Tanuseputera, Batu Penjuru,
(Surabaya: House of Blessing, 2005), 179.
Stevanus Parinussa: Transformasi Misi dalam Konteks Budaya Suku Kubu…
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 57
karena Alkitab yang mengajarkan manusia untuk menguasai,
menghargai dan memelihara kehidupan semesta.
KESIMPULAN
Berdasarkan paparan di atas, maka kesimpulan yang
dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1) Transformasi misi adalah suatu upaya mengomunikasikan Injil
dengan memahami konteks kehidupan manusia dalam hal ini
suku Kubu secara lebih luas dalam pandangan hidup, dimensi
budaya, agama, tataran sosial, ekonomi, dan politik dalam
hubunganya dengan keseluruhan situasi, dan bertujuan agar
pemberitaan Injil dapat dilaksanakan dalam konteksnya.
2) Dinamika perubahan dengan pendekatan budaya suku Kubu
memiliki nilai baik apabila dilakukan secara arif dan bijaksana
dengan tidak menghilangkan jati diri masyarakat Kubu dengan
segala potensi budaya yang bersentuhan langsung dengan
kehidupan mereka.
3) Nilai-nilai keagamaan yang dianut oleh suku Kubu harus
diarahkan kepada nilai keselamatan di dalam Yesus Kristus,
sehingga nilai-nilai dalam kebudayaan dan tradisi-tradisi adat
yang semula menjadi pandangan hidup dapat dimurnikan oleh
nilai iman kepada Kristus.
4) Merumuskan transformsi misi yang efektif untuk suku Kubu
yang disampaikan dengan prinsip memakai/menggunakan,
membuang dan mengubah baik bentuk dan isi perlu
dikembangkan secara tepat. Pendekatan dialogis terhadap
aspek-aspek kerohanian, pandangan tentang keselamatan,
pernikahan, kelahiran, kematian maupun tradisi lainnya perlu
disikapi dengan benar agar tidak terjadi dualisme yang bersifat
sinkretisme.
DAFTAR PUSTAKA
Adeney, Bernard T. Etika Sosial Lintas Budaya. Yogyakarta:
Kanisius, 2000.
Bakker, J.W.M. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984.
KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen), Vol 2, No 2 Nov. 2020
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 58
Balasurya, Tissa. Teologi Ziarah. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1994.
Bosch, David J. Transformasi Misi Kristen. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2016.
Carson, D. A. & Woodbridge, John D. (ed), God and Culture.
Grand Rapids, Michigan: William. B. Eerdmans
Publishing Co.T.th.
D. Sagimun M. Adat Istiadat Daerah Jambi. Jambi: Depdikbud,
1985.
Damaledo, Daniel (editor). Gereja Dalam Pendakian Puncak
Sejarah Dunia. Yogyakarta: Andi, 1987.
Dauherty, Billy Joe. Pernikahan yang Kokoh. Jakarta:
Metanoia, 2004.
Dave & Jackson, Neta. Memulai Membangun Keluarga
Bersama Malang SAAT, 2001.
Hariyono, P. Pemahaman Kontekstual Tentang Ilmu Budaya
Dasar. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Hesselgrave, David J. & Rommen, Edward. Kontekstualisasi
Makna, Metode dan Model. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1996.
KKI Warsi. The Indonesian Conservation Communit, Orang
Rimba, Kubu dan Suku Anak Dalam (SAD),
http://warsi.or.id/content/showing/55/content.
Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas dan
Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1985.
Koentjaraningrat. Seri Etnografi Masyarakat Terasing Di
Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1993.
Madjid, Hasan Basri. Kondisi dan Permasalahan Pendidikan
dan Kesehatan Masyarakat Suku Anak Dalam di
Daerah Jambi. Jambi: Kanwil Depsos-UNJA Jambi,
1993.
Mahmud, Aswinar. Lingkaran Hidup Suku Anak Dalam Jambi.
Jambi: Kanwil Depdikbud, 1978.
Muntholib, Sutomo. Orang Rimbo: Kajian Fungsional
Masyarakat Terasing di Makekal Propinsi Jambi.
Bandung: Universitas Padjajaran, 1995.
Stevanus Parinussa: Transformasi Misi dalam Konteks Budaya Suku Kubu…
Copyright © 2020, KALUTEROS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen 59
Octavianus, Petrus. Identitas Kebudayaan Asia Dalam Terang
Firman Allah. Malang: Gandum Mas, 1985.
Permono. Hubungan Hukum Adat Dengan Status Tanah Dan
Hutan Bagi Masyarakat Suku Anak Dalam Di Propinsi
Jambi. Jambi: Fakultas Hukum – UNJA, 1993.
Prince, Derek. Berkat atau Kutuk: Pilihan Ada Di Tangan
Anda. Jakarta: YPI Imanuel, 1994.
Richarson, Don. Anak Perdamaian. Bandung: Kalam Hidup,
1974.
Richarson, Don. Penguasa-penguasa Bumi. Bandung: Kalam
Hidup, 1995.
Ryken, Leland. Culture in Christian Perspective. Portland,
Oregon: Multomah Press, 1986.
Saudagar, Fahcruddin. Kebudayaan Melangun Suku Anak
Dalam Jambi. Jambi: FKIP-UNJA, 1993.
Siswoyo (editor). Kembali ke Alam, Manfaatkan Obat-obatan
Tradisional. Jakarta: Penelitian Biota Medika Depkes-
IPB-UI-LIPI, 1999.
Sudarto. Informasi Bina Masyarakat Terasing. Jakarta:
Depsos RI, 1989.
Tanuseputera, Abraham Alex. Batu Penjuru. Surabaya: House
of Blessing, 2005.
Tenney, Merril C. Survey Perjanjian Baru. Malang: Gandum
Mas, 2001.
Vergoumen, J.C. Masyarakat dan Hukum Adat Batak.
Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara, 2004.
Verkuyl, J. Etika Kristen Bagian Umum. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2005.
Verkuyl, J. Etika Kristen Kapita Selekta. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1989.
Williams, Raymond. Culture. London: Fontana, 1981.
Wongso, Peter. Tugas Gereja dan Misi Masa Kini. (Malang:
SAAT, 1999.
Top Related