TESIS PENCALONAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH ... · Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2012...
Transcript of TESIS PENCALONAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH ... · Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2012...
TESIS
PENCALONAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALADAERAH PADA KPU PROVINSI MALUKU SEBAGAI
IMPLIKASI PELAKSANAAN PUTUSAN PTUN AMBONNomor: 05/G/2013/PTUN.ABN
BARBALINA MATULESSYNOMOR MAHASISWA 135 20 1986/PS/MIH
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUMPROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA2014
1
Abstract
This study aimed to examine and analyze the nomination process of ViceGovernor and Deputy Governor on the General Election Commission (KPU) ofMaluku Province as the implication of the decision of the Administrative Court ofAmbon Number: 05/G/2013/PTUN.ABN. The findings of the study proved that:(1) The Court Administrative Decision of Ambon Number:05/G/2013/PTUN.ABN regarding to a lawsuit against the Decree of MalukuProvincial Election Commission in 2013 Number: 16/Kpts/KPU-028-PROV/IV/2013 on the Determination of Eligible Pairs of Candidates for theGeneral Election of Governor and Deputy Governor of Maluku Province in 2013experienced uncertainty due to the Administrative officials noncompliance(Maluku Provincial Election Commission) against the decision of theAdministrative Court which has been inkracht or had permanent legal enforce.The disobedience officer of the Administrative against the delecion of theAdministrative Court was indicated by the ongoing election process until theinauguration of the elected Governor and Deputy Governor. (2) The complianceof the Administrative officials (Maluku Provincial Election Commission) tendedto be to another judicial institution, the Constitutional Court, without thejurisdiction to try the matter and the object of dispute. (3) The legal consequencefrom the cancellation of the Decree of Provincial and Regency/City ElectionCommision on the determination of candidates who fulfilled the administrativerequirements had been null and void. The cancellation of the administration itselfcancelled all the selection process up to the inauguration.
Keywords: The decision of the Administrative Court (PTUN) of Ambon Number:05/G/2013/PTUN.ABN, the election system of Governor and viceGovernor, the Administrative officials disobedience.
I. Pendahuluan
Salah satu wujud dan mekanisme demokrasi di daerah adalah pelaksanaan
Pemilihan Umum Kepala Daerah (pilkada) secara langsung. Pilkada dapat
dikatakan sebagai suatu sarana manifestasi kedaulatan dan pengukuhan bahwa
pemilih adalah masyarakat di daerah. Pilkada juga memiliki tiga fungsi penting
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah (Mahfud, 2012:85) yaitu :
Pertama, memilih Kepala Daerah sesuai dengan kehendak bersama
masyarakat di daerah. Kedua, melalui pilkada diharapkan pada misi, visi,
program serta kualitas dan integritas calon Kepala Daerah, yang sangat
menentukan keberhasilan di daerah. Ketiga, pilkada merupakan sarana
2
pertanggungjawaban sekaligus sarana evaluasi dan kontrol publik secara
politik terhadap seorang Kepala Daerah dan kekuatan politik yang
menopang).
Ketentuan tentang pilkada secara langsung diatur dalam Pasal 18 ayat (4)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Negara Republik Indonesia amandemen
kedua yang menyatakan bahwa : Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing
sebagai Kepala Daerah pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota
dipilih secara demokratis. Kata “demokratis” merupakan refleksi dari dua
pandangan yang ada saat pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar Tahun
1945 Negara Republik Indonesia hasil amandemen kedua, yaitu yang
mengusulkan pemilihan dilakukan secara langsung oleh rakyat dan yang masih
menghendaki pemilihan dilakukan oleh DPRD. Pasal 22E ayat (5) Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa
Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU)
yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Rumusan itu berarti bahwa KPU
sebagai penyelenggara pemilu mencakup seluruh wilayah negara kesatuan
Republik Indonesia, yang menjalankan tugasnya secara berkesinambungan dan
bebas dari pengaruh pihak manapun, disertai dengan transparansi dan
pertanggungjawaban yang jelas sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 22E ayat (6) perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Negara
Republik Indonesia memberikan ketentuan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang
pemilihan umum diatur dengan Undang-Undang.
Sesuai dengan kewenangan KPU Provinsi sebagai penyelenggara Pilkada,
maka proses dan mekanisme pencalonanpun idealnya harus sesuai dengan
peraturan yang dikeluarkan KPU Provinsi. Tetapi pada kenyataannya dalam
proses dan mekanisme penetapan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Provinsi Maluku Tahun 2013 dinilai keliru, cacat prosedur, dan bertentangan
dengan peraturan yang berlaku antara lain :
a. Bahwa berdasarkan Keputusan KPU Provinsi Maluku Nomor :
08/Kpts/KPU/Tahun 2013 tentang Jumlah Provinsi dan Kabupaten/Kota,
3
serta jumlah kursi DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, penduduk
Provinsi Maluku berjumlah 1.866.248;
b. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis
Pencalonan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mengatur
tentang bakal pasangan calon perseorangan, pasangan calon Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah dapat mendaftarkan diri dengan
persyaratan dukungan “Provinsi Maluku dengan jumlah penduduk sampai
dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung paling rendah 6,5 %
(enam koma lima persen);
c. Bahwa selanjutnya Pasal 10 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Pemilu Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah menentukan bahwa :
(2) Jumlah dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
tersebar di lebih dari 50 % (lima puluh persen) jumlah
Kabupaten/Kota di Provinsi yang bersangkutan.
d. Bahwa KPU Provinsi Maluku dalam melakukan pengumuman pendaftaran
bakal calon perseorangan melalui media cetak dan/atau media elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 9
Tahun 2012, tidak mencantumkan Keputusan KPU Provinsi Maluku
tentang syarat jumlah dukungan dan sebaran minimal yang harus dipenuhi
oleh bakal pasangan calon perseorangan sehingga sangat bertentang
dengan Pasal 28 ayat (2) huruf a Peraturan Komisi Pemilihan Umum;
e. Bahwa KPU Provinsi Maluku juga telah salah melakukan perhitungan
jumlah dukungan bagi bakal calon perseorangan pada pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Maluku tahun 2013, quoud non
Provinsi Maluku yang memiliki jumlah penduduk 1.866.248, maka
berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a Peraturan KPU Nomor 9
Tahun 2012 harus didukung paling rendah 6,5 % (enam koma lima
persen), sementara data yang digunakan adalah DAK (data agregat
kependudukan) yang dikeluarkan oleh KPU Provinsi. Seharusnya KPU
4
Provinsi, menerbitkan keputusan untuk menentukan jumlah dukungan dan
jumlah sebaran minimal yang harus dipenuhi oleh bakal pasangan calon,
dan berpatokan pada syarat untuk memberikan dukungan sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 13 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Peraturan KPU
Nomor 9 Tahun 2012.
Mekanisme dan prosedur yang ditentukan di KPU Provinsi Maluku diatas,
kemudian menerbitkan sebuah surat Keputusan KPU Provinsi Maluku Nomor:
16/Kpts/KPU-PROV-028/IV/2013 tertanggal 24 April 2013 tentang Penetapan
Pasangan Calon yang Memenuhi Syarat Sebagai Peserta Pemilihan Umum
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Maluku Tahun 2013.
SK KPU Provinsi Maluku, selanjutnya digugat oleh William B. Noya dan
DR. Adam Latuconsina, M.Si yakni pasangan calon perseorangan pada PTUN
Ambon karena merasa dirugikan dengan dikeluarkannya SK tersebut. Putusan
Pengadilan TUN Ambon yang telah memiliki kekuatan hukum tetap atau inkracht
tersebut kemudian tidak ditaaati atau tidak dilaksanakan oleh KPU Provinsi
Maluku sebagai pihak tergugat dalam perkara ini. KPU Provinsi Maluku justru
tetap melaksanakan proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
tanpa menghiraukan adanya putusan tersebut.
Berdasarkan latar belakang masalah tentang Pencalonan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah pada KPU Provinsi Maluku sebagai implikasi
pelaksanaan Putusan PTUN Ambon Nomor: 05/G/2013/PTUN.ABN sebagaimana
telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
Bagaimana pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada KPU
Provinsi Maluku sebagai implikasi pelaksanaan Putusan PTUN Ambon
Nomor: 05/G/2013/PTUN.ABN ?
II. Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif berfokus pada norma hukum positif
berupa peraturan perundang-undangan. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis
5
dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada KPU Provinsi Maluku
sebagai implikasi pelaksanaan putusan PTUN Ambon Nomor:
05/G/2013/PTUN.ABN.
b. Pendekatan Penelitian
Pendekatan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan metode pendekatan politik hukum. Dimana politik hukum adalah
legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan
baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan pergantian hukum lama,
dalam rangka mencapai tujuan negara (Mahfud MD, 2009:1). Pendekatan politik
hukum digunakan untuk mengkaji proses pencalonan pemilihan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah pada Provinsi Maluku, sebagai implikasi dari adanya
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Ambon Nomor : 05/G/2013/PTUN.ABN.
c. Sumber Data
Sumber data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah
data sekunder, yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
a) Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoratif,
yang artinya bahan hukum yang memiliki otoritas (Peter M Marzuki,
2005:141). Bahan hukum primer yang digunakan berupa UUD 1945,
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah,
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
dan Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis
Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Selain menggunakan Undang-undang dan Peraturan KPU, dalam penelitian
ini juga menggunakan putusan hakim yaitu putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Ambon Nomor: 05/G/2013/PTUN.ABN.
b) Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-
dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, jurnal-
6
jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter
Mahmud Marzuki, 2005: 181).
d. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu
melalui studi pustaka dan studi dokumen. Dimana dalam pengumpulan datanya
dengan cara menemukan bahan hukum primer yang berupa perundang-
undangan, putusan hakim dan bahan hukum sekunder yang berupa semua
publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi,
yang diperoleh mengenai kepustakaan dan hasil wawancara narasumber,
kemudian mengidentifikasi data sekunder yang diperlukan, yaitu mengenai
pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada KPU Provinsi
Maluku sebagai implikasi pelaksanaan putusan PTUN Ambon Nomor:
05/G/2013/PTUN.ABN.
e. Analisis Hukum
Metode yang digunakan untuk menganlisis data adalah metode
kualitatif yaitu dengan menerapkan lima tugas ilmu hukum dogmatik yang
meliputi deskripsi hukum positif, sistimatisasi hukum positif, analisis hukum
positif, interpretasi hukum positif, dan menilai hukum positif (Bruggink,
1999:168). Dalam penelitian hukum normatif ini dilakukan analisis terhadap
data sekunder terhadap :
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan terkait
pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada KPU Provinsi
Maluku sebagai implikasi pelaksanaan putusan PTUN Ambon Nomor:
03/G/2013/PTUN.ABN dideskripsikan terkait isi dan strukturnya. Setelah
itu penulis kemudian di inventarisasi dan di klasifikasi berdasarkan bahan
studi dokumen atau disesuaikan dengan permasalahan yang dibahas.
Bahan yang diperoleh kemudian dipaparkan, disistemasikan, kemudian
dianalisis untuk selanjutnya diinterpretasi sesuai dengan hukum yang
berlaku.
7
Interpretasi hukum positif berdasarkan model pendekatan yang
digunakan maka penelitian ini akan menggunakan interpretasi gramatikal
yaitu melakukan intrepretasi terhadap hukum berdasarkan bahasa yang
sering digunakan dan bahasa hukum, selanjutnya penelitian ini juga
menggunakan interpretasi sistimis yaitu bertitik tolak pada suatu
perundang-undangan tertentu sehingga mengartikan suatu penalaran
hukum atau penalaran perundang-undangan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa pendapat para
sarjana hukum dan ilmuwan yang diperoleh dari buku, jurnal/makalah, dan
wawancara narasumber. Bahan hukum sekunder dideskripsikan yang
terkait dengan konsepsi pencalonan Kepala Daerah pada KPU Provinsi
Maluku dan pelaksanaan putusan PTUN oleh pejabat publik. Persamaan
dan perbedaan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
dibandingkan supaya memperoleh kesesuaian dan/atau kesenjangan yang
terdapat di antara keduanya.
III.Pembahasan
R. Subekti berpendapat bahwa Pengadilan merupakan suatu badan
peradilan yang memiliki tugas dan kewenangan untuk memeriksa dan memutus
semua sengketa-sengketa hukum dan pelanggaran-pelanggaran hukum atau
Undang-Undang (Puslitbang Hukum dan Peradilan MA RI 2010: 24). Bahwa
dalam sebuah proses peradilan yang dilakukan menghasilkan putusan pengadilan
atau putusan hakim. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara
mengartikan Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan
fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di
daerah. Hal ini berarti bahwa Peradilan Tata Usaha Negara adalah pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang mencari sebuah keadilan terhadap
sengketa Tata Usaha Negara.
Pola hubungan antar pejabat administrasi negara dengan rakyat dengan
sendiri berdasar atas hukum yang kemudian wujud hubungannya hukum dijadikan
landasan utamanya. Peradilan Tata Usaha Negara merupakan pilar utama dalam
8
penegakan hukum dan sebagai sarana kontrol atas penguasa agar tetap berpijak
pada satu tujuan yaitu menciptakan kesejahteraan warga negara. Keberadaan dari
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan refleksi dari adanya paham Negara
hukum, yang mengharuskan adanya suatu peradilan administrasi dalam rangka
memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan yang kemudian merasa
bahwa dirinya dirugikan akibat timbulnya atau adanya suatu surat Keputusan Tata
Usaha Negara atau sering kita kenal dengan sebutan KTUN.
Hubungan antara masyarakat yang mencari keadilan ini juga, perlu
disadari bahwa disamping hak-hak masyarakat ada juga hak-hak individu atau
perseorangan tertentu. Hak masyarakat didasarkan pada kepentingan bersama dari
individu atau perseorangan tersebut, yang terkadang memiliki kepentingan-
kepentingan yang tidak selalu sejalan bahkan kadang saling berbenturan. Untuk
dapat menyelesaikan dan menangani benturan-benturan tersebut, maka hukum
kemudian dipandang sebagai jalan yang terbaik dan sesuai dengan prinsip dari
falsafah negara. Berdasarkan pemahaman tersebut maka hakekat dari hak dan
kewajiban masyarakat harus diletakan serasi, seimbang dan selaras antara
kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat. Hal ini kemudian
menggambarkan dengan jelas bahwa, lahirnya Peradilan Tata Usaha Negara
bukan hanya berdasarkan pada pemberian perlindungan pada perseorangan, tetapi
kemudian memberikan perlindungan bagi hak-hak dari masyarakat pada
umumnya.
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa negara hukum di Indonesia
tidak dapat dengan begitu saja dipersamakan dengan rechtsstaat maupun rule of
law dengan alasan sebagai berikut (Philipus M. Hadjon 1987 : 84-85) ;
(1) baik konsep rechtsstaat maupun rule of law dari latar belakangsejarahnya lahir dari suatu usaha atau perjuangan menentangkesewenangan penguasa, sedangkan Negara Republik Indonesiasejak perencanaan berdirinya jelas-jelas menentang segala bentukkesewenangan atau absolutisme;
(2) baik konsep rechtsstaat maupun rule of law menempatkanpengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagaititik sentral, sedangkan Negara Republik Indonesia yang menjadititik sentral adalah keserasian hubungan antara pemerintah danrakyat berdasarkan asas kerukunan;
9
(3) untuk melindungi hak asasi manusia konsep rechtsstaatmengedepankan prinsip wetmatigheid dan rule of lawmengedepankan prinsip equality before the law, sedangkanNegara Republik Indonesia mengedepankan asas kerukunandalam hubungan antara pemerintah dan rakyat.
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyatakan bahwa Peradilan
Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Penjelasan Pasal
4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menjelaskan, yang dimaksud dengan
“rakyat pencari keadilan” adalah setiap orang warga Negara Indonesia atau
bukan, dan badan hukum perdata yang mencari keadilan pada Peradilan Tata
Usaha Negara. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan, Kekuasaan kehakiman di
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh :
a. Pengadilan Tata Usaha Negara,
b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara dalam suatu negara hukum
(rechtsstaat) merupakan turunan dari kedudukannya sebagai salah satu unsur
pokok dalam suatu negara hukum. Dilaksanakannya pembagian/pemisahan
kekuasaan negara untuk mencegah absolutisme kekuasaan guna melindungi hak
asasi manusia, harus diikuti dengan terwujudnya prinsip pemerintahan menurut
hukum (rechtmatig bestuur) melalui fungsi pengawasan dari Peradilan Tata Usaha
Negara (W.Riawan Tjandra,2009:16). Bila dikaji dari kaca mata teori pembagian
kekuasaan negara (distribution of power) dan dikaitkan dengan teori negara
hukum (rechtsstaat), maka hakikat dari fumgsi Peradilan Tata Usaha Negara ialah
melaksanakan fungsi pengawasan terhadap setiap perbuatan pemerintah berupa
perbuatan administrasi negara, agar dalam melaksanakan fungsinya, dapat selaras
dengan hukum dan tidak merugikan hak-hak dari warga negara/rakyat.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan negara tertinggi.
Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi atau ibukota
10
Kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kota atau kabupaten.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibu kota Provinsi, dan
daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi.
Putusan adalah terjemahan dari kata vonis, yang merupakan hasil dari
proses peradilan. Kewenangan untuk mengeluarkan putusan ada pada pengadilan,
yang berada dalam ranah peradilan (rechtsspraak) (Ridwan,2009:191). Putusan
hakim (vonis) merupakan sebuah penegasan secara tertulis yang dibuat oleh
hakim, sebagai pejabat negara yang diberikan kewenangan untuk itu, yang
selanjutnya diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak (Sudikno
Mertokusumo,1981:158). Pasal 97 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan:
(1) Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah selesai, kedua belah pihak
diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir
berupa kesimpulan masing-masing,
(2) Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), maka hakim ketua sidang menyatakan
bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada
majelis hakim bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk
mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut.
(3) Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh hakim
ketua majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika
setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai
permufakatan bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.
(4) Apabila musyawarah majelis sebagaimana dimaksud ayat (3) tidak
dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai
musyawarah majelis berikutnya.
(5) Apabila dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil
suara terbanyak, maka suara terakhir hakim ketua majelis yang
menentukan.
11
(6) Putusan pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam
sidang yang terbuka untuk umum, atau ditunda pada hari yang lain
yang harus diberitahukan kepada kedua belah pihak.
(7) Putusan pengadilan dapat berupa:
a. Gugatan ditolak;
b. Gugatan dikabulkan;
c. Gugatan tidak diterima;
d. Gugatan gugur.
(8) Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan pengadilan
tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh
badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan
tata usaha negara (KTUN).
(9) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa:
a. Pencabutan keputusan tata usaha negara (KTUN) yang
bersangkutan;atau
b. Pencabutan keputusan tata usaha negara keputusan tata usaha
negara (KTUN) yang bersangkutan dan menerbitkan KTUN yang
baru; atau
c. Penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.
(10) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai
dengan pembebanan ganti rugi.
(11) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(8) menyangkut kepegawaian, maka di samping kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10) dapat disertai
pemberian rehabilitasi.
Pasal 97 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara tersebut, didalamnya memuat ketentuan tentang prosedur pengambilan
putusan hakim, persyaratan keabsahan putusan yang akan diambil, memuat isi
putusan, dan kewajiban dari badan atau pejabat tata usaha negara terhadap isi
putusan tersebut.
12
Pada hakikatnya, tidak semua putusan pengadilan yang sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap dijalankan. Pasal 115 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa hanya putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkracht van
gewijsde yang dapat dilaksanakan. Kewajiban untuk melaksanakan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berada pada tergugat,
yang pada dasarnya eksekusi di Pengadilan Tata Usaha Negara menekankan pada
asas self respect dan kesadaran hukum dari pejabat Tata Usaha Negara (pejabat
publik) terhadap isi putusan hakim. Dimana asas self respect dalam kaitannya
dengan proses eksekusi dapat dilaksanakan tergantung pada kesadaran pejabat tata
usaha negara, untuk melaksanakannya dengan sukarela tanpa adanya upaya
pemaksaan yang langsung dapat dirasakan dan dikenakan oleh pihak pengadilan
terhadap pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan (F. Manao, 2011: 2).
Pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Ambon Nomor:
05/G/2013/PTUN.ABN yaitu menyangkut gugatan yang diajukan oleh William B.
Noya dan DR. Adam Latuconsina, M.Si, yang adalah bakal calon Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Maluku tahun 2013, mengalami ketimpangan
dimana tidak memiliki ketidakjelasan baik dalam pemberian putusan oleh hakim,
maupun penerapannya pada pejabat tata usaha negara (KPU Provinsi Maluku).
Ketimbangan ini terlihat dari putusan PTUN ambon yang tidak mengabulkannya
permohonan penundaan pelaksanaa KTUN, sampai dengan ketidakpatuhan
pejabat TUN untuk tunduk dan melaksanakan putusan PTUN tersebut.
Diktum putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Ambon Ambon Nomor:
05/G/2013/PTUN.ABN tertanggal 5 Juni 2013 menyatakan: (1) Mengabulkan
gugatan Para penggugat untuk seluruhnya; (2) Menyatakan batal Keputusan Tata
Usaha Negara yang diterbitkan oleh Tergugat berupa surat Keputusan Nomor:
16/Kpts/KPU-PROV-028/IV/2013 tertanggal 24 April 2013 tentang Penetapan
Pasangan Calon Yang Memenuhi Syarat Sebagai Peserta Pemilihan Umum
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Maluku Tahun 2013; (3) Mewajibkan
Tergugat untuk mencabut Keputusan Tata Usaha Negara berupa surat Keputusan
Nomor: 16/Kpts/KPU-PROV-028/IV/2013 tertanggal 24 April 2013 tentang
13
Penetapan Pasangan Calon Yang Memenuhi Syarat Sebagai Peserta Pemilihan
Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Maluku Tahun 2013; (4)
Memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan surat keputusan yang baru tentang
Penetapan Pasangan Calon Yang Memenuhi Syarat Sebagai Peserta Pemilihan
Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Maluku Tahun 2013 dengan
menetapkan Para Penggugat sebagai pasangan Calon Gubernur Dan Wakil
Gubernur setelah memenuhi seluruh persyaratan yang ditentukan; (5)
Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam
sengketa ini sebesar Rp 266.000,- (Dua ratus enam puluh enam ribu rupiah).
Putusan PTUN tersebut ternyata dikuatkan oleh Putusan PT TUN
Makassar di tingkat banding, melalui Putusan PT TUN Makassar Nomor:
94/B/2013/PT TUN.Mks, dan selanjutnya Inkracht atau memiliki kekuatan hukum
tetap pada tanggal 6 Desember 2013 dengan dikeluarkanya Surat Penetapan
Pembatasan Upaya Kasasi oleh Ketua PTUN Ambon tertanggal 6 Desember
2013 Nomor: 05/PEN/G/2013/PTUN.ABN, dimana hal ini sesuai dengan perintah
Pasal 45 A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009, yang menentukan bahwa permohonan kasasi dapat dilakukan jika
sifatnya nasional dan bukan bersifat regional, dengan kata lain bahwa jangkauan
dari upaya kasasi tersebut tidak bersifat terbatas dalam satu daerah saja tetapi
bersifat keluar melampaui batas-batas wilayah daerahnya.
Namun jika dicermati, putusan William B. Noya dan DR. Adam
Latuconsina, M.Si secara administrasi Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan oleh KPU Provinsi Maluku telah gugur dan batal demi hukum, namun
di dalam putusan PTUN dan PT TUN tidak mengabulkan permohonan penundaan
pelaksanaan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara tersebut. Hal inilah yang
kemudian menurut hemat penulis, menyebabkan terjadinya multitafsir dari KPU
Provinsi Maluku terhadap putusan yang keluarkan oleh PTUN Ambon tersebut.
Hal tersebut dapat dijadikan sebagai celah untuk tidak menunda proses pemilihan
sampai upaya hukum yang dilakukan mendapatkan kekuatan hukum tetap.
Upaya dan tahapan-tahapan pelaksanaan putusan PTUN Ambon Nomor:
05/G/2013/PTUN.ABN oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Ambon sebagai
14
berikut (hasil wawancara dengan Ketua PTUN Ambon Bpk. Darmawi pada
tanggal 17 Juni 2014 bertempat di Pengadilan TUN Kota Ambon):
1) Dibuatnya surat pelaksanaan putusan dari Wakil Ketua Pengadilan Tata
Usaha Negara Ambon tertanggal 12 Desember 2013 Nomor: W4-
TUN3/1041/H.05.05/XII.2013 perihal pelaksanaan putusan Nomor:
05/G/2013/PTUN.ABN jo. putusan banding Nomor:
94/B/2013/PT.TUN.MKS kepada KPU Provinsi Maluku yang langsung
diterima oleh Sekretaris KPU Provinsi Maluku dan pihak penggugat
yang diterima langsung oleh William B. Noya tertanggal 12 Desember
2013.
2) Dibuat surat kepada Presiden tertanggal 11 Maret 2014 dengan Nomor:
W4.TUN3/224/H.03.06/III/2014, Perihal: tidak dilaksanakan putusan
PT.TUN Makassar Nomor: 94/B/2013/PT.TUN.MKS jo putusan PTUN
Ambon Nomor: 05/G/2013/PTUN.ABN yang telah berkekuatan hukum
tetap, dan ditembuskan juga kepada DPR RI.
Berdasarkan keterangan ketua Pengadilan TUN Ambon tersebut diatas, penulis
menemukan ada tahapan pelaksanaan putusan yang belum dilakukan oleh
Pengadilan TUN Ambon yaitu, tidak diumumkannya proses eksekusi putusan
PTUN Ambon Nomor: 05/G/2013/PTUN.ABN melalui media cetak. Penulis
berpendapat baahwa, tahapan-tahapan pelaksanaan putusan atau eksekusi ini,
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Sebagai salah satu pelaksanaan fungsi kontrol dari masyarakat, terhadap
pelaksanaan proses penegakan hukum, maka dipandang perlu untuk diumumkan
melalui media cetak.
Problematika dalam pelaksanaan putusan PTUN terkait dengan masalah
pilkada, hampir terjadi disemua daerah di Indonesia. Banyak putusan Pengadilan
TUN, baik yang bersifat penetapan dalam hal penundaan maupun putusan yang
sudah berkekuatan hukum tetap atau inkracht, tidak dilaksanakan oleh KPU
Provinsi/Kabupaten/Kota selaku tergugat. Berikut ini ada beberapa putusan PTUN
yang diabaikan oleh KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) yaitu (Irvan
Mawardi, 2014:297-298):
15
1. Pada kasus perkara Nomor 51 tahun 2010 di Pengadilan Tata UsahaNegara Makassar yang menempatkan KPUD Toraja Utara sebagaitergugat, PTUN Makassar mengeluarkan penetapan tentangpenundaan tahapan pemilukada untuk menghindari kerugianpenggugat dan tahapan tidak terlanjur berjalan. Namun pada saat itupihak KPUD Toraja Utara bergeming dan tidak melaksanakanpenetapan tersebut. Menurut Aloysius, salah satu anggota KPUDToraja Utara, sikap menolak pelaksanaan penetapan tersebutdiambil dalam pleno Ketua dan Anggota KPUD Toraja Utaradengan alasan KPUD sudah benar dalam mengeluarkan keputusanpenetapan pasangan calon Toraja Utara yang tidak mengakomodirpenggugat.
2. Alasan yang hampir sama dikemukan oleh Agus, Ketua KPUDLombok Tengah. Menurut Agus, pihak KPUD Lombok Tengahtidak melaksanakan putusan PTUN Mataram Nomor:31/G/2010/PTUN.Mtr yang sudah inkracht di tingkat kasasi karenamemang secara hukum menurut KPUD Lombok Tengah penggugattidak bias diakomodir karena partai politik (PKPB) sejak awalsudah mengalihkan dukungan ke pasangan lain. Selain itu menurutAgus, putusan inkracht MA baru diputus jauh hari setelah pilkada,yakni 2 tahun setelah terpilihnya pasangan pemenang. Jadi menurutAgus, pihak KPUD tidak bias mengeksekusi putusan tersebutkarena berimplikasi pada pelaksanaan pemilukada ulang.
3. Namun dalam perkara lainnya yang diputus oleh PTUN Mataramyakni Nomor: 14/G/2010/PTUN.Mtrm akibat adanya SK yangditerbitkan oleh KPUD Lombok Tengah tentang penetapanpasangan calon dalam pemilukada 2010. Keputusan KPUD tersebutmeloloskan pasangan Moh. Suhaili, FT – Drs.H.L Normal Suzanayang diduga melanggar syarat administrasi pencalonan. Pasangantersebut memenangkan pemilukada 2010 dan terpilih sebagai Bupatidan Wakil Bupati Lombok Tengah, namun pasangan lainnyamenggugat pencalonannya ke PTUN Mataram. Padaperkembangannya PTUN Mataram memutus bahwa mengabulkangugatan penggugat untuk mendiskualifikasikan pasangan H.Moh.Suhaili, FT – Drs.H.L. Normal Suzana sebagai calon pasanganresmi.Pada tahun 2012 akhirnya KPUD Lombok Tengah melaksanakanputusan PTUN Mataram tersebut dengan menerbitkan SK baru yangintinya mendiskualifikasikan pasangan H.Moh. Suhaili, FT –Drs.H.l. Normal Suzana. Menurut Agus, pihak KPUD LombokTengah sudah melaksanakan putusan PTUN Mataram, namunpermasalahan konkretisasi akibat munculnya SK KPUD LombokTengah yang baru tersebut adalah pemilukada ulang, tidak sekedarpencoblosan ulang.
16
Berdasarkan contoh-contoh kasus di atas disimpulkan bahwa ketidak patuhan
pejabat tata usaha negara di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Hal ini
disebabkan karena lamanya proses penyelesaian sengketa pada Peradilan Tata
Usaha Negara, yang membuka peluang untuk pejabat tata usaha negara membuat
dalih bahwa putusan TUN memiliki kekuatan hukum tetap ketika tahapan pilkada
sudah selesai, sehingga menyulitkan untuk dilaksanakan.
Sistem pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam
Pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009, lebih menggunakan asas self respect berdasarkan pengawasan
hierarkhis di lingkungan badan Tata Usaha Negara, yang kurang dapat
memaksakan kepatuhan terhadap pejabat Tata Usaha Negara, dan dalam hal ini
KPU Provinsi Maluku. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam penelitian
ini ditemukan beberapa kendala yang kemudian menyebabkan tidak adanya
kepatuhan dari pejabat tata usaha Negara dalam mematuhi putusan PTUN Ambon
yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap yaitu (Hasil wawancara dengan Ketua
Divisi Hukum KPU Provinsi Maluku 2 periode yakni dari tahun 2003-2014 yaitu
M.G. Lailossa pada tanggal 19 Juni 2014) :
1. Bahwa putusan PTUN Ambon tidak memerintahkan melakukan penundaan
(skorsing) terhapat Surat Keputusan KPU Provinsi Maluku Nomor:
16/Kpts/KPU-PROV-028/IV/2013, tetapi hanya memerintahkan
membatalkan surat keputusan tersebut.
Hal inilah yang kemudian, menjadi celah bagi KPU Provinsi Maluku
untuk melemahkan putusan PTUN Ambon, dengan cara tidak
mengindahkan putusan PTUN Ambon dan tetap melanjutkan proses
pilkada selanjutnya yaitu proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah Provinsi Maluku tahun 2013;
2. Bahwa KPU Provinsi tidak melaksanakan putusan PTUN Ambon
disebabkan, KPU Provinsi Maluku menilai yang lebih memiliki
kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ini adalah Mahkamah
Konstitusi. Dengan argumentasi, Mahkamah Konstitusi melalui penafsiran
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum telah diperluas untuk
17
menerima keberatan sejak saat pendaftaran pasangan calon. Dimana
Putusan Sela Mahkamah Konstitusi pernah dijatuhkan kepada KPU
Kabupaten Maluku Tenggara Barat untuk menerima pendaftaran pasangan
calon untuk kemudian diverifikasi, padahal putaran pertama telah
dilakukan tanpa keikutsertaan pasangan ini. Sementara, Undang-Undang
Pemilu tidak memberikan ruang untuk menghentikan sebagian atau
seluruh tahapan pemilu, kecuali adanya keadaan force majeur. Kasus
diatas mirip dengan kasus yang diselesaikan di PTUN Ambon atas
pasangan calon William.B. Noya dan DR. Adam. Latuconsina, M.Si
(dapat dilihat dalam Laporan penyelenggara pemilihan umum Gubernur
dan Wakil Gubernur Provinsi Maluku tahun 2013, Bab IV Evaluasi).
Lebih lanjut G. Leilosa menyatakan bahwa, kalau kewenangan Mahkamah
Konstitusi sudah diperluas sampai tahapan pencalonan, maka semestinya
PTUN Ambon tidak mendapatkan kewenangan yang sama untuk
menyelesaikan sengketa ini.
Kepatuhan pejabat tata usaha negara yang lebih kepada lembaga
peradilan lain yakni tunduk pada putusan MK, penulis menilai bahwa hal
ini lebih menguntungkan posisi KPU Provinsi Maluku dan pasangan calon
yang lain tanpa, melihat apa yang menjadi objek dan kewenangan dalam
mengadili perkara. Objek putusan PTUN yaitu menyangkut aspek legalitas
suatu keputusan (beschikking) pejabat Tata Usaha Negara, dan hal ini
masuk dalam kewenangan mengadili dari PTUN. Berkaitan dengan
perkara Nomor: 05/G/2013/PTUN.ABN yang penggugatnya adalah
pasangan calon William.B. Noya dan DR. Adam. Latuconsina, M.Si,
penggugat hanya menggugat tentang surat keputusan yang dikeluarkan
KPU Provinsi Maluku, dan ini jelas termasuk dalam kewenangan
mengadili PTUN Ambon bukan Mahkamah Konstitusi.
Surat Keputusan (SK) penetapan pasangan calon yang diterbitkan oleh
KPU Provinsi/Kabupaten/Kota merupakan suatu surat ketetapan yang dapat
digugat, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan: Keputusan
18
Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat tata usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Konsekuensi dari
penerapan lex generalis dalam penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon
oleh KPU Provinsi/Kabupaten/Kota di peraturan, maka proses beracara dalam
penyelesaian sengketa tersebut diselesaikan secara lex generalis dengan mengikuti
hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara (Irvan Mawardi, 2014: 162).
Sehubungan dengan upaya untuk mengatasi kendala yang bersifat
pelaksanaan, penulis lebih menitik beratkan pada pelaksanaan fungsi peradilan
tata usaha negara yaitu harus dilakukan dengan memperhatikan asas-asas
peradilan yang baik. Pemberlakukan asas-asas peradilan yang baik, dalam upaya
untuk mengatasi kendala yang berisfat pelaksanaan meliputi (W.Riawan
Tjandra,2009:411): (1) asas decisie beginsel, yaitu asas yang menitik beratkan
pada seorang hakim untuk wajib menjatuhkan putusan dan di dalam tenggang
waktu yang pantas; (2) asas onpartijdigheids beginsel yaitu, asas yang menitik
beratkan pada putusan yang dijatuhkan harus secara objektif, dan tidak boleh
dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan pribadi atau anggota-anggota
instansi/lembaga peradilan, yang didasarkan pada motif-motif atau hubungan
yang dilakukan secara tersembunyi dari pihak-pihak di luar perkara kepada
hakim, sehingga menyimpang dari prosedur yang semestinya; (3) asas motiverings
beginsel yaitu, asas yang memfokuskan pada putusan hakim harus memuat
alasan-alasan hukum yang jelas dan dapat dimengerti, serta bersifat konsisten
dengan penalaran hukum yang runtut.
Penyelesaian terkait kepatuhan pejabat tata usaha negara (KPU Provinsi
Maluku) yang lebih tunduk pada putusan Mahmakamah Konstitusi dibandingkan
PTUN, maka yang harus dipahami yaitu mengenai teori pembagian kekuasaan
negara (distribution of power). Prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman dijamin
dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Negara RI Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Kewenangan
19
PTUN dalam pilkada yaitu menyelesaikan sengketa tata usaha negara yang timbul
akibat diterbitkannya suatu surat keputusan tata usaha negara/pejabat publik,
sedangkan MK memiliki kewenangan mengadili sengketa hasil pilkada.
Berdasarkan pemetaan kewenangan kedua lembaga ini maka, prinsip teori
pembagian kekuasaan negara (distribution of power) adalah agar tidak terjadi
penyelenggaraan kekuasaan secara sewenang-wenang oleh penguasa. Hal ini
dapat diartikan bahwa, teori pembagian kekuasaan negara dalam kekuasaan
yudikatif, untuk mencegah adanya dualisme dalam pemberian putusan pada dua
lembaga peradilan yang berbeda.
Teori pembagian kekuasaan negara (distribution of power) dalam konteks
ini, memperjelas kewenangan dan independensi dari masing-masing lembaga
peradilan tersebut. Pemikiran yang melatar belakangi adanya teori pembagian
kekuasaan negara ini adalah perlu diaturnya prinsip keseimbangan kewenangan
mengadili masalah pilkada di antara kedua kekuasaan lembaga peradilan MK dan
PTUN yang berpayungkan MA dalam penegasan kewenangan dengan sebuah
regulasi. Penyebab adanya pembagian kekuasaan dari cabang-cabang kekuasaan
negara dimaksudkan untuk menjamin adanya independensi dari masing-masing
lembaga negara dalam menjalankan fungsi dan tugas kontrol dalam tatanan negara
demokrasi (Jimly Ashiddiqie, 1994:76). Sekaligus untuk menjamin terlaksananya
kebebasan politik (political liberty) anggota masyarakat dalam negara (Bagir
Manan, 1998:2).
Dalam kasus pilkada Provinsi Maluku tahun 2013, pejabat tata usaha
negara, dalam hal ini KPU Provinsi, mendapatkan sanksi berupa pemecatan
terhadap ketua KPU provinsi dan beberapa pengurus oleh DKPP (Dewan
Kehormatan Pelaksana Pemilu), yang menilai bahwa KPU Provinsi Maluku
melanggar kode etik, dengan tidak ditaatinya putusan pengadilan yang telah
berkekutaan hukum tetap. Walaupun hal ini kemudian tidak dapat mengembalikan
proses, hak dan kepentingan masyarakat banyak. Dalam upaya mengatasi
ketidakpatuhan pejabat publik/pejabat tata usaha negara dalam melaksanakan
putusan pengadilan, diperlukan adanya penumbuhan kesadaran dari badan atau
20
pejabat tata usaha negara untuk selalu taat dalam mematuhi putusan Peradilan
Tata Usaha Negara.
Bahwa dalam tindakan Hukum Administrasi dianut asas presumtio justae
cause yang dimaksudnya bahwa suatu keputusan TUN harus selalu dianggap
benar dan dapat dilaksanakan, sepanjang hakim belum membuktikan sebaliknya
(Titik Triwulan dan H. Isnu Gunadi Widodo, 2011:322). Namun, hal tersebut
terjadi sebaliknya jika hakim dapat membuktikannya. Terkait dengan
kesanggupan hakim untuk membuktikan, maka konsekuensi hukum yang
ditimbulkan yaitu suatu keputusan TUN yang menjadi objek sengketa tersebut
dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi. Proses pengawasan terhadap pelaksanaan
putusan TUN sangat diperlukan, demi tercipta check and balances.
Pengawasan merupakan unsur dari sistem manajemenpemerintahan, yang sangat penting dalam mendorong terwujudnyaakuntabilitas publik. Berbagai cara dapat dilakukan untuk melaksanakanpengawasan terhadap pemerintah/administrasi negara, antara lain denganconstitusional control, political control, judicial and legal control,technical control social control, dan administrative control (Marbun,1997:73).
Teori pengawasan terhadap pemerintah yaitu terkait dengan perbuatan tata usaha
negara diperlukan untuk menjaga penerapan distribution of power guna menjaga
perimbangan kekuasaan negara. Sehubungan dengan prinsip distribution of power
tersebut, lembaga peradilan tata usaha negara menurut pandangan Imanuel Kant
diperlukan untuk menjaga perimbangan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif (Huijbers, 2006:101). Proses penegakan hukum acap kali dipandang
diskriminatif, inkonsisten, dan mengedepankan kelompok tertentu (Harkristuti
Harkrisnowo, 2003:28). Hal inilah yang dipandang perlu adanya proses
pengawasan untuk memberikan perlindungan hukum kepada rakyat dari perbuatan
maladminitrasi, dan penghormatan terhadap putusan lembaga peradilan yang telah
mendapatkan kekuatan hukum tetap.
Apabila terdapat kepatuhan dari pejabat Tata Usaha Negara dalam
melaksanakan putusan dari Peradilan Tata Usaha Negara yang dalam posisi
sebagai pihak yang kalah, maka pejabat Tata Usaha Negara tersebut perlu
diberikan reward atau penghargaan atas keputusannya untuk melaksanakan
21
putusan Peradilan Tata Usaha Negara tersebut. Sedangkan terhadap pejabat tata
usaha negara yang tidak patuh pada putusan PTUN, perlu diberikan sanksi uang
paksa dan sanksi pemecatan. (hasil wawancara pada tanggal 18 Juni 2014 di
Pengadilan TUN Ambon, dengan salah satu hakim yang menangani perkara
Nomor: 05 di PTUN Ambon, Andi Jayadi Nur) Walaupun peraturan mengenai
pelaksanaan putusan PTUN yang mengatur tentang uang paksa dan sanksi
administratif telah ada, namun sampai saat ini ketentuan tersebut tidak dijelaskan
lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Hal inilah yang membuat
pelaksanaan putusan pengadilan TUN menjadi terhambat, dan hampir PTUN
kehilangan kekuatannya ketika berhadapan dengan pejabat tata usaha negara.
Untuk mempertegas hal tersebut, maka dipandang perlu untuk dibuatnya
peraturan pelaksana dari Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan Pasal khusus yang mengatur tentang
besaran uang paksa dan tata cara pelaksanaan pembanyaran.
Dihubungankan dengan ketidakpatuhan pejabat tata usaha negara pada
putuan PTUN, berdasarkan konsepsi ruang lingkup contempt of court maka
terhadap pejabat tersebut dapat dikategorisasikan telah melakukan tindak pidana
contempt of court. Secara umum contempt of court dibedakan antara civil
contempt yaitu bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan pengadilan, dan criminal
contempt yaitu bentuk perbuatan yang bertujuan menghalangi penyelenggaraan
peradilan. Oleh sebab itu secara singkat sering disebut sebagai an offence against
the administration of justice (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2002: 220).
Perbuatan pidana contempt of court ini berbentuk penentangan terhadap perintah
pengadilan secara terbuka karena tidak melaksanakan putusan pengadilan TUN,
dan hal ini dapat dikenakan Pasal 216 KUHP sebagaimana bentuk obstruction of
justice. Menurut Mula Haposan (2008:149) pejabat TUN yang tidak
melaksanakan putusan pengadilan TUN yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja melawan hukum.
Terpenuhinya unsur-unsur contempt of court dalam KUHP sebaiknya diperluas
maknanya meliputi perbuatan pejabat TUN yang tidak patuh terhadap putusan
pengadilan TUN yang telah inkracht. Sebab dalam proses peradilan, eksekusi
22
merupakan satu rangkaian dari proses peradilan tersebut. Disisi lain juga dengan
dikenakan sanksi pidana, akan menciptakan tingkat kepatuhan dari pejabat TUN
untuk melaksanakan putusan pengadilan TUN tersebut.
Ketidak patuhan dalam melaksanakan putusan TUN oleh KPU
Provinsi/Kabupaten/Kota dalam sengketa pilkada, maka yang perlu diperhatikan
dalam penyusunan putusan pengadilan TUN adalah, perlu memuat soal
penundaan (skorsing) pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara, sampai
mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau inkracht.
Hal ini dipandang perlu dan penting karena, ketika adanya penetapan penundaan
penyelenggaraan pilkada sampai dengan pelantikan, dapat menghindari dalil dari
KPU Provinsi/Kabupaten/Kota yang menyatakan bahwa tidak dilaksanakan
putusan TUN karena sudah dilakukannya proses pemilihan dan pelantikan.
Selanjutnya masalah anggaran penyelenggaraan pilkada akan menjadi alasan
utama, untuk tidak dilakukannya putusan TUN, jika Surat Keputusan KPU
Provinsi/Kabupaten/Kota tersebut dinyatakan batal. Konsekuensi hukum yang
ditimbulkan dari pembatalan suatu Surat Keputusan KPU
Provinsi/Kabupaten/kota tentang penetapan pasangan calon yang memenuhi
syarat yaitu secara administrasi surat keputusan tersebut, telah batal demi hukum.
Dengan dibatalnya proses administrasi tersebut, maka dengan sendirinya proses
pemilihan dan proses pelantikan yang telah dilakukan sebelum adanya putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, secara serta-merta juga dinyatakan
tidak berlaku. Oleh karena itu, penulis menilai dalam putusan PTUN perlu
memuat soal penundaan (skorsing) pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara,
untuk semua sengketa pilkada.
IV. Penutup
a. Kesimpulan
Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada KPU Provinsi
Maluku tahun 2013, dinilai tidak sesuai dengan hukum positif. Ketidak
sesuaian tersebut dapat terlihat dengan ketidakpatuhan pejabat Tata Usaha
Negara (KPU Provinsi Maluku) dalam melaksanakan putusan Pengadilan
23
TUN Ambon. Putusan Pengadilan TUN Ambon Nomor:
05/2013/G/PTUN.ABN terkait gugatan terhadap Surat Keputusan KPU
Provinsi Maluku Tahun 2013 Nomor: 16/Kpts/KPU-PROV-028/IV/2013
tentang Penetapan Pasangan Calon Yang Memenuhi Syarat Sebagai Peserta
Pemilihan Umum Gubernur Dan Wakil Gubernur Provinsi Maluku Tahun
2013, mengalami ketidak jelasan dikarenakan ketidak patuhan pejabat Tata
Usaha Negara (KPU Provinsi Maluku) terhadap putusan PTUN yang telah
inkracht atau yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ketidak patuhan
pejabat Tata Usaha Negara terhadap putusan PTUN ditunjukan dengan cara,
proses penyelenggaraan pilkada tetap dilaksanakan sampai dengan pelantikan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih. Kendala yang kemudian
menyebabkan tidak adanya kepatuhan dari pejabat tata usaha negara dalam
mematuhi putusan PTUN yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap yaitu :
a. Tidak dikabulkannya permohonan penundaan (skrosing) pelaksaan
Keputusan KPU Provinsi Maluku oleh Pengadilan TUN Ambon, yang
mengakibatkan tidak tunduknya, KPU Provinsi pada putusan tersebut;
b. Kepatuhan pejabatan tata usaha negara lebih kepada lembaga peradilan
lain, yang kemudian dinilai lebih menguntungkan posisinya tanpa
melihat apa yang menjadi objek dan kewenangan dalam menangani
perkaranya;
c. Belum ada regulasi yang lebih tegas membatasi kewenangan mengadili
khusus untuk sengketa pilkada, baik hasil maupun administrasi. Karena
faktanya kelemahan inilah yang kemudian dijadikan sebagai alasan
untuk tidak tunduk pada satu putusan lembaga peradilan yaitu PTUN.
b. Saran
Melalui kajian ini ditemukan berbagai kekurangan dan penyimpangan
yang terjadi dalam proses pencalonan di KPU Provinsi Maluku tahun 2013,
dan hal ini kemudian berimplikasi pada ketidakpatuhan pejabat publik (KPU
Provinsi Maluku) dalam melaksanakan putusan Peradilan Tata Usaha Negara
Ambon Nomor: 05/G/2013/PTUN.ABN. Saran atau masukan sebagai
sumbangsih pemikiran penulis dari kajian ini untuk memperbaiki
24
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman (Peradilan Tata Usaha Negara) dan
juga kepatuhan pejabat publik terhadap putusan lembaga Peradilan Tata Usaha
Negara kedepannya adalah:
1. Perlu dibuat reformasi birokrasi khususnya terkait pemaknaan sadar hukum
atau peningkatan kesadaran dari pemerintah (self respect) bagi semua
pejabat publik, untuk menghormati semua putusan Tata Usaha Negara,
sebagai wujud penghormatan terhadap eksistensi dari lembaga-lembaga
negara.
2. Jika dari ketidakpatuhan pejabat tata usaha negara/pejabat publik tersebut
telah menimbulkan banyak kerugian, maka dipandang perlu pemberian
sanksi pidana atas ketidakpatuhan pejabat tata usaha negara.
Ketidakpatuhan pejabat TUN terhadap putusan PTUN yang telah inkracht
dapat dikategorikan telah melakukan tindak pidana, dengan sengaja
mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna
menjalankan ketentuan Undang-Undang, diancam dengan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 216 ayat (3) KUHP. Dengan
latarbelakang pemikiran bahwa hal tersebut dapat dimaknai sebagai
contempt of court dalam kategori civil contempt. Maka dalam KUHP
seharusnya dapat memperluas makna mencakup perbuatan dari pejabat
TUN yang tidak patuh terhadap putusan Pengadilan TUN yang telah
inkracht. Agar bagi pejabat TUN yang tidak patuh, dapat dikenakan sanksi
pidana, dengan tujuan memberikan efek jera bagi setiap pejabat TUN yang
tidak patuh terhadap putusan Pengadilan TUN yang telah inkracht .
3. Bagi lembaga peradilan tata usaha negara, diharapkan dalam penyusunan
putusan, lebih mempertimbangakan dampak yang bersifat sistemik yaitu,
perlu mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan putusan TUN.
Dengan pertimbangan bahwa, konsekuensi hukum yang ditimbulkan dari
pembatalan suatu Surat Keputusan KPU Provinsi/Kabupaten/kota tentang
penetapan pasangan calon yang memenuhi syarat yaitu secara administrasi
surat keputusan tersebut, telah batal demi hukum. Dengan dibatalnya proses
administrasi tersebut, maka dengan sendirinya proses pemilihan dan proses
25
pelantikan yang telah dilakukan sebelum adanya putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap, secara serta-merta juga dinyatakan tidak berlaku.
Oleh karena itu, penulis menilai dalam putusan PTUN perlu memuat soal
penundaan (skorsing) pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara, untuk
semua sengketa pilkada.
V. Daftar Pusataka
Buku :
Bruggink, J.J.H, 1999, Refleksi Tentang Hukum, Diterjemahkan B. Arief Sidharta,Citra Aditya, Bandung.
Bagir Manan, 1998, Organisasi Peradilan di Indonesia, FH Airlangga, Surabaya.Harkristuti Harkrisnowo, 2003, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu
Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, majalahKHN Newsletter edisi April 2003, Jakarta.
Huijbers, 2006, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, cetakan ke-5 Kanisius,Yogyakarta
Irvan Mawardi, 2014, Dinamika Sengketa Hukum Administrasi DiPemilukada,Rangkang Education, Yogyakarta.
Jimly Ashiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi danPelaksanaannya di Indonesia, Ictiyar Baru-van Hoeve, Jakarta
Marbun.SF, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif diIndonesia, Liberty, Yogyakarta.
Moh Mahfud MD, 2009, Politik Hukum di Indonesia (edisi revisi), Rajawali PersPT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Moh Mahfud MD, 2012, Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press (Konpress),Jakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia,
PT.Bina Ilmu, SurabayaPuslitbang Hukum dan Peradilan MA RI, 2010, Eksekutabilitas Putusan
Peradilan Tata Usaha Negara, Balitbang Pendidikan dan PelatihanHukum dan Peradilan MA RI, Megamendung
Titik Triwulan.T dan H.Ismu Gunadi Widodo, 2011, Hukum Tata Usaha Negaradan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Kencana,Jakarta
W.Riawan Tjandra, 2009, Peradilan Tata Usaha Negara (MendorongTerwujudnya Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa), UniversitasAtma Jaya, Yogyakarta
Makalah/Jurnal:F. Manao, 2011, Dilematika Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara
(Makalah yang disampaikan dalam Pendidikan dan Pelatihan HakimBerkelanjutan Tahap I Peradilan Tata Usaha Negara Tahun 2011)