SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi...

109
SKRIPSI TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI (STUDI TERHADAP REFERENDUM KURDISTAN) OLEH: ANUGERAH EDYS DERMAWAN B111 14 348 DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN 2018

Transcript of SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi...

Page 1: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

SKRIPSI

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP

HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI

(STUDI TERHADAP REFERENDUM KURDISTAN)

OLEH:

ANUGERAH EDYS DERMAWAN

B111 14 348

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2018

Page 2: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

i

HALAMAN JUDUL

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP HAK

MENENTUKAN NASIB SENDIRI ( STUDI TERHADAP REFERENDUM

KURDISTAN)

OLEH

ANUGERAH EDYS DERMAWAN

B 111 14 348

SKRIPSI

Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka

Penyelesaian Studi Sarjana dalam Program

Kekhususan Hukum Internasional Program Studi

Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

Page 3: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

ii

Page 4: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

iii

Page 5: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

iv

Page 6: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

v

ABSTRAK

ANUGERAH EDYS DERMAWAN (B 111 14 348) Tinjauan Hukum Internasional

Terhadap Hak Menentukan Nasib Sendiri (Studi Terhadap Referendum

Kurdistan). Dibimbing oleh S.M.Noor dan Judhariksawan.

Skripsi ini membahas tentang hak menentukan nasib sendiri sebagai dasar

pelaksanaan referendum Kurdistan. Penelitian ini mengangkat isu hak

menentukan nasib sendiri dan kedudukan hukum Kurdistan pasca referendum.

Penelitian ini menjelaskan status hukum Kurdistan dan menganalisis sejauh mana

hukum internasional mengatur tentang hak menentukan nasib sendiri termasuk

batasan penggunaan hak ini. Pemisahan diri secara sepihak sebagai bentuk

manifestasi hak menentukan nasib sendiri secara eksternal dapat terwujud,

apabila memenuhi syarat tertentu dan dialami oleh kelompok orang tersebut.

Hasilnya, skripsi ini menyimpulkan bahwa referendum Kurdistan 2017 tidak

memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan tidak sesuai dengan hukum nasional

Irak dan hukum Internasional.

Kata kunci : Hak menentukan nasib sendiri, Kurdistan

ABSTRACT

Page 7: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

vi

ANUGERAH EDYS DERMAWAN (B 111 14 348) Review of International Law on the Right to Self-Determination (Study of the Kurdistan Referendum). Guided by S.M.Noor and Judhariksawan. This thesis discusses the right to self-determination as the basis for the implementation of the Kurdistan referendum. This research raises the issue of self-determination and post-referendum law of Kurdistan. This study explains the legal status of Kurdistan and analyzes the extent to which international law regulates the right of self-determination including the limitation of the use of this right. Unilateral separation as a manifestation of the right to self-determination externally can be realized, if it meets certain conditions and experienced by that group of people. As a result, this thesis concludes that the 2017 Kurdistan referendum has no binding legal force and is inconsistent with Iraqi national law and international law. Keywords: Right to self-determination, Kurdistan

KATA PENGANTAR

Page 8: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

vii

Segala Puji penulis panjatkan hanya untuk Allah SWT, atas

segala berkat dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi ini dengan judul “Tinjauan Hukum Internasional

Terhadap Hak Menentukan Nasib Sendiri (Studi Terhadap

Referendum Kurdistan)” yang merupakan tugas akhir dan salah satu

syarat yang wajib ditempuh untuk meraih gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Dengan segala kerendahan hati, penulis mempersembahkan

skripsi ini kepada Ayahanda Ir. Idris Marhabang dan Ibunda Dra.Masita

Lenan yang dengan penuh kasih sayang, ketulusan hati dan kesabaran

telah melahirkan dan mendidik penulis untuk menjadi insan yang berguna.

Tidak lupa ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada adik

Annisa Putri yang memberikan dukungan dan semangat kepada penulis

menyelesaikan skripsi ini.

Atas terwujudnya skripsi ini, maka penulis menyampaikan ucapan

terimakasih kepada bapak Prof.Dr.S.M.Noor,S.H.,M.H selaku Pembimbing

I dan bapak Prof.Dr.Judhariksawan,S.H.,M.H selaku Pembimbing II yang

telah banyak meluangkan waktu, tenaga serta pikiran dalam memberikan

bimbingan hingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat

waktu.

Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan

terima kasih kepada:

Page 9: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

viii

1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu M.A selaku Rektor

Universitas Hasanuddin, beserta Wakil Rektor lainnya.

2. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H,. M.Hum. selaku Dekan

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, beserta Wakil Dekan

lainnya;

3. Bapak Prof. Dr .Muhammad Ashri,S.H., M.H selaku penguji I,

bapak Dr. Abd Massbah Magassing,S.H., M.H selaku penguji II

dan Ibu Dr. Iin Karita Sakharina,S.H., M.A selaku penguji III

yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan

masukan keapda penulis.

4. Bapak Muhammad Ramli,S.H., M.H selaku Penasehat

Akademik penulis yang telah banyak memberikan bimbingan

kepada penulis dimasa perkuliahan.

5. Segenap Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

6. Kanda Usman, Pak Roni, Pak Minggu, Pak Ramalang dan Pak

Bunga, Pak Hakim, Kak Aniel serta seluruh staff Akademik dan

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

7. Teruntuk saudara-saudara ku yang tergabung didalam Local

Board ALSA LC Unhas 15/16 Ashar, Uni, Titi, Akram, Hendri,

Tiwi, Kiki, Uni, Zuhal, Dila, Baim, Ike, Mala, Khaerul, Gitya,

Angel, Nomeh, Jean, Imam, Dian, Indira, Surya, Adit dan Rhila

terimakasih telah mengisi hidup penulis dengan ke-Unikan

Page 10: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

ix

kalian semua, semangat bagi kalian yang masih struggling

dengan urusan skripsi ini.

8. Terimakasih kepada seluruh kakanda Alumni dan Demissioner

ALSA LC Unhas atas bimbingan dan bantuannya.

9. Terimakasih kepada adik-adikku di ALSA LC Unhas terkhusus

kepada wawa, galuh, eka, deny, hukama, arya, indra semoga

tidak banyak errornya.

10. Teman-teman seperjuangan KKN Gelombang 96 Mahkamah

Konstitusi Kevin, Matet, Jemmi, Dirga, Mutia, Puteri, Vhera,

Kandi, Nunu, Kiki, Surya, Dedy, Fathul, Oji, Inna, Melly, Aulia,

Athirah, Luly. Terimakasih atas 1 bulan yang tak terlupakan.

11. Teman-teman dari Maba ku Enab & Riri terimakasih telah

berteman dengan saya haha

12. Terkhusus kepada sahabat-sahabat penulis Akram, Baim,

Zuhal, Dila, Angel, Gitya, Dian, Iccang, dan Indira terimakasih

telah menghibur, membantu dan mendukung penulis.

13. Teruntuk seseorang yang tak mampu saya tuliskan namanya

disini terimakasih telah memberikan semangat, dan motivasi

untuk berjuang bagi penulis you are the really mvp

Penulis menyadari bahwa karya ini masih sangat jauh dari

kesempurnaan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis

mengharapkan kritikan yang sifatnya membangun untuk perbaikan

dan penyempurnaan skripsi ini.

Page 11: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

x

Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat berguna dalam

pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pada

umumnya dan hukum pidana pada khususnya.

Makassar, Mei 2018

Anugerah Edys Dermawan

Page 12: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

xi

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul…………………………………………………………………. i

Pengesahan Skripsi……..……….………………………………………....... ii

Persetujuan Pembimbing.….………….……………………………............ iii

Persetujuan Menempuh Ujian Skripsi…………………………………….. iv

Abstrak…………………………………………………………………………. V

Kata Pengantar……………………………………………………………….. Vii

Daftar Isi……………………………………………………………………….. xi

BAB I Pendahuluan ………………………………………………………....... 1

A. Latar Belakang ………... ……………………………………………. 1

B. Rumusan Masalah…………………………………………………… 6

C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………. 6

D. Manfaat Penelitian ………………………………………………….. 7

BAB II Tinjauan Pustaka …………………………………………………….. 8

A. Hak Menentukan Nasib Sendiri …………………………………. 8

1. Pengemban Hak Penentuan Nasib Sendiri (The Right of Self

Determination…………………………………………………… 13

2. Hak untuk melepaskan diri (The Right of External Self

Determination)…………………………………………………. 19

B. Negara………………………………………………………………… 22

1. Pengertian Negara……………………………………… …….. 23

2. Kriteria Terbentuknya Negara………………………………… 24

3. Pengakuan Negara Lain ……………………………………… 27

4. Pengelompokan Pengakuan Negara………………………… 29

C. Referendum…………………………………………………………… 34

D. Sejarah Kurdistan…………………………………………………….. 36

Page 13: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

xii

BAB III Metode Penelitian ………………………………………………..…… 42

A. Lokasi Penelitian …………………………………………..………. 42

B. Jenis dan Sumber Data ……………………………………………. 42

C. Teknik Pengumpulan Data ………………………………………… 43

D. Analisis Data ………………………………………………………… 43

BAB IV Pembahasan………………………………………………..……….. 44

A. Perkembangan Hukum Internasional Mengenai Hak Menentukan

Nasib Sendiri …………………………………………..………..….... 42

1. Perjanjian Internasional Mengenai Hak Menentukan Nasib

Sendiri…………………………………………………………. 45

2. Hak Menentukan Nasib Sendiri dalam Perjanjian

Regional………………………………………………………. 52

3. Hukum Kebiasaan Internasional……………………………. 56

4. Keputusan Pengadilan dan Pendapat Sarjana Mengenai Hak

Menentukan Nasib Sendiri…………………………….. 67

B. Kedudukan Hukum Referendum Kurdistan………………………. 79

1. Konsep Referendum Kemerdekaan……………………….. 79

2. Referendum dalam Hukum Konstitusi Irak………………… 81

3. Hak Melepaskan Diri Dibawah Hukum Internasional…….. 85

BAB V Penutup………..………………………………………………..………. 91

1. Kesimpulan……………………………………………………………….. 91

2. Saran……………………………………………………………………… 93

DAFTAR PUSTAKA

Page 14: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebebasan dan kemerdekaan selalu menjadi hal yang

diperjuangkan oleh manusia, karena pada hakikatnya manusia memang

ditakdirkan untuk hidup merdeka dan bebas menentukan pilihannya sendiri.

Menurut Rafika, tuntutan kemerdekaan tidak hanya datang dari perorangan

tetapi juga suku,etnis, bahkan dari berbagai bangsa yang merasa harus

segera menentukan nasibnya sendiri. Pihak-pihak yang menginginkan

adanya suatu kemerdekaan adalah pihak-pihak yang merupakan golongan

minoritas suatu etnis, atau suku dan sebagian penduduk dalam suatu

wilayah yang merasa diperlakukan secara tidak adil oleh pemerintah yang

berkuasa.1

Upaya penentuan nasib sendiri merupakan bagain dari hak asasi

manusia yang telah diatur dalam berbagai perjanjian dan sebagai prinsip

hukum internasional. Hak ini menyatakan bahwa semua negara (All States)

atau bangsa (Peoples) mempunyai hak untuk membentuk sistem politiknya

sendiri dan memiliki aturan internalnya sendiri, secara bebas untuk

mengejar pembangunan, ekonomi, sosial dan budaya mereka sendiri, dan

untuk menggunakan sumber daya alam yang mereka anggap cocok,

1 Rafika Nur, Pengaturan Self Determination dalam Hukum Internasional (Studi Kemerdekaan Kosovo), Jurnal Hukum Internasional, Vol.1 (July,2013).Hlm 69

Page 15: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

2

tunduk pada kewajiban-kewajiban hukum internasional.2 Hak menentukan

nasib sendiri dalam hukum internasional memiliki pembatasan secara

hukum (Legal Limit) yakni hanya ditujukan pada proses dekolonisasi.

Sebelum diadopsinya dua kovenan internasional hak asasi manusia yakni

Kovenan Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political

Rights) dan Kovenan Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (International

Covenant on Economic, Social and Culture Rights).

Hak menentukan nasib sendiri sudah dirumuskan dan ditetapkan

dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada

negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3 Bahwa dalam sekelompok

orang yang sedang dalam usaha dekolonisasi, entitas dengan status non-

self-governing-territory, ataupun negara protektorat, memperolah jaminan

hak unutk “Menentukan nasib sendiri” sebagaimana dikukuhkan dalam

Declaration on Granting of Independence to Colonial Countries and People

1960 (Selanjutnya disebut Declaration of Granting Independence 1960)

yang diterima PBB pada bulan desember 1960 melalui resolusi majelis

umum PBB nomor 1514 (XVXIV).4

Pada umumnya di wilayah yang menginginkan kemerdekaan

terdapat gerakan pembebasan yang merupakan cerminan dari sebagian

atau keseluruhan dari rakyat di wilayah tersebut. Tuntutan yang paling

2 Peter Baehr dan Peter Van Dijk, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia,(Terjemahan Adnan Buyung Nasution & A.Patra.M.Zen) Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 2006,Hlm.4 3 Peter Baehr dan Peter Van Dijk, Op.Cit, Hlm.34 4 UN General Assembly, Declaration on granting of Independence to Colonial Countries and people, GA Resolution 1514

Page 16: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

3

sering terdengar adalah pembentukan suatu wilayah baru dengan cara

melakukan pemisahan dari negara asalnya. Tampaknya hak menentukan

nasib sendiri berkonotasi pada kebebasan untuk memilih dari rakyat yang

belum merdeka melalui Plesbisit (Plesbicite) atau metode-metode lainnya

untuk memastikan kehendak rakyat.5

Plesbicite merupakan salah satu bentuk pengalihan wilayah

melalui pemilihan penduduknya menyusul dilaksanakannya pemilihan

umum, referendum, atau cara-cara lain yang dipilih oleh penduduk. Huala

Adolf berpendapat bahwa Plesbicite merupakan peralihan suatu wilayah

bukan antar negara berdaulat dengan negara berdaulat lainnya, tetapi

peralihan terjadi antara negara berdaulat dengan penduduk di suatu

wilayah.6 Martin Dixon berpendapat bahwa cara perolehan wilayah dengan

Plesbicite ini sebagai “penentuan nasib sendiri” (Self Determination).7

Namun tidak ada dokumen internasional yang mengukuhkan

secara eksplisit mengenai apakah kelompok orang yang berada dalam

negara mereka dapat memisahkan diri secara sepihak dari negaranya

sebagai salah bentuk penerapan hak penentuan nasib sendiri.

Ketidakjelasan aturan dalam hukum internasional ini mengakibatkan

beberapa masalah dilapangan, diantaranya adalah munculnya entitas De

Facto yang berperilaku seperti negara namun hanya diakui oleh satu atau

5 H.Victor Conde, A Handbook of International Human Rights Terminology, Nebraska: University of Nebraska Press, (1999),Hlm.135 6 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional Edisi Revisi, Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada (2002),Hlm.130 7 Ibid, Hlm.131

Page 17: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

4

dua negara,8 meningkatnya ketidakstabilan dalam negeri karena

pertentangan antara mereka yang hendak berpisah dengan negara induk

yang mencegahnya.

Gerakan pemisahan diri atau menentukan nasib sendiri yang

mengancam integritas dan kedaulatan wilayah suatu negara tidak

dibenarkan, hal tersebut dirumuskan dalam Deklarasi Wina dan Paragraf 6

Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514 (XVXIV).9 Sehubungan dengan

perkembangan hak menentukan nasib sendiri, sejak awal ke-20 perjuangan

etnis Kurdi sudah dimulai sejak irak berdiri sebagai British Mandate of

Mesopotamia (1920-1932) kemudian saat Irak menjadi Kingdom of Iraq

(1932-1958).

Pada tahun 1958 Revolusi Nasionalis di Irak kembali terbuka,

inilah awal lahirnya Republik Irak yang merdeka dan berdaulat. Hal ini

membuka kesempatan untuk Etnis Kurdi memperjuangkan tuntutan

kemerdekaan bagi mereka. Sejak revolusi Irak tahun 1958 dominasi etnis

Arab di pemerintahan Irak mulai mendapat tantangan dari gerakan etnis

Kurdi yang menagih kemerdekaan. Pengakuan sebagai wilayah yang

merdeka menjadi penting bagi etnis kurdi.10 Mereka merasa berbeda

8 Atonello Tancredi, “A Normative Due Process” in the creation of states through Secession,” dalam Marcelo Kohen, Secession, (Cambridge: Cambridge University Press),Hlm.172 9 Paragraf 6 menyatakan : any attempt aimed at the partial or total disruption of the national unity and the territorial integrity of the country is incompatible with the purposes and principles of the Charter of The United Nation. 10 https://id.wikipedia.org/wiki/Referendum Kemerdekaan Kurdistan Irak 2017#cite note-Rudaw.net-1 diakses pada tanggal 20 Januari 2018: 18:00

Page 18: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

5

dengan etnis lain yang berada disekitarnya, sebab Irak didominasi oleh

etnis Arab.

Pada bulan September 2017, etnis Kurdi yang mendiami wilayah

Kurdistan melaksanakan referendum kemerdekaan untuk memisahkan diri

dari Irak walau pemerintah pusat di Baghdad mengecam keras referendum

tersebut. Referendum merupakan solusi yang diambil oleh Kurdistan

Regional Goverment (KRG) untuk mendapatkan kemerdekaan. Namun

pemerintah Irak tidak mengakui referendum tersebut dan mendesak dunia

Internasional untuk tidak mengakui referendum tersebut. Hasil Akhir dari

referendum di Kurdistan menunjukkan bahwa 92,73% memilih mendukung

Kurdistan untuk merdeka.11

Turki, Iran, dan Irak mengecam keras hasil referendum tersebut

dengan menerapkan No Fly Zone di wilayah Kurdistan dan memblokade

perbatasan, serta melakukan embargo semua ekspor dan impor bahan

bakar kedalam atau keluar wilayah Kurdistan.12

Namun, tidak ada negara yang mengakui hasil dari referendum

tersebut. Mengingat bahwa Hukum Internasional menjamin hak untuk

menentukan nasibnya sendiri, maka judul skripsi yang akan diangkat

penulis adalah :

11 Ibid. 12 3 Negara Isolasi Wilayah Kurdistan https://global.liputan6.com/read/3114048/usai-referendum-3-negara-ini-isolasi-kurdistan-irak diakses pada tanggal 20 januari 2018: 16:00

Page 19: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

6

“Tinjauan Hukum Internasional terhadap Hak Menentukan

Nasib Sendiri ( Studi Terhadap Referendum Kurdistan )”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan

masalah adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan Hukum Internasional mengenai

hak penentuan nasib sendiri?

2. Bagaimana kedudukan hukum Kurdistan menurut Hukum

Internasional?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, yaitu :

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum internasional

mengenai hak penentuan nasib sendiri.

2. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan dan posisi

hukum Kurdistan menurut hukum internasional.

Page 20: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

7

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini, yaitu :

1. Dengan penelitian ini dapat diketahui bagaimana

pengaturan hukum Internasional mengenai hak

penentuan nasib sendiri.

2. Dengan penelitian ini dapat diketahui bagaimana

kedudukan dan posisi hukum Kurdistan menurut hukum

internasional.

Page 21: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hak Menentukan Nasib sendiri

Hak menentukan nasib sendiri (The Right of Self Determination )

telah menjadi prinsip dasar hukum internasional umum yang diterima dan

diakui sebagai suatu norma yang mengikat dalam masyarakat

internasional yang sering disebut sebagai Jus Cogens.13 Prinsip ini

membatasi kehendak bebas negara dalam menangani gerakan separatis

yang terjadi di wilayahnya dengan tetap mengacu pada kaidah hukum

internasional yang mengancam validitas persetujuan-persetujuan ataupun

aturan dan cara-cara yang ditempuh negara yang bertentangan dengan

hukum internasional, karena penentuan nasib sendiri diakui masyarakat

internasional sebagai hak asasi manusia yang harus dihormati.14

Menurut Akehurst yang dimaksud self determination adalah:

“The right of people living in a territory to determine the political and legal status of that territory, for example by setting up a state of their own or by choosing to become part of another state.”15

Selanjutnya perkembangan hak menentukan nasib sendiri terdiri

atas dua era yaitu era Liga Bangsa-Bangsa dan era Persatuan Bangsa-

Bangsa. Gagasan adanya self determination mula-mula dikemukakan oleh

presiden Wilson dalam pidatonya di depan Kongres Amerika Serikat pada

13 Rafika Nur. Op.Cit. Hlm.71 14 Ibid 15 Michael Akehurst,Modern Introduction to International Law, Routledge (1997), hlm.80

Page 22: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

9

8 januari 1918, yang kemudian ditegaskan lagi dalam naskah Konvensi Liga

Bangsa-Bangsa yang diusulkannya, yang antara lain menyebutkan:

“The contracting powers unite guaranteeing.. territorial readjustment.. as many in the future become necessary by reason of change in the present social conditions and aspirations or present social and political relationship, pursuant to the principle of self determination”

Maksud dari gagasan tersebut sebenarnya adalah agar diberikan

kesempatan pasca Perang Dunia I berdasarkan asas demokrasi kepada

golongan-golongan minoritas di Eropa untuk menentukan nasibnya sendiri

dengan membentuk Negara-negara merdeka yang tidak dimasukkan dalam

wilayah Negara-negara yang menang perang.16 Namun demikian, gagasan

ini banyak mendapat tentangan dari berbagai pihak karena hak tersebut

seifatnya seperti bungle yang dapat berubah warna dan mempunyai banyak

akibat politis yang sulit diduga.17

Selanjutnya Robert Lansing, menteri luar negeri Amerika Serikat

saat Wilson menjadi presiden mengemukakan bahwa:

“The more I think about the President declaration as to the right of self determination, the more convince I am of the danger.”18

Karena mendapat banyak tentangan, maka dapat dipahami bila hak

untuk menentukan nasib sendiri tidak dimuat dalam Kovenan LBB. Pada

16 A.Rego Sureda, “The Evolution of the Right to Self-Determination Right: a Study of United Nations Practice”, dalam Sefriani Hukum Internasional suatu pengantar.Jakarta.Rajawali Press, (2009).Hlm.102 17 Ibid 18 Michla Pomerance, Self Determination in Law and practice: the new doctrine in the United Nations,Martinus Nijhoff Publishers, The Hague,1982.Hlm.1

Page 23: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

10

saat itu tidak dikehendaki bahwa setiap kelompok orang atas dasar ras

dimungkinkan untuk memisahkan diri dari suatu Negara yang ada dan

membentuk Negara baru sendiri. Apabila hak ini diakui dikhawatirkan akan

menimbulkan kekacauan dan merusak hubungan internasional yang ada.19

Setelah gagal dimasukkan dalam kovenan, Self determination

muncul kembali pada kasus Aaland Island yang mempermasalahkan

apakah penduduk Aaland Island yang berasal dari Swedia dapat

memisahkan diri dari Finlandia dan bergabung ke dalam Negara Swedia.

Terhadap permasalahan ini Majelis LBB pada tahun 1921 memutuskan

bahwa hak menentukan nasib sendiri tidak dapat dijalankan dalam kasus

Aaland Island .20 Seperti yang telah dijelaskan diatas, di era LBB, Self

determination right ditolak dengan tegas sebagai kaidah hukum

Internasional dan hanyak diakui sebagai konsep politik karena dipandang

dapat merusak hubungan internasional.

Melangkah ke era PBB, beberapa pasal dalam Piagam PBB

mencantumkan self determination baik secara langsung maupun tidak

langsung. Adapun pasal yang memuat secara langsung memuat self

determination right adalah:

1) Pasal 1 (2) yang menetapkan: “to develop friendly relations among

nations based on respect for the principle of equal rights and self

determination”

19 Ibid. 20 Suraputra Sidik, “Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri Dalam Hukum Internasional Publik” hlm.302, dalam Sefriani Hukum Internasional suatu pengantar.Jakarta.Rajawali Press, (2009) hlm.103

Page 24: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

11

2) Pasal 55 yang menetapkan: “to creation of stability and well being

which are necessary for peaceful and friendly relations among

nations based on respect for the principle of equal right and self

determination of peoples…”

Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa piagam

mengartikan self determination sebagai hak dari people untuk menciptakan

keadaan yang tertib dan kemakmuran.21

Dalam pasal 1 ayat 1 kedua kovenan, yaitu International Covenant

on Civil and Political Rights (ICCPR) serta International Covenant on

Economic, Social & Cultural Rights (ICESCR) yang berbunyi :

“all people have the right to self-determination, by virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development.”

Penentuan nasib sendiri menjadi ideologi politik dalam prinsip hukum

internasional yang di bangun oleh PBB dan dalam prakteknya penentuan

nasib sendiri bertujuan untuk memerdekakan semua orang yang berada

dibawah kekuasaan kolonial. Ideologi ini di adopsi dari resolusi Majelis

Umum PBB mengenai dekolonisasi, tepatnya pada resolusi 1514 (XV)

tahun 1960 dengan nama Declaration on the Granting of Independence to

Colonial Countries and People. Hal ini memberikan dua efek penting, yang

pertama prinsip ini diangkat menjadi hak masyarakat dan yang kedua

21 Ibid.

Page 25: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

12

menjelaskan isi dari penentuan nasib sendiri dalam resolusi yang

menekankan bahwa :

“all people have the right to self-determination, by virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development”.22

Senada dengan Resolusi 1514 , Resolusi majelis umum PBB No 2625

tentang Principles of International Law Concerning Friendly Relation and

Cooperation Among State in Accordance with the Charter of the United

Nation pada tanggal 24 Oktober 1970, pada Prinsip ke-4 disebutkan :

“By Virtue of the principle of equal right and self determination of people enshrined in the charter, all people have the right freely to determine, without external interference, their political status and pursue their economic, social and culture development, and every state has the duty to respect this right in accordance with the provisions of the charter.

Every State has the duty to promote, trough joint and separate action, the realization of the principle of equal rights and self determination of peoples, in accordance with the provisions of the charter, and to render assistance to the United Nation in carrying out the responsibilities entrusted to it by the Charter regarding the implementation of the principle in order:

A. to promote friendly relations and co-operation among state and

B. to bring a speedly end colonialism, having regard to the freely expressed will of the peoples concerned and…”

Pada era PBB self determination sudah mendapatkan pengakuan

sebagai legal right sudah tidak menjadi political philosopy lagi. Dari

22 Theu, Bright. “The Law of Self-Determination (Secession In Prespective): Way Forward After Kosovo and Southern Sudan” Makerere University.2009.hlm.14

Page 26: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

13

penjelasan diatas konsep self determination atau hak menentukan nasib

sendiri didefinisikan sebagai kebebasan untuk mengatur diri secara bebas

untuk mengembangkan kondisi ekonomi, sosial dan budaya mereka.

1. Pengemban Hak Penentuan Nasib Sendiri

Menelusuri kembali instrumen-instrumen hukum internasional

mengenai hak penentuan nasib sendiri, mereka mengatur bahwa hak

penentuan nasib sendiri diemban oleh “peoples atau “all peoples.

Disamping berarti sekumpulan orang dalam jumlah besar, tidak ada arti

yang tepat untuk mendefinisikan istilah “peoples” ini.

Istilah “peoples” bisa saja berarti semua orang yang ada pada sebuah

negara berdaulat, atau bisa saja didefinisikan sebagai sekelompok orang

yang pengelompokannya dapat berdasarkan ras, etnis atau bahkan agama.

Dalam Black’s Law Dictionary, istilah “peoples” didefinisikan;

“A nation on its collective and political capacity. The aggregate or mass of the individuals who constitute the state. In a more restricted sense, and as generally used in constitutional law, the entire body of those citizens of a state or nation who are invested with political power for political purposes.”

Dalam konteks dekolonisasi (termasuk dalam hal ini wilayah

protektorat dan non-self-governing- territories), sekelompok orang dimaknai

dengan “the entire population of a territorial unit”, yang dipersamakan

Page 27: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

14

dengan bangsa atau nation. Mahkamah Internasional merefleksikan hal

tersebut melalui keputusannya di South West Africa Cases,Western Sahara

Advisory Opinion, dan East Timor Case.23

Usaha selanjutnya untuk mendefinisikan arti dari kata “people” muncul

dalam proses pembentukan Covenant on Human Rights 1966 (terdiri atas

dua Kovenan yaitu Covenant on Civil and Political Rights 1966 dan

Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966), dimana dalam

kedua kovenan ini hak penentuan nasib sendiri merujuk kepada istilah “all

peoples”. Untuk istilah ini, panitia pembentuk Kovenan menyarankan

bahwa arti kata tersebut adalah:

1. Peoples in all countries and territories, whether independent, trust

or non-self governing; 2. Large compact groups;

3. Ethnic, religions or linguistic minorities;

4. Rasial units inhabitting well-defined territories;.24

Keputusan Mahkamah Agung Kanada, dalam kasus pelepasan

Quebec mencoba untuk memastikan pengertian dari istilah “people” (dalam

bentuk tunggal) untuk penggunaannya dalam hak penentuan nasib sendiri

sebagai berikut:

“It is clear that a “people” may include only a portion of the population of an existing state. The right of self determination has developed largely as a human right, and is generally used in documents that simultaneously contain references to “nation‟ and “state‟. The juxtaposition of these terms is indicative that the reference to “people”

23 South West Africa Cases, (Ethiophia. v. South Africa; Liberia. v. South Africa) 1960 I.C.J. 6, 323. Western Sahara Advisory Opinion, I.C.J Rep. 1975, para. 54. East Timor Case (Portugal v Australia), I.C.J Rep. 90, hlm. 265, 1995, para. 36-37. 24 Bossuyt, M.j., Guide to the “Travaux Prepatories” of the International Covenant on Civil and Political Rights, Martinus Nijhoff Publishers, (1987). Hlm. 32

Page 28: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

15

does not necessary mean the entirety of a state’s population. ”25

Walaupun Mahkamah Agung Kanada dalam keputusannya tersebut

tidak memberikan definisi mengenai istilah “people” dapat merujuk kepada

kelompok-kelompok individual tertentu saja dalam suatu negara dan bukan

keseluruhan penduduk dari suatu negara. Mahkamah Agung Kanada

tersebut menyampaikan alasan dari pernyataan mereka sebagai berikut:

“To restrict the definition of the term to the population of exiting states would render the granting of a right of self determination largely duplicative, given the parallel emphasis within the majority of the source documents on the need to protect the territorial integrity of the existing states, and would frustrate its remedial purpose.”26

Selain mengklarfikasi hal tersebut, Supreme Court of Canada juga

memberi catatan bahwa terdapat karakter-karakter tertentu yang

menjadikan orang-orang Quebec sebagai “people”, diantaranya karena “the

Quebec population certainly shares many of the characteristics (such as a

common language and culture).27

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mereka yang dapat

merelealisasikan haknya adalah kelompok orang di dalam suatu negara

yang memiliki kesamaan tertentu, diantaranya bahasa dan budaya. Di luar

konteks dekolonisasi, mereka yang berhak atas penentuan nasib sendiri

memiliki dua makna. Makna pertama berkaitan dengan hak penentuan

25 Decision of the Supreme Court of Canada Concerning Certain Questions Relating to the Secession of Quebec from Canada, tanggal 30 September 1996, paragraf 124 26 Ibid 27 Ibid

Page 29: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

16

nasib sendiri secara internal, yang merupakan hak seluruh populasi wilayah

Negara.

Makna pertama berkaitan dengan hak penentuan nasib sendiri secara

internal, yang merupakan hak seluruh populasi wilayah negara. Makna ini

tercermin dalam instrumen-instrumen hukum internasional mengenai hak

penentuan nasib sendiri secara internal seperi dalam ICCPR dan ICESR.

Dalam kedua kovenan tersebut, rujukan terhadap “people” dalam Pasal 1

adalah,“(the words 'all peoples' have to be understood as) to include the

entire population of States,” yang haknya harus dipenuhi oleh pemerintah

negaranya sendiri. Hak-hak yang terkait dengan pasal tersebut adalah hak

individu dalam suatu negara dari pemerintah negaranya.Definisi serupa

juga terdapat dalam Declaration of Friendly Relations 1970,

Vienna

Declaration and Program of Action 1993, dan Helsinki Final Act 1975.

Instrumen-instrumen tersebut mengindikasikan bahwa “people” yang

dimaksud adalah seluruh populasi dari suatu negara. Perbedaan dengan

makna “people” dalam konteks dekolonisasi, terletak pada pihak yang

mengemban kewajiban untuk memenuhi hak-hak populasi tersebut. Dalam

konteks dekolonisasi, yang mengemban kewajiban untuk memenuhi hak

penentuan nasib sendiri dari populasi wilayah yang bersangkutan adalah

negara penjajah, negara protektorat, atau mandat.

Sementara di luar

konteks dekolonisasi yang berkewajiban adalah pemerintah negara dari

Page 30: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

17

populasi yang bersangkutan.28

Makna yang kedua, adalah “people” yang berhak penentuan nasib

sendiri secara eksternal. Di luar konteks dekolonisasi, mereka yang berhak

atas hak penentuan nasib sendiri juga bermakna sekelompok orang di

dalam suatu negara yang memiliki karakter-karakter unik dari populasi

lainnya.

UNESCO pernah melakukan diskusi mengenai definisi people diluar

konteks dekolonisasi dalam International Meeting of Experts for the

Elucidation of the Concepts of Rights of Peoples tahun 1989, menyimpulkan

bahwa karakter yang bisa mendeskripsikan “people” adalah sebagian atau

seluruh ciri-ciri berikut:

1. (a) a common historical tradition;

(b) racial or ethnic identity; (c) cultural homogeneity; (d) linguistic unity; (e) religious or ideological affinity;

(f) territorial connection;

(g) common economic life;29

Selain memiliki sebagaian atau keseluruhan karakter-karakter di atas,

UNESCO juga mensyaratkan:

(2) the group must be of a certain number which need not be large (e.g. the people of micro States) but which must be more than a mere association of individuals within a State;

28 Frida Armas Prifter dan Silvina Gonzales, “Secession and International Law” dalam Kohen, e.d, secession,(Cambridge University Press,2006) hlm.375 29 United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organisation, International Meeting of Experts for the Elucidation of the Concepts of Rights of Peoples, SHS-89/CONF.602/7, (22 Februari 1990), para. 5

Page 31: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

18

(3) the group as a whole must have the will to be identified as a people or the consciousness of being a people - allowing that groups or some members of such characteristics, may grows, though sharing the foregoing not have that will or consciousness; and possibly;

(4) the group must have institutions or other means of expressing its

common characteristics and will for identity.30

Tentu saja sangat sulit untuk mendefinisikan setelah istilah

“people”.Istilah ini harus bisa dilihat dari dua dasar pembentukannya, yaitu

dasar objektif dan dasar subjektif. Dasar objektif dari istilah “people” adalah

bahwa keberadaan suatu kelompok etnis pasti di hubungkan berdasarkan

kesamaan sejarah. Sekelompok orang tertentu yang tidak memiliki

kesamaan tradisi tidak dapat dikategorikan sebagai “people”. Ada pula

dasar subjektif, dimana dasar pembentuk “people” tidak cukup hanya

berdasarkan fakta keetnisan ataupun sejarah, tetapi juga berdasarkan

kesamaan semangat, jiwa dan watak dari suku-suku bangsa yang ada di

sebuah negara.31

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah, yang dimaksud dengan

“people” yang berhak untuk memisahkan diri secara sepihak dari

negaranya memiliki dua karakter, yaitu karakter objektif dan subjektif.

Karakter objektif ini adalah melihat “to what extent its members share

common characteristics” baik itu bahasa, kebudayaan, agama, dan/ atau

30 Ibid

31 Dinstein Yoram, Collective Human Right of Peoples and Minorities. 25 International and

Compartive Law Quarterly, 1976.Hlm.104

Page 32: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

19

kegiatan ekonomi. Sementara karakter subjektif digunakan untuk

“examines how individuals within the group perceive themselves.”

Sekelompok orang tersebut biasanya memiliki “shared sense of values, a

common goal for the group‘s future, and the degree to which the group can

form a viable political entity.32

2. Hak untuk Melepaskan Diri (The Right to External Self

Determination) dan Potensi Konflik Dengan Prinsip Keutuhan

Wilayah (Territorial Integrity)

Hukum internasional selain melindungi dan menghormati keutuhan

wilayah suatu negara, secara bersamaan juga memberikan “keleluasaan”

untuk lahirnya negara-negara baru. Fakta yang tidak terbantahkan saat ini

adalah pemisahan diri merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan hak

penentuan nasib sendiri dan banyak negara-negara baru lahir dengan

berdasarkan kepada hak ini.33

Sementara prinsip keutuhan wilayah atau territorial integrity adalah

prinsip yang pertama kali dicetuskan setelah Perang Dunia II, dimana

Kovenan Liga Bangsa-Bangsa mengukuhkan suatu kewajiban bagi negara-

negara untuk “...respect and preserve as against external aggression the

territorial integrity and existing political independence of all Members of the

32 Nora Y.S Ali, “For Better or For Worse? The Force Marrigae of Sovereignty and Self- Determintaion”, Cornell Law School, hlm 431. 33 Thornberry, P., “Self determination, Minorities, Humman Rights.: A review of International Instruments”, (International and Comparative Law Qurterly, 1989): hal.98

Page 33: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

20

League.”34

Hal ini berarti bahwa negara berhak untuk mempertahankan

wilayahnya apabila terdapat hal-hal yang berusaha mengganggu atau

mempengaruhi keutuhan wilayahnya baik dari dalam maupun luar.

Sebaliknya, potensi konflik ini dapat dihindari dengan kembali melihat

instrumen-instrumen hukum internasional dan juga praktik-praktik yang

ada, yang menunjukkan bahwa prinsip keutuhan wilayah dan hak

pemisahan diri secara sepihak dari negara sebagai dua hal yang berjalan

beriringan dan tidak ada yang absolut.

Dalam Declaration of Friendly

Relations 1970, prinsip “territorial integrity” wajib dihormati oleh negara-

negara lain, namun dengan syarat selama pemerintah negara tersebut

bertindak,

“...in compliance with the principle of equal rights and self-determination of peoples as described above and thus possessed of a government representing the whole people belonging to the territory without distinction as to race, creed or colour.” 35

Antonio Cassese dalam analisisnya terhadap klausa tersebut

menyimpulkan bahwa, “a racial or religious group may attempt secession,

a form of external self-determination” apabila keadaan berikut dialami oleh

kelompok orang tersebut,

“...when it is apparent that internal self-determination is absolutelybeyond reach. Extreme and unremitting persecution and the lack of any reasonable prospect for peaceful challenge may make

34 Pasal 10 Kovenan Liga Bangsa-Bangsa; United Nations Charter, pasal 2(4); Declaration of Friendly Relations 1970, prinsip 1 dan 5; Charter of the Organization of African Union, pasal 3; Charter of the Organization of American State, pasal 1; Helsinki Final Act, prinsip IV; dan Charter of Paris, hlm. 5, 8. 35 Prinsip 5(7) dari Deklarasi 1970

Page 34: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

21

secession legitimate. A Racial or religious group may secede –thus exercising the most radical form of external self-determination--once it is clear that all attempts to achieve internal self- determination have failed or are destined to fail.”36

Menurut Mahkamah Agung Kanada, hak penentuan nasib sendiri

tidaklah dapat di benarkan jika pemerintah yang berkuasa dari suatu negara

yang berdaulat benar-benar mencerminkan aspirasi dari rakyat

penduduknya dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan serta memerintah

secara adil dan tidak diskriminatif. Jika suatu negara memenuhi kriteria-

kriteria tersebut, maka keutuhan wilayah dan kedaulatan negara tersebut

harus dihormati dan tidak dapat diganggu gugat.37

Telah disebutkan sebelumnya, bahwa hak untuk memisahkan diri bisa

muncul dalam keadaan-keadaan khusus tertentu, selain dalam konteks

dekolonisasi. Yaitu ketika suatu bangsa dihalangi haknya oleh pemerintah

yang berkuasa dalam menikmati internal self determination (untuk

mendapatkan status politik, ekonomi, sosial dan budaya), maka sebagai

jalan terakhir yang diperbolehkan dalam hukum internasional dalah upaya

melepaskan diri dari negara tersebut (external self determination).38

Sebagaimana Mahkamah Agung Kanada menegaskan dalam kasus

Quebec:

36 Cassese, Antonio. Self-Determination and Peoples; A legal Reappraisal. Cambridge University Press 1995, hlm. 120 37 Decision of the Supreme Court of Canada, Concerning Certain Questions Relating to the Secession of Quebec from Canada, tanggal 30 September 1996, paragrap 134 38 Ibid.hlm 138

Page 35: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

22

“the international law right to self determination generates at best, a right to self determination...where a people is oppressed... or where a definable group is denied meaningful access to government to pursue their political, economic, social and cultural development. In all three situation, the people in question are entitled to the right to external self determination because they have been denied the ability to exert internally their right to self determination”.39

Kesimpulannya, prinsip keutuhan wilayah bukanlah sesuatu yang

absolut. Prinsip-prinsip tersebut dibatasi oleh hak penentuan nasib sendiri,

termasuk hak pemisahan diri secara sepihak. Kesimpulan ini konsisten

dengan tujuan dari prinsip keutuhan wilayah yaitu:

“...to safeguard the interests of the peoples of the territory. The concept of territorial integrity is meaningful ony so long as it continues to fulfil that purpose to all the sections of peoples.”40

B. Negara

Negara dalam sejarah perkembangan hukum Internasional dipandang

sebagai subjek hukum terpenting dibandingkan dengan subjek-subjek

hukum internasional lainnya. Sebagai subjek hukum Internasional, Negara

memiliki hak-hak dan kewajiban menurut hukum Internasional.41

Menurut J.G Starke, negara adalah satu lembaga yang merupakan

satu sistem yang mengatur hubungan-hubungan yang ditetapkan oleh dan

di antara manusia sendiri, sebagai alat untuk mencapai tujuan yang paling

penting di antaranya seperti satu sistem ketertiban yang menaungi manusia

39 Decision of the Supreme Court of Canada, Loc.cit 40 Umozurike sebagaimana dikutip dalam Gerry J. Simpsons, “The Diffusion of Sovereignty: Self-Determination in the Post-Colonial Age”, 2 Stanford Journal of International Law 225 41 Huala Adolf, Op.Cit.hlm.1

Page 36: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

23

dalam melakukan kegiatan- kegiatannya.42

1. Pengertian Negara

Pengertian Negara menurut beberapa sarjana dalam pandangannya

antara lain:

1. George Willhelm Friedrich Hegel, Negara merupakan

organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari

kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal;

2. Harold J.Laski, Negara adalah suatu masyarakat yang

diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang

bersifat memaksa dan secara sah lebih agung daripada

individu atau kelompok yang merupakan bagian dari

masyarakat itu;

3. Roelof Kranneburg, Negara adalah suatu organisasi yang

muncul karena kehendak dari suatu golongan atau suatu

bangsanya sendiri;

4. George Jellineck, Negara merupakan organisasi

kekuasaan dari kelompok manusia yang telah berdiam di

suatu wilayah tertentu;

Sedangkan menurut kamus hukum, negara adalah persekutuan

hukum yang letaknya dalam suatu daerah tertentu dan mempunyai

42 J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional. Jakarta:Sinar Grafika. 2012. Hlm.127

Page 37: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

24

kekuasaan tertinggi guna menyelenggarakan kepentingan umum dan

kemakmuran bersama.43

2. Kriteria Terbentuknya Negara

Kriteria berdirinya negara pertama kali diutarakan oleh George

Jellinek, yaitu adanya “a territory, population, and public authority.” Yang

kemudian didalam Pasal 1 Montevideo Convention on Rights and Duties of

States, disebutkan karakteristik yang harus dimiliki oleh suatu Negara untuk

dapat dikatakan dan diakui sebagai Negara.44

“The state as a person of international law should possess the following qualifications: a) a permanent population; b) a defined territory; c) government; and d) capacity to enter into relations with the other states.”45

a) Permanent Population Negara tidak akan ada tanpa penduduk. Persyaratan a

permanent population dimaksudkan untuk stable community.

Tidak ada persyaratan jumlah minimum penduduk yang harus

dimiliki suatu Negara. Nauru hanya berpenduduk 6.500 jiwa ketika

merdeka. Dalam persyaratan kependudukan ini harus ada unsur

kediaman secara tetap. Penduduk yang tidak mendiami suatu

wilayah secara tetap dan selalu berpindah-pindah (nomad) tidak

43 JCT Simorangkir, dkk. Kamus Hukum. Jakarta:Sinar Grafika. 2009. Hlm. 104 44 Alma Manuputty dkk. Hukum Internasional. Depok: Rech-ta. 2008. Hlm.75 45 Montevideo Convention on Rights and Duties of States 1933 article 1

Page 38: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

25

dapat dinamakan penduduk sebagai unsur konstitutif berdirinya

suatu negara.46

b) Defined Territory Suatu wilayah yang pasti merupakan persyaratan mendasar

adanya suatu negara. Meskipun demikian, tidak ada persyaratan

dalam hukum internasional bahwa semua perbatasan sudah final

dan tidak memiliki sengketa perbatasan lagi dengan negara-

negara tetangganya baik pada saat waktu memproklamirkan diri

sebagai negara baru ataupun setelahnya. Hukum Internasional

juga tidak mensyaratkan batas minimum maupun maksimum

wilayah suatu negara, sehingga ada negara dengan wilayah yang

sangat sempit terkenal dengan negara-negara mikro, sebaliknya

ada negara-negara yang wilayahnya sangat luas seperti Cina,

Rusia, Amerika Serikat dan juga Indonesia.47

c) Government Bagi hukum internasional, suatu wilayah yang tidak

mempunyai pemerintahan tidak dianggap sebagai suatu negara

dalam arti kata yang sebenarnya. Ketentuan ini dengan jelas

ditegaskan Mahkamah Internasional dalam West Sahara Case.48

Pemerintah yang dimaksud adalah pemerintah yang berdaulat,

mampu menguasai organ-organ pemerintahan secara efektif dan

46 Boer Mauna,2015,Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,Alumni,Bandung,hlm17. 47 Sefriani, Op.Cit hlm.96 48 Boer Mauna. Op.Cit.hlm 21

Page 39: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

26

memelihara ketertiban dan stabilitas dalam negeri yang

bersangkutan. Hukum internasional menghendaki adanya suatu

pemerintahan yang stabil dan efektif untuk memudahkan

hubungannya dengan negara bersangkutan. Pemerintah inilah

yang mengeluarkan kewajiban-kewajiban dalam rangka mencapai

kepentingan nasional negaranya, baik itu didalam rangka

mempertahankan integritas negaranya, maupun diluar negaranya

melaksanakan politik luar negeri untuk suatu tujuan tertentu.49

d) Kemampuan untuk Melakukan Hubungan dengan Negara Lain Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain

merupakan manifestasi dari kedaulatan. Suatu negara yang

merdeka, tidak dibawah kedaulatan negara lain akan mampu

melakukan hubungan dengan negara lain. Suatu negara

dikatakan merdeka jika wilayahnya tidak berada di bawah otoritas

berdaulat yang sah dari negara lain. Kemampuan untuk

melakukan hubungan dengan negara lain adalah kemampuan

dalam pengertian yuridis baik berdasarkan hukum internasional

maupun hukum nasional, bukan kemampuan secara fisik.

Contohnya dapat dilihat dalam Southern Rhodesia Case.

Southern Rhodesia awalnya merupakan bagian teritorial dari

pemerintah Inggris sampai Southern Rhodesia menyatakan

49 Ibid.hlm.22

Page 40: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

27

kemerdekaan dari Inggris pada bulan November 1965 dengan

populasi penduduk, wilayah, pemerintah, dan kemampuan untuk

melakukan hubungan dengan negara lain. Akan tetapi dalam

kenyataannya, tidak ada satu negara pun yang memiliki keinginan

untuk melakukan hubungan (kerjasama) dengan Southern

Rhodesia ditolak eksistensinya sehingga tidak mendapat

pengakuan sebagai sebuah negara dari masyarakat

internasional.50

3. Pengakuan Negara Lain

Dalam praktik pemisahan diri secara sepihak dari negara, pengakuan

dari negara lain menjadi isu yang penting. Adanya pengakuan dari negara

lain tidak hanya untuk membuktikan bahwa suatu entitas diterima sebagai

negara oleh negara lain, namun juga mengakui bahwa penentuan nasib

sendiri secara eksternal berupa pemishaan diri secara sepihak dari negara

juga ada.

Pengakuan adalah tindakan bebas oleh suatu negara atau lebih yang

mengakui eksistensi suatu wilayah dari masyarakat yang terorganisir

secara politis, yang tidak terikat pada negara lain dan mempunyai

kemampuan untuk menaati kewajiban-kewajiban menurut hukum

internasional, dan dengan cara itu negara-negara yang mengakui

50 Sefriani. Op.cit.hlm.97

Page 41: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

28

menyatakan kehendak mereka untuk menganggap wilayah yang diakuinya

sebagai salah satu anggota masyarakat internasional.51

Terdapat dua teori mengenai pengakuan yaitu, Teori Konstitutif dan

Teori Deklaratoir atau Evidentiary Pertama ialah teori konstitutif yaitu suatu

teori yang menegaskan suatu pengakuan dari negara-negara lain yang

lebih eksis, memiliki pengaruh atas terciptanya atau di mulainya suatu

eksistensi negara baru. Sedangkan teori deklaratoir atau evidentiary adalah

teori pemahaman bahwa suatu pengakuan dari negara-negara lain

hanyalah mempertegas atau meguatkan keadaan yang menunjukkan

eksistensi negara yang mendapatkan pengakuan.52

Disamping kedua teori itu, terdapat juga teori yang dinamakan teori

jalan tengah. Teori ini lahir karena pandangan beberapa sarjana yang

menganggap teori sebelunya kurang memuaskan, dan dianggap bertolak

belakang. Menurut teori jalan tengah, harus dipisahkan antara kepribadian

hukum suatu negara dan pelaksanaan hak dan kewajiban dari pribadi

hukum itu. Untuk menjadi sebuah pribadi hukum, suatu negara tidak

memerlukan pengakuan. Namun agar pribadi hukum itu dapat

melaksanakan hak dan kewajiban dalm hukum internasional, maka

diperlukan pengakuan oleh negara-negara lain.53

51 J.G. Starke. Op.Cit. Hlm.176 52 Ibid Hlm. 178 53 Pengakuan Negara baru. http://www.negarahukum.com/hukum/pengakuan-negara-baru-teori-teori-pengakuan.html(Diakses 27 Januari 2018 jam. 04:59 WITA)

Page 42: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

29

4. Pengelompokan Pengakuan Negara

Pengakuan dapat dikelompokkan berdasarkan bentuk, sifat

dan jenis:

1) Berdasarkan bentuknya54:

a) Pengakuan negara baru

Pengakuan Negara baru terkait dengan teori-teori yang sudah

dijelaskan diatas.

b) Pengakuan pemerintahan baru

Pengakuan ini bisa terjadi apabila dalam suatu negara terjadi

perubahan bentuk pemerintahan yang sangat kontras. Akan

tetapi logikanya pengakuan terhadap suatu negara juga

berarti pengakuan terhadap pemerintahan negaranya.

c) Pengakuan sebagai pemberontak

Pengakuan ini diberikan kepada sekelompok

pemberontakyangsedang melakukan pemberontakan

terhadap pemerintahnya sendiri di suatu negara. Dengan

memberikan pengakuan ini bukan berarti negara yang

mengakui itu berpihak kepada pemberontak.Dasar pemikiran

pemberian pengakuan ini semata-mata adalah pertimbangan

kemanusiaan, sebagaimana diketahui, pemberontak lazimnya

54 Manuputty,Alma. Op.Cit. Hlm.200-210

Page 43: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

30

melakukan pemberontakan karena memperjuangkan suatu

keyakinan politik tertentu yang berbeda dengan keyakinan

polik pemerintah yang sedang berkuasa. Oleh karena itu,

mereka sebenarnya bukanlah penjahat bisaa. Dan itulah

maksud pemberian pengakuan ini, yaitu agar pemberontak

tidak diperlakukan sama dengan criminal bisaa. Namun

pengakuan ini sama sekali tidak menghalangi penguasa

(pemerintah) yang sah untuk menumpas pemberontakan itu.

d) Pengakuan Belligerency

Pengakuan ini mirip sebagai pengakuan sebagai

pemberontak. Namun sifat pengakuan ini lebih kuat daripada

pengakuan sebagai pemberontak. Pengakuan ini diberikan

bilamana pemberontak itu telah demikian kuatnya sehingga

seolah-olah ada dua pemerintahan yang sedang bertarung.

Dalam pengakuan ini, negara-negara ketiga dalam sikapnya

membatasi diri negaranya sekedar mencatat bahwa para

pemberontak tidak kalah dan telah menguasai sebagian

wilayah nasional dan mempunyai kekuasaan secara fakta.

e) Pengakuan sebagai bangsa

Pengakuan ini diberikan kepada suatu bangsa yang sedang

berada dalam tahap membentuk negara. Mereka dapat diakui

sebagai subjek hukum internasional. Konsekuensi hukumnya

Page 44: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

31

sama dengan konsekuensi hukum pengakuan billigerensi.

f) Pengakuan hak-hak teritorial dan situasi internasional baru

Pengakuan ini biasa dikenal dengan istilah Simson‟s Doctrine

of Non-Recognition. Pengakuan ini lebih bermakna tidak

mengakui hak-hak teritorial dan situasi internasional baru.

Bentuk pengakuan ini bermula dari peristiwa penyerbuan

Jepang ke China, peristiwa terjadi pada tahun 1931 dimana

Jepang menyerbu Manchuria, salah satu provinsi China dan

mendirikan negara boneka disana (Manchukuo). Padahal

Jepang adalah salah satu negara penandatangan Perjanjian

Perdamaian Paris 1928 (juga dikenal sebagai Kellogg-Briand

Pact atau Paris Pact), sebuah perjanjian pengakhiran perang.

Dalam perjanjian itu terdapat ketentuan yang menegaskan

bahwa negara-nagara penanda tangan sepakat untuk

menolak penggunaan perang sebagai alat untuk mencapai

tujuan-tujuan politik. Dengan demikian penyerbuan Jepang ini

jelas bertentangan dengan perjanjian yang ikut

ditandatanganinya. Oleh karena itu, penyerbuan Jepang ke

Manchuria itu di protes keras oleh Amerika Serikat melalui

menteri luar negerinya, Stimson, yang menyatakan bahwa

Amerika Serikat “tidak mengakui hak-hak terrtorial dan situasi

internasional baru” yang ditimbulkan oleh penyerbuan itu.

Page 45: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

32

2) Berdasarkan Jenisnya55:

a) Pengakuan de jure

Pengakuan de jure berarti bahwa menurut negara yang

mengakui, negara atau pemerintah yang diakui secara

formal telah memenuhi persyaratan yang ditentukan hukum

internasional.

b) Pengakuan de facto

Pengakuan de facto berarti bahwa menurut negara yang

mengakui, untuk sementara dan secara temporer serta

dengan segala reservasi yang layak dimasa mendatang,

bahwa negara atau pemerintah yang diakui telah

memenuhi syarat berdasarkan fakta (de facto).

3) Berdasarkan sifatnya:

a) Pengakuan secara diam-diam (Implied Recognition)

Adalah pengakuan yang dilakukan oleh suatu negara

dengan cara melakukan hubungan dengan pemerintah

atau negara baru dengan mengirim seorang wakil

diplomatik, mengadakan pembicaraan dengan pejabat-

pejabat resmi atau pun kepala negara setempat, membuat

persetujuan dengan negara tersebut. Contoh pengakuan

55 J.G.Starke. Op.Cit. Hlm 186-187

Page 46: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

33

ini adalah hubungan antara Amerika Serikat dan RRC.

Walaupun secara resmi Amerika Serikat belum mengakui

RRC, namun semenjak tahun 1955, negara tersebut telah

melakukan perundingan-perundingan tingkat duta besar di

Jenewa.56

b) Pengakuan Kolektif

Adalah pengakuan yang diwujudkan dalam suatu

perjanjian internasional atau konferensi multilateral.

Misalnya Helsinki Treaty tahun 1976, negara-negara NATO

mengakui Republik Demokrasi Jerman Timur dan negar-

negara Pakta Warsawa mengakui pula Republik Federal

Jerman.57

c) Pengakuan Prematur

Sebelum memberikan pengakuan ini oleh suatu negara

terhadap negara baru, negara tersebut pada umumnya

memperhitungkan kriteria-kriteria yang harus dimilikinya

terlebih dahulu. Akan tetapi pada keadaan tertentu, ada

kalanya pengakuan diberikan tanpa memperhitungkan

keadaan yang ada pada umumnya harus terpenuhi terlebih

dahulu sebelum pengakuan diberikan. Contoh dari

pengakuan semacam ini telah sering terjadi misalnya

56 Jawahir Thontowi dan Iskandar. Hukum Internasional Kontemporer. Bandung : Refika Aditama.2006. Hlm. 133 57 Ibid

Page 47: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

34

pengakuan Amerika Serikat terhadap Israel dimana

penentuan batasnya masih dalam sengketa, pengakuan

Jerman terhadap Kroasia yang saat itu tidak memiliki

kontrol atas sebagian besar wilayahnya.58

d) Pengakuan Bersyarat

Pengakuan bersyarat merupakan pengakuan yang

diberikan oleh suatu negara kepada negara lain dengan

memberikan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh

negara yang mendapatkan pengakuan tersebut. Apabila

kewajiban-kewajiban tersebut tidak dipenuhi, maka hal

tersebut tigak menghapuskan pengakuan. Dengan

pelanggaran yang dilakukan atas syarat- syarat tersebut,

maka negara yang diakui dapat dinyatakan melanggar

hukum internasional dan terbuka kemungkinan bagi negara

yang mematuhi untuk memutuskan hubungan diplomatik

sebagai sanksinya atau dilakukan sanksi lain.59

C. Referendum

Referendum didefinisikan sebagai suara langsung oleh pemilih dari

negara tertentu memberikan saran atau memutuskan suatu isu tertentu,

yang berbeda dengan pemberian suara untuk calon perseorangan demi

pemlihan nasional maupun lokal. Istilah referendum dan plebisit seringkali

58 Ibid.hlm.137 59 J.G.Starke. Op.Cit. Hlm. 181

Page 48: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

35

digunakan bergantian karena keduanya melibatkan suara pemilih terhadap

isu tertentu. Bersesuaian dengan ideologi demokrasi, referendum seringkali

digunakan oleh negara-negara demokrasi dibawah kondisi yang

demokratis. Referendum sah digunakan demi memutuskan permasalahan

teritorial atau juga permasalahan kedaulatan antar negara-negara yang

sedang bersengketa.60 Pelaksanaan referendum dilandaskan terhadap

prinsip hak menentukan nasib sendiri.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh PBB, yang di pimpin oleh

Hector Gros Espiell, terhadap isu terkait self-determination, menetapkan

beberapa faktor yang memberikan hak atas self-determination, sejarah

orang-orang tersebut yang mempunyai kemerdekaan, budaya yang

berbeda, dan keinginan untuk mencapai kembali self-governance.61

Referendum merupakan implementasi dari hak untuk menentukan nasib

sendiri. Referendum dapat dilakukan demi berbagai macam tujuan, secara

internal maupun eksternal sebuah negara.

Sebagai salah satu contoh, Referendum Catalonia pada tanggal 1

Oktober 2017 yang diprakarsai Generalitat de Catalunya dan disetujui oleh

Parlemen Catalunya, adapun tuntutan dari referendum tersebut adalah

kemerdekaan Catalunya dari Kerajaan Spanyol. Hasil dari referendum

tersebut adalah 92.01% menginginkan Catalunya berdiri sebagai negara

60 Referendum Yves Beigbeder “Referendum” http://opil.ouplaw.com/view/10.1093/law:epil/9780199231690/law-9780199231690-e1088 diakses pada 3 Februari 2018 : 00:29 61 Karen Parker, “Understanding Self Determination: The Basics” http://www.humanlaw.org/determination.html diakses pada 3 februari 2018: 00:35

Page 49: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

36

merdeka62. Walaupun pada akhirnya tidak berakhir sesuai rencana

referendum tersebut merupakan salah satu contoh Referendum External

Self-Determination.

D. Sejarah Kurdistan

Daerah Kurdi yang bersebelahan di Iran, Irak, Turki, dan Suriah

berada di wilayah tengah utara Timur Tengah. Selama ribuan tahun,

banyak etnis telah bermigrasi, menetap atau dihuni secara native di daerah

tersebut termasuk orang Turki, Persia, Arab, Kurdi, Armenia, Assyria,

Chechnya, Azeris dan lainnya.

Dari awal sejarah yang tercatat sampai sekarang, semua kelompok

etnis ini telah berjuang keras secara politik dan kekerasan baik secara

ofensif maupun defensif untuk mendapatkan tanah air yang aman. Sebagai

salah satu persimpangan jalan Timur Tengah, Kurdistan telah menjadi

rumah bagi medan tempur etnis, serta koeksistensi etnik yang damai.

Wilayah Kurdi telah melihat daftar panjang penjajah dan penakluk: Persia

purba dari timur, Alexander Agung dari barat, orang Arab Muslim di abad

ke-7 dari selatan, Seljuk Turki pada abad ke 11 dari timur, orang Mongol di

Abad ke-13 dari timur, Persia abad pertengahan dari timur dan Turki

Utsmani dari utara pada abad ke-16 dan yang terakhir, Amerika Serikat

dalam invasi 2003 ke Irak.

62Hasil Referendum Catalunya http://www.govern.cat/pres_gov/govern/ca/monografics/303541/govern-trasllada-resultats-definitius-referendum-l1-doctubre-parlament-catalunya.html diakses pada 6 februari 2018: 00:59

Page 50: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

37

Untung bagi suku Kurdi, mereka bisa mundur ke pegunungan untuk

tempat kudus. Perlindungan inilah yang menyelamatkan orang Kurdi dari

kehancuran dan membiarkan mereka bertahan sebagai kelompok etnis

yang berbeda. Gaya hidup tradisional mereka yang nomaden dan tanah air

pegunungan yang tidak ramah memberikan cara alami untuk menghindari

tentara perampok yang akan menyebabkan orang pribumi melakukan

pemerkosaan, pembunuhan dan genosida.

Karena suku Kurdi tetap merupakan kelompok etnis yang terpisah,

mereka selalu mencari otonomi dan kemerdekaan. Aspirasi-aspirasi ini

telah menghasilkan konflik yang terus berlanjut dan sejarah represi,

ketahanan dan penemuan kembali dalam menghadapi ancaman

eksistensial oleh orang-orang Turki, Arab dan Iran dan nenek moyang

mereka. Dengan dimulainya Abad ke-20, gerakan nasionalis mendapat

daya tarik di Timur Tengah. Orang-orang Turki, Arab, Persia, Kurdi,

Armenia dan Azeris semuanya menganjurkan dan memperjuangkan tanah

air nasional setelah ditundukkan oleh Kekaisaran Ottoman selama ratusan

tahun.

Selama Perang Dunia I, Inggris dan Prancis membentuk sebuah

perjanjian rahasia yang disebut Perjanjian Sykes-Picot, yang

menyimpulkan pada bulan Mei 1916. Kesepakatan tersebut terdiri dari

rencana untuk mengukir Timur Dekat dan Timur Tengah menjadi negara-

bangsa dan wilayah kontrol untuk mendukung kolonial mereka sendiri.

bunga. Bekas provinsi Suriah dan Mesopotamia di bawah Kekaisaran

Page 51: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

38

Ottoman akan dibagi menjadi lima negara: Lebanon dan Suriah yang

berada di bawah kendali Perancis dan Palestina, Yordania dan Irak

termasuk Provinsi Mosul yang berada di bawah kendali Inggris. Pada akhir

Perang, Perjanjian Sevres dirancang untuk menangani pembubaran dan

pembagian Kekaisaran Ottoman.63 Traktat tersebut memperkuat aspirasi

nasionalis Kurdi dengan memberikan sebuah referendum untuk

memutuskan masalah tanah air Kurdistan.

Perjanjian Sevres ditolak oleh Republik Turki yang baru, dan sebuah

perjanjian baru (Treaty of Lausanne) telah dinegosiasikan dan

ditandatangani pada tahun 1923. Traktat Lausanne membatalkan

Perjanjian Sevres, memberikan kontrol atas seluruh semenanjung Anatolia

ke Turki baru. Republik termasuk tanah air Kurdistan di Turki. Tidak ada

ketentuan dalam perjanjian baru untuk sebuah referendum untuk

kemerdekaan atau otonomi Kurdi. Harapan Kurdistan untuk sebuah daerah

otonom dan negara merdeka dilesakkan.

Dari akhir Perang Dunia I sampai Perang Teluk pada tahun 1990,

orang Kurdi di Turki, Iran, Irak, dan Suriah memperjuangkan kampanye

gerilya yang terpisah untuk mencapai otonomi. Semua kampanye

dilemparkan secara paksa dan orang Kurdi mengalami represi yang lebih

63 perjanjian Sevres (1992) adalah perjanjian Inggris dengan Turki pasca Perang Dunia I.

Dalam salah satu pasal di Perjanjian Sevres dituliskan bahwa, Kurdistan dijadwalkan mengadakan referendum untuk menentukan nasibnya, dimana provinsi Mosul masuk dalam wilayahnya. Namun perjanjian ini tidak dilaksanakan karena golongan nasionalis Turki tidak menerima isi perjanjian ini. Lihat Kerim Yildiz. The Kurds in Iraq: The Past, Present and Future. London: Pluto Press in Association with Kurdish Human Rights Project (KHRP), 2004,Hlm.10

Page 52: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

39

besar setiap saat. Setelah Perang Teluk pada tahun 1990-1991 dan

penegakan oleh orang Amerika dari zona larangan terbang di wilayah

Kurdistan Irak, Kurdi Irak memiliki otonomi. Namun, rute pasokan diblokade

oleh orang Irak dan Kurdi mengalami kesulitan besar.

Pada tahun 1992, sebuah aliansi partai politik, Front Kurdistan Irak,

mengadakan pemilihan parlemen dan presiden. Akibatnya, Front Kurdistan

Irak mendirikan Kurdistan Regional Goverment (KRG), sebuah

pemerintahan otonom baru Kurdistan di Irak. KRG adalah pemerintahan

sekuler yang dimodelkan di sepanjang garis negara merdeka modern

dalam sebuah federasi dengan seluruh Irak lainnya. Mereka memiliki

parlemen sendiri, militer ("Peshmerga"), perbatasan dan kebijakan luar

negeri.

Pada tahun 1994, sebuah pengaturan pembagian kekuasaan antara

Serikat Pekerja Kurdi (PUK) dan Partai Demokrat Kurdistan (KDP) runtuh.

Peluruhan ini menyebabkan perang sipil dan dua pemerintahan terpisah.

Organisasi pertama dibentuk di Erbil dan yang kedua di Suleimaniah.

Perang Saudara berlanjut selama empat tahun sampai 1998 ketika PUK

dan PPK menandatangani Perjanjian Washington, mengakhiri perang.

Pada tahun 2003, Amerika menyerang Irak dan Peshmerga (pasukan

militer Kurdistan Irak) bergabung dalam perang untuk menggulingkan

Saddam Hussein. Setelah Hussein diusir dari jabatannya, rakyat Irak,

dalam sebuah referendum nasional, menyetujui sebuah konstitusi baru.

Page 53: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

40

Konstitusi baru ini mengakui Pemerintah Daerah Kurdistan dan Parlemen

Kurdistan.

Pada tahun 2006, PUK dan PPK mengatur untuk menyatukan

administrasi di bawah Perdana Menteri Nechirvan Barzani. Apa yang telah

terbukti menjadi kunci dalam membangun kemerdekaan bagi Kurdistan,

namun telah hilang dalam upaya otonomi Kurdistan, adalah dukungan dari

negara adikuasa. Negara-negara minoritas lainnya yang telah membentuk

negara mereka sendiri di kawasan ini telah melakukannya dengan

dukungan dari negara adikuasa: Armenia, Georgia dan Azerbaijan memiliki

Uni Soviet; Israel memiliki Inggris dan A.S.

Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), ancaman eksistensial terbaru,

sekarang mengendalikan sebidang tanah besar yang membentang di

perbatasan Irak dan Syria. ISIS menyerang kota-kota Kurdi di Suriah dan

Irak. Peshmerga membela dan mencoba merebut kembali kota-kota yang

sebelumnya berada di bawah kendali Kurdi. Peshmerga, yang juga

termasuk wanita, telah terbukti menjadi kekuatan tempur yang efektif,

namun memiliki sedikit sumber daya untuk melawan apa yang tampaknya

merupakan tentara ISIS yang didanai dengan baik dan berkembang.

Amerika mendukung otonomi Kurdi Irak dan memberikan dukungan militer

langsung terus-menerus dalam pelatihan dan memperlengkapi Peshmerga

serta memberikan serangan udara untuk menghancurkan ISIS.

Kurdistan adalah negara yang dikuasai daratan bergantung pada

tetangganya untuk akses ke pasar untuk persediaan dan untuk mengekspor

Page 54: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

41

minyak - sumber ekonomi utama Kurdistan. Mengingat sejarah daerah dan

kepentingan geografis Kurdistan sebagai salah satu persimpangan Timur

Tengah, potensi konflik lanjutan sangat tinggi. Jika Kurdistan berharap

dapat bertahan sebagai negara merdeka, harus terbukti cukup kuat untuk

mempertahankan diri melawan ancaman eksistensial yang tak terelakkan

yang akan hadir dengan sendirinya dan membangun hubungan damai

dengan tetangganya meskipun ada sejarah konflik, ketidakpercayaan dan

keluhan.64

64 History of the Kurds https://thekurdishproject.org/history-and-culture/kurdish-history/ diakses pada tanggal 7 Februari 2018 : 01:18

Page 55: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

42

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Dalam melakukan penyusunan skripsi, penulis melakukan studi

kepustakaan yang bertempat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin, dan Perpustakaan Ali Alatas Kementrian Luar Negeri serta

melakukan penelitian melalui situs-situs internet yang dianggap relevan

untuk melengkapi informasi yang diperlukan.

B. Jenis Penelitian dan Sumber Data

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian terhadap yuridis

normatif, yaitu penelitian terhadap peraturan-peraturan yang terkait dengan

Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri (The Right of Self Determination).

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian, yaitu:

1. Bahan hukum primer, yakni bahan-bahan hukum yang mengikat

seperti perjanjian internasional dan yurisprudensi.

2. Bahan hukum sekunder seperti Rancangan Undang-undang,

hasil penelitian, jurnal ilmiah dan bernagai literatur yang erat

kaitannya dengan penelitian ini.

Page 56: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

43

D. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan melalui teknik studi kepustakaan

(library research) untuk mendapatkan data sekunder yang mana sumber

datanya diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

E. Analisis Data

Penulis akan menggunakan analisis data secara deskriptif dengan

menggambarkan posisi kurdistan menggunakan hak menentukan nasib

sendiri dalam mengusahakan kemerdekaannya kemudian disesuaikan

dengan perjanjian internasional dan aturan-aturan dalam hukum

internasional kemudian diakhiri dengan menarik kesimpulan berdasarkan

data-data kualitatif yang ada.

Page 57: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

44

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Hukum Internasional Mengenai Hak

Menentukan Nasib Sendiri

Pasal 38 (1) dari Statuta Mahkamah Internasional menyebutkan 5

(lima) sumber hukum internasional; yaitu perjanjian internasional, hukum

kebiasaan internasional, prinsip umum hukum yang diterima oleh bangsa

beradab, dan keputusan pengadilan serta pendapat sarjana yang diakui.65

Tata urutan sumber hukum internasional yang disebutkan dalam Pasal 38

(1) dari Statuta Mahkamah Internasional secara implisit merupakan suatu

urutan sesuai tingkat keutamaannya.66 Secara eksplisit, pasal tersebut

membagi sumber hukum internasional dalam 2 golongan yaitu primer dan

sekunder, sumber hukum yang primer mencakup poin a hingga c dari Pasal

38 (1) Statuta Mahkamah Internasional, yaitu perjanjian internasional,

hukum kebiasaan internasional, dan prinsip umum hukum. Sementara

sumber hukum internasional yang sekunder terdiri atas poin d dari Pasal

38(1) Statuta Mahkamah Internasional yaitu keputusan pengadilan dan

65 Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional berbunyi, “1. The Court, whose function is

to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply: a. international convention, wheter general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states; b. international custom, as evidence of a general practice accepted as la; c. the general principles of law recognized by civilized nations; d.subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the means for the determination of rules of law.” 66 Vedross/Simma, Universelles Volkrrecht 335, sebagaimana dikutip oleh Mark Eugen

Villger, Customary International Law and Treaties: A Manual on Theory and Practice of the Interrelation of Sources, (Dodrecht: Martinus Nijhoff Publishers,1985,hlm.58

Page 58: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

45

pendapat para sarjana yang telah diakui.67

1. Perjanjian Internasional Mengenai Hak Penentuan Nasib Sendiri

1) Hak Penentuan Nasib Sendiri yang Berkembang dari Piagam

PBB

Dalam sejarah dan perkembangannya istilah self determination

secara ekspilisit dianut oleh Presiden Amerika Serikat pada saat itu,

Woodrow Wilson dan juga oleh Lenin serta yang lainnya, dan menjadi

prinsip dasar dalam tujuan untuk merekonstruksi Eropa setelah Perang

Dunia I. Prinsip dasar ini disertakan dalam Piagam Atlantik tahun 1941 dan

proposal Dumbarton Oaks yang kemudian berkembang menjadi piagam

PBB. Prinsip ini ditujukan untuk pemerintah Negara demokratis agar

menjamin dan melindungi warga negaranya, terutama kelompok

minoritas.68

Penentuan nasib sendiri baru berkembang juga menajdi sebuah

prinsip hukum dan hak setelah berdirinya PBB dan dimasukkanya prinsip

ini ke dalam Piagam PBB. Piagam PBB, dalam hal ini merupakan sumber

hukum internasional berupa perjanjian internasional, yang dapat dirujuk

oleh Mahkamah Internasional dalam penyelesaian sengketa sesuai dengan

Pasal 38(1)(a) dari Statuta Mahkamah Internasional.69 Prinsip hak

67 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional ,Bandung, Alumni, 2003,

hlm.116 68 David Raic, Statehood and the Law of Self-Determination, Den Haag, Martin Nijhoff

Publishers,2002,hlm.183 69 Malcolm N.Shaw, International Law Sixth Edition, Cambridge, Cambridge University

Press,2008,hlm.67

Page 59: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

46

mengenai penentuan nasib sendiri dengan jelas disebutkan dalam Pasal

1(2) dan kemudian Pasal 55 Piagam PBB.70

Pasal 1 (2) yang menetapkan: “to develop friendly relations among

nations based on respect for the principle of equal rights and self

determination of people”

Pasal 55 yang menetapkan: “to creation of stability and well being

wich are necessary for peaceful and friendly relation among nations

based on respect for the principle of equal right and self

determination of peoples..”

Pertama, adalah dalam Chapter I mengenai Principles and Purposes

of the UN Charter, Pasal 1 (2) menyatakan bahwa salah satu prinsip dari

Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah penentuan nasib sendiri. Kemudian

Chapter IX mengenai International Economic,Social and Cultural

Cooperation, dalam pasal 55 (c) yang melanjutkan bahwa dengan

berdasarkan prinsip hak penentuan nasib sendiri, mendorong PBB untuk

menghormati hak-hak dasar manusia tanpa diskriminasi. Meskipun tidak

eksplisit menyatakan penentuan nasib sendiri sebagai sebuah hak, pasal

ini menunjukkan bahwa atas dasar prinsip penentuan nasib sendiri, Negara

memiliki kewajiban untuk memperlakukan satu dengan lainnya setara tanpa

diskriminasi. Kemudian dilengkapi oleh Chapter XI tentang Non-Self-

Governing-Territories, tepatnya dalam pasal 73, yang memberikan

70 UN Charter, Pasal 1(2) dan Pasal 55

Page 60: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

47

tanggung jawab pada anggota PBB untuk mengakui adanya hak bagi Non-

Self-Governing-Territories, untuk mengembangkan menuju pemrintahan

sendiri sesuai dengan kehendak penduduknya.71 Lebih lanjut dalam

Chapter XII tentang International Trusteeship Sistem, Pasal 76 yang

mencatat bahwa tujuan dari trusteeship system adalah mengusahakan

kemajuan dalam “the political, economic, social and educational

advancement of the inhabitants of the trust territories” dan pada akhirnya

memperolah kemerdekaan agar segera dilimpahkan kewenangan kepada

rakyat (bangsa) di wilayah-wilayah tersebut tanpa syarat apapun.72

71 Ibid, Pasal 73 berbunyi,”Members of the United Nations which have or assume

responsibilities for the administration of territories whose peoples have not yet attained a full measure of self-government recognize the principle that the interest of inhabitants of these territories are paramount, and accept as a sacred trust the obligation to promote to the outmost, within the system of international peace and security established by the present charter, the wellbeing of the inhabitants of these territories and to this end:

a) To ensure, with due respect for the culture of the people concerned their political,economic,social and educational advancement, their just treatment, of the political against abuses; to develop self-government, to take due account of the political aspirations of the peoples, and to assist them in the progressive development of their free political institutions, according to the particular circumstances of each territory and its peoples and their varying stages of advancement;

b) To further international peace and security; c) To promote constructive measures of development, to encourage research, and to

co-operate with one another and, when and where appropriate, with specialized international bodies with a view to the practical achievement of the social economic and scientific purpoeses set forth tin this article; and

d) To transmit regularly to the Secretary-general for information purposes, subject to such limitiation of a technical nature relating to economic,social and educational conditions in the territories for wich they are respectively responsible other than those territories to which Chapters XII and XIII apply.

72 Ibid, Pasal 76 berbunyi, “the basic objectives of the trusteeship system….shall be…to

promote the political,economic,social and educational advancement of the inhabitants of the trust territories, and their progressive development towards self-government or independence as may be apporopriate to the particular circumstances of each territory and its peoples and the freely expressed wishes of the peoples concerned and as may be provided by the terms of each trusteeship agreement.” Lihat juga dalam Sefriani Op.Cit Hlm.118

Page 61: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

48

Setelah piagam PBB terbentuk, praktek Negara dalam dekolonisasi

juga turut merefleksikan penentuan nasib sendiri sebagai sebuah hak,

dengan berdirinya Negara-negara baru pasca penjajahan. Hak penentuan

nasib sendiri dalam periode ini juga berlaku bagi wilayah-wilayah non-self

governing dan protektorat yang sering dipersamakan dengan wilayah

dalam koloni.73 Penentuan nasib sendiri dijalankan dalam konteks untuk

menciptakan hubungan baik antar Negara-negara dengan mengutamakan

hak setiap bangsa di dunia. Piagam PBB dianggap berkontribusi

menyumbangkan prinsip bahwa perdamaian dunia adalah tidak mungkin

terwujud tanpa self determination.74 Pengaturan Piagam PBB ini secara

keseluruhan masih belum lengkap dalam hal substansi dari self

determination, penentuan nasib sendiri hanya sebatas sebuah prinsip saja

dan bukan merupakan suatu hak yang dimiliki setiap bangsa di dunia. Dan

hak penentuan nasib sendiri pada masa ini belum mengakui adanya hak

pemisahan diri secara sepihak dari Negara, sebagaimana dicatat dalam 6th

meeting of Committee 1 of Commission 1 ketika membahas hak penentuan

nasib sendiri dalam Chapter 1 dari Piagam PBB.75

73 Raic,Op.cit.hlm.202 (“the common characteristic of these territories was that they corresponded to the somewhat classical nation of a colonial territory.”) 74 Antonio Cassese,Op.Cit.Hlm.38 75 Aureliu Cirstescu, Special Rapporteur of the Sub-Commision, The Right to Self-

Determination Historical and Current Development on the Basis of United Nations Instruments,E/CN.4/Sub.2/404/Rev.1, 198, hlm.2,para.17 (“…on the one side that this principle corresponded closely to the will and desires of peoples everywhere and should be clearly enunciated in the charter; on the other side…that principle conformed to the purposes of the charter only insofar as it implied the right of self-government of peoples and not the right of secession”)

Page 62: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

49

2) Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam Kovenan Hak Asasi

Manusia

Memasuki tahun 1966, hak penentuan nasib sendiri kembali diatur

dalam dua kovenan Hak Asasi Manusia yang diadopsi oleh Majelis Umum

PBB, yaitu ICCPR dan ICESCR. Kedua kovenan tersebut merupakan

kovenan yang mengikat bagi Negara-negara yang meratifikasinya dan

menjadikannya sebagai perjanjian internasional yang merupakan sumber

hukum internasional sesuai dengan pasal 38 (1)(a) dari Mahkamah

Internasional.76 ICCPR merupakan kovenan mengenai hak-hak warga

negara yang tidak boleh dilanggar oleh negara, sementara ICESCR adalah

kovenan yang mengenai hak-hak apa saja yang harus negara sediakan.77

Pasal 1 dari ICCPR dan ICESCR sama-sama menyebutkan

bahwa,

“All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right the freely determine their political status and freely pursuit their economic, social, and cultural development.”78

Dan secara terpisah juga menyertakan hak penentuan nasib sendiri bagi

wilayah-wilayah koloni, non-self-governing-territory dan protektorat.79

Definisi dan cakupan hak penentuan nasib sendiri dalam kedua

kovenan tersebut menunjukkan adanya perkembangan dari cara

76 Stephen Garbhaum,”Human Rights as International Constitutional Rights”, The

European Journal of International Law”, Vol.9.No4,2008,hlm.756 dan 762 77 Ibid,Hlm.752 78 ICCPR dan ICESCR Pasal 1 79 Ibid,pasal 1(3), (“The States parties to the present Covenant, including those having

responsibility for the administration of Non-Self-Governing and Trust Territories, Shall promote the realization of the right of self-determination, and shall respect that right, in conformity with the provisions of the Charter of the United Nations.”)

Page 63: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

50

pengimplementasian hak penentuan nasib sendiri, yang dikenal dengan

hak penentuan nasib sendiri secara internal.80 Hak penentuan nasib sendiri

secara internal berarti, “….Internal self-determination, which generally

refers to the relationship between the government of a state and the people

of that state. Sementara sebelumnya, hak penentuan nasib sendiri hanya

dikenal secara eksternal, yaitu “…. generally denotes the determination of

the international status of a territory and a people.” 81 Hak penentuan nasib

sendiri secara internal menggambarkan hubungan antara warga negara

dengan pemerintah negaranya sendiri.

Dalam General Comment 12, dokumen interpreasi terhadap pasal

mengenai hak penentuan nasib sendiri dalam ICCPR dan ICESCR, aspek

hak penentuan nasib sendiri secara internal dapat dilihat dari interpretasi

berikut,

“the right of self-determination is of particular importance because its realization is an essential condition for the effective guarantee and observance of individual human rights and for the promotion and strengthening of those rights….Article 1 enshrines an inalienable right of all peoples as described in its paragraphs 1 and 2. By Virtue of that right they freely ‘determine their political status and freely pursue their economic,social, and cultural development’…With regard to paragraph 1 of article 1, states parties should describe the constitutional and political processes which in practice allow the exercise of this right.”82 Komentar pasal di atas menunjukkan bahwa setiap orang memiliki

aspek internal hak penentuan nasib sendiri, yaitu untuk menentukan status

politiknya dan berpartisipasi dalam bidang ekonomi, social dan budaya.

80 Raic,Op.Cit hlm.234 81 Ibid, Hlm.204 82 HumanRights Committee,General Comment12,UN Doc.HRI/GEN/1/Rev.1,1994,para 12

Page 64: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

51

Selain itu, Kovenan membebankan pemerintah memiliki kewajiban untuk

memenuhi hak-hak tersebut, yang menunjukkan bahwa sasaran dari hak

tersebut adalah orang-orang di dalam suatu Negara.83

Indonesia mengakui aspek ini yang tertuang dalam deklarasinya

terhadap pasal 1 ICCPR ketika meratifikasi ICCPR. Indonesia menyatakan

bahwa pasal 1(1) dari ICCPR menunjukkan adanya dua aspek hak

penentuan nasib sendiri. Aspek pertama adalah hak penentuan nasib

sendiri secara eksternal, yang diiplementasikan Indonesia melalui

proklamasi kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.84 Sementara

aspek ke dua adalah aspek internal yaitu,

“the second aspect is about the right to manage economic, social and cultural potentials in relation to the implementation of rights to develop a particular territory is an overeign and independent state.”85 Kedua kovenan ini menandakan fase berikutnya dari perkembangan

hukum internasional tentang konsep The right of self determinations

dengan memperkenalkan hak penentuan nasib sendiri secara internal,

karena sebelum adanya kovenan ini, hukum internasional memiliki

padangan bahwa suatu entitas hanya dapat melaksanakan satu kali hak

penentuan nasib sendiri secara eksternal.86 Pandangan bahwa hak untuk

83 Garbhaum,Op.cit,Hlm.752 84 Human Rights Committee, Consideration of reports submitted by States parties under

article 40 of the Covenant, Initial reports of state parties: Indonesia, CCPR/C/IDN/1,2012, para.4 (“the first aspect is about the right to determine the political status of a nation in relation to the determination of its status and position as an independent state in the international community.”) 85 Ibid. Para 6 86 Raic,Op.Cit,hlm.226 (“…this [external] manifestation of self-determination has led to

statements that once independence was achieved by a dependent territory, the right was consumed.”)

Page 65: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

52

menentukan nasib sendiri tetap berlanjut meskipun sekelompok orang

sudah melaksanakan hak penentuan nasib sendiri secara eksternal disebut

juga dengan continouing right theory.87

2. Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam Perjanjian Regional

1) Helsinki Final Act 1975

Organisasi-organisasi regional juga mengeluarkan perjanjian

regional yang mengatur tentang hak penentuan nasib sendiri. Di Eropa,

Conference on Security and Co-operation in Europe 1 Agustus 1975

menghasilkan Declaration on the Principles Concerning Mutual Relations of

the Participating States , yang diadopsi oleh 35 negara termasuk Amerika

Serikat dan Kanada.88 Prinsip VIII dari Helsinki Final Act menyatakan

dengan tegas mengenai internal dan eksternal self determination, sebagai

berikut:

“By virtue of the principle of equal rights and self-determination of peoples, all peoples always have the right, in full freedom to determine, when and as they wish, their internal and external status, without external interference, and to pursue as they wish their political, economic, social and cultural development.”89

Dalam prinsip ini, dibedakan antara hak penentuan nasib sendiri secara

eksternal dan internal. Melihat latar belakang dan tujuan pembuatan

perjanjian ini yaitu pasca Cold War,Helsinki Final Act hanya menyatakan

87 Ibid,hlm,228 dan 234; lihat juga Malcolm N.Shaw,hlm.444(“self determination does have

a continuing application in terms of human rights situtations within the territorial framework of independent states”) 88 Hurst Hannum, The Right of Self-Determination in the Twenty-First Century,55 Wash.& Lee L.Rev 773,1998,hlm.28 89 Conference on Security and Cooperation in Europe,Helsinki Final Act, I.L.M 1292 Prinsip VIII Equal Rights and Self Determination of Peoples

Page 66: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

53

adanya hak penentuan nasib sendiri sebagai “right of the people of a state

to be free from external influence in choosing its own form of government.”

Dan dalam analisis terhadap Helsinki Final Act, sarjana-sarjana

berpendapat bawa Helsinki Final Act tidak mengakui hak pemisahan diri

secara sepihak dari Negara.90

2) African Charter of Human and Peoples’ Rights of 1981

African Charter of Human and People’s Rights atau Banjul Charter

merupakan dokumen hak asasi manusia yang dikeluarkan oleh

Organisation of African Unity pada tahun 1981.91 Piagam ini menyatakan

prinsip bahwa semua orang memiliki posisi yang setara dan bahwa “nothing

shall justify the domination of people by another”92, kemudian pernyataan

tersebut dilanjutkan dengan penjelasan mengenai hak penentuan nasib

sendiri, yaitu

“1. All peoples shall have the right to existence. They shall have the unquestionable and inalienable right to self-determination. They shall freely determine their political status and shall pursue their economic and social development according to the policy they have freely chosen 2. Colonized or oppressed peoples shall have the right to free themselves form the bonds of domination by resorting to any means recognized by the international community 3. All peoples shall have the right to the assistance of the State Parites to the present Charter in their liberation struggle against foreign domination, be it political, economic, or cultural.”93

90 Hannum, Op.Cit, hlm.29 (“there was no suggestion at Helsinki or in subsequent CSCE

meetings that the right of self-determination could justify secession by an oppressed minority”); 91Organisation of African Unity, Charter of Organisation of African Unity, OAU

Doc.CAB/LEG/67/3 rev. 5,21 I.L.M 58 (1982) 92 Ibid. Pasal 19 93 African Charter of Human Rights, Pasal 20

Page 67: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

54

Pasal tersebut menunjukkan definisi yang cukup sempit yang mana hak

penentuan nasib sendiri adalah hak penentuan nasib sendiri secara

eksternal bagi wilayah-wilayah yang berada di bawah kolonisasi atau

penjajahan saja.94 Hal ini di karenakan kondisi Negara-negara Afrika yang

lebih multietnis dan karenanya hak penentuan nasib sendiri di luar konteks

dekolonisasi menjadi sesuatu yang membahayakan.95

3) The Paris Charter 1990

Charter of Paris yang ditanda tangani pada November 1990 melalui

pertemuan Conference on Security and Co-operation in Europe (CSCE),

mempersempit perumusan dari hak penentuan nasib sendiri dan

membatasi isinya yang berbunyi,

“ We reaffirm the equal rights of peoples and their right to self-determination in conformity with the charter of the United Nations and with relevant norms of International law, including those relating to territorial integrity of States.”96 Charter of Paris menegaskan sekali lagi bahwa persamaan hak dari

setiap bangsa dan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri sesuai

dengan UN Charter dan norma hukum internasional yang relevan lainnya.97

Dalam piagam ini, pengaturan mengenai penentuan nasib sendiri

dimasukkan dalam bab mengenai “Friendly Relations among Participating

94 Hannum, Op.Cit, hlm.30 95 Hannum, Autonomy, Sovereignity, and Self-Determination: The Accomodation of

Conflicting Rights, Philadlphia,University of Pennsylvania Press,1996,hlm 46-47 96 Charter of Paris for a New Europe 1990, 31 ILM, 1991,hlm 197 97 Kumbaro Dajena, The Kosovo Crisis in a International Law Prespective: Self

Determination Territorial Integrity and the NATO Convention, NATO office of International Press,2001,hlm22

Page 68: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

55

States” dan bukan dalam bab tentang “Human Dimention” yang merupakan

salah satu perwujudan komitmen paling penting bagi anggota CSCE dalam

mengimplementasikan HAM. Bab mengenai Human Dimention dari piagam

ini seperti halnya Helsinki Act, memberi perhatian khusus mengenai hak

bagi kaum minoritas, yang tidak termasuk dalam definisi dari penentuan

nasib sendiri.98

4) Arab Charter of Human Rights 2004

Perjanjian regional yang ke-4 yang mengatur tentang hak

menentukan nasib sendiri adalah Arab Charter of Human Rights 2004.

Usaha untuk menyusun Arab Charter dimulai pada tahun 1960 ketika

anggota Union of Arab Lawyers meminta Arab League untuk menyusun

konvensi tentang hak asasi manusia.99 Arab League kemudian membuat

suatu rancangan pada tahun 1994, pasal pertama dari piagam tersebut

memuat hak menentukan nasib sendiri dan terdiri dari 2 paragraf.100 Piagam

1994 merupakan suatu kegagalan, karena ketidak sesuaian standar hak

asasi manusia internasional dan tidak adanya Negara arab yang

meratifikasinya. Pada bulan mei 2004, Liga Arab mengadopsi Arab Charter

98 Ibid,hlm21 99JamesSummers,People and International Law 2nd Revised Edition,Brill Nijhoff,

Leiden,hlm. 389 100 “Article 1: a. All peoples have the right of self determination and control over their

natural wealth and resources and, accordingly, have the right to freely determine the form of their political structure and to freely pursue their economic, social and cultural development. b.Racism, Zionism, occupation and foreign domination pose a challenge to human dignity and constitute a fundamental obstacle to the realization of the basic rights of peoples,There is a need to condemn and edeavour to eliminate all such practices” Arab Charter on Human Rights 1994, Ibid.

Page 69: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

56

yang baru dan entry into force pada tahun 2008 dengan 11 negara yang

telah meratifikasinya hingga saat ini.101 Ketentuan mengenai hak

menentukan nasib sendiri diatur di pasal 2 yang berbunyi,

“1. All peoples have the right to self determination and to control over their natural wealth and resources, and the right to freely choose their political system and to freely pursue their economic, social and cultural development. 2. All peoples have the right to national sovereignty and territorial integrity. 3. All form of racism,Zionism, and foreign occupation and domination constitute an impediment human dignity and a major barrier to the exersice of the fundamental rights of peoples; all such practices must be condemned and efforts must be deployed for their elimination. 4. All peoples have the right to resist foreign occupation”102

Hak menentukan nasib sendiri dalam Arab Charter, memiliki 2

interpretasi. Yang pertama mengatur tentang hak peoples of states untuk

menentukan sistem politik Negara mereka, untuk melindungi kekayaan

sumber daya alam dan lebih umum lagi untuk mengejar pengembangan

ekonomi, social dan budaya mereka. Ke dua adalah mendukung hak

pelstina untuk menentukan nasib sendiri dan melindungi territorial integrity

mereka.103

3. Hukum Kebiasaan Internasional (International Customary Law)

Hukum kebiasaan internasional mengenai hak penentuan nasib

sendiri dapat dilihat dari beberapa deklarasi yang dikeluarkan oleh Majelis

Umum PBB yaitu Declaration of Granting Independence to Colonial

101 Arab Human Rights Committee: State Parties, League of Arab States Website;

www.lasportal.org, diakses pada 19 februari 2018: 18:46 102 Arab Charter on Human Rights 2004 103 James Summers, Op.cit hlm.392

Page 70: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

57

Countries 1960, Declaration of Friendly Relations 1970, Vienna Declaration

and Program of Action 1993, dan Declaration On Occasion of the Fiftieth

Anniversary of the United Nations 1995. Meskipun deklarasi-deklarasi

tersebut tidak bersifat mengikat dan berupa rekomendasi bagi Negara-

negara anggotanya, mereka termasuk ke dalam sumber hukum

internasional berupa hukum kebiasaan internasional karena mereka

memenuhi elemen-elemen dari hukum kebiasaan internasional yaitu

elemen objektif (praktek-praktek negara) dan elemen subjektif (opinio

juris).104 Mahkamah Internasional dalam South West Africa Case,

menyatakan bahwa resolusi yang telah diadopsi oleh “overwhelmingly

majorities of members of the General Assembly frequently over a period of

time…” dapat menunjukkan opinio juris dan karenanya, “… constitute a

norm of customary international law.”105 Dalam Military and Paramilitary

Activites in and Against Nicaragua, Mahkamah Internasional mencatat

perkembangan pandangan ini ketika menganalisis kekuatan hukum dari

Declaration of Friendly Relations 1970 yang dikeluarkan oleh Majelsi Umum

PBB yaitu,

“The Court has however to be satisfied that there exist in customary international law an opinio juris as to the binding character of such abstention. This opinio juris may, though with all due cauton, be deduced, inter alia, the attitude of the parties and the attitude of States towards certain General Assembly resolutions and particularly resolution 2625 (XXV) entitled “ Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co-operation

104 Christoper C.Joyner, International Law in the 21st Century: Rules for Global

Governance, Lanham,Md: Rowman & Littlefield,2005,hlm.95 105 South West Africa Cases, (Ethiopia vs South Africa; Liberia vs South Africa) 1960 I.C.J

6, 323 para.59

Page 71: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

58

among States in accordance with the Charter of the United Nations”. The effect of consent to the text such resolutions cannot be understood as merely that of a “reiteration or elucidation” of the treaty commitment undertaken in the charter. On the contrary, it may be understood as am acceptance of the validity of the rule or set of rules declared by the resolution by themselves.”106 Paragraf di atas menunjukkan bahwa deklarasi Majelis Umum PBB

ikut serta dalam pembuatan hukum kebiasaan internasional, dengan

melihat ada tidaknya persetujuan dari negara-negara terhadap deklarasi

tersebut, dan dengan melihat sikap negara-negara terhadap prinsip-prinsip

yang di enumerasikan dalam Deklarasi 1970, yang dapat menunjukkan

bukti adanya opinio juris. Namun hal ini belum menjawab secara pasti

apakah sikap negara-negara yang dimaksud dalam keputusan tersebut

adalah sikap berupa tindakan “persetujuan” atau “penolakan” deklarasi itu

sendiri atau harus melihat praktik kembali. Keraguan ini kemudian

diperjelas dalam Nuclear Weapon Advisory Opinion, yang mencatat bahwa

resolusi Majelis Umum PBB memiliki “normative value” dan dapat

membentuk opinio juris.107

Kasus-kasus diatas menggambarkan bahwa resolusi dapat

merefleksikan hukum kebiasaan internasional apabila melihat konten dan

106 Military and Paramilitary Activites in and Against Nicaragua, (Nicaragua vs USA) Keputusan I.C.J Reports 1986, hlm 14. 107 Legality of the Threat or Use of Nuclear Weapon, Advisory Opinion, I.C.J Reports 1996 hlm.226, para 70 (“ The Court notes that General Assembly Resolutions, even if they are not binding, may sometimes have normative value. They can, in certain circumstances, provide evidence important for establishing the existence of a rule or the emergence of an opinio juris. To establish wheteher this is ture of a given General Assembly resolution, it is necessary to look at its content and the conditions of its adoption; it as also necessary to see whether an opinio juris exist as to its normative character. Or a series of resolutions may show the gradual evolution of the opinio juris required for the establishment of a new rule”)

Page 72: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

59

kondisi saat resolusi tersebut diadopsi serta adanya rasa terikat karena

hukum saat negara menyepakati resolusi tersebut, bukan karena alasan

politis atau alasan non-hukum lainnya. Baik Declaration of Granting

Independence to Colonial Countries 1960, Declaration of Friendly Relations

1970, Vienna Declaration and Programmes of Actions 1993, dan

Declaration On Occasion of the Fiftieth Anniversary of the United Nations

1995, semua diadopsi secara unanimous oleh anggota PBB atau melalui

mekanisme consensus yang membuktikan bahwa karakter opinio juris dan

sikap mereka terhadap deklarasi-deklarasi tersebut memenuhi elemen-

elemen praktik-praktik negara. Oleh karena itu, deklaras-deklarasi tersebut

dapat dianggap sebagai sumber hukum internasional berupa hukum

kebiasaan internasional.

1) Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam Declaration of

Granting Independence to Colonial Countries 1960

Declaration of Granting Independence to Colonial Countries 1960

merupakan deklarasi yang diadopsi secara unanimous atau oleh seluruh

negara anggota Majelis Umum PBB. Dengan jumlah negara-negara yang

menerimanya, deklarasi ini dianggap merefleksikan hukum kebiasaan

internasional dan menjadi instrument hukum interansional yang otoritatif.

Dalam pembukaannya, deklarasi ini memiliki tujuan untuk mele[askan

negara-negara yang berada dibawah penjajahan, “Solemnly proclaims the

necessity of bringing to a speedy and unconditional and colonialism in all its

Page 73: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

60

forms and manifestations.”108 Sekaligus juga untuk wilayah protektorat dan

non-self-governing-territories, yaitu “considering the important role of the

United Nations in assisting the movement for independence in Trust and

Non-Self-Governing Territories”.109

Dalam klausa operatifnya, deklarasi ini menyatakan secara eksplisit

‘hak penentuan nasib sendiri’, yang mencakup “all peoples have the right to

self-determiantion; by virtue of that right they freely determine their political

status and freely determine their political their political status and freely

pursue their economic, social and cultural development.” 110 Klausa tersebut

dilanjutkan dengan klausa lain yang menyatakan bahwa negara-negara

anggota harus mengambil langkah segera untuk memberikan kedaulatan

kepada wilayah protektorat dan non-self-governing-territories, sesuai

dengan keinginan penduduknya. Hal tersebut bertujuan untuk “ (to) enable

them to enjoy complete independence and freedom”. Ketentuan ini juga

diberangi dengan kewajiban bagi setiap negara untuk menghormati

keutuhan wilayah negara lain. Dengan konten tersebut, jelaslah bahwa hak

penentuan nasib sendiri dalam deklarasi ini hany mencakup hak penentuan

nasib sendiri secara eksternal dalam konteks dekolonisasi.

108 Declaration on Granting of Independence 1960, pembukaan para.12 109 Ibid, para.5 110 Ibid, klausa operatif no.2

Page 74: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

61

2) Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam Declaration of

Principles of International Law Relating to Friendly

Relations and Cooperations Among States 1970

Sepuluh tahun sejak diadopsinya Declaration of Granting of

Independence 1960, Majelis Umum PBB kembali mengadopsi deklarasi

mengenai hak penentuan nasib sendiri, yaitu Declaration of Friendly

Relations 1970. Deklarasi yang dianggap sebagai “the most authoritative

statement of the principles of international law relevant to the questions of

self-determination and territorial integrity” ini diadopsi tanpa melalui

mekanisme voting oleh negara anggota Majelis Umum PBB setelah

beberapa tahun perundingan.111 Prinsip V dari deklarasi ini menyebutkan

bahwa,

“By virtue of the principle of equal rights and self-determination of peoples enshrined tin the charter of the united nations, all peoples have the right freely to determine, without external interference, their political status and to pursue their economic, social and cultural development and every state has the duty to respect this right in accordance with the provisions of the Charter.”

Terhadap kelompok orang yang berada dibawah kolonialisme,

protektorat, maupun non-self-governing-territory ditegaskan hak mereka

untuk memperolah kemerdekaan dalam prinsip V(6).112

111 1921 United Nations Yearbook 787, UN Sales no.E.72.I.1; Hannum, Rethinking Self-

Determination, hlm.14 112 Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co-

operation Among States in Accordance with Charter of the United Nations ,GA Resolution 2625, Annex 25 UN GAOR Supp.(No17),hlm.66, prinsip V(6), (“The territory of a colony or other Non-self-Governing-Territory has under the Charter, a status separate and distinct from the territory of the State administering it; and such separate and distinct status under the Charter shall exist until the people of the conoly or Non-Self-Governing-Territory have

Page 75: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

62

Selain itu, deklarasi ini juga menyebutkan bentuk-bentuk

manisfesatasi hak penentuan nasib sendiri. Bentuk-bentuk tersebut

diantaranya adalah,

“The establishment of a sovereign and independent state, the free association or integration with an independent state or the emergence into any other political status freely determined by a people constitute modes of implementing the right of self-determination by that people.”113 Bentuk-bentuk manifestasi hak penentuan nasib sendiri di atas

adalah aspek eksternal dari hak penentuan nasib sendiri. Selain itu,

terdapat prinsip atau klausa V(7) yang mewajibkan setiap negara untuk

menghormati keutuhan wilayah negara lain, dengan pengecualian selama

negara tersebut,

“…conducting themselves in compliance with the principle of equal rights and self-determination of peoples as described above and thus possessed of a government representing the whole people belonging to the territory without a distinction as to race, creed or colour.” Interpretasi terhadap Prinsip V (7) menuai banyak perdebatan

mengenai hak pemisahan diri secara sepihak dari negara. Di satu sisi,

sarjana seperti Shaw, berpendapt bahwa klausa ini terlalu ambigu untuk

mengindikasikan diperbolehkannya pemisahan drii secara sepihak dari

negara.114 Alasan yang dikedepankan Shaw adalah karena prinsip

keutuhan wilayah yang selalu diutamakan dalam hukum internasional,

“such a major change in legal principle cannot be introduced by way of an ambiguous subordinate clause, especially when the principle of

exercised their right of self-determination in accordance with the Charter and particularly its purposes and principles.”) 113 Ibid, Prinsip V (4). 114 Shaw, “Peoples, Territorialism and Boundaries,” hlm 483.

Page 76: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

63

territorial integrity has always been accepted and proclaimed as a core principle of international law, and is indeed placed before the qualifying clause in the provision in question.”

Selain itu, Shaw juga berpendapat bahwa kalusa tersebut

membatasi cakupan hak penentuan nasib sendiri yaitu secara internal

saja.115 Selain Shaw, Marcelo Kohen juga berpendapat bahwa klausa

tersebut tidak dibuat untuk membolehkan pemisahan diri secara sepihak

terjadi, 116

“ The Safeguard clause was originally drafted with situations such as South Africa and Rhodesia in mind. Without any intention to extend recognition to any secession rights to the majority of the South African and Zimbabwean peoples, as victims of racist regimes.”

Selain itu, Kohen berpendapat bahwa solusi dari adanya perlakuan yang

diskriminatif dan pelanggaran HAM terhadap sekelompok orang adalah

dengan merestorasikan hak mereka kembali, bukan dengan pemisahan diri

yang berdampak permanen bagi negara yang bersangkutan.

Namun disisi lain, lebih banyak sarjana dan praktik yang

menginterpretasikan sebaliknya, bahwa hak penentuan nasib sendiri juga

termasuk hak pemisahan diri secara sepihak dari negara apabila

sekelompok orang diperlakukan secara diskriminatif oleh pemerintahannya

sendiri.117 Aureliu Cristescu dalam laporannya sebagai UN Special

Rappourter on Self-Determination pada tahun 1981, mengobservasi

115Ibid,(“The clause in question authoritatively reaffirms the actual content of self determination, that it non-discrimanatory participation in government of the whole people within the territory in question.”) 116 Kohen, Op.Cit hlm 10 117 Xanthanki, “The Rights of Self-Determination: Meaning and Scope”, hlm.17

Page 77: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

64

Bahasa yang digunakan oleh panitia perumus Declaration of Friendly

Relations 1970 dan menyimpulkan bahwa,

“The view was expressed in the Coordination Committee of the Conference that simultaneous use of the words “nations” and “peoples” seemed to introduce the right secession and that it would have been more appropriate to use only the word “peoples.”118

Selain itu, John Dugard dan David Raic yang merujuk pada panitia perumus

deklarasi tersebut mencatat bahwa perumusan klausa V(7) didasari

perdebatan hangat mengenai ada atau tidaknya hak pemisahan diri dari

negara.119 Antonio Cassese dalam analisisnya terhadap klausa tersebut

menyimpulkan bahwa, “ a racial or religious group may attempt secession,

a form of external self-determination” apabila keadaan berikut dialami oleh

kelompok orang tersebut,

“…when it is apparent that internal self-determination is absolutely beyond reach. Extreme and unremitting persecution and the lack of any reasonable prospect for peaceful challenge may make secession legitimate. A Racial or religious group may secede-thus exercising the most radical form external self-determination- once it is clear that all attempts to achieve internal self-determination have failed or are destined to fail.”120

Selain john dugard, David Raic dan Cassese, sarjana lainnya seperti

Tomuschat, Ouvergrouz, Tachindracanarievich, dan Thio, berpendapat

bahwa maksud dari klausa tersebut adalah sebagai upaya terakhir yang

118 Aureliu Cirstescu, Special Rappurter of the Sub-Commision, The Right to Self-

Determination Historial and Current Development on the Basis of United Nations Instruments, E/CN.4/Sub.2/404/Rev.1, 1981, hlm 2-3 119 John Dugard dan David Raic, “the Role of Recognition in Law and Practice of

Secession, dalam Kohen Op.Cit, hlm.104 120 Cassese, Op.Cit hlm.120

Page 78: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

65

dapat ditempuh sekelompok orang, “ if a state is not behaving in the manner

prescribed by the friendly relations declaration, then the population having

discriminated against could give its right to self-determination recognized.”

Melanjutkan penjelasan diatas, ketika pemerintah negara telah

memperlakukan sekelompok orang secara bertentangan dari apa yang

telah diatur dalam Declaration of Friendly Relations 1970, maka negara

tersebut, “[is] acting in contradiction with this right losing the protection of its

territorial integrity to this extent.”

Melihat banyaknya sarjana yang melihat prinsip ini sebagai afirmasi

dari hak penentuan nasib sendiri, Declaration of Friendly Relations 1970

dianggap sebagai dokumen yang penting dalam suatu perkembangan

pengaturan hak penentuan nasib sendiri dan hak pemisahan diri secara

sepihak dari negara.

3) Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam Vienna Declaration

and Program of Action 1993

Deklarasi ini diadopsi secara konsensual oleh 171 negara dalam

World Conference on Human Rights yang berlangsung dari tanggal 14-23

Juni 1993. Vienna Declaration kemudian diadopsi menjadi sebuah Resolusi

Majelis Umum PBB A/RES/48/141 dengan judul High Commissioner for The

Promotion and Protection of All Human Rights.121 Dalam bagian 1(2)

dikatakan bahwa,

121 UN General Assembly, Vienna Declaration and Programme of Action, 12 Juli 1993,

A/CONF.157/23 (A/RES/48/141)

Page 79: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

66

“ all peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development.”

Klausa tersebut dilanjutkan dengan penegasan hak penentuan nasib

sendiri bagi orang di bawah penjajahan dan juga dominasi asing.122

Kemudian dilanjutkan dengan klausa yang sangat mirip dengan Prinsip V(7)

dari Declaration of Friendly Relations, yaitu setiap negara harus

menghormati keutuhan negara lainnya,

“…in compliance with the principle of equal rights and self-determination of peoples and thus possessed of a government representing the whole people belonging to the territory without distinction of any kind.”123

Pengecualian ini kembali menandakan pandangan yang cenderung

membolehkan pemisahan diri secara sepihak dari negara, sebagai salah

satu bentuk hak penentuan nasib sendiri secara eksternal.

4) Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam The Declaration On

Occasion of the Fiftieth Anniversary of the United Nations

1995

Majelis Umum PBB mengadopsi The Declaration On Occasion of the

Fiftieth Anniversary of the United Nations atas dasar consensus semua

negara anggota Majelis Umum PBB, termasuk Palestina sebagai observan.

122 Ibid, Klausa 1(1), (“Taking into account the particular situation of peoples under colonial

or other forms of alien domination or foreign occupation, the World Conference on Human Rights recognizes the right of peoples to take any legitimate action, in accordance with the Charter of the United Nations, to realize their inalienable right of self-determination. The World Conference on Human Rights considers the denial of the right of self-determination as a violation of human rights and underlines the importance of the effective realization of this right.”) 123 Ibid.

Page 80: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

67

Deklarasi ini menyatakan bahwa hak penentuan nasib sendiri adalah hak

asasi yang non-derogable atau tidak dapat diganggu gugat.124 Oleh karena

itu demi menghormati hak penentuan nasib sendiri setiap negara wajib

untuk,

“Continue to reaffirm the right of self-determination of all peoples, taking into account the particular situation of peoples under colonial or other forms of alien domination or foreign occupation and recognize the right of peoples to take legitimate action in accordance with the Charter of the United Nations to realize their inalienable right of self-determination”125

Kalimat dalam paragraph tersebut menunjukkan bahwa hak penentuan

nasib sendiri tidak hanya berlaku dalam konteks dekolonisasi, namun juga

“other forms of alien domination or foreign occupation.” Selanjutnya,

deklarasi ini juga menyatakan pengecualian yang sama dengan yang ada

di dalam Vienna Declaration and Programmes of Actions 1993.126

4. Keputusan Pengadilan dan Pendapat Sarjana Mengenai Hak

Menentukan Nasib Sendiri

Sumber hukum internasional terkait hak menentukan nasib sendiri

yang berikutnya berdasarkan Pasal 38(1) dari Statuta Mahkamah

Internasional adalah dari keputusan pengadilan, baik oleh Mahkamah

Internasional, tribunal atau pengadilan regional, maupun nasional. Alasan

mengapa keputusan Mahkamah Internasional merupakan sumber hukum

124 Declaration on the Occasion of the Fiftieth Anniversary of the United Nations, G.A.Res

50/6, U.N GAOR, 50th Sess, at 1, U.N Doc A/Res60/6 (1995) 125 Ibid 126 Ibid, Klausa Operatif 1 para.4

Page 81: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

68

internasional didasari oleh Pasal 59 dari Statuta Mahkamah Internasional

yang menyatakan bahwa keputusan Mahkamah Internasional mengikat

bagi para pihak dalam sengketa yang bersangkutan.127 Meskipun tidak

mengikat sebagai hukum bagi semua negara, keputusan Mahkamah

Internasional tetap dapat memberikan petunjuk bagi kasus-kasus lainnya

yang sejenis. Terlebih, Mahkamah Internasional tidak pernah ingin

mengeluarkan keputusan yang bertentangan dengan keputusan-

keputusannya yang terdahulu sehingga keputusan Mahkamah

Internasional yang terdahulu bisa dijadikan rujukan bagi Mahkamah

Internasional untuk mengeluarkan keputusan di masa yang akan datang.

Selain itu, alasan mengapa keputusan pengadilan nasional juga termasuk

dalam cakupan keputusan pengadilan yang merupakan sumber hukum

internasional tercermin dalam Arrest Warrant Case di hadapan Mahkamah

Internasional.128 Mahkamah Internasional mengakui keputusan pengadilan

nasional Perancis dan Belgium untuk dirujuk sebagai sumber hukum

internasional.129 Dalam kasus yang kontemporer, Mahkamah Internasional

juga mengacu pada keputusan Supreme Court of Canada mengenai

Reference re Secession of Quebec dalam Accordance with International

Law of The Unilateral Declaration of Independence In Respect of Kosovo,

127 Pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional 128 Arrest Warrant of 11 April 2000 (Democratic Republic of the Congo Vs Belgium)

Keputusan, I.C.J Reports 2002 hlm.3 129 Arrest Warrant of 11 April 2000 (Democratic Republic of the Congo Vs Belgium),

Keputusan, I.C.J Reports 2002, hlm.3, para 59 (“ The Court has carefully examined State Practice, including national legislation and those few decisions of national higher courts, such as the House of Lords or the French Court of Cassation…”)

Page 82: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

69

Advisory Opinion pada tahun 2010 yang lalu. Advisory Opinion dan

keputusan Supreme Court of Canada tersebut berkaitan erat dengan hak

pemisahan diri secara sepihak.

Advisory Opinion yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional

bukanlah termasuk ke dalam kategori keputusan pengadilan, namun

mereka adalah sumber hukum internasional yaitu sebagai pendapat para

sarjana yang telah diakui. Serupa dengan opini yang bersifat nasehat atau

Advisory Opinion, opinion terpisah (separate opinion) dan opini berbeda

(dissenting opinion) baik dalam Merits Judgment ataupun Advisory Opinion

juga dikategorikan sebagai pendapat sarjana yang diakui.130 Berikut penulis

akan jabarkan perkembangan pengaturan hak penentuan nasib sendiri dari

keputusan dan Advisory Opinion dari Mahkamah Internasional, serta

keputusan pengadilan regional.

1) Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam Putusan Mahkamah

Internasional

a) South-West Africa Cases

Terdapat beberapa keputusan yang dikeluarkan Mahkamah

Internasional terkait kasus hak penentuan nasib sendiri South-West Africa

(kini Namibia), yang dimulai sejak tahun 1949 hingga 1971. Rentetan

keputusan ini bermula ketika South-West Africa mimiliki status non-self-

governing-territory yang hingga batas waktunya, masih dikuasai oleh

130 M.Shahabuddeen, Precedent in the World Court (Cambridge University Press, 1996)

hlm. 199-200.

Page 83: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

70

negara mandatnya yaitu Afrika Selatan. Mengutip dari memorial, Afrika

Selatan dianggap menghambat hak penentuan nasib sendiri South West

Africa karena,

“ the Union, by word and by action in the respects set forth in Chapter VIII of this memorial, has treated the territory in a manner inconsistent with the internatiomal status of the territory and has thereby impeded opportunities for self-determination by the inhabitants of the territory; that such treatment is in violation of the Union’s obligations as stated in the first paragraph of Article 2 of the Mandate and Article 22 of the Covenant that the Union has the duty forthwith to cease the actions summarized in Section C of Chapter VIII herein, and to refrain from similar actions in the future and that the Union has the duty to accord full faith and respect to the international status of the Territory”131

Dengan demikian keputusan-keputusan ini memberikan kontribusi

terhadap hak menentukan nasib sendiri dalam konteks dekolonisasi,

namun tidak sama sekali menyentuh mengenai hak menentukan nasib

sendiri secara eksternal. Meskipun demikian keputusan-keputusan ini juga

mencatat larangan perlakuan diskriminatif negara mandate kepada

penduduknya sendiri.

b) Western Sahara Advisory Opinion

Atas permintaan Majelis Umum PBB dari Resolusi 3292 (XXIX) pada

tahun 1974, Mahkamah Internasional mengeluarkan Advisory Opinion

untuk isu hak penentuan nasib sendiri bagi penduduk sahara barat atau

disebut juga Spanish Sahara yang merupakan negara jajahan spanyol dan

diperebutkan oleh Maroko dan Mauritania. Advisory Opinion tersebut

131 South West Africa Cases ( Ethiophia v South Africa; Liberia V South Africa), Memorial

submitted by the government of Ethiophia, ICJ Reports 1966,hlm.198

Page 84: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

71

melandaskan aturan hak menentukan nasib sendiri kepada Pasal 1 dan 55

Piagam PBB dan Declaration of Granting Independence to Colonial

Countries 1960. Majelis Umum kembali menegaskan bentuk-bentuk

manifestasi hak penentuan nasib sendiri secara eksternal yaitu,

“General Assembly resolution 1514 (XV) provided the basis for the process of decolonization which has resulted since 1960 in the creation of many states which are today Members of the United Nations. It is complernented in certain of its aspects by General Assembly Resolutions 1541 (XV), which has been invoked in the present proceedings. The latter resolution contemplates for non-self governing territories mor the one possibility, namely:

a. emergence as a sovereign independent state; b. free association with an independent state; or c. integration with an independent state At the same time, certain of its provisions give effect to the essential feature of the right of self-determination as established in resolution 1514 (XV)”132

Catatan berharga dari Advisory Opinion ini adalah ketika dinyatakan bahwa

validitas dari hak penentuan nasib sendiri digantungkan kepada dua hal,

yaitu (1) bebas dari intervensi asing dan (2) merupakan keinginan dari

pendudukan wilayah itu sendiri atau “freely expressed will of peoples”.

Mahkamah Internasional juga mencatat sepakat dengan Majelis Umum

PBB yang menyatakan bahwa referendum merupakan salah satu cara

untuk menjamin “freely expressed will of peoples” sebagai wujud

implementasi hak menentukan nasib sendirinya.

132 Western Sahara Advisory Opinion, I.C.J Rep.1975

Page 85: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

72

c) East Timor Case

Pada tahun 1991, Mahkamah Internasional menangani kasus Timor

Timur (kini: Republik Demokratik Timor Leste) yang diajukan oleh Portugal

sebagai negara administrator Timor TImur yang kala itu memiliki status non-

self-governing-territory.133 Terkait dengan hak penentuan nasib sendiri,

Portugal menganggap bahwa Australia telah gagal untuk

“…observe the obligation to respect the duties and powers of [Portugal as] the administering Power [of East Timor].. and.. the right of the people of East Timor to self-determination and the related rights.”

Hanya saja Mahkamah Internasional tidak sampai membahas

substansi dari kasus ini, karena terhalang masalah admissibility dari kasus

ini mengingat keputusan yang dibuat akan turut menilai legalitas tindakan

negara lain (dalam hal ini Indonesia) yang bukan pihak dalam kasus a quo.

Mahkamah Internasional sempat mencatat beberapa sifat hak menentukan

nasib sendiri. Pertama, Mahkamah Internasional mencatat bahwa “ In the

Courts view, Portuga’ls assertion that the right of peoples to self-

determination as it evolved from the Charter and from United Nations

practice has an erga omnes character, is irreproachable.” Namun

Mahkamah Internasional tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan

karakter erga omnes dalam hal a quo. Kedua, mereka juga menekankan

kembali bahwa menentukan nasib sendiri merupakan sebuah hak yang

133 East Timor Case (Portugal vs Australia), I.C.J Rep.90,1995, hlm.265

Page 86: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

73

telah dikukuhkan dalam Piagam PBB dan Yurisprudensi Mahkamah

Internasional.

2) Hak Menentukan Nasib Sendiri dalam Keputusan

Pengadilan Nasional

a) Reference re Secession Quebec 1998

Keputusan Supreme Court of Canada mengenai usaha menentukan

nasib sendiri orang-orang Quebec untuk memisahkan diri dari Kanada,

merupakan salah satu kasus yang paling berpengaruh dalam

perkembangan hukum internasional mengenai hak menentukan nasib

sendiri untuk memisahkan diri secara sepihak dari negara. Terkait hukum

internasional, Supreme Court of Canada disuguhkan pertanyaan berupa

apakah hukum internasional mengatur hak bagi National Assembly ataupun

badan legislative Kanada untuk turut serta dalam pemisahan diri orang-

orang Quebec dari Kanada. Terhadap pertanyaan tersebut, supreme court

of Canada menyimpulkan bahwa dalam hukum internasional memang

diakui dua aspek hak menentukan nasib sendiri, yaitu hak menentukan

nasib sendiri secara internal,

“ The recognized sources of international law establish that the right to self-determination of a people is normally fulfilled through internal self-determination, a people’s pursuit of its political,economic,social and cultural development within the framework of an existing state.”134

134 Reference Re Secession of Quebec,1998,hlm.218

Page 87: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

74

Dan juga hak menentukan nasib sendiri secara eksternal, yang diberi

catatan bahwa pemisahan diri secara sepihak dari negara adalah salah satu

kemungkinannya dengan catatan bahwa hal itu hanya dilakukan dalam

kondisi yang luar biasa dan dengan nilai per kasus,

“…A right to external self-determination (which in this case potentially takes the form of the assertion of a right to unilateral secession) arises in only the most extreme cases and even then under carefully defined circumstances. External self-determination can be defined as in the following statement from the Declaration on Friendly Relations”135

Keputusan juga membawa pesan implisit dari beberapa deklarasi

internasional, dimana hak pemisahan diri secara sepihak dari negara dapat

dilakukan dalam “….when a people is blocked form the meaningful exercise

of its right to self determination internally, it is entitled as a last resort to

exersice it by secession.” Sekaligus menambahkan bahwa kesimpulan ini

dikuatkan dari The Vienna Declaration yang memberikan persyaratan

kepada pemerintah, “ that governments represent “the whole people

belonging to the territory without distinction of any kind” adds credence to

the assertion.”136

Supreme Court of Canada juga mencatat bahwa semua manifestasi

hak penentuan nasib sendiri secara eskternal ini harus dilakukan sangat

hati-hati dikarenakan adanya prinsip “territorial integrity” atau keutuhan

wilayah wajib dihormati oleh setiap negara, sebagaimana mereka di “The

135 Ibid 136 Ibid.

Page 88: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

75

Declaration on Friendly Relations, the Vienna Declaration dan the

Declaration on the Occasion of the Fiftieth Anniversary of the United

Nations..” serta dalam Helsinki Final Act 1975. Selama masih bisa dilakukan

upaya secara internal untuk memperbaiki keadaan, maka mekanisme

internal tersebutlah yang sebaiknya dipilih oleh orang-orang Quebec.

Dalam kesimpulan keputusannya, Supreme Court of Canada

memutuskan karena “…nor it be suggested that Quebecers have been

denied meaningful acces to government to pursue their political, economic,

cultural and social development…” maka “the National Assembly, the

legislature or the government of Quebec do not enjoy a right at international

law to effect the secession of Quebec from Canada Unilaterally.”

Dengan demikian, Supreme Court of Canada mengindikasikan

bahwa hak pemisahan diri secara sepihak itu ada dan memungkinkan untuk

terjadi, namun dengan kondisi tertentu yang harus terpenuhi terlebih

dahulu. Kondisi tersebut adalah tidak cukupnya akses bagi sekelompok

orang untuk ke pemerintahan sehingga mereka tidak dapat

mengembangkan aspek politik, social, budayanya.

3) Hak Menentukan Nasib Sendiri Menurut Sarjana Yang

Telah Diakui

1. General Recommendation No.21 Convention on the

Elimination of Racial Discrimination 1996

Page 89: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

76

General Recommendation adalah dokumen yang berisi interpretasi

resmi atas International Convention on the Elimination of Racial

Discrimination (ICERD) 1996. Dokumen ini dibuat oleh Human Rights

Committee, sebagai panitia perumus ICERD. Dalam hierarki tata urutan

sumber hukum internasional, termasuk ke dalam Pasal 38(1)(d) yaitu

pendapat sarjana yang telah diakui dan Mahkamah Internasional

mengafirmasi dalam Ahmadou Sadio Diallo Case.137 Dalam kasus itu,

Mahkamah Internasional merujuk pada dokumen hukum berupa General

Comment and General Recommendation, yang merupakan dokumen

interpretasi konvensi hak asasi manusia yang berkaitan. Mahkamah

Internasional menerima dokumen ini sebagai salah satu bentuk pendapat

para sarjana yang dapat dirujuk sebagai sumber hukum internasional.

Dalam General Comment No.21, terdapat pemisahan eksplisit

antara hak menentukan nasib sendiri secara internal, yang didefinisikan

sebagai,

“In respect of the self-determination of peoples two aspects have to be distinguished. The right to self-determination of peoples has an internal aspect, that is to say, the rights of all peoples to pursue freely their economic, social and cultural development without outside interference. In that respect there exists a link with the right of every citizen to take part in the conduct of public affairs at any level, as referred to in article 5 (c) of the international Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination”138

137 Ahmadou Sadio Diallo (Republic of Guinea vs Democratic Republic of the Congo),

I.C.J Reports 2008 138 General Reccomendation No.21 ICERD, Para.4

Page 90: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

77

Dan di dalamnya ada kewajiban negara untuk, “..Governments are to

represent the whole population without distinction as to race, colour,

descent or national or ethnic origin.”139 Sementara hak menentukan nasib

sendiri secara eksternal,

“The external aspect of self-determination implies that all peoples have the right to determine freely their political status and their place in the international community based upon the principle of equal rights and exemplified by the liberation of peoples from colonialism and by the prohibiton to subject peoples to alien subjugation, domination and exploitation.”

Dengan demikian, General Comment No.21 berkontribusi terhadap

kejelasan mengenai adanya dua aspek dalam hak menentukan nasib

sendiri.

2. UNESCO International Conference of Experts on

Implementation of The Rights to Self-Determination as a

Contribution to Conflict Prevention 1998

Pada tahun 1998, UNESCO Division of Human Rights Democracy

and Peace mengadakan pertemuan ahli dari seluruh dunia yang

mendiskusikan mengenai hak menentukan nasib sendiri dan juga

memberikan rekomendasi untuk UNESCO terkait isu tersebut. Dalam

laporannya, konferensi ini menyimpulkan bahwa terdapat dua aspek dari

hak menentukan nasib sendiri, yaitu aspek internal dan eskternal. Hak

menentukan nasib sendiri secara internal adalah,

139 Ibid

Page 91: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

78

“By internal self-determination is meant participatory democracy: the right to decide the form of government and the identity of rulers by the whole population of a state and the right of a population group within the state to participate in decision making at the state level. Internal Self-determination can also mean the right to exercise cultural, linguistic, religious or (territorial) political autonomy within the boundaries of the existing state.”140

Definisi ini sejalan dengan definisi hak menentukan nasib sendiri secara

internal yang diberikan oleh dokumen-dokumen hukum internasional

sebelumnya. Sementara hak menentukan nasib sendiri secara eksternal

berarti,

“By external self-determination (described by some as “full” self-determination) is meant the right to decide on the political status of a people and its place in the international community in relation to other states, including the right to separate from the existing state of which the group concerned is a part and to set up a new independent state.”141

Konferensi ini juga memberi catatan penting dalam perkembangan hak

untuk memisahkan diri negara secara sepihak, “in the broader context of

self-determination, separation or secession from the state of which a people

forms a part should be regarded as a right of last resort.”142 Konferensi ini

mengambil sikap positif akan kemungkinan sekelompok orang untuk

memisahkan diri dari negaranya, apabila hal tersebut merupakan upaya

terakhir bagi mereka.

140 United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organisation, International Meeting

of Experts for the Elucidation of the Concepts of rights of peoples, SHS-89/CONF.602/7, (22 Februari 1990),hlm.12. 141 Ibid, hlm.13 142 Ibid, hlm.16

Page 92: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

79

B. Kedudukan Hukum Referendum Kurdistan Menurut Hukum

Internasional

Dalam referendum yang diadakan pada tanggal 25 September 2017

lalu, para pemilih Kurdistan Regional Government (KRG) pergi ke tempat

pemungutan suara untuk memutuskan apakah mereka menginginkan

sebuah negara merdeka. Dalam referendum ini, para pemilih diberikan

pertanyaan berupa : "Apakah Anda ingin wilayah Kurdistan Irak (KRI) dan

wilayah Kurdistan yang berada di luar KRI untuk menjadi negara merdeka?"

dengan jumlah pemilih sekitar 72%, lebih dari 90% para pemilih memilih

kemerdekaan.143 Penulis pertama-tama akan memberikan penjelasan

konsep referendum kemerdekaan menurut hukum internasional. Kemudian

penulis akan menganalisis keputusan KRG untuk mengadakan referendum

kemerdekaan dari kedua aspek hukum konstitusi Irak dan internasional.

1) Konsep Referendum Kemerdekaan Menurut Hukum

Internasional

Referendum merupakan pengejawantahan dari hak untuk

menentukan nasib sendiri. Self-Determination sebagai landasan

pelaksanaan referendum dapat dibagi menjadi 6 kategori berbeda menurut

Masahiro Igarashi, yaitu:

a) Anti-Colonial Self-Determination, sebuah klaim yang

dilakukan oleh penduduk yang berada dibawah kekuasaan

143 http://www.khec.krd/pdf/173082892017_english%202.pdf diakses pada senin 19 April

2018, pukul 03:50

Page 93: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

80

kolonial atau alien domination yang berusaha untuk

memperoleh kebebasan penuh atau kekuatan politik yang

lebih banyak.

b) Sub-State Self-determination, adalah upaya sebuah

kelompok dalam suatu negara untuk mencapai tingkat

otonomi politik atau budaya yang lebih besar dalam negara

tersebut.

c) Trans-State Self-determination, sebuah klaim self-

determination yang terdapat adanya pengelompokan

terkonsentrasi dari orang-orang yang berada di lebih dari

suatu negara.

d) Self-Determination of Dispersed Peoples, sebuah klaim dari

orang-orang yang terpencar di lebih dari satu negara.

e) Indigenous Self-Determination, sebuah klaim yang dilakukan

oleh kelompok etnis yang istimewa dan sejarah yang panjang

didalam masyarakat pra-kolonial atau pra-invasi.

f) Representative Self-Determination, adalah hasil self-

determination ketika penduduk sebuah negara berusaha

untuk mengubah struktur politik dalam mendukung struktur

demokrasi yang lebih representatif.144

144 Javier J.Rua Jovet, The Fourth Option: Modern Self-determination (Revista de Derecho Puerto Riqueno,2010) hal.167-168

Page 94: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

81

Dari ke enam kategori landasan self-determination yang digunakan

oleh KRG dalam pelaksanaan Referendum adalah Indigenous Self-

Determination.

Referendum yang diadakan untuk persetujuan pemisahan wilayah

untuk pembentukan negara baru disebut referendum kemerdekaan.

Menurut Îlker Gökhan Śen ada tiga sub-jenis, jenis pertama referendum

yang menyangkut wilayah yang tunduk pada hukum internasional tentang

dekolonisasi, Timor Timur (1999) dan referendum yang akan digelar di

Kaledonia Baru November tahun 2018 dapat dimasukkan dalam kategori

ini, Sedangkan Kurdistan merupakan “region” yang tunduk pada konstitusi

Irak.

Jenis kedua referendum yang diadakan untuk menyetujui pemisahan

wilayah, yang hukum internasional tidak secara eksplisit memberikan hak

itu. Dasar hukum formal kemudian diberikan oleh kesepakatan para pelaku

utama, yang mungkin merupakan kelompok separatis, negara pusat, dan

komunitas internasional regional atau global. Referendum yang diadakan

selama aksesi Montenegro ke kemerdekaan (2006), yang mengarah pada

kemerdekaan Sudan Selatan (2011), dan referendum kemerdekaan di

Skotlandia (2014) adalah contoh dari jenis referendum kedua ini.

Jenis ketiga referendum kemerdekaan mencakup yang secara

sepihak dipegang oleh kelompok atau wilayah yang memisahkan diri. Ciri

khas dari referendum tersebut adalah tidak adanya dasar hukum yang sah

Page 95: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

82

atau penerimaan formal dari semua pihak dalam konflik. Contohnya

termasuk referendum yang diadakan di Quebec (1980 dan 1995) dalam

usahanya untuk memisahkan diri dari Kanada dan referendum yang

diadakan selama pembubaran Yugoslavia di awal 90-an. Dua jenis

referendum pertama termasuk dalam referendum de jure, karena mereka

diadakan sesuai dengan ketentuan hukum yang ada ( Konstitusi, perjanjian

internasional atau Resolusi PBB), referendum jenis ketiga diadakan secara

de facto sebagai strategi dalam upaya memisahkan diri, sedangkan

referendum kemerdekaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah

Kurdistan (KRG) sebagai referendum unilateral secara de facto. Baik

Konstitusi Irak, maupun hukum internasional tidak menyediakan dasar

hukum yang sah untuk referendum ini.

2) Referendum Dalam Hukum Konstitusi Irak

Pertanyaan utama dalam hal hukum konstitusi Iraq adalah : Di

bawah Konstitusi Irak, apakah KRG memiliki hak untuk memulai

referendum kemerdekaan secara sepihak? Konstitusi Irak mengatur

referendum pada tingkat nasional dan regional. KRG adalah Unit federal

disebut "region" mirip dengan “states” di Amerika Serikat , konstitusi

mengakui KRG hanya sebagai “region”.145

Di tingkat nasional, Pasal 126 membutuhkan referendum sebagai

mandat dari masyarakat untuk perubahan dalam Konstitusi. Menurut

145 Constitution of Iraq (Last Amandement 2005)

Page 96: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

83

ketentuan ini, setiap amandemen Konstitusi harus disetujui terlebih dahulu

oleh, setidaknya, 2/3 mayoritas dari jumlah anggota Dewan Perwakilan, dan

kemudian diserahkan ke referendum nasional.146 Selain itu, amandemen

terhadap ketentuan-ketentuan yang paling mendasar, termasuk persatuan,

kemerdekaan, dan kedaulatan negara Irak, harus menjalani dua

persetujuan terpisah untuk dibuat atas dua pemilihan umum parlemen yang

terpisah dan berurutan.

Mengenai referendum regional, dapat dikelompokkan menjadi tiga

jenis. yang pertama, referendum dapat diadakan di unit federal untuk

mengadopsi bahasa lokal sebagai bahasa resmi Iraq.147 Jenis referendum

yang kedua dapat diadakan di satu atau lebih governorate untuk integrasi

mereka untuk membentuk region baru.148 Ketiga, Konstitusi memberikan

hak veto kepada “regions” dalam bentuk referendum regional, kapanpun

ada amandemen Konstitusi yang mengurangi kekuasaan “regions” demi

keuntungan pemerintah federal.149 Ada jenis referendum keempat yang

akan diadakan di Kirkuk dan "wilayah sengketa" Irak lainnya yang

ditentukan oleh Pasal 140 tetapi akan dijelaskan di paragraph selanjutnya.

Jadi menurut ketentuan-ketentuan ini, semua referendum baik nasional

maupun regional melibatkan beberapa jenis masalah konstitusional

sebagai subjek, tetapi bukan "kemerdekaan".

146 Ibid 147 Ibid,(Article 4, Alinea 5) 148 Ibid, (Article 119) 149 Ibid , (Art 126, Al.4)

Page 97: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

84

Tentang kemerdekaan sebagai subyek referendum, pertanyaan

penting lainnya muncul di sini: Apakah Konstitusi Irak mengizinkan salah

satu unit konstituen untuk melepaskan diri? Pertama, penting untuk

mengingat prinsip territorial integrity yang melarang pemisahan diri, fitur

umum yang dapat dilihat di hampir semua konstitusi dunia. Prinsip territorial

integrity, baik yang secara eksplisit diatur atau diperoleh melalui interpretasi

konstitusional, ada di mana-mana dalam hukum konstitusional komparatif,

dan Konstitusi Irak tidak menunjukkan pengecualian.

Menurut Konstitusi, Republik Irak adalah negara "tunggal" Federal,

independen dan berdaulat penuh dan Konstitusi adalah penjamin persatuan

Irak.150 Konstitusi adalah hukum tertinggi dan tertinggi di Irak dan akan

mengikat di semua bagian Irak tanpa kecuali.151 Bahkan jika prinsip

Territorial Integrity tidak secara eksplisit ditetapkan, konsep "kesatuan

Irak", "kedaulatan penuh" dan supremasi Konstitusi atas semua wilayah

Irak, dapat berfungsi sebagai basis konstitusional yang diperlukan bagi

pemerintah federal untuk membatalkan upaya sepihak atau permintaan

pemisahan diri dari Irak. Setiap perselisihan dapat dikenakan penyelesaian

akhir oleh Mahkamah Agung Federal Irak. Situasi serupa terjadi dalam

sejarah konstitusional AS dan Kanada, di mana pengadilan federal

menggagalkan upaya pemisahan sepihak, dengan interpretasi luas dan

teologis terhadap prinsip-prinsip konstitusional umum seperti federalisme,

150 Ibid, (Art 1) 151 Ibid, (Art 13)

Page 98: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

85

konstitusionalisme, dan demokrasi, dengan tidak adanya larangan

konstitusional secara eksplisit untuk pemisahan diri. Jadi, Konstitusi Irak

tampaknya cocok dalam kategori umum konstitusi yang melarang

pemisahan diri.

Namun, Pasal 140 memungkinkan kita berpikir sebaliknya.152 Pasal

Ini memuat kondisi awal untuk pemerintahan seluruh Irak yang secara

konstitusional kompeten di Kirkuk dan "wilayah sengketa lainnya". Ini

adalah referendum "untuk menentukan kehendak warga" dari daerah-

daerah ini. Namun, mengacu pada ketentuan ini sebagai dasar hukum

untuk referendum Kurdistan saat ini bermasalah karena dua alasan.

Pertama, pasal tersebut tidak memberikan kekuatan untuk memulai

referendum sepihak kepada pemerintah daerah. Selain itu, interpretasi

pasal a quo diartikan sebagai: memulai referendum adalah prioritas

eksekutif federal dan ini hanya boleh digunakan setelah "normalisasi" dan

"sensus" di daerah yang relevan. Tenggat waktu yang ditetapkan oleh

Konstitusi (31 Desember 2007) dapat dianggap sebagai hanya indikatif dan

pengesahan batas waktu ini tidak secara otomatis memberi hak kepada

daerah untuk memisahkan diri. Kedua, artikel tidak secara eksplisit

mengartikulasikan kata-kata "pemisahan" atau "kemerdekaan". Jadi, ketika

kita membaca artikel 1, 13 dan 140, "kehendak bebas warga negara"

152 Ibid, (Art 140, The Responsibility placed upon the executive branch of the Iraqi

Transitional Government stipulated in Article 58 of the Transitional Administrative Law shall extend and continue to the executive authority elected in accordance with this Constitution, provided that it accomplishes completely (normalization and census and concludes with a referendum in kirkuk and other disputed territories to determine the will of their citizens), by a date not to exceed the 31st of December 2007.

Page 99: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

86

memenuhi batas yang ditetapkan oleh Konstitusi dan itu menghalangi

pemisahan sepihak. Salah satu argumen hukum yang dipegang oleh KRG

ketika menyuarakan dirinya hak untuk memulai referendum kemerdekaan

adalah peraturan pembagian kekuasaan federal / regional.

Menurut KRG, Konstitusi menyebutkan kekuasaan federal secara

mendalam, sedangkan kekuatan regional bersifat residu. Seperti klaim

KRG, kompetensi untuk melarang referendum regional mengenai masalah

apa pun tidak terdaftar sebagai kekuatan pemerintah federal, sehingga

KRG dapat mengadakan referendum tentang kemerdekaan.

Sebaliknya, dalam konstitusi yang rigit, keputusan yang bersifat

konstitusional harus diambil dengan mengikuti jalur yang diatur secara

konstitusional, termasuk masukan oleh pemerintah federal dan persetujuan

untuk diberikan oleh seluruh rakyat Irak dalam referendum nasional sesuai

dengan pasal 126 Konstitusi Irak.

3) Hak Melepaskan Diri Menurut Hukum Internasional

Pertama-tama kita harus membahas hak untuk menentukan nasib

sendiri dalam hukum internasional dan mempertimbangkan di mana

menempatkan masalah Kurdi dalam kerangka ini. Sifat hukum dari hak

untuk menentukan nasib sendiri, dan apakah hak ini secara otomatis

memerlukan hak untuk memisahkan diri, dapat dijelaskan, dengan

mengingat masalah dekolonisasi.

Hukum internasional menganugerahkan hak tanpa syarat untuk

melepaskan diri dan menciptakan negara merdeka hanya di wilayah yang

Page 100: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

87

sebelumnya dijajah. Daerah-daerah ini ditentukan sesuai dengan

peraturan-peraturan tentang dekolonisasi, dan kerangka hukum yang

relevan dapat berasal dari Bab XI, XII dan XIII dari Piagam Perserikatan

Bangsa-Bangsa yang mengatur Sistem Perwalian Internasional dan

wilayah-wilayah non-self-governing-territory. Juga, ada resolusi Majelis

Umum 1514 dan 1541 yang lebih memperjelas sifat hukum dari wilayah

non-self-governing-territory. Sampai saat ini, ada sekitar dua juta orang

yang tinggal di 17 wilayah berbeda yang tidak berpemerintahan sendiri.

(Misalnya Western Sahara, Kaledonia Baru, dan Guam).153

Namun, KRG tidak termasuk dalam kategori ini. Jadi, kita harus

mempertimbangkan hak untuk memisahkan diri untuk daerah yang berada

di luar konteks dekolonisasi. Sifat hukum dari hak untuk menentukan nasib

sendiri bagi daerah-daerah yang tidak tunduk pada peraturan dekolonisasi

masih kontroversial, bisa kita lihat dari beberapa dokumen hukum

internasional dan praktik-praktik negara yang tidak ada hak mutlak untuk

memisahkan suatu wilayah atas inisiatif dan kehendak murni mereka,

namun juga tidak ada larangan tegas memisahkan diri dalam hukum

internasional.

Sebaliknya, komunitas internasional lebih memilih untuk mengambil

sikap wait and see sampai para aktor separatis mendapatkan kendali penuh

atas wilayah itu dan tindakan pemisahan diri telah terbukti tidak dapat

153 http://www.un.org/en/decolonization/workingpapers.shtml diakses pada Senin 16 April

2018, pukul 03:00

Page 101: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

88

diubah. Inilah yang terjadi, misalnya, selama pembubaran Yugoslavia.

Komisi Badinter (badan perwakilan yang bertindak atas nama negara-

negara Komisi Eropa di Yugoslavia) meminta referendum untuk pengakuan

Slovenia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, dan Macedonia oleh Komunitas

Eropa. Perlu dicatat di sini bahwa pembubaran sudah berlangsung dan

referendum hanya digunakan untuk memberi stempel pada proses

pembubaran yang tak terelakkan dan secara de facto.

Dengan tidak adanya kepastian dalam hukum internasional tentang

pemisahan diri, opini publik dalam komunitas internasional dan hubungan

kekuasaan regional dan global menentukan proses penciptaan negara-

negara baru.154 Dalam konteks hukum internasional, referendum sepihak

dapat berupa:

1) referendum tanpa dasar hukum eksplisit dalam hukum internasional,

yang dapat berupa perjanjian internasional atau tindakan organisasi

internasional

2) referendum yang bertentangan dengan persyaratan eksplisit dari

komunitas internasional.155

Bukti sejarah menunjukkan bahwa referendum sepihak seperti itu

selalu tidak meyakinkan. Pengalaman pasca-komunis dapat ditarik kembali.

Selama proses pembubaran Yugoslavia dan Uni Soviet, pengakuan

154 James Crawford, The Creation of States in International Law 2nd Edition, Oxford

University Press, Oxford, 2006. 155 Îlker Gökhan Śen, On Legal Aspects of the Independence Referendum of Iraqi

Kurdistan, VerfBlog, 2017/9/28

Page 102: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

89

internasional untuk kemerdekaan hanya diberikan kepada republik

konstituen tituler Uni Soviet atau negara bagian di Ex-Yugoslavia, dan

pemisahan selanjutnya dari negara-negara yang baru diakui ini dilarang.

Referendum kemerdekaan yang diadakan di wilayah-wilayah ini semuanya

dinyatakan tidak sah oleh komunitas internasional atau oleh negara-negara

pusat. Contohnya adalah sebagai berikut: Abkhazia (1999) dan Ossetia

Selatan (2007) dari Georgia, Nagorno-Karabakh (1991) dari Azerbaijan,

Transnistria (2006) dari Moldova. 156

Irak tidak dalam proses pembubaran, seperti kasus Uni Soviet dan

Yugoslavia, meskipun semua kekacauan telah dihadapi, Irak adalah negara

berdaulat dan merdeka dan anggota PBB sejak 1946. Namun, negara ini

berada di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya

Dewan Keamanan. Misi Bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Irak

United Nations Assistance Mission for Iraq (UNAMI), yang dimandatkan

oleh Dewan Keamanan, telah aktif bekerja di Irak sejak tahun 2003.157

Mandatnya, termasuk antara lain untuk: "Menyarankan dukungan dan

membantu Pemerintah Irak dalam peninjauan konstitusional dan

pelaksanaan ketentuan konstitusi , serta pada pengembangan proses yang

dapat diterima oleh Pemerintah Irak untuk menyelesaikan batas internal

yang disengketakan”.158

156 Ibid 157 UNAMI Mandate, United Nations Iraq, 14 July 2017 158 Ibid

Page 103: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

90

Reaksi masyarakat internasional terhadap referendum

kemerdekaan ini tidak akomodatif. Menyusul keputusan KRG untuk

mengadakan referendum, UNAMI secara terbuka menyatakan bahwa,

“tidak akan terlibat dalam cara atau bentuk apa pun dalam referendum”.159

Kekuatan global seperti Jerman, Federasi Rusia dan Amerika Serikat

menegaskan kembali dukungan mereka untuk kesatuan dan integritas

teritorial Irak dan menekankan perlunya dialog dalam kerangka Konstitusi

Irak.

Menteri Luar Negeri Inggris mencatat bahwa referendum itu harus

terlebih dahulu disetujui oleh Pemerintah federal dan memperingatkan

bahwa langkah sepihak menuju kemerdekaan akan membahayakan

wilayah Kurdistan Irak dan stabilitas regional. Pada 19 Juni 2017, Dewan

Urusan Luar Negeri Uni Eropa mengeluarkan pernyataan yang

menekankan bahwa langkah-langkah sepihak harus dihindari dan bahwa

semua pertanyaan terbuka harus diselesaikan melalui posisi konsensual

berdasarkan pada penerapan penuh ketentuan Konstitusi Irak. Uni Eropa

juga meminta Pemerintah federal dan Pemerintah Daerah Kurdistan untuk

terlibat dalam dialog tentang semua masalah di seluruh spektrum politik dan

ekonomi, termasuk batas internal yang disengketakan. Sekretaris Jenderal

PBB berkomentar: “Langkah-langkah sepihak, terutama yang tidak sesuai

dengan Konstitusi dan undang-undang Irak dan wilayah Kurdistan Irak,

159 Report of the Secretary General pursuant to resolution 2299 (2016), UN Security

Council, 11 July 2017

Page 104: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

91

akan meningkatkan situasi dan menyebabkan ketegangan dan krisis, serta

menciptakan kondisi untuk munculnya kembali kelompok ekstremis

kekerasan”. 160

Singkatnya, komunitas internasional menentang pemisahan wilayah

Kurdistan dari seluruh Irak dan skeptis mengenai referendum yang

diadakan untuk tujuan ini. Referendum semacam itu untuk tujuan ini

mungkin akan dianggap tidak sah dalam hukum internasional. Penulis

cukup yakin untuk menyimpulkan bahwa referendum kemerdekaan yang

diadakan di Wilayah Kurdistan Irak pada 25 September 2017 secara hukum

tidak berdasar, baik dalam hal Konstitusi Irak dan hukum internasional. Ini

mungkin tidak diambil sebagai elemen prosedural yang sah secara hukum

di jalur yang mungkin direncanakan dari KRG untuk memisahkan diri

nantinya. Walaupun hasilnya tidak mengikat, hasil dari referendum ini tidak

dapat disebut sebagai kehendak orang-orang di wilayah tersebut.

Khususnya karena sifat referendum ini yang terburu-buru dan sepihak, di

wilayah yang dirundung konflik, menimbulkan keraguan serius mengenai

keadilan dan keakuratan suara.

160 Ibid

Page 105: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

92

BAB V

PENUTUP

1. Kesimpulan

1) Konsep hak menentukan nasib sendiri awalnya merupakan

sebuah prinsip politik yang kemudian berkembang menjadi

sebuah hak dalam UN Charter. Hak menentukan nasib sendiri

yang dikenal saat itu diantaranya adalah hak untuk mendirikan

negara berdaulat. Hak yang awalnya dilatar belakangi oleh

proses Dekolonisasi berkembang menjadi hak yang dimiliki

setiap orang dalam negaranya sendiri, yang kemudian disebut

menjadi hak menentukan nasib sendiri secara internal. Diluar

dari konteks dekolonisasi yaitu suatu kelompok separatis yang

menggunakan hak menentukan nasib sendiri tidak dapat

dibenarkan karena bertentangan dengan prinsip territorial

ingegrity

2) Referendum sepihak yang diadakan oleh Kurdistan Regional

Government tidak memiliki dasar hukum yang jelas baik dari

Konstitusi Irak maupun Hukum Internasional karena tidak

memenuhi persyaratan dan tidak ada negara yang mengakui

dan mendukung akan referendum Kurdistan.

Page 106: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

93

2. Saran

1) Pembentukan Special Rappourteur untuk menyelidiki isu ini di

berbagai kawasan. Untuk melakukan penyelidikan dan observasi di

kawasan yang berpeluang untuk terjadi pelanggaran HAM dan

mengalami diskriminasi.

2) Hak penetuan nasib sendiri yang digunakan oleh sekelompok

individu dalam suatu wilayah untuk memerdekaan diri tidaklah salah dan

tidak sepenuhnya benar. Namun penggunaanya harus menjadi upaya

terakhir dan harus dilaksanakan dengan peraturan yang sudah diatur dalam

hukum internasional.

Page 107: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Adolf,Huala,2002.Aspek-aspek Negara DalamHukumInternasionalEdisiRevisi, PT.RajaGrafindoPersada,Jakarta

Akehurst, Michael.1997.Modern Introduction to International Law ,Routledge

Bossuyt, M.j.1987.Guide to the “TravauxPrepatories” of the International Covenant on Civil and Political Rights, MartinusNijhoff Publishers.

Cassese, Antonio.1995.Self-Determination and Peoples; A legal Reappraisal. Cambridge University Press . Cambridge

Condé, H.Victor,1999. A Handbook of International Human Rights Terminology , Nebraska: University of Nebraska Press,

Dinstein,Yoram,1976.Collective Human Right of Peoples and Minorities. 25 International and Comparative Law Quarterly,

Jahawir,ThontowidanPranoto Iskandar. 2006 HukumInternasionalKontemporer. PT.

RefikaAditama: Bandung.

Mauna,Boer.HukumInternasional: PengertianPeranandanFungsidalam Era Dinamika Global.Bandung.Alumni.2015.

Manuputty,Alma.2008.dkk. HukumInternasional. Rech-ta. Depok:

Nasution,AdnanBuyung., A. Patra M. zen. 2006. InstrumenInternasionalPokokHak-

hakAsasiManusia. Edisi ke-2. YayasanObor Indonesia. Jakarta

Kohen, Marcelo G.2006.Secession: International Law Perspectives. Cambridge University Press. Cambridge

Simorangkir,JCT, dkk.2009.KamusHukum. SinarGrafika. Jakarta

Sefriani,HukumInternasionalsuatupengantar.Jakarta.Rajawali Press, (2009).

MichlaPomerance, Self Determination in Law and practice: the new doctrine in the United Nations,MartinusNijhoff Publishers, The Hague,1982

Starke,J.G.2012.Pengantar hukuminternasional.SinarGrafika. Jakarta

Theu, Bright.2009.The Law of Self-Determination (Secession In Perspective): Way Forward After Kosovo and Southern Sudan. Makerere

Thornberry, P.1989.“Self determination, Minorities, Humman Rights.: A review of

International Instruments”, (International and Comparative Law Qurterly,

MartinusNijhoff Publishers.

Page 108: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

DOKUMEN HUKUM

United Nation Charter

International Covenant on Civil and Political Rights, UNGA 12 Res.2200 A (XXI). UN Doc. A/6316 (1966), 16 December 1996.

International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. UNGA Res.2200 A (XXI). 16 Desember 1966

UN General Assembly. Declaration on Granting of Independence to Colonial Countries and People. GA Resolution 1514. UN GAOR Comm. Sess. Supp. No. 21. UN Doc. A/4684 (1960)

Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co-operation Among States in Accordance with the Charter of the United Nations. GA Resolution 2625

Decision of the Supreme Court of Canada, Concerning Certain Questions Relating to the Secession of Quebec from Canada, tanggal 30 September 1996

Conference on Security and Cooperation in Europe. Helsinki Final Act. I.L.M 1292.

Montevideo Convention on Rights and Duties of States 1933

United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organisation, International Meeting of Experts for the Elucidation of the Concepts of Rights of Peoples,SHS-89/CONF.602/7(22 Februari 1990) UU No,5 Tahun 1985 tentang Referendum Pasal 1 South West Africa Cases, (Ethiophia. v. South Africa; Liberia. v. South Africa) 1960 I.C.J East Timor Case (Portugal v Australia), I.C.J 1995 ARTIKEL & WEBSITE

RafikaNur, Pengaturan Self Determination DalamHukumInternasional (StudiKemerdekaan Kosovo), JurnalHukumInternasional, Vol.I No.1 (Juli 2013)

Gerry J. Simpsons, “The Diffusion of Sovereignty: Self-Determination in the Post-Colonial Age”,32 Standford Journal of International law 1996

Sulaiman, Hakmenentukannasibsendiridalamkerangkapersatuandankesatuanbangsa Indonesia. Malaysian Journal of Law and Society No.4 2008

Y.S.Ali Nora For Better or For Worse? The Force Marrigae of Sovereignty and Self- Determintaion”, Cornell Law SchoolVol.47 No.2 (Spring 2014)

Page 109: SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3

Iraqi Kurdistan Independence Referendum 2017

https://id.wikipedia.org/wiki/Referendum_kemerdekaan_Kurdistan_Irak_2017#cite_n

ote-Rudaw.net-1

Usai Referendum 3 Negara iniIsolasi Kurdistan Irak

http://global.liputan6.com/read/3114048/usai-referendum-3-negara-ini-isolasi-

kurdistan-irak

http://www.negarahukum.com/hukum/pengakuan-negara-baru-teori-teori-

pengakuan.html(Diakses 27 Januari 2018 jam. 04:59 WITA)

Yves Beigbeder “Referendum”

http://opil.ouplaw.com/view/10.1093/law:epil/9780199231690/law-9780199231690-

e1088diaksespada 3 Februari 2018 : 00:29

Karen Parker, “Understanding Self Determination: The Basics”

http://www.humanlaw.org/determination.htmldiaksespada 3 februari 2018: 00:35

Hasil Referendum

Catalunyahttp://www.govern.cat/pres_gov/govern/ca/monografics/303541/govern-

trasllada-resultats-definitius-referendum-l1-doctubre-parlament-

catalunya.htmldiaksespada 6 februari 2018: 00:59

Sejarah Kurdistan

https://thekurdishproject.org/history-and-culture/kurdish-history/diakses padatanggal 7 Februari2018 : 01:18