(The Effect of Fixative on the Depth of Shade and Fadeless as … · 2015. 6. 18. · silk, and...

16
Limbah Kulit Biji Coklat (Theobroma cacao Linn.) sebagai Pewarna Alami Kain Mori dan Sutra (Pengaruh Jenis Fiksatif Terhadap Ketuaan dan Ketahanan Luntur Ditelaah dengan Metode Pengolahan Citra Digital RGB) Cocoa’s Shell (Theobroma cacao Linn.) as Natural Colorant of Cotton and Silk (The Effect of Fixative on the Depth of Shade and Fadeless as Revealed by RGB Digital Image Processing Method) Tirza Thea Lewita Sumasa*, A. Ign Kristijanto**, Hartati Soetjipto** *) Mahasiswa Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika **) Dosen Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana Jalan Diponegoro 52-60 Salatiga 50711 [email protected] ABSTRACT The objectives of this study are : firstly, to determine the effect of fixative types on the depth of shade color of cotton and silk which stained using extract of cocoa’s shell. Secondly, to determine the effect of fixative type on the fade proof color of cotton and silk toward washing. Thirdly, to determine the effect of fixative types on the fade proof color of cotton and silk toward washing and ironing. And all three were revealed by RGB digital image processing methode. The result of this study showed that : 1) The use of tunjungas fixative on cotton produce the darkest color for all hue in comparison to verdigris and alum, respectively. While on silk, “tunjung” showed the darkest color for all hue, prusi and alum had the same depth of shade of color in red and grey hue, but brighter to alum in green and blue hue 2) Cotton and silk material showed fadeless of color toward washing treated for all hue with tunjungas fixative, on the contrary, verdigris showed fade of color in all hue exception in green hue on silk, and alum showed fade of color in red and grey hue on cotton, blue and grey hue on silk, 3) Cotton material showed fadeless of color toward washing and ironing for all hue with prusi as fixative, on the contrary “tunjung” and alum showed fadeless of color in red hu e, while on silk didn’t showed fade of color exception in blue hue with alum as fixative. Key words : cacao’s shell, natural colorant, cotton, silk, RGB PENDAHULUAN Warna menjadi daya tarik tersendiri yang berperan penting dalam industri tekstil karena warna memiliki kekuatan dalam menciptakan keindahan dan suasana tertentu. Bahan pewarna yang banyak digunakan selama ini adalah bahan pewarna sintetis/buatan yang bersifat karsinogenik dan beresiko tinggi terhadap kesehatan. Pewarna sintetis memang memiliki keunggulan dibandingkan pewarna alami yaitu komposisinya tetap, pilihan warnanya lebih bervariasi, penggunaannya jauh lebih

Transcript of (The Effect of Fixative on the Depth of Shade and Fadeless as … · 2015. 6. 18. · silk, and...

  • Limbah Kulit Biji Coklat (Theobroma cacao Linn.) sebagai Pewarna Alami Kain

    Mori dan Sutra (Pengaruh Jenis Fiksatif Terhadap Ketuaan dan Ketahanan

    Luntur Ditelaah dengan Metode Pengolahan Citra Digital RGB)

    Cocoa’s Shell (Theobroma cacao Linn.) as Natural Colorant of Cotton and Silk

    (The Effect of Fixative on the Depth of Shade and Fadeless as Revealed by

    RGB Digital Image Processing Method)

    Tirza Thea Lewita Sumasa*, A. Ign Kristijanto**, Hartati Soetjipto**

    *) Mahasiswa Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika

    **) Dosen Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika

    Universitas Kristen Satya Wacana

    Jalan Diponegoro 52-60 Salatiga – 50711

    [email protected]

    ABSTRACT

    The objectives of this study are : firstly, to determine the effect of fixative types on the

    depth of shade color of cotton and silk which stained using extract of cocoa’s shell. Secondly, to

    determine the effect of fixative type on the fade proof color of cotton and silk toward washing.

    Thirdly, to determine the effect of fixative types on the fade proof color of cotton and silk toward

    washing and ironing. And all three were revealed by RGB digital image processing methode.

    The result of this study showed that : 1) The use of “tunjung” as fixative on cotton

    produce the darkest color for all hue in comparison to verdigris and alum, respectively. While

    on silk, “tunjung” showed the darkest color for all hue, prusi and alum had the same depth of

    shade of color in red and grey hue, but brighter to alum in green and blue hue 2) Cotton and

    silk material showed fadeless of color toward washing treated for all hue with “tunjung” as

    fixative, on the contrary, verdigris showed fade of color in all hue exception in green hue on

    silk, and alum showed fade of color in red and grey hue on cotton, blue and grey hue on silk, 3)

    Cotton material showed fadeless of color toward washing and ironing for all hue with prusi as

    fixative, on the contrary “tunjung” and alum showed fadeless of color in red hue, while on silk

    didn’t showed fade of color exception in blue hue with alum as fixative.

    Key words : cacao’s shell, natural colorant, cotton, silk, RGB

    PENDAHULUAN

    Warna menjadi daya tarik tersendiri yang berperan penting dalam industri tekstil

    karena warna memiliki kekuatan dalam menciptakan keindahan dan suasana tertentu.

    Bahan pewarna yang banyak digunakan selama ini adalah bahan pewarna

    sintetis/buatan yang bersifat karsinogenik dan beresiko tinggi terhadap kesehatan.

    Pewarna sintetis memang memiliki keunggulan dibandingkan pewarna alami yaitu

    komposisinya tetap, pilihan warnanya lebih bervariasi, penggunaannya jauh lebih

    mailto:[email protected]

  • 2

    mudah, hasil pewarnaan lebih cerah, tersedia untuk semua jenis serat dan pada

    umumnya tahan luntur. Menghadapi abad yang berorientasi lingkungan ini,

    kekhawatiran akan dampak lingkungan dari zat warna sintetik non degradable yang

    merusak dan menganggu kesehatan membangkitkan kembali pemakaian zat warna

    alami. Zat warna alami diyakini lebih aman dari pada zat warna sintetis karena sifatnya

    yang non karsinogen dan teknologi pembuatan serta penggunaannya yang relatif

    sederhana menjadikannya sangat cocok untuk industri kecil dan menengah yang pada

    saat ini sedang digalakkan pemerintah untuk menunjang komoditi ekspor.

    Salah satu cara pengelolaan limbah yaitu dengan menggunakan kembali limbah

    hasil industri sebagai bahan baku produk baru yang memiliki nilai tambah. Salah satu

    jenis industri yang dapat berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan adalah industri

    coklat. Dalam pengolahan biji coklat, kulit biji coklat yang dipisahkan dari nibnya,

    memiliki porsi 11-13% kulit biji dari berat biji kering (Jurniati, 2013). Menurut

    pengamatan, sampai saat ini umumnya kulit biji coklat hanya digunakan sebagai

    kompos untuk pupuk tanaman, sebagai pakan ternak atau dibiarkan saja sehingga

    menyebabkan cemaran lingkungan. Menurut Sartini dkk (2007), biji kakao kaya akan

    komponen-komponen senyawa fenolik, antara lain: katekin, epikatekin, proantosianidin,

    asam fenolat, tanin dan flavonoid lainnya.

    Pada umumnya zat pewarna atau colouring matter dalam jumlah besar berupa

    tanin. Tanin mengandung gugus-gugus hidroksil yang mempunyai pasangan elektron

    bebas sehingga dimungkinkan dapat membentuk kompleks dengan logam yang

    menyediakan orbital kosong (Dalzell dan Kerven, 1998 dalam Rosyda dan Ersam,

    2010). Mahro et al. 2007 dalam Soetjipto dkk., 2012 melaporkan bahwa ekstrak biji

    coklat dapat mewarnai wool menjadi berwarna coklat.

    Pemakai pewarna alam cenderung untuk menggunakan serat alami dan serat alami

    berasal dari 2 sumber yaitu tumbuhan dan hewan. Serat tumbuhan terdiri dari kapas,

    flax atau linen, rami (serat dari Boehmeria nivea), jute (serat dai Carchorus capsularis),

    hem (serat dari Cannabis sativa) dan lain-lain. Serat tumbuhan yaitu serat kapas

    (selulosa) dengan tenunan rapat, anyaman polos, lembut dan diberi sedikit kanji disebut

    mori. Sedangkan, serat hewan terdiri dari wol (bulu domba), sutera (fibroin ulat sutera),

    mohair (bulu kambing angora), dan alpaca (bulu ilama).

  • 3

    Serat selulosa dan sutra mempunyai sifat yang hampir sama diantaranya yaitu

    sangat higroskopis sehingga memungkinkan dapat menyerap zat warna dengan baik

    (Sewan, 1978 dalam Suheryanto, 2010). Semua serat hewan berbasiskan protein dan

    komposisi penyusun serat protein yang terbesar dari serat sutera adalah fibroin (76%)

    dan serisin sebagai perekat (22%) (Noerati dkk, 2013), sehingga yang berperan penting

    dalam reaksi pewarnaan adalah fibroin. Mekanisme reaksi antara tanin dengan fibroin

    sutera adalah sebagai berikut :

    Bahan tekstil sebelum dicelup perlu dimordan/iring agar zat warna dapat berikatan

    dengan serat dengan baik (Hasanudin, 2001). Pewarnaan dengan pewarna bahan alam

    memiliki kelemahan diantaranya sifat mudah luntur, oleh karenanya diperlukan

    penguncian zat warna dengan larutan fiksatif. Fiksatif yang biasanya digunakan ada 3

    yaitu tawas, tunjung dan kapur. Dalam penelitian ini selain fiksatif tawas dan tunjung,

    digunakan pula prusi/tembaga sulfat. Prusi menjadi salah satu pilihan baru karena prusi

    termasuk dalam salah satu logam yang memiliki afinitas cukup baik dalam

    pembentukan senyawa kompleks selain logam Zn (II), Fe (III), dan Al (III) (Sungur dan

    Uzar, 2008 dalam Indah dkk., 2010). Prusi/tembaga sulfat berwarna biru spiritus,

    mudah diperoleh dan harganya pun murah.

    Penggunaan larutan fiksatif dalam proses pewarnaan kain akan membuat warna

    tidak mudah pudar (Ruwana, 2008). Oleh karena itu, perlu diketahui sejauh mana

    pengaruh fiksatif terhadap ketuaan dan ketahanan luntur warna limbah kulit coklat pada

    kain batik mori dan sutra dengan menggunakan metode pengolahan citra digital RGB

    (Red Green Blue), di mana nilai gelap terang ditentukan berdasarkan skala yang

    ditetapkan (0-1), yaitu semakin kecil nilainya (0) menandakan semakin gelap warnanya

    dan semakin besar menjadi semakin terang (1).

    Gambar 1. Reaksi Tanin dengan Fibroin Sutera

    Tanin Fibroin sutra

    N

  • 4

    Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

    1. Menentukan ketuaan warna alami ekstrak tanin kulit biji coklat yang difiksasi

    dengan fiksatif tunjung, tawas, dan prusi terhadap kain batik mori dan sutra.

    2. Menentukan ketahanan luntur warna kain mori dan sutra yang telah difiksasi

    terhadap pencucian.

    3. Menentukan ketahanan luntur warna kain mori dan sutra yang telah difiksasi

    terhadap pencucian dan penyeterikaan.

    METODE PENELITIAN

    Waktu dan Tempat

    Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Lingkungan, Program Studi Kimia,

    Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana dari bulan Juli-

    November 2013.

    Bahan

    Sampel berupa limbah kulit biji coklat diperoleh dari PT. Ceres Bandung, kain

    mori, dan kain sutra. Sedang bahan kimiawi yang digunakan adalah soda abu Na2CO3,

    tunjung FeSO4.7H2O, tawas KAl(SO4)2. 12 H2O, prusi CuSO4.5H2O, asam asetat

    CH3COOH, dan detergen biasa (bukan detergen penghilang noda). Semua bahan

    kimiawi yang digunakan adalah bahan dengan grade teknis.

    Piranti

    Piranti yang digunakan antara lain neraca analitis, panci stainless steel, kompor,

    termometer, setrika listrik, kipas angin, pemindai (scanner) HP F2235, dan program

    MatLab 65.

    Metode

    Persiapan kain (mordanting) (Kusriniati, 2007)

    Proses mordanting kain mori dilakukan dengan perendaman kain selama 12 jam

    dalam larutan detergen 2% (b/v) dilanjutkan dengan pembilasan. Setelah itu mori

    dicelup dalam larutan mendidih (campuran 8 g tawas dan 2 g soda abu/L air) selama 1

    jam, kemudian didiamkan semalam, dibilas dan dikeringanginkan. Sementara untuk

    kain sutra dilakukan dengan larutan soda abu 1 gram/l yang dipanaskan hingga suhu

    60°C. Kain sutra direndam dalam larutan dan dibolak-balik selama 5 menit. Selanjutnya

    kain diangkat dan dibilas dengan air dingin hingga bersih, kemudian dikeringanginkan

  • 5

    Ekstraksi kulit biji coklat

    Kulit biji coklat dibungkus dengan kertas saring dan direbus dalam air dengan

    perbandingan 1:40 (gr/ml) hingga volumenya menjadi setengahnya. Kemudian ekstrak

    dipekatkan lagi hingga ½ volume awal, lalu didinginkan.

    Pembuatan larutan fiksatif

    Disiapkan 3 larutan fiksatif, yaitu tunjung 2%, tawas 5% dan prusi 2,5%. Masing-

    masing fiksator dilarutkan sampai homogen, didiamkan semalam kemudian disaring

    dan diambil filtratnya.

    Pencelupan dalam larutan pewarna dan fiksatif

    Kain dicelupkan ke dalam larutan pewarna selama 10 menit, lalu dikering anginkan

    hingga setengah kering. Pencelupan diulangi hingga 5 kali kemudian dikeringkan. Kain

    yang sudah diwarnai kemudian direndam dalam larutan fiksatif selama 10 menit, lalu

    dibilas dengan air kemudian dikeringkan.

    Pengujian ketuaan warna dengan RGB (Padmasari, 2012)

    Kain yang telah direndam dalam larutan fiksatif dan dikeringkan, dipindai dengan

    scanner HP F2235. Selanjutnya data hasil pindaian diproses dengan program MatLab 65

    sehingga diperoleh data RGB.

    Pengujian ketahanan luntur terhadap pencucian (Atikasari, 2005)

    Kain hasil fiksasi dicuci sebanyak 5 kali dengan larutan detergen 1% dan dibilas

    dengan air panas (±60ºC) sebanyak 2 kali. Kain dicelup dalam larutan asam asetat

    0,014% selama 1 menit dan dibilas ulang dengan air dingin, lalu dikeringkan. Dilakukan

    pemindaian data gambar yang diperoleh diberi kode sesuai perlakuan yang diberikan

    untuk kemudian dianalisa dengan program MatLab 65.

    Pengujian terhadap penyeterikaan (Atikasari, 2007)

    Kain dilapisi kain putih diatasnya, lalu diseterika selama 10 detik. Selanjutnya

    dilakukan pemindaian dan diproses dengan program MatLab 65.

    ANALISA DATA

    Data ketuaan warna kain dianalisa dengan menggunakan RAK (Rancangan Acak

    Kelompok) dengan 3 perlakuan dan 9 kali ulangan. Sebagai perlakuan adalah 3 jenis

    fiksatif, yaitu tunjung (2%), tawas (5%), dan prusi (2,5%), sedangkan sebagai kelompok

    adalah waktu proses kain.

  • 6

    Data ketahanan luntur warna kain (pencucian dan setrika) dianalisa dengan analisa

    Dwi Ragam dengan rancangan dasar RAK, 3 perlakuan dan 9 ulangan. Data hasil

    percobaan dianalisis menggunakan analisa sidik ragam dan uji F pada taraf nyata 5%.

    Untuk menguji beda antar perlakuan dilakukan uji beda nyata jujur (BNJ) dengan

    tingkat kebermaknaan 5% (Steel dan Torrie, 1980).

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketuaan warna kain mori dengan

    pewarna limbah kulit biji coklat

    Rataan ketuaan warna (±SE) kain mori dengan pewarnaan limbah kulit biji coklat

    antar berbagai fiksatif yang diekspresikan dengan nilai RGB dan Grey berkisar antara

    0,3828 ± 0,0119 sampai dengan 0,9371 ± 0,0419 (Tabel 1).

    Tabel 1. Rataan Ketuaan Warna (±SE) Kain Mori Hasil Pewarnaan Limbah Kulit Biji

    Coklat antar Berbagai Jenis Fiksatif

    Jenis Fiksatif

    Tu 2% Pr 2,5% Tw 5%

    Red (R)

    w = 0,098

    0,5412 ± 0,011

    (a)

    0,7105 ± 0,0375

    (b)

    0,9371 ± 0,0419

    (c)

    Green (G)

    w = 0,017

    0,4679 ± 0,0116

    (a)

    0,5495 ± 0,0110

    (b)

    0,6345 ± 0,017

    (c)

    Blue (B)

    w = 0,017

    0,3828 ± 0,0119

    (a)

    0,4601 ± 0,0109

    (b)

    0,5451 ± 0,017

    (c)

    Grey (Gr)

    w = 0,042

    0,4822 ± 0,0105

    (a)

    0,5511 ± 0,0267

    (b)

    0,6503 ± 0,0253

    (c)

    Keterangan :

    *w = BNJ 5 %

    *Tu = Tunjung; Pr = Prusi; Tw= Tawas;

    *Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan ketuaan warna yang sama,

    sedangkan angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan antarperlakuan berbeda

    secara bermakna. Keterangan ini juga berlaku untuk Tabel 2-6

    Tabel 1 menunjukkan kain mori dengan ketuaan warna yang paling gelap

    berturut-turut adalah dengan fiksatif tunjung, prusi dan selanjutnya tawas. Kain mori

    hasil pewarnaan ekstrak tanin dari limbah kulit biji coklat menunjukkan hasil serupa

    dengan penelitian Padmasari (2012) yang menggunakan limbah teh hijau dengan

    penambahan fiksatif, yaitu: tunjung > kapur > tawas (Gambar 2).

  • 7

    Gambar 2. Diagram Batang Rataan Ketuaan Warna Kain Mori Hasil Pewarnaan

    Limbah Kulit Biji Coklat antar Berbagai Jenis Fiksatif Keterangan : R = Red/merah, G = Green /hijau, B = Blue/biru dan Gr = Grey/abu-

    abu. Keterangan ini berlaku juga untuk Gambar 4 – 8

    Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketuaan warna kain sutra dengan

    pewarna limbah kulit biji coklat

    Rataan ketuaan warna (±SE) kain sutra dengan pewarnaan limbah kulit biji coklat

    antar berbagai fiksatif yang diekspresikan dengan nilai RGB dan Grey berkisar antara

    0,2270 ± 0,0427 sampai dengan 1,0000 ± 0,0000 (Tabel 2).

    Tabel 2. Rataan Ketuaan Warna (±SE) Kain Sutra Hasil Pewarnaan Limbah Kulit Biji

    Coklat antar Berbagai Jenis Fiksatif

    Jenis Fiksatif

    Tu 2% Pr 2,5% Tw 5%

    Red (R)

    w = 0,013

    0,4371 ± 0,0065

    (a)

    1,0000 ± 0,0000

    (b)

    0,9955 ± 0,0020

    (b)

    Green (G)

    w = 0,021

    0,3906 ± 0,0091

    (a)

    0,4661 ± 0,0063

    (b)

    0,6089 ± 0,0121

    (c)

    Blue (B)

    w = 0,138

    0,2270 ± 0,0427

    (a)

    0,3151 ± 0,0392

    (b)

    0,4805 ± 0,0086

    (c)

    Grey (Gr)

    w = 0,103

    0,4097 ± 0,0085

    (a)

    0,5521 ± 0,0525

    (b)

    0,6450 ± 0,0105

    (b)

    Dari Tabel 2, terlihat bahwa kain sutra dengan fiksatif tunjung mempunyai ketuaan

    warna paling gelap untuk semua rona (red, green, blue, dan grey), sedangkan prusi dan

    tawas memiliki ketuaan warna yang sama untuk rona red dan grey, sebaliknya berbeda

    (lebih terang) pada tawas untuk rona green dan blue (Gambar 3).

  • 8

    Gambar 3. Diagram Batang Rataan Ketuaan Warna Kain Sutra Hasil Pewarnaan

    Ekstrak Limbah Kulit Biji Coklat antar Berbagai Jenis Fiksatif

    Gambar 3 menunjukkan pewarna lebih mudah terserap dalam kain sutra sehingga

    rona red dan grey yang dihasilkan lebih gelap dari pada dengan kain mori untuk fiksatif

    tawas. hal ini disebabkan bahan sutra pada umumnya memiliki afinitas paling bagus

    terhadap zat warna alam dibandingkan dengan bahan kapas (kain mori). Adanya ikatan

    antara zat warna dan fibroin (kain sutra) akan membentuk ikatan kovalen sehingga lebih

    tahan luntur (Fitrihana, 2011).

    Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketahanan luntur warna kain mori

    dengan pewarna limbah kulit biji coklat terhadap pencucian

    Rataan ketahanan luntur warna (±SE) kain mori dengan pewarnaan limbah kulit biji

    coklat antar berbagai fiksatif terhadap pencucian diekspresikan dengan nilai RGB dan

    Grey berkisar antara 0,4140 ± 0,0129 sampai dengan 0,7850 ± 0,0155 (Tabel 3).

    Tabel 3. Rataan Ketahanan Luntur Warna (±SE) Kain Mori Hasil Pewarnaan Limbah

    Kulit Biji Coklat antar Berbagai Jenis Fiksatif Terhadap Pencucian

    Jenis Fiksatif

    Tu 2% Pr 2,5% Tw 5%

    Red (R)

    w = 0,0498

    0,5939 ± 0,0085

    (a)

    0,6744 ± 0,0065

    (b)

    0,7850 ± 0,0155

    (c)

    Green (G)

    w = 0,1158

    0,4854 ± 0,0093

    (a)

    0,5509 ± 0,0118

    (ab)

    0,6211 ± 0,0182

    (b)

    Blue (B)

    w = 0,0803

    0,4140 ± 0,0129

    (a)

    0,4923 ± 0,0131

    (b)

    0,5599 ± 0,0183

    (b)

    Grey (Gr)

    w = 0,0574

    0,5100 ± 0,0103

    (a)

    0,5800 ± 0,0102

    (b)

    0,6661 ± 0,0187

    (c)

  • 9

    Dari Tabel 3 terlihat bahwa fiksatif tunjung tidak mengalami kelunturan terhadap

    pencucian untuk semua rona pada kain mori, sedangkan pada prusi semua rona

    mengalami kelunturan dan tawas paling luntur untuk rona merah dan abu-abu.

    (Gambar 4).

    Gambar 4. Diagram Batang Rataan Ketahanan Luntur Warna Kain Mori Hasil

    Pewarnaan Ekstrak Limbah Kulit Biji Coklat antar Berbagai Jenis

    Fiksatif Terhadap Pencucian

    Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketahanan luntur warna kain sutra

    dengan pewarna limbah kulit biji coklat terhadap pencucian

    Rataan ketahanan luntur warna (±SE) kain sutra dengan pewarnaan limbah kulit biji

    coklat antar berbagai fiksatif terhadap pencucian diekspresikan dengan nilai RGB dan

    Grey berkisar antara 0,2053 ± 0,0065 sampai dengan 0,9000 ± 0,0068 (Tabel 4).

    Tabel 4. Rataan Ketahanan Luntur Warna (±SE) Kain Sutra Hasil Pewarnaan Limbah

    Kulit Biji Coklat antar Berbagai Jenis Fiksatif Terhadap Pencucian

    Jenis Fiksatif

    Tu 2% Pr 2,5% Tw 5%

    Red (R)

    w = 0,648

    0,4730 ± 0,0134

    (a)

    0,7101 ± 0,0057

    (b)

    0,9000 ± 0,0068

    (b)

    Green (G)

    w = 0,1058

    0,3021 ± 0,0046

    (a)

    0,3644 ± 0,0049

    (a)

    0,5017 ± 0,0091

    (b)

    Blue (B)

    w = 0,033

    0,2053 ± 0,0065

    (a)

    0,2613 ± 0,0066

    (b)

    0,4415 ± 0,0069

    (c)

    Grey (Gr)

    w = 0,037

    0,2997 ± 0,0045

    (a)

    0,4006 ± 0,0054

    (b)

    0,5820 ± 0,0079

    (c)

    Tabel 4 menunjukkan warna kain sutra dengan fiksatif tunjung tidak mengalami

    kelunturan untuk semua rona. Sementara kain sutra dengan fiksatif prusi mengalami

  • 10

    kelunturan pada rona red, blue dan grey, dan kain sutra dengan fiksatif tawas paling

    luntur untuk rona blue dan grey (Gambar 5).

    Gambar 5. Diagram Batang Rataan Ketahanan Luntur Warna Kain Sutra Hasil

    Pewarnaan Ekstrak Limbah Kulit Biji Coklat antar Berbagai Jenis

    Fiksatif Terhadap Pencucian

    Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketahanan luntur warna kain mori

    dengan pewarna limbah kulit biji coklat terhadap pencucian dan penyeterikaan

    Rataan ketahanan luntur warna (±SE) kain mori dengan pewarnaan limbah kulit biji

    coklat antar berbagai fiksatif terhadap pencucian dan penyeterikaan diekspresikan

    dengan nilai RGB dan Grey berkisar antara 0,4443 ± 0,0139 sampai dengan 0,6975 ±

    0,0145 (Tabel 5).

    Tabel 5. Rataan Ketahanan Luntur Warna (±SE) Kain Mori Hasil Pewarnaan Limbah

    Kulit Biji Coklat antar Berbagai Jenis Fiksatif Terhadap Pencucian dan

    Penyeterikaan

    Jenis Fiksatif

    Tu 2% Pr 2,5% Tw 5%

    Red (R)

    w = 0,0618

    0,6525 ± 0,0092

    (ab)

    0,6291 ± 0,0082

    (a)

    0,6975 ± 0,0145

    (b)

    Green (G)

    w = 0,0643

    0,5132 ± 0,0099

    (a)

    0,5135 ± 0,0118

    (a)

    0,5763 ± 0,0207

    (a)

    Blue (B)

    w = 0,067

    0,4720 ± 0,0127

    (a)

    0,4443 ± 0,0139

    (a)

    0,4721 ± 0,0202

    (a)

    Grey (Gr)

    w = 0,0411

    0,5700 ± 0,0105

    (a)

    0,5460 ± 0,0113

    (a)

    0,5760 ± 0,0195

    (a)

    Dari Tabel 5 terlihat bahwa warna kain mori dalam fiksatif prusi tidak mengalami

    kelunturan terhadap pencucian dan panas penyeterikaan untuk semua rona, sedangkan

  • 11

    fiksatif tunjung dan tawas mengalami kelunturan untuk rona merah (Gambar 6). Hal ini

    dikarenakan kain mori tahan terhadap suhu tinggi dan merupakan kain tahan panas setrika

    (Khayati (1997) dalam Padmasari, 2012).

    Gambar 6. Diagram Batang Rataan Ketahanan Luntur Warna Kain Mori Hasil

    Pewarnaan Ekstrak Limbah Kulit Biji Coklat antar Berbagai Jenis

    Fiksatif Terhadap Pencucian dan Penyeterikaan

    Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketahanan luntur warna kain sutra

    dengan pewarna limbah kulit biji coklat terhadap pencucian dan penyeterikaan

    Rataan ketahanan luntur warna (±SE) kain sutra dengan pewarnaan limbah kulit biji

    coklat antar berbagai fiksatif terhadap pencucian disertai penyeterikaan diekspresikan

    dengan nilai RGB dan Grey berkisar antara 0,2456 ± 0,0038 sampai dengan 0,6349 ±

    0,0095 (Tabel 6).

    Tabel 6. Rataan Ketahanan Luntur Warna (±SE) Kain Sutra Hasil Pewarnaan Limbah

    Kulit Biji Coklat antar Berbagai Jenis Fiksatif Terhadap Pencucian dan

    Penyeterikaan

    Jenis Fiksatif

    Tu 2% Pr 2,5% Tw 5%

    Red (R)

    w = 0,2734

    0,4417 ± 0,0096

    (a)

    0,5341 ± 0,0206

    (a)

    0,6349 ± 0,0095

    (a)

    Green (G)

    w = 0,0999

    0,3615 ± 0,0053

    (a)

    0,3482 ± 0,0060

    (a)

    0,3867 ± 0,0108

    (a)

    Blue (B)

    w = 0,055

    0,2456 ± 0,0038

    (a)

    0,2535 ± 0,0061

    (a)

    0,3395 ± 0,0079

    (b)

    Grey (Gr)

    w = 0,1121

    0,4062 ± 0,0061

    (a)

    0,3803 ± 0,0066

    (a)

    0,4166 ± 0,0098

    (a)

  • 12

    Tabel 6 menunjukkan kain sutra dalam berbagai fiksatif tidak mengalami

    kelunturan terhadap pencucian dan penyeterikaan untuk semua rona kecuali rona blue

    untuk fiksatif tawas (Gambar 7). Ramainas (1989), dalam Derisa (2012), menyatakan

    selain sifat afinitas, kain sutra dapat menyesuaikan diri terhadap suhu.

    Gambar 7. Diagram Batang Rataan Ketahanan Luntur Warna Kain Sutra Hasil

    Pewarnaan Ekstrak Limbah Kulit Biji Coklat antar Berbagai Jenis

    Fiksatif Terhadap Pencucian dan Penyeterikaan

    Ketahanan luntur warna kain mori maupun sutra terhadap pencucian maupun

    pencucian dan penyeterikaan tidak lepas dari peran fiksatif. Penggunaan larutan fiksatif

    dalam proses pewarnaan kain akan membuat warna tidak mudah pudar (Ruwana, 2008).

    Dalam penelitian ini, telah dilakukan pengukuran panjang gelombang maksimum

    masing-masing fiksatif, serta fiksatif yang diberi ekstrak tanin untuk menentukan

    pengaruhnya terhadap intensitas serapan UV-cahaya tampak dengan spektrofotometri

    UV-VIS (Tabel 7).

    Tabel 7. Data Panjang Gelombang Maksimum Serapan UV-Cahaya Tampak

    Ekstrak Tanin dengan Penambahan Berbagai Fiksatif

    Panjang Gelombang (nm)

    Ekstrak (E)

    Tawas (Tw)

    E + Tw Prusi (Pr)

    E + Pr Tunjung

    (Tu) E + Tu

    370 1,8182 0,1117 1,3307 0,0109 0,8286 1,8861 1,9957 385 1,5735 0,1120 1,1124 0,0146 0,6238 2,2007 2,3188 400 1,2976 0,1089 0,9333 0,0135 0,4605 1,4622 2,4685 600 0,3099 0,0918 0,2513 0,0933 0,1242 0,0345 0,2946

    Tabel 7 menunjukkan fiksatif tunjung dengan penambahan ekstrak tanin

    mengalami kenaikan panjang gelombang maksimum (dari 385-400 nm), sementara

    fiksatif prusi mengalami penurunan panjang gelombang maksimum (600-370 nm), dan

    fiksatif tawas tidak mengalami perubahan panjang gelombang maksimum. Menurut

  • 13

    Cairns (2008), panjang gelombang maksimum dapat berubah ketika suatu senyawa

    mengalami ionisasi (Gambar 8).

    Gambar 8. Serapan UV- Cahaya Tampak Ekstrak Tanin dengan Penambahan

    Berbagai Fiksatif

    Gambar 8 menunjukkan terjadinya pergeseran serapan dan kenaikan intensitas

    serapan (efek hiperkromik). Pada penambahan fiksatif tunjung pada ekstrak tanin

    terlihat adanya pergeseran panjang gelombang maksimum menuju panjang gelombang

    yang lebih panjang (geseran merah/batokromik).

    Geseran ini biasanya terjadi karena kerja auksokrom yaitu gugus fungsi yang

    menempel pada kromofor (bagian molekul yang bertanggung jawab terhadap

    penyerapan cahaya) yang tidak menyerap energi cahayanya sendiri tetapi

    mempengaruhi panjang gelombang cahaya yang diserap kromofor. Contoh auksokrom

    di antaranya adalah gugus -NH2, -OH, -SH. Gugus-gugus fungsi ini mempunyai

    pasangan elektron bebas (non-bonded electron) yang dapat berinteraksi dengan

    elektron π pada kromofor dan memungkinkan terjadinya penyerapan cahaya yang

    memiliki panjang gelombang yang lebih panjang (Cairns, 2008).

    Hasil berbeda dijumpai pada penambahan fiksatif tawas dalam ekstrak tanin

    dimana terjadi kenaikan intensitas serapan tanpa adanya geseran panjang gelombang

    maksimum. Dalam hal ini dapat diduga tidak adanya kerja auksokrom. Kenaikan

    intensitas serapan dipengaruhi oleh intensitas serapan ekstrak tanin tinggi. Selanjutnya

    pada penambahan fiksatif prusi dalam ekstrak tanin, intensitas serapan mengalami

    kenaikan disertai pergeseran panjang gelombang maksimum menuju panjang

    gelombang yang lebih pendek atau geseran biru (efek hipsokromik). Geseran biru

    biasanya terjadi jika senyawa dengan ausokrom basa terion, dan pasangan elektron

  • 14

    bebas tidak lagi dapat berinteraksi dengan elektron-elektron kromofor. Kenaikan

    intensitas serapan menunjukkan kenaikan terhadap fotosensitivitas. Semakin kuat

    fotosensitivitas maka semakin gelap warna yang dihasilkan, sebaliknya semakin rendah

    fotosensitivitas maka semakin cerah warna yang dihasilkan (Kombado, 2013).

    Tanin mengandung gugus-gugus fenol, sehingga memiliki banyak pasangan

    elektron bebas yang dapat berikatan membentuk senyawa kompleks dengan logam

    seperti Fe(III), Cu (II), dan logam-logam transisi lainnya. Jika dilihat gugus OH-

    termasuk dalam ligan medan lemah dan Fe (III) memiliki bilangan koordinasi 6

    sehingga menghasilkan ion kompleks [Fe(OH)6]3-

    dengan spin tinggi akibatnya

    elektron-elektron akan mengisi kelima orbital d tanpa berpasangan terlebih dahulu. Ion

    logam Cu(II) mempunyai elektron terluar lebih banyak dari Fe(III), sehingga orbital

    kosong yang disediakan ion logam Fe(III) lebih banyak, akibatnya pasangan elektron

    bebas dari gugus OH pada tanin akan lebih mudah terikat. Rosyda dan Ersam (2010)

    menyatakan, ion logam yang paling banyak terkompleks dengan senyawa tanin adalah

    Fe(III) > Cu(II) > Zn(II).

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Kesimpulan

    1. Kain mori dengan fiksatif tunjung menunjukkan warna yang paling gelap diikuti

    fiksatif prusi dan tawas. Sementara kain sutra dengan fiksatif tunjung

    menunjukkan ketuaan warna yang paling gelap untuk semua rona, sedangkan

    fiksatif prusi dan tawas memiliki ketuaan warna yang sama untuk rona merah dan

    abu-abu, namun lebih terang pada tawas untuk rona hijau dan biru.

    2. Kain mori dan sutra dengan fiksatif tunjung tidak mengalami kelunturan terhadap

    pencucian untuk semua rona. Kain Mori pada fiksatif prusi mengalami kelunturan

    untuk semua rona, namun pada kain sutra rona hijau tidak luntur. Fiksatif tawas

    pada mori mengalami kelunturan pada rona merah dan abu-abu, sedangkan pada

    sutra luntur pada rona biru dan abu-abu.

    3. Kain mori dengan fiksatif prusi tidak mengalami kelunturan terhadap pencucian

    dan panas penyeterikaan untuk semua rona, sebaliknya fiksatif tunjung dan tawas

    mengalami kelunturan untuk rona merah. Sedangkan kain sutra hanya mengalami

    kelunturan untuk rona biru dengan fiksatif tawas.

  • 15

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Terimakasih kepada segenap dosen, laboran dan staff Fakultas Sains dan

    Matematika, teristimewa kedua pembimbing untuk setiap bantuan dan perhatian yang

    diterima penulis. Ibunda dan adikku terkasih untuk doa dan kasih sayangnya, teman

    seperjuangan Maria, juga Stevan untuk bantuannya, dan semua pihak yang telah

    membantu penulis menyelesaikan penelitian ini, yang terakhir namun tidak akan

    terlupa, untuk Steven Santosa, terima kasih atas kesetiannya dan semangat yang

    ditularkan kepada penulis.

    DAFTAR PUSTAKA

    Atikasari, A., 2005. Kualitas Tahan Luntur Warna Batik Cap Di Griya Baik Larissa

    Pekalongan. Semarang : Universitas Negeri Semarang

    Bogoriani, N.W., 2010. Ekstraksi Zat Warna Alami Campuran Biji Pinang, Daun Sirih,

    Gambir dan Pengaruh Penambahan KMnO4 terhadap Pewarnaan Kayu Jenis

    Albasia. Jurnal Kimia 4(2) 125-134 ISSN 1907-9850. Bukit Jimbaran : Jurusan

    Kimia FMIPA Universitas Udayana

    Cairns, Donald., 2008. Intisari Kimia Farmacy, Ed. 2. Jakarta : Penerbit Buku

    Kedokteran EGC Derisa, 2012. Pengaruh Garam Terhadap Hasil Pencelupan Bahan Sutra. Skripsi. Padang:

    Universitas Negeri Padang.

    Fessenden R. J. dan J. S. Fessenden. 1982. Kimia Organik Edisi Ketiga Jilid 1.

    Terjemahan Aloysius Handyana Pudjatmaka. Jakarta : Erlangga Fitrihana, N., 2011. Teknik Eksplorasi Zat Pewarna Alam dari Tanaman di Sekitar Kita

    Untuk Pencelupan Bahan Tekstil. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri

    Yogyakarta. Hamid, Tilani., D. Muhlis, 2005. Perubahan Sifat Fisika dan Kimia Kain Sutera Akibat

    Pewarna Alami Kulit Akar Pohon Mengkudu (Morinda citrifolia). Jurnal

    Teknologi : Edisi No. 2. Tahun XIX, 163-170 ISSN 0215-1685. Jakarta : Program

    Studi Teknik Kimia, Departemen Teknik Gas dan Petrokimia Fakultas Teknik

    Universitas Indonesia

    Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis

    Tumbuhan. Bandung : Institut Teknologi Bandung

    Hasanudin, 2001. Penelitian Penerapan Zat Warna Alam Dan Kombinasinya Pada

    Produk Batik Dan Tekstil Kerajinan (Contoh-contoh Warna). Yogyakarta : Balai

    Besar Litbang Industri Kerajinan dan Batik

    Indah, U. R., I. Kris Murwani, dan D. Presetyoko, 2009/2010. Optimalisasi Ekstraksi

    Zat Warna pada Kayu Intsia bijuga dengan Metode Pelarutan. Prosiding Tugas

    Akhir semester Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

    Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember

    Jurniati, 2013. Pola Sebaran Karakteristik Fisik Biji Kakao ( Theobroma Cacao L.)

    Berdasarkan Posisi Buah Pada Pohon. Makasar : Universitas Hasanudin

    Kombado, A. R., 2013. Limbah Kerabang Telur Puyuh (Cortunix cortunix japonica)

    sebagai Pewarna Alami Kain Batik. (Pengaruh Jenis Fiksatif terhadap Ketuaan

  • 16

    dan Ketahanan Luntur Ditelaah dengan Metode Pengolahan Citra Digital RGB).

    Skripsi. Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana

    Kusriniati, D., 2007. Pemanfaatan Daun Sengon (Albizia falcataria) sebagai Pewarna

    Kain Sutera menggunakan Mordan Tawas dengan Konsentrasi yang Berbeda pada

    Busana Camisol. Semarang : Universitas Negeri Semarang

    Noerati, Gunawan, M. Iwan dan Atin S., 2013. Bahan Ajar Pendidikan dan latihan

    Profesi Guru (PLPG): Teknologi Tekstil Sekolah Tinggi. Teknologi Tekstil Padmasari, A. Kumala., 2012. Limbah Teh Hijau sebagai Pewarna Alami Batik Tulis

    (Pengaruh Jenis Fiksatif terhadap Ketuaan dan Ketahanan Luntur Ditelaah dengan

    Metode Pengolahan Citra Digital RGB). Skripsi. Salatiga : Universitas Kristen

    Satya Wacana

    Periskiana, R., 2011. Limbah Gergaji Kayu Suren (Toona sureni Merr.) Sebagai

    Pewarna Alami Batik Tulis (Pengaruh Jenis Fiksatif Terhadap Ketuaan Dan

    Ketahanan Luntur Ditelaah Dengan Metode Pengolahan Citra Digital RGB).

    Skripsi. Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana

    Rosyda, A. Ika, dan T. Ersam, 2010. Peningkatan Kualitas Kayu (Instia bijuga) :

    Kompleksasi Logam Cu(II), Fe(III) Dan Zn(II) Oleh Senyawa Tanin. Surabaya :

    Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut

    Teknologi Sepuluh Nopember

    Ruwana, Iftitah, 2008. Pengaruh Fiksasi Terhadap Ketahanan Luntur Warna pada

    Proses Pencelupan Kain Kapas dengan Menggunakan Zat Warna dari Limbah

    Kayu Jati. Teknologi dan Kejuruan. Vol. 31, No.1

    Sa’adah, Lailis, 2010. Isolasi dan identifikasi Senyawa Tanin dari Daun Belimbing

    (Averrhoa bilimbi L.). Malang : Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam

    Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim

    Sartini., M. Natsir Djide., Gemini Alam., 2007. Ekstraksi Komponen Bioaktif ari

    Limbah Kulit Buah Kakao dan Pengaruhnya terhadap Aktivitas Antioksidan dan

    Antimikroba. Makasar : Universitas Hasanuddin

    Soetjipto, H., A. Ign. Kristijanto, dan Y. Martono, 2012. Pemanfaatan Limbah Kulit Biji

    Kakao Sebagai Sumber Pewarna Alami Batik. Laporan Penelitian. Salatiga :

    Progdi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana

    Steel, R.G.D. and J.H.Torie, 1981. Principle and Procedures of Statistic A Biometrical

    Approach, 2nd

    ed. Mc Graw-Hill International. Book Co, Kugakusha, Japan

    Suheryanto, Dwi., 2010. Optimalisasi Celupan Ekstrak Daun Mangga pada Kain Batik

    Katun dengan Iring Kapur. Balai Besar Kerajinan Batik

    Sutara, P. K., 2009. Jenis Tumbuhan sebagai Pewarna pada Beberapa Perusahaan Tenun

    di Gianyar. Jurnal Bumi Lestari, Volume 9 No. 2 hlm. 217 – 223.