S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf
Transcript of S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf
UNIVERSITAS INDONESIA
PREVALENSI DAN DETERMINAN HIPERTENSI DI
POSYANDU LANSIA WILAYAH KECAMATAN PASAR
REBO JAKARTA TIMUR TAHUN 2010
SKRIPSI
FEMMY IMELIA PICAL
0706165671
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT
DEPOK
JUNI 2011
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
UNIVERSITAS INDONESIA
PREVALENSI DAN DETERMINAN HIPERTENSI DI
POSYANDU LANSIA WILAYAH KECAMATAN PASAR
REBO JAKARTA TIMUR TAHUN 2010
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana kesehatan masyarakat
FEMMY IMELIA PICAL
0706165671
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
DEPOK
JUNI 2011
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
iv
KATA PENGANTAR
Segala Puji, Hormat, dan Kemuliaan hanya bagi Tuhan Yesus Kristus
sumber segala hikmat, kekuatan, dan pengharapan sehingga hanya oleh
anugerahnya peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul
“Prevalensi dan Determinan Hipertensi Di Posyandu Lansia Kecamatan Pasar
Rebo Jakarta Timur Tahhun 2010”.
Pada kesempatan ini, perkenankanlah peneliti menyampaikan terima kasih
sebagai penghargaan dan rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Nasrin Kodim, MPH selaku pembimbing akademik
yang dengan kesabaran membimbing, mengarahkan, dan memberikan
inspirasi, saran dan kritik yang membangun, serta senantiasa mendorong
untuk memiliki rasa percaya diri selama proses penyusunan hingga
selesainya skripsi ini.
2. Ibu dr. Helda, M.Kes selaku tim penguji I yang telah menyediakan waktu
dan pemikiran menjadi penguji skripsi ini serta atas setiap saran dan kritik
yang membangun demi mendapatkan hasil yang lebih baik
3. Bapak Suprono, SKM dari Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta, selaku
tim penguji II atas kesedian menjadi tim penguji serta atas setiap saran dan
kritik yang berarti demi perbaikan skripsi ini.
4. Kepala Suku Dinas Jakarta Timur, atas bantuan dan perijinan pelaksanaan
penelitian di wilayah Pasar Rebo Jakarta Timur.
5. Kepala Puskesmas baik di tingkat kecamatan maupun tingkat kelurahan
Pasar Rebo, atas dukungan dan kerjasamanya sehingga penelitian ini dapat
dilakukan diwilayah kerja puskesmas Pasar Rebo.
6. Bapak Sarjono dan Ibu Tri dari Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo yang
telah memberikan dukungan, bantuan, serta masukan selama proses
penyusun skripsi.
7. Ibu Nila, Ibu Rini, Ibu Monita, Ibu Cut, dari pihak puskesmas kelurahan
bagian lansia, atas bantuan dan dukungannya selama proses pengambilan
data sehingga dapat menghasilkan skripsi ini.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
v
8. Para lansia dan kader lansia terutama ibu Ana, yang telah membimbing, dan
memberi semangat serta berbagi pengalaman untuk terlibat dalam di
Posyandu lansia Cijantung RW 10. Terima kasih atas setiap kebaikan hati
ibu kepada saya dan juga untuk setiap kaum lansia yang ibu layani. Kiranya
Tuhan senatiasa memberkati Ibu dan keluarga.
9. Keluarga besar KOPMA FKM UI, khususnya ka Sistha, ka Budi, ka
Waway, mba Ewi, Ka Dara, ka Ridwan, ka Nano, Nourma, Gumanti, serta
mas rahman, atas kebersamaan dan pengalaman, serta dukungan moril yang
diberikan.
10. Bapak/Ibu karyawan Perpustakaan FKM UI, secara khusus kepada Pak
Rahman dan Pak Sukisno. Terima kasih atas keramahan dan semangat serta
kesabarannya selama mencari literatur skripsi di perpustakaan.
11. Sdri. Rossa Nanda a.k. Ocha (Epid’07), atas bantuannya meminjamkan HP
CDMA. Mohon maaf karena waktu pengembalian yang cukup lama.
Kiranya Tuhan Memberkati Ocha dan Keluarga.
12. Rekan-rekan Prakesmas Epid kelompok PHBS yaitu Aziza Irfa, Yoli
Farradika, Dheni Fidiyah Fika, Mailisafitri, Wulan Sari, Doni Sumitro, atas
kekompakan, dukungan dan pengalaman berharga yang dilalui bersama
selama prakesmas hingga penyelesaian skripsi ini.
13. Saudara-saudariku seiman keluarga besar POSA FKM UI dari berbagai
angkatan, atas semangat, penghiburan, penguatan, terlebih dukungan doa
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Khususnya, Eva (MRS’08) atas
bantuan printernya. God Bless you dek.
14. Yan (FT UP’07) rekan sepelayanku di PMKJ, atas doa dan setiap ayat-ayat
penguatan yang dikirimkan via SMS sehingga menjadi kekuatan dan
mengingatkan untuk berserah pada Tuhan.
15. Kelompok Kecil Kak Herdi, bersama Theovani dan Dian Natalia TKKku.
Atas dukungan, saran, penguatan, doa bersama sehingga selalu ada kekuatan
baru untuk menyelesaikan skripsi ini.
16. Kelompok Kecilku, bersama 4 orang AKKku yaitu Claudia Ester,
Englelina, Christabel, dan Gresia. Terima kasih atas dukungan semangat,
ayat-ayat penguatan, serta dukungan doa sehingga dimampukan untuk
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
vi
menyelesaikan skripsi ini dan kiranya tetap diberikan kesempatan untuk
bertumbuh bersama dalam Tuhan.
17. Sahabatku terkasih, Stevy E.D Simamora, Elizabeth S, Lena Elfrida, Ruth
Lusiana Simanjuntak, Sandra Yossi, Erma Sophia atas setiap penguatan,
bantuan dan doa serta canda tawa yang diberikan selama menjalani setiap
tantangan dan masa-masa krisis dalam penyusunan skripsi ini.
18. Rekan-rekan sepelayananku di POSA FKM UI: angkatan 2006 (ka Cindy,
ka Romauli, kak Pariama Nova, Ka Meggi) angkatan 2008: Amanda
Gracelia, Theresia, Ema, Kiki, Herlin, Vero, Icha, atas dukungan doa dan
penguatan yang diberikan. Terima kasih juga telah melayani dan bertumbuh
bersama dalam Kasih Tuhan.
19. Kak Irena Anastasia Banjarnahor, selaku pendoa syafaatku, atas setiap
dukungan dan doa yang luar biasa sehingga selalu ada kekuatan baru yang
dialami sehingga tetap mampu melihat bahwa rencana Tuhan selalu indah
pada waktu-Nya. Kiranya Tuhan memberkati dan menjadi berkat orang lain
dimanapun Tuhan tempatkan.
20. Papa dan Mama tercinta, atas didikan, kasih sayang, kesabaran, kerja keras,
serta dukungan doa yang luar biasa. Terima kasih telah merelakan putri
keduamu ini untuk menempuh pendidikan yang terbaik meskipun harus
terpisah jauh selama beberapa waktu lamanya. Sukacita terbesar apabila
melihat mama dan papa dapat berbangga hati dan bersukacita atas hal kecil
yang dapat saya berikan ini. Kiranya Tuhan senantiasa memberi umur
panjang dan kesehatan untuk dapat membahagiakan papa dan mama
tercinta.
21. Saudara-saudariku tercinta, kakakku Rizkia Felisanny Pical, atas doa yang
luar biasa serta sokongan dananya . adik-adikku Alfian Pical, dan Sherwin
Pical. Terima kasih atas doa-doanya. Sangat mengucap syukur memiliki
kalian semua.
Akhir kata, kiranya Tuhan yang Maha Esa senantiasa memberkati dan
membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini
membawa manfaat bagi pengembangan ilmu kesehatan masyarakat.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
vii
Manusia begitu terbatas, tetapi Allah tiada terbatas. Hal yang tidak mungkin
bagi manusia, mungkin bagi Allah.
Filipi 4:13 “Segala Perkara dapat ku tanggung di dalam Dia yang
memberi kekuatan kepadaku”
Sepenggal bait lagu ini kiranya dapat menjadi inspirasi dalam melalui
masa-masa yang penuh tantangan. Saya dedikasikan bagi setiap orang yang berani
bermimpi besar, percaya akan mimpinya, dan punya niat untuk mewujudkannya.
(Dream, Believe, and Make it Happen” _AM)
Segala perkaraku, kuserahkan pada-Mu, Allah pembelaku
Segala kuatirku, ku taruh di kaki-Mu, Allah pemeliharaku
Bila Kau yang membuka pintu, tiada satupun dapat menutupnya
Bila Kau yang mengangkat aku, tiada yang dapat merendahkanku.
_Maria Shandy_
Depok, 23 Juni 2011
(Femmy Imelia Pical)
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
ix Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Femmy Imelia Pical
Program Studi : Sarjana Kesehatan Masyarakat
Judul : Prevalensi dan Determinan Hipertensi di Posyandu Lansia
Wilayah Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur Tahun 2010
(xvi + 87 halaman, 25 tabel + 3 gambar, 3 lampiran)
Populasi lanjut usia di Indonesia semakin meningkat. Kenaikan hipertensi
sejalan dengan pertambahan usia. Hipertensi merupakan faktor risiko utama
penyakit kardiovaskuler. Sekitar 50% kejadian kardiovaskuler di sebabkan oleh
hipertensi. lansia merupakan kelompok rentan terhadap hipertensi. Prevalensi
hipertensi pada lansia di Indonesia cukup tinggi diperkirakan sekitar 20-30%. Di
puskesmas kecamatan Pasar Rebo hipertensi menempati urutan pertama dari 10
penyakit terbanyak yang diderita oleh lansia selama tahun 2009-2010. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan determinan hipertensi di posyandu
lansia. Desain penelitiannya adalah cross sectional melalui obsevasi data sekunder
hasil pemeriksaan kesehatan di 10 posyandu lansia pada bulan Desember 2010,
berjumlah 270 responden. Hasil penelitian didapatkan prevalensi hipertensi
sebesar 48,9%. Kejadian hipertensi cukup tinggi pada lansia yang tinggal di
wilayah kelurahan Pekayon yaitu sebesar 55,4%, berumur 70 tahun ke atas yaitu
sebesar 65,4%, berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 67,5%, mengalami
kegemukan (58,8%), ada gangguan mental/emosional (58,5%), serta mengidap
penyakit diabetes Mellitus (68,8%). Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan
yang bermakna antara umur, jenis kelamin, dan kegemukan terhadap kejadian
hipertensi (p=≤0,05). Sedangkan pada variabel gangguan emosional dan riwayat
penyakit DM tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik. Upaya
pengontrolan berat badan lansi perlu dilakukan untuk menurunkan kejadian
hipertensi.
Kata Kunci : Hipertensi, lanjut usia
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
x Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Femmy Imelia Pical
Study : Bachelor Degree Of Public Health
Title : Prevalence and Determinants Of Hypertension In Elderly Health
Care Pasar Rebo District East Jakarta 2010
(xvi + 87 pages, 25 table + 3 picture, 3 appendix)
The population of elderly in Indonesia was increased. As known,
hypertesion would be increased by age. Hypertension is a major risk factor for
cardiovascular disease. About 50% of cardiovascular disease caused by hypertion.
Elderly is very potential to become hypertension. Prevalence hypertension of
elderly in indonesian estimated about 20-30%. In health center of Pasar Rebo
distric, hypertion was number one of ten most disease suffered by elderly during
2009-2010. There is an urgent need to gather information about prevalence and
various blood pressure risk factors in elderly health care. This study using cross
sectional methodology by observation secondary data of elderly health status
from 10 elderly health care in Pasar Rebo district, Desember 2010. The purpose
of this study was to investigate prevalence and determinants of hypertension in
elderly care. The total of responden was 270 elderly. The result of this study
showed that prevalence hypertion is about 48,9%. Hypertension was high in the
elderly who live in Pekayon (57%), in the age group more than 70 years old
(65,4%), male sex that is about 67.5%, with overweight (58, 8%), with mental
/emotional disorder (58.5%), and with diabetes mellitus (68.8%). Statistical test
results also showed that there is significant relationship between age, gender, and
overweigth with hypertension. While the variable of mental/emotional disorder
and history of DM disease has no significant relationship. Controling of body
mass index for elderly is recommended to decrease hypertension.
Key Words : Hypertension, elderly
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
xi Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................... viii
ABSTRAK ................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 4
1.3 Pertanyaan Penelitian .............................................................................. 5
1.4 Tujuan Penelitin ...................................................................................... 6
1.4.1 Tujuan Umum ...................................................................................... 6
1.4.2 Tujuan Khusus ..................................................................................... 6
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................. 7
1.6 Ruang Lingkup ....................................................................................... 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi ............................................................................................... 8
2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Hipertensi ................................................. 8
2.1.2 Jenis-jenis Hipertensi ...................................................................... 10
2.2 Diagnosis Hipertensi .............................................................................. 10
2.2.1 Cara Pengukuran Tekanan Darah .................................................... 11
2.2.2 Gejala Klinis .................................................................................. 12
2.3 Patofisiologi Hipertensi .......................................................................... 12
2.4 Komplikasi Hipertensi............................................................................ 14
2.5 Penanganan Hipertensi ............................................................................ 15
2.5.1 Hipertensi Ringan ........................................................................... 15
2.5.2 Hipertensi Sedang dan Berat ........................................................... 17
2.5.3 Terapi Farmakologis ....................................................................... 18
2.6 Prevalensi Hipertensi.............................................................................. 20
2.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Hipertensi .......................... 21
2.7.1 Umur .............................................................................................. 21
2.7.2 Jenis Kelamin ................................................................................. 22
2.7.3 Keturunan/Genetik ......................................................................... 23
2.7.4 Ras/Suku ........................................................................................ 23
2.7.5 Status Sosioekonomi ...................................................................... 23
2.7.6 Faktor Lingkungan ........................................................................ 24
2.7.7 Aktivitas Fisik ................................................................................ 24
2.7.8 Kebiasaan Merokok ........................................................................ 25
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
xii Universitas Indonesia
2.7.9 Konsumsi Lemak Jenuh ................................................................. 26
2.7.10 Konsumsi Garam ......................................................................... 26
2.7.11 Gangguan Mental/Emosional ....................................................... 27
2.7.12 Gizi Lebih (Kegemukan/Obesitas) .............................................. 28
2.7.13 Diabetes Mellitus ......................................................................... 29
2.8 Definisi Lanjut Usia ................................................................................ 29
2.8.1 Proses Penuaan ............................................................................... 31
2.8.2 Masalah Lanjut Usia di Indoensia ................................................... 32
2.8.3 Hipertensi pada Lanjut Usia............................................................ 34
2.9 Posyandu Lansia .................................................................................... 34
2.9.1 Tujuan Posyandu Lansia ................................................................. 35
2.9.2 Mekanisme Pelayanan Posyandu Lansia ......................................... 35
2.9.3 Bentuk Pelayanan Posyandu Lansia ................................................ 36
BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, &
DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Teori ....................................................................................... 37
3.2 Kerangka Konsep .................................................................................... 38
3.3 Hipotesis ................................................................................................. 39
3.4 Definisi Operasional................................................................................ 40
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian .................................................................................... 45
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................. 45
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................... 45
4.3.1 Populasi.......................................................................................... 45
4.3.2 Sampel ........................................................................................... 45
4.3.3 Kriteria Inklusi dan Ekslusi ............................................................ 46
4.3.3.1 Kriteria Inklusi .................................................................... 46
4.3.3.2 Kriteria Ekslusi .................................................................... 46
4.3.3.3 Besar Sampel ....................................................................... 46
4.4 Teknik Pengumulan Data ........................................................................ 47
4.4.1 Sumber Data ................................................................................... 47
4.4.2 Cara Pengambilan Data .................................................................. 48
4.5 Manajemen Data ..................................................................................... 48
4.6 Analisis Univariat ................................................................................... 48
4.7 Analisis Bivariat...................................................................................... 49
BAB 5 HASIL PENELITIAN
5.1. Gambaran Umum ................................................................................... 51
5.1.1 Data Sosioekonomi ........................................................................ 52
5.1.2 Pembinaan Kesehatan di Posyandu Lansia ..................................... 52
5.2 Prevalensi Hipertensi .............................................................................. 53
5.2.1 Wilayah Kelurahan ........................................................................ 54
5.2.2 Umur ............................................................................................. 54
5.2.3 Jenis Kelamin ............................................................................... 55
5.2.4 Kegemukan ................................................................................... 55
5.2.5 Gangguan Mental/emosional ......................................................... 55
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
xiii Universitas Indonesia
5.2.6 Riwayat Penyakit Diabetes Mellitus (DM) ..................................... 56
5.3 Analisis Univariat ................................................................................... 56
5.4 Analisis Bivariat...................................................................................... 57
5.4.1 Hubungan Hipertensi Dengan Faktor-Faktor Risiko....................... 57
5.4.1.1 Kelurahan (Tempat Tinggal) .............................................. 58
5.4.1.2 Umur ................................................................................. 58
5.4.1.3 Jenis Kelamin .................................................................... 59
5.4.1.4 Kegemukan ........................................................................ 59
5.4.1.5 Gangguan Mental/Emosional ............................................. 60
5.4.1.6 Penyakit Diabetes Mellitus (DM) ....................................... 60
BAB 6 PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian ........................................................................... 61
6.1.1 Metode penelitian .......................................................................... 61
6.1.2 Variabel penelitian ........................................................................ 61
6.1.3 Kualitas data .................................................................................. 62
6.2 Gambaran Posyandu Lansia .................................................................... 63
6.3 Gambaran Hipertensi .............................................................................. 64
6.4 Faktor-faktror yang Berhubungan dengan kejadian Hipertensi pada
Lansia ..................................................................................................... 66
6.4.1 Kelurahan (Tempat Tinggal) .......................................................... 66
6.4.2 Umur ............................................................................................. 68
6.4.3 Jenis Kelamin ................................................................................ 70
6.4.4 Kegemukan ................................................................................... 73
6.4.5 Kesehatan mental/emosional lanjut usia (Stress) ............................ 75
6.4.6 Penyakit Diabetes Mellitus (DM) .................................................. 78
BAB 7 PENUTUP
7.1 Kesimpulan ............................................................................................. 80
7.2 Saran ....................................................................................................... 80
DAFTAR REFERENSI .............................................................................. 83
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
xiv Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan WHO-ISH 1999........... 9
Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan JNC-VI
(1998)……………………………………………………....
9
Tabel 2.3 Rekomendasi Untuk Tindak Lanjut Tekanan Darah
Pengukuran Pertama..............................................................
Hipertensi Berdasarkan Perbedaan Kelompok
Umur……..............................................................................
11
Tabel 2.4 Hipertensi Berdasarkan Perbedaan Kelompok
Umur..............................................................……................
22
Tabel 2.5 Klasifikasi Status Gizi penduduk Umur 15 tahun Ke
atas........................................................................................
28
Tabel 4.1 Posyandu Lansia Yang Memiliki Data Yang Lengkap
Untuk Keperluan Penelitian..................................................
46
Tabel 4.2 Besar Sampel Berdasarkan Hasil Penelitian
Sebelumnya...................................................………………
47
Tabel 5.1 Luas Wilayah, RW, RT, Jumlah Penduduk, Jumlah Rumah
Tangga, Rata-rata Jiwa, dan Kepadatan Penduduk
Kecamatan Pasar Rebo Tahun
2009………………………………………………………..
51
Tabel 5.2
Tabel 5.3
Tabel 5.4
Jenis Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Pasar Rebo
Jakarta Timur Tahun 2010.....................................................
Upaya Pembinaan Kesehatan di Posyandu Lansia
Kecamatan Pasar Rebo 2010.................................................
Prevalensi Hipertensi di Posyandu Lansia Pasar Rebo
Tahun 2010………………....................................................
52
52
53
Tabel 5.5 Data Deskriptif Berdasarkan Rata-rata nilai Tekanan Darah
Sistolik dan Diastolik di Posyandu Lansia Kecamatan Pasar
Rebo Tahun 2010.............………………..............................
53
Tabel 5.6 Frekuensi Hipertensi Berdasarkan Kelurahan Posyandu
Lansia Di Pasar Rebo Tahun 2010………………................
54
Tabel 5.7 Frekuensi Hipertensi Berdasarkan Umur di Posyandu
Lansia Pasar Rebo Tahun 2010………….............................
54
Tabel 5.8 Frekuensi Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin Di
Posyandu Lansia Pasar Rebo Jakarta Timur Tahun 2010......
55
Tabel 5.9 Frekuensi Hipertensi Berdasarkan Kegemukan Di
Posyandu Lansia Pasar Rebo Jakarta Timur Tahun
2010……………………………………...............................
55
Tabel 5.10 Frekuensi Hipertensi Berdasarkan Gangguan
Mental/Emosional Di Posyandu Lansia Pasar Rebo Jakarta
Timur Tahun 2010…….........................................................
56
Tabel 5.11 Frekuensi Hipertensi Berdasarkan Riwayat Penyakit
Diabetes Mellitus Di Posyandu Lansia Pasar Rebo Jakarta
Timur Tahun 2010……………….........................................
56
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
xv Universitas Indonesia
Tabel 5.12 Distribusi Karakteristik Demografi Lansia yang
Berkunjung di Posyandu lansia Pasar Rebo Jakarta Timur
Tahun 2010 (N=270)………………....................................
57
Tabel 5.13 Hubungan Tempat Tinggal terhadap Kejadian Hipertensi di
Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun 2010…….....................
58
Tabel 5.14 Hubungan Umur Terhadap Kejadian Hipertensi Di
Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun 2010…........................
58
Tabel 5.15 Hubungan Jenis Kelamin Terhadap Kejadian Hipertensi Di
Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun 2010.............................
59
Tabel 5.16 Hubungan Kegemukan Terhadap Kejadian Hipertensi Di
Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun 2010.............................
59
Tabel 5.17 Hubungan Gangguan Mental/Emosional Terhadap Penyakit
Hipertensi Di Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun 2010......
60
Tabel 5.18 Hubungan Penyakit Diabetes Mellitus Terhadap Kejadian
Hipertensi Di Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun
2010………….......................................................................
60
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
xvi Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Rencana Pengelolaan Hipertensi Ringan .....................................16
Gambar 3.1 Skema Kerangka Teori Mengenai Hipertensi.............................. 38
Gambar 3.2 Skema Kerangka Konsep Hipertensi pada Lansia di Posyandu
Lansia Pasar Rebo Jakarta Timur tahun 2010 ............................. 39
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
xvii Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil output SPSS
Lampiran 2 Contoh formulir pelaporan hasil kegiatan posyandu lansia
Lampiran 3 Surat ijin penelitian dan menggunakan data
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan dan kemajuan teknologi kesehatan berhasil
menurunkan angka kesakitan, angka kematian bayi, ibu dan angka fertilitas serta
menghasilkan perbaikan gizi masyarakat. Dampak positifnya terlihat pada
peningkatan umur harapan hidup. Pada tahun 2005, Umur Harapan Hidup (UHH)
di Indonesia mencapai 68,2 tahun untuk perempuan dan 64,3 tahun pada laki-laki.
Sedangkan, pada tahun 2009, UHH sudah mencapai sekitar 70,6 tahun.
Peningkatan UHH ini mengakibatkan populasi penduduk usia lanjut juga semakin
meningkat pesat (Depkes RI, 2000).
Kamso (2007) menyatakan bahwa Indonesia merupakan satu dari
beberapa negara di Asia Tenggara yang menghadapi peningkatan jumlah
penduduk lanjut usia. Diproyeksikan bahwa tahun 2020, jumlah populasi lanjut
usia akan meningkat tiga kali lipat dibanding tahun 1990. Menurut Direktur
Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat Depkes RI, pada tahun 2000,
diperkirakan mencapai 7,4% atau sekitar 15,3 juta orang berusia di atas 60 tahun,
sedangkan antara tahun 2005-2010 jumlah usia lanjut akan sama dengan jumlah
balita yaitu sekitar 19 juta atau 8,5% dari seluruh jumlah penduduk.
Kondisi penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia masih memprihatinkan.
Diperkirakan sekitar 60% dari penduduk lansia tidak mendapatkan pendidikan
formal. Proses penuaan yang dialami lansia menyebabkan produktivitasnya
menurun sehingga mengakibatkan terbatasnya kesempatan kerja sedangkan
kebutuhan hidup terus meningkat. Selain itu, mulai terjadi perubahan nilai sosial
masyarakat yang mengarah pada tatanan masyarakat individualistik, para lansia
kurang mendapat perhatian sehingga sering tersisih dari kehidupan masyarakat
dan menjadi terlantar (Depkes RI, 2000)
Meskipun demikian, menurut data Depkes RI tahun 2000 didapatkan
bahwa sebagian besar lansia masih aktif bekerja dengan tingkat partisipasi
48,5% sedangkan pada lansia diatas 65 tahun tingkat partisipasinya kerja
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
2
Universitas Indonesia
mencapai 40,5% terutama di pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa lansia masih
cukup berperan besar dalam keluarga. Lansia yang sehat masih dapat menjadi
sumber daya yang potensial di masyarakat. banyakya pengalaman yang dimiliki
dapat menjadi masukan bagi generasi muda. lansia dapat aktif dalam kegiatan
pengabdian masyarakat sehingga tetap berdaya guna bagi masyarakat di
sekitarnya. Oleh karena itu, kesehatan kaum lansia tetap penting untuk mendapat
perhatian.
Menurut Bustan (2007), tidak dapat dipungkiri bahwa semakin
bertambanya umur seseorang maka proses penuaan tidak dapat dihindari. Proses
ketuaan akan berkaitan dengan proses degeneratif tubuh dengan segala penyakit
yang terkait. Dengan usia lanjut dan sisa kehidupan yang ada, kehidupan lansia
terisi dengan 40% masalah kesehatan. Data Kesehatan Indonesia didapatkan
bahwa 4 masalah kesehatan utama pada lanjut usia yaitu penyakit tulang dan
persendian (49%), penyakit kardiovaskuler & hipertensi (15,2%), ISPA (7,4%),
dan penyakit gangguan metabolisme/endokrin (3,3%). Survei Kesehatan Dasar
Rumah Tangga (SKRT, 2004) menunjukkan bahwa prevalensi penyakit
kardiovaskuler dan hipertensi tertinggi pada kelompok lanjut usia yaitu 55 tahun
ke atas.
Hipertensi adalah suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang
abnormal tingggi di dalam arteri. WHO menetapkan batasan hipertensi yaitu bila
Tekanan Darah Sistolik (TDS) ≥ 140 mmHg dan atau Tekanan Darah Diastolik
(TDD) ≥ 90 mmHg, bagi yang tidak mendapat pengobatan antihipertensi dan
batasan ini berlaku untuk usia 18 tahun ke atas.
Hipertensi merupakan penyakit kronik yang menjadi faktor risiko utama
terhadap penyakit kardiovaskuler. Berdasarkan data Global Burden of Disease
(GDB) tahun 2000, diperoleh bahwa 50% dari penyakit kardiovaskuler
disebabkan oleh hipertensi. Apabila hipertensi tidak tertangani dengan baik, maka
akan menimbulkan masalah besar bagi kehidupan seseorang melalui komplikasi
yang ditimbulkan seperti stroke, gagal jantung, infark myocard, hingga koma.
Biaya perawatan ataupun pengobatan dari komplikasi hipertensi juga tidak sedikit
bahkan akan membebani kondisi keuangan keluarga.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
3
Universitas Indonesia
Pada populasi, apabila hipertensi ringan tidak terkontrol maka dalam
jangka waktu 3-5 tahun akan berkembang menjadi hipertensi sedang dan berat
yakni sekitar 12-15%. Sedangkan apabila dapat dikontrol dengan baik, insiden
stroke dapat dikurangi hingga 40% dan insiden serangan jantung berkurang
hingga 20-30% (Kiongdo, 1997).
Tren kasus hipertensi semakin meningkat diberbagai negara. Prevalensi
hipertensi di seluruh dunia diperkirakan sekitar 15-20%. Hipertensi lebih banyak
menyerang pada usia setengah baya pada golongan umur 55-64 tahun. Di
Amerika, pada tahun 1988-1991 National Health and Nutrition Examination
Survey menemukan prevalensi hipertensi pada kelompok umur 65-74 tahun
sebagai berikut: prevalensi keseluruhan 49,6%, untuk hipertensi derajat 1 (140-
159/90-99 mmHg), 18,2%, untuk hipertensi derajat 2 (160-179/100-109 mmHg),
dan 6.5% untuk hipertensi derajat 3 (>180/110 mmHg).
Pada tahun 2004, prevalensi hipertensi di Vietnam mencapai 34,5% dan
singapura mencapai 24,9%. Menurut batasan hipertensi WHO, diperkiran 23%
wanita dan 14% pria berusia lebih dari 65 tahun menderita hipertensi. Sementara
menurut para ahli, angka kematian akibat penyakit jantung pada lansia dengan
hipertensi adalah tiga kali lebih sering dibandingkan lansia tanpa hipertensi pada
usia yang sama (Purwati et al. 2002).
Di Indonesia hipertensi juga mengalami peningkatan. Berdasarkan SKRT
tahun 2004, prevalensi hipertensi sebesar 14% dengan kisaran 13,4-14,6%.
Sedangkan berdasarkan Riskesdas tahun 2007, didapatkan bahwa hipertensi di
Indonesia telah mencapai 31,7%. Prevalensi tertinggi di provinsi Kalimantan
Selatan 39,6% dan terendah di Papua Barat 20,1%. Provinsi DKI Jakarta yang
merupakan pusat pemerintahan, prevalensi hipertensinya juga cukup tinggi yaitu
sebesar 28,8%.
Hasil laporan Riskesdas (2007) menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi
di Indonesia meningkat berdasarkan kelompok umur. Prevalensi tertinggi pada
kelompok umur 60 hingga 70 tahun keatas. Studi Kamso (2000) di 6 kota besar di
Indoensia seperti Jakarta, Padang, Bandung, Yogyakarta, Denpasar, dan Makasar
terhadap kelompok lansia (55-85 tahun) didapatkan prevalensi sebesar 55,5%.
Sedangkan menurut Depkes RI tahun 2000 didapatkan bahwa prevalensi
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
4
Universitas Indonesia
hipertensi pada lansia sekitar 20-30%. Peningkatan tekanan darah pada lanjut usia
pada dasarnya merupakan bagian normal dari proses penuaan, akan tetapi angka
insiden hipertensi pada kelompok populasi ini tergolong tinggi.
Dikenal dua jenis hipertensi yaitu hipertensi primer dan hipertensi
sekunder. Pada hipertensi sekunder umumnya disebabkan oleh adanya penyakit-
penyakit tertentu. Sedangkan, hipertensi primer belum diketahui dengan pasti
penyebabnya utamanya. Beberapa hasil penelitian menyatakan adanya faktor-
faktor risiko yang dapat memicu terjadinya hipertensi primer. Faktor-faktor
tersebut antara lain indeks massa tubuh (obesitas atau kegemukan), merokok,
konsumsi alkohol, konsumsi garam, konsumsi lemak jenuh, stress, gangguan
tidur, lingkugan geografis, keturunan, ras atau suku, jenis kelamin, umur, tipe
kepribadian, adanya penyakit Diabetes mellitus, konsumsi kopi berlebihan, serta
konsumsi pil KB (Bustan, 2007).
Hipertensi pada lansia di wilayah Pasar Rebo juga masih menjadi
masalah kesehatan. Tahun 2009 hingga 2010, berdasarkan laporan tahunan di
klinik lansia Puskemas Pasar Rebo didapatkan bahwa hipertensi berada di urutan
pertama dari 10 penyakit terbanyak yang dialami oleh lansia di wilayah kerja
puskesmas yaitu sebesar 24% sehingga menjadi masalah kesehatan yang perlu
ditangani dengan serius.
Kesehatan lansia mulai mendapat perhatian khusus di wilayah Pasar
Rebo. Hal ini sejalan upaya pembinaan kesehatan usia lanjut yang ditetapkan oleh
Dinkes propinsi DKI Jakarta. Langkah nyata diwujudkan dengan adanya
posyandu lansia yang tersebar hampir di seluruh kecamatan Pasar Rebo.
Mengingat pentingnya memperhatikan kesehatan lanjut usia, maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang hipertensi pada lansia di wilayah ini
karena masih belum diketahui prevalensi dan faktor-faktor hipertensi pada lansia
di posyandu lansia tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Prevalensi hipertensi di Indonesia terus meningkat dengan kejadian
tertinggi pada kelompok umur 45 tahun ke atas. Jumlah lanjut usia semakin
meningkat karena adanya peningkatan usia harapan hidup. Kondisi ini
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
5
Universitas Indonesia
menyebabkan peluang untuk meningkatnya kejadian hipertensi semakin besar,
terutama bila tidak ada upaya pengendalian tekanan darah khususnya bagi kaum
lansia. Disamping itu, risiko kesakitan dan kematian akibat kardiovaskuler pun
akan ikut meningkat.
Kejadian hipertensi dapat dipicu oleh faktor-faktro risiko seperti indeks
massa tubuh (kegemukan), kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, konsumsi
garam, konsumsi lemak jenuh, stress, gangguan tidur, lingkugan geografis,
keturunan, ras atau suku, jenis kelamin, umur, tipe kepribadian, adanya penyakit
Diabetes mellitus, konsumsi kopi berlebihan, serta konsumsi pil KB (Bustan,
2007).
Berdasarkan laporan tahunan klinik lansia puskesmas Pasar Rebo tahun
2009 didapatkan bahwa hipertensi berada diurutan pertama dari 10 penyakit
terbanyak yang dialami lansia yaitu dengan persentase sebesar 24% sehingga
menjadi masalah kesehatan lansia di wilayah tersebut. Upaya pelayanan kesehatan
lansia mulai dilakukan diwilayah Pasar Rebo berupa pengadaan Posyandu lansia
yang tersebar di setiap kelurahan. Akan tetapi, belum diketahuinya prevalensi dan
determinan hipertensi khususnya di posyandu lansia wilayah Pasar Rebo tersebut.
Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian tersebut.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Berapa prevalensi hipertensi di posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo
Jakarta Timur tahun 2010?
2. Bagaimana frekuensi dan distribusi hipertensi berdasarkan karakteristik
demografi (umur, jenis kelamin, dan tempat tinggal) dan status kesehatan
fisik/mental lansia (kegemukan, gangguan mental/emosional, dan penyakit
diabetes mellitus) di posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo Jakarta
Timur tahun 2010?
3. Bagaiamana hubungan antara karakteristik demografi (umur, jenis kelamin
dan tempat tinggal) dengan kejadian hipertensi di posyandu lansia wilayah
kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur tahun 2010?
4. Bagaimana hubungan antara kegemukan dengan kejadian hipertensi di
posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur tahun 2010?
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
6
Universitas Indonesia
5. Bagaimana hubungan antara gangguan mental/emosional dengan kejadian
hipertensi di posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur
tahun 2010?
6. Bagaimana hubungan antara penyakit Diabetes Mellitus (DM) dengan kejadian
hipertensi di posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur
tahun 2010?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui prevalensi dan determinan hipertensi di posyandu lansia wilayah
kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur tahun 2010.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui angka prevalensi hipertensi di posyandu lansia wilayah kecamatan
Pasar Rebo Jakarta Timur tahun 2010.
2. Mengetahui frekuensi dan distribusi hipertensi berdasarkan karakteristik
demografi (umur, jenis kelamin, dan tempat tinggal) dan status kesehatan
fisik/mental lansia (kegemukan, gangguan mental/emosional, dan penyakit
diabetes mellitus) di posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo Jakarta
Timur tahun 2010?
3. Mengetahui hubungan antara karakteristik demografi (umur, jenis kelamin,
dan tempat tinggal) dengan kejadian hipertensi di posyandu lansia wilayah
kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur tahun 2010.
4. Mengetahui hubungan antara kegemukan dengan kejadian hipertensi di
posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur tahun 2010.
5. Mengetahui hubungan antara gangguan mental/emosional dengan kejadian
hipertensi di posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur
tahun 2010.
6. Mengetahui hubungan antara penyakit Diabetes Mellitus (DM) dengan
kejadian hipertensi di posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo Jakarta
Timur tahun 2010.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
7
Universitas Indonesia
1.5 Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Penelitian ini menjadi sarana bagi peneliti untuk mendapatkan pengalaman
nyata dalam mengaplikasikan teori yang telah di peroleh selama menempuh
pendidikan di fakultas Kesehatan Masyarakat.
2. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi terhadap masyarakat
setempat tentang prevalensi hipertensi dan determinananya pada lanjut usia
yang mendapatkan pelayanan kesehatan di posyandu lansia.
3. Bagi pemerintah (Puskesmas dan Posyandu lansia)
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi sebagai bahan
evaluasi dalam perencanaan program kesehatan lanjut usia khususnya
penatalaksanaan penyakit hipertensi pada lansia di wilayah kerja puskesmas
atau posyandu lansia setempat.
1.6 Ruang Lingkup
Kejadian hipertensi pada lansia di puskesmas kecamatan Pasar Rebo
mencapai 24% dan merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang paling
banyak dialami oleh lansia di wilayah Pasar Rebo Jakarta Timur. Selain itu, belum
diketahuinya prevalensi dan determinan hipertensi di posyandu lansia wilayah
Pasar Rebo sehingga peneliti berkeinginan untuk melakukan penelitian tersebut.
Adapun faktor-faktor risiko hipertensi yang akan diteliti meliputi
karakteristik populasi (umur, jenis kelamin, dan tempat tinggal), status gizi
(kegemukan), gangguan emosional, serta riwayat penyakit DM. Penelitian ini
menggunakan desain studi potong-lintang atau cross sectional yang dilakukan
melalui obsevasi data sekunder hasil pemeriksaan kesehatan lansia atau data dari
KMS lansia di posyandu lansia kecamatan Pasar Rebo bulan Desember 2010.
Penelitian ini dilakukan selama bulan Maret-Mei 2011.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
8 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi
2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang
abnormal tingggi di dalam arteri. Tekanan darah manusia umumnya selalu naik
turun sepanjang hari karena berbagai faktor dalam kehidupan sehari-hari. Tekanan
darah akan naik pada waktu sedang melakukan aktivitas fisik, sedang makan,
sedang marah atau emosi meningkat. Sebaliknya akan turun pada waktu fisik
maupun emosiosnal sedang santai atau sedang tidur.
Menurut Allison Hull (1996), hipertensi adalah desakan darah yang
berlebihan dan hampir tidak konstan pada arteri. Tekanan dihasilkan oleh
kekuatan jantung ketika memompa darah. Beberapa ahli lainnya menyatakan
bahwa hipertensi merupakan suatu penyakit berupa gangguan pada pembuluh
darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi, yang dibawa oleh darah
terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan.
Selain itu, menurut Lanny (2004) (dikutip dari Hull, 1996) hipertensi
didefinisikan juga sebagai peningkatan abnormal dari tekanan darah sistolik arteri.
Hipertensi sering kali disebut sebagai pembunuh gelap (Silent Killer), karena
termasuk penyakit yang mematikan tanpa disertai dengan gejala-gejalanya lebih
dahulu sebagai peringatan bagi korbannya. Sedangkan, menurut Bustan (2007)
tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan suatu keadaan dimana terjadi
peningkatan tekanan darah dengan gejala yang akan berlanjut ke suatu organ
target seperti stroke (untuk otak), penyakit jantung koroner (untuk pembuluh
darah jantung) dan hipertrofi ventrikel kanan/left ventricle hypertrophy (untuk
otot jantung).
Dikenal beberapa macam batasan tingginya tekanan darah untuk dapat
disebut hipertensi. Seseorang dikatakan menderita hipertensi apabila pada dua
kali atau lebih kunjungan yang berbeda didapatkan tekanan darah rata-rata dari
dua atau lebih pengukuran setiap kunjungan, diastoliknya 90 mmHg atau lebih,
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
9
Universitas Indonesia
atau sistoliknya 140 mmHg atau lebih Batasan ini berlaku untuk usia 18 tahun ke
atas (Depkes, 2006)
Tekanan darah manusia meliputi tekanan darah sistolik, tekanan darah
waktu jantung menguncup dan tekanan darah diastolik, yakni tekanan darah saat
jantung istirahat atau relaksasi. Penentuan batasan hipertensi ini sangat penting
karena akan menjadi cut off point untuk memperoleh prevalensi hipertensi
dipopulasi. Perubahan-perubahan pada batasan hipertensi akan mengakibatkan
terjadinya perubahan prevalensi hipertensi pada populasi. Adapun beberapa
batasan lain yang sering dipakai dapat dilihat pada tabel 2.1 dan tabel 2.2.
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi berdasarkan WHO-ISH 1999
Kategori Sistolik
(mmHg)
Diastolik
(mmHg)
Optimal < 120 < 80
Normal < 130 < 85
Normal Tinggi 130-139 85-89
Hipertensi Derajat 1 (ringan) 140-159 90-99
Hipertensi derajat 2 (sedang) 160-179 100-109
Hipertensi Derajat 3 (berat) ≥ 180 ≥ 110
Hipertensi Sistolik Terisolasi ≥ 140 < 90
Jika tekanan darah sistolik dan diastolik berbeda kategori maka dipakai kategori yang
lebih tinggi. Sumber: (WHO-ISH,1999)
Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi berdasarkan JNC VI (1998)
Kategori TDS
(mmHg)
TDD
(mmHg)
Optimal <120 <80
Normal <130 <85
Normal tinggi 130-139 85-89
Hipertensi stadium I 140-159 90-99
Hipertensi stadium II 160-179 100-109
Hipertensi stadium III ≥ 180 ≥110
Hipertensi sistolik ≥ 140 <90
Sumber: (Depkes, 2006)
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
10
Universitas Indonesia
2.1.2 Jenis-jenis Hipertensi
Hipertensi dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) menurut
kausanya, terdiri atas hipertensi esensial atau hipertensi primer yakni hipertensi
yang tidak jelas penyebabnya dan hipertensi sekunder yakni hipertensi oleh kausa
tertentu. 2) menurut gangguan tekanan darah terdiri atas hipertensi sistolik atau
peninggian tekanan darah sistolik saja dan hipertensi diastolik atau peninggian
tekanan darah diastolik saja. Sedangkan, 3) menurut berat atau tingginya
peningkatan tekanan darah terdiri atas tiga kelompok yaitu hipertensi ringan,
hipertensi sedang dan hipertensi berat.
2.2 Diagnosis Hipertensi
Diagnosisi hipertensi ditetapkan pada semua umur. Diagnosis hipertensi
dapat bergantung pada hasil pengkuran maupun gejala klinis dari komplikasinya.
Dalam melakukan pemeriksaan diagnostik terhadap pengidap tekanan darah
tinggi, umumnya perlu memperhatikan beberapa hal, seperti: memastikan bahwa
tekanan darahnya memang selalu tinggi, menilai keseluruhan risiko
kardiovaskular, menilai kerusakan organ dan penyakit yang menyertainya, serta
mencari tahu kemungkinan penyebabnya. Unsur-unsur tersebut merupakan proses
diagnosis tunggal yang bertahap dan menyeluruh.
Tiga metode klasik yang dapat digunakan yaitu pencatatan riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Proses diagnosis
seringkali mengalami tantangan karena sulit menetukan sejauh mana
pemeriksaan harus dilakukan. Pemeriksaan yang dangkal, tidak mudah diterima
karena hipertensi merupakan penyakit seumur hidup dan terapi yang dipilih dapat
memeberikan implikasi yang serius pada penderita. Akan tetapi sederet
pemeriksaan pun tidak dibenarkan dan harus tetap didasarkan pertimbangan yang
tepat.
Khusus pada kaum lansia diagnosis hipertensi harus sangat hati-hati
karena ada kemungkinan terjadinya kesalahan yang disebabkan beberapa faktor
seperti panjang cuff mungkin tidak cukup untuk orang gemuk atau berlebihan atau
orang terlalu kurus, penurunan sensitivitas refleks baroreseptor sering
menyebabkan fluktuasi tekanan darah dan hipotensi postural, fluktuasi akibat
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
11
Universitas Indonesia
ketegangan (hipertensi jas putih = white coat hypertension) & latihan fisik serta
arteri yang kaku akibat arterosklerosis menyebabkan tekanan darah terukur lebih
tinggi.
2.2.1 Cara Pengukuran Tekanan Darah
Penentuan diagnosis hipertensi bergantung pada hasil pengukuran tekanan
darah. Teknik pengkuran harus tepat dan teliti. Terdapat dua cara pengukuran
yaitu pengukuran oleh dokter atau petugas kesehatan di sarana pelayanan
kesehatan dan pengukuran sendiri dirumah baik dengan alat yang konvensional
maupun dengan ambulatory pressure monitoring (BPM).
Pengukuran tunggal belum dapat memastikan diagnosis hipertensi.
Apabila pada pengukuran pertama di temukan kenaikan tekanan darah maka harus
dipastikan kemabli paling sedikit dua kunjungan berikutnya pada satu atau
beberapa minggu dengan dengan nilai rata-rata tekanan sistolik 90 mmHg dan
atau tekanan dsistolik 140 mmHg/ lebih.
Tabel 2.3 Rekomendasi untuk Tindak Lanjut Tekanan Darah
Pengukuran Pertama
Tekanan sistolik
(mmHg)
Tekanan diastolik
(mmHg) Pemeriksaan Rujukan
< 130 <85 Perksa ulang dalam 2 tahun
130-139 85-89 Periksa ulang dalam 1 tahun
140-159 90-99 Pastikan dalam 2 bulan
160-179 100-109 Pastikan dan obati dalam 1 bulan
180-209 110-119 Pastikan dan obati dalam 1 minggu
Sumber: JNC VI (1998) dan WHO-ISH (1999)
JNC VI (1998) merekomendasikan cara pengukuran sebagai berikut.
Penderita harus duduk dengan penyangga lengan, bersandar, dan sejajar dengan
letak jantung. Penderita tidak boleh merokok dan minum kopi 30 menit sebelum
pengukuran. Pengukuran dimulai setelah penderita istirahat selama 5 menit.
Ukuran manset harus sesuai dengan lengan penderita yaitu paling sedikit 80%
lebar manset harus dapat menutupi lingkar lengan. Tekanan sistolik adalah
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
12
Universitas Indonesia
tekanan darah saat terdengar bunyi pertama (korotkoff I), sedangkan tekanan
diastolik adalah tekanan darah saat bunyi menghilang (korotkoff V). Pembacaan
dilakukan 2 kali atau lebih dengan waktu antara 2 menit.
Pada lanjut usia terdapat berbagai keadaan yang sering menjadi masalah
dalam penentuan tekanan darah. Tekanan darah yang akurat yang dianggap
mewakili nilai sebenarnya amat dipengaruhi oleh keadaan pembuluh darah pasien
yang sudah mengalami kekakuan akibat aterosklerosis dan barorefleks yang
berkurang. Tekanan darah dapat menurun secara berlebih pada posisi berdiri,
sesudah makan atau sesudah aktivitas. Selain itu, pada pengukuran tekanan darah
sering terdapat pseudohipertensi akibat manset pengukur tekanan darah harus
menekan lebih keras arteri brachialis yang kaku, mengeras karena kasifikasi.
Keadaan ini harus dipertimbangkan apabila terdapat hipotensi ortostatik atau
respon pengobatan yang kurang. Oleh karena pada usia lanjut pengukuran tekanan
darah dilakukan juga pada saat berdiri (Depkes, 2006).
2.2.2 Gejala Klinis
Sekitar 50% penderita Hipertensi tidak menyadari bahwa tekanan darah
mengalami peningkatan. Hal in dikarenakan peningkatan tekanan darah yang
tinggi tidak disertai adanya gejala-gejala tertentu. Akibatnya, seseorang akan
bersikap asuh tak acuh dan merasa tidak mengalami gangguan apapun sehingga
amat sulit untuk memotivasi penderita untuk mengkonsumsi obat apalagi untuk
waktu jangka panjang. Gejala baru akan timbul setelah terjadi komplikasi pada
target organ seperti ginjal, mata, otak, dan jantung. Gejala klinisnya dapat berupa
rasa lelah, sukar tidur, sakit kepala, gangguan fungsi ginjal, penglihatan,
gangguan serebral atau gejala akibat perdarahan pembuluh darah otak berupa
kelumpuhan, koma hingga kematian.
2.3 Patofisiologi Hipertensi
Patologi hipertensi esensial sampai sekarang terus berkembang. Tekanan
darah dipengaruhi oleh dua hal utama, yaitu curah jantuung dan tahanan perifer.
Semua faktor yang mempengaruhi curah jantung dan tahanan perifer akan
mempengaruhi tekanan darah. Pada tahap awal hipertensi esensial, curah jantung
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
13
Universitas Indonesia
meninggi sedangkan tahanan perifer normal. Keadaan ini disebabkan peningkatan
aktivitas tonus simpatis. Pada tahap selanjutnya curah jantung kembali normal
sedangkan tahanan perifer akan meningktat, akibatnya terjadi efek auto regulasi
artinya mekanisme tubuh untuk mempertahankan keadaan hemodinamik pada
keadaan normal. Baik Tekanan Darah Ssistolik (TDS) maupun Tekanan Darah
Diastolik (TDD) meningkat sesuai dengan meningkatnya umur. TDS meningkat
secara progresif sampai umur 70-80 tahun, sedangkan TDD meningkat sampai
umur 50-60 tahun dan kemudian cenderung menetap atau sedikit menurun.
Kombinasi perubahan ini sangat mungkin mencerminkan adanya pengakuan
pembuluh darah`dan penurunan kelenturan (compliance) arteri dan ini
mengakibatkan peningkatan tekanan nadi sesuai dengan umur. Seperti diketahui,
tekanan nadi merupakan prediktor terbaik dari adanya perubahan struktural di
dalam arteri.
Mekanisme pasti hipertensi pada lanjut usia belum sepenuhnya jelas. Efek
utama dari ketuaan normal terhadap sistem kardiovaskuler meliputi perubahan
aorta dan pembuluh darah sistemik. Penebalan dinding aorta dan pembuluh darah
besar meningkat dan elastisitas pembuluh darah menurun sesuai umur. Perubahan
ini menyebabkan penurunan compliance aorta dan pembuluh darah besar dan
mengakibatkan pcningkatan TDS. Penurunan elastisitas pembuluh darah
menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler perifer. Sensitivitas baroreseptor
juga berubah dengan umur. Perubahan mekanisme refleks baroreseptor mungkin
dapat menerangkan adanya variabilitas tekanan darah yang terlihat pada
pemantauan terus menerus.
Beberapa literatur lain menyatakan bahwa mekanisme terjadinya
hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh
angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis penting
dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang
diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan
diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I
diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci
dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama. Aksi pertama adalah
meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
14
Universitas Indonesia
ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal
untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat
sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi
pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan
ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian
intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan
meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron
dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki
peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler,
aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya
dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan
cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan
meningkatkan volume dan tekanan darah.
2.4 Komplikasi Hipertensi
Seperti yang diketahui hipertensi merupakan faktor utama penyebab
penyakit kardiovaskuler. Komplikasi dapat terjadi apabila hipertensi tidak
terkendali. Menurut Corwin (2009), komplikasi yang dapat terjadi akibat
hipertensi antara lain:
1) stroke yang terjadi akibat hemoragic tekanan darah tinggi di otak, atau akibat
embolus yang terlepasdari pembuluh selain otak yang terpajan tekanan tinggi.
Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronis apabila arteri yang mensuplai darah
di otak mengalami hipertrofi dan penebalan, sehingga aliran darah ke area otak
yang harus disuplai darah menjadi berkurang. Arteri otak yang mengalami
atherosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan kemungkinan
terbentuknya aneurisma.
2) Infark miokard, terjadi apabila arteri koroner yang atheroskelrotik tidak dapat
mensuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang
menghambat aliran darah melewati pembuluh darah. Pada hipertensi kronis dan
hipertrofi ventrikel, kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat
dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
15
Universitas Indonesia
3) Gagal ginjal, dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi
pada kapiler glomerulus ginjal. Dengan rusaknya glomerulus, aliran darah ke
unit fungsional ginjal yakni nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi
hipoksik dan kematian. Dengan rusaknya glomerulus, protein akan keluar
melalui urine sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang dan
menyebabkan edema, yang sering dijumpai pada hipertensi.
4) Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi, terutama pada hipertensi maligna
(hipertensi yang menningkat cepat dan berbahaya). Tekanan yang sangat tinggi
pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong
cairan ke ruang interstisial diseluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron
disekitarnya kolaps dan terjadi koma serta kematian.
2.5 Penanganan Hipertensi
2.5.1 Hipertensi Ringan
Upaya untuk melakukan penanganan atau perawatan hipertensi didasarkan
tidak hanya berdasarkan tekanan darah sistolik dan diastolik saja, tetapi juga pada
risiko kardiovakular total dari masing-masing penderita. Pada hipertensi sedang
dan berat, yang memiliki TDS lebih dari 180 mmHg dan atau TDD lebih dari 105
mmHg harus segera mendapat penanganan, sekalipun tidak ada risiko atau kondisi
lain. Akan tetapi pada hipertensi ringan, TDS 140-180 mmHg atau TDD 90-105
mmHg, perlu dilakukan penilaian awal secara saksama selama periode
berminggu-minggu atau berbulan-bulan sebelum dilakukan penanganan, seperti
digambarkan pada gambar 2.1.
Dalam pelaksanaannya, jika TDS awal 140-180 mmHg atau TDD 90-105
mmHg, pengukuran harus diulangi sekurang-kurangnya dalam selang waktu
empat minggu, sebelum seseorang dinyatakan mengidap hipertensi dan mulai
ditangani. Hal ini dikarenakan pada dasarnya tekanan diastolik dan sistolik
beragam. Semua pasien harus diberi petunjuk agar mengubah gaya hidup sesuai
dengan kebutuhannya yaitu dengan berhenti merokok, mengurangi obesitas,
memabatasi minuman keras, dan makanan berlemak jenuh, membatasi asupan
natrium, dan melaksanakan olahraga ringan yang dinamis. Keputusan pengelolaan
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
16
Universitas Indonesia
hipertensi dilakukan setelah adanya diskusi dengan pasien dan keluarganya dan
menjelaskan garis besar risiko dan manfaat berbagai strategi tindakan tersebut.
Tekanan darah awal
TDD 90-105mmHg atau TDS 140-180mmHg
Ulangi pengukuran dalam 4 minggu
Penyuluhan gaya hidup sehat
Dalam 4 Pengurangan TDS/TDD Tidak ada
minggu Sampai <140/90
Tindak lanjut dalam Evaluasi risiko
3 bulan Kardiovaskular totala
Rendah Tinggi
Tindak lanjut Pemberian obat
Dalam 3-6 bulan
TDD 90-95(12,0-12,7 kPa) TDD > 95 (12,7 kPa)
TDS 140-160 (18,7-21,3 kPa) TDS > 160 (21,3 kPa)
Tindak lanjut pemberian obat
a Jika organ sasaran cedera, pemberian obat diperlukan pada tahap hipertensi
manapun, artinya TDS 140-180 mmHg atau TDD 90-95 mmHg.
Gambar 2.1 Rencana Pengelolaan Hipertensi Ringan
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
17
Universitas Indonesia
Jika TDS turun hingga dibawah 140 dan TDD < 90 mmHg dalam jangka
waktu 4 minggu tekanan darah dipantau tiga bulan selama setahun dan
selanjutnya setiap tahun. Sedangkan jika tetap atau tidak ada perubahan pada
rentang TDS 140-180 mmHg dan TDD 90-105 mmHg dan risiko kardiovaskular
total tinggi (terutama bila ada bukti cederanya organ sasaran), pengubahan gaya
hidup harus diperketat dan mulai dilakukan pemberian obat. Jika risiko total
rendah dan tidak ada tanda organ cedera, pengubahan gaya hidup tetap diperketat
dan tekanan darah dipantau 3-6 bulan, bergantung aras tekanan darah.
Setelah 3-6 bulan, apabila TDS 140-180 mmHg atau TDD 90-105 mmHg
tetapi tidak ada faktor risiko kardiovaskular lain, pengubahan gaya hidup dan
pemantauan tekanan darah harus dilanjutkan. Akan tetapi, jika tekanan darah
masih di atas atau sama dengan TDS 160 mmHg atau TDD 95 mmHg, harus
diberikan obat antihipertensi. Dari beberapa obat pilihan-pertama yang telah
dipakai dan dikaji jangka panjang, hanya diuretika dan pemblok-β yang
menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah dapat mengurangi morbiditas dan
mortalitas didukung dengan pengubahan gaya hidup yang efektif dalam
menurunkan tekanan darah. Pilihan obat antihipertensi bergantung pada faktor
sosioekonomi yang menentukan ketersediaannya di sejumlah negara atau daerah.
Selain itu, ditentukan pula oleh karakteristik perorangan, kerusakan sasaran organ,
terutama adanya faktor risiko kardiovaskular, penyakit yang diderita, serta efek
samping yang dapat timbul (ITB-WHO, 1996).
2.5.2 Hipertensi Sedang dan Berat
Bila tekanan darah pasien menunjukkan TDD rata-rata 105-120 mmHg
dan/atau TDS 180-210 mmHg maka harus diputuskan untuk segera dievaluasi dan
dinilai secara hati-hati mengenai adanya kemungkinan kerusakan organ, faktor
risiko kardiovaskular yang berkaitan, dan sejarah terapi antihipertensi
sebelumnya. Tepai obat tidak boleh terlambat pada pasien yang organ sasarannya
sudah rusak atau yang memiliki faktor risiko ganda. Pasien harus diperiksa
setelah terapi aktif selama dua minggu. Jika penurunan tekanan darah tidak
mencukupi maka harus ditambahkan obat lain dari golongan farmakologi yang
berbeda dan tekanan darah diukur dalam selang waktu yang lebih singkat.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
18
Universitas Indonesia
Pengubahan gaya hidup dan pendidikan tentang hipertensi tetap penting untuk
dilakukan.
Pasien dengan rata-rata TDD melebihi 120 mmHg dan/atau TDS > 210
mmHg memerlukan terapi obat dengan segera menjalani pemeriksaan
laboratorium. Sebagian besar pasien ini memerlukan lebih dari satu jenis obat
untuk mengendalikan hipertensinya. Keparahan hipertensi dan adanya komplikasi
akan menentukan intensitas pemberian antihipertensi dan frekuensi pengamatan
tekanan darahnya.
2.5.3 Terapi Farmakologis
Menurut pedoman penatalaksanaan hipertensi berdasarkan Depkes RI
(2006) penatalaksanaan penyakit hipertensi bertujuan untuk mengendalikan angka
kesakitan dan kematian akibat penyakit hipertensi dengan cara seminimal
mungkin menurunkan gangguan terhadap kualitas hidup penderita. Pengobatan
hipertensi dimulai dengan obat tunggal , masa kerja yang panjang sekali sehari
dan dosis dititrasi. Obat berikutnya mungkin dapat ditarnbahkan selama beberapa
bulan pertama perjalanan terapi. Pemilihan obat atau kombinasi yang cocok
bergantung pada keparahan penyakit dan respon penderita terhadap obat anti
hipertensi. Beberapa prinsip pemberian obat anti hipertensi sebagai berikut :
1. Pengobatan hipertensi sekunder adalah menghilangkan penyebab hipertensi
2. Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah
dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya komplikasi.
3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat anti
hipertensi.
4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan pengobatan
seumur hidup.
Jenis-jenis obat antihipertensi :
1. Diuretik
Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh (Iewat
kencing), sehingga volume cairan tubuh berkurang mengakibatkan daya pompa
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
19
Universitas Indonesia
jantung menjadi lebih ringan dan berefek turunnya tekanan darah. Digunakan
sebagai obat pilihan pertama pada hipertensi tanpa adanya penyakit lain.
2. Penghambat Simpatis
Golongan obat ini bekerja denqan menghambat aktifitas syaraf simpatis (syaraf
yang bekerja pada saat kita beraktifitas). Contoh obat yang termasuk dalam
golongan penghambat simpatetik adalah : metildopa, klonodin dan reserpin.
Efek samping yang dijumpai adalah: anemia hemolitik (kekurangan sel darah
merah kerena pecahnya sel darah merah), gangguan fungsi ahati dan kadang-
kadang dapat menyebabkan penyakit hati kronis. Saat ini golongan ini jarang
digunakan.
3. Betabloker
Mekanisme kerja obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya pompa
jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui
mengidap gangguan pernafasan seperti asma bronkhial. Contoh obat golongan
betabloker adalah metoprolol, propanolol, atenolol dan bisoprolol. Pemakaian
pada penderita diabetes harus hati-hati, karena dapat menutupi gejala
hipoglikemia (dimana kadar gula darah turun menjadi sangat rendah sehingga
dapat membahayakan penderitanya). Pada orang dengan penderita
bronkospasme (penyempitan saluran pernapasan) sehingga pemberian obat
harus hati-hati. Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan
relaksasi otot polos (otot pembuluh darah). Yang termasuk dalam golongan ini
adalah prazosin dan hidralazin. Efek samping yang sering terjadi pada
pemberian obat ini adalah pusing dan sakit kapala.
5. Penghambat enzim konversi angiotensin
Kerja obat golongan ini adalah menghambat pembentukan zat angiotensin II
(zat yang dapat meningkatakan tekanan darah). Contoh obat yang termasuk
golongan ini adalah kaptopril. Efek samping yang sering timbul adalah batuk
kering, pusing, sakit kepala dan lemas.
6. Antagonis kalsium
Golongan obat ini bekerja menurunkan daya pompa jantung dengan
menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas). Yang termasuk golongan
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
20
Universitas Indonesia
obat ini adalah : nifedipin, diltizem dan verapamil. Efek samping yang
mungkin timbul adalah : sembelit, pusing, sakit kepala dan muntah.
7. Penghambat reseptor angiotensin II
Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat angiotensin II pada
reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Obat-obatan
yang termasuk .golongan ini adalah valsartan. Efek samping yang mungkin
timbul adalah sakit kepala, pusing, lemas dan mual.
Adapun Tatalaksana hipertensi dengan obat anti hipertensi yang dianjurkan:
1. Diuretik: hidroclorotiazid dengan dosis 12,5 -50 mg/hari
2. Penghambat ACE/penghambat reseptor angiotensinII:Captopril 25-100mg/hari
3. Penghambat kalsium yang bekerja panjang : nifedipin 30 -60 mg/hari
4. Penghambat reseptor beta: propanolol 40 -160 mg/hari
5. Agonis reseptor alpha central (penghambat simpatis}: reserpin 0,05 -0,25
mg/hari Terapi kombinasi antara lain: Penghambat ACE dengan diuretik,
Penghambat ACE dengan penghambat kalsium, Penghambat reseptor beta
dengan diuretik, dan Agonis reseptor alpha dengan diuretik
2.6 Prevalensi Hipertensi
Menurut WHO (1996) prevalensi hipertensi ditentukan bergantung pada
cut off point yang digunakan. Adanya hubungan langsung antara tekanan darah
dan risiko komplikasi seringkali menyulitkan dalam menentukan siapa yang sakit
dan siapa yang sehat. Akan tetapi, adanya perkiraan prevalensi hipertensi dapat
berguna untuk memperkirakan besar masalah yang ada. Pada saat menilai
prevalensi hipertensi, maka orang-orang yang sedang ditangani harus tetap
diikutsertakan tanpa memeprhatikan aras tekanan darahnya yang sebenarnya.
Sejumlah besar penelitian memperkirakan prevalensi hipertensi di seluruh dunia.
Namun, perkiraan ini hanya dapat dibandingkan dengan sangat hati-hati karena
kemungkinan belum adanya pembakuan dalam definisi hipertensi, metode yang
dipakai serta pengamat dan umur populasi.
Perkiraan prevalensi hipertensi berdasarkan pemeriksaan tekanan darah
yang diukur satu kali cenderung dapat menaksir prevalensi hipertrnsi yang terlalu
tinggi, karena tekanan darah sebagian orang yang angka tekanan darahnya tinggi
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
21
Universitas Indonesia
akan kembali ke rentang normotensi. Namun, cara seperti ini, dapat berguna
dalam menilai risiko dimasa yang akan datang. Perkiraan prevalensi hipertensi
dianjurkan berdasarkan pengukuran berulang lebih dari satu kali pada selang
waktu tertentu. Cara ini dianggap dapat memberikan perkiraan yang lebih teliti
mengenai masalah hipertensi secara klinik serta untuk menghindari kekeliruan
dapat mengelompokkan populasi.
2.7 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Hipertensi
Faktor risiko (Risk factor) adalah karakteristik, tanda-tanda, atau gejala-
gejala terkait suatu penyakit dimana terdapat pada individu atau kelompok
masyarakat yang secara statistik berhubungan dengan peningkatan insiden
penyakit serta dapat memicu peluang seseorang untuk menderita penyakit
tersebut. Sama seperti penyakit tidak menular lainnya, faktor risiko hipertensi
terbagi atas dua yaitu faktor risko yang dapat diubah atau dikontrol dan faktor
risiko yang tidak dapat diubah atau dikendalikan (Bustan, 2007).
2.7.1 Umur
Pada dasarnya penyakit hipertensi tidak mengenal usia. Hipertensi dapat
menyerang anak muda hingga lanjut usia. Akan tetapi, beberapa hasil penelitian
diperoleh bahwa hipertensi meningkat sesuai pertambahan usia. Umur 40 tahun
ke atas mempunyai risiko lebih besar terkena hipertensi. Dengan bertambahnya
umur, risiko terkena hipertensi lebih besar sehingga prevalensi dikalangan usia
lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan kematian sekitar 50 % diatas umur
60 tahun. Sebenarnya wajar saja bila tekanan darah sedikit meningkat dengan
bertambahnya umur. Ini sering disebabkan oleh perubahan alami pada jantung,
pembuluh darah dan hormon. Hanya saja bila perubahan ini disertai faktor-faktor
lain maka dapat memicu terjadinya hipertensi (Bustan, 2007).
Level hipertensi berubah berdasarkan umur. Level fluktuatif tekanan darah
tertentu tergantung pada posisi tubuh, umur, dan stress. Berikut ini level tekanan
darah berdasarkan kelompok umur pada tabel 2.4.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
22
Universitas Indonesia
Tabel 2.4 Hipertensi berdasarkan Perbedaan Kelompok Umur
Kelompok Umur Normal Hipertensi
Bayi 80/40 90/60
Anak
7-11 tahun
100/60
120/80
Remaja
12-17 tahun
115/70
130/80
Dewasa
20-45 tahun
45-65 tahun
> 65 tahun
120-125/75-80
135-140/85
150/85
135/90
140/90-160/95
160/90 (borderline) Sumber: Bulock (1996)
2.7.2 Jenis Kelamin
Jenis kelamin berpengaruh pada terjadinya penyakit tidak menular
tertentu, yang banyak dicetuskan oleh hipertensi. Laporan Komisi Pakar WHO
tahun 1996 menyatakan bahwa pada usia dini tidak terdapat bukti nyata tentang
adanya perbedaan tekanan darah antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi,
memasuki masa remaja, laki-laki cenderung menunjukkan rata-rata tekanan darah
yang lebih tinggi. Perbedaan ini akan tampak lebih jelas pada orang dewasa muda
dan setengah baya. Pada usia tua, pola perbedaan tersebut menjadi terbalik.
Perubahan pada masa tua antara lain dapat dijelaskan dengan tingkat kematian
awal yang lebih tinggi pada laki-laki setengah baya pengidap hipertensi,
sementara pada perempuan terjadi perubahan pasca-menopause yang dapat pula
berpengaruh terhadap tekanan darahnya. Hasil penelitian menyebutkan bahwa
laki-laki lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan perempuan dengan rasio
sekitar 2,29 mmHg untuk peningkatan darah sistolik (ITB-WHO, 1996)
Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi daripada
wanita. Hipertensi berdasarkan gender ini dapat pula dipngaruhi oleh faktor
psikologis. Pada wanita seringkali dipicu oleh perilaku tidak sehat (merokok,
kelebihan berat badan), depresi, dan rendahnya status pekerjaan. Sedangkan pada
pria lebih berhubungan dengan pekerjaan, seperti perasaan kurang nyaman
terhadap pekerjaan dan pengangguran. Namun, penelitian lain mengatakan bahwa
laki-laki dan perempuan mempunyai peluang yang relatif sama menderita
hipertensi.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
23
Universitas Indonesia
2.7.3 Keturunan/Genetik
Orang-orang dengan riwayat keluarga yang mempunyai penyakit tidak
menular lebih sering menderita penyakit yang sama. Jika ada riwayat keluarga
dekat yang mempunyai faktor keturunan hipertensi, akan mempertinggi risiko
terkena hipertensi pada keturunannya. Keluarga yang memiliki riwayat hipertensi
akan meningkatkan risiko hipertensi sebesar 4 kali lipat.
Faktor genetik secara jelas berperan besar terhadap kejadian hipertensi.
Menurut Ingelfinger (2004), apabila seseorang memiliki salah orang tua yang
mengidap hipertensi, maka sebesar 45% individu tersebut berpeluang untuk
mengidap hipertensi. Sedangkan apabila kedua orang tuanya mengidap hipertensi,
kemungkinan mengidap hipertensi meningkat hingga 95% (Taylor, 2006).
2.7.4 Ras/Suku
Ras di diuga juga merupakan faktor risiko hipertensi. Berdasarkan hasil
penelitian diperoleh bahwa ras kulit hitam memiliki risiko 2 kali untuk mengidap
hipertensi dibandingkan ras kulit putih. Dampak hipertensi lebih parah pada laki-
laki dan perempuan ras kulit hitam. Prevalensi tingkat keparahan hipertensi juga
lebih tinggi pada ras kulit hitam dibandingkan ras kulit putih. Hal ini
kemungkinana dikarenakan rendahnya akses dari pengobatan terhadap hipertensi
serta didukung oleh faktor genetik, psikososial, maupun perilaku makan dari ras
tersebut (Bullock, 1996). Selain itu, penelitian lain yang dilakuka oleh Stevens et
al.,(2008) (dikutip dalam Bullock 1996) bahwa kejadian hipertensi pada penduduk
Asia lebih tinggi dibandingkan penduduk kulit putih maupun kulit hitam.
2.7.5 Status Sosioekonomi
Di negara-negara yang berada di tahap pasca-peralihan perubahan
ekonomi dan transisi epidemiologi, selalu terlihat adanya aras tekanan darah dan
prevalensi hipertensi yang lebih tinggi pada masyarakat sosioekomoni rendah. Hal
ini berhubungan dengan tingkat pendidikan, penghasilan, dan pekerjaan. Kondisi
yang berberbeda justru terjadi pada kelompok sosioekonomi tinggi dengan
prevalensi hipertensi yang lebih tinggi, dalam masyarakat yang berada dalam
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
24
Universitas Indonesia
masa peralihan atau pra peralihan. Hal ini kemungkinan dapat menggambarkan
tahap awal epidemi kardiovaskular. Berdasarkan pengalaman sebagian
masyarakat, menunjukkan bahwa peningkatan epidemi berpengaruh pada
golongan sosial ini.
2.7.6 Faktor Lingkungan
Adanya polusi udara, polusi suara, dan air semuanya telah diindikasikan
sebagai faktor risiko tekanan darah tinggi. Meskipun diperlukan penelitian lebih
dalam mengenai kondisi ini. Oleh karena itu, upaya melindungi masyarakat dari
polusi harus menjadi skala prioritas dengan alasan bahwa selain mempengaruhi
kesehatan dengan banyak cara, polusi juga berpengaruh pada hipertensi.
2.7.7 Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik atau Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan
penyakit tidak menular, karena olahraga isotonik secara teratur dapat menurunkan
tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan
melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan
pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu.
Pada kasus diabetes mellitus, olah raga ringan dapat membantu
pembakaran kalori sehingga memacu insulin untuk metabolisme glukosa. Pada
penderita jantung, olah raga sangat bermanfaat karena dapat membakar lemak
sehingga risiko penumpukan kolesterol dapat dikontrol. Olahraga juga dikaitkan
dengan peran obesitas pada hipertensi. Kurang melakukan olahraga akan
meningkatkan kemungkinan timbulnya obesitas dan jika asupan garam juga
bertambah akan memudahkan timbulnya hipertensi. Orang yang tidak aktif juga
cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot
jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan
sering otot jantung harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada
arteri.
Orang normotensi serta kurang gerak dan tidak bugar mempunyai risiko
20-50% lebih besar untuk terkena hipertensi selam masa tindak-lanjut bila
dibandingkan dengan orang yang aktif dan bugar. Beraerobik secara teratur untuk
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
25
Universitas Indonesia
mendapatkan kebigaran fisik sedang, dapat bermanfaat untuk mencegah dan
menangani hipertensi. Akan tetapi, setiap aktivitas fisik yang dilakukan harus
disesuaikan dengan faktor umur, jenis kelamin, indeks massa tubuh, dan kegiatan
di tempat kerja. (WHO, 1996).
2.7.8 Kebiasaan Merokok
Menurut Depkes RI (2006) merokok berkaitan dengan meningkatnya
risiko hipertensi. Selain dari lamanya merokok, risiko akibat merokok terbesar
tergantung pada jumlah rokok yang dihisap per hari. Seseorang lebih dari satu pak
rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan dari pada mereka yang tidak merokok.
Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui
rokok, masuk kedalam aliran darah dan merusak lapisan endotel pembuluh darah
arteri, mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi.
Nikotin dalam tembakaulah penyebab meningkatnya tekanan darah segara
setelah isapan pertama. Seperti zat-zat kimia lain dalam asap rokok, nikotin
diserap oleh pembuluh-pembuluh darah amat kecil di dalam paru-paru dan
diedarkan ke aliran darah. Hanya dalam beberapa detik nikotin sudah mencapai
otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal
untuk melepas epinefrin (adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan
pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan
yang lebih tinggi. Setelah merokok dua batang saja maka baik tekanan sistolik
maupun diastolik akan meningkat 10 mmHg. Tekanan darah akan tetap pada
ketinggian ini sampai 30 menit setelah berhenti mengisap rokok. Sementara efek
nikotin perlahan-lahan menghilang, tekanan darah juga akan menurun dengan
perlahan.
Pada perokok berat tekanan darah akan berada pada level tinggi sepanjang
hari. Secara langsung setelah kontak dengan nikotin akan timbul stimulan
terhadap kelenjar adrenal yang menyebabkan lepasnya epineprin (adrenalin).
Lepasnya adrenalin merangsang tubuh melepaskan glukosa mendadak sehingga
kadar gula darah meningkat dan tekanan darah juga meningkat, selain itu
pernafasan dan detak jantung akan meningkat. Nikotin mendesak pengeluaran
insulin dari pankreas, berarti perokok sering mengalami hiperglikemi (kelebihan
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
26
Universitas Indonesia
gula dalam darah). Nikotin secara tidak langsung menyebabkan pelepasan
dopamin dalam otak yang mengontrol kesenangan dan motivasi.
Selain kerusakan organ di atas juga kerusakan kronis syaraf dan perubahan
perilaku. Merokok juga meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen
untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok pada penderita tekanan darah tinggi
semakin meningkatkan risiko kerusakan pada pernbuluh darah arteri.
2.7.9 Konsumsi Lemak Jenuh
Kadar lemak yang tinggi dalam menu makanan sehari-hari akan
mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Total konsumsi lemak yang
dianjurkan yaitu kurang dari 30% dari total kalori. Sangat penting untuk
membatasi konsumsi lemak jenuh terlebih yang banyak terkandung dalam minyak
kelapa sehingga lebih dianjurkan untuk menggunakan minyak jagung atau minyak
sayur yang kandungan lemak jenuhnya lebih rendah. Konsumsi lemak jenuh
meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan
darah. Selain itu, konsumsi kalori dalam bentuk karbohidrat dan lemak akan
meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik yang akhirnya akan menyebabkan
hipertensi (Khomsan, 2004).
2.7.10 Konsumsi Garam
Berdasarkan penelitian diperoleh bahwa pada populasi penduduk denga
konsumsi natrium kurang dari 60 meq/hari tidak ditemukan hipertensi. Sedangkan
pada penduduk dengan konsumsi natrium yang tinggi menyebabkan prevalensi
hipertensi sekitar 9-20%. Akan tetapi, reaksi orang terhadap asupan garam yang di
dalamnya mengandung natrium, berbeda-beda. Pada beberapa orang, baik yang
sehat maupun yang mempunyai hipertensi, walaupun mereka mengkonsumsi
natrium tanpa batas, pengaruhnya terhadap tekanan darah sedikit sekali atau
bahkan tidak ada. Pada kelompok lain, terlalu banyak natrium menyebabkan
kenaikan darah yang juga memicu terjadinya hipertensi.
Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi terjadi melalui peningkatan
volume plasma, curah jantung dan tekanan darah. Garam meyebabkan
penumpukan cairan dalam tu
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
27
Universitas Indonesia
buh, karena menarik cairan di luar sel agar tidak keluar, sehingga akan
meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada manusia yang mengkonsumsi
garam 3 gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan
asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi
garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari yang setara dengan 110 mmol
natrium atau 2400 mg/hari. Asupan natrium akan meningkat menyebabkan tubuh
meretensi cairan yang meningkatkan volume darah (Khomsan, 2004).
2.7.11 Kondisi Mental/Emosional (Stres)
Stres adalah suatu kondisi disebabkan oleh transaksi antara individu
dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan yang berasal
dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial dari
seseorang. Stres adalah yang kita rasakan saat tuntutan emosi, fisik atau
lingkungan tak mudah diatasi atau melebihi daya dan kemampuan kita untuk
mengatasinya dengan efektif. Namun harus dipahami bahwa stres bukanlah
pengaruh-pengaruh yang datang dari luar itu. Stres adalah respon kita terhadap
pengaruh-pengaruh dari luar itu.
Sudah lama diketahui bahwa stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan,
murung, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar
anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih
cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stres
berlangsung cukup lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga
timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang muncul berupa
hipertensi atau penyakit maag.
Stress juga diyakini memiliki hubungan dengan hipertensi. Hal ini diduga
melalui saraf simpatis yang dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten.
Apabila stress berlangsung lama dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah
yang menetap. Stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu
dan bila stres sudah hilang tekanan darah bisa normal kembali. Terdapat bukti
bahwa berbagai bentuk stres akut dapat meningkatkan tekanan darah. Akan tetapi,
hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa stres jangka panjang mempunyai
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
28
Universitas Indonesia
efek jangka panjang pula, karena kemungkinan adanya faktor perancu seperti
kebiasaan makan ataupun faktor sosioekonomi (ITB-WHO, 1996).
2.7.12 Gizi Lebih (Kegemukan/Obesitas)
Pada beberapa hasil penelitian didaptkan bahwa kelebihan bobot badan
berkaitan dengan 2-6 kali kenaikan risiko hipertensi. kegemukan ataupun obesitas
mempunyai korelasi postif dengan hipertensi. Anak-anak dan remaja yang
mengalami kegemukan cenderung mempunyai tekanan darah tinggi. Diduga
meningkatanya bobot badan relatif sebesar 10% dapat meningkatkan tekanan
darah sebesar 7 mmHg. Oleh karena itu, langkah positif yang dapat dilakukan
untuk menurunkan hipertensi yakni melalui penurunan bobot badan dengan
membatasi konsumsi kalori bagi orang-orang yang obesitas (Khomsan, 2004).
Untuk mengetahui seseorang mengalami kegemukan tau tidak maka dapat
dilakukan pengukuran indeks massa tubuh (IMT) yang merupakan perbandingan
antara berat badan dengan tinggi badan. Adapun rumusnya sebagai berikut:
𝐼𝑀𝑇 =Berat Badan (Kg)
Tinggi Badan2(M)
IMT berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik.
Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang gemuk (obesity) 5 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat badannya normal. Pada penderita
hipertensi ditemukan sekitar 20-30% memiliki berat badan lebih. Berikut ini
adalah batasan IMT untuk menilai status gizi orang dewasa pada tabel 2.5.
Tabel 2.5 Klasifikasi Status Gizi penduduk Umur 15 tahun Keatas
Kategori Indeks Massa
Tubuh (IMT)
Kurus < 18,5
Normal ≥ 18,5- < 24,9
Berat Badan Lebih/Gemuk ≥ 25,0-< 27,0
Obese ≥ 27,0 Sumber: Depkes RI (2008)
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
29
Universitas Indonesia
2.7.13 Diabetes Mellitus
Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa diabetes mellitus juga
menjadi faktor risiko hipertensi. Pada pasien diabetes kadar glukosa dalam darah,
metabolit glukosa atau kadar asam lemak menjadi tinggi yang mengakibatkan
kerusakan pada lapisan endotelial arteri. Akibatnya, terjadi peningkatan
permeabilitas sel endotel yang mengandung lemak masuk ke dalam arteri.
Kerusakan sel-sel endotel menimbulkan reaksi imun dan inflamsi sehingga
akhirnya terjadi pengendapan trombosit, makrofag, dan jaringan fibrosis. Kondisi
ini perlahan-lahan membuat dinding arteri mengalami penebalan. Akibatnya,
tekanan jantung meningkat sehingga menyebabkan hipertensi (Corwin, 2009).
2.8 Definsi Lanjut Usia
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, 1998)
mendefinisikan batasan usia lanjut berdasarkan pertimbangan tiga aspek yaitu
aspek biologis, aspek sosial, dan aspek ekonomi. Secara biologis, penduduk usia
lanjut mengalami porses penuaan secara terus-menerus, yang ditandai dengan
menurunnya daya tahan fisik sehingga semakin rentan terhadap serangan penyakit
yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini dikarenakan adanya faktor biologik
yang terdiri dari 3 fase yaitu fase progresif, fase stabil dan fase regresif.
Dalam proses penuaan fase regresif mekanismenya lebih ke arah
kemunduran yang dimulai dalam sel komponen terkecil dari tubuh manusia. Sel-
sel menjadi aus karena lama berfungsi sehingga mengakibatkan kemunduran yang
dominan dibandingkan terjadinya pemulihan. Didalam struktur anatomik proses
menjadi tua terlihat sebagai kemunduran didalam sel. Proses ini berlangsung
secara alamiah, terus-menerus dan berkesinambungan, yang selanjutnya akan
menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimiawis pada jaringan
tubuh dan akhirnya akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan badan secara
keseluruhan.
Secara sosial, penduduk lanjut usia merupakan suatu kelompok sosial
sendiri. Di negara Barat, penduduk usia lanjut memiliki strata di bawah kaum
muda. Hal ini nampak dari keterlibatan lanjut usia terhadap sumber daya
ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputusan, serta luasnya hubungan
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
30
Universitas Indonesia
sosial yang semakin mengalami penurunan. Akan tetapi berbeda dengan di
Indonesia, di mana lanjut usia memiliki strata sosial yang tertinggi yang harus
dihormati oleh kaum muda.
Dari aspek ekonomi, penduduk lanjut usia lebih di anggap sebagai beban
dari pada sumber daya. Banyak orang yang beranggapan bahwa kehidupan masa
tua tidak lagi memberikan banyak manfaat bahkan seringakali dipersepsikan
secara negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat.
Bernice (1968), Chalhoun (1995) mendefinisikan masa tua adalah suatu
masa dimana orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya. Akan tetapi tetapi
bagi orang lain, periode ini adalah permulaan kemunduran. Usia tua dipandang
sebagai masa kemunduran, masa kelemahan manusiawi dan sosial sangat tersebar
luas dewasa ini. Pandangan ini tidak memperhitungkan bahwa kelompok lanjut
usia bukanlah kelompok orang yang homogen . Usia tua dialami dengan cara yang
berbeda-beda. Ada orang berusia lanjut yang mampu melihat arti penting usia tua
dalam konteks eksistensi manusia, yaitu sebagai masa hidup yang memberi
mereka kesempatan-kesempatan untuk tumbuh berkembang dan bertekad berbakti
. Ada juga lanjut usia yang memandang usia tua dengan sikapsikap yang berkisar
antara kepasrahan yang pasif dan pemberontakan, penolakan, dan keputusasaan.
Lansia ini menjadi terkunci dalam diri mereka sendiri dan dengan demikian
semakin cepat proses kemerosotan jasmani dan mental mereka sendiri (Suhartini,
2004).
Disamping itu, definisi lanjut usia dapat ditinjau berdasarkan pendekatan
Kronologis. Menurut Suparjo (1982), usia kronologis merupakan usia seseorang
berdasarkan hitungan umur dalam angka. Berdasarkan Undang-undang No. 13
Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan lanjut usia adalah penduduk usia 60 tahun atau lebih.
Lanjut usia dapat juga disebut sebagai kelompok manusia berumur tua.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2005) menggolongkan usia lanjut dalam
empat kategori yaitu usia pertengahan (Midlle age) 45-59 tahun, Lanjut usia
(Eldery) 60-74 tahun, lanjut usia tua (Old) 75-90 tahun, serta usia sangat tua (Very
Old) lebih dari 90 tahun. Sedangkan menurut Deprtemen Kesehatan RI (Depkes,
2003) lanjut usia di kategorikan berdasarkan tiga kelompok usia yaitu pra lanjut
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
31
Universitas Indonesia
usia 45-59 tahun, Lanjut usia 60-69 tahun, dan lanjut usia risiko tinggi (Lansia
Risti) 70 tahun atau lebih.
Dari beberapa batasan lanjut usia tersebut, posyandu lansia menggunakan
kategori berdasarkan pedoman pelayanan kesehatan lanjut usia yaitu melayani
kelompok umur 45-59 tahun (pra lansia), 60-69 tahun (lansia) , dan 70 tahun ke
atas (lansia risiko tinggi).
2.8.1 Proses menua
Menurut Darmojo (2006) menua atau aging adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga
tidak dapat bertahan terhadap trauma (termasuk infeksi) dan memperbaiki
kerusakan yang diderita. Proses menua dapat juga diartikan sebagai proses yang
mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya
sebagian besar cadangan sistem fisiologi dan meningkatnya kerentanan terhadap
berbagai penyakit dan kematian. Seiring dengan bertambahnya usia menyebabkan
terjadinya berbagai perubahan fisiologi yang tidak hanya berpengaruh terhadap
penampilan fisik, namun juga terhadap fungsi dan tanggapnya dalam kehidupan
sehari-hari. Akan tetapi, perlu dicermati bahwa setiap individu mengalami
perubahan-perubahan tersebut secara berbeda. Proses ini bukanlah sesuatu yang
hanya terjadi pada orang berusia lanjut, melainkan suatu proses normal yang
berlangsung sejak maturnitas hingga berakhir dengan kematian. Namun demikian,
efek penuaan tersebut umumnya terlihat setelah usia 40 tahun (Departemen ilmu
penyakit dalam, 2006).
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
bahwa seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa anak, masa
dewasa dan masa tua (Nugroho, 1992). Tiga tahap ini berbeda baik secara biologis
maupun psikologis.
Terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh gerontologis apabila
menyangkut proses menua: 1). Aging menunjukkkan efek waktu suatu proses
perubahan biasanya secara bertahap dan spontan. Istilah aging dianggap tidak
mewakili apa yang terjadi pada proses menua. Sebab berbagai proses yang terjadi
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
32
Universitas Indonesia
seiring waktu, seperti perkembangan (development) dapat disebut sebagai aging.
2). Senescene yaitu hilangnya kemapuan sel untuk membelah dan berkembang
(seiring waktu akan menyebabkan kematian) 3). Homeostenosis yaitu
berkurangnya cadangan homeostatis yang terjadi selama masa penuaan pada
sistem organ.
2.8.2 Masalah Lanjut Usia di Indonesia
Secara demografi hampir setiap tahun jumlah penduduk lanjut usia terus
meningkat. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1980 penduduk berusia 60 tahun
ke atas terdapat sebanyak 8 juta atau 5,5% dari jumlah penduduk dan 11,3 juta
atau 6,4% pada tahun 1990. Pada tahun 2000 proporsi lanjut usia mencapai 14,4
juta jiwa atau 7,18% dari total jumlah penduduk (BPS, Sensus Penduduk
Indonesia, 2000). Pada tahun yang sama data Susesnas menyebutkan beberapa
propinsi di Indonesia yang memiliki jumlah uisa lanjut yang melebihi angka
nasional seperti Yogyakarta, Jawa Timur (9,3%), Jawa Tengah (9,26%), Bali
(8,77%), Sumatera Barat (8,8%) dan Sulawesi Utara (7,64%). Berdasarkan data
Susesnas tahun 2003 kemudian diperoleh bahwa jumlah penduduk lanjut usia
telah mencapai 16,1 juta jiwa (7,54%) dari 214.374.096 jiwa total penduduk
Indonesia.
Perbaikan kualitas hidup dan pelayanan kesehatan secara umum
berdampak pada peningkatan umur harapan hidup dan jumlah lanjut usia di
Indonesia, sehingga Indonesia termasuk salah satu negara yang struktur
penduduknya tergolong penduduk struktur tua (jumlah penduduk lansia lebih dari
7%) disamping Jepang, Republik Korea, dan Singapura.
Umur harapan hidup (UHH) mengalami peningkat yang siginifikan, pada
tahun 1990 mencapai 64,7 tahun untuk perempuan dan 61 tahun untuk laki-laki.
Pada tahun 1995 meningkat menjadi 66,7 tahun pada perempuan dan 62,9 tahun
pada laki-laki. Tahun 2005, UHH mencapai 68,2 tahun perempuan dan 64,3 tahun
pada laki-laki. Kemudian di tahun 2009, UHH sudah mencapai 70,6 tahun dan
diperkirakan tahun 2014 UUH dapat mencapai 72 tahun.
Perubahan demografi ini akan berpengaruh terhadap berbagai aspek
kehidupan lanjut usia, baik secara individu maupun kaitannya dengan keluarga
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
33
Universitas Indonesia
dan masyarakat. Jumlah lansia yang sangat besar membawa konsekuensi terhadap
aspek kehidupan, baik fisik, mental, psikososial dan ekonomi. Umumnya
permasalahan yang dialami lanjut usia di Indonesia adalah menurunnya kondisi
kesehatan, mundurnya kemampuan fisik, menurunya kondisi mental, belum
berfungsinya potensi yang dimiliki, banyak yang hidup terlantar, tidak ada
pekerjaan, tanpa bekal hidup serta kondisi penopang yang belum memuaskan.
Berstatus sebagai kepala rumah tangga.
Kondisi lanjut usia di Indonesia masih memprihatinkan. Data Sensus
Penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa sekitar separuh lebih (57,60%) lanjt
usia berstatus sebagai kepala rumah tangga. Sebagian besar lanjut usia memiliki
tingkat pendidikan yang rendah, dimana sekitar 70% lanjut usia berpendidikan
sekolah dasar ke bawah, lanjut usia yang tidak pernah sekolah 38,06%, yang tidak
tamat sekolah dasar 28,7% dan sisanya tamat sekolah dasar (Dokumen Rencana
Aksi Nasional Tahun 2003).
Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT, 1995) diperoleh angka
kesakitan dan disabiliti sebesar 11,5% pada usia 45-49 tahun dan 9,2% pada usia
lebih dari 60 tahun dengan berbagai jenis penyakit degeneratif seperti gangguan
sirkulasi, tuberkulosis, gangguan sistem pencernaan, gangguan pernapasan, dan
penyakit infeksi. Gangguan gizi yang terjadi pada lanjut usia disebabkan oleh
keadaan gigi geliginya, sehingga asupan gizi tidak mencukupi. Gangguan anemia
gizi sebagai salah satu akibat, ditemuan 50% pada lanjut usia (SKRT,1995)
dengan batas nilai Hb 12gr%.
Kodim (1998) menyatakan adapun penyakit yang sering dijumpai pada
lanjut usia yaitu hipertensi, diabetes mellitus, osteotritis, osteoporosis, penyakit
jantung coroner (CHD), penyakit cerebro vaskuler (CVD), infeksi, gangguan
pendengaran, dan penglihatn, depresi serta dimensia. berdasarka hasil penelitian
lembaga demografi UI di propinsi Lampung, Jabra, Jateng, dan Jatim, diketahui
bahwa sekitar 3% kelompok lansia muda (60-65 tahun) yang mengalami kondisi
kesehatn yang buruk. Sekitar 11,0% merasa kesehatan mereka lebih buruk dari
pada teman-teman sebaya, dan 25,3% menyatakan diri mereka tidak sehat.
Namun, bukan berarti semua lanjut usia seolah-olah berakhir dengan
ketidakmampuan yang menjadi beban keluarga atau masyarakat. Beberapa lanjut
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
34
Universitas Indonesia
usia, justru tetap sehat dan dapat terus berkarya dan mengabdikan diri bagi
masyarakat. Kegiatan-kegiatan tertentu yang sesuai dengan kemampuan lanjut
usia dapat membuat lanjut usia tetap dapat memberikan sumbangsih bagi
kehidupan bermasyarakat.
2.8.3 Hipertensi pada Lanjut Usia
Jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia usia lebih dari 60 tahun pada
tahun 2010 mengalami kenaikan sebesar 400%, sehingga jumlahnya lebih besar
dibandingkan jumlah anak di bawah lima tahhun (Balita). Lanjut usia membawa
konsekuensi meningkatnya berbagai penyakit kardiovaskuler, infeksi dan gagal
jantung. Tekanan darah sistolik (TDS) meningkat sesuai dengan peningkatan usia,
akan tetapi Tekanan darah diastolik (TDD) meningkat seiring dengan TDS sampai
sekitar usia 55 tahun, yang kemudian menurun oleh karena proses kekakuan arteri
akibat aterosklerosis.
Sekitar usia 60 tahun, dua pertiga pasien dengan hipertensi mempunyai
hipertensi sistolik terisolasi (HST), sedangkan di atas 75 tahun tiga perempat dari
dari seluruh pasien mempunyai hipertensi sistolik. Di negara maju saat ini tekanan
darah yang terkontrol (TDS <140, TDD <90mmHg) hanya terdapat pada 20%
pasien hipertensi. Keberhasilan pengobatan yang rendah pada usia lanjut
diakibatkan juga oleh karena banyak dokter tidak mengobati hipertensi lanjut usia
sampai optimal (kurang dari 140/90 mmHg) mengingat kekuatiran terjadinya efek
samping. (Ariatmo, 2001)
2.9 Posyandu Lanjut Usia
Pemerintah telah merumuskan berbagai kebijakan pelayanan kesehatan
usia lanjut ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan
lansia untuk mencapai masa tua bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan
keluarga dan masyarakat sesuai dengan keberadaannya. Sebagai wujud nyata
pelayanan sosial dan kesehatan pada kelompok usia lanjut ini, pemerintah telah
mencanangkan pelayanan pada lansia melalui beberapa jenjang. Pelayanan
kesehatan di tingkat masyarakat adalah Posyandu lansia, pelayanan kesehatan
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
35
Universitas Indonesia
lansia tingkat dasar adalah Puskesmas, dan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan
adalah Rumah Sakit.
Posyandu lansia adalah pos pelayanan terpadu untuk masyarakat usia
lanjut di suatu wilayah tertentu yang sudah disepakati, yang digerakkan oleh
masyarakat dimana mereka bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. Posyandu
lansia merupakan pengembangan dari kebijakan pemerintah melalui pelayanan
kesehatan bagi lansia yang penyelenggaraannya melalui program Puskesmas
dengan melibatkan peran serta para lansia, keluarga, tokoh masyarakat dan
organisasi sosial dalam penyelenggaraannya.
2.9.1 Tujuan Posyandu Lansia
Tujuan pembentukan posyandu lansia secara garis besar antara lain :
a. Meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan lansia di masyarakat, sehingga
terbentuk pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia
b. Mendekatkan pelayanan dan meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta
dalam pelayanan kesehatan disamping meningkatkan komunikasi antara
masyarakat usia lanjut.
2.9.2 Mekanisme Pelayanan Posyandu Lansia
Berbeda dengan posyandu balita yang terdapat sistem 5 meja, pelayanan
yang diselenggarakan dalam posyandu lansia tergantung pada mekanisme dan
kebijakan pelayanan kesehatan di suatu wilayah kabupaten maupun kota
penyelenggara. Ada yang menyelenggarakan posyandu lansia sistem 5 meja
seperti posyandu balita, ada juga hanya menggunakan sistem pelayanan 3 meja,
dengan kegiatan sebagai berikut :
1. Meja I : pendaftaran lansia, pengukuran dan penimbangan berat badan dan atau
tinggi badan
2. Meja II : Melakukan pencatatan berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh
(IMT). Pelayanan kesehatan seperti pengobatan sederhana dan rujukan kasus
juga dilakukan di meja II ini.
3. Meja III : melakukan kegiatan penyuluhan atau konseling, disini juga bisa
dilakukan pelayanan pojok gizi.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
36
Universitas Indonesia
2.9.3 Bentuk Pelayanan Posyandu Lansia
Pelayanan Kesehatan di Posyandu lanjut usia meliputi pemeriksaan
Kesehatan fisik dan mental emosional yang dicatat dan dipantau dengan Kartu
Menuju Sehat (KMS) untuk mengetahui lebih awal penyakit yang diderita
(deteksi dini) atau ancaman masalah kesehatan yang dihadapi. Jenis Pelayanan
Kesehatan yang dapat diberikan kepada usia lanjut di posyandu lansia umumnya
adalah:
1. Pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-hari meliputi kegiatan dasar dalam
kehidupan, seperti makan/minum, berjalan, mandi, berpakaian, naik turun
tempat tidur, buang air besar/kecil dan sebagainya.
2. Pemeriksaan status mental. Pemeriksaan ini berhubungan dengan mental
emosional dengan menggunakan pedoman metode 2 (dua ) menit.
3. Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran
tinggi badan dan dicatat pada grafik indeks masa tubuh (IMT).
4. Pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter dan stetoskop serta
penghitungan denyut nadi selama satu menit.
5. Pemeriksaan hemoglobin menggunakan talquist, sahli atau cuprisulfat
6. Pemeriksaan adanya gula dalam air seni sebagai deteksi awal adanya penyakit
gula (diabetes mellitus)
7. Pemeriksaan adanya zat putih telur (protein) dalam air seni sebagai deteksi
awal adanya penyakit ginjal.
8. Pelaksanaan rujukan ke Puskesmas bilamana ada keluhan dan atau ditemukan
kelainan pada pemeriksaan butir 1 hingga 7. dan
9. Penyuluhan Kesehatan.
Kegiatan lain yang dapat dilakukan sesuai kebutuhan dan kondisi setempat
seperti Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dengan memperhatikan aspek
kesehatan dan gizi lanjut usia dan kegiatan olah raga seperti senam lanjut usia,
gerak jalan santai untuk meningkatkan kebugaran.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
37 Universitas Indonesia
BAB 3
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP,
HIPOTESIS, & DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Teori
Hipertensi merupakan salah satu penyakit tidak menular. Pada hipertensi
primer tidak diketahui dengan pasti penyebabnya karena bersifat multicausal.
Akan tetapi, para ahli mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor risiko yang
secara signifikan dapat mempengaruhi kejadian hipertensi. Berdasarkan teori
Blum, diketahui bahwa empat faktor utama yang mempengaruhi kejadian
penyakit yaitu faktor genetik, pelayanan kesehatan, gaya hidup, dan lingkungan.
Sedangkan, menurut Bustan (2007), faktor-faktor risiko hipertensi antara lain,
umur, ras/suku, lingkungan tempat tinggal atau wilayah geografis, jenis kelamin,
obesitas, stres, personality type, konsumsi garam berlebih, konsumsi alkohol,
kebiasaan merokok, penggunaan pil KB, serta riwayat penyakit Diabetes mellitus.
Selain itu, menurut Hull, 1986 faktor risiko lainnya dapat berupa konsumsi lemak
berlebih, rendahnya jumlah serat dalam diet, serta aktivitas fisik. Berdasarkan
sumber literatur tersebut dan hasil dari penelitian sebelumnya, maka diperoleh
berbagai faktor risiko yang dapat mempengaruhi kejadian hipertensi. arah panah
dalam skema menunjukkan bahwa setiap faktor risiko saling berhubungan untuk
dapat memicu terjadinya hipertensi. Adapun skema kerangka teori dapat dilihat
pada gambar 3.1.
Keterangan gambar 3.1 :
Tidak diteliti
Diteliti
Teori Blum
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
38
Universitas Indonesia
Kerangka Teori
Gambar 3.1 Skema Hipertensi
Demografi
Degeneratif
Jenis Kelamin
Stress/
emosional
Pekerjaan
Perilaku Lingkungan
Sosial/Ekonomi
Umur
Kegemukan
n
Kepribadian
Status Perkawinan
Pendidikan
Alkohol Olahraga
Diet:
- Lemak jenuh
- rendah kalsium
-Kopi/teh
- rendah Serat
Merokok
Riwayat
Keluarga
Pil KB
Kolesterol
Penyakit
tertentu:
DM, ginjal
Genetik
Tempat Tinggal
Hipertensi
Ras
Pelayanan
kesehatan
Sumber:
Modifikasi Teori Blum,
Bustan (2007) & Hull
(1986)
Diet Garam
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
39
Universitas Indonesia
3.2 Kerangka Konsep
Berdasarkan teori yang ada serta disesuaikan dengan ketersedian data dari
di Posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo JakartaTimur bulan Desember
2010, maka faktor-faktor risiko yang akan diteliti berupa karateristik individu
(umur, jenis kelamin, dan tempat tinggal), kondisi kesehatan fisik dan mental
(kegemukan, penyakit diabetes mellitus, dan gangguan mental/emosional), seperti
terlihat pada skema berikut:
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 3.2 Skema Kerangka Konsep
Sumber:
Modifikasi Teori Blum,
Bustan (2007) & Hull
(1986)
Karakteristik Individu
Umur
Jenis Kelamin
Tempat Tinggal
Kondisi Kesehatan
Fisik/mental
Status IMT (Kegemukan)
Riwayat penyakit Diabetes
mellitus
Gangguan
mental/emosional
Kejadian Hipertensi
Pada Lanjut Usia
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
40
Universitas Indonesia
3.3 Hipotesis
1. Adanya hubungan antara karakteristik demografi (umur, jenis kelamin,
dan tempat tinggal) dengan kejadian hipertensi di posyandu lansia wilayah
kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur tahun 2010.
2. Adanya hubungan antara kegemukan dengan kejadian hipertensi di
posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur tahun
2010.
3. Adanya hubungan antara gangguan mental/emosional dengan kejadian
hipertensi di posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo Jakarta
Timur tahun 2010.
4. Adanya hubungan antara riwayat penyakit Diabetes mellitus dengan
kejadian hipertensi di posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo
Jakarta Timur tahun 2010.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
41
Universitas Indonesia
3.4 Definisi Opersional
No Variabel Definisi Operasional Cara
Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Skala
Ukur
Variabel Dependen
1. Hipertensi Tingginya tekanan darah yang
diperoleh dari hasil
pengukuran, dengan tekanan
sistolik ≥140 mmHg dan atau
tekanan diastolik ≥90 mmHg,
tanpa sedang menderita suatu
penyakit.
(JNC VI, 1998)
Observasi Laporan Pencatatan
Hasil Kegiatan
Kesehatan Posyandu
Lansia Bulan Desember
2010
1.hipertensi
2. non-hipertensi
Ordinal
Variabel Independen
2 Jenis Kelamin Penggolongan responden
yang terdiri dari laki-laki dan
perempuan
Observasi Laporan Pencatatan
Hasil Kegiatan
Kesehatan Posyandu
Lansia bulan Desember
2010
1. Laki-laki
2. Perempuan
Nominal
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
42
Universitas Indonesia
3 Umur Usia responden sampai saat
dilakukan pemeriksaan di
Posyandu lansia bulan
Desember 2010
Observasi Laporan Pencatatan
Hasil Kegiatan
Kesehatan Posyandu
Lansia bulan Desember
2010
1. ≥ 70 tahun (lansia
risti)
2. 60-69 tahun (lansia)
3. 45-59 tahun
(Pralansia)
Ordinal
4 Tempat Tinggal Wilayah tempat tinggal lansia
berdasarkan kelurahan
Obsevasi Laporan Pencatatan
Hasil Kegiatan
Kesehatan Posyandu
Lansia bulan Desember
2010
1. Kelurahan Baru
2. Kelurahan Cijantung
3. Kelurahan Kalisari
4. Kelurahan Pekayon
Nominal
5 Tingkat
Kemandirian
Kemampuan Lanjut usia untuk
tetap mandiri dalam
melakukan berbagai
aktivitasnya sehari-hari seperti
berjalan, makan, mandi,
mengganti pakain, dan
lainnya.
(Dinkes DKI Jakarta, 2004)
Obervasi Laporan Pencatatan
Hasil Kegiatan
Kesehatan Posyandu
Lansia pada bulan
Desember 2010
1. tidak mandiri kategori
B : apabila ada
gangguan dalam
melakukan sendiri,
hingga kadang-
kadang perlu bantuan
dan kategori A :
apabila usia lanjut
Ordinal
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
43
Universitas Indonesia
sama sekali tidak
mampu melakukan
kegiatan sehari-hari,
sehingga sangat
tergantung orang lain
(ketergantungan)
2. Mandiri, kategori C :
Apabila usia lanjut
masih mampu
melakukan kegiatan
sehari-hari tanpa
bantuan sama sekali
(mandiri)
6 Kegemukan Keadaan gizi lansia yang nilai
berdarakan hasil perhintungan
Indeks Massa Tubuh (IMT).
Atau berdasarkan grafik IMT
pada KMS Lansia. normal bila
Observasi Laporan Pencatatan
Hasil Kegiatan
Kesehatan Posyandu
Lansiapada bulan
Desember 2010
1. Gemuk
2. Tidak Gemuk
Ordinal
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
44
Universitas Indonesia
IMT < 25. kegemukan bila
IMT ≥ 25
7 Penyakit
Penyerta
Diabetes Mellitus
Ditemukannya kadar gula
yang tinggi dalam darah
berdasarkan hasil pemeriksaan
Gula darah sewaktu
menggunakan alat tes gula
darah atau apabila lansia
memang memiliki riwayat DM
hasil diagnosis dokter ( Dinkes
DKI Jakarta, 2004)
Observasi Laporan Pencatatan
Hasil Kegiatan
Kesehatan Posyandu
Lansia bulan Desember
2010
1. Lansia dengan DM
2. Lansia tanpa DM
Nominal
8 Kesehatan
Mental/emosional
Ada atau tidaknya gangguan
mental/emosional dari hasil
pemeriksaan dengan metode 2
menit melalui 2 tahap
pertanyaan yang tertera pada
KMS
(Dinkes DKI Jakarta , 2004)
Observasi Laporan Pencatatan
Hasil Kegiatan
Kesehatan Posyandu
Lansia bulan Desember
2010
1. ada gangguan
emosional
2. tidak ada gangguan
emosional
Nominal
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
45 Universitas Indonesia
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Desain studi yang
digunakan adalah studi potong lintang atau cross sectional yakni untuk
mengetahui prevalensi hipertensi dan determinannya pada lanjut usia yang
mendapatkan pelayanan kesehatan di Posyandu lansia pada bulan Desember 2010.
Determinan hipertensi yang akan diteliti meliputi karakteristik demografi seperti
umur, jenis kelamin, kemandirian, kondisi kesehatan (kegemukan, gangguan
mental/emosional, dan penyakit DM). Desain studi ini dipilih karena mudah
dilaksanakan, lebih ekonomis dari segi waktu, dan hasilnya dapat diperoleh
dengan lebih cepat.
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Peneltian ini dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder hasil
pemeriksaan kesehatan dan KMS lansia bulan Desember 2010 yang dilakukan
selama pada bulan Maret-Mei 2011 dan tempat pelaksanaan penelitiannya adalah
di Puskesmas dan posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi
Populasi penelitian adalah seluruh lansia yang berkunjung dan
mendapatkan pelayanan kesehatan serta tercatat dalam laporan hasil kegiatan
pelayanan kesehatan lansia di seluruh posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar
Rebo Jakarta Timur tahun 2010.
4.3.2 Sampel
Karena keterbatasan data akibat pencatatan dan pelaporan yang kurang
baik maka peneliti hanya memperoleh data yang lengkap dan terbanyak pada
bulan Desember dari 10 posyandu lansia di Kecamatan Pasar Rebo. Data
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
46
Universitas Indonesia
Posyandu lansia yang digunakan hanya bulan Desember 2010 karena data per
lansia yang tersedia lengkap lebih banyak. dari 10 posyandu lansia tersebut
didapatkan responden sebanyak 270 orang yang sesuai dengan kriteria inklusi dan
ekslusi. Adapun Posyandu yang lansia yang terpilih dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Posyandu Lansia Yang Terpilih Untuk
Menjadi Sampel Penelitian
Kelurahan Posyandu dengan data yg
lengkap
Baru RW 1 dan 10
Cijantung RW 4, 9, dan 10
Kalisari RW 4 dan 7
Pekayon RW 8, 9, dan 10
Total 10 RW
4.3.3 Kriteria Inklusi dan Ekslusi
4.3.3.1 Kriteria Inklusi
1. Data Responden yang di ambil yaitu hanya penduduk usia 45 tahun atau
lebih yang tinggal di wilayah kerja posyandu lansia yang datang
berkunjung, mendapatkan pelayanan kesehatan serta tercatat dalam
laporan hasil kegiatan pelayanan kesehatan di posyandu lansia pada bulan
Desember 2010
4.3.3.2 Kriteria Ekslusi
1. Data Responden tidak terisi secara lengkap dan benar
4.3.3.2 Besar Sampel
Besar sampel minimal untuk penelitian ini menggunakan rums uji
hipotesis dua proporsi (Lameshow, 1997):
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
47
Universitas Indonesia
Keterangan :
N = jumlah sampel yang dibutuhkan
Z1-α/2 = Nilai Z pada derajat kepercayaan/kemaknaan α : 5% (two-tail)
Z1-β = Nilai Z pada kekuatan uji (power) 1-β : 90% (0,90)
P = (P1+P2)/2
P1 = proporsi hipertensi pada kelompok yang berisiko
P2 = proporsi hipertensi pada kelompok yang tidak berisiko
Tabel 4.2 Besar Sampel Penelitian
Berdasarkan jumlah sampel terbesar, maka variabel yang sebagai acuan untuk
sampel minimal pada penelitian ini adalah variabel IMT dengan P1(0,248) dan P2
(0,103) sehingga besar sampel minimal didapatkan sebanyak 143 responden
4.4 Teknik Pengumulan Data
4.4.1 Sumber Data
Penelitian ini dilakukan melalui observasi data sekunder berupa laporan hasil
kegiatan pelayanan kesehatan lanjut usia di posyandu lansia se-kecamatan Pasar
Rebo yang terdiri dari 10 posyandu lansia yang sesuai dengan kriteria inklusi dan
ekslusi.
Variabel
dependen
Variabel
independen
P1 P2 Sampel Sumber
Hipertensi di
Posyandu
Lansia
Umur 0,705 0,465 87 Yusida, 2001
Jenis kelamin 0,844 0,583 61 Yuliarti, 2007
Stress 0,551 0,355 134 Jullaman, 2008
IMT 0,689 0,5 140 Novi, 2009
DM 0,248 0,103 143 Khania, 2002
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
48
Universitas Indonesia
4.4.2 Cara Pengambilan Data
Peneliti mendatangi masing-masing puskesmas Kelurahan di kecamatan
Pasar Rebo yang terdiri dari Puskesmas Kalisari, Baru, Pekayon, Gedong, dan
Cijantung. Kemudian meminta data laporan hasil kegiatan lansia di wilayah kerja
masing-masing puskesmas pada selama bulan Desember 2010. Apabila data yang
diperlukan tidak tersedia dengan lengkap dan masih ada data-data yang tampak
membingungkan maka peneliti juga mendatangi secara langsung Posyandu lansia
ataupun rumah dari kader lansia tersebut.
4.5 Manajemen Data
1. Editing data
Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir laporan hasil
kegiatan pelayanan kesehatan lansia kemuadian di masukan ke form yang
telah dibuat oleh peneliti dan diperiksa apakah telah terisi dengan lengkap dan
benar.
2. pengkodean (Coding)
Merupakan kegiatan mengubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk
angka/bilangan sesuai dengan kategori yang telah ditentukan oleh peneliti.
3. pemasukan data (Entry)
Memproses agar data yang sudah di-entry dapat dianalisis. Pemrosesan data
dilakukan dengan cara meng-entry data ke paket program komputer
4. Cleaning
Pembersihan data merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-
entry apakah ada kesalahan atau tidak.
4.6 Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk melihat distribusi dan frekuensi dari
setiap variabel. Bentuknya tergantung jenis datanya. Pada penelitian ini jenis data
yang digunakan adalah data katagorik berupa skala nominal dan ordinal serta data
numerik dengan skala ratio sehingga akan didapatkan besar proporsi atau
persentasi dari data katagorik serta nilai mean, median, modus, standar
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
49
Universitas Indonesia
deviasinya untuk data numerik dari variabel yang diteliti baik variabel dependen
maupun variabel independen.
4.7 Anasilsi Bivariat
Penelitian ini dilakukan analisis bivariat untuk melihat hubungan antara
dua variabel sehingga dapat diketahui nilai kemaknaan statistik dan ukuran
asosiasi. Jenis data untuk setiap variabel yang akan diteliti adalah data katagorik
sehingga menggunakan uji Chi square untuk menguji perbedaan proporsi atau
persentase pada variabel independen dan dependennya. Prinsip uji chi square
adalah untuk membandingkan variabel-variabel yang diteliti dan mengetahui
hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dengan cara
membuat tabulasi silang (crosstab). Arah penelitian adalah dua sisi (two-side )
dengan batas kemaknaan yang digunakan adalah p-value<0.05.
P-value >0,05 menujukkan hasil adalah tidak bermakna
P-value ≤0.05 menunjukkan hasil bermakna.
Rumus:
𝑋2 = (𝑂−𝐸)2
𝐸
Keterangan:
X = Statistik chi Square pada df (b-1) (K-1) dan α = 5%
O = Frekuensi hasil pengamatan
E = frekuensi yang diharapkan
df = Degree of free (derajat kebebasan) = (baris-1) (kolom-1)
α = alfa (5%)
Ukuran kekuatan asosiasi yang digunakan adalah Prevalence Ratio (PR)
yaitu risiko pada penelitian prevalen. Ukuran ini digunakan karena variabel yang
diamati (hipertensi) merupakan kasus prevalen.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
50
Universitas Indonesia
Perhitungan prevalen dengan menggunakan tabel 2x2 yaitu:
Faktor Risiko D+ D- Total
Terpapar a b a + b
Tidak Terpapar c d c + d
Total a + c b + d a +b + c + d
Prevalen pada kelompok terpapar : a/(a+c)
Prevalen pada kelompok tidak terpapar : c/(c+d)
Perhitungan Prevalens Ratio (PR) : Prevalens pada kelompok terpapar
Prevalens pada kelompok tidak terpapar
a. PR > 1 menunjukan bahwa faktor risiko pajanan meningkatkan/memperbesar
kejadian hipertensi
b. PR = 1 menunjukkan tidak terdapat asosiasi antara faktor pajanan dengan
terjadinya hipertensi
c. PR < 1 menunjukkan bahwa faktor pajanan akan mengurangi risiko hipertensi
Dengan PR dapat diperkirakan tingkat kemungkinan risiko masing-masing
variabel yang diteliti terhadap kejadian hipertensi. Nilai Prevalens Ratio
merupakan nilai estimasi hubungan antara penyakit dengan faktor risiko.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
51 Universitas Indonesia
BAB 5
HASIL PENELITIAN
5.1. Gambaran Umum
Kecamatan Pasar Rebo merupakan salah satu kecamatan dalam wilayah
Kotamadya Jakarta Timur. Luas wilayahnya mencapai 1.297,70 Ha. batas-batas
wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur
Selatan Selatan : Kecamatan Cimanggis, Kotamadya Depok Jawa Barat
Sebelah Timur : Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur
Sebelah Barat : Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Kecamatan Pasar Rebo terdiri dari 5 kelurahan. Jumlah penduduk di
Kecamatan Pasar Rebo sampai dengan bulan desember 2009 sebanyak 166.639
jiwa terdiri dari laki – laki 89.393 jiwa dan perempuan 77.246 dengan kepadatan
penduduk mencapai 1.284 jiwa/km2. Pembagian wilayah serta kependudukan
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.1 Luas Wilayah, RW, RT, Jumlah Penduduk, Jumlah Rumah
Tangga, Rata-rata Jiwa, dan Kepadatan Penduduk
Kecamatan Pasar Rebo Tahun 2009
Kelurahan Luas
Wilayah
(Ha)
RW RT Jumlah
Penduduk
Jumlah
Rumah
Tangga (KK)
Rata-rata
Jiwa/Rumah
tangga (KK)
Kepadatan
Penduduk/km2
Gedong 263,40 12 116 31.635 9.535 3,3 118
Cijantung 238,57 11 104 35.353 10.229 3,5 147
Baru 188,55 10 79 25.778 6.297 4,1 136
Kalisari 289,45 9 93 32.016 6.781 4,7 109
Pekayon 317,73 10 110 41.857 6.113 6,8 131,73
Jumlah 1.297,70 52 502 166.639 38.955 4,3 128,4
Sumber: Profil Kecamatan Pasar Rebo Tahun 2009
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
52
Universitas Indonesia
5.1.2 Data Sosial Ekonomi
Mata pencaharian penduduk pada umumnya sebagian besar adalah buruh
dan dibidang jasa dengan rincian sebagai berikut.
Tabel 5.2 Jenis Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Pasar Rebo
Jakarta Timur Tahun 2010
MATA PENCAHARIAN JUMLAH (%)
Pegawai Negeri
ABRI
POLRI Pedagang
Wiraswasta
Buruh Jasa dan lain-lain
Tani
5.471
6.002
3.332 4.201
1.913
7.196 8.063
60
15.1
16.6
9.2 11.6
5.3
19.9 22.3
0.2
Jumlah 36.238 100
Sumber: Laporan Tahun Kesehatan Lansia PKC Pasar Rebo (2010)
5.1.3 Pembinaan kesehatan di Posyandu lansia
Upaya pembinaan kesehatan lansia di Pasar Rebo dimulai berdasarkan
instruksi Gubernur DKI Jakarta maupun walikota Jakarta timur yang
ditindaklanjuti dengan Surat keputusan camat sehingga terbentuklah wadah bagi
lansia yang diberi nama FKLU (Forum Komunikasi Lanjut Usia) yang kemudian
berkembang melalui pembentukan posyandu lansia yang tersebar di lima
kelurahan.
Tabel 5.3 Upaya Pembinaan Kesehatan di Posyandu Lansia
Kecamatan Pasar Rebo 2010
KELURAHAN RT RW KELP/
KADER
USIA
45-59
USIA
60-69
USIA
>70 TOTAL CAKUPAN
GEDONG 117 12 10/ 75 4485 2379 1952 8816 47,9
CIJANTUNG 109 11 9/27 6705 2262 1440 10407 19,5
BARU 79 10 7/24 4278 1156 434 5868 23,6
KALISARI 102 10 6/25 4220 2141 1625 7986 45,7
PEKAYON 116 10 9/45 5160 1246 1145 7551 35,5
TOTAL 523 53 41/201 24848 9184 6596 40628 32,75
Sumber: Di olah kembali dari Laporan Tahun Kesehatan Lansia PKC Pasar Rebo (2010)
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
53
Universitas Indonesia
5.2 Prevalensi Hipertensi
Tabel 5.4 Prevalensi Hipertensi Lansia di Posyandu Lansia Pasar Rebo
Tahun 2010
Variabel Jumlah Populasi Prevalensi (%)
Hipertensi
Non-Hipertensi
132
138 270
48,9
51,1
Prevalensi hipertensi berdasarkan hasil pemeriksanaan kesehatan di
Posyandu lansia Kecamatan Pasar Rebo pada bulan Desember 2010 didapatkan
sebesar 48,9% (tabel 5.4).
Tabel 5.5 Data Deskriptif Berdasarkan Rata-rata nilai Tekanan Darah
Sistolik dan Diastolik pada Lansia di Posyandu Lansia Kecamatan Pasar
Rebo Tahun 2010
Variabel Mean SD Min-Maks 95% CI
Tekanan Darah
Sistolik 131,39 20,11 90-194 128,98-133,79
Tekanan Darah
Diastolik 83,41 10,35 60-133 82,17-84,66
Hasil analisis diperoleh rata-rata tekanan darah sistolik (TDS) responden
adalah 131,39 mmHg (95% CI 128,98-133,79), dengan standar deviasi 20,11
mmHg. TDS terendah 60 mmHg dan tertinggi 194 mmHg. Dari hasil estimasi
interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata TDS lansia
tersebut adalah 128,98 mmHg sampai dengan 133,79 mmHg.
Selain itu, diperoleh juga rata-rata tekanan darah diastolik (TDD)
responden adalah 83,41 mmHg (95% CI 82,17-84,66), dengan standar deviasi
10,35 mmHg. TDD terendah yakni 60 mmHg dan tertnggi 133 mmHg. Dari hasil
estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata TDD
lansia di posyandu lansia tersebut adalah 82,17 mmHg sampai dengan 84,66
mmHg (tabel 5.5)
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
54
Universitas Indonesia
5.2.1 Wilayah Kelurahan
Prevalensi hipertensi berdasarkan kelurahan di wilayah Pasar Rebo
didapatkan bahwa prevalensi tertinggi di kelurahan Pekayon yaitu 55,4%
sedangkan terendah adalah kelurahan Baru yaitu sebesar 43,3% (tabel 5.6).
Tabel 5.6 Frekuensi Hipertensi Berdasarkan Kelurahan Posyandu lansia di
Pasar Rebo Tahun 2010
Kelurahan Kasus Populasi Prevalensi (%)
Baru 26 60 43,3
Cijantung 47 95 49,5
Kalisari 18 41 43,9
Pekayon 41 74 55,4
Total 132 270 48,9
5.2.2 Umur
Prevalensi hipertensi berdasarkan umur didapatkan prevalensi tertinggi
adalah pada kelompok umur di atas 70 tahun yaitu sebesar 65,4%, bila
dibandingkan dengan kelompok umur 60-69 yaitu sebesar 60% dan 45-59 tahun
yaitu sebesar 41,4%. Secara keseluruhan ditunjukkan bahwa prevalensi hipertensi
meningkat seiring bertambahnya umur (tabel 5.7).
Tabel 5.7 Frekuensi Hipertensi berdasarkan Umur di Posyandu Lansia Pasar
Rebo tahun 2010
Umur Kasus Populasi Prevalensi (%)
45-59 Tahun 70 169 41,4
60-69 tahun
≥ 70 tahun
45
17
75
26
60,0
65,4
Total 132 270 48,9
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
55
Universitas Indonesia
5.2.3 Jenis Kelamin
Prevalensi hipertensi pada lansia berdasarkan jenis kelamin lebih tinggi
ditemukan pada jenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 67,5% dibandingkan dengan
perempuan yaitu sebesar 45,7% (tabel 5.8).
Tabel 5.8 Frekuensi Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin di Posyandu
Lansia Pasar Rebo Jakarta Timur Tahun 2010
Jenis kelamin Kasus Populasi Prevalensi (%)
Laki-laki 27 40 67,5
Perempuan 105 230 45,7
Total 132 270 48,9
5.2.4 Kegemukan
Prevalensi hipertensi berdasarkan besar Indeks Massa Tubuh (IMT)
didapatkan prevalensi tertinggi pada lansia yang mengalami kegemukan yaitu
sebesar 58,8%. Sedangkan lansia yang tidak mengalami kegemukan yaitu sebesar
44,3% (tabel 5.9).
Tabel 5.9 Frekuensi Hipertensi Berdasarkan Kegemukan di Posyandu
Lansia Pasar Rebo Jakarta Timur tahun 2010
Kegemukan Kasus Populasi Prevalensi (%)
Ya 50 58 58,8
Tidak 82 103 44,3
Total 132 270 48,9
5.2.5 Gangguan Mental/emosional
Prevalensi hipertensi pada lansia yang mengalami gangguan
mental/emosional lebih tinggi yaitu sebesar 58,5% dibandingkan pada lansia
yang tidak mengalami gangguan mental/emosional yaitu sebesar 47,2% (tabel
5.10)
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
56
Universitas Indonesia
Tabel 5.10 Frekuensi Hipertensi Berdasarkan Gangguan Mental/Emosional
di Posyandu Lansia Pasar Rebo Jakarta Timur Tahun 2010
Gangguan
mental/emosional Kasus Populasi Prevalens(%)
Ada 24 41 58,5
Tidak ada 108 229 47,2
Total 132 270 48,9
5.2.6 Riwayat Penyakit Diabetes Mellitus (DM)
Prevalensi hipertensi pada lansia yang mengidap diabetes mellitus lebih
tinggi yaitu sebesar 68,6% bila dibandingkan dengan lansia tidak mengidap
diabetes mellitus yaitu sebesar 47,6% (tabel 5.11).
Tabel 5.11 Frekuensi Hipertensi Berdasarkan Riwayat Penyakit Diabetes
Mellitus di Posyandu Lansia Pasar Rebo Jakarta Timur Tahun 2010
Penyakit
Diabetes Mellitus Kasus Populasi Prevalensi (%)
Ada 11 16 68,8
Tidak ada 121 254 47,6
Total 132 270 48,9
5.3 Analisis Univariat Gambaran Karakteristik Responden
Responden yang berkunjung di posyandu lansia pada bulan Desember
2010 sebagian besar merupakan pralansia umur 45-59 tahun yaitu sebesar 62,6%.
Berjenis kelamin perempuan sebesar 85%, mandiri yaitu sebesar 99,6%,
bertempat tinggal paling banyak di kelurahan Cijantung yaitu sebesar 35,2%.
Mengalami kegemukan sebesar 31,5%. Mengalami gangguan mental/emosional
sebesar 15,2%. Serta, mengidap diabetes Mellitus sebesar 5,9% (tabel 5.12).
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
57
Universitas Indonesia
Tabel 5.12 Distribusi Karakteristik Demografi Lansia yang Berkunjung di
Posyandu lansia Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur
Tahun 2010 (N=270)
Variabel Kategori n %
Umur 45-59 tahun
60-69 tahun
≥ 70 tahun
169
75
26
62,6
27,8
9,6
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
40
230
14,8
85,2
Kemandirian Tidak Mandiri
Mandiri
1
269
0,4
99,6
Kelurahan
Cijantung
Pekayon
Kalisari
Baru
95
74
41
60
35,2
27,4
15,2
22,2
Kegemukan Ya
Tidak
85
185
31,5
68,5
Gangguan
Mental/emosional
Ada
Tidak Ada
41
229
15,2
84,8
Penyakit DM
Ada
Tidak Ada
16
254
5,9
94,1
5.4 Analisis Bivariat
5.4.1 Hubungan Hipertensi Dengan Faktor-Faktor Risiko
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
58
Universitas Indonesia
5.4.1.1 Kelurahan (Tempat Tinggal)
Kelurahan Baru menjadi kelompok pembanding dengan prevalensi
hipertensi terendah. Hasil ujji statistik berdasarkan wilayah kelurahan diperoleh
bahwa tidak ada hubungan bermakna antara tempat tinggal/kelurahan dengan
kejadian hipertensi lansian (tabel 5.13).
Tabel 5.13 Hubungan Tempat Tinggal terhadap Kejadian Hipertensi pada
Lansia di Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun 2010
Kelurahan
Hipertensi
Total PR PR
95% CI
P-
value Ya Tidak
N % N %
Baru
Cijantung
Kalisari
Pekayon
26
47
18
41
43,3
49,5
43,9
55,4
34
48
23
33
56,7
50,5
56,1
44,6
95
60
41
74
1,142
1,013
1,279
0,802-1,626
0,654-1,591
0,897-1,882
0,456
0,955
0,165
Total 132 138 270
5.4.1.2 Umur
Pada penelitian ini, umur 45-59 menjadi kelompok umur pembanding.
Sehingga Secara statistik didapatkan ada hubungan yang bermakna antara umur
dengan kejadian hipertensi pada lansia. hal ini terlihat bahwa hipertensi
meningkat berdasarkan umur dimana peluang hipertensi tertinggi pada kelompok
umur di atas 70 tahun yang berpeluang 1,579 kali untuk mengalami hipertensi
(tabel 5.14).
Tabel 5.14 Hubungan Umur terhadap Kejadian Hipertensi Lansia di
Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun 2010
Umur
(Tahun)
Hipertensi
Total PR PR
95% CI
P-
value Ya Tidak
N % N %
45-59
60-69
≥ 70
70
45
17
41,4
60,0
65,4
99
30
9
58,6
40
34,6
169
75
26
1,449
1,579
1,120-1,874
1,132-2,201
0,007
0,022
Total 132 138 270
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
59
Universitas Indonesia
5.4.1.3 Jenis Kelamin
Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan
kejadian hipertensi pada lansia dengan p=0,011. Lansia berjenis kelamin laki-laki
berpeluang untuk mengalami hipertensi 1,479 kali dibandingkan lansia berjenis
kelamin perempuan (tabel 5.15).
Tabel 5.15 Hubungan Jenis Kelamin terhadap Kejadian Hipertensi pada
Lansia di Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun 2010
Jenis
kelamin
Hipertensi
Total PR PR
95% CI
P-
value Ya Tidak
N % N %
Laki-laki
Perempuan
27
105
67,5
45,7
13
125
32,5
54,3
40
230 1,479 1,143-1,912 0,011
Total 132 138 270
5.4.1.4 Kegemukan
Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara kegemukan dengan
kejadian hipertensi pada lansia (p=0,027). Lansia yang gemuk berpeluang untuk
mengalami hipertensi 1,327 kali dibandingkan lansia yang tidak gemuk
(tabel 5.16).
Tabel 5.16 Hubungan Kegemukan terhadap Kejadian Hipertensi pada
Lansia di Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun 2010
Kegemukan
Hipertensi
Total PR PR
95% CI
P-
value Ya Tidak
N % N %
Ya
Tidak
50
82
58,8
44,3
35
103
41,2
55,7
85
185 1,327
1,044-
1,688 0,027
Total 132 138 270
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
60
Universitas Indonesia
5.4.1.5 Gangguan Mental/Emosional
Secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara gangguan
mental/emosional dengan kejadian hipertensi pada lansia (p=0,180). Meskipun
demikian, terlihat bahwa lansia dengan gangguan mental/emosioanal berpeluang
untuk mengalami hipertensi 1,241 kali dibandingkan lansia tanpa gangguan
mental/emosional namun nilai peluangnya (PR) tidak begitu berarti (tabel 5.17).
Tabel 5.17 Hubungan Gangguan Mental/Emosional terhadap penyakit
Hipertensi pada Lansia di Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun 2010
Gangguan
mental/
emosional
Hipertensi
Total PR PR
95% CI
P-
value Ya Tidak
N % N %
Ada
Tidak Ada
24
108
58,5
47,2
17
121
41,5
52,8
41
229 1,241 0,927-1,662 0,180
Total 110 117 270
5.4.1.6 Penyakit Diabetes Mellitus (DM)
Secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara penyakit
diabetes mellitus dengan kejadian hipertensi pada lansia (p=0,101). Namun, nilai
prevalens ratio menunjukkan bahwa lansia yang mengidap Diabets mellitus
berpeluang untuk mengalami hipertensi 1,443 kali dibandingkan lansia yang tidak
mengidap diabetes mellitus (tabel 5.18).
Tabel 5.18 Hubungan Penyakit Diabetes Mellitus terhadap Kejadian
Hipertensi pada Lansia di Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun 2010
Penyakit
Diabetes
Mellitus
Hipertensi
Total PR PR
95% CI
P-
value Ya Tidak
N % N %
Ada
Tidak Ada
11
121
68,8
47,6
5
133
31,3
52,4
16
254 1,443 1,012-2,057 0,101
Total 110 117 270
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
61 Universitas Indonesia
BAB 6
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan sehingga diharapkan keterbatasan
ini dapat menjadi masukan untuk penelitian selanjutnya.
6.1.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang atau cross
sectional. Desain studi ini memiliki kelemahan dalam menentukan hubungan
sebab akibat antara variabel independen dengan variabel dependen. Oleh karena
itu, pada penelitian ini hanya dapat dilihat hubungan berupa perbedaan proporsi
antara variabel independen dengan variabel dependen berdasarkan nilai p-value.
Desain penelitian ini tidak memiliki dimensi arah penyelidikan tertentu sehingga
tidak tepat digunakan untuk menganalisis hubungan kausal suatu penyakit dengan
paparannya karena ada kerancuan hubungan waktu antara pajanan dan penyakit.
Rancangan penelitian ini kemungkinan adanya bias prevalensi karena tidak
dilakukan metode sampling sehingga kurang dapat direpresentasikan pada
populasi targetnya
.
6.1.2 Variabel Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui obesevasi data sekunder berupa laporan
hasil pelayanan kesehatan maupun KMS lansia di posyandu lansia kecamatan
Pasar Rebo Jakarta Timur pada bulan Desember 2010. Data yang diperoleh
sangat terbatas sehingga variabel yang dapat digunakan untuk penelitian ini pun
sangat terbatas yaitu hanya ada 6 variabel. Pencatatan hasil pemeriksaan
kesehatan lansia di beberapa Posyandu lansia ini masih kurang baik dikarenakan
keterbatasan tenaga kader lansia. Terkadang, pengisian lembar pelaporan
dilakukan beberapa hari setelah pemeriksaan dilakukan sehingga ada
kemungkinan terjadinya bias dan missing data.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
62
Universitas Indonesia
Beberapa kader lansia juga ada yang tidak tahu cara mengisi lembar
laporan dengan benar sehingga perlu dilakukan pelatihan cara pengisian lembar
pelaporan hasil kegiatan, serta perlu adanya buku panduan untuk para kader
tentang pelayanan kesehatan lanjut usia. Awalnya peneliti ingin memperoleh
prevalensi hipertensi lansia di Posyandu lansia se-kecamatan akan tetapi, peneliti
hanya dapat menggumpulkan data 10 posyandu lansia dari total 41 posyandu
lansia yang ada dan hanya mencakup 4 kelurahan dari 5 total kelurahan yang ada
yaitu kelurahan Baru, Cijantung, Pekayon, dan Kalisari. Data dari wilayah
kelurahan Gedong tidak diperoleh sehingga tidak dapat menggambarkan kondisi
se-kecamatan Pasar Rebo. Hal ini dikarenakan di puskesmas kelurahan tidak
tersedia data lengkap yang dibutuhkan untuk keperluan penelitian ini dikarenakan
hilang ataupun tidak terisi dengan lengkap.
6.1.3 Kualitas Data
Data penelitian ini merupakan data sekunder sehingga peneliti tidak dapat
mengontrol kualitas data, berupa alat dan cara pengukuran yang digunakan.
Pengukuran tekanan darah hanya dilakukan satu kali pengukuran sehingga tidak
dapat dengan pasti menetukan diagnosis hipertensi pada lansia tersebut. Selain itu,
pengukuran tekanan darah dilakukan oleh kader atau petugas kesehatan yang
berbeda-beda di setiap posyandu lansia sehingga ada kemungkinan terjadinya bias
pada orang yang melakukan pengukuran.
Berdasarkan hasil obeservasi dilapangan, didapatkan bahwa umunya alat
pengukuran yang digunakan sudah sesuai yaitu tensimeter air raksa, stetoskop,
alat penimbang dan pengukur tinggi badan. Akan tetapi, alat-alat tersebut
sebaiknya perlu dikalibrasi kembali untuk memastikan keabsahan alat yang
digunakan mengingat beberapa alat telah dipakai bertahun-tahun sehingga ada
kemungkinan mengalami kerusakan. Beberapa Posyandu lansia ada yang
melakukan pengukuran tinggi badan tetapi ada juga yang tidak, akibatnya dalam
penentuan niai IMT terkadang hanya melihat kondisi lansia secara fisik terlihat
gemuk atau tidak sehingga ada kemungkinan terjadinya bias pada nilai IMT.
Mengingat bahwa rata-rata puskesmas di Jakarta sudah berstandar ISO maka
sebaiknya cara pengukuran pun harus dilakukan dengan tepat. Posyandu lansia
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
63
Universitas Indonesia
terkadang kurang mendapat feedback dari hasil pemeriksaan yang selalu
dilaporkan sehingga pengisian laporan pun dilakukan seadanya dan hanya sekedar
kegiatan rutin yang dilakukan. Oleh karena itu, perlunya pengolahan data
posyandu lansia yang kemudian hasilnya diberikan kembali ke masing-masing
posyandu lansia sebagai bahan evaluasi kegiatan untuk peningkatan pelayanan
yang lebih baik.
Dalam hal ini, pihak Puskesmas, baik kelurahan maupun kecamatan
bertanggungjawab dalam memantau pelaksanaan posyandu lansia. Namun, tenaga
kesehatan dimasing-masing puskesmas juga terbatas dan harus mengerjakan
program-program lainnya sehingga kegiatan posyandu lansia masih belum dapat
berjalan secara optimal. Oleh karena itu, perlu adanya upaya peningkatan kualitas
pelayanan di posyandu lansia oleh pihak puskesmas melalui upaya penggerakan
peran masyarakat dan kerjasama lintas sektor sehingga masyarakat juga turut
dilibatkan dalam pengembangan posyandu lansia yang merupakan milik
masyarakat.
6.2 Gambaran Posyandu Lansia
Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia diwujudkan melalui
program kesehatan lanjut usia yang bertujuan untuk meningkatkan derajat
kesehatan lansia agar tetap sehat, mandiri dan berdaya guna sehingga tidak
menjadi beban bagi dirinya sendiri, keluarga maupun masyarakat.
Di wilayah Kecamatan Pasar Rebo upaya kesehatan lansia sudah mulai
mendapat perhatian berupa pembentukan posyandu lansia. Posyandu lansia di
kecamatan Pasar Rebo pertama kali terbentuk tahun 1998. Pada awalnya, baru
terbentuk 1 Posyandu lansia di RW 07 Kelurahan Kalisari. Hingga tahun 2010,
posyandu lansia sudah berkembang menjadi 41 Posyandu yang tersebar di 5
kelurahan pada tahun. Kelurahan Cijantung terdiri dari 9 kelompok, Pekayon
mempunyai posyandu terbanyak yaitu 10 kelompok, Kelurahan Kalisari 6
kelompok. Kelurahan Baru 7 kelompok dan Kelurahan Gedong 9 kelompok.
. Pelaksanaan posyandu lansia dikelola oleh puskesmas dan adanya
swadana masyarakat setempat. Pelayanan kesehatannya dikhususkan bagi
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
64
Universitas Indonesia
penduduk umur 45 tahun ke atas. Hampir disetiap posyandu lansia,
pengunjungnya sebagian besar adalah kaum perempuan.
Kegiatan yang dilakukan di posyandu lansia berupa pemeriksaan
kesehatan serta adanya kegiatan tambahan berupa senam bersama dibeberapa
posyandu lansia yang dilaksanakan 1-2 kali seminggu. Kegiatan lainnya adalah
penyuluhan kesehatan dan gizi, rujukan kasus, serta lomba antara kelompok
dalam rangka memperingati Hari Lanjut Usia.
Kendala yang dihadapi pada pembinaan posyandu ini adalah keterbatasan
waktu, jumlah tenaga terlatih di puskesmas kelurahan dan di kecamatan. Hampir
di semua posyandu masih tergantung pada kehadiran petugas Puskesmas dan
mengharapkan dokter yang memeriksa/membina, sehingga bila dokter atau
petugas berhalangan datang pemeriksaan kesehatan tidak dapat dilaksanakan
secara maksimal.
Hingga saat ini cakupan pelayanan lansia di wilayah ini masih belum
mencapai target yang seharus 80% tetapi pada tahun 2010 baru mencapai 32,7%.
Cakupan terendah di kelurahan Cijantung (19,5%) dan tertinggi di kelurahan Baru
(47,9%). Rendahnya cakupan ini, menunjukkan bahwa masih banyak kaum lansia
di wilayah Pasar Rebo ini yang belum diketahui kondisi tekanan darahnya
akibatnya prevalensi hipertensi yang diperoleh terbatas hanya pada lansia yang
mendapat pelayanan kesehatan di posyandu lansia. Sosialisasi posyandu lansia
harus semakin ditingkat agar lansia memiliki kesadaran untuk memanfaatkan
posyandu lansia ini serta semakin banyak lansia yang terkontrol tekanan
darahnya.
6.3 Gambaran Hipertensi
Penelitian ini menggunakan cut off point hipertensi dari JNC VI 1998
yaitu bila tekanan darah diastoliknya (TDD) ≥ 140 mmHg dan Tekanan Darah
Sitolik ≥ 90 mmHg. Tekanan darah sistolik (TDS) berkaitan dengan tingginya
tekanan saat arteri jantung berkontraksi dan mengedarkan darah ke aorta.
Sedangkan tekanan darah diastolik (TDD) berkaitan dengan tekanan dalam arteri
saat jantung berada dalam kondisi relaksasi di antara dua denyutan.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
65
Universitas Indonesia
Hasil analisis dari 270 lansia didapatkan bahwa rata-rata TDS lansia
tersebut yaitu 131,39 mmHg (95% CI 128,98-133,79) dan TDD yaitu 83,41
mmHg (95% CI 82,17-84,66). Sedangkan, prevalensi hipertensi di posyandu
lansia wilayah tersebut didapatkan sebesar 48,9%.
Berdasarkan cut of point hipertensi yang sama, didapatkan bahwa
prevalensi ini lebih besar dibandingkan dengan prevalensi hipertensi pada orang
dewasa di Indonesia yakni sebesar 31,7% begitu juga dengan prevalensi hipertensi
di DKI Jakarta yaitu 28,8% serta di Jakarta Timur yaitu 29,4% dari laporan
Riskedas 2007. Bila dibandingkan dengan prevalensi rata-rata hipertensi pada
penduduk umur 45 tahun ke atas maka angka ini tergolong cukup tinggi (Depkes
RI, 2008).
Prevalensi ini tergolong tinggi bila dibandingkan dengan penelitian
Syahputra (2010) pada lansia di Jakarta Selatan dengan proporsi hipertensi yaitu
37,6%. Angka ini juga termasuk tinggi bila dibandingkan penelitian tim MONICA
(2000) pada populasi didaerah Mampang, Kebayoran, dan Cilandak yaitu sebesar
22,4%. Penelitian Sumiati (2005) pada lansia 60 tahun keatas di kota Depok
didapatkan prevalensi sebesar 47,1% yang masih lebih rendah dibandingkan
dengan prevalensi hipertensi di Posyandu lansia wilayah Pasar Rebo ini.
Sebaliknya, prevalensi ini tergolong rendah bila dibandingkan dengan
penelitian Tanjung (2009) pada penduduk umur 45 tahun ke atas di Posbindu
kelurahan Rangkepan Jaya Depok dengan prevalensi hipertensi sebesar 57,3%.
Begitu juga pada penelitian Kamso (2000) di 6 kota besar di Indonesia (umur 55-
85 tahun), dengan prevalensi hipertensi yang lebih besar yaitu 55%. Perbedaan
prevalensi ini kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan besar sampel serta
batasan umur yang digunakan.
Hingga saat ini belum diketahui secara pasti besar prevalensi hipertensi
pada lansia di Indonesia. Namun, diperkirakan prevalensi hipertensi di Indonesia
sekitar 20-30% (Depkes RI, 2000). Hipertensi merupakan penyakit kronis
sehingga prevalensi cukup tinggi dimasyarakat. Prevalensi yang tinggi terjadi
apabila banyak kasus lama yang belum tertangani dengan baik, ditambah lagi
jumlah kasus baru yang semakin meningkat. Selain itu, dipengaruhi juga oleh cut
off point yang digunakan serta cara pengukurannya.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
66
Universitas Indonesia
Para ahli menyatakan dapat dipastikan bahwa hipertensi merupakan faktor
risiko kardiovaskular yang jauh lebih besar pada lansia dibanding pada orang
muda. Di negara maju, risiko 10 tahunan untuk terkena kardiovaskular
mempunyai rentang mulai kurang dari 1% pada orang berusia 25-34 tahun sampai
lebih dari 30% pada orang yang berusia 65-74 tahun. Beberapa hasil penelitian
dan percobaan hipertensi pada waktu yang bersamaan didapatkan juga bahwa
terapi antihipertensi sangat bermanfaat utamanya pada lansia. Melalui terapi
hipertensi yang efektif terlihat adanya pengurangan yang sangat bermakna dalam
jumlah kejadian kardiovaskular yang fatal dan tidak fatal, penurunan morbiditas
dan mortalitas kardiovaskular sekitar 20-50% (ITB-WHO, 1996).
Akan tetapi, seringkali penangan hipertensi pada lansia masih sering
terabaikan terutama dinegara berkembang. Di beberapa negara maju saja, saat ini
tekanan darah yang terkontrol (Tekanan darah sistolik <140 mmHg, Tekanan
darah diastolik <90 mmHg) hanya terdapat pada 20% pasien hipertensi.
sebaliknya, bila tidak ada upaya pengontrolan maka dalam waktu 2-3 tahun akan
menjadi hipertensi sedang dan berat serta akan meningkatkan risiko
kardiovaskular.
Mengingat dampak yang dapat ditimbulkan oleh hipertensi maka
prevalensi hipertensi di Posyandu lansia kecamatan Pasar Rebo ini dapat
dikatakan cukup tinggi. Hal ini akan menjadi masalah kesehatan yang serius bila
tidak segera dilakukan penganggulangan dan pengendalian yang efektif terutama
melalui pengelolaan yang tepat dan segera. Diharapkan angka prevalensi ini dapat
membantu memberikan gambaran dalam merumuskan prioritas dan perencanaan
strategi penanganan hipertensi di wilayah Kecamatan Pasar Rebo.
6.4 Faktor-Faktror Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hipertensi Pada
Lansia
6.4.1 Kelurahan (Tempat Tinggal)
Berdasarkan wilayah tempat tinggal per kelurahan didapatkan bahwa
Prevalensi hipertensi tertinggi di kelurahana Pekayon sebesar 55,4% dan terendah
di kelurahan Baru sebesar 43,3%. Namun, hasil uji statistik menunjukkan tidak
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
67
Universitas Indonesia
adanya hubungan yang bermakna antara kejadian hipertensi dengan kelurahan
tempat tinggal lanisa. Hal ini dapat dikarenakan prevalensi hipertensi tidak jauh
berbeda dan rata-rata cukup tinggi di setiap kelurahan. Tingginya prevalensi
hipertensi diwilayah ini dapat berkaitan dengan kondisi pelayanan kesehatan di
posyandu lansia masing-masing kelurahan.
Berdasarkan teori Blum, diketahui bahwa pelyanan kesehatan juga dapat
mempengaruhi status kesehatan dan dapat mempengaruhi kemauan seseorang
dalam mencari pelayanan kesehatan. Kondisi posyandu lansia cukup beragam
disetiap kelurahan. Beberapa posyandu lansia ada yang kegiatan posyandunya
sudah cukup baik dengan jumlah tenaga yang memadai. Kegiatannya tidak hanya
pengobatan dan pemeriksaan kesehatan saja, tetapi juga ada kegiatan tambahan
seperti senam lansia, pengajian, serta rekreasi. Posyandu lansia seperti itu menarik
minat kaum lansia sehingga cukup banyak lansia yang rutin memeriksakan
kesehatannya sehingga penderita hipertensi juga dapat terkontrol. Namun, di
beberapa posyandu lansia lainnya masih sangat memprihatinkan. Jumlah tenaga
kader sangat terbatas. Tidak tersedia bangunan khusus untuk kegiatan posyandu,
serta kegiatannya hanya terbatas pada pemeriksaan kesehatan dan pengobatan
saja. Belum lagi, beberapa posyandu lansia ada yang dilakukan bersamaan di
posyandu balita karena terbatas tenaga dan fasilitas sehingga mempengaruhi
kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan. Selain itu, masih jarang disediakan
waktu khusus untuk kegiatan promosi atau penyuluhan kesehatan di posyandu
lansia sehingga lansia masih kurang mendapat informasi tentang pentingnya
upaya pencegahan penyakit.
Pendanaan dari masing-masing kelompok posyandu juga berbeda. Di
Kelurahan Cijantung dana berasal dari kas RT, di kelurahan Kalisari operasional
Posyandu didapat dari iuran rutin anggota dan sumbangan dari masing-masing
RT, sedangkan di Pekayon berasal dari kotak amal sukarela dari para anggota
setiap bulan. Di Gedong dana berasal dari anggaran Dewan Kelurahan yang
merupakan limpahan dari Posyandu balita karena RW tersebut tidak ada anak
usia balita. Dana dewan kelurahan tersebut bersumber pada APBD DKI Jakarta.
Pendaanan yang memadai juga mempengaruhi kualitas pelayanan
kesehatan yang dapat diberikan. Posyandu lansia merupakan pelayanan kesehata
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
68
Universitas Indonesia
milik masyarakat. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan dukungan masyarakat
sekitar dan kerjasama lintas sektor dalam menggerakan lansia untuk ikut aktif
serta membantu penyediaan dana untuk pelaksanaan kegiatan posyandu lansia
yang lebih baik sehingga upaya pengontrolan tekanan darah melalui pemeriksaan
rutin dan pengobatan dapat berjalan dengan baik dan diharapkan dapat
menunrunkan prevalensi hipertensi lansia di masing-masing wilayah.
6.4.2 Umur
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa prevalensi hipertensi tinggi
pada kelompok umur 70 tahun ke atas yaitu sebesar 65,4% bila dibandingkan
dengan umur 45-59 tahun yaitu sebesar 41,4% dan umur 60-69 tahun yaitu
60,0%. Hasil ini sesuai dengan laporan riskesdas 2007 yang menunjukkan bahwa
prevalensi hipertensi meningkat sesuai dengan pertambahan umur.
Riskesdas (2007) didapatkan prevalensi hipertensi terhadap umur yaitu
pada umur 45-54 tahun sebesar 42,4%, umur 55-64 tahun sebesar 53,7%, dan
umur 65-74 tahun sebesar 63,5% yang ditentukan berdasarkan hasil pengukuran
tekanan darah. Menurut studi kohort Farmingham, prevalensi dan tingkat
keparahan hipertensi meningkat berdasarkan umur. Pada pasien yg usianya < 60
tahun prevalensi hipertensinya sebesar 27%. Angka ini menunjukkan bahwa
prevalensi pada lansia umur 45-59 tahun di Posyandu lansia Pasar Rebo ini cukup
tinggi.
Pada penelitian ini, umur 45-59 menjadi kelompok pembanding sehingga
melalui uji statistik didapatkan p=0,022 (70 tahun keatas) dan p=0,007 (60-69
tahun) yang menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara umur dengan
kejadian hipertensi. Umur 70 tahun ke atas berpeluang 1,579 untuk mengalami
hipertensi. Hasil ini sesuai dengan fakta tanda-tanda penuaan dan munculnya
penyakit-penyakit degenaratif pada usia di atas 40 tahun.
Hasil ini juga sejalan dengan beberapa penelitian lainnya. Simanjuntak
(2001) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara umur dengan
hipertensi pada kelompok lansia di Indonesia yang diperoleh dari analisis data
SKRT 1995. Dalam penelitiannya juga didapatkan bahwa lansia berumur lebih
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
69
Universitas Indonesia
dari 66 tahun mempunyai peluang hipertensi sebesar 1,24 kali dibandingkan
dengan usia 60-66 tahun.
Hasurungan (2002) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara umur dengan hipertensi demikian juga dengan kategori umur terhadap
hipertensi. Howard et al (1996) pada penelitiannya juga memperoleh bahwa
tekanan darah secara signifikan berkorelasi dengan umur.
Herke (1995) menyatakan bahwa makin tinggi umur makin tinggi risiko
hipertensi. Secara substansi, memang ada kecenderungan peningkatan hipertensi
dengan bertambahnya umur, tetapi secara statistik sering ditemukan bahwa
hipertensi pada kategori di atas 70 tahun lebih rendah karena angka kematian
akibat komplikasi hipertensi lebih tinggi pada kelompok umur ini.
Umur diketahui memiliki pengaruh terhadap daya tahan tubuh seseorang.
Kemajuan dalam bidang ekonomi dan kesehatan menyebabkan jumlah penduduk
yang melampaui umur 60-65 meningkat pesat. Umur yang lebih tua cenderung
semakin meningkatkan risiko kejadian hipertensi. Proses penuaan menyebabkan
adanya perubahan curah jantung dan pembuluh darah sehingga tekanan darah
cenderung sedikit meningkat. Kondisi ini bila disertai faktor-faktor risiko lain
maka akan semakin berpotensi terhadap kejadian hipertensi.
Baik TDS maupun TDD meningkat sesuai dengan meningkatnya umur.
TDS meningkat secara progresif sampai umur 70-80 tahun, sedangkan TDD
meningkat sampai umur 50-60 tahun yang kemudian cenderung menetap atau
sedikit menurun. Kombinasi perubahan ini sangat mungkin mencerminkan adanya
pengakuan pembuluh darah`dan penurunan kelenturan (compliance) arteri.
Setelah memasuki usia 45 tahun, terjadi peningkatan resistensi perifer dan
aktivitas sistem saraf simpatik. Dinding arteri mengalami penebalan karena
adanya penumpukan kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah secara
perlahan menjadi menyempit dan kaku. Selain itu, pada usia lanjut sensitivitas
pengatur tekanan darah yaitu refleks baroreseptor mulai berkurang, demikian
halnya dengan peran ginjal dimana aliran darah diginjal dan laju glomerulus
menjadi semakin menurun.
Adanya kenaikan tekanan darah pada lansia memang merupakan hal yang
wajar dikarenakan proses penuaan menyebabkan terjadinya kekakuan pembuluh
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
70
Universitas Indonesia
darah. Akan tetapi, insiden hipertensi pada kelompok ini cukup tinggi sehingga
turut meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler.
Berdasarkan prevalensi dan hasil uji statistik, peneliti menyimpulkan
bahwa peluang hipertensi meningkat seiring bertambahnya usia. Setiap pralansia
ataupun lansia sangat penting untuk melakukan pemantauan tekanan darah secara
rutin di pelayanan kesehatan. Bila perlu, di setiap rumah perlu menyediakan alat
pengukur tekanan darah dan mengetahui cara penggunaannya sehingga tekanan
darah anggota keluarga dapat terpantau. Bagi responden yang mengalami
hipertensi harus segera mendapatkan penanganan yang tepat agar tidak berakibat
pada timbulnya komplikasi.
Umur merupakan salah satu faktor risiko yang yang tidak dapat diubah.
Berdasarkan perjalanan riwayat penyakit, hipertensi umumnya terjadi akibat pola
hidup yang buruk ketika muda. Oleh karena itu, sangat penting untuk mulai
mensosialisasikan pola hidup sehat sejak dini serta pengetahuan tentang hipertensi
kepada seluruh kalangan usia utamanya dewasa muda serta kaum lansia.
6.4.3 Jenis Kelamin
Pada penelitian ini didapatkan prevalensi hipertensi tinggi pada lansia
berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 67,5% dibandingkan perempuan.
Prevalensi ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian Sirait (1990)
yang mendapatkan prevalensi hipertensi pada laki-laki sebesar 16,7%.
Hasil ini sejalan dengan beberapa penelitian lainnya. Dwiretno (2007)
menyatakan bahwa sebanyak 84,4% laki-laki dan 58,3% perempuan menderita
hipertensi. Survei MONICA di Jakarta tahun 2000, mendapatkan prevalensi pada
laki-laki sebesar 20% sedangkan pada perempuan 22,7%. Sedangkan, Syahputra
(2010) mendapatkan prevalensi pada laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan
yaitu sebesar 43,8%.
Hasil uji statistik juga didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara
kejadian hipertensi terhadap jenis kelamin pada lansia. Nilai PR= 1,479, artinya
laki-laki lebih berpeluang 1,479 untuk mengalami hipertensi dibandingkan dengan
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
71
Universitas Indonesia
perempuan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Dustan (1996) di US, Australia, dan Korea yang menemukan bahwa tekanan
darah pada laki-laki lebih tinggi dari perempuan.
Casper et al., (1996) dalam penelitiannya diperoleh bahwa rata-rata
tekanan darah sistolik dan diastolik lebih tinggi pada laki-laki daripada
perempuan.
Ryan (1993) menemukan bahwa laki-laki lebih banyak mengalami
hipertensi dari perempuan dengan OR= 2,29 untuk TDS dan OR=3,76 untuk
TDD. Diamond et al. (1997) juga menemukan bahwa perempuan dengan
moderate and severe hypertension mempunyai tekanan darah lebih rendah
dibandingkan dengan laki-laki.
Hasil penelitian ini berbeda bila dibandingkan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Wahyuni (2000) pada lansia di Ciwidey Bandung yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian
hipertensi pada lansia. Selain itu, ada kecenderungan bahwa perempuan justru
cenderung lebih banyak mengalami hipertensi dengan proporsi pada perempuan
yaitu 48,7% sedangkan pada laki-laki 45,5%. Dwiretno (2007) menyatakan bahwa
sebanyak 84,4% laki-laki dan 58,3% perempuan menderita hipertensi dengan
OR=3,857.
Sebaliknya, Khaw (1995) menyatakan bahwa pada dasarnya prevalensi
hipertensi pada laki-laki sama dengan perempuan. sebelum menopause tekanan
darah perempuan umumnya lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, tetapi
setelah menopause tekanan darah perempuan menjadi lebih tinggi dibandingkan
dengan laki-laki hingga umur 70 tahun. Sebelum menopause, wanita menjadi
terlindungi terhadap penyakit kardiovaskular karena aktivitas hormon estrogen
yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL).
Kadar HDL yang tinggi merupakan pelindung untuk mencegah terjadinya
atherosklerosis. Namun, saat memasuki masa pramenopause secara perlahan
perempuan mulai kehilangan hormon estrogen yang selama ini melindungi
pembuluh darah dari kerusakan sehingga berpotensi mengalami hipertensi
disamping adanya faktor lain yang turut mempengaruhinya.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
72
Universitas Indonesia
Laporan Depkes RI tahun 2006 menyatakan bahwa pada laki-laki kejadian
hipertensi biasanya lebih banyak pada laki-laki daripada wanita. Pria di populasi
umum memiliki angka diastolik tertinggi pada tekanan darahnya dibandingkan
dengan wanita pada semua usia dan juga pria memiliki angka prevalensi tertinggi
untuk terjadinya hipertensi. Hal ini dikarenakan laki-laki memiliki gaya hidup
yang cenderung meningkatkan tekanan darah. Laki-laki memiliki resiko lebih
tinggi untuk menderita hipertensi lebih awal. Laki-laki juga mempunyai resiko
lebih besar terhadap morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler.
Bila diamati jumlah pengunjung posyandu lansia memang didominasi oleh
lansia perempuan. Laki-laki yang memasuki usia lanjut sangat jarang yang
bersedia datang rutin ke posyandu lansia untuk memeriksakan kesehatanya.
Umumnya laki-laki hanya akan memeriksakan diri ketika kondisi penyakit yang
dialami sudah parah. Sedangkan perempuan lebih banyak melaporkan adanya
gejala penyakit dan berkonsultasi dengan dokter dibanding dengan laki-laki.
Selain itu, wanita lebih aktif berperilaku sehta dan memanfaatkan pelayanan
kesehatan dibandingkan dengan pria. Selain itu, masih banyak dari kaum lansia
laki-laki yang masih tetap bekerja dan sibuk diluar rumah sehingga tidak ada
waktu untuk datang ke posyandu lansia. Adanya kebiasaan merokok juga lebih
banyak dilakukan oleh kaum laki-lakiyang juga dapat mempengaruhi kenaikan
tekanan darah.
Menurut keterangan kader, posyandu lansia mengalami keterbatasan, baik
dalam jumlah tenaga kesehatan maupun ketersediaan fasilitas gedung. Tidak
jarang, pelaksanaan posyandu lansia ini dilakukan bersamaan di posyandu balita.
Akibatnya, beberapa lansia merasa enggan untuk datang karena tidak ingin
disamakan dengan balita. Lansia biasanya baru akan datang bila sedang ingin
berobat saja. Oleh karena itu, manfaat dari posyandu lansia ini harus dapat
disosialisasikan kepada setiap lansia sehingga setiap lansia memiliki kesadaran
untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan yang telah disediakan.
Mengingat risiko hipertensi pada laki-laki lansia lebih tinggi dibandingkan
dengan perempuan, maka perlu meningkatkan kesadaran bagi lansia khususnya
kaum laki-laki untuk mau memeriksakan tekanan darah serta berobat secara rutin.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
73
Universitas Indonesia
6.4.4 Kegemukan
Prevalensi hipertensi tinggi pada lansia yang mengalami kegemukan
dibandingkan lansia yang tidak gemuk yaitu sebesar 58,8%. Penelitian Tanjung
(2009) yang mendapatkan prevalensi hipertensi pada lansia yang mengalami
kegemukan yaitu sebesar 68,9%. Retnowati (2010) juga mendapatkan bahwa
prevalensi hipertensi pada lansia yaitu sebesar 80%. Sedangkan, Yusida (2001)
yang mendapatkan prevalensi yang cukup tinggi sebesar 85,7%. Perbedaan angka
ini kemungkinan dikarenakan perbedaan besar sampel yang digunakan.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara kejadian hipertensi dengan kegemukan pada lansia dengan p-value=0,027.
Hasil penelitin juga didapatkan bahwa lansia yang mengalami kegemukan
berisiko sebesar 1,327 kali untuk mengalami hipertensi dibanding yang tidal
mengalami kegemukan.
Hasil ini sesuai dengan penelitian Wirakusumah (1994) (dikutip dari
wahyuni 2000) menyatakan bahwa tekanan darah meningkat seiring
bertambahnya berat badan. Orang yang memiliki kelebihan berat badan punya
risiko lebih tinggi terhadap hipertensi. Studi Framingham menunjukkan bahwa
setiap 10% kenaikan berat badan akan meningkatkan tekanan sistolik hingga 6,5
mmHg. Hull (1993) menyatakan bahwa berat badan berhubungan dengan kejadian
hipertensi.
Wahyuni (2000) menyatakan bahwa kelebihan berat badan mempunyai
hubungan yang siginifikan terhadap kejadian hipertensi. Terdapat hubungan
positif (searah) antara indeks massa tubuh dengan Tekanan Darah Sistolik (TDS)
dan Tekanan Darah Diastolik dengan derajat hubungan 0,327 untuk sistolik dan
0,362 untuk diastolik. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa IMT berbanding
lurus dengan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik. Wahyuni
menambahkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara IMT dengan
Hipertensi hasil uji korelasi menunjukka bahwa semakin besar nilai IMT maka
tekanan darah cenderung semakin meningkat. Namun, IMT hanya berkontribusi
sebanyak 13,1% terhadap tekanan darah sisanya (86,9%) merupakan kontribusi
dari faktor lainnya. Seperti konsumsi lemak, konsumsi garam berlebih, kebiasaan
merokok dan rendahnya aktivitas serta faktor-faktor lainnya.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
74
Universitas Indonesia
Kamso (2000) juga menunjukkan bahwa ada korelasi postif antara IMT
dengan kenaikan tekanan darah. Simanjuntak (2001) menyatakan bahwa
kegemukan berhubungan dengan hipertensi dimana peluangnya sebesar 1,68 kali
dibandingkna dengan lansia yang tidak mengalami kegemukan. Hal ini sejalan
dengan penelitian di Amerika bahwa risiko untuk mengalami hipertensi pada
umur 45-75 tahun adalah 2 kali lebih sering pada lansia yang mengalami
kegemukan dibandingkan dengan yang tidak gemuk. Selain itu, Laporan
Riskesdas tahun 2007 menemukan bahwa kegemukan merupakan faktor risiko
paling utama terjadinya penyakit hipertensi di Indonesia dengan nilai OR sebesar
2,65 dan Population Attributale Risk (PAR) sebesar 99,2%. (Depkes RI, 2008).
Kelebihan berat badan berarti adanya peningkatan jumlah lemak dalam
tubuh. Peningkatan jumlah lemak tubuh pada lansia dipengaruhi asupan makanan
berlebih yang tidak diimbangi dengan aktivitas fisik. Kelebihan berat badan akan
memaksa jantung bekerja lebih keras (Moehyi, 1996). Curah jantung dan sirkulasi
volume darah penderita hipertensi yang obesitas lebih tinggi dari penderita
hipertensi yang tidak obesitas (Yundini, 2006).
Patogenesis kelebihan berat badan maupun obesitas selalu sama, yakni
kalori yang dimasukkan lebih banyak daripada yang dikeluarkan. Dengan kata
lain, orang yang mengalami overweight atau obesitas tunduk pada hukum
kekekalan energi. Kecenderungan orang menambah berat dengan dimulainya usia
pertengahan disebabkan oleh berkurangnya aktivitas tubuh. Namun, disamping
itu, kalori yang diperlukan untuk memelihara berat tubuh tertentu berkurang kira-
kira 5% dari setiap usia sepuluh tahun.
Adapun faktor-faktor endrokrin memegang peranan, hormon tiroid, serta
katekolamin semuanya diketahui mempengaruhi laju metabolisme. Dengan
demikian kelebihan salah satu dari faktor tersebut dapat menyebabkan kehilangan
berat tubuh atau peningkatan pemasukan makanan (Spector, 1993).
Pada lansia seringkali pemberian obat antihipertensi tidak efektif karena
tidak didukung oleh pengaturan pola makan dan berat badan. Ketika seseorang
pertama kali didiagnosis hipertensi oleh petugas kesehatan maka cara yang paling
efektif yang pertama kali akan dianjurkan yakni pengubahan pola makan dan
pengaturan berat bada. Penurunan berat badan dan pengaturan pola makan
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
75
Universitas Indonesia
merupakan langkah awal untuk menanggulangi hipertensi. Apabila Bindeks massa
tubuh menurun, maka volume darah total juga berkurang, hormon-hormon yang
berkaitan dengan tekanan darah berubah, dan tekanan darah dapat lebih rendah.
Pada lansia kemampuan gerak tubuh semakin menurun sehingga upaya
pengontrolan berat badan dapat dilakukan melalui pengontrolan pola makan
dengan mengurangi konsumsi kalori dan memeperbanyak konsumsi sayur dan
buah. Sedangkan bagi yang masih aktif gerak sangat dianjurkan untuk berolahraga
ringan secara teratur seperti senam lansia atau jalan santai.
6.4.5 Kesehatan mental/emosional (Stress)
Prevalensi hipertensi tinggi pada lansia dengan gangguan
mental/emosional yaitu sebesar 58,5%. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan
dengan penelitian Yusida (2001) dengan definisi yang sama yaitu sebesar 87, 7%.
Beberapa penelitian lain menggunakan definisi yang berbeda sehingga sulit untuk
dibandingkan.
Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan bermakna
antara gangguan mental/emosional yang di alami lansia dengan kejadian
hipertensi (p=0,180). Hal ini kemungkinan dikarenakan jumlah sampel yang
sedikit ataupun dikarenakan jumlah lansia yang terdeteksi dan dinyatakan
mengalami gangguan mental/emosional sangat sedikit. Terkadang beberapa
posyandu jarang dilakukan pemeriksaan ini ataupun kemungkinan cara
pemeriksaan yang kurang benar karena keterbatasan waktu dan tenaga.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan metode wawancara 2 menit
berdasarkan beberapa pertanyaan yang terdapat di KMS lansia. pertanyaan yang
diajukan meliputi sulit tidur selama lebih dari sebulan, sering murung atau
menangis tanpa sebab, sering mengalami kuatir, ataupun bila sedang banyak
pikiran yang terjadi secara sering dan berulang. Adanya gangguan
mental/emosional ini dapat mencerminkan adanya kondisi stres yang dialami
lansia.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Retnowati (2010) yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara stress dengan
hipertensi. Namun, berbeda dengan penelitin Pinzon (1999) yang menyatakan
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
76
Universitas Indonesia
bahwa penigkatan tekanan darah akan lebih besar pada individu yang memiliki
kecenderungan strees emosional yang tinggi..
Otsir (2006), menyatakan bahwa responden yang memiliki skor emosi
positif memiliki risiko tekanan darah sistolik dan diastolik yang lebih rendah pada
responden yang tidak mengkonsumsi obat antihipertensi. Sedangkan dengan
meningkatnya dari emosi postif pada responden yang mengkonsumsi obat
antihipertensi diketahui bahwa signifikan dapat menurunkan tekanan darah
diastolik tetapi tidak padatekanan darah sistolik.
Oleh karena itu disarankan bahwa untuk menormlkan tekanan darah
dengan cara program psikologis seperti terapi relaksasi atau manajemen stress
yang terbukti secara klinis menguntungkan. Ditambahkan lagi oleh Linden et al.,
tahun 1996 (dikutip dari Otsir 2006) bahwa penambahan perawatan psikososial
dapat merehabilitasi jantung, tekanan darah sistolik, dan denyut jantung secara
siginifikan dapat berkurang dibandingkan dengan responden yang hanya
menerima perawatan biasa selama 2 tahun. Linden juga menyatakan bahwa
dengan banyaknya hubungan sosial terbukti bahwa kondisi fisiologis lebih baik
termasuk dengan denyut jantung yang lebih rendah diikuti juga oleh tekanan
darah sistolik yang lebih rendah.
Hasurungan (2002) pada lansia di kota Depok menemukan bahwa ada
hubungan signifikan antara stress dengan hipertensi. Alexander (1996) juga
mengatakan bahwa adanya pengurangan stress melalui teknik Transcendental
Meditation dan relaksasi otot secara siginifikan lebih berhasil menurunkan
tekanan darah sistolik 10,4 mmHg (perempuan) dan 12,7 mmHg (laki-laki),
tekanan darah diastolik 5,9 mmHg (perempuan) dan 8,1 mmHg (laki-laki),
dibandingkan dengan perubahan gaya hidup. Oleh karena dalam teknik meditasi
dan relaksasi otot, beban mental dan pikiran akan direduksi.
Pengetahuan mengenai mekanisme stres terhadap hipertensi masih terus
berkembang. Beberapa menyatakan bahwa stres secara mendadak menunjukkan
peningkatan tekanan darah melalui peningkatan cardiac output dan denyut jantung
tanpa pengaruh resistensi perifer total. Pada keadaan stres akut didapatkan
peningkatan kadar katekolamine, kortisol, vasopresin, endorphin dan aldosteron,
yang mungkin sebagian menjelaskan mekanisme peningkatan tekanan darah.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
77
Universitas Indonesia
Kemungkinan stres yang berkepanjangan untuk menyebabkan hipertensi
merupakan akibat dari faktor tropik dari neurohormonal yang menyebabkan
hipertropi atau atherosklerosis vaskuler. Kondisi stress dapat menyebabkan
peningkatan tekanan darah, karena saat seseorang dalam kondisi stres akan terjadi
pengeluaran beberapa hormon yang akan menyebabkan penyempitan dari
pembuluh darah dan pengeluaran cairan lambung yang berlebihan, akibatnya
seseorang akan mengalami mual, muntah, mudah kenyang, nyeri lambung yang
berulang, dan nyeri kepala. Kondisi stress yang terus menerus dapat menyebabkan
komplikasi hipertensi pula.
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf
simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila stres
menjadi berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Hal
ini secara pasti belum terbukti, akan tetapi pada binatang percobaan yang
diberikan pemaparan tehadap stres ternyata membuat binatang tersebut menjadi
hipertensi (Yundini, 2006).
Stres dapat dialami oleh siapa saja termasuk juga kaum lansia. pada lansia
kondisi stress lebih banyak disebabkan oleh beberapa faktor. Saat memasuki usia
lanjut setiap kaum lansia mengharapkan dapat menikmati masa tua yang
menyenangkan. Akan tetapi, yang sering terjadi justru sebaliknya. Adanya post
power syndrom menyebabkan hampir setiap bulannya lansia dilanda kecemasan
akibat tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga seperti
dulu dikarenakan telah memasuki masa pensiun dan tidak lagi produktif secara
finansial, terlebih bila tidak memiliki jaminan hari tua. Selain itu, bila tidak
adanya keturunan atau ditinggal mati sanak keluarga menyebabkan kaum lansia
menjadi terlantar serta mengalami beban mental.
Saat ini pun, pola masyarakat modern menyebabkan semakin hilangnya
silaturahmi dengan keluarga dimana anak-anak dan cucu-cucu memiliki
kesibukan masing-masing sehingga jarang tersedia waktu untuk berinteraksi atau
bercakap-cakap dengan kaum lansia. Anak tidak mau direpotkan oleh orang tua
dan orang tua juga jarang dilibatkan dalam penyelesaian masalah dalam keluarga
sehingga lansia merasa menjadi tidak berguna, tidak dihargai, tidak dibutuhkan
lagi atau bahkan justru merasa hanya menjadi beban keluarga. Apabila lansia
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
78
Universitas Indonesia
tersebut kurang memiliki landasan keyakinan yang kokoh terhadap ajaran agama
maka perseolan-persoalan tersebut akan sangat mudah untuk menimbulkan stres
bahkan depresi yang kemudian akan turut mempengaruhi peningkatan tekanan
darah kaum lansia.
Meskipun hasil penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan antara gangguan mental/emosional terhadap hipertensi akan tetapi
berdasarkan nilai proporsi terlihat bahwa lansia yang mengalami ganggaun
mental/emosional cenderung mengalami hipertensi dibandingkan dengan yang
tidak. Penelitian ini perlu diteliti lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang lebih
memuaskan dengan menggunakan jumlah sampel yang lebih besar. Namun, tidak
ada salahnya apabila pemeriksaan kesehatan mental/emosional tetap
dipertahankan serta perlu adanya kegiatan-kegiatan rekreasi atau kerohanian bagi
para lansia. kegiatan tersebut dapat mengurangi beban mental/emosional dan
membuat pikiran yang lebih tenang sehingga tekanan darah pun dapat terkontrol.
6.4.6 Penyakit Diabetes Mellitus (DM)
Pada penelitian ini didapatkan prevalensi hipertensi tinggi pada lansia
yang mengidap diabetes mellitus yaitu sebesar 68,8%. Kartikawati (2008)
mendapatkan bahwa prevalensi hipertensi pada penderita DM sebesar 24,8%.
Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
diabetes mellitus dengan kejadian hipertensi (p=0,101). Kemungkinan ini
disebabkan jumlah sampel yang sedikit serta sangat sedikit lansia di wilayah ini
yang terdeteksi mengalami diabetes mellitus. Penetuan diabetes mellitus di
posyandu lansia ini hanya menggunakan pemeriksaan gula dara sewaktu (GDS)
saja sehingga hasilnya masih perlu dikonfirmasi lagi. Selain itu, tidak semua
lansia memeriksakan kadar gula dalam darahnya karena harus dikenai biaya
sebesar Rp10.000 sekali pemeriksaan. Kebanyakan lansia yang rutin memeriksa
kadar gula darahnya hanya lansia yang memang telah terdiagnosis mengalami
diabetes mellitus sehingga mempengaruhi signifikansi hasil penelitian ini.
Pada mereka memiliki kadar insulin yang tinggi karena diabetes, darahnya
menjadi lebih kental sehingga menyulitkan jantung memompa darah. Akibatnya,
tekanan harus ditingkatkan agar suplai darah terjamin. Lama-kelamaan, jadilah
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
79
Universitas Indonesia
tekanan darah tinggi permanen. Dallas heart Disease Prevention Project tahun
2000, didapatkan dari 4000 responden, 1186 merupakan kasus hipertensi dan dari
responden yang hipertensi tersebut, 417 orang terdiagnosis terkena diabetes.
Kebanyak dari penderita tersebut tidak menyadari meningktnya level glukosa
darah yang menghasilkn penyakit diabetes (Khania, 2002)
Diabetes mellitus kronis dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang
termasuk kerusakan sistem kardiovaskuler. Terjadi kerusakan mikrovaskuler di
arteriol kecil, kapiler, dan venula serta kerusakan makrovaskuler terjadi di arteri
besar dan sedang. Komplikasi mikrovaskuler terjadi akibat penebalan pembuluh-
pembuluh darah kecil. Penyebab pastinya tidak diketahui, akan tetapi dapat
berkaitan langsung dengan tingginya kadar glukosa darah.
Penebalan mikrovaskuler menyebabkan iskemia dan penurunan
penyaluran oksigen dan zat gizi ke jaringan. Selain itu, hemoglobin juga
mengalami glikolisasi yang berdampak pada berkurangnya kadar ketersediaan
oksigen dalam jaringan. Bila terus berlangsung, maka akan terjadi hipoksia
kronis. Kondisi inilah yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi karena
jantung dipaksa meningkatkan curah jantung sebagai usaha untuk menyalurkan
lebih banyak oksigen ke jaringan yang iskemik.
Selain itu, pada pasien diabetes kadar glukosa dalam darah, metabolit
glukosa atau kadar asam lemak menjadi tinggi yang mengakibatkan kerusakan
pada lapisan endotelial arteri. Akibatnya, terjadi peningkatan permeabilitas sel
endotel yang mengandung lemak masuk ke dalam arteri. Kerusakan sel-sel
endotel menimbulkan reaksi imun dan inflamsi sehingga akhirnya terjadi
pengendapan trombosit, makrofag, dan jaringan fibrosis. kondisi ini perlahan-
lahan membuat dinding arteri mengalami penebalan. Akibatnya, tekanan jantung
meningkat sehingga menyebabkan hipertensi (Corwin, 2009).
Penangan penyakit DM harus dapat dilakukan dengan baik, melalui
pengontrolan kadar gula dalam darah lewat diet dan aktivitas fisik sehingga
tekanan darah juga dapat dikontrol. Bila diabaikan maka dapat meningkatkan
prevalensi hipertensi.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
80 Universitas Indonesia
BAB 7
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang ditemukan dalam penelitian ini, penulis memperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Prevalensi hipertensi di Posyandu lansia wilayah Kecamatan Pasar Rebo pada
bulan Desember 2010 adalah sebesar 48,9%. Angka ini cukup tinggi bila
dibandingkan dengan angka prevalensi hipertensi nasional.
2. Kejadian hipertensi tinggi pada lansia yang tinggal di wilayah posyandu
lansia kelurahan Pekayon, umur 70 tahun ke atas, berjenis kelamin laki-laki,
mengalami kegemukan, mengalami gangguan mental/emosional, serta
mengidap diabetes mellitus.
3. Ada hubungan yang signifikan antara kategori umur, jenis kelamin, dan
kegemukan dengan kejadian hipertensi di posyandu lansia Pasar Rebo Jakarta
Timur tahun 2010
4. Tidak ada hubungan yang signifikan antara gangguan mental/emosional
lansia dengan kejadian hipertensi pada lansia di Posyandu lansia Pasar Rebo
tahun 2010
5. Tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit Diabets Mellitus
lansia dengan kejadian hipertensi pada lansia di Posyandu lansia Pasar Rebo
tahun 2010
7.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, saran-saran yang dapat diberikan
kepada pihak-pihak terkait yaitu:
Puskesmas & Posyandu lansia
1. Penilaian prevalensi hipertensi ditentukan berdasarkan hasil pengukuran dan
adanya faktor risiko. Oleh karena itu, disetiap posyandu lansia perlu adanya
perbaikan pencatatan hasil pemeriksaan, serta memperhatikan kelengkapan
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
81
Universitas Indonesia
data lansia yang dilayani berupa identitas diri dan faktor risko serta riwayat
penyakit lansia.
2. Posyandu lansia diharapkan dapat menjadi fasilitas kesehatan primer bagi
kaum lansia. Oleh karena itu, diperlukan peralatan kesehatan yang memadai,
serta penggantian alat yang rusak dan mengkalibrasi secara rutin alat-alat
ukur yang digunakan untuk mendapatkan hasil pemeriksaan kesehatan yang
lebih akurat.
3. Posyandu Lansia adalah milik masyarakat. Diharapkan perlunya
menyadarkan dan meningkatkan dukungan masyarakat serta menggalakan
kerjasama lintas sektor (RW dan sektor swasta) untuk pengembangan
posyandu lansia dan pengontrolan tekanan darah.
4. Prevalensi hipertensi cukup tinggi sehingga perlu di lakukan intervensi
perilaku pada lansia dan menyadarkan kepatuhan berobat.
5. Setiap lansia perlu disosialisasikan tentang penting pencegahan, risiko &
bahaya komplikasi hipertensi meningkatkan pemahaman dan kepedulian
lansia untuk mencari /memanfaatkan posyandu lansia dalam mengontrol
tekanan darahnya.
6. Kegemukan menjadi faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi
oleh karena itu, perlu dilakukan upaya penurunan bobot badan melalui
pengaktifan senam lansia disetiap posyandu lansia secara rutin.
7. Kegiatan posyandu lansia melibatkan peran kader. Namun, kader yang ada
umumnya terbatas, berpendidikan rendah dan berusia lanjut. Oleh karena itu,
sebaiknya bekerja sama dengan pihak puskesmas untuk mengadakan
pelatihan bagi kader lansia serta pemberian apresiasi bagi kader lansia yang
aktif dan telah melaksanakan tugas dengan baik sehingga dapat memotivasi
kinerja lansia dan menarik lebih banyak anggota masyarakat yang terlibat
untuk menjadi kader lansia.
Dinkes Propinsi DKI Jakarta
1. Penggunaan cut of point juga dapat mempngaruhi besar prevalensi dan
masalah hipertensi di posyandu lansia. Oleh karena itu, sebaiknya
menggunakan kriteria hipertensi menurut JNC VI yaitu TDS ≥140 mmHg
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
82
Universitas Indonesia
dan/ TDD ≥ 90 mmHg atupun kriteria pre hipertensi JNC VII. Diharapkan
dengan acuan ini dicantumkan di KMS lansia dan disosialisasikan kembali
pada setiap kader lansia agar semakin banyak lansia yang dapat ditangani
lebih dini.
2. Sebaiknya menyediakan buku-buku panduan, KMS lansia terbaru dan media-
media promosi kesehatan tentang hipertensi di setiap posyandu lansia.
Sudinkes Jakarta Timur
1. Pelaksanaan posyandu lansia dan penatalaksanaan hipertensi dilapangan
terkadang mengalami kendala karena keterbatasan tenaga kesehatan. Oleh
karena itu, sebaiknya adanya pemerataan tenaga kesehatan dan pemantauan
kinerja petugas kesehatan sehingga posyandu lansia dapat berfungsi secara
optimal.
2. Kegiatan posyandu lansia yang dilakukan oleh puskesmas perlu dilakukan
pemantaun kegiatan dilapangan agar dapat menjadi bahan evaluasi bagi pihak
puskesmas dalam mengelola posyandu lansia yang lebih baik.
Para Lansia
1. Perlunya melakukan upaya penuruan berat badan pada lansia yang mengalami
kegemukan melalui pengurangan konsumsi energi dan peningkatan aktivitas
fisik seperti olahraga ringan ataupun senam lansia
2. Sebaiknya mengajak pasangan masing-masing agar bersedia memeriksakan
tekanan darah secara rutin di posyandu lansia.
Peneliti
1. Sebaiknya meningdaklanjuti hasil penelitian ini dengan menggunakan metode
penelitian lain untuk memperoleh hasil lebih baik.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
83 Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
Arisman. (2004). Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta:
EGC.
Arjatmo T, Hendra U. (2001). Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI.
Aryani, Atik. 2008. “faktor-faktro yang berhubungan dengan Depresi pada lansia
di desa mendong trucuk klaten. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta. [30 Mei 2011]
http://pusatpanduan.com/faktor-faktor-yang-berhubungan-dengan-
depresi-pada-lansia-di-desa
BPS. (2004). Statistik Penduduk Lanjut Usia 2004. Jakarta: Biro Pusat Statistik.
Bullock, Barbara L. (1996). Pathophysiology: Adaptations and alterations in
function fourth edition. Philadelphia, New York: Lippincott-Raven
Publishe.
Bustan, M.N. (2000). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineke
Cipta.
Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi Edisi Ketiga. Ahli bahasa,
Nike Budhi Subekti. Jakarta: Kedokteran EGC.
Darmodjo dan Tim Monica. (1991). Proyek MONICA Di Jakarta: Suatu
Penelitian Penyakit Jantung Koroner Di Komunitas. Jakarta: Medika
April, vol 17 No.4.
Darmojo B, Sutedjo, Setianto B. (1994) . Presentasi dan diskusi Survey II Monica
Jakarta 1993. Jakarta : Balitbang Depkes RI.
Depkes RI, Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. (2010). Pedoman
Pembinaan Kesehatan Lanjut Usia bagi Petugas Kesehatan cetakan
kedua edisi keempat. Jakarta: Depkes RI.
________.,Badan Penelitian dan Pengembangan kesehatan. (1995). Laporan
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995. Jakarta: Depkes
RI
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
84
Universitas Indonesia
________. (2008). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Badan
penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI
________. (2000). Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia lanjut bagi Petugas
Kesehatan: cetakan kedua. Jakarta: Departemen Kesehatan. Direktorat
Bina Kesehatan Keluarga.
________., Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. (2006). Pedomonan
teknis Penemuan dan Penatalaksanaan Penyakit Hipertensi. Jakarta:
Depkes RI, Direktorat Jendral PP & PL.
Diamond J A, et al., (1997) Comparison of ambulatory blood pressure and
amounts of left ventricular hypertrophy in men versus women; am-J-
CARDIO.
Dinkes Propinsi DKI Jakarta. (2004). Pedoman Pembinaan Kesehatan di
Kelompok Usia Lanjut. Jakarta: Dinkes Prop. DKI Jakarta.
Guidelines Subcommittee. World Health Organization-International Society of
hypertension guidelines for the management of hypertension. J Hypertens
1999;17:151-83. [12 Juni 2011]
http://www.psychosomaticmedicine.org/cgi/reprint/68/5/727.pdf.
Hasurungan, Jefri. (2002). “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Hipertsni
Pada Lansia Di Kota Depok”. Thesis, Program Doktor Kesehatan
Masyarakat FKM UI Depok.
Herke, JOS. (1995). Faktor-Faktor Risiko Yang Dapat Dirubah Pada Penderita
Hipertensi Di RSU FK UKI Jakarta.
Hull, Alison. (1996). Penyakit Jantung, Hipertensi Dan Nutrisi. Jakarta: Bumi
Aksara.
ITB-WHO.(2001). Pengendalian Hipertensi-Laporan Komisi Pakar WHO.
Bandung: Penerbit ITB.
Kamso, Sudijanto. (1994). “Studi Epidemiologi bagi Upaya Kesehatan Usia
Lanjut di Daerah Perkotaan dan Pendesaan di Propinsi Jawa Barat”.
Program Sarjana Kesehatan Masyarakat FKM UI Depok.
_______. (2000) Nutritional Aspect of Hypertension in the Indonesian Elderly
(Acommunity study in 6 big cities) summary dissertaion, Post Draduate
Program University of Indonesia, Jakarta.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
85
Universitas Indonesia
_______. (2007) . “Determinants of blood pressure among Indonesian elderly
individuals who are of normal and over-weight: a cross sectional study in
an urban population” Jakarta: Asia Pac J Clin Nutr 7;16 (3):546-553.
Kaplan, NM. (1994). Clinical Hypertension, 6th ed. William & Wilkins
http://www.nhlbi.nih.gov/health/public/heart/hbp/hbp_low/hbp_low.pdf
[16 Mei 2011)]
Kartikawati, Anggi. (2008). “Prevalensi Dan Determinan Hipertensi Pada Pasien
Puskemas Di Jakarta Utara Tahun 2007”. Program Sarjana Kesehatan
Masyarakat FKM UI Depok.
Kearney PM, Whelton M, Reynolds K et al. Global burden of hypertension:
analysis of worldwide data. Lancet 2005; 365: 217-23.
Khania. (2002). “Faktor Risiko Hipertensi Pasien Rawat Inap RS Jantung Harapan
Kita, Jakarta Tahun 2000”. Program Sarjana Kesehatan Masyarakat FKM
UI Depok.
Khaw and Barret-Connor. (1995). Dietary Potassium and Stroke associated
mortality. A 12-Year prospective population study. New Englend.
J.Med.,316, 235-240.
Khomsan, Ali. (2004). Pangan & Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Kingdo, G. (1997). Penatalaksanaan Faktor-faktor risiko kardiovaskuler pada
penderita hipertensi. Medika : No.1 Tahun XXIII
Kodim, Nasrin. (1998). Himpunan Bahan Kuliah Epidemiologi Penyakit Tidak
Menular. Depok: FKM UI.
Lameshow, Stanley Jr; David W. Hosmer; Klar, Janelle; Lwanga, Stephen K.
(1997). Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Terj: Dibyo
Pramono & Hari Kusnanto. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Muktamar, Z.(1996). Hipertensi: Perubahan Hemodinamika Sistemik Dan Terapi
Hipertensi Dari Aspek Kardiovaskuler. Jakarta.
MONICA, WHO Project. (2003). World’s Largerst Study Of Heart Diesease,
Stroke, Risk Factors And Population Trends. Genewa: World Health
Organization.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
86
Universitas Indonesia
Otsir G. V., Berges, I. M., Mardikes, K. S., & Ottenbacher, K. J. (2006).
Hypertension inOlder Adults and the Role of Positive Emotions.
Psychosomatic Medicine, 68,727-733.
Purwati, Selimar, Rahayu S. (2002). Perencanaan Menu untuk Penderita Tekanan
Darah Tinggi. Jakarta: Penebar Swadaya
Ryan AS. (1993). Relationship of blood pressure to fatness aand pattering in
Mexican American Adults from Hispanic Health and Nutrition
Examinination Survey. Coll Antropol 18: 1 89-99.
Simanjuntak, Rosefin. (2001). “Beberapa faktor yang berhubungan dengan
hipertensi pada kelompok lanjut usia (lansia) di Indonesia: analisa data
SKRT 1995”. Skripsi. Program Sarjana FKM UI Depok.
Sumiati, Sri. (2005).”Hubungan Faktor Demografi Dann Perilaku Dengan
Terjadinya Hipertensi Pada Kelompok Lansia Di kota Depok”. Program
Sarjana Kesehatan Masyarakat FKM UI Depok.
Syahputra, Ridwan Febryanto. (2010) “Beberapa faktor risiko yang berhubungan
terhadap kejadian hipertensi pada lansia yang berkunjung ke balai
pengobatan umum (BPU) puskesmas mampang prapatan Jakarta Selatan
maret-april 2010”. Skrispi, Program Sarjana FKM UI Depok.
Tanjung, Nowi Dewi. (2009). “Hubungan antara gaya hidup, asupan zat gizi, pola
minum dan indeks massa tubuh dengan hipertensi pada pra lansia dan
lansia posbindu Kelurahan Rangkepan Jaya Depok tahun 2009”. Skripsi.
Program Sarjana FKM UI Depok.
WHO-ISH. (1999). Hypertension Control. Geneva: Report of WHO Expert
Commetee.
Yuliarti, Dwiretno. (2007). “Faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi
pada usia lanjut di Posbindu Kota Bogor tahun 2007” Tesis, Program
Doktor FKM UI Depok.
Yusida, Hikmah. (200)1. “Hubungan Faktor-Faktor Demografi Dan Medis dengan
Kejadian Hipertensi Pada Kelompok Lansia Di Kota Depok Tahun 2000-
2001”. Program Sarjana Kesehatan Masyarakat FKM UI Depok.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
87
Universitas Indonesia
The Sixth Report of the Joint National Committee on prevention, detection,
evaluation, and treatment of high blood pressure. NIH publication No.
98-4080 November 1997.
National High Blood Pressure education Program. (2003). Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. The Seventh Report
of Joint National Committee (JNC 7). U.S. Departement of Health and
Human Services. National Institutes of health. National Heart, Lung, and
Blood Institute. . [ 10 Juni 2011].
http://www.nhlbi.niv.gov/guidlines/hypertension/express.pdf
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
LAMPIRAN
HASIL UJI STATISTIK
(OUTPUT SPSS)
1. Analisis Univariat
Karakteristik Responden
1.1 Umur
1.2 Jenis Kelamin
Statistics
kategori umur lansia270
0ValidMissing
N
kategori umur lansia
169 62,6 62,6 62,675 27,8 27,8 90,426 9,6 9,6 100,0
270 100,0 100,0
45-59 tahun60-69 tahun> 70 tahunTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
Cumulat iv ePercent
Statistics
jenis kelamin lansia270
0ValidMissing
N
jenis kelamin lansia
40 14,8 14,8 14,8230 85,2 85,2 100,0270 100,0 100,0
laki-lakiperempuanTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
Cumulat iv ePercent
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
1.2 Kemandirian
1.4 Kelurahan
1.5 Kegemukan
Statistics
Tipe kemandirian lansia270
0ValidMissing
N
Tipe kemandirian lansia
269 99,6 99,6 99,61 ,4 ,4 100,0
270 100,0 100,0
CATotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
Cumulativ ePercent
Statistics
Wilayah tempat tinggal270
0ValidMissing
N
Wilayah tempat tinggal
60 22,2 22,2 22,295 35,2 35,2 57,441 15,2 15,2 72,674 27,4 27,4 100,0
270 100,0 100,0
BaruCijantungKalisariPekayonTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
Cumulat iv ePercent
Statistics
Kegemukan pada lansia270
0ValidMissing
N
Kegemukan pada lansia
85 31,5 31,5 31,5185 68,5 68,5 100,0270 100,0 100,0
gemukNormalTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
Cumulat iv ePercent
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
1.6 Gangguan Mental/Emosional
1.7 Penyakit Diabetes Mellitus
2. Analisis Bivariat
Statistics
adanya gangguan mental atau emosional270
0ValidMissing
N
adanya gangguan mental atau emosional
229 84,8 84,8 84,841 15,2 15,2 100,0
270 100,0 100,0
tidak adaadaTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
Cumulat iv ePercent
Statistics
adanya peny akit DM270
0ValidMissing
N
adanya penyakit DM
254 94,1 94,1 94,116 5,9 5,9 100,0
270 100,0 100,0
0adaTotal
ValidFrequency Percent Valid Percent
Cumulativ ePercent
Case Processing Summary
270 100,0% 0 ,0% 270 100,0%kategori umur lansia* kondisi hipertensipada lansia
N Percent N Percent N PercentValid Missing Total
Cases
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
2.1 Umur 60-69 Vs 45-59
kategori umur lansia * kondisi hipertensi pada lansia Crosstabulation
70 99 169
41,4% 58,6% 100,0%
45 30 75
60,0% 40,0% 100,0%
17 9 26
65,4% 34,6% 100,0%
132 138 270
48,9% 51,1% 100,0%
Count% within kategoriumur lansiaCount% within kategoriumur lansiaCount% within kategoriumur lansiaCount% within kategoriumur lansia
45-59 tahun
60-69 tahun
> 70 tahun
kategoriumur lansia
Total
hipertensitidak
hipertensi
kondisi hipertensi padalansia
Total
Crosstab
45 30 7560,0% 40,0% 100,0%
70 99 16941,4% 58,6% 100,0%
115 129 24447,1% 52,9% 100,0%
Count% within umur_baruCount% within umur_baruCount% within umur_baru
60-69
45-59
umur_baru
Total
hipertensitidak
hipertensi
kondisi hipertensi padalansia
Total
Chi-Square Tests
7,197b 1 ,0076,470 1 ,0117,218 1 ,007
,008 ,005
7,167 1 ,007
244
Pearson Chi-SquareContinuity Correctiona
Likelihood RatioFisher's Exact TestLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases
Value dfAsy mp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Computed only for a 2x2 tablea.
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is35,35.
b.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
2.2 Umur ≥70 Vs 45-59
Risk Estimate
2,121 1,219 3,692
1,449 1,120 1,874
,683 ,503 ,926
244
Odds Rat io f or umur_baru (60-69 / 45-59)For cohort kondisihipertensi pada lansia= hipertensiFor cohort kondisihipertensi pada lansia= tidak hipertensiN of Valid Cases
Value Lower Upper
95% Conf idenceInterv al
Crosstab
17 9 2665,4% 34,6% 100,0%
70 99 16941,4% 58,6% 100,0%
87 108 19544,6% 55,4% 100,0%
Count% within umur_baru1Count% within umur_baru1Count% within umur_baru1
>70
45-59
umur_baru1
Total
hipertensitidak
hipertensi
kondisi hipertensi padalansia
Total
Chi-Square Tests
5,237b 1 ,0224,312 1 ,0385,237 1 ,022
,033 ,019
5,210 1 ,022
195
Pearson Chi-SquareContinuity Correctiona
Likelihood RatioFisher's Exact TestLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases
Value dfAsy mp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Computed only for a 2x2 tablea.
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is11,60.
b.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
2.3 Jenis Kelamin Terhadap Hipertensi
Risk Estimate
2,671 1,126 6,338
1,579 1,132 2,201
,591 ,343 1,017
195
Odds Rat io f or umur_baru1 (>70 / 45-59)For cohort kondisihipertensi pada lansia= hipertensiFor cohort kondisihipertensi pada lansia= tidak hipertensiN of Valid Cases
Value Lower Upper
95% Conf idenceInterv al
Case Processing Summary
270 100,0% 0 ,0% 270 100,0%Jenis Kelamin lansia* kondisi hipertensipada lansia
N Percent N Percent N PercentValid Missing Total
Cases
Jenis Kelamin lansia * kondisi hipertensi pada lansia Crosstabulation
27 13 40
67,5% 32,5% 100,0%
105 125 230
45,7% 54,3% 100,0%
132 138 270
48,9% 51,1% 100,0%
Count% within JenisKelamin lansiaCount% within JenisKelamin lansiaCount% within JenisKelamin lansia
Laki-laki
Perempuan
Jenis Kelaminlansia
Total
hipertensitidak
hipertensi
kondisi hipertensi padalansia
Total
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
2.4 Kegemukan Terhadap Hipertensi
Chi-Square Tests
6,509b 1 ,0115,664 1 ,0176,613 1 ,010
,016 ,008
6,485 1 ,011
270
Pearson Chi-SquareContinuity Correctiona
Likelihood RatioFisher's Exact TestLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases
Value dfAsy mp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Computed only for a 2x2 tablea.
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is19,56.
b.
Risk Estimate
2,473 1,215 5,033
1,479 1,143 1,912
,598 ,377 ,949
270
Odds Ratio f or JenisKelamin lansia(Laki-laki / Perempuan)For cohort kondisihipertensi pada lansia =hipertensiFor cohort kondisihipertensi pada lansia =tidak hipertensiN of Valid Cases
Value Lower Upper
95% Conf idenceInterv al
Kegemukan pada lansia * kondisi hipertensi pada lansia Crosstabulation
50 35 85
58,8% 41,2% 100,0%
82 103 185
44,3% 55,7% 100,0%
132 138 270
48,9% 51,1% 100,0%
Count% within Kegemukanpada lansiaCount% within Kegemukanpada lansiaCount% within Kegemukanpada lansia
gemuk
Normal
Kegemukanpada lansia
Total
hipertensitidak
hipertensi
kondisi hipertensi padalansia
Total
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
2.5 Gangguan Mental/Emosional Terhadap Hipertensi
Chi-Square Tests
4,900b 1 ,0274,337 1 ,0374,917 1 ,027
,036 ,019
4,882 1 ,027
270
Pearson Chi-SquareContinuity Correctiona
Likelihood RatioFisher's Exact TestLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases
Value dfAsy mp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Computed only for a 2x2 tablea.
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is41,56.
b.
Risk Estimate
1,794 1,066 3,019
1,327 1,044 1,688
,740 ,556 ,983
270
Odds Rat io f orKegemukan pada lansia(gemuk / Normal)For cohort kondisihipertensi pada lansia =hipertensiFor cohort kondisihipertensi pada lansia =tidak hipertensiN of Valid Cases
Value Lower Upper
95% Conf idenceInterv al
Case Processing Summary
270 100,0% 0 ,0% 270 100,0%
Status KesehatanMental/emosional *kondisi hipertensipada lansia
N Percent N Percent N PercentValid Missing Total
Cases
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
Status Kesehatan Mental /emosional * kondisi hipertensi pada lansia Crosstabulation
24 17 41
58,5% 41,5% 100,0%
108 121 229
47,2% 52,8% 100,0%
132 138 270
48,9% 51,1% 100,0%
Count% within StatusKesehatanMental/emosionalCount% within StatusKesehatanMental/emosionalCount% within StatusKesehatanMental/emosional
ada gangguan
Tidak Ada Gangguan
Status KesehatanMental/emosional
Total
hipertensitidak
hipertensi
kondisi hipertensi padalansia
Total
Chi-Square Tests
1,801b 1 ,1801,374 1 ,2411,806 1 ,179
,235 ,120
1,794 1 ,180
270
Pearson Chi-SquareContinuity Correctiona
Likelihood RatioFisher's Exact TestLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases
Value dfAsy mp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Computed only for a 2x2 tablea.
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is20,04.
b.
Risk Estimate
1,582 ,807 3,101
1,241 ,927 1,662
,785 ,535 1,152
270
Odds Rat io f or StatusKesehatanMental/emosional (adagangguan / Tidak AdaGangguan)For cohort kondisihipertensi pada lansia= hipertensiFor cohort kondisihipertensi pada lansia= tidak hipertensiN of Valid Cases
Value Lower Upper
95% Conf idenceInterv al
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
2.6 Penyakit Diabetes Mellitus Terhadap Hipertensi
Case Processing Summary
270 100,0% 0 ,0% 270 100,0%Riwayat Penyakit DMLansia * kondisihipertensi pada lansia
N Percent N Percent N PercentValid Missing Total
Cases
Riwayat Penyakit DM Lansia * kondisi hipertensi pada lansia Crosstabulation
11 5 16
68,8% 31,3% 100,0%
121 133 254
47,6% 52,4% 100,0%
132 138 270
48,9% 51,1% 100,0%
Count% within RiwayatPenyakit DM LansiaCount% within RiwayatPenyakit DM LansiaCount% within RiwayatPenyakit DM Lansia
Ada DM
Tidak Ada DM
Riwayat Peny akitDM Lansia
Total
hipertensitidak
hipertensi
kondisi hipertensi padalansia
Total
Chi-Square Tests
2,685b 1 ,1011,906 1 ,1672,740 1 ,098
,125 ,083
2,675 1 ,102
270
Pearson Chi-SquareContinuity Correctiona
Likelihood RatioFisher's Exact TestLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases
Value dfAsy mp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Computed only for a 2x2 tablea.
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is7,82.
b.
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
2.7tempat Tinggal
*Kelurahan Baru Menjadi Kelompok Pembanding
(Prevalensi Hipertensi Terendah)
Kel Cijantung Vs Kel Baru
Risk Estimate
2,418 ,817 7,160
1,443 1,012 2,057
,597 ,286 1,246
270
Odds Ratio f or RiwayatPenyakit DM Lansia (AdaDM / Tidak Ada DM)For cohort kondisihipertensi pada lansia =hipertensiFor cohort kondisihipertensi pada lansia =tidak hipertensiN of Valid Cases
Value Lower Upper
95% Conf idenceInterv al
Crosstab
47 48 9549,5% 50,5% 100,0%
26 34 6043,3% 56,7% 100,0%
73 82 15547,1% 52,9% 100,0%
Count% within kel1Count% within kel1Count% within kel1
Cijantung
Baru
kel1
Total
hipertensitidak
hipertensi
kondisi hipertensi padalansia
Total
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
Kel. Kalisari Vs Kel. Baru
Chi-Square Tests
,556b 1 ,456,337 1 ,561,558 1 ,455
,510 ,281
,553 1 ,457
155
Pearson Chi-SquareContinuity Correctiona
Likelihood RatioFisher's Exact TestLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases
Value dfAsy mp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Computed only for a 2x2 tablea.
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is28,26.
b.
Risk Estimate
1,280 ,668 2,453
1,142 ,802 1,626
,892 ,662 1,201
155
Odds Rat io f or kel1(Cijantung / Baru)For cohort kondisihipertensi pada lansia= hipertensiFor cohort kondisihipertensi pada lansia= tidak hipertensiN of Valid Cases
Value Lower Upper
95% Conf idenceInterv al
Crosstab
18 23 4143,9% 56,1% 100,0%
26 34 6043,3% 56,7% 100,0%
44 57 10143,6% 56,4% 100,0%
Count% within kel2Count% within kel2Count% within kel2
Kalisari
Baru
kel2
Total
hipertensitidak
hipertensi
kondisi hipertensi padalansia
Total
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
Kel. Pekayon Vs Kel. Baru
Chi-Square Tests
,003b 1 ,955,000 1 1,000,003 1 ,955
1,000 ,558
,003 1 ,955
101
Pearson Chi-SquareContinuity Correctiona
Likelihood RatioFisher's Exact TestLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases
Value dfAsy mp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Computed only for a 2x2 tablea.
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is17,86.
b.
Risk Estimate
1,023 ,460 2,279
1,013 ,645 1,591
,990 ,698 1,404
101
Odds Rat io f or kel2(Kalisari / Baru)For cohort kondisihipertensi pada lansia= hipertensiFor cohort kondisihipertensi pada lansia= tidak hipertensiN of Valid Cases
Value Lower Upper
95% Conf idenceInterv al
Kel3 * kondisi hipertensi pada lansia Crosstabulation
41 33 7455,4% 44,6% 100,0%
26 34 6043,3% 56,7% 100,0%
67 67 13450,0% 50,0% 100,0%
Count% within Kel3Count% within Kel3Count% within Kel3
,00
1,00
Kel3
Total
hipertensitidak
hipertensi
kondisi hipertensi padalansia
Total
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
Chi-Square Tests
1,932b 1 ,1651,479 1 ,2241,936 1 ,164
,224 ,112
1,917 1 ,166
134
Pearson Chi-SquareContinuity Correctiona
Likelihood RatioFisher's Exact TestLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases
Value dfAsy mp. Sig.
(2-sided)Exact Sig.(2-sided)
Exact Sig.(1-sided)
Computed only for a 2x2 tablea.
0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is30,00.
b.
Risk Estimate
1,625 ,818 3,227
1,279 ,897 1,822
,787 ,562 1,102
134
Odds Rat io f or Kel3(,00 / 1,00)For cohort kondisihipertensi pada lansia= hipertensiFor cohort kondisihipertensi pada lansia= tidak hipertensiN of Valid Cases
Value Lower Upper
95% Conf idenceInterv al
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
Format 1
PENCATATAN HASIL KEGIIATAN KESEHTAN KELOMPOK USIA LANJUT................................
KECAMATAN............................... PUSKESMAS :..................................
BULAN :.................................... TAHUN :................................
JUMLAH SASARN PRA USIA LANJUT/USIA LANJUT DI WILAYAH KELOMPOK :.........../.............
JUMLAH PRA USIA LANJUT/USIA LANJUT ANGGOTA KELOMPOK USIA LANJUT :...................
No. Urut
No. KMS
Nama Kunjungan Umur Kegiatan Sehari-hari
Usia lanjut dengan kelainan Preventif
45-59 60-69 ≥70 Kemandirian Ggg mental emosi
IMT Tek darah
Anemia DM Ggg Gin- jal
Peny lain
Rujuk Peng-obatan
TD GD COL
Baru Lama A B C L K T R Ya Tdk
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Catatan: Kolom 4-5 Kunjungan berlaku untuk 1 tahun berjalan
Jakarta, .......20.....
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011
Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011