PENGUJIAN VALIDITAS CAPM BERORIENTASI …adlermanurungpress.com/journal/datajournal/Vol 1 No...
Transcript of PENGUJIAN VALIDITAS CAPM BERORIENTASI …adlermanurungpress.com/journal/datajournal/Vol 1 No...
1
PENGUJIAN VALIDITAS CAPM BERORIENTASI KONSUMSI (CCAPM)
DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI)
Angga Adityawarman Ramdhani, PT e-Trading Securities
dan
Thea H. Rahardjo, Universitas Tarumanagara
Abstract
This study aimed to determine whether there is a positive relationship between expected
return stocks are included in the beta consumption LQ45 index in Indonesia Stock Exchange
(IDX) and also to test the validity of the consumption-oriented CAPM (CCAPM) in Indonesia
Stock Exchange (IDX). Breeden (1979) method is used to test CCAPM. The results of testing
the hypothesis stated that there is no significant evidence of a positive linear relationship
between the mean return and the stocks included in the index with a beta LQ45 consumption
shares are.
Keyword, Return, beta, konsumsi, CAPM, CCAPM, bursa, validitas
2
PENGUJIAN VALIDITAS CAPM BERORIENTASI KONSUMSI (CCAPM)
DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI)
Latar Belakang Masalah
Investasi dapat dilakukan melalui berbagai macam cara, diantaranya berupa kegiatan
penanaman dana dalam bentuk deposito, obligasi atau saham. Dari sisi perusahaan yang
memerlukan dana, seringkali Pasar Modal merupakan alternatif pendanaan ekstern, dengan biaya
yang lebih rendah daripada sistem perbankan. Investasi dalam bentuk pemilikan saham meliputi
kegiatan para investor untuk meneliti, menganalisa dan menyeleksi saham-saham yang hendak
dimilikinya. Sewajarnya, keinginan utama dari investor adalah meminimalkan risiko dan
meningkatkan perolehan (minimize risk and maximize return). Asumsi umum bahwa investor
individu yang rasional adalah seorang yang tidak menyukai risiko (risk aversive), sehingga
investasi yang berisiko harus dapat menawarkan tingkat perolehan yang tinggi (higher rates of
return), oleh karena itu diperlukannya suatu alat yang dapat membantu mengarahkan para
investor pada suatu investasi saham dengan tingkat pengembalian (return) dan risiko sebagai
indikator. Selain dengan pemahaman karakteristik risk dan return saham, investor perlu
melakukan diversifikasi dengan tujuan mengurangi risiko sistematis (systematic risk), tetapi
tidak dapat mengurangi risiko yang tidak sistematis (unsystematic risk). Unsystematic risk adalah
bagian dari risiko yang tidak umum dalam sebuah perusahaan yang dapat dipisahkan. Systematic
risks adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan yang berhubungan dengan seluruh pergerakan
pasar saham dan tidak dapat dihindari.
CAPM adalah merupakan model penetapan harga sekuritas (aktiva) berisiko dalam
keseimbangan pasar pada portfolio yang terdiversifikasi dengan baik. Karena menurut penelitian
sebelumnya (Suad Husnan, 1998) model ini dipilih karena dapat memprediksi keterkaitan antara
risiko dan return, dan juga CAPM menjelaskan pula bahwa antara risiko dan return mempunyai
kolerasi positif dan linier, sehingga kenaikan risiko juga menyebabkan naiknya return, begitu
juga sebaliknya. Menurut penelitian sebelumnya, dikatakan CAPM dapat digunakan untuk
mengukur cost of capital, berarti manajer berusaha menetapkan besarnya opportunity cost suatu
proyek investasi modal bila dibandingkan dengan investasi yang risikonya sama di Pasar Modal.
Horne (1989:202) mengatakan selain Capital Asset Pricing Model (CAPM), Arbitrage Pricing
Theory (APT) juga dapat digunakan untuk menderivasi required rate of return suatu investasi.
Pengujian yang pernah dilakukan Suad Husnan (1990) mengatakan bahwa CAPM tidak
berlaku di Bursa Efek Jakarta karena tidak ada hubungan positif antara return dan risiko. Begitu
juga halnya model APT, pengujian yang pernah dilakukan Rizkianto (1992) menunjukan bahwa
tidak ada pola yang jelas antara pendapatan rata-rata dengan beta 1 dan beta 2.
Beberapa pengujian menemukan APT menjelaskan lebih baik terhadap return sekuritas
dibanding CAPM. Tetapi beberapa studi yang lain menemukan tidak ada perbedaan antara kedua
model. Tidak ada konsensus mengenai tentang mana yang lebih baik antara CAPM dan APT.
Namun didalam perbedaan pendapat mengenai CAPM dan APT berlangsung, beberapa pakar
ekonomi keuangan mengajukan model alternatif. Antara lain Wei (1988) dan Breeden (1989).
Wei (1988) mengajukan model yang mengitegrasikan CAPM dan APT, sedangkan Breeden
(1989) mengajukan suatu model yang merupakan pengembangan dari CAPM, yaitu CAPM
berorientasi konsumsi. CAPM berorientasi konsumsi melihat risiko sekuritas diukur dengan
sensitivitas suatu sekuritas terhadap perubahan konsumsi investor. Jika pengembangan yang
3
dilakukan Breeden (1989) mengenai CAPM berorientasi konsumsi itu benar, maka expected
return saham bergerak mengikuti consumption beta bukan berdasarkan market beta.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian paper ini yaitu:
1. Mempelajari tingkat pengembalian saham di Bursa Efek Indonesia
2. Melakukan pengujian atas model Breeden (1989).
LANDASAN TEORI
Konsumsi
Konsumsi adalah setiap kegiatan memanfaatkan, menghabiskan kegunaan barang atau
jasa untuk memenuhi kebutuhan demi menjaga kelangsungan hidup. Jadi sebagian besar individu
dalam melakukan konsumsi menggunakan sebagian atau seluruh pendapatan yang dimiliki pada
periode tertentu untuk mendapatkan kepuasan atau utility. Dalam melakukan konsumsi seseorang
akan dibatasi dengan pendapatan yang diterima, namun jika seseorang ingin melakukan
konsumsi lebih dari pendapatannya, maka ia akan meminjam uang untuk dan membayar
pinjamnya pada tahun yang akan datang.
Kajian batasan anggaran antarwaktu dikembangkan oleh Fisher, yaitu keputusan yang
dihadapi konsumen memiliki dua periode, yang pertama masa muda konsumen dan yang kedua
masa tua konsumen. Penghasilan konsumen dilambangkan dengan Y1 serta konsumsi C1 dalam
periode 1 dan menghasilkan pendapatan Y2 dan mengkonsumsi C2 dalam periode 2. Pendapatan
konsumen dalam dua periode menjadi batasan konsumsi dalam dua periode ini. Dalam periode
pertama, tabungan sama dengan pendapatan dikurang konsumsi, yaitu:
S = Y1 – C1 (1)
dimana S adalah tabungan.
Pada periode kedua, konsumsi merupakan hasil dari akumulasi tabungan, termasuk bunga
tabungan, ditambah pendapatan periode kedua, yaitu:
C2 = (1 + r) S + Y2 (2)
dimana r adalah tingkat bunga riil. Sebagai contoh jika tingkat bunga 5 persen, maka untuk
setiap $1 tabungan dalam periode satu, konsumen akan menikmati konsumsi ekstra sebesar $1.05
dalam periode dua. Dalam variabel S bisa menunjukan tabungan atau pinjaman dan persamaan
ini berlaku pada kedua kasus. Jika konsumsi pada periode pertama kurang, berarti dari sebagian
pendapatannya digunakan untuk menabung dan S lebih besar dari nol. Namun jika konsumsi
pada periode pertama melebihi pendapatan, maka konsumen meminjam (borrowing) dan S
kurang dari nol.
Model batasan anggaran antarwaktu juga dijelaskan dalam kurva oleh Ross (2008:94-97), ia
mengilustrasikan bahwa kedua periode ini adalah konsumsi tahun ini (consumption this year)
dan konsumsi tahun yang akan datang (consumption next year).
4
GAMBAR 1
BATASAN ANGGARAN
Sumber : Ross (2008:95)
Kurva indeferens tersebut menjelaskan bahwa Y1 merupakan pendapatan konsumen di tahun ini
dan Y2 merupakan pendapatan konsumen ditahun yang akan datang. Titik A merupakan batas
maksimum dari kekayaan seseorang yang dapat digunakan untuk melakukan konsumsi ditahun
yang akan datang, dan titik B merupakan batas maksimal seseorang dalam melakukan konsumsi
dengan cara menambahkan pendapatannya ditahun ini dengan pinjaman. Untuk mendapatkan
jumlah batas anggaran maksimal pada tahun depan (titik A) dapat digunakan persamaan dibawah
ini :
A = Y2 + (Y1 x (1 + r)) (3)
Persamaan batas anggaran maksimal konsumsi pada tahun ini (titik B) yaiut:
B = Y1 + (Y2 / (1 + r)) (4)
Persamaan (4) menyatakan bahwa konsumen dapat melakukan konsumsi maksimal dengan cara
menggunakan seluruh pendapatan yang dimiliki pada tahun dini ditambah dengan batas
maksimal pinjaman pada tahun ini.
Gambar berikut dibawah ini diasumsikan bahwa konsumsi periode pertama dan kedua
merupakan barang modal. Kenaikan pendapatan pada periode pertama atau periode kedua, akan
menggeser batas anggaran ke kanan. Jika dihubungkan dengan asumsi diatas merupakan barang
normal, maka kenaikan pendapatan akan meningkatkan konsumsi dalam kedua periode. Namun
kesimpulan yang terpenting berdasarkan gambar diatas adalah, tanpa melihat adanya kenaikan
pendapatan antara periode pertama dan periode kedua, konsumen menyebarkan kenaikan itu
pada konsumsi dalam kedua periode. Mankiw menyebut prilaku ini kadang-kadang disebut
consumption smoothing. Karena konsumen bisa meminjam dan memberi pinjaman antarperiode,
penentuan waktu pendapatan tidak relevan dengan jumlah konsumsi hari ini, kecuali pendapatan
masa depan didiskontokan dengan tingkat bunga. Jadi, konsumsi bergantung dengan nilai
sekarang dan pendapatan masa depan.
5
GAMBAR 2
KENAIKAN PENDAPATAN
Konsumsi periode-kedua, C2
IC 2
Batas Batas
anggaran awal IC 1 anggaran baru
Konsumsi periode pertama, C1
Sumber : Mankiw (2003:456)
Investasi
Mankiw (2003:94), “Investasi mengacu kepada pembelian barang modal baru, seperti
peralatan atau bangunan.” Sementara Sukirno (1999:107) menyatakan bahwa investasi dapat
diartikan sebagai pengeluaran dan pembelanjaan penanaman modal atau perusahaan untuk
membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah
kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian.
Terdapat tiga jenis pengeluaran investasi Menurut Mankiw (2003),:
a. Investasi Tetap Bisnis (Business Fixed Investment), mencangkup peralatan dan
struktur yang dibeli perusahaan untuk proses produksi.
b. Investasi Residensial (Residential Investment), yang mencangkup rumah baru yang
orang beli untuk tempat tinggal dan dibeli tuan tanah untuk disewakan.
c. Investasi Persediaan (Inventory Investment), mencangkup barang-barang yang
disimpan perusahaan di gudang, termasuk bahan-bahan persediaan, barang dalam
proses, dan barang jadi.
Pengeluaran dalam berinvestasi sangat dipengaruhi oleh tingkat bunga dan pendapatan
nasional. Peningkatan pendapatan nasional akan memperbesar porsi penyaluran kredit perbankan
sehingga mendorong seseorang melakukan investasi yang lebih besar, dan tingkat suku bunga
yang tinggi dapat menurunkan minat investasi seseorang karena hal tersebut akan lebih mahal
dibandingkan dengan meminjam uang. Ilustrasi ini tercermin dalam gambar dibawah ini :
6
GAMBAR 3
HUBUNGAN TINGKAT BUNGA DAN PENGELUARAN INVESTASI
Berdasarkan gambar diatas, pengeluaran investasi akan bergeser dari titik IA ke titik IB jika
terdapat penurunan tingkat suku bunga. Jadi, hubungan antara tingkat bunga dan pengeluaran
investasi berbanding terbalik (i naik, I turun) dan juga sebaliknya.
Kegiatan investasi akan berjalan jika tingkat pengembalian modal lebih besar atau sama
dengan tingkat bunga. Dalam penempatan investasinya, seorang investor akan menjadikan
tingkat pengembalian modal sebagai faktor utama. Menurut Sukirno (1999:110), “Suatu kegiatan
investasi dapat dikatakan memperoleh keuntungan apabila nilai sekarang pendapatan dimasa
depan adalah lebih besar daripada nilai sekarang modal yang diinvestasikan.” Seperti pada
Gambar 3 diatas pengeluaran investasi yang dilakukan dapat dikatakan menguntungkan apabila
tingkat bunga lebih kecil dari tingkat pengembalian modal.
Teori CAPM
Model penetapan harga barang modal (Capital Asset Pricing Model / CAPM) merupakan
teori yang menjelaskan penetapan harga atau harta yang mengandung risiko dalam
keseimbangan pasar. Model ini juga menjelaskan hubungan antara risiko dengan tingkat
keuntungan, serta menentukan ukuran risiko yang relevan setiap aset. CAPM dikembangkan
pertama kali pada tahun 1960 oleh William F Sharpe, Lintner dan Mossin.
“CAPM merupakan suatu model yang menghubungkan tingkat return yang diharapkan dari
suatu asset berisiko dengan risiko dari asset tersebut pada kondisi pasar yang seimbang.”
(Tandelilin, 2001:90)
“CAPM merupakan model untuk menentukan harga suatu asset pada kondisi ekuilibrium,
tujuannya adalah untuk menentukan minimum required return dari investasi yang berisiko.”
(Abdul Halim, 2003:70)
CAPM adalah model yang menyatakan hubungan positif dan linier antara tingkat
keuntungan yang layak dengan risiko. Untuk memastikan bahwa model CAPM dapat
menentukan keputusan investasi dengan tepat dan akurat, maka dibutuhkan garis Security Market
Line (SML), dimana garis ini menunjukan hubungan antara risiko () dengan tingkat
keuntungan. Dan garis ini merupakan garis lurus serta memiliki slope positif. Ini menunjukkan
7
bahwa semakin besar risiko yang dihadapi oleh seorang investor maka semakin besar pula
tingkat keuntungan yang diharapkannya.
Teori Capital Asset Pricing Model (CAPM), dalam hal ini dapat membantu investor
dalam pengambilan keputusannya, dimana dua unsur penting yang terdapat dalam CAPM adalah
risiko dan tingkat pengembalian. Risiko adalah kemungkinan penyimpangan tingkat keuntungan
yang sesungguhnya dengan tingkat keuntungan yang diharapkan. Tingkat pengembalian adalah
imbalan yang akan diperoleh di masa yang akan datang dari suatu investasi.
Beta
Menurut Husnan (2005:166): “Beta () merupakan koefisien regresi antara variabel, yaitu
kelebihan tingkat keuntungan portfolio pasar (excess return of market portfolio) dan kelebihan
keuntungan suatu saham (excess return of stock)”.
“Beta merupakan ukuran risiko sistematis suatu sekuritas yang tidak
dapat dihilangkan dengan melakukan diversifikasi. Beta menunjukkan
sensitivitas return sekuritas terhadap perubahan return pasar”.
(Tandelilin, 2001:98)
“Beta portofolio merupakan suatu pengukuran fluktuasi dari return
portofolio dengan return pasar dalam suatu periode waktu tertentu.”
Jogianto (2000:237).
Kalau digambarkan akan nampak seperti pada gambar berikut.
GAMBAR 4
BETA SUATU SAHAM, DITUNJUKKAN DARI KEMIRINGAN GARIS YANG
MENUNJUKKAN HUBUNGAN EXCESS RETURN OF MARKET DENGAN EXCESS
RETURN OF A STOCK.
Sumber: Suad Husnan (2005:166), Dasar-Dasar Teori Portfolio dan Analisis
Sekuritas.
8
Saham dengan beta lebih besar dari satu disebut saham agresif (aggressive stock),
sedangkan yang mempunyai beta kurang dari satu disebut sebagai saham defensif (defensive
stock). Dengan demikian untuk saham-saham yang agresif, kalau terjadi perubahan (baik naik
ataupun turun) tingkat keuntungan portfolio pasar sebesar 10%, maka tingkat keuntungan saham
tersebut berubah dengan arah yang sama besar atau lebih dari 10%. Keadaan berlaku sebaliknya
untuk saham-saham defensif.
Secara matematis, beta dapat dihitung sebagai berikut: (Tandelilin, 2001:97)
2
),var(
m
mi
i
RRCo
(5)
dimana:
Covariance (Ri,Rm) = kovarian saham i dengan varian return pasar
Variance (Rm) = varian return pasar
Beta sekuritas individu cenderung mempunyai koefisien determinasi (yaitu bentuk
kuadrat dari koefisien korelasi) yang lebih rendah dari beta portfolio. Koefisien determinasi
menunjukkan proporsi perubahan nilai Ri yang bisa dijelaskan oleh Rm. Dengan demikian
semakin besar nilai koefisien determinasi semakin akurat nilai individual karena dua hal.
Pertama, beta mungkin berubah dari waktu ke waktu. Ada sekuritas yang betanya berubah
menjadi lebih besar, ada pula yang mengecil.
Menurut penelitian sebelumnya (Andreas Wibowo, 2006), Beta merefleksikan
sensitivitas pengembalian aset atau porfolio terhadap volatilitas pasar. Semakin tinggi beta suatu
aset, semakin tinggi pula risikonya. Bila = 1, aset atau portfolio bergerak bersama dengan
pasar. Bila > 1, aset atau portfolio lebih reaktif dibanding pasar. Sebaliknya bila <1, aset atau
portfolio kurang reaktif dibanding pasar.
CONSUMPTION CAPITAL ASSET PRICING MODEL (CCAPM)
Capital Asset Picing Modal (CAPM) dari Sharpe (1964) dan Lintner (1965) telah lama
menjadi pilar keuangan akademik, dan tampaknya bukti awal untuk mendukung teori ini bahwa
portofolio pasar menjadi efisiensi mean variance (Black, Jensen, dan Scholes, 1972; Blume dan
Friends, 1973; Fama dan MacBeth 1973).
Namun baru-baru ini bukti telah ada, bahwa CAPM tidak konsisten dengan berbagai
keteraturan empiris cross section data harga aset (Basu 1977; Banz 1981; Shanken 1985; Fama
dan French 1992, 1993). Mungkin yang paling memberatkan, CAPM telah menunjukan hampir
tidak ada kekuatan untuk menjelaskan cross section dari return rata-rata atas pengukuran aset
berdasarkan ukuran dan rasio ekuitas book-to-market (Fama dan French, 1992, 1993).
Menurut penelitian CAPM dikatakan gagal karena satu kemungkinan bahwa kegagalan
spesifikasi statistik untuk memperhitungkan efek waktu berbagai peluang investasi dalam
perhitungan risiko aset itu. Model penetapan harga aset antar waktu yang paling menonjol
diantaranya adalah konsumsi CAPM (CCAPM), dikembangkan oleh Breeden (1979).
Menurut Breeden, Gibbson dan Litzenberger (1989) CCAPM diestimasi setelah
menyesuaikan untuk pengukuran masalah berkaitan dengan data konsumsi yang dikeluarkan.
CCAPM diuji berdasarkan beta kedua konsumsi dan portfolio yang memiliki korelasi maksimum
dengan konsumsi. Dalam pengujian CCAPM tersebut terdapat beberapa kendala yang berkaitan
9
dengan masalah ekonometrik, masalah tersebut berhubungan dengan data yang diperlukan sesuai
teori, yaitu :
a. data yang tersedia adalah pengeluaran bukan konsumsi.
b. data konsumsi yang tersedia merupakan data interval waktu (point in time).
c. data konsumsi yang tersedia tidak sesering (infrequent) data return saham.
d. adanya sampling error dalam data konsumsi agregat.
Harga aset dalam CCAPM sehubungan dengan perubahan dalam konsumsi agregat antara
dua titik waktu. Ini berbeda, data yang tersedia dalam konsumsi agregat yang menyediakan total
pengeluaran barang dan jasa selama periode waktu. Perbedaaan ini terdapat dua masalah utama,
yang pertama barang dan jasa tidak perlu dikonsumsi dalam periode yang sama, sehingga itu
dibeli. Kedua, konsumsi agregat diukur lebih dekat sehingga integral dari konsumsi selama
periode waktu dari pada konsumsi “spot” (pada titik waktu). Dan masalah ini menciptakan
“summation bias” atau penjumlahan yang bias. Pada kesimpulan pengujian yang dilakukan
Breeden (1989) “Summation bias’ ini, menurunkan varians tingkat pertumbuhan yang diukur dan
menciptakan autokorelasi positif, bahkan ketika tingkat konsumsi yang benar tidak memiliki
autokorelasi. Summation bias juga meremehkan kovarian antara konsumsi yang diukur dan
return aset oleh satu setengah nilai sebenarnya, dengan hasil beta konsumsi yang diukur adalah
¾ yaitu nilai sebenarnya.
Masalah ekonometrik terbesar yang kedua adalah kekurangan poin data untuk tingkat
pertumbuhan konsumsi. Beberapa pengujian menggunakan data konsumsi (penyesuaian untuk
“summation bias”). Bagaimanapun, pengujian alternative berdasarkan retun dari portfolio aset
(Maximum Correlation Portfolio, disebut MCP) bahwa itu yang paling sangat berhubungan
dengan tingkat pertumbuhan dari konsumsi riil. CCAPM menyiratkan bahwa seharusnya
expected return berhubungan linear untuk menghitung beta dengan sehubungan dengan MCP.
Hasil pengujian CCAPM juga pernah dilakukan oleh Trisilo (1995), pengujian ini
menggunakan data Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PKRT) triwulanan sebagai data
pertumbuhan konsumsi yang diregresikan dengan data Indeks Harga Saham Individual (IHSI).
Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan dua tahapan regresi, yaitu first pass regression
dan second pass regression. Pada hasil regresi tahap pertama (first pass regression) sebagian
besar koefisien beta konsumsi yang dihasilkan bertanda negatif atau tidak signifikan. Kemudian
pada pengujian regresi tahap kedua (second pass regression) beta konsumsi yang dihasilkan
adalah signifikan.
Selanjutnya pengujian CCAPM dilakukan oleh Saleh (2010), pengujian ini menggunakan
data asumsi lain dalam penggunaan data konsumsi. Darwin Zahedy Saleh menggunakan proxi
data konsumsi yang diperoleh dari hasil survei yang dilakukan oleh BI, yaitu Survei Penjualan
Eceran (SPE). Pada hasil laporan SPE tersebut juga dihitung suatu Indeks Riil Penjualan Eceran
(IPE) yang merupakan indeks yang mewakili pergerakan dari seluruh sembilan kelompok jenis
barang tersebut. Saleh (2010) menggunakan data konsumsi bulanan dari hasil survei tersebut
adalah ketersedianya data bulanan dan selain itu, apabila data konsumsi swasta dari PDB yang
digunakan, maka data konsumsi akan berbentuk triwulanan. Hal ini penting untuk menghindari
adanya time-aggregation bias yang menjadi kritik Grossman, Melino, dan Shiller (1987);
Wheatley (1988); Breeden, Gibbons, dan Litzenberger (1989) atas pengujian keberlakuan
CAPM.
Kemudian data return bulanan menggunakan sektor-sektor di Bursa Efek Indonesia. Data
yang digunakan bukanlah data indeks sektoral (Sembilan sektor) melainkan data subsekor yang
merupakan bagian dari sembilan indeks sektoral tersebut. Pada pengujian validitas ini, Saleh
(2010) juga menggunakan dua tahapan regresi, yaitu first pass regression dan second pass
regression. Hasil dari pengujian regresi tahap pertama (first pass regression) bahwa hanya
10
terdapat satu subsektor yang koefisien beta konsumsinya signifikan, sedangkan 44 sebsektor
lainnya memiliki nilai koefisien beta konsumsi tidak signifikan pada tingkat kepercayaan 95%.
Hal ini bahwa tidak diperoleh bukti bahwa perubahan tingkat konsumsi dapat menjelaskan
perubahan return subsektor. Pada regresi tahap kedua, Saleh (2010) menggunakan data beta
konsumsi sebsektor yang signifikan dan di regresikan dengan rata-rata return dari setiap
subsektor yang beta konsumsinya terbukti signifikan. Secara singkat bahwa hasil pengujian
regresi ini tidak membuktikan bahwa pergerakan return subsektor tidak dapat dijelaskan dengan
beta konsumsi subsektor terkait.
METEDOLOGI PENELITIAN
Data
Data harga saham bulanan dari saham-saham yang termasuk dalam Indeks LQ45 selama 3
tahun terakhir. Data tersebut diperoleh dari Bursa Efek Indonesia diperoleh yang bersumber dari
annual report melalui situs Yahoo.com (http://finance.yahoo.com) atau Bursa Efek Indonesia
(BEI) dengan webside (http://www.idx.co.id). Data konsumsi digunakan Indeks Riil Penjualan
Eceran (IPE) yang berasal dari hasil laporan Survei pedagang Eceran (SPE) oleh Bank Indonesia
(www.bi.go.id), data Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PKRT) berasal dari Biro Pusat
Statistik (BPS).
Kerangka Pemikiran :
Penelitian ini mempunyai kerangka berpikir dimana ada tingkat pengembalian saham dan
adanya konsumsi rumahtangga. Selanjutnya kedua data diregressikan dan selanjutnya dapat
dilihat pada bagan berikut. Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut yang diuraikan bagan,
dijelaskan bahwa Indeks Riil Penjualan Eceran (IPE) dijadikan sebagai data pertumbuhan
konsumsi atau disebut variabel independen (X) dalam penelitian ini. Sedangkan return saham
yang dimaksud merupakan data saham-saham yang termasuk dalam Indeks LQ45 sebagai
variabel dependen (Y). Kedua varibel tersebut kemudian diregresikan tahap pertama (first pass
regression) untuk mendapatkan nilai koefisien beta konsumsi. Dari hasil koefisien beta konsumsi
tersebut akan terlihat berapa banyak beta konsumsi yang signifikan atau dapat mempengaruhi
perubahan return saham.
11
Selanjutnya hasil koefisien beta konsumsi tersebut yaitu varibel independen (X) akan
diregresikan dengan mean return yang didapat dari nilai rata-rata return saham-saham yang
termasuk dalam Indeks LQ45 atau dijadikan variabel dependen (Y) pada pengujian regresi tahap
kedua (second pass regression). Hasil dari pengujian regresi tahap kedua ini untuk menganalisa
apakah terdapat pengaruh positif antara antara expected return saham-saham yang termasuk
dalam Indeks LQ45 dengan beta konsumsi di Bursa Efek Indonesia (BEI), yaitu dengan
membandingkan nilai t-statistik dengan t-tabel. Jika nilai t-Stat lebih besar dari nilai t-Tabel
maka disebut signifikan (berpengaruh), dan jika nilai t-Stat lebih kecil dari nilai t-Tabel maka
disebut tidak signifikan (tidak berpengaruh).
Pada penelitian ini, data time series yang digunakan adalah return bulanan saham-saham yang
terrmasuk dalam Indeks LQ45 di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode Januari 2004 sampai
dengan Oktober 2010. Sedangkan data tingkat pertumbuhan konsumsi menggunakan Indeks Riil
Penjualan Eceran (IPE) dengan periode yang sama. Return dan pertumbuhan konsumsi
diregressikan dan menghasilkan beta konsumsi. Kemudian beta konsumsi diregrssikan dengan
rata-rata tingkat pengembalian saham (cross-section method). Adapun modelnya sebagai berikut:
tititi CR ,,, * (6)
iiiR 10 (7)
Persamaan (5) dikenal dengan first stages regression dan persamaan (6) dikenal dengan second
stages regreesion. Koefisein kedua persamaan tersebut diestimasikan dengan menggunakan
metode kwadrat terkecil (least square method).
12
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Statistika deskriptif dari variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian meliputi saham-
saham emiten yang termasuk didalam indeks LQ45, dan Indeks Riil Penjualan Eceran (IPE) yang
menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini, namum dalam pembahasan lebih lanjut, penulis
akan menjabarkan pula lebih spesifik deskriptif statistik return saham-saham emiten yang
termasuk didalam indeks LQ45 yang menjadi variabel pengujian regresi. Statistik deskriptif dari
saham-saham emiten yang termasuk dalam indeks LQ45 dan Indeks Riil Penjualan Eceran (IPE)
terdapat pada penjelasan selanjutnya.
Statistik Deskriptif Return Saham
Ada 32 saham yang termasuk didalam Indeks LQ45 selama periode Januari 2004 sampai
dengan Oktober 2010 terlihat statistik deskriptifnya pada Tabel 1. Return saham bervariasi dari
0,7 persen sampai dengan 6,3 persen per bulannya. Nilai terendah sebesar 0,7 persen diperoleh
saham TLKM dan tertinggi pada saham DOID sebesar 6,3 persen. Return tersebut lebih tinggi
bila dibandingkan dengan return deposito yang besarnya sekitar 6 persen per tahun atau 0,5
persen per bulannya. Cukup menarik sekali hasil yang diperoleh bahwa perusahaan BUMN
mempunyai hasil yang cukup kecil dan harapan investor tidak demikian.
Simpangan baku saham yang menjadi sampel penelitian seperti terlihat pada Tabel 1.
Adapun simpangan baku tersebut bervariasi dari 7,4 persen sampai dengan 52,2 persen per
bulan. Artinya risiko bermain saham dari saham sebagai sampel penelitian ini sebesar 7,4 persen
sampai dengan 52,2 persen selama sebulan. Ada risiko yang cukup tinggi sebesar 52,2 persen
dan risiko ini menyatakan adanya kemungkinan untuk mendapatkan tingkat pengembalian yang
tinggi dan juga kemungkinan mendapatkan kerugian yang tinggi. Ada saham berikut ELTY juga
mempunyai risiko sebesar 25,8 persen. Secara kebetulan kedua saham ada pada kelompok
Bakrie Group.
TABEL 1
STATISTIK DESKRIPTIF RETURN SAHAM-SAHAM EMITEN YANG TERMASUK
DALAM INDEKS LQ45
Deskripsi N Minimum Maximum Mean Standar Deviasi
AALI 81 -0.533 0.397 0.044 0.139
ANTM 81 -0.785 0.396 0.027 0.174
ASII 81 -0.453 0.330 0.038 0.121
BBCA 81 -0.514 0.319 0.016 0.120
BBNI 81 -0.474 0.813 0.027 0.172
BBRI 81 -0.485 0.381 0.026 0.132
BDMN 81 -0.469 0.323 0.022 0.127
BMRI 81 -0.411 0.359 0.028 0.121
BNBR 81 -0.593 4.375 0.053 0.522
BUMI 81 -0.536 0.805 0.040 0.204
CPIN 81 -0.796 0.615 0.050 0.215
DOID 81 -0.750 0.920 0.063 0.273
ELTY 81 -0.672 0.944 0.029 0.258
13
GGRM 81 -0.271 0.523 0.021 0.117
GJTL 81 -0.320 0.540 0.027 0.151
INCO 81 -0.917 0.539 0.016 0.205
INDF 81 -0.444 0.391 0.031 0.131
INTP 81 -0.417 0.506 0.034 0.133
ISAT 81 -0.789 0.250 0.002 0.132
KLBF 81 -0.438 0.452 0.030 0.134
LPKR 81 -0.589 1.143 0.030 0.198
LSIP 81 -0.448 0.492 0.040 0.158
MEDC 81 -0.421 0.287 0.021 0.123
PGAS 81 -0.791 0.357 0.029 0.160
PTBA 81 -0.414 0.541 0.051 0.152
SMCB 81 -0.476 0.448 0.033 0.150
SMGR 81 -0.906 0.440 0.025 0.150
TINS 81 -0.919 0.924 0.038 0.219
TLKM 81 -0.458 0.198 0.007 0.096
UNSP 81 -0.775 0.806 0.022 0.218
UNTR 81 -0.667 0.335 0.048 0.139
UNVR 81 -0.129 0.254 0.021 0.074
Sumber : Data diolah. (Pengolahan data menggunakan Ms. Excel).
Statistik Deskriptif Indeks Riil Penjualan Eceran (IPE)
Data Indeks Riil Penjualan Eceran (IPE) merupakan data sekunder yang didapat dari Bank
Indonesia, data ini merupakan hasil Survei Penjualan Eceran (SPE) yang telah dilakukan Bank
Indonesia terhadap 5 kota besar di Indonesia terdiri dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan
Semarang. Responden bersifat panel dan dikelompokan berdasarkan 9 Klasifikasi Lapangan
Usaha Industri (KLUI) tahun 1997. Survei tersebut dilakukan dengan mencatat nilai penjualan di
tingkat eceran yang dapat merefleksikan arah kecenderungan pengeluaran rumah tangga, dan
nantinya akan menjadi varibel dalam pengujian regresi. Data yang digunakan memiliki periode
yang sama dengan return saham-saham emiten yang termasuk dalam indeks LQ45 yaitu dari
Januari 2004 sampai dengan Oktober 2010.
TABEL 2
STATISTIK DESKRIPTIF INDEKS RIIL PENJUALAN ECERAN (IPE)
Sumber : Data diolah. (Pengolahan data menggunakan Ms. Excel).
Deskriptif N Minimum Maximum Mean Standard Deviasi
Indeks Riil Penjualan
Eceran (IPE) 82 127.6 263.2 170.441 31.838
14
Berdasarkan tabel 4.2 bahwa rata-rata Indeks Riil Penjualan Eceran (IPE) selama Januari
2004 sampai dengan Oktober 2010 sebesar 170,441 poin, dengan indeks maksimum atau
tertinggi terjadi pada bulan September 2010 sebesar 263,2 poin dan indeks minimum sebesar
127,6 poin yang terjadi pada Februari 2006. Selama periode penelitian Indeks Riil Penjualan
Eceran cenderung meningkat setiap bulannya.
Standar deviasi pada Indeks Riil Penjualan Eceran (IPE) sebesar 31.838 poin, angka ini
lebih kecil dibandingkan dengan mean Indeks Riil Penjualan Eceran (IPE) yaitu sebesar 170,441
poin, hal ini menunjukan bahwa penyimpangan yang bermakna positif dari rata-rata indeks
cukup besar artinya kenaikan yang terjadi sangat signifikan selama periode penelitian.
Indeks tertinggi selama periode penelitian terjadi pada bulan September 2010 sebesar
263,2 poin. Perkembangan indeks pada bulan ini meningkat dari bulan sebelumnya Agustus
2010 sebesar 2,05%. Hal ini dipengaruhi karena adanya peningkatan penjualan eceran didorong
meningkatnya konsumsi masyarakat karena adanya libur panjang terkait hari perayaan
keagamaan, selain itu juga banyaknya program diskon yang membuat semakin meningkatkan
daya beli masyarakat. Terdapat 4 komoditi yang mengalami peningkatan, yaitu kenaikan terbesar
pada kelompok pakaian dan perlengkapan (8,8%), kerajinan, seni, dan mainan (6,9%), bahan
kimia (1%), dan kelompok perlengkapan rumah tangga (0,3%). Sedangkan 5 faktor komoditi
lainnya mengalami penurunan, seperti penurunan tertinggi pada peralatan tulis (-13,1%), suku
cadang kendaraan (-3,9%), bahan bakar (-2,6%), makanan dan tembakau (-1,8%) dan bahan
kontruksi (-1,4%).
GAMBAR 5
Sumber : Data Bulanan Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia .
Jika melihat pada Indeks Penjualan Eceran (IPE) terendah terjadi pada Februari 2006 sebesar
127,6 poin. Indeks tersebut menurun dari bulan sebelumnya yaitu sebesar 135,3 poin atau adanya
penurunan penjualan sebesar 8,7% dari bulan sebelumnya Januari 2006. Penurunan terjadi
hampir dari seluruh kelompok komoditi, namun yang paling besar terjadi pada kelompok
pakaian dan perlengkapan (-13,8%), kerajinan, seni, dan mainan (-12,9%), makanan dan
tembakau (-12,7%), perlengkapan rumah tangga (-11,5%), bahan kimia (-10%), bahan kontruksi
(-4,9%), peralatan tulis (-4,5%), bahan bakar (-2,1%), dan hanya satu kelompok yang mengalami
peningkatan yang cukup tinggi, yaitu suku cadang kendaraan sebesar 13,3 %.
15
Pengujian Validitas CAPM Berorientasi Konsumsi
Pengujian regresi berikut dilakukan untuk melihat tingkat beta konsumsi setiap emiten
selama periode penelitian. Sebelum dilakukan pengujian regresi antara Indeks Riil Penjualan
Eceran (IPE) dan return saham emiten, maka perlu dilakukan penyesuaian masing-masing
variabel dengan menggunakan Log natural (ln). Penyesuaian ini dilakukan agar tidak terdapat
perbedaan orde besaran antara kedua data variabel tersebut, karena Indeks Riil Penjualan Eceran
(IPE) memiliki orde besaran ratusan dengan nilai minimal sebesar 170,441 poin dan nilai
maksimal sebesar 263,2 poin sedangkan return saham memiliki orde nol koma dengan satuan
rasio persen.
Tabel 3: REGRESI INDEKS PENJUALAN ECERAN (IPE) DAN RETURN
No Y a b R
Square Stand.Error T.Stat Sig F Obs
1 AALI 0.51968 -0.09486 0.01265 0.14847 -
1.00625 0.31737 81
2 ANTM 0.10636 -0.01948 0.00023 0.22685 -
0.13521 0.89279 81
3 ASII -
0.39342 0.08253 0.01325 0.12622 1.02978 0.30626 81
4 BBCA -
0.83882 0.16511 0.04293 0.13813 1.88252 0.06345 81
5 BBNI -
0.49117 0.09853 0.01194 0.15879 0.97723 0.33144 81
6 BBRI -
0.21473 0.04524 0.00324 0.14063 0.50661 0.61384 81
7 BDMN -
0.23733 0.04891 0.00418 0.13383 0.57556 0.56655 81
8 BMRI -
0.39427 0.08098 0.01388 0.12096 1.05446 0.29489 81
9 BNBR 0.51211 -0.09973 0.00405 0.27723 -
0.56659 0.57260 81
10 BUMI 0.06361 -0.00867 0.00006 0.20703 -
0.06592 0.94761 81
11 CPIN -
1.17619 0.23373 0.02491 0.25912 1.42061 0.15936 81
12 DOID 0.06397 -0.00721 0.00002 0.27438 -
0.04139 0.96709 81
13 ELTY 0.13012 -0.02570 0.00033 0.25113 -
0.16119 0.87235 81
14 GGRM -
0.90493 0.17939 0.08378 0.10512 2.68774 0.00877 81
15 GJTL -
1.35593 0.26783 0.10651 0.13745 3.06883 0.00294 81
16 INCO -
1.10956 0.21182 0.01096 0.35652 0.93575 0.35226 81
17 INDF -
0.76699 0.15401 0.04108 0.13186 1.83958 0.06959 81
16
18 INTP -
0.44482 0.09168 0.01483 0.13241 1.09058 0.27877 81
19 ISAT -
0.86573 0.16653 0.02179 0.19771 1.32657 0.18847 81
20 KLBF -
0.23067 0.04917 0.00429 0.13272 0.58351 0.56121 81
21 LPKR 1.13704 -0.21941 0.04174 0.18630 -
1.85493 0.06734 81
22 LSIP 0.01461 0.00240 0.00001 0.16459 0.02293 0.98177 81
23 MEDC -
0.22659 0.04679 0.00420 0.12768 0.57709 0.56552 81
24 PGAS 0.40373 -0.07661 0.00381 0.21960 -
0.54946 0.58424 81
25 PTBA -
0.01991 0.01152 0.00019 0.14680 0.12362 0.90193 81
26 SMCB -
0.45135 0.09225 0.01121 0.15352 0.94637 0.34684 81
27 SMGR -
0.16111 0.03163 0.00038 0.28658 0.17382 0.86245 81
28 TINS 0.08385 -0.01587 0.00007 0.33056 -
0.07562 0.93991 81
29 TLKM -
0.14123 0.02801 0.00218 0.10617 0.41547 0.67892 81
30 UNSP 0.76064 -0.14967 0.01002 0.26357 -
0.89437 0.37384 81
31 UNTR -
0.00741 0.00838 0.00008 0.16924 0.07795 0.93806 81
32 UNVR -
0.42094 0.08579 0.04534 0.06975 1.93700 0.05632 81
Sumber : Data diolah. (Pengolahan data menggunakan Ms. Excel).
Berdasarkan data tabel 3 sebelumnya, 32 emiten yang di uji dengan pengujian regresi tahap
pertama (first pass regression) terdapat 22 emiten yang memiliki koefisien beta konsumsi
bernilai positif, terdiri dari ASII, BBCA, BBNI, BBRI, BDMN, BMRI, CPIN, GGRM, GJTL,
INCO, INDF, INTP, ISAT, KLBF, LSIP, MEDC, PTBA, SMCB, SMGR, TLKM, UNTR, dan
UNVR. Dan 10 saham lainnya yang memiliki hasil koefisien beta konsumsi bernilai negatif,
terdiri dari AALI, ANTM, BNBR, BUMI, DOID, ELTY, LPKR, PGAS, TINS, dan UNSP.
Koefisien beta konsumsi positif tertinggi sebesar 0,26783 (GJTL) dan terendah sebesar
0,00240 (LSIP). Selanjutnya dilakukan pengujian statistik dengan hasil bahwa ada 5 emiten
dari 22 emiten yang signifikan pada level signifikansi 10%. Adapun kelima saham tersebut
BBCA, GJTL,GGRM, INDF, dan UNVR. Selain itu GJTL juga memiliki koefisien beta yang
tertinggi sebesar 0,268 dibanding dengan saham-saham lainnya, ini membuktikan bahwa
return saham GJTL sangat dipengaruhi dengan tingkat pertumbuhan konsumsi. Jika
diasumsikan, untuk setiap kenaikan tingkat konsumsi sebesar 1%, maka tingkat return saham
GJTL akan meningkat sebesar 26,8%.
17
22 saham memiliki koefisien beta konsumsi positif, terdapat 17 saham yang tidak signifikan
pada tingkat kepercayaan 90%, yaiut ASII subsektor automotif dan komponen, dari
subsektor perbankan BBNI, BBRI, BDMN, dan BMRI. Saham CPIN dari subsektor pakan
ternak, INCO dari subsektor logam dan pertambangan, INTP dari subsektor semen, ISAT
dari subsektor telekomunikasi, KLBF dari subsektor farmasi, LSIP dar subsektor
perkebunan, MEDC dari subsektor minyak mentah dan gas alam, PTBA dari subsektor batu
bara, SMCB dari subsektor semen, SMGR dari subsektor semen, TLKM dari subsektor
telekomunikasi, dan UNVR dari subsektor grosir atau wholesale (durable and non durable
goods).
Koefisien beta konsumsi dengan hasil negatif yaitu saham AALI dari subsektor perkebunan
dengan nilai koefisien beta konsusmsi (-0,09489), ANTM dari subsektor logam dan
pertambangan dengan nilai (-0,01948), saham BNBR dari subsektor perusahaan investasi
dengan nilai beta konsumsi (-0,09973), BUMI dari subsektor batu bara dengan nilai beta
konsumsi (-0,00867), DOID dari subsektor tekstil dan garmen dengan nilai beta konsumsi (-
0,00721), ELTY dari subsektor property dan real estate dengan nilai beta konsumsi (-
0,02570), PGAS dari energi memiliki nilai beta konsumsi sebesar (-0,07661), TINS dari
subsektor logam dan pertambangan memiliki nilai (-0,01587), UNSP dari subsektor
perkebunan memiliki nilai beta konsumsi sebesar (-0,14967) dan saham LPKR yang
memiliki koefisien beta konsumsi terendah sebesar (-0,21941) dari subsektor property dan
real estate, ini memiliki arti bahwa untuk setiap kenaikan tingkat konsumsi sebesar 1%, maka
tingkat return saham LPKR menurun sebesar 21,94% dan begitu juga sebaliknya. Semua
saham yang memiliki koefisien beta konsumsi negatif memiliki arti bahwa terdapat arah
hubungan berkebalikan antara tingkat pertumbuhan konsumsi dengan pergerakan return
saham.
Koefisien determinasi atau R Square (R2) tertinggi dimiliki oleh (GJTL) sebesar 0,10651,
berarti pengujian regresi ini hanya menerangkan 10,651 % variasi return saham yang ada di
Bursa Efek Indonesia.
Setelah pengujian regresi tahap pertama dilakukan, maka selanjutnya dilakukan
pengujian regresi tahap kedua (second pass regression) dengan menggunakan data cross section
yaitu menggunakan variabel dependen baru dan variabel independen yang didapat dari hasil
pengujian regresi tahap pertama.
TABEL 4
MEAN RETURN SAHAM-SAHAM EMITEN YANG TERMASUK DALAM INDEKS
LQ45 DAN BETA KONSUMSI
No Saham Mean Return Beta Konsumsi
1 AALI 0.04443 -0.09486
2 ANTM 0.02661 -0.01948
3 ASII 0.03764 0.08253
4 BBCA 0.01607 0.16511
5 BBNI 0.02683 0.09853
6 BBRI 0.02648 0.04524
7 BDMN 0.02186 0.04891
8 BMRI 0.02824 0.08098
9 BNBR 0.05312 -0.09973
18
10 BUMI 0.03990 -0.00867
11 CPIN 0.05002 0.23373
12 DOID 0.06265 -0.00721
13 ELTY 0.02871 -0.02570
14 GGRM 0.02070 0.17939
15 GJTL 0.02748 0.26783
16 INCO 0.01560 0.21182
17 INDF 0.03132 0.15401
18 INTP 0.03407 0.09168
19 ISAT 0.00188 0.16653
20 KLBF 0.03025 0.04917
21 LPKR 0.03013 -0.21941
22 LSIP 0.04016 0.00240
23 MEDC 0.02108 0.04679
24 PGAS 0.02936 -0.07661
25 PTBA 0.05072 0.01152
26 SMCB 0.03308 0.09225
27 SMGR 0.02478 0.03163
28 TINS 0.03772 -0.01587
29 TLKM 0.00743 0.02801
30 UNSP 0.02213 -0.14967
31 UNTR 0.04824 0.00838
32 UNVR 0.02148 0.08579
Sumber : Data diolah. (Pengolahan data menggunakan Ms. Excel).
Dari hasil penggunaan rumus mean return sahan pada penjelasan diatas akan didapat 32 mean
return saham yang termasuk didalam Indeks LQ45. Pada kolom beta konsumsi diatas merupakan
hasil-hasil dari pengujian regresi tahap pertama. Selanjutnya dari kedua variabel diatas di
regresikan dengan menggunakan Ms. Excel sesuai dengan model persamaan yang telah
dijelaskan, hasil regresi tersebut terdapat pada summary output dibawah ini :
Tabel pertama adalah Regression Statistic, tabel ini menunjukan besarnya korelasi atau
varian antara variabel dependen dengan variabel independen. Dari semua paremeter yang ada
pada tabel dibawah ini, parameter R Square yang biasanya digunakan untuk menentukan
bagus tidaknya korelasi atau variasi model hasil regresi.
Regression Statistics
Multiple R 0.288513098
R Square 0.083239808
Adjusted R Square 0.052681135
Standard Error 0.012883397
Observations 32
Koefisien determinasi atau R Square (R2) sebesar 0.0832 menyatakan bahwa terjadi
hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Hal ini berarti bahwa beta
19
konsumsi sebagai variabel independen hanya mampu menjelaskan 8,32% pola pergerakan
mean retun saham-saham emiten yang termasuk dalam Indeks LQ45, sedangkan 91,68%
kemungkinan dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak masuk dalam variabel penelitian
ini. Pada parameter yang dihasilkan ini dapat dikatakan tidak bagus, karena hasil parameter R
Square lebih kecil dari 0,8 atau 80 %.
Tabel kedua adalah ANOVA (Analysis Of Variant), digunakan untuk menguji tingkat
kebenaran atau signifikan model hasil regresi secara keseluruhan (overall model).
Dari parameter-parameter dibawah ini, yang menentukan tingkat signifikan model regresi
adalah pada parameter Significance F atau disebut juga p-value.
df SS MS F Significance F
Regression 1 0.000452124 0.000452124 2.72393398 0.109286521
Residual 30 0.004979458 0.000165982
Total 31 0.005431581
Alfa merupakan tingkat kesalahan (1-confidence level) yang digunakan. Pada penelitian ini
alfa yang digunakan adalah 0,10 atau tingkat 10 %. Jadi jika dibandingkan dengan tingkat
Significance F adalah 0.109286521, maka model yang dihasilkan tidak signifikan. Karena
tingkat Significance F lebih besar dibandingkan dengan tingkat alfa. Berdasarkan panduan
umum bahwa untuk melihat signifikansi model dapat dilihat dengan tingkat Significance F ≤
alfa adalah signifikan. Tingkat Significance F mendekati nol berarti variabel input sangat
(signifikan) berpengaruh pada output.
Tabel terakhir adalah tabel Coefficients, tabel ini untuk menentukan bagus atau tidaknya hasil
regresi atau pengaruhnya antara kedua variabel penelitian maka dapat dibandingkan antara
parameter t Stat (t statistik) dengan t tabel.
Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0%
Intercept 0.032541952 0.002475195 13.14722787 5.51307E-14 0.027486929 0.037596974 0.027486929 0.037596974
X Variable 1 -0.034946026 0.021173834 -1.650434482 0.109286521 -0.07818877 0.008296712 -0.07818877 0.008296712
Pada penelitian ini alfa yang digunakan adalah 0,10 atau tingkat 10 % dan df (degree of
freedom) atau derajad kebebasan = 31 (32-1), jadi nilai t Tabel sebesar 1,695. Hasil
parameter t-Stat adalah -1.650434482 lebih kecil dibandingkan dengan t Tabel. Hal ini
menunjukan bahwa beta konsumsi tidak berpengaruh signifikan pada tingkat kepercayaan
90% terhadap mean return saham emiten yang termasuk dalam Indeks LQ 45 selama periode
penelitian.
Model persamaan tahap dua dimana summary output nilai konstanta yang sebesar 0,0325 dan
nilai beta konsumsinya sebesar -0,0349 sedangkan nilai standar error-nya sebesar 0,0128
menjelaskan bahwa terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat mean return
saham-saham emiten. Adapun persamaannya sebagai berikut :
Ŕ = 0,0325 - 0,0349 βci
Artinya, ketika terdapat penambahan beta konsumsi (karena tanda negatif) sebesar 1%, maka
diprediksi akan mengurangi tingkat mean return yang didapat sebesar 3,49%. Adapun R2
=
20
0.0832 dimana nilai ini menjelaskan hanya 8 persen variasi return dijelaskan beta konsumsi
dan tidak signifikan.
Pengujian Validitas CAPM Berorientasi Konsumsi
Selain pengujian regresi seperti dalam pembahasan sebelumnya yaitu antara Indeks Riil
Penjualan Eceran (IPE) sebagai variabel independen dan return saham-saham emiten yang
termasuk dalam Indeks LQ45 sebagai variabel dependen. Penulis juga melakukan pengujian
dengan variabel independen yang berbeda yaitu Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PKRT),
pada variabel dependen tetap sama yaitu return saham-saham emiten yang termasuk dalam
Indeks LQ45 .
SUSENAS yang dilaksanakan BPS untukk pengumpulan data konsumis Rumah Tannga,
dan kosnepnya mengenai pengeluaran rata-rata perkapita adalah biaya yang dikeluarkan untuk
konsumsi seluruh anggota rumah tangga selama sebulan dibagi dengan banyaknya anggota
rumah tangga. (Trisilo:72). Dalam memperkirakan besarnya pengeluaran konsumsi rumah
tangga dilakukan metode langsung yang didasarkan pada survei pengeluaran konsumsi rumah
tangga yang dilaksanakan SUSENAS.
Penggunaan variabel independen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PKRT) yang
dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BSP) adalah triwulanan, maka terdapat perbedaan periode
penelitian dan jumlah emiten yang masuk selama periode Januari 2000 sampai dengan Desember
2009.
Pengujian regresi ini juga dilakukan dalam 2 tahap yaitu First Pass Regression dengan data
time series dan Second Pass Regression dengan data cross section. Sebelum pengujian regresi
dilakukan, masing-masing variabel disesuaikan dengan menggunakan Log natural (Ln), karena
orde pada Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PKRT) memiliki besaran ratusan ribu.
Hasil dari pengujian tahap pertama atau first pass regression terdapat pada tabel 5 dibawah
ini. Berdasarkan tabel 5 tersebut, dari 26 saham yang diuji sebagian besar saham memiliki
koefisien beta konsumsi positif yaitu sebanyak 21 saham yang terdiri dari saham AALI, ASII,
BBNI, BNBR, BUMI, CPIN, ELTY, GGRM, GJTL, INDF, INTP, ISAT, KLBF, LSIP, MEDC,
SMCB, TINS, TLKM, UNTR, UNVR, dan UNSP. Sedangkan 5 saham yang memiliki koefisien
beta konsumsi negatif terdiri dari ANTM, BDMN, INCO, LPKR, dan SMGR.
Koefisien beta konsumsi positif tertinggi sebesar 0,3437 (UNTR) dan terendah sebesar
0,0122 (TINS). Saham-saham yang memiliki hasil koefisien beta konsumsi positif akan dilihat
tingkat signifikannya pada tingkat kepercayaan 90% yaitu saham UNTR dari subsektor glosir
atau wholesale (durable dan non durable goods) dan memiliki koefisien beta konsumsi sebesar
0,3437. Sedangkan INDF dari subsektor makanan dan minuman dan memiliki koefisen beta
konsumsi sebesar 0,2912. Berdasarkan adanya signifikansi tersebut maka, untuk setiap kenaikan
tingkat konsusmsi sebesar 1 %, maka tingkat return yang dihasilkan saham UNTR sebesar
34,37%, sedangkan return saham INDF akan meningkat sebesar 29,12%. Signifikan itu sendiri
menggambarkan bahwa adanya pengaruh antara tingkat pertumbuhan konsumsi yaitu
Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PKRT) sebagai variabel independen dengan return
saham.
TABEL 5
REGRESI TAHAP PERTAMA ANTARA PENGELUARAN KONSUMSI RUMAH
TANGGA (PKRT) DAN RETURN SAHAM
No Y a b R
Square Stand.Error T.Stat Sig F Obs
1 AALI - 0.0839 0.0158 0.2846 0.7712 0.4455 39
21
1.0226
2 ANTM 0.5366 -0.0400 0.0017 0.4133 -
0.2537 0.8012 39
3 ASII -
1.1497 0.0930 0.0237 0.2571 0.9471 0.3497 39
4 BBNI -
0.1497 0.0158 0.0002 0.4788 0.0865 0.9315 39
5 BDMN 1.8738 -0.1376 0.0116 0.5472 -
0.6581 0.5145 39
6 BNBR -
1.0392 0.0786 0.0034 0.5793 0.3553 0.7244 39
7 BUMI -
1.8996 0.1502 0.0132 0.5582 0.7042 0.4857 39
8 CPIN -
3.5011 0.2656 0.0692 0.4192 1.6585 0.1057 39
9 ELTY -
0.5633 0.0442 0.0013 0.5322 0.2176 0.8289 39
10 GGRM -
1.3229 0.1027 0.0431 0.2082 1.2912 0.2047 39
11 GJTL -
1.1080 0.0839 0.0177 0.2689 0.8169 0.4192 39
12 INCO 2.1566 -0.1675 0.0156 0.5729 -
0.7652 0.4490 39
13 INDF -
3.7929 0.2912 0.1035 0.3689 2.0663 0.0458 39
14 INTP -
2.1486 0.1686 0.0673 0.2701 1.6344 0.1107 39
15 ISAT -
0.4759 0.0347 0.0027 0.2869 0.3163 0.7535 39
16 KLBF -
1.3667 0.1060 0.0209 0.3121 0.8894 0.3795 39
17 LPKR 0.1964 -0.0154 0.0003 0.3709 -
0.1084 0.9142 39
18 LSIP -
1.2012 0.0968 0.0157 0.3302 0.7676 0.4476 39
19 MEDC -
1.1958 0.0909 0.0158 0.3090 0.7704 0.4460 39
20 SMCB -
1.3227 0.1041 0.0255 0.2772 0.9833 0.3318 39
21 SMGR 0.5673 -0.0440 0.0019 0.4308 -
0.2672 0.7908 39
22 TINS -
0.1694 0.0122 0.0001 0.6602 0.0483 0.9617 39
23 TLKM -
0.1937 0.0168 0.0018 0.1724 0.2550 0.8002 39
24 UNTR -
4.4444 0.3437 0.1076 0.4259 2.1125 0.0415 39
22
25 UNVR -
3.4592 0.2623 0.0442 0.5248 1.3085 0.1988 39
26 UNSP -
0.3826 0.0294 0.0007 0.4784 0.1609 0.8731 39
Sumber : Data diolah. (Pengolahan data menggunakan Ms. Excel).
Ada 21 koefisien beta konsumsi positif dimana terdapat 19 saham yang tidak signifikan
pada tingkat kepercayaan 90% yaitu AALI dari subsektor perkebunan, ASII dari subsektor
automotif dan komponen, BBNI dari subsektor perbankan, BNBR dari subsektor perusahaan
investasi, BUMI dari subsektor batu bara, CPIN dari subsektor pakan ternak, ELTY dari
subsektor property dan real estate, GGRM dari subsektor produsen tembako, GJTL dari
subsektor infrastruktur, utility, dan transportasi. Selanjutnya saham INTP dari subsektor semen,
ISAT dari subsektor telekomunikasi, KLBF dari subsektor farmasi, LSIP dari subsektor
perkebunan, MEDC dari subsektor minyak mentah dan gas alam, SMCB dari subsektor semen,
TINS dari subsektor logam dan pertambangan, TLKM dari subsektor telekomunikasi, UNVR
dari subsektor kosmetik dan rumah tangga, kemudian UNSP dari subsektor perkebunan.
Banyaknya saham yang tidak signifikan ini karena tidak adanya pengaruh antara tingkat
pertumbuhan konsumsi dengan return saham yang dihasilkan pada saham-saham yang masuk
dalam penelitian ini, hal ini juga dapat disebabkan karena tidak adanya hubungan dengan
pengeluaran konsusmsi rumah tangga.
Jika melihat pada hasil koefisien determinasi atau R Square (R2) tertinggi dimiliki oleh
(UNTR) sebesar 0,10763, berarti pengujian regresi ini hanya menerangkan 10,763 % variasi
return saham yang ada di Bursa Efek Indonesia. Hasil ini tidak berbeda jauh dari pengujian yang
menggunakan data Indeks Riil Penjualan Eceran (IPE) sebagai variabel independen yang
berkisar 10%.
Selanjutnya melihat hasil pengujian regresi tahap kedua atau second pass regression, yaitu
dengan meregresikan mean return saham-saham yang termasuk dalam Indeks LQ45 sebagai
variabel dependen dan Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PKRT) sebagai variabel
independen. Semua rumus ataupun persamaan pada pengujian ini tetap sama sesuai dengan
pengujian sebelumnya dengan variabel independen yang berbeda.
Dibawah ini merupakan hasil mean return saham dan beta konsumsi yang didapat dari
pengujian regresi tahap pertama:
TABEL 6
MEAN RETURN SAHAM-SAHAM EMITEN YANG TERMASUK DALAM INDEKS
LQ45 DAN BETA KONSUMSI
No Saham Mean Return Beta Konsumsi
1 AALI 0.1071 0.0839
2 ANTM 0.0861 -0.0400
3 ASII 0.0932 0.0930
4 BBNI 0.2659 0.0158
5 BDMN 0.4111 -0.1376
6 BNBR 0.1542 0.0786
7 BUMI 0.2308 0.1502
8 CPIN 0.0218 0.2656
9 ELTY 0.1935 0.0442
23
10 GGRM 0.0343 0.1027
11 GJTL 0.0175 0.0839
12 INCO 0.0986 -0.1675
13 INDF 0.0460 0.2912
14 INTP 0.0785 0.1686
15 ISAT 0.0063 0.0347
16 KLBF 0.0573 0.1060
17 LPKR 0.0665 -0.0154
18 LSIP 0.1113 0.0968
19 MEDC 0.0224 0.0909
20 SMCB 0.0696 0.1041
21 SMGR 0.0557 -0.0440
22 TINS 0.1401 0.0122
23 TLKM 0.0381 0.0168
24 UNTR 0.0957 0.3437
25 UNVR 0.0258 0.2623
26 UNSP 0.0983 0.0294
Sumber : Data diolah. (Pengolahan data menggunakan Ms. Excel).
Terdapat 26 mean return saham yang termasuk didalam Indeks LQ45. Pada kolom beta
konsumsi diatas merupakan hasil-hasil dari pengujian regresi tahap pertama. Mean return
terbesar dimiliki oleh saham BDMN sedangkan beta konsumsi terbesar adalah saham UNTR.
Selanjutnya dari kedua variabel diatas diregresikan dimana hasilnya terlihat pada Tabel 7
dibawaha ini.
Tabel 7: Hasil Regressi mean return dan Beta konsumsi
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics
Multiple R 0.377700113
R Square 0.142657376
Adjusted R Square 0.106934766
Standard Error 0.085726231
Observations 26 ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 1 0.029348 0.029348 3.993475794 0.057127718
Residual 24 0.176375679 0.007348987
Total 25 0.205723679
Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95.0% Upper 95.0%
Intercept 0.123623053 0.020273143 6.097873219 2.6798E-06 0.081781344 0.165464763 0.081781344 0.165464763
X Variable 1 -0.284322076 0.142277116 -1.998368283 0.057127718 -0.57796761 0.009323457 -0.57796761 0.009323457
Berdasarkan summary output diatas dapat dijelaskan bahwa :
24
Pada tabel 7 yaitu Regression Statistics, koefisien determinasi atau R Square (R2) sebesar
0.142657376 menyatakan bahwa terjadi hubungan antara variabel independen dengan
variabel dependen. Hal ini berarti bahwa beta konsumsi sebagai variabel independen hanya
mampu menjelaskan 14,26% pola pergerakan mean return saham-saham emiten yang
termasuk dalam Indeks LQ45, sedangkan 85,74% kemungkinan dijelaskan oleh faktor-faktor
lain yang tidak masuk dalam variable penelitian ini. Penggunaan variabel independen yang
berbeda ini yaitu, Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PRKT) juga menjelaskan variasi
yang belum dapat dikatakan baik karena R Square masih lebih kecil dari 0.8 atau 80 %.
Tabel 7 tentang ANOVA (Analysis Of Variant) digunakan untuk menguji tingkat kebenaran
atau signifikan model hasil regresi secara keseluruhan (overall model). Pada pengujian kedua
ini alfa yang digunakan tetap pada tingkat 10 % (0,10). Jadi jika dibandingkan dengan tingkat
Significance F adalah 0.057127718, maka model yang dihasilkan signifikan. Karena tingkat
Significance F lebih kecil dibandingkan dengan tingkat alfa. Berdasarkan panduan umum
bahwa untuk melihat signifikansi model dapat dilihat dengan tingkat Significance F ≤ alfa
adalah signifikan. Tingkat Significance F mendekati nol berarti variabel input sangat
(signifikan) berpengaruh pada output. Jadi, berbeda dengan penggunaan Indeks Riil
Penjualan Eceran (IPE), Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PKRT) sebagai variabel
independen menghasilkan signifikansi model hasil regresi yang baik, maka dapat dikatakan
model regresi ini dapat digunakan untuk memprediksi mean return saham yang termasuk
dalam Indeks LQ 45 selama periode penelitian.
Tabel 7 juga memperlihatkan Coefficients, tabel ini untuk menentukan bagus atau tidaknya
hasil regresi atau pengaruhnya antara kedua variabel penelitian maka dapat dibandingkan
antara parameter t Stat (t statistik) dengan t Tabel. Jika t Stat harus lebih besar dari t Tabel
serta alfa tetap pada tingkat 10% (0,10), maka hasil t Stat adalah -1.998368283 dan t Tabel
adalah 1,708 menunjukan hasil yang tidak signifikan, karena t Stat < t Tabel. Hal ini
menunjukan bahwa beta konsumsi tidak berpengaruh signifikan terhadap mean return saham
emiten yang termasuk dalam Indeks LQ 45 selama periode penelitian. Pada pengujian kedua
ini memiliki kesamaan mengenai tidak signifikannya kedua varibel tersebut walaupun
variabel independennya menggunakan Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PKRT).
Berdasarkan summary output nilai konstanta yang sebesar 0,1236 dan nilai beta konsumsinya
sebesar -0,2843 sedangkan nilai standar error-nya sebesar 0,1422 menjelaskan bahwa
terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat mean return saham-saham emiten.
Jadi persamaan itu sebagai berikut :
Ŕ = 0,1236 - 0,2843 βci
Artinya, ketika terdapat penambahan beta konsumsi (karena tanda negatif) sebesar 1%, maka
diprediksi akan mengurangi tingkat mean return yang didapat sebesar 28,43%.
Berdasarkan analisis statistik dari hasil ketiga tabel diatas, dengan penggunaan varibel
independen yang berbeda yaitu Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PKRT) masih belum
signifikan. Hal ini terlihat bahwa parameter R Square = 0.142657376 masih jauh dibawah 0.8
dan t Stat = -1.998368283 < 1.708 (t Tabel). Namun tingkat Significance F = 0.057127718 <
0.10 (alfa), hal ini menunjukan penggunaan Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PKRT)
sebagai variabel independen menghasilkan signifikansi model hasil regresi yang dapat digunakan
untuk memprediksi mean return saham yang termasuk dalam Indeks LQ 45 selama periode
penelitian.
25
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data dan pembahasan maka kesimpulan yang didapat dari penelitian ini
adalah :
1. hasil pengujian yang dilakukan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat bukti
adanya hubungan yang linear atau positif antara expected return saham-saham yang
termasuk dalam Indeks LQ45 dengan beta konsumsinya. Hal uji t yang diuraikan
sebelumnya menjelaskan bahwa beta konsumsi tidak berpengaruh signifikan terhadap
mean return saham emiten yang termasuk dalam Indeks LQ 45 selama periode penelitian
di Bursa Efek Indonesia. Penulis menyadari kelemahan dalam penelitian ini terletak pada
data konsumsi yang digunakan, walaupun data konsumsi pada penelitian ini telah
menggunakan Indeks Riil Penjualan Eceran (IPE) yang dikeluarkan setiap bulannya oleh
Bank Indonesia dari hasil Survei Penjualan Eceran (SPE). Selain data konsumsi tersebut,
penulis menggunakan data konsumsi lain yaitu Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
(PKRT) sebagai variabel independen. Data konsumsi ini dikeluarkan oleh Biro Pusat
Statistik (BPS) dalam periode kuartal.
2. Pengujian dengan data konsumsi Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PKRT) sebagai
variabel independen, menunjukan hasil yang tidak berbeda dengan penggunaan data
konsumsi sebelumnya yaitu tidak terdapat bukti adanya hubungan yang linear atau positif
antara expected return saham-saham yang termasuk dalam Indeks LQ45 dengan beta
konsumsinya. Namun dengan menggunakan Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga
(PKRT) membuat model hasil regresi signifikan dan dapat digunakan untuk memprediksi
mean return saham yang termasuk dalam Indeks LQ 45 selama periode penelitian
berbeda dengan Indeks Riil Penjualan Eceran (IPE). Selain itu, koefisien determinasi atau
R Square dengan data Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PKRT) sama-sama
menghasilkan nilai R Square yang sangat kecil jauh dibawah 80%.
3. Berdasarkan hasil pengujian regresi tersebut, secara statistik tidak terdapat bukti yang
mendukung pernyataan hipotesis sebelumnya, dikarenakan tidak adanya hubungan linear
dan positif antara mean return saham-saham yang termasuk dalam Indeks LQ45 dengan
beta konsumsi saham-saham tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim. 2003. Analisis Investasi. Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Empat.
Bodie, Zvi., Alex Kane, dan Alan J. Marcus. 2006. Investments. Edisi 6. Jakarta: Salemba
Empat.
Breeden, D. (1979): “An Intertemporal Asset Pricing Model with Stochastic Consumption and
Invesment Opportunities,” Journal of Financial Economics,7, 265-296.
Breeden, D., M. Gibbons, And B. Litzenberger (1986): “Empirical Test ot the Consumption
Oriented CAPM,” Research Paper 879, Graduate School of Business, Stanford University.
Darwin Zahedy Saleh, “Expected Return dan Risiko : Pengujian Consumption-Based Capital
Asset Pricing Model (CCAPM)”, Jurnal Manajemen Bisnis, Vol. 3, No. 1, Apri – Juli 2010,
halaman 33-52.
Difinisi Indeks LQ45, http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/07/indek-lq-45-definisi-kriteria-
dan.html/ diakses pada hari Rabu, 27 April 2004.
Difinisi Survei Penjualan Eceran, Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia, halaman 1, Februari
2010.
26
Duffie, D., And Zame, W., (1989): “The Consumption Based Capital Asset Pricing Model,“
Econometrica, 57, 1279-1297.
Eduardus Tandelilin. 2001. Analisis Investasi & Manajemen Portofolio. Yogyakarta: BPFE
Yogyakarta.
Garcia, R., E. Renault, and A. Semenov, (2005): “A Consumption CAPM with Reference Level,”
CIRANO working paper.
Keown, Arthur J. 2001. Dasar-dasar Manajemen Keuangan. Buku 1. Jakarta: Salemba Empat.
Kuncoro, Mudrajad. (2003). Metode Riset Untuk Bisnis & Ekonomi. Jakarta: Erlangga
Lettau, Martin, and Ludvigson, Sydney. (June 2001): “Resurrecting the (C) CAPM: A Cross
Sectional Test When Risk Premia Are Time-Varying.” Journal of Political Economy, 109(6).
Mankiw, N. Gregory. (Aug.,1986): “ Risk and Return : Consumption Beta Versus ,” The Review
of Economics and Statistics, 68(3), 452-459.
Suad Husnan. (1993): “Pengujian Empiris Capital Assets Pricing Model (CAPM) di Bursa Efek
Jakarta (BEJ) Menggunakan Pendekatan Lintner/Douglas.”
Suad Husnan. 2005. Dasar-dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas. Edisi Keempat.
Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Sugiyono. (2003). Metode Penelitian Bisnis. Jakarta: Alfabeta.
Survei Penjualan Eceran (SPE) menurut Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia, Februari
2010, halaman 1.