SPIRITUALITY AND ANXIETY FACING THE FUTURE OF …
Transcript of SPIRITUALITY AND ANXIETY FACING THE FUTURE OF …
SPIRITUALITY AND ANXIETY FACING THE FUTURE OF HOUSEWIVES WITH HIV
Humam Alani
Hariz Enggar Wijaya
ABSTRACT
The purpose of this study was to examine the relationship between spirituality and anxiety
facing the future of housewives with HIV. This was quantitative research with a sample of
45 housewives with HIV positive who live in Special Capital Region of Jakarta and Special
Region of Yogyakarta an age range of 23 to 48 years. To measure future anxiety, a Likert-
type scale was modified based on Zaleski (1996) according to aspects of Taylor’s theory
(1953). To measure spirituality, Daily Spiritual Experience Scale (DSES) based on
Underwood’s theory (2011). The result showed a significant negative relationship between
spirituality and anxiety facing the future of housewives with HIV. Employing Pearson’s
correlation technique, the correlation coefficient between spirituality and future anxiety was
r = -0,411 and p = 0,005 (p < 0,05). This indicated that individuals with higher spirituality
tend to have lower anxiety facing the future, and individuals with lower spirituality tend to
have higher anxiety facing the future. Theoretical and practical implications were further
discussed.
Keywords: Anxiety, Spirituality, Housewives with HIV positive
1
Pengantar
HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus yang menyerang
atau menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia.
AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome merupakan sekumpulan gejala penyakit
yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV (Infodatin,
2018). Akibat menurunnya kekebalan tubuh maka orang tersebut sangat mudah terkena
berbagai penyakit infeksi (infeksi oportunistik) yang sering berakibat fatal. Mereka yang
terinfeksi HIV atau mengidap AIDS tersebut biasa disebut dengan istilah ODHA (Orang
dengan HIV/AIDS). Perlu diketahui bahwa penyakit HIV/AIDS merupakan penyakit kronis
paling berbahaya sekarang ini. Saat ini tidak ada satu negara pun di muka bumi ini mengaku
bahwa negaranya terbebas dari keganasan penyakit HIV/AIDS. Penyakit ini sudah
menyebar merata di negara maju mapun negara dunia ketiga di seluruh dunia.
Penyebaran penyakit HIV/AIDS di dunia layaknya fenomena gunung es (Iceberg
Phenomena). Artinya angka kasus yang belum ditemukan/dilaporkan jauh lebih banyak dari
angka yang ditemukan. World Health Organization (WHO, 2018) melaporkan jumlah orang
hidup dengan HIV pada tahun 2018 sebanyak 37,9 juta orang. Pada tahun yang sama
angka kematian AIDS sebanyak 770.000 kasus di seluruh dunia. Angka itu terdiri dari
kematian di usia dewasa sebanyak 670.000 dan sisanya pada usia anak sebanyak
100.000. Lebih lanjut, Program bersama PBB untuk penanganan AIDS (UNAIDS, 2018)
melaporkan bahwa total penderita yang ada sekitar 1,7 juta di antaranya adalah anak-anak
berusia di bawah 15 tahun. Selebihnya merupakan orang dewasa, sejumlah 36,2 juta
penderita. Seringkali penyakit HIV/AIDS terlambat diketahui karena orang sering tidak
mengetahui jika dirinya sudah terinfeksi.
Di Indonesia, berdasarkan Direktorat Jendral Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit (P2P) Kemenkes RI melalui Laporan Perkembangan HIV/AIDS & Infeksi Menular
Seksual (IMS) tahun 2018 (Sugihantono, 2018) bahwa HIV/AIDS pertama kali ditemukan
di Provinsi Bali pada tahun 1987. Hingga bulan Desember 2018 HIV/AIDS sudah menyebar
di 460 dari 514 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Masih bersumber dari
2
laporan Kementrian Kesehatan RI bahwa jumlah kasus HIV yang dilaporkan dari tahun
2005 sampai dengan tahun 2018 mengalami kenaikan tiap tahunnya. Jumlah kumulatif
infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Desember 2018 sebanyak 327.282 (51,1% dari
estimasi ODHA tahun 2016 sebanyak 640.443). Terdapat 5 provinsi dengan jumlah infeksi
HIV tertinggi adalah DKI Jakarta (58.877), diikuti Jawa Timur (48.241), Jawa Barat (34.149),
Papua (32.629), dan Jawa Tengah (27.629).
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan dua
provinsi di Indonesia yang tergolong memiliki luas wilayah terkecil di Indonesia, kendati
demikian dipadati oleh jumlah pendatang yang relatif banyak, seperti turis mancanegara,
pelajar, pejabat publik. Artinya, tingkat lalu lintas manusia yang sangat tinggi yang
membawa serta berbagai kebudayaan dan sangat memungkinkan terjadinya berbagai
perilaku berisiko tertular atau menularkan HIV dan AIDS. Secara detail disampaikan oleh
pihak Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta melalui rilis Profil Kesehatan Provinsi DKI
Jakarta Tahun 2017 (2018) bahwa sejumlah 4.748 orang (71,83%) yang terinfeksi HIV
adalah usia 25-49 tahun. Sedangkan pada rentang usia tersebut ada 462 orang yang
mengidap AIDS, bahkan sebanyak 12 orang di rentang usia yang sama berujung kematian.
Selanjutnya mengutip dari laman Dinas Kesehatan Provinsi DIY (2019) jumlah
kasus HIV sejak 1993 sampai dengan 2018 mencapai 4.781 kasus dan sebanyak 1.647
kasus telah memasuki fase AIDS. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Berty
Murtiningsih selaku Kepala Bidang Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
(P2PL) Dinas Kesehatan DIY lewat daring Tribun Jogja (Ais, 2019) bahwa dalam kurun
waktu 1993-2018, tercatat 545 kasus HIV dan 268 kasus AIDS pada Ibu Rumah Tangga
(IRT). Untuk kasus HIV/AIDS pada IRT memang perlu ditangani secara khusus karena kami
tengarai ada peningkatan kasus pada IRT. Angka infeksi pada IRT yang cukup tinggi ini
perlu diwaspadai, utamanya penularan pada bayi, yang artinya mengarah pada potensi
meluasnya epidemi.
Data kasus AIDS yang dilaporkan oleh Kepala Bidang Penanggulangan Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan DIY pada Maret 2019, menunjukkan
3
bahwa jumlah terbesar kasus AIDS pada perempuan adalah ibu rumah tangga. Pada kasus
ini penularan pada ibu rumah tangga delapan kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan
Wanita Pekerja Seksual (WPS). Mengutip dari berita online Jaringan Pemberitaan
Pemerintah (Wisnubro, 2017) Ayu Oktriani selaku Dewan Nasional Ikatan Perempuan
Positif Indonesia (IPPI), mengatakan bahwa mengatakan bahwa ibu rumah tangga
merupakan golongan yang kurang terlindungi dari risiko penularan HIV/AIDS karena
dampak dari perilaku hubungan heteroseksual pasangannya. Tingginya kasus HIV/AIDS
pada ibu rumah tangga ini, karena secara biologis perempuan mempunyai risiko lebih besar
terkena HIV dari laki-laki (suami) yang sering jajan di luar tanpa pengaman alat kontrasepsi
(kondom).
Mengetahui status HIV bagi sebagian orang dapat menimbulkan reaksi-reaksi
emosi seperti cemas dan takut, dan membutuhkan kesiapan mental untuk dapat menerima
hasil tes, terutama jika hasilnya positif, karena tidak semua orang memiliki kesiapan untuk
menerima hasil tes (HIV). Akan menjadi masalah jika individu pada akhirnya bereaksi
secara destruktif, yaitu bertingkah laku maladaptif dan disfungsional, misalnya ketika
mengetahui status HIVnya positif, sedangkan menurut Setyobroto (2001) kesiapan mental
membutuhkan keadaan jasmani yang sehat dan kesiapan psikologis dan terjadi dalam
keadaan tidak tertekan, tidak ada rasa takut, khawatir dan perasaan-perasaan negatif
lainnya. Kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti, tidak berdaya
(Stuart dan Sundeen, 1985). ODHA mengalami kecemasan lebih tinggi dibandingkan
dengan orang pada umumnya meskipun perkembangan pengobatan HIV saat ini sudah
menunjukkan efektivitasnya (Handajani, dkk 2012). Kecemasan yang dialami ODHA ini
dikaitkan dengan penggunaan terapi antiretroviral (ARV), jumlah viral load (VL), dan jumlah
CD4 (Shacham dkk, 2012). Usia, pekerjaan, dan pendidikan juga menjadi faktor signifikan
yang mempengaruhi kecemasan yang dialami ODHA. Ungkapan di atas sesuai dengan
hasil wawancara terhadap subjek prasurvei yang dilakukan oleh peneliti.
Berdasarkan hasil penelitian Fais Satrianegara (2014) terdapat banyak studi
menyebutkan bahwa reliugisitas (kepatuhan dalam beragama) berdampak positif bagi
4
kesehatan (Chappati dkk, dalam Fais 2014), termasuk di dalamnya adalah kecemasan.
Selanjutnya di Amerika, pada Academy of Physicians tahun 1996, hampir semua dokter
yakin bahwa keyakinan agama bisa menyembuhkan penyakit dan 75% dari mereka
percaya bahwa doa-doa orang lain bisa memajukan kesembuhan (How dkk, dalam Fais
2014). Selain itu Yi, Mrus, Wade, Ho, dan Hornung (2004) melakukan penelitian tentang
religiusitas, spiritualitas, dan simptom depresi pada subjek dengan HIV/AIDS mengatakan
terdapat 53,6% responden mengalami depresi yang signifikan. Hal ini diperkuat dengan
penelitian yang dilakukan oleh Superkertia, Astuti, dan Lestari (2016) mengemukakan
bahwa terdapat hubungan searah yang sangat kuat antara tingkat kualitas hidup dan tingkat
spiritualitas pada orang dengan HIV/AIDS.
Penelitian yang dilakukan oleh Douaihy dan Singh (2001) bahwa terdapat 62,6%
orang dengan HIV/AIDS memiliki kualitas hidup yang rendah yang dikarenakan oleh
beberapa faktor yaitu faktor sosial, faktor psikologis, dan faktor spiritual. Permasalahan
yang berkaitan dengan psikogis pada orang dengan HIV/AIDS dapat dinetralisir atau
dihilangkan dengan kehidupan spiritualitas yang kuat. Spiritualitas merupakan dimensi
penting bagi kesejahteraan perasaan pada orang dengan HIV/AIDS. Spiritualitas pada
orang yang terinfeksi HIV dianggap sebagai jembatan antara perasaan putus asa atau
kecemasan terhadap masa depan. Spiritualitas merupakan bagian dari kualitas hidup yang
berada dalam domain kapasitas diri atau being yang terdiri dari nilai-nilai personal, standar
personal dan kepercayaan (University of Toronto, 2010). Penjelasan tersebut selaras
dengan hasil wawancara terhadap tiga orang subjek prasurvei yang dilakukan oleh peneliti
pada hari Sabtu, tangga 01 September 2018 di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pertama,
BTA (35 tahun) seorang ibu rumah tangga yang mengetahui dirinya menderita HIV setelah
suaminya meninggal dunia akibat AIDS. Meskipun awalnya ia terkejut dan tidak percaya
dengan penyakit yang dideritanya, pada akhirnya ia meyakini bahwa virus yang
menyerangnya merupakan cobaan dari Tuhan dan pasti akan membuahkan hikmah untuk
masa depannya. Ia meyakini adanya invisible hand yang membuat dirinya masih hidup
meskipun dengan penyakit yang belum pernah ditemukan obat penawarnya di muka bumi
5
ini. Oleh karena itu BTA tidak merasa cemas dengan masa depannya, bahkan ia senang
berbagi cerita dan semangat dengan orang lain di Komunitas ODHA.
Kedua, KRS (41 tahun) seorang ibu rumah tangga yang mengetahui dirinya
menderita HIV setelah berbulan-bulan dirawat di sebuah rumah sakit, kabarnya ia tertular
melalui transfusi darah orang lain. Semenjak mengetahui dirinya berstatus HIV hidupnya
tidak bergairah lagi, bahkan sempat mengalami depresi ringan. Selama 3 bulan pertama,
suami KRS selalu memberinya motivasi dan mengingatkan untuk selalu berprasangka baik
dengan Tuhan. Setiap dua sampai 3 jam dalam sehari ia habiskan untuk bersemedi (ritual
peribadatan melalui merenung), menurut KRS dari proses itulah ia dapat meyakini bahwa
Tuhan selalu menemaninya dan membuatnya tidak cemas dalam menghadapi masa
depan. Karena prinsip hidupnya adalah Sangkan Paraning Dumadhi yang berarti dari mana
datang dan kembalinya hamba Tuhan.
Sedangkan ibu rumah tangga yang ketiga, SNI (39 tahun) mengetahui dirinya
menyandang status HIV setelah ia diceraikan oleh suaminya yang berprofesi supir
angkutan umum. Persis enam bulan setelah SNI diceraikan oleh suaminya, ia terbaring
sakit di rumah selama berbulan-bulan. Setelah melakukan check lab di sebuah rumah sakit,
akhirnya ia sadar bahwa mantan suaminya telah menularkan HIV kepadanya. Hampir satu
tahun SNI mengurung diri di rumahnya, mengurangi interaksi dengan tetangga dan orang
sekitar. Bahkan setelah kondisinya sudah lebih fit dan rutin melakukan terapi antiretroviral
(ARV), ia masih cemas dalam menghadapi masa depan, belum berani menikah kembali,
khawatir dengan anak-keturunannya dan hal-hal yang lain. Kepada peneliti, SNI mengaku
sebagai orang yang mengerti konsep laa tahzan, innallaha ma’ana (QS. At-Taubah: 40),
bahkan sering mengingat Tuhan. Alih-alih menjadi pribadi yang optimis dalam menghadapi
masa depan, ia bahkan selalu merasakan kecemasan sepanjang hari.
Berdasarkan latar belakang dan penjelasan yang telah dipaparkan serta diperkuat
melalui tanggapan dari ketiga ibu rumah tangga yang positif HIV tersebut, peneliti mencoba
untuk mengungkap tentang hubungan antara spiritualitas dengan kecemasan menghadapi
masa depan pada ibu rumah tangga yang positif HIV.
6
Metode Penelitian
A. Subjek Penelitian
Responden dalam penelitian ini berjumlah 45 Ibu Rumah Tangga dengan HIV.
Sebanyak 20 subjek berasal dari salah satu Organisasi ODHA di DKI Jakarta
(Organisasi A)dan 25 subjek berasal dari salah satu Organisasi ODHA di Daerah
Istimewa Yogyakarta (Organisasi B). Adapun rentang usia subjek dalam penelitian ini
berumur 23 sampai 48 tahun.
B. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan metode skala yaitu cara pengumpulan data dengan menggunakan daftar
pernyataan yang diberikan kepada subjek dan dijawab langsung oleh subjek sesuai
dengan keadaan dirinya.
1. Skala Kecemasan Menghadapi Masa Depan
Skala kecemasan menghadapi masa depan menggunakan modifikasi skala
milik Zaleski (1996) yang dibuat sesuai aspek yang dikemukakan oleh Taylor (1953)
yakni ditinjau dari aspek psikologis saja. Setelah itu diturunkan menjadi enam
indikator, antara lain tegang, khawatir, tidak berdaya, rendah diri, kurang percaya diri,
dan terancam.
Skala ini memiliki 14 pernyataan favourable dan 3 pernyataan unfavourable
dengan skor reliabilitas cronbach’s alpha sebesar 0,901 dan nilai koefisien corrected
item-total correlation bergerak dari 0.253 hingga 0.749. Skala ini menggunakan model
likert dengan empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak
Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Skor dari setiap aitem ini akan dijumlahkan
sebagai skor kecemasan menghadapi masa depan. Semakin tinggi skor yang
diperoleh subjek, maka semakin tinggi tingkat kecemasan menghadapi masa depan
yang dimiliki subjek. Sebaliknya, jika skor yang diperoleh subjek rendah, maka tingkat
kecemasan menghadapi masa depan yang dimiliki subjek tersebut semakin rendah.
Nilai terendah yang akan diperoleh subjek adalah 17 dan nilai tertingginya ialah 68.
7
2. Skala Spiritualitas
Peneliti menggunakan alat ukur Daily Spiritual Experience Scale (DSES)
yang dikembangkan oleh Underwood (2013) terdiri dari 15 aitem yang keseluruhan
aitem adalah favourable. Skala ini bergerak dari skor satu sampai enam. Skala ini
menggunakan model likert yang diadaptasi dengan enam alternatif jawaban, yaitu
Tidak Pernah=1, Hanya Sesekali=2, Beberapa Hari Sekali=3, Hampir Setiap Hari=4,
Setiap Hari=5, Sering Dalam Sehari=6.
Alat ukur DSES memiliki nilai reliabilitas cronbach’s alpha sebesar 0,872 dan
koefisien corrected item-total correlation bergerak antara 0,270 hingga 0,729. Skor
setiap aitem akan dijumlahkan dan menghasilkan skor total untuk variabel
spiritualitas. Semakin tinggi skor spiritualitas, maka semakin tinggi spiritualitas pada
subjek tersebut. Sebaliknya, jika skor yang diperoleh subjek rendah, maka
spiritualitas yang dimiliki subjek tersebut juga rendah. Nilai tertinggi yang akan
diperoleh sujek adalah 90 dan nilai terendahnya ialah 15.
C. Metode Analisis Data
Metode analis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
korelasi product moment dari Pearson. Analisis data dilakukan menggunakan perangkat
lunak SPSS versi 20.
Hasil Penelitian
Tabel 1.
Deskripsi data penelitian
Variabel Skor Empirik
Xmax Xmin Mean SD
Kecemasan Menghadapi
Masa Depan 63 26 41,96 8,1
Spiritualitas 82 41 42,76 9,2
Hasil uji asumsi yang dilakukan sebelum melakukan uji hipotesis menunjukkan
bahwa sebaran data telah memenuhi syarat normalitas. Selain itu, hasil uji linearitas
menunjukkan bahwa data kedua variabel linear. Selanjutnya peneliti melakukan uji
hipotesis parametric menggunakan teknik korelasi product momen.
8
Tabel 2.
Hasil uji hipotesis
Variabel N r R2 p
Kecemasan Menghadapi Masa
Depan*Spiritualitas 45 -0,411 0,169 0,005
Hasil menunjukkan bahwa koefisien korelasi r = -0,411 dengan p = 0,005 (p <
0,05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara spiritualtas dan
kecemasan menghadapi masa depan pada ibu rumah tangga dengan HIV.
Tabel 3.
Hasil uji korelasi spiritualitas dan kecemasan menghadapi masa depan berdasarkan asal organisasi
Organisasi A Organisasi B
r p N Ket. r p N Ket.
-0,189 0,426 20 Tidak Ada
Hubungan -0,491 0,013 25
Ada
Hubungan
Setelah dilakukan analisis antara kecemasan menghadapi masa depan dan
spiritualitas maka didapatkan hasil subjek yang berasal dari Organisasi B yang berjumlah
25 responden memiliki nilai r = -0,491 dengan nilai p = 0,013. Sementara subjek yang
berasal dari Organisasi B yang berjumlah 20 responden memiliki nilai r = -0,189 dengan
nilai p = 0,426. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan antara subjek
yang berasal dari Organisasi A dan Organisasi B, dimana subjek yang berasal dari
Organisasi A tidak mempunyai korelasi antara variabel kecemasan menghadapi masa
depan dan spiritualitas. Sebaliknya, terdapat korelasi negatif antara variabel kecemasan
menghadapi masa depan dan spiritualitas terhadap subjek yang berasal dari Organisasi B.
Tabel 4.
Hasil uji beda spiritualitas dan kecemasan menghadapi masa depan berdasarkan asal organisasi
Variabel Mean
p Keterangan Organisasi A Organisasi B
Kecemasan
Menghadapi
Masa Depan
28,13 18,90 0,019 Ada Beda
Spiritualitas 16,78 27,98 0,004 Ada Beda
Pada hasil uji beda berdasarkan asal organisasi, terdapat perbedaan antara
Organisasi A dan Organisasi B baik dari sudut pandang kecemasan menghadapi masa
depan maupun sisi spiritualitasnya. Seperti halnya kecemasan menghadapi masa depan
9
dengan nilai p = 0,019 (p < 0,05) dimana ibu rumah tangga yang berasal dari Organisasi A
memiliki tingkat kecemasan menghadapi masa depan lebih tinggi dari pada ibu rumah
tangga yang berasal dari Organisasi B. Sebagaimana sisi kecemasan menghadapi masa
depan, spiritualitas memiliki nilai p = 0,004 (p < 0,05) dimana tingkat spiritualitas ibu rumah
tangga yang berasal dari Organisasi B lebih tinggi daripada ibu rumah tangga yang berasal
dari Organisasi A.
Pembahasan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara
spiritualitas dan kecemasan menghadapi masa depan pada ibu rumah tangga dengan HIV.
Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang berlawanan arah antara
spiritualitas dengan kecemasan menghadapi masa depan pada ibu rumah tangga dengan
HIV, dengan koefisien korelasi antar variabel r = -0,411 serta nilai p = 0,005 (p < 0,05)
sehingga hipotesis penelitian yang diajukan diterima. Hasil penelitian ini dapat diartikan
bahwa ketika ibu rumah tangga dengan HIV memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi maka
rasa cemas dalam menghadapi masa yang akan datang lebih rendah. Sebaliknya, ketika
ibu rumah tangga dengan HIV memiliki tingkat spiritualitas yang rendah maka kecemasan
dalam menghadapi masa depannya akan tinggi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nahar (2018) yang meneliti hubungan
antara spiritual support dengan kecemasan dan adaptasi spiritual ibu hamil, menunjukkan
terdapat hubungan negatif yang signifikan antara spiritual dengan kecemasan dari 100
subjek penelitian. Penelitian lain yang dilakukan Ahmad dan Ratnaningsih (2016) meneliti
Karyawan di PT. Perkebunan Nusantara VII Sumatera Selatan menunjukkan adanya
hubungan negatif yang sangat kuat antara kecerdasan spiritual dengan kecemasan
menghadapi pensiun. Ketika individu mempunyai kecerdasan spiritual yang baik maka ia
memiliki kecemasan menghadapi pensiun yang rendah. Penelitian yang serupa dilakukan
oleh Marsal (2008) guna mencari hubungan antara religiusitas dengan kecemasan
menghadapi masa depan pada survivor gempa bumi DIY memiliki hasil yang sama yaitu
terdapat hubungan yang berlawanan antara religiusitas dengan kecemasan menghadapi
10
masa depan. Dapat bertahan hidup dari bencana yang dahsyat berimplikasi pada tingkat
kecemasan seseorang, pengamalan religiusitas yang baik mampu mengurangi tingkat
kecemasan dalam menghadapi mas depan. Religiusitas dan spiritualitas merupakan
variabel yang beririsan, keduanya mengandung unsur kerohanian atau relasi yang bersifat
vertikal. Pargament (dalam Fridayanti, 2015) menjelaskan bahwa titik persamaan
religiusitas dan spiritualitas adalah pencarian terhadap Yang Maha Suci.
Hasil uji korelasi dari penelitian ini menunjukkan bahwa sumbangan efektif dari
variabel spiritualitas terhadap kecemasan menghadapi masa depan hanya sebesar 16,9%
yang berarti bahwa variabel spiritualitas dapat menjadi prediktor pada variabel kecemasan.
Zanden (2007) menyatakan bahwa spiritualitas yang tinggi dapat menurunkan kecemasan,
mengingat hal tersebut dapat menghadirkan sebuah sugesti serta stimulus perasaan yang
tenang, sehingga dapat memutus pengeluaran hormon stress di aksis HPA (Hypothalamus-
Pituitary-Adrenal). Perihal lain dari itu semua ialah ada sebesar 83,1% sumbangan efektif
pada variabel kecemasan menghadapi masa depan dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak
diketahui dalam penelitian ini.
Berdasarkan data deskripsi penelitian dengan jumlah subjek sebanyak 45 ibu
rumah tangga dengan HIV, nilai rata-rata skor kecemasan menghadapi masa depan
sebesar 41,96%. Setelah peneliti membuat kategorisasi skor kecemasan menghadapi
masa depan, Sebanyak 9 responden berada pada ketegori sedang, atau secara persentase
tercatat 20%. Ada 8 responden masuk kedalam kategori sangat tinggi dengan persentase
18%. Selanjutnya untuk kategori rendah dan tinggi menempati frekuensi yang sama, yakni
sebanyak 11 responden dengan persentase 24%. Kendati demikian, apabila kategori tinggi
dan sangat tinggi dijumlahkan maka hasilnya sebesar 42%, artinya secara akumulasi
menandakan bahwa kecemasan menghadapi masa depan yang dimiliki oleh ibu rumah
tangga dengan HIV cenderung berada pada kategori tinggi. Kasus serupa sejalan dengan
hasil penelitian Chusna dan Nurhalina (2019) yang meneliti IRT dengan HIV di Kota
Palangka Raya yakni didapatkan bahwa responden dengan tingkat kecemasan ringan
sebanyak 9,5%, responden dengan tingkat kecemasan sedang sebanyak 28,6%,
11
responden dengan tingkat kecemasan berat sebanyak 38,1%, dimana presentase
responden paling tinggi adalah pada tingkat kecemasan berat.
Bagi setiap ibu rumah tangga realitas terkena HIV/AIDS berkaitan dengan
kontruksi sosial dalam masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai kluster kedua,
sehingga stigmatisasi dan diskriminasi kerapkali terjadi. Keresehan ini diperkuat dengan
berita yang dilansir oleh media VOA Indonesia pada 27 Maret 2019, dimana Direktur
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta APIK, Siti Mazuma, mengatakan lembaganya telah
menerima beberapa kasus perempuan dengan HIV/AIDS. Mereka tidak hanya
terdiskriminasi karena jenis perempuannya tetapi juga terdiskriminasi sebagai perempuan
HIV/AIDS padahal kebanyakan dari mereka tertular oleh suaminya. Sebagai contoh,
menurut riset dari Chusna dan Nurhalina (2019) menjelaskan dalam beberapa kasus bagi
seorang ibu rumah tangga yang terkena HIV/AIDS memiliki beban ganda seperti hamil, bayi
yang dikandung berisiko tertular HIV, membesarkan anak, merawat suami yang sedang
sakit dan terkadang menjadi key person rumah tangga karena pengeluaran keluarga
semakin meningkat. Seorang IRT yang terinfeksi HIV dan AIDS apapun alasannya tetap
harus menjalankan kewajibannya dalam keluarga. Ibu juga harus menjaga kesehatan,
kestabilan emosi dan spritual sehingga tidak membuat kondisinya menurun. Oleh sebab itu
dalam program pengendalian HIV dan AIDS, tingkat kecemasan seorang pasien HIV
merupakan jembatan untuk mengendalikan komplikasi HIV pada stadium AIDS.
Kemudian peneliti juga melakukan analisis korelasi antara variabel kecemasan
menghadapi masa depan dengan spiritualitas ditinjau berdasarkan asal Organisasi. Hasil
analisis menunjukkan bahwa kedua variabel tidak memiliki hubungan terhadap responden
yang berasal dari Organisasi A karena nilai koefisien korelasi yang dihasilkan hanyalah
sebesar (r) -0,189 dengan nilai signifikansi (p) 0,426, berbeda dengan hasil dari responden
yang berasal dari Organisasi B dimana kedua variabel tersebut memiliki hubungan negatif
yang signifikan dengan nilai (p) 0,013 serta nilai koefisien korelasinya sebesar (r) -0,491.
Artinya, bagi IRT dengan HIV yang berasal dari Organisasi B tingkat kecemasan
menghadapi masa depan memiliki hubungan yang berlawanan terhadap tingkat
12
spiritualitas. Sedangkan bagi IRT dengan HIV di Organisasi A, antara tingkat kecemasan
menghadapi masa depan dengan level spiritualitas tidak memiliki korelasi.
Fakta menarik setelah peneliti mewawancarai salah satu pengurus dari Organisasi
A, ia mengatakan bahwa kegiatan yang kerap kali dilakukan oleh Organisasi A antara lain
berkumpul setiap bulan sekedar bercengkrama dan santap makan bersama sebagai upaya
saling menghibur dan berbagi semangat. Mengingat territorial dari Organisasi A adalah
daerah metropolitan yang dihuni oleh beragam latar belakang, sehingga aktivitas
keorganisasianpun jarang menyentuh wilayah kepercayaan (agama) sebab dianggap
terlalu sensitif dan tidak akomodatif terhadap keyakinan tertentu. Hal demikian pula selaras
dengan penjelasan Sarafino (2006) mengenai dukungan sosial yang berarti sebuah
kenyamanan, perhatian, penghargaan, maupun bantuan dalam bentuk lainnya yang
diterimanya individu dari orang lain ataupun dari kelompok. Sehingga dalam kasus ini,
memungkinkan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan dengan kecemasan
menghadapi masa depan. Kendati demikian, mengingat penelitian ini hanya menguji
hubungan antara variabel kecemasan menghadapi masa depan dan spritualitas maka
dalam menyikapi kasus ini tidak dapat menggunakan sudut pandang kausalitas, artinya
peneliti tidak mengupas sebuah sebab dan akibat dalam penelitian ini.
Selain itu peneliti juga melakukan analisis uji beda kecemasan menghadapi masa
depan dan spiritualitas berdasarkan asal Organisasi. Hasilnya menunjukkan bahwa ada
perbedaan yang signifikan antara kecemasan menghadapi masa depan dan spiritualitas
berdasarkan asal Organisasi. Nilai signifikansi dari kecemasan menghadapi masa depan
sebesar 0,019 (p < 0,05) dan nilai signifikansi dari spiritualitas sebesar 0,004 (p < 0,05).
Organisasi A memiliki tingkat kecemasan menghadapi masa depan yang lebih tinggi
daripada Organisasi B, kondisi yang terbalik terjadi pada Organisasi B memiliki tingkat
spiritualitas lebih tinggi daripada Organisasi A. Banyak faktor yang menyebabkan ibu rumah
tangga dengan HIV di Organisasi A merasakan cemas atas masa depannya. Sejalan
dengan hasil wawancara peneliti terhadap salah satu responden yang berasal dari
Organisasi A mengatakan bahwa dirinya terkadang khawatir dengan kondisi kesehatannya
13
yang memang harus bergantung terhadap obat antiretroviral (ARV), dilemanya bagi
responden dan rekan sesama ODHA yang lain ialah ketersediaan obat tersebut seringkali
hanya terbatas, bahkan secara terpaksa ia dan rekan-rekan sesama ODHA yang lain harus
mengonsumsi obat ARV yang sudah kadaluarsa. Zaleski (1996) berpendapat bahwa
kecemasan dalam menghadapi masa depan mengandung sebuah unsur ketakutan,
ketidakpastian, kekhawatiran dan kegelisahan akan perubahan yang tidak diinginkan di
masa yang akan datang pada diri seseorang. Perihal seperti ini juga juga pernah responden
utarakan kepada peneliti bahwa ia khawatir di masa tua nanti hanya akan menjadi beban
orang lain, yang notabene adalah keluarganya sendiri.
Guna mendapatkan hasil yang imbang, peneliti juga melakukan wawancara
kepada responden yang berasal dari Organisasi B. Mengenai kecemasan dalam
menghadapi masa depan, responden mengatakan bahwa dirinya percaya segala sesuatu
telah diatur oleh Tuhan, boleh jadi yang buruk menurut kita adalah pilihan yang terbaik dari
Tuhan untuk kita. Menurutnya ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah merupakan sebuah
prinsip yang harus dipegang teguh “laayukallifullahu nafsan illa wus’ahaa…” (QS. Al-
Baqarah: 286) yang artinya Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Kendatipun penyakit HIV termasuk infeksi virus yang belum ditemukan
obat penawarnya, namun dengan penyakit ini ia berharap dapat mengambil hikmah dan
pelajaran dalam kehidupan, karena anugerah Tuhan hanya turun untuk makhluk yang
dicintai-Nya saja. Sebagaimana penderita HIV yang lain, kali pertama mengetahui bahwa
dirinya terinfeksi HIV sempat membuatnya terpuruk dan putus asa untuk bertahan hidup.
Apalagi HIV yang dideritanya tertular oleh mantan suaminya yang sudah meninggal akibat
AIDS. Hal demikian akan merumuskan bahwa kehidupan akan terhindar dari perasaan
cemas dan stress yang tinggi apabila spiritualitas dalam hal ini unsur agama menjadi titik
poin seorang ibu rumah tangga dengan HIV untuk mendapatkan self healing (Amal dan
Khofsoh, 2018). Spiritualitas merupakan dimensi penting bagi kesejahteraan perasaan
pada orang dengan HIV/AIDS. Spiritualitas pada orang yang terinfeksi HIV dianggap
sebagai jembatan antara perasaan putus asa atau kecemasan terhadap masa depan.
14
Spiritualitas merupakan bagian dari kualitas hidup yang berada dalam domain kapasitas
diri atau being yang terdiri dari nilai-nilai personal, standar personal dan kepercayaan
(University of Toronto, 2010).
Selama proses penelitian ini berlangsung tidak terlepas dari kelemahan-
kelemahan yang ditemukan. Adapun kelemahan dalam penelitian ini antara lain terdapat
pada sebagian responden kerap terlibat dalam sebuah penelitian yang berhubungan
dengan topik-topik yang menyerupai, sehingga diantaranya tidak sepenuhnya mau terbuka
dan berani jujur dalam memberikan jawaban. Kemudian, jumlah responden yang tidak
terlalu banyak serta hanya di sebagian wilayah DKI Jakarta dan Daerah Istimewa
Yogyakarta, sehingga hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisir. Belum lagi jenis kelamin
dalam penelitian ini hanyalah tunggal dan spesifik, yakni perempuan yang menjadi ibu
rumah tangga, artinya masih ada pihak-pihak yang belum terwakili atau dianggap belum
representatif.
Penutup
A. Kesimpulan
Sesuai hasil dan pembahasan penelitian yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ada hubungan yang berlawanan
antara spiritualitas dengan kecemasan menghadapi masa depan pada ibu rumah tangga
dengan HIV. Sehingga hipotesis yang diajukan pada penelitian ini diterima. Dengan
demikian, berarti semakin tinggi spiritualitas maka semakin rendah kecemasan
menghadapi masa depan pada ibu rumah tangga dengan HIV.
B. Saran
Peneliti memetakan beberapa saran yang sekiranya dapat digunakan sebagai
bahan kontemplasi berkaitan dengan dinamika psikologis dan ekspresi social dari Ibu
Rumah Tangga dengan HIV. Butiran poin yang dituliskan pada bagian ini ditujukan
kepada berbagai pihak, seperti akademisi dan peneliti lainnya, organisasi ODHA, serta
khalayak dan pemegang kebijakan.
1. Saran Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat/Organisasi ODHA
15
Sesuai hasil penelitian yang menyatakan bahwa adanya hubungan yang
signifikan antara spiritualitas dan kecemasan menghadapi masa depan, demikian
berarti bahwa spiritualitas memberikan pengaruh pada kecemasan menghadapi
masa depan, terlebih dalam penelitian ini ialah Ibu Rumah Tangga. Oleh sebab itu,
salah satu alternatif yang dapat dilakukan ialah melalui pelatihan spiritual sebagai
upaya dalam menurunkan kecemasan menghadapi masa depan yang dirasakan oleh
ODHA secara umum dan IRT dengan HIV secara khusus. Sehingga, Lembaga
Swadaya Masyarakat diharapkan mampu terlibat aktif dalam pembentukan spiritual
pada anggotanya atau konteks yang dimaksud ialah Ibu Rumah Tangga dengan HIV.
2. Saran Bagi Individu (IRT dengan HIV)
Peneliti mengajak kepada Ibu Rumah Tangga dengan HIV untuk lebih
meningkatkan kembali laku spiritualitasnya dengan mendekatkan diri pada Tuhan
Yang Masa Esa, optimisme dalam diri perlu dikuatkan agar terhindar dari sebuah
kecemasan dalam menghadapi masa depan. Masa depan adalah sebuah
keniscayaan yang harus disikapi dengan bijak, oleh sebab itu Ibu Rumah Tangga
dengan HIV diharapkan mampu menjadikan spiritualitas sebagai pijakan untuk
mencapai berbagai misi dalam hidup yang diejawantahkan kedalam sikap optimisme
akan masa depan sehingga lebih termotivasi.
3. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Peneliti menyarankan supaya penelitian yang akan dating melakukan penelitian
dengan jumlah sampel yang jauh lebih banyak serta dapat mempersiapkan waktu
yang jauh lebih panjang dalam mengumpulkan sampel.
b. Peneliti mengharapkan supaya penelitian serupa dilakukan kembali dengan
catatan memperkaya karakteristik dan ragam demografi sampel penelitian, seperti
pekerjaan suami secara spesifik atau penghasilan suami, jumlah anak yang
terinfeksi HIV, faktor penularan atau penyebab tertularnya HIV. Karenanya melalui
data tersebut dapat dijadikan dasar ilmiah guna melanjutkan penelitian dengan
variabel spiritualitas ataupun kecemasan menghadapi masa depan.
16
c. Spiritualitas tergolong variabel yang cukup sukar untuk diukur karena setiap
individu yang mengalaminya mempunyai pemaknaan yang berbeda-beda atau tak
dapat diseragamkan, oleh karena itu alat ukur yang tepat guna sangat dianjurkan.
Peneliti menghimbau agar penelitian dengan variabel spiritualitas dapat
disandingkan dengan alat ukur yang jauh lebih sempurna serta disusun
berdasarkan kondisi masyarakat asia tenggara yang didominasi oleh budaya
ketimuran.
17
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, F. dan Ratnaningsih, Ika Z. (2016). Hubungan antara Kecerdasan Spiritual dengan
Kecemasan Menghadapi Pensiun pada Karyawan di PT. Perkebunan Nusantara
VII Unit Usaha Betung Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Jurnal Empati,
Agustus 2016, Vol. 5 (3), 467-471.
Amal, Ahmad Ikhlasul dan Khofsoh, Elvi. (2018). Potret Kebutuhan Spiritual Pasien
HIV/AIDS. Unissula Nursing Conference Call for Paper & National Conference.
Vol. 1, No. 01, Hal. 70-74.
Ais. (2019). Pengidap HIV/Aids di DIY Cukup Tinggi, Dinas Kesehatan Waspadai Penularan
Terhadap Ibu Rumah Tangga. TribunJogja.com [Internet]. Diunduh pada 11 Mei
2019 di https://jogja.tribunnews.com/2019/03/21/ pengidap-hivaids-di-diy-cukup-
tinggi-dinas-kesehatan-waspadai-penularan-terhadap-ibu-rumah-tangga.
Chusna, Nurul dan Nurhalina. (2019). Tingkat Kecemasan Ibu Rumah Tangga dengan HIV
Positif di Kota Palangka Raya. Jurnal Surya Medika. Vol. 4 (2), 95-100.
Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta. (2019). Mengejar Fast Track (90-90-90)
Yang Pertama Melalui Pelatihan Konseling Dan Testing HIV. Artikel. Didapat dari:
http://www.dinkes.jogjaprov.go.id/berita/detail/hiv-aids-hiv-aids-konseling-testing-
hiv-mengejar-fast-track-909090-yang-pertama-melalui-pelatihan-konseling-dan-
testing-hiv. [Diakses 10 Desember 2019].
Dinas Kesehatan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. (2018). Profil Kesehatan Provinsi DKI
Jakarta Tahun 2017. [Online] Dikutip dari buku elektronik: https://dinkes.jakarta.
go.id/wp-content/uploads/2019/12/PROFIL-KESEHATAN-DKI-JAKARTA-
TAHUN-2017.pdf. Diakses pada tanggal 20 Mei 2019.
Fais, M. Satrianegara. (2014). “Pengaruh Religiusitas Terhadap Tingkat Depresi,
Kecemasan, Stres, dan Kualitas Hidup Penderita Penyakit Kronis di Kota
Makassar (Kajian Survei Epidemiologi Berbasis Integrasi Islam dan Kesehatan),”
Jurnal Kesehatan. VII, No. 1.
18
Fridayanti. (2015). Religiusitas, Spritualitas dalam Kajian Psikologi dan Urgensi Perumusan
Religiusitas Islam. Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi. Vol. 2, No. 2, Hal: 199 –
208.
Handajani YS, Djoerban Z, Irawan H. (2012). Quality of Life People Living with HIV/AIDS:
Outpatient in Kramat 128 Hospital Jakarta. Acta Med Indones. 44 (4): 310-316.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Pusat Data dan Informasi (Infodatin)
[Online] Dikutip dari buku elektronik: https://www.pusdatin.kemkes.go.id/article/
view/19042200004/situasi-umum-hiv-aids-dan-tes-hiv.html, [Diakses 15 Agustus
2019].
Komisi Penanggulangan AIDS DIY (KPA DIY). (2016). Data Kasus HIV AIDS DIY s/d Maret
2016. [Online] Dikutip dari laman: https://pkbi-diy.info/data-kasus-hiv-aids-d-i-
yogyakarta/ [Diakses 15 Agustus 2019].
Nahar, Miladina. (2018). Hubungan Spiritual Support dengan Kecemasan dan Adaptasi
Spiritual Ibu Hamil. Skripsi. Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.
Setyobroto, S. (2001). Mental Training. Jakarta: Percetakan Solo.
Shacham E, Morgan J. C., Önen NF, Taniguchi T, Overton ET. (2012). Screening Anxiety
In The Hiv Clinic. AIDS Behav. 16(8):2407-2413.
Stuart, GW. dan Sundeen SJ. (1985). Principle and Practice of Psychiatric Nursing. St.
Louis Missouri: Mosby Year Book Inc.
Sugihantono, Anung. (2018). Laporan Perkembangan HIV/AIDS & Infeksi Menular Seksual
(IMS) tahun 2018. Direktorat Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
(P2P) Kemenkes RI. [Online] Didapat dari: http://siha.depkes.go.id/portal
/files_upload/Laporan_ Triwulan _IV_2018.pdf. Diakses pada tanggal 20 Mei
2019.
UNAIDS. (2018). Global Report: UNAIDS report on the global AIDS epidemic. [Online]
Dikutip dari buku elektronik: https://www.unaids.org/sites/default/files/media_
asset/unaids-data-2018_en.pdf. Diakses pada tanggal 20 Mei 2019.
19
Underwood, L. G. (2011). The Daily Spiritual Experience Scale: Overview and Results.
Religions, 2 (1), 29–50.
______ . (2013). Spiritual Connection in Daily Life: 16 Little Questions That Can Make a Big
Difference.USA: Templeton Press.
University of Toronto. (2010). The Quality of Life Model Research Unit. [Online]. Diunduh
pada 07 Januari 2020 di http://sites.utoronto.ca/qol/qol_ model.htm.
Wisnubro. (2017). Ibu Rumah Tangga Harus Waspada Ancaman HIV/AIDS [Internet].
Didapat dari: https://jpp.go.id/humaniora/kesehatan/313714-ibu-rumah-tangga-
harus-waspada-ancaman-hiv-aids.
World Health Organization (2018). Global Report: WHO Report on The Global AIDS
Epidemic. [Online]. Didapat dari buku elektronik: https://www.who.int/hiv/data/en/.
Diakses pada tanggal 29 Oktober 2019.
Zaleski, Z. (1996). Future Anxiety: Concept, Measurement and Preliminary Research.
Person. Individu. Different Vol. 21, No. 2, 165-174.
Zanden (2007). Saat-saat Mendekati Persalinan. Jakarta: Rineka
IDENTITAS PENELITI
Nama : Humam Alani
Alamat Kampus : Universitas Islam Indonesia, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial
Budaya, Program Studi Psikologi, Jalan Kaliurang KM 14,5
Yogyakarta 55584
Alamat Rumah : PP. Nailul Ula Center, Jalan Plosokuning Raya No. 81, Desa
Minomartani, Kec. Ngaglik, Kab. Sleman 55581
No. HP : +62 823 16275935
Email : [email protected]