SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi...
Transcript of SKRIPSI103.195.142.59/uploaded_files/temporary/Digital... · 2021. 3. 4. · dalam Deklarasi...
SKRIPSI
TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP
HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI
(STUDI TERHADAP REFERENDUM KURDISTAN)
OLEH:
ANUGERAH EDYS DERMAWAN
B111 14 348
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
i
HALAMAN JUDUL
TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP HAK
MENENTUKAN NASIB SENDIRI ( STUDI TERHADAP REFERENDUM
KURDISTAN)
OLEH
ANUGERAH EDYS DERMAWAN
B 111 14 348
SKRIPSI
Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka
Penyelesaian Studi Sarjana dalam Program
Kekhususan Hukum Internasional Program Studi
Ilmu Hukum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
ANUGERAH EDYS DERMAWAN (B 111 14 348) Tinjauan Hukum Internasional
Terhadap Hak Menentukan Nasib Sendiri (Studi Terhadap Referendum
Kurdistan). Dibimbing oleh S.M.Noor dan Judhariksawan.
Skripsi ini membahas tentang hak menentukan nasib sendiri sebagai dasar
pelaksanaan referendum Kurdistan. Penelitian ini mengangkat isu hak
menentukan nasib sendiri dan kedudukan hukum Kurdistan pasca referendum.
Penelitian ini menjelaskan status hukum Kurdistan dan menganalisis sejauh mana
hukum internasional mengatur tentang hak menentukan nasib sendiri termasuk
batasan penggunaan hak ini. Pemisahan diri secara sepihak sebagai bentuk
manifestasi hak menentukan nasib sendiri secara eksternal dapat terwujud,
apabila memenuhi syarat tertentu dan dialami oleh kelompok orang tersebut.
Hasilnya, skripsi ini menyimpulkan bahwa referendum Kurdistan 2017 tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan tidak sesuai dengan hukum nasional
Irak dan hukum Internasional.
Kata kunci : Hak menentukan nasib sendiri, Kurdistan
ABSTRACT
vi
ANUGERAH EDYS DERMAWAN (B 111 14 348) Review of International Law on the Right to Self-Determination (Study of the Kurdistan Referendum). Guided by S.M.Noor and Judhariksawan. This thesis discusses the right to self-determination as the basis for the implementation of the Kurdistan referendum. This research raises the issue of self-determination and post-referendum law of Kurdistan. This study explains the legal status of Kurdistan and analyzes the extent to which international law regulates the right of self-determination including the limitation of the use of this right. Unilateral separation as a manifestation of the right to self-determination externally can be realized, if it meets certain conditions and experienced by that group of people. As a result, this thesis concludes that the 2017 Kurdistan referendum has no binding legal force and is inconsistent with Iraqi national law and international law. Keywords: Right to self-determination, Kurdistan
KATA PENGANTAR
vii
Segala Puji penulis panjatkan hanya untuk Allah SWT, atas
segala berkat dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini dengan judul “Tinjauan Hukum Internasional
Terhadap Hak Menentukan Nasib Sendiri (Studi Terhadap
Referendum Kurdistan)” yang merupakan tugas akhir dan salah satu
syarat yang wajib ditempuh untuk meraih gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Dengan segala kerendahan hati, penulis mempersembahkan
skripsi ini kepada Ayahanda Ir. Idris Marhabang dan Ibunda Dra.Masita
Lenan yang dengan penuh kasih sayang, ketulusan hati dan kesabaran
telah melahirkan dan mendidik penulis untuk menjadi insan yang berguna.
Tidak lupa ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada adik
Annisa Putri yang memberikan dukungan dan semangat kepada penulis
menyelesaikan skripsi ini.
Atas terwujudnya skripsi ini, maka penulis menyampaikan ucapan
terimakasih kepada bapak Prof.Dr.S.M.Noor,S.H.,M.H selaku Pembimbing
I dan bapak Prof.Dr.Judhariksawan,S.H.,M.H selaku Pembimbing II yang
telah banyak meluangkan waktu, tenaga serta pikiran dalam memberikan
bimbingan hingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat
waktu.
Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan
terima kasih kepada:
viii
1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu M.A selaku Rektor
Universitas Hasanuddin, beserta Wakil Rektor lainnya.
2. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H,. M.Hum. selaku Dekan
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, beserta Wakil Dekan
lainnya;
3. Bapak Prof. Dr .Muhammad Ashri,S.H., M.H selaku penguji I,
bapak Dr. Abd Massbah Magassing,S.H., M.H selaku penguji II
dan Ibu Dr. Iin Karita Sakharina,S.H., M.A selaku penguji III
yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan
masukan keapda penulis.
4. Bapak Muhammad Ramli,S.H., M.H selaku Penasehat
Akademik penulis yang telah banyak memberikan bimbingan
kepada penulis dimasa perkuliahan.
5. Segenap Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
6. Kanda Usman, Pak Roni, Pak Minggu, Pak Ramalang dan Pak
Bunga, Pak Hakim, Kak Aniel serta seluruh staff Akademik dan
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
7. Teruntuk saudara-saudara ku yang tergabung didalam Local
Board ALSA LC Unhas 15/16 Ashar, Uni, Titi, Akram, Hendri,
Tiwi, Kiki, Uni, Zuhal, Dila, Baim, Ike, Mala, Khaerul, Gitya,
Angel, Nomeh, Jean, Imam, Dian, Indira, Surya, Adit dan Rhila
terimakasih telah mengisi hidup penulis dengan ke-Unikan
ix
kalian semua, semangat bagi kalian yang masih struggling
dengan urusan skripsi ini.
8. Terimakasih kepada seluruh kakanda Alumni dan Demissioner
ALSA LC Unhas atas bimbingan dan bantuannya.
9. Terimakasih kepada adik-adikku di ALSA LC Unhas terkhusus
kepada wawa, galuh, eka, deny, hukama, arya, indra semoga
tidak banyak errornya.
10. Teman-teman seperjuangan KKN Gelombang 96 Mahkamah
Konstitusi Kevin, Matet, Jemmi, Dirga, Mutia, Puteri, Vhera,
Kandi, Nunu, Kiki, Surya, Dedy, Fathul, Oji, Inna, Melly, Aulia,
Athirah, Luly. Terimakasih atas 1 bulan yang tak terlupakan.
11. Teman-teman dari Maba ku Enab & Riri terimakasih telah
berteman dengan saya haha
12. Terkhusus kepada sahabat-sahabat penulis Akram, Baim,
Zuhal, Dila, Angel, Gitya, Dian, Iccang, dan Indira terimakasih
telah menghibur, membantu dan mendukung penulis.
13. Teruntuk seseorang yang tak mampu saya tuliskan namanya
disini terimakasih telah memberikan semangat, dan motivasi
untuk berjuang bagi penulis you are the really mvp
Penulis menyadari bahwa karya ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis
mengharapkan kritikan yang sifatnya membangun untuk perbaikan
dan penyempurnaan skripsi ini.
x
Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat berguna dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pada
umumnya dan hukum pidana pada khususnya.
Makassar, Mei 2018
Anugerah Edys Dermawan
xi
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul…………………………………………………………………. i
Pengesahan Skripsi……..……….………………………………………....... ii
Persetujuan Pembimbing.….………….……………………………............ iii
Persetujuan Menempuh Ujian Skripsi…………………………………….. iv
Abstrak…………………………………………………………………………. V
Kata Pengantar……………………………………………………………….. Vii
Daftar Isi……………………………………………………………………….. xi
BAB I Pendahuluan ………………………………………………………....... 1
A. Latar Belakang ………... ……………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………… 6
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………. 6
D. Manfaat Penelitian ………………………………………………….. 7
BAB II Tinjauan Pustaka …………………………………………………….. 8
A. Hak Menentukan Nasib Sendiri …………………………………. 8
1. Pengemban Hak Penentuan Nasib Sendiri (The Right of Self
Determination…………………………………………………… 13
2. Hak untuk melepaskan diri (The Right of External Self
Determination)…………………………………………………. 19
B. Negara………………………………………………………………… 22
1. Pengertian Negara……………………………………… …….. 23
2. Kriteria Terbentuknya Negara………………………………… 24
3. Pengakuan Negara Lain ……………………………………… 27
4. Pengelompokan Pengakuan Negara………………………… 29
C. Referendum…………………………………………………………… 34
D. Sejarah Kurdistan…………………………………………………….. 36
xii
BAB III Metode Penelitian ………………………………………………..…… 42
A. Lokasi Penelitian …………………………………………..………. 42
B. Jenis dan Sumber Data ……………………………………………. 42
C. Teknik Pengumpulan Data ………………………………………… 43
D. Analisis Data ………………………………………………………… 43
BAB IV Pembahasan………………………………………………..……….. 44
A. Perkembangan Hukum Internasional Mengenai Hak Menentukan
Nasib Sendiri …………………………………………..………..….... 42
1. Perjanjian Internasional Mengenai Hak Menentukan Nasib
Sendiri…………………………………………………………. 45
2. Hak Menentukan Nasib Sendiri dalam Perjanjian
Regional………………………………………………………. 52
3. Hukum Kebiasaan Internasional……………………………. 56
4. Keputusan Pengadilan dan Pendapat Sarjana Mengenai Hak
Menentukan Nasib Sendiri…………………………….. 67
B. Kedudukan Hukum Referendum Kurdistan………………………. 79
1. Konsep Referendum Kemerdekaan……………………….. 79
2. Referendum dalam Hukum Konstitusi Irak………………… 81
3. Hak Melepaskan Diri Dibawah Hukum Internasional…….. 85
BAB V Penutup………..………………………………………………..………. 91
1. Kesimpulan……………………………………………………………….. 91
2. Saran……………………………………………………………………… 93
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebebasan dan kemerdekaan selalu menjadi hal yang
diperjuangkan oleh manusia, karena pada hakikatnya manusia memang
ditakdirkan untuk hidup merdeka dan bebas menentukan pilihannya sendiri.
Menurut Rafika, tuntutan kemerdekaan tidak hanya datang dari perorangan
tetapi juga suku,etnis, bahkan dari berbagai bangsa yang merasa harus
segera menentukan nasibnya sendiri. Pihak-pihak yang menginginkan
adanya suatu kemerdekaan adalah pihak-pihak yang merupakan golongan
minoritas suatu etnis, atau suku dan sebagian penduduk dalam suatu
wilayah yang merasa diperlakukan secara tidak adil oleh pemerintah yang
berkuasa.1
Upaya penentuan nasib sendiri merupakan bagain dari hak asasi
manusia yang telah diatur dalam berbagai perjanjian dan sebagai prinsip
hukum internasional. Hak ini menyatakan bahwa semua negara (All States)
atau bangsa (Peoples) mempunyai hak untuk membentuk sistem politiknya
sendiri dan memiliki aturan internalnya sendiri, secara bebas untuk
mengejar pembangunan, ekonomi, sosial dan budaya mereka sendiri, dan
untuk menggunakan sumber daya alam yang mereka anggap cocok,
1 Rafika Nur, Pengaturan Self Determination dalam Hukum Internasional (Studi Kemerdekaan Kosovo), Jurnal Hukum Internasional, Vol.1 (July,2013).Hlm 69
2
tunduk pada kewajiban-kewajiban hukum internasional.2 Hak menentukan
nasib sendiri dalam hukum internasional memiliki pembatasan secara
hukum (Legal Limit) yakni hanya ditujukan pada proses dekolonisasi.
Sebelum diadopsinya dua kovenan internasional hak asasi manusia yakni
Kovenan Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political
Rights) dan Kovenan Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (International
Covenant on Economic, Social and Culture Rights).
Hak menentukan nasib sendiri sudah dirumuskan dan ditetapkan
dalam Deklarasi Dekolonisasi yakni pemberian kemerdekaan kepada
negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.3 Bahwa dalam sekelompok
orang yang sedang dalam usaha dekolonisasi, entitas dengan status non-
self-governing-territory, ataupun negara protektorat, memperolah jaminan
hak unutk “Menentukan nasib sendiri” sebagaimana dikukuhkan dalam
Declaration on Granting of Independence to Colonial Countries and People
1960 (Selanjutnya disebut Declaration of Granting Independence 1960)
yang diterima PBB pada bulan desember 1960 melalui resolusi majelis
umum PBB nomor 1514 (XVXIV).4
Pada umumnya di wilayah yang menginginkan kemerdekaan
terdapat gerakan pembebasan yang merupakan cerminan dari sebagian
atau keseluruhan dari rakyat di wilayah tersebut. Tuntutan yang paling
2 Peter Baehr dan Peter Van Dijk, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia,(Terjemahan Adnan Buyung Nasution & A.Patra.M.Zen) Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 2006,Hlm.4 3 Peter Baehr dan Peter Van Dijk, Op.Cit, Hlm.34 4 UN General Assembly, Declaration on granting of Independence to Colonial Countries and people, GA Resolution 1514
3
sering terdengar adalah pembentukan suatu wilayah baru dengan cara
melakukan pemisahan dari negara asalnya. Tampaknya hak menentukan
nasib sendiri berkonotasi pada kebebasan untuk memilih dari rakyat yang
belum merdeka melalui Plesbisit (Plesbicite) atau metode-metode lainnya
untuk memastikan kehendak rakyat.5
Plesbicite merupakan salah satu bentuk pengalihan wilayah
melalui pemilihan penduduknya menyusul dilaksanakannya pemilihan
umum, referendum, atau cara-cara lain yang dipilih oleh penduduk. Huala
Adolf berpendapat bahwa Plesbicite merupakan peralihan suatu wilayah
bukan antar negara berdaulat dengan negara berdaulat lainnya, tetapi
peralihan terjadi antara negara berdaulat dengan penduduk di suatu
wilayah.6 Martin Dixon berpendapat bahwa cara perolehan wilayah dengan
Plesbicite ini sebagai “penentuan nasib sendiri” (Self Determination).7
Namun tidak ada dokumen internasional yang mengukuhkan
secara eksplisit mengenai apakah kelompok orang yang berada dalam
negara mereka dapat memisahkan diri secara sepihak dari negaranya
sebagai salah bentuk penerapan hak penentuan nasib sendiri.
Ketidakjelasan aturan dalam hukum internasional ini mengakibatkan
beberapa masalah dilapangan, diantaranya adalah munculnya entitas De
Facto yang berperilaku seperti negara namun hanya diakui oleh satu atau
5 H.Victor Conde, A Handbook of International Human Rights Terminology, Nebraska: University of Nebraska Press, (1999),Hlm.135 6 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara Dalam Hukum Internasional Edisi Revisi, Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada (2002),Hlm.130 7 Ibid, Hlm.131
4
dua negara,8 meningkatnya ketidakstabilan dalam negeri karena
pertentangan antara mereka yang hendak berpisah dengan negara induk
yang mencegahnya.
Gerakan pemisahan diri atau menentukan nasib sendiri yang
mengancam integritas dan kedaulatan wilayah suatu negara tidak
dibenarkan, hal tersebut dirumuskan dalam Deklarasi Wina dan Paragraf 6
Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514 (XVXIV).9 Sehubungan dengan
perkembangan hak menentukan nasib sendiri, sejak awal ke-20 perjuangan
etnis Kurdi sudah dimulai sejak irak berdiri sebagai British Mandate of
Mesopotamia (1920-1932) kemudian saat Irak menjadi Kingdom of Iraq
(1932-1958).
Pada tahun 1958 Revolusi Nasionalis di Irak kembali terbuka,
inilah awal lahirnya Republik Irak yang merdeka dan berdaulat. Hal ini
membuka kesempatan untuk Etnis Kurdi memperjuangkan tuntutan
kemerdekaan bagi mereka. Sejak revolusi Irak tahun 1958 dominasi etnis
Arab di pemerintahan Irak mulai mendapat tantangan dari gerakan etnis
Kurdi yang menagih kemerdekaan. Pengakuan sebagai wilayah yang
merdeka menjadi penting bagi etnis kurdi.10 Mereka merasa berbeda
8 Atonello Tancredi, “A Normative Due Process” in the creation of states through Secession,” dalam Marcelo Kohen, Secession, (Cambridge: Cambridge University Press),Hlm.172 9 Paragraf 6 menyatakan : any attempt aimed at the partial or total disruption of the national unity and the territorial integrity of the country is incompatible with the purposes and principles of the Charter of The United Nation. 10 https://id.wikipedia.org/wiki/Referendum Kemerdekaan Kurdistan Irak 2017#cite note-Rudaw.net-1 diakses pada tanggal 20 Januari 2018: 18:00
5
dengan etnis lain yang berada disekitarnya, sebab Irak didominasi oleh
etnis Arab.
Pada bulan September 2017, etnis Kurdi yang mendiami wilayah
Kurdistan melaksanakan referendum kemerdekaan untuk memisahkan diri
dari Irak walau pemerintah pusat di Baghdad mengecam keras referendum
tersebut. Referendum merupakan solusi yang diambil oleh Kurdistan
Regional Goverment (KRG) untuk mendapatkan kemerdekaan. Namun
pemerintah Irak tidak mengakui referendum tersebut dan mendesak dunia
Internasional untuk tidak mengakui referendum tersebut. Hasil Akhir dari
referendum di Kurdistan menunjukkan bahwa 92,73% memilih mendukung
Kurdistan untuk merdeka.11
Turki, Iran, dan Irak mengecam keras hasil referendum tersebut
dengan menerapkan No Fly Zone di wilayah Kurdistan dan memblokade
perbatasan, serta melakukan embargo semua ekspor dan impor bahan
bakar kedalam atau keluar wilayah Kurdistan.12
Namun, tidak ada negara yang mengakui hasil dari referendum
tersebut. Mengingat bahwa Hukum Internasional menjamin hak untuk
menentukan nasibnya sendiri, maka judul skripsi yang akan diangkat
penulis adalah :
11 Ibid. 12 3 Negara Isolasi Wilayah Kurdistan https://global.liputan6.com/read/3114048/usai-referendum-3-negara-ini-isolasi-kurdistan-irak diakses pada tanggal 20 januari 2018: 16:00
6
“Tinjauan Hukum Internasional terhadap Hak Menentukan
Nasib Sendiri ( Studi Terhadap Referendum Kurdistan )”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan
masalah adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan Hukum Internasional mengenai
hak penentuan nasib sendiri?
2. Bagaimana kedudukan hukum Kurdistan menurut Hukum
Internasional?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum internasional
mengenai hak penentuan nasib sendiri.
2. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan dan posisi
hukum Kurdistan menurut hukum internasional.
7
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini, yaitu :
1. Dengan penelitian ini dapat diketahui bagaimana
pengaturan hukum Internasional mengenai hak
penentuan nasib sendiri.
2. Dengan penelitian ini dapat diketahui bagaimana
kedudukan dan posisi hukum Kurdistan menurut hukum
internasional.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hak Menentukan Nasib sendiri
Hak menentukan nasib sendiri (The Right of Self Determination )
telah menjadi prinsip dasar hukum internasional umum yang diterima dan
diakui sebagai suatu norma yang mengikat dalam masyarakat
internasional yang sering disebut sebagai Jus Cogens.13 Prinsip ini
membatasi kehendak bebas negara dalam menangani gerakan separatis
yang terjadi di wilayahnya dengan tetap mengacu pada kaidah hukum
internasional yang mengancam validitas persetujuan-persetujuan ataupun
aturan dan cara-cara yang ditempuh negara yang bertentangan dengan
hukum internasional, karena penentuan nasib sendiri diakui masyarakat
internasional sebagai hak asasi manusia yang harus dihormati.14
Menurut Akehurst yang dimaksud self determination adalah:
“The right of people living in a territory to determine the political and legal status of that territory, for example by setting up a state of their own or by choosing to become part of another state.”15
Selanjutnya perkembangan hak menentukan nasib sendiri terdiri
atas dua era yaitu era Liga Bangsa-Bangsa dan era Persatuan Bangsa-
Bangsa. Gagasan adanya self determination mula-mula dikemukakan oleh
presiden Wilson dalam pidatonya di depan Kongres Amerika Serikat pada
13 Rafika Nur. Op.Cit. Hlm.71 14 Ibid 15 Michael Akehurst,Modern Introduction to International Law, Routledge (1997), hlm.80
9
8 januari 1918, yang kemudian ditegaskan lagi dalam naskah Konvensi Liga
Bangsa-Bangsa yang diusulkannya, yang antara lain menyebutkan:
“The contracting powers unite guaranteeing.. territorial readjustment.. as many in the future become necessary by reason of change in the present social conditions and aspirations or present social and political relationship, pursuant to the principle of self determination”
Maksud dari gagasan tersebut sebenarnya adalah agar diberikan
kesempatan pasca Perang Dunia I berdasarkan asas demokrasi kepada
golongan-golongan minoritas di Eropa untuk menentukan nasibnya sendiri
dengan membentuk Negara-negara merdeka yang tidak dimasukkan dalam
wilayah Negara-negara yang menang perang.16 Namun demikian, gagasan
ini banyak mendapat tentangan dari berbagai pihak karena hak tersebut
seifatnya seperti bungle yang dapat berubah warna dan mempunyai banyak
akibat politis yang sulit diduga.17
Selanjutnya Robert Lansing, menteri luar negeri Amerika Serikat
saat Wilson menjadi presiden mengemukakan bahwa:
“The more I think about the President declaration as to the right of self determination, the more convince I am of the danger.”18
Karena mendapat banyak tentangan, maka dapat dipahami bila hak
untuk menentukan nasib sendiri tidak dimuat dalam Kovenan LBB. Pada
16 A.Rego Sureda, “The Evolution of the Right to Self-Determination Right: a Study of United Nations Practice”, dalam Sefriani Hukum Internasional suatu pengantar.Jakarta.Rajawali Press, (2009).Hlm.102 17 Ibid 18 Michla Pomerance, Self Determination in Law and practice: the new doctrine in the United Nations,Martinus Nijhoff Publishers, The Hague,1982.Hlm.1
10
saat itu tidak dikehendaki bahwa setiap kelompok orang atas dasar ras
dimungkinkan untuk memisahkan diri dari suatu Negara yang ada dan
membentuk Negara baru sendiri. Apabila hak ini diakui dikhawatirkan akan
menimbulkan kekacauan dan merusak hubungan internasional yang ada.19
Setelah gagal dimasukkan dalam kovenan, Self determination
muncul kembali pada kasus Aaland Island yang mempermasalahkan
apakah penduduk Aaland Island yang berasal dari Swedia dapat
memisahkan diri dari Finlandia dan bergabung ke dalam Negara Swedia.
Terhadap permasalahan ini Majelis LBB pada tahun 1921 memutuskan
bahwa hak menentukan nasib sendiri tidak dapat dijalankan dalam kasus
Aaland Island .20 Seperti yang telah dijelaskan diatas, di era LBB, Self
determination right ditolak dengan tegas sebagai kaidah hukum
Internasional dan hanyak diakui sebagai konsep politik karena dipandang
dapat merusak hubungan internasional.
Melangkah ke era PBB, beberapa pasal dalam Piagam PBB
mencantumkan self determination baik secara langsung maupun tidak
langsung. Adapun pasal yang memuat secara langsung memuat self
determination right adalah:
1) Pasal 1 (2) yang menetapkan: “to develop friendly relations among
nations based on respect for the principle of equal rights and self
determination”
19 Ibid. 20 Suraputra Sidik, “Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri Dalam Hukum Internasional Publik” hlm.302, dalam Sefriani Hukum Internasional suatu pengantar.Jakarta.Rajawali Press, (2009) hlm.103
11
2) Pasal 55 yang menetapkan: “to creation of stability and well being
which are necessary for peaceful and friendly relations among
nations based on respect for the principle of equal right and self
determination of peoples…”
Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa piagam
mengartikan self determination sebagai hak dari people untuk menciptakan
keadaan yang tertib dan kemakmuran.21
Dalam pasal 1 ayat 1 kedua kovenan, yaitu International Covenant
on Civil and Political Rights (ICCPR) serta International Covenant on
Economic, Social & Cultural Rights (ICESCR) yang berbunyi :
“all people have the right to self-determination, by virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development.”
Penentuan nasib sendiri menjadi ideologi politik dalam prinsip hukum
internasional yang di bangun oleh PBB dan dalam prakteknya penentuan
nasib sendiri bertujuan untuk memerdekakan semua orang yang berada
dibawah kekuasaan kolonial. Ideologi ini di adopsi dari resolusi Majelis
Umum PBB mengenai dekolonisasi, tepatnya pada resolusi 1514 (XV)
tahun 1960 dengan nama Declaration on the Granting of Independence to
Colonial Countries and People. Hal ini memberikan dua efek penting, yang
pertama prinsip ini diangkat menjadi hak masyarakat dan yang kedua
21 Ibid.
12
menjelaskan isi dari penentuan nasib sendiri dalam resolusi yang
menekankan bahwa :
“all people have the right to self-determination, by virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development”.22
Senada dengan Resolusi 1514 , Resolusi majelis umum PBB No 2625
tentang Principles of International Law Concerning Friendly Relation and
Cooperation Among State in Accordance with the Charter of the United
Nation pada tanggal 24 Oktober 1970, pada Prinsip ke-4 disebutkan :
“By Virtue of the principle of equal right and self determination of people enshrined in the charter, all people have the right freely to determine, without external interference, their political status and pursue their economic, social and culture development, and every state has the duty to respect this right in accordance with the provisions of the charter.
Every State has the duty to promote, trough joint and separate action, the realization of the principle of equal rights and self determination of peoples, in accordance with the provisions of the charter, and to render assistance to the United Nation in carrying out the responsibilities entrusted to it by the Charter regarding the implementation of the principle in order:
A. to promote friendly relations and co-operation among state and
B. to bring a speedly end colonialism, having regard to the freely expressed will of the peoples concerned and…”
Pada era PBB self determination sudah mendapatkan pengakuan
sebagai legal right sudah tidak menjadi political philosopy lagi. Dari
22 Theu, Bright. “The Law of Self-Determination (Secession In Prespective): Way Forward After Kosovo and Southern Sudan” Makerere University.2009.hlm.14
13
penjelasan diatas konsep self determination atau hak menentukan nasib
sendiri didefinisikan sebagai kebebasan untuk mengatur diri secara bebas
untuk mengembangkan kondisi ekonomi, sosial dan budaya mereka.
1. Pengemban Hak Penentuan Nasib Sendiri
Menelusuri kembali instrumen-instrumen hukum internasional
mengenai hak penentuan nasib sendiri, mereka mengatur bahwa hak
penentuan nasib sendiri diemban oleh “peoples atau “all peoples.
Disamping berarti sekumpulan orang dalam jumlah besar, tidak ada arti
yang tepat untuk mendefinisikan istilah “peoples” ini.
Istilah “peoples” bisa saja berarti semua orang yang ada pada sebuah
negara berdaulat, atau bisa saja didefinisikan sebagai sekelompok orang
yang pengelompokannya dapat berdasarkan ras, etnis atau bahkan agama.
Dalam Black’s Law Dictionary, istilah “peoples” didefinisikan;
“A nation on its collective and political capacity. The aggregate or mass of the individuals who constitute the state. In a more restricted sense, and as generally used in constitutional law, the entire body of those citizens of a state or nation who are invested with political power for political purposes.”
Dalam konteks dekolonisasi (termasuk dalam hal ini wilayah
protektorat dan non-self-governing- territories), sekelompok orang dimaknai
dengan “the entire population of a territorial unit”, yang dipersamakan
14
dengan bangsa atau nation. Mahkamah Internasional merefleksikan hal
tersebut melalui keputusannya di South West Africa Cases,Western Sahara
Advisory Opinion, dan East Timor Case.23
Usaha selanjutnya untuk mendefinisikan arti dari kata “people” muncul
dalam proses pembentukan Covenant on Human Rights 1966 (terdiri atas
dua Kovenan yaitu Covenant on Civil and Political Rights 1966 dan
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966), dimana dalam
kedua kovenan ini hak penentuan nasib sendiri merujuk kepada istilah “all
peoples”. Untuk istilah ini, panitia pembentuk Kovenan menyarankan
bahwa arti kata tersebut adalah:
1. Peoples in all countries and territories, whether independent, trust
or non-self governing; 2. Large compact groups;
3. Ethnic, religions or linguistic minorities;
4. Rasial units inhabitting well-defined territories;.24
Keputusan Mahkamah Agung Kanada, dalam kasus pelepasan
Quebec mencoba untuk memastikan pengertian dari istilah “people” (dalam
bentuk tunggal) untuk penggunaannya dalam hak penentuan nasib sendiri
sebagai berikut:
“It is clear that a “people” may include only a portion of the population of an existing state. The right of self determination has developed largely as a human right, and is generally used in documents that simultaneously contain references to “nation‟ and “state‟. The juxtaposition of these terms is indicative that the reference to “people”
23 South West Africa Cases, (Ethiophia. v. South Africa; Liberia. v. South Africa) 1960 I.C.J. 6, 323. Western Sahara Advisory Opinion, I.C.J Rep. 1975, para. 54. East Timor Case (Portugal v Australia), I.C.J Rep. 90, hlm. 265, 1995, para. 36-37. 24 Bossuyt, M.j., Guide to the “Travaux Prepatories” of the International Covenant on Civil and Political Rights, Martinus Nijhoff Publishers, (1987). Hlm. 32
15
does not necessary mean the entirety of a state’s population. ”25
Walaupun Mahkamah Agung Kanada dalam keputusannya tersebut
tidak memberikan definisi mengenai istilah “people” dapat merujuk kepada
kelompok-kelompok individual tertentu saja dalam suatu negara dan bukan
keseluruhan penduduk dari suatu negara. Mahkamah Agung Kanada
tersebut menyampaikan alasan dari pernyataan mereka sebagai berikut:
“To restrict the definition of the term to the population of exiting states would render the granting of a right of self determination largely duplicative, given the parallel emphasis within the majority of the source documents on the need to protect the territorial integrity of the existing states, and would frustrate its remedial purpose.”26
Selain mengklarfikasi hal tersebut, Supreme Court of Canada juga
memberi catatan bahwa terdapat karakter-karakter tertentu yang
menjadikan orang-orang Quebec sebagai “people”, diantaranya karena “the
Quebec population certainly shares many of the characteristics (such as a
common language and culture).27
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mereka yang dapat
merelealisasikan haknya adalah kelompok orang di dalam suatu negara
yang memiliki kesamaan tertentu, diantaranya bahasa dan budaya. Di luar
konteks dekolonisasi, mereka yang berhak atas penentuan nasib sendiri
memiliki dua makna. Makna pertama berkaitan dengan hak penentuan
25 Decision of the Supreme Court of Canada Concerning Certain Questions Relating to the Secession of Quebec from Canada, tanggal 30 September 1996, paragraf 124 26 Ibid 27 Ibid
16
nasib sendiri secara internal, yang merupakan hak seluruh populasi wilayah
Negara.
Makna pertama berkaitan dengan hak penentuan nasib sendiri secara
internal, yang merupakan hak seluruh populasi wilayah negara. Makna ini
tercermin dalam instrumen-instrumen hukum internasional mengenai hak
penentuan nasib sendiri secara internal seperi dalam ICCPR dan ICESR.
Dalam kedua kovenan tersebut, rujukan terhadap “people” dalam Pasal 1
adalah,“(the words 'all peoples' have to be understood as) to include the
entire population of States,” yang haknya harus dipenuhi oleh pemerintah
negaranya sendiri. Hak-hak yang terkait dengan pasal tersebut adalah hak
individu dalam suatu negara dari pemerintah negaranya.Definisi serupa
juga terdapat dalam Declaration of Friendly Relations 1970,
Vienna
Declaration and Program of Action 1993, dan Helsinki Final Act 1975.
Instrumen-instrumen tersebut mengindikasikan bahwa “people” yang
dimaksud adalah seluruh populasi dari suatu negara. Perbedaan dengan
makna “people” dalam konteks dekolonisasi, terletak pada pihak yang
mengemban kewajiban untuk memenuhi hak-hak populasi tersebut. Dalam
konteks dekolonisasi, yang mengemban kewajiban untuk memenuhi hak
penentuan nasib sendiri dari populasi wilayah yang bersangkutan adalah
negara penjajah, negara protektorat, atau mandat.
Sementara di luar
konteks dekolonisasi yang berkewajiban adalah pemerintah negara dari
17
populasi yang bersangkutan.28
Makna yang kedua, adalah “people” yang berhak penentuan nasib
sendiri secara eksternal. Di luar konteks dekolonisasi, mereka yang berhak
atas hak penentuan nasib sendiri juga bermakna sekelompok orang di
dalam suatu negara yang memiliki karakter-karakter unik dari populasi
lainnya.
UNESCO pernah melakukan diskusi mengenai definisi people diluar
konteks dekolonisasi dalam International Meeting of Experts for the
Elucidation of the Concepts of Rights of Peoples tahun 1989, menyimpulkan
bahwa karakter yang bisa mendeskripsikan “people” adalah sebagian atau
seluruh ciri-ciri berikut:
1. (a) a common historical tradition;
(b) racial or ethnic identity; (c) cultural homogeneity; (d) linguistic unity; (e) religious or ideological affinity;
(f) territorial connection;
(g) common economic life;29
Selain memiliki sebagaian atau keseluruhan karakter-karakter di atas,
UNESCO juga mensyaratkan:
(2) the group must be of a certain number which need not be large (e.g. the people of micro States) but which must be more than a mere association of individuals within a State;
28 Frida Armas Prifter dan Silvina Gonzales, “Secession and International Law” dalam Kohen, e.d, secession,(Cambridge University Press,2006) hlm.375 29 United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organisation, International Meeting of Experts for the Elucidation of the Concepts of Rights of Peoples, SHS-89/CONF.602/7, (22 Februari 1990), para. 5
18
(3) the group as a whole must have the will to be identified as a people or the consciousness of being a people - allowing that groups or some members of such characteristics, may grows, though sharing the foregoing not have that will or consciousness; and possibly;
(4) the group must have institutions or other means of expressing its
common characteristics and will for identity.30
Tentu saja sangat sulit untuk mendefinisikan setelah istilah
“people”.Istilah ini harus bisa dilihat dari dua dasar pembentukannya, yaitu
dasar objektif dan dasar subjektif. Dasar objektif dari istilah “people” adalah
bahwa keberadaan suatu kelompok etnis pasti di hubungkan berdasarkan
kesamaan sejarah. Sekelompok orang tertentu yang tidak memiliki
kesamaan tradisi tidak dapat dikategorikan sebagai “people”. Ada pula
dasar subjektif, dimana dasar pembentuk “people” tidak cukup hanya
berdasarkan fakta keetnisan ataupun sejarah, tetapi juga berdasarkan
kesamaan semangat, jiwa dan watak dari suku-suku bangsa yang ada di
sebuah negara.31
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah, yang dimaksud dengan
“people” yang berhak untuk memisahkan diri secara sepihak dari
negaranya memiliki dua karakter, yaitu karakter objektif dan subjektif.
Karakter objektif ini adalah melihat “to what extent its members share
common characteristics” baik itu bahasa, kebudayaan, agama, dan/ atau
30 Ibid
31 Dinstein Yoram, Collective Human Right of Peoples and Minorities. 25 International and
Compartive Law Quarterly, 1976.Hlm.104
19
kegiatan ekonomi. Sementara karakter subjektif digunakan untuk
“examines how individuals within the group perceive themselves.”
Sekelompok orang tersebut biasanya memiliki “shared sense of values, a
common goal for the group‘s future, and the degree to which the group can
form a viable political entity.32
2. Hak untuk Melepaskan Diri (The Right to External Self
Determination) dan Potensi Konflik Dengan Prinsip Keutuhan
Wilayah (Territorial Integrity)
Hukum internasional selain melindungi dan menghormati keutuhan
wilayah suatu negara, secara bersamaan juga memberikan “keleluasaan”
untuk lahirnya negara-negara baru. Fakta yang tidak terbantahkan saat ini
adalah pemisahan diri merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan hak
penentuan nasib sendiri dan banyak negara-negara baru lahir dengan
berdasarkan kepada hak ini.33
Sementara prinsip keutuhan wilayah atau territorial integrity adalah
prinsip yang pertama kali dicetuskan setelah Perang Dunia II, dimana
Kovenan Liga Bangsa-Bangsa mengukuhkan suatu kewajiban bagi negara-
negara untuk “...respect and preserve as against external aggression the
territorial integrity and existing political independence of all Members of the
32 Nora Y.S Ali, “For Better or For Worse? The Force Marrigae of Sovereignty and Self- Determintaion”, Cornell Law School, hlm 431. 33 Thornberry, P., “Self determination, Minorities, Humman Rights.: A review of International Instruments”, (International and Comparative Law Qurterly, 1989): hal.98
20
League.”34
Hal ini berarti bahwa negara berhak untuk mempertahankan
wilayahnya apabila terdapat hal-hal yang berusaha mengganggu atau
mempengaruhi keutuhan wilayahnya baik dari dalam maupun luar.
Sebaliknya, potensi konflik ini dapat dihindari dengan kembali melihat
instrumen-instrumen hukum internasional dan juga praktik-praktik yang
ada, yang menunjukkan bahwa prinsip keutuhan wilayah dan hak
pemisahan diri secara sepihak dari negara sebagai dua hal yang berjalan
beriringan dan tidak ada yang absolut.
Dalam Declaration of Friendly
Relations 1970, prinsip “territorial integrity” wajib dihormati oleh negara-
negara lain, namun dengan syarat selama pemerintah negara tersebut
bertindak,
“...in compliance with the principle of equal rights and self-determination of peoples as described above and thus possessed of a government representing the whole people belonging to the territory without distinction as to race, creed or colour.” 35
Antonio Cassese dalam analisisnya terhadap klausa tersebut
menyimpulkan bahwa, “a racial or religious group may attempt secession,
a form of external self-determination” apabila keadaan berikut dialami oleh
kelompok orang tersebut,
“...when it is apparent that internal self-determination is absolutelybeyond reach. Extreme and unremitting persecution and the lack of any reasonable prospect for peaceful challenge may make
34 Pasal 10 Kovenan Liga Bangsa-Bangsa; United Nations Charter, pasal 2(4); Declaration of Friendly Relations 1970, prinsip 1 dan 5; Charter of the Organization of African Union, pasal 3; Charter of the Organization of American State, pasal 1; Helsinki Final Act, prinsip IV; dan Charter of Paris, hlm. 5, 8. 35 Prinsip 5(7) dari Deklarasi 1970
21
secession legitimate. A Racial or religious group may secede –thus exercising the most radical form of external self-determination--once it is clear that all attempts to achieve internal self- determination have failed or are destined to fail.”36
Menurut Mahkamah Agung Kanada, hak penentuan nasib sendiri
tidaklah dapat di benarkan jika pemerintah yang berkuasa dari suatu negara
yang berdaulat benar-benar mencerminkan aspirasi dari rakyat
penduduknya dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan serta memerintah
secara adil dan tidak diskriminatif. Jika suatu negara memenuhi kriteria-
kriteria tersebut, maka keutuhan wilayah dan kedaulatan negara tersebut
harus dihormati dan tidak dapat diganggu gugat.37
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa hak untuk memisahkan diri bisa
muncul dalam keadaan-keadaan khusus tertentu, selain dalam konteks
dekolonisasi. Yaitu ketika suatu bangsa dihalangi haknya oleh pemerintah
yang berkuasa dalam menikmati internal self determination (untuk
mendapatkan status politik, ekonomi, sosial dan budaya), maka sebagai
jalan terakhir yang diperbolehkan dalam hukum internasional dalah upaya
melepaskan diri dari negara tersebut (external self determination).38
Sebagaimana Mahkamah Agung Kanada menegaskan dalam kasus
Quebec:
36 Cassese, Antonio. Self-Determination and Peoples; A legal Reappraisal. Cambridge University Press 1995, hlm. 120 37 Decision of the Supreme Court of Canada, Concerning Certain Questions Relating to the Secession of Quebec from Canada, tanggal 30 September 1996, paragrap 134 38 Ibid.hlm 138
22
“the international law right to self determination generates at best, a right to self determination...where a people is oppressed... or where a definable group is denied meaningful access to government to pursue their political, economic, social and cultural development. In all three situation, the people in question are entitled to the right to external self determination because they have been denied the ability to exert internally their right to self determination”.39
Kesimpulannya, prinsip keutuhan wilayah bukanlah sesuatu yang
absolut. Prinsip-prinsip tersebut dibatasi oleh hak penentuan nasib sendiri,
termasuk hak pemisahan diri secara sepihak. Kesimpulan ini konsisten
dengan tujuan dari prinsip keutuhan wilayah yaitu:
“...to safeguard the interests of the peoples of the territory. The concept of territorial integrity is meaningful ony so long as it continues to fulfil that purpose to all the sections of peoples.”40
B. Negara
Negara dalam sejarah perkembangan hukum Internasional dipandang
sebagai subjek hukum terpenting dibandingkan dengan subjek-subjek
hukum internasional lainnya. Sebagai subjek hukum Internasional, Negara
memiliki hak-hak dan kewajiban menurut hukum Internasional.41
Menurut J.G Starke, negara adalah satu lembaga yang merupakan
satu sistem yang mengatur hubungan-hubungan yang ditetapkan oleh dan
di antara manusia sendiri, sebagai alat untuk mencapai tujuan yang paling
penting di antaranya seperti satu sistem ketertiban yang menaungi manusia
39 Decision of the Supreme Court of Canada, Loc.cit 40 Umozurike sebagaimana dikutip dalam Gerry J. Simpsons, “The Diffusion of Sovereignty: Self-Determination in the Post-Colonial Age”, 2 Stanford Journal of International Law 225 41 Huala Adolf, Op.Cit.hlm.1
23
dalam melakukan kegiatan- kegiatannya.42
1. Pengertian Negara
Pengertian Negara menurut beberapa sarjana dalam pandangannya
antara lain:
1. George Willhelm Friedrich Hegel, Negara merupakan
organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari
kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal;
2. Harold J.Laski, Negara adalah suatu masyarakat yang
diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang
bersifat memaksa dan secara sah lebih agung daripada
individu atau kelompok yang merupakan bagian dari
masyarakat itu;
3. Roelof Kranneburg, Negara adalah suatu organisasi yang
muncul karena kehendak dari suatu golongan atau suatu
bangsanya sendiri;
4. George Jellineck, Negara merupakan organisasi
kekuasaan dari kelompok manusia yang telah berdiam di
suatu wilayah tertentu;
Sedangkan menurut kamus hukum, negara adalah persekutuan
hukum yang letaknya dalam suatu daerah tertentu dan mempunyai
42 J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional. Jakarta:Sinar Grafika. 2012. Hlm.127
24
kekuasaan tertinggi guna menyelenggarakan kepentingan umum dan
kemakmuran bersama.43
2. Kriteria Terbentuknya Negara
Kriteria berdirinya negara pertama kali diutarakan oleh George
Jellinek, yaitu adanya “a territory, population, and public authority.” Yang
kemudian didalam Pasal 1 Montevideo Convention on Rights and Duties of
States, disebutkan karakteristik yang harus dimiliki oleh suatu Negara untuk
dapat dikatakan dan diakui sebagai Negara.44
“The state as a person of international law should possess the following qualifications: a) a permanent population; b) a defined territory; c) government; and d) capacity to enter into relations with the other states.”45
a) Permanent Population Negara tidak akan ada tanpa penduduk. Persyaratan a
permanent population dimaksudkan untuk stable community.
Tidak ada persyaratan jumlah minimum penduduk yang harus
dimiliki suatu Negara. Nauru hanya berpenduduk 6.500 jiwa ketika
merdeka. Dalam persyaratan kependudukan ini harus ada unsur
kediaman secara tetap. Penduduk yang tidak mendiami suatu
wilayah secara tetap dan selalu berpindah-pindah (nomad) tidak
43 JCT Simorangkir, dkk. Kamus Hukum. Jakarta:Sinar Grafika. 2009. Hlm. 104 44 Alma Manuputty dkk. Hukum Internasional. Depok: Rech-ta. 2008. Hlm.75 45 Montevideo Convention on Rights and Duties of States 1933 article 1
25
dapat dinamakan penduduk sebagai unsur konstitutif berdirinya
suatu negara.46
b) Defined Territory Suatu wilayah yang pasti merupakan persyaratan mendasar
adanya suatu negara. Meskipun demikian, tidak ada persyaratan
dalam hukum internasional bahwa semua perbatasan sudah final
dan tidak memiliki sengketa perbatasan lagi dengan negara-
negara tetangganya baik pada saat waktu memproklamirkan diri
sebagai negara baru ataupun setelahnya. Hukum Internasional
juga tidak mensyaratkan batas minimum maupun maksimum
wilayah suatu negara, sehingga ada negara dengan wilayah yang
sangat sempit terkenal dengan negara-negara mikro, sebaliknya
ada negara-negara yang wilayahnya sangat luas seperti Cina,
Rusia, Amerika Serikat dan juga Indonesia.47
c) Government Bagi hukum internasional, suatu wilayah yang tidak
mempunyai pemerintahan tidak dianggap sebagai suatu negara
dalam arti kata yang sebenarnya. Ketentuan ini dengan jelas
ditegaskan Mahkamah Internasional dalam West Sahara Case.48
Pemerintah yang dimaksud adalah pemerintah yang berdaulat,
mampu menguasai organ-organ pemerintahan secara efektif dan
46 Boer Mauna,2015,Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,Alumni,Bandung,hlm17. 47 Sefriani, Op.Cit hlm.96 48 Boer Mauna. Op.Cit.hlm 21
26
memelihara ketertiban dan stabilitas dalam negeri yang
bersangkutan. Hukum internasional menghendaki adanya suatu
pemerintahan yang stabil dan efektif untuk memudahkan
hubungannya dengan negara bersangkutan. Pemerintah inilah
yang mengeluarkan kewajiban-kewajiban dalam rangka mencapai
kepentingan nasional negaranya, baik itu didalam rangka
mempertahankan integritas negaranya, maupun diluar negaranya
melaksanakan politik luar negeri untuk suatu tujuan tertentu.49
d) Kemampuan untuk Melakukan Hubungan dengan Negara Lain Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain
merupakan manifestasi dari kedaulatan. Suatu negara yang
merdeka, tidak dibawah kedaulatan negara lain akan mampu
melakukan hubungan dengan negara lain. Suatu negara
dikatakan merdeka jika wilayahnya tidak berada di bawah otoritas
berdaulat yang sah dari negara lain. Kemampuan untuk
melakukan hubungan dengan negara lain adalah kemampuan
dalam pengertian yuridis baik berdasarkan hukum internasional
maupun hukum nasional, bukan kemampuan secara fisik.
Contohnya dapat dilihat dalam Southern Rhodesia Case.
Southern Rhodesia awalnya merupakan bagian teritorial dari
pemerintah Inggris sampai Southern Rhodesia menyatakan
49 Ibid.hlm.22
27
kemerdekaan dari Inggris pada bulan November 1965 dengan
populasi penduduk, wilayah, pemerintah, dan kemampuan untuk
melakukan hubungan dengan negara lain. Akan tetapi dalam
kenyataannya, tidak ada satu negara pun yang memiliki keinginan
untuk melakukan hubungan (kerjasama) dengan Southern
Rhodesia ditolak eksistensinya sehingga tidak mendapat
pengakuan sebagai sebuah negara dari masyarakat
internasional.50
3. Pengakuan Negara Lain
Dalam praktik pemisahan diri secara sepihak dari negara, pengakuan
dari negara lain menjadi isu yang penting. Adanya pengakuan dari negara
lain tidak hanya untuk membuktikan bahwa suatu entitas diterima sebagai
negara oleh negara lain, namun juga mengakui bahwa penentuan nasib
sendiri secara eksternal berupa pemishaan diri secara sepihak dari negara
juga ada.
Pengakuan adalah tindakan bebas oleh suatu negara atau lebih yang
mengakui eksistensi suatu wilayah dari masyarakat yang terorganisir
secara politis, yang tidak terikat pada negara lain dan mempunyai
kemampuan untuk menaati kewajiban-kewajiban menurut hukum
internasional, dan dengan cara itu negara-negara yang mengakui
50 Sefriani. Op.cit.hlm.97
28
menyatakan kehendak mereka untuk menganggap wilayah yang diakuinya
sebagai salah satu anggota masyarakat internasional.51
Terdapat dua teori mengenai pengakuan yaitu, Teori Konstitutif dan
Teori Deklaratoir atau Evidentiary Pertama ialah teori konstitutif yaitu suatu
teori yang menegaskan suatu pengakuan dari negara-negara lain yang
lebih eksis, memiliki pengaruh atas terciptanya atau di mulainya suatu
eksistensi negara baru. Sedangkan teori deklaratoir atau evidentiary adalah
teori pemahaman bahwa suatu pengakuan dari negara-negara lain
hanyalah mempertegas atau meguatkan keadaan yang menunjukkan
eksistensi negara yang mendapatkan pengakuan.52
Disamping kedua teori itu, terdapat juga teori yang dinamakan teori
jalan tengah. Teori ini lahir karena pandangan beberapa sarjana yang
menganggap teori sebelunya kurang memuaskan, dan dianggap bertolak
belakang. Menurut teori jalan tengah, harus dipisahkan antara kepribadian
hukum suatu negara dan pelaksanaan hak dan kewajiban dari pribadi
hukum itu. Untuk menjadi sebuah pribadi hukum, suatu negara tidak
memerlukan pengakuan. Namun agar pribadi hukum itu dapat
melaksanakan hak dan kewajiban dalm hukum internasional, maka
diperlukan pengakuan oleh negara-negara lain.53
51 J.G. Starke. Op.Cit. Hlm.176 52 Ibid Hlm. 178 53 Pengakuan Negara baru. http://www.negarahukum.com/hukum/pengakuan-negara-baru-teori-teori-pengakuan.html(Diakses 27 Januari 2018 jam. 04:59 WITA)
29
4. Pengelompokan Pengakuan Negara
Pengakuan dapat dikelompokkan berdasarkan bentuk, sifat
dan jenis:
1) Berdasarkan bentuknya54:
a) Pengakuan negara baru
Pengakuan Negara baru terkait dengan teori-teori yang sudah
dijelaskan diatas.
b) Pengakuan pemerintahan baru
Pengakuan ini bisa terjadi apabila dalam suatu negara terjadi
perubahan bentuk pemerintahan yang sangat kontras. Akan
tetapi logikanya pengakuan terhadap suatu negara juga
berarti pengakuan terhadap pemerintahan negaranya.
c) Pengakuan sebagai pemberontak
Pengakuan ini diberikan kepada sekelompok
pemberontakyangsedang melakukan pemberontakan
terhadap pemerintahnya sendiri di suatu negara. Dengan
memberikan pengakuan ini bukan berarti negara yang
mengakui itu berpihak kepada pemberontak.Dasar pemikiran
pemberian pengakuan ini semata-mata adalah pertimbangan
kemanusiaan, sebagaimana diketahui, pemberontak lazimnya
54 Manuputty,Alma. Op.Cit. Hlm.200-210
30
melakukan pemberontakan karena memperjuangkan suatu
keyakinan politik tertentu yang berbeda dengan keyakinan
polik pemerintah yang sedang berkuasa. Oleh karena itu,
mereka sebenarnya bukanlah penjahat bisaa. Dan itulah
maksud pemberian pengakuan ini, yaitu agar pemberontak
tidak diperlakukan sama dengan criminal bisaa. Namun
pengakuan ini sama sekali tidak menghalangi penguasa
(pemerintah) yang sah untuk menumpas pemberontakan itu.
d) Pengakuan Belligerency
Pengakuan ini mirip sebagai pengakuan sebagai
pemberontak. Namun sifat pengakuan ini lebih kuat daripada
pengakuan sebagai pemberontak. Pengakuan ini diberikan
bilamana pemberontak itu telah demikian kuatnya sehingga
seolah-olah ada dua pemerintahan yang sedang bertarung.
Dalam pengakuan ini, negara-negara ketiga dalam sikapnya
membatasi diri negaranya sekedar mencatat bahwa para
pemberontak tidak kalah dan telah menguasai sebagian
wilayah nasional dan mempunyai kekuasaan secara fakta.
e) Pengakuan sebagai bangsa
Pengakuan ini diberikan kepada suatu bangsa yang sedang
berada dalam tahap membentuk negara. Mereka dapat diakui
sebagai subjek hukum internasional. Konsekuensi hukumnya
31
sama dengan konsekuensi hukum pengakuan billigerensi.
f) Pengakuan hak-hak teritorial dan situasi internasional baru
Pengakuan ini biasa dikenal dengan istilah Simson‟s Doctrine
of Non-Recognition. Pengakuan ini lebih bermakna tidak
mengakui hak-hak teritorial dan situasi internasional baru.
Bentuk pengakuan ini bermula dari peristiwa penyerbuan
Jepang ke China, peristiwa terjadi pada tahun 1931 dimana
Jepang menyerbu Manchuria, salah satu provinsi China dan
mendirikan negara boneka disana (Manchukuo). Padahal
Jepang adalah salah satu negara penandatangan Perjanjian
Perdamaian Paris 1928 (juga dikenal sebagai Kellogg-Briand
Pact atau Paris Pact), sebuah perjanjian pengakhiran perang.
Dalam perjanjian itu terdapat ketentuan yang menegaskan
bahwa negara-nagara penanda tangan sepakat untuk
menolak penggunaan perang sebagai alat untuk mencapai
tujuan-tujuan politik. Dengan demikian penyerbuan Jepang ini
jelas bertentangan dengan perjanjian yang ikut
ditandatanganinya. Oleh karena itu, penyerbuan Jepang ke
Manchuria itu di protes keras oleh Amerika Serikat melalui
menteri luar negerinya, Stimson, yang menyatakan bahwa
Amerika Serikat “tidak mengakui hak-hak terrtorial dan situasi
internasional baru” yang ditimbulkan oleh penyerbuan itu.
32
2) Berdasarkan Jenisnya55:
a) Pengakuan de jure
Pengakuan de jure berarti bahwa menurut negara yang
mengakui, negara atau pemerintah yang diakui secara
formal telah memenuhi persyaratan yang ditentukan hukum
internasional.
b) Pengakuan de facto
Pengakuan de facto berarti bahwa menurut negara yang
mengakui, untuk sementara dan secara temporer serta
dengan segala reservasi yang layak dimasa mendatang,
bahwa negara atau pemerintah yang diakui telah
memenuhi syarat berdasarkan fakta (de facto).
3) Berdasarkan sifatnya:
a) Pengakuan secara diam-diam (Implied Recognition)
Adalah pengakuan yang dilakukan oleh suatu negara
dengan cara melakukan hubungan dengan pemerintah
atau negara baru dengan mengirim seorang wakil
diplomatik, mengadakan pembicaraan dengan pejabat-
pejabat resmi atau pun kepala negara setempat, membuat
persetujuan dengan negara tersebut. Contoh pengakuan
55 J.G.Starke. Op.Cit. Hlm 186-187
33
ini adalah hubungan antara Amerika Serikat dan RRC.
Walaupun secara resmi Amerika Serikat belum mengakui
RRC, namun semenjak tahun 1955, negara tersebut telah
melakukan perundingan-perundingan tingkat duta besar di
Jenewa.56
b) Pengakuan Kolektif
Adalah pengakuan yang diwujudkan dalam suatu
perjanjian internasional atau konferensi multilateral.
Misalnya Helsinki Treaty tahun 1976, negara-negara NATO
mengakui Republik Demokrasi Jerman Timur dan negar-
negara Pakta Warsawa mengakui pula Republik Federal
Jerman.57
c) Pengakuan Prematur
Sebelum memberikan pengakuan ini oleh suatu negara
terhadap negara baru, negara tersebut pada umumnya
memperhitungkan kriteria-kriteria yang harus dimilikinya
terlebih dahulu. Akan tetapi pada keadaan tertentu, ada
kalanya pengakuan diberikan tanpa memperhitungkan
keadaan yang ada pada umumnya harus terpenuhi terlebih
dahulu sebelum pengakuan diberikan. Contoh dari
pengakuan semacam ini telah sering terjadi misalnya
56 Jawahir Thontowi dan Iskandar. Hukum Internasional Kontemporer. Bandung : Refika Aditama.2006. Hlm. 133 57 Ibid
34
pengakuan Amerika Serikat terhadap Israel dimana
penentuan batasnya masih dalam sengketa, pengakuan
Jerman terhadap Kroasia yang saat itu tidak memiliki
kontrol atas sebagian besar wilayahnya.58
d) Pengakuan Bersyarat
Pengakuan bersyarat merupakan pengakuan yang
diberikan oleh suatu negara kepada negara lain dengan
memberikan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh
negara yang mendapatkan pengakuan tersebut. Apabila
kewajiban-kewajiban tersebut tidak dipenuhi, maka hal
tersebut tigak menghapuskan pengakuan. Dengan
pelanggaran yang dilakukan atas syarat- syarat tersebut,
maka negara yang diakui dapat dinyatakan melanggar
hukum internasional dan terbuka kemungkinan bagi negara
yang mematuhi untuk memutuskan hubungan diplomatik
sebagai sanksinya atau dilakukan sanksi lain.59
C. Referendum
Referendum didefinisikan sebagai suara langsung oleh pemilih dari
negara tertentu memberikan saran atau memutuskan suatu isu tertentu,
yang berbeda dengan pemberian suara untuk calon perseorangan demi
pemlihan nasional maupun lokal. Istilah referendum dan plebisit seringkali
58 Ibid.hlm.137 59 J.G.Starke. Op.Cit. Hlm. 181
35
digunakan bergantian karena keduanya melibatkan suara pemilih terhadap
isu tertentu. Bersesuaian dengan ideologi demokrasi, referendum seringkali
digunakan oleh negara-negara demokrasi dibawah kondisi yang
demokratis. Referendum sah digunakan demi memutuskan permasalahan
teritorial atau juga permasalahan kedaulatan antar negara-negara yang
sedang bersengketa.60 Pelaksanaan referendum dilandaskan terhadap
prinsip hak menentukan nasib sendiri.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh PBB, yang di pimpin oleh
Hector Gros Espiell, terhadap isu terkait self-determination, menetapkan
beberapa faktor yang memberikan hak atas self-determination, sejarah
orang-orang tersebut yang mempunyai kemerdekaan, budaya yang
berbeda, dan keinginan untuk mencapai kembali self-governance.61
Referendum merupakan implementasi dari hak untuk menentukan nasib
sendiri. Referendum dapat dilakukan demi berbagai macam tujuan, secara
internal maupun eksternal sebuah negara.
Sebagai salah satu contoh, Referendum Catalonia pada tanggal 1
Oktober 2017 yang diprakarsai Generalitat de Catalunya dan disetujui oleh
Parlemen Catalunya, adapun tuntutan dari referendum tersebut adalah
kemerdekaan Catalunya dari Kerajaan Spanyol. Hasil dari referendum
tersebut adalah 92.01% menginginkan Catalunya berdiri sebagai negara
60 Referendum Yves Beigbeder “Referendum” http://opil.ouplaw.com/view/10.1093/law:epil/9780199231690/law-9780199231690-e1088 diakses pada 3 Februari 2018 : 00:29 61 Karen Parker, “Understanding Self Determination: The Basics” http://www.humanlaw.org/determination.html diakses pada 3 februari 2018: 00:35
36
merdeka62. Walaupun pada akhirnya tidak berakhir sesuai rencana
referendum tersebut merupakan salah satu contoh Referendum External
Self-Determination.
D. Sejarah Kurdistan
Daerah Kurdi yang bersebelahan di Iran, Irak, Turki, dan Suriah
berada di wilayah tengah utara Timur Tengah. Selama ribuan tahun,
banyak etnis telah bermigrasi, menetap atau dihuni secara native di daerah
tersebut termasuk orang Turki, Persia, Arab, Kurdi, Armenia, Assyria,
Chechnya, Azeris dan lainnya.
Dari awal sejarah yang tercatat sampai sekarang, semua kelompok
etnis ini telah berjuang keras secara politik dan kekerasan baik secara
ofensif maupun defensif untuk mendapatkan tanah air yang aman. Sebagai
salah satu persimpangan jalan Timur Tengah, Kurdistan telah menjadi
rumah bagi medan tempur etnis, serta koeksistensi etnik yang damai.
Wilayah Kurdi telah melihat daftar panjang penjajah dan penakluk: Persia
purba dari timur, Alexander Agung dari barat, orang Arab Muslim di abad
ke-7 dari selatan, Seljuk Turki pada abad ke 11 dari timur, orang Mongol di
Abad ke-13 dari timur, Persia abad pertengahan dari timur dan Turki
Utsmani dari utara pada abad ke-16 dan yang terakhir, Amerika Serikat
dalam invasi 2003 ke Irak.
62Hasil Referendum Catalunya http://www.govern.cat/pres_gov/govern/ca/monografics/303541/govern-trasllada-resultats-definitius-referendum-l1-doctubre-parlament-catalunya.html diakses pada 6 februari 2018: 00:59
37
Untung bagi suku Kurdi, mereka bisa mundur ke pegunungan untuk
tempat kudus. Perlindungan inilah yang menyelamatkan orang Kurdi dari
kehancuran dan membiarkan mereka bertahan sebagai kelompok etnis
yang berbeda. Gaya hidup tradisional mereka yang nomaden dan tanah air
pegunungan yang tidak ramah memberikan cara alami untuk menghindari
tentara perampok yang akan menyebabkan orang pribumi melakukan
pemerkosaan, pembunuhan dan genosida.
Karena suku Kurdi tetap merupakan kelompok etnis yang terpisah,
mereka selalu mencari otonomi dan kemerdekaan. Aspirasi-aspirasi ini
telah menghasilkan konflik yang terus berlanjut dan sejarah represi,
ketahanan dan penemuan kembali dalam menghadapi ancaman
eksistensial oleh orang-orang Turki, Arab dan Iran dan nenek moyang
mereka. Dengan dimulainya Abad ke-20, gerakan nasionalis mendapat
daya tarik di Timur Tengah. Orang-orang Turki, Arab, Persia, Kurdi,
Armenia dan Azeris semuanya menganjurkan dan memperjuangkan tanah
air nasional setelah ditundukkan oleh Kekaisaran Ottoman selama ratusan
tahun.
Selama Perang Dunia I, Inggris dan Prancis membentuk sebuah
perjanjian rahasia yang disebut Perjanjian Sykes-Picot, yang
menyimpulkan pada bulan Mei 1916. Kesepakatan tersebut terdiri dari
rencana untuk mengukir Timur Dekat dan Timur Tengah menjadi negara-
bangsa dan wilayah kontrol untuk mendukung kolonial mereka sendiri.
bunga. Bekas provinsi Suriah dan Mesopotamia di bawah Kekaisaran
38
Ottoman akan dibagi menjadi lima negara: Lebanon dan Suriah yang
berada di bawah kendali Perancis dan Palestina, Yordania dan Irak
termasuk Provinsi Mosul yang berada di bawah kendali Inggris. Pada akhir
Perang, Perjanjian Sevres dirancang untuk menangani pembubaran dan
pembagian Kekaisaran Ottoman.63 Traktat tersebut memperkuat aspirasi
nasionalis Kurdi dengan memberikan sebuah referendum untuk
memutuskan masalah tanah air Kurdistan.
Perjanjian Sevres ditolak oleh Republik Turki yang baru, dan sebuah
perjanjian baru (Treaty of Lausanne) telah dinegosiasikan dan
ditandatangani pada tahun 1923. Traktat Lausanne membatalkan
Perjanjian Sevres, memberikan kontrol atas seluruh semenanjung Anatolia
ke Turki baru. Republik termasuk tanah air Kurdistan di Turki. Tidak ada
ketentuan dalam perjanjian baru untuk sebuah referendum untuk
kemerdekaan atau otonomi Kurdi. Harapan Kurdistan untuk sebuah daerah
otonom dan negara merdeka dilesakkan.
Dari akhir Perang Dunia I sampai Perang Teluk pada tahun 1990,
orang Kurdi di Turki, Iran, Irak, dan Suriah memperjuangkan kampanye
gerilya yang terpisah untuk mencapai otonomi. Semua kampanye
dilemparkan secara paksa dan orang Kurdi mengalami represi yang lebih
63 perjanjian Sevres (1992) adalah perjanjian Inggris dengan Turki pasca Perang Dunia I.
Dalam salah satu pasal di Perjanjian Sevres dituliskan bahwa, Kurdistan dijadwalkan mengadakan referendum untuk menentukan nasibnya, dimana provinsi Mosul masuk dalam wilayahnya. Namun perjanjian ini tidak dilaksanakan karena golongan nasionalis Turki tidak menerima isi perjanjian ini. Lihat Kerim Yildiz. The Kurds in Iraq: The Past, Present and Future. London: Pluto Press in Association with Kurdish Human Rights Project (KHRP), 2004,Hlm.10
39
besar setiap saat. Setelah Perang Teluk pada tahun 1990-1991 dan
penegakan oleh orang Amerika dari zona larangan terbang di wilayah
Kurdistan Irak, Kurdi Irak memiliki otonomi. Namun, rute pasokan diblokade
oleh orang Irak dan Kurdi mengalami kesulitan besar.
Pada tahun 1992, sebuah aliansi partai politik, Front Kurdistan Irak,
mengadakan pemilihan parlemen dan presiden. Akibatnya, Front Kurdistan
Irak mendirikan Kurdistan Regional Goverment (KRG), sebuah
pemerintahan otonom baru Kurdistan di Irak. KRG adalah pemerintahan
sekuler yang dimodelkan di sepanjang garis negara merdeka modern
dalam sebuah federasi dengan seluruh Irak lainnya. Mereka memiliki
parlemen sendiri, militer ("Peshmerga"), perbatasan dan kebijakan luar
negeri.
Pada tahun 1994, sebuah pengaturan pembagian kekuasaan antara
Serikat Pekerja Kurdi (PUK) dan Partai Demokrat Kurdistan (KDP) runtuh.
Peluruhan ini menyebabkan perang sipil dan dua pemerintahan terpisah.
Organisasi pertama dibentuk di Erbil dan yang kedua di Suleimaniah.
Perang Saudara berlanjut selama empat tahun sampai 1998 ketika PUK
dan PPK menandatangani Perjanjian Washington, mengakhiri perang.
Pada tahun 2003, Amerika menyerang Irak dan Peshmerga (pasukan
militer Kurdistan Irak) bergabung dalam perang untuk menggulingkan
Saddam Hussein. Setelah Hussein diusir dari jabatannya, rakyat Irak,
dalam sebuah referendum nasional, menyetujui sebuah konstitusi baru.
40
Konstitusi baru ini mengakui Pemerintah Daerah Kurdistan dan Parlemen
Kurdistan.
Pada tahun 2006, PUK dan PPK mengatur untuk menyatukan
administrasi di bawah Perdana Menteri Nechirvan Barzani. Apa yang telah
terbukti menjadi kunci dalam membangun kemerdekaan bagi Kurdistan,
namun telah hilang dalam upaya otonomi Kurdistan, adalah dukungan dari
negara adikuasa. Negara-negara minoritas lainnya yang telah membentuk
negara mereka sendiri di kawasan ini telah melakukannya dengan
dukungan dari negara adikuasa: Armenia, Georgia dan Azerbaijan memiliki
Uni Soviet; Israel memiliki Inggris dan A.S.
Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), ancaman eksistensial terbaru,
sekarang mengendalikan sebidang tanah besar yang membentang di
perbatasan Irak dan Syria. ISIS menyerang kota-kota Kurdi di Suriah dan
Irak. Peshmerga membela dan mencoba merebut kembali kota-kota yang
sebelumnya berada di bawah kendali Kurdi. Peshmerga, yang juga
termasuk wanita, telah terbukti menjadi kekuatan tempur yang efektif,
namun memiliki sedikit sumber daya untuk melawan apa yang tampaknya
merupakan tentara ISIS yang didanai dengan baik dan berkembang.
Amerika mendukung otonomi Kurdi Irak dan memberikan dukungan militer
langsung terus-menerus dalam pelatihan dan memperlengkapi Peshmerga
serta memberikan serangan udara untuk menghancurkan ISIS.
Kurdistan adalah negara yang dikuasai daratan bergantung pada
tetangganya untuk akses ke pasar untuk persediaan dan untuk mengekspor
41
minyak - sumber ekonomi utama Kurdistan. Mengingat sejarah daerah dan
kepentingan geografis Kurdistan sebagai salah satu persimpangan Timur
Tengah, potensi konflik lanjutan sangat tinggi. Jika Kurdistan berharap
dapat bertahan sebagai negara merdeka, harus terbukti cukup kuat untuk
mempertahankan diri melawan ancaman eksistensial yang tak terelakkan
yang akan hadir dengan sendirinya dan membangun hubungan damai
dengan tetangganya meskipun ada sejarah konflik, ketidakpercayaan dan
keluhan.64
64 History of the Kurds https://thekurdishproject.org/history-and-culture/kurdish-history/ diakses pada tanggal 7 Februari 2018 : 01:18
42
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Dalam melakukan penyusunan skripsi, penulis melakukan studi
kepustakaan yang bertempat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, dan Perpustakaan Ali Alatas Kementrian Luar Negeri serta
melakukan penelitian melalui situs-situs internet yang dianggap relevan
untuk melengkapi informasi yang diperlukan.
B. Jenis Penelitian dan Sumber Data
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian terhadap yuridis
normatif, yaitu penelitian terhadap peraturan-peraturan yang terkait dengan
Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri (The Right of Self Determination).
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian, yaitu:
1. Bahan hukum primer, yakni bahan-bahan hukum yang mengikat
seperti perjanjian internasional dan yurisprudensi.
2. Bahan hukum sekunder seperti Rancangan Undang-undang,
hasil penelitian, jurnal ilmiah dan bernagai literatur yang erat
kaitannya dengan penelitian ini.
43
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan melalui teknik studi kepustakaan
(library research) untuk mendapatkan data sekunder yang mana sumber
datanya diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
E. Analisis Data
Penulis akan menggunakan analisis data secara deskriptif dengan
menggambarkan posisi kurdistan menggunakan hak menentukan nasib
sendiri dalam mengusahakan kemerdekaannya kemudian disesuaikan
dengan perjanjian internasional dan aturan-aturan dalam hukum
internasional kemudian diakhiri dengan menarik kesimpulan berdasarkan
data-data kualitatif yang ada.
44
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Hukum Internasional Mengenai Hak
Menentukan Nasib Sendiri
Pasal 38 (1) dari Statuta Mahkamah Internasional menyebutkan 5
(lima) sumber hukum internasional; yaitu perjanjian internasional, hukum
kebiasaan internasional, prinsip umum hukum yang diterima oleh bangsa
beradab, dan keputusan pengadilan serta pendapat sarjana yang diakui.65
Tata urutan sumber hukum internasional yang disebutkan dalam Pasal 38
(1) dari Statuta Mahkamah Internasional secara implisit merupakan suatu
urutan sesuai tingkat keutamaannya.66 Secara eksplisit, pasal tersebut
membagi sumber hukum internasional dalam 2 golongan yaitu primer dan
sekunder, sumber hukum yang primer mencakup poin a hingga c dari Pasal
38 (1) Statuta Mahkamah Internasional, yaitu perjanjian internasional,
hukum kebiasaan internasional, dan prinsip umum hukum. Sementara
sumber hukum internasional yang sekunder terdiri atas poin d dari Pasal
38(1) Statuta Mahkamah Internasional yaitu keputusan pengadilan dan
65 Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional berbunyi, “1. The Court, whose function is
to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply: a. international convention, wheter general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states; b. international custom, as evidence of a general practice accepted as la; c. the general principles of law recognized by civilized nations; d.subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the means for the determination of rules of law.” 66 Vedross/Simma, Universelles Volkrrecht 335, sebagaimana dikutip oleh Mark Eugen
Villger, Customary International Law and Treaties: A Manual on Theory and Practice of the Interrelation of Sources, (Dodrecht: Martinus Nijhoff Publishers,1985,hlm.58
45
pendapat para sarjana yang telah diakui.67
1. Perjanjian Internasional Mengenai Hak Penentuan Nasib Sendiri
1) Hak Penentuan Nasib Sendiri yang Berkembang dari Piagam
PBB
Dalam sejarah dan perkembangannya istilah self determination
secara ekspilisit dianut oleh Presiden Amerika Serikat pada saat itu,
Woodrow Wilson dan juga oleh Lenin serta yang lainnya, dan menjadi
prinsip dasar dalam tujuan untuk merekonstruksi Eropa setelah Perang
Dunia I. Prinsip dasar ini disertakan dalam Piagam Atlantik tahun 1941 dan
proposal Dumbarton Oaks yang kemudian berkembang menjadi piagam
PBB. Prinsip ini ditujukan untuk pemerintah Negara demokratis agar
menjamin dan melindungi warga negaranya, terutama kelompok
minoritas.68
Penentuan nasib sendiri baru berkembang juga menajdi sebuah
prinsip hukum dan hak setelah berdirinya PBB dan dimasukkanya prinsip
ini ke dalam Piagam PBB. Piagam PBB, dalam hal ini merupakan sumber
hukum internasional berupa perjanjian internasional, yang dapat dirujuk
oleh Mahkamah Internasional dalam penyelesaian sengketa sesuai dengan
Pasal 38(1)(a) dari Statuta Mahkamah Internasional.69 Prinsip hak
67 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional ,Bandung, Alumni, 2003,
hlm.116 68 David Raic, Statehood and the Law of Self-Determination, Den Haag, Martin Nijhoff
Publishers,2002,hlm.183 69 Malcolm N.Shaw, International Law Sixth Edition, Cambridge, Cambridge University
Press,2008,hlm.67
46
mengenai penentuan nasib sendiri dengan jelas disebutkan dalam Pasal
1(2) dan kemudian Pasal 55 Piagam PBB.70
Pasal 1 (2) yang menetapkan: “to develop friendly relations among
nations based on respect for the principle of equal rights and self
determination of people”
Pasal 55 yang menetapkan: “to creation of stability and well being
wich are necessary for peaceful and friendly relation among nations
based on respect for the principle of equal right and self
determination of peoples..”
Pertama, adalah dalam Chapter I mengenai Principles and Purposes
of the UN Charter, Pasal 1 (2) menyatakan bahwa salah satu prinsip dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah penentuan nasib sendiri. Kemudian
Chapter IX mengenai International Economic,Social and Cultural
Cooperation, dalam pasal 55 (c) yang melanjutkan bahwa dengan
berdasarkan prinsip hak penentuan nasib sendiri, mendorong PBB untuk
menghormati hak-hak dasar manusia tanpa diskriminasi. Meskipun tidak
eksplisit menyatakan penentuan nasib sendiri sebagai sebuah hak, pasal
ini menunjukkan bahwa atas dasar prinsip penentuan nasib sendiri, Negara
memiliki kewajiban untuk memperlakukan satu dengan lainnya setara tanpa
diskriminasi. Kemudian dilengkapi oleh Chapter XI tentang Non-Self-
Governing-Territories, tepatnya dalam pasal 73, yang memberikan
70 UN Charter, Pasal 1(2) dan Pasal 55
47
tanggung jawab pada anggota PBB untuk mengakui adanya hak bagi Non-
Self-Governing-Territories, untuk mengembangkan menuju pemrintahan
sendiri sesuai dengan kehendak penduduknya.71 Lebih lanjut dalam
Chapter XII tentang International Trusteeship Sistem, Pasal 76 yang
mencatat bahwa tujuan dari trusteeship system adalah mengusahakan
kemajuan dalam “the political, economic, social and educational
advancement of the inhabitants of the trust territories” dan pada akhirnya
memperolah kemerdekaan agar segera dilimpahkan kewenangan kepada
rakyat (bangsa) di wilayah-wilayah tersebut tanpa syarat apapun.72
71 Ibid, Pasal 73 berbunyi,”Members of the United Nations which have or assume
responsibilities for the administration of territories whose peoples have not yet attained a full measure of self-government recognize the principle that the interest of inhabitants of these territories are paramount, and accept as a sacred trust the obligation to promote to the outmost, within the system of international peace and security established by the present charter, the wellbeing of the inhabitants of these territories and to this end:
a) To ensure, with due respect for the culture of the people concerned their political,economic,social and educational advancement, their just treatment, of the political against abuses; to develop self-government, to take due account of the political aspirations of the peoples, and to assist them in the progressive development of their free political institutions, according to the particular circumstances of each territory and its peoples and their varying stages of advancement;
b) To further international peace and security; c) To promote constructive measures of development, to encourage research, and to
co-operate with one another and, when and where appropriate, with specialized international bodies with a view to the practical achievement of the social economic and scientific purpoeses set forth tin this article; and
d) To transmit regularly to the Secretary-general for information purposes, subject to such limitiation of a technical nature relating to economic,social and educational conditions in the territories for wich they are respectively responsible other than those territories to which Chapters XII and XIII apply.
72 Ibid, Pasal 76 berbunyi, “the basic objectives of the trusteeship system….shall be…to
promote the political,economic,social and educational advancement of the inhabitants of the trust territories, and their progressive development towards self-government or independence as may be apporopriate to the particular circumstances of each territory and its peoples and the freely expressed wishes of the peoples concerned and as may be provided by the terms of each trusteeship agreement.” Lihat juga dalam Sefriani Op.Cit Hlm.118
48
Setelah piagam PBB terbentuk, praktek Negara dalam dekolonisasi
juga turut merefleksikan penentuan nasib sendiri sebagai sebuah hak,
dengan berdirinya Negara-negara baru pasca penjajahan. Hak penentuan
nasib sendiri dalam periode ini juga berlaku bagi wilayah-wilayah non-self
governing dan protektorat yang sering dipersamakan dengan wilayah
dalam koloni.73 Penentuan nasib sendiri dijalankan dalam konteks untuk
menciptakan hubungan baik antar Negara-negara dengan mengutamakan
hak setiap bangsa di dunia. Piagam PBB dianggap berkontribusi
menyumbangkan prinsip bahwa perdamaian dunia adalah tidak mungkin
terwujud tanpa self determination.74 Pengaturan Piagam PBB ini secara
keseluruhan masih belum lengkap dalam hal substansi dari self
determination, penentuan nasib sendiri hanya sebatas sebuah prinsip saja
dan bukan merupakan suatu hak yang dimiliki setiap bangsa di dunia. Dan
hak penentuan nasib sendiri pada masa ini belum mengakui adanya hak
pemisahan diri secara sepihak dari Negara, sebagaimana dicatat dalam 6th
meeting of Committee 1 of Commission 1 ketika membahas hak penentuan
nasib sendiri dalam Chapter 1 dari Piagam PBB.75
73 Raic,Op.cit.hlm.202 (“the common characteristic of these territories was that they corresponded to the somewhat classical nation of a colonial territory.”) 74 Antonio Cassese,Op.Cit.Hlm.38 75 Aureliu Cirstescu, Special Rapporteur of the Sub-Commision, The Right to Self-
Determination Historical and Current Development on the Basis of United Nations Instruments,E/CN.4/Sub.2/404/Rev.1, 198, hlm.2,para.17 (“…on the one side that this principle corresponded closely to the will and desires of peoples everywhere and should be clearly enunciated in the charter; on the other side…that principle conformed to the purposes of the charter only insofar as it implied the right of self-government of peoples and not the right of secession”)
49
2) Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam Kovenan Hak Asasi
Manusia
Memasuki tahun 1966, hak penentuan nasib sendiri kembali diatur
dalam dua kovenan Hak Asasi Manusia yang diadopsi oleh Majelis Umum
PBB, yaitu ICCPR dan ICESCR. Kedua kovenan tersebut merupakan
kovenan yang mengikat bagi Negara-negara yang meratifikasinya dan
menjadikannya sebagai perjanjian internasional yang merupakan sumber
hukum internasional sesuai dengan pasal 38 (1)(a) dari Mahkamah
Internasional.76 ICCPR merupakan kovenan mengenai hak-hak warga
negara yang tidak boleh dilanggar oleh negara, sementara ICESCR adalah
kovenan yang mengenai hak-hak apa saja yang harus negara sediakan.77
Pasal 1 dari ICCPR dan ICESCR sama-sama menyebutkan
bahwa,
“All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right the freely determine their political status and freely pursuit their economic, social, and cultural development.”78
Dan secara terpisah juga menyertakan hak penentuan nasib sendiri bagi
wilayah-wilayah koloni, non-self-governing-territory dan protektorat.79
Definisi dan cakupan hak penentuan nasib sendiri dalam kedua
kovenan tersebut menunjukkan adanya perkembangan dari cara
76 Stephen Garbhaum,”Human Rights as International Constitutional Rights”, The
European Journal of International Law”, Vol.9.No4,2008,hlm.756 dan 762 77 Ibid,Hlm.752 78 ICCPR dan ICESCR Pasal 1 79 Ibid,pasal 1(3), (“The States parties to the present Covenant, including those having
responsibility for the administration of Non-Self-Governing and Trust Territories, Shall promote the realization of the right of self-determination, and shall respect that right, in conformity with the provisions of the Charter of the United Nations.”)
50
pengimplementasian hak penentuan nasib sendiri, yang dikenal dengan
hak penentuan nasib sendiri secara internal.80 Hak penentuan nasib sendiri
secara internal berarti, “….Internal self-determination, which generally
refers to the relationship between the government of a state and the people
of that state. Sementara sebelumnya, hak penentuan nasib sendiri hanya
dikenal secara eksternal, yaitu “…. generally denotes the determination of
the international status of a territory and a people.” 81 Hak penentuan nasib
sendiri secara internal menggambarkan hubungan antara warga negara
dengan pemerintah negaranya sendiri.
Dalam General Comment 12, dokumen interpreasi terhadap pasal
mengenai hak penentuan nasib sendiri dalam ICCPR dan ICESCR, aspek
hak penentuan nasib sendiri secara internal dapat dilihat dari interpretasi
berikut,
“the right of self-determination is of particular importance because its realization is an essential condition for the effective guarantee and observance of individual human rights and for the promotion and strengthening of those rights….Article 1 enshrines an inalienable right of all peoples as described in its paragraphs 1 and 2. By Virtue of that right they freely ‘determine their political status and freely pursue their economic,social, and cultural development’…With regard to paragraph 1 of article 1, states parties should describe the constitutional and political processes which in practice allow the exercise of this right.”82 Komentar pasal di atas menunjukkan bahwa setiap orang memiliki
aspek internal hak penentuan nasib sendiri, yaitu untuk menentukan status
politiknya dan berpartisipasi dalam bidang ekonomi, social dan budaya.
80 Raic,Op.Cit hlm.234 81 Ibid, Hlm.204 82 HumanRights Committee,General Comment12,UN Doc.HRI/GEN/1/Rev.1,1994,para 12
51
Selain itu, Kovenan membebankan pemerintah memiliki kewajiban untuk
memenuhi hak-hak tersebut, yang menunjukkan bahwa sasaran dari hak
tersebut adalah orang-orang di dalam suatu Negara.83
Indonesia mengakui aspek ini yang tertuang dalam deklarasinya
terhadap pasal 1 ICCPR ketika meratifikasi ICCPR. Indonesia menyatakan
bahwa pasal 1(1) dari ICCPR menunjukkan adanya dua aspek hak
penentuan nasib sendiri. Aspek pertama adalah hak penentuan nasib
sendiri secara eksternal, yang diiplementasikan Indonesia melalui
proklamasi kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.84 Sementara
aspek ke dua adalah aspek internal yaitu,
“the second aspect is about the right to manage economic, social and cultural potentials in relation to the implementation of rights to develop a particular territory is an overeign and independent state.”85 Kedua kovenan ini menandakan fase berikutnya dari perkembangan
hukum internasional tentang konsep The right of self determinations
dengan memperkenalkan hak penentuan nasib sendiri secara internal,
karena sebelum adanya kovenan ini, hukum internasional memiliki
padangan bahwa suatu entitas hanya dapat melaksanakan satu kali hak
penentuan nasib sendiri secara eksternal.86 Pandangan bahwa hak untuk
83 Garbhaum,Op.cit,Hlm.752 84 Human Rights Committee, Consideration of reports submitted by States parties under
article 40 of the Covenant, Initial reports of state parties: Indonesia, CCPR/C/IDN/1,2012, para.4 (“the first aspect is about the right to determine the political status of a nation in relation to the determination of its status and position as an independent state in the international community.”) 85 Ibid. Para 6 86 Raic,Op.Cit,hlm.226 (“…this [external] manifestation of self-determination has led to
statements that once independence was achieved by a dependent territory, the right was consumed.”)
52
menentukan nasib sendiri tetap berlanjut meskipun sekelompok orang
sudah melaksanakan hak penentuan nasib sendiri secara eksternal disebut
juga dengan continouing right theory.87
2. Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam Perjanjian Regional
1) Helsinki Final Act 1975
Organisasi-organisasi regional juga mengeluarkan perjanjian
regional yang mengatur tentang hak penentuan nasib sendiri. Di Eropa,
Conference on Security and Co-operation in Europe 1 Agustus 1975
menghasilkan Declaration on the Principles Concerning Mutual Relations of
the Participating States , yang diadopsi oleh 35 negara termasuk Amerika
Serikat dan Kanada.88 Prinsip VIII dari Helsinki Final Act menyatakan
dengan tegas mengenai internal dan eksternal self determination, sebagai
berikut:
“By virtue of the principle of equal rights and self-determination of peoples, all peoples always have the right, in full freedom to determine, when and as they wish, their internal and external status, without external interference, and to pursue as they wish their political, economic, social and cultural development.”89
Dalam prinsip ini, dibedakan antara hak penentuan nasib sendiri secara
eksternal dan internal. Melihat latar belakang dan tujuan pembuatan
perjanjian ini yaitu pasca Cold War,Helsinki Final Act hanya menyatakan
87 Ibid,hlm,228 dan 234; lihat juga Malcolm N.Shaw,hlm.444(“self determination does have
a continuing application in terms of human rights situtations within the territorial framework of independent states”) 88 Hurst Hannum, The Right of Self-Determination in the Twenty-First Century,55 Wash.& Lee L.Rev 773,1998,hlm.28 89 Conference on Security and Cooperation in Europe,Helsinki Final Act, I.L.M 1292 Prinsip VIII Equal Rights and Self Determination of Peoples
53
adanya hak penentuan nasib sendiri sebagai “right of the people of a state
to be free from external influence in choosing its own form of government.”
Dan dalam analisis terhadap Helsinki Final Act, sarjana-sarjana
berpendapat bawa Helsinki Final Act tidak mengakui hak pemisahan diri
secara sepihak dari Negara.90
2) African Charter of Human and Peoples’ Rights of 1981
African Charter of Human and People’s Rights atau Banjul Charter
merupakan dokumen hak asasi manusia yang dikeluarkan oleh
Organisation of African Unity pada tahun 1981.91 Piagam ini menyatakan
prinsip bahwa semua orang memiliki posisi yang setara dan bahwa “nothing
shall justify the domination of people by another”92, kemudian pernyataan
tersebut dilanjutkan dengan penjelasan mengenai hak penentuan nasib
sendiri, yaitu
“1. All peoples shall have the right to existence. They shall have the unquestionable and inalienable right to self-determination. They shall freely determine their political status and shall pursue their economic and social development according to the policy they have freely chosen 2. Colonized or oppressed peoples shall have the right to free themselves form the bonds of domination by resorting to any means recognized by the international community 3. All peoples shall have the right to the assistance of the State Parites to the present Charter in their liberation struggle against foreign domination, be it political, economic, or cultural.”93
90 Hannum, Op.Cit, hlm.29 (“there was no suggestion at Helsinki or in subsequent CSCE
meetings that the right of self-determination could justify secession by an oppressed minority”); 91Organisation of African Unity, Charter of Organisation of African Unity, OAU
Doc.CAB/LEG/67/3 rev. 5,21 I.L.M 58 (1982) 92 Ibid. Pasal 19 93 African Charter of Human Rights, Pasal 20
54
Pasal tersebut menunjukkan definisi yang cukup sempit yang mana hak
penentuan nasib sendiri adalah hak penentuan nasib sendiri secara
eksternal bagi wilayah-wilayah yang berada di bawah kolonisasi atau
penjajahan saja.94 Hal ini di karenakan kondisi Negara-negara Afrika yang
lebih multietnis dan karenanya hak penentuan nasib sendiri di luar konteks
dekolonisasi menjadi sesuatu yang membahayakan.95
3) The Paris Charter 1990
Charter of Paris yang ditanda tangani pada November 1990 melalui
pertemuan Conference on Security and Co-operation in Europe (CSCE),
mempersempit perumusan dari hak penentuan nasib sendiri dan
membatasi isinya yang berbunyi,
“ We reaffirm the equal rights of peoples and their right to self-determination in conformity with the charter of the United Nations and with relevant norms of International law, including those relating to territorial integrity of States.”96 Charter of Paris menegaskan sekali lagi bahwa persamaan hak dari
setiap bangsa dan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri sesuai
dengan UN Charter dan norma hukum internasional yang relevan lainnya.97
Dalam piagam ini, pengaturan mengenai penentuan nasib sendiri
dimasukkan dalam bab mengenai “Friendly Relations among Participating
94 Hannum, Op.Cit, hlm.30 95 Hannum, Autonomy, Sovereignity, and Self-Determination: The Accomodation of
Conflicting Rights, Philadlphia,University of Pennsylvania Press,1996,hlm 46-47 96 Charter of Paris for a New Europe 1990, 31 ILM, 1991,hlm 197 97 Kumbaro Dajena, The Kosovo Crisis in a International Law Prespective: Self
Determination Territorial Integrity and the NATO Convention, NATO office of International Press,2001,hlm22
55
States” dan bukan dalam bab tentang “Human Dimention” yang merupakan
salah satu perwujudan komitmen paling penting bagi anggota CSCE dalam
mengimplementasikan HAM. Bab mengenai Human Dimention dari piagam
ini seperti halnya Helsinki Act, memberi perhatian khusus mengenai hak
bagi kaum minoritas, yang tidak termasuk dalam definisi dari penentuan
nasib sendiri.98
4) Arab Charter of Human Rights 2004
Perjanjian regional yang ke-4 yang mengatur tentang hak
menentukan nasib sendiri adalah Arab Charter of Human Rights 2004.
Usaha untuk menyusun Arab Charter dimulai pada tahun 1960 ketika
anggota Union of Arab Lawyers meminta Arab League untuk menyusun
konvensi tentang hak asasi manusia.99 Arab League kemudian membuat
suatu rancangan pada tahun 1994, pasal pertama dari piagam tersebut
memuat hak menentukan nasib sendiri dan terdiri dari 2 paragraf.100 Piagam
1994 merupakan suatu kegagalan, karena ketidak sesuaian standar hak
asasi manusia internasional dan tidak adanya Negara arab yang
meratifikasinya. Pada bulan mei 2004, Liga Arab mengadopsi Arab Charter
98 Ibid,hlm21 99JamesSummers,People and International Law 2nd Revised Edition,Brill Nijhoff,
Leiden,hlm. 389 100 “Article 1: a. All peoples have the right of self determination and control over their
natural wealth and resources and, accordingly, have the right to freely determine the form of their political structure and to freely pursue their economic, social and cultural development. b.Racism, Zionism, occupation and foreign domination pose a challenge to human dignity and constitute a fundamental obstacle to the realization of the basic rights of peoples,There is a need to condemn and edeavour to eliminate all such practices” Arab Charter on Human Rights 1994, Ibid.
56
yang baru dan entry into force pada tahun 2008 dengan 11 negara yang
telah meratifikasinya hingga saat ini.101 Ketentuan mengenai hak
menentukan nasib sendiri diatur di pasal 2 yang berbunyi,
“1. All peoples have the right to self determination and to control over their natural wealth and resources, and the right to freely choose their political system and to freely pursue their economic, social and cultural development. 2. All peoples have the right to national sovereignty and territorial integrity. 3. All form of racism,Zionism, and foreign occupation and domination constitute an impediment human dignity and a major barrier to the exersice of the fundamental rights of peoples; all such practices must be condemned and efforts must be deployed for their elimination. 4. All peoples have the right to resist foreign occupation”102
Hak menentukan nasib sendiri dalam Arab Charter, memiliki 2
interpretasi. Yang pertama mengatur tentang hak peoples of states untuk
menentukan sistem politik Negara mereka, untuk melindungi kekayaan
sumber daya alam dan lebih umum lagi untuk mengejar pengembangan
ekonomi, social dan budaya mereka. Ke dua adalah mendukung hak
pelstina untuk menentukan nasib sendiri dan melindungi territorial integrity
mereka.103
3. Hukum Kebiasaan Internasional (International Customary Law)
Hukum kebiasaan internasional mengenai hak penentuan nasib
sendiri dapat dilihat dari beberapa deklarasi yang dikeluarkan oleh Majelis
Umum PBB yaitu Declaration of Granting Independence to Colonial
101 Arab Human Rights Committee: State Parties, League of Arab States Website;
www.lasportal.org, diakses pada 19 februari 2018: 18:46 102 Arab Charter on Human Rights 2004 103 James Summers, Op.cit hlm.392
57
Countries 1960, Declaration of Friendly Relations 1970, Vienna Declaration
and Program of Action 1993, dan Declaration On Occasion of the Fiftieth
Anniversary of the United Nations 1995. Meskipun deklarasi-deklarasi
tersebut tidak bersifat mengikat dan berupa rekomendasi bagi Negara-
negara anggotanya, mereka termasuk ke dalam sumber hukum
internasional berupa hukum kebiasaan internasional karena mereka
memenuhi elemen-elemen dari hukum kebiasaan internasional yaitu
elemen objektif (praktek-praktek negara) dan elemen subjektif (opinio
juris).104 Mahkamah Internasional dalam South West Africa Case,
menyatakan bahwa resolusi yang telah diadopsi oleh “overwhelmingly
majorities of members of the General Assembly frequently over a period of
time…” dapat menunjukkan opinio juris dan karenanya, “… constitute a
norm of customary international law.”105 Dalam Military and Paramilitary
Activites in and Against Nicaragua, Mahkamah Internasional mencatat
perkembangan pandangan ini ketika menganalisis kekuatan hukum dari
Declaration of Friendly Relations 1970 yang dikeluarkan oleh Majelsi Umum
PBB yaitu,
“The Court has however to be satisfied that there exist in customary international law an opinio juris as to the binding character of such abstention. This opinio juris may, though with all due cauton, be deduced, inter alia, the attitude of the parties and the attitude of States towards certain General Assembly resolutions and particularly resolution 2625 (XXV) entitled “ Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co-operation
104 Christoper C.Joyner, International Law in the 21st Century: Rules for Global
Governance, Lanham,Md: Rowman & Littlefield,2005,hlm.95 105 South West Africa Cases, (Ethiopia vs South Africa; Liberia vs South Africa) 1960 I.C.J
6, 323 para.59
58
among States in accordance with the Charter of the United Nations”. The effect of consent to the text such resolutions cannot be understood as merely that of a “reiteration or elucidation” of the treaty commitment undertaken in the charter. On the contrary, it may be understood as am acceptance of the validity of the rule or set of rules declared by the resolution by themselves.”106 Paragraf di atas menunjukkan bahwa deklarasi Majelis Umum PBB
ikut serta dalam pembuatan hukum kebiasaan internasional, dengan
melihat ada tidaknya persetujuan dari negara-negara terhadap deklarasi
tersebut, dan dengan melihat sikap negara-negara terhadap prinsip-prinsip
yang di enumerasikan dalam Deklarasi 1970, yang dapat menunjukkan
bukti adanya opinio juris. Namun hal ini belum menjawab secara pasti
apakah sikap negara-negara yang dimaksud dalam keputusan tersebut
adalah sikap berupa tindakan “persetujuan” atau “penolakan” deklarasi itu
sendiri atau harus melihat praktik kembali. Keraguan ini kemudian
diperjelas dalam Nuclear Weapon Advisory Opinion, yang mencatat bahwa
resolusi Majelis Umum PBB memiliki “normative value” dan dapat
membentuk opinio juris.107
Kasus-kasus diatas menggambarkan bahwa resolusi dapat
merefleksikan hukum kebiasaan internasional apabila melihat konten dan
106 Military and Paramilitary Activites in and Against Nicaragua, (Nicaragua vs USA) Keputusan I.C.J Reports 1986, hlm 14. 107 Legality of the Threat or Use of Nuclear Weapon, Advisory Opinion, I.C.J Reports 1996 hlm.226, para 70 (“ The Court notes that General Assembly Resolutions, even if they are not binding, may sometimes have normative value. They can, in certain circumstances, provide evidence important for establishing the existence of a rule or the emergence of an opinio juris. To establish wheteher this is ture of a given General Assembly resolution, it is necessary to look at its content and the conditions of its adoption; it as also necessary to see whether an opinio juris exist as to its normative character. Or a series of resolutions may show the gradual evolution of the opinio juris required for the establishment of a new rule”)
59
kondisi saat resolusi tersebut diadopsi serta adanya rasa terikat karena
hukum saat negara menyepakati resolusi tersebut, bukan karena alasan
politis atau alasan non-hukum lainnya. Baik Declaration of Granting
Independence to Colonial Countries 1960, Declaration of Friendly Relations
1970, Vienna Declaration and Programmes of Actions 1993, dan
Declaration On Occasion of the Fiftieth Anniversary of the United Nations
1995, semua diadopsi secara unanimous oleh anggota PBB atau melalui
mekanisme consensus yang membuktikan bahwa karakter opinio juris dan
sikap mereka terhadap deklarasi-deklarasi tersebut memenuhi elemen-
elemen praktik-praktik negara. Oleh karena itu, deklaras-deklarasi tersebut
dapat dianggap sebagai sumber hukum internasional berupa hukum
kebiasaan internasional.
1) Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam Declaration of
Granting Independence to Colonial Countries 1960
Declaration of Granting Independence to Colonial Countries 1960
merupakan deklarasi yang diadopsi secara unanimous atau oleh seluruh
negara anggota Majelis Umum PBB. Dengan jumlah negara-negara yang
menerimanya, deklarasi ini dianggap merefleksikan hukum kebiasaan
internasional dan menjadi instrument hukum interansional yang otoritatif.
Dalam pembukaannya, deklarasi ini memiliki tujuan untuk mele[askan
negara-negara yang berada dibawah penjajahan, “Solemnly proclaims the
necessity of bringing to a speedy and unconditional and colonialism in all its
60
forms and manifestations.”108 Sekaligus juga untuk wilayah protektorat dan
non-self-governing-territories, yaitu “considering the important role of the
United Nations in assisting the movement for independence in Trust and
Non-Self-Governing Territories”.109
Dalam klausa operatifnya, deklarasi ini menyatakan secara eksplisit
‘hak penentuan nasib sendiri’, yang mencakup “all peoples have the right to
self-determiantion; by virtue of that right they freely determine their political
status and freely determine their political their political status and freely
pursue their economic, social and cultural development.” 110 Klausa tersebut
dilanjutkan dengan klausa lain yang menyatakan bahwa negara-negara
anggota harus mengambil langkah segera untuk memberikan kedaulatan
kepada wilayah protektorat dan non-self-governing-territories, sesuai
dengan keinginan penduduknya. Hal tersebut bertujuan untuk “ (to) enable
them to enjoy complete independence and freedom”. Ketentuan ini juga
diberangi dengan kewajiban bagi setiap negara untuk menghormati
keutuhan wilayah negara lain. Dengan konten tersebut, jelaslah bahwa hak
penentuan nasib sendiri dalam deklarasi ini hany mencakup hak penentuan
nasib sendiri secara eksternal dalam konteks dekolonisasi.
108 Declaration on Granting of Independence 1960, pembukaan para.12 109 Ibid, para.5 110 Ibid, klausa operatif no.2
61
2) Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam Declaration of
Principles of International Law Relating to Friendly
Relations and Cooperations Among States 1970
Sepuluh tahun sejak diadopsinya Declaration of Granting of
Independence 1960, Majelis Umum PBB kembali mengadopsi deklarasi
mengenai hak penentuan nasib sendiri, yaitu Declaration of Friendly
Relations 1970. Deklarasi yang dianggap sebagai “the most authoritative
statement of the principles of international law relevant to the questions of
self-determination and territorial integrity” ini diadopsi tanpa melalui
mekanisme voting oleh negara anggota Majelis Umum PBB setelah
beberapa tahun perundingan.111 Prinsip V dari deklarasi ini menyebutkan
bahwa,
“By virtue of the principle of equal rights and self-determination of peoples enshrined tin the charter of the united nations, all peoples have the right freely to determine, without external interference, their political status and to pursue their economic, social and cultural development and every state has the duty to respect this right in accordance with the provisions of the Charter.”
Terhadap kelompok orang yang berada dibawah kolonialisme,
protektorat, maupun non-self-governing-territory ditegaskan hak mereka
untuk memperolah kemerdekaan dalam prinsip V(6).112
111 1921 United Nations Yearbook 787, UN Sales no.E.72.I.1; Hannum, Rethinking Self-
Determination, hlm.14 112 Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co-
operation Among States in Accordance with Charter of the United Nations ,GA Resolution 2625, Annex 25 UN GAOR Supp.(No17),hlm.66, prinsip V(6), (“The territory of a colony or other Non-self-Governing-Territory has under the Charter, a status separate and distinct from the territory of the State administering it; and such separate and distinct status under the Charter shall exist until the people of the conoly or Non-Self-Governing-Territory have
62
Selain itu, deklarasi ini juga menyebutkan bentuk-bentuk
manisfesatasi hak penentuan nasib sendiri. Bentuk-bentuk tersebut
diantaranya adalah,
“The establishment of a sovereign and independent state, the free association or integration with an independent state or the emergence into any other political status freely determined by a people constitute modes of implementing the right of self-determination by that people.”113 Bentuk-bentuk manifestasi hak penentuan nasib sendiri di atas
adalah aspek eksternal dari hak penentuan nasib sendiri. Selain itu,
terdapat prinsip atau klausa V(7) yang mewajibkan setiap negara untuk
menghormati keutuhan wilayah negara lain, dengan pengecualian selama
negara tersebut,
“…conducting themselves in compliance with the principle of equal rights and self-determination of peoples as described above and thus possessed of a government representing the whole people belonging to the territory without a distinction as to race, creed or colour.” Interpretasi terhadap Prinsip V (7) menuai banyak perdebatan
mengenai hak pemisahan diri secara sepihak dari negara. Di satu sisi,
sarjana seperti Shaw, berpendapt bahwa klausa ini terlalu ambigu untuk
mengindikasikan diperbolehkannya pemisahan drii secara sepihak dari
negara.114 Alasan yang dikedepankan Shaw adalah karena prinsip
keutuhan wilayah yang selalu diutamakan dalam hukum internasional,
“such a major change in legal principle cannot be introduced by way of an ambiguous subordinate clause, especially when the principle of
exercised their right of self-determination in accordance with the Charter and particularly its purposes and principles.”) 113 Ibid, Prinsip V (4). 114 Shaw, “Peoples, Territorialism and Boundaries,” hlm 483.
63
territorial integrity has always been accepted and proclaimed as a core principle of international law, and is indeed placed before the qualifying clause in the provision in question.”
Selain itu, Shaw juga berpendapat bahwa kalusa tersebut
membatasi cakupan hak penentuan nasib sendiri yaitu secara internal
saja.115 Selain Shaw, Marcelo Kohen juga berpendapat bahwa klausa
tersebut tidak dibuat untuk membolehkan pemisahan diri secara sepihak
terjadi, 116
“ The Safeguard clause was originally drafted with situations such as South Africa and Rhodesia in mind. Without any intention to extend recognition to any secession rights to the majority of the South African and Zimbabwean peoples, as victims of racist regimes.”
Selain itu, Kohen berpendapat bahwa solusi dari adanya perlakuan yang
diskriminatif dan pelanggaran HAM terhadap sekelompok orang adalah
dengan merestorasikan hak mereka kembali, bukan dengan pemisahan diri
yang berdampak permanen bagi negara yang bersangkutan.
Namun disisi lain, lebih banyak sarjana dan praktik yang
menginterpretasikan sebaliknya, bahwa hak penentuan nasib sendiri juga
termasuk hak pemisahan diri secara sepihak dari negara apabila
sekelompok orang diperlakukan secara diskriminatif oleh pemerintahannya
sendiri.117 Aureliu Cristescu dalam laporannya sebagai UN Special
Rappourter on Self-Determination pada tahun 1981, mengobservasi
115Ibid,(“The clause in question authoritatively reaffirms the actual content of self determination, that it non-discrimanatory participation in government of the whole people within the territory in question.”) 116 Kohen, Op.Cit hlm 10 117 Xanthanki, “The Rights of Self-Determination: Meaning and Scope”, hlm.17
64
Bahasa yang digunakan oleh panitia perumus Declaration of Friendly
Relations 1970 dan menyimpulkan bahwa,
“The view was expressed in the Coordination Committee of the Conference that simultaneous use of the words “nations” and “peoples” seemed to introduce the right secession and that it would have been more appropriate to use only the word “peoples.”118
Selain itu, John Dugard dan David Raic yang merujuk pada panitia perumus
deklarasi tersebut mencatat bahwa perumusan klausa V(7) didasari
perdebatan hangat mengenai ada atau tidaknya hak pemisahan diri dari
negara.119 Antonio Cassese dalam analisisnya terhadap klausa tersebut
menyimpulkan bahwa, “ a racial or religious group may attempt secession,
a form of external self-determination” apabila keadaan berikut dialami oleh
kelompok orang tersebut,
“…when it is apparent that internal self-determination is absolutely beyond reach. Extreme and unremitting persecution and the lack of any reasonable prospect for peaceful challenge may make secession legitimate. A Racial or religious group may secede-thus exercising the most radical form external self-determination- once it is clear that all attempts to achieve internal self-determination have failed or are destined to fail.”120
Selain john dugard, David Raic dan Cassese, sarjana lainnya seperti
Tomuschat, Ouvergrouz, Tachindracanarievich, dan Thio, berpendapat
bahwa maksud dari klausa tersebut adalah sebagai upaya terakhir yang
118 Aureliu Cirstescu, Special Rappurter of the Sub-Commision, The Right to Self-
Determination Historial and Current Development on the Basis of United Nations Instruments, E/CN.4/Sub.2/404/Rev.1, 1981, hlm 2-3 119 John Dugard dan David Raic, “the Role of Recognition in Law and Practice of
Secession, dalam Kohen Op.Cit, hlm.104 120 Cassese, Op.Cit hlm.120
65
dapat ditempuh sekelompok orang, “ if a state is not behaving in the manner
prescribed by the friendly relations declaration, then the population having
discriminated against could give its right to self-determination recognized.”
Melanjutkan penjelasan diatas, ketika pemerintah negara telah
memperlakukan sekelompok orang secara bertentangan dari apa yang
telah diatur dalam Declaration of Friendly Relations 1970, maka negara
tersebut, “[is] acting in contradiction with this right losing the protection of its
territorial integrity to this extent.”
Melihat banyaknya sarjana yang melihat prinsip ini sebagai afirmasi
dari hak penentuan nasib sendiri, Declaration of Friendly Relations 1970
dianggap sebagai dokumen yang penting dalam suatu perkembangan
pengaturan hak penentuan nasib sendiri dan hak pemisahan diri secara
sepihak dari negara.
3) Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam Vienna Declaration
and Program of Action 1993
Deklarasi ini diadopsi secara konsensual oleh 171 negara dalam
World Conference on Human Rights yang berlangsung dari tanggal 14-23
Juni 1993. Vienna Declaration kemudian diadopsi menjadi sebuah Resolusi
Majelis Umum PBB A/RES/48/141 dengan judul High Commissioner for The
Promotion and Protection of All Human Rights.121 Dalam bagian 1(2)
dikatakan bahwa,
121 UN General Assembly, Vienna Declaration and Programme of Action, 12 Juli 1993,
A/CONF.157/23 (A/RES/48/141)
66
“ all peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development.”
Klausa tersebut dilanjutkan dengan penegasan hak penentuan nasib
sendiri bagi orang di bawah penjajahan dan juga dominasi asing.122
Kemudian dilanjutkan dengan klausa yang sangat mirip dengan Prinsip V(7)
dari Declaration of Friendly Relations, yaitu setiap negara harus
menghormati keutuhan negara lainnya,
“…in compliance with the principle of equal rights and self-determination of peoples and thus possessed of a government representing the whole people belonging to the territory without distinction of any kind.”123
Pengecualian ini kembali menandakan pandangan yang cenderung
membolehkan pemisahan diri secara sepihak dari negara, sebagai salah
satu bentuk hak penentuan nasib sendiri secara eksternal.
4) Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam The Declaration On
Occasion of the Fiftieth Anniversary of the United Nations
1995
Majelis Umum PBB mengadopsi The Declaration On Occasion of the
Fiftieth Anniversary of the United Nations atas dasar consensus semua
negara anggota Majelis Umum PBB, termasuk Palestina sebagai observan.
122 Ibid, Klausa 1(1), (“Taking into account the particular situation of peoples under colonial
or other forms of alien domination or foreign occupation, the World Conference on Human Rights recognizes the right of peoples to take any legitimate action, in accordance with the Charter of the United Nations, to realize their inalienable right of self-determination. The World Conference on Human Rights considers the denial of the right of self-determination as a violation of human rights and underlines the importance of the effective realization of this right.”) 123 Ibid.
67
Deklarasi ini menyatakan bahwa hak penentuan nasib sendiri adalah hak
asasi yang non-derogable atau tidak dapat diganggu gugat.124 Oleh karena
itu demi menghormati hak penentuan nasib sendiri setiap negara wajib
untuk,
“Continue to reaffirm the right of self-determination of all peoples, taking into account the particular situation of peoples under colonial or other forms of alien domination or foreign occupation and recognize the right of peoples to take legitimate action in accordance with the Charter of the United Nations to realize their inalienable right of self-determination”125
Kalimat dalam paragraph tersebut menunjukkan bahwa hak penentuan
nasib sendiri tidak hanya berlaku dalam konteks dekolonisasi, namun juga
“other forms of alien domination or foreign occupation.” Selanjutnya,
deklarasi ini juga menyatakan pengecualian yang sama dengan yang ada
di dalam Vienna Declaration and Programmes of Actions 1993.126
4. Keputusan Pengadilan dan Pendapat Sarjana Mengenai Hak
Menentukan Nasib Sendiri
Sumber hukum internasional terkait hak menentukan nasib sendiri
yang berikutnya berdasarkan Pasal 38(1) dari Statuta Mahkamah
Internasional adalah dari keputusan pengadilan, baik oleh Mahkamah
Internasional, tribunal atau pengadilan regional, maupun nasional. Alasan
mengapa keputusan Mahkamah Internasional merupakan sumber hukum
124 Declaration on the Occasion of the Fiftieth Anniversary of the United Nations, G.A.Res
50/6, U.N GAOR, 50th Sess, at 1, U.N Doc A/Res60/6 (1995) 125 Ibid 126 Ibid, Klausa Operatif 1 para.4
68
internasional didasari oleh Pasal 59 dari Statuta Mahkamah Internasional
yang menyatakan bahwa keputusan Mahkamah Internasional mengikat
bagi para pihak dalam sengketa yang bersangkutan.127 Meskipun tidak
mengikat sebagai hukum bagi semua negara, keputusan Mahkamah
Internasional tetap dapat memberikan petunjuk bagi kasus-kasus lainnya
yang sejenis. Terlebih, Mahkamah Internasional tidak pernah ingin
mengeluarkan keputusan yang bertentangan dengan keputusan-
keputusannya yang terdahulu sehingga keputusan Mahkamah
Internasional yang terdahulu bisa dijadikan rujukan bagi Mahkamah
Internasional untuk mengeluarkan keputusan di masa yang akan datang.
Selain itu, alasan mengapa keputusan pengadilan nasional juga termasuk
dalam cakupan keputusan pengadilan yang merupakan sumber hukum
internasional tercermin dalam Arrest Warrant Case di hadapan Mahkamah
Internasional.128 Mahkamah Internasional mengakui keputusan pengadilan
nasional Perancis dan Belgium untuk dirujuk sebagai sumber hukum
internasional.129 Dalam kasus yang kontemporer, Mahkamah Internasional
juga mengacu pada keputusan Supreme Court of Canada mengenai
Reference re Secession of Quebec dalam Accordance with International
Law of The Unilateral Declaration of Independence In Respect of Kosovo,
127 Pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional 128 Arrest Warrant of 11 April 2000 (Democratic Republic of the Congo Vs Belgium)
Keputusan, I.C.J Reports 2002 hlm.3 129 Arrest Warrant of 11 April 2000 (Democratic Republic of the Congo Vs Belgium),
Keputusan, I.C.J Reports 2002, hlm.3, para 59 (“ The Court has carefully examined State Practice, including national legislation and those few decisions of national higher courts, such as the House of Lords or the French Court of Cassation…”)
69
Advisory Opinion pada tahun 2010 yang lalu. Advisory Opinion dan
keputusan Supreme Court of Canada tersebut berkaitan erat dengan hak
pemisahan diri secara sepihak.
Advisory Opinion yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional
bukanlah termasuk ke dalam kategori keputusan pengadilan, namun
mereka adalah sumber hukum internasional yaitu sebagai pendapat para
sarjana yang telah diakui. Serupa dengan opini yang bersifat nasehat atau
Advisory Opinion, opinion terpisah (separate opinion) dan opini berbeda
(dissenting opinion) baik dalam Merits Judgment ataupun Advisory Opinion
juga dikategorikan sebagai pendapat sarjana yang diakui.130 Berikut penulis
akan jabarkan perkembangan pengaturan hak penentuan nasib sendiri dari
keputusan dan Advisory Opinion dari Mahkamah Internasional, serta
keputusan pengadilan regional.
1) Hak Penentuan Nasib Sendiri dalam Putusan Mahkamah
Internasional
a) South-West Africa Cases
Terdapat beberapa keputusan yang dikeluarkan Mahkamah
Internasional terkait kasus hak penentuan nasib sendiri South-West Africa
(kini Namibia), yang dimulai sejak tahun 1949 hingga 1971. Rentetan
keputusan ini bermula ketika South-West Africa mimiliki status non-self-
governing-territory yang hingga batas waktunya, masih dikuasai oleh
130 M.Shahabuddeen, Precedent in the World Court (Cambridge University Press, 1996)
hlm. 199-200.
70
negara mandatnya yaitu Afrika Selatan. Mengutip dari memorial, Afrika
Selatan dianggap menghambat hak penentuan nasib sendiri South West
Africa karena,
“ the Union, by word and by action in the respects set forth in Chapter VIII of this memorial, has treated the territory in a manner inconsistent with the internatiomal status of the territory and has thereby impeded opportunities for self-determination by the inhabitants of the territory; that such treatment is in violation of the Union’s obligations as stated in the first paragraph of Article 2 of the Mandate and Article 22 of the Covenant that the Union has the duty forthwith to cease the actions summarized in Section C of Chapter VIII herein, and to refrain from similar actions in the future and that the Union has the duty to accord full faith and respect to the international status of the Territory”131
Dengan demikian keputusan-keputusan ini memberikan kontribusi
terhadap hak menentukan nasib sendiri dalam konteks dekolonisasi,
namun tidak sama sekali menyentuh mengenai hak menentukan nasib
sendiri secara eksternal. Meskipun demikian keputusan-keputusan ini juga
mencatat larangan perlakuan diskriminatif negara mandate kepada
penduduknya sendiri.
b) Western Sahara Advisory Opinion
Atas permintaan Majelis Umum PBB dari Resolusi 3292 (XXIX) pada
tahun 1974, Mahkamah Internasional mengeluarkan Advisory Opinion
untuk isu hak penentuan nasib sendiri bagi penduduk sahara barat atau
disebut juga Spanish Sahara yang merupakan negara jajahan spanyol dan
diperebutkan oleh Maroko dan Mauritania. Advisory Opinion tersebut
131 South West Africa Cases ( Ethiophia v South Africa; Liberia V South Africa), Memorial
submitted by the government of Ethiophia, ICJ Reports 1966,hlm.198
71
melandaskan aturan hak menentukan nasib sendiri kepada Pasal 1 dan 55
Piagam PBB dan Declaration of Granting Independence to Colonial
Countries 1960. Majelis Umum kembali menegaskan bentuk-bentuk
manifestasi hak penentuan nasib sendiri secara eksternal yaitu,
“General Assembly resolution 1514 (XV) provided the basis for the process of decolonization which has resulted since 1960 in the creation of many states which are today Members of the United Nations. It is complernented in certain of its aspects by General Assembly Resolutions 1541 (XV), which has been invoked in the present proceedings. The latter resolution contemplates for non-self governing territories mor the one possibility, namely:
a. emergence as a sovereign independent state; b. free association with an independent state; or c. integration with an independent state At the same time, certain of its provisions give effect to the essential feature of the right of self-determination as established in resolution 1514 (XV)”132
Catatan berharga dari Advisory Opinion ini adalah ketika dinyatakan bahwa
validitas dari hak penentuan nasib sendiri digantungkan kepada dua hal,
yaitu (1) bebas dari intervensi asing dan (2) merupakan keinginan dari
pendudukan wilayah itu sendiri atau “freely expressed will of peoples”.
Mahkamah Internasional juga mencatat sepakat dengan Majelis Umum
PBB yang menyatakan bahwa referendum merupakan salah satu cara
untuk menjamin “freely expressed will of peoples” sebagai wujud
implementasi hak menentukan nasib sendirinya.
132 Western Sahara Advisory Opinion, I.C.J Rep.1975
72
c) East Timor Case
Pada tahun 1991, Mahkamah Internasional menangani kasus Timor
Timur (kini: Republik Demokratik Timor Leste) yang diajukan oleh Portugal
sebagai negara administrator Timor TImur yang kala itu memiliki status non-
self-governing-territory.133 Terkait dengan hak penentuan nasib sendiri,
Portugal menganggap bahwa Australia telah gagal untuk
“…observe the obligation to respect the duties and powers of [Portugal as] the administering Power [of East Timor].. and.. the right of the people of East Timor to self-determination and the related rights.”
Hanya saja Mahkamah Internasional tidak sampai membahas
substansi dari kasus ini, karena terhalang masalah admissibility dari kasus
ini mengingat keputusan yang dibuat akan turut menilai legalitas tindakan
negara lain (dalam hal ini Indonesia) yang bukan pihak dalam kasus a quo.
Mahkamah Internasional sempat mencatat beberapa sifat hak menentukan
nasib sendiri. Pertama, Mahkamah Internasional mencatat bahwa “ In the
Courts view, Portuga’ls assertion that the right of peoples to self-
determination as it evolved from the Charter and from United Nations
practice has an erga omnes character, is irreproachable.” Namun
Mahkamah Internasional tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan
karakter erga omnes dalam hal a quo. Kedua, mereka juga menekankan
kembali bahwa menentukan nasib sendiri merupakan sebuah hak yang
133 East Timor Case (Portugal vs Australia), I.C.J Rep.90,1995, hlm.265
73
telah dikukuhkan dalam Piagam PBB dan Yurisprudensi Mahkamah
Internasional.
2) Hak Menentukan Nasib Sendiri dalam Keputusan
Pengadilan Nasional
a) Reference re Secession Quebec 1998
Keputusan Supreme Court of Canada mengenai usaha menentukan
nasib sendiri orang-orang Quebec untuk memisahkan diri dari Kanada,
merupakan salah satu kasus yang paling berpengaruh dalam
perkembangan hukum internasional mengenai hak menentukan nasib
sendiri untuk memisahkan diri secara sepihak dari negara. Terkait hukum
internasional, Supreme Court of Canada disuguhkan pertanyaan berupa
apakah hukum internasional mengatur hak bagi National Assembly ataupun
badan legislative Kanada untuk turut serta dalam pemisahan diri orang-
orang Quebec dari Kanada. Terhadap pertanyaan tersebut, supreme court
of Canada menyimpulkan bahwa dalam hukum internasional memang
diakui dua aspek hak menentukan nasib sendiri, yaitu hak menentukan
nasib sendiri secara internal,
“ The recognized sources of international law establish that the right to self-determination of a people is normally fulfilled through internal self-determination, a people’s pursuit of its political,economic,social and cultural development within the framework of an existing state.”134
134 Reference Re Secession of Quebec,1998,hlm.218
74
Dan juga hak menentukan nasib sendiri secara eksternal, yang diberi
catatan bahwa pemisahan diri secara sepihak dari negara adalah salah satu
kemungkinannya dengan catatan bahwa hal itu hanya dilakukan dalam
kondisi yang luar biasa dan dengan nilai per kasus,
“…A right to external self-determination (which in this case potentially takes the form of the assertion of a right to unilateral secession) arises in only the most extreme cases and even then under carefully defined circumstances. External self-determination can be defined as in the following statement from the Declaration on Friendly Relations”135
Keputusan juga membawa pesan implisit dari beberapa deklarasi
internasional, dimana hak pemisahan diri secara sepihak dari negara dapat
dilakukan dalam “….when a people is blocked form the meaningful exercise
of its right to self determination internally, it is entitled as a last resort to
exersice it by secession.” Sekaligus menambahkan bahwa kesimpulan ini
dikuatkan dari The Vienna Declaration yang memberikan persyaratan
kepada pemerintah, “ that governments represent “the whole people
belonging to the territory without distinction of any kind” adds credence to
the assertion.”136
Supreme Court of Canada juga mencatat bahwa semua manifestasi
hak penentuan nasib sendiri secara eskternal ini harus dilakukan sangat
hati-hati dikarenakan adanya prinsip “territorial integrity” atau keutuhan
wilayah wajib dihormati oleh setiap negara, sebagaimana mereka di “The
135 Ibid 136 Ibid.
75
Declaration on Friendly Relations, the Vienna Declaration dan the
Declaration on the Occasion of the Fiftieth Anniversary of the United
Nations..” serta dalam Helsinki Final Act 1975. Selama masih bisa dilakukan
upaya secara internal untuk memperbaiki keadaan, maka mekanisme
internal tersebutlah yang sebaiknya dipilih oleh orang-orang Quebec.
Dalam kesimpulan keputusannya, Supreme Court of Canada
memutuskan karena “…nor it be suggested that Quebecers have been
denied meaningful acces to government to pursue their political, economic,
cultural and social development…” maka “the National Assembly, the
legislature or the government of Quebec do not enjoy a right at international
law to effect the secession of Quebec from Canada Unilaterally.”
Dengan demikian, Supreme Court of Canada mengindikasikan
bahwa hak pemisahan diri secara sepihak itu ada dan memungkinkan untuk
terjadi, namun dengan kondisi tertentu yang harus terpenuhi terlebih
dahulu. Kondisi tersebut adalah tidak cukupnya akses bagi sekelompok
orang untuk ke pemerintahan sehingga mereka tidak dapat
mengembangkan aspek politik, social, budayanya.
3) Hak Menentukan Nasib Sendiri Menurut Sarjana Yang
Telah Diakui
1. General Recommendation No.21 Convention on the
Elimination of Racial Discrimination 1996
76
General Recommendation adalah dokumen yang berisi interpretasi
resmi atas International Convention on the Elimination of Racial
Discrimination (ICERD) 1996. Dokumen ini dibuat oleh Human Rights
Committee, sebagai panitia perumus ICERD. Dalam hierarki tata urutan
sumber hukum internasional, termasuk ke dalam Pasal 38(1)(d) yaitu
pendapat sarjana yang telah diakui dan Mahkamah Internasional
mengafirmasi dalam Ahmadou Sadio Diallo Case.137 Dalam kasus itu,
Mahkamah Internasional merujuk pada dokumen hukum berupa General
Comment and General Recommendation, yang merupakan dokumen
interpretasi konvensi hak asasi manusia yang berkaitan. Mahkamah
Internasional menerima dokumen ini sebagai salah satu bentuk pendapat
para sarjana yang dapat dirujuk sebagai sumber hukum internasional.
Dalam General Comment No.21, terdapat pemisahan eksplisit
antara hak menentukan nasib sendiri secara internal, yang didefinisikan
sebagai,
“In respect of the self-determination of peoples two aspects have to be distinguished. The right to self-determination of peoples has an internal aspect, that is to say, the rights of all peoples to pursue freely their economic, social and cultural development without outside interference. In that respect there exists a link with the right of every citizen to take part in the conduct of public affairs at any level, as referred to in article 5 (c) of the international Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination”138
137 Ahmadou Sadio Diallo (Republic of Guinea vs Democratic Republic of the Congo),
I.C.J Reports 2008 138 General Reccomendation No.21 ICERD, Para.4
77
Dan di dalamnya ada kewajiban negara untuk, “..Governments are to
represent the whole population without distinction as to race, colour,
descent or national or ethnic origin.”139 Sementara hak menentukan nasib
sendiri secara eksternal,
“The external aspect of self-determination implies that all peoples have the right to determine freely their political status and their place in the international community based upon the principle of equal rights and exemplified by the liberation of peoples from colonialism and by the prohibiton to subject peoples to alien subjugation, domination and exploitation.”
Dengan demikian, General Comment No.21 berkontribusi terhadap
kejelasan mengenai adanya dua aspek dalam hak menentukan nasib
sendiri.
2. UNESCO International Conference of Experts on
Implementation of The Rights to Self-Determination as a
Contribution to Conflict Prevention 1998
Pada tahun 1998, UNESCO Division of Human Rights Democracy
and Peace mengadakan pertemuan ahli dari seluruh dunia yang
mendiskusikan mengenai hak menentukan nasib sendiri dan juga
memberikan rekomendasi untuk UNESCO terkait isu tersebut. Dalam
laporannya, konferensi ini menyimpulkan bahwa terdapat dua aspek dari
hak menentukan nasib sendiri, yaitu aspek internal dan eskternal. Hak
menentukan nasib sendiri secara internal adalah,
139 Ibid
78
“By internal self-determination is meant participatory democracy: the right to decide the form of government and the identity of rulers by the whole population of a state and the right of a population group within the state to participate in decision making at the state level. Internal Self-determination can also mean the right to exercise cultural, linguistic, religious or (territorial) political autonomy within the boundaries of the existing state.”140
Definisi ini sejalan dengan definisi hak menentukan nasib sendiri secara
internal yang diberikan oleh dokumen-dokumen hukum internasional
sebelumnya. Sementara hak menentukan nasib sendiri secara eksternal
berarti,
“By external self-determination (described by some as “full” self-determination) is meant the right to decide on the political status of a people and its place in the international community in relation to other states, including the right to separate from the existing state of which the group concerned is a part and to set up a new independent state.”141
Konferensi ini juga memberi catatan penting dalam perkembangan hak
untuk memisahkan diri negara secara sepihak, “in the broader context of
self-determination, separation or secession from the state of which a people
forms a part should be regarded as a right of last resort.”142 Konferensi ini
mengambil sikap positif akan kemungkinan sekelompok orang untuk
memisahkan diri dari negaranya, apabila hal tersebut merupakan upaya
terakhir bagi mereka.
140 United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organisation, International Meeting
of Experts for the Elucidation of the Concepts of rights of peoples, SHS-89/CONF.602/7, (22 Februari 1990),hlm.12. 141 Ibid, hlm.13 142 Ibid, hlm.16
79
B. Kedudukan Hukum Referendum Kurdistan Menurut Hukum
Internasional
Dalam referendum yang diadakan pada tanggal 25 September 2017
lalu, para pemilih Kurdistan Regional Government (KRG) pergi ke tempat
pemungutan suara untuk memutuskan apakah mereka menginginkan
sebuah negara merdeka. Dalam referendum ini, para pemilih diberikan
pertanyaan berupa : "Apakah Anda ingin wilayah Kurdistan Irak (KRI) dan
wilayah Kurdistan yang berada di luar KRI untuk menjadi negara merdeka?"
dengan jumlah pemilih sekitar 72%, lebih dari 90% para pemilih memilih
kemerdekaan.143 Penulis pertama-tama akan memberikan penjelasan
konsep referendum kemerdekaan menurut hukum internasional. Kemudian
penulis akan menganalisis keputusan KRG untuk mengadakan referendum
kemerdekaan dari kedua aspek hukum konstitusi Irak dan internasional.
1) Konsep Referendum Kemerdekaan Menurut Hukum
Internasional
Referendum merupakan pengejawantahan dari hak untuk
menentukan nasib sendiri. Self-Determination sebagai landasan
pelaksanaan referendum dapat dibagi menjadi 6 kategori berbeda menurut
Masahiro Igarashi, yaitu:
a) Anti-Colonial Self-Determination, sebuah klaim yang
dilakukan oleh penduduk yang berada dibawah kekuasaan
143 http://www.khec.krd/pdf/173082892017_english%202.pdf diakses pada senin 19 April
2018, pukul 03:50
80
kolonial atau alien domination yang berusaha untuk
memperoleh kebebasan penuh atau kekuatan politik yang
lebih banyak.
b) Sub-State Self-determination, adalah upaya sebuah
kelompok dalam suatu negara untuk mencapai tingkat
otonomi politik atau budaya yang lebih besar dalam negara
tersebut.
c) Trans-State Self-determination, sebuah klaim self-
determination yang terdapat adanya pengelompokan
terkonsentrasi dari orang-orang yang berada di lebih dari
suatu negara.
d) Self-Determination of Dispersed Peoples, sebuah klaim dari
orang-orang yang terpencar di lebih dari satu negara.
e) Indigenous Self-Determination, sebuah klaim yang dilakukan
oleh kelompok etnis yang istimewa dan sejarah yang panjang
didalam masyarakat pra-kolonial atau pra-invasi.
f) Representative Self-Determination, adalah hasil self-
determination ketika penduduk sebuah negara berusaha
untuk mengubah struktur politik dalam mendukung struktur
demokrasi yang lebih representatif.144
144 Javier J.Rua Jovet, The Fourth Option: Modern Self-determination (Revista de Derecho Puerto Riqueno,2010) hal.167-168
81
Dari ke enam kategori landasan self-determination yang digunakan
oleh KRG dalam pelaksanaan Referendum adalah Indigenous Self-
Determination.
Referendum yang diadakan untuk persetujuan pemisahan wilayah
untuk pembentukan negara baru disebut referendum kemerdekaan.
Menurut Îlker Gökhan Śen ada tiga sub-jenis, jenis pertama referendum
yang menyangkut wilayah yang tunduk pada hukum internasional tentang
dekolonisasi, Timor Timur (1999) dan referendum yang akan digelar di
Kaledonia Baru November tahun 2018 dapat dimasukkan dalam kategori
ini, Sedangkan Kurdistan merupakan “region” yang tunduk pada konstitusi
Irak.
Jenis kedua referendum yang diadakan untuk menyetujui pemisahan
wilayah, yang hukum internasional tidak secara eksplisit memberikan hak
itu. Dasar hukum formal kemudian diberikan oleh kesepakatan para pelaku
utama, yang mungkin merupakan kelompok separatis, negara pusat, dan
komunitas internasional regional atau global. Referendum yang diadakan
selama aksesi Montenegro ke kemerdekaan (2006), yang mengarah pada
kemerdekaan Sudan Selatan (2011), dan referendum kemerdekaan di
Skotlandia (2014) adalah contoh dari jenis referendum kedua ini.
Jenis ketiga referendum kemerdekaan mencakup yang secara
sepihak dipegang oleh kelompok atau wilayah yang memisahkan diri. Ciri
khas dari referendum tersebut adalah tidak adanya dasar hukum yang sah
82
atau penerimaan formal dari semua pihak dalam konflik. Contohnya
termasuk referendum yang diadakan di Quebec (1980 dan 1995) dalam
usahanya untuk memisahkan diri dari Kanada dan referendum yang
diadakan selama pembubaran Yugoslavia di awal 90-an. Dua jenis
referendum pertama termasuk dalam referendum de jure, karena mereka
diadakan sesuai dengan ketentuan hukum yang ada ( Konstitusi, perjanjian
internasional atau Resolusi PBB), referendum jenis ketiga diadakan secara
de facto sebagai strategi dalam upaya memisahkan diri, sedangkan
referendum kemerdekaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah
Kurdistan (KRG) sebagai referendum unilateral secara de facto. Baik
Konstitusi Irak, maupun hukum internasional tidak menyediakan dasar
hukum yang sah untuk referendum ini.
2) Referendum Dalam Hukum Konstitusi Irak
Pertanyaan utama dalam hal hukum konstitusi Iraq adalah : Di
bawah Konstitusi Irak, apakah KRG memiliki hak untuk memulai
referendum kemerdekaan secara sepihak? Konstitusi Irak mengatur
referendum pada tingkat nasional dan regional. KRG adalah Unit federal
disebut "region" mirip dengan “states” di Amerika Serikat , konstitusi
mengakui KRG hanya sebagai “region”.145
Di tingkat nasional, Pasal 126 membutuhkan referendum sebagai
mandat dari masyarakat untuk perubahan dalam Konstitusi. Menurut
145 Constitution of Iraq (Last Amandement 2005)
83
ketentuan ini, setiap amandemen Konstitusi harus disetujui terlebih dahulu
oleh, setidaknya, 2/3 mayoritas dari jumlah anggota Dewan Perwakilan, dan
kemudian diserahkan ke referendum nasional.146 Selain itu, amandemen
terhadap ketentuan-ketentuan yang paling mendasar, termasuk persatuan,
kemerdekaan, dan kedaulatan negara Irak, harus menjalani dua
persetujuan terpisah untuk dibuat atas dua pemilihan umum parlemen yang
terpisah dan berurutan.
Mengenai referendum regional, dapat dikelompokkan menjadi tiga
jenis. yang pertama, referendum dapat diadakan di unit federal untuk
mengadopsi bahasa lokal sebagai bahasa resmi Iraq.147 Jenis referendum
yang kedua dapat diadakan di satu atau lebih governorate untuk integrasi
mereka untuk membentuk region baru.148 Ketiga, Konstitusi memberikan
hak veto kepada “regions” dalam bentuk referendum regional, kapanpun
ada amandemen Konstitusi yang mengurangi kekuasaan “regions” demi
keuntungan pemerintah federal.149 Ada jenis referendum keempat yang
akan diadakan di Kirkuk dan "wilayah sengketa" Irak lainnya yang
ditentukan oleh Pasal 140 tetapi akan dijelaskan di paragraph selanjutnya.
Jadi menurut ketentuan-ketentuan ini, semua referendum baik nasional
maupun regional melibatkan beberapa jenis masalah konstitusional
sebagai subjek, tetapi bukan "kemerdekaan".
146 Ibid 147 Ibid,(Article 4, Alinea 5) 148 Ibid, (Article 119) 149 Ibid , (Art 126, Al.4)
84
Tentang kemerdekaan sebagai subyek referendum, pertanyaan
penting lainnya muncul di sini: Apakah Konstitusi Irak mengizinkan salah
satu unit konstituen untuk melepaskan diri? Pertama, penting untuk
mengingat prinsip territorial integrity yang melarang pemisahan diri, fitur
umum yang dapat dilihat di hampir semua konstitusi dunia. Prinsip territorial
integrity, baik yang secara eksplisit diatur atau diperoleh melalui interpretasi
konstitusional, ada di mana-mana dalam hukum konstitusional komparatif,
dan Konstitusi Irak tidak menunjukkan pengecualian.
Menurut Konstitusi, Republik Irak adalah negara "tunggal" Federal,
independen dan berdaulat penuh dan Konstitusi adalah penjamin persatuan
Irak.150 Konstitusi adalah hukum tertinggi dan tertinggi di Irak dan akan
mengikat di semua bagian Irak tanpa kecuali.151 Bahkan jika prinsip
Territorial Integrity tidak secara eksplisit ditetapkan, konsep "kesatuan
Irak", "kedaulatan penuh" dan supremasi Konstitusi atas semua wilayah
Irak, dapat berfungsi sebagai basis konstitusional yang diperlukan bagi
pemerintah federal untuk membatalkan upaya sepihak atau permintaan
pemisahan diri dari Irak. Setiap perselisihan dapat dikenakan penyelesaian
akhir oleh Mahkamah Agung Federal Irak. Situasi serupa terjadi dalam
sejarah konstitusional AS dan Kanada, di mana pengadilan federal
menggagalkan upaya pemisahan sepihak, dengan interpretasi luas dan
teologis terhadap prinsip-prinsip konstitusional umum seperti federalisme,
150 Ibid, (Art 1) 151 Ibid, (Art 13)
85
konstitusionalisme, dan demokrasi, dengan tidak adanya larangan
konstitusional secara eksplisit untuk pemisahan diri. Jadi, Konstitusi Irak
tampaknya cocok dalam kategori umum konstitusi yang melarang
pemisahan diri.
Namun, Pasal 140 memungkinkan kita berpikir sebaliknya.152 Pasal
Ini memuat kondisi awal untuk pemerintahan seluruh Irak yang secara
konstitusional kompeten di Kirkuk dan "wilayah sengketa lainnya". Ini
adalah referendum "untuk menentukan kehendak warga" dari daerah-
daerah ini. Namun, mengacu pada ketentuan ini sebagai dasar hukum
untuk referendum Kurdistan saat ini bermasalah karena dua alasan.
Pertama, pasal tersebut tidak memberikan kekuatan untuk memulai
referendum sepihak kepada pemerintah daerah. Selain itu, interpretasi
pasal a quo diartikan sebagai: memulai referendum adalah prioritas
eksekutif federal dan ini hanya boleh digunakan setelah "normalisasi" dan
"sensus" di daerah yang relevan. Tenggat waktu yang ditetapkan oleh
Konstitusi (31 Desember 2007) dapat dianggap sebagai hanya indikatif dan
pengesahan batas waktu ini tidak secara otomatis memberi hak kepada
daerah untuk memisahkan diri. Kedua, artikel tidak secara eksplisit
mengartikulasikan kata-kata "pemisahan" atau "kemerdekaan". Jadi, ketika
kita membaca artikel 1, 13 dan 140, "kehendak bebas warga negara"
152 Ibid, (Art 140, The Responsibility placed upon the executive branch of the Iraqi
Transitional Government stipulated in Article 58 of the Transitional Administrative Law shall extend and continue to the executive authority elected in accordance with this Constitution, provided that it accomplishes completely (normalization and census and concludes with a referendum in kirkuk and other disputed territories to determine the will of their citizens), by a date not to exceed the 31st of December 2007.
86
memenuhi batas yang ditetapkan oleh Konstitusi dan itu menghalangi
pemisahan sepihak. Salah satu argumen hukum yang dipegang oleh KRG
ketika menyuarakan dirinya hak untuk memulai referendum kemerdekaan
adalah peraturan pembagian kekuasaan federal / regional.
Menurut KRG, Konstitusi menyebutkan kekuasaan federal secara
mendalam, sedangkan kekuatan regional bersifat residu. Seperti klaim
KRG, kompetensi untuk melarang referendum regional mengenai masalah
apa pun tidak terdaftar sebagai kekuatan pemerintah federal, sehingga
KRG dapat mengadakan referendum tentang kemerdekaan.
Sebaliknya, dalam konstitusi yang rigit, keputusan yang bersifat
konstitusional harus diambil dengan mengikuti jalur yang diatur secara
konstitusional, termasuk masukan oleh pemerintah federal dan persetujuan
untuk diberikan oleh seluruh rakyat Irak dalam referendum nasional sesuai
dengan pasal 126 Konstitusi Irak.
3) Hak Melepaskan Diri Menurut Hukum Internasional
Pertama-tama kita harus membahas hak untuk menentukan nasib
sendiri dalam hukum internasional dan mempertimbangkan di mana
menempatkan masalah Kurdi dalam kerangka ini. Sifat hukum dari hak
untuk menentukan nasib sendiri, dan apakah hak ini secara otomatis
memerlukan hak untuk memisahkan diri, dapat dijelaskan, dengan
mengingat masalah dekolonisasi.
Hukum internasional menganugerahkan hak tanpa syarat untuk
melepaskan diri dan menciptakan negara merdeka hanya di wilayah yang
87
sebelumnya dijajah. Daerah-daerah ini ditentukan sesuai dengan
peraturan-peraturan tentang dekolonisasi, dan kerangka hukum yang
relevan dapat berasal dari Bab XI, XII dan XIII dari Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang mengatur Sistem Perwalian Internasional dan
wilayah-wilayah non-self-governing-territory. Juga, ada resolusi Majelis
Umum 1514 dan 1541 yang lebih memperjelas sifat hukum dari wilayah
non-self-governing-territory. Sampai saat ini, ada sekitar dua juta orang
yang tinggal di 17 wilayah berbeda yang tidak berpemerintahan sendiri.
(Misalnya Western Sahara, Kaledonia Baru, dan Guam).153
Namun, KRG tidak termasuk dalam kategori ini. Jadi, kita harus
mempertimbangkan hak untuk memisahkan diri untuk daerah yang berada
di luar konteks dekolonisasi. Sifat hukum dari hak untuk menentukan nasib
sendiri bagi daerah-daerah yang tidak tunduk pada peraturan dekolonisasi
masih kontroversial, bisa kita lihat dari beberapa dokumen hukum
internasional dan praktik-praktik negara yang tidak ada hak mutlak untuk
memisahkan suatu wilayah atas inisiatif dan kehendak murni mereka,
namun juga tidak ada larangan tegas memisahkan diri dalam hukum
internasional.
Sebaliknya, komunitas internasional lebih memilih untuk mengambil
sikap wait and see sampai para aktor separatis mendapatkan kendali penuh
atas wilayah itu dan tindakan pemisahan diri telah terbukti tidak dapat
153 http://www.un.org/en/decolonization/workingpapers.shtml diakses pada Senin 16 April
2018, pukul 03:00
88
diubah. Inilah yang terjadi, misalnya, selama pembubaran Yugoslavia.
Komisi Badinter (badan perwakilan yang bertindak atas nama negara-
negara Komisi Eropa di Yugoslavia) meminta referendum untuk pengakuan
Slovenia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, dan Macedonia oleh Komunitas
Eropa. Perlu dicatat di sini bahwa pembubaran sudah berlangsung dan
referendum hanya digunakan untuk memberi stempel pada proses
pembubaran yang tak terelakkan dan secara de facto.
Dengan tidak adanya kepastian dalam hukum internasional tentang
pemisahan diri, opini publik dalam komunitas internasional dan hubungan
kekuasaan regional dan global menentukan proses penciptaan negara-
negara baru.154 Dalam konteks hukum internasional, referendum sepihak
dapat berupa:
1) referendum tanpa dasar hukum eksplisit dalam hukum internasional,
yang dapat berupa perjanjian internasional atau tindakan organisasi
internasional
2) referendum yang bertentangan dengan persyaratan eksplisit dari
komunitas internasional.155
Bukti sejarah menunjukkan bahwa referendum sepihak seperti itu
selalu tidak meyakinkan. Pengalaman pasca-komunis dapat ditarik kembali.
Selama proses pembubaran Yugoslavia dan Uni Soviet, pengakuan
154 James Crawford, The Creation of States in International Law 2nd Edition, Oxford
University Press, Oxford, 2006. 155 Îlker Gökhan Śen, On Legal Aspects of the Independence Referendum of Iraqi
Kurdistan, VerfBlog, 2017/9/28
89
internasional untuk kemerdekaan hanya diberikan kepada republik
konstituen tituler Uni Soviet atau negara bagian di Ex-Yugoslavia, dan
pemisahan selanjutnya dari negara-negara yang baru diakui ini dilarang.
Referendum kemerdekaan yang diadakan di wilayah-wilayah ini semuanya
dinyatakan tidak sah oleh komunitas internasional atau oleh negara-negara
pusat. Contohnya adalah sebagai berikut: Abkhazia (1999) dan Ossetia
Selatan (2007) dari Georgia, Nagorno-Karabakh (1991) dari Azerbaijan,
Transnistria (2006) dari Moldova. 156
Irak tidak dalam proses pembubaran, seperti kasus Uni Soviet dan
Yugoslavia, meskipun semua kekacauan telah dihadapi, Irak adalah negara
berdaulat dan merdeka dan anggota PBB sejak 1946. Namun, negara ini
berada di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya
Dewan Keamanan. Misi Bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Irak
United Nations Assistance Mission for Iraq (UNAMI), yang dimandatkan
oleh Dewan Keamanan, telah aktif bekerja di Irak sejak tahun 2003.157
Mandatnya, termasuk antara lain untuk: "Menyarankan dukungan dan
membantu Pemerintah Irak dalam peninjauan konstitusional dan
pelaksanaan ketentuan konstitusi , serta pada pengembangan proses yang
dapat diterima oleh Pemerintah Irak untuk menyelesaikan batas internal
yang disengketakan”.158
156 Ibid 157 UNAMI Mandate, United Nations Iraq, 14 July 2017 158 Ibid
90
Reaksi masyarakat internasional terhadap referendum
kemerdekaan ini tidak akomodatif. Menyusul keputusan KRG untuk
mengadakan referendum, UNAMI secara terbuka menyatakan bahwa,
“tidak akan terlibat dalam cara atau bentuk apa pun dalam referendum”.159
Kekuatan global seperti Jerman, Federasi Rusia dan Amerika Serikat
menegaskan kembali dukungan mereka untuk kesatuan dan integritas
teritorial Irak dan menekankan perlunya dialog dalam kerangka Konstitusi
Irak.
Menteri Luar Negeri Inggris mencatat bahwa referendum itu harus
terlebih dahulu disetujui oleh Pemerintah federal dan memperingatkan
bahwa langkah sepihak menuju kemerdekaan akan membahayakan
wilayah Kurdistan Irak dan stabilitas regional. Pada 19 Juni 2017, Dewan
Urusan Luar Negeri Uni Eropa mengeluarkan pernyataan yang
menekankan bahwa langkah-langkah sepihak harus dihindari dan bahwa
semua pertanyaan terbuka harus diselesaikan melalui posisi konsensual
berdasarkan pada penerapan penuh ketentuan Konstitusi Irak. Uni Eropa
juga meminta Pemerintah federal dan Pemerintah Daerah Kurdistan untuk
terlibat dalam dialog tentang semua masalah di seluruh spektrum politik dan
ekonomi, termasuk batas internal yang disengketakan. Sekretaris Jenderal
PBB berkomentar: “Langkah-langkah sepihak, terutama yang tidak sesuai
dengan Konstitusi dan undang-undang Irak dan wilayah Kurdistan Irak,
159 Report of the Secretary General pursuant to resolution 2299 (2016), UN Security
Council, 11 July 2017
91
akan meningkatkan situasi dan menyebabkan ketegangan dan krisis, serta
menciptakan kondisi untuk munculnya kembali kelompok ekstremis
kekerasan”. 160
Singkatnya, komunitas internasional menentang pemisahan wilayah
Kurdistan dari seluruh Irak dan skeptis mengenai referendum yang
diadakan untuk tujuan ini. Referendum semacam itu untuk tujuan ini
mungkin akan dianggap tidak sah dalam hukum internasional. Penulis
cukup yakin untuk menyimpulkan bahwa referendum kemerdekaan yang
diadakan di Wilayah Kurdistan Irak pada 25 September 2017 secara hukum
tidak berdasar, baik dalam hal Konstitusi Irak dan hukum internasional. Ini
mungkin tidak diambil sebagai elemen prosedural yang sah secara hukum
di jalur yang mungkin direncanakan dari KRG untuk memisahkan diri
nantinya. Walaupun hasilnya tidak mengikat, hasil dari referendum ini tidak
dapat disebut sebagai kehendak orang-orang di wilayah tersebut.
Khususnya karena sifat referendum ini yang terburu-buru dan sepihak, di
wilayah yang dirundung konflik, menimbulkan keraguan serius mengenai
keadilan dan keakuratan suara.
160 Ibid
92
BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan
1) Konsep hak menentukan nasib sendiri awalnya merupakan
sebuah prinsip politik yang kemudian berkembang menjadi
sebuah hak dalam UN Charter. Hak menentukan nasib sendiri
yang dikenal saat itu diantaranya adalah hak untuk mendirikan
negara berdaulat. Hak yang awalnya dilatar belakangi oleh
proses Dekolonisasi berkembang menjadi hak yang dimiliki
setiap orang dalam negaranya sendiri, yang kemudian disebut
menjadi hak menentukan nasib sendiri secara internal. Diluar
dari konteks dekolonisasi yaitu suatu kelompok separatis yang
menggunakan hak menentukan nasib sendiri tidak dapat
dibenarkan karena bertentangan dengan prinsip territorial
ingegrity
2) Referendum sepihak yang diadakan oleh Kurdistan Regional
Government tidak memiliki dasar hukum yang jelas baik dari
Konstitusi Irak maupun Hukum Internasional karena tidak
memenuhi persyaratan dan tidak ada negara yang mengakui
dan mendukung akan referendum Kurdistan.
93
2. Saran
1) Pembentukan Special Rappourteur untuk menyelidiki isu ini di
berbagai kawasan. Untuk melakukan penyelidikan dan observasi di
kawasan yang berpeluang untuk terjadi pelanggaran HAM dan
mengalami diskriminasi.
2) Hak penetuan nasib sendiri yang digunakan oleh sekelompok
individu dalam suatu wilayah untuk memerdekaan diri tidaklah salah dan
tidak sepenuhnya benar. Namun penggunaanya harus menjadi upaya
terakhir dan harus dilaksanakan dengan peraturan yang sudah diatur dalam
hukum internasional.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adolf,Huala,2002.Aspek-aspek Negara DalamHukumInternasionalEdisiRevisi, PT.RajaGrafindoPersada,Jakarta
Akehurst, Michael.1997.Modern Introduction to International Law ,Routledge
Bossuyt, M.j.1987.Guide to the “TravauxPrepatories” of the International Covenant on Civil and Political Rights, MartinusNijhoff Publishers.
Cassese, Antonio.1995.Self-Determination and Peoples; A legal Reappraisal. Cambridge University Press . Cambridge
Condé, H.Victor,1999. A Handbook of International Human Rights Terminology , Nebraska: University of Nebraska Press,
Dinstein,Yoram,1976.Collective Human Right of Peoples and Minorities. 25 International and Comparative Law Quarterly,
Jahawir,ThontowidanPranoto Iskandar. 2006 HukumInternasionalKontemporer. PT.
RefikaAditama: Bandung.
Mauna,Boer.HukumInternasional: PengertianPeranandanFungsidalam Era Dinamika Global.Bandung.Alumni.2015.
Manuputty,Alma.2008.dkk. HukumInternasional. Rech-ta. Depok:
Nasution,AdnanBuyung., A. Patra M. zen. 2006. InstrumenInternasionalPokokHak-
hakAsasiManusia. Edisi ke-2. YayasanObor Indonesia. Jakarta
Kohen, Marcelo G.2006.Secession: International Law Perspectives. Cambridge University Press. Cambridge
Simorangkir,JCT, dkk.2009.KamusHukum. SinarGrafika. Jakarta
Sefriani,HukumInternasionalsuatupengantar.Jakarta.Rajawali Press, (2009).
MichlaPomerance, Self Determination in Law and practice: the new doctrine in the United Nations,MartinusNijhoff Publishers, The Hague,1982
Starke,J.G.2012.Pengantar hukuminternasional.SinarGrafika. Jakarta
Theu, Bright.2009.The Law of Self-Determination (Secession In Perspective): Way Forward After Kosovo and Southern Sudan. Makerere
Thornberry, P.1989.“Self determination, Minorities, Humman Rights.: A review of
International Instruments”, (International and Comparative Law Qurterly,
MartinusNijhoff Publishers.
DOKUMEN HUKUM
United Nation Charter
International Covenant on Civil and Political Rights, UNGA 12 Res.2200 A (XXI). UN Doc. A/6316 (1966), 16 December 1996.
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. UNGA Res.2200 A (XXI). 16 Desember 1966
UN General Assembly. Declaration on Granting of Independence to Colonial Countries and People. GA Resolution 1514. UN GAOR Comm. Sess. Supp. No. 21. UN Doc. A/4684 (1960)
Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co-operation Among States in Accordance with the Charter of the United Nations. GA Resolution 2625
Decision of the Supreme Court of Canada, Concerning Certain Questions Relating to the Secession of Quebec from Canada, tanggal 30 September 1996
Conference on Security and Cooperation in Europe. Helsinki Final Act. I.L.M 1292.
Montevideo Convention on Rights and Duties of States 1933
United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organisation, International Meeting of Experts for the Elucidation of the Concepts of Rights of Peoples,SHS-89/CONF.602/7(22 Februari 1990) UU No,5 Tahun 1985 tentang Referendum Pasal 1 South West Africa Cases, (Ethiophia. v. South Africa; Liberia. v. South Africa) 1960 I.C.J East Timor Case (Portugal v Australia), I.C.J 1995 ARTIKEL & WEBSITE
RafikaNur, Pengaturan Self Determination DalamHukumInternasional (StudiKemerdekaan Kosovo), JurnalHukumInternasional, Vol.I No.1 (Juli 2013)
Gerry J. Simpsons, “The Diffusion of Sovereignty: Self-Determination in the Post-Colonial Age”,32 Standford Journal of International law 1996
Sulaiman, Hakmenentukannasibsendiridalamkerangkapersatuandankesatuanbangsa Indonesia. Malaysian Journal of Law and Society No.4 2008
Y.S.Ali Nora For Better or For Worse? The Force Marrigae of Sovereignty and Self- Determintaion”, Cornell Law SchoolVol.47 No.2 (Spring 2014)
Iraqi Kurdistan Independence Referendum 2017
https://id.wikipedia.org/wiki/Referendum_kemerdekaan_Kurdistan_Irak_2017#cite_n
ote-Rudaw.net-1
Usai Referendum 3 Negara iniIsolasi Kurdistan Irak
http://global.liputan6.com/read/3114048/usai-referendum-3-negara-ini-isolasi-
kurdistan-irak
http://www.negarahukum.com/hukum/pengakuan-negara-baru-teori-teori-
pengakuan.html(Diakses 27 Januari 2018 jam. 04:59 WITA)
Yves Beigbeder “Referendum”
http://opil.ouplaw.com/view/10.1093/law:epil/9780199231690/law-9780199231690-
e1088diaksespada 3 Februari 2018 : 00:29
Karen Parker, “Understanding Self Determination: The Basics”
http://www.humanlaw.org/determination.htmldiaksespada 3 februari 2018: 00:35
Hasil Referendum
Catalunyahttp://www.govern.cat/pres_gov/govern/ca/monografics/303541/govern-
trasllada-resultats-definitius-referendum-l1-doctubre-parlament-
catalunya.htmldiaksespada 6 februari 2018: 00:59
Sejarah Kurdistan
https://thekurdishproject.org/history-and-culture/kurdish-history/diakses padatanggal 7 Februari2018 : 01:18