Vol III No 2 Agust 2008

download Vol III No 2 Agust 2008

of 124

Transcript of Vol III No 2 Agust 2008

ISSN : 1907-5316

JURNAL

Vol. III, No. 2, Agustus 2008 Vol. III, No. 2, August 2008

The Laboratory of Forest Policy and Entrepreneurship, The Faculty of Agriculture and Forestry, The University of Hasanuddin

Diterbitkan oleh : LABORATORIUM KEBIJAKAN DAN KEWIRAUSAHAAN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN DAN KEHUTANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

Hutan & Masy.

Vol. 1II

No. 2

Hlm

Makassar Agustus 2008

ISSN 1907-5316

ISSN : 1907-5316 Tahun Ketiga Terbit : 2008

Jurnal Hutan dan MasyarakatVol. III, No.13, Mei 2008 Penanggung Jawab Publisher Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Kepala Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Ketua Pengarah Editor-in-Chief : Prof. Dr. Ir Yusran Jusuf, M.Si (Kebijakan Kehutanan) Wakil Ketua PengarahVice of Editor-in-chief : Dr. Ir. Supratman, MP (Manajemen Hutan) Penyunting Pelaksana Editorial Staff : Risma Illa Maulany, S.Hut., M.Sc Ir. M.Asar Said Mahbub, MP Ir. Abd. Rasyid Kalu, MS Muhammad Alif KS, S.Hut, M.Si Tata Usaha dan DistribusiAdministration and Distribution Sultan, S.Hut Adriyanti Sabar, S.Hut Desain/Layout Layouters : Sultan, S.Hut Alamat Redaksi Address : Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan Fak. Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin Telp. (0411) 589592 - (0411) 585917. Kampus Unhas Tamalanrea. www.fahutan-unhas.web.id Email : [email protected]

Hutan dan Masyarakat diterbitkan tiga kali setahun oleh Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makassar. Jurnal ini merupakan sarana komunikasi dan peyebarluasan hasil penelitian mengenai kebijakan, kewirausahaan, sosial dan ekonomi kehutanan.

Forest and Society is published three times in a year by the Laboratorium of Policy and Enterpreunership of Forestry, Hasanuddin University, Makassar, Indonesia. The Journal is intended to be a vehicle for communicating and promoting the dissemination of research results concerning forest and enterpreunership of forest, social and economic of foresty.

ISSN : 1907-5316

PEDOMAN PENULISAN JURNAL HUTAN DAN MASYARAKAT1. Naskah yang dimuat adalah naskah asli berupa hasil penelitian, review, konsep pemikiran/gagasan ilmiah dibidang kebijakan, kewirausahaan dan ekonomi kehutanan dengan mencantumkan nama lengkap dan institusi dan alamat institusi penulis. 2. Naskah dapat ditulis dalam bahasa indonesia disertai dengan abstrak. Diketik satu setengah spasi, dan diserahkan kepada redaksi pelaksana yang disertai dengan CD yang dapat diedit dan melampirkan biodata singkat tentang penulis. Naskah dapat dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Isi Naskah untuk yang berbasis pelatihan terdiri atas : ABSTRACT dengan Keywords, PENDAHULUAN, METODOLOGI PENELITIAN, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN, dan DAFTAR PUSTAKA untuk naskah bahasa Indonesia. untuk naskah bahasa Inggris, terdiri atas ABSTRAK dengan Kata Kunci, INTRODUCTION, METHODOLOGY, RESULT AND DISCUSSION, CONCLUSSION dan REFERENCES. Isi Naskah untuk yang berbasis review dan konsep pemikiran dalam bahasa Indonesia, terdiri atas minimal : ABSTRACT dengan Keywords, PENDAHULUAN, setelah pendahuluan dapat disertakan bagian lain sesuai dengan onteks dan kategorisasi isi naskah) KESIMPULAN dan DAFTAR PUSTAKA. Begitupun dengan naskah bahasa Inggris terdiri atas minimal : atas ABSTRAK dengan Kata Kunci, INTRODUCTION, METHODOLOGY, RESULT AND DISCUSSION, CONCLUSSION dan REFERENCES. 3. Judul diibuat secara singkat dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan huruf kapital dan jelas dan harus mencerminkan isi tulisan. Nama penulis (satu atau lebih) dicantumkan di bawah judul dengan huruf kecil. Di bawah nama ditulis institusi asal penulis dan alamat lengkap instansi/institusi 4. ABSTRAK dibuat dalam bahasa Indonesia jika naskah berbahasa Inggris dan dalam bahasa Inggris jika naskah berbahasa Indonesia, isinya berupa intisari permasalahan, tujuan, rancangan penelitian dan kesimpulan yang dinyatakan secara kuantitafi atau kualitatif. Abstrak ditulis dengan hurufkecil miring dengan jarak 1 (satu) spasi. Keywords dan kata kunci masing-masing tidak lebih dari 9 kata.

5. PENDAHULUAN berisi : latar belakang, tujuan penelitian dan hipotesis (tidak harus ada) 6. METODOLOGI PENELITIAN berisi : waktu dan tempat, bahan dan alat, metode, rancangan penelitian (kalau ada), analisis data. Metode disajikan secara ringkas namun jelas 7. HASIL DAN PEMBAHASAN berisi : Hasil dan pembahasan, dibuat terpisah atau dijadikan satu 8. Tabel berjudul dalam bahasa Indonesia, judul tersebut harus singkat, jelas, dan terletak di atas Tabel yang bersangkutan, diikuti keterangan sumber data. Antar kolom/anak kolom terpisah cukup jelas 9. Gambar, Grafik dan Foto warna atau hitam/putih harus kontras, tajam, jelas,diberi keterangan, dengan ukuran paling kecil sebesar kartu pos. 10. KESIMPULAN disampaikan secara ringkas dan padat 11. Daftar Pustaka disusun alfabetis dengan mencantumkan : (a) untuk buku: Nama (-nama) penulis, tahun penerbitan, judul lengkap buku, penyuntig (bila ada), nomor seri (bila ada), volume, edisi, penerbit, kota penerbit, (b) untuk terbitan berkala : nama (-nama) penulis, tahun penerbitan, judul tulisan, nama beidak lebih dari 9 rkala, volume dan nomor,nama penerbit, kota penerbit 12. Redaksi menerima makalah melalui e_mail account: [email protected] Setiap naskah yang diterima akan dinilai dan diedit oleh Dewan Redaksi.

ISSN : 1907-5316

DAFTAR ISIVol.III, No. 2, Agustus 2008 STUDI MENGENAI PENGETAHUAN LOKAL NELAYAN PATTORANI DI SULAWESI SELATAN (Kasus Nelayan Desa Palalakang Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar) Andi Adri Arief....111-118 ANALISA PERAMBAHAN KAWASAN HUTAN TERHADAP KEBOCORAN CARBON DAN PERUBAHAN IKLIM (Studi Kasus Desa Bantimurung Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara) Kaimuddin ......................................................................................................... 119-124 ANALISIS BIAYA PRODUKSI MOULDING di PT. RANTE MARIO Abd. Rasyid Kalu............................................................................................... 125-134 PRANATA SOSIAL SISTEM PENGELOLAAN HUTAN MASYARAKAT ADAT KAJANG Muh. Dassir ....................................................................................................... 135-147 DINAMIKA KELOMPOK TANI PADA KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DI DAS BILA WALANAE DESA LASIWALA KABUPATEN SIDRAP Abd. Wahidn ..................................................................................................... 149-157 IDENTIFIKASI TANAMAN OBAT-OBATAN YANG DIMANFAATKAN OLEH MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TABO-TABO Hamzari ........................................................................................................... 159-167 PRESTASI PEKERJA DALAM KEGIATAN PEMBAGIAN BATANG PADA KEGIATAN PEMANENAN DI HUTAN JATI RAKYAT DESA LILI RIATTANG KABUPATEN BONE Iswara Gautama ................................................................................................ 169-178 APPLICATION OF MULTI CRITERIA DECITION MAKING (RANKING METHODE ) ANALYSIS FOR SUITABILITY AGROFORESTRY UP-LAND Budiaman ......................................................................................................... 179-187 PERENCANAAN HUTAN KOTA DENGAN SISTEM INFORMSI GEOGRAFIS DI KOTA WATAMPONE Syamsu Rijal ................................................................................................... 189 - 199 EVALUASI DISTRIBUSI HARA TANAH DANTEGAKAN MANGIUM, SENGON DAN LEDA PADA AKHIR DAUR UNTUK KELESTARIAN PRODUKSI HUTAN TANAMAN DI UMR GOWA PT INHUTANI I UNIT III MAKASSAR. Wahjuni Hartati ................................................................................................. 201-219 KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN HUTAN KEMIRI RAKYAT DI KABUPATEN MAROS SULAWESI SELATAN Muspida ............................................................................................................ 221-223

STUDI MENGENAI PENGETAHUAN LOKAL NELAYAN PATTORANI DI SULAWESI SELATAN (Kasus Nelayan Desa Palalakang Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar)Andi Adri Arief Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas, Makassar Contact Person : Dr. Andi Adri Arief, S.Pi, M.Si. Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Jl. Perintis Kemerdekaan Km 10 Tamalanrea, Makassar 90245. E-mail : [email protected]

ABSTRACT This research intends to study and to describe indigenous knowledge pattorani fisherman. The research used qualitative and descriptive methods by considering quatitative data. Data collection were obtained by through literature reviews, participation observation, and depth interview with informants. The data were analysed based on comprehension and opinion of the communities thorugh the qualitative and descriptive way, the used comparasion and classification purposes. Results of this research show that communities of pattorani fisherman still used indigenous knowledge including : 1) catching activity preparation ceremony related erudition; 2) technology and fishery production tools, 2) tool technology use catches; 3) erudition hits fish existence torani with fishing ground; 4) erudition in catching activity; 5) supernatural erudition in catching execution; 6) knowledge about sailing for fishing. Local knowledge fisherman pattorani baseds on from experience that demoted from generation to generation. Survive it local erudition system is caused by the strong belief for fisherman pattorani that look at balance value micro cosmos towards macro cosmos fundamental something that in human interaction and physical nature. Local knowledge fisherman pattorani consistently can subsidize preservation bioaquatic resources. Key words : Pattorani Fisherman Community, Local Knowledge suku Bugis dan Makassar, atau adanya kepandaian orang-orang Makassar membuat perahu layar sejak dahulu kala, tetapi juga oleh adanya lontarak-lontarak tentang pelayaran dan terutama dengan adanya Undang-undang Hukum Pelayaran dan Perdagangan yang dibuat oleh salah seorang pujangga Bugis, Amanna Gappa pada abad ke XVII atau sekitar tahun 1667 (Mattulada, 1997). Dengan catatan sejarah tersebut, terungkap jelas bahwa masyarakat nelayan suku Bugis-Makassar telah

PENDAHULUAN Orang Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis, Makassar dan Mandar, sejak dahulu kala dikenal sebagai pelaut dengan etos bahari yang tinggi. Adanya kebudayaan maritim di daerah ini tidak hanya dikenal dengan adanya folklore atau kisah tentang pelayaran di kalangan

Naskah Masuk : 23 Mei 2008 Naskah Diterima : 20 Juni 2008

111

Jurnal Hutan Dan Masyarakat Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234

mengembangkan kemampuannya menjadi masyarakat nelayan yang tertata pada suatu sistem sosial kemasyarakatan dengan orientasi kebudayaan kepada laut sebagai sarana dalam rangka aktivitas kehidupan mereka maupun dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan laut yang tergambar dalam kehidupan masyarakatnya yang mampu mengembangkan kemampuan dalam bidang pelayaran penangkapan ikan, teknologi pelayaran, usaha perdagangan dan aturan-aturan hukum dibidang perdagangan. Dalam perkembangannya, peranan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) modern dibidang perikanan telah memberi kesempatan yang luas pada masyarakat pesisir dalam mengeksploitasi sumberdaya hayati laut semaksimal mungkin. Namun manfaat teknologi yang terperagakan tersebut mulai pula dipertanyakan akibat merosotnya kualitas dan kuantitas sumberdaya hayati perairan serta kualitas lingkungan (keraf, 2002). Oleh karena itu, dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) maka pendekatan secara non-struktural, melalui peranan pengetahuan lokal penduduk asli dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hayati perairan yang sarat dengan nilai konservasi memiliki peranan penting dan strategis. Sementara pendekatan secara struktural, pemerintah harus mengenal dan mendorong sepenuhnya identitas, budaya dan keinginan masyarakat dalam melestarikan aktifitas-aktifitas secara tradisional yang tetap dipertahankan yang mendukung pemanfaatan sumberdaya hayati perairan secara berkelanjutan. Nelayan pattorani merupakan salah satu komunitas nelayan di Sulawesi Selatan yang kondisi realitasnya sampai saat ini mengelola, memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hayati laut berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai

budaya melalui pegunaan teknologi cara (soft ware technology) maupun teknologi alat (hard ware technology) yang bersifat partisipatif, assosiatif, analogik dan orientif yang melembaga serta dipertahankan melalui pengendalian sosial (social control) oleh setiap warganya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sistem pengetahuan lokal komunitas nelayan pattorani dalam pengelolaan sumberdaya hayati laut yang masih tetap dipertahankan dalam konteks kekinian. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juni 2006, di Desa Palalakang Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah penelitian kualitatif dengan penekanan pada makna-makna (verstehen) yang terdapat di balik tindakan perseorangan (aktivitas) maupun kelompok yang terwujudnya gejala sosial tersebut (Miles, 1992). Teknik pengumpulan data adalah investigasi, wawancara dan studi literatur. Analisis data yang digunakan adalah analisis holistik (a holistic perspective) melalui observasi objek informan nelayan secara menyeluruh (the entire individual) dengan mengekstraksi teks-teks hasil wawancara dalam bentuk narasi dan logika klasifikasi melalui abstraksi deskriptik terhadap realitas sosial (sociological representativeness) yang diteliti (Salam, 2005). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi Ikan Terbang (Torani) Secara umum ikan terbang ikan torani (Hirundicticthys oxycephalus) bentuk badannya bulat memanjang seperti cerutu. Sirip dada sangat panjang, biasanya mencapai belakang sirip punggung sedikit lebih panjang dari sirip

112

Studi Mengenai Pengetahuan Lokal Nelayan Pattorani Di Sulawesi Selatan Andi Adri Arief

dubur, berwarna gelap atau suram, dan terdapat bintik hitam pada bagian posterior. Sirip ekor bercabang bagaian atas. Sirip panjang, mencapai pertengahan sirip dubur, bahkan kadangkadang sampai jauh kebelakang. Pangkal sirip perut lebih dekat kepangkal sirip ekor daripada keujung posterior. Pada garis sisi terdapat 32 35 sisik. Pada bagian punggung berwarna kebiruan, sedangkan pada bagian perut berwarna keperakan (Ali, 1994). Sementara telur ikan terbang berbentuk lonjong atau bulat

dan tidak memiliki gelembung minyak (Parin, 1960). Hal ini berbeda dengan telur-telur ikan pelagic lainnya yang memiliki gelembung minyak (Balon, 1975). Pada bagian membran telur terdapat benang-benang panjang yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Benang-benang ini berfungsi untuk melilitkan telur pada benda-benda terapung dipermukaan laut (Lagler et al. 1962, Balon, 1975 dalam Baso, 2004). (lihat gambar 1 dan 2 ).

Gambar 1. Ikan Terbang (Torani)

Gambar 2. Telur Ikan Terbang

Pengetahuan Terkait Upacara Persiapan Aktivitas Penangkapan Persiapan sebelum kegiatan penangkapan dilakukan adalah upacara selamatan. Acara ini dilaksanakan dua tahap. Tahap pertama dilaksanakan pada perahu yang akan dipakai untuk menangkap ikan dan atau pengumpul telur ikan terbang, dan tahap kedua acara dilakukan di tepi pantai (lihat tabel 1). Secara umum ada dua jenis teknologi menurut sumbernya yang telah dikembangkan oleh masyarakat nelayan Sulawesi Selatan sampai dewasa ini. Pertama adalah yang dilahirkan oleh pengetahuan asli (local knowledge) dengan penggunaan keterangan yang

bersifat partisipatif, assosiatif, analogik dan orientatif yang seringkali berkaitan erat dengan kepercayaan lama yang bersifat imanensi dan bersumber dari dalam. Kedua, yang dilahirkan oleh ilmu pengetahuan atau dengan penggunaan keterangan-keterangan ilmiah yang kebanyakan bersumber dari luar, masuk kedalam masyarakat melalui kontak dengan dunia luar. Alat penangkapan terbuat dari anyaman bambu berbentuk silinder dengan panjang 100 cm 125 cm dengan diameter berkisar 50 cm 60 cm, nelayan yang mengoperasikan penangkapan bubu/pakkaja disebut nelayan pattorani (nelayan penangkapan telur ikan terbang).

113

Jurnal Hutan Dan Masyarakat Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234

Tabel 1. Prosesi Upacara Selamatan Nelayan Pattorani Upacara Selamatan Nelayan Pattorani Tahap Pertama Upacara tahap pertama, diawali dengan pembacaan Barazanji dan diakhiri dengan permohonan doa. Peserta upacara seluruhnya adalah pria, dan diutamakan bagi mereka yang dituakan. Dengan duduk bersila mengelilingi makanan berupa kaddominya, bersama dengan nasi ketan (songkolo), pisang dan tidak ketinggalan pula pendupaan. Guru baca melakukan ritualnya yang merupakan bagian proses upacara tersebut. Setelah upacara pokok selesai, barulah peserta upacara disuguhi minuman dan kue. Kue yang disuguhkan harus ada unsur gula merah dan kelapa, biasanya baje siru atau bubur ketan campur kacang ijo. Pada waktu rangkaian acara telah selesai semua hadirin dibagikan kaddominya dan pisang untuk dibawa pulang Tahap Kedua Upacara tahap kedua, dilakukan dipinggir pantai atau dikenal dengan istilah attoana turungan (keturunan yang dihormati), hanya di lakukan oleh guru baca dan di ikuti oleh beberapa orang, dengan prosesi upacara menancapkan anyaman bambu di tepi pantai, yang berisi makanan songkolo dan ayam. Setelah itu, dilakukan pelepasan rakit-rakit di laut yang terbuat dari batang pisang dan berisi berbagai macam jenis makanan seperti songkolo, telur, ayam dan lain-lain sebagainya Tujuan Tujuan dari upacara ini, dimaksudkan agar semua penumpang dari perahu selamat dalam perjalanan serta memperoleh rezeki (hasil tangkapan) yang banyak, dan sampai kembali ke daerah asal.

Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2006. Penggunaan Teknologi Alat Tangkap Secara umum ada dua jenis teknologi menurut sumbernya yang telah dikembangkan oleh masyarakat nelayan Sulawesi Selatan sampai dewasa ini. Pertama adalah yang dilahirkan oleh pengetahuan asli (local knowledge) dengan penggunaan keterangan yang bersifat partisipatif, assosiatif, analogik dan orientatif yang seringkali berkaitan erat dengan kepercayaan lama yang bersifat imanensi dan bersumber dari dalam. Kedua, yang dilahirkan oleh ilmu pengetahuan atau dengan penggunaan keterangan-keterangan ilmiah yang kebanyakan bersumber dari luar, masuk kedalam masyarakat melalui kontak dengan dunia luar. Alat penangkapan terbuat dari anyaman bambu berbentuk silinder dengan panjang 100 cm 125 cm dengan diameter berkisar 50 cm 60 cm, nelayan yang mengoperasikan penangkapan bubu/pakkaja disebut nelayan pattorani (nelayan penangkapan telur ikan terbang). Gambaran umum unit penangkapan bubu/pakkaja secara umum menggunakan perahu yang berukuran 6 11 GT, luas layar 35 70 m, dua buah mesin dengan kekuatan 31

114

Studi Mengenai Pengetahuan Lokal Nelayan Pattorani Di Sulawesi Selatan Andi Adri Arief

60 PK, alat penangkapan bubu/pakkaja sebanyak 30 54 buah, tali nilon 20 45 kg, bambu yang berfungsi sebagai pelampung dan temapat mengikat alat penangkap/daun kelapa sebanyak 10 22 batang, daun kelapa 200 470 pelepah sedangkan tenaga kerja yang digunakan 4 6 orang. Alat ini dipasang dengan cara meletakkan di permukaan laut dan dibiarkan terapung-apung (ammanyu-manyu). Jumlah pakkaja yang dipergunakan oleh kelompok 3)

pattorani sekitar 10-20 buah. Dan setiap pakkaja diletakkan sepotong bambu yang panjangnya kurang lebih 50 cm yang diikat bersama gosse (sejenis rumput laut yang baunya disenangi ikan terbang). Pada bagian dalam pakkaja diikatkan sebuah balla-balla, yaitu tempat bertelurnya ikan terbang, dengan ukuran 2 x 1 meter, selanjutnya, pada bagian luar pakkaja dikaitkan daun kelapa bersama tandanya (lihat gambar

Gambar 3. Alat Tangkap Pakkaja yang Dilengkapi dengan Balla-Balla. Pengetahuan Mengenai Keberadaan Ikan Torani Berdasarkan pengetahuan lokal yang dimiliki, maka nelayan-nelayan pattorani di desa ini dapat mengetahui keberadaan ikan-ikan torani berdasarkan simbol-simbol alam berupa; (1) adanya cahaya ikan seperti memutih yang kelihatan dari kejauhan, (2) melalui alat penciumannya yang mengenali bau yang khas dari ikan terbang, (3) melalui penyelupan tangan sampai pada siku. Bilamana air laut terasa hangat maka diyakini terdapat gerombolan ikan terbang disekitar mereka, (4) adanya segerombolan burung yang berbentuk paruh bebek yang berwarnah merah maupun hitam, (5) melalui tingkah laku ikan terbang. Semakin tinggi terbangnya, makin diyakini ikan tersebut tidak ada terlurnya dan tidak akan mungkin masuk kedalam pakkaja dan didaun kelapa untuk bertelur. Pengetahuan dalam Aktivitas Penangkapan Setelah semua pakkaja yang dipasang telah hanyut terbawa arus ke arah barat, maka ponggawa dan para sawi bersama-sama mengawasi posisi perahu sambil menyanyikan lagu-lagu bersifat porno. Diyakini bahwa dengan

115

Jurnal Hutan Dan Masyarakat Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234

mendendangkan lagu-lagu porno akan mengundang ikan terbang berdatangan ke alat pakkaja yang dipasang. Disaat ikan terbang mulai terlihat mendekati alat tangkap pakkaja, maka semua awak perahu harus diam sejanak dan ponggawa mengungkapkan baca yang diawali dengan tafakkur. Dalam pengoperasiannya, bubu/pakkaja diikatkan pada bambu yang juga berfungsi sebagai pelampung. Bambu yang dibentangkan secara melintang lurus atau berbentuk huruf U, bambu tersebut diikatkan pada perahu. Bubu/pakkaja yang terikat pada bambu tenggelam seluruhnya kedalam air dengan tertutupi beberapa pelepah daun kelapa. Cara pengoperaisan unit penangkapan bubu/pakkaja adalah perahu dihanyutkan dengan tidak menggunakan mesin. Pengontrolan dilakukan 2 -3 kali selama 24 jam dengan cara menarik tali secara bersamaan, bambu terangkat naik dan terlihat alat penangkapan bubu/pakkaja. Jika didalam perangkap terlihat adanya telur ikan terbang/iakn terbang, maka tali yang lainnya ditarik terus sampai alat perangkap dapat naik ke perahu. Pengetahuan Batin (Baca) dalam pelaksanaan Penangkapan Membacakan bait-bait menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh nelayan pattorani untuk mengundang kehadiran ikan-ikan terbang untuk bertelur di dalamnya. Bait-bait itu antara lain : Pole torani, Pole torani, Pole torani, Riallakna bombang, ritekona arusu, ribelebenna taka. Battuasengmako mae, mannuntung itimboroirawa, irawa-rate, ripasekre-sekreanna, ripakkare-karenanna, ribennenu. I pantarammintu tulolonna

satangnga pungkukna.

lompowa

Setelah ikan-ikan terbang mendekati pakkaja, maka selanjutnya dibacakan bait berikut ini : Ia riolo, iangngallei bungasakna. Ia riboko, iangngallei pallatea. Khusus pada bait bait diatas, adalah kategori baca erang pakboyangboyang. Ungkapan pada bait ini, merupakan suatu pernyataan yang memanggil ikan-ikan untuk berdatangan ketempat yang telah disediakan, yaitu alat tangkap berupa pakkaja yang dilengkapi dengan ballaballa. Ungkapan itu kurang lebih berarti; datanglah, datanglah wahai ikan terbang, disela-sela ombak, dari gerakan-gerakan arus, dan gununggunung karang. Datanglah semua kemari, baik yang berada di utara, di selatan, maupun yang berada dibagian bawah dan bagian atas (permukaan air), datanglah kemari ke tempat berkumpul dan tempat bermainnya istri-istrimu.(Data Primer Setelah Diolah, 2006). Pengetahuan tentang Pelayaran Nelayan Pattorani Sistem pengetahuan tentang pelayaran nelayan pattorani meliputi unsur-unsur pengetahuan seperti : a) Pengetahuan tentang berlayar : adanya kepercayaan terhadap roh-roh yang mendiami satu tempat atau lokasi penagkapan. Untuk menghindari murkanya maka kesemuanya harus diselamati melalui upacara selamatan membuang daun sirih dan tembakau b) Pengetahuan tentang musim dan hari pemberangkatan : patorani berangkat pada bulan Maret atau bulan April (Musim Timur). Mereka percaya, bahwa kesalahan dalam penentuan waktu pemberangkatan dapat

116

Studi Mengenai Pengetahuan Lokal Nelayan Pattorani Di Sulawesi Selatan Andi Adri Arief

menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan bahkan dapat menimbulkan hal yang fatal. Oleh karena itu pencatatan waktu pemberangkatan harus diperhitungkan secara cermat dan teliti mungkin. Penentuan hari baik dan hari jelek berdasarkan pada tradisi dan kebiasaan yang sudah lama dipertahankan atau berdasarkan pengalaman yang sudah berlangsung kali teruji kebenarannya, seperti hari pemberangkatan sedapat mungkin hari selasa, rabu, sabtu dan minggu. Selain hari itu merupakan pantangan untuk dijadikan sebagai hari pemberangkatan. c) Pengetahuan tentang awan : kondisi awan juga menjadi pedoman bagi nelayan torani dalam melakukan aktifitasnya, seperti; bila awan tidak bergerak tetap pada posisinya berarti teduh dan angin tidak bertiup kencang, bila awan bergerak selalu berubah-ubah bentuk berarti akan ada angin kencang atau badai, bila arah awan gelapnya dari barat akan menuju timur berarti akan datang hujan atau badai. d) Pengetahuan tentang bintang (mamau) dan Bulan : tanda lain yang sering juga diperhatikan adalah dengan melihat bintang, seperti; bintang porongporong akan terjadi musim barat, bintang tanra tellu akan terjadi hujan lebat, bintang wettuing menjadi pedoman berlayar, bintang mano dan sebagainya. e) Pengetahuan tentang petir dan kilat : petir dan kilat dimaknai suatu kekuatan bertujuan untuk mengusir/mengejar setan dilaut yang mengganggu nelayan beraktivitas. Oleh karena itu, setiap ada petir maupun kilat nelayan-nelayan pattorani menghetikan aktivitas sejenak lalu membaca matera doa keselamatan. f) Pengetahuan tentang gugusan karang (sapa) : pengetahuan mengenai keberadaan gugusan karang (sapa) melalui tanda-tanda seperti; adanya pantulan sinar matahari yang nampak kelihatan bercahaya, keadaan ombak disekitar karang tenang dan tidak

berarus, adanya gerombolan burung yang terbang rendah dengan menukik dan berkicau. g) Pantangan (pamali) yang berkaitan dalam aktivitas pelayaran : halhal yang harus dihindari selama aktivitas pelayaran menurut kepercayaan nelayan adalah; tidak boleh bersiul-siul karena akan mengundang datangnya angin, dilarang mencelupkan alat-alat dapur dilaut karena dapat mendatangkan badai, Dilarang menghalangi atau menegur jalan seorang nelayan apabila hendak menuju ke perahu, dialarang memanggil orang yang berada didaratan apabila sedang berada diatas perahu, dilaran takabbur atau bicara hal-hal yang tidak sopan karena mengundang datangnya ikan hiu, dilarang tidur tengkurap atau tiarap selama berlayar. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Sistem pengetahuan lokal nelayan pattorani sarat dengan pola-pola yang mempraktekkan sistem pengetahuan tradisional yang bersumber dari pengalaman yang diturunkan dari generasi ke generasi. 2. Bertahannya sistem pengetahuan lokal disebabkan oleh kuatnya kepercayaan bagi nelayan pattorani yang memandang nilai keseimbangan mikro kosmos terhadap makro kosmos sesuatu yang fundamental dalam interaksi manusia dan alam fisik. 3. Pengetahuan lokal nelayan pattorani secara konsisten dapat menunjang kelestarian sumberdaya hayati perairan.

DAFTAR PUSTAKA

117

Jurnal Hutan Dan Masyarakat Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234

Ali S, A. 1994. Pengaruh Suhu dan Cahaya Terhadap Perkembangan Larva Ikan Terbang (Cypsilurus oxycephalus). Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. Baso, A. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Ikan Terbang ( Cypsilurus spp) Berkelanjutan Di Perairan Selat Makassar Dan Laut Flores (Suatu Kajian Bio-Teknis Sosial Ekonomi). Disertasi. Program Pasca Sarjana. Universitas Hasanuddin. Makassar. Dahuri, Rohmin. 2002. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. .

Keraf, A.Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Kompas. Jakarta. Mattulada. 1997. Sketsa Pemikiran Tentang Kebudayaan, Kemanusiaan dan Lingkungan Hidup. Hasanuddin University Press. Ujung Pandang. Miles, B. Matthew dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Salam, 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif : Menggugat Doktrin Kuantitatif. Yin, Rober K. 1996. Studi Kasus : Desain dan Metode. Rajawali Pers. Jakarta.

118

ANALISA PERAMBAHAN KAWASAN HUTAN TERHADAP KEBOCORAN CARBON DAN PERUBAHAN IKLIM (Studi Kasus Desa Bantimurung Kecamatan Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara)Kaimuddin Laboratorium klimatologi, Fakultas Pertanian, UNHAS E-mail: [email protected]

ABSTRACT Watchfulness aim identify and analyze: (1) factors to cause the happening of forest occupation, (2) impact that evoked from occupation at forest area again carbon leakage and climate changes and, (3) tackling efforts and prevention the happening of occupation at forest area. Impact that evoked from occupation at forest area: (a) environment impact biofisik enough significant the impact: (1) critical tune enhanced, (2) lost it spring source, (3) river water rate of flow fluctuation (the rains and dry season), (4) flood, erosion, and sedimentation, and (5) soil fertility level. (b) social impact enough significant the impact: (1) citizen beside total and in forest area, and (2) conflict with government (vertical). (c) economy impact highest lost it environment service for recreation is caused by lost it spring. Key Words : Damage Impact, Occupation

PENDAHULUAN Perambahan kawasan hutan saat ini menjadi hal biasa kita temui pada wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat lahan untuk budidaya pertanian dan perkebunan semakin sempit, sehingga tidak ada jalan lain, maka tekanan terhadap kawasan hutan semakin tinggi. Seiring dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah, sedangkan lahan budidaya pertanian dan perkebunan tidak mengalami penambahan. Seperti halnya yang terjadi di Desa Bantimurung Kecamatan BoneBone perambahan hutan juga menjadi fakta yang dapat disaksikan dengan pengamatan langsung. Perambahan ini telah berlangsung lama, dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan

berhentinya kegiatan tersebut. Perambahan inipun telah ditindaklanjuti melalui prosedur hukum pada tahun 2004, tetapi sampai saat ini masih juga terjadi perambahan. Potensi perambahan ini masih terbuka lebar, mengingat penegakan hukum dalam kasus perambahan ini belum berjalan maksimal. Sehingga perambahan tetap saja terjadi, malah semakin meluas ke dalam kawasan hutan. Kegiatan ini sangat meresahkan dan merugikan masyarakat, karena mengurangi debit air yang akan digunakan sebagai pengairan lahan pertanian. Tujuan Penelitian ini adalah 1. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya perambahan kawasan hutan.

Naskah Masuk : 27 April 2008 Naskah Diterima : 20 Juli 2008

119

Jurnal Hutan Dan Masyarakat Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234

2. Mengidentifikasi dan menganalisis dampak yang ditimbulkan dari perambahan di kawasan hutan. 3. Mengidentifikasi dan menganalisis upaya penanggulangan dan pencegahan terjadinya perambahan di kawasan hutan. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bantimurung, Kecamatan BoneBone, Kabupaten Luwu Utara yang dilaksanakan dari Bulan Desember 2006 sampai Mei 2007. Jenis data yang diperlukan untuk melakukan Analisa Perambahan Kawasan Hutan terdiri dari data primer dan data sekunder, baik bersifat kualitatif dan kuantitatif. Data Primer Jenis data primer yang akan dikumpul meliputi beberapa parameter yaitu : Faktor-faktor yang melatarbe-lakangi terjadinya perambahan kawasan hutan adalah (1) Masyarakat tidak mengetahui keberadaan kawasan hutan. (2) Masyarakat tidak mengetahui adanya aturan-aturan yang berlaku dalam kawasan hutan. (3). Masyarakat mengetahui keberadaan dan aturanaturan yang berlaku dalam kawasan hutan, tetapi terdesak oleh kebutuhan ekonomi.(4)Penjualan kawasan hutan oleh oknum pemerintah dan masyarakat pribumi. Untuk menganalisa dampak diamati parameter yaitu (1) Aspek Lingkungan Biofisik, peningkatan lahan kritis, hilangnya Biodiversity (Keanekaragaman hayati), hilangnya sumber mata air, perubahan iklim, fluktuasi debit air sungai (musim hujan dan kemarau), banjir, erosi, dan sedimentasi, tingkat kesuburan tanah. Aspek Sosial, jumlah penduduk disekeliling dan dalam kawasan hutan, tekanan penduduk terhadap hutan, konflik (Vertikal dan horizontal), hilangnya kearifan lokal. (2) Aspek Ekonomi :

pendapatan perkapita, jumlah mata pencaharian, sumber bahan baku usaha, kecenderungan terhadap usaha produktif non hutan, daya beli, jasa lingkungan.(3) Upaya penanggulangan dan pencegahan perambahan dilakukan melalui parameter : penegakan hukum yang konsekwen, kerjasama yang sinergis dan simultan antara pihak terkait, dan partisipasi masyarakat. Data Sekunder Data sekunder yang dikumpulkan untuk memperkuat data primer, dapat bersumber dari laporan-laporan hasil penelitian, studi literature, data statistik, dan peta. Data sekunder pada umumnya adalah data kuantitatif yang terdiri dari kondisi biofisik (sarana prasarana, keadaan topografi, iklim, dan lain-lain). Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung terhadap sample yang terpilih dengan menggunakan metode Simple Random Sampling. Pengambilan sample (responden) dilakukan secara rambang (acak) dengan sampel berdasarkan metode Krejcie dan Morgan (Lampiran 1). Jumlah sample yang diambil adalah sebanyak 36 responden karena jumlah populasi diperkirakan 40 dari 374 KK penduduk Desa Bantimurung dengan jumlah perambah sekitar 30KK atau dari 8 opsi responden dengan 5 tingkat keberagaman jawaban. Adapun responden terdiri dari masyarakat pelaku perambah hutan, masyarakat pribumi, aparat desa, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Bidang Kehutanan, Bidang Perizinan dan Pengawasan), Kepolisian, dan Kejaksaan. Penentuan jumlah sample yang mengacu pada Tabel Krejcie dengan tingkat kesalahan 5%, berarti data dari sample memiliki kepercayaan 95% (Sugiyono, 2003).

120

Analisa Perambahan Kawasan Hutan Terhadap Kebocoran Carbon Dan Perubahan Iklim

Kaimuddin Analisis Data Data yang telah terkumpul dari hasil wawancara adalah merupakan data kualitatif, sehingga sebelum di analisis terlebih dahulu diubah menjadi data kuantitatif dengan menggunakan dua kategori jawaban yaitu ya dan tidak untuk factor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya perambahan kawasan hutan dan upaya penanggulangan dan pencegahan terjadinya perambahan di kawasan hutan. Pengambilan kesimpulan akhir mengenai derajat (tinggi atau rendahnya) didasarkan pada hasil akhir dari tabulasi data. Hasil tabulasi data di atas 50% dikategorikan tinggi dan di bawah atau sama dengan 50% dikategorikan rendah. Sedangkan untuk dampak yang ditimbulkan dari perambahan di kawasan hutan dianalisis menjadi data kuantitatif dengan menggunakan metode Rating Scale (Sugiyono, 1993). Skala pengukuran tersebut menggunakan alternative jawaban dari Sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah, dan masing-masing di beri skor 4, 3, 2, 1. Kategori disusun berdasarkan skor, jumlah instrument, dan responden, serta dilakukan analisis deskriptif. HASIL PENELITIAN Faktor-Faktor Yang Melatarbela-kangi Terjadinya Perambahan Kawasan Hutan Pada prinsipnya masyarakat perambah ini sebahagian besar mengetahui bahwa lahan yang dikelola adalah merupakan kawasan hutan. Tetapi karena masyarakat pendatang (perambah) ini mendapat peluang untuk mengolah lahan dengan cara membeli dari oknum pemerintah dan masyarakat pribumi, maka mereka tetap mengolah lahan tersebut. Walaupun mereka juga sangat mengetahui bahwa merambah hutan adalah perbuatan yang dilarang. Sekaitan dengan hal tersebut masyarakat perambah itu juga sebahagian besar menyatakan mengetahui adanya aturan-aturan yang berlaku dalam kawasan hutan. Sehingga sebahagian besar juga setuju, bahwa jikalau akan dilakukan pemanfaatan hutan, seharusnya diselenggarakan melalui pemberian izin. Walaupun pada prinsipnya sebahagian besar juga mereka menyatakan bahwa mereka mengetahui keberadaan dan aturan-aturan yang berlaku dalam kawasan hutan, tetapi terdesak oleh kebutuhan ekonomi (kepemilikan lahan), mengingat masyarakat perambah ini adalah merupakan suku pendatang (Bugis) yang diketahui telah krisis lahan perkebunan dengan iklim yang optimal di daerah asalnya. Hal ini kemudian diperparah bahwa kepemilikan lahan masyarakat perambah ini, terkesan legal, karena melalui proses jual-beli dengan oknum pemerintah dan masyarakat pribumi. Hal ini pulalah yang membuat masyarakat perambah ini semakin merajalela, karena mendapat dukungan sepenuhnya dari oknum pemerintah dan masyarakat pribumi. Dampak Perambahan Hutan Lingkungan Biofisik Dalam Desa Bantimurung sebenarnya masih sangat luas lahan yang tidak dapat dikelolah setiap tahunnya. Sehingga masih dijumpai lahan desa yang tidur, belum dimanfaatkan secara optimal. Secara kasat mata dan analisa peta bahwa dengan adanya aktivitas perambahan ini, maka terjadi peningkatan luas lahan kritis. Karena tentunya perambahan kawasan hutan ditujukan untuk lahan budidaya pertanian dan perkebunan dengan tidak memperhatikan lagi kebutuhan vegetasi (reforestasi). Begitu juga dengan kehilangan Biodiversity

121

Jurnal Hutan Dan Masyarakat Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234

(Keanekaragaman hayati), tentu semakin hari akan semakin berkurang. Hilangnya sumber mata air, sumur atau sungai yang dulu banyak airnya, tetapi sekarang sudah kering, adalah merupakan dampak lanjutan dari akumulasi aktivitas perambahan selama bertahun-tahun. Kurangnya vegetasi yang akan menampung air menyebabkan hal ini terjadi. Perubahan iklimpun tidak dapat dihindari. Ini ditandai dengan besarnya perubahan bulan-bulan musim hujan atau musim kemarau pada tahuntahun sebelumnya dengan sekarang. Begitu juga dengan peningkatan suhu dinyatakan tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Iklimpun menjadi tidak menentu, menyebabkan masyarakat susah untuk memprediksi musim tanam. Dampak lain yang dirasakan adalah tingginya perbedaan volume air di sungai (fluktuasi debit air sungai) pada saat musim hujan dengan musim kemarau. Sehingga sering mengakibatkan terjadinya banjir, jikalau volume hujan cukup besar. Begitu juga dengan dampak longsor sering terjadi, jikalau volume hujan cukup besar. Walaupun kurang meninggalkan endapan (sedimentasi), karena hanyut ketika banjir. Dan mengenai informasi yang menyatakan bahwa ada tanaman yang dulunya bisa ditanam, tetapi sekarang sudah tidak bisa tumbuh dengan baik adalah merupakan gambaran bahwa tingkat kesuburan tanah sudah mulai berkurang. Dampak Sosial Dampak sosial yang paling nyata dari adanya aktivitas perambahan kawasan hutan ini adalah terjadinya peningkatan jumlah penduduk di sekitar hutan yang sangat signifikan. Walaupun ternyata kemampuan untuk mengolah lahan tidak terlalu besar. Jadi pada prinsipnya perambahan kawasan hutan ini, dimungkinkan hanya menjadi salah satu model investasi untuk mengantisipasi kekurangan lahan dimasa

yang akan datang untuk generasi penerus. Tentu hal ini akan memberi tekanan terhadap hutan, karena kecenderungan perambahan kawasan hutan itu semakin hari semakin melebar (meluas). Kecenderungan terjadinya masalah (konflik) antar sesama pengelola lahan (horizontal) potensinya agak kurang, karena keseluruhan masyarakat perambah ini adalah suku pendatang (suku bugis), sehingga hubungan emosional masih sangat kental yang dilandasi ikatan kekeluargaan. Sedangkan kecenderungan masalah (konflik) dengan pihak pemerintah (vertikal) sering terjadi, mengingat areal perambahan ini adalah kawasan hutan yang nota bene adalah tanah Negara. Sehingga secara otomatis pada lahan perambahan tersebut melekat hak Negara yang semestinya harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dan tentunya dengan adanya aktivitas perambahan ini menyebabkan hilangnya kebiasaan leluhur yang dulu ada (kearifan local) seperti adat istiadat dalam bercocok tanam. Dampak Ekonomi Masyarakat Dampak peningkatan pendapa-tan setelah memanfaatkan hasil hutan pada dasarnya tidak terlalu besar. Mengingat kawasan hutan yang dirambah tersebut kondisi tofografinya cukup terjal untuk tujuan budidaya pertanian maupun perkebunan. Sehingga untuk mendapatkan pendapatan yang cukup besar mungkin agak sulit. Walaupun ternyata masyarakat perambah tersebut menyatakan ada banyak jenis mata pencaharian yang dapat mereka lakukan. Seperti bertani, berkebun, berdagang, tukang kayu, dan lain-lain. memanfaatkan potensi non kayu dari hutan (rotan, aren, madu, dan lain-lain). Begitu juga dengan hasil dari hutan yang dapat dijadikan sumber bahan baku untuk usaha atau kehidupan sehari-hari dinyatakan sangat banyak yang dapat dimanfaatkan seperti

122

Analisa Perambahan Kawasan Hutan Terhadap Kebocoran Carbon Dan Perubahan Iklim

Kaimuddin potensi non kayu (rotan, aren, madu, dan lain-lain). Potensi hutan inilah yang mungkin menyebabkan sedikit masyarakat perambah yang berminat untuk mengelola usaha selain memanfaatkan hutan. Walaupun kelihatan bahwa kemampuan untuk membeli sesuatu barang yang diminati adalah pada kondisi yang memprihatinkan. Dan mengenai keberadaan jasa dari lingkungan yang dimanfaatkan dan menghasilkan uang (misalnya untuk rekreasi), tetapi sekarang sudah tidak ada lagi dijumpai pada lokasi ini. Upaya penanggulangan dan pencegahan terjadinya peram-bahan di kawasan hutan Upaya penegakan hukum yang konsekwen direspon setengah hati oleh masyarakat untuk menanggulangi ataupun mencegah terjadinya perambahan di kawasan hutan. Mengingat untuk Desa Bantimurung ini, aktor penjualan lahan telah menjalani proses hukum. Tetapi jelas terlihat bahwa aspek penegakannya masih sangat lemah. Sehingga sebahagian besar masyarakat pesimis terhadap penegakan hukum yang ada. Perangkat hukum yang ada kini belum mampu mengerem aktivitas perambahan hutan dan pelakunya. Sebab, tidak ada pemegang otoritas (eksekutor) tunggal, terlalu banyak instansi terlibat dan kewenangannya sepotong-potong. Belum lagi, masing-masing memiliki pemahaman dan kepentingan berbeda. Jikalau Departemen Kehutanan, Kejaksaan, Kepolisian, dan Instansi Lain, selama ini berjalan sendiri-sendiri dan secara kolektif terbukti mandul. Mungkin hal ini dikarenakan para pelaku perambahan hutan ini dibekingi oknum pemerintah dan masyarakat pribumi serta cenderung dapat diatur dengan penegak hukum. Satu-satunya jalan, perpu atau UU yang baru ini harus menetapkan presiden sebagai pemegang kendali otoritas. Presiden harus memimpin langsung upaya penyelamatan hutan. Presiden tentu bisa membentuk tim yang beranggotakan para menteri atau pejabat setingkat dan kinerja tim itu diawasi langsung presiden (Manalu, 2007). Masyarakat justru lebih tertarik terhadap kerjasama yang sinergis dan simultan antara pihak terkait. Hal ini dinilai dapat menjadi upaya preventif untuk kegiatan perambahan. Diupayakan tim terpadu bergerak pada pemahaman dan kepentingan yang sama. Dan partisipasi masyarakat juga direspon setengah hati, karena terbukti yang melakukan penjualan lahan juga termasuk masyarakat pribumi yang merasa memiliki kekuatan dan dekat dengan kekuasaan. KESIMPULAN Kesimpulan penelitian adalah : a. Faktor tertinggi yang melatarbelakangi terjadinya perambahan hutan adalah Penjualan kawasan hutan oleh oknum pemerintah dan masyarakat pribumi. b. Dampak yang ditimbulkan dari perambahan di kawasan hutan adalah : Dampak Lingkungan Biofisik yang cukup signifikan dampaknya adalah peningkatan lahan kritis, hilangnya sumber mata air, fluktuasi debit air sungai (musim hujan dan kemarau), banjir, erosi, dan sedimentasi, tingkat kesuburan tanah. Dampak Sosial yang cukup signifikan dampaknya adalah, jumlah penduduk disekeliling dan dalam kawasan hutan, konflik dengan pemerintah (Vertikal ) Dampak Ekonomi yang paling tinggi adalah hilangnya jasa lingkungan

123

Jurnal Hutan Dan Masyarakat Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234

untuk rekreasi disebabkan oleh hilangnya mata air. c. Upaya penanggulangan dan pencegahan perambahan kawasan hutan yang paling direspon adalah terjalinnya kerjasama yang sinergis dan simultan antara pihak terkait. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2001. 10 Ribu Ha Hutan Lindung Dirambah Mafia Kayu di Tanah Karo. Tanah Karo Simalem Home Page. Medan. ----------, 2002. Illegal Logging dan Upaya Hukum Masyarakat Terhadap Kondisi Taman Nasional Gunung Leuser di Kabupaten Langkat. Forum LSM. Program Pengembangan Leuser. Medan. ---------, 2003. Catatan tentang Dongidongi. The Nature ConservancyPalu Field Office, Palu. ---------, 2003a. Banjir Bandang Ancam Lima Provinsi. Sinar Harapan. Jakarta. ----------, 2005. Luwu Utara Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Luwu Utara. Masamba. ----------, 2008. 11,4 Juta Ha Hutan Lindung Akan Beralih Fungsi. Suara Pembaharuan. Jakarta. -----------, 2008a. Rekapitulasi Laporan Data Penduduk. Desa Bantimurung. Kecamatan BoneBone. Haba, J., 1996. Memahami Perambah Hutan dan Dilemanya. Suara Pembaharuan. PMB-LIPI, Jakarta. Sulistyowati, B., 2004. Perambahan Kawasan Hutan Lindung Studi Kasus : di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Wonosobo. Tesis S2. Universitas Indonesia. Jakarta. Manalu, D., 2007. Kebijakan Darurat Kehutanan. Kliping. Uni Sosial Demokrat. Jakarta.

124

ANALISA BIAYA PRODUKSI MOULDING di PT. RANTE MARIO

Abd. Rasyid Kalu Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan, Fakultas Kehutanan UNHAS ABSTRACTThis watchfulness aim detects and analyze every production cost, production volume, and sales revenue moulding in effort determines production. data collecting especially done in factory by using two methods that is field observation, that is direct observation towards production process activity moulding with interview to leadership companies and managers companies to get primary data. Data analysis that used in this watchfulness cost classification based on cost character that is use in company at the expense of permanent and variable cost. Watchfulness result concludes total cost magnitude that taked by industrial account in run the production effort during one year (2006) sebesarrp. 3.676.888.627, -, where does permanent cost rp. 865.255.427, - variable rp. 2.811.633.200, -. break even point as much as 324,72 m3 with sale value rp. 1.210.147.450, -. and during year 2006 produce moulding as much as 2651 m3 with sales revenue as big as 2115 m3 with sale value rp. 7.878.798.000, Key words : Moulding, Break even point dengan efisiensi biaya produksi serta tingkat keuntungan yang dicapai oleh perusahaan. Untuk menentukan volume produksi yang tepat bagi suatu perusahaan diperlukan berbagai macam alat analisis. Salah satu diantaranya adalah analisis pulang pokok atau analisis break even point (Ahyari, 1987). PT. Rante Mario sebagai salah satu industri pengolahan kayu (industri moulding) yang ada di Sulawesi Selatan menjadi obyek penelitian kami. Dimana kami akan mencoba mengklasifikasikan biaya yang bergerak dalam perusahaan tersebut dengan menggunakan analisis break even point. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis setiap biaya produksi, volume produksi, dan hasil penjualan moulding dalam usaha menentukan produksi pada tingkat break even point.

PENDAHULUAN Banyak permasalahan yang seringkali menghambat kelangsungan hidup industri perkayuan, yaitu menyangkut rendahnya tingkat efisiensi dan produktifitas sehingga menyebabkan biaya produksi cukup tinggi. Aspek yang perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan peningkatan efisiensi dan produktifitas industri perkayuan adalah bahan baku, sarana produksi, tenaga kerja dan permodalan. Untuk mengendalikan hal tersebut di atas, maka manajemen perusahaan tentunya tidak dapat melepaskan diri dari keputusan tentang jumlah volume produksi yang akan direalisasikan oleh perusahaan. Penentuan volume produksi dalam pelaksanaan operasi perusahaansangat perlu, oleh karena hal ini mempunyai hubungan langsung

Naskah Masuk : 17 Mei 2008 Naskah Diterima : 2 Agutus 2008

125

Jurnal Hutan Dan Masyarakat Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Januari sampai Maret 2006, di industri PT. Rante Mario. Pengumpulan data terutama dilakukan di dalam pabrik dengan menggunakan dua metode yaitu : 1. Observasi lapangan, yaitu pengamatan langsung terhadap kegiatan proses produksi moulding serta wawancara kepada pimpinan perusahaan dan para pengelola perusahaan untuk memperoleh data primer. 2. Pengumpulan data dari dokumendokumen perusahaan maupun sumber lain yang ada hubungannya dengan penelitian ini (data sekunder). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Pengklasifikasian biaya berdasarkan sifat biaya yang digunakan dalam perusahaan atas biaya tetap dan biaya variabel. a. Biaya Tetap 1. Biaya gaji direksi, tenaga administrasi dan umum, tenaga bagian produksi /teknisi /gudang dan pemasaran. Biaya transportasi karyawan Biaya perjalanan dinas. 2. Biaya penyusutan Usry (1992) menyatakan bahwa, penyusutan atau depresiasi merupakan penelitian galokasian biaya investasi setiap tahun sepanjang umur ekonomis untuk menjamin agar biaya modal itu diperhitungkan dalam neraca laba rugi tahunan (profit and loss statement). Jadi penyusutan bukan merupakan pengeluaran biaya riil, karena sesungguhnya yang merupakan pengeluaran biaya riil adalah investasi awal. Metode yang digunakan untuk menghitung biaya penyusutan untuk

sarana dan prasarana, yaitu metode penyusutan per tahun dengan menggunakan metode penyusutan garis lurus dengan perhitungan nilai sisa, melalui persamaanDepresiasi Tahunan =

M-R N

Dimana : M=Modal Awal R=Nilai Rongsokan N=Umur Pakai

3. Biaya administrasi dan umum Biaya administrasi adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk menunjang segala aktivitasnya, yang antara lain terdiri dari biaya listrik kantor, telepon, cetakan/foto copy, pajak, biaya pengurusan surat-surat dan biaya asuransi. 4. Biaya pemeliharaan/perbaikan Dikeluarkan untuk perbaikan dan pemeliharaan aktiva-aktiva perusahaan berupa perbaikan gedung, kendaraan, mesin-mesin, peralatan di kantor dan juga biaya suku cadang. a. Biaya Variabel Jenis biaya ini antara lain meliputi : 1. Biaya bahan baku Biaya ini dikeluarkan oleh perusahaan untuk membeli bahan baku berupa kayu olahan (gergajian) yang akan digunakan dalam membuat produk moulding 2. Biaya bahan pembantu Biaya ini dikeluarkan untuk membeli bahan pembantu berupa lem dan hardener yang akan digunakan sebagai pelengkap untuk menghasilkan produk. 3. Upah tenaga kerja produksi

126

Analisa Biaya Produksi Moulding Di PT. Rante Mario Abd. Rasyid Kalu

Biaya ini dikeluarkan untuk tenaga kerja yang langsung diturunkan dalam proses produksi. Biaya tersebut antara lain upah pengawas, operator, helper dan karyawan lepas (harian). 4. Biaya listrik

7. Biaya-biaya lain Jenis biaya yang termasuk dalam kelompok ini antara lain biaya untuk membeli bahan pelengkap produksi seperti plastik untuk membungkus produk, isolasi dan kertas gosok. HASIL DAN PEMBAHASAN

Biaya ini dikeluarkan untuk membayar tenaga listrik yang digunakan dalam proses operasi alat/mesin produksi dalam pabrik. 5. Biaya bahan bakar/pelumas Biaya ini dikeluarkan untuk membeli bahan bakar yang digunakan dalam menunjang proses produksi. Bahan bakar/pelumas yang digunakan adalah solar, oli, gemuk. 6. Biaya penjualan Biaya ini dikeluarkan dalam penjualan produk termasuk di dalamnya biaya pengurusan surat-surat dan dokumen ekspor.

Unsur-unsur Pembiayaan Perusahaan Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah meliputi jenis biaya tetap, biaya variabel, biaya total, volume produksi dan penjualan dari industri moulding PT. Rante Mario Makassar selama tahun 2006. Biaya Tetap (Fixed Cost) Biaya Gaji Karyawan Biaya ini terdiri dari gaji direksi, staf administrasi dan umum. Dalam kategori biaya tetap ini juga termasuk biaya perjalanan dinas. Data mengenai biaya gaji karyawan selama tahun 2006 disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1.Rincian Biaya Gaji Karyawan pada Industri Moulding PT. Rante Mario 2006No 1 2 Jenis Biaya Gaji Karyawan Biaya Perjalanan Dinas Jumlah Jumlah (Rp)/tahun 152.200.000 25.000.000 177.200.000 Persentase (%) 85,89 14,11 100

Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006

Yang dimaksud dengan gaji karyawan pada tabel tersebut adalah gaji karyawan yang tetap selama tahun 2006, sedang biaya perjalanan dinas adalah biaya-biaya yang digunakan dalam urusan dinas ke daerah lain. Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa biaya gaji karyawan yang dikeluarkan perusahaan selama tahun 2006 sebesar Rp. 177.200.000,-

Biaya Administrasi dan Umum Biaya administrasi dan umum meliputi biaya listrik dan telepon, biaya perlengkapan kantor dan foto copy, biaya pengurusan izin kendaraan, astek karyawan, pajak. Rincian biaya-biaya administrasi dan umum dapat dilihat pada tabel 2 di bawah .

127

Jurnal Hutan Dan Masyarakat Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234

Pada Tabel 2 di atas terlihat bahwa besarnya keseluruhan biaya administrasi dan umum yang dikeluarkan oleh industri PT. Rante Mario Makassar selama tahun 2006 adalah sebesar Rp. 647.221.881.

Biaya Pemeliharaan/Perbaikan Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk melakukan pemeliharaan dan perbaikan aktiva tetap selama tahun 2006 disajikan pada tabel 3 dibawah ini

Tabel 2. Rincian Biaya Administrasi dan Umum pada Industri Moulding PT. Rante Mario Tahun 2006.Jenis Biaya Jumlah (Rp)/tahun Telepon 60.000.000 Perlengkapan Kantor 2 78.000.000 dan foto Copy 3 Listrik Kantor 420.000.000 4 Astek Karyawan 30.000.000 5 Pajak 14.221.881 Pengurusan izin 6 45.000.000 kendaraan Jumlah 647.221.881 Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006 No 1 Persentase (%) 9,27 12,07 64,89 4,63 2,19 6,95 100

Tabel 3. Rincian Biaya Pemeliharaan/Perbaikan pada Industri Moulding Mario Tahun 2006No 1 Jenis Biaya Jumlah (Rp)/tahun Persentase (%) 17,38 Pemeliharaan dan Perbaikan 24.884.100 Kendaraan Pemeliharaan 2 dan Perbaikan 18.000.000 Aktiva Kantor Pemeliharaan 3 dan perbaikan 100.223.500 mesin produksi Jumlah 143.107.600 Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006

PT. Rante

12,57

70,05 100

Pada tabel 3 di atas terlihat bahwa besarnya keseluruhan biaya pemeliharaan/perbaikan yang dikeluarkan oleh perusahaan adalah sebesar Rp. 143.107.600,Biaya Penyusutan Biaya penyusutan atau depresiasi aktiva tetap adalah merupakan salah satu unsur biaya tetap (fixed cost). Adapun rincian biaya penyusutan pada PT. Rante Mario Makassar tahun 2006 diperlihatkan pada tabel 4. Perhitungan biaya penyusutan ini, dimaksudkan sebagai

dasar dalam upaya menyisahkan sejumlah dana selama aktiva tetap masih dapat digunakan dengan baik yaitu selama umur ekonomisnya. Dengan demikian apabila umur ekonomisnya telah berakhir maka dapat segera diganti dengan yang lain, yang bernilai sama dengan jumlah biaya penyusutan sepanjang umur ekonomis. Apabila harga pengganti lebih tinggi diperlukan biayatambahan atas jumlah uang penyusutan selama umur ekonomis tadi, dimana tambahannya ini termasuk biaya investasi baru.

128

Analisa Biaya Produksi Moulding Di PT. Rante Mario Abd. Rasyid Kalu

Berdasarkan uraian jenis biaya tetap di atas maka dibuat rekapitulasi unsur biaya tetap perusahaan sebagaimana dapat dilihat pada tabel 5.

Berdasarkan rekapitulasi jenis dan jumlah biaya tetap pada tabel 5 di atas dapat diketahui bahwa total biaya tetap yang dikeluarkan oleh perusahaan selama tahun 2006 sebesar Rp. 865.255.427,-.

Tabel 4. Rincian Biaya Penyusutan Aktiva Tetap pada Industri Moulding PT. Rante Mario Tahun 2006.No 1 Jenis Biaya Umur Pakai (Th) Nilai Perolehan Jumlah (Rp)/tahun 12.382.500 39.312.000 15.940.800 2.618.905 4.671.741 74.925.946 Persentase (%) 16,52 52,46 21,27 3,49 6,23 100

Bangunan 24 330.200.000 Pabrik Bangunan 2 5 218.400.000 Kantor Mesin dan 3 Suku 20 354.240.000 Cadang Kendaraa 4 19 55.288.000 n Inventaris 5 17 88.244.000 Kantor Jumlah 1.046.372.000 Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006

Tabel 5. Rekapitulasi Biaya Tetap Total pada Makassar Tahun 2006No 1 2 3 4 Jenis Biaya Biaya Gaji Karyawan Biaya Administrasi dan Umum Biaya Pemeliharaan/Perbaikan Biaya Penyusutan Aktiva Tetap Jumlah Jumlah (Rp)/tahun 152.200.000 647.221.881 143.107.600 74.925.946 865.255.427

Industri Moulding

PT. Rante Mario

Persentase (%) 17,59 74,80 16,54 8,66 100

Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006

1. Biaya Variabel (Variable Cost) Jenis biaya yang termasuk dalam unsur biaya variabel perusahaan antara lain, yaitu : a. Biaya Bahan Baku

Besarnya biaya pembelian bahan baku yang dikeluarkan oleh industri PT. Rante Mario Makassar selama tahun 2006 untuk melakukan kegiatan usaha produksi moulding dapat dilihat dalam tabe 6l

129

Jurnal Hutan Dan Masyarakat Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234

Tabel 6. Rincian Biaya Bahan Baku Industri Moulding PT. Rante Mario Tahun 2006Jenis Bahan Baku Jumlah (m ) Meranti 925,2 Nyatoh 398,5 Palapi 650,1 Jumlah 1.974 Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006 No 1 2 33

Biaya Pembelian (Rp/Th) 922.515.200 400.422.400 658.661.000 1.981.598.600

Pada tabel 6 diketahui bahwa besarnya keseluruhan biaya pembelian bahan baku yang dikeluarkan oleh industri PT. Rante Mario Makassar adalah sebesar Rp. 1. 981.598.600,- dengan jumlah pemakaian bahan baku sebanyak 1.974 m3. Biaya pembelian bahan baku ini merupakan biaya pembelian kayu olahan dalam bentuk sawn timber, yang didatangkan antara lain dari daerah Mamuju,

Kalimantan, Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah. b. Biaya Bahan Penolong

dan

Biaya pembelian bahan penolong yang dikeluarkan oleh industri PT. Rante Mario meliputi biaya pembelian lem dan hardener. Besarnya biaya pembelian bahan penolong selama tahun 2006 dapat dilihat dalam Tabel 7

Tabel 7. Rincian Biaya Pembelian Bahan Penolong pada Industri Moulding PT. Rante Mario Tahun 2006.No 1 2 Jenis Bahan Penolong Lem Jumlah Bahan Penolong (Rp)/Kg 2.811 Biaya Pembelian (Rp/Th) 40.230.000 3.240.000 43.470.000

Hardener 80 Jumlah 2.891 Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006

Pada tabel 7 tampak bahwa besarnya biaya pembelian bahan penolong yang dikeluarkan oleh perusahaan pada tahun 2006 adalah Rp. 43.470.000,-

c. Biaya Upah Tenaga Kerja Produksi Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk membayar upah bagi tenaga kerja produksi langsung di pabrik dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Rincian Biaya Upah Tenaga Kerja Produksi Langsung pada Industri Moulding PT. Rante Mario Tahun 6Jenis Pekerjaan

No 1

Jumlah Tenaga Kerja (Orang)

Jumlah Upah (Rp/Th) 81.700.000 230.800.000 312.500.000

Operator 240 Pembantu 2 750 Operator 990 Jumlah Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006

130

Analisa Biaya Produksi Moulding Di PT. Rante Mario Abd. Rasyid Kalu

d. Biaya Listrik Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk membayar tenaga listrik yang digunakan dalam proses operasi alat/mesin produksi pabrik pada tahun 2006 adalah sebesar Rp. 150.330.600,-

e. Biaya Bahan Bakar/Pelumas Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk membeli bahan bakar dan pelumas mencakup biaya pembelian bahan bakar solar dan oli bagi pengoperasian mesin dan peralatan di pabrik. Besarnya jenis biaya ini disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 .Rincian Biaya Pembelian Bahan Bakar dan Pelumas pada Industri Moulding PT. Rante Mario Tahun 2006.No 1 2 Jenis Bahan Bakar dan Pelumas Jumlah Bahan Bakar dan Pelumas (L/Th) 14.800 880 15.680 Biaya Pembelian (Rp/Th) 8.900.000 4.200.000 13.100.000

Solar Oli Jumlah Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006

f.

Biaya Penjualan

Biaya penjualan produk yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk pemasaran produk, terdiri atas ekspedisi/freigh barang (biaya pengiriman produk ekspor mulai dari pabrik sampai di

tempat tujuan ditanggung perusahaan pengirim), dan biaya transaksi/pengiriman dokumen. Rincian biaya penjualan PT. Rante Mario pada tahun 2006 dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 10. Rincian Biaya Penjualan Produk pada Industri Moulding PT. Rante Mario Tahun 2006.No 1 Jenis Biaya Jumlah Biaya (Rp/Th) Prosentase (%) 63,18

Biaya Ekspedisi/freigh 145.600.000 barang Biaya 2 transaksi/pengiriman 84.824.000 dokumen Jumlah 230.424.000 Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006

36,81 100

Total biaya penjualan yang dikeluarkan oleh PT. Rante Mario pada tahun 2006 sebesar Rp. 230.424.000,g. Biaya lain-lain Biaya ini meliputi biaya untuk membeli perlengkapan finishing seperti

plasitk, kertas gosok, isolasi, paku dan biaya lain pada industri moulding PT. Rante Mario Makassar pada tahun 2006 mengeluarkan biaya lain-lain sebesar Rp. 80.210.000,Berdasarkan uraian jenis biaya variabel yang telah dikemukakan diatas maka disusun rekapitulasi biaya variabel sebag

131

Jurnal Hutan Dan Masyarakat Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234

Dari tabel 11 di atas dapat diketahui bahwa selama tahun 2006 biaya variabel total yang dikeluarkan oleh perusahaan sebesar Rp. 2.811.633.200,- dengan pengeluaran terbesar pada biaya bahan baku senilai 68,30% dari total biaya variabel diamana tersebut dalam Tabel 11.

3. Biaya Total (Total Cost) Biaya total yang dikeluarkan oleh PT. Rante Mario selama tahun 2006 merupakan akumulasi dari biaya tetap dan biaya variabel. Rekapitulasi kedua biaya tersebut dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 11. Rekapitulasi Biaya Variabel pada Industri Moulding PT. Rante Mario Tahun 2006No 1 2 3 4 5 6 7 Jenis Biaya Variabel Biaya Bahan Baku Biaya Bahan Penolong Biaya Tenaga Kerja Langsung Biaya Bahan Bakar/Pelumas Biaya Listrik Pabrik Biaya Penjualan Biaya Lain-lain Total Jumlah Biaya (Rp/Th) 1.981.598.600 43.470.000 312.500.000 13.100.000 150.330.600 230.424.000 80.210.000 2.811.633.200 Prosentase (%) 68,30 1,26 10,93 0,52 4,60 9,34 5,05 100

Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006

Tabel 12. Rekapitulasi Biaya Total Yang Dikeluarkan pada Industri Moulding PT. Rante Mario Tahun 2006Jumlah Biaya (Rp/Tahun) 1 Biaya Tetap Total 865.255.427 2 Biaya Variabel Total 2.811.633.200 Total 3.676.888.627 Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006 No Jenis Biaya Prosentase (%) 23 76 100

Pada tabel 12 terlihat bahwa keseluruhan biaya yang dikeluarkan oleh PT. Rante Mario dalam melakukan seluruh kegiatan usaha produksi Moulding selama tahun 2006 adalah sebesar Rp. 3.676.888.627,- dengan persentase biaya tetap sebesar 23% dan biaya variabel sebesar 76 % dari total biaya, dengan volume produksi sebesar 2651 m3 maka dapat diketahui bahwa biaya produksi per m3 dari seluruh kegiatan produksi Moulding sebesar Rp. 1.386.981,7,-, dimana kapasitas

terpasang kegiatan sebesar 3350 m3.

produksi

adalah

Penjualan Produk PT. Rante Mario Makassar dan Keuntungan Usaha Produk yang dihasilkan oleh industri PT. Rante Mario terdiri dari 2 jenis produk moulding flooring yaitu flooring finger joint dan flooring laminating semua produk tersebut diekspor ke negara Taiwan, hasil penjualan yang diperoleh selama tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 13.

132

Analisa Biaya Produksi Moulding Di PT. Rante Mario Abd. Rasyid Kalu

Tabel 13. Rincian Hasil Penjualan Produk Moulding PT. Rante Mario pada Tahun 2006.No 1 2 Jenis Produk Jumlah (m )/Thn3

Flooring Finger joint 1660 Flooring laminating 455 Jumlah 2115 Sumber : Data Sekunder Setelah Diolah, 2006

Nilai Penjualan (Rp)/Thn 6.183.832.000 1.694.966.000 7.878.798.000

Pada Tabel 13 terlihat bahwa industri PT. Rante Mario pada tahun 2006 dapat menjual produknya sebanyak 2115 m3 dengan nilai penjualan sebesar Rp. 7.878.798.000,Keuntungan industri PT. Rante Mario pada tahun 2006 adalah sebesar Rp. 4.201.909.373,- (dapat dilihat pada Lampiran 3). Hasil ini diperoleh dari selisih antara penjualan yang dicapai dengan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan

KESIMPULAN Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil analisis yang telah dilakukan pada uraian terdahulu, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Perusahaan mencapai Break Even Point sebanyak 324,72 m3 dengan nilai penjualan adalah sebesar Rp. 1.210.147.450,- agar tidak mengalami kerugian dan belum memperoleh keuntungan . 2. Industri PT. Rante Mario Makassar selama tahun 2006 telah memproduksi moulding sebanyak 2651 m3 dengan hasil penjualan sebesar 2115 m3 dengan nilai penjualan Rp. 7.878.798.000,DAFTAR PUSTAKA Ahyari, 1987. Pengedalian Produksi. Edisi Keempat. Bagian Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Alwi, Syarifuddin, 1983. Alat-alat Analisis Dalam Pembelanjaan. Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta. Amran, Bustam, 1983. Ekonomi Perusahaan Masalah Biaya. Pradnya Paramitha. Jakarta. Badruddin A, 1975. Analisis Produksi Suatu Industri Kehutanan No. Iv. Lembaga Penerbitan Hasil Hutan Bogor. Bambang dan Kartasapoetra G, 1988. Kalkulasi dan Pengendalian Biaya Produksi, PT. Bina Aksara, Jakarta. Junus, M. A.R. Wasakara, J.J. Frans, M. Rusmaedy, S. Soedirman, S. Digut, M. Sila, 1985. Dasar Umum Ilmu Kehutanan II. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur. Ujung Pandang. Kadri W., R. Soeriono, D. U. Perbatasari., 1992 Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan. Endjang, Muchtar, 1990. Pengenalan Sortimen Moulding. Panitia Penyelenggara Latihan Penguji Hasil Hutan. Mulyadi, 1981. Akuntansi Biaya, Penentuan Harga Pokok dan Pengendalian Biaya, Edisi Ketiga. Bagian Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah mada, Yogyakarta. Soehardi, Sigit. 1992. Analisis Break Even. Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

133

Jurnal Hutan Dan Masyarakat Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234

Sukirni, S. 1985. Pengantar Teori Mikro Ekonomi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Yogyakarta. Supriyono, R. 1983. Akuntansi Biaya. Bagian Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. , 1987. Akuntansi Manajemen I. Bagian Penerbit

Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Swastha, Basu, 1986. Manajemen Pemasaran Modern, Penerbit Liberty, Yogyakarta. Usry, Matz, Widodo Sirait, 1992. Akuntansi Biaya, Perencanaan dan Pengendalian. Penerbit Erlangga.

134

PRANATA SOSIAL SISTEM PENGELOLAAN HUTAN MASYARAKAT ADAT KAJANG

Muh Dassir Laboratorium Hasil Hutan Fakultas Kehutanan UNHASABSTRACT Forest management practices based on Pasang at Kajang are phenomenon that interesting, because concepts that professed by Kajang society actually apply forest management practice everlastingly. In conection with the mentioned, author interested to canvass how far existence "pasang ri Kajang" as a pranata management sumberdaya especially forest and communities ammatoa as forest area user. Pasang-pasang that forest preservation in awning custom society. Key Words : Pasang, custom forest

PENDAHULUAN Komunitas Ammatoa di Kajang merupakan salah satu komunitas adat di Indonesia yang hutannya masih terlindungi. Komunitas Ammatoa memiliki sistem sosial yang unik, yaitu merupakan kelompok komunitas sosial yang tetap berpegang teguh pada "Pasang ri Kajang" (sistem nilai budaya komunitas Ammatoa) yang merupakan ajaran tradisional dari leluhur yang berasal dari Tu Rie' A'ra'na (Tuhan) melalui Ammatoa sebagai pimpinan komunitas tertinggi. Pasang adalah kumpulan pesan-pesan, petuah-petuah, petunjukpetunjuk dan aturan-aturan bagaimana seseorang menempatkan diri terhadap makro dan mikro kosmos serta tata cara menjalin harmonisasi alam-manusiaTuhan. Pasang menjadi ukuran apakah sesuatu itu "baik" atau "buruk" atau apakah sesuatu itu "boleh" atau "tidak". Pasang menganjurkan agar tidak merusak hutan karena komunitas Ammatoa memandang hutan sebagai sumber kehidupan dan penyangga keseimbangan lingkungan. Bagi komunitas Ammatoa jika hutan rusak,

maka rusak pula kehidupan mereka. Oleh sebab itu, komunitas adat Ammatoa sangat berpantang untuk mengganggu hutan dan mengambil kayunya. Dalam upaya menjaga kelestarian hutannya, komunitas dibagi menjadi dua wilayah yaitu wilayah ilalang embayya (kawasan lindung yang tidak boleh diganggu) dan wilayah pantarang embayya yang dapat dimanfaatkan oleh komunitas. Dengan adanya batas wilayah yang boleh dimanfaatkan dan yang tidak bolehimanfaatkan, komunitas Ammatoa dapat menjaga kelestarian hutannya sampai sekarang. Praktek-praktek pengelolaan hutan berbasis pasang di Kajang merupakan fenomena yang menarik, karena konsepkonsep yang dianut oleh masyarakat Kajang sesungguhnya menerapkan praktek pengelolaan hutan secara lestari. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti sejauh mana keberadaan "pasang ri Kajang" sebagai suatu pranata pengelolaan sumberdaya khususnya hutan dan komunitas Ammatoa sebagai pengguna kawasan hutan.

Naskah Masuk : 5 Juni 2008 Naskah Diterima : 28 Juli 2008

135

Jurnal Hutan Dan Masyarakat Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234

Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui sistem pranata sosial pengelolaan hutan pada Masyarakat .adat Kajang. 2. Mengetahui struktur kelembagaan adat Ammatoa yang menyangkut pengelolaan sumberdaya hutan. METODE PENELITIAN Penelitian ini telah dilaksanakan selama dua bulan yaitu mulai bulan Juli sampai bulan Agustus 2007, bertempat di Desa Tana Toa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui : Wawancara dengan para informan kunci untuk memperoleh data dan informasi lisan mengenai pranata sosial pengelolaan hutan dan struktur kelembagaan masyarakat adat kajang yang terkait dengan pengelolaan hutan. Para informan kunci yang dimaksud adalah : a. Ammatoa (pimpinan tertinggi komunitas adat); b. Galla 5 (pembantu Ammatoa yang khusus bertugas mangurusi masalah adat) yaitu Galla Pantama, Galla Lombo, Galla Puto, Galla Kajang dan Galla Anjuru; c. Karaeng Tallua (pembantu Ammatoa dalam bidang penyelenggaraan pemerintahan yang dikenal "tri tunggal dalam pemerintahan") yaitu Sullehatang, Karaeng Kajang (Labbiriyah) dan Moncong Buloa (Anak Karaeng Tambangan); d. Tokoh masyarakat/agama, dan masyarakat sebagai pengelola dan pemanfaat hutan, baik di dalam kawasan hutan adat maupun di luar kawasan hutan adat. Observasi atau peninjauan langsung ke lapangan untuk melihat kondisi hutan

dengan pola pengelolaan hutan yang dilakukan oleh komunitas adat Ammatoa. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan masyarakat adat yang diteliti dianalisis secara deskriptif HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Komunitas Adat Ammatoa Masyarakat Desa Tana Toa Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba adalah merupakan salah satu kelompok masyarakat adat yang sehariharinya menggunakan bahasa Konjo dan kokoh memegang tradisinya. Komunitas Ammatoa terbagi dua yaitu komunitas Ammatoa di Tana Kamase-masea dan komunitas Ammatoa di Tana Kuasayya. Komunitas Ammatoa yang bermukim di Tana Kamase-masea tetap mempertahankan sistem nilai budaya yang diwariskan oleh nenek moyangnya dan cenderung lamban atau kurang menerima hal-hal yang baru bahkan sebagian ditolak sama sekali. Sikap dan perilaku kehidupan masyarakat adat Ammatoa yang bermukim di Tana Kamase-masea berpedoman pada ajaran Pasang ri Kajang, yakni seluruh aktifitas kehidupan mereka dipusatkan pada kehidupan akhirat. Hal ini tercermin dari suasana kehidupan yang ditampilkannya seharihari. Rumah sederhana berbentuk panggung, tanpa perabot, tanpa perhiasan. Bentuk rumah sama, sehinga sulit membedakan antara rumah ketua adat Ammatoa dengan anggota masyarakat lainnya. Berbeda dengan komunitas adat Ammatoa yang bermukim di Tana Kuasayya, mereka sudah mulai membuka diri terhadap piranti-piranti teknologi dan menggunakannya seperti listrik, televisi, kendaraan bermotor, mobil sebagai upaya dari pemerintah untuk mengangkat kehidupan mereka. Komunitas di Tana Kuasayya, secara

136

Pranata Sosial Sistem Pengelolaan Hutan Masyarakat Adat Kajang Muh Dassir

perlahan pola pikirnya mengalami perkembangan. Hal ini nampak dengan adanya keinginan dari mereka untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka berharap, kehidupan anak-anak mereka pada masa yang akan datang akan lebih baik dari kehidupan yang dijalaninya sekarang. Selain itu, perubahan yang terjadi pada komunitas Ammatoa di Tana Kuasayya yaitu pakaian yang dikenakan, sebagian besar sudah memakai pakaian seperti yang dipakai orang-orang di luar wilayah adat, hanya orang-orang tua saja yang masih memakai pakaian serba hitam. Kawasan Hutan Adat Tana Toa Hutan adat ke-Ammatoa-an (Boronna I Bohe) dibagi ke dalam tiga zona, yaitu : 1. Hutan Keramat (Borong Karama'), merupakan zona pertama dari hutan adat yang menurut pasang terlarang (kasipalli) untuk dimasuki, ataupun mengganggu flora dan fauna yang ada di dalamnya. Borong Karama' hanya boleh dimasuki oleh Ammatoa dan anggota adat apabila ada upacara adat (upacara pelantikan Ammatoa, Pa'nganroang). Borong Karama' dibagi menjadi delapan yaitu : Borong Pa'rasangeng Iraja, Borong Pa,rasangeng Ilau' Borong Tappalang, Borong Tombolo, Borong Karanjang, Borong Tunikeke, Tuju Erasaya dan Borong Pandingiang. Konon kabarnya, apabila ada orang dari luar yang masuk di zona ini, orang tersebut tidak bisa keluar. Kalaupun bisa keluar, orang tersebut akan meninggal. Begitu juga dengan anjing, kalau berhasil keluar anjing tersebut tidak bisa menggonggong lagi. 2. Hutan Perbatasan (Borong Battasayya), hutan ini merupakan zona kedua dari Borong Karama'. Antara

Borong Karama' dan Borong Battasayya dibatasi oleh jalan setapak yang digunakan oleh Ammatoa dan anggota adat sebagai jalan untuk masuk di Borong Karama' untuk upacara ritual komunitas. Borong Battasayya terdapat di Hutan Pa'rasangeng Iraja. Di Borong Battasayya, komunitas Ammatoa di Tana Kamase-masea maupun di Tana Kuasayya diperbolehkan mengambil kayu dengan syarat-syarat tertentu. 3. Borong Luarayya merupakan hutan rakyat yang belum dibebani hak milik. Menurut Muh. Sain (anak dari Amma Galla), hutan ini terletak di sekitar kebun masyarakat ke-Ammatoaan dengan luas 100 Ha. Dari hutan inilah masyarakat bisa memenuhi kebutuhan mereka terhadap kayu dengan persyaratan yang sama pada pengambilan kayu di Borong Battasayya. Luas kawasan hutan Tana Toa yang meliputi Hutan Keramat (Borong Karama') dan Hutan Perbatasan (Borong Battasayya) menurut hasil tata batas yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Bulukumba yaitu 331,17 ha, yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai Hutan Produksi Terbatas (HPT). Struktur Kelembagaan Masyarakat Adat Ammatoa Struktur lembaga adat Ammatoa dikenal sebagai appa' pa'gentunna tanaya na pa'tungkulu'na langi' (empat penggantung bumi dan penopang langit) yaitu : (1) Ada' yang harus tegas (gattang); (2) Karaeng yang harus menegakkan kejujuran (lambusu); (3) Sanro (dukun) yang harus pasrah (apisona); dan (4) Guru yang harus sabar (sa'bara). Adapun struktur kelembagaan adat Ammatoa menurut Ibrahim, T (2001) dapat dilihat pada Gambar 2.

137

Jurnal Hutan Dan Masyarakat Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234

AmmatoKaraeng Tallua AnrongtaKaraeng Kajang

SulletangAda' Limayya Anak Karaeng Tambangan (Moncong Buloa)

Galla Pantama

Galla Lombo

Galla Puto

Galla Kajang

Galla Anjuru

Adat Pelaksana Pemerintahan

Lompo Ada' (Ada' Buttaya)

Ada' Akkeke Butta 5 orang

Ada' ri Tana Lohea 5 orang Ada' patambai cidong panroakki bicara pallabbui rurung (pelengkap) 8 orang

Gambar 2. Struktur Lembaga Adat Ammatoa

Tugas dan Fungsi dari Struktur Kelembagaan Adat Ammatoa terdiri atas : 1. Ammatoa mempunyai fungsi dan peran menurut Pasang ri Kajang sebagai berikut : a. Sebagai orang yang dituakan, artinya bahwa Ammatoa adalah pelindung, pengayom dan suri teladan bagi semua warga komunitas. b. Sebagai penghubung manusia Tu Rie' A'ra'na dan Tu Rie' A'ra'na Manusia.

c.

d.

Menghubungkan harapanharapan komunitas dan gagasan keilahian (upaya penyelarasannya melalui pa'nganroang). Ammatoa menjadi katup pengaman keteganganketegangan sosial antar komunitas. Bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kelestarian Pasang ri Kajang.

138

Pranata Sosial Sistem Pengelolaan Hutan Masyarakat Adat Kajang Muh Dassir

2. Anrongta ri Pangi dan Anrongta ri Bongkina bertugas mengurus perlengkapan-perlengkapan pada upacara adat. 3. Ada' Limayya, merupakan salah satu perangkat adat yang statusnya setingkat dengan Karaeng Tallua. Anggotanya sebanyak lima orang dengan tugas-tugas tersendiri. Kelima orang tersebut masing-masing : a. Galla Pantama bertempat di Bonto Pao memiliki tugas pa'lamunglamungang, yaitu menentukan waktu mulai menanam dengan melihat tanda-tanda (tanra). Seperti mulai berbunganya pohon Dande (Hopea dolosa) menandakan mulai diadakannya abborong (musyawarah) yang dipimpin oleh Galla Pantama untuk menentukan waktu menanam padi. Sekarang dijabat oleh Puto Tangngai. b. Galla Lombo bertugas mengurus masalah pemerintahan pada daerahdaerah takluk Ammatoa dan urusan keluar masuk kawasan adat. Sekarang dijabat oleh Kepala Desa Tana Toa. c. Galla Anjuru bertugas dalam bidang pekerjaan yang berhubungan dengan nelayan (perikanan), menentukan waktu yang baik unrtuk turun ke laut dan menangkap ikan. d. Galla Kajang bertempat di Pangi, bertugas mengurusi pesta-pesta adat dan yang berhubungan dengan Pasang keagamaan dan pelanggaran (kriminal). e. Galla Puto bertempat di Benteng, bertugas sebagai juru bicara Ammatoa dan sebagai pengawas langsung tentang pelaksanaan Pasang ri Kajang. Sekarang dijabat oleh Puto Beceng. Ada' Limayya pada mulanya dijabat langsung oleh putra-putri Ammatoa pertama. Kemudian setelah mereka meninggal, jabatan itu dipegang oleh keturunan mereka berdasarkan petunjuk Pasang ri Kajang.

4. Karaeng Tallua sebagai salah satu perangkat adat dalam struktur lembaga adat Ammatoa, memiliki tiga orang personil, yaitu (1) Karaeng Kajang (labbiriyah), dijabat oleh camat Kajang; (2) Sullehatang, dijabat oleh kepala kelurahan Tana Jaya; dan (3) Moncong Buloa, anak Karaeng Tambangan. Sekarang dijabat oleh Kepala Desa Tambangan. Tugas yang dipercayakan kepada Karaeng Tallua yaitu mendampingi Galla Pantama pada setiap berlangsungnya pesta adat. 5. Lompo Ada' (Ada' Buttaya) bertugas dalam bidang-bidang : a. Ada' ri Tana Lohea. Perangkat adat ini mempunyai lima orang personil yang kesemuanya berasal dari Ada' Limaya dengan tugas tersendiri. Galla Pantama dengan status sebagai penghulu adat atau adat utama; Galla Lombo dengan tugas yang berhubungan dengan urusan perbelanjaan; Galla Kajang bertugas mengurus perkara-perkara dan hukum serta persoalan-persoalan kriminal; Galla Puto bertugas sebagai juru bicara Ammatoa; dan Galla Anjuru bertugas mengurusi bagian perlengkapan. b. Adat pelaksana pemerintahan, yang terdiri dari tujuh anggota yaitu : (1) Guru bertugas sebagai pembaca doa dan mantera-mantera; (2) Kadahangnga bertugas dalam bidang pertanian; (3) Lompo Karaeng bertugas membantu Ada' Limaya ri Tana Lohea dalam pelaksanaan pesta dan upacara adat; (4) Sanro Kajang, bertugas untuk menjaga dan memelihara kesehatan rakyat; (5) Anrong Guru, bertugas dalam urusan pertahanan dan keamanan; (6) Lompo Ada' bertugas juga sebagai pendamping adat jika berlangsung pesta adat; dan (7) Galla Malleleng bertugas dalam urusan perbelanjaan dan keuangan.

139

Jurnal Hutan Dan Masyarakat Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234

c. Ada' Akkeke Butta, terdapat lima anggota dengan tugas pokok memelihara dan memperbaiki saluran air dan pengairan. Itulah sebabnya mereka disebut Ada' Akkeke artinya anggota adat yang bertugas untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan urusan penggalian tanah khususnya menyangkut soal saluran air dan pengairan. Personilnya ialah : (1) Galla Ganta; (2) Galla Sangkala; (3) Galla Sapa; (4) Galla Bantalang; dan (5) Galla Batu Pajjara. Selain yang disebutkan di atas, masih ada lagi perangkat adat yang disebut Ada' Patambai cidong panroakki bicara pallabbui rurung. Anggotanya diambil dari delapan jenis profesi dan keahlian. Artinya, anggota kelompok ini adalah orang-orang yang mempunyai pekerjaan tertentu. Mereka itu ialah : (1) Laha Karaeng, yaitu bekas kepala distrik atau mantan Karaeng Kajang; (2) Laha Ada' yaitu mantan Gallarang (Mantan Kepala Desa); (3) Pattola Karaeng yaitu keluarga dekat pemerintahan yang sedang memerintah; (4) Pattola Ada' yaitu keluarga dekat pemangku adat atau pemimpin adat; (5) Tau Toa Pa'rasangeng, yaitu orang-orang

terpandang dalam masyarakat; (6) Panrea, yaitu orang-orang yang memiliki keahlian dan keterampilan khusus seperti tukang kayu, pandai besi dan sebagainya; (7) Puahang, yaitu ketua kelompok nelayan yang memiliki perkumpulan nelayan yang disebut sero; dan (8) Uragi, yaitu ahli pertukangan kayu, khususnya dalam pembuatan rumah. Anggota-anggota tersebut tidak mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pemerintahan maupun dalam susunan adat. Karena itu, mereka itu hanya dikategorikan sebagai patambai cidong panroakki bicara pallabbui rurung. Artinya pelengkap orang yang dudukduduk, turut meramaikan pembicaraan dan memperpanjang barisan. Pasang ri Kajang tentang Pengelolaan dan Pelestarian Hutan Menyangkut hubungan manusia dengan alam, Pasang ri Kajang lebih banyak menitikberatkan pada pelestarian hutan. Pasang-pasang yang berhubungan dengan pelestarian hutan menurut Ibrahim (2001) tersaji pada Tabel 3.

140

Pranata Sosial Sistem Pengelolaan Hutan Masyarakat Adat Kajang Muh Dassir

Tabel 3. Pasang Tentang Pelestarian HutanNo. 1. Pasang Jagai linoa lollong bonena kammayya tompa langika siagang rupa taua siagang boronga Nikasipalliangngi ammanra'-manrakia borong Anjo boronga iya kontaki bosiya nasaba konre mae pangairangnga iaminjo boronga nikua pangairang Punna nitabbangngi kajua riborongnga, nunipappirangnga Angngurangi bosi patanre timbusu. Nibicara pasang ri tau Mariolo Narie' kaloro battu riboronga, narie' timbusu battu rikajua na battu ri kalelengnga Boronga parallui nitallassi, erea battu ri kaloro lupayya Iyamintu akkiyo bosi anggenna ereya nipake a'lamung pare, ba'do appa'rie' timbusia Anjo tugasa'na Ammatoa nalarangngi annabbang kaju ri boronga. Iyaminjo nikua ada'tana Iyaminjo boronga kunne pusaka Talakullei nisambei kajua, iyato' minjo kaju timboa, talakullei nitambai nanikurangi borong karama, nilarangngi tauwa a,lamung-lamung riboronga, nasaba se're hattu larie' tau angngakui bate lamunna Artinya Peliharalah bumi beserta isinya, demikian pula langit, manusia dan hutan Dilarang (kasipalli) dipantangkan merusak hutan Hutanlah yang mengundang hujan sebab disini tidak ada pengairan, maka hutanlah yang berfungsi sebagai pengairan karena mendatangkan hujan. Jika kayu dalam hutan ditebang, hujan akan berkurang dan mata air akan hilang (mengering). Demikian pesan orang terdahulu Adanya sungai berasal hutan, adanya mata air berasal dari pepohonan dan liana Hutan perlu dilestarikan karena air berasal dari sunagi-sungai kecil Dialah (hutan) yang mendatangkan hujan sehingga dapat digunakan untuk menanam padi, jagung dan menjadi mata air Tugas seorang Ammatoa yaitu melarang terjadinya penebangan kayu di hutan. Demikianlah hukum yang berlaku disini Hutan adalah pusaka kita Tidak diperkenankan mengganti jenis kayu di hutan adat, itu saja kayu yang tumbuh secara alami, tidak dapat ditambah dan dikurangi, dilarang adanya kegiatan menanam di hutan adat, sebab suatu waktu akan muncul pengakuan hak milik tanaman dalam hutan adat

2. 3. 4.

5. 6. 7.

8.

9. 10.

Sumber : Ibrahim T, 2001 Pasang pertama menegaskan bahwa alam yang terbagi ke dalam tiga benua yaitu benua atas yaitu boting langi' (langit), benua tengah (tempat mahluk hidup termasuk manusia) disebut lino dan benua bawah disebut paratihi (lautan), merupakan satu kesatuan yang saling terikat antara satu dengan lainnya dan membentuk suatu sistem yang disebut dunia. Dalam suatu sistem, jika salah satu unsur dari sistem tersebut rusak atau tidak dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya maka unsur-unsur lainnya juga akan terganggu dan tidak dapat berfungsi secara maksimal. Dengan kata lain, kerusakan salah satu unsur penyusunnya akan menyababkan kerusakan pada sistem tersebut. Demikian pula halnya dengan dunia, jika salah satu unsur penyusunnya rusak mka unsur yang lain ikut menjadi rusak. Bumi dan segala isinya terutama manusia dan hutan harus dijaga. Manusia harus menjaga diri segala tindakan yang dapat merusak alam agar alam tetap lestari dan kepentingan manusia dapat terpenuhi. Sebagaimana telah disebutkan dalam pasang bahwa manusia harus menjaga empat anggota tubuhnya agar selamat di dunia dan akhirat yaitu menjaga mulut, menjaga tangan, menjaga mata dan menjaga langkah dari perbuatan-perbuatan yang dapat merusak alam dan mahluk hidup lainnya. Hutan harus dijaga kelestariannya karena kerusakan hutan akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar

141

Jurnal Hutan Dan Masyarakat Vol. III No. 2 Agustus 2008, 111-234

di bumi, seperti terjadinya kekeringan, erosi, banjir, pemanasan global dan berbagai bentuk kerusakan lainnya yang pada akhirnya akan merugikan manusia. Akibatnya keseimbangan alam menjadi tidak stabil dan jika kerusakan hutan semakin parah, maka akan sangat sulit mengembalikannya ke kondisi semula sekalipun hutan merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources). Pasang kedua menegaskan untuk tidak mengambil/merusak hutan (kayu, rotan dan binatangnya), mengeksploitasi hutan secara berlebihan, karena dapat menimbulkan banjir, keringnya sumbersumber air serta rusaknya keseimbangan ekosistem. Jadi banjir, hilangnya sumbersumber air (akibat pembabatan hutan) atau berkurangnya kesuburan tanah (akibat usaha intensifikasi lahan) adalah merupakan akibat dari perbuatan serakah manusia "tubakka teka'na" atau tidak kamase-masea. Pasang ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh menggambarkan fungsi hidrologis hutan sebagai pengatur tata air. Bahwa dengan hutan yang lestari dapat mendatangkan hujan dan membuat mata air tetap mengalir. Walaupun komunitas Ammatoa menyatakannya dalam bahasa yang sederhana, akan tetapi hal ini menunjukkan bahwa mereka sangat mengerti akan fungsi hutan. Kehidupan manusia akan menjadi lebih baik, karena dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa mengganggu keseimbangan ekologi dari alam. Dengan kesadaran akan fungsi hutan, masyarakat adat Ammatoa akan senantiasa menjaga kelestarian hutan. Jika tidak, mereka sendiri yang akan merasakan akibatnya. Akan terjadi kekeringan dan gagal panen, serta tidak dapat menjalankan aktivitas lainnya yang selalu dibahasakan oleh mereka "kehidupan akan hancur". Pasang kedelapan dan kesembilan menegaskan pentingnya hutan bagi

masarakat adat Ammatoa karena hutan dianggap sebagai pusaka sehingga tanggung jawab untuk menjaga hutan dipegang oleh Ammatoa. Dari ungkapan Pasang ri Kajang di atas tampak bahwa kekuasaan yang dipercayakan kepada pemegang kendali pemerintahan, bukanlah kekuasaan sewenang-wenang, tetapi kekuasaan harus diabdikan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sikap pemegang kendali pemerintahan yang diberi amanah sangat menentukan terciptanya keharmonisan hubungan antara alam dan kehidupan manusia. Kejujuran yang dipegang teguh oleh pejabat pemerintah merupakan syarat mutlak untuk menjaga kelestraian alam dan lingkungan. Untuk itulah, Pasang ri Kajang mengingatkan kepada manusia, apakah ia sebagai pemegang kendali pemerintahan ataukah sebagai anggota adat agar senantiasa bertanggung jawab terhadap tugas yang diembannya dan saling mengingatkan dalam berbagai hal. Pasang terakhir menegaskan bahwa tidak boleh dilakukan penebangan maupun penanaman di hutan adat (Borong Karama'). Pepohonan yang ada didalamnya dibiarkan tumbuh dan mengalami suksesi alami. Dengan demikian nantinya tidak ada yang mengakui kepemilikan atas hutan secara pribadi. Hal ini juga berarti bahwa segala sesuatu yang sudah baku dari pemerintah ataupun adat, tidak boleh diganggu karena itu sudah ketentuan yang harus ditaati. Kepemilikan seseorang atas sesuatu barang atau jabatan, tidak boleh diganggu oleh orang lain karena itu sudah menjadi haknya. Pranata sosial Pengelolaan Hutan Adat Ammatoa Suasana kehidupan masyarakat adat Ammatoa penuh dengan berbagai pantangan dan pemali. Mereka meyakini bahwa salah satu pemali yang harus dijaga kesakralannya adalah Pasang ri Kajang itu sendiri. Karenanya, Pasang ri

142

Pranata Sosial Sistem Pengelolaan Hutan Masyarakat Adat Kajang Muh Dassir

Kajang menurut keyakinan komunitas adat Ammatoa berisi kebenaran yang pantang unrtuk dirubah. Kebenaran yang terkandung di dalamnya berlaku sepanjang jaman. Beberapa pantangan dan pemali yang tidak boleh dilakukan di hutan adat Ammatoa yaitu larangan menebang pohon, mengambil rotan dan tali, menangkap udang dan ikan, memburu satwa di Borong Karama' dan mengganggu bani. Larangan-larangan tersebut dibarengi sanksi-sanksi adat sebagai berikut : 1. Babbala (cambuk) Babbala (cambuk) yang terbagi atas tiga tingkatan, yaitu : (1) poko' babbala, (2) tangnga babbala, dan (3) cappa babbala. Tindakan pelanggaran berat (poko' babbalagagang cambuk) dihukum denda sebanyak 12 real atau 24 ohang (rupiah VOC), setara dengan Rp. 1.200.000,-. Pelanggaran sedang (tangnga babbala-tengah cambuk) dihukum denda sebesar 8 real atau 16 ohang, setara dengan Rp. 800.000,- dan pelanggaran ringan (cappa babbala-ujung cambuk) dihukum denda sebesar 4 real atau 8 ohang, setara dengan Rp. 400.000,-. Pada saat si pelanggar diadili, rapat dihadiri oleh para pemangku adat dan pemerintah, menerima denda yang dibayarkan oleh sipelanggar. Uang denda tersebut dibagikan kepada semua ya