Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

35
Post Traumatic Stress Disorder Disusun Oleh: Kelompok 1: Louis Isabell Elim 112012204 Yenti Puspita Sari 112012092 Vindy 112013213 Ardian Pratama 112013216 Natalia Setiawan 112013219 Gresia Kristi 112013237 Gituen Miracline 112013238 KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 1

description

referat ptsd

Transcript of Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

Page 1: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

Post Traumatic Stress Disorder

Disusun Oleh:

Kelompok 1:

Louis Isabell Elim 112012204

Yenti Puspita Sari 112012092

Vindy 112013213

Ardian Pratama 112013216

Natalia Setiawan 112013219

Gresia Kristi 112013237

Gituen Miracline 112013238

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT – CIBUBUR

JAKARTA

2014

1

Page 2: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan stress pasca trauma adalah suatu gangguan kecemasan yang timbul setelah

mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa trauma,

seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan yang serius.

Peristiwa trauma ini menyebabkan seseorang memberikan reaksi dalam keadaan ketakutan,

dan tak berdaya. Gejala-gejala umum tersebut antara lain kenangan yang muncul kembali

dalam ingatan dan berulang-ulang, sangat mendalam dan mengganggu akibat peristiwa

tersebut, berusaha menghindari keadaan-keadaan yang mengingatkan seseorang pada

peristiwa tersebut, sehingga secara emosional perasaan menjadi cemas, depresif, dan suka

menyendiri, sulit tidur dan konsentrasi, ketakutan atas keselamatan pribadi. Bila gejala-gejala

gangguan stres pasca trauma menjadi parah, gangguan tersebut menimbulkan penurunan

aktivitas atau kegiatan sehari - hari.

Resiko seseorang akan mengalami gangguan stres pasca trauma meningkat oleh karena

banyak faktor, termasuk intensitas beratnya peristiwa yang dialami, sejauh mana seseorang

terlibat di dalamnya, dan seberapa hebatnya orang tersebut bereaksi. Sementara itu penyebab

sebenarnya dari gangguan stres pasca trauma belum dapat dipastikan meski banyak teori yang

berkembang. Seseorang akan beresiko tinggi menderita gangguan stres pasca trauma jika

mempunyai riwayat keluarga depresi. Kemungkinan lain adalah dilepaskannya hormon-

hormon tertentu oleh dan zat-zat kimia lainnya sebagai respons terhadap rasa takut. Hormon-

hormon dan zat-zat kimia ini juga akan membangkitkan kenangan-kenangan tersebut. Orang-

orang dengan ketidakseimbangan zat kimia tertentu dalam otaknya mungkin resiko terjadinya

gangguan stres pasca trauma akan meningkat.

Gangguan stres pasca trauma sebenarnya dapat diterapi sehingga seseorang memiliki kualitas

hidup yang lebih baik. Maka dari itu gangguan stres pasca trauma penting untuk diketahui

sehingga sebagai klinisi dapat membantu penyembuhan pasien.

2

Page 3: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Epidemiologi

Pada tahun 1980, American psychiatric association memperkenalkan gangguan jiwa yang

disebut gangguan stress pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD) dengan kriteria

diagnosis yang tercantum dalam DSM III. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan

menunjukkan bahwa kasus gangguan stress pasca trauma merupakan salah satu kasus psikiatri

yang cukup sering ditemui. Kasus ini dijumpai pada 10,3% untuk pria dan 18,3% untuk

wanita1.

Di Amerika Serikat, 60% laki-laki dan 50% wanita mengalami setidaknya sekali masalah

traumatik selama hidupnya. Dari mereka, 8% laki-laki dan 20% wanita bisa mengalami

PTSD. Kasus pemerkosaan lebih mungkin menjadi PTSD daripada kasus traumatic lainnya,

karena kasus pemerkosaan perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki (9% versus 1%),

mungkin ini yang menyebabkan kejadian PTSD lebih banyak pada wanita.

88% laki-laki dan 79% wanita yang mengalami PTSD juga memiliki riwayat gangguan

psikiatrik lainnya, hampir setengahnya menderita depresi mayor, 16% menderita gangguan

cemas selain PTSD, dan 28% memiliki riwayat fobia social. Dan para penderita PTSD lebih

beresiko untuk memiliki gaya hidup tidak sehat seperti penyalahgunaan alcohol yang dialami

52% laki-laki dan 28% perempuan penderita PTSD, sedangkan penggunaan NAPZA terlihat

pada 35% laki-laki dan 27% perempuan penderita PTSD2.

Etiologi

Faktor Predisposisi

Terdapat gangguan stress pasca trauma didahului adanya stressor berat yang melampaui

kapasitas hidup seseorang, serta menimbulkan penderitaan bagi setiap orang. Beberapa factor

predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami gangguan stress pasca trauma adalah:

1. Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu

2. Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual

3. Kecenderungan untuk mudah menjadi kuatir

4. Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau antisosial

5. Punya karakter yang introvert dan memiliki gangguan dalam adaptasi

6. Adanya kebutuhan emosional secara bermakna

3

Page 4: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

Tipe kejadian yang cenderung akan meningkatkan angka kejadian gangguan stress pasca

trauma dapat dikategorikam menjadi:

1. Mereka yang mengalami tindakan kekerasan interpersonal

2. Mereka yang mengalami kecelakaan atau bencana alam yang mengancam nyawa, baik

berupa kejadian yang alamiah atau kejadian yang diakibatkan manusia

3. Trauma berulang dan bersifat kronik

Faktor Kejadian

Berdasarkan DSM IV, ada beberapa jenis kejadian yang potensial mungkin akan

meningkatkan angka kejadian gangguan stress pasca trauma, yaitu:

1. Kekerasan personal(seksual, fisik, perampokan)

2. Penculikan

3. Penyanderaan

4. Serangan militer

5. Serangan teroris

6. Penyiksaan

7. Ditahan dalam penjara sebagai tahanan politik atau tahanan perang

8. Bencana alam baik yang alamiah maupun dibuat oleh manusia

9. Kecelakaan lalu lintas yang berat

10. Didiagnosis mengalami penyakit berat yang mengancam kehidupan

Pada umumnya individu yang mempunyai karakter yang ekstrovertyang berpikir lebih positif

lebih jarang mengalami masalah psikologis seperti ini. Karakteristik dari peristiwa traumatic

yang dialami juga akan mempengaruhi jenis reaksi psikologis sperti ini. Karakteristik dari

peristiwatraumatik yang dialami juga akan mempengaruhi jenis reaksi psikologis yang akan

terjadi, seperti:

1. Durasi dan intensitas dari stressor yang dialami

2. Derjatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap kehidupan seseorang

3. Berat ringan kehilangan yang dialami

4. Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa traumatic tersebut,

misalnya pakah ia juga menyelamatkan orang lain pada saat kejadian atau hanya

menyelamatkan diri sendiri1

4

Page 5: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

Factor psikodinamik

Model psikoanalitik gangguan ini menghipotesiskan bahwa trauma mengaktifkan kembali

konflik psikologis yang sebelumnya tenang, tapi tidak terselesaikan. Penghidupan kembali

trauma masa kanak-kanak menimbulkan regresi dan menggunaan mekanisme defence represi,

penyangkalan, reaction formation, dan undoing. Konflik yang sebelumnya telah ada secara

simbolis dibangkitkan kembali dengan peristiwa traumatic yang baru. Ego menghidupkan

kembali dan dengan demikian mencoba menguasai dan mengurangi anxietas.

Factor perilaku-kognitif

Model perilaku PTSD menekankan adanya dua fase di dalam perkembangannya. Pertama,

trauma (stimulus yang tidak dipelajari), yang menimbulkan respons takut, dipasangkan,

melalui pembelajaran klasik, dengan stimulus yang dipelajari.kedua, melalui pembelajaran

instrumental, stimulus yang dipelajari mencetuskan respons takut yang bebas dari stimulus

asal yang tidak dipelajari, dan orang mengembangkan pola penghindaran terhadap stimulus

yang dipelajari maupun stimulus yang tidak dipelajari.3

Faktor biologis

1. Faktor genetic

Para peneliti meyakini bahwa polimorfisme pada gen promotor serotonin transporter (5-

HTTLPR) bisa mempengaruhi terjadinya depresi dan PTSD. Sjoberg membuktikan bahwa

karrier homozigot alel pendek dari 5-HTTLPR lebih sulit untuk mengendalikan respons

mereka terhadap stresor lingkungan dibandingkan dengan orang yang memiliki alel panjang

pada gen yang sama. Pada perempuan yang memliki alel pendek homozigot lebih mudah

terpengaruh oleh kejadian traumatik yang melibatkan pihak keluarga, sedangkan laki-laki

lebih mudah terpengaruh pada keadaan lingkungan tempat tinggal.4

2. Sistem noradrenergic

Para tentara dengan gejala mirip PTSD menunjukkan kegugupan, peningkatan tekanan darah

dan denyut jantung, palpitasi, berkeringat, dan tremor. Yaitu gejala yang berkaitan obat

adrenergic. Sejumlah studi menemukan peningkatan konsentrasi epinefrin urin 24 jam pada

veteran dengan PTSD dan meningkatnya konsentrasi katekolamin dengan anak perempuan

yang mengalamipenyiksaan seksual. Lebih jauh lagi, reseptor beta adrenergic limfosit dan

alfa2 tromobosit mengalami downregulation pada PTSD, kemungkinan sebagai respons

5

Page 6: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

terhadap konsentrasi katekolamin yang meningkat kronis. Temuan ini adalah bukti kuat

perubahan fungsi system noradrenergic pada PTSD.

3. Sistem opioid

Abnormalitas system opioid dikesankan dengan adanya penurunan konsentrasi beta-endorfin

plasma pada PTSD. Veteran perang dengan PTSD menunjukkan respons analgesic yang

reversible dengan nalokson untuk stimulus yang berkaitan dengan perang sehingga

meningkatkan kemungkinnan hiperregulasi system opioid yang serupa dengan hiperregulasi

pada system HPA.

4. Factor pelepas kortikotropin dan aksis hipotalamus

Beberapa faktor mengacu pada disfungsi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA). Sejumlah studi

menunjukkan konsentrasi kortisol bebas yang rendah di dalam plasma dan urin pada PTSD.

Terdapat peningkatan resptor glukokortikoid pada limfosit dan tantangan denagn faktor

pelepas kortikotropin (CRF) eksogen menunjukkan respons hormon adrenokortikotropin

(ACTH) yang tumpul. Lebih lagi, supresi kortisol melalui tantangan dengan dosis rendah

dexametason meningkat pada PTSD. Hal ini menunjukkan hiperregulasi aksis HPA pada

PTSD.

Sejumlah studi juga telah menemukan terjadinya hipersupresi kortisol pada pasien yang

tepajan trauma tetapi dan mengalami PTSD dibandngkan pasien yang terpajan trauma dan

mengalami PTSD, sehingga mungkin hipersupresi ini secara spesifik berkaitan dengan PTSD

bukan hanya dengan trauma. Secara keseluruhan, hiperregulasi aksis HPA berbeda dengan

aktivitas neuroendokrinyang biasanya terlihat selama stres dan pada gangguan lain selain

depresi.3

Gambaran Klinis

Gambaran klinis utama dari gangguan stress pascatraumatik adalah pengalaman ulang

peristiwa yang menyakitkan, suatu pola menghindar dan kekuatan emosional dan kesadaran

yang berlebihan yang hampir tetap. Gangguan mungkin tidak berkembang sampai berbulan-

bulan atau bertahun- tahun setelah peristiwa. Pemeriksaan status mental seringkali

mengungkapkan rasa bersalah, penolakan dan penghinaan. Pasien mungkin juga

menggambarkan keadaan disosiatif dan serangan panik. Ilusi dan halusinasi mungkin

ditemukan. Tes kognitif mungkin mengungkapkan bahwa pasien memiliki ganguan daya ingat

6

Page 7: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

dan perhatian. Gejala penyerta dapat berupa agresi, kekerasan. Pengendalian impuls yang

buruk dan depresi. Berbagai cirri anti sosial mungkin ditemukan, termasuk penyalah gunaan

dan ketergantungan alcohol dan obat, serangan panic, agresi kekerasan dan gangguan daya

ingat serta gangguan memusatkan perhatian(konsentrasi).3

Gejala gangguan stres pasca-trauma umumnya dapat di kelompokkan menjadi tiga jenis:

kenangan mengganggu (intrusive memories), menghindari dan mati rasa, dan kecemasan atau

peningkatan gairah atau emosi (hyperarousal).

Gejala dalam kelompok kenangan mengganggu (intrusive memories) antara lain:

Kilas balik (flash back), atau hidupnya kembali peristiwa traumatis selama

beberapa menit atau bahkan berhari-hari

Mengalami mimpi buruk tentang peristiwa traumatik

Gejala menghindari (avoidance) dan mati rasa (numbing) emosional dapat mencakup:

Mencoba untuk menghindari dari berpikir atau berbicara tentang peristiwa

traumatik

Merasa mati rasa emosional

Menghindari aktivitas yang dulu Anda pernah sukai

Keputusasaan tentang masa depan

Gangguan memori

Kesulitan berkonsentrasi

Kesulitan mempertahankan hubungan dekat

Gejala kecemasan dan gairah emosional peningkatan meliputi:

Lekas marah atau marah marah

Rasa bersalah atau malu yang sangat

Perilaku merusak diri sendiri, seperti minum alkohol terlalu banyak

Sulit tidur

Menjadi mudah kaget atau ketakutan

Mendengar atau melihat hal yang tidak ada 1

Table 01. Common Signs and Symptoms After Exposure to a Traumatic Event.5

7

Page 8: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

Physical Cognitive/Mental Emotional Behavioral

Chills Difficulty

breathing Dizziness Elevated

blood pressure

Fainting Fatigue Grinding

teeth Headaches Muscle

tremors Nausea Pain Profuse

sweating Rapid heart

rate Twitches Weakness

Blaming others Change in alertness Confusion Hypervigilance Increased or

decreased awareness of surroundings

Intrusive images Memory problems Nightmares Poor abstract

thinking Poor attention Poor concentration Poor decision

making Poor problem

solving

Agitation Anxiety Apprehension Denial Depression Emotional shock Fear Feeling

overwhelmed Grief Guilt Inappropriate

emotional response

Irritability Loss of

emotional control

Increased alcohol consumption

Antisocial acts Change in activity Change in

communication Change in sexual

functioning Change in speech

pattern Emotional

outbursts Inability to rest Change in

appetite Pacing Startle reflex

intensified Suspiciousness Social withdrawal

Modified from the Department of Veterans Affairs and the Department of Defense.

Kriteria Diagnostik

F43.1 Gangguan stres Pasca Trauma

Keadaan ini timbul sebagai respons yang berkepanjangan dan/atau tertunda terhadap kejadian

atau situasi yang menimbulkan stress (baik singkat maupun berkepanjangan) dari yang

bersifat katastrofik dan menakutkan, yang cenderung menyebabkan distress pada hampir

setiap orang (misalnya musibah yang alamiah maupun yang dibuat manusia sendiri,

perperangan, kecelakaan berat, menyaksikan kematian yang mengerikan, menjadi korban

penyiksaan, terorisme, perkosaan dan kejahatan-kejahatan lain).6

Factor predisposisi seperti ciri kepribadian (misalnya kompulsif, astenik) atau adanya riwayat

gangguan neurotic sebelumnya, dapat menurunkan ambang kerentanan untuk terjadinya

sindrom ini atau memperberat keadaanya, akan tetapi bukan merupakan hal yang menentukan

untuk terjadinya gangguan ini.6

8

Page 9: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

Gejala khas mencakup episode-episode di mana bayangan-bayangan kejadian traumatic

tersebut terulang kembali (flash backs) atau dalam mimpi, terjadi dengan latar belakang yang

menetap berupa kondisi perasaan ‘beku’ dan penumpulan emmosi, menjauhi orang lain, tidak

responsive terhadap lingkungannya, anhedonia, menghindari aktivitas dan sitausi yang

berkaitan dengan traumanya. Lazimnya ada ketakutan dan penghindaran dari hal-hal yang

mengingatkannya kembali pada trauma yang dialami. Meskipun jarang, kadang-kadang bisa

terjadi reaksi yang dramatik, mendadak ketakutan, panik atau agresif, yang dicetuskan oleh

stimulus yang mendadak mengingatkannya kembali pada trauma yang dialaminya serta reaksi

asli terhadap trauma itu.6

Biasanya terjadi keadaan bangkitan otonomik yang berlebih dengan kenekatan yang berlebih,

mudah kaget, tertegun dan insomnia. Anxietas dan depresi lazimnya diserta dengan gejala-

gejala tersebut diatas, dan ide mengenai bunuh diri juga tidak jarang. Penggunaan alkohol dan

obat-obatan secara berlebihan dapat merupakan faktor komplikasi lain.6

Onset terjadi setelah terjadi trauma, dengan masa laten yang berkisar antara beberapa minggu

sampai beberapa bulan (jarang sampai melampaui 6 bulan). Perjalanaan keadaan ini

berfluktuasi dan pada kebanyakan kasus dapat diharapkan kesembuhan. Pada sejumlah kecil

pasien, perjalanan penyakitnya dapat menjadi kronis sampai beberapa tahun dan terjadi

transisi menuju suatu perubahan kepribadian yang berlangsung lama (F 62.0).6

Kriteria diagnosis dari gangguan stress pasca trauma berdasarkan PPDGJ III (F43.1)

• Gangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecuali ada bukti bahwa timbulnya

dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa traumatik yang luar biasa berat. Kemungkinan

diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu antara terjadinya peristiwa

dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asalkan manifestasi klinisnya khas dan tidak

didapat alternatif lain yang memungkinkan dari gangguan lain (misalnya sebagai suatu

gangguan anxietas atau gangguan obsesif kompulsif atau episode depresif).1,6

• Sebagai tambahan, bukti adanya trauma, harus selalu ada dalam ingatan, bayangan atau

mimpi mengenai peristiwa tersebut secara beulang-ulang. Sering kali terjadi penarikan diri

secara emosional, penumpulan perasaan, dan penghindaran terhadap stimulus yang

mungkin mengingatkan kembali akan traumanya, akan tetapi hal ini tidak esensial untuk

diagnosis. 1,6

9

Page 10: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

• Gangguan otonomik, gangguan suasana perasaan dan kelainan perilaku semuanya

mempengaruhi diagnosis tersebut tetapi bukan merupakan hal yang terlalu penting. 1,6

• Suatu sekuele kronis terlambat setelah suatu stres yang luar biasa, misalnya yang timbul

bebrapa puluh tahun setelah trauma, harus dikasifikasikan dalam kategori F62.0

(perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa) 1,6

Kriteria diagnosis dari gangguan Stres Pasca Trauma berdasarkan DSM IV adalah

sebagai berikut:1

1. individu pernah terpapar dengan peristiwa traumatik berupa;

a. individu mengalami, menjadi saksi mata atau berhadapan langsung dengan

satu kejadian atau beberapa kejadian yang mengerikan atau mengancam

kehidupan atau kecelakaan yang serius, atau ancaman terhadap integritas fisik

diri sendiri atau orang lain

b. respons dari individu yang terlibat dalam peristiwa yang sangat mengerikan,

keputusasaan atau ketakutan yang luar biasa. Catatan; pada anak, kondisi ini

mungkin ditunjukkan oleh adanya perilaku yang disorganisasi atau agitasi

2. pengalaman peristiwa traumatik selalu timbul berulang dalam salah satu bentuk di

bawah ini;

a. adanya bayangan, pikiran atau persepsi yang berkaitan dengan peristiwa

traumatik yang timbul secara berulang dan menyebabkan penderitaan bagi

individu yang bersangkutan. Bagi anak, seringkali kondisi ini diekspresikan

melalui pola mainan yang bertemakan peristiwa traumatik yang dialaminya.

b. Adanya mimpi-mimpi buruk berulang yang menimbulkan penderitaan bagi

individu. Pada anak kondisi ini seringkali berupa timbulnya mimpi buruk tanpa

dapat dikenali isi dari mimpi-mimpi itu

c. Berperilakuatau berperasaan seolah-olah peristiwa traumatik yang dialami itu

terjadi kembali (termasuk ilusi, halusinasi, dan episode disosiatif yang bersifat

flashback)

d. Adanya distress psikologis jika berhadapan dengan hal-hal atau simbol-simbol

yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruh

secara internal maupun eksternal

10

Page 11: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

e. Adanya reaksi fisiologis jika berhadapan dengan hal-hal atau simbol-simbol

yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau

seluruhnya secara internal maupun eksternal.

3. adanya perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus-stimulus yang

berkaitan dengan peristiwa traumatik yang dialami dan disertai dengan respons emosi

yang membeku secara keseluruhan (tidak dijumpai sebelum trauma terjadi), yang

ditunjukkan oleh 3 atau lebih gejala di bawah ini;

a. adanya usaha untuk menghindari pikiran-pikiran, perasaan, atau pembicaraan

yang berkaitan dengan peristiwa traumatik yang dialaminya

b. adanya usaha untuk menghindari aktiviras, tempat-tempat atau orang-orang

yang membangkitkan ingatan-ingatan tentang peristiwa traumatik yang

dialaminya

c. kesulitan untuk mengingat kembali aspek-aspek penting yang berkaitan dengan

peristiwa traumatik yang dialaminya

d. penurunan yang jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam aktivitas-

aktivitas

e. merasa asing atau merasa terpisah dari lingkungan atau orang-orang di

sekitarnya

f. adanya ekspresi afektif yang terbatas, misalnya tidak mampu lagi merasakan

perasaan dicintai

g. kehilangan motivasi untuk membina masa depanya, misalnya tidak mempunyai

keinginan lagi untuk mengembangkan karier, hidup perkawinan, mengasuh

anak atau dalam aktivitas sehari-harinya

4. adanya gejala yang menetap dari peningkatan kewaspadaan (tidak dijumpai sebelum

mengalami peristiwa traumatik), yang ditandai oleh 2 atau lebih gejala di bawah ini;

a. kesulitan untuk tidur atau jatuh tertidur

b. iritabilitas atau mudah mengalami ledakan kemarahan

c. kesulitan berkonsentrasi

d. hypervigilance

e. respons yang kacau dan tidak terkendali

5. durasi dari gejala-gejala dalam kriteria 2,3 dan 4 berlangsung lebih dari 1 bulan

6. gejala-gejala diatas jelas menimbulkan penderitaan atau hendaya dalam fungsi social,

pekerjaan atau fungsi-fungsi penting lainnya

11

Page 12: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

spesifikasi:

akut: jika durasi gejala-gejala kurang dari 3 bulan

kronik: jika durasi gejala-gejala berlangsung 3 bulan atau lebih

dengan awitan lambat: jika awitan dari gejala-gejala terjadi paling lambat 6 bulan setelah

mengalami peristiwa traumatik.

Diagnosis banding

Gangguan penyesuaian

Pada gangguan penyesuaian, keparahan stressor dan jenisnya dapat dapat bermacam-macam

dibandingkan yang dibutuhkan pada kriteria A PTSD. Diagnosis gangguan penyesuaian

digunakan bila respon terhadap stressor yang ada tidak memenuhi semua kriteria A PTSD

(atau kriteria untuk gangguan mental lain). Gangguan penyesuaian juga didiagnosis ketika

pola gejala PTSD terjadi sebagai respons terhadap stressor yang tidak memenuhi kriteria A

PTSD (misalnya, ditinggalkan pasangan, dipecat).7

Gangguan dan kondisi pasca trauma lain.

Tidak semua psikopatologi yang terjadi pada individu yang terpapar stressor yang ekstrem

harus dikaitkan dengan PTSD. Untuk diagnosis diperlukan paparan trauma yang mendahului

onset atau eksaserbasi gejala yang bersangkutan. Apalagi jika pola respon terhadap stressor

yang ekstrem memenuhi kriteria untuk gangguan mental lainnya, Diagnosa ini harus

menggantikan, atau ditambahkan dengan PTSD. Diagnosa dan kondisi lain harus

dikesampingkan jika lebih baik dijelaskan dengan PTSD ( misalnya , gejala gangguan panik

yang terjadi hanya setelah terpapar ingatan yang traumatis ). Jika parah, pola respon terhadap

stressor yang ekstrem memerlukan diagnosa yang terpisah (misalnya, amnesia disosiatif). 7

Gangguan stres akut .

Gangguan stres akut dibedakan dari PTSD karena pola gejala pada gangguan stres akut

dibatasi untuk jangka waktu 3 hari sampai 1 bulan setelah paparan peristiwa traumatis . 7

Kriteria diagnostic DSM-IV-TR gangguan stress akut: 1

A. Orang tersebut telah terpajan dengan peristiwa traumatic dan kedua hal ini ada:

12

Page 13: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

1. Orang tersebut mengalami, menyaksikan, atau menghadapi peristiwa uang

melibatkan kematian atua cedera serius yang sebenarnya atau mengancam, atau

ancaman terhadap integritas fisik dirinya atau orang lain.

2. Respon orang tersebut melibatkan rasa takut yang intens, rasa tidak berdaya atau

horror.

B. Pengalaman peristiwa traumatic selalu timbul berulang dalam tiga atau lebih gejala

disosiatif berikut ini:

1. Rasa lepas atau tidak adanya respon emosional

2. Menurunnya kesadaran akan sekelilingnya (linglung)

3. Derealisasi

4. Depersonalisasi

5. Amnesia disosiatif

C. Peristiwa traumatic secara terus menerus dialami kembali pada satu atau lebih cara.

D. Penghindaran stimulus yang nyata dan membangkitkan kembali trauma.

E. Gejala ansietas atau meningkatnya keterjagaan yang nyata.

F. Gangguan ini menimbulkan distress yang secara klinis bermakna atau hendaya dalam

area fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain atau mengganggu lemampuan

seseorang menjalankan tugas penting, seperti memperoleh bantuan yang penting atau

berbagai hal- hal yang personal dengan bercerita pada angota keluarga mengenai

peristiwa traumatic.

G. Gangguan ini ada selama minimum 3 hari maksimum 4 minggu setelah peristiwa

traumatic.

H. Gangguan ini bukan disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat.

Gangguan kecemasan dan gangguan obsesif-kompulsif .

Pada OCD, ada pikiran berulang yang mengganggu , ini memenuhi definisi obsesi. Selain

itu, pikiran yang mengganggu tidak berhubungan dengan peristiwa traumatis yang dialami ,

kompulsi biasanya ada, dan gejala lain dari PTSD atau gangguan stres akut biasanya tidak

ada.7

Gangguan depresif mayor

13

Page 14: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

Depresi berat mungkin atau tidak mungkin didahului oleh peristiwa traumatik dan harus

didiagnosis jika gejala PTSD lainnya tidak ada. Khususnya, gangguan depresi mayor tidak

termasuk gejala kriteria B atau C PTSD. Juga tidak termasuk sejumlah gejala PTSD Kriteria

D atau E. 7

Gangguan kepribadian

Kesulitan interpersonal dengan onset atau yang kambuh, setelah terpapar peristiwa traumatik

bisa jadi indikasi dari PTSD dibandingkan gangguan kepribadian, dimana kesulitan

independen dari setiap eksposur traumatis. 7

Gangguan disosiatif

Amnesia disosiatif, gangguan identitas disosiatif, dan gangguan depersonalisasi- derealisasi

mungkin atau mungkin tidak didahului dengan paparan peristiwa traumatis ataupun mungkin

atau tidak mungkin terjadi bersamaan dengan PTSD . Ketika kriteria PTSD juga dipenuhi,

namun, subtipe PTSD '' dengan gejala disosiatif " juga harus dipertimbangkan. 7

Gangguan konversi (gangguan gejala neurologis fungsional )

Onset baru dari gejala somatik dalam konteks distress post traumatik mungkin merupakan

indikasi dari PTSD daripada gangguan konversi (gangguan gejala neurologis fungsional). 7

Gangguan psikotik .

Flashback pada PTSD harus dibedakan dari ilusi, halusinasi, dan gangguan persepsi lain yang

mungkin terjadi pada skizofrenia, gangguan psikotik singkat, dan gangguan psikotik lainnya ;

depresi dan gangguan bipolar dengan psikotik; delirium ; gangguan terinduksi zat; dan

gangguan psikotik karena kondisi medis lain. 7

Traumatic Brain Injury .

Ketika cedera otak terjadi dalam konteks peristiwa traumatis (misalnya, kecelakaan

traumatis , ledakan bom , trauma akselerasi / deselerasi), gejala PTSD mungkin muncul .7

Gangguan buatan dan malingering

14

Page 15: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

Sebagian karena publisitas yang didapat PTSD, klinisi juga harus mempertimbangkan

kemungkinan gangguan buatan dan malingering.3

Penatalaksanaan Gangguan Stres Pasca Trauma

Tatalaksana gangguan stres pasca trauma dilakukan dalam bentuk yang komprehensif,

meliputi pemberian medikasi dan psikoterapi serta edukasi, dukungan psikososial, teknik

untuk meredakan kecemasan dan juga modifikasi pola hidup.

Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD, tatalaksana gangguan

stres pasca trauma sebaiknya mempertimbangkan hal – hal sebagai berikut:

1. Gangguan stres pasca trauma merupakan suatu gangguan yang kronik dan berulang

serta sering berkomorbiditas dengan gangguan jiwa serius lainnya.

2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/ SSRI merupakan

obat pilihan pertama untuk kasus ini.

3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.

4. Expossure therapy merupakan terapi pendekatan psikososial terbaik yang dianjurkan

dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan.1

A. Farmakoterapi

Medikasi lini pertama yang tergolong bermanfaat untuk mengatasi kasus gangguan stres

pasca trauma adalah pemberian obat – obatan antidepresan golongan SSRI seperti Fluoxetin

10 – 60 mg/hari, Setralin 50 – 200mg/ hari atau Fluvoxamine 50 – 300 mg/ hari. Selain obat

antidepresan golongan SSRI, dapat pula digunakan obat antidepresan dari golongan lainnya

seperti antidepresan trisiklik, MAO inhibitors, SRNI ( Serotonin Norepineprin Reuptake

Inhibitors). Prinsip pengobatan selalu dimulai dari dosis rendah, ditingkatkan bertahap sampai

mencapai dosis terapeutik. Efek terapi baru akan tampak pada minggu ke 2 – 3 sehingga

pemberian obat harus memperhatikan hal ini. Pada minggu pertama perlu diberikan

benzodiazepin yang memiliki efek cepat dalam memberikan rasa nyaman sambil menunggu

efek terapi antidepresan. Setelah efek terapi tercapai maka dilanjutkan dengan terapi

pemeliharaan untuk mencegah relaps selama paling sedikit 12 bulan.1,3

1. Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)

Golongan obat ini kurang memperlihatkan efek terhadap sistem kolinergik, adrenergik atau

histaminergik, sehingga efek sampingnya lebih ringan. Menurut penelitian, obat – obat 15

Page 16: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

golongan ini lebih menujukkan hasil pengobatan yang baik untuk pasien dengan gangguan

stress pasca trauma.

Obat – obat golongan ini merupakan golongan obat yang secara spesifik menghambat ambilan

serotonin. Yang termasuk golongan obat ini adalah fluoksetin, paroksetin, setraline,

fluvoksamin, R-S sitalopram, dan S-sitalopram. Obat ini merupakan inhibitor spesifik P450

isoenzim.

Masa kerja obat golongan ini panjang yaitu antara 15 – 24 jam, fluoksetin paling panjang

dengan masa kerja 24 – 96 jam. Paroksetin dan fluoksetin dapat meningkatkan kadar anti

depresi trisiklik berdasarkan hambatan enzim CYP. Efek samping yang sering dikeluhkan

adalah mual, penurunan libido, dan fungsi seksual lainnya.3,8

a. Fluoksetin

Obat ini merupakan golongan obat SSRI yang paling luas digunakan, karena obat ini kurang

menyebabkan antikolinergik, hampir tidak menimbulkan sedasi dan cukup diberikan sekali

sehari.

Sediaan obat ini dalam bentuk kapsul 10 mg dan 20 mg, dalam tablet bergaris 10 mg, dan

dalam bentuk iv 20mg/5ml. Dosis awal dapat diberikan 20 mg/hari diberikan setiap pagi, bila

tidak diperoleh hasil maka dapat ditingkatkan 20mg hingga 30 mg per hari.8

b. Setralin

Suatu golongan SSRI serupa dengan fluoksetin namun bersifat lebih selektif terhadap SERT

(transporter serotonin) dan kurang efektif terhadap DAT (transporter dopamin). Tersedia

dalam tablet garis 25 mg, 50 mg, dan 100mg. Dosis awal yang dapat diberikan adalah 50

mg/hari dan dapat ditingkatkan bila tidak berespon.8

c. Flufoksamin

Efek sedasi dan efek antimuskarinik kurang dari fluoksetin. Obat ini cenderung meningkatkan

metabolit oksidatif benzodiazepin, klozapin, teofilin dan warfarin karena menghambat CYP

1A2, CYP 2C19, dan CYP 3A3/4.8

d. Paroksetin

16

Page 17: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

Masa paruh 22 jam. Obat ini meningkatkan kadar klozapin, teofilin dan warfarin. Iritabilitas

terjadi pada penghentian secara mendadak. Obat ini tidak boleh diberikan pada anak karena

dapat mengakibatkan gagasan bunuh diri dan agitasi.8

e. R-S sitalopram dan S-sitalopram

Selektivitas terhadap SERT paling tinggi. Masih belum diketahui apakah berarti secara

klinis.8

2. Antidepresan Trisiklik

Golongan obat ini bekerja dengan menghambat ambilan kembali neurotransmitter di otak.

Dari beraneka jenis antidepresan trisiklik terdapat perbedaan potensi dan selektivitas

hambatan ambilan kembali neurotransmitter. Ada yang sangat sensitive terhadap pengambilan

norepinefrin dan ada pula yang sensitif terhadapa serotonin serta yang sensitif terhadap

dopamin. Tidak jelas hubungan antara mekanisme penghambatan ambilan kembali

katekolamin dengan efek antidepresinya.

Efek samping obat ini adalah sering terjadi pengeluaran keringat berlebihan, peningkatan

tekanan darah, gangguan irama jantung. Pemberian obat ini harus hati – hati pada pasien

glaukoma atau hipertrofi prostat.8

a. Imipramin

Tersedia dalam bentuk tablet berlapis gula 10 dan 25 mg dan dalam bentuk sediaan suntik 25

mg/ 2ml. Biasanya efek mulai timbul minggu 2-3 minggu dari pemberian obat.8

b. Desmetilimipramin

Berbentuk tablet 25 mg. Dosis permulaan 3 kali 25 mg per hari, selama 7-10 hari. Dosis

kemudian ditambahkan atau dikurangkan sesuai kebutuhan.

c. Amitriptilin

Tersedia dalam bentuk tablet 10 dan 25 mg, dan dalam bentuk larutan suntikan 100 mg/10ml.6

3. Monoamin Oksidase Inhibitors (MAO Inhibitors)

Golongan obat ini sudah lama digunakan sebagai antidepresan. MAO dalam tubuh berfungsi

dalam proses deaminasi oksidasif katekolamin dalam mitokondria. Bila proses ini dihambat

maka kadar epinefrin, norepinefrin dan 5-HT dalam otak akan meningkat. Penggunaan obat

ini sangat terbatas karena toksik.

17

Page 18: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

Efek samping obat ini adalah hipotensi, hipertensi, gejala tremor, insomnia, konvulsi, dan

kerusakan hati.8

a. Isokarboksazid

Tersedia dalam tablet 10 mg. Dosis obat ini adalah 3 kali 10 mg perhari. Efek terapi baru

terlihat setelah 1-4 minggu.8

b. Nialamid

Tersedia dalam tablet 25 dan 100 mg. Sifat obat ini kurang toksik namun juga kurang efektif.8

c. Moklobemid

Menghambat MAO-A secara spesifik dan reversibel. Belum ada cukup bukti untuk

menentukan status obat ini dalam pengobatan depresi.8

Table 02. Assessment of Pharmacotherapeutic Interventions for Post-traumatic Stress

Disorder in War Veterans.5

Significant Benefit Some Benefit Unknown Benefit No Benefit

SSRIs SNRIs

MAO inhibitors (phenelzine) [caution*]

Mirtazapine Nefazodone

[caution*] Prazosin (for

sleep/nightmares) TCAs

Atypical antipsychotics (monotherapy)

Atypical antipsychotics (adjunctive)

Bupropion Buspirone Clonidine Conventional

antipsychotics Gabapentin Lamotrigine Non-benzodiazepine

hypnotics Prazosin (for global

PTSD) Propranolol Trazodone

(adjunctive)

Benzodiazepines [harmful]

Guanfacine Risperidone Tiagabine Topiramate Valproate

*Attention to drug-drug and dietary interactions.

MAO = monoamine oxidase; SSRI = selective serotonin reuptake inhibitor; SNRI = serotonin–norepinephrine reuptake inhibitor; TCA = tricyclic antidepressant.

Adapted from the Department of Veterans Affairs and the Department of Defense.

18

Page 19: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

B. Non farmako terapi

a) Edukasi

Merupakan bagian yang sangat penting karena merupakan pendekatan untuk membantu

pasien mengerti akan perubahan – perubahan yang terjadi dalam fungsi pasien baik secara

fisik maupun psikis sebagai dampak dari peristiwa traumatik yang dialami, baik adaptif

maupun maladaptif.1,9

b) Dukungan psikososial

Dibutuhkan untuk mengurangi berbagai stigma negatif yang mungkin muncul akibat dari

diagnosis gangguan stres pasca trauma. Dukungan psikososial tidak hanya diberikan oleh

dokter, keluarga dan masyarakat lingkungan di sekitar pasien juga harus memberikan

dukungan kepada pasien.1,9

Pada tingkat klinis , Huntington , NY , ahli trauma dan praktisi swasta Elizabeth Carll , PhD ,

telah mengembangkan alat pendekatan untuk keluarga dengan anggota keluarga PTSD .

Strategi Carll meliputi:10

Mengajarkan keterampilan manajemen stres .

Menggunakan copy keterampilan keluarga yang sebelumnya efektif untuk

membangun kerangka kerja ketahanan sekarang dan masa depan.

Membahas bagaimana orang yang mengalami trauma dan anggota keluarganya ingin

berbicara kepada orang-orang di luar keluarga . Konsep ini sangat penting dalam kasus

trauma emosional seperti perkosaan .

Membantu keluarga untuk memahami bahwa setiap orang terpengaruh oleh kejadian

tersebut, bahkan jika itu tidak jelas pada awalnya .

Melihat anggota keluarga dalam konfigurasi yang fleksibel - individu , dyadic atau

tingkat tergantung pada kebutuhan kelompok dan pengobatan.

c) Teknik untuk meredakan kecemasan

Teknik yang dapat digunakan adalah pengaturan pernafasan serta mengontrol pikiran –

pikiran yang terus dilatih. Hal ini terbukti bermanfaat bagi pasien.1,9

d) Modifikasi pola hidup

Diet makanan sehat, mengatur konsumsi kafein, alkohol, rokok, dan obat – obatan lainnya.

Selain itu olahraga juga diperlukan dalam modifikasi pola hidup.1

19

Page 20: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

e) Psikoterapi:

Psikoterapi psikodinamik dapat berguna dalam terapi pada banyak pasien PTSD. Di sejumlah

kasus, rekonstruksi peristiwa traumatik dengan abreaksi dan katarsis terkait dapat bersifat

terapeutik, tetapi psikoterapi harus diindividualisasi, karena mengalami kembali trauma dapat

terlalu berat untuk pasien.

Individualisasi psikoterapi pada PTSD meliputi terapi perilaku, terapi kognitif, dan hipnosis.

Psikoterapi setelah peristiwa traumatik harus mengikuti model intervensi krisis dengan

dukungan edukasi, dan pembentukan mekanisme koping (copyng mechanism) serta

penerimaan peristiwa.

Ketika timbul PTSD, dua pendekatan psikoterapeutik utama dapat diambil. Pendekatan

pertama adalah pajanan terhadap peristiwa traumatik melalui teknik membayangkan atau

pajanan in vivo. Pajanan ini dapat intens seperti terapi implosif atau bertahap seperti pada

desentisasi sistematik. Pendekatan kedua adalah dengan mengajari pasien metode

penatalaksanaan stres, termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk menghadapi

stres.

Di samping terapi individualm terapi kelompok dan terapi keluarga sering dilaporkan efektif

pada kasus PTSD. Keuntungan terapi kelompok mencakup saling berbagi pengalaman

traumatik dan dukungan dari anggota kelompok lain.1,3,9

Prognosis

Jika tidak diobati, sekitar 30% psien akan pulih sempurna, 40% akan terus memiliki gejala

ringan, 20% akan terus memiliki gejala sedang, dan 10% tetap tidak berubah atau bertambah

buruk. Setelah 1 tahun, sekitar 50% pasien akan pulih.

Prognosis pasien menjadi lebih baik bila adanya awitan cepat, durasi gejala singkat (kurang

dari 6 bulan), fungsi pramorbid baik, dukungan sosial baik, dan tidak adanya gangguan

psikiatri, medis, atau gangguan terkait zat lain atau faktor risiko lain.

Umumnya orang yang sangat muda dan sangat tua lebih memiliki kesulitan dengan peristiwa

traumatik daripada orang usia pertengahan. Kemungkinan orang usia muda belum memiliki

mekanisme pertahanan copyng mecanism yang adekuat untuk mengatasi akibat buruk

emosional dan fisik dari trauma. Begitu pula dengan orang yang sangat tua, umumnya

memiliki copyng mecanism yang kaku untuk menghadapi masalah emosional dan fisik dari

trauma yang dialami.

20

Page 21: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

PTSD yang terjadi bersamaan dengan gangguan lain umumnya lebih berat, lebih kronis dan

dapat sulit diobati. Ketersediaan dukungan sosial juga dapat memengaruhi timbulnya gejala,

keparahan, dan durasi PTSD. Umumnya, pasien yang memiliki jaringan dukungan sosial yang

baik lebih kecil kemungkinan untuk memiliki gangguan ini dan lebih jarang mengalami PTSD

dalam bentuk berat, serta lebih besar kemungkinan pulih dalam waktu cepat.3

Komorbiditas

Individu dengan PTSD 80% lebih mungkin dibandingkan mereka yang tidak memiliki gejala

PTSD memenuhi kriteria diagnostik untuk setidaknya satu gangguan mental lain (misalnya,

depresi, bipolar, kecemasan, atau gangguan penggunaan zat). Komorbiditas gangguan

penggunaan zat dan gangguan perilaku lebih sering terjadi pada laki-laki daripada pada

wanita. Di antara personil militer AS dan veteran perang yang dikerahkan untuk perang di

Afghanistan dan Irak, terjadinya PTSD dan TBI ringan sekitar 48%. Meskipun sebagian besar

anak-anak dengan PTSD juga memiliki setidaknya satu diagnosis lain, pola komorbiditas

berbeda dari pada orang dewasa, dengan gangguan pemberontak dan gangguan cemas

perpisahan Ada komorbiditas yang cukup besar antara PTSD dan gangguan neurokognitif

utama dan beberapa gejala tumpang tindih antar gangguan ini.7

BAB III

KESIMPULAN

21

Page 22: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

Gangguan stress pasca trauma adalah suatu gangguan kecemasan yang timbul setelah

mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa trauma,

seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan yang serius.

Peristiwa trauma ini menyebabkan seseorang memberikan reaksi dalam keadaan ketakutan,

tak berdaya dan merasa cemas. Bila gejala-gejala gangguan stres pasca trauma menjadi parah,

gangguan tersebut menimbulkan gangguan dalam aktivitas. Terdapat berbagai penyebab

terjadinya gangguan stres pasca trauma. Stressor adalah penyebab utama terjadinya gangguan

stress pasca trauma. Stressor berupa kejadian yang traumatis misalnya akibat perkosaan,

kecelakaan yang parah, kekerasan pada anak atau pasangan, bencana alam, perang, atau

dipenjara. Pedoman untuk mendiagnosis PTSD dapat menggunakan PPDGJ III dan DSM

IV/V.

Penatalaksaan gangguan stress pasca trauma berupa terapi farmakologi dan nonfarmakologi.

Terapi farmakologi yang merupakan lini pertama untuk PTSD adalah golongan SSRI. Namun

sebagai alternatif dapat digunakan golongan obat antidepresan lainnya seperti antidepresan

trisiklik, MAO inhibitors, atau SNRI. Terapi nonfarmakologi yang dilakukan dapat berupa

psikoterapi, dukungan sosial, modiikasi pola hidup dan edukasi. Psikoterapi memegang

peranan penting dalam pengobatan PTSD.

Umumnya prognosis pasien PTSD baik. Prognosis pasien menjadi lebih baik bila adanya

awitan cepat, durasi gejala singkat (kurang dari 6 bulan), fungsi pramorbid baik, dukungan

sosial baik, dan tidak adanya gangguan psikiatri, medis, atau gangguan terkait zat lain atau

faktor risiko lain.

Daftar Pustaka

1. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. Edisi 2. 2013. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI.h. 277-86.

22

Page 23: Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1

2. Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Diunduh dari:

http://www.webmd.com/mental-health/post-traumatic-stress-disorder-ptsd, 24 Mei

2014.

3. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry. 10th ed. 2007.

Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins p. 252-8.

4. Wynn GH, Benedek DM. Clinical Manual for Management of PTSD. 2011. Arlington:

American Psychiatrics Publishing p.46-7.

5. Alexander W. Pharmacotherapy for Post-traumatic Stress Disorder In Combat

Veterans. [serial online] 2012; 37(1):32–38. Diunduh dari:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3278188/, 25 Mei 2014.

6. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. 1993. Jakarta:

Departemen Kesehatan RI Direktoral jenderal Pelayanan Medis h.190-2.

7. American Psychiatric Association. Diagnostic an Statistical Manual Of Mental

Disorders. 5th edition. 2013. Arlington: American Psychiatric Association p. 278-80.

8. Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. 2007.

Jakarta: Balai penerbit FKUI.h.172-4.

9. Schnurr PP. Treatments for PTSD: Understanding the Evidence. PTSD Research

Quarterly [serial online] 2008 Summer; 19(3):13-8. Diunduh dari:

http://www.ptsd.va.gov/professional/newsletters/research-quarterly/V19N3.pdf., 24

Mei 2014.

10. DeAngelis. Helping families cope with PTSD. [serial online] 2008; 39(1):44. Diunduh

dari: http://www.apa.org/monitor/jan08/helping.aspx , 25 Mei 2014.

23