PENGENDALIAN INVENTORY UNTUK PROBLEM MULTI ECHELON MULTI
DEMAND CLASSES PRODUCT DENGAN MEMPERTIMBANGKAN
LOST SALES DAN BACKORDER
Ratna Puspita Sari ; Suparno Jurusan Teknik Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111
Email: [email protected] ; [email protected]
ABSTRAK Fokus permasalahan pada penelitian ini adalah mengenai pengendalian inventory single product
dengan sistem distribusi multi eselon serta terdapat beberapa kelas permintaan. Salah satu permasalahan yang
muncul adalah tingginya biaya inventory karena adanya tingkat persediaan yang tinggi untuk melayani
permintaan dari beberapa kelas dengan target fillrate yang berbeda-beda. Penelitian dilakukan di PT. Gold
Coin Indonesia yang bergerak di bidang produksi pakan ternak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
memperoleh alternatif kebijakan inventory dalam pemenuhan order yang meminimumkan inventory cost
dengan mempertimbangkan lost sales dan backorder. Kebijakan yang digunakan adalah rationing policy
dengan mempertimbangkan demand end customer yang terjadi di retailer serta demand masing-masing
retailer di warehouse. Selanjutnya akan dilakukan simulasi untuk mengetahui biaya inventory serta fillrate
masing-masing retailer untuk dibandingkan dengan aturan first come first served yang selama ini digunakan
perusahaan amatan. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai reserve stock untuk kelas 1 sebesar 4 batch dan
untuk kelas 2 sebesar 18 batch serta nilai reorder point sebesar 22 batch. Dari hasil simulasi yang dilakukan
diketahui bahwa kebijakan rationing policy memiliki total cost yang lebih baik.
Kata kunci : Inventory, rationing policy, simulasi
ABSTRACT The focus of this research is about single product inventory control with multi echelon distribution
system and multi demand classes. One of the problems is high inventory cost that is caused by high inventory
level to fulfill demand at different class and targeted fillrate. Order fulfillment process with demand classes
study case for this research is conducted at PT. Gold Coin Indonesia. The objective of this research is a
better policy of order fulfillment process with shortage behavior consideration and minimized total inventory
cost. The policy proposed is rationing policy with end customer’s demand at retailer and retailer’s demand
at warehouse consideration. Then simulation is used to compare total inventory cost and fillrate of each
retailer between rationing policy and first come first served regulation. Based on the calculation reserve
stock for each class are known, 4 batches for class 1 and 18 batches for class 2 with reorder point of 22
batches. Based on this result rationing policy is better than first come first served regulation since it able to
have lower total inventory cost.
Keywords : inventory, rationing policy, simulation
1. Pendahuluan
Semakin berkembangnya dunia industri
menuntut industri-industri yang ada baik yang
bergerak di bidang manufaktur maupun jasa
berlomba lomba untuk tetap bertahan dan bisa
bersaing dengan industri sejenis. Semakin
ketatnya persaingan industri tersebut menuntut
semua pelaku industri untuk melakukan
strategi jitu guna meningkatkan
performansinya. Untuk bisa bersaing dengan
industri sejenis bisa dilakukan dengan
meningkatkan service atau pelayanan terhadap
konsumen. Peningkatan pelayanan tersebut
bisa dicapai dengan ketersediaan barang atau
produk jadi sehingga perusahaan bisa selalu
memenuhi kebutuhan konsumen .
Ketersediaan barang erat kaitannya dengan
pengendalian inventory. Pengendalian
inventory adalah hal yang penting untuk
diperhatikan karena investasi untuk inventory
memerlukan biaya yang sangat besar. Proses
pengendalian inventory baik raw material,
WIP, ataupun produk jadi yang tepat akan
mempengaruhi service level perusahaan dalam
melayani customer. Service level yang
dimaksud dalam hal ini adalah ketersediaan
produk atau barang saat dibutuhkan
konsumen. Perusahaan dengan sistem
distribusi yang multi eselon seharusnya
memiliki sistem inventory yang tepat dan
sesuai sehingga bisa meminimumkan biaya
inventori. Tujuan utama dari pengendalian
inventory sendiri adalah untuk mendapatkan
jumlah atau kuantitas material yang tepat d
tempat yang tepat, waktu yang tepat, dan
dengan biaya yang minimum (Tersine,1994).
Pengendalian inventory dapat dilakukan
dengan strategi yang bermacam macam dan
harus sesuai dengan kondisi perusahaan serta
produk yang dihasilkan. Pengendalian
inventory tersebut akan semakin rumit jika
perusahaan tersebut merupakan perusahaan
dengan sistem distribusi multi eselon serta
harus memenuhi demand dengan kelas yang
berbeda sehingga service levelnya juga harus
berbeda sesuai dengan kelas masing masing.
PT. Gold Coin Indonesia merupakan
perusahaan yang bergerak dalam produksi
pakan ternak. Perusahaan ini terletak di
Kawasan Industri Tandes - Surabaya . Produk
utama adalah pakan ternak ayam sedangkan
sebagai produk pendukung adalah pakan
ternak babi, itik, burung dan ikan. PT. Gold
Coin Surabaya sampai saat ini hanya memiliki
satu gudang saja dan melayani penjualan ke
agen agen besar ataupun retailer. Jalur
distribusi perusahaan adalah dari pabrik
menuju ke gudang dan kemudian ke berbagai
agen atau retailer yang meliputi daerah Jawa
Tengah, Jawa Timur, Bali, dan area Indonesia
Timur lainnya. Dalam proses operasionalnya
perusahaan ini memenuhi demand dengan
metode Pull system demand. Pull system
demand adalah sistem pemenuhan demand
dengan mempertimbangkan kondisi
lingkungan / eksternal atau dengan kata lain
demand ditentukan oleh konsumen sendiri.
Hal ini menyebabkan demand yang harus
dipenuhi selalu naik turun atau mengalami
fluktuasi setiap periodenya. Karena demand
yang tidak pasti tersebut akan menyebabkan
terjadinya kesulitan dalam menentukan
kebijakan inventory.
Selama ini perusahaan tidak
memperhatikan demand dari end customer
yang terjadi di retailer. Demand yang
diperhitungkan dalam sistem pengendalian
inventory perusahaan hanyalah demand dari
retailer. Permintaan dari retailer-retailer
tersebut juga tak menentu jumlahnya, kadang
sangat tinggi kadang juga sangat rendah atau
bahkan tidak ada. Berapapun yang diminta
retailer perusahaan selalu berusaha
memenuhinya. Padahal untuk perusahaan
dengan sistem distribusi multi eselon, selain
memperhitungkan demand dari eselon di
bawahnya perusahaan juga harus
memperhitungkan demand dari end customer
(Ballou,2004).
Selain itu perusahaan memenuhi
demand dari retailer secara FCFS (First Come
First Served) tanpa memperhatikan kelas dari
masing masing demand. Padahal perusahaan
sebenarnya secara tidak langsung telah
menentukan kelas dari retailernya dengan
memiliki prioritas retailer mana yang
didahulukan untuk dipenuhi demandnya saat
order datang secara bersamaan. Selain itu
target fill rate untuk masing masing kelas juga
sudah ditentukan seiring dengan adanya skala
prioritas tersebut. Namun karena sistem
pemenuhan yang berjalan selama ini maka
pembagian kelas dan target fill rate tidak
begitu diperhatikan. Hal yang bisa dilakukan
perusahaan untuk tetap bisa memenuhi
demand adalah dengan menimbun inventory
sebanyak-banyaknya. Namun penimbunan
inventory tersebut akan meningkatkan
inventory cost perusahaan meskipun dengan
timbunan inventory tersebut bisa mengurangi
terjadinya lost sales dan backorder.
Usaha yang bisa dilakukan untuk
mengatasi permasalahan di atas adalah dengan
menggunakan pendekatan METRIC-
Approximation pada Two echelon Inventory
Model with Lost sales (Andersson, 2000)
untuk mengetahui demand dari retailer dengan
mempertimbangkan lost sales. Setelah itu
untuk memenuhi demand dari retailer tersebut
dilakukan pendekatan rationing policy with
multiple demand (Arslan,2005). Konsep yang
digunakan rationing policy adalah bagaimana
inventory yang dimiliki dapat memenuhi
demand yang berasal dari kelas yang berbeda-
beda dimana tiap kelas tersebut memiliki
fillrate dan backorder cost yang berbeda-beda
pula. Pertanyaan yang harus terjawab adalah
berapa banyak inventory yang harus
disediakan untuk konsumen kelas tertentu atau
sampai level inventory berapakah konsumen
tersebut akan tetap dilayani.
Dengan menggunakan dua pendekatan
tersebut diharapakan perusahaan bisa
memperoleh kebijakan inventory yang lebih
tepat sehingga bisa meminimumkan inventory
cost dengan mempertimbangkan lost sales
yang terjadi di retailer serta backorder yang
terjadi di warehouse.
Batasan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
1. Produk yang diamati adalah produk
pakan ternak ayam petelur dalam
bentuk konsentrat 801 M-ss
2. Konsumen (dalam hal ini retailer)
adalah sebanyak 4 untuk area
pelayanan yang berbeda yang terbagi
dalam 2 (dua) kelas
3. Objek yang diteliti adalah gudang di
Surabaya
4. Data yang digunakan adalah data
permintaan selama tahun 2009.
Sedangkan asumsi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah :
1. Shortage treatment yang terjadi di
retailer adalah lost sales, sedangkan di
warehouse adalah backorder
(Andersson,2000)
2. Besarnya order replenishment di
warehouse adalah tetap yaitu sebesar
Q unit
3. Harga produk adalah sama untuk
semua kelas dan selama penelitian
dianggap tetap
4. Tidak ada diskon untuk pembelian
dalam jumlah tertentu.
2. Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan
melakukan beberapa metode sebagai berikut:
2.1 Identifikasi Awal
Tahapan awal yang dilakukan peneliti
setelah mendapatkan topik yang ingin diteliti
adalah melakukan identifikasi awal terhadap
objek penelitian. Identifikasi awal bertujuan
untuk mengenal secara umum objek penelitian
seperti profil perusahaan, produk yang
dihasilkan, kapasitas produksi dan lainnya,
sehingga peneliti dapat menetapkan tujuan,
permasalahan dan batasan dalam penelitian
tugas akhir. Objek penelitian dalam hal ini
adalah PT. Gold Coin Indonesia, Surabaya.
Penetapan tujuan, permasalahan dan batasan
penelitian akan sangat membantu peneliti
untuk fokus pada masalah dan pemecahannya.
2.2 Studi Pustaka dan Studi Lapangan
Pada tahap ini dilakukan perumusan
kerangka teori melalui studi pustaka yang
menunjang terhadap penelitian ini baik dari
buku, jurnal, artikel, dan sumber-sumber
lainnya. Studi pustaka sebagai landasan acuan
dan batasan dalam melakukan penyelesaian
serta mempermudah dalam melakukan
pendekatan dalam pemecahan masalah
penelitian. Beberapa teori tdalam penelitian ini
antara lain biaya inventory, klasifikasi
inventory, shortage treatment, kebijakan
replenishment, EOQ, dan lainnya.
Studi lapangan digunakan sebagai
tahapan sebelum melakukan pendekatan
rationing policy sebagai solusi yang sesuai
dengan kondisi di lapangan dengan studi
literatur yang dilakukan terkait dengan
rationing policy dan pengendalian inventory
untuk perusahaan multi eselon. Studi lapangan
ini bertujuan untuk memahami kondisi aktual
dan proses bisnis terkait dengan kebijakan
pemenuhan pesanan yang terjadi di obyek
penelitian.
2.3 Menentukan Kebijakan Inventory
Berdasarkan Sistem Eksisting
Perusahaan
Pada tahap ini yang dilakukan adalah
menirukan kebijakan inventory untuk
warehouse sesuai dengan sistem eksisting
yang berjalan di perusahaan. Pertama tama
yang dilakukan adalah menghitung quantity
order (Q) untuk warehouse. Selain itu juga
menentukan safety stock untuk warehouse dan
juga reorder point. Setelah itu baru dilakukan
simulasi untuk dapat menghitung total cost
inventory sehingga bisa dibandingkan dengan
kebijakan inventory yang menggunakan
konsep rationing policy.
2.4 Menentukan Demand Rate End
Customer yang Terjadi di Retailer
Pada tahap ini yang dilakukan adalah
menentukan probabilitas terjadinya lost sales
pada retailer dengan menggunakan
pendekatan METRIC-Approximation. Setelah
probabilitas lost sales diketahui maka langkah
selanjutnya adalah menghitung demand yang
dapat terpenuhi di retailer . Demand inilah
yang nantinya digunakan sebagai inputan
untuk menentukan reserve stock untuk
masing-masing kelas permintaa.
2.5 Menentukan Reserve Rtock dan
Reorder Point untuk Masing-Masing
Kelas di Warehouse
Pada tahap ini sudah masuk tahap
rationing policy yaitu menetukan reserve stock
yang harus disediakan untuk masing masing
kelas. Inputan yang dibutuhkan pada metode
ini antara lain demand rate, target fillrate,
jumlah kelas, lead time, dan EOQ. Demand
rate disini diperoleh dari perhitungan demand
yang terpenuhi di retailer dengan
menggunakan pendekatan METRIC
Approximation. Untuk ROP akan dihitung
setelah reserve stock untuk masing masing
kelas diketahui karena ROP dapat diperoleh
dengan penjumlahan reserve stock untuk
semua kelas permintaan. Selain itu critical
level untuk masing masing kelas juga dapat
diketahui setelah reserve stock didapatkan.
Untuk menentukan reserve stock dan ROP
digunakan algoritma Arslan (2005).
Setelah itu dilakukan simulasi untuk
mengevaluasi kebijakan inventory yang
diperoleh. Simulasi ini dilakukan untuk
mengetahui performansi dari parameter-
parameter yang dihasilkan dalam situasi yang
hampir sama dengan kondisi eksisting. Dari
simulasi tersebut dapat diketahui total
inventory cost dengan mempertimbangkan
backorder yang terjadi di warehouse serta lost
sales di retailer. Dalam simulasi inventory ini
yang digunakan sebagai inputan demand
adalah demand masing-masing retailer yang
terjadi di gudang.
2.6 Perbandingan Cost dan Parameter
Inventory
Setelah dilakukan perhitungan maupun
simulasi baik dengan menggunakan rationing
policy ataupun pada kondisi eksisting
perusahaan maka akan dilakukan
perbandingan untuk total cost dan parameter
inventory seperti ketersediaan barang dan
pemenuhan pesanan dari masing masing
pelanggan. Dari perbandingan kedua metode
tersebut akan diketahui mengenai jumlah total
inventory yang lebih tepat untuk gudang.
2.7 Analisa dan Interpretasi Data
Analisa yang dilakukan adalah analisa
terhadap hasil perhitungan demand yang
terjadi di retailer dengan menggunakan model
METRIC-Approximation yang dikembangkan
Andersson (2000). Selanjutnya adalah
menganalisa hasil perhitungan reserve stock
dan biaya yang terjadi di warehouse dengan
menggunakan konsep Rationing policy dengan
menggunakan algoritma Arslan (2005).
Setelah itu menganalisa hasil perbandingan
yang telah dilakukan melalui simulasi antara
kebijakan inventory menggunakan rationing
policy dengan mempertimbangkan lost sales
yang terjadi di retailer serta backorder yang
terjadi di warehouse terhadap kebijakan
inventory eksisting di perusahaan amatan.
2.8 Kesimpulan dan Saran
Setelah analisa dilakukan, dapat
diperoleh kesimpulan dari penelitian mengenai
inventory management ini, dan juga diajukan
beberapa saran atau rekomendasi perbaikan
untuk perusahaan amatan dalam menentukan
kebijakan inventory.
3. Pengumpulan dan Pengolahan Data
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai
data-data yang dperlukan dalam melakukan
penelitian tugas akhir ini dan bagaimana data-
data tersebut diolah untuk memenuhi tujuan
dari penelitian.
3.1 Gambaran Umum Perusahaan
GOLD COIN merupakan perusahaan
termaju dalam bidang pakan ternak di kawasan
Asia Tenggara sejak tahun 1954 dengan
standard internasional yang didukung oleh
management modern. Dalam rangka
menunjang kebutuhan para peternak di
kawasan Asia Tenggara akan apakn ternak
yang berkualitas tinggi, Gold Coin telah
memperluas cakrawala pemasarannya dengan
membangun pabrik-pabrik pakan ternak dan
pembibitan unggas di berbagai negara antara
lain : Singapura, Malaysia, Hongkong, RRC,
dan Indonesia.
Di Indonesia, Gold Coin pada tahun
1979 telah merintis pembangunan pabrik-
pabrik pakan ternak dan pembibitan unggas di
Bekasi (Jawa Barat), di medan (Sumatera
Utara), dan di Surabaya (Jawa Timur) di
bawah manajemen Gold Coin Indonesia. Pada
tahun 1981, mulailah beroperasi pabrik yang
terletak di Bekasi yang dilengkapi dengan
fasilitas-fasilitas mutakhir seperti computer,
laboratorium, silo, dan sebagainya. Pada tahun
1982, pabrik yang terletak di Medan mulai
beroperasi untuk melayani peternak di wilayah
Sumatera Utara dan sekitarnya. Pada bulan
Mei 1985, pabrik di Surabaya telah beroperasi
untuk melayani para peternak di wilayah Jawa
Tengah, Jawa timur, Bali, dan area Indonesia
Timur lainnya.
Pada dasarnya PT.Gold Coin Indonesia
memproduksi dua jenis pakan ternak, yaitu
pakan ternak komplit dan pakan ternak
konsentrat. Masing masing jenis tersebut
dibagi lagi menjadi beberapa macam yaitu
pakan ternak ayam, itik, ikan, babi, dan
burung. Dari macam pakan ternak tersebut
dibedakan lagi ke dalam beberapa kode. Kode
kode tersebut membedakan kandungan yang
ada dalam pakan ternak. Pada penelitian ini,
yang menjadi objek amatan adalah pakan
ternak ayam petelur dalam bentuk konsentrat
dengan kode 801 Mss. Di mana jenis pakan
ternak ini adalah pakan ternak yang paling
banyak diminati oleh konsumen. Permintaan
akan apakn ternak 801 Mss ini selalu
meningkat dari tahun ke tahun.
3.2 Pengumpulan Data
Pada tahap ini, dilakukan pengumpulan
beberapa data yang dibutuhkan dan
berhubungan dengan penelitian ini.
Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai
macam cara antara lain pengumpulan data
sekunder, brainstorming, dan juga wawancara
dengan pihak-pihak yang terkait dengan obyek
penelitian. Beberapa data yang dikumpulkan
untuk penelitian ini antara lain data
permintaan untuk masing masing retailer serta
data permintaan end customer yang terjadi di
masing masing retailer, lead time baik dari
pabrik ke gudang maupun dari gudang ke
masing-masing retailer, biaya pemesanan,
biaya penyimpanan, shortage cost, target
fillrate, dan lain sebagainya. Dalam penelitian
ini, retailer yang dipakai adalah retailer yang
berada dalam area pelayanan Jawa Timur 1
yaitu yang meliputi wilayah Surabaya,
Malang, dan Bojonegoro.
3.3 Kebijakan Eksisting Perusahaan
(Menggunakan Aturan First Come
First Served)
Pada kebijakan ini, permintaan yang
datang akan terus dilayani tanpa membedakan
asal kelasnya dan selama persediaan di gudang
masih ada. Pada sub bab ini dilakukan
perhitungan nilai EOQ dan ROP di gudang.
Perhitungan dilakukan dengan menggunakan
demand masing-masing retailer yang terjadi di
gudang. Besar EOQ dan Reorder point dari
semua kelas akan dijadikan satu sehingga
didapatkan nilai secara keseluruhan.
3.4 Simulasi Sistem Inventory
Menggunakan Aturan First Come
First Served
Proses simulasi ini dilakukan
menggunakan pemrograman Visual Basic
Excel. Pada simulasi ini, proses pemenuhan
demand dilakukan secara terus menerus
selama masih ada inventory tanpa
memperhatikan kelas permintaan. Permintaan
yang terjadi berasal dari 2 kelas permintaan
dengan 4 retailer. Simulasi ini akan dilakukan
selama 1 tahun di mana dalam satu tahun
terdiri dari 313 periode dan akan dilakukan
replikasi sebanyak 5 kali. Komponen yang
digunakan dalam simulasi ini antara lain
demand per periode, shortage cost, holding
cost, EOQ, dan nilai ROP yang diasumsikan
sebagai inventory awal. Demand diperoleh
dengan cara generate random berdasarkan
distribusi normal. Hal ini didasarkan dari hasil
fitting distribusi untuk data permintaan
masing-masing retailer dengan menggunakan
software Input Analyzer pada Arena 5.0. Dari
hasil fitting distribusi tersebut diketahui bahwa
data permintaan retailer berdistribusi normal.
Demand rate untuk masing-masing retailer
disajikan pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Demand rate masing-masing Retailer
No. RetailerMean
(batch/hari)
StdDev
(batch/hari)
1 Asia 5 7
2 Cahaya Baru 5 6
3 Eggindo 4 4
4 Murah Jaya 6 9 Kemudian nantinya akan dihitung biaya
inventory yang terjadi yaitu biaya pemesanan,
biaya penyimpanan, biaya backorder, serta
biaya totalnya, serta fillrate untuk masing-
masing retailer. Simulasi yang digunakan
ialah simulasi sistem persediaan dengan
menggunakan metode continous review (s, Q).
3.5 Rationing Policy
Pada bagian ini akan dilakukan
pengolahan data dengan menggunakan
kebijakan Rationing Policy. Dimana dalam
kebijakan ini akan dihitung besarnya reserve
stock untuk masing-masing kelas permintaan
dan reorder point. Langkah pertama yang
harus dilakukan ialah menghitung besarnya
ukuran pemesanan, dimana dalam penelitian
ini digunakan rumus Economic Order
Quantity (EOQ).
3.5.1 Penentuan demand rate yang terjadi di
masing-masing retailer
Perhitungan demand rate yang terjadi di
retailer ini menggunakan Erlang’s loss
formula yang terdapat pada METRIC-
Approximation. Inputan data yang dibutuhkan
dalam perhitungan ini antara lain demand rate
end customer yang terjadi di masing-masing
retailer, lead time dari gudang ke masing-
masing retailer, serta level inventory per
periode pada masing-masing retailer. Dari
perhitungan ini nantinya akan diperoleh
demand rate end customer pada masing-
masing retailer yang lost sales maupun yang
dapat dipenuhi. Selanjutnya demand rate end
customer yang dapat dipenuhi tersebut akan
digunakan sebagai inputan untuk mencari
reserve stock untuk masing-masing kelas
permintaan pada kebijakan rationing policy.
Demand rate end customer pada
masing-masing retailer diperoleh dengan cara
melakukan fitting distribusi data permintaan
end customer pada masing-masing retailer
menggunakan software input analyzer Arena
5.0. Dari hasil fitting distribusi tersebut
diketahui bahwa demand end customer
berdistribusi poisson dengan rata-rata demand
per hari pada retailer Asia, Cahaya Baru,
Eggindo, Murah Jaya secara urut sebesar 5, 5,
3, dan 5 dalam satuan batch per hari. Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya,
perhitungan dilakukan dengan menggunakan
Erlang’s Loss Formula dimana dari
perhitungan ini nantinya bisa diperoleh
probabilitas jumlah demand yang lost sales
sehingga bisa diketahui probabilitas jumlah
demand yang terpenuhi. Jumlah demand yang
terpenuhi tersebut nantinya akan dipakai
sebagai inputan dalam kebijakan rationing
policy. Data-data yang dibutuhkan untuk
menentukan demand rate end customer pada
masing-masing retailer dengan
mempertimbangkan lost sales disajikan pada
tabel 4.2. Tabel 4.2 Data untuk Perhitungan Demand rate
dengan mempertimbangkan lost sales
RetailerDemand Rate
(batch) /hari
Lead time
(hari)
Base stock level
(batch )
Asia PS 5 1 6
Cahaya Baru PS 5 1 6
Eggindo PS 3 1 4
Murah Jaya PS 5 1 7 Dari hasil perhitungan dapat diketahui
demand rate end customer yang dapat
terpenuhi pada masing-masing retailer. Hasil
perhitungan menggunakan Erlang’s Loss
Formula untuk menentukan demand rate end
customer yang terpenuhi pada masing-masing
retailer disajikan pada tabel 4.3. Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Demand rate end
customer yang dapat Terpenuhi di masing-masing
Retailer
RetailerDemand Rate
(batch) /hari
probabilitas Lost sales
yang diharapkan
(batch /hari)
Demand yang dapat
terpenuhi
(batch/hari )
Asia PS 5 0,181900148 3,98
Cahaya Baru PS 5 0,159767459 3,84
Eggindo PS 3 0,085951041 2,92
Murah Jaya PS 5 0,258971618 3,91 Dari hasil perhitungan di atas maka
dapat diketahui demand rate untuk masing-
masing kelas permintaan dengan
menjumlahkan demand rate end customer dari
retailer yang termasuk dalam kelas permintaan
yang sama. Sehingga dapat diperoleh hasil
sebagai berikut : Tabel 4.4 Demand rate masing-masing Kelas
Permintaan
Kelas Permintaan Demand Rate (batch) /hari
1 8
2 7 Berdasarkan tabel 4.6 maka dapat
diketahui demand rate untuk masing-masing
kelas permintaan. Kemudian demand rate
tersebut akan digunakan sebagai inputan untuk
menentukan reserve stock masing-masing
kelas permintaan pada kebijakan Rationing
Policy.
3.5.2 Penentuan reserve stock dan reorder
point
Reserve stock untuk tiap-tiap kelas
permintaan akan ditentukan dengan
menggunakan Algoritma Arslan (2005).
Reserve stock ini digunakan untuk memenuhi
permintaan selama lead time dimana reserve
stock untuk kelas tertentu sudah
mempertimbangkan permintaan dari kelas di
atasnya. Adapun algoritma yang digunakan
adalah sebagai berikut :
1. Menentukan reserve stock dan fillrate
untuk stage N
:
Dengan i = N-1
2. Menentukan reserve stock dan fillrate
untuk stage i :
a. Jika
b. Jika
3. Stop jika i:=1. Sebaliknya gunakan
i:=i-1 dan ulangi Step 2 Input data yang dibutuhkan dalam perhitungan
reserve stock ini antara lain jumlah kelas
permintaan (N), Lead time (L), demand rate
masing masing kelas (λN), fillrate target
masing-masing kelas permintaan (βN), order
quantity (Q), dan yang terakhir adalah jumlah
loop yang digunakan.
Setelah mengetahui besarnya nilai
inputan, maka berdasarkan algoritma Arslan
(2005) dapat diketahui besarnya reserve stock
untuk masing-masing kelas permintaan.
Berikut ini adalah hasil perhitungan reserve
stock untuk masing-masing kelas permintaan
( ) :
= 4
= 18
Setelah diperoleh nilai reserve stock
untuk masing-masing kelas permintaan, maka
dapat diketahui nilai critical level untuk
masing-masing kelas. nilai critical level
sendiri merupakan batas pemenuhan
permintaan dari masing-masing kelas. Berikut
ini adalah nilai critical level dari hasil
perhitungan :
C1 = 4
C2 = 22
Dari nilai critical level tersebut dapat
diketahui bahwa kelas 2 akan dilayani jika
nilai inventory level > 4, sedangkan kelas 1
akan terus dilayani sampai inventory level = 0.
Setelah diketahui nilai reserve stock
untuk masing-masing kelas permintaan maka
dapat dihitung nilai ROP yaitu :
= 4 + 18
= 22 batch
3.6 Simulasi Sistem Inventory
Menggunakan Kebijakan Rationing
Policy
Proses simulasi sistem inventory
menggunakan kebijakan rationing policy ini
dilakukan dengan menggunakan pemrograman
Visual Basic Excel sama dengan simulasi
sistem inventory menggunakan aturan first
come first served. Simulasi ini akan dilakukan
selama 1 tahun atau 313 periode dengan 5 kali
replikasi. Komponen yang digunakan dalam
simulasi ini antara lain demand per periode,
shortage cost, holding cost, EOQ, nilai batas
pemenuhan demand atau critical level, dan
nilai ROP yang diasumsikan sebagai inventory
awal. Demand diperoleh dengan cara generate
random berdasarkan distribusi normal. Hal ini
didasarkan dari hasil fitting distribusi untuk
data permintaan masing-masing retailer
dengan menggunakan software Input Analyzer
pada Arena 5.0. Berikut ini adalah tabel
demand rate masing-masing retailer yang
digunakan pada simulasi sistem inventory
menggunakan kebijakan Rationing Policy :
Tabel 4.5 Demand rate masing-masing Retailer
No. RetailerMean
(batch/hari)
StdDev
(batch/hari)
1 Asia 5 7
2 Cahaya Baru 5 6
3 Eggindo 4 4
4 Murah Jaya 6 9 Perbedaan antara simulasi sistem
inventory menggunakan aturan first come first
served dengan simulasi sistem inventory
menggunakan kebijakan rationing policy ini
antara lain terletak pada nilai ROP dan cara
pemenuhan demandnya. Pada rationing policy,
proses pemenuhan demand tetap didasarkan
pada urutan kedatangan namun dengan
memperhatikan batas pemenuhan demand tiap
kelasnya atau critical level. Sebelum
memenuhi demand dilakukan pengecekan
terlebih dahulu pada on hand inventory. Jika
on hand inventory masih di atas batas
pemenuhan demand pada kelas tersebut maka
demand akan langsung dipenuhi. Namun jika
on hand inventory berada di bawah batas
pemenuhan demand maka permintaan tersebut
akan dibackorder.
Kemudian nantinya akan dihitung biaya
inventory yang terjadi yaitu biaya pemesanan,
biaya penyimpanan, biaya backorder, biaya
total, serta fill rate untuk masing-masing
retailer. Simulasi yang digunakan ialah
simulasi sistem persediaan dengan
menggunakan metode continous review (s, Q).
3.7 Perbandingan Hasil Running
Simulasi
Pada sub bab ini akan dibandingkan
hasil running simulasi inventory antara
skenario first come first served dan rationing
policy. Parameter inventory yang
dibandingkan antara lain total order cost, total
holding cost, total backorder cost, dan grand
total cost dari masing-masing retailer pada
setiap replikasinya. Selain itu juga akan
dibandingkan parameter fillrate untuk masing-
masing retailer pada setiap replikasi.
Perbandingan total order cost masing-masing
retailer pada simulasi inventory baik untuk
skenario first come first served maupun
rationing policy disajikan pada tabel 4.6 dan
gambar 4.1.
Tabel 4.6 Perbandingan Total Order Cost untuk
masing-masing Kebijakan
FCFS Rationing Policy
1 1 26100000 24600000
2 2 24150000 24750000
3 3 25350000 24450000
4 4 25350000 24000000
5 5 25650000 23850000
25320000 24330000
No. ReplikasiTotal Order Cost
Rata-rata
Gambar 4.1 Grafik Perbandingan Total
Order Cost untuk masing-masing Kebijakan
Perbandingan berikutnya adalah
perbandingan antara total holding cost untuk
masing-masing skenario. Di mana telah
disebutkan sebelumnya bahwa total holding
cost diperoleh dari perkalian antara jumlah
inventory akhir dengan biaya penyimpanan per
item per peiodenya. Perabandingan total
holding cost untuk masing-masing skenario
disajikan pada tabel 4.7 dan gambar 4.2.
Tabel 4.7 Perbandingan Total Holding Cost untuk
masing-masing Kebijakan
FCFS Rationing Policy
1 1 36887040 24600000
2 2 36967680 24750000
3 3 36011520 24450000
4 4 35763840 24000000
5 5 35236800 23850000
36173376 24330000
No. ReplikasiTotal Holding Cost
Rata-rata
Gambar 4.2 Grafik Perbandingan Total Holding
Cost untuk masing-masing Kebijakan
Selanjutnya adalah melakukan
perbandingan total backorder cost untuk
masing-masing skenario. Backorder cost
sendiri merupakan biaya yang harus
dikeluarkan saat gudang tidak mampu
memenuhi demand dari retailer. Perbandingan
total backorder cost untuk masing-masing
skenario disajikan pada tabel 4.8 dan gambar
4.3. Tabel 4.8 Perbandingan Total Backorder Cost
untuk masing-masing Kebijakan
FCFS Rationing Policy
1 1 124000 8147000
2 2 0 9352000
3 3 655000 9135000
4 4 427000 5797000
5 5 72000 7684000
255600 8023000
No. ReplikasiTotal Backorder Cost
Rata-rata
Gambar 4.3 Grafik Perbandingan Total Holding
Cost untuk masing-masing Kebijakan
Kemudian dilakukan perbandingan
grand total cost untuk masing-masing
skenario. Di mana telah disebutkan
sebelumnya bahwa nilai grand total cost
merupakan penjumlahan dari total order cost,
total holding cost, serta total backorder cost.
Grand total cost menunjukkan total biaya
inventory yang harus dikeluarkan perusahaan
tiap periodenya. Perbandingan grand total cost
untuk masing-masing skenario disajikan pada
tabel 4.9 dan gambar 4.4. Tabel 4.9 Perbandingan Grand Total Cost untuk
masing-masing Kebijakan
FCFS Rationing Policy
1 1 63111040 52463482
2 2 61117680 53786804
3 3 62016520 53413806
4 4 61540840 40198128
5 5 60958800 51935930
61748976 50359630
No. ReplikasiGrand Total Cost
Rata-rata
Gambar 4.4 Grafik Perbandingan Grand Total Cost
untuk masing-masing Kebijakan
Untuk perbandingan fill rate masing-
masing retailer pada kedua kebijakan baik
FIFS maupun Rationing Policy disajikan pada
tabel 4.10, 4.11, 4.12, dan 4.13 sedangkan
grafik perbandingannya disajikan pada gambar
4.5, 4.6, 4.7, dan 4.8. Tabel 4.10 Perbandingan Fillrate Retailer Asia
untuk masing-masing Kebijakan
FCFS Rationing Policy
1 1 1 0,945686901
2 2 1 0,942492013
3 3 0,999357533 0,952076677
4 4 0,996805112 0,974440895
5 5 0,996805112 0,971246006
0,998593551 0,957188498Rata-rata
No. Replikasi
Fillrate untuk Retailer Asia
(Kelas 1)
Gambar 4.5 Grafik Perbandingan Fillrate Retailer
Asia untuk masing-masing Kebijakan
Tabel 4.11 Perbandingan Fillrate Retailer Cahaya
Baru untuk masing-masing Kebijakan
FCFS Rationing Policy
1 1 1 0,916932907
2 2 1 0,932907348
3 3 0,999678766 0,932907348
4 4 0,996805112 0,96485623
5 5 1 0,936102236
0,999296776 0,936741214
Replikasi
Fill rate untuk Retailer Cahay Baru
(Kelas 2)No.
Rata-rata
Gambar 4.6 Grafik Perbandingan Fill rate Retailer
Cahaya Baru untuk masing-masing Kebijakan
Tabel 4.12 Perbandingan Fill rate Retailer Eggindo
untuk masing-masing Kebijakan
FCFS Rationing Policy
1 1 0,996805112 0,932907348
2 2 1 0,926517572
3 3 0,999357533 0,948881789
4 4 1 0,952076677
5 5 1 0,932907348
0,999232529 0,938658147
Fill rate untuk Retailer Eggindo
(Kelas 2)
Rata-rata
No. Replikasi
Gambar 4.7 Grafik Perbandingan Fill rate Retailer
Eggindo untuk masing-masing Kebijakan
Tabel 4.13 Perbandingan Fill rate Retailer Murah
Jaya untuk masing-masing Kebijakan
FCFS Rationing Policy
1 1 1 0,987220447
2 2 1 0,993610224
3 3 1 0,996805112
4 4 1 1
5 5 1 0,993610224
1 0,994249201
No. Replikasi
Fill rate untuk Retailer Murah Jaya
(Kelas 1)
Rata-rata
Gambar 4.8 Grafik Perbandingan Fill rate Retailer
Murah Jaya untuk masing-masing Kebijakan
4.1 Analisis Sistem Inventory
Menggunakan Aturan First Come
First served
Pada sistem inventory menggunakan
aturan First come first served demand per
periode dipenuhi berdasarkan urutan
kedatangan. Proses pemenuhan demand
dilakukan terus menerus selama on hand
inventory masih ada tanpa membedakan asal
kelas permintaan. Gudang Surabaya sebagai
objek amatan melayani 4 retailer yang terbagi
menjadi 2 kelas permintaan. Yang termasuk
dalam kelas 1 adalah retailer Asia dan Murah
Jaya sedangkan retailer Cahaya Baru dan
Eggindo termasuk dalam kelas 2. Pembagian
kelas tersebut didasarkan pada target fillrate
yang telah ditentukan oleh perusahaan. Selain
itu tiap kelas permintaan juga memiliki
penalty cost yang berbeda.
Dari perhitungan EOQ yaitu untuk
memperoleh ukuran pemesanan yang
ekonomis diperoleh nilai sebesar 822 unit atau
sama dengan 41 batch di mana tiap batch
terdiri dari 20 unit. Selain itu juga dilakukan
perhitungan ROP yaitu sebesar 845 unit atau
42 batch. Nilai ROP ini dipengaruhi oleh nilai
safety stock dan demand selama lead time.
Dari hasil perhitungan tersebut selanjutnya
dilakukan simulasi sistem inventory. Simulasi
ini dilakukan untuk mengetahui biaya
inventory yang dihasilkan serta fillrate
terhadap masing-masing retailer sehingga bisa
dilakukan perbandingan dengan hasil simulasi
sistem inventory menggunakan kebijakan
rationing policy. Pada simulasi sistem
inventory menggunakan aturan First come first
served terdapat mekanisme pemesanan sebesar
41 batch ketika on hand inventory kurang dari
atau sama dengan 42 unit. Running simulasi
dilakukan selama 1 tahun atau 313 periode.
Demand akan dipenuhi terus menerus sesuai
urutan kedatangan selama on hand inventory
masih ada. Jika demand melebihi on hand
inventory maka permintaan akan dibackorder.
Dari running simulasi sistem inventory
menggunakan aturan First come first served
dapat diketahui total biaya inventory serta
fillrate masing-masing retailer. Sehingga bisa
dilakukan perbandingan dengan total biaya
inventory yang dihasilkan serta fillrate
masing-masing retailer pada simulasi sistem
inventory menggunakan kebijakan rationing
policy.
4.2 Analisis Sistem Inventory
Menggunakan Kebijakan Rationing
policy
Perbedaan antara sistem inventory
menggunakan aturan First come first served
dengan kebijakan rationing policy adalah
sistem pemenuhan demandnya. Pada kebijakan
rationing policy selain berdasarkan urutan
kedatangan permintaan pemenuhan demand
juga didasarkan pada kelas permintaan. Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya bahwa
terdapat 2 kelas permintaan di mana setiap
kelas memiliki target fillrate dan penalty cost
yang berbeda. Dalam kebijakan rationing
policy juga dilakukan perhitungan EOQ sama
seperti aturan First Come First served. Dari
perhitungan EOQ diperoleh ukuran ekonomis
pemesanan sebesar 822 unit atau 41 batch.
Kemudian dilakukan perhitungan untuk
memperoleh nilai reserve stock. Reserve stock
merupakan persediaan yang dialokasikan
untuk masing-masing kelas selama lead time.
Sebelum menentukan reserve stock
untuk masing-masing kelas dilakukan
perhitungan untuk mengetahui demand rate
end customer yang terjadi di masing-masing
retailer dengan mempertimbangkan lost sales.
Perhitungan tersebut dilakukan dengan
menggunakan Erlang’s Loss formula pada
METRIC Approximation. Dari hasil
perhitungan tersebut diperoleh probabilitas
lost sales di masing-masing retailer sehingga
dapat diketahui demand rate end customer
yang dapat terpenuhi di masing-masing
retailer. Demand rate tersebut kemudian
dijadikan inputan dalam menentukan reserve
stock untuk masing-masing kelas permintaan.
Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa reserve stock untuk kelas
N dapat digunakan untuk kelas N sendiri dan
kelas di atasnya. Berdasar algoritma
Arslan,dkk (2005) yang digunakan untuk
menentukan besarnya reserve stock didapatkan
hasil untuk reserve stock kelas 1 sebesar 4 dan
kelas 2 sebesar 18. Dari nilai tersebut dapat
diketahui bahwa reserve stock untuk kelas 2
digunakan untuk memenuhi permintaan dari
kelas 2 sendiri dan permintaan dari kelas 1
sedangkan reserve stock kelas 1 digunakan
hanya untuk memenuhi permintaan dari kelas
1 saja.
Dari nilai reserve stock tersebut dapat
ditentukan batas pemenuhan kelas atau critical
level. Batasan pemenuhan ini berupa suatu
level inventory tertentu dimana apabila
inventory level sudah mencapai batas ini, maka
permintaan dari kelas yang memiliki batas
pemenuhan tersebut akan di-backorder
sedangkan sisa inventory akan digunakan
untuk memenuhi permintaan dari kelas
permintaan yang lebih tinggi. Berdasarkan
perhitungan yang telah dilakukan diperoleh
bahwa critical level untuk kelas 2 adalah
sebesar 4 batch. Hal ini berarti customer kelas
2 yaitu retailer Cahaya Baru dan Egindo akan
dipenuhi sampai level inventory mencapai 4
batch, jika permintaan datang saat level
inventory kurang dari 4 batch maka
permintaan akan di-backorder. Sedangkan
untuk customer kelas 1 yaitu retailer Asia dan
Murah Jaya akan terus dilayani sampai level
inventory mencapai 0.
Dari nilai reserve stock yang telah
diperoleh dapat ditentukan nilai ROP.
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan
diperoleh nilai ROP sebesar 22 batch. Nilai ini
diperoleh dari penjumlahan reserve stock 1
dan 2. Hal ini berarti gudang akan memesan
sebanyak 41 batch jika on hand inventory
kurang dari atau sama dengan 22 batch. Nilai
ROP pada kebijakan rationing policy ini lebih
kecil dibandingkan pada aturan First Come
First served. Hal ini memungkinkan gudang
untuk meminimalkan persediaan sehingga bisa
mencapai minimum inventory cost.
Pada kebijakan rationing policy juga
dilakukan simulasi sistem inventory selama 1
tahun atau 313 periode. Dari running simulasi
sistem inventory menggunakan kebijakan
rationing policy dapat diketahui total biaya
inventory serta fillrate masing-masing retailer.
Sehingga bisa dilakukan perbandingan dengan
total biaya inventory yang dihasilkan serta
fillrate masing-masing retailer pada simulasi
sistem inventory menggunakan aturan First
Come First served.
4.3 Analisis Perbandingan Hasil Running
Simulasi
4.3.1 Analisis Perbandingan Total Order
Cost
Total order cost merupakan total biaya
pemesanan yang dilakukan gudang selama 1
tahun. Nilai ini dipengaruhi oleh frekuensi
pemesanan. Berdasarkan hasil running
simulasi yang telah dilakukan diketahui nilai
total order cost selama 1 tahun baik untuk
aturan First come first served maupun untuk
kebijakan rationing policy. Pada tabel 4.6 dan
gambar 4.1 dapat dilihat perbandingan total
order cost dari masing-masing kebijakan.
Berdasarkan tabel 4.6 dapat dilihat bahwa
aturan First come first served memiliki rata-
rata total order cost sebesar Rp 25.320.000,00
sedangkan untuk kebijakan rationing policy
memiliki rata-rata total order sebesar Rp
24.330.000,00.
Kebijakan rationing policy memiliki
rata-rata total order cost yang lebih rendah
dibandingkan rata-rata total order cost pada
aturan First Come First served. Hal ini bisa
disebabkan karena perbedaan nilai ROP. Nilai
ROP dari kebijakan Rationing policy lebih
kecil dibandingkan nilai ROP dari aturan First
come first served sehingga frekuensi
pemesanan pada kebijakan rationing policy
akan lebih sedikit karena titik pemesanan
kembali yang lebih rendah. Nilai ROP yang
rendah memungkinkan gudang untuk
mengurangi frekuensi pemesanan sehingga
berakibat pada total order cost yang lebih
rendah.
4.3.2 Analisis Perbandingan Total Holding
Cost
Total holding cost merupakan total
biaya yang terjadi karena adanya penyimpanan
inventory. Nilai ini dipengaruhi jumlah
inventory di akhir periode. Berdasarkan hasil
running simulasi yang telah dilakukan
diketahui nilai total holding cost selama 1
tahun baik untuk aturan First come first served
maupun kebijakan rationing policy. Pada tabel
4.7 dan gambar 4.2 dapat dilihat perbandingan
total holding cost pada masing-masing
kebijakan. Berdasarkan tabel 4.7 dapat
diketahui bahwa aturan First come first served
memiliki rata-rata total holding cost sebesar
Rp 36.173.376,00 sedangkan untuk kebijakan
rationing policy memiliki rata-rata total
holding cost sebesar Rp 24.330.000,00.
Kebijakan rationing policy memiliki
rata-rata total holding cost yang lebih rendah
dibandingkan rata-rata total holding cost pada
aturan First Come First served. Hal ini juga
bisa disebabkan karena perbedaan nilai ROP.
Nilai ROP dari kebijakan rationing policy
yang lebih rendah menyebabkan jumlah
inventory akhir yang disimpan tiap akhir
periodenya menjadi lebih rendah pula. Hal ini
sesuai dengan tujuan dari kebijakan rationing
policy sendiri yaitu untuk meminimumkan
jumlah inventory sehingga bisa
meminimumkan total cost.
4.3.3 Analisis Perbandingan Total Backorder
Cost
Total backorder cost merupakan total
biaya yang terjadi akibat ketidakmampuan
dalam memenuhi permintaan. Nilai ini
dipengaruhi oleh banyaknya shortage yang
terjadi selama periode simulasi. Dari hasil
running simulasi yang telah dilakukan dapat
diketahui total biaya backorder selama 1 tahun
baik untuk aturan First come first served
maupun untuk kebijakan rationing policy.
Pada tabel 4.8 dan gambar 4.3 dapat dilihat
perbandingan total backorder cost pada
masing-masing kebijakan. Berdasarkan tabel
4.8 dapat diketahui bahwa rata-rata total
backorder cost untuk aturan First come first
served adalah sebesar Rp 255.600,00
sedangkan rata-rata total backorder cost pada
kebijakan rationing policy adalah sebesar Rp
8.023.000,00.
Kebijakan rationing policy memiliki
rata-rata total backorder cost yang lebih tinggi
dibandingkan dengan rata-rata total backorder
cost pada aturan First Come First served. Hal
ini bisa disebabkan karena jumlah inventory
yang disediakan pada kebijakan rationing
policy lebih sedikit dibandingkan pada aturan
First Come First served. Hal ini menyebabkan
kebijakan rationing policy memiliki
kecenderungan mengalamai shortage yang
lebih besar. Selain itu adanya batas
pemenuhan demand serta urutan kedatangan
juga bisa berpengaruh pada biaya shortage
yang terjadi. Adanya batas pemenuhan
demand menyebabkan shortage pada
permintaan kelas 2 lebih banyak karena
apabila level inventory sudah mencapai batas
pemenuhan tersebut maka permintaan dari
kelas 2 akan di backorder walaupun urutan
kedatangannya lebih awal dibandingkan
customer kelas 1. Pada simulasi ini juga
terdapat kondisi di mana kedua customer dari
kelas yang sama misalnya kelas 2, hanya salah
satu customer saja yang bisa terpenuhi yaitu
yang datang lebih awal karena level inventory
saat itu sudah mencapai batas pemenuhan
demand. Kondisi-kondisi inilah yang
menyebabkan kebijakan rationing policy
mengalami shortage yang lebih banyak
dibandingkan pada aturan First Come First
served.
4.3.4 Analisis Perbandingan Grand Total
Cost
Grand total cost merupakan biaya total
yang terjadi akibat adanya penanganan
inventory. Nilai ini dipengaruhi oleh biaya-
biaya yang terjadi dalam penanganan
inventory yang terdiri dari biaya pemesanan,
biaya penyimpanan, dan biaya backorder. Dari
hasil running simulasi yang telah dilakukan
dapat diketahui biaya total selama 1 tahun baik
untuk aturan First come first served maupun
untuk kebijakan rationing policy. Pada tabel
4.9 dan gambar 4.4 dapat dilihat perbandingan
biaya total pada masing-masing kebijakan.
Berdasarkan tabel 4.9 dapat diketahui bahwa
rata-rata biaya total pada aturan First come
first served adalah sebesar Rp 61.748.976,00
sedangkan biaya total pada kebijakan
rationing policy adalah sebesar Rp
52.439.854,00.
Dari hasil tersebut dapat diketahui
bahwa rata-rata biaya total pada kebijakan
rationing policy lebih rendah dibandingkan
dengan rata-rata biaya total pada aturan First
Come First served. Hal ini disebabkan karena
biaya penyimpanan dan biaya order pada
kebijakan rationing policy lebih rendah
dibandingkan pada aturan First Come First
served. Biaya penyimpanan yang lebih rendah
disebabkan karena jumlah inventory yang
lebih sedikit sedangkan biaya order yang lebih
rendah disebabkan karena frekuensi
pemesanan yang lebih sedikit. Hal ini
merupakan salah satu kelebihn dari kebijakan
rationing policy di mana pada kebijakan ini
meminimumkan jumlah inventory sehingga
bisa meminimumkan total cost. Sedangkan
pada aturan First come first served lebih
cenderung untuk menghindari shortage
sehingga biaya backorder yang terjadi lebih
rendah. Jumlah inventory yang lebih banyak
mengakibatkan biaya penyimpanan yang lebih
besar walaupun bisa meminimumkan biaya
backorder. Dari hasil perbandingan tersebut
diketahui bahwa kebijakan rationing policy
dapat menghemat biaya persediaan sebesar
14,35% dari aturan First Come First served.
Sehingga dari segi biaya dapat dikatakan
bahwa kebijakan rationing policy lebih baik
dibandingkan aturan first come first served.
4.3.5 Analisis Perbandingan Fillrate Masing-
masing Retailer
Dari hasil running simulasi diperoleh
perbandingan fillrate pada masing-masing
retailer untuk aturan first come first served
maupun kebijakan rationing policy dapat
dilihat pada tabel 4.10, 4.11, 4.12, 4.13 serta
pada gambar 4.5, 4.6, 4.7, dan 4.8. Nilai
fillrate ini dipengaruhi oleh jumlah shortage
yang terjadi pada masing-masing retailer.
Pada tabel 4. 10 dan gambar 4.5 dapat
dilihat perbandingan fillrate untuk retailer
Asia baik pada aturan first come first served
maupun pada kebijakan rationing policy.
Beradsarkan tabel tersebut dapat diketahui
bahwa rata-rata fillrate untuk retailer Asia
pada aturan first come first served adalah
sebesar 0,9985 atau 99,85% sedangkan pada
kebijakan rationing policy adalah sebesar
0,9572 atau 95,72%. Dari hasil tersebut dapat
diketahui bahwa nilai fillrate dari retailer Asia
pada aturan first come first served lebih tinggi
jika dibandingkan pada kebijakan rationing
policy. Hal ini bisa disebabkan karena jumlah
shortage pada kebijakan rationing policy yang
lebih banyak dibandingkan pada aturan first
come first served. Hasil ini juga menunjukkan
bahwa nilai fillrate untuk retailer Asia pada
kebijakan rationing policy lebih rendah
dibandingkan target fillrate yang telah
ditentukan perusahaan yaitu sebesar 0.99 atau
99%.
Pada tabel 4.11 dan gambar 4.6 dapat
dilihat perbandingan fillrate untuk retailer
Cahaya Baru baik pada aturan first come first
served maupun pada kebijakan rationing
policy. Berdasarkan tabel tersebut dapat
diketahui bahwa rata-rata fillrate untuk
retailer Cahaya Baru pada aturan first come
first served adalah sebesar 0,9992 atau 99,92%
sedangkan pada kebijakan rationing policy
adalah sebesar 0,9367 atau 93,67%. Dari hasil
tersebut dapat diketahui bahwa nilai fillrate
dari retailer Cahaya Baru pada aturan first
come first served lebih tinggi jika
dibandingkan pada kebijakan rationing policy.
Nilai fillrate retailer Cahaya Baru pada
kebijakan rationing policy juga lebih rendah
jika dibandingkan target fillrate yang
ditetapkan perusahaan yaitu 0,97 atau 97%.
Hal ini bisa disebabkan karena adanya
mekanisme pemenuhan demand yang
memperhatikan batas pemenuhan demand
untuk kelas 2 sehingga kemungkinan
terjadinya backorder untuk kelas 2 lebih besar.
Pada tabel 4. 12 dan gambar 4.7 dapat
dilihat perbandingan fillrate untuk retailer
Eggindo baik pada aturan first come first
served maupun pada kebijakan rationing
policy. Beradsarkan tabel tersebut dapat
diketahui bahwa rata-rata fillrate untuk
retailer Asia pada aturan first come first
served adalah sebesar 0,9992 atau 99,92%
sedangkan pada kebijakan rationing policy
adalah sebesar 0,9386 atau 93,86%. Dari hasil
tersebut dapat diketahui bahwa nilai fillrate
dari retailer Eggindo pada aturan first come
first served lebih tinggi jika dibandingkan
pada kebijakan rationing policy. Hal ini bisa
disebabkan karena jumlah shortage pada
kebijakan rationing policy yang lebih banyak
dibandingkan pada aturan first come first
served. Hasil ini juga menunjukkan bahwa
nilai fillrate untuk retailer Eggindo pada
kebijakan rationing policy lebih rendah
dibandingkan target fillrate yang telah
ditentukan perusahaan yaitu sebesar 0.97 atau
97%. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa adanya batasan pemenuhan
demand untuk kelas 2 menyebabkan
kemungkinan terjadinya backorder untuk
kelas 2 lebih besar.
Pada tabel 4. 13 dan gambar 4.8 dapat
dilihat perbandingan fillrate untuk retailer
Murah Jaya baik pada aturan first come first
served maupun pada kebijakan rationing
policy. Beradsarkan tabel tersebut dapat
diketahui bahwa rata-rata fillrate untuk
retailer Murah Jaya pada aturan first come
first served adalah sebesar 1 atau 100%
sedangkan pada kebijakan rationing policy
adalah sebesar 0,9942 atau 99,42%. Dari hasil
tersebut dapat diketahui bahwa nilai fillrate
dari retailer Murah Jaya pada aturan first come
first served lebih tinggi jika dibandingkan
pada kebijakan rationing policy. Namun nilai
fillrate untuk retailer Murah jaya ini masih
sesuai dengan target fillrate yang ditetapkan
oleh perusahaan yaitu sebesar 0,99 atau 99%.
Berdasarka hasil perhitungan fillrate
yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa
rata-rata fillrate untuk masing-masing retailer
pada aturan first come first served selalu lebih
baik dibandingkan fillrate pada kebijakan
rationing policy. Hal ini bisa disebabkan
karena adanya batas pemenuhan demand yang
diterapkan pada kebijakan rationing policy.
Selain itu adanya pertimbangan untuk
memperhitungkan demand end customer yang
terjadi di retailer dengan mempertimbangkan
lost sales juga bisa berpengaruh pada hasil
fillrate. Demand end customer yang dijadikan
inputan pada penentuan reserve stock
merupakan demand end customer yang telah
mempertimbangkan lost sales sehingga
demand tersebut menjadi lebih kecil nilainya
jika dibandingkan demand yang dijadikan
inputan pada simulasi.
Dari hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa kebijakan rationing policy dapat
meminimumkan biaya tetapi di sisi lain
apabila menggunakan kebijakan ini target
fillrate tidak dapat tercapai. Sedangkan pada
aturan first come first served target fillrate
dapat tercapai namun biaya total yang
dihasilkan lebih besar. Rendahnya nilai fillrate
juga memiliki dampak tersendiri nantinya bagi
perusahaan. Nilai fillrate yang rendah tentunya
akan menurunkan tingkat kepuasan customer.
Jika fillrate yang dihasilkan terus menerus
rendah maka selain menyebabkan
meningkatnya backorder cost, fillrate tersebut
juga dapat mengakibatkan berkurangnya
kepercayaan customer sehingga akan
berdampak pada berpindahnya customer ke
perusahaan kompetitor.
5. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil pengolahan data dan
analisis yang telah dilakukan sebelumnya
dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Kebijakan rationing policy yang sesuai
dengan kondisi perusahaan adalah :
a. Reserve stock untuk kelas 1 sebesar 4
batch dan kelas 2 sebesar 18 batch.
Hal ini berarti bahwa kelas 2 akan
dilayani sampai level inventory
mencapi 4 batch dan kelas 1 akan
dilayani sampai level inventory sama
dengan 0.
b. Berdasarkan reserve stock tersebut
didapatkan nilai reorder point sebesar
22 batch.
2. Untuk hasil perbandingan inventory cost
pada aturan first come first served dan
kebijakan rationing policy adalah sebagai
berikut :
a. Total order cost pada rationing policy
yaitu sebesar Rp 24.330.000,00. Nilai
ini lebih rendah jika dibandingkan
total order cost pada aturan first come
first served yaitu sebesar Rp
25.320.000,00.
b. Total holding cost pada rationing
policy yaitu sebesar Rp 18.006.624,00.
Nilai ini lebih rendah jika
dibandingkan dengan total holding
cost pada aturan first come first served
yaitu sebesar Rp 36.173.376,00.
c. Total backorder cost pada aturan first
come first served yaitu sebesar Rp
255.600,00. Nilai ini jauh lebih rendah
jika dibandingkan dengan total
backorder cost pada rationing policy
yaitu sebesar Rp 8.023.000,00. Hal ini
dikarenakan adanya batasan
pemenuhan demand yang diterapkan
pada rationing.
d. Rationing Policy mampu
menghasilkan total biaya inventory
yang lebih rendah yaitu Rp.
50.359.630,00 jika dibandingkan pada
aturan first come first served yaitu
sebesar Rp. 61.748.976,00.
e. Fillrate yang dihasilkan oleh
kebijakan first come first served
selalu lebih besar jika dibandingkan
dengan fillrate yang dihasilkan pada
rationing policy. Fillrate yang
dihasilkan rationing policy juga tidak
bisa mencapai target fillrate. Pada
rationing policy hanya nilai fillrate
untuk retailer Murah Jaya yang dapat
mencapai target fillrate.
3. Masing-masing kebijakan memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-
masing, dimana kebijakan first come first
served memiliki nilai backorder cost
lebih rendah serta fillrate yang lebih
tinggi. Menurut teori, rationing policy
seharusnya mampu memberikan
rekomendasi yang lebih baik karena bisa
menunjukan total biaya inventory yang
lebih rendah serta tetap bisa mencapai
target fillrate. Namun pada penelitian ini
fillrate yang dihasilkan pada rationing
policy tidak dapat mencapai target fillrate
yang ditentukan, hanya fillrate untuk
retailer Murah Jaya saja yang dapat
mencapai target fillrate.
Adapun saran dari penelitian ini untuk
penelitian selanjutnya antara lain :
Mengembangkan penelitian mengenai
rationing policy untuk multi product
Mengembangkan penelitian rationing
policy untuk multi echelon inventory
system dengan mempertimbangkan
backorder serta lost sales
6. Daftar Pustaka
Andersson, Jonas; Melchiors,Phillip. 2000. “A
Two Echelon Inventory Model with
Lost Sales”. International Journal of
Production Economics, University of
Lund.
Arslan, Hasan; Graves, Stephen C; Roemer,
Thomas. 2005. “A Single Product
Inventory Model for Multiple Demand
Classes”. Working Paper, Suffolk
University.
Aryanto, Setyo. 2008. Penentuan Kebijakan
untuk Single Item Multiple Demand
Classes dengan Menggunakan
Pendekatan Rationing Policy. Tugas
Akhir Jurusan Teknik Industri Institut
Teknologi Sepuluh Nopember.
Ballou, Ronald. H. 2004. Business Logistic
Management. Prentice hall, Inc. USA
Chopra, Sunil; Meindl, Peter. (2004). Supply
Chain Management : Strategy,
planning, and operation. Prentice Hall,
Inc. USA.
Evany, Savira. 2010. Rationing Policy
dengan Mempertimbangkan lost sales
dan Backorder untuk Single Item
Product dengan Multi Demand
Classes. Tugas Akhir Jurusan Teknik
Industri Institut Teknologi Sepuluh
Nopember.
Kelton, W. David; Sadhowski, Randall P.;
Sturrock, David T. 2003. Simulation
With Arena. United State, McGraw-
Hill.
Pujawan, I Nyoman. 2005. Supply Chain
Management. Guna Widya. Surabaya.
Tersine, Richard. J. 1994. Principles of
Inventory and Materials
Management. PTR Prentice Hall. New
Jersey.
--- (2007). Service Level.
URL:http://meidii.multiply.com/journal
--- (2010). Manajemen Rantai Pasok.
URL:http://blog.its.ac.id/maayahatakes
agita/category/for-mrp/
Top Related