pneumonia
-
Upload
faraida-jilzani-arsad -
Category
Documents
-
view
106 -
download
5
description
Transcript of pneumonia
MAKALAH CASE IV BLOK RS
Tutorial A4
Tutor: dr. Maria S Thadeus, M.Biomed
Andriani Kemala Sari 10.10211.105
Hasyati Dwi Kinasih 10.10211.023
Sundari Mahendrasari 10.10211.144
M. Arif Rahman 10.10211.084
Twindy Rarasati 10.10211.041
Faraida Jilzani 10.10211.094
Ginanjar Satrio Utomo 10.10211.101
Mekko Pebin 10.10211.115
Melissa 10.10211.111
Anna Andany Lestari 10.10211.056
Fakultas Kedokteran
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta
Program Studi Sarjana Kedokteran
Tahun Ajaran 2012/2013
1
LEMBAR PENGESAHANMAKALAH
TUTOR
Dr. Maria S Thadeus, M.Biomed
Ketua
Twindy Rarasati
Sekretaris I sekretaris II
Faraida Jilzani Ginanjar Satrio H
2
DAFTAR ISI
Cover…………………………………………………..…………………… 1
Lembar pengesahan………………………………………..……………. 2
Daftar isi……………………………………………………………..…….. 3
Bab I Pendahuluan
1.1 Case………………………………………………………………… 4
Bab II Pembahasan
2.1 mekanisme pertahanan paru ……………………………………. 6
2.2 regulasi PH darah ………………………………………………… 8
2.3 pneumonia ………………………………………………………… 9
2.4 DD pneumonia ……………………………………………………. 14
2.5 interpretasi kasus ………………………………………………… 21
BAB III PENUTUP
3.1 REFERENSI………………………………………………………. 31
3
BAB I
PENDAHULUAN
Case IIITn. K, seorang petugas kesehatan berusia 35 tahun diantar ke RS oleh keluarganya dengan keluhan sesak nafas.
RPSSesak nafas memberat sejak 3 jam SMRS, pasien juga mengeluh batuk disertai dahak kental dan lengket berwarna putih kekuningan, tidak ada darah. Batuk berdahak dirasakan sejak 3 hari SMRS. 5 hari yang lalu mengalami demam agak tinggi yang berlangsung terus menerus.
RPDPasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
RPKTidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan sesak napas dan demam
Riwayat sosial ekonomiPasien adalah seorang perawat UGD sebuah RS swasta. Tidak mempunyai kebiasaan merokok dan minuman keras. Tinggal di lingkungan yang cukup baik.
Pemeriksaan fisikTanda vital : TD : 120/80 mmhg N : 90 bpm S : 39.8˚C R : 28/minMata : konjungtiva tidak pucatTHT : tidak ada kelainanLeher : KGB tidak teraba membesarToraks :paru Inspeksi : simetris statis dan dnamis
Palpasi : vocal fremitus kanan = kiriPerkusi : sonorAuskultasi : suara bronkovesikuler, ronkhi basah (+) di kedua paru
Jantung : dalam batas normalAbdomen : tidak ada kelainanEkstremitas : akral dingin (-)
Pemeriksaan Lab darahHb : 15 g/dl WBC : 11500/mm RBC : 4500/mmDiff.count : shift to left LED : 24/jamNa : 139 mmol/L K : 3.5 mmol/LHCO3- : 20 mmol/L Cl : 95 mmol/L
4
Analisa gas darah : hipoksemia PO2/F1O2 < 200
Rontgen thorax : tampak gambaran perselubungan difus non homogeny di kedua paru (bilateral diffused non homogenous opacities)
Pasien diputuskan oleh dokter untuk di rawat di ruang intensif dan dilakukan bilasan bronkoalveolus untuk mendapatkan bahan kultur dan resistensi kuman penyebab. Pasien mendapat terapi empiric dan suportif.
Setelah beberapa hari, kondisi pasien tidak memperlihatkan perbaikan. Dokter memutuskan untuk menunggu hasil bilasan bronkoalveolar dan kultur darah.Hasil biakan bronkoalveolar dan kultur darah (2 kali dengan 2 tempat dan waktu berbeda) didapatkan MRSA (methicillin resistant staphylococcus aureus) yang hanya sensitive terhadap vankomisin dan meropenem.
5
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. Mekanisme pertahanan paru
Paru berhubungan langsung dengan udara atmosfer setiap saat. Dengan demikian paru memiliki kemungkinan terpajan bahan atau benda berbahaya seperti debu, gas toksik, dan mikroorganisme. Untuk itu dibutuhkan suatu mekanisme spesifik sebagai system pertahanan paru.
Mekanisme pertahanan paru terdiri dari 4 mekanisme :1. Filtrasi udara pernafasan
a. Deposisi partikelPerjalanan udara hingga sampai ke organ paru melalui struktur yang berkelok-kelok yang memungkinkan terjadinya deposisi partikel asing.Tertangkapnya partikel ini disebabkan aliran udara yang turbulen menyebabkan partikel terlempar menabrak dinding jalan nafas dan cenderung untuk mengendap dan menempel pada mucus.Partikel 5 – 7 mikron : terdeposisi di orofaringPartikel 0,5 – 5 mikron : terdeposisi di bronkusPartikel <0,5 mikron : terdeposisi di alveolus
b. Refleks batukPenting untuk menjaga agar jalan nafas tetap terbuka dengan cara menyingkirkan hasil sekresi, serta menghalau benda asing.
2. Mekanisme ekskalasi mucus (pembersihan mukosilier)a. Silia
- Silia terdapat pada sel epitel respiratorius mulai dari laring sampai bronkus terminal dengan jumlah 200 buah pada setiap sel.
- Silia bergerak 14 kali per detik secara otonom dan tidak dipengaruhi saraf, mendorong mucus ke arah cranial untuk dikeluarkan dari saluran nafas dengan dibantu oleh reflex batuk.
- Factor yang mempengaruhi aktivitas silia antara lain adalah rokok, zat beracun, dan obat-obatan
b. Mucus- Mucus terdiri dari dua jenis yaitu mucus yang lengket yang mengapung
di atas mucus yang encer membentuk mucous blanket, terdorong kea rah cephal oleh gerak cilia bersama partikel yang terdeposisi di dalamnya.
6
- Dihasilkan oleh : kelenjar submukosa, sel oblet, sel klara, cairan transudat jaringan. Dengan rata-rata produksi 10 – 100 cc,
- Jika terjadi reaksi inflamasi produksi mucus dapat meningkat hingga 200 – 300 cc per hari.
3. Mekanisme fagositik dan inflamasi- Di jaringan paru terdapat sel makrofag dan sel polimorfonuklear yang
berfungsi dalam respon fagosit terhadap partikel asing.- Sel makrofag alveolar : diameter 15 – 50 mikrometer, merupakan hasil
perkembangan monosit, diproduksi di sumsum tulang, sitolasmanya mengandung granula berisi enzim untuk mencerna mikroorganisme.
- Sel PMN : terutama terdapat di bagian distal paru- Mikroorganisme yang masuk akan menempel pada membran
makrofag kemudian mebran akan mengalami invaginasi, menelan mikroorganisme melalui pembentukan fagosom sitoplasmik. Mikroorganisme selanjutnya akan dicerna oleh enzim granula. Makrofag juga akan mengeluarkan komplemen dan factor kemotaktik untuk menarik sel PMN ke lokasi pajanan untuk membantu fagositosis
- Hasil fagositosis akan dikeluarkan dari paru oleh system mukosiiar dan sebagian akan dibawa ke interstisium kemudian dihancurkan oleh limfosit dan dikeluarkan ke nodus regional kemudian ke darah.
4. Mekanisme respon imunBerhubungan dengan pengenalan dan upaya merespon materi antigen spesifik sperti bakteri, virus, partikel asing.Ada 2 macam respon imun :a. Respon imun humoral
Perlu aktivitas limfosit B dan antibody dari sel plasma.sekresi zat-zat yang melapisi permukaan bronkus, terdiri dari :- Lisozim : dapat melisis bakteri- Laktoferon : mengikat ferrum dan bakterisidik- Protein interferon : membunuh virus- Ig A : mencegah infeksi virus- Ig G : menggumpalkan, menetralkan toksin virus dan bakteri gram (-)- antiprotease
b. Respon imun selulerPerlu aktivitas limfosit T yang mengeluarkan limfokin (mediator larut)CD4 dan CD8 akan memproduksi antibody stelah berinteraksi dengan imun humoral.
c. Respon imun oleh sel natural killer
7
II.2. Regulasi PH darah
MEKANISME PENGATURAN KESEIMBANGAN ASAM BASAPengaturan keseimbangan asam basa dalam tubuh mengacu pada regulasi
konsentrasi ion hidrogen bebas (H+) dalam cairan tubuh. Ion hidrogen merupakan proton tunggal bebas yang dilepaskan dari atom hidrogen. Regulasi ion hidrogen sangat penting karena sebagian besar aktivitas enzim dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh konsentrasi ion hidrogen. Perubahan pada konsentrasi ion hidrogen akan menyebabkan perubahan fungsi tubuh secara keseluruhan.
ASAM DAN BASA Asam merupakan suatu kelompok substansi yang akan mengalami disosiasi
dalam larutan dan melepaskan ion hidrogen (H+) dan anion. Adapun contoh asam adalah asam hidroklorida (HCl) yang dalam air akan terdisosiasi membentuk ion hidrogen (H+) dan ion klorida (Cl-). Contoh lainnya adalah asam karbonat (H2CO3) yang juga akan terdisosiasi dalam air membentuk H+ dan ion bikarbonat (HCO3-). Asam kuat adalah asam yang dapat terdisosiasi dengan cepat dalam larutan dan melepaskan banyak ion H+ dalam larutan sedangkan asam lemah memiliki kecenderungan lebih sedikit untuk menguraikan ion-ionnya sehingga kurang kuat melepaskan H+. Contoh asam kuat adalah HCl sedangkan contoh asam lemah adalah H2CO3.
SISTEM BUFFER ION HIDROGEN DALAM CAIRAN TUBUHSistem Buffer adalah campuran dua zat kimia dalam larutan yang dapat
meminimalisasi perubahan pH saat asam atau basa ditambahkan atau dikeluarkan dari larutan tersebut. Sistem buffer ini terdiri dari pasangan substansi yang bekerja dalam reaksi reversibel. Substansi pertama dapat melepaskan H+ bebas saat [H+] menurun dan substansi lainnya dapat mengikat H+ saat [H+] meningkat. Tubuh kita memiliki sistem buffer yaitu :
Sistem buffer bikarbonat Sistem buffer bikarbonat merupakan sistem buffer yang paling penting pada cairan eksraseluler yang terdiri dari larutan air yang mengandung dua unsur yaitu asam lemah H2CO3 dan garam bikarbonat seperti NaHCO3. H2CO3 dibentuk dari reaksi CO2 dengan H2O dengan bantuan enzim karbonik anhidrase. Enzim ini sangat banyak terutama di dinding alveoli paru tempat CO2 dilepaskan. Karbonik anhidrase juga terdapat di sel epitel tubulus ginjal tempat CO2 bereaksi dengan H2O untuk membentuk H2CO3.
Garam bikarbonat terdapat secara dominan sebagai natrium bikarbonat (NaHCO3) dalam cairan ekstrasel. NaHCO3 berionisasi hampir secara lengkap membentuk ion bikarbonat dan ion natrium dengan reaksi : Jika dimasukkan bersama-sama akan didapatkan reaksi: Bila asam kuat seperti HCl ditambahkan ke dalam larutan penyangga bikarbonat, peningkatan ion hidrogen yang dilepaskan
8
oleh asam akan disangga oleh HCO3-Sebagai hasilnya lebih banyak H2CO3 yang terbentuk menyebabkan peningkatan produksi CO2 dan H2O.
CO2 yang berlebihan akan merangsang pernapasan yang akhirnya mengeluarkan CO2 dai cairan ekstrasel. Reaksi berlawanan terjadi jika suatu basa kuat seperti natrium hidroksida (NaOH) ditambahkan ke larutan buffer bikarbonat. Dalam reaksi ini OH- dari NaOH bergabung dengan H2CO3 membentuk HCO3- tambahan. Jadi basa lemah NaHCO3 menggantikan basa kuat NaOH. Pada waktu yang sama konsentrasi H2CO3 turun menyebabkan lebih banyak CO2 bergabung dengan 2O untuk menggantikan H2CO3. Hasil akhirnya adalah kecenderungan penurunan kadar CO2 dalam darah tetapi penurunan CO2 dalam darah menghambat pernapasan dan menurunkan laju eksiprasi CO2. Peningkatan HCO3- yang terjadi dalam darah dikompensasi dengan peningkatan eksresi HCO3- oleh ginjal.
II.3. Pneumonia
DEFINISI
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis (yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveolus) serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
(IPD Jilid III)
Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh peradangan non-infeksi (oleh bahan kimia, radiasi, obat-obatan, dll) disebut sebagai pneumonitis. (Ilmu Penyakit Paru – UNAIR)
EPIDEMIOLOGI
o Lansia
o Bayi dan anak-anak
o Pasien PPOK, DM, payah jantung, PJK, keganasan, insufisiensi renal,
penyakit saraf kronik dan penyakit hati kronik. (IPD Jilid III)
FACTOR PREDISPOSISI
o Merokok
o Pasca infeksi virus
o DM
o Keadaan imunodefisiensi
9
o Kelainan/kelemahan struktur organ dada
o Tindakan invasif (infus, intubasi, trakeostomi, ventilator)
KLASIFIKASI
1. Berdasarkan Klinis dan Epidemiologi (IPD Jilid III)
a) Pneumonia Komunitas (yang didapat dimasyarakat)
b) Pneumonia Nosokomial (yang didapat di rumah sakit)
c) Pneumonia Aspirasi (alkoholik, usia tua)
d) Pneumonia pada Gangguan Imun (AIDS, keganasan)
2. Berdasarkan Mikroorganisme Penyebab (Ilmu Penyakit Paru – UNAIR)
a) Pneumonia Bakterial/Tipikal : stafilokokus, streptokokus, hemofilus
influenza, klebsiella, pseudomonas, dll.
b) Pneumonia Atipikal : mycoplasma, legionella, chlamydia, dll.
c) Pneumonia Virus : influenza virus, respiratory syncytial adenovirus.
d) Pneumonia Jamur
3. Berdasarkan Predileksi Infeksi
a) Pneumonia Lobaris
1. sering pada pneumonia bakterial
2. jarang pada bayi dan orang tua
3. terjadi pada satu lobus/segmen paru
4. kemungkinan sekunder akibat obstruksi bronkus, misalnya:
aspirasi benda asing atau keganasan.
b) Bronkopneumonia
1. dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus
2. sering pada bayi dan orang tua
3. jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus
4. ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapang paru
c) Pneumonia Interstisial
radang pada dinding alveoli (interstisium), peribronkial dan jaringan
interlobular
10
PATOGENESIS
11
Masuknya M.O ke dalam sal. Napas:
- Inhalasi langsung dari udara- Aspirasi dari bahan-bahan
yang ada di nasofaring & orofaring
- Perluasan langsung dari tempat lain
- Hematogen
Bila pertahanan tubuh tidak kuat:- Mekanik (epitel, silia, mukus)
- Humoral (antibodi, komplemen)- Selular (PMN, makrofag, limfosit,
sitokin)
M.O dapat melalui jalan napas sampai ke
alveoli
Radang pada dinding alveoli dan jaringan
sekitar
Proses peradangan di parenkim paru
Basil masuk bersama sekret bronkus ke
dalam alveoli
Menimbulkan reaksi radang:- Edema seluruh alveoli- Infiltrasi sel-sel PMN
- Diapedesis dari eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk antibodi
Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dengan
bantuan leukosit yang lain melalui pseudopodosis sitoplasmik mengelilingi
bakteri tersebut kemudian difagosit
Saat terjadi proses pertahanan antara host & bakteri, terdapat 4
zona pada daerah parsitik tersebut
1) Zona Luar: alveoli terisi kuman & cairan edema2) Zona Permulaan Konsolidasi: tdd sel-sel PMN &
beberapa eksudasi eritrosit3) Zona Konsolidasi yang luas: daerah tempat terjadi
fagositosis yang aktif & banyak sel PMN5) Zona ResolusiL: daerah resolusi dengan banyak bakteri yang mati, leukosit & aolveolar makrofag
DIAGNOSIS
1) Gambaran Klinis
a) Anamnesis
1) demam tinggi bisa mencapai > 40°C
2) menggigil
3) batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang disertai darah
4) sesak napas
5) nyeri dada
b) Pemeriksaan Fisik
1) tergantung luas lesi di paru
2) inspeksi: bagian yang sakit tertinggal saat bernapas
3) palpasi: vokal fremitus dapat meningkat
4) perkusi: redup
5) auskultasi: suara napas bronkovesikuler-bronkial, mungkin
disertai ronkhi basah halus, kemudian menjadi ronkhi basah
kasar pada stadium resolusi
2) Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Laboratorium
1) leukositosis (15000-40000/mm³) dengan pergeseran ke kiri
(neutrofil dominan)
2) peningkatan LED
3) Hb normal/sedikit menurun
4) analisa gas darah terdapat hipoksemia dan hiperkarbia dan
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik
5) untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan
dahak, kultur darah dan serologi
b) Pemeriksaan Radiologi
Dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan “air bronchogram”,
penyebaran bronkogenik dan interstisial serta gambaran kavitas.
12
PENATALAKSANAAN
1) Terapi Suportif
a) terapi O2, untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96%
b) humidifikasi dengan nebulizer, untuk pengenceran dahak yang kental
c) fisioterapi dada, untukpengeluaran dahak
d) pengaturan cairan
e) kortikosteroid pada fase sepsis berat
f) obat inotropik bila ada gangguan sirkulasi/gagal ginjal pre renal
g) ventilasi mekanis, bila hipoksemia persisten walau sudah diberi O2
100% dengan masker atau bila ada gagal napas
h) drainase empiema bila ada
2) Terapi Farmakologi
Sesuai dengan mikroorganisme penyebab:
a) Antibiotik
1) penisilin sensitive Streptococcus pneumonia (PSPP): golongan
penisilin, makrolid
2) penisilin resistant Streptococcus pneumonia (PRSP):
betalaktam, sefotaksim, seftriakson, makrolid, fluorokuinolon
3) Pseudomonas aeruginosa: aminoglikosid, piperasilin,
siprofloksasin
4) methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA):
vankomisin, linezolid
5) haemophilus influenzae: azitromisin, sefalosporin generasi 2
atau 3
b) Antiviral
c) Antifungal
PROGNOSIS
Tergantung pada:
o Faktor penderita
o Mikroorganisme penyebab
o Pengobatan yang tepat sesuai etiologi
13
KOMPLIKASI
o Efusi pleura
o Empiema
o Abses paru
o Pneumotoraks
o Gagal napas
o Sepsis
PENCEGAHAN
o Vaksinasi influenza dan pneumokokus pada orang dengan resiko tinggi
(gangguan imun, PPOK, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit jantung,
diabetes, usia lanjut
o Perubahan pola hidup
o Upaya program pengawasan dan pengontrolan infeksi pada rumah sakit
II.4. DD pneumonia
II.4.1 efusi pleura
DEFINISIEfusi pleura adalah pengumpulan cairan di dalam rongga pleura akibat
transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura (Suzanne
Smeltzer: 2001). Rongga pleura adalah rongga yang terletak diantara selaput
yang melapisi paru-paru dan rongga dada, diantara permukaan viseral dan
parietal. Dalam keadaan normal, rongga pleura hanya mengandung sedikit
cairan sebanyak 10-20 ml yang membentuk lapisan tipis pada pleura parietalis
dan viseralis, dengan fungsi utama sebagai pelicin gesekan antara permukaan
kedua pleura pada waktu pernafasan. Jenis cairan lainnya yang bisa terkumpul di
dalam rongga pleura adalah darah, nanah, cairan seperti susu dan cairan yang
mengandung kolesterol tinggi. Efusi pleura bukan merupakan suatu penyakit,
akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit.
14
Pada gangguan tertentu, cairan dapat berkumpul dalam ruang pleural pada titik
dimana penumpukan ini akan menjadi bukti klinis, dan hampir selalu merupakan
signifikasi patologi. Efusi dapat terdiri dari cairan yang relatif jernih, yang mungkin
merupakan cairan transudat atau eksudat, atau dapat mengandung darah dan
purulen. Transudat (filtrasi plasma yang mengalir menembus dinding kapiler yang
utuh) terjadi jika faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan reabsorpsi
cairan pleural terganggu. Biasanya oleh ketidakseimbangan tekanan hidrostatik
atau onkotik. Transudat menandakan bahwa kondisi seperti asites atau gagal
ginjal mendasari penumpukan cairan. Eksudat (ekstravasasi cairan ke dalam
jaringan atau kavitas). Biasanya terjadi akibat inflamasi oleh produk bakteri atau
tumor yang mengenai permukaan pleural (Sylvia Anderson Price dan Lorraine,
2005: 739).
Efusi yang mengandung darah disebut dengan efusi hemoragis. Pada keadaan
ini kadar eritrosit di dalam cairan pleural meningkat antara 5.000-10.000 mm3.
Keadaan ini sering dijumpai pada keganasan pneumonia. Berdasarkan lokasi
cairan yang terbentuk, efusi pleura dibagi menjadi unilateral dan bilateral. Efusi
yang unilateral tidak mempunyai kaitan yang spesifik dengan penyakit
penyebabnya, akan tetapi efusi yang bilateral seringkali ditemukan pada penyakit
: kegagalan jantug kongestif, sindroma nefrotik, asites, infark paru, lupus
eritematosis sistemik, tumor dan tuberkulosis.
Terdapat beberapa jenis efusi berdasarkan penyebabnya, yakni :
a. Bila efusi berasal dari implantasi sel-sel limfoma pada permukaan pleura,
cairannya adalah eksudat, berisi sel limfosit yang banyak dan sering
hemoragik.
b. Bila efusi terjadi akibat obstruksi aliran getah bening, cairannya bisa transudat
atau eksudat dan ada limfosit.
c. Bila efusi terjadi akibat obstruksi duktus torasikus, cairannya akan berbentuk
cairan kelenjar limfa (chylothorak)
d. Bila efusi terjadi karena infeksi pleura pada pasien limfoma maligna karena
menurunnya resistensinya terhadap infeksi, efusi akan berbentuk empiema
akut atau kronik (www.medicastore.com).
15
Berdasarkan jenis cairan yang terbentuk, cairan pleura dibagi menjadi :
1. Transudat
Transudat Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu
adalah transudat. Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan
kapiler hidrostatik dan koloid osmotik menjadi terganggu, sehingga
terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi reabsorbsi oleh
pleura lainnya. Biasanya hal ini terdapat pada:
a) Meningkatnya tekanan kapiler sistemik
b) Meningkatnya tekanan kapiler pulmonal
c) Menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura
d) Menurunnya tekanan intra pleura
Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah:
a) Gagal jantung kiri (terbanyak)
b) Sindrom nefrotik
c) Obstruksi vena cava superior
d) Asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek diafragma atau
masuk melalui saluran getah bening)
2. Eksudat
Eksudat merupakan cairan pleura yang terbentuk melalui membran kapiler
yang permeable abnormal dan berisi protein transudat. Terjadinya perubahan
permeabilitas membrane adalah karena adanya peradangan pada pleura
misalnya: infeksi, infark paru atau neoplasma. Protein yang terdapat dalam
caira pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran
protein getah bening ini akan menyebabkan peningkatan konsentrasi protein
cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat. Penyakit yang menyertai
eksudat, antara lain: infeksi (tuberkulosis, pneumonia) tumor pada pleura,
infark paru, karsinoma bronkogenik radiasi, penyakit dan jaringan ikat/
kolagen/ SLE (Sistemic Lupus Eritematosis).
(Hadi Halim, 2001: 787-788)
ETIOLOGI
16
Efusi pleura merupakan proses penyakit primer yang jarang terjadi, tetapi
biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain.
Menurut Brunner & Suddart. 2001, terjadinya efusi pleura disebabkan oleh 2
faktor yaitu:
1. Infeksi
Penyakit-penyakit infeksi yang menyebabkan efusi pleura antara lain:
tuberculosis, pneumonitis, abses paru, abses subfrenik.
Macam-macam penyakit infeksi lain yang dapat menyebabkan efusi pleura
antara lain:
a. Pleuritis karena Virus dan mikoplasma
Efusi pleura karena virus atau mikoplasma agak jarang. Jenis-jenis
virusnya adalah : Echo virus, Coxsackie virus, Chlamidia, Rickettsia, dan
mikoplasma. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-
6000 per cc.
b. Pleuritis karena bakteri Piogenik
Aerob : Streptococcus pneumonia, Streptococcus mileri, Saphylococcus
aureus, Hemofilus spp, E. coli, Klebsiella, Pseudomonas spp.
Anaerob : Bacteroides spp, Peptostreptococcus, Fusobacterium.
c. Pleuritis Tuberkulosa
Permulaan penyakit ini terlihat sebagai efusi yang bersifat eksudat.
Penyakit kebanyakan terjadi sebagai komplikasi tuberkulosis paru melalui
fokus subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening.
d. Pleura karena Fungi
Pleuritis karena fungi amat jarang. Jenis fungi penyebab pleuritis adalah :
aktinomikosis, koksidioidomikosis, aspergillus, kriptokokus,
histoplasmosis, blastomikosis, dll.
e. Pleuritis karena parasit
Parasit yang dapat menginfeksi ke dalam rongga pleura hanyalah
amoeba. Bentuk tropozoit datang dari parenkim hati menembus diafragma
terus ke parenkim paru dan rongga pleura.
2. Non infeksi
Adapun penyakit non infeksi lain yang dapat menyebabkan efusi pleura
antara lain:
17
a. Efusi pleura karena gangguan sirkulasi
1. Gangguan Kardiovaskuler
Payah jantung (decompensatio cordis) adalah penyebab terbanyak
timbulnya efusi pleura. Penyebab lainnya dalah perikarditis konstriktiva
dan sindrom vena kava superior.
2. Emboli Pulmonal
Efusi pleura dapat terjadi pada sisi paru yang terkena emboli pulmonal.
Keadaan ini dapat disertai infark paru ataupun tanpa infark
Cairan efusi biasanya bersifat eksudat, jumlahnya tidak banyak, dan
biasanya sembuh secara spontan, asal tidak terjadi emboli pulmonal
lainnya.
3. Hipoalbuminemia
Efusi pleura juga terdapat pada keadaan hipoalbuminemia seperti
sindrom nefrotik, malabsorbsi atau keadaan lain dengan asites serta
anasarka. Efusi terjadi karena rendahnya tekana osmotic protein cairan
pleura dibandingkan dengan tekana osmotic darah. Efusi yang terjadi
kebanyakan bilateral dan cairan bersifat transudat.
b. Efusi pleura karena neoplasma
Neoplasma primer ataupun sekunder (metastasis) dapat menyerang pleura
dan umumnya menyebabkan efusi pleura.
Terdapat beberapa teori tentang timbulnya efusi pleura pada neoplasma,
yakni :
- Menumpuknya sel-sel tumor akan meningkatnya permeabilitas pleura
terhadap air dan protein
- Adanya massa tumor mengakibatkan tersumbatnya aliran pembuluh darah
vena dan getah bening, sehingga rongga pleura gagal memindahkan cairan
dan protein
- Adanya tumor membuat infeksi lebih mudah terjadi dan selanjutnya timbul
hipoproteinemia.
c. Efusi pleura karena sebab lain
18
1. Efusi pleura dapat terjadi karena trauma yaitu trauma tumpul, laserasi,
luka tusuk pada dada, rupture esophagus karena muntah hebat atau
karena pemakaian alat waktu tindakan esofagoskopi.
2. Uremia
Salah satu gejala penyakit uremia lanjut adalah poliserositis yang terdiri
dari efusi pleura, efusi perikard dan efusi peritoneal (asites).
3. Miksedema
4. Limfedema
5. Reaksi hipersensitif terhadap obat
6. Efusi pleura idiopatik
d. Efusi pleura karena kelainan Intra-abdominal
Efusi pleura dapat terjadi secara steril karena reaksi infeksi dan
peradangan yang terdapat di bawah diafragma, seperti pankreatitis,
pseudokista pancreas atau eksaserbasi akut pankreatitis kronik, abses
ginjal, abses hati, abses limpa, dll. Biasanya efusi terjadi pada pleura kiri
tapi dapat juga bilateral. Mekanismenya adalah karena berpindahnya
cairan yang kaya dengan enzim pancreas ke rongga pleura melalui
saluran getah bening. Efusi disini bersifat eksudat serosa, tetapi kadang-
kadang juga dapat hemoragik. Efusi pleura juga sering terjadi setelah 48-
72 jam pasca operasi abdomen seperti splenektomi, operasi terhadap
obstruksi intestinal atau pascaoperasi atelektasis.
MANIFESTASI KLINIS
Biasanya manifestasi klinisnya adalah yang disebabkan oleh penyakit dasar.
Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis,
sementara efusi malignan dapat mengakibatkan dispnea dan batuk. Ukuran efusi
akan menentukan keparahan gejala. Efusi yang luas akan menyebabkan sesak
napas. Area yang mengandung cairan atau menunjukkan bunyi napas minimal
atau tidak sama sekali mengandung bunyi datar, pekak saat perkusi. Suara
egophoni akan terdengar diatas area efusi. Deviasi trakea menjauhi tempat yang
sakit dapat terjadi jika penumpukan cairan pleural yang signifikan. Bila terdapat
efusi pleura kecil sampai sedang, dispnea mungkin saja tidak ditemukan.(
Brunner & Suddart, 2001: 593)
19
PATOGENESIS
Pada orang normal, cairan di rongga pleura sebanyak 10-20 cc. Cairan di rongga
pleura jumlahnya tetap karena ada keseimbangan antara produksi oleh pleura
parientalis dan absorbsi oleh pleura viceralis. Keadaan ini dapat dipertahankan
karena adanya keseimbangan antara tekanan hidrostatis pleura parientalis
sebesar 9 cm H2O dan tekanan koloid osmotic pleura viceralis. Namun dalam
keadaan tertentu, sejumlah cairan abnormal dapat terakumulasi di rongga pleura.
Cairan pleura tersebut terakumulasi ketika pembentukan cairan pleura lebih dari
pada absorbsi cairan pleura, misalnya reaksi radang yang meningkatkan
permeabilitas vaskuler. Selain itu, hipoprotonemia dapat menyebabkan efusi
pleura karena rendahnya tekanan osmotic di kapiler darah ( Hood Alsagaff dan
H. Abdul Mukty, 2002).
Menurut Hood Alsagaff dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Dalam,
keadaan normal pada cavum pleura dipertahankan oleh:
1. Tekanan hidrostatik pleura parientalis 9 cm H2O
2. Tekanan osmotik pleura viceralis 10 cm H2O
3. Produksi cairan 0,1 ml/kgBB
Secara garis besar akumulasi cairan pleura disebabkan karena dua hal yaitu:
1. Pembentukan cairan pleura berlebih
Hal ini dapat terjadi karena peningkatan: permeabilitas kapiler (keradangan,
neoplasma), tekanan hidrostatis di pembuluh darah ke jantung / v.
pulmonalis ( kegagalan jantung kiri ), tekanan negatif intrapleura
(atelektasis ).
2. Penurunan kemampuan absorbsi sistem limfatik
Hal ini disebabkan karena beberapa hal antara lain: obstruksi stomata,
gangguan kontraksi saluran limfe, infiltrasi pada kelenjar getah bening,
peningkatan tekanan vena sentral tempat masuknya saluran limfe dan
tekanan osmotic koloid yang menurun dalam darah, misalnya pada
hipoalbuminemi. Sistem limfatik punya kemampuan absorbsi sampai dengan
20 kali jumlah cairan yang terbentuk.
20
DIAGNOSIS1. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan efusi pleura akan ditemukan:
1. Inspeksi: pencembungan hemithorax yang sakit, ICS melebar, pergerakan
pernafasan menurun pada sisi sakit, mediastinum terdorong ke arah
kontralateral.
2. Palpasi: sesuai dengan inspeksi, fremitus raba menurun.
3. Perkusi: perkusi yang pekak, garis Elolis damoisseaux
4. Auskultasi: suara nafas yang menurun bahkan menghilang.
2. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto thorax
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk
bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi
daripada bagian medial.
Cairan dalam pleura kadang-kadang menumpuk menggelilingi lobus paru
(biasanya lobus bawah) dan terlihat dalam foto sebagai bayangan konsolidasi
parenkim lobus. Dapat juga menggumpul di daerah para-mediastinal dan
terlihat dalam foto sebagai figura interlobaris.
Pemeriksaan dengan ultrasonografi pada pleura dapat menentukan adanya
cairan dalam rongga pleura. Pemeriksaan ini sangat membantu sebagai
penentuan waktu melakukan aspirasi cairan tersebut, terutama pada efusi
yang terlokalisasi. Demikian juga dengan pemeriksaan CT Scan dada.
Adanya perbedaan densitas cairan dengan jaringan sekitarnya, sangat
memudahkan dalam menentukan adanya efusi pleura. Hanya saja
pemeriksaan ini tidak banyak dilakukan karena biayanya masih mahal.
2. Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) berguna sebagai sarana untuk
diagnostic maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dilakukan pada
penderita dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru di
21
sela iga IX garis aksilaris posterioar dengan memakai jarum Abbocath nomor
14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1.000-1.500
cc pada setiap kali aspirasi. Adalah lebih baik mengerjakan aspirasi berulang-
ulang daripada satu kali aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleural
shock (hipotensi) atau edema paru. Edema paru dapat terjadi karena paru-
paru menggembang terlalu cepat.
Untuk diagnostic caiaran pleura dilakukan pemeriksaan:
1) Warna cairan
Biasanya cairan pleura berwarna agak kekuning-kuningan (serous-xantho-
chrome). Bila agak kemerah-merahan,ini dapat terjadi pada trauma, infark
paru, keganasan, adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kuning
kehijauan dan agak perulen, ini menunjukan adanya empiema. Bila
merahtengguli, ini menunjukan adanya abses karena amoeba.
2) Biokimia
Secara biokimia efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang
perbedaannya dapat dilihat pada tabel berikut ini:
22
(dikutip dari Asril Bahar: 2001)
Di samping pemeriksaan tersebut di atas, secara biokimia di periksakan juga pada
cairan pleura:
A. Kadar pH dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit-penyakit
infeksi, arthritis rheumatoid dan neoplasma
B. Kadar amylase. Biasanya meningkat pada pankreatitis dan metastasis
adenokarsinoma.
23
transuda
t
Eksudat
Kadar
protein
dalam efusi
efusi (g/dl)
< 3 > 3
Kadar
protein
dalam
serum per
kadar
protein
dalam
serum
< 0,5 > 0,5
Kadar LDH
dalam efusi
(I.U.)
< 200 > 200
Kadar LDH
dalam efusi
pe Kadar
LDH dalam
serum
< 0,6 > 0,6
Berat jenis
cairan efusi
< 1, 016 > 1, 016
Rivalta negatif Positif
3) Sitologi
Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk diagnostic
penyakit pleura, terutama bila ditemukan patologis atau dominasi sel –sel
tertentu.
a) Sel neutrofil: menunjukan adanya infeksi akut
b) Sel limfosit: menunjukan adanya infeksi kronik seperti pleuritis
tuberkulosa atau limfoma malignum.
c) Sel mesotel: bila jumlahnya meningkat adanya infark
paru.biasanya juga ditemukan banyak sel eritrosit.
d) Sel mesotel maligna: pada mesotelioma.
e) Sel-sel besar dengan banyak inti: pada arthritis rheumatoid.
f) Sel L.E: pada lupus eritematosus sistemik.
4) Bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat mengandung
mikroorganisme, apalagi bila cairanya purulen.Efusi yang purulan dapat
mengandung kuman-kuman yang aerob ataupaun anaerob. Jenis kuman
yang sering ditemukan dalam cairan pleura adalah pneumokokus, E, coli,
Klebsiella, Pseudomonas, Enterobacter.
3. Biopsi pleura
Pemeriksaan histology stu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat
menunjukan 50-75 persen diagnosis kasus-kasus pleuritis tuberkolosa dan
tumor pleura. Komplikasi adalah pneumotoraks, hemotoraks, penyebarab
infeksi atau tumor pada dinding dada.
4. Pendekatan pada efusi yang tidak terdiagnosis
Analisis terhadap cairan pleura yang dilakukan satu kali kadang-kadang tidak
dapat menegakkan diagnosis. Dalam hal ini dianjurkan asppirasi dan
anakisisnya diulang kembali sampai diagnosis menjadi jelas.
Jika fasilitas memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan tambahan seperti:
a) Bronkoskopi, pada kasus–kasus neoplasma, korpus alienum dalam
paru, abses paru.
b) Scanning isotop, pada kasus-kasus dengan emboli paru.
24
c) Torakoskop(fiber-optic-pleuroscopy) pada kasus-kasus dengan
neoplasma atau tuberculosis pleura.
II.4.2 abses paru
DEFINISI
Abses paru didefinisikan sebagai semua lesi di parenkim paru dengan proses
supurasi dan nekrosis jaringan.
EPIDEMIOLOGI
a. Mortalitas/Morbiditas
Kebanyakan pasien dengan abses paru primer dapat sembuh dengan
antibiotic, dengan tingkat kesembuhan rata-rata sebanyak 90-95%.
faktor host yang menyebabkan prognosis memburuk antara lain usia lanjut,
kekurangan tenaga, malnutrisi, infeksi HIV atau bentuk lain imunosupres,
keganasan, dan durasi gejala lebih dari 8 minggu. Tingkat kematian untuk pasien
dengan status imunocompromised mendasar atau obstruksi bronkial yang
kemudian membentuk abses paru dapat mencapai 75%.
b. Seks
Laki-laki mempunyai prevalensi yang dominan dalam kejadian abses paru yang
dilaporkan dalam beberapa seri kasus yang sudah dipublikasikan.
c. Umur
Abses paru pada umumnya terjadi pada pasien usia lanjut dikarenakan
meningkatnya penyakit periodontal dan peningkatkan prevalensi disfagi dan
aspirasi pada usia ini. Namun, serangkaian kasus dari warga yang tinggal di pusat
perkotaan dengan prevalensi alkoholisme tinggi melaporkan usia rata-rata yang
mengalami abses paru adalah 41 tahun.
ETIOLOGI
Penyebab abses paru diantaranya adalah:
Pneumonia nekrotikans, aspirasi benda asing, emboulus septik atau infeksi
pada infark paru, obstruksi bronkial oleh tumor, infeksi kista atau bula, perluasan
bronkiektasis ke parenkim, luka tembus dada, dan perluasan infeksi
transdiafragmatika seperti abses subfrenik dan amebik.
25
Bakteri anaerob terdapat di hampir semua abses paru, kadang-kadang dalam
jumlah yang sangat banyak. Pada 89% kasus, penyebab abses paru adalah bakteri
anaerob. Yang paling sering adalah Peptostreptococcus, Bacteroides,
Fusobacterium dan Microaerophilic streptococcus.
Kebanyakan abses paru yang terjadi pada anak-anak disebabkan oleh
adanya aspirasi benda asing.
Abses paru dapat muncul sebagai komplikasi dari pneumonia aspirasi akibat
bakteri anaerob di mulut. Penderita abses paru biasanya memiliki masalah
periodontal (jaringan di sekitar gigi). Sejumlah bakteri yang berasal dari celah gusi
sampai ke saluran pernafasan bawah dan menimbulkan infeksi. Tubuh memiliki
sistem pertahanan terhadap infeksi semacam ini, sehingga infeksi hanya terjadi jika
sistem pertahanan tubuh sedang menurun, seperti yang ditemukan pada:
- seseorang yang berada dalam keadaan tidak sadar atau sangat mengantuk karena
pengaruh obat penenang, obat bius atau penyalahgunaan alkohol.
- penderita penyakit sistem saraf.
Organisme lainnya yang tidak terlalu sering menyebabkan abses paru adalah:
- Staphylococcus aureus
- Streptococcus pyogenes
- Streptococcus pneumoniae
- Klebsiella pneumoniae
- Haemophilus influenzae
- spesies Actinomyces dan Nocardia
- Basil gram negatif.
Penyebab non-bakteri juga bisa menyebabkan abses paru, diantaranya:
- Parasit (Paragonimus, Entamoeba)
- Jamur (Aspergillus, Cryptococcus, Histoplasma, Blastomyces, Coccidioides)
PATOFISIOLOGI
Aspirasi sering merupakan sumber infeksi organisme campuran gram-negatif dan
anaerob. Ini bisa merupakan akibat dari aspirasi subklinis dan disebut dengan
pneumonia gravitasional. Terutama harus dicurigai terdapat aspirasi apabila kavitas
terjadi di bagian paru yang berada di bawah. Keadaan klinis seperti hygiene mulut
26
yang jelek, alkoholisme, atau tumor nasofaring, laring atau mulut akan menyokong
diagnosa. Pasien biasanya akan menderita demam dengan batuk produktif.
Faktor predisposisi terjadinya abses paru seorang pasien:
1. Ada sumber infeksi saluran pernafasan.
Infeksi mulut, tumor laring yang terinfeksi, bronkitis, bronkiektasis dan kanker
paru yang terinfeksi.
2. Daya tahan saluran pernafasan yang terganggu
Pada paralisa laring, aspirasi cairan lambung karena tidak sadar, kanker
esofagus, gangguan ekspektorasi, dan gangguan gerakan sillia.
3. Obstruksi mekanik saluran pernafasan karena aspirasi bekuan darah, pus,
bagian gigi yang menyumbat, makanan dan tumor bronkus. Lokalisasi abses
tergantung pada posisi tegak, bahan aspirasi akan mengalir menuju lobus
medius atau segmen posterior lobus inferior paru kanan, tetapi dalam
keadaan berbaring aspirat akan menuju ke segmen apikal lobus superior atau
segmen superior lobus interior paru kanan, hanya kadang-kadang aspirasi
dapat mengalir ke paru kiri. (1)
MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang ada pada abses paru hampir sama dengan gejala
pneumonia pada umumnya yaitu:
o Panas badan
Dijumpai berkisar 70% - 80% penderita abses paru. Kadang
dijumpai dengan temperatur > 400C.
o Batuk
Pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga
abses dengan bronkus batuknya menjadi meningkat dengan
bau busuk yang khas (Foetor ex oroe)
o Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oroe
Dijumpai berkisar 40 – 75% penderita abses paru.
o Nyeri yang dirasakan di dalam dada
o Batuk darah
o Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat
badan.
27
Pada pemeriksaan fisis dijumpai tanda-tanda proses konsolidasi seperti redup
pada perkusi, suara nafas yang meningkat, sering dijumpai adanya jari tabuh serta
takikardi.
DIAGNOSIS
Untuk menentukan diagnosis pasti dari abses paru haruslah menyingkirkan kavitas
yang ditimbulkan oleh karsinoma ataupun tuberculosis.
Diagnosis abses paru dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Keluhan penderita yang khas misalnya malaise, penurunan berat badan,
panas badan yang ringan, dan batuk yang produktif.
2. Riwayat penyakit sebelumnya. Adanya riwayat penurunan kesadaran
berkaitan dengan sedasi, trauma atau serangan epilepsi.
3. Gambaran radiologis abses paru menunjukkan adanya kavitas berdinding
dengan air fluid level di dalam kavitas.
4. Bronkoskopi. Untuk mengetahui adanya obstruksi pada bronkus. Obstruksi
bronkial skunder biasanya disebabkan oleh karsinoma.
5. Kultur sputum dapat mengidentifikasi penyebab dari abses paru
Foto Thorax
Kavitas
Abses paru ditandai dengan peradangan di jaringan paru yang menimbulkan
nekrosis dengan pengumpulan nanah. Pada foto PA dan lateral abses paru
biasanya ditemukan satu kavitas, tetapi dapat pula multi-kavitas berdinding tebal
dengan diameter antara 2-20 cm. Biasanya ditemukan pula permukaan udara dan
cairan di dalamnya (air-fluid level).
Gambaran radiologik kavitas paru merupakan hasil dari nekrosis parenkim paru
dengan evakuasi jaringan nekrotik melalui percabangan trakeobronkial. Adanya
hubungan dengan percabangan memungkinkan udara memasuki daerah nekrotik,
dan ini menimbulkan gambaran radiologik berupa defek lusen.
Nekrosis tipe ini akan mengakibatkan hilangnya corakan bronkovaskular normal
yang diakibatkan oleh dekstruksi hampir seluruh dinding alveoli, septa interlobularis,
dan bronkovaskular pada daerah kavitas. Parenkim paru normal di sekitarnya
bereaksi terhadap jaringan nekrosis ini dengan membentuk suatu reaksi inflamasi di
sekitar bahan nekrotik dengan edema lokal dan pendarahan. Dinding kavitas
28
dibentuk oleh infiltrat inflamasi di sekitar lesi, edema, perdarahan, dan jaringan paru
normal yang tertekan.
CT- Scan
CT-scan dapat membantu visualisasi anatomi yang lebih baik daripada foto thorax,
dan sangat berguna untuk membedakan abses paru dengan empyema atau infark
paru, ataupun kelainan paru lain dengan lesi berupa kavitas.
Gambaran khas CT-Scan abses paru ialah berupa Lesi dens bundar dengan
kavitas berdinding tebal tidak teratur dan terletak di daerah jaringan paru yang rusak.
Tampak bronkus dan pembuluh darah paru berakhir secara mendadak pada dinding
abses, tidak tertekan atau berpindah letak. Sisa-sisa pembuluh darah paru dan
bronkhus yang berada dalam abses dapat terlihat dengan CT-Scan, juga sisa-sisa
jaringan paru dapat ditemukan di dalam rongga abses. Lokalisasi abses paru
umumnya 75% berada di lobus bawah paru kanan bawah.
TERAPI
Terapi antibiotik
Penisilin merupakan pilihan dengan dosis satu juta unit, 2-3 kali sehari
intramuskular. Bila diperkirakan terdapat kuman gram negatif dapat
ditambahkan kloramfenikol 500 mg empat kali sehari. Respons terapi yang
baik akan terjadi dalam 2-4 minggu, dan selanjutnya bisa dilanjutkan dengan
terapi antibiotik peroral. Pada terapi peroral diberikan:
Penisilin oral 750 mg empat kali sehari.
Apabila hasil terapi kurang memuaskan, terapi dapat dirubah dengan:
Klindamisin 600 mg tiap 8 jam,
Metronidazol 4x500 mg, atau
Gentamisin 5 mg/kg BB dibagi dalam 3 dosis tiap hari.(1)
Drainase postural
Selalu dilakukan bersama dengan pemberian terapi antibiotik. Tubuh
diposisikan sedemikian rupa sehingga drainase pun menjadi lancar. Pada
kebanyakan pasien, drainase spontan terjadi melalui cabang bronkus, dengan
produksi sputum purulen.
29
Bronkoskopi
Penting untuk membersihkan jalan napas sehingga drainase pun menjadi
lancar. Pada beberapa kasus, harus dikerjakan pula bronkoskopi untuk
menilai daerah abses pada cabang-cabang bronkial.
Bedah
Sekarang ini intervensi bedah sangat jarang dilakukan pada pasien abses
paru. Tindakan bedah pada abses paru biasanya dilakukan pada kasus
dengan komplikasi seperti haemoptisis masif, fistulla bronchopleural dan
empiema.
Untuk abses akut, sebelum dilakukan upaya pembedahan harus dilakukan
upaya medik lainnya terlebih dahulu. Tanda-tanda kemajuan pada
pengobatan adalah pengurangan batuk, sputum, demam, toksisitas, infiltrasi,
dan kavitasi pulmoner secara radiologik. Bila tidak ada tanda-tanda kemajuan
setelah 3-6 minggu, dapat dilakukan tindakan pembedahan. Namun apabila
tindakan bedah tidak memungkinkan akibat kondisi pasien yang buruk,
tindakan bedah yang dapat dilakukan hanyalah pengaliran melalui reseksi
iga.
Abses kronik yang tak menunjukkan respon terhadap terapi medik,
memerlukan reseksi ligamen atau lobus yang terkena.
PROGNOSIS
Bila tidak terlambat ditangani prognosisnya baik. Lebih dari 90% dari abses
paru-paru sembuh dengan manajemen medis saja, kecuali disebabkan oleh
obstruksi bronkial sekunder untuk karsinoma. Angka kematian yang disebabkan oleh
abses paru terjadi penurunan dari 30 – 40 % pada era preantibiotika dan sampai 15
– 20 % pada era sekarang.
Angka kematian untuk pasien dengan status yang mendasari immunocompromised atau obstruksi bronkial yang dapat memperburuk abses paru-paru mungkin mencapai 75%.(14)
30
BAB III
Daftar Pustaka
Alwi, Idrus. 2007. Endokarditis dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus.
Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Dorland, W. A. Newman, Kamus Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC, 2002.
Fauci, A.S. Braunwald, E. Kasper, D.L. Hauser, S.L. Longo, D.L. 2008. Harrison's:
Principles of Internal Medicine 17th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies.
Guyton dan Hall. Fisiologi kedokteran. Edisi 11.Jakarta : EGC, 2008.
Sadler. Embriologi Kedokteran Langman. Edisi 10. Jakarta : EGC, 2010.
Sherwood, Lauralee.2001.Fisiologi manusia.Edisi 2. Jakarta : EGC, 2001.
Alsagaff, Hood dan H. Abdul Mukty. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University Press
31
Anonim. Paru-paru dan Saluran Pernapasan. www.medicastore.com.
Bahar, Asril. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed. 3. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta EGC.
Rofiqahmad. 2008. Thorax. http://www.efusi pleura/080308/thorax/weblog.htm.
32