S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

122
UNIVERSITAS INDONESIA PREVALENSI DAN DETERMINAN HIPERTENSI DI POSYANDU LANSIA WILAYAH KECAMATAN PASAR REBO JAKARTA TIMUR TAHUN 2010 SKRIPSI FEMMY IMELIA PICAL 0706165671 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT DEPOK JUNI 2011 Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Transcript of S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

Page 1: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

UNIVERSITAS INDONESIA

PREVALENSI DAN DETERMINAN HIPERTENSI DI

POSYANDU LANSIA WILAYAH KECAMATAN PASAR

REBO JAKARTA TIMUR TAHUN 2010

SKRIPSI

FEMMY IMELIA PICAL

0706165671

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

DEPOK

JUNI 2011

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 2: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

UNIVERSITAS INDONESIA

PREVALENSI DAN DETERMINAN HIPERTENSI DI

POSYANDU LANSIA WILAYAH KECAMATAN PASAR

REBO JAKARTA TIMUR TAHUN 2010

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana kesehatan masyarakat

FEMMY IMELIA PICAL

0706165671

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

DEPOK

JUNI 2011

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 3: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 4: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 5: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 6: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

iv

KATA PENGANTAR

Segala Puji, Hormat, dan Kemuliaan hanya bagi Tuhan Yesus Kristus

sumber segala hikmat, kekuatan, dan pengharapan sehingga hanya oleh

anugerahnya peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul

“Prevalensi dan Determinan Hipertensi Di Posyandu Lansia Kecamatan Pasar

Rebo Jakarta Timur Tahhun 2010”.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah peneliti menyampaikan terima kasih

sebagai penghargaan dan rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Nasrin Kodim, MPH selaku pembimbing akademik

yang dengan kesabaran membimbing, mengarahkan, dan memberikan

inspirasi, saran dan kritik yang membangun, serta senantiasa mendorong

untuk memiliki rasa percaya diri selama proses penyusunan hingga

selesainya skripsi ini.

2. Ibu dr. Helda, M.Kes selaku tim penguji I yang telah menyediakan waktu

dan pemikiran menjadi penguji skripsi ini serta atas setiap saran dan kritik

yang membangun demi mendapatkan hasil yang lebih baik

3. Bapak Suprono, SKM dari Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta, selaku

tim penguji II atas kesedian menjadi tim penguji serta atas setiap saran dan

kritik yang berarti demi perbaikan skripsi ini.

4. Kepala Suku Dinas Jakarta Timur, atas bantuan dan perijinan pelaksanaan

penelitian di wilayah Pasar Rebo Jakarta Timur.

5. Kepala Puskesmas baik di tingkat kecamatan maupun tingkat kelurahan

Pasar Rebo, atas dukungan dan kerjasamanya sehingga penelitian ini dapat

dilakukan diwilayah kerja puskesmas Pasar Rebo.

6. Bapak Sarjono dan Ibu Tri dari Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo yang

telah memberikan dukungan, bantuan, serta masukan selama proses

penyusun skripsi.

7. Ibu Nila, Ibu Rini, Ibu Monita, Ibu Cut, dari pihak puskesmas kelurahan

bagian lansia, atas bantuan dan dukungannya selama proses pengambilan

data sehingga dapat menghasilkan skripsi ini.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 7: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

v

8. Para lansia dan kader lansia terutama ibu Ana, yang telah membimbing, dan

memberi semangat serta berbagi pengalaman untuk terlibat dalam di

Posyandu lansia Cijantung RW 10. Terima kasih atas setiap kebaikan hati

ibu kepada saya dan juga untuk setiap kaum lansia yang ibu layani. Kiranya

Tuhan senatiasa memberkati Ibu dan keluarga.

9. Keluarga besar KOPMA FKM UI, khususnya ka Sistha, ka Budi, ka

Waway, mba Ewi, Ka Dara, ka Ridwan, ka Nano, Nourma, Gumanti, serta

mas rahman, atas kebersamaan dan pengalaman, serta dukungan moril yang

diberikan.

10. Bapak/Ibu karyawan Perpustakaan FKM UI, secara khusus kepada Pak

Rahman dan Pak Sukisno. Terima kasih atas keramahan dan semangat serta

kesabarannya selama mencari literatur skripsi di perpustakaan.

11. Sdri. Rossa Nanda a.k. Ocha (Epid’07), atas bantuannya meminjamkan HP

CDMA. Mohon maaf karena waktu pengembalian yang cukup lama.

Kiranya Tuhan Memberkati Ocha dan Keluarga.

12. Rekan-rekan Prakesmas Epid kelompok PHBS yaitu Aziza Irfa, Yoli

Farradika, Dheni Fidiyah Fika, Mailisafitri, Wulan Sari, Doni Sumitro, atas

kekompakan, dukungan dan pengalaman berharga yang dilalui bersama

selama prakesmas hingga penyelesaian skripsi ini.

13. Saudara-saudariku seiman keluarga besar POSA FKM UI dari berbagai

angkatan, atas semangat, penghiburan, penguatan, terlebih dukungan doa

sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Khususnya, Eva (MRS’08) atas

bantuan printernya. God Bless you dek.

14. Yan (FT UP’07) rekan sepelayanku di PMKJ, atas doa dan setiap ayat-ayat

penguatan yang dikirimkan via SMS sehingga menjadi kekuatan dan

mengingatkan untuk berserah pada Tuhan.

15. Kelompok Kecil Kak Herdi, bersama Theovani dan Dian Natalia TKKku.

Atas dukungan, saran, penguatan, doa bersama sehingga selalu ada kekuatan

baru untuk menyelesaikan skripsi ini.

16. Kelompok Kecilku, bersama 4 orang AKKku yaitu Claudia Ester,

Englelina, Christabel, dan Gresia. Terima kasih atas dukungan semangat,

ayat-ayat penguatan, serta dukungan doa sehingga dimampukan untuk

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 8: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

vi

menyelesaikan skripsi ini dan kiranya tetap diberikan kesempatan untuk

bertumbuh bersama dalam Tuhan.

17. Sahabatku terkasih, Stevy E.D Simamora, Elizabeth S, Lena Elfrida, Ruth

Lusiana Simanjuntak, Sandra Yossi, Erma Sophia atas setiap penguatan,

bantuan dan doa serta canda tawa yang diberikan selama menjalani setiap

tantangan dan masa-masa krisis dalam penyusunan skripsi ini.

18. Rekan-rekan sepelayananku di POSA FKM UI: angkatan 2006 (ka Cindy,

ka Romauli, kak Pariama Nova, Ka Meggi) angkatan 2008: Amanda

Gracelia, Theresia, Ema, Kiki, Herlin, Vero, Icha, atas dukungan doa dan

penguatan yang diberikan. Terima kasih juga telah melayani dan bertumbuh

bersama dalam Kasih Tuhan.

19. Kak Irena Anastasia Banjarnahor, selaku pendoa syafaatku, atas setiap

dukungan dan doa yang luar biasa sehingga selalu ada kekuatan baru yang

dialami sehingga tetap mampu melihat bahwa rencana Tuhan selalu indah

pada waktu-Nya. Kiranya Tuhan memberkati dan menjadi berkat orang lain

dimanapun Tuhan tempatkan.

20. Papa dan Mama tercinta, atas didikan, kasih sayang, kesabaran, kerja keras,

serta dukungan doa yang luar biasa. Terima kasih telah merelakan putri

keduamu ini untuk menempuh pendidikan yang terbaik meskipun harus

terpisah jauh selama beberapa waktu lamanya. Sukacita terbesar apabila

melihat mama dan papa dapat berbangga hati dan bersukacita atas hal kecil

yang dapat saya berikan ini. Kiranya Tuhan senantiasa memberi umur

panjang dan kesehatan untuk dapat membahagiakan papa dan mama

tercinta.

21. Saudara-saudariku tercinta, kakakku Rizkia Felisanny Pical, atas doa yang

luar biasa serta sokongan dananya . adik-adikku Alfian Pical, dan Sherwin

Pical. Terima kasih atas doa-doanya. Sangat mengucap syukur memiliki

kalian semua.

Akhir kata, kiranya Tuhan yang Maha Esa senantiasa memberkati dan

membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini

membawa manfaat bagi pengembangan ilmu kesehatan masyarakat.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 9: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

vii

Manusia begitu terbatas, tetapi Allah tiada terbatas. Hal yang tidak mungkin

bagi manusia, mungkin bagi Allah.

Filipi 4:13 “Segala Perkara dapat ku tanggung di dalam Dia yang

memberi kekuatan kepadaku”

Sepenggal bait lagu ini kiranya dapat menjadi inspirasi dalam melalui

masa-masa yang penuh tantangan. Saya dedikasikan bagi setiap orang yang berani

bermimpi besar, percaya akan mimpinya, dan punya niat untuk mewujudkannya.

(Dream, Believe, and Make it Happen” _AM)

Segala perkaraku, kuserahkan pada-Mu, Allah pembelaku

Segala kuatirku, ku taruh di kaki-Mu, Allah pemeliharaku

Bila Kau yang membuka pintu, tiada satupun dapat menutupnya

Bila Kau yang mengangkat aku, tiada yang dapat merendahkanku.

_Maria Shandy_

Depok, 23 Juni 2011

(Femmy Imelia Pical)

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 10: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 11: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

ix Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Femmy Imelia Pical

Program Studi : Sarjana Kesehatan Masyarakat

Judul : Prevalensi dan Determinan Hipertensi di Posyandu Lansia

Wilayah Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur Tahun 2010

(xvi + 87 halaman, 25 tabel + 3 gambar, 3 lampiran)

Populasi lanjut usia di Indonesia semakin meningkat. Kenaikan hipertensi

sejalan dengan pertambahan usia. Hipertensi merupakan faktor risiko utama

penyakit kardiovaskuler. Sekitar 50% kejadian kardiovaskuler di sebabkan oleh

hipertensi. lansia merupakan kelompok rentan terhadap hipertensi. Prevalensi

hipertensi pada lansia di Indonesia cukup tinggi diperkirakan sekitar 20-30%. Di

puskesmas kecamatan Pasar Rebo hipertensi menempati urutan pertama dari 10

penyakit terbanyak yang diderita oleh lansia selama tahun 2009-2010. Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan determinan hipertensi di posyandu

lansia. Desain penelitiannya adalah cross sectional melalui obsevasi data sekunder

hasil pemeriksaan kesehatan di 10 posyandu lansia pada bulan Desember 2010,

berjumlah 270 responden. Hasil penelitian didapatkan prevalensi hipertensi

sebesar 48,9%. Kejadian hipertensi cukup tinggi pada lansia yang tinggal di

wilayah kelurahan Pekayon yaitu sebesar 55,4%, berumur 70 tahun ke atas yaitu

sebesar 65,4%, berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 67,5%, mengalami

kegemukan (58,8%), ada gangguan mental/emosional (58,5%), serta mengidap

penyakit diabetes Mellitus (68,8%). Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan

yang bermakna antara umur, jenis kelamin, dan kegemukan terhadap kejadian

hipertensi (p=≤0,05). Sedangkan pada variabel gangguan emosional dan riwayat

penyakit DM tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik. Upaya

pengontrolan berat badan lansi perlu dilakukan untuk menurunkan kejadian

hipertensi.

Kata Kunci : Hipertensi, lanjut usia

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 12: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

x Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Femmy Imelia Pical

Study : Bachelor Degree Of Public Health

Title : Prevalence and Determinants Of Hypertension In Elderly Health

Care Pasar Rebo District East Jakarta 2010

(xvi + 87 pages, 25 table + 3 picture, 3 appendix)

The population of elderly in Indonesia was increased. As known,

hypertesion would be increased by age. Hypertension is a major risk factor for

cardiovascular disease. About 50% of cardiovascular disease caused by hypertion.

Elderly is very potential to become hypertension. Prevalence hypertension of

elderly in indonesian estimated about 20-30%. In health center of Pasar Rebo

distric, hypertion was number one of ten most disease suffered by elderly during

2009-2010. There is an urgent need to gather information about prevalence and

various blood pressure risk factors in elderly health care. This study using cross

sectional methodology by observation secondary data of elderly health status

from 10 elderly health care in Pasar Rebo district, Desember 2010. The purpose

of this study was to investigate prevalence and determinants of hypertension in

elderly care. The total of responden was 270 elderly. The result of this study

showed that prevalence hypertion is about 48,9%. Hypertension was high in the

elderly who live in Pekayon (57%), in the age group more than 70 years old

(65,4%), male sex that is about 67.5%, with overweight (58, 8%), with mental

/emotional disorder (58.5%), and with diabetes mellitus (68.8%). Statistical test

results also showed that there is significant relationship between age, gender, and

overweigth with hypertension. While the variable of mental/emotional disorder

and history of DM disease has no significant relationship. Controling of body

mass index for elderly is recommended to decrease hypertension.

Key Words : Hypertension, elderly

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 13: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

xi Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii

KATA PENGANTAR .................................................................................. iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................... viii

ABSTRAK ................................................................................................... ix

DAFTAR ISI ................................................................................................ xi

DAFTAR TABEL ........................................................................................ xiv

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 4

1.3 Pertanyaan Penelitian .............................................................................. 5

1.4 Tujuan Penelitin ...................................................................................... 6

1.4.1 Tujuan Umum ...................................................................................... 6

1.4.2 Tujuan Khusus ..................................................................................... 6

1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................. 7

1.6 Ruang Lingkup ....................................................................................... 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi ............................................................................................... 8

2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Hipertensi ................................................. 8

2.1.2 Jenis-jenis Hipertensi ...................................................................... 10

2.2 Diagnosis Hipertensi .............................................................................. 10

2.2.1 Cara Pengukuran Tekanan Darah .................................................... 11

2.2.2 Gejala Klinis .................................................................................. 12

2.3 Patofisiologi Hipertensi .......................................................................... 12

2.4 Komplikasi Hipertensi............................................................................ 14

2.5 Penanganan Hipertensi ............................................................................ 15

2.5.1 Hipertensi Ringan ........................................................................... 15

2.5.2 Hipertensi Sedang dan Berat ........................................................... 17

2.5.3 Terapi Farmakologis ....................................................................... 18

2.6 Prevalensi Hipertensi.............................................................................. 20

2.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Hipertensi .......................... 21

2.7.1 Umur .............................................................................................. 21

2.7.2 Jenis Kelamin ................................................................................. 22

2.7.3 Keturunan/Genetik ......................................................................... 23

2.7.4 Ras/Suku ........................................................................................ 23

2.7.5 Status Sosioekonomi ...................................................................... 23

2.7.6 Faktor Lingkungan ........................................................................ 24

2.7.7 Aktivitas Fisik ................................................................................ 24

2.7.8 Kebiasaan Merokok ........................................................................ 25

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 14: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

xii Universitas Indonesia

2.7.9 Konsumsi Lemak Jenuh ................................................................. 26

2.7.10 Konsumsi Garam ......................................................................... 26

2.7.11 Gangguan Mental/Emosional ....................................................... 27

2.7.12 Gizi Lebih (Kegemukan/Obesitas) .............................................. 28

2.7.13 Diabetes Mellitus ......................................................................... 29

2.8 Definisi Lanjut Usia ................................................................................ 29

2.8.1 Proses Penuaan ............................................................................... 31

2.8.2 Masalah Lanjut Usia di Indoensia ................................................... 32

2.8.3 Hipertensi pada Lanjut Usia............................................................ 34

2.9 Posyandu Lansia .................................................................................... 34

2.9.1 Tujuan Posyandu Lansia ................................................................. 35

2.9.2 Mekanisme Pelayanan Posyandu Lansia ......................................... 35

2.9.3 Bentuk Pelayanan Posyandu Lansia ................................................ 36

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, &

DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Teori ....................................................................................... 37

3.2 Kerangka Konsep .................................................................................... 38

3.3 Hipotesis ................................................................................................. 39

3.4 Definisi Operasional................................................................................ 40

BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian .................................................................................... 45

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................. 45

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................... 45

4.3.1 Populasi.......................................................................................... 45

4.3.2 Sampel ........................................................................................... 45

4.3.3 Kriteria Inklusi dan Ekslusi ............................................................ 46

4.3.3.1 Kriteria Inklusi .................................................................... 46

4.3.3.2 Kriteria Ekslusi .................................................................... 46

4.3.3.3 Besar Sampel ....................................................................... 46

4.4 Teknik Pengumulan Data ........................................................................ 47

4.4.1 Sumber Data ................................................................................... 47

4.4.2 Cara Pengambilan Data .................................................................. 48

4.5 Manajemen Data ..................................................................................... 48

4.6 Analisis Univariat ................................................................................... 48

4.7 Analisis Bivariat...................................................................................... 49

BAB 5 HASIL PENELITIAN

5.1. Gambaran Umum ................................................................................... 51

5.1.1 Data Sosioekonomi ........................................................................ 52

5.1.2 Pembinaan Kesehatan di Posyandu Lansia ..................................... 52

5.2 Prevalensi Hipertensi .............................................................................. 53

5.2.1 Wilayah Kelurahan ........................................................................ 54

5.2.2 Umur ............................................................................................. 54

5.2.3 Jenis Kelamin ............................................................................... 55

5.2.4 Kegemukan ................................................................................... 55

5.2.5 Gangguan Mental/emosional ......................................................... 55

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 15: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

xiii Universitas Indonesia

5.2.6 Riwayat Penyakit Diabetes Mellitus (DM) ..................................... 56

5.3 Analisis Univariat ................................................................................... 56

5.4 Analisis Bivariat...................................................................................... 57

5.4.1 Hubungan Hipertensi Dengan Faktor-Faktor Risiko....................... 57

5.4.1.1 Kelurahan (Tempat Tinggal) .............................................. 58

5.4.1.2 Umur ................................................................................. 58

5.4.1.3 Jenis Kelamin .................................................................... 59

5.4.1.4 Kegemukan ........................................................................ 59

5.4.1.5 Gangguan Mental/Emosional ............................................. 60

5.4.1.6 Penyakit Diabetes Mellitus (DM) ....................................... 60

BAB 6 PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian ........................................................................... 61

6.1.1 Metode penelitian .......................................................................... 61

6.1.2 Variabel penelitian ........................................................................ 61

6.1.3 Kualitas data .................................................................................. 62

6.2 Gambaran Posyandu Lansia .................................................................... 63

6.3 Gambaran Hipertensi .............................................................................. 64

6.4 Faktor-faktror yang Berhubungan dengan kejadian Hipertensi pada

Lansia ..................................................................................................... 66

6.4.1 Kelurahan (Tempat Tinggal) .......................................................... 66

6.4.2 Umur ............................................................................................. 68

6.4.3 Jenis Kelamin ................................................................................ 70

6.4.4 Kegemukan ................................................................................... 73

6.4.5 Kesehatan mental/emosional lanjut usia (Stress) ............................ 75

6.4.6 Penyakit Diabetes Mellitus (DM) .................................................. 78

BAB 7 PENUTUP

7.1 Kesimpulan ............................................................................................. 80

7.2 Saran ....................................................................................................... 80

DAFTAR REFERENSI .............................................................................. 83

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 16: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

xiv Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan WHO-ISH 1999........... 9

Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan JNC-VI

(1998)……………………………………………………....

9

Tabel 2.3 Rekomendasi Untuk Tindak Lanjut Tekanan Darah

Pengukuran Pertama..............................................................

Hipertensi Berdasarkan Perbedaan Kelompok

Umur……..............................................................................

11

Tabel 2.4 Hipertensi Berdasarkan Perbedaan Kelompok

Umur..............................................................……................

22

Tabel 2.5 Klasifikasi Status Gizi penduduk Umur 15 tahun Ke

atas........................................................................................

28

Tabel 4.1 Posyandu Lansia Yang Memiliki Data Yang Lengkap

Untuk Keperluan Penelitian..................................................

46

Tabel 4.2 Besar Sampel Berdasarkan Hasil Penelitian

Sebelumnya...................................................………………

47

Tabel 5.1 Luas Wilayah, RW, RT, Jumlah Penduduk, Jumlah Rumah

Tangga, Rata-rata Jiwa, dan Kepadatan Penduduk

Kecamatan Pasar Rebo Tahun

2009………………………………………………………..

51

Tabel 5.2

Tabel 5.3

Tabel 5.4

Jenis Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Pasar Rebo

Jakarta Timur Tahun 2010.....................................................

Upaya Pembinaan Kesehatan di Posyandu Lansia

Kecamatan Pasar Rebo 2010.................................................

Prevalensi Hipertensi di Posyandu Lansia Pasar Rebo

Tahun 2010………………....................................................

52

52

53

Tabel 5.5 Data Deskriptif Berdasarkan Rata-rata nilai Tekanan Darah

Sistolik dan Diastolik di Posyandu Lansia Kecamatan Pasar

Rebo Tahun 2010.............………………..............................

53

Tabel 5.6 Frekuensi Hipertensi Berdasarkan Kelurahan Posyandu

Lansia Di Pasar Rebo Tahun 2010………………................

54

Tabel 5.7 Frekuensi Hipertensi Berdasarkan Umur di Posyandu

Lansia Pasar Rebo Tahun 2010………….............................

54

Tabel 5.8 Frekuensi Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin Di

Posyandu Lansia Pasar Rebo Jakarta Timur Tahun 2010......

55

Tabel 5.9 Frekuensi Hipertensi Berdasarkan Kegemukan Di

Posyandu Lansia Pasar Rebo Jakarta Timur Tahun

2010……………………………………...............................

55

Tabel 5.10 Frekuensi Hipertensi Berdasarkan Gangguan

Mental/Emosional Di Posyandu Lansia Pasar Rebo Jakarta

Timur Tahun 2010…….........................................................

56

Tabel 5.11 Frekuensi Hipertensi Berdasarkan Riwayat Penyakit

Diabetes Mellitus Di Posyandu Lansia Pasar Rebo Jakarta

Timur Tahun 2010……………….........................................

56

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 17: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

xv Universitas Indonesia

Tabel 5.12 Distribusi Karakteristik Demografi Lansia yang

Berkunjung di Posyandu lansia Pasar Rebo Jakarta Timur

Tahun 2010 (N=270)………………....................................

57

Tabel 5.13 Hubungan Tempat Tinggal terhadap Kejadian Hipertensi di

Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun 2010…….....................

58

Tabel 5.14 Hubungan Umur Terhadap Kejadian Hipertensi Di

Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun 2010…........................

58

Tabel 5.15 Hubungan Jenis Kelamin Terhadap Kejadian Hipertensi Di

Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun 2010.............................

59

Tabel 5.16 Hubungan Kegemukan Terhadap Kejadian Hipertensi Di

Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun 2010.............................

59

Tabel 5.17 Hubungan Gangguan Mental/Emosional Terhadap Penyakit

Hipertensi Di Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun 2010......

60

Tabel 5.18 Hubungan Penyakit Diabetes Mellitus Terhadap Kejadian

Hipertensi Di Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun

2010………….......................................................................

60

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 18: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

xvi Universitas Indonesia

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Rencana Pengelolaan Hipertensi Ringan .....................................16

Gambar 3.1 Skema Kerangka Teori Mengenai Hipertensi.............................. 38

Gambar 3.2 Skema Kerangka Konsep Hipertensi pada Lansia di Posyandu

Lansia Pasar Rebo Jakarta Timur tahun 2010 ............................. 39

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 19: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

xvii Universitas Indonesia

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil output SPSS

Lampiran 2 Contoh formulir pelaporan hasil kegiatan posyandu lansia

Lampiran 3 Surat ijin penelitian dan menggunakan data

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 20: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

1 Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan dan kemajuan teknologi kesehatan berhasil

menurunkan angka kesakitan, angka kematian bayi, ibu dan angka fertilitas serta

menghasilkan perbaikan gizi masyarakat. Dampak positifnya terlihat pada

peningkatan umur harapan hidup. Pada tahun 2005, Umur Harapan Hidup (UHH)

di Indonesia mencapai 68,2 tahun untuk perempuan dan 64,3 tahun pada laki-laki.

Sedangkan, pada tahun 2009, UHH sudah mencapai sekitar 70,6 tahun.

Peningkatan UHH ini mengakibatkan populasi penduduk usia lanjut juga semakin

meningkat pesat (Depkes RI, 2000).

Kamso (2007) menyatakan bahwa Indonesia merupakan satu dari

beberapa negara di Asia Tenggara yang menghadapi peningkatan jumlah

penduduk lanjut usia. Diproyeksikan bahwa tahun 2020, jumlah populasi lanjut

usia akan meningkat tiga kali lipat dibanding tahun 1990. Menurut Direktur

Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat Depkes RI, pada tahun 2000,

diperkirakan mencapai 7,4% atau sekitar 15,3 juta orang berusia di atas 60 tahun,

sedangkan antara tahun 2005-2010 jumlah usia lanjut akan sama dengan jumlah

balita yaitu sekitar 19 juta atau 8,5% dari seluruh jumlah penduduk.

Kondisi penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia masih memprihatinkan.

Diperkirakan sekitar 60% dari penduduk lansia tidak mendapatkan pendidikan

formal. Proses penuaan yang dialami lansia menyebabkan produktivitasnya

menurun sehingga mengakibatkan terbatasnya kesempatan kerja sedangkan

kebutuhan hidup terus meningkat. Selain itu, mulai terjadi perubahan nilai sosial

masyarakat yang mengarah pada tatanan masyarakat individualistik, para lansia

kurang mendapat perhatian sehingga sering tersisih dari kehidupan masyarakat

dan menjadi terlantar (Depkes RI, 2000)

Meskipun demikian, menurut data Depkes RI tahun 2000 didapatkan

bahwa sebagian besar lansia masih aktif bekerja dengan tingkat partisipasi

48,5% sedangkan pada lansia diatas 65 tahun tingkat partisipasinya kerja

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 21: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

2

Universitas Indonesia

mencapai 40,5% terutama di pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa lansia masih

cukup berperan besar dalam keluarga. Lansia yang sehat masih dapat menjadi

sumber daya yang potensial di masyarakat. banyakya pengalaman yang dimiliki

dapat menjadi masukan bagi generasi muda. lansia dapat aktif dalam kegiatan

pengabdian masyarakat sehingga tetap berdaya guna bagi masyarakat di

sekitarnya. Oleh karena itu, kesehatan kaum lansia tetap penting untuk mendapat

perhatian.

Menurut Bustan (2007), tidak dapat dipungkiri bahwa semakin

bertambanya umur seseorang maka proses penuaan tidak dapat dihindari. Proses

ketuaan akan berkaitan dengan proses degeneratif tubuh dengan segala penyakit

yang terkait. Dengan usia lanjut dan sisa kehidupan yang ada, kehidupan lansia

terisi dengan 40% masalah kesehatan. Data Kesehatan Indonesia didapatkan

bahwa 4 masalah kesehatan utama pada lanjut usia yaitu penyakit tulang dan

persendian (49%), penyakit kardiovaskuler & hipertensi (15,2%), ISPA (7,4%),

dan penyakit gangguan metabolisme/endokrin (3,3%). Survei Kesehatan Dasar

Rumah Tangga (SKRT, 2004) menunjukkan bahwa prevalensi penyakit

kardiovaskuler dan hipertensi tertinggi pada kelompok lanjut usia yaitu 55 tahun

ke atas.

Hipertensi adalah suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang

abnormal tingggi di dalam arteri. WHO menetapkan batasan hipertensi yaitu bila

Tekanan Darah Sistolik (TDS) ≥ 140 mmHg dan atau Tekanan Darah Diastolik

(TDD) ≥ 90 mmHg, bagi yang tidak mendapat pengobatan antihipertensi dan

batasan ini berlaku untuk usia 18 tahun ke atas.

Hipertensi merupakan penyakit kronik yang menjadi faktor risiko utama

terhadap penyakit kardiovaskuler. Berdasarkan data Global Burden of Disease

(GDB) tahun 2000, diperoleh bahwa 50% dari penyakit kardiovaskuler

disebabkan oleh hipertensi. Apabila hipertensi tidak tertangani dengan baik, maka

akan menimbulkan masalah besar bagi kehidupan seseorang melalui komplikasi

yang ditimbulkan seperti stroke, gagal jantung, infark myocard, hingga koma.

Biaya perawatan ataupun pengobatan dari komplikasi hipertensi juga tidak sedikit

bahkan akan membebani kondisi keuangan keluarga.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 22: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

3

Universitas Indonesia

Pada populasi, apabila hipertensi ringan tidak terkontrol maka dalam

jangka waktu 3-5 tahun akan berkembang menjadi hipertensi sedang dan berat

yakni sekitar 12-15%. Sedangkan apabila dapat dikontrol dengan baik, insiden

stroke dapat dikurangi hingga 40% dan insiden serangan jantung berkurang

hingga 20-30% (Kiongdo, 1997).

Tren kasus hipertensi semakin meningkat diberbagai negara. Prevalensi

hipertensi di seluruh dunia diperkirakan sekitar 15-20%. Hipertensi lebih banyak

menyerang pada usia setengah baya pada golongan umur 55-64 tahun. Di

Amerika, pada tahun 1988-1991 National Health and Nutrition Examination

Survey menemukan prevalensi hipertensi pada kelompok umur 65-74 tahun

sebagai berikut: prevalensi keseluruhan 49,6%, untuk hipertensi derajat 1 (140-

159/90-99 mmHg), 18,2%, untuk hipertensi derajat 2 (160-179/100-109 mmHg),

dan 6.5% untuk hipertensi derajat 3 (>180/110 mmHg).

Pada tahun 2004, prevalensi hipertensi di Vietnam mencapai 34,5% dan

singapura mencapai 24,9%. Menurut batasan hipertensi WHO, diperkiran 23%

wanita dan 14% pria berusia lebih dari 65 tahun menderita hipertensi. Sementara

menurut para ahli, angka kematian akibat penyakit jantung pada lansia dengan

hipertensi adalah tiga kali lebih sering dibandingkan lansia tanpa hipertensi pada

usia yang sama (Purwati et al. 2002).

Di Indonesia hipertensi juga mengalami peningkatan. Berdasarkan SKRT

tahun 2004, prevalensi hipertensi sebesar 14% dengan kisaran 13,4-14,6%.

Sedangkan berdasarkan Riskesdas tahun 2007, didapatkan bahwa hipertensi di

Indonesia telah mencapai 31,7%. Prevalensi tertinggi di provinsi Kalimantan

Selatan 39,6% dan terendah di Papua Barat 20,1%. Provinsi DKI Jakarta yang

merupakan pusat pemerintahan, prevalensi hipertensinya juga cukup tinggi yaitu

sebesar 28,8%.

Hasil laporan Riskesdas (2007) menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi

di Indonesia meningkat berdasarkan kelompok umur. Prevalensi tertinggi pada

kelompok umur 60 hingga 70 tahun keatas. Studi Kamso (2000) di 6 kota besar di

Indoensia seperti Jakarta, Padang, Bandung, Yogyakarta, Denpasar, dan Makasar

terhadap kelompok lansia (55-85 tahun) didapatkan prevalensi sebesar 55,5%.

Sedangkan menurut Depkes RI tahun 2000 didapatkan bahwa prevalensi

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 23: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

4

Universitas Indonesia

hipertensi pada lansia sekitar 20-30%. Peningkatan tekanan darah pada lanjut usia

pada dasarnya merupakan bagian normal dari proses penuaan, akan tetapi angka

insiden hipertensi pada kelompok populasi ini tergolong tinggi.

Dikenal dua jenis hipertensi yaitu hipertensi primer dan hipertensi

sekunder. Pada hipertensi sekunder umumnya disebabkan oleh adanya penyakit-

penyakit tertentu. Sedangkan, hipertensi primer belum diketahui dengan pasti

penyebabnya utamanya. Beberapa hasil penelitian menyatakan adanya faktor-

faktor risiko yang dapat memicu terjadinya hipertensi primer. Faktor-faktor

tersebut antara lain indeks massa tubuh (obesitas atau kegemukan), merokok,

konsumsi alkohol, konsumsi garam, konsumsi lemak jenuh, stress, gangguan

tidur, lingkugan geografis, keturunan, ras atau suku, jenis kelamin, umur, tipe

kepribadian, adanya penyakit Diabetes mellitus, konsumsi kopi berlebihan, serta

konsumsi pil KB (Bustan, 2007).

Hipertensi pada lansia di wilayah Pasar Rebo juga masih menjadi

masalah kesehatan. Tahun 2009 hingga 2010, berdasarkan laporan tahunan di

klinik lansia Puskemas Pasar Rebo didapatkan bahwa hipertensi berada di urutan

pertama dari 10 penyakit terbanyak yang dialami oleh lansia di wilayah kerja

puskesmas yaitu sebesar 24% sehingga menjadi masalah kesehatan yang perlu

ditangani dengan serius.

Kesehatan lansia mulai mendapat perhatian khusus di wilayah Pasar

Rebo. Hal ini sejalan upaya pembinaan kesehatan usia lanjut yang ditetapkan oleh

Dinkes propinsi DKI Jakarta. Langkah nyata diwujudkan dengan adanya

posyandu lansia yang tersebar hampir di seluruh kecamatan Pasar Rebo.

Mengingat pentingnya memperhatikan kesehatan lanjut usia, maka peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian tentang hipertensi pada lansia di wilayah ini

karena masih belum diketahui prevalensi dan faktor-faktor hipertensi pada lansia

di posyandu lansia tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Prevalensi hipertensi di Indonesia terus meningkat dengan kejadian

tertinggi pada kelompok umur 45 tahun ke atas. Jumlah lanjut usia semakin

meningkat karena adanya peningkatan usia harapan hidup. Kondisi ini

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 24: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

5

Universitas Indonesia

menyebabkan peluang untuk meningkatnya kejadian hipertensi semakin besar,

terutama bila tidak ada upaya pengendalian tekanan darah khususnya bagi kaum

lansia. Disamping itu, risiko kesakitan dan kematian akibat kardiovaskuler pun

akan ikut meningkat.

Kejadian hipertensi dapat dipicu oleh faktor-faktro risiko seperti indeks

massa tubuh (kegemukan), kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, konsumsi

garam, konsumsi lemak jenuh, stress, gangguan tidur, lingkugan geografis,

keturunan, ras atau suku, jenis kelamin, umur, tipe kepribadian, adanya penyakit

Diabetes mellitus, konsumsi kopi berlebihan, serta konsumsi pil KB (Bustan,

2007).

Berdasarkan laporan tahunan klinik lansia puskesmas Pasar Rebo tahun

2009 didapatkan bahwa hipertensi berada diurutan pertama dari 10 penyakit

terbanyak yang dialami lansia yaitu dengan persentase sebesar 24% sehingga

menjadi masalah kesehatan lansia di wilayah tersebut. Upaya pelayanan kesehatan

lansia mulai dilakukan diwilayah Pasar Rebo berupa pengadaan Posyandu lansia

yang tersebar di setiap kelurahan. Akan tetapi, belum diketahuinya prevalensi dan

determinan hipertensi khususnya di posyandu lansia wilayah Pasar Rebo tersebut.

Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian tersebut.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Berapa prevalensi hipertensi di posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo

Jakarta Timur tahun 2010?

2. Bagaimana frekuensi dan distribusi hipertensi berdasarkan karakteristik

demografi (umur, jenis kelamin, dan tempat tinggal) dan status kesehatan

fisik/mental lansia (kegemukan, gangguan mental/emosional, dan penyakit

diabetes mellitus) di posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo Jakarta

Timur tahun 2010?

3. Bagaiamana hubungan antara karakteristik demografi (umur, jenis kelamin

dan tempat tinggal) dengan kejadian hipertensi di posyandu lansia wilayah

kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur tahun 2010?

4. Bagaimana hubungan antara kegemukan dengan kejadian hipertensi di

posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur tahun 2010?

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 25: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

6

Universitas Indonesia

5. Bagaimana hubungan antara gangguan mental/emosional dengan kejadian

hipertensi di posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur

tahun 2010?

6. Bagaimana hubungan antara penyakit Diabetes Mellitus (DM) dengan kejadian

hipertensi di posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur

tahun 2010?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui prevalensi dan determinan hipertensi di posyandu lansia wilayah

kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur tahun 2010.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui angka prevalensi hipertensi di posyandu lansia wilayah kecamatan

Pasar Rebo Jakarta Timur tahun 2010.

2. Mengetahui frekuensi dan distribusi hipertensi berdasarkan karakteristik

demografi (umur, jenis kelamin, dan tempat tinggal) dan status kesehatan

fisik/mental lansia (kegemukan, gangguan mental/emosional, dan penyakit

diabetes mellitus) di posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo Jakarta

Timur tahun 2010?

3. Mengetahui hubungan antara karakteristik demografi (umur, jenis kelamin,

dan tempat tinggal) dengan kejadian hipertensi di posyandu lansia wilayah

kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur tahun 2010.

4. Mengetahui hubungan antara kegemukan dengan kejadian hipertensi di

posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur tahun 2010.

5. Mengetahui hubungan antara gangguan mental/emosional dengan kejadian

hipertensi di posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur

tahun 2010.

6. Mengetahui hubungan antara penyakit Diabetes Mellitus (DM) dengan

kejadian hipertensi di posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo Jakarta

Timur tahun 2010.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 26: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

7

Universitas Indonesia

1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Penelitian ini menjadi sarana bagi peneliti untuk mendapatkan pengalaman

nyata dalam mengaplikasikan teori yang telah di peroleh selama menempuh

pendidikan di fakultas Kesehatan Masyarakat.

2. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi terhadap masyarakat

setempat tentang prevalensi hipertensi dan determinananya pada lanjut usia

yang mendapatkan pelayanan kesehatan di posyandu lansia.

3. Bagi pemerintah (Puskesmas dan Posyandu lansia)

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi sebagai bahan

evaluasi dalam perencanaan program kesehatan lanjut usia khususnya

penatalaksanaan penyakit hipertensi pada lansia di wilayah kerja puskesmas

atau posyandu lansia setempat.

1.6 Ruang Lingkup

Kejadian hipertensi pada lansia di puskesmas kecamatan Pasar Rebo

mencapai 24% dan merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang paling

banyak dialami oleh lansia di wilayah Pasar Rebo Jakarta Timur. Selain itu, belum

diketahuinya prevalensi dan determinan hipertensi di posyandu lansia wilayah

Pasar Rebo sehingga peneliti berkeinginan untuk melakukan penelitian tersebut.

Adapun faktor-faktor risiko hipertensi yang akan diteliti meliputi

karakteristik populasi (umur, jenis kelamin, dan tempat tinggal), status gizi

(kegemukan), gangguan emosional, serta riwayat penyakit DM. Penelitian ini

menggunakan desain studi potong-lintang atau cross sectional yang dilakukan

melalui obsevasi data sekunder hasil pemeriksaan kesehatan lansia atau data dari

KMS lansia di posyandu lansia kecamatan Pasar Rebo bulan Desember 2010.

Penelitian ini dilakukan selama bulan Maret-Mei 2011.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 27: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

8 Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi

2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Hipertensi

Hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang

abnormal tingggi di dalam arteri. Tekanan darah manusia umumnya selalu naik

turun sepanjang hari karena berbagai faktor dalam kehidupan sehari-hari. Tekanan

darah akan naik pada waktu sedang melakukan aktivitas fisik, sedang makan,

sedang marah atau emosi meningkat. Sebaliknya akan turun pada waktu fisik

maupun emosiosnal sedang santai atau sedang tidur.

Menurut Allison Hull (1996), hipertensi adalah desakan darah yang

berlebihan dan hampir tidak konstan pada arteri. Tekanan dihasilkan oleh

kekuatan jantung ketika memompa darah. Beberapa ahli lainnya menyatakan

bahwa hipertensi merupakan suatu penyakit berupa gangguan pada pembuluh

darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi, yang dibawa oleh darah

terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan.

Selain itu, menurut Lanny (2004) (dikutip dari Hull, 1996) hipertensi

didefinisikan juga sebagai peningkatan abnormal dari tekanan darah sistolik arteri.

Hipertensi sering kali disebut sebagai pembunuh gelap (Silent Killer), karena

termasuk penyakit yang mematikan tanpa disertai dengan gejala-gejalanya lebih

dahulu sebagai peringatan bagi korbannya. Sedangkan, menurut Bustan (2007)

tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan suatu keadaan dimana terjadi

peningkatan tekanan darah dengan gejala yang akan berlanjut ke suatu organ

target seperti stroke (untuk otak), penyakit jantung koroner (untuk pembuluh

darah jantung) dan hipertrofi ventrikel kanan/left ventricle hypertrophy (untuk

otot jantung).

Dikenal beberapa macam batasan tingginya tekanan darah untuk dapat

disebut hipertensi. Seseorang dikatakan menderita hipertensi apabila pada dua

kali atau lebih kunjungan yang berbeda didapatkan tekanan darah rata-rata dari

dua atau lebih pengukuran setiap kunjungan, diastoliknya 90 mmHg atau lebih,

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 28: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

9

Universitas Indonesia

atau sistoliknya 140 mmHg atau lebih Batasan ini berlaku untuk usia 18 tahun ke

atas (Depkes, 2006)

Tekanan darah manusia meliputi tekanan darah sistolik, tekanan darah

waktu jantung menguncup dan tekanan darah diastolik, yakni tekanan darah saat

jantung istirahat atau relaksasi. Penentuan batasan hipertensi ini sangat penting

karena akan menjadi cut off point untuk memperoleh prevalensi hipertensi

dipopulasi. Perubahan-perubahan pada batasan hipertensi akan mengakibatkan

terjadinya perubahan prevalensi hipertensi pada populasi. Adapun beberapa

batasan lain yang sering dipakai dapat dilihat pada tabel 2.1 dan tabel 2.2.

Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi berdasarkan WHO-ISH 1999

Kategori Sistolik

(mmHg)

Diastolik

(mmHg)

Optimal < 120 < 80

Normal < 130 < 85

Normal Tinggi 130-139 85-89

Hipertensi Derajat 1 (ringan) 140-159 90-99

Hipertensi derajat 2 (sedang) 160-179 100-109

Hipertensi Derajat 3 (berat) ≥ 180 ≥ 110

Hipertensi Sistolik Terisolasi ≥ 140 < 90

Jika tekanan darah sistolik dan diastolik berbeda kategori maka dipakai kategori yang

lebih tinggi. Sumber: (WHO-ISH,1999)

Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi berdasarkan JNC VI (1998)

Kategori TDS

(mmHg)

TDD

(mmHg)

Optimal <120 <80

Normal <130 <85

Normal tinggi 130-139 85-89

Hipertensi stadium I 140-159 90-99

Hipertensi stadium II 160-179 100-109

Hipertensi stadium III ≥ 180 ≥110

Hipertensi sistolik ≥ 140 <90

Sumber: (Depkes, 2006)

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 29: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

10

Universitas Indonesia

2.1.2 Jenis-jenis Hipertensi

Hipertensi dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) menurut

kausanya, terdiri atas hipertensi esensial atau hipertensi primer yakni hipertensi

yang tidak jelas penyebabnya dan hipertensi sekunder yakni hipertensi oleh kausa

tertentu. 2) menurut gangguan tekanan darah terdiri atas hipertensi sistolik atau

peninggian tekanan darah sistolik saja dan hipertensi diastolik atau peninggian

tekanan darah diastolik saja. Sedangkan, 3) menurut berat atau tingginya

peningkatan tekanan darah terdiri atas tiga kelompok yaitu hipertensi ringan,

hipertensi sedang dan hipertensi berat.

2.2 Diagnosis Hipertensi

Diagnosisi hipertensi ditetapkan pada semua umur. Diagnosis hipertensi

dapat bergantung pada hasil pengkuran maupun gejala klinis dari komplikasinya.

Dalam melakukan pemeriksaan diagnostik terhadap pengidap tekanan darah

tinggi, umumnya perlu memperhatikan beberapa hal, seperti: memastikan bahwa

tekanan darahnya memang selalu tinggi, menilai keseluruhan risiko

kardiovaskular, menilai kerusakan organ dan penyakit yang menyertainya, serta

mencari tahu kemungkinan penyebabnya. Unsur-unsur tersebut merupakan proses

diagnosis tunggal yang bertahap dan menyeluruh.

Tiga metode klasik yang dapat digunakan yaitu pencatatan riwayat

penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Proses diagnosis

seringkali mengalami tantangan karena sulit menetukan sejauh mana

pemeriksaan harus dilakukan. Pemeriksaan yang dangkal, tidak mudah diterima

karena hipertensi merupakan penyakit seumur hidup dan terapi yang dipilih dapat

memeberikan implikasi yang serius pada penderita. Akan tetapi sederet

pemeriksaan pun tidak dibenarkan dan harus tetap didasarkan pertimbangan yang

tepat.

Khusus pada kaum lansia diagnosis hipertensi harus sangat hati-hati

karena ada kemungkinan terjadinya kesalahan yang disebabkan beberapa faktor

seperti panjang cuff mungkin tidak cukup untuk orang gemuk atau berlebihan atau

orang terlalu kurus, penurunan sensitivitas refleks baroreseptor sering

menyebabkan fluktuasi tekanan darah dan hipotensi postural, fluktuasi akibat

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 30: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

11

Universitas Indonesia

ketegangan (hipertensi jas putih = white coat hypertension) & latihan fisik serta

arteri yang kaku akibat arterosklerosis menyebabkan tekanan darah terukur lebih

tinggi.

2.2.1 Cara Pengukuran Tekanan Darah

Penentuan diagnosis hipertensi bergantung pada hasil pengukuran tekanan

darah. Teknik pengkuran harus tepat dan teliti. Terdapat dua cara pengukuran

yaitu pengukuran oleh dokter atau petugas kesehatan di sarana pelayanan

kesehatan dan pengukuran sendiri dirumah baik dengan alat yang konvensional

maupun dengan ambulatory pressure monitoring (BPM).

Pengukuran tunggal belum dapat memastikan diagnosis hipertensi.

Apabila pada pengukuran pertama di temukan kenaikan tekanan darah maka harus

dipastikan kemabli paling sedikit dua kunjungan berikutnya pada satu atau

beberapa minggu dengan dengan nilai rata-rata tekanan sistolik 90 mmHg dan

atau tekanan dsistolik 140 mmHg/ lebih.

Tabel 2.3 Rekomendasi untuk Tindak Lanjut Tekanan Darah

Pengukuran Pertama

Tekanan sistolik

(mmHg)

Tekanan diastolik

(mmHg) Pemeriksaan Rujukan

< 130 <85 Perksa ulang dalam 2 tahun

130-139 85-89 Periksa ulang dalam 1 tahun

140-159 90-99 Pastikan dalam 2 bulan

160-179 100-109 Pastikan dan obati dalam 1 bulan

180-209 110-119 Pastikan dan obati dalam 1 minggu

Sumber: JNC VI (1998) dan WHO-ISH (1999)

JNC VI (1998) merekomendasikan cara pengukuran sebagai berikut.

Penderita harus duduk dengan penyangga lengan, bersandar, dan sejajar dengan

letak jantung. Penderita tidak boleh merokok dan minum kopi 30 menit sebelum

pengukuran. Pengukuran dimulai setelah penderita istirahat selama 5 menit.

Ukuran manset harus sesuai dengan lengan penderita yaitu paling sedikit 80%

lebar manset harus dapat menutupi lingkar lengan. Tekanan sistolik adalah

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 31: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

12

Universitas Indonesia

tekanan darah saat terdengar bunyi pertama (korotkoff I), sedangkan tekanan

diastolik adalah tekanan darah saat bunyi menghilang (korotkoff V). Pembacaan

dilakukan 2 kali atau lebih dengan waktu antara 2 menit.

Pada lanjut usia terdapat berbagai keadaan yang sering menjadi masalah

dalam penentuan tekanan darah. Tekanan darah yang akurat yang dianggap

mewakili nilai sebenarnya amat dipengaruhi oleh keadaan pembuluh darah pasien

yang sudah mengalami kekakuan akibat aterosklerosis dan barorefleks yang

berkurang. Tekanan darah dapat menurun secara berlebih pada posisi berdiri,

sesudah makan atau sesudah aktivitas. Selain itu, pada pengukuran tekanan darah

sering terdapat pseudohipertensi akibat manset pengukur tekanan darah harus

menekan lebih keras arteri brachialis yang kaku, mengeras karena kasifikasi.

Keadaan ini harus dipertimbangkan apabila terdapat hipotensi ortostatik atau

respon pengobatan yang kurang. Oleh karena pada usia lanjut pengukuran tekanan

darah dilakukan juga pada saat berdiri (Depkes, 2006).

2.2.2 Gejala Klinis

Sekitar 50% penderita Hipertensi tidak menyadari bahwa tekanan darah

mengalami peningkatan. Hal in dikarenakan peningkatan tekanan darah yang

tinggi tidak disertai adanya gejala-gejala tertentu. Akibatnya, seseorang akan

bersikap asuh tak acuh dan merasa tidak mengalami gangguan apapun sehingga

amat sulit untuk memotivasi penderita untuk mengkonsumsi obat apalagi untuk

waktu jangka panjang. Gejala baru akan timbul setelah terjadi komplikasi pada

target organ seperti ginjal, mata, otak, dan jantung. Gejala klinisnya dapat berupa

rasa lelah, sukar tidur, sakit kepala, gangguan fungsi ginjal, penglihatan,

gangguan serebral atau gejala akibat perdarahan pembuluh darah otak berupa

kelumpuhan, koma hingga kematian.

2.3 Patofisiologi Hipertensi

Patologi hipertensi esensial sampai sekarang terus berkembang. Tekanan

darah dipengaruhi oleh dua hal utama, yaitu curah jantuung dan tahanan perifer.

Semua faktor yang mempengaruhi curah jantung dan tahanan perifer akan

mempengaruhi tekanan darah. Pada tahap awal hipertensi esensial, curah jantung

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 32: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

13

Universitas Indonesia

meninggi sedangkan tahanan perifer normal. Keadaan ini disebabkan peningkatan

aktivitas tonus simpatis. Pada tahap selanjutnya curah jantung kembali normal

sedangkan tahanan perifer akan meningktat, akibatnya terjadi efek auto regulasi

artinya mekanisme tubuh untuk mempertahankan keadaan hemodinamik pada

keadaan normal. Baik Tekanan Darah Ssistolik (TDS) maupun Tekanan Darah

Diastolik (TDD) meningkat sesuai dengan meningkatnya umur. TDS meningkat

secara progresif sampai umur 70-80 tahun, sedangkan TDD meningkat sampai

umur 50-60 tahun dan kemudian cenderung menetap atau sedikit menurun.

Kombinasi perubahan ini sangat mungkin mencerminkan adanya pengakuan

pembuluh darah`dan penurunan kelenturan (compliance) arteri dan ini

mengakibatkan peningkatan tekanan nadi sesuai dengan umur. Seperti diketahui,

tekanan nadi merupakan prediktor terbaik dari adanya perubahan struktural di

dalam arteri.

Mekanisme pasti hipertensi pada lanjut usia belum sepenuhnya jelas. Efek

utama dari ketuaan normal terhadap sistem kardiovaskuler meliputi perubahan

aorta dan pembuluh darah sistemik. Penebalan dinding aorta dan pembuluh darah

besar meningkat dan elastisitas pembuluh darah menurun sesuai umur. Perubahan

ini menyebabkan penurunan compliance aorta dan pembuluh darah besar dan

mengakibatkan pcningkatan TDS. Penurunan elastisitas pembuluh darah

menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler perifer. Sensitivitas baroreseptor

juga berubah dengan umur. Perubahan mekanisme refleks baroreseptor mungkin

dapat menerangkan adanya variabilitas tekanan darah yang terlihat pada

pemantauan terus menerus.

Beberapa literatur lain menyatakan bahwa mekanisme terjadinya

hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh

angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis penting

dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang

diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan

diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I

diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci

dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama. Aksi pertama adalah

meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 33: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

14

Universitas Indonesia

ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal

untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat

sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi

pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan

ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian

intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan

meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron

dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki

peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler,

aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya

dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan

cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan

meningkatkan volume dan tekanan darah.

2.4 Komplikasi Hipertensi

Seperti yang diketahui hipertensi merupakan faktor utama penyebab

penyakit kardiovaskuler. Komplikasi dapat terjadi apabila hipertensi tidak

terkendali. Menurut Corwin (2009), komplikasi yang dapat terjadi akibat

hipertensi antara lain:

1) stroke yang terjadi akibat hemoragic tekanan darah tinggi di otak, atau akibat

embolus yang terlepasdari pembuluh selain otak yang terpajan tekanan tinggi.

Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronis apabila arteri yang mensuplai darah

di otak mengalami hipertrofi dan penebalan, sehingga aliran darah ke area otak

yang harus disuplai darah menjadi berkurang. Arteri otak yang mengalami

atherosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan kemungkinan

terbentuknya aneurisma.

2) Infark miokard, terjadi apabila arteri koroner yang atheroskelrotik tidak dapat

mensuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang

menghambat aliran darah melewati pembuluh darah. Pada hipertensi kronis dan

hipertrofi ventrikel, kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat

dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 34: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

15

Universitas Indonesia

3) Gagal ginjal, dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi

pada kapiler glomerulus ginjal. Dengan rusaknya glomerulus, aliran darah ke

unit fungsional ginjal yakni nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi

hipoksik dan kematian. Dengan rusaknya glomerulus, protein akan keluar

melalui urine sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang dan

menyebabkan edema, yang sering dijumpai pada hipertensi.

4) Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi, terutama pada hipertensi maligna

(hipertensi yang menningkat cepat dan berbahaya). Tekanan yang sangat tinggi

pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong

cairan ke ruang interstisial diseluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron

disekitarnya kolaps dan terjadi koma serta kematian.

2.5 Penanganan Hipertensi

2.5.1 Hipertensi Ringan

Upaya untuk melakukan penanganan atau perawatan hipertensi didasarkan

tidak hanya berdasarkan tekanan darah sistolik dan diastolik saja, tetapi juga pada

risiko kardiovakular total dari masing-masing penderita. Pada hipertensi sedang

dan berat, yang memiliki TDS lebih dari 180 mmHg dan atau TDD lebih dari 105

mmHg harus segera mendapat penanganan, sekalipun tidak ada risiko atau kondisi

lain. Akan tetapi pada hipertensi ringan, TDS 140-180 mmHg atau TDD 90-105

mmHg, perlu dilakukan penilaian awal secara saksama selama periode

berminggu-minggu atau berbulan-bulan sebelum dilakukan penanganan, seperti

digambarkan pada gambar 2.1.

Dalam pelaksanaannya, jika TDS awal 140-180 mmHg atau TDD 90-105

mmHg, pengukuran harus diulangi sekurang-kurangnya dalam selang waktu

empat minggu, sebelum seseorang dinyatakan mengidap hipertensi dan mulai

ditangani. Hal ini dikarenakan pada dasarnya tekanan diastolik dan sistolik

beragam. Semua pasien harus diberi petunjuk agar mengubah gaya hidup sesuai

dengan kebutuhannya yaitu dengan berhenti merokok, mengurangi obesitas,

memabatasi minuman keras, dan makanan berlemak jenuh, membatasi asupan

natrium, dan melaksanakan olahraga ringan yang dinamis. Keputusan pengelolaan

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 35: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

16

Universitas Indonesia

hipertensi dilakukan setelah adanya diskusi dengan pasien dan keluarganya dan

menjelaskan garis besar risiko dan manfaat berbagai strategi tindakan tersebut.

Tekanan darah awal

TDD 90-105mmHg atau TDS 140-180mmHg

Ulangi pengukuran dalam 4 minggu

Penyuluhan gaya hidup sehat

Dalam 4 Pengurangan TDS/TDD Tidak ada

minggu Sampai <140/90

Tindak lanjut dalam Evaluasi risiko

3 bulan Kardiovaskular totala

Rendah Tinggi

Tindak lanjut Pemberian obat

Dalam 3-6 bulan

TDD 90-95(12,0-12,7 kPa) TDD > 95 (12,7 kPa)

TDS 140-160 (18,7-21,3 kPa) TDS > 160 (21,3 kPa)

Tindak lanjut pemberian obat

a Jika organ sasaran cedera, pemberian obat diperlukan pada tahap hipertensi

manapun, artinya TDS 140-180 mmHg atau TDD 90-95 mmHg.

Gambar 2.1 Rencana Pengelolaan Hipertensi Ringan

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 36: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

17

Universitas Indonesia

Jika TDS turun hingga dibawah 140 dan TDD < 90 mmHg dalam jangka

waktu 4 minggu tekanan darah dipantau tiga bulan selama setahun dan

selanjutnya setiap tahun. Sedangkan jika tetap atau tidak ada perubahan pada

rentang TDS 140-180 mmHg dan TDD 90-105 mmHg dan risiko kardiovaskular

total tinggi (terutama bila ada bukti cederanya organ sasaran), pengubahan gaya

hidup harus diperketat dan mulai dilakukan pemberian obat. Jika risiko total

rendah dan tidak ada tanda organ cedera, pengubahan gaya hidup tetap diperketat

dan tekanan darah dipantau 3-6 bulan, bergantung aras tekanan darah.

Setelah 3-6 bulan, apabila TDS 140-180 mmHg atau TDD 90-105 mmHg

tetapi tidak ada faktor risiko kardiovaskular lain, pengubahan gaya hidup dan

pemantauan tekanan darah harus dilanjutkan. Akan tetapi, jika tekanan darah

masih di atas atau sama dengan TDS 160 mmHg atau TDD 95 mmHg, harus

diberikan obat antihipertensi. Dari beberapa obat pilihan-pertama yang telah

dipakai dan dikaji jangka panjang, hanya diuretika dan pemblok-β yang

menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah dapat mengurangi morbiditas dan

mortalitas didukung dengan pengubahan gaya hidup yang efektif dalam

menurunkan tekanan darah. Pilihan obat antihipertensi bergantung pada faktor

sosioekonomi yang menentukan ketersediaannya di sejumlah negara atau daerah.

Selain itu, ditentukan pula oleh karakteristik perorangan, kerusakan sasaran organ,

terutama adanya faktor risiko kardiovaskular, penyakit yang diderita, serta efek

samping yang dapat timbul (ITB-WHO, 1996).

2.5.2 Hipertensi Sedang dan Berat

Bila tekanan darah pasien menunjukkan TDD rata-rata 105-120 mmHg

dan/atau TDS 180-210 mmHg maka harus diputuskan untuk segera dievaluasi dan

dinilai secara hati-hati mengenai adanya kemungkinan kerusakan organ, faktor

risiko kardiovaskular yang berkaitan, dan sejarah terapi antihipertensi

sebelumnya. Tepai obat tidak boleh terlambat pada pasien yang organ sasarannya

sudah rusak atau yang memiliki faktor risiko ganda. Pasien harus diperiksa

setelah terapi aktif selama dua minggu. Jika penurunan tekanan darah tidak

mencukupi maka harus ditambahkan obat lain dari golongan farmakologi yang

berbeda dan tekanan darah diukur dalam selang waktu yang lebih singkat.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 37: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

18

Universitas Indonesia

Pengubahan gaya hidup dan pendidikan tentang hipertensi tetap penting untuk

dilakukan.

Pasien dengan rata-rata TDD melebihi 120 mmHg dan/atau TDS > 210

mmHg memerlukan terapi obat dengan segera menjalani pemeriksaan

laboratorium. Sebagian besar pasien ini memerlukan lebih dari satu jenis obat

untuk mengendalikan hipertensinya. Keparahan hipertensi dan adanya komplikasi

akan menentukan intensitas pemberian antihipertensi dan frekuensi pengamatan

tekanan darahnya.

2.5.3 Terapi Farmakologis

Menurut pedoman penatalaksanaan hipertensi berdasarkan Depkes RI

(2006) penatalaksanaan penyakit hipertensi bertujuan untuk mengendalikan angka

kesakitan dan kematian akibat penyakit hipertensi dengan cara seminimal

mungkin menurunkan gangguan terhadap kualitas hidup penderita. Pengobatan

hipertensi dimulai dengan obat tunggal , masa kerja yang panjang sekali sehari

dan dosis dititrasi. Obat berikutnya mungkin dapat ditarnbahkan selama beberapa

bulan pertama perjalanan terapi. Pemilihan obat atau kombinasi yang cocok

bergantung pada keparahan penyakit dan respon penderita terhadap obat anti

hipertensi. Beberapa prinsip pemberian obat anti hipertensi sebagai berikut :

1. Pengobatan hipertensi sekunder adalah menghilangkan penyebab hipertensi

2. Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah

dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya komplikasi.

3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat anti

hipertensi.

4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan pengobatan

seumur hidup.

Jenis-jenis obat antihipertensi :

1. Diuretik

Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh (Iewat

kencing), sehingga volume cairan tubuh berkurang mengakibatkan daya pompa

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 38: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

19

Universitas Indonesia

jantung menjadi lebih ringan dan berefek turunnya tekanan darah. Digunakan

sebagai obat pilihan pertama pada hipertensi tanpa adanya penyakit lain.

2. Penghambat Simpatis

Golongan obat ini bekerja denqan menghambat aktifitas syaraf simpatis (syaraf

yang bekerja pada saat kita beraktifitas). Contoh obat yang termasuk dalam

golongan penghambat simpatetik adalah : metildopa, klonodin dan reserpin.

Efek samping yang dijumpai adalah: anemia hemolitik (kekurangan sel darah

merah kerena pecahnya sel darah merah), gangguan fungsi ahati dan kadang-

kadang dapat menyebabkan penyakit hati kronis. Saat ini golongan ini jarang

digunakan.

3. Betabloker

Mekanisme kerja obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya pompa

jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui

mengidap gangguan pernafasan seperti asma bronkhial. Contoh obat golongan

betabloker adalah metoprolol, propanolol, atenolol dan bisoprolol. Pemakaian

pada penderita diabetes harus hati-hati, karena dapat menutupi gejala

hipoglikemia (dimana kadar gula darah turun menjadi sangat rendah sehingga

dapat membahayakan penderitanya). Pada orang dengan penderita

bronkospasme (penyempitan saluran pernapasan) sehingga pemberian obat

harus hati-hati. Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan

relaksasi otot polos (otot pembuluh darah). Yang termasuk dalam golongan ini

adalah prazosin dan hidralazin. Efek samping yang sering terjadi pada

pemberian obat ini adalah pusing dan sakit kapala.

5. Penghambat enzim konversi angiotensin

Kerja obat golongan ini adalah menghambat pembentukan zat angiotensin II

(zat yang dapat meningkatakan tekanan darah). Contoh obat yang termasuk

golongan ini adalah kaptopril. Efek samping yang sering timbul adalah batuk

kering, pusing, sakit kepala dan lemas.

6. Antagonis kalsium

Golongan obat ini bekerja menurunkan daya pompa jantung dengan

menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas). Yang termasuk golongan

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 39: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

20

Universitas Indonesia

obat ini adalah : nifedipin, diltizem dan verapamil. Efek samping yang

mungkin timbul adalah : sembelit, pusing, sakit kepala dan muntah.

7. Penghambat reseptor angiotensin II

Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat angiotensin II pada

reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Obat-obatan

yang termasuk .golongan ini adalah valsartan. Efek samping yang mungkin

timbul adalah sakit kepala, pusing, lemas dan mual.

Adapun Tatalaksana hipertensi dengan obat anti hipertensi yang dianjurkan:

1. Diuretik: hidroclorotiazid dengan dosis 12,5 -50 mg/hari

2. Penghambat ACE/penghambat reseptor angiotensinII:Captopril 25-100mg/hari

3. Penghambat kalsium yang bekerja panjang : nifedipin 30 -60 mg/hari

4. Penghambat reseptor beta: propanolol 40 -160 mg/hari

5. Agonis reseptor alpha central (penghambat simpatis}: reserpin 0,05 -0,25

mg/hari Terapi kombinasi antara lain: Penghambat ACE dengan diuretik,

Penghambat ACE dengan penghambat kalsium, Penghambat reseptor beta

dengan diuretik, dan Agonis reseptor alpha dengan diuretik

2.6 Prevalensi Hipertensi

Menurut WHO (1996) prevalensi hipertensi ditentukan bergantung pada

cut off point yang digunakan. Adanya hubungan langsung antara tekanan darah

dan risiko komplikasi seringkali menyulitkan dalam menentukan siapa yang sakit

dan siapa yang sehat. Akan tetapi, adanya perkiraan prevalensi hipertensi dapat

berguna untuk memperkirakan besar masalah yang ada. Pada saat menilai

prevalensi hipertensi, maka orang-orang yang sedang ditangani harus tetap

diikutsertakan tanpa memeprhatikan aras tekanan darahnya yang sebenarnya.

Sejumlah besar penelitian memperkirakan prevalensi hipertensi di seluruh dunia.

Namun, perkiraan ini hanya dapat dibandingkan dengan sangat hati-hati karena

kemungkinan belum adanya pembakuan dalam definisi hipertensi, metode yang

dipakai serta pengamat dan umur populasi.

Perkiraan prevalensi hipertensi berdasarkan pemeriksaan tekanan darah

yang diukur satu kali cenderung dapat menaksir prevalensi hipertrnsi yang terlalu

tinggi, karena tekanan darah sebagian orang yang angka tekanan darahnya tinggi

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 40: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

21

Universitas Indonesia

akan kembali ke rentang normotensi. Namun, cara seperti ini, dapat berguna

dalam menilai risiko dimasa yang akan datang. Perkiraan prevalensi hipertensi

dianjurkan berdasarkan pengukuran berulang lebih dari satu kali pada selang

waktu tertentu. Cara ini dianggap dapat memberikan perkiraan yang lebih teliti

mengenai masalah hipertensi secara klinik serta untuk menghindari kekeliruan

dapat mengelompokkan populasi.

2.7 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Hipertensi

Faktor risiko (Risk factor) adalah karakteristik, tanda-tanda, atau gejala-

gejala terkait suatu penyakit dimana terdapat pada individu atau kelompok

masyarakat yang secara statistik berhubungan dengan peningkatan insiden

penyakit serta dapat memicu peluang seseorang untuk menderita penyakit

tersebut. Sama seperti penyakit tidak menular lainnya, faktor risiko hipertensi

terbagi atas dua yaitu faktor risko yang dapat diubah atau dikontrol dan faktor

risiko yang tidak dapat diubah atau dikendalikan (Bustan, 2007).

2.7.1 Umur

Pada dasarnya penyakit hipertensi tidak mengenal usia. Hipertensi dapat

menyerang anak muda hingga lanjut usia. Akan tetapi, beberapa hasil penelitian

diperoleh bahwa hipertensi meningkat sesuai pertambahan usia. Umur 40 tahun

ke atas mempunyai risiko lebih besar terkena hipertensi. Dengan bertambahnya

umur, risiko terkena hipertensi lebih besar sehingga prevalensi dikalangan usia

lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan kematian sekitar 50 % diatas umur

60 tahun. Sebenarnya wajar saja bila tekanan darah sedikit meningkat dengan

bertambahnya umur. Ini sering disebabkan oleh perubahan alami pada jantung,

pembuluh darah dan hormon. Hanya saja bila perubahan ini disertai faktor-faktor

lain maka dapat memicu terjadinya hipertensi (Bustan, 2007).

Level hipertensi berubah berdasarkan umur. Level fluktuatif tekanan darah

tertentu tergantung pada posisi tubuh, umur, dan stress. Berikut ini level tekanan

darah berdasarkan kelompok umur pada tabel 2.4.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 41: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

22

Universitas Indonesia

Tabel 2.4 Hipertensi berdasarkan Perbedaan Kelompok Umur

Kelompok Umur Normal Hipertensi

Bayi 80/40 90/60

Anak

7-11 tahun

100/60

120/80

Remaja

12-17 tahun

115/70

130/80

Dewasa

20-45 tahun

45-65 tahun

> 65 tahun

120-125/75-80

135-140/85

150/85

135/90

140/90-160/95

160/90 (borderline) Sumber: Bulock (1996)

2.7.2 Jenis Kelamin

Jenis kelamin berpengaruh pada terjadinya penyakit tidak menular

tertentu, yang banyak dicetuskan oleh hipertensi. Laporan Komisi Pakar WHO

tahun 1996 menyatakan bahwa pada usia dini tidak terdapat bukti nyata tentang

adanya perbedaan tekanan darah antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi,

memasuki masa remaja, laki-laki cenderung menunjukkan rata-rata tekanan darah

yang lebih tinggi. Perbedaan ini akan tampak lebih jelas pada orang dewasa muda

dan setengah baya. Pada usia tua, pola perbedaan tersebut menjadi terbalik.

Perubahan pada masa tua antara lain dapat dijelaskan dengan tingkat kematian

awal yang lebih tinggi pada laki-laki setengah baya pengidap hipertensi,

sementara pada perempuan terjadi perubahan pasca-menopause yang dapat pula

berpengaruh terhadap tekanan darahnya. Hasil penelitian menyebutkan bahwa

laki-laki lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan perempuan dengan rasio

sekitar 2,29 mmHg untuk peningkatan darah sistolik (ITB-WHO, 1996)

Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi daripada

wanita. Hipertensi berdasarkan gender ini dapat pula dipngaruhi oleh faktor

psikologis. Pada wanita seringkali dipicu oleh perilaku tidak sehat (merokok,

kelebihan berat badan), depresi, dan rendahnya status pekerjaan. Sedangkan pada

pria lebih berhubungan dengan pekerjaan, seperti perasaan kurang nyaman

terhadap pekerjaan dan pengangguran. Namun, penelitian lain mengatakan bahwa

laki-laki dan perempuan mempunyai peluang yang relatif sama menderita

hipertensi.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 42: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

23

Universitas Indonesia

2.7.3 Keturunan/Genetik

Orang-orang dengan riwayat keluarga yang mempunyai penyakit tidak

menular lebih sering menderita penyakit yang sama. Jika ada riwayat keluarga

dekat yang mempunyai faktor keturunan hipertensi, akan mempertinggi risiko

terkena hipertensi pada keturunannya. Keluarga yang memiliki riwayat hipertensi

akan meningkatkan risiko hipertensi sebesar 4 kali lipat.

Faktor genetik secara jelas berperan besar terhadap kejadian hipertensi.

Menurut Ingelfinger (2004), apabila seseorang memiliki salah orang tua yang

mengidap hipertensi, maka sebesar 45% individu tersebut berpeluang untuk

mengidap hipertensi. Sedangkan apabila kedua orang tuanya mengidap hipertensi,

kemungkinan mengidap hipertensi meningkat hingga 95% (Taylor, 2006).

2.7.4 Ras/Suku

Ras di diuga juga merupakan faktor risiko hipertensi. Berdasarkan hasil

penelitian diperoleh bahwa ras kulit hitam memiliki risiko 2 kali untuk mengidap

hipertensi dibandingkan ras kulit putih. Dampak hipertensi lebih parah pada laki-

laki dan perempuan ras kulit hitam. Prevalensi tingkat keparahan hipertensi juga

lebih tinggi pada ras kulit hitam dibandingkan ras kulit putih. Hal ini

kemungkinana dikarenakan rendahnya akses dari pengobatan terhadap hipertensi

serta didukung oleh faktor genetik, psikososial, maupun perilaku makan dari ras

tersebut (Bullock, 1996). Selain itu, penelitian lain yang dilakuka oleh Stevens et

al.,(2008) (dikutip dalam Bullock 1996) bahwa kejadian hipertensi pada penduduk

Asia lebih tinggi dibandingkan penduduk kulit putih maupun kulit hitam.

2.7.5 Status Sosioekonomi

Di negara-negara yang berada di tahap pasca-peralihan perubahan

ekonomi dan transisi epidemiologi, selalu terlihat adanya aras tekanan darah dan

prevalensi hipertensi yang lebih tinggi pada masyarakat sosioekomoni rendah. Hal

ini berhubungan dengan tingkat pendidikan, penghasilan, dan pekerjaan. Kondisi

yang berberbeda justru terjadi pada kelompok sosioekonomi tinggi dengan

prevalensi hipertensi yang lebih tinggi, dalam masyarakat yang berada dalam

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 43: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

24

Universitas Indonesia

masa peralihan atau pra peralihan. Hal ini kemungkinan dapat menggambarkan

tahap awal epidemi kardiovaskular. Berdasarkan pengalaman sebagian

masyarakat, menunjukkan bahwa peningkatan epidemi berpengaruh pada

golongan sosial ini.

2.7.6 Faktor Lingkungan

Adanya polusi udara, polusi suara, dan air semuanya telah diindikasikan

sebagai faktor risiko tekanan darah tinggi. Meskipun diperlukan penelitian lebih

dalam mengenai kondisi ini. Oleh karena itu, upaya melindungi masyarakat dari

polusi harus menjadi skala prioritas dengan alasan bahwa selain mempengaruhi

kesehatan dengan banyak cara, polusi juga berpengaruh pada hipertensi.

2.7.7 Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik atau Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan

penyakit tidak menular, karena olahraga isotonik secara teratur dapat menurunkan

tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan

melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan

pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu.

Pada kasus diabetes mellitus, olah raga ringan dapat membantu

pembakaran kalori sehingga memacu insulin untuk metabolisme glukosa. Pada

penderita jantung, olah raga sangat bermanfaat karena dapat membakar lemak

sehingga risiko penumpukan kolesterol dapat dikontrol. Olahraga juga dikaitkan

dengan peran obesitas pada hipertensi. Kurang melakukan olahraga akan

meningkatkan kemungkinan timbulnya obesitas dan jika asupan garam juga

bertambah akan memudahkan timbulnya hipertensi. Orang yang tidak aktif juga

cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot

jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan

sering otot jantung harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada

arteri.

Orang normotensi serta kurang gerak dan tidak bugar mempunyai risiko

20-50% lebih besar untuk terkena hipertensi selam masa tindak-lanjut bila

dibandingkan dengan orang yang aktif dan bugar. Beraerobik secara teratur untuk

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 44: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

25

Universitas Indonesia

mendapatkan kebigaran fisik sedang, dapat bermanfaat untuk mencegah dan

menangani hipertensi. Akan tetapi, setiap aktivitas fisik yang dilakukan harus

disesuaikan dengan faktor umur, jenis kelamin, indeks massa tubuh, dan kegiatan

di tempat kerja. (WHO, 1996).

2.7.8 Kebiasaan Merokok

Menurut Depkes RI (2006) merokok berkaitan dengan meningkatnya

risiko hipertensi. Selain dari lamanya merokok, risiko akibat merokok terbesar

tergantung pada jumlah rokok yang dihisap per hari. Seseorang lebih dari satu pak

rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan dari pada mereka yang tidak merokok.

Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui

rokok, masuk kedalam aliran darah dan merusak lapisan endotel pembuluh darah

arteri, mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi.

Nikotin dalam tembakaulah penyebab meningkatnya tekanan darah segara

setelah isapan pertama. Seperti zat-zat kimia lain dalam asap rokok, nikotin

diserap oleh pembuluh-pembuluh darah amat kecil di dalam paru-paru dan

diedarkan ke aliran darah. Hanya dalam beberapa detik nikotin sudah mencapai

otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal

untuk melepas epinefrin (adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan

pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan

yang lebih tinggi. Setelah merokok dua batang saja maka baik tekanan sistolik

maupun diastolik akan meningkat 10 mmHg. Tekanan darah akan tetap pada

ketinggian ini sampai 30 menit setelah berhenti mengisap rokok. Sementara efek

nikotin perlahan-lahan menghilang, tekanan darah juga akan menurun dengan

perlahan.

Pada perokok berat tekanan darah akan berada pada level tinggi sepanjang

hari. Secara langsung setelah kontak dengan nikotin akan timbul stimulan

terhadap kelenjar adrenal yang menyebabkan lepasnya epineprin (adrenalin).

Lepasnya adrenalin merangsang tubuh melepaskan glukosa mendadak sehingga

kadar gula darah meningkat dan tekanan darah juga meningkat, selain itu

pernafasan dan detak jantung akan meningkat. Nikotin mendesak pengeluaran

insulin dari pankreas, berarti perokok sering mengalami hiperglikemi (kelebihan

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 45: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

26

Universitas Indonesia

gula dalam darah). Nikotin secara tidak langsung menyebabkan pelepasan

dopamin dalam otak yang mengontrol kesenangan dan motivasi.

Selain kerusakan organ di atas juga kerusakan kronis syaraf dan perubahan

perilaku. Merokok juga meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen

untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok pada penderita tekanan darah tinggi

semakin meningkatkan risiko kerusakan pada pernbuluh darah arteri.

2.7.9 Konsumsi Lemak Jenuh

Kadar lemak yang tinggi dalam menu makanan sehari-hari akan

mengakibatkan peningkatan tekanan darah. Total konsumsi lemak yang

dianjurkan yaitu kurang dari 30% dari total kalori. Sangat penting untuk

membatasi konsumsi lemak jenuh terlebih yang banyak terkandung dalam minyak

kelapa sehingga lebih dianjurkan untuk menggunakan minyak jagung atau minyak

sayur yang kandungan lemak jenuhnya lebih rendah. Konsumsi lemak jenuh

meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan

darah. Selain itu, konsumsi kalori dalam bentuk karbohidrat dan lemak akan

meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik yang akhirnya akan menyebabkan

hipertensi (Khomsan, 2004).

2.7.10 Konsumsi Garam

Berdasarkan penelitian diperoleh bahwa pada populasi penduduk denga

konsumsi natrium kurang dari 60 meq/hari tidak ditemukan hipertensi. Sedangkan

pada penduduk dengan konsumsi natrium yang tinggi menyebabkan prevalensi

hipertensi sekitar 9-20%. Akan tetapi, reaksi orang terhadap asupan garam yang di

dalamnya mengandung natrium, berbeda-beda. Pada beberapa orang, baik yang

sehat maupun yang mempunyai hipertensi, walaupun mereka mengkonsumsi

natrium tanpa batas, pengaruhnya terhadap tekanan darah sedikit sekali atau

bahkan tidak ada. Pada kelompok lain, terlalu banyak natrium menyebabkan

kenaikan darah yang juga memicu terjadinya hipertensi.

Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi terjadi melalui peningkatan

volume plasma, curah jantung dan tekanan darah. Garam meyebabkan

penumpukan cairan dalam tu

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 46: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

27

Universitas Indonesia

buh, karena menarik cairan di luar sel agar tidak keluar, sehingga akan

meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada manusia yang mengkonsumsi

garam 3 gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan

asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi

garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari yang setara dengan 110 mmol

natrium atau 2400 mg/hari. Asupan natrium akan meningkat menyebabkan tubuh

meretensi cairan yang meningkatkan volume darah (Khomsan, 2004).

2.7.11 Kondisi Mental/Emosional (Stres)

Stres adalah suatu kondisi disebabkan oleh transaksi antara individu

dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan yang berasal

dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial dari

seseorang. Stres adalah yang kita rasakan saat tuntutan emosi, fisik atau

lingkungan tak mudah diatasi atau melebihi daya dan kemampuan kita untuk

mengatasinya dengan efektif. Namun harus dipahami bahwa stres bukanlah

pengaruh-pengaruh yang datang dari luar itu. Stres adalah respon kita terhadap

pengaruh-pengaruh dari luar itu.

Sudah lama diketahui bahwa stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan,

murung, rasa marah, dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar

anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih

cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stres

berlangsung cukup lama, tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga

timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang muncul berupa

hipertensi atau penyakit maag.

Stress juga diyakini memiliki hubungan dengan hipertensi. Hal ini diduga

melalui saraf simpatis yang dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten.

Apabila stress berlangsung lama dapat mengakibatkan peninggian tekanan darah

yang menetap. Stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu

dan bila stres sudah hilang tekanan darah bisa normal kembali. Terdapat bukti

bahwa berbagai bentuk stres akut dapat meningkatkan tekanan darah. Akan tetapi,

hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa stres jangka panjang mempunyai

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 47: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

28

Universitas Indonesia

efek jangka panjang pula, karena kemungkinan adanya faktor perancu seperti

kebiasaan makan ataupun faktor sosioekonomi (ITB-WHO, 1996).

2.7.12 Gizi Lebih (Kegemukan/Obesitas)

Pada beberapa hasil penelitian didaptkan bahwa kelebihan bobot badan

berkaitan dengan 2-6 kali kenaikan risiko hipertensi. kegemukan ataupun obesitas

mempunyai korelasi postif dengan hipertensi. Anak-anak dan remaja yang

mengalami kegemukan cenderung mempunyai tekanan darah tinggi. Diduga

meningkatanya bobot badan relatif sebesar 10% dapat meningkatkan tekanan

darah sebesar 7 mmHg. Oleh karena itu, langkah positif yang dapat dilakukan

untuk menurunkan hipertensi yakni melalui penurunan bobot badan dengan

membatasi konsumsi kalori bagi orang-orang yang obesitas (Khomsan, 2004).

Untuk mengetahui seseorang mengalami kegemukan tau tidak maka dapat

dilakukan pengukuran indeks massa tubuh (IMT) yang merupakan perbandingan

antara berat badan dengan tinggi badan. Adapun rumusnya sebagai berikut:

𝐼𝑀𝑇 =Berat Badan (Kg)

Tinggi Badan2(M)

IMT berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik.

Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang gemuk (obesity) 5 kali lebih

tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat badannya normal. Pada penderita

hipertensi ditemukan sekitar 20-30% memiliki berat badan lebih. Berikut ini

adalah batasan IMT untuk menilai status gizi orang dewasa pada tabel 2.5.

Tabel 2.5 Klasifikasi Status Gizi penduduk Umur 15 tahun Keatas

Kategori Indeks Massa

Tubuh (IMT)

Kurus < 18,5

Normal ≥ 18,5- < 24,9

Berat Badan Lebih/Gemuk ≥ 25,0-< 27,0

Obese ≥ 27,0 Sumber: Depkes RI (2008)

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 48: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

29

Universitas Indonesia

2.7.13 Diabetes Mellitus

Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa diabetes mellitus juga

menjadi faktor risiko hipertensi. Pada pasien diabetes kadar glukosa dalam darah,

metabolit glukosa atau kadar asam lemak menjadi tinggi yang mengakibatkan

kerusakan pada lapisan endotelial arteri. Akibatnya, terjadi peningkatan

permeabilitas sel endotel yang mengandung lemak masuk ke dalam arteri.

Kerusakan sel-sel endotel menimbulkan reaksi imun dan inflamsi sehingga

akhirnya terjadi pengendapan trombosit, makrofag, dan jaringan fibrosis. Kondisi

ini perlahan-lahan membuat dinding arteri mengalami penebalan. Akibatnya,

tekanan jantung meningkat sehingga menyebabkan hipertensi (Corwin, 2009).

2.8 Definsi Lanjut Usia

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, 1998)

mendefinisikan batasan usia lanjut berdasarkan pertimbangan tiga aspek yaitu

aspek biologis, aspek sosial, dan aspek ekonomi. Secara biologis, penduduk usia

lanjut mengalami porses penuaan secara terus-menerus, yang ditandai dengan

menurunnya daya tahan fisik sehingga semakin rentan terhadap serangan penyakit

yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini dikarenakan adanya faktor biologik

yang terdiri dari 3 fase yaitu fase progresif, fase stabil dan fase regresif.

Dalam proses penuaan fase regresif mekanismenya lebih ke arah

kemunduran yang dimulai dalam sel komponen terkecil dari tubuh manusia. Sel-

sel menjadi aus karena lama berfungsi sehingga mengakibatkan kemunduran yang

dominan dibandingkan terjadinya pemulihan. Didalam struktur anatomik proses

menjadi tua terlihat sebagai kemunduran didalam sel. Proses ini berlangsung

secara alamiah, terus-menerus dan berkesinambungan, yang selanjutnya akan

menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimiawis pada jaringan

tubuh dan akhirnya akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan badan secara

keseluruhan.

Secara sosial, penduduk lanjut usia merupakan suatu kelompok sosial

sendiri. Di negara Barat, penduduk usia lanjut memiliki strata di bawah kaum

muda. Hal ini nampak dari keterlibatan lanjut usia terhadap sumber daya

ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputusan, serta luasnya hubungan

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 49: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

30

Universitas Indonesia

sosial yang semakin mengalami penurunan. Akan tetapi berbeda dengan di

Indonesia, di mana lanjut usia memiliki strata sosial yang tertinggi yang harus

dihormati oleh kaum muda.

Dari aspek ekonomi, penduduk lanjut usia lebih di anggap sebagai beban

dari pada sumber daya. Banyak orang yang beranggapan bahwa kehidupan masa

tua tidak lagi memberikan banyak manfaat bahkan seringakali dipersepsikan

secara negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat.

Bernice (1968), Chalhoun (1995) mendefinisikan masa tua adalah suatu

masa dimana orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya. Akan tetapi tetapi

bagi orang lain, periode ini adalah permulaan kemunduran. Usia tua dipandang

sebagai masa kemunduran, masa kelemahan manusiawi dan sosial sangat tersebar

luas dewasa ini. Pandangan ini tidak memperhitungkan bahwa kelompok lanjut

usia bukanlah kelompok orang yang homogen . Usia tua dialami dengan cara yang

berbeda-beda. Ada orang berusia lanjut yang mampu melihat arti penting usia tua

dalam konteks eksistensi manusia, yaitu sebagai masa hidup yang memberi

mereka kesempatan-kesempatan untuk tumbuh berkembang dan bertekad berbakti

. Ada juga lanjut usia yang memandang usia tua dengan sikapsikap yang berkisar

antara kepasrahan yang pasif dan pemberontakan, penolakan, dan keputusasaan.

Lansia ini menjadi terkunci dalam diri mereka sendiri dan dengan demikian

semakin cepat proses kemerosotan jasmani dan mental mereka sendiri (Suhartini,

2004).

Disamping itu, definisi lanjut usia dapat ditinjau berdasarkan pendekatan

Kronologis. Menurut Suparjo (1982), usia kronologis merupakan usia seseorang

berdasarkan hitungan umur dalam angka. Berdasarkan Undang-undang No. 13

Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan lanjut usia adalah penduduk usia 60 tahun atau lebih.

Lanjut usia dapat juga disebut sebagai kelompok manusia berumur tua.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2005) menggolongkan usia lanjut dalam

empat kategori yaitu usia pertengahan (Midlle age) 45-59 tahun, Lanjut usia

(Eldery) 60-74 tahun, lanjut usia tua (Old) 75-90 tahun, serta usia sangat tua (Very

Old) lebih dari 90 tahun. Sedangkan menurut Deprtemen Kesehatan RI (Depkes,

2003) lanjut usia di kategorikan berdasarkan tiga kelompok usia yaitu pra lanjut

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 50: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

31

Universitas Indonesia

usia 45-59 tahun, Lanjut usia 60-69 tahun, dan lanjut usia risiko tinggi (Lansia

Risti) 70 tahun atau lebih.

Dari beberapa batasan lanjut usia tersebut, posyandu lansia menggunakan

kategori berdasarkan pedoman pelayanan kesehatan lanjut usia yaitu melayani

kelompok umur 45-59 tahun (pra lansia), 60-69 tahun (lansia) , dan 70 tahun ke

atas (lansia risiko tinggi).

2.8.1 Proses menua

Menurut Darmojo (2006) menua atau aging adalah suatu proses

menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki

diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga

tidak dapat bertahan terhadap trauma (termasuk infeksi) dan memperbaiki

kerusakan yang diderita. Proses menua dapat juga diartikan sebagai proses yang

mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya

sebagian besar cadangan sistem fisiologi dan meningkatnya kerentanan terhadap

berbagai penyakit dan kematian. Seiring dengan bertambahnya usia menyebabkan

terjadinya berbagai perubahan fisiologi yang tidak hanya berpengaruh terhadap

penampilan fisik, namun juga terhadap fungsi dan tanggapnya dalam kehidupan

sehari-hari. Akan tetapi, perlu dicermati bahwa setiap individu mengalami

perubahan-perubahan tersebut secara berbeda. Proses ini bukanlah sesuatu yang

hanya terjadi pada orang berusia lanjut, melainkan suatu proses normal yang

berlangsung sejak maturnitas hingga berakhir dengan kematian. Namun demikian,

efek penuaan tersebut umumnya terlihat setelah usia 40 tahun (Departemen ilmu

penyakit dalam, 2006).

Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti

bahwa seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa anak, masa

dewasa dan masa tua (Nugroho, 1992). Tiga tahap ini berbeda baik secara biologis

maupun psikologis.

Terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh gerontologis apabila

menyangkut proses menua: 1). Aging menunjukkkan efek waktu suatu proses

perubahan biasanya secara bertahap dan spontan. Istilah aging dianggap tidak

mewakili apa yang terjadi pada proses menua. Sebab berbagai proses yang terjadi

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 51: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

32

Universitas Indonesia

seiring waktu, seperti perkembangan (development) dapat disebut sebagai aging.

2). Senescene yaitu hilangnya kemapuan sel untuk membelah dan berkembang

(seiring waktu akan menyebabkan kematian) 3). Homeostenosis yaitu

berkurangnya cadangan homeostatis yang terjadi selama masa penuaan pada

sistem organ.

2.8.2 Masalah Lanjut Usia di Indonesia

Secara demografi hampir setiap tahun jumlah penduduk lanjut usia terus

meningkat. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1980 penduduk berusia 60 tahun

ke atas terdapat sebanyak 8 juta atau 5,5% dari jumlah penduduk dan 11,3 juta

atau 6,4% pada tahun 1990. Pada tahun 2000 proporsi lanjut usia mencapai 14,4

juta jiwa atau 7,18% dari total jumlah penduduk (BPS, Sensus Penduduk

Indonesia, 2000). Pada tahun yang sama data Susesnas menyebutkan beberapa

propinsi di Indonesia yang memiliki jumlah uisa lanjut yang melebihi angka

nasional seperti Yogyakarta, Jawa Timur (9,3%), Jawa Tengah (9,26%), Bali

(8,77%), Sumatera Barat (8,8%) dan Sulawesi Utara (7,64%). Berdasarkan data

Susesnas tahun 2003 kemudian diperoleh bahwa jumlah penduduk lanjut usia

telah mencapai 16,1 juta jiwa (7,54%) dari 214.374.096 jiwa total penduduk

Indonesia.

Perbaikan kualitas hidup dan pelayanan kesehatan secara umum

berdampak pada peningkatan umur harapan hidup dan jumlah lanjut usia di

Indonesia, sehingga Indonesia termasuk salah satu negara yang struktur

penduduknya tergolong penduduk struktur tua (jumlah penduduk lansia lebih dari

7%) disamping Jepang, Republik Korea, dan Singapura.

Umur harapan hidup (UHH) mengalami peningkat yang siginifikan, pada

tahun 1990 mencapai 64,7 tahun untuk perempuan dan 61 tahun untuk laki-laki.

Pada tahun 1995 meningkat menjadi 66,7 tahun pada perempuan dan 62,9 tahun

pada laki-laki. Tahun 2005, UHH mencapai 68,2 tahun perempuan dan 64,3 tahun

pada laki-laki. Kemudian di tahun 2009, UHH sudah mencapai 70,6 tahun dan

diperkirakan tahun 2014 UUH dapat mencapai 72 tahun.

Perubahan demografi ini akan berpengaruh terhadap berbagai aspek

kehidupan lanjut usia, baik secara individu maupun kaitannya dengan keluarga

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 52: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

33

Universitas Indonesia

dan masyarakat. Jumlah lansia yang sangat besar membawa konsekuensi terhadap

aspek kehidupan, baik fisik, mental, psikososial dan ekonomi. Umumnya

permasalahan yang dialami lanjut usia di Indonesia adalah menurunnya kondisi

kesehatan, mundurnya kemampuan fisik, menurunya kondisi mental, belum

berfungsinya potensi yang dimiliki, banyak yang hidup terlantar, tidak ada

pekerjaan, tanpa bekal hidup serta kondisi penopang yang belum memuaskan.

Berstatus sebagai kepala rumah tangga.

Kondisi lanjut usia di Indonesia masih memprihatinkan. Data Sensus

Penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa sekitar separuh lebih (57,60%) lanjt

usia berstatus sebagai kepala rumah tangga. Sebagian besar lanjut usia memiliki

tingkat pendidikan yang rendah, dimana sekitar 70% lanjut usia berpendidikan

sekolah dasar ke bawah, lanjut usia yang tidak pernah sekolah 38,06%, yang tidak

tamat sekolah dasar 28,7% dan sisanya tamat sekolah dasar (Dokumen Rencana

Aksi Nasional Tahun 2003).

Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT, 1995) diperoleh angka

kesakitan dan disabiliti sebesar 11,5% pada usia 45-49 tahun dan 9,2% pada usia

lebih dari 60 tahun dengan berbagai jenis penyakit degeneratif seperti gangguan

sirkulasi, tuberkulosis, gangguan sistem pencernaan, gangguan pernapasan, dan

penyakit infeksi. Gangguan gizi yang terjadi pada lanjut usia disebabkan oleh

keadaan gigi geliginya, sehingga asupan gizi tidak mencukupi. Gangguan anemia

gizi sebagai salah satu akibat, ditemuan 50% pada lanjut usia (SKRT,1995)

dengan batas nilai Hb 12gr%.

Kodim (1998) menyatakan adapun penyakit yang sering dijumpai pada

lanjut usia yaitu hipertensi, diabetes mellitus, osteotritis, osteoporosis, penyakit

jantung coroner (CHD), penyakit cerebro vaskuler (CVD), infeksi, gangguan

pendengaran, dan penglihatn, depresi serta dimensia. berdasarka hasil penelitian

lembaga demografi UI di propinsi Lampung, Jabra, Jateng, dan Jatim, diketahui

bahwa sekitar 3% kelompok lansia muda (60-65 tahun) yang mengalami kondisi

kesehatn yang buruk. Sekitar 11,0% merasa kesehatan mereka lebih buruk dari

pada teman-teman sebaya, dan 25,3% menyatakan diri mereka tidak sehat.

Namun, bukan berarti semua lanjut usia seolah-olah berakhir dengan

ketidakmampuan yang menjadi beban keluarga atau masyarakat. Beberapa lanjut

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 53: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

34

Universitas Indonesia

usia, justru tetap sehat dan dapat terus berkarya dan mengabdikan diri bagi

masyarakat. Kegiatan-kegiatan tertentu yang sesuai dengan kemampuan lanjut

usia dapat membuat lanjut usia tetap dapat memberikan sumbangsih bagi

kehidupan bermasyarakat.

2.8.3 Hipertensi pada Lanjut Usia

Jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia usia lebih dari 60 tahun pada

tahun 2010 mengalami kenaikan sebesar 400%, sehingga jumlahnya lebih besar

dibandingkan jumlah anak di bawah lima tahhun (Balita). Lanjut usia membawa

konsekuensi meningkatnya berbagai penyakit kardiovaskuler, infeksi dan gagal

jantung. Tekanan darah sistolik (TDS) meningkat sesuai dengan peningkatan usia,

akan tetapi Tekanan darah diastolik (TDD) meningkat seiring dengan TDS sampai

sekitar usia 55 tahun, yang kemudian menurun oleh karena proses kekakuan arteri

akibat aterosklerosis.

Sekitar usia 60 tahun, dua pertiga pasien dengan hipertensi mempunyai

hipertensi sistolik terisolasi (HST), sedangkan di atas 75 tahun tiga perempat dari

dari seluruh pasien mempunyai hipertensi sistolik. Di negara maju saat ini tekanan

darah yang terkontrol (TDS <140, TDD <90mmHg) hanya terdapat pada 20%

pasien hipertensi. Keberhasilan pengobatan yang rendah pada usia lanjut

diakibatkan juga oleh karena banyak dokter tidak mengobati hipertensi lanjut usia

sampai optimal (kurang dari 140/90 mmHg) mengingat kekuatiran terjadinya efek

samping. (Ariatmo, 2001)

2.9 Posyandu Lanjut Usia

Pemerintah telah merumuskan berbagai kebijakan pelayanan kesehatan

usia lanjut ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan

lansia untuk mencapai masa tua bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan

keluarga dan masyarakat sesuai dengan keberadaannya. Sebagai wujud nyata

pelayanan sosial dan kesehatan pada kelompok usia lanjut ini, pemerintah telah

mencanangkan pelayanan pada lansia melalui beberapa jenjang. Pelayanan

kesehatan di tingkat masyarakat adalah Posyandu lansia, pelayanan kesehatan

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 54: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

35

Universitas Indonesia

lansia tingkat dasar adalah Puskesmas, dan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan

adalah Rumah Sakit.

Posyandu lansia adalah pos pelayanan terpadu untuk masyarakat usia

lanjut di suatu wilayah tertentu yang sudah disepakati, yang digerakkan oleh

masyarakat dimana mereka bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. Posyandu

lansia merupakan pengembangan dari kebijakan pemerintah melalui pelayanan

kesehatan bagi lansia yang penyelenggaraannya melalui program Puskesmas

dengan melibatkan peran serta para lansia, keluarga, tokoh masyarakat dan

organisasi sosial dalam penyelenggaraannya.

2.9.1 Tujuan Posyandu Lansia

Tujuan pembentukan posyandu lansia secara garis besar antara lain :

a. Meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan lansia di masyarakat, sehingga

terbentuk pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia

b. Mendekatkan pelayanan dan meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta

dalam pelayanan kesehatan disamping meningkatkan komunikasi antara

masyarakat usia lanjut.

2.9.2 Mekanisme Pelayanan Posyandu Lansia

Berbeda dengan posyandu balita yang terdapat sistem 5 meja, pelayanan

yang diselenggarakan dalam posyandu lansia tergantung pada mekanisme dan

kebijakan pelayanan kesehatan di suatu wilayah kabupaten maupun kota

penyelenggara. Ada yang menyelenggarakan posyandu lansia sistem 5 meja

seperti posyandu balita, ada juga hanya menggunakan sistem pelayanan 3 meja,

dengan kegiatan sebagai berikut :

1. Meja I : pendaftaran lansia, pengukuran dan penimbangan berat badan dan atau

tinggi badan

2. Meja II : Melakukan pencatatan berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh

(IMT). Pelayanan kesehatan seperti pengobatan sederhana dan rujukan kasus

juga dilakukan di meja II ini.

3. Meja III : melakukan kegiatan penyuluhan atau konseling, disini juga bisa

dilakukan pelayanan pojok gizi.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 55: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

36

Universitas Indonesia

2.9.3 Bentuk Pelayanan Posyandu Lansia

Pelayanan Kesehatan di Posyandu lanjut usia meliputi pemeriksaan

Kesehatan fisik dan mental emosional yang dicatat dan dipantau dengan Kartu

Menuju Sehat (KMS) untuk mengetahui lebih awal penyakit yang diderita

(deteksi dini) atau ancaman masalah kesehatan yang dihadapi. Jenis Pelayanan

Kesehatan yang dapat diberikan kepada usia lanjut di posyandu lansia umumnya

adalah:

1. Pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-hari meliputi kegiatan dasar dalam

kehidupan, seperti makan/minum, berjalan, mandi, berpakaian, naik turun

tempat tidur, buang air besar/kecil dan sebagainya.

2. Pemeriksaan status mental. Pemeriksaan ini berhubungan dengan mental

emosional dengan menggunakan pedoman metode 2 (dua ) menit.

3. Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran

tinggi badan dan dicatat pada grafik indeks masa tubuh (IMT).

4. Pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter dan stetoskop serta

penghitungan denyut nadi selama satu menit.

5. Pemeriksaan hemoglobin menggunakan talquist, sahli atau cuprisulfat

6. Pemeriksaan adanya gula dalam air seni sebagai deteksi awal adanya penyakit

gula (diabetes mellitus)

7. Pemeriksaan adanya zat putih telur (protein) dalam air seni sebagai deteksi

awal adanya penyakit ginjal.

8. Pelaksanaan rujukan ke Puskesmas bilamana ada keluhan dan atau ditemukan

kelainan pada pemeriksaan butir 1 hingga 7. dan

9. Penyuluhan Kesehatan.

Kegiatan lain yang dapat dilakukan sesuai kebutuhan dan kondisi setempat

seperti Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dengan memperhatikan aspek

kesehatan dan gizi lanjut usia dan kegiatan olah raga seperti senam lanjut usia,

gerak jalan santai untuk meningkatkan kebugaran.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 56: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

37 Universitas Indonesia

BAB 3

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP,

HIPOTESIS, & DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Teori

Hipertensi merupakan salah satu penyakit tidak menular. Pada hipertensi

primer tidak diketahui dengan pasti penyebabnya karena bersifat multicausal.

Akan tetapi, para ahli mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor risiko yang

secara signifikan dapat mempengaruhi kejadian hipertensi. Berdasarkan teori

Blum, diketahui bahwa empat faktor utama yang mempengaruhi kejadian

penyakit yaitu faktor genetik, pelayanan kesehatan, gaya hidup, dan lingkungan.

Sedangkan, menurut Bustan (2007), faktor-faktor risiko hipertensi antara lain,

umur, ras/suku, lingkungan tempat tinggal atau wilayah geografis, jenis kelamin,

obesitas, stres, personality type, konsumsi garam berlebih, konsumsi alkohol,

kebiasaan merokok, penggunaan pil KB, serta riwayat penyakit Diabetes mellitus.

Selain itu, menurut Hull, 1986 faktor risiko lainnya dapat berupa konsumsi lemak

berlebih, rendahnya jumlah serat dalam diet, serta aktivitas fisik. Berdasarkan

sumber literatur tersebut dan hasil dari penelitian sebelumnya, maka diperoleh

berbagai faktor risiko yang dapat mempengaruhi kejadian hipertensi. arah panah

dalam skema menunjukkan bahwa setiap faktor risiko saling berhubungan untuk

dapat memicu terjadinya hipertensi. Adapun skema kerangka teori dapat dilihat

pada gambar 3.1.

Keterangan gambar 3.1 :

Tidak diteliti

Diteliti

Teori Blum

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 57: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

38

Universitas Indonesia

Kerangka Teori

Gambar 3.1 Skema Hipertensi

Demografi

Degeneratif

Jenis Kelamin

Stress/

emosional

Pekerjaan

Perilaku Lingkungan

Sosial/Ekonomi

Umur

Kegemukan

n

Kepribadian

Status Perkawinan

Pendidikan

Alkohol Olahraga

Diet:

- Lemak jenuh

- rendah kalsium

-Kopi/teh

- rendah Serat

Merokok

Riwayat

Keluarga

Pil KB

Kolesterol

Penyakit

tertentu:

DM, ginjal

Genetik

Tempat Tinggal

Hipertensi

Ras

Pelayanan

kesehatan

Sumber:

Modifikasi Teori Blum,

Bustan (2007) & Hull

(1986)

Diet Garam

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 58: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

39

Universitas Indonesia

3.2 Kerangka Konsep

Berdasarkan teori yang ada serta disesuaikan dengan ketersedian data dari

di Posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo JakartaTimur bulan Desember

2010, maka faktor-faktor risiko yang akan diteliti berupa karateristik individu

(umur, jenis kelamin, dan tempat tinggal), kondisi kesehatan fisik dan mental

(kegemukan, penyakit diabetes mellitus, dan gangguan mental/emosional), seperti

terlihat pada skema berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 3.2 Skema Kerangka Konsep

Sumber:

Modifikasi Teori Blum,

Bustan (2007) & Hull

(1986)

Karakteristik Individu

Umur

Jenis Kelamin

Tempat Tinggal

Kondisi Kesehatan

Fisik/mental

Status IMT (Kegemukan)

Riwayat penyakit Diabetes

mellitus

Gangguan

mental/emosional

Kejadian Hipertensi

Pada Lanjut Usia

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 59: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

40

Universitas Indonesia

3.3 Hipotesis

1. Adanya hubungan antara karakteristik demografi (umur, jenis kelamin,

dan tempat tinggal) dengan kejadian hipertensi di posyandu lansia wilayah

kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur tahun 2010.

2. Adanya hubungan antara kegemukan dengan kejadian hipertensi di

posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur tahun

2010.

3. Adanya hubungan antara gangguan mental/emosional dengan kejadian

hipertensi di posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo Jakarta

Timur tahun 2010.

4. Adanya hubungan antara riwayat penyakit Diabetes mellitus dengan

kejadian hipertensi di posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo

Jakarta Timur tahun 2010.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 60: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

41

Universitas Indonesia

3.4 Definisi Opersional

No Variabel Definisi Operasional Cara

Ukur Alat Ukur Hasil Ukur

Skala

Ukur

Variabel Dependen

1. Hipertensi Tingginya tekanan darah yang

diperoleh dari hasil

pengukuran, dengan tekanan

sistolik ≥140 mmHg dan atau

tekanan diastolik ≥90 mmHg,

tanpa sedang menderita suatu

penyakit.

(JNC VI, 1998)

Observasi Laporan Pencatatan

Hasil Kegiatan

Kesehatan Posyandu

Lansia Bulan Desember

2010

1.hipertensi

2. non-hipertensi

Ordinal

Variabel Independen

2 Jenis Kelamin Penggolongan responden

yang terdiri dari laki-laki dan

perempuan

Observasi Laporan Pencatatan

Hasil Kegiatan

Kesehatan Posyandu

Lansia bulan Desember

2010

1. Laki-laki

2. Perempuan

Nominal

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 61: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

42

Universitas Indonesia

3 Umur Usia responden sampai saat

dilakukan pemeriksaan di

Posyandu lansia bulan

Desember 2010

Observasi Laporan Pencatatan

Hasil Kegiatan

Kesehatan Posyandu

Lansia bulan Desember

2010

1. ≥ 70 tahun (lansia

risti)

2. 60-69 tahun (lansia)

3. 45-59 tahun

(Pralansia)

Ordinal

4 Tempat Tinggal Wilayah tempat tinggal lansia

berdasarkan kelurahan

Obsevasi Laporan Pencatatan

Hasil Kegiatan

Kesehatan Posyandu

Lansia bulan Desember

2010

1. Kelurahan Baru

2. Kelurahan Cijantung

3. Kelurahan Kalisari

4. Kelurahan Pekayon

Nominal

5 Tingkat

Kemandirian

Kemampuan Lanjut usia untuk

tetap mandiri dalam

melakukan berbagai

aktivitasnya sehari-hari seperti

berjalan, makan, mandi,

mengganti pakain, dan

lainnya.

(Dinkes DKI Jakarta, 2004)

Obervasi Laporan Pencatatan

Hasil Kegiatan

Kesehatan Posyandu

Lansia pada bulan

Desember 2010

1. tidak mandiri kategori

B : apabila ada

gangguan dalam

melakukan sendiri,

hingga kadang-

kadang perlu bantuan

dan kategori A :

apabila usia lanjut

Ordinal

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 62: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

43

Universitas Indonesia

sama sekali tidak

mampu melakukan

kegiatan sehari-hari,

sehingga sangat

tergantung orang lain

(ketergantungan)

2. Mandiri, kategori C :

Apabila usia lanjut

masih mampu

melakukan kegiatan

sehari-hari tanpa

bantuan sama sekali

(mandiri)

6 Kegemukan Keadaan gizi lansia yang nilai

berdarakan hasil perhintungan

Indeks Massa Tubuh (IMT).

Atau berdasarkan grafik IMT

pada KMS Lansia. normal bila

Observasi Laporan Pencatatan

Hasil Kegiatan

Kesehatan Posyandu

Lansiapada bulan

Desember 2010

1. Gemuk

2. Tidak Gemuk

Ordinal

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 63: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

44

Universitas Indonesia

IMT < 25. kegemukan bila

IMT ≥ 25

7 Penyakit

Penyerta

Diabetes Mellitus

Ditemukannya kadar gula

yang tinggi dalam darah

berdasarkan hasil pemeriksaan

Gula darah sewaktu

menggunakan alat tes gula

darah atau apabila lansia

memang memiliki riwayat DM

hasil diagnosis dokter ( Dinkes

DKI Jakarta, 2004)

Observasi Laporan Pencatatan

Hasil Kegiatan

Kesehatan Posyandu

Lansia bulan Desember

2010

1. Lansia dengan DM

2. Lansia tanpa DM

Nominal

8 Kesehatan

Mental/emosional

Ada atau tidaknya gangguan

mental/emosional dari hasil

pemeriksaan dengan metode 2

menit melalui 2 tahap

pertanyaan yang tertera pada

KMS

(Dinkes DKI Jakarta , 2004)

Observasi Laporan Pencatatan

Hasil Kegiatan

Kesehatan Posyandu

Lansia bulan Desember

2010

1. ada gangguan

emosional

2. tidak ada gangguan

emosional

Nominal

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 64: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

45 Universitas Indonesia

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Desain studi yang

digunakan adalah studi potong lintang atau cross sectional yakni untuk

mengetahui prevalensi hipertensi dan determinannya pada lanjut usia yang

mendapatkan pelayanan kesehatan di Posyandu lansia pada bulan Desember 2010.

Determinan hipertensi yang akan diteliti meliputi karakteristik demografi seperti

umur, jenis kelamin, kemandirian, kondisi kesehatan (kegemukan, gangguan

mental/emosional, dan penyakit DM). Desain studi ini dipilih karena mudah

dilaksanakan, lebih ekonomis dari segi waktu, dan hasilnya dapat diperoleh

dengan lebih cepat.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Peneltian ini dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder hasil

pemeriksaan kesehatan dan KMS lansia bulan Desember 2010 yang dilakukan

selama pada bulan Maret-Mei 2011 dan tempat pelaksanaan penelitiannya adalah

di Puskesmas dan posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh lansia yang berkunjung dan

mendapatkan pelayanan kesehatan serta tercatat dalam laporan hasil kegiatan

pelayanan kesehatan lansia di seluruh posyandu lansia wilayah kecamatan Pasar

Rebo Jakarta Timur tahun 2010.

4.3.2 Sampel

Karena keterbatasan data akibat pencatatan dan pelaporan yang kurang

baik maka peneliti hanya memperoleh data yang lengkap dan terbanyak pada

bulan Desember dari 10 posyandu lansia di Kecamatan Pasar Rebo. Data

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 65: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

46

Universitas Indonesia

Posyandu lansia yang digunakan hanya bulan Desember 2010 karena data per

lansia yang tersedia lengkap lebih banyak. dari 10 posyandu lansia tersebut

didapatkan responden sebanyak 270 orang yang sesuai dengan kriteria inklusi dan

ekslusi. Adapun Posyandu yang lansia yang terpilih dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Posyandu Lansia Yang Terpilih Untuk

Menjadi Sampel Penelitian

Kelurahan Posyandu dengan data yg

lengkap

Baru RW 1 dan 10

Cijantung RW 4, 9, dan 10

Kalisari RW 4 dan 7

Pekayon RW 8, 9, dan 10

Total 10 RW

4.3.3 Kriteria Inklusi dan Ekslusi

4.3.3.1 Kriteria Inklusi

1. Data Responden yang di ambil yaitu hanya penduduk usia 45 tahun atau

lebih yang tinggal di wilayah kerja posyandu lansia yang datang

berkunjung, mendapatkan pelayanan kesehatan serta tercatat dalam

laporan hasil kegiatan pelayanan kesehatan di posyandu lansia pada bulan

Desember 2010

4.3.3.2 Kriteria Ekslusi

1. Data Responden tidak terisi secara lengkap dan benar

4.3.3.2 Besar Sampel

Besar sampel minimal untuk penelitian ini menggunakan rums uji

hipotesis dua proporsi (Lameshow, 1997):

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 66: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

47

Universitas Indonesia

Keterangan :

N = jumlah sampel yang dibutuhkan

Z1-α/2 = Nilai Z pada derajat kepercayaan/kemaknaan α : 5% (two-tail)

Z1-β = Nilai Z pada kekuatan uji (power) 1-β : 90% (0,90)

P = (P1+P2)/2

P1 = proporsi hipertensi pada kelompok yang berisiko

P2 = proporsi hipertensi pada kelompok yang tidak berisiko

Tabel 4.2 Besar Sampel Penelitian

Berdasarkan jumlah sampel terbesar, maka variabel yang sebagai acuan untuk

sampel minimal pada penelitian ini adalah variabel IMT dengan P1(0,248) dan P2

(0,103) sehingga besar sampel minimal didapatkan sebanyak 143 responden

4.4 Teknik Pengumulan Data

4.4.1 Sumber Data

Penelitian ini dilakukan melalui observasi data sekunder berupa laporan hasil

kegiatan pelayanan kesehatan lanjut usia di posyandu lansia se-kecamatan Pasar

Rebo yang terdiri dari 10 posyandu lansia yang sesuai dengan kriteria inklusi dan

ekslusi.

Variabel

dependen

Variabel

independen

P1 P2 Sampel Sumber

Hipertensi di

Posyandu

Lansia

Umur 0,705 0,465 87 Yusida, 2001

Jenis kelamin 0,844 0,583 61 Yuliarti, 2007

Stress 0,551 0,355 134 Jullaman, 2008

IMT 0,689 0,5 140 Novi, 2009

DM 0,248 0,103 143 Khania, 2002

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 67: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

48

Universitas Indonesia

4.4.2 Cara Pengambilan Data

Peneliti mendatangi masing-masing puskesmas Kelurahan di kecamatan

Pasar Rebo yang terdiri dari Puskesmas Kalisari, Baru, Pekayon, Gedong, dan

Cijantung. Kemudian meminta data laporan hasil kegiatan lansia di wilayah kerja

masing-masing puskesmas pada selama bulan Desember 2010. Apabila data yang

diperlukan tidak tersedia dengan lengkap dan masih ada data-data yang tampak

membingungkan maka peneliti juga mendatangi secara langsung Posyandu lansia

ataupun rumah dari kader lansia tersebut.

4.5 Manajemen Data

1. Editing data

Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir laporan hasil

kegiatan pelayanan kesehatan lansia kemuadian di masukan ke form yang

telah dibuat oleh peneliti dan diperiksa apakah telah terisi dengan lengkap dan

benar.

2. pengkodean (Coding)

Merupakan kegiatan mengubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk

angka/bilangan sesuai dengan kategori yang telah ditentukan oleh peneliti.

3. pemasukan data (Entry)

Memproses agar data yang sudah di-entry dapat dianalisis. Pemrosesan data

dilakukan dengan cara meng-entry data ke paket program komputer

4. Cleaning

Pembersihan data merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-

entry apakah ada kesalahan atau tidak.

4.6 Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk melihat distribusi dan frekuensi dari

setiap variabel. Bentuknya tergantung jenis datanya. Pada penelitian ini jenis data

yang digunakan adalah data katagorik berupa skala nominal dan ordinal serta data

numerik dengan skala ratio sehingga akan didapatkan besar proporsi atau

persentasi dari data katagorik serta nilai mean, median, modus, standar

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 68: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

49

Universitas Indonesia

deviasinya untuk data numerik dari variabel yang diteliti baik variabel dependen

maupun variabel independen.

4.7 Anasilsi Bivariat

Penelitian ini dilakukan analisis bivariat untuk melihat hubungan antara

dua variabel sehingga dapat diketahui nilai kemaknaan statistik dan ukuran

asosiasi. Jenis data untuk setiap variabel yang akan diteliti adalah data katagorik

sehingga menggunakan uji Chi square untuk menguji perbedaan proporsi atau

persentase pada variabel independen dan dependennya. Prinsip uji chi square

adalah untuk membandingkan variabel-variabel yang diteliti dan mengetahui

hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dengan cara

membuat tabulasi silang (crosstab). Arah penelitian adalah dua sisi (two-side )

dengan batas kemaknaan yang digunakan adalah p-value<0.05.

P-value >0,05 menujukkan hasil adalah tidak bermakna

P-value ≤0.05 menunjukkan hasil bermakna.

Rumus:

𝑋2 = (𝑂−𝐸)2

𝐸

Keterangan:

X = Statistik chi Square pada df (b-1) (K-1) dan α = 5%

O = Frekuensi hasil pengamatan

E = frekuensi yang diharapkan

df = Degree of free (derajat kebebasan) = (baris-1) (kolom-1)

α = alfa (5%)

Ukuran kekuatan asosiasi yang digunakan adalah Prevalence Ratio (PR)

yaitu risiko pada penelitian prevalen. Ukuran ini digunakan karena variabel yang

diamati (hipertensi) merupakan kasus prevalen.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 69: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

50

Universitas Indonesia

Perhitungan prevalen dengan menggunakan tabel 2x2 yaitu:

Faktor Risiko D+ D- Total

Terpapar a b a + b

Tidak Terpapar c d c + d

Total a + c b + d a +b + c + d

Prevalen pada kelompok terpapar : a/(a+c)

Prevalen pada kelompok tidak terpapar : c/(c+d)

Perhitungan Prevalens Ratio (PR) : Prevalens pada kelompok terpapar

Prevalens pada kelompok tidak terpapar

a. PR > 1 menunjukan bahwa faktor risiko pajanan meningkatkan/memperbesar

kejadian hipertensi

b. PR = 1 menunjukkan tidak terdapat asosiasi antara faktor pajanan dengan

terjadinya hipertensi

c. PR < 1 menunjukkan bahwa faktor pajanan akan mengurangi risiko hipertensi

Dengan PR dapat diperkirakan tingkat kemungkinan risiko masing-masing

variabel yang diteliti terhadap kejadian hipertensi. Nilai Prevalens Ratio

merupakan nilai estimasi hubungan antara penyakit dengan faktor risiko.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 70: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

51 Universitas Indonesia

BAB 5

HASIL PENELITIAN

5.1. Gambaran Umum

Kecamatan Pasar Rebo merupakan salah satu kecamatan dalam wilayah

Kotamadya Jakarta Timur. Luas wilayahnya mencapai 1.297,70 Ha. batas-batas

wilayah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur

Selatan Selatan : Kecamatan Cimanggis, Kotamadya Depok Jawa Barat

Sebelah Timur : Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur

Sebelah Barat : Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan

Kecamatan Pasar Rebo terdiri dari 5 kelurahan. Jumlah penduduk di

Kecamatan Pasar Rebo sampai dengan bulan desember 2009 sebanyak 166.639

jiwa terdiri dari laki – laki 89.393 jiwa dan perempuan 77.246 dengan kepadatan

penduduk mencapai 1.284 jiwa/km2. Pembagian wilayah serta kependudukan

dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5.1 Luas Wilayah, RW, RT, Jumlah Penduduk, Jumlah Rumah

Tangga, Rata-rata Jiwa, dan Kepadatan Penduduk

Kecamatan Pasar Rebo Tahun 2009

Kelurahan Luas

Wilayah

(Ha)

RW RT Jumlah

Penduduk

Jumlah

Rumah

Tangga (KK)

Rata-rata

Jiwa/Rumah

tangga (KK)

Kepadatan

Penduduk/km2

Gedong 263,40 12 116 31.635 9.535 3,3 118

Cijantung 238,57 11 104 35.353 10.229 3,5 147

Baru 188,55 10 79 25.778 6.297 4,1 136

Kalisari 289,45 9 93 32.016 6.781 4,7 109

Pekayon 317,73 10 110 41.857 6.113 6,8 131,73

Jumlah 1.297,70 52 502 166.639 38.955 4,3 128,4

Sumber: Profil Kecamatan Pasar Rebo Tahun 2009

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 71: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

52

Universitas Indonesia

5.1.2 Data Sosial Ekonomi

Mata pencaharian penduduk pada umumnya sebagian besar adalah buruh

dan dibidang jasa dengan rincian sebagai berikut.

Tabel 5.2 Jenis Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Pasar Rebo

Jakarta Timur Tahun 2010

MATA PENCAHARIAN JUMLAH (%)

Pegawai Negeri

ABRI

POLRI Pedagang

Wiraswasta

Buruh Jasa dan lain-lain

Tani

5.471

6.002

3.332 4.201

1.913

7.196 8.063

60

15.1

16.6

9.2 11.6

5.3

19.9 22.3

0.2

Jumlah 36.238 100

Sumber: Laporan Tahun Kesehatan Lansia PKC Pasar Rebo (2010)

5.1.3 Pembinaan kesehatan di Posyandu lansia

Upaya pembinaan kesehatan lansia di Pasar Rebo dimulai berdasarkan

instruksi Gubernur DKI Jakarta maupun walikota Jakarta timur yang

ditindaklanjuti dengan Surat keputusan camat sehingga terbentuklah wadah bagi

lansia yang diberi nama FKLU (Forum Komunikasi Lanjut Usia) yang kemudian

berkembang melalui pembentukan posyandu lansia yang tersebar di lima

kelurahan.

Tabel 5.3 Upaya Pembinaan Kesehatan di Posyandu Lansia

Kecamatan Pasar Rebo 2010

KELURAHAN RT RW KELP/

KADER

USIA

45-59

USIA

60-69

USIA

>70 TOTAL CAKUPAN

GEDONG 117 12 10/ 75 4485 2379 1952 8816 47,9

CIJANTUNG 109 11 9/27 6705 2262 1440 10407 19,5

BARU 79 10 7/24 4278 1156 434 5868 23,6

KALISARI 102 10 6/25 4220 2141 1625 7986 45,7

PEKAYON 116 10 9/45 5160 1246 1145 7551 35,5

TOTAL 523 53 41/201 24848 9184 6596 40628 32,75

Sumber: Di olah kembali dari Laporan Tahun Kesehatan Lansia PKC Pasar Rebo (2010)

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 72: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

53

Universitas Indonesia

5.2 Prevalensi Hipertensi

Tabel 5.4 Prevalensi Hipertensi Lansia di Posyandu Lansia Pasar Rebo

Tahun 2010

Variabel Jumlah Populasi Prevalensi (%)

Hipertensi

Non-Hipertensi

132

138 270

48,9

51,1

Prevalensi hipertensi berdasarkan hasil pemeriksanaan kesehatan di

Posyandu lansia Kecamatan Pasar Rebo pada bulan Desember 2010 didapatkan

sebesar 48,9% (tabel 5.4).

Tabel 5.5 Data Deskriptif Berdasarkan Rata-rata nilai Tekanan Darah

Sistolik dan Diastolik pada Lansia di Posyandu Lansia Kecamatan Pasar

Rebo Tahun 2010

Variabel Mean SD Min-Maks 95% CI

Tekanan Darah

Sistolik 131,39 20,11 90-194 128,98-133,79

Tekanan Darah

Diastolik 83,41 10,35 60-133 82,17-84,66

Hasil analisis diperoleh rata-rata tekanan darah sistolik (TDS) responden

adalah 131,39 mmHg (95% CI 128,98-133,79), dengan standar deviasi 20,11

mmHg. TDS terendah 60 mmHg dan tertinggi 194 mmHg. Dari hasil estimasi

interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata TDS lansia

tersebut adalah 128,98 mmHg sampai dengan 133,79 mmHg.

Selain itu, diperoleh juga rata-rata tekanan darah diastolik (TDD)

responden adalah 83,41 mmHg (95% CI 82,17-84,66), dengan standar deviasi

10,35 mmHg. TDD terendah yakni 60 mmHg dan tertnggi 133 mmHg. Dari hasil

estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rata-rata TDD

lansia di posyandu lansia tersebut adalah 82,17 mmHg sampai dengan 84,66

mmHg (tabel 5.5)

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 73: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

54

Universitas Indonesia

5.2.1 Wilayah Kelurahan

Prevalensi hipertensi berdasarkan kelurahan di wilayah Pasar Rebo

didapatkan bahwa prevalensi tertinggi di kelurahan Pekayon yaitu 55,4%

sedangkan terendah adalah kelurahan Baru yaitu sebesar 43,3% (tabel 5.6).

Tabel 5.6 Frekuensi Hipertensi Berdasarkan Kelurahan Posyandu lansia di

Pasar Rebo Tahun 2010

Kelurahan Kasus Populasi Prevalensi (%)

Baru 26 60 43,3

Cijantung 47 95 49,5

Kalisari 18 41 43,9

Pekayon 41 74 55,4

Total 132 270 48,9

5.2.2 Umur

Prevalensi hipertensi berdasarkan umur didapatkan prevalensi tertinggi

adalah pada kelompok umur di atas 70 tahun yaitu sebesar 65,4%, bila

dibandingkan dengan kelompok umur 60-69 yaitu sebesar 60% dan 45-59 tahun

yaitu sebesar 41,4%. Secara keseluruhan ditunjukkan bahwa prevalensi hipertensi

meningkat seiring bertambahnya umur (tabel 5.7).

Tabel 5.7 Frekuensi Hipertensi berdasarkan Umur di Posyandu Lansia Pasar

Rebo tahun 2010

Umur Kasus Populasi Prevalensi (%)

45-59 Tahun 70 169 41,4

60-69 tahun

≥ 70 tahun

45

17

75

26

60,0

65,4

Total 132 270 48,9

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 74: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

55

Universitas Indonesia

5.2.3 Jenis Kelamin

Prevalensi hipertensi pada lansia berdasarkan jenis kelamin lebih tinggi

ditemukan pada jenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 67,5% dibandingkan dengan

perempuan yaitu sebesar 45,7% (tabel 5.8).

Tabel 5.8 Frekuensi Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin di Posyandu

Lansia Pasar Rebo Jakarta Timur Tahun 2010

Jenis kelamin Kasus Populasi Prevalensi (%)

Laki-laki 27 40 67,5

Perempuan 105 230 45,7

Total 132 270 48,9

5.2.4 Kegemukan

Prevalensi hipertensi berdasarkan besar Indeks Massa Tubuh (IMT)

didapatkan prevalensi tertinggi pada lansia yang mengalami kegemukan yaitu

sebesar 58,8%. Sedangkan lansia yang tidak mengalami kegemukan yaitu sebesar

44,3% (tabel 5.9).

Tabel 5.9 Frekuensi Hipertensi Berdasarkan Kegemukan di Posyandu

Lansia Pasar Rebo Jakarta Timur tahun 2010

Kegemukan Kasus Populasi Prevalensi (%)

Ya 50 58 58,8

Tidak 82 103 44,3

Total 132 270 48,9

5.2.5 Gangguan Mental/emosional

Prevalensi hipertensi pada lansia yang mengalami gangguan

mental/emosional lebih tinggi yaitu sebesar 58,5% dibandingkan pada lansia

yang tidak mengalami gangguan mental/emosional yaitu sebesar 47,2% (tabel

5.10)

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 75: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

56

Universitas Indonesia

Tabel 5.10 Frekuensi Hipertensi Berdasarkan Gangguan Mental/Emosional

di Posyandu Lansia Pasar Rebo Jakarta Timur Tahun 2010

Gangguan

mental/emosional Kasus Populasi Prevalens(%)

Ada 24 41 58,5

Tidak ada 108 229 47,2

Total 132 270 48,9

5.2.6 Riwayat Penyakit Diabetes Mellitus (DM)

Prevalensi hipertensi pada lansia yang mengidap diabetes mellitus lebih

tinggi yaitu sebesar 68,6% bila dibandingkan dengan lansia tidak mengidap

diabetes mellitus yaitu sebesar 47,6% (tabel 5.11).

Tabel 5.11 Frekuensi Hipertensi Berdasarkan Riwayat Penyakit Diabetes

Mellitus di Posyandu Lansia Pasar Rebo Jakarta Timur Tahun 2010

Penyakit

Diabetes Mellitus Kasus Populasi Prevalensi (%)

Ada 11 16 68,8

Tidak ada 121 254 47,6

Total 132 270 48,9

5.3 Analisis Univariat Gambaran Karakteristik Responden

Responden yang berkunjung di posyandu lansia pada bulan Desember

2010 sebagian besar merupakan pralansia umur 45-59 tahun yaitu sebesar 62,6%.

Berjenis kelamin perempuan sebesar 85%, mandiri yaitu sebesar 99,6%,

bertempat tinggal paling banyak di kelurahan Cijantung yaitu sebesar 35,2%.

Mengalami kegemukan sebesar 31,5%. Mengalami gangguan mental/emosional

sebesar 15,2%. Serta, mengidap diabetes Mellitus sebesar 5,9% (tabel 5.12).

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 76: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

57

Universitas Indonesia

Tabel 5.12 Distribusi Karakteristik Demografi Lansia yang Berkunjung di

Posyandu lansia Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur

Tahun 2010 (N=270)

Variabel Kategori n %

Umur 45-59 tahun

60-69 tahun

≥ 70 tahun

169

75

26

62,6

27,8

9,6

Jenis Kelamin Laki-laki

Perempuan

40

230

14,8

85,2

Kemandirian Tidak Mandiri

Mandiri

1

269

0,4

99,6

Kelurahan

Cijantung

Pekayon

Kalisari

Baru

95

74

41

60

35,2

27,4

15,2

22,2

Kegemukan Ya

Tidak

85

185

31,5

68,5

Gangguan

Mental/emosional

Ada

Tidak Ada

41

229

15,2

84,8

Penyakit DM

Ada

Tidak Ada

16

254

5,9

94,1

5.4 Analisis Bivariat

5.4.1 Hubungan Hipertensi Dengan Faktor-Faktor Risiko

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 77: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

58

Universitas Indonesia

5.4.1.1 Kelurahan (Tempat Tinggal)

Kelurahan Baru menjadi kelompok pembanding dengan prevalensi

hipertensi terendah. Hasil ujji statistik berdasarkan wilayah kelurahan diperoleh

bahwa tidak ada hubungan bermakna antara tempat tinggal/kelurahan dengan

kejadian hipertensi lansian (tabel 5.13).

Tabel 5.13 Hubungan Tempat Tinggal terhadap Kejadian Hipertensi pada

Lansia di Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun 2010

Kelurahan

Hipertensi

Total PR PR

95% CI

P-

value Ya Tidak

N % N %

Baru

Cijantung

Kalisari

Pekayon

26

47

18

41

43,3

49,5

43,9

55,4

34

48

23

33

56,7

50,5

56,1

44,6

95

60

41

74

1,142

1,013

1,279

0,802-1,626

0,654-1,591

0,897-1,882

0,456

0,955

0,165

Total 132 138 270

5.4.1.2 Umur

Pada penelitian ini, umur 45-59 menjadi kelompok umur pembanding.

Sehingga Secara statistik didapatkan ada hubungan yang bermakna antara umur

dengan kejadian hipertensi pada lansia. hal ini terlihat bahwa hipertensi

meningkat berdasarkan umur dimana peluang hipertensi tertinggi pada kelompok

umur di atas 70 tahun yang berpeluang 1,579 kali untuk mengalami hipertensi

(tabel 5.14).

Tabel 5.14 Hubungan Umur terhadap Kejadian Hipertensi Lansia di

Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun 2010

Umur

(Tahun)

Hipertensi

Total PR PR

95% CI

P-

value Ya Tidak

N % N %

45-59

60-69

≥ 70

70

45

17

41,4

60,0

65,4

99

30

9

58,6

40

34,6

169

75

26

1,449

1,579

1,120-1,874

1,132-2,201

0,007

0,022

Total 132 138 270

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 78: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

59

Universitas Indonesia

5.4.1.3 Jenis Kelamin

Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan

kejadian hipertensi pada lansia dengan p=0,011. Lansia berjenis kelamin laki-laki

berpeluang untuk mengalami hipertensi 1,479 kali dibandingkan lansia berjenis

kelamin perempuan (tabel 5.15).

Tabel 5.15 Hubungan Jenis Kelamin terhadap Kejadian Hipertensi pada

Lansia di Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun 2010

Jenis

kelamin

Hipertensi

Total PR PR

95% CI

P-

value Ya Tidak

N % N %

Laki-laki

Perempuan

27

105

67,5

45,7

13

125

32,5

54,3

40

230 1,479 1,143-1,912 0,011

Total 132 138 270

5.4.1.4 Kegemukan

Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara kegemukan dengan

kejadian hipertensi pada lansia (p=0,027). Lansia yang gemuk berpeluang untuk

mengalami hipertensi 1,327 kali dibandingkan lansia yang tidak gemuk

(tabel 5.16).

Tabel 5.16 Hubungan Kegemukan terhadap Kejadian Hipertensi pada

Lansia di Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun 2010

Kegemukan

Hipertensi

Total PR PR

95% CI

P-

value Ya Tidak

N % N %

Ya

Tidak

50

82

58,8

44,3

35

103

41,2

55,7

85

185 1,327

1,044-

1,688 0,027

Total 132 138 270

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 79: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

60

Universitas Indonesia

5.4.1.5 Gangguan Mental/Emosional

Secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara gangguan

mental/emosional dengan kejadian hipertensi pada lansia (p=0,180). Meskipun

demikian, terlihat bahwa lansia dengan gangguan mental/emosioanal berpeluang

untuk mengalami hipertensi 1,241 kali dibandingkan lansia tanpa gangguan

mental/emosional namun nilai peluangnya (PR) tidak begitu berarti (tabel 5.17).

Tabel 5.17 Hubungan Gangguan Mental/Emosional terhadap penyakit

Hipertensi pada Lansia di Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun 2010

Gangguan

mental/

emosional

Hipertensi

Total PR PR

95% CI

P-

value Ya Tidak

N % N %

Ada

Tidak Ada

24

108

58,5

47,2

17

121

41,5

52,8

41

229 1,241 0,927-1,662 0,180

Total 110 117 270

5.4.1.6 Penyakit Diabetes Mellitus (DM)

Secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara penyakit

diabetes mellitus dengan kejadian hipertensi pada lansia (p=0,101). Namun, nilai

prevalens ratio menunjukkan bahwa lansia yang mengidap Diabets mellitus

berpeluang untuk mengalami hipertensi 1,443 kali dibandingkan lansia yang tidak

mengidap diabetes mellitus (tabel 5.18).

Tabel 5.18 Hubungan Penyakit Diabetes Mellitus terhadap Kejadian

Hipertensi pada Lansia di Posyandu Lansia Pasar Rebo Tahun 2010

Penyakit

Diabetes

Mellitus

Hipertensi

Total PR PR

95% CI

P-

value Ya Tidak

N % N %

Ada

Tidak Ada

11

121

68,8

47,6

5

133

31,3

52,4

16

254 1,443 1,012-2,057 0,101

Total 110 117 270

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 80: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

61 Universitas Indonesia

BAB 6

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan sehingga diharapkan keterbatasan

ini dapat menjadi masukan untuk penelitian selanjutnya.

6.1.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang atau cross

sectional. Desain studi ini memiliki kelemahan dalam menentukan hubungan

sebab akibat antara variabel independen dengan variabel dependen. Oleh karena

itu, pada penelitian ini hanya dapat dilihat hubungan berupa perbedaan proporsi

antara variabel independen dengan variabel dependen berdasarkan nilai p-value.

Desain penelitian ini tidak memiliki dimensi arah penyelidikan tertentu sehingga

tidak tepat digunakan untuk menganalisis hubungan kausal suatu penyakit dengan

paparannya karena ada kerancuan hubungan waktu antara pajanan dan penyakit.

Rancangan penelitian ini kemungkinan adanya bias prevalensi karena tidak

dilakukan metode sampling sehingga kurang dapat direpresentasikan pada

populasi targetnya

.

6.1.2 Variabel Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui obesevasi data sekunder berupa laporan

hasil pelayanan kesehatan maupun KMS lansia di posyandu lansia kecamatan

Pasar Rebo Jakarta Timur pada bulan Desember 2010. Data yang diperoleh

sangat terbatas sehingga variabel yang dapat digunakan untuk penelitian ini pun

sangat terbatas yaitu hanya ada 6 variabel. Pencatatan hasil pemeriksaan

kesehatan lansia di beberapa Posyandu lansia ini masih kurang baik dikarenakan

keterbatasan tenaga kader lansia. Terkadang, pengisian lembar pelaporan

dilakukan beberapa hari setelah pemeriksaan dilakukan sehingga ada

kemungkinan terjadinya bias dan missing data.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 81: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

62

Universitas Indonesia

Beberapa kader lansia juga ada yang tidak tahu cara mengisi lembar

laporan dengan benar sehingga perlu dilakukan pelatihan cara pengisian lembar

pelaporan hasil kegiatan, serta perlu adanya buku panduan untuk para kader

tentang pelayanan kesehatan lanjut usia. Awalnya peneliti ingin memperoleh

prevalensi hipertensi lansia di Posyandu lansia se-kecamatan akan tetapi, peneliti

hanya dapat menggumpulkan data 10 posyandu lansia dari total 41 posyandu

lansia yang ada dan hanya mencakup 4 kelurahan dari 5 total kelurahan yang ada

yaitu kelurahan Baru, Cijantung, Pekayon, dan Kalisari. Data dari wilayah

kelurahan Gedong tidak diperoleh sehingga tidak dapat menggambarkan kondisi

se-kecamatan Pasar Rebo. Hal ini dikarenakan di puskesmas kelurahan tidak

tersedia data lengkap yang dibutuhkan untuk keperluan penelitian ini dikarenakan

hilang ataupun tidak terisi dengan lengkap.

6.1.3 Kualitas Data

Data penelitian ini merupakan data sekunder sehingga peneliti tidak dapat

mengontrol kualitas data, berupa alat dan cara pengukuran yang digunakan.

Pengukuran tekanan darah hanya dilakukan satu kali pengukuran sehingga tidak

dapat dengan pasti menetukan diagnosis hipertensi pada lansia tersebut. Selain itu,

pengukuran tekanan darah dilakukan oleh kader atau petugas kesehatan yang

berbeda-beda di setiap posyandu lansia sehingga ada kemungkinan terjadinya bias

pada orang yang melakukan pengukuran.

Berdasarkan hasil obeservasi dilapangan, didapatkan bahwa umunya alat

pengukuran yang digunakan sudah sesuai yaitu tensimeter air raksa, stetoskop,

alat penimbang dan pengukur tinggi badan. Akan tetapi, alat-alat tersebut

sebaiknya perlu dikalibrasi kembali untuk memastikan keabsahan alat yang

digunakan mengingat beberapa alat telah dipakai bertahun-tahun sehingga ada

kemungkinan mengalami kerusakan. Beberapa Posyandu lansia ada yang

melakukan pengukuran tinggi badan tetapi ada juga yang tidak, akibatnya dalam

penentuan niai IMT terkadang hanya melihat kondisi lansia secara fisik terlihat

gemuk atau tidak sehingga ada kemungkinan terjadinya bias pada nilai IMT.

Mengingat bahwa rata-rata puskesmas di Jakarta sudah berstandar ISO maka

sebaiknya cara pengukuran pun harus dilakukan dengan tepat. Posyandu lansia

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 82: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

63

Universitas Indonesia

terkadang kurang mendapat feedback dari hasil pemeriksaan yang selalu

dilaporkan sehingga pengisian laporan pun dilakukan seadanya dan hanya sekedar

kegiatan rutin yang dilakukan. Oleh karena itu, perlunya pengolahan data

posyandu lansia yang kemudian hasilnya diberikan kembali ke masing-masing

posyandu lansia sebagai bahan evaluasi kegiatan untuk peningkatan pelayanan

yang lebih baik.

Dalam hal ini, pihak Puskesmas, baik kelurahan maupun kecamatan

bertanggungjawab dalam memantau pelaksanaan posyandu lansia. Namun, tenaga

kesehatan dimasing-masing puskesmas juga terbatas dan harus mengerjakan

program-program lainnya sehingga kegiatan posyandu lansia masih belum dapat

berjalan secara optimal. Oleh karena itu, perlu adanya upaya peningkatan kualitas

pelayanan di posyandu lansia oleh pihak puskesmas melalui upaya penggerakan

peran masyarakat dan kerjasama lintas sektor sehingga masyarakat juga turut

dilibatkan dalam pengembangan posyandu lansia yang merupakan milik

masyarakat.

6.2 Gambaran Posyandu Lansia

Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia diwujudkan melalui

program kesehatan lanjut usia yang bertujuan untuk meningkatkan derajat

kesehatan lansia agar tetap sehat, mandiri dan berdaya guna sehingga tidak

menjadi beban bagi dirinya sendiri, keluarga maupun masyarakat.

Di wilayah Kecamatan Pasar Rebo upaya kesehatan lansia sudah mulai

mendapat perhatian berupa pembentukan posyandu lansia. Posyandu lansia di

kecamatan Pasar Rebo pertama kali terbentuk tahun 1998. Pada awalnya, baru

terbentuk 1 Posyandu lansia di RW 07 Kelurahan Kalisari. Hingga tahun 2010,

posyandu lansia sudah berkembang menjadi 41 Posyandu yang tersebar di 5

kelurahan pada tahun. Kelurahan Cijantung terdiri dari 9 kelompok, Pekayon

mempunyai posyandu terbanyak yaitu 10 kelompok, Kelurahan Kalisari 6

kelompok. Kelurahan Baru 7 kelompok dan Kelurahan Gedong 9 kelompok.

. Pelaksanaan posyandu lansia dikelola oleh puskesmas dan adanya

swadana masyarakat setempat. Pelayanan kesehatannya dikhususkan bagi

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 83: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

64

Universitas Indonesia

penduduk umur 45 tahun ke atas. Hampir disetiap posyandu lansia,

pengunjungnya sebagian besar adalah kaum perempuan.

Kegiatan yang dilakukan di posyandu lansia berupa pemeriksaan

kesehatan serta adanya kegiatan tambahan berupa senam bersama dibeberapa

posyandu lansia yang dilaksanakan 1-2 kali seminggu. Kegiatan lainnya adalah

penyuluhan kesehatan dan gizi, rujukan kasus, serta lomba antara kelompok

dalam rangka memperingati Hari Lanjut Usia.

Kendala yang dihadapi pada pembinaan posyandu ini adalah keterbatasan

waktu, jumlah tenaga terlatih di puskesmas kelurahan dan di kecamatan. Hampir

di semua posyandu masih tergantung pada kehadiran petugas Puskesmas dan

mengharapkan dokter yang memeriksa/membina, sehingga bila dokter atau

petugas berhalangan datang pemeriksaan kesehatan tidak dapat dilaksanakan

secara maksimal.

Hingga saat ini cakupan pelayanan lansia di wilayah ini masih belum

mencapai target yang seharus 80% tetapi pada tahun 2010 baru mencapai 32,7%.

Cakupan terendah di kelurahan Cijantung (19,5%) dan tertinggi di kelurahan Baru

(47,9%). Rendahnya cakupan ini, menunjukkan bahwa masih banyak kaum lansia

di wilayah Pasar Rebo ini yang belum diketahui kondisi tekanan darahnya

akibatnya prevalensi hipertensi yang diperoleh terbatas hanya pada lansia yang

mendapat pelayanan kesehatan di posyandu lansia. Sosialisasi posyandu lansia

harus semakin ditingkat agar lansia memiliki kesadaran untuk memanfaatkan

posyandu lansia ini serta semakin banyak lansia yang terkontrol tekanan

darahnya.

6.3 Gambaran Hipertensi

Penelitian ini menggunakan cut off point hipertensi dari JNC VI 1998

yaitu bila tekanan darah diastoliknya (TDD) ≥ 140 mmHg dan Tekanan Darah

Sitolik ≥ 90 mmHg. Tekanan darah sistolik (TDS) berkaitan dengan tingginya

tekanan saat arteri jantung berkontraksi dan mengedarkan darah ke aorta.

Sedangkan tekanan darah diastolik (TDD) berkaitan dengan tekanan dalam arteri

saat jantung berada dalam kondisi relaksasi di antara dua denyutan.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 84: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

65

Universitas Indonesia

Hasil analisis dari 270 lansia didapatkan bahwa rata-rata TDS lansia

tersebut yaitu 131,39 mmHg (95% CI 128,98-133,79) dan TDD yaitu 83,41

mmHg (95% CI 82,17-84,66). Sedangkan, prevalensi hipertensi di posyandu

lansia wilayah tersebut didapatkan sebesar 48,9%.

Berdasarkan cut of point hipertensi yang sama, didapatkan bahwa

prevalensi ini lebih besar dibandingkan dengan prevalensi hipertensi pada orang

dewasa di Indonesia yakni sebesar 31,7% begitu juga dengan prevalensi hipertensi

di DKI Jakarta yaitu 28,8% serta di Jakarta Timur yaitu 29,4% dari laporan

Riskedas 2007. Bila dibandingkan dengan prevalensi rata-rata hipertensi pada

penduduk umur 45 tahun ke atas maka angka ini tergolong cukup tinggi (Depkes

RI, 2008).

Prevalensi ini tergolong tinggi bila dibandingkan dengan penelitian

Syahputra (2010) pada lansia di Jakarta Selatan dengan proporsi hipertensi yaitu

37,6%. Angka ini juga termasuk tinggi bila dibandingkan penelitian tim MONICA

(2000) pada populasi didaerah Mampang, Kebayoran, dan Cilandak yaitu sebesar

22,4%. Penelitian Sumiati (2005) pada lansia 60 tahun keatas di kota Depok

didapatkan prevalensi sebesar 47,1% yang masih lebih rendah dibandingkan

dengan prevalensi hipertensi di Posyandu lansia wilayah Pasar Rebo ini.

Sebaliknya, prevalensi ini tergolong rendah bila dibandingkan dengan

penelitian Tanjung (2009) pada penduduk umur 45 tahun ke atas di Posbindu

kelurahan Rangkepan Jaya Depok dengan prevalensi hipertensi sebesar 57,3%.

Begitu juga pada penelitian Kamso (2000) di 6 kota besar di Indonesia (umur 55-

85 tahun), dengan prevalensi hipertensi yang lebih besar yaitu 55%. Perbedaan

prevalensi ini kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan besar sampel serta

batasan umur yang digunakan.

Hingga saat ini belum diketahui secara pasti besar prevalensi hipertensi

pada lansia di Indonesia. Namun, diperkirakan prevalensi hipertensi di Indonesia

sekitar 20-30% (Depkes RI, 2000). Hipertensi merupakan penyakit kronis

sehingga prevalensi cukup tinggi dimasyarakat. Prevalensi yang tinggi terjadi

apabila banyak kasus lama yang belum tertangani dengan baik, ditambah lagi

jumlah kasus baru yang semakin meningkat. Selain itu, dipengaruhi juga oleh cut

off point yang digunakan serta cara pengukurannya.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 85: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

66

Universitas Indonesia

Para ahli menyatakan dapat dipastikan bahwa hipertensi merupakan faktor

risiko kardiovaskular yang jauh lebih besar pada lansia dibanding pada orang

muda. Di negara maju, risiko 10 tahunan untuk terkena kardiovaskular

mempunyai rentang mulai kurang dari 1% pada orang berusia 25-34 tahun sampai

lebih dari 30% pada orang yang berusia 65-74 tahun. Beberapa hasil penelitian

dan percobaan hipertensi pada waktu yang bersamaan didapatkan juga bahwa

terapi antihipertensi sangat bermanfaat utamanya pada lansia. Melalui terapi

hipertensi yang efektif terlihat adanya pengurangan yang sangat bermakna dalam

jumlah kejadian kardiovaskular yang fatal dan tidak fatal, penurunan morbiditas

dan mortalitas kardiovaskular sekitar 20-50% (ITB-WHO, 1996).

Akan tetapi, seringkali penangan hipertensi pada lansia masih sering

terabaikan terutama dinegara berkembang. Di beberapa negara maju saja, saat ini

tekanan darah yang terkontrol (Tekanan darah sistolik <140 mmHg, Tekanan

darah diastolik <90 mmHg) hanya terdapat pada 20% pasien hipertensi.

sebaliknya, bila tidak ada upaya pengontrolan maka dalam waktu 2-3 tahun akan

menjadi hipertensi sedang dan berat serta akan meningkatkan risiko

kardiovaskular.

Mengingat dampak yang dapat ditimbulkan oleh hipertensi maka

prevalensi hipertensi di Posyandu lansia kecamatan Pasar Rebo ini dapat

dikatakan cukup tinggi. Hal ini akan menjadi masalah kesehatan yang serius bila

tidak segera dilakukan penganggulangan dan pengendalian yang efektif terutama

melalui pengelolaan yang tepat dan segera. Diharapkan angka prevalensi ini dapat

membantu memberikan gambaran dalam merumuskan prioritas dan perencanaan

strategi penanganan hipertensi di wilayah Kecamatan Pasar Rebo.

6.4 Faktor-Faktror Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hipertensi Pada

Lansia

6.4.1 Kelurahan (Tempat Tinggal)

Berdasarkan wilayah tempat tinggal per kelurahan didapatkan bahwa

Prevalensi hipertensi tertinggi di kelurahana Pekayon sebesar 55,4% dan terendah

di kelurahan Baru sebesar 43,3%. Namun, hasil uji statistik menunjukkan tidak

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 86: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

67

Universitas Indonesia

adanya hubungan yang bermakna antara kejadian hipertensi dengan kelurahan

tempat tinggal lanisa. Hal ini dapat dikarenakan prevalensi hipertensi tidak jauh

berbeda dan rata-rata cukup tinggi di setiap kelurahan. Tingginya prevalensi

hipertensi diwilayah ini dapat berkaitan dengan kondisi pelayanan kesehatan di

posyandu lansia masing-masing kelurahan.

Berdasarkan teori Blum, diketahui bahwa pelyanan kesehatan juga dapat

mempengaruhi status kesehatan dan dapat mempengaruhi kemauan seseorang

dalam mencari pelayanan kesehatan. Kondisi posyandu lansia cukup beragam

disetiap kelurahan. Beberapa posyandu lansia ada yang kegiatan posyandunya

sudah cukup baik dengan jumlah tenaga yang memadai. Kegiatannya tidak hanya

pengobatan dan pemeriksaan kesehatan saja, tetapi juga ada kegiatan tambahan

seperti senam lansia, pengajian, serta rekreasi. Posyandu lansia seperti itu menarik

minat kaum lansia sehingga cukup banyak lansia yang rutin memeriksakan

kesehatannya sehingga penderita hipertensi juga dapat terkontrol. Namun, di

beberapa posyandu lansia lainnya masih sangat memprihatinkan. Jumlah tenaga

kader sangat terbatas. Tidak tersedia bangunan khusus untuk kegiatan posyandu,

serta kegiatannya hanya terbatas pada pemeriksaan kesehatan dan pengobatan

saja. Belum lagi, beberapa posyandu lansia ada yang dilakukan bersamaan di

posyandu balita karena terbatas tenaga dan fasilitas sehingga mempengaruhi

kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan. Selain itu, masih jarang disediakan

waktu khusus untuk kegiatan promosi atau penyuluhan kesehatan di posyandu

lansia sehingga lansia masih kurang mendapat informasi tentang pentingnya

upaya pencegahan penyakit.

Pendanaan dari masing-masing kelompok posyandu juga berbeda. Di

Kelurahan Cijantung dana berasal dari kas RT, di kelurahan Kalisari operasional

Posyandu didapat dari iuran rutin anggota dan sumbangan dari masing-masing

RT, sedangkan di Pekayon berasal dari kotak amal sukarela dari para anggota

setiap bulan. Di Gedong dana berasal dari anggaran Dewan Kelurahan yang

merupakan limpahan dari Posyandu balita karena RW tersebut tidak ada anak

usia balita. Dana dewan kelurahan tersebut bersumber pada APBD DKI Jakarta.

Pendaanan yang memadai juga mempengaruhi kualitas pelayanan

kesehatan yang dapat diberikan. Posyandu lansia merupakan pelayanan kesehata

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 87: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

68

Universitas Indonesia

milik masyarakat. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan dukungan masyarakat

sekitar dan kerjasama lintas sektor dalam menggerakan lansia untuk ikut aktif

serta membantu penyediaan dana untuk pelaksanaan kegiatan posyandu lansia

yang lebih baik sehingga upaya pengontrolan tekanan darah melalui pemeriksaan

rutin dan pengobatan dapat berjalan dengan baik dan diharapkan dapat

menunrunkan prevalensi hipertensi lansia di masing-masing wilayah.

6.4.2 Umur

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa prevalensi hipertensi tinggi

pada kelompok umur 70 tahun ke atas yaitu sebesar 65,4% bila dibandingkan

dengan umur 45-59 tahun yaitu sebesar 41,4% dan umur 60-69 tahun yaitu

60,0%. Hasil ini sesuai dengan laporan riskesdas 2007 yang menunjukkan bahwa

prevalensi hipertensi meningkat sesuai dengan pertambahan umur.

Riskesdas (2007) didapatkan prevalensi hipertensi terhadap umur yaitu

pada umur 45-54 tahun sebesar 42,4%, umur 55-64 tahun sebesar 53,7%, dan

umur 65-74 tahun sebesar 63,5% yang ditentukan berdasarkan hasil pengukuran

tekanan darah. Menurut studi kohort Farmingham, prevalensi dan tingkat

keparahan hipertensi meningkat berdasarkan umur. Pada pasien yg usianya < 60

tahun prevalensi hipertensinya sebesar 27%. Angka ini menunjukkan bahwa

prevalensi pada lansia umur 45-59 tahun di Posyandu lansia Pasar Rebo ini cukup

tinggi.

Pada penelitian ini, umur 45-59 menjadi kelompok pembanding sehingga

melalui uji statistik didapatkan p=0,022 (70 tahun keatas) dan p=0,007 (60-69

tahun) yang menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara umur dengan

kejadian hipertensi. Umur 70 tahun ke atas berpeluang 1,579 untuk mengalami

hipertensi. Hasil ini sesuai dengan fakta tanda-tanda penuaan dan munculnya

penyakit-penyakit degenaratif pada usia di atas 40 tahun.

Hasil ini juga sejalan dengan beberapa penelitian lainnya. Simanjuntak

(2001) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara umur dengan

hipertensi pada kelompok lansia di Indonesia yang diperoleh dari analisis data

SKRT 1995. Dalam penelitiannya juga didapatkan bahwa lansia berumur lebih

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 88: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

69

Universitas Indonesia

dari 66 tahun mempunyai peluang hipertensi sebesar 1,24 kali dibandingkan

dengan usia 60-66 tahun.

Hasurungan (2002) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara umur dengan hipertensi demikian juga dengan kategori umur terhadap

hipertensi. Howard et al (1996) pada penelitiannya juga memperoleh bahwa

tekanan darah secara signifikan berkorelasi dengan umur.

Herke (1995) menyatakan bahwa makin tinggi umur makin tinggi risiko

hipertensi. Secara substansi, memang ada kecenderungan peningkatan hipertensi

dengan bertambahnya umur, tetapi secara statistik sering ditemukan bahwa

hipertensi pada kategori di atas 70 tahun lebih rendah karena angka kematian

akibat komplikasi hipertensi lebih tinggi pada kelompok umur ini.

Umur diketahui memiliki pengaruh terhadap daya tahan tubuh seseorang.

Kemajuan dalam bidang ekonomi dan kesehatan menyebabkan jumlah penduduk

yang melampaui umur 60-65 meningkat pesat. Umur yang lebih tua cenderung

semakin meningkatkan risiko kejadian hipertensi. Proses penuaan menyebabkan

adanya perubahan curah jantung dan pembuluh darah sehingga tekanan darah

cenderung sedikit meningkat. Kondisi ini bila disertai faktor-faktor risiko lain

maka akan semakin berpotensi terhadap kejadian hipertensi.

Baik TDS maupun TDD meningkat sesuai dengan meningkatnya umur.

TDS meningkat secara progresif sampai umur 70-80 tahun, sedangkan TDD

meningkat sampai umur 50-60 tahun yang kemudian cenderung menetap atau

sedikit menurun. Kombinasi perubahan ini sangat mungkin mencerminkan adanya

pengakuan pembuluh darah`dan penurunan kelenturan (compliance) arteri.

Setelah memasuki usia 45 tahun, terjadi peningkatan resistensi perifer dan

aktivitas sistem saraf simpatik. Dinding arteri mengalami penebalan karena

adanya penumpukan kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah secara

perlahan menjadi menyempit dan kaku. Selain itu, pada usia lanjut sensitivitas

pengatur tekanan darah yaitu refleks baroreseptor mulai berkurang, demikian

halnya dengan peran ginjal dimana aliran darah diginjal dan laju glomerulus

menjadi semakin menurun.

Adanya kenaikan tekanan darah pada lansia memang merupakan hal yang

wajar dikarenakan proses penuaan menyebabkan terjadinya kekakuan pembuluh

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 89: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

70

Universitas Indonesia

darah. Akan tetapi, insiden hipertensi pada kelompok ini cukup tinggi sehingga

turut meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler.

Berdasarkan prevalensi dan hasil uji statistik, peneliti menyimpulkan

bahwa peluang hipertensi meningkat seiring bertambahnya usia. Setiap pralansia

ataupun lansia sangat penting untuk melakukan pemantauan tekanan darah secara

rutin di pelayanan kesehatan. Bila perlu, di setiap rumah perlu menyediakan alat

pengukur tekanan darah dan mengetahui cara penggunaannya sehingga tekanan

darah anggota keluarga dapat terpantau. Bagi responden yang mengalami

hipertensi harus segera mendapatkan penanganan yang tepat agar tidak berakibat

pada timbulnya komplikasi.

Umur merupakan salah satu faktor risiko yang yang tidak dapat diubah.

Berdasarkan perjalanan riwayat penyakit, hipertensi umumnya terjadi akibat pola

hidup yang buruk ketika muda. Oleh karena itu, sangat penting untuk mulai

mensosialisasikan pola hidup sehat sejak dini serta pengetahuan tentang hipertensi

kepada seluruh kalangan usia utamanya dewasa muda serta kaum lansia.

6.4.3 Jenis Kelamin

Pada penelitian ini didapatkan prevalensi hipertensi tinggi pada lansia

berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 67,5% dibandingkan perempuan.

Prevalensi ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian Sirait (1990)

yang mendapatkan prevalensi hipertensi pada laki-laki sebesar 16,7%.

Hasil ini sejalan dengan beberapa penelitian lainnya. Dwiretno (2007)

menyatakan bahwa sebanyak 84,4% laki-laki dan 58,3% perempuan menderita

hipertensi. Survei MONICA di Jakarta tahun 2000, mendapatkan prevalensi pada

laki-laki sebesar 20% sedangkan pada perempuan 22,7%. Sedangkan, Syahputra

(2010) mendapatkan prevalensi pada laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan

yaitu sebesar 43,8%.

Hasil uji statistik juga didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara

kejadian hipertensi terhadap jenis kelamin pada lansia. Nilai PR= 1,479, artinya

laki-laki lebih berpeluang 1,479 untuk mengalami hipertensi dibandingkan dengan

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 90: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

71

Universitas Indonesia

perempuan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh Dustan (1996) di US, Australia, dan Korea yang menemukan bahwa tekanan

darah pada laki-laki lebih tinggi dari perempuan.

Casper et al., (1996) dalam penelitiannya diperoleh bahwa rata-rata

tekanan darah sistolik dan diastolik lebih tinggi pada laki-laki daripada

perempuan.

Ryan (1993) menemukan bahwa laki-laki lebih banyak mengalami

hipertensi dari perempuan dengan OR= 2,29 untuk TDS dan OR=3,76 untuk

TDD. Diamond et al. (1997) juga menemukan bahwa perempuan dengan

moderate and severe hypertension mempunyai tekanan darah lebih rendah

dibandingkan dengan laki-laki.

Hasil penelitian ini berbeda bila dibandingkan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Wahyuni (2000) pada lansia di Ciwidey Bandung yang

menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian

hipertensi pada lansia. Selain itu, ada kecenderungan bahwa perempuan justru

cenderung lebih banyak mengalami hipertensi dengan proporsi pada perempuan

yaitu 48,7% sedangkan pada laki-laki 45,5%. Dwiretno (2007) menyatakan bahwa

sebanyak 84,4% laki-laki dan 58,3% perempuan menderita hipertensi dengan

OR=3,857.

Sebaliknya, Khaw (1995) menyatakan bahwa pada dasarnya prevalensi

hipertensi pada laki-laki sama dengan perempuan. sebelum menopause tekanan

darah perempuan umumnya lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, tetapi

setelah menopause tekanan darah perempuan menjadi lebih tinggi dibandingkan

dengan laki-laki hingga umur 70 tahun. Sebelum menopause, wanita menjadi

terlindungi terhadap penyakit kardiovaskular karena aktivitas hormon estrogen

yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL).

Kadar HDL yang tinggi merupakan pelindung untuk mencegah terjadinya

atherosklerosis. Namun, saat memasuki masa pramenopause secara perlahan

perempuan mulai kehilangan hormon estrogen yang selama ini melindungi

pembuluh darah dari kerusakan sehingga berpotensi mengalami hipertensi

disamping adanya faktor lain yang turut mempengaruhinya.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 91: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

72

Universitas Indonesia

Laporan Depkes RI tahun 2006 menyatakan bahwa pada laki-laki kejadian

hipertensi biasanya lebih banyak pada laki-laki daripada wanita. Pria di populasi

umum memiliki angka diastolik tertinggi pada tekanan darahnya dibandingkan

dengan wanita pada semua usia dan juga pria memiliki angka prevalensi tertinggi

untuk terjadinya hipertensi. Hal ini dikarenakan laki-laki memiliki gaya hidup

yang cenderung meningkatkan tekanan darah. Laki-laki memiliki resiko lebih

tinggi untuk menderita hipertensi lebih awal. Laki-laki juga mempunyai resiko

lebih besar terhadap morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler.

Bila diamati jumlah pengunjung posyandu lansia memang didominasi oleh

lansia perempuan. Laki-laki yang memasuki usia lanjut sangat jarang yang

bersedia datang rutin ke posyandu lansia untuk memeriksakan kesehatanya.

Umumnya laki-laki hanya akan memeriksakan diri ketika kondisi penyakit yang

dialami sudah parah. Sedangkan perempuan lebih banyak melaporkan adanya

gejala penyakit dan berkonsultasi dengan dokter dibanding dengan laki-laki.

Selain itu, wanita lebih aktif berperilaku sehta dan memanfaatkan pelayanan

kesehatan dibandingkan dengan pria. Selain itu, masih banyak dari kaum lansia

laki-laki yang masih tetap bekerja dan sibuk diluar rumah sehingga tidak ada

waktu untuk datang ke posyandu lansia. Adanya kebiasaan merokok juga lebih

banyak dilakukan oleh kaum laki-lakiyang juga dapat mempengaruhi kenaikan

tekanan darah.

Menurut keterangan kader, posyandu lansia mengalami keterbatasan, baik

dalam jumlah tenaga kesehatan maupun ketersediaan fasilitas gedung. Tidak

jarang, pelaksanaan posyandu lansia ini dilakukan bersamaan di posyandu balita.

Akibatnya, beberapa lansia merasa enggan untuk datang karena tidak ingin

disamakan dengan balita. Lansia biasanya baru akan datang bila sedang ingin

berobat saja. Oleh karena itu, manfaat dari posyandu lansia ini harus dapat

disosialisasikan kepada setiap lansia sehingga setiap lansia memiliki kesadaran

untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan yang telah disediakan.

Mengingat risiko hipertensi pada laki-laki lansia lebih tinggi dibandingkan

dengan perempuan, maka perlu meningkatkan kesadaran bagi lansia khususnya

kaum laki-laki untuk mau memeriksakan tekanan darah serta berobat secara rutin.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 92: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

73

Universitas Indonesia

6.4.4 Kegemukan

Prevalensi hipertensi tinggi pada lansia yang mengalami kegemukan

dibandingkan lansia yang tidak gemuk yaitu sebesar 58,8%. Penelitian Tanjung

(2009) yang mendapatkan prevalensi hipertensi pada lansia yang mengalami

kegemukan yaitu sebesar 68,9%. Retnowati (2010) juga mendapatkan bahwa

prevalensi hipertensi pada lansia yaitu sebesar 80%. Sedangkan, Yusida (2001)

yang mendapatkan prevalensi yang cukup tinggi sebesar 85,7%. Perbedaan angka

ini kemungkinan dikarenakan perbedaan besar sampel yang digunakan.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna

antara kejadian hipertensi dengan kegemukan pada lansia dengan p-value=0,027.

Hasil penelitin juga didapatkan bahwa lansia yang mengalami kegemukan

berisiko sebesar 1,327 kali untuk mengalami hipertensi dibanding yang tidal

mengalami kegemukan.

Hasil ini sesuai dengan penelitian Wirakusumah (1994) (dikutip dari

wahyuni 2000) menyatakan bahwa tekanan darah meningkat seiring

bertambahnya berat badan. Orang yang memiliki kelebihan berat badan punya

risiko lebih tinggi terhadap hipertensi. Studi Framingham menunjukkan bahwa

setiap 10% kenaikan berat badan akan meningkatkan tekanan sistolik hingga 6,5

mmHg. Hull (1993) menyatakan bahwa berat badan berhubungan dengan kejadian

hipertensi.

Wahyuni (2000) menyatakan bahwa kelebihan berat badan mempunyai

hubungan yang siginifikan terhadap kejadian hipertensi. Terdapat hubungan

positif (searah) antara indeks massa tubuh dengan Tekanan Darah Sistolik (TDS)

dan Tekanan Darah Diastolik dengan derajat hubungan 0,327 untuk sistolik dan

0,362 untuk diastolik. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa IMT berbanding

lurus dengan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik. Wahyuni

menambahkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara IMT dengan

Hipertensi hasil uji korelasi menunjukka bahwa semakin besar nilai IMT maka

tekanan darah cenderung semakin meningkat. Namun, IMT hanya berkontribusi

sebanyak 13,1% terhadap tekanan darah sisanya (86,9%) merupakan kontribusi

dari faktor lainnya. Seperti konsumsi lemak, konsumsi garam berlebih, kebiasaan

merokok dan rendahnya aktivitas serta faktor-faktor lainnya.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 93: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

74

Universitas Indonesia

Kamso (2000) juga menunjukkan bahwa ada korelasi postif antara IMT

dengan kenaikan tekanan darah. Simanjuntak (2001) menyatakan bahwa

kegemukan berhubungan dengan hipertensi dimana peluangnya sebesar 1,68 kali

dibandingkna dengan lansia yang tidak mengalami kegemukan. Hal ini sejalan

dengan penelitian di Amerika bahwa risiko untuk mengalami hipertensi pada

umur 45-75 tahun adalah 2 kali lebih sering pada lansia yang mengalami

kegemukan dibandingkan dengan yang tidak gemuk. Selain itu, Laporan

Riskesdas tahun 2007 menemukan bahwa kegemukan merupakan faktor risiko

paling utama terjadinya penyakit hipertensi di Indonesia dengan nilai OR sebesar

2,65 dan Population Attributale Risk (PAR) sebesar 99,2%. (Depkes RI, 2008).

Kelebihan berat badan berarti adanya peningkatan jumlah lemak dalam

tubuh. Peningkatan jumlah lemak tubuh pada lansia dipengaruhi asupan makanan

berlebih yang tidak diimbangi dengan aktivitas fisik. Kelebihan berat badan akan

memaksa jantung bekerja lebih keras (Moehyi, 1996). Curah jantung dan sirkulasi

volume darah penderita hipertensi yang obesitas lebih tinggi dari penderita

hipertensi yang tidak obesitas (Yundini, 2006).

Patogenesis kelebihan berat badan maupun obesitas selalu sama, yakni

kalori yang dimasukkan lebih banyak daripada yang dikeluarkan. Dengan kata

lain, orang yang mengalami overweight atau obesitas tunduk pada hukum

kekekalan energi. Kecenderungan orang menambah berat dengan dimulainya usia

pertengahan disebabkan oleh berkurangnya aktivitas tubuh. Namun, disamping

itu, kalori yang diperlukan untuk memelihara berat tubuh tertentu berkurang kira-

kira 5% dari setiap usia sepuluh tahun.

Adapun faktor-faktor endrokrin memegang peranan, hormon tiroid, serta

katekolamin semuanya diketahui mempengaruhi laju metabolisme. Dengan

demikian kelebihan salah satu dari faktor tersebut dapat menyebabkan kehilangan

berat tubuh atau peningkatan pemasukan makanan (Spector, 1993).

Pada lansia seringkali pemberian obat antihipertensi tidak efektif karena

tidak didukung oleh pengaturan pola makan dan berat badan. Ketika seseorang

pertama kali didiagnosis hipertensi oleh petugas kesehatan maka cara yang paling

efektif yang pertama kali akan dianjurkan yakni pengubahan pola makan dan

pengaturan berat bada. Penurunan berat badan dan pengaturan pola makan

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 94: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

75

Universitas Indonesia

merupakan langkah awal untuk menanggulangi hipertensi. Apabila Bindeks massa

tubuh menurun, maka volume darah total juga berkurang, hormon-hormon yang

berkaitan dengan tekanan darah berubah, dan tekanan darah dapat lebih rendah.

Pada lansia kemampuan gerak tubuh semakin menurun sehingga upaya

pengontrolan berat badan dapat dilakukan melalui pengontrolan pola makan

dengan mengurangi konsumsi kalori dan memeperbanyak konsumsi sayur dan

buah. Sedangkan bagi yang masih aktif gerak sangat dianjurkan untuk berolahraga

ringan secara teratur seperti senam lansia atau jalan santai.

6.4.5 Kesehatan mental/emosional (Stress)

Prevalensi hipertensi tinggi pada lansia dengan gangguan

mental/emosional yaitu sebesar 58,5%. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan

dengan penelitian Yusida (2001) dengan definisi yang sama yaitu sebesar 87, 7%.

Beberapa penelitian lain menggunakan definisi yang berbeda sehingga sulit untuk

dibandingkan.

Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan bermakna

antara gangguan mental/emosional yang di alami lansia dengan kejadian

hipertensi (p=0,180). Hal ini kemungkinan dikarenakan jumlah sampel yang

sedikit ataupun dikarenakan jumlah lansia yang terdeteksi dan dinyatakan

mengalami gangguan mental/emosional sangat sedikit. Terkadang beberapa

posyandu jarang dilakukan pemeriksaan ini ataupun kemungkinan cara

pemeriksaan yang kurang benar karena keterbatasan waktu dan tenaga.

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan metode wawancara 2 menit

berdasarkan beberapa pertanyaan yang terdapat di KMS lansia. pertanyaan yang

diajukan meliputi sulit tidur selama lebih dari sebulan, sering murung atau

menangis tanpa sebab, sering mengalami kuatir, ataupun bila sedang banyak

pikiran yang terjadi secara sering dan berulang. Adanya gangguan

mental/emosional ini dapat mencerminkan adanya kondisi stres yang dialami

lansia.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Retnowati (2010) yang

menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara stress dengan

hipertensi. Namun, berbeda dengan penelitin Pinzon (1999) yang menyatakan

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 95: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

76

Universitas Indonesia

bahwa penigkatan tekanan darah akan lebih besar pada individu yang memiliki

kecenderungan strees emosional yang tinggi..

Otsir (2006), menyatakan bahwa responden yang memiliki skor emosi

positif memiliki risiko tekanan darah sistolik dan diastolik yang lebih rendah pada

responden yang tidak mengkonsumsi obat antihipertensi. Sedangkan dengan

meningkatnya dari emosi postif pada responden yang mengkonsumsi obat

antihipertensi diketahui bahwa signifikan dapat menurunkan tekanan darah

diastolik tetapi tidak padatekanan darah sistolik.

Oleh karena itu disarankan bahwa untuk menormlkan tekanan darah

dengan cara program psikologis seperti terapi relaksasi atau manajemen stress

yang terbukti secara klinis menguntungkan. Ditambahkan lagi oleh Linden et al.,

tahun 1996 (dikutip dari Otsir 2006) bahwa penambahan perawatan psikososial

dapat merehabilitasi jantung, tekanan darah sistolik, dan denyut jantung secara

siginifikan dapat berkurang dibandingkan dengan responden yang hanya

menerima perawatan biasa selama 2 tahun. Linden juga menyatakan bahwa

dengan banyaknya hubungan sosial terbukti bahwa kondisi fisiologis lebih baik

termasuk dengan denyut jantung yang lebih rendah diikuti juga oleh tekanan

darah sistolik yang lebih rendah.

Hasurungan (2002) pada lansia di kota Depok menemukan bahwa ada

hubungan signifikan antara stress dengan hipertensi. Alexander (1996) juga

mengatakan bahwa adanya pengurangan stress melalui teknik Transcendental

Meditation dan relaksasi otot secara siginifikan lebih berhasil menurunkan

tekanan darah sistolik 10,4 mmHg (perempuan) dan 12,7 mmHg (laki-laki),

tekanan darah diastolik 5,9 mmHg (perempuan) dan 8,1 mmHg (laki-laki),

dibandingkan dengan perubahan gaya hidup. Oleh karena dalam teknik meditasi

dan relaksasi otot, beban mental dan pikiran akan direduksi.

Pengetahuan mengenai mekanisme stres terhadap hipertensi masih terus

berkembang. Beberapa menyatakan bahwa stres secara mendadak menunjukkan

peningkatan tekanan darah melalui peningkatan cardiac output dan denyut jantung

tanpa pengaruh resistensi perifer total. Pada keadaan stres akut didapatkan

peningkatan kadar katekolamine, kortisol, vasopresin, endorphin dan aldosteron,

yang mungkin sebagian menjelaskan mekanisme peningkatan tekanan darah.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 96: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

77

Universitas Indonesia

Kemungkinan stres yang berkepanjangan untuk menyebabkan hipertensi

merupakan akibat dari faktor tropik dari neurohormonal yang menyebabkan

hipertropi atau atherosklerosis vaskuler. Kondisi stress dapat menyebabkan

peningkatan tekanan darah, karena saat seseorang dalam kondisi stres akan terjadi

pengeluaran beberapa hormon yang akan menyebabkan penyempitan dari

pembuluh darah dan pengeluaran cairan lambung yang berlebihan, akibatnya

seseorang akan mengalami mual, muntah, mudah kenyang, nyeri lambung yang

berulang, dan nyeri kepala. Kondisi stress yang terus menerus dapat menyebabkan

komplikasi hipertensi pula.

Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf

simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila stres

menjadi berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Hal

ini secara pasti belum terbukti, akan tetapi pada binatang percobaan yang

diberikan pemaparan tehadap stres ternyata membuat binatang tersebut menjadi

hipertensi (Yundini, 2006).

Stres dapat dialami oleh siapa saja termasuk juga kaum lansia. pada lansia

kondisi stress lebih banyak disebabkan oleh beberapa faktor. Saat memasuki usia

lanjut setiap kaum lansia mengharapkan dapat menikmati masa tua yang

menyenangkan. Akan tetapi, yang sering terjadi justru sebaliknya. Adanya post

power syndrom menyebabkan hampir setiap bulannya lansia dilanda kecemasan

akibat tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga seperti

dulu dikarenakan telah memasuki masa pensiun dan tidak lagi produktif secara

finansial, terlebih bila tidak memiliki jaminan hari tua. Selain itu, bila tidak

adanya keturunan atau ditinggal mati sanak keluarga menyebabkan kaum lansia

menjadi terlantar serta mengalami beban mental.

Saat ini pun, pola masyarakat modern menyebabkan semakin hilangnya

silaturahmi dengan keluarga dimana anak-anak dan cucu-cucu memiliki

kesibukan masing-masing sehingga jarang tersedia waktu untuk berinteraksi atau

bercakap-cakap dengan kaum lansia. Anak tidak mau direpotkan oleh orang tua

dan orang tua juga jarang dilibatkan dalam penyelesaian masalah dalam keluarga

sehingga lansia merasa menjadi tidak berguna, tidak dihargai, tidak dibutuhkan

lagi atau bahkan justru merasa hanya menjadi beban keluarga. Apabila lansia

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 97: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

78

Universitas Indonesia

tersebut kurang memiliki landasan keyakinan yang kokoh terhadap ajaran agama

maka perseolan-persoalan tersebut akan sangat mudah untuk menimbulkan stres

bahkan depresi yang kemudian akan turut mempengaruhi peningkatan tekanan

darah kaum lansia.

Meskipun hasil penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan yang

signifikan antara gangguan mental/emosional terhadap hipertensi akan tetapi

berdasarkan nilai proporsi terlihat bahwa lansia yang mengalami ganggaun

mental/emosional cenderung mengalami hipertensi dibandingkan dengan yang

tidak. Penelitian ini perlu diteliti lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang lebih

memuaskan dengan menggunakan jumlah sampel yang lebih besar. Namun, tidak

ada salahnya apabila pemeriksaan kesehatan mental/emosional tetap

dipertahankan serta perlu adanya kegiatan-kegiatan rekreasi atau kerohanian bagi

para lansia. kegiatan tersebut dapat mengurangi beban mental/emosional dan

membuat pikiran yang lebih tenang sehingga tekanan darah pun dapat terkontrol.

6.4.6 Penyakit Diabetes Mellitus (DM)

Pada penelitian ini didapatkan prevalensi hipertensi tinggi pada lansia

yang mengidap diabetes mellitus yaitu sebesar 68,8%. Kartikawati (2008)

mendapatkan bahwa prevalensi hipertensi pada penderita DM sebesar 24,8%.

Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara

diabetes mellitus dengan kejadian hipertensi (p=0,101). Kemungkinan ini

disebabkan jumlah sampel yang sedikit serta sangat sedikit lansia di wilayah ini

yang terdeteksi mengalami diabetes mellitus. Penetuan diabetes mellitus di

posyandu lansia ini hanya menggunakan pemeriksaan gula dara sewaktu (GDS)

saja sehingga hasilnya masih perlu dikonfirmasi lagi. Selain itu, tidak semua

lansia memeriksakan kadar gula dalam darahnya karena harus dikenai biaya

sebesar Rp10.000 sekali pemeriksaan. Kebanyakan lansia yang rutin memeriksa

kadar gula darahnya hanya lansia yang memang telah terdiagnosis mengalami

diabetes mellitus sehingga mempengaruhi signifikansi hasil penelitian ini.

Pada mereka memiliki kadar insulin yang tinggi karena diabetes, darahnya

menjadi lebih kental sehingga menyulitkan jantung memompa darah. Akibatnya,

tekanan harus ditingkatkan agar suplai darah terjamin. Lama-kelamaan, jadilah

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 98: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

79

Universitas Indonesia

tekanan darah tinggi permanen. Dallas heart Disease Prevention Project tahun

2000, didapatkan dari 4000 responden, 1186 merupakan kasus hipertensi dan dari

responden yang hipertensi tersebut, 417 orang terdiagnosis terkena diabetes.

Kebanyak dari penderita tersebut tidak menyadari meningktnya level glukosa

darah yang menghasilkn penyakit diabetes (Khania, 2002)

Diabetes mellitus kronis dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang

termasuk kerusakan sistem kardiovaskuler. Terjadi kerusakan mikrovaskuler di

arteriol kecil, kapiler, dan venula serta kerusakan makrovaskuler terjadi di arteri

besar dan sedang. Komplikasi mikrovaskuler terjadi akibat penebalan pembuluh-

pembuluh darah kecil. Penyebab pastinya tidak diketahui, akan tetapi dapat

berkaitan langsung dengan tingginya kadar glukosa darah.

Penebalan mikrovaskuler menyebabkan iskemia dan penurunan

penyaluran oksigen dan zat gizi ke jaringan. Selain itu, hemoglobin juga

mengalami glikolisasi yang berdampak pada berkurangnya kadar ketersediaan

oksigen dalam jaringan. Bila terus berlangsung, maka akan terjadi hipoksia

kronis. Kondisi inilah yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi karena

jantung dipaksa meningkatkan curah jantung sebagai usaha untuk menyalurkan

lebih banyak oksigen ke jaringan yang iskemik.

Selain itu, pada pasien diabetes kadar glukosa dalam darah, metabolit

glukosa atau kadar asam lemak menjadi tinggi yang mengakibatkan kerusakan

pada lapisan endotelial arteri. Akibatnya, terjadi peningkatan permeabilitas sel

endotel yang mengandung lemak masuk ke dalam arteri. Kerusakan sel-sel

endotel menimbulkan reaksi imun dan inflamsi sehingga akhirnya terjadi

pengendapan trombosit, makrofag, dan jaringan fibrosis. kondisi ini perlahan-

lahan membuat dinding arteri mengalami penebalan. Akibatnya, tekanan jantung

meningkat sehingga menyebabkan hipertensi (Corwin, 2009).

Penangan penyakit DM harus dapat dilakukan dengan baik, melalui

pengontrolan kadar gula dalam darah lewat diet dan aktivitas fisik sehingga

tekanan darah juga dapat dikontrol. Bila diabaikan maka dapat meningkatkan

prevalensi hipertensi.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 99: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

80 Universitas Indonesia

BAB 7

PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang ditemukan dalam penelitian ini, penulis memperoleh

kesimpulan sebagai berikut:

1. Prevalensi hipertensi di Posyandu lansia wilayah Kecamatan Pasar Rebo pada

bulan Desember 2010 adalah sebesar 48,9%. Angka ini cukup tinggi bila

dibandingkan dengan angka prevalensi hipertensi nasional.

2. Kejadian hipertensi tinggi pada lansia yang tinggal di wilayah posyandu

lansia kelurahan Pekayon, umur 70 tahun ke atas, berjenis kelamin laki-laki,

mengalami kegemukan, mengalami gangguan mental/emosional, serta

mengidap diabetes mellitus.

3. Ada hubungan yang signifikan antara kategori umur, jenis kelamin, dan

kegemukan dengan kejadian hipertensi di posyandu lansia Pasar Rebo Jakarta

Timur tahun 2010

4. Tidak ada hubungan yang signifikan antara gangguan mental/emosional

lansia dengan kejadian hipertensi pada lansia di Posyandu lansia Pasar Rebo

tahun 2010

5. Tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit Diabets Mellitus

lansia dengan kejadian hipertensi pada lansia di Posyandu lansia Pasar Rebo

tahun 2010

7.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, saran-saran yang dapat diberikan

kepada pihak-pihak terkait yaitu:

Puskesmas & Posyandu lansia

1. Penilaian prevalensi hipertensi ditentukan berdasarkan hasil pengukuran dan

adanya faktor risiko. Oleh karena itu, disetiap posyandu lansia perlu adanya

perbaikan pencatatan hasil pemeriksaan, serta memperhatikan kelengkapan

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 100: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

81

Universitas Indonesia

data lansia yang dilayani berupa identitas diri dan faktor risko serta riwayat

penyakit lansia.

2. Posyandu lansia diharapkan dapat menjadi fasilitas kesehatan primer bagi

kaum lansia. Oleh karena itu, diperlukan peralatan kesehatan yang memadai,

serta penggantian alat yang rusak dan mengkalibrasi secara rutin alat-alat

ukur yang digunakan untuk mendapatkan hasil pemeriksaan kesehatan yang

lebih akurat.

3. Posyandu Lansia adalah milik masyarakat. Diharapkan perlunya

menyadarkan dan meningkatkan dukungan masyarakat serta menggalakan

kerjasama lintas sektor (RW dan sektor swasta) untuk pengembangan

posyandu lansia dan pengontrolan tekanan darah.

4. Prevalensi hipertensi cukup tinggi sehingga perlu di lakukan intervensi

perilaku pada lansia dan menyadarkan kepatuhan berobat.

5. Setiap lansia perlu disosialisasikan tentang penting pencegahan, risiko &

bahaya komplikasi hipertensi meningkatkan pemahaman dan kepedulian

lansia untuk mencari /memanfaatkan posyandu lansia dalam mengontrol

tekanan darahnya.

6. Kegemukan menjadi faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi

oleh karena itu, perlu dilakukan upaya penurunan bobot badan melalui

pengaktifan senam lansia disetiap posyandu lansia secara rutin.

7. Kegiatan posyandu lansia melibatkan peran kader. Namun, kader yang ada

umumnya terbatas, berpendidikan rendah dan berusia lanjut. Oleh karena itu,

sebaiknya bekerja sama dengan pihak puskesmas untuk mengadakan

pelatihan bagi kader lansia serta pemberian apresiasi bagi kader lansia yang

aktif dan telah melaksanakan tugas dengan baik sehingga dapat memotivasi

kinerja lansia dan menarik lebih banyak anggota masyarakat yang terlibat

untuk menjadi kader lansia.

Dinkes Propinsi DKI Jakarta

1. Penggunaan cut of point juga dapat mempngaruhi besar prevalensi dan

masalah hipertensi di posyandu lansia. Oleh karena itu, sebaiknya

menggunakan kriteria hipertensi menurut JNC VI yaitu TDS ≥140 mmHg

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 101: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

82

Universitas Indonesia

dan/ TDD ≥ 90 mmHg atupun kriteria pre hipertensi JNC VII. Diharapkan

dengan acuan ini dicantumkan di KMS lansia dan disosialisasikan kembali

pada setiap kader lansia agar semakin banyak lansia yang dapat ditangani

lebih dini.

2. Sebaiknya menyediakan buku-buku panduan, KMS lansia terbaru dan media-

media promosi kesehatan tentang hipertensi di setiap posyandu lansia.

Sudinkes Jakarta Timur

1. Pelaksanaan posyandu lansia dan penatalaksanaan hipertensi dilapangan

terkadang mengalami kendala karena keterbatasan tenaga kesehatan. Oleh

karena itu, sebaiknya adanya pemerataan tenaga kesehatan dan pemantauan

kinerja petugas kesehatan sehingga posyandu lansia dapat berfungsi secara

optimal.

2. Kegiatan posyandu lansia yang dilakukan oleh puskesmas perlu dilakukan

pemantaun kegiatan dilapangan agar dapat menjadi bahan evaluasi bagi pihak

puskesmas dalam mengelola posyandu lansia yang lebih baik.

Para Lansia

1. Perlunya melakukan upaya penuruan berat badan pada lansia yang mengalami

kegemukan melalui pengurangan konsumsi energi dan peningkatan aktivitas

fisik seperti olahraga ringan ataupun senam lansia

2. Sebaiknya mengajak pasangan masing-masing agar bersedia memeriksakan

tekanan darah secara rutin di posyandu lansia.

Peneliti

1. Sebaiknya meningdaklanjuti hasil penelitian ini dengan menggunakan metode

penelitian lain untuk memperoleh hasil lebih baik.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 102: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

83 Universitas Indonesia

DAFTAR REFERENSI

Arisman. (2004). Gizi dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta:

EGC.

Arjatmo T, Hendra U. (2001). Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit

FK UI.

Aryani, Atik. 2008. “faktor-faktro yang berhubungan dengan Depresi pada lansia

di desa mendong trucuk klaten. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Surakarta. [30 Mei 2011]

http://pusatpanduan.com/faktor-faktor-yang-berhubungan-dengan-

depresi-pada-lansia-di-desa

BPS. (2004). Statistik Penduduk Lanjut Usia 2004. Jakarta: Biro Pusat Statistik.

Bullock, Barbara L. (1996). Pathophysiology: Adaptations and alterations in

function fourth edition. Philadelphia, New York: Lippincott-Raven

Publishe.

Bustan, M.N. (2000). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineke

Cipta.

Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi Edisi Ketiga. Ahli bahasa,

Nike Budhi Subekti. Jakarta: Kedokteran EGC.

Darmodjo dan Tim Monica. (1991). Proyek MONICA Di Jakarta: Suatu

Penelitian Penyakit Jantung Koroner Di Komunitas. Jakarta: Medika

April, vol 17 No.4.

Darmojo B, Sutedjo, Setianto B. (1994) . Presentasi dan diskusi Survey II Monica

Jakarta 1993. Jakarta : Balitbang Depkes RI.

Depkes RI, Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. (2010). Pedoman

Pembinaan Kesehatan Lanjut Usia bagi Petugas Kesehatan cetakan

kedua edisi keempat. Jakarta: Depkes RI.

________.,Badan Penelitian dan Pengembangan kesehatan. (1995). Laporan

Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995. Jakarta: Depkes

RI

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 103: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

84

Universitas Indonesia

________. (2008). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Badan

penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI

________. (2000). Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia lanjut bagi Petugas

Kesehatan: cetakan kedua. Jakarta: Departemen Kesehatan. Direktorat

Bina Kesehatan Keluarga.

________., Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. (2006). Pedomonan

teknis Penemuan dan Penatalaksanaan Penyakit Hipertensi. Jakarta:

Depkes RI, Direktorat Jendral PP & PL.

Diamond J A, et al., (1997) Comparison of ambulatory blood pressure and

amounts of left ventricular hypertrophy in men versus women; am-J-

CARDIO.

Dinkes Propinsi DKI Jakarta. (2004). Pedoman Pembinaan Kesehatan di

Kelompok Usia Lanjut. Jakarta: Dinkes Prop. DKI Jakarta.

Guidelines Subcommittee. World Health Organization-International Society of

hypertension guidelines for the management of hypertension. J Hypertens

1999;17:151-83. [12 Juni 2011]

http://www.psychosomaticmedicine.org/cgi/reprint/68/5/727.pdf.

Hasurungan, Jefri. (2002). “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Hipertsni

Pada Lansia Di Kota Depok”. Thesis, Program Doktor Kesehatan

Masyarakat FKM UI Depok.

Herke, JOS. (1995). Faktor-Faktor Risiko Yang Dapat Dirubah Pada Penderita

Hipertensi Di RSU FK UKI Jakarta.

Hull, Alison. (1996). Penyakit Jantung, Hipertensi Dan Nutrisi. Jakarta: Bumi

Aksara.

ITB-WHO.(2001). Pengendalian Hipertensi-Laporan Komisi Pakar WHO.

Bandung: Penerbit ITB.

Kamso, Sudijanto. (1994). “Studi Epidemiologi bagi Upaya Kesehatan Usia

Lanjut di Daerah Perkotaan dan Pendesaan di Propinsi Jawa Barat”.

Program Sarjana Kesehatan Masyarakat FKM UI Depok.

_______. (2000) Nutritional Aspect of Hypertension in the Indonesian Elderly

(Acommunity study in 6 big cities) summary dissertaion, Post Draduate

Program University of Indonesia, Jakarta.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 104: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

85

Universitas Indonesia

_______. (2007) . “Determinants of blood pressure among Indonesian elderly

individuals who are of normal and over-weight: a cross sectional study in

an urban population” Jakarta: Asia Pac J Clin Nutr 7;16 (3):546-553.

Kaplan, NM. (1994). Clinical Hypertension, 6th ed. William & Wilkins

http://www.nhlbi.nih.gov/health/public/heart/hbp/hbp_low/hbp_low.pdf

[16 Mei 2011)]

Kartikawati, Anggi. (2008). “Prevalensi Dan Determinan Hipertensi Pada Pasien

Puskemas Di Jakarta Utara Tahun 2007”. Program Sarjana Kesehatan

Masyarakat FKM UI Depok.

Kearney PM, Whelton M, Reynolds K et al. Global burden of hypertension:

analysis of worldwide data. Lancet 2005; 365: 217-23.

Khania. (2002). “Faktor Risiko Hipertensi Pasien Rawat Inap RS Jantung Harapan

Kita, Jakarta Tahun 2000”. Program Sarjana Kesehatan Masyarakat FKM

UI Depok.

Khaw and Barret-Connor. (1995). Dietary Potassium and Stroke associated

mortality. A 12-Year prospective population study. New Englend.

J.Med.,316, 235-240.

Khomsan, Ali. (2004). Pangan & Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo

Persada

Kingdo, G. (1997). Penatalaksanaan Faktor-faktor risiko kardiovaskuler pada

penderita hipertensi. Medika : No.1 Tahun XXIII

Kodim, Nasrin. (1998). Himpunan Bahan Kuliah Epidemiologi Penyakit Tidak

Menular. Depok: FKM UI.

Lameshow, Stanley Jr; David W. Hosmer; Klar, Janelle; Lwanga, Stephen K.

(1997). Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Terj: Dibyo

Pramono & Hari Kusnanto. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Muktamar, Z.(1996). Hipertensi: Perubahan Hemodinamika Sistemik Dan Terapi

Hipertensi Dari Aspek Kardiovaskuler. Jakarta.

MONICA, WHO Project. (2003). World’s Largerst Study Of Heart Diesease,

Stroke, Risk Factors And Population Trends. Genewa: World Health

Organization.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 105: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

86

Universitas Indonesia

Otsir G. V., Berges, I. M., Mardikes, K. S., & Ottenbacher, K. J. (2006).

Hypertension inOlder Adults and the Role of Positive Emotions.

Psychosomatic Medicine, 68,727-733.

Purwati, Selimar, Rahayu S. (2002). Perencanaan Menu untuk Penderita Tekanan

Darah Tinggi. Jakarta: Penebar Swadaya

Ryan AS. (1993). Relationship of blood pressure to fatness aand pattering in

Mexican American Adults from Hispanic Health and Nutrition

Examinination Survey. Coll Antropol 18: 1 89-99.

Simanjuntak, Rosefin. (2001). “Beberapa faktor yang berhubungan dengan

hipertensi pada kelompok lanjut usia (lansia) di Indonesia: analisa data

SKRT 1995”. Skripsi. Program Sarjana FKM UI Depok.

Sumiati, Sri. (2005).”Hubungan Faktor Demografi Dann Perilaku Dengan

Terjadinya Hipertensi Pada Kelompok Lansia Di kota Depok”. Program

Sarjana Kesehatan Masyarakat FKM UI Depok.

Syahputra, Ridwan Febryanto. (2010) “Beberapa faktor risiko yang berhubungan

terhadap kejadian hipertensi pada lansia yang berkunjung ke balai

pengobatan umum (BPU) puskesmas mampang prapatan Jakarta Selatan

maret-april 2010”. Skrispi, Program Sarjana FKM UI Depok.

Tanjung, Nowi Dewi. (2009). “Hubungan antara gaya hidup, asupan zat gizi, pola

minum dan indeks massa tubuh dengan hipertensi pada pra lansia dan

lansia posbindu Kelurahan Rangkepan Jaya Depok tahun 2009”. Skripsi.

Program Sarjana FKM UI Depok.

WHO-ISH. (1999). Hypertension Control. Geneva: Report of WHO Expert

Commetee.

Yuliarti, Dwiretno. (2007). “Faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi

pada usia lanjut di Posbindu Kota Bogor tahun 2007” Tesis, Program

Doktor FKM UI Depok.

Yusida, Hikmah. (200)1. “Hubungan Faktor-Faktor Demografi Dan Medis dengan

Kejadian Hipertensi Pada Kelompok Lansia Di Kota Depok Tahun 2000-

2001”. Program Sarjana Kesehatan Masyarakat FKM UI Depok.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 106: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

87

Universitas Indonesia

The Sixth Report of the Joint National Committee on prevention, detection,

evaluation, and treatment of high blood pressure. NIH publication No.

98-4080 November 1997.

National High Blood Pressure education Program. (2003). Prevention, Detection,

Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. The Seventh Report

of Joint National Committee (JNC 7). U.S. Departement of Health and

Human Services. National Institutes of health. National Heart, Lung, and

Blood Institute. . [ 10 Juni 2011].

http://www.nhlbi.niv.gov/guidlines/hypertension/express.pdf

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 107: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

LAMPIRAN

HASIL UJI STATISTIK

(OUTPUT SPSS)

1. Analisis Univariat

Karakteristik Responden

1.1 Umur

1.2 Jenis Kelamin

Statistics

kategori umur lansia270

0ValidMissing

N

kategori umur lansia

169 62,6 62,6 62,675 27,8 27,8 90,426 9,6 9,6 100,0

270 100,0 100,0

45-59 tahun60-69 tahun> 70 tahunTotal

ValidFrequency Percent Valid Percent

Cumulat iv ePercent

Statistics

jenis kelamin lansia270

0ValidMissing

N

jenis kelamin lansia

40 14,8 14,8 14,8230 85,2 85,2 100,0270 100,0 100,0

laki-lakiperempuanTotal

ValidFrequency Percent Valid Percent

Cumulat iv ePercent

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 108: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

1.2 Kemandirian

1.4 Kelurahan

1.5 Kegemukan

Statistics

Tipe kemandirian lansia270

0ValidMissing

N

Tipe kemandirian lansia

269 99,6 99,6 99,61 ,4 ,4 100,0

270 100,0 100,0

CATotal

ValidFrequency Percent Valid Percent

Cumulativ ePercent

Statistics

Wilayah tempat tinggal270

0ValidMissing

N

Wilayah tempat tinggal

60 22,2 22,2 22,295 35,2 35,2 57,441 15,2 15,2 72,674 27,4 27,4 100,0

270 100,0 100,0

BaruCijantungKalisariPekayonTotal

ValidFrequency Percent Valid Percent

Cumulat iv ePercent

Statistics

Kegemukan pada lansia270

0ValidMissing

N

Kegemukan pada lansia

85 31,5 31,5 31,5185 68,5 68,5 100,0270 100,0 100,0

gemukNormalTotal

ValidFrequency Percent Valid Percent

Cumulat iv ePercent

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 109: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

1.6 Gangguan Mental/Emosional

1.7 Penyakit Diabetes Mellitus

2. Analisis Bivariat

Statistics

adanya gangguan mental atau emosional270

0ValidMissing

N

adanya gangguan mental atau emosional

229 84,8 84,8 84,841 15,2 15,2 100,0

270 100,0 100,0

tidak adaadaTotal

ValidFrequency Percent Valid Percent

Cumulat iv ePercent

Statistics

adanya peny akit DM270

0ValidMissing

N

adanya penyakit DM

254 94,1 94,1 94,116 5,9 5,9 100,0

270 100,0 100,0

0adaTotal

ValidFrequency Percent Valid Percent

Cumulativ ePercent

Case Processing Summary

270 100,0% 0 ,0% 270 100,0%kategori umur lansia* kondisi hipertensipada lansia

N Percent N Percent N PercentValid Missing Total

Cases

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 110: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

2.1 Umur 60-69 Vs 45-59

kategori umur lansia * kondisi hipertensi pada lansia Crosstabulation

70 99 169

41,4% 58,6% 100,0%

45 30 75

60,0% 40,0% 100,0%

17 9 26

65,4% 34,6% 100,0%

132 138 270

48,9% 51,1% 100,0%

Count% within kategoriumur lansiaCount% within kategoriumur lansiaCount% within kategoriumur lansiaCount% within kategoriumur lansia

45-59 tahun

60-69 tahun

> 70 tahun

kategoriumur lansia

Total

hipertensitidak

hipertensi

kondisi hipertensi padalansia

Total

Crosstab

45 30 7560,0% 40,0% 100,0%

70 99 16941,4% 58,6% 100,0%

115 129 24447,1% 52,9% 100,0%

Count% within umur_baruCount% within umur_baruCount% within umur_baru

60-69

45-59

umur_baru

Total

hipertensitidak

hipertensi

kondisi hipertensi padalansia

Total

Chi-Square Tests

7,197b 1 ,0076,470 1 ,0117,218 1 ,007

,008 ,005

7,167 1 ,007

244

Pearson Chi-SquareContinuity Correctiona

Likelihood RatioFisher's Exact TestLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases

Value dfAsy mp. Sig.

(2-sided)Exact Sig.(2-sided)

Exact Sig.(1-sided)

Computed only for a 2x2 tablea.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is35,35.

b.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 111: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

2.2 Umur ≥70 Vs 45-59

Risk Estimate

2,121 1,219 3,692

1,449 1,120 1,874

,683 ,503 ,926

244

Odds Rat io f or umur_baru (60-69 / 45-59)For cohort kondisihipertensi pada lansia= hipertensiFor cohort kondisihipertensi pada lansia= tidak hipertensiN of Valid Cases

Value Lower Upper

95% Conf idenceInterv al

Crosstab

17 9 2665,4% 34,6% 100,0%

70 99 16941,4% 58,6% 100,0%

87 108 19544,6% 55,4% 100,0%

Count% within umur_baru1Count% within umur_baru1Count% within umur_baru1

>70

45-59

umur_baru1

Total

hipertensitidak

hipertensi

kondisi hipertensi padalansia

Total

Chi-Square Tests

5,237b 1 ,0224,312 1 ,0385,237 1 ,022

,033 ,019

5,210 1 ,022

195

Pearson Chi-SquareContinuity Correctiona

Likelihood RatioFisher's Exact TestLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases

Value dfAsy mp. Sig.

(2-sided)Exact Sig.(2-sided)

Exact Sig.(1-sided)

Computed only for a 2x2 tablea.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is11,60.

b.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 112: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

2.3 Jenis Kelamin Terhadap Hipertensi

Risk Estimate

2,671 1,126 6,338

1,579 1,132 2,201

,591 ,343 1,017

195

Odds Rat io f or umur_baru1 (>70 / 45-59)For cohort kondisihipertensi pada lansia= hipertensiFor cohort kondisihipertensi pada lansia= tidak hipertensiN of Valid Cases

Value Lower Upper

95% Conf idenceInterv al

Case Processing Summary

270 100,0% 0 ,0% 270 100,0%Jenis Kelamin lansia* kondisi hipertensipada lansia

N Percent N Percent N PercentValid Missing Total

Cases

Jenis Kelamin lansia * kondisi hipertensi pada lansia Crosstabulation

27 13 40

67,5% 32,5% 100,0%

105 125 230

45,7% 54,3% 100,0%

132 138 270

48,9% 51,1% 100,0%

Count% within JenisKelamin lansiaCount% within JenisKelamin lansiaCount% within JenisKelamin lansia

Laki-laki

Perempuan

Jenis Kelaminlansia

Total

hipertensitidak

hipertensi

kondisi hipertensi padalansia

Total

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 113: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

2.4 Kegemukan Terhadap Hipertensi

Chi-Square Tests

6,509b 1 ,0115,664 1 ,0176,613 1 ,010

,016 ,008

6,485 1 ,011

270

Pearson Chi-SquareContinuity Correctiona

Likelihood RatioFisher's Exact TestLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases

Value dfAsy mp. Sig.

(2-sided)Exact Sig.(2-sided)

Exact Sig.(1-sided)

Computed only for a 2x2 tablea.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is19,56.

b.

Risk Estimate

2,473 1,215 5,033

1,479 1,143 1,912

,598 ,377 ,949

270

Odds Ratio f or JenisKelamin lansia(Laki-laki / Perempuan)For cohort kondisihipertensi pada lansia =hipertensiFor cohort kondisihipertensi pada lansia =tidak hipertensiN of Valid Cases

Value Lower Upper

95% Conf idenceInterv al

Kegemukan pada lansia * kondisi hipertensi pada lansia Crosstabulation

50 35 85

58,8% 41,2% 100,0%

82 103 185

44,3% 55,7% 100,0%

132 138 270

48,9% 51,1% 100,0%

Count% within Kegemukanpada lansiaCount% within Kegemukanpada lansiaCount% within Kegemukanpada lansia

gemuk

Normal

Kegemukanpada lansia

Total

hipertensitidak

hipertensi

kondisi hipertensi padalansia

Total

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 114: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

2.5 Gangguan Mental/Emosional Terhadap Hipertensi

Chi-Square Tests

4,900b 1 ,0274,337 1 ,0374,917 1 ,027

,036 ,019

4,882 1 ,027

270

Pearson Chi-SquareContinuity Correctiona

Likelihood RatioFisher's Exact TestLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases

Value dfAsy mp. Sig.

(2-sided)Exact Sig.(2-sided)

Exact Sig.(1-sided)

Computed only for a 2x2 tablea.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is41,56.

b.

Risk Estimate

1,794 1,066 3,019

1,327 1,044 1,688

,740 ,556 ,983

270

Odds Rat io f orKegemukan pada lansia(gemuk / Normal)For cohort kondisihipertensi pada lansia =hipertensiFor cohort kondisihipertensi pada lansia =tidak hipertensiN of Valid Cases

Value Lower Upper

95% Conf idenceInterv al

Case Processing Summary

270 100,0% 0 ,0% 270 100,0%

Status KesehatanMental/emosional *kondisi hipertensipada lansia

N Percent N Percent N PercentValid Missing Total

Cases

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 115: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

Status Kesehatan Mental /emosional * kondisi hipertensi pada lansia Crosstabulation

24 17 41

58,5% 41,5% 100,0%

108 121 229

47,2% 52,8% 100,0%

132 138 270

48,9% 51,1% 100,0%

Count% within StatusKesehatanMental/emosionalCount% within StatusKesehatanMental/emosionalCount% within StatusKesehatanMental/emosional

ada gangguan

Tidak Ada Gangguan

Status KesehatanMental/emosional

Total

hipertensitidak

hipertensi

kondisi hipertensi padalansia

Total

Chi-Square Tests

1,801b 1 ,1801,374 1 ,2411,806 1 ,179

,235 ,120

1,794 1 ,180

270

Pearson Chi-SquareContinuity Correctiona

Likelihood RatioFisher's Exact TestLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases

Value dfAsy mp. Sig.

(2-sided)Exact Sig.(2-sided)

Exact Sig.(1-sided)

Computed only for a 2x2 tablea.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is20,04.

b.

Risk Estimate

1,582 ,807 3,101

1,241 ,927 1,662

,785 ,535 1,152

270

Odds Rat io f or StatusKesehatanMental/emosional (adagangguan / Tidak AdaGangguan)For cohort kondisihipertensi pada lansia= hipertensiFor cohort kondisihipertensi pada lansia= tidak hipertensiN of Valid Cases

Value Lower Upper

95% Conf idenceInterv al

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 116: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

2.6 Penyakit Diabetes Mellitus Terhadap Hipertensi

Case Processing Summary

270 100,0% 0 ,0% 270 100,0%Riwayat Penyakit DMLansia * kondisihipertensi pada lansia

N Percent N Percent N PercentValid Missing Total

Cases

Riwayat Penyakit DM Lansia * kondisi hipertensi pada lansia Crosstabulation

11 5 16

68,8% 31,3% 100,0%

121 133 254

47,6% 52,4% 100,0%

132 138 270

48,9% 51,1% 100,0%

Count% within RiwayatPenyakit DM LansiaCount% within RiwayatPenyakit DM LansiaCount% within RiwayatPenyakit DM Lansia

Ada DM

Tidak Ada DM

Riwayat Peny akitDM Lansia

Total

hipertensitidak

hipertensi

kondisi hipertensi padalansia

Total

Chi-Square Tests

2,685b 1 ,1011,906 1 ,1672,740 1 ,098

,125 ,083

2,675 1 ,102

270

Pearson Chi-SquareContinuity Correctiona

Likelihood RatioFisher's Exact TestLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases

Value dfAsy mp. Sig.

(2-sided)Exact Sig.(2-sided)

Exact Sig.(1-sided)

Computed only for a 2x2 tablea.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is7,82.

b.

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 117: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

2.7tempat Tinggal

*Kelurahan Baru Menjadi Kelompok Pembanding

(Prevalensi Hipertensi Terendah)

Kel Cijantung Vs Kel Baru

Risk Estimate

2,418 ,817 7,160

1,443 1,012 2,057

,597 ,286 1,246

270

Odds Ratio f or RiwayatPenyakit DM Lansia (AdaDM / Tidak Ada DM)For cohort kondisihipertensi pada lansia =hipertensiFor cohort kondisihipertensi pada lansia =tidak hipertensiN of Valid Cases

Value Lower Upper

95% Conf idenceInterv al

Crosstab

47 48 9549,5% 50,5% 100,0%

26 34 6043,3% 56,7% 100,0%

73 82 15547,1% 52,9% 100,0%

Count% within kel1Count% within kel1Count% within kel1

Cijantung

Baru

kel1

Total

hipertensitidak

hipertensi

kondisi hipertensi padalansia

Total

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 118: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

Kel. Kalisari Vs Kel. Baru

Chi-Square Tests

,556b 1 ,456,337 1 ,561,558 1 ,455

,510 ,281

,553 1 ,457

155

Pearson Chi-SquareContinuity Correctiona

Likelihood RatioFisher's Exact TestLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases

Value dfAsy mp. Sig.

(2-sided)Exact Sig.(2-sided)

Exact Sig.(1-sided)

Computed only for a 2x2 tablea.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is28,26.

b.

Risk Estimate

1,280 ,668 2,453

1,142 ,802 1,626

,892 ,662 1,201

155

Odds Rat io f or kel1(Cijantung / Baru)For cohort kondisihipertensi pada lansia= hipertensiFor cohort kondisihipertensi pada lansia= tidak hipertensiN of Valid Cases

Value Lower Upper

95% Conf idenceInterv al

Crosstab

18 23 4143,9% 56,1% 100,0%

26 34 6043,3% 56,7% 100,0%

44 57 10143,6% 56,4% 100,0%

Count% within kel2Count% within kel2Count% within kel2

Kalisari

Baru

kel2

Total

hipertensitidak

hipertensi

kondisi hipertensi padalansia

Total

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 119: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

Kel. Pekayon Vs Kel. Baru

Chi-Square Tests

,003b 1 ,955,000 1 1,000,003 1 ,955

1,000 ,558

,003 1 ,955

101

Pearson Chi-SquareContinuity Correctiona

Likelihood RatioFisher's Exact TestLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases

Value dfAsy mp. Sig.

(2-sided)Exact Sig.(2-sided)

Exact Sig.(1-sided)

Computed only for a 2x2 tablea.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is17,86.

b.

Risk Estimate

1,023 ,460 2,279

1,013 ,645 1,591

,990 ,698 1,404

101

Odds Rat io f or kel2(Kalisari / Baru)For cohort kondisihipertensi pada lansia= hipertensiFor cohort kondisihipertensi pada lansia= tidak hipertensiN of Valid Cases

Value Lower Upper

95% Conf idenceInterv al

Kel3 * kondisi hipertensi pada lansia Crosstabulation

41 33 7455,4% 44,6% 100,0%

26 34 6043,3% 56,7% 100,0%

67 67 13450,0% 50,0% 100,0%

Count% within Kel3Count% within Kel3Count% within Kel3

,00

1,00

Kel3

Total

hipertensitidak

hipertensi

kondisi hipertensi padalansia

Total

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 120: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

Chi-Square Tests

1,932b 1 ,1651,479 1 ,2241,936 1 ,164

,224 ,112

1,917 1 ,166

134

Pearson Chi-SquareContinuity Correctiona

Likelihood RatioFisher's Exact TestLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases

Value dfAsy mp. Sig.

(2-sided)Exact Sig.(2-sided)

Exact Sig.(1-sided)

Computed only for a 2x2 tablea.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is30,00.

b.

Risk Estimate

1,625 ,818 3,227

1,279 ,897 1,822

,787 ,562 1,102

134

Odds Rat io f or Kel3(,00 / 1,00)For cohort kondisihipertensi pada lansia= hipertensiFor cohort kondisihipertensi pada lansia= tidak hipertensiN of Valid Cases

Value Lower Upper

95% Conf idenceInterv al

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 121: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

Format 1

PENCATATAN HASIL KEGIIATAN KESEHTAN KELOMPOK USIA LANJUT................................

KECAMATAN............................... PUSKESMAS :..................................

BULAN :.................................... TAHUN :................................

JUMLAH SASARN PRA USIA LANJUT/USIA LANJUT DI WILAYAH KELOMPOK :.........../.............

JUMLAH PRA USIA LANJUT/USIA LANJUT ANGGOTA KELOMPOK USIA LANJUT :...................

No. Urut

No. KMS

Nama Kunjungan Umur Kegiatan Sehari-hari

Usia lanjut dengan kelainan Preventif

45-59 60-69 ≥70 Kemandirian Ggg mental emosi

IMT Tek darah

Anemia DM Ggg Gin- jal

Peny lain

Rujuk Peng-obatan

TD GD COL

Baru Lama A B C L K T R Ya Tdk

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

Catatan: Kolom 4-5 Kunjungan berlaku untuk 1 tahun berjalan

Jakarta, .......20.....

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011

Page 122: S-Pdf-Femmy Imelia Pical).pdf

Evaluasi dan determinan..., Femmy Imelia Pical, FKM UI, 2011