Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

23
1 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara (  Menggeledah Struktur dan Sebab-sebab Kekerasan Massa ) Nurlin 1  (P1900212002) Abstrak Tulisan ini mengkaji tentang aksi dan kekerasan masa yang pernah terjadi di Buton Utara tanggal 24 September 2011. Dalam peristiwa itu, 1 buah mobil pemadam kebakaran, kantor DPRD Kabupaten Buton Utara dan Kantor Bupati Buton Utara dibakar karena mejadi sasaran amukan masa. Landasan teori dalam tulisan ini adalah teori tindakan kolektif Michael Bader, struktural-fungsional Emile Durkheim, teori konflik Ralf Dahrendorf dan teori agensi-struktur Anthony Giddens. Metodologi yang digunakan dalam tulisan ini adalah metodologi kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui pengamatan dan kajian kepustakaan. Hasil analisa menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi di Buton Utara tanggal 24 September 2011 merupakan gerakan massa yang dipersiapkan, tidak lahir secara spontan, melainkan berasal dari adanya ketimpangan sosial yang terpola akibat proses sosial-politik. Selain itu, disebabkan pula oleh adanya kerapuhan struktur non-materil (sifat yang dibatinkan) masyarakat Buton Utara. Kata kunci: Aksi Sosia l, Massa, dan Tindakan Ko lektif, 1  Penulis adalah mahasiswa Program Pascasarjana Jurusan Antropologi Universitas Hasanuddin

description

Artikel ini membahas mengenai kekerasan massa dalam konflik ibukota di Buton Utara

Transcript of Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    1/23

    1

    Peristiwa 24 September 2011

    Di Buton Utara(Menggeledah Struktur dan Sebab-sebab Kekerasan Massa)

    Nurlin1

    (P1900212002)

    Abstrak

    Tulisan ini mengkaji tentang aksi dan kekerasan masa yang pernah terjadi di

    Buton Utara tanggal 24 September 2011. Dalam peristiwa itu, 1 buah mobil

    pemadam kebakaran, kantor DPRD Kabupaten Buton Utara dan Kantor

    Bupati Buton Utara dibakar karena mejadi sasaran amukan masa. Landasanteori dalam tulisan ini adalah teori tindakan kolektif Michael Bader,

    struktural-fungsional Emile Durkheim, teori konflik Ralf Dahrendorf dan

    teori agensi-struktur Anthony Giddens. Metodologi yang digunakan dalam

    tulisan ini adalah metodologi kualitatif dengan menggunakan teknik

    pengumpulan data melalui pengamatan dan kajian kepustakaan. Hasil

    analisa menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi di Buton Utara tanggal

    24 September 2011 merupakan gerakan massa yang dipersiapkan, tidak lahir

    secara spontan, melainkan berasal dari adanya ketimpangan sosial yang

    terpola akibat proses sosial-politik. Selain itu, disebabkan pula oleh adanyakerapuhan struktur non-materil (sifat yang dibatinkan) masyarakat Buton

    Utara.

    Kata kunci:Aksi Sosial, Massa, dan Tindakan Kolektif,

    1

    Penulis adalah mahasiswa Program Pascasarjana Jurusan AntropologiUniversitas Hasanuddin

  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    2/23

    2

    tak ada yang lebih menakutkan manusiadaripada persentuhan dengan yang tidak dikenal

    Elias Canetti.Masa adalah pertama salinan kabur orang besar,

    Kedua pembangkangan melawan orang besar, Ketiga, alat orang besar.Frederich Nietzsche.

    Pengantar

    Suasana yang mencekam terlihat diwajah kelompok massa saat

    mereka mengetahui adanya makhluk buas ciptaan Dr. Frankestein dalam

    Film Van Helsing. Kerumunan masa itu terlihat berani namun sebenarnya

    mereka datang atas ketakutan mereka terhadap ancaman-ancaman

    eksistensi ajaran-ajaran yang mereka anut. Masa tanpa peri kemanusiaan

    membakar kediaman penelitian sang doktor. Tindakan yang tidak

    sewajarnya itu menjadi hal yang mesti dilakukan sebab gerombolan

    massa itu tak lagi melihat Frankestein sebagai manusia melainkan sebagai

    sesuatu yang lainyang pantas dihancurkan.

    Pengaburan konsep manusia dalam benak kepala massa membuat

    wajah massa terlihat buas dan menakutkan. Teriakan-teriakan yang keluar

    dari kerumunan massa itu menggambarkan betapa marahnya mereka

    terhadap apa yang mereka benci. Segera setelah objek kebencian itu

    bersentuhan langsung dihadapan massa, luapan emosi yang tak

    terkendali membuat objek dalam hitungan menit berada dalam

    cengkeraman tangan massa. Objek tak lagi dinilai sebagai mana dirinya

    yang normal, melainkan dicitrakan sebagai sesuatu yang lain dan

    abnormal. Praktek-praktek konsolidasi dalam hal mengadvokasi dan

    menggerakan massa sangat berjasa dalam proses pecitraan suatu objek

    sebagai yang abnormal, mejadi yang tidak semestinya ada dan harus

    dihilangkan. Pencitraan objek ini menciptakan penafsiran yang negatif

    dalam tafsiran massa. Melalui tafsiran negatif ini, massa menemukan

  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    3/23

    3

    alasan-alasan kemarahannya dan mereduksi citra objek kemarahan dalam

    kebencian-kebencian yang tak dapat ditoleransi. Dengan demikian,bukanlah hal yang mengherankan apabila kita melihat sekumpulan massa

    memukuli maling yang tertangkap di pasar, tidaklah menghrankan jika

    tindakan massa begitu kejam ketika mengusir pengikut sekte atau aliran

    agama Ahmadyah yang diaggap sesat, juga betapa kejamnya pengusiran

    para warga terhadap orang yang dituduh sebagai dukun santet. Mereka

    yang citranya telah terdeformasi dipandang bukan sebagai manusia lagi,

    melainkan sebagai sesuatu yang menjijikan dan tidak pantas ada.

    Luapan kemarahan massa yang membabi buta terjadi di Kabupaten

    Buton Utara tangga 24 September 2011. Dalam kejadian itu, tak butuh

    waktu lama, dua kantor milik pemerintah yakni kantor DPRD dan kantor

    Bupati Buton Utara, beserta mobil pemadam kebakaran ludes terbakar

    oleh massa yang mengatas namakan diri sebagai Penyelamat Undang-

    Undang. Betapa pemerintah telah terdeformasi sebagai sasarankemarahan dan amukan massa. Entah apa kesalahan pemerintah dapat

    dilihat dari nama massa yang terorganisir itu sebagai Penyelamat

    Undang-Undang. Tentunya nama itu mengandaikan citra yang ditafsirkan

    oleh massa yang sedang mengamuk. Citra itu megandaikan pemerintah

    sebagai oknum yang tidak mengindahkan amanah Undang-Undang

    Nomor 17 Tentang Pembentukan Kabupaten Buton Utara.

    Citra pemeritah yang terdeformasi melalui penafsiran dalam kepala

    massa menjadikan pemerintah sebagai bukan pemerintah melainkan

    sebagai oknum yang melanggar Undang-Undang yang harus dilawan.

    Gambaran inilah yang membuat monster berkepala banyak itu sangat

    agresif melakukan pengrusakan tanpa kendali nilai sebagai sesama

    manusia atau tanpa rasa hormat lagi terhadap pemerintah. Namun

    persoalan kemudian adalah benarkah kesalahan pemerintah hanya

  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    4/23

    4

    terletak pada sisi tafsiran Undang-Undang? Adakah penyebab lain yang

    turut memengaruhi ledakan massa yang sangat destruktif itu?

    Tulisan ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Namun

    penulis disini tidak bertujuan untuk membelah pemerintah, bukan pula

    mencari kambing hitam, juga tidak memposisikan tulisan ini sebagai

    naskah hukum atau naskah akademik pemecahan masalah. Tulisan ini

    tidak lain adalah komentar akademik yang berupaya memahami dan

    mengomentari sisi lain dari tindakan-tindakan masyarakat (tragedi 24

    September) melalui kacamata teori-teori sosial.

    Teori Struktural-Fungsionalisme dan Teori Konflik

    Kedua teori ini dibahas bersama karena antara teori struktural-

    fungsionalisme dan teori konflik tak dapat dipisahkan. Namun

    bagaimanapun teori ini tidaklah berarti sama atau setara. Hanya saja teorikonflik merupakan pandangan lain atau antitesa dari teori strukturalisme-

    fungsional. Kita akan mulai pembahasan mengenai teori Struktural-

    Fungsional.

    Struktural-fungsionalisme memandang masyarakat sebagai suatu

    sebagai suatu sistem dari struktur-struktur sosial.2 Menurut Durkheim,

    seorang individu terlahir dalam struktur yang telah mapan dan individu

    tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti struktur tersebut. Durkheim

    bahkan berpandangan bahwa pikiran dan pengalaman sekali pun

    diwariskan.3 Artinya seorang individu dalam menghadapi fakta-fakta

    sosial tidak dapat melakukan pilihan sendiri selain dari apa yang telah

    2 Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer; Suatu Pengantar Kritis

    Mengenai Paradigma(Ed. I, Cet. II, Jakarta, Kencana:2006) hlm. 1563

    PIP Jonas, Pengantar Teori-Teori Sosial; Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-modernisme(Cet. II, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia: 2010) hlm. 45

  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    5/23

    5

    disediakan oleh budaya itu sendiri. Nama, kebiasaan suatu masyarakat

    untuk tunduk kepada yang lebih tua, memakai baju, melaksanakan tugassebagai mahasiswa dan sebagai dosen semuanya telah diatur oleh

    kebudayaan sebagai struktur itu sendiri dimana individu berada di

    dalamnya tanpa punya pilihan lain selain mengikuti struktur itu.

    Sedangkan struktur itu menurut Durkheim diwariskan melalui sosialisasi.

    Struktur yang diwariskan itu menurut Durkheim berfungsi untuk

    menjaga keteraturan sosial. Termasuk organisasi-organisasi sosial seperti

    keluarga ada untuk menjalankan fungsinya di dalam struktur. Untuk

    menjelaskan hal ini, Durkheim menggunakan analogi organik yang

    merupakan karya Herbert Spencer. Dalam tubuh mahluk hidup terdapat

    organ-organ yang memiliki fungsi masing-masing yang tak dapat

    dipisahkan. Seperti otak sangat bergantung pada jantung yang memompa

    darah dan keseluruhan sistem organ yang menjadi sayarat hidup mahluk

    hidup. Rusaknya salah satu organ ini akan menyebabkan organisme itusakit. Demikian juga dengan masyarakat, jika salah satu organisasi sosial

    sakit, akan mempengaruhi stabilitas masyarakat.4

    Berbeda dengan teori strukturalisme-fungsional, teori konflik

    melihat struktur dan fungsi yang ada dalam masyarakat sebagai bentuk

    ruang-ruang penindasan. Ralf Dahrendorf membedakan antara teori

    Struktural-Fungsionalisme:5 jika kaum fungsionalis menekankan pada

    ketertiban masyarakat, para teoritis konflik melihat pertikaian dan konflik

    ada pada setiap titik di dalam sistem sosial. Bagi kaum fungsionalis (atau

    setidaknya kaum fungsionalis awal) berargumen bahwa setiap unsur di

    dalam mayarakat menyumbang bagi stabilitas; maka para teoritis konflik

    melihat bahwa banyak unsur masyarakat merupakan penyumbang

    4Lihat PIP Jonas, Ibid hal. 52

    5

    George Ritzer, Teori-Teori Sosial; Dari Sosiologi Klasik Sampai PerkembanganTerkahir Post-modernisme(Cet. I, Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2012) hlm. 450

  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    6/23

    6

    disintegrasi dan perubahan. Kaum Struktural-fungsionalis memandang

    bahwa masyarakat diikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai,dan moralitas bersama; para teoritis konflik melihat setiap ketertiban yang

    ada di dalam masyarakat berasal dari pemaksaan sejumlah anggota

    masyarakat oleh orang-orang yang berada di puncak dalam struktur.

    Sementara kaum struktural-fungsionalis berfokus pada kohesi yang

    diciptakan oleh nilai-nilai bersama masyarakat, para teoritis konflik

    menekankan peran kekuasaan dalam memelihara tatanan di dalam

    masyarakat.

    Bagi penganut teori konflik, terdapat kesenjangan dalam struktur

    sosial dimana ada kelompok yang diuntungkan oleh struktur dan

    kelompok yang dirugikan oleh struktur. Mereka yang dirugikan

    didominasi dengan sejumlah wacana dan otoritas kelompok yang

    diuntungkan oleh struktur sosial yang berlaku. Selanjutnya Dahrendorf

    mengatakan bahwa karena masyarakat itu berwajah dua (konflik dankonsensus), maka masyarakat tidak bisa ada tanpa konflik dan konsensus

    dan tidak bisa ada konflik jika tidak ada konsensus yang mendahuluinya.

    Konsensus atau kesepakatan bersama yang diingkari dalam teori

    konflik akan melahirkan konflik. Dengan demikian dalam kasus

    kekerasan massa di Buton Utara berdasarkan pandangan teori konflik

    dapat dikatakan bahwa peletakan ibu kota diluar amanah undang-undang

    merupakan bentuk pengingkaran atas konsensus yang ditetapkan oleh

    undang-undang. Tentunya pengingkaran ini dilakukan oleh kelompok

    yang diuntungkan posisinya atau memiliki otoritas di dalam struktur

    yakni pemerintah. Namun bagaimana kelompok yang dirugikan oleh

    struktur ini menemukan artikulasi perlawanannya? Hal ini akan dibahas

    didalam teori tindakan kolektif pada pembahasan selanjutnya.

  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    7/23

    7

    Agensi dan Struktur (Teori Strukturasi)

    Anthony Giddens adalah tokoh yang mempopulerkan teori

    strukturasi. Jika Durkheim memandang struktur tak dapat berubah dan

    ada sebelum manusia dilahirkan dan mempengaruhi seluruh tindakan

    masyarakat, maka Giddens berpandangan lain. Menurut Giddens antara

    struktur dan tindakan individu (Giddens menyebutnya sebagai Agensi)

    keduanya tidak dapat dipisahkan: agensi tersirat didalam struktur dan

    struktur tersirat dalam agensi.6Artinya bahwa individu dapat bertindak

    memengaruhi dan menciptakan struktur baru sekali pun pada sisi yang

    lain (pada saat yang sama) agen dipengaruhi oleh struktur lama.

    Giddens juga menjelaskan konsep kuasa dan agensi dalam teori

    strukturasi. Bahwa tidak hanya struktur makro yang memiliki kuasa,

    tetapi juga struktus mikro memiliki kuasa untuk mengubah struktur

    makro. Giddens mengatakan bahwa adanya struktur yang membatasi

    pilihan dalam bertindak tidak boleh diartikan dengan terputusnya

    tindakan.7 Tidak memiliki pilihan bukan berarti seorang individu tidak

    dapat bertindak. Individu dapat bertindak dengan kuasa kehendak yang

    dimilikinya. Dalam pengertian ini, kuasa tidak diartikan sebagai

    kepemilikan otoritas suatu kelompok masyarakat atau sejenis prilaku

    khusus melainkan mencangkup seluruh tindakan, dan kekuasaan

    bukanlah sumber daya. Sumber daya-sumber daya justru adalah sarana

    untuk menjalankan kekuasaan sebagai unsur rutin instansiasi prilaku

    dalam reproduksi sosial.8 Dengan demikian kekuasaan mencangkup

    kontinuitas rutinisasi relasi kemandirian dan ketergantungan disepanjang

    ruang dan waktu tindakan sosial. Semua bentuk ketergantungan memberi

    6George Ritzer, Ibid, hlm. 380

    7Anthony Giddens, Teori Strukturasi; Dasar-dasar Pembentukan Struktus Sosial

    Masyarakat(Cet. I, Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2010) hlm. 238Ibid, hlm. 25

  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    8/23

    8

    sumber daya kepada bawahan untuk dapat memengaruhi atasannya.

    Inilah yang disebut Giddens sebagai dialectic of control (dialektika kontrol).Tak hanya atasan yang dapat mengontrol, namum mekanisme

    ketergantungan atasan kepada bawahan dapat menjadi kuasa bawahan

    untuk memengaruhi aktifitas atasan mereka. Dengan demikian apa yang

    disampaikan oleh teori konflik: dalam struktur ada kelompok yang

    diuntungkan karena mendapat otoritas dari struktur itu, melalui analisis

    agensi Giddens, secara fungsional kelompok yang dirugikan dapat

    memiliki otoritas terhadap kelompok yang berada di atas struktur.

    Kekuasaan yang sama juga dimiliki oleh massa pembela Undang-

    Undang ketika mereka melakukan tindakan kepada pemerintah. Sebagai

    kelompok yang dirugikan oleh struktur akhirnya bertindak sebagai agensi

    untuk merubah atau mereproduksi struktur yang baru (menstrukturasi)

    dalam penetapan ibu kota kabupaten Buton Utara.

    Konsep Massa dan Aksi Sosial

    Menalar tentang aksi sosial dan kekerasan massa yang terjadi di

    Buton Utara, saya menggunakan analisis Aksi Sosial menurut Sidney

    Tarrow yang dianggap cukup relevan dengan tema yang dibicarakan.

    Menurut Sidney Tarrow 9terdapat beberapa syarat utama agar suatu

    gerakan disebut sebagai Aksi Soail yakni: Pertama, suatu protes yang

    dilakukan oleh massa dapat disebut sebagai gerakan bila didalamnya ada

    aktor-aktor yang mengorganisasikan diri dan memobilisasi massa. Sebuah

    organisasi atau lebih didalam sebuah aksi adalah salah satu tanda penting

    bahwa protes itu memang terorganisir. Ini dimaksudkan untuk

    9Idris Rahim, Identitas Etno Religius Dalam Pembentukan Provinsi Gorontalo,Disertasi, Program Pasca Sarjana, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: 2010, hlm. 33-34

  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    9/23

    9

    membedakan dari suatu kumpulan massa dengan kerumunan massa

    (crowd).

    Kedua, pentingnya pemahaman mengenai gerakan yang terorganisir

    disini adalah mengenai asumsi tentang eksistensi sang aktor sosial yang

    mengelola segala bentuk ketidak puasan dan kekecewaan (grievances),

    atau isu bersama, menjadi identitas dan solidaritas, bahkan ideologi. Ini

    sangat penting karena sebuah gerakan butuh dukungan publik,

    setidaknya kelompok-kelompok organisasi untuk bergabung dalam suatu

    protes. Aktor-aktor yang bergerak untuk melawan selalu secara dinamis

    merancang tindakan sedemikian rupa untuk menciptakan peluang politik

    bagi mereka ketika berhadapan dengan lawan-lawannya.

    Ketiga, ada lawan-lawan yang setidaknya merupakan bagian dari

    kelompok yang terorganisir pula. Lawan itu dapat berasal dari Negara,

    militer-militer atau pemerintah, penguasa, pengusaha besar atau

    perusahaan-perusahaan, baik lawanlawan pada tingkat sektoral maupun

    nasional adalah bagian dari sebuah kekuatan yang tidak hanya memiliki

    legitimasi menggunakan alat-alat represi. Ada represi dalam bentuk

    sebuah produk keputusan kebijakan penguasa yang dipandang tidak

    menguntungkan, tidak menciptakan partisipasi mereka sementara hal itu

    berkaitan langsung dengan masa depan mereka.

    Keempat, tindak protes selalu mencerminkan adanya sebuah siklus

    proses perlawanan yang terorganisir (gagal maupun sukses) terhadap

    kekuasaan selalu terjadi berulang-ulang.

    Pandangan-pandangan Sidney Tarrow di atas memberikan batasan

    pada konsep aksi sosial yang mungkin berbeda dengan aksi sosial yang

    selama ini dipahami. Bahwa aksi sosial tidaklah sama dengan kerumunan

    massa (crowd). Seperti kerumunan massa yang sedang antri di pertamina,

    kerumunan massa yang sedang antri menunggu pembagian BLT dari

  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    10/23

    10

    pemerintah, atau mereka yang sedang berada dipasar sentral, kerumunan

    massa yang sedang mengejar seorang pencuri di pasar bukanlahmerupakan aksi sosial menurut pengertian Tarrow di atas. Mengingat

    rumitya membedakan pengertian mengenai aksi sosial dan aksi massa

    yang hampir sama dan luas maknanya, maka dalam tulisan ini perlu

    diadakan pembatasan konsep. Dalam analisis Tarrow di atas, kita sudah

    dapat menangkap maksud dari apa yang dimaksud dengan aksi sosial

    yang penulis maksdukan dalam tulisan ini. Bahwa aksi sosial merupakan

    gerakan protes yang terorganisir dan memenuhi sayarat-syarat yang telah

    djelaskan di atas. Namun bukakah kerumunan massa (crowd) itu dapat

    dikategorikan juga sebagai aksi sosial? Lalu apakah pengertian massa itu?

    Kesenjangan konsep ini dapat diselesaikan oleh pengertian yang di

    bahas oleh F.Budi Hardiman dalam karyanya yang berjudul: Massa, Teror

    dan Trauma; Menggeledah Negativitas Masyarakat Kita. Hardiman

    menjelaskan bahwa massa adalah konsentrasi manusia-manusia padasuatu tempat, dan konsentrasi itu tidak lama bertahan.10 Pengertian ini

    dapat dicontohkan seperti kerumunan massa yang sedang antri di

    pertamina, kerumunan massa yang sedang antri menunggu pembagian

    BLT dari pemerintah, atau mereka yang sedang berada dipasar sentral,

    dll. Namun lebih dari itu, Hardiman menekankan ciri yang spesifik dari

    suatu kerumunan yang disebut sebagai massa bahwa massa itu tidak

    bergerak dalam bingkai-bingkai institusioal, melainkan mengacu pada

    aksi-aksi kumpulan manusia yang melampaui batas-batas institusional.

    Pengertian melampaui batas-batas institusional mengacu pada pengertian

    bahwa sekumpulan manusia menjadi massa, jika mereka bertindak

    mengabaikan norma-norma sosial yang berlaku dalam situasi sehari-hari.

    Massa dalam arti ini selalu berkaitan dengan situasi khusus dengan

    10

    F. Budi Hardiman,Massa, Teror dan Trauma; Menggeledah Negativitas MasyarakatKita, (Cet. I, Yogyakarta, Penerbit Lamalera: 2011), hlm., 74

  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    11/23

    11

    keadaan sosial yang abnormal. 11 Melalui pengertian ini, massa tidaklah

    sama dengan aksi sosial yang memprotes kebijakan pemerintah, sebabterikat dalam bingkai hukum dan situasi normal sehari-hari. Namun

    begitu banyak orang terprovokasi untuk melakukan tidakan-tindakan

    anarkhi, mereka berubah mejadi massa.12 Dengan demikian, dapatlah

    diketahui perbedaan antara aksi sosial dan aksi massa. Dan dapat pula

    kita menjawab pertanyaan bahwa sejak kapan aksi sosial Pembela

    Undang-Undang dalam peristiwa 24 September di Buton Utara berubah

    mejadi massa?

    Teori Tindakan Kolektif

    Aksi kekerasa massa tidaklah memadai jika harus dijelaskan melalui

    teori prilaku ala Freudian, dan tidak pula memadai jika harus dijelaskan

    semata-mata melalui pendirian strukturalis ala Marxis.13. Freud dan

    Ortega bersama gurunya Le Bon mengandaikan kekerasan massa sebagi

    produk psikis sementara teori-teori Marx menemukan akar-akar

    kekerasan dalam ketimpagan-ketimpangan struktural yang tercipta dalam

    masyarakat. Diperlukan sebuah teori yang tentunya tidak berada dalam

    konfrontasi teoritis yang telah disebutkan, melainkan memadukannya.

    Kekerasan massa dapat dikategorikan sebagai tindakan sadar, tidak

    terbatas sebagai prilaku. Dalam hal ini, prilaku berkenaan denganspontanitas naluriah yang irasional, sementara tindakan menyangkut

    kesadaran manusiawi.14

    Kebanyakan massa yang mengamuk tidaklah berada dalam keadaan

    yang tidak sadar, tidak dalam situasi hipnotis, melaikan dalam keadaan

    11 Ibid, hlm., 7512Ibid13

    Untuk lebih jelasnya, baca F. Budi Hardiman, Ibid, hlm. 75-7814Ibid, hlm. 79

  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    12/23

    12

    sadar dan bertujuan. Hanya saja massa terprovokasi oleh nilai tertentu

    yang berhubungan dengan survival-nya. Dengan demikian analisisterhadap kekerasan massa lebih dapat dijangkau melalui analisis tindakan

    kolektif yang tidak parsial memahami sebab-sebab kekerasan massa yang

    dihubungkan dengan gejolak mentalitas, atau meluluh disebabkan oleh

    analisis ketimpangan struktur sosial.

    Menurut Budi Hardiman, analisis teori tindakan kolektif yang

    dimaksudkan adalah teori tindakan kolektif Veit Michael Bader. Melalui

    teori ini lanjut Hardiman, kita dapat mejelaskan tesis bahwa kekerasan

    massa berasal dari tangan manusia, namun dinamika perstiwa ini dapat

    melampaui intensi-intensi para pelakunya, bahwa chaos bukanlah ledakan

    spontan ressentiment, melainkan dipersiapkan melalui proses-proses

    tindakan manusia. Chaos adalah bagian suatu proyek untuk mengubah

    suatu tatanan yang tidak adil.15 Melalui teori ini pula, kita dapat

    memahami aksi-aksi mahasiswa yang sedang memprotes keras kebijakanpemerintah sering berakhir dengan kekacauan atau chaos. Demikian pula

    aksi kekerasan massa yang terjadi di Buton Utara tidak lahir secara

    spontan melainkan dipersiapkan, chaos yang terjadi merupakan proyek

    untuk tujuan tertetentu yang hanya diketahui oleh para aktor kekerasan.

    Teori tindakan mengkaji massa sebagai sesuatu yang dipersiapkan

    oleh manusia. Bader menerangkan unsur-unsur yang mempengaruhi

    terbentuknya massa. Menurutnya, sikap kolektifmerupakan unsur pertama

    dalam pembentukan massa.16 Sikap kolektif yang dimaksud misalnya

    karaker agresif preman, sentimen-sentimen agama, rasistis, sentimen dan

    polarisasi politk yang menurut Bader seperti dikutip Hardiman

    15Ibid, hlm. 7416Pengertian massa yang dimaksud sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya

    yakni kumpulan manusia yang melakukan tindakan diluar keadaan normal tanpa dibatasi oleh batas-batas institusionalisasi.

  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    13/23

    13

    merupakan struktur sosial yang dibatinkan.17 Eric Fromm menyatakan,

    bahwa karakter pada manusia merupakan pengganti kebutuhan fisiologis(dorongan organik; usaha mempertahankan diri) manusia yang kurang

    berkembang. Hasrat manusia, seperti cinta, kelembutan hati, kebebasan,

    tindakan destruktif, sadis, masokis, dan keinginan lebih lainnya adalah

    instrumen untuk memenuhi kebutuhan eksistensialnya, yang berakar dari

    kondisi eksistensi manusia tersebut.18Penghasutmassa memanfaatkan

    kondisi eksistensi individual ini yang dipoles menjadi struktur kognitif

    bersama melalui dominasi wacana sosio-politis, melalui penafsiran,

    hasutan, oleh budaya, oleh trend, oleh media, hingga sikap-sikap itu

    kemudian dibatinkan menjadi ciri khas suatu kelompok. Unsur kedua

    pembentukan massa adalah terbentuknya identitas kolektif. Sikap kolektif

    yang relatif homogen tanpa disadari membentuk identitas kolektif yang

    didefinisikan oleh Bader sebagai pemisahan dari yang lain.19

    Unsur ketiga pembentukan massa adalah terciptanya kepentinganKolektif. Ketegangan-ketegangan akan lebih muda tercipta dalam lapangan

    pertarungan kepentingan. Ketika kepentingan kita dan mereka saling

    berhadapan, rasa kekitaan suatu kelompok teritegrasi dalam tingkat

    resistensi yang tinggi. Bader menjelaskan seperti yang dikutip oleh

    Hardiman: jika para individu mengorientasikan kepentingan-

    kepentingan partikular mereka kepada kelompok, sehingga kepentingan-

    kepentingan macam itu dapat dibedakan dari kepentingan-kepentingan

    kelompok lain terbentuklah kepentingan kolektif.20Perbedaan identitas dan

    kepentingan kolektif ini akan menjadi sangat relevan dengan amukan

    massa manakala perbedaan identitas dan kepentingan antara kita dan

    17Op cit, hlm. 91

    18 Didik Saputra, Akar-Akar Kekerasan Suporter Sepak Bola (dikutip dalam

    http://29.wordpress.com,diposting pada tanggal 8 Januari 2011)19

    Op cit, hlm. 91

    20 Ibid, hlm. 93

    http://29.wordpress.com/http://29.wordpress.com/
  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    14/23

    14

    mereka terartikulasi secara jelas melalui penafsiran. Dengan demikian

    unsur terpenting dari berkumpulnya massa adalah adanya kepemimpinandan organisasi. Melalui kepemimpinan dan organisasi, sikap, identitas,

    kepentingan ditematisir dan ditafsirkan menjadi sebuah visi tindakan

    kolektif. Segala keberatan-keberatan, ketidakpuasan-ketidakpuasan di

    artikulasikan, ditematisir dan dikoordinasikan. Menurut Hardiman,

    kepemimpinan dan organisasi yang merupakan inti dari gerakan sosial

    membentuk suatu jaringan yang rumit. Juga dalam aksi massa yang

    tampaknya tak terstruktur, orang dapat mengenali pembagian tugas

    tertentu diantara para anggotanya: ada kristal massa, yaitu para pemicu

    kekerasan massa, penghubung antara kelompok yang satu dengan

    kelompok yang lain, informan-informan dan para pelaksana yang hanya

    mengikuti perintah dari atas.21

    Tahap terakhir yang mengantarkan massa ke ambang tindakan

    destruktif adalah mobilisasi. Proses ini menurut Hardiman bukanlahproses yang sederhana. Peralihan dari massa laten ke massa terbuka tidak

    hanya menuntut upaya menyebarkan emosi, agitasi dan provokasi

    ditengah-tengah orang banyak. Hal itu juga memerlukan strategi yang

    cerdik, kalkulasi, risiko-risiko, pilihan-pilihan sarana dst. Untuk

    melancarkan aksi bersama melawan tatanan normatif yang berlaku.22

    Peristiwa 24 September di Buton Utara

    Sekitar pukul 13.00 WITA, seperti diberitakan oleh beberapa media,

    rombongan massa dari kecamatan Bonegunu dan kambowa yang

    mengatas namakan Masyarakat Pembela Undang-Undang datang dengan

    tiga unit mobil truk, satu unit mobil Dinas Perhubungan yang disandera

    21

    Ibid, hlm. 95-9622Ibid, hlm. 96

  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    15/23

    15

    dalam perjalanan ke Ereke serta puluhan motor.23 Aksi ini merupakan

    lanjutan dari aksi sosial yang pernah dilakukan beberapa hari sebelumnyayang menuntut pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten Buton Utara

    dari Ereke ke Buranga sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan sesuai

    amanah Undang-Undang nomor 17 tahun 2007. Pada aksi massa

    sebelumnya Jumat, 23 September 2011, ratusan warga Buranga bahkan

    sempat menyandera Dirut RSUD Buton Utara dan membakar mobil Dinas

    BKKBN Kabupaten Buton Utara. Aksi tersebut dilakukan dalam bentuk

    sweepingyang berlangsung dijalan Ronta.

    Kemarahan warga ini memuncak pada Sabtu, 24 September 2011.

    Arak-arakan massa dalam tiga truk, satu mobil Dinas Perhubungan dan

    ratusan motor menciptakan suasana yang menakutkan dan mengerikan.

    Massa seperti halnya rombongan prajurit dalam perang-perang kerajaan

    masa lampau yang dilengkapi dengan senjata tajam dan tameng baja.

    Beberapa pekerja yang sedang membangun gedung di sekitar jalanmenuju kantor DPRD Buton Utara dikagetkan oleh tombak dan kengerian

    yang muncul di wajah massa. Tak dapat menahan rasa takut, banyak

    pekerja bangunan lari tunggang-langgang mencari tempat persembunyian

    yang aman.

    Suasana kembali mencekam ketika massa tanpa basa-basi membakar

    kantor DPRD Butur. Kepulan asap terlihat di arah Kantor DPRD Buton

    Utara. Satu mobil pemadam kebakaran yang datang untuk memadamkan

    api juga dibakar oleh massa yang sedang mengamuk. Pihak keamanan,

    massa yang pro pemerintah dan Satpol PP tak dapat berbuat apa-apa

    karena jumlah mereka yang terbatas di banding dengan massa yang

    sedang mengamuk. Massa kemudian bergerak menuju Bumi Sara Ea yang

    23

    Media Sultra-Sindikasi di http://sindikasi.inilah.com, (diakses pada Minggu,25 September 2011 pukul 20:27 WIB)

    http://sindikasi.inilah.com/http://sindikasi.inilah.com/
  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    16/23

    16

    merupakan pusat perkantoran pemerintah Kabupaten Buton Utara.

    Sasarannya adalah kantor bupati Kabupaten Buton Utara. Disana massapembela Undang-Undang sebelumnya mendapatkan perlawanan dari

    massa yang pro pemerintah, namun aksi pembakaran tidak dapat

    dihentikan karena jumlah yang sedikit.

    Kepulan asap menghiasi Kantor Bupati Buton Utara saat dilalap oleh

    api yang dipicu oleh massa. Warga Ereke kemudian diresahkan oleh isu

    pembakaran pasar sentral dan rumah jabatan bupati oleh massa pembela

    Undang-Undang. Pasca pembakaran kantor bupati, massa pembela

    Undang-Undang mendapat perlawanan yang sengit dari massa pro

    pemerintah. Dua massa yang saling berhadap-hadapan itu saling serang

    dengan busur, tombak dan batu akibatnya seorang warga terluka akibat

    terkena busur. Namun akhirnya dapat dibubarkan oleh aparat kepolisian.

    Aksi kekerasan dan saling serang ini mengandaikan dua

    kepentingan kolektif berbeda. Antara kita dan mereka bertemu dalam

    lapangan sosial yang banal. Massa pembela Undang-Undang

    menyebarkan teror yang telah dipersiapkan dengan melancarkan strategi

    chaos untuk menentang sistem yang berlaku, sementara massa pro

    pemerintah teritegrasi dalam upaya perwujudan kepentingan yang

    berbeda dan terlebih lagi adalah dorongan naluri bertahan ketika

    mendapatkan serangan dari kelompok identitas berbeda. Bagaimana pun

    juga, massa pro pemerintah bukanlah kelompok yang secara spontan

    terbentuk tanpa memenuhi unsur-unsur pembentukan massa sepeti

    analisis teori tindakan kolektif yakni adanya sikap kolektif, identitas

    kolektif, kepentingan kolektif, organisasi dan kepemimpinan serta

    mobilisasi massa.

    Seperti kata Bader terdapat sikap yang dibatinkan dalam benak

    kepala massa. Massa yang kelihatan spontan sekalipun sebenarnya

  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    17/23

    17

    terpola oleh proses sosial-politik, keakraban, identitas, dll. yang telah lama

    ada dan terbentuk diluar situasi formal dan bahkan tidak disadari.Polarisasi dukungan dalam proses demokrasi misalnya, memberi peluang

    untuk menciptakan identitas baru, kepentingan baru dan keakraban-

    keakraban baru. Pola yang terbatinkan ini menjadi kategori-kategori yang

    berpeluang menyulut gerakan massa yang terlihat spontan sekalipun.

    Intinya tak ada spontanitas aksi massa, semuanya dipersiapkan oleh

    proses-proses dan relasi-relasi sosial yang rumit. Massa juga tidak lepas

    dari kepemimpinan dan mobilisasi. Dalam massa yang kelihatan spontan,

    kepemimpinan terbentuk dari pengakuan sosial terhadap kapasitas

    seseorang yang juga terbatinkan melalui proses sosial yang berlangsung

    dalam ruang dan waktu, juga dapat terbentuk dari organisasi-organisasi

    non formal seperti komunitas preman dan kelompok-kelompok pemuda.

    Namun dalam massa yang terorganisir, massa bertindak dalam

    pembagian tugas, strategi-strategi, kalkulasi-kalkulasi, ketundukan dan

    risiko-risiko yang diperhitungkan sebelumnya secara cerdik.

    Monster berkepala banyak itu bergerak tanpa kendali moral dan

    norma-norma bukan karena mereka tidak memiliki nurani sebagai

    manusia. Pikiran dan tindakan massa berada dalam prinsip kepatuhan

    yang ditafsirkan dan dibatinkan. Seperti studi yang pernah dilakukan oleh

    Hannah Arendt mengenai Adolf Eichmann dalam karyanya yang

    berjudul: Eichmann in Jerusalem. Eichmann adalah kaki tangan Hitler yang

    bertanggung jawab terhadap pemusnahan orang Yahudi. Pada dasarnya,

    Eichmann adalah seorang warga negara dan birokrat yang baik, namun

    dalam menjalankan kepatuhannya terhadap rezim Nazi ia melakukan

    tindakan-tindakan di luar batas-batas moralitas dan norma-norma

    kemanusiaan. Untuk memecahkan persoalan ini, kita dapat mempelajari

    percobaan Stanley Milgram yakni the Milgram experiment. Dalam

  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    18/23

    18

    percobaan itu Milgram menggunakan tiga orang untuk berperan dalam

    instrumen penelitian. Seorang sebagai pemimpin eksperimen, seorangorang berperan sebagai guru (posisi ini diganti-ganti) dan satu orang

    berperan sebagai siswa.24

    Peserta dari percobaan ini dicari melalui sebuah iklan di koran lokal

    yang mengumumkan bahwa dibutuhkan orang untuk berpartisipasi

    dalam sebuah studi tentang memori. Sebagai kompensasi, setiap peserta

    menerima uang sebesar $ 4.50. Iklan tersebut juga menyebutkan profesi-

    profesi apa saja yang diharapkan untuk berpartisipasi. Percobaan pun

    berjalan setelah didapatkan total 40 partisipan. Setiap partisipan

    mengambil undian yang tanpa mereka ketahui selalu bertuliskan "guru"

    dan partisipan lainnya, yang sebenarnya adalah aktor, bertindak sebagai

    "murid". Kemudian "guru" dan "murid" masuk ke ruangan yang berbeda.

    Tugas dari guru adalah membacakan rangkaian soal dan murid

    menjawabnya dengan menekan tombol pada mesin yang disediakan.Apabila jawaban yang diberikan salah maka guru harus memberikan

    tegangan listrik kepada murid. Tegangan listrik tersebut bertahap mulai

    dari 15 volt hingga 450 volt dan diberikan label mulai dari "tegangan

    rendah", "tegangan sedang" hingga "bahaya: tegangan listrik fatal"

    sedangkan dua volt tertinggi bertuliskan "XXX".Ketika mencapai level 300

    volt, murid akan mengetuk-ngetuk dinding memohon agar percobaan

    dihentikan. Diatas 300 volt, murid akan diam dan menolak untuk

    menjawab pertanyaan yang lalu oleh penguji akan dianggap sebagai

    jawaban salah sehingga tegangang listrik harus diberikan. Sampai tingkat

    tegangan listrik mana partisipan berhenti menjadi ukuran dari

    kepatuhannya terhadap otoritas. Dari 40 orang yang menjadi peserta

    24F. Budi Hardiman, Op cit, hlm. 137

    http://id.wikipedia.org/wiki/Memorihttp://id.wikipedia.org/wiki/Listrikhttp://id.wikipedia.org/wiki/Listrikhttp://id.wikipedia.org/wiki/Memori
  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    19/23

    19

    percobaan ini sebanyak 26 orang memberikan tegangan tingkat tertinggi

    sementara 14 orang berhenti sebelum mencapai tingkat paling tinggi.25

    Percobaan Milgram ini memberi penjelasan adanya kepatuhan

    terhadap otoritas atau sistim yang sedang dijalankan. Demi menjalankan

    prosedur eksperimen sang Professor, para peserta rela memberikan

    kejutan listrik pada peserta lainnya (yang bertindak sebagai murid).

    Demikianlah juga ketika Adolf Eichmann disidang pasca perang dunia II

    karena kejahatannya sebagai seorang Nazi yang banyak membunuh orang

    Yahudi, dalam kesaksiannya ia mengatakan: saya hanya menjalankan

    perintah atasan saya.

    Mobilisasi dalam aksi kekerasan massa itu dipermudah oleh adanya

    ketundukan atau adanya otoritas yang menguasai alam kognitif massa.

    Ketundukan seperti diperlihatkan oleh percobaan Milgram di atas terjadi

    karena misanya adanya otoritas keilmuan Professor Stanley Milgram yang

    terjewantahkan dalam prosedur penelitian, dan boleh jadi karena

    ketundukan terhadap uang sebesar $ 4.50 yang dibayarkan pada peserta

    eksperimen. Dalam aksi kekerasan, ketundukan karena otoritas uang

    dapat saja terjadi yang membuat massa dapat diperintah atau disetir

    seperti mesin. Tubuh memimesis kerja-kerja mesin.

    Berdasarkan penjelasan di atas, menurut hemat penulis, tragedi

    kekerasan massa pada 24 September di Buton Utara terjadi tidak hanya

    disebabkan oleh adanya penafsiran Undang-Undang Nomor 17 tahun

    2007 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Utara. Dalam hal ini yang

    dipersoalkan adalah masalah ibu kota. Sebagaimana analisa teori tindakan

    kolektif, ada beberapa faktor potensial yang mendorong atau mentenagai

    penafisran UU itu menjadi aksi kekerasan massa diataranya:

    25http://id.wikipedia.org/wiki/Percobaan_Milgram

  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    20/23

    20

    Pertama, adanya sikap kolektif masyarakat Buton Utara yang

    cenderung agresif dalam menanggapi problem-problem kehidupan. Halini dapat dilihat setidaknya dalam kacamata sosial-budaya. Ada struktur

    budaya kekerasan yang mewariskan dari masa lalu seperti ilmu kebal,

    silat, keris pusaka dan beberapa mantra yang diyakini dapat digunakan

    untuk berkelahi. Dalam hal ini, antara massa pro pemerintah dan

    penyelamat undang-undang sama-sama mewarisi sikap agresif yang

    terbatinkan itu.

    Kedua, adanya identitas kolektif yang terbentuk berdasarkan proses

    sosial-politik yang berlangsung di Buton Utara. Identitas sosial-budaya

    ada dua macam: 1) identitas Ereke (Kecamatan Kulisusu) sebagai bekas

    Barata Kulisusu yang memengaruhi struktur berpikir masyarakat untuk

    cenderung mempertahankan kondisi yang telah ada (sebagai ibukota

    Kabupaten Buton Utara), sementara Buranga mempertahankan identitas

    mereka sebagai wilayah yang direstui Undang-Undang sebagai ibukotaKabupaten Buton Utara. 2) identitas yang terbentuk kerena polarisasi

    politik antara massa pendukung kandidat dalam proses demokrasi.

    Identitas ini merupakan identitas baru yang terbentuk namun sangat

    berpengaruh terhadap berlangsungnya proses politik di Buton Utara.

    Identitas kedaerahan antara Ereke dan Buranga dapat saja terlebur oleh

    adanya identitas baru ini. Individu sebagai agen melakukan tindakan

    untuk keluar dari struktur. Artinya bahwa orang Ereke dapat saja terlibat

    dalam Masyarakat Pembela Undang-Undang juga sebaliknya orang

    Buranga dapat saja berada dalam massa yang pro pemerintah.

    Ketiga, adanya kepentingan kolektif. Kepentingan ini diturunkan

    dari perbedaan identitas. Sebab identitas itu memiliki pertalian dengan

    kepentingan kelompok. Kepentingan kolektif juga dapat dilihat dari dua

    hal dan dua sisi yang berhadap-hadapan berdasarkan identitas kolektif

  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    21/23

    21

    yang disebutkan diatas. 1) kepentingan yang muncul karena adanya

    identitas kedaerahan Ereke dan Buranga: a) Bagi Buranga mewakiliadanya ketimpangan-ketimpangan yang dirasakan oleh masyarakat

    akibat proses pemerintahan yang sedang berlangsung termasuk

    ketimpangan pembangunan yang belum merata, pelayanan publik yang

    tidak efisien, dan keberatan terhadap adanya keberpihakan UU pada

    mereka yang justru tidak direalisasikan oleh pemerintah daerah. dalam

    teori strukturalisme-fungsional, Buranga merasa berada dalam struktur

    yang dirugikan. Dalam hal ini misalnya masyarakat Buranga harus

    membayar pajak layaknya penduduk yang berada di Ibukota Kabupaten.

    b) Bagi Ereke yakni: adanya kepentingan akan pembangunan dan

    pelayanan yang sudah terlanjur dinikmati, serta keadaan wilayah yang

    cukup memadai membuat struktur kognitif mereka cenderung

    membenarkan tidakan pemerintah yang menempatkan pusat

    pemerintahan dan bahkan ibukota Kabupaten Buton Utara berada di

    Ereke. Juga adanya ingatan sosial dimana Ereke adalah wilayah bekas

    Barata Kulisusu yang dari dulu merupakan pusat pemerintahan. 2)

    kepentingan yang muncul akibat adanya identitas dukungan politik

    yakni: Bagi pendukung kandidat yang menang, akan cenderung

    mempertahankan dan membela tindakan pemerintah, sedangkan

    pendukung kandidat yang kalah akan cenderung menjadi kelompok

    oposisi yang selalu berusaha mencari titik lemah pemeritah yang sedangberkuasa. Pembangunan pusat pemerintahan di luar amanh UU

    merupakan celah yang dapat dimanfaatkan pihak oposisi untuk

    melancarkan serangan terhadap pemerintah. Dengan demikian dalam

    sudut pandang ini, dapat dimaknai bahwa massa pembela UU melakukan

    aksi pembakaran gedung di Ereke (chaos) merupakan salah satu strategi

    oposisi untuk melawan kebijakan pemerintah dan massa pro pemerintah

    juga segera terbentuk untuk mengadakan upaya perlawanan. Dari

  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    22/23

    22

    penjelasan ini, jelaslah bahwa tak ada massa yang terbentuk secara

    spontan, melainkan terbentuk dari akar-akar sosial-politik yang telahterstruktur dan telah mengakar tanpa disadari (terbatinkan).

    Keempat, adanya kepemimpinan dan organisasi. Kemarahan, akar-

    akar identitas dan kepentingan yang tercipta dalam masyarakat akan

    menjadi jelas arahnya bila ada aktor sosial yang mampu

    mengartikulasikan keberatan-kebaratan itu dalam sebuah visi dan

    strategi-strategi tindakan kolektif yang mungkin untuk dilakukan.

    Disinilah fungsi kepemimpinan dan organisasi. Baik massa pro

    pemerintah maupun massa pembela UU menjadi mungkin untuk

    melakukan tindakan kolektif karena adanya faktor kepemimpinan dan

    organisasi. Walau pun tak terbentuk secara formal, selalau ada kristal

    massa yang betindak sebagai pemicu, pusat komando, dan lebih

    tepatnya kita sebut pemimpin massa.

    Kelima, adanya mobilisasi massa yang merupakan tahap terakhir

    yang mengantarkan massa pada objek kemarahannya. Mobilisasi ini dapat

    terjadi karena adanya kepatuhan kelompok massa terhadap visi

    kelompoknya. Kepatuhan itu dapat saja tercipta karena setiap individu

    dalam massa terikat oleh identitas dan kepentingan yang sama, dan

    adanya otoritas kepemimpinan massa. Individu dalam massa dapat pula

    mengalami kepatuhan karena adanya otoritas yang muncul melaluimekanisme pembayaran sejumlah uang yang dapat diterima sebagai

    imbalan.[]

  • 7/13/2019 Peristiwa 24 September 2011 Di Buton Utara

    23/23

    23