PBL kel A revisi C
-
Upload
ninik-nursanti -
Category
Documents
-
view
250 -
download
11
description
Transcript of PBL kel A revisi C
LAPORAN KEPANITERAAN PROBLEM BASED LEARNING ORAL MEDICINE
ORTHOSTATIC HYPOTENSION
Disusun Oleh:
Yella Mega Sari 02/154459/KG/07498
Siti Hamizah Hassan 06/197467/KG/08081
Helmy Oktaviany Hamka 07/257630/KG/08244
Geovanni Hanung M.A. 08/264544/KG/08250
Ninik Nursanti 08/264637/KG/08258
ANGKATAN XXXIX
PEMBIMBING: drg. Goeno Subagyo, Sp. O. Path
KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kegawatdaruratan dapat terjadi di mana saja termasuk dalam praktek
kedokteran gigi. Di dalam merawat pasien, dokter gigi akan berhadapan dengan
pasien dengan populasi dan variasi status kesehatan pasien yang berbeda - beda,
oleh karena itu persiapan dalam menghadapi pasien - pasien dengan status
kesehatan medically compromised merupakan hal utama yang harus dilakukan.
Dokter gigi secara umum harus siap untuk menangani secara menyeluruh dan
efektif jika kegawatdaruratan ini terjadi. Anamnesa lengkap sebelum tindakan
harus dilakukan oleh setiap dokter gigi. Anamnesa tidak hanya mengenai gigi
yang menjadi keluhan utama, namun kesehatan umum dan riwayat perawatan gigi
terdahulu juga merupakan hal yang perlu mendapat perhatian khusus.
(Field,2004).
Kegawatdaruratan dapat dibagi dalam dua kelompok besar: yaitu
kegawatdaruratan medis yang dapat terjadi dalam praktek dokter gigi sehubungan
dengan kondisi sistemik seorang pasien, dan kegawatdaruratan dental yang dapat
terjadi diluar praktek dokter gigi tetapi membutuhkan penanganan yang segera
dari dokter gigi. Kegawatdaruratan dental ini dapat dibagi dalam dua kelompok
yaitu yang berhubungan dengan suatu trauma, dan non-trauma (Frush, 2008).
Penelitian di Canada menunjukkan bahwa sincope merupakan kasus yang sering
didapatkan oleh dokter gigi (sekitar 50%) dan 8% adalah alergi ringan. Kasus-
kasus lain yang juga terjadi adalah angina pectoris/myocardial infarction, cardiac
arrest, postural hypotension, seizures, bronchospasm, serangan asma akut,
hiperventilasi, and diabetic emergencies (Haas, 2006).
Sinkop adalah suatu istilah umum yang menggambarkan hilangnya
kesadaran seseorang yang terjadi tiba-tiba dan bersifat sementara. Ada beberapa
sinonim untuk sinkop yaitu: bening faint, simple faint, neurogenic sinkop,
psikogenik sinkop, vasovagal sinkop, dan vasodepressor sinkop. Menurut
Malamed, istilah vasodepressor sinkop adalah istilah yang paling deskriptif dan
1
akurat untuk menggambarkan kondisi yang terjadi. Vasodepressor sinkop adalah
kegawatdaruratan medic yang paling sering dijumpai di tempat praktek dokter
gigi, di mana penderita mengalami penurunan atau kehilangan kesadaran secara
tiba-tiba dan bersifat sementara akibat tidak adekuatnya cerebral blood flow
(Malamed, 2008). Sebagai penyebab umum kehilangan kesadaran adalah
hipotensi (Hales). Hal ini disebabkan karena terjadinya vasodilatasi dan brakikardi
secara mendadak sehingga menimbulkan hipotensi. Faktor-faktor yang dapat
memicu terjadinya vasodepressor sinkop dapat dibagi ke dalam dua kelompok,
yaitu: faktor-faktor psikogenik dan non-psikogenik. Yang termasuk faktor-faktor
psikogenik adalah: rasa takut, tegang, stress emosional, rasa nyeri hebat yang
terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga dan rasa ngeri melihat darah atau peralatan
kedokteran seperti jarum suntik. Faktor-faktor non-psikogenik meliputi: posisi
duduk tegak, rasa lapar, kondisi fisik yang jelek, dan lingkungan yang panas,
lembab dan padat (Malamed, 2007).
Orthostatic hypotension (hipotensi ortostakik’hipotensi postural) terdiri
dari dua kata yaitu orthostatic yang berarti postur tubuh saat berdiri dan
hypotension yang berarti tekanan darah rendah. Artinya, ini adalah keadaan di
mana terjadi penurunan darah yang tiba-tiba saat perubahan posisi dari duduk
menjadi berdiri. Tekanan darah pasien saat posisi biasa dapat normal atau juga
sedikit turun. Hipotensi ortostatik didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah
sistolik sekurangnya 20mmHg atau tekanan darah diastolic sekurangnya 10mmHg
dalam waktu 3 menit berdiri. Biasanya tidak terjadi kompensasi normal yang
berupa peningkatan denyut nadi saat berdiri. Hipotensi ortostatik yang disebabkan
oleh gangguan neuron autonom praganglionik di dalam kolumna sel
intermediolateral dari korda spinalis sering terjadi dalam kaitannya dengan
perubahan degenerative dari ganglia basalis dan bagian lain dari sistem saraf
pusat. Hipotensi ortostatik terjadi bersamaan dengan berbagai gangguan
neurologik, termasuk penyakit Parkinson dan penyakit lain seperti diabetes
mellitus.
Pada jenis hipotensi ini, tekanan darah mungkin turun mendadak karena
perubahan posisi tubuh, biasanya saat sedang berdiri dari posisi duduk atau posisi
2
berbaring. Orang yang mengalami perasaan seperti mau pingsan, pusing dan
pandangan kabur setiap kali ia berdiri dari posisi duduk atau posisi berbaring,
mungkin mengalami hipotensi ortostatik. Biasanya tubuh mengkompensasi
penarikan darah ke arah bawah karena gaya gravitasi dengan cara meningkatkan
laju detak jantung untuk memastikan distribusi darah ke otak dalam jumlah cukup.
Pada hipotensi ortostatik, tekanan darah turun karena jantung tidak memompa
cukup darah sehingga terjadi kekurangan oksigen di otak, yang menyebabkan
timbulnya gejala rasa pusing bahkan pingsan. Orang lanjut usia biasanya
mengalami hipotensi ortostatik, khususnya mereka yang berusia diatas 60 tahun.
Namun, hipotensi ini juga dapat terjadi pada orang muda, tanpa bahaya tertentu
karena sirkulasi darah yang kurang lancer akibat terlalu lama duduk atau jongkok.
Dehidrasi, temperature panas, kehamilan, saat badan capek juga dapat
menyebabkan hipotensi ortostatik. Kadangkala obat-obat yang ditelan untuk
mengontrol hipertensi (tekanan darah tinggi) seperti beta blocker dan diuretic juga
dapat menjadi salah satu penyebab hipotensi. Hipotensi ortostatik
mempertahankan tekanan arteri selama keadaan berdiri tegak, tergantung pada
volume darah yang cukup, aliran balik vena yang tidak terganggu dan sistem saraf
simpatik yang tidak terganggu. Oleh karena itu, hipotensi ortostatik yang
bermakna sering menggambarkan deplesi volume cairan ekstraseluler atau
disfungsi refleks-refleks simpatik ini dengan hasilnya hipotensi ortostatik.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Hipotensi
a. Fisiologi dan patofisiologi
Respon normal hemodinamik pada perubahan postur, dibutuhkan
fungsi normal dari kardiovaskular dan system syaraf autonom. Hasil pada
penyatuan darah kira-kira 500-1000ml pada ektremitas bawah dan sirkulasi
“splanchnic”. Hal ini dimulai meningkatnya aliran simphatetik, yang diikuti
meningkatnya juga perlawanan pembuluh darah tepi, venous return, dan
output cardiac, dengan demikian membatasi penurunan tekanan darah.
Pengimbangan mekanisme ini mengakibatkan penurunan tekanan darah
3
sistole (5-10 mmHg) dan meningkatkan tekanan diastole (5-10 mmHg), dan
nadi meningkat 10-25 x/menit. Biasanya hipotensi ortostatik ini bisa
disebabkan jika volume intravascular inadekuat, tidak berfungsinya system
saraf autonom, penurunan pembuluh darah balik, atau ketidakmampuan untuk
meningkatkan pengeluaran cardiac untuk merespon perubahan posisi (Bennet
dan Rosenberg, 2002).
Hipotensi orthostatic dapat akut atau kronis, gejala pada pasien
biasanya pandangan kabur, lelah, pusing, pening, dan merasa lemah atau bisa
juga disertai sinkop. Yang lebih jarang, mereka merasakan nyeri bahu, dada
dan leher (Bennet dan Rosenberg, 2002).
b. Penanganan Utama
Penanganan utama hipotensi tergantung pada etiologinya. Namun
pada umumnya penatalaksanaannya terdiri dari menempatkan pasien dalam
posisi semisupine dengan posisi kaki terangkat dan pasien diberikan masker
oksigen. Sebagaimana kegawatdaruratan medis, maka airway, breathing,
circulation harus segera diperiksa. Perawatan selanjutnya tergantung pada
riwayat kesehatan pasien, obat yang diberikan selama perawatan gigi, dan yang
paling penting adalah tingkat kesadaran pasien. Apabila tindakan reposisi tidak
mampu menaikkan tekanan darah pasien sampai batas yang seharusnya, maka
perlu dipertimbangkan mengenai pemberian infus cairan fisiologis 500 ml
secara intravena. Jika jalur intravena dan suplai cairan tidak berhasil, maka
harus segera dilakukan pemeriksaan detak jantung dan pemberian terapi
selanjutnya (Bennet dan Rosenberg, 2002).
Apabila detak jantung kurang dari 60 kali per menit (bradikardi),maka
perlu dipertimbangkan pemberian atropin. Namun apabila detak jantung
normal atau meningkat, dan tekanan darah rendah, maka menaikkan detak
jantung tidak akan menaikkan tekanan sistolik. Untuk itu injeksi vasopressor
dibutuhkan untuk menaikkan PVR, volume stroke ataupun keduanya.
Ephedrine merupakan salah satu vasopressor yang bekerja langsung pada alfa
dan beta adrenergic reseptor, dan merupakan pilihan yang tepat dalam
4
mengatasi situasi gawat darurat hipotensi. Ephedrine akan menaikkan cardiac
output dan PVR dari 60 menjadi 90 menit,namun harus dipertimbangkan untuk
pasien dengan penyakit jantung iskemik (Bennet dan Rosenberg, 2002).
c. Vasovagal sinkop
Penyebab paling sering dari hipotensi dan berhubungan dengan
tidaksadarkan diri pada pasien sehat yang menjalani perawatan gigi adalah
sinkop vasovagal. Sinkop vasovagal biasanya diawali dengan stress fisik,
psikologis, ataupun oleh stimulus bedah. Sinkop vasovagal dibedakan menjadi
situasional dan viseral vasovagal yang dimediasi oleh refleks otonom dan
diinisiasi oleh respon valsava untuk menghasilkan stimulus stress. Fase
prodromal ditandai oleh mual, muntah, lemas, takikardi,
diaforesis,takipnea,kebingungan, penglihatan kabur, dan nyeri perut (Bennet
dan Rosenberg, 2002).
Patogenesis dari sinkop vasovagal yakni aktivasi vasodepressor eferen
dan refleks cardioinhibitory. Sinkop vasovagal biasanya dapat pulih apabila
dideteksi dini. Perawatannya terdiri dari menghilangkan stimulus,
menempatkan pasien di kursi gigi pada posisi tredelenburg, dan memastikan
tercukupinya ventilasi dan oksigenasi. Apabila kondisi kebingungan tidak
segera pulih, maka patut dicurigai adanya kondisi yang lebih serius seperti
kelainan serebrovaskular mayor, jantung, metabolik, ataupun kondisi darurat
terkait obat – obatan (Bennet dan Rosenberg, 2002).
2. Orthostatic hypotension
a. Neurogenic-mediated hypotension
Kegagalan sistem autonomik primer merupakan hal yang jarang
terjadi dan termasuk kegagalan autonomik murni, atrofi multisistem, dan
disautonomia subakut. Kegagalan autonomik murni penyebabnya tidak
diketahui dan tidak berkaitan dengan neuropati peripheral. Sindrom ini
biasanya dimulai pada umur pertengahan dan menyebabkan kehilangan neuron
simpatik postganglionic dan penurunan level plasma norepinefrin apabila
5
pasien yang terlibat berada dalam posisi supine (terlentang). Atrofi multisistem
(Shy-Drager sindrom) melibatkan beberapa penyakit yang tumpang tindih,
termasuk degenerasi striatonigral dan atrofi olivopontocerebral. Pasien-pasien
tersebut mengalami hipotensi ortostatik bersamaan dengan cirri-ciri penyakit
Parkinson, disfungsi cerebellar, atau tanda pyramidal (Malamed, 2007).
Kegagalan sistem autonomik sekunder lebih sering menjadi penyebab
hipotensi ortostatik neurogenik dan berkaitan dengan penyakit pada peripheral
dan central nervus sistem. Lesi dapat terjadi pada otak, batang otak, saraf
tulang belakang atau peripheral nervus sistem. Disfungsi autonomik lebih
sering terjadi pada kondisi yang mempengaruhi fiber kecil seperti diabetes,
alcohol neuropati, dan amyloidosis. Hal ini juga berpengaruh pada penyakit
yang menyebabkan demyelinasi akut pada fiber bermyelin yang kecil, seperti
sindrom Guillan-Barre atau multiple sklerosis. Pemeliharaan postural tekanan
darah bergantung pada refleks vasokonstriksi yang terstimulasi simpatetik di
dalam vascular splanchnic dan pembuluh darah periferal. Kehilangan
simpatetik efferen yang normal terhadap system vaskularisasi menyebabkan
hipotensi (Malamed, 2007).
Pasien dengan saraf tulang belakang yang rusak beresiko terhadap
episode hipotensif ortostatik. Respon tekanan darah terhadap perubahan posisi
menjadi abnormal disebabkan oleh interupsi pada jalan efferent dari pusat
vasomotor batang otak ke nervus simpatetik yang terlibat dalam vasokonstriksi
(Bennet dan Rosenberg, 2002)
b. Medication-induced hypotension
Pada perawatan dental, hipotensi dapat terjadi pada pasien yang sedang
dalam pengobatan, termasuk anti hipertensi dan psikotropika. Obat-obatan
tersebut dapat menyebabkan hipotensi orthostatic, dimana bisa diperparah
dengan perubahan posisi pada kursi dental saat dilakukan prosedur dental
(Malamed, 2007).
Meskipun hipotensi orthostatic karena obat-obatan dapat terjadi pada
berbagai umur, tapi yang paling sering terkena adalah pada lanjut usia. Umur
6
yang lanjut dan penyakit koroner berhubungan dengan rusaknya pengaturan
tekanan darah yang memungkinkan meningkatnya resiko lebih lanjut pada
hipotensi karena perubahan posisi (Malamed, 2007).
Obat-obatan yang berhubungan dengan hipotensi:
A. Obat vasodilatasi:
1. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors,
2. Calcium channel blockers
3. Nitroglycerine preparations
4. Antihypertensive
B. Obat yang mempengaruhi fungsi autonom
1. Sympatholitic antihypertensives
2. Neuroleptics, antipsychotics
3. Tryciclics, monoamine oxidase (MAO) inhibitors
4. Levodopa
5. Cholinergic agents
C. Obat system saraf pusat
1. Benzodiazepins
2. Barbiturates
3. Narcotics
Terapi vasodilatasi mungkin bisa memperburuk resiko pada pasien yang
rentan terkena hipotensi orthostatic. Dilaporkan, lebih dari 27% yang terkena
adalah pada pasien lanjut usia lebih dari 65 tahun (Bennet dan Rosenberg,
2002).
7
C. PERMASALAHAN
Pasien laki-laki lansia (70 th) datang untuk mendapatkan perawatan gigi
yaitu skaling dan penambalan gigi molar kanan atas. Riwayat medik menderita
hipertensi dan DM dengan pengobatan insulin, diuretika dan calcium channel
blocker. Penyakit diabetes dan hipertensi dinyatakan oleh dokter yang
merawatnya dalam kondisi terkontrol. Pada pemeriksaan fisik vital signs TD:
165/85mmHg; N:86, R:18, T: afebris. Perawatan dental dapat dilakukan tanpa
mengalami kesulitan atau komplikasi. Setelah pasien dinyatakan selesai
perawatannya; pada saat pasien bangkit dari kursi mendadak badannya lemas dan
merasa pusing lalu mau jatuh.
8
II.DISKUSI
A. Pemeriksaan Subjektif
Pemeriksaan subjektif diperoleh dengan melakukan anamnesis, yaitu
dengan melakukan wawancara terhadap pasien. Pemeriksaan subjektif meliputi:
1. Identitas Pasien
Laki-laki lansia 70 tahun.
2. Present Ilness
Setelah selesai perawatan gigi, pada saat pasien bangkit dari kursi
mendadak badannya lemas dan merasa pusing lalu mau jatuh.
3. Past Medical History
Past medical history adalah riwayat penyakit sistemik yang pernah atau
sedang diderita oleh pasien yang mungkin berhubungan dengan chief complaint.
Pasien menderita hipertensi dan DM terkontrol dengan pengobatan insulin,
diuretika dan calcium channel blocker.
B. Pemeriksaan Objektif
Pemeriksaan objektif meliputi pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap
pasien untuk mendapatkan data-data klinis tentang keluhan yang disampaikan
pasien.Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan umum, pemeriksaan intraoral, dan
pemeriksaan ekstraoral.
Tanda vital
TD: 165/85mmHg
Nadi:86
Respirasi:18
T: afebris
Dari beberapa pemeriksaan yang telah dilakukan terhadap pasien seperti
pemeriksaan subyektif, dan pemeriksaan obyektif didapatkan diagnosis banding
sebagai berikut:
9
C. DIAGNOSIS BANDING
1. Hemorragic shock
Hemorargi akut dan berat adalah hal yang jarang terjadi pada tindakan
prosedur dental rutin, tapi hal ini dapat dihubungkan dengan epistaxis, dan
trauma maxillofacial. Peredaran darah merespon banyaknya darah yang hilang
dengan vasokonstriksi dari sirkulasi cutaneous, visceral dan muscular untuk
menjaga aliran darah ke organ vital termasuk jantung, otak dan ginjal. Setelah
kehilangan darah 15-30%, denyut nadi menurun, setelah kehilangan darah
lebih dari 30%, hipotensi muncul.
2. Acute Congestive Heart Failue
Gagal jantung adalah digambarkan bahwa jantung tidak mampu memompa
darah untuk mencapai yang dibutuhkan untuk metabolisme, sehingga
menghasilkan aliran oksigen yang kurang. Pasien ini mempunyai tekanan
darah systole kurang dari 90mmHg.
3. Cardiogenic shock
Hal ini juga jarang terjadi pada emergency dental, diagnosis shock ini
susah ditegakkan, hal ini disebabkan banyak factor misalnya embolis
pulmonary, sepsis, hipovolemia, shock anafilaktik, dan kerusakan neurogenik.
4. Renal Failure and Dialysis
Hipotensi yang berhubungan dengan pasien gagal ginjal kronis dapat
ditemukan sebelum dan selepas dialisis. Episode hipotensi terjadi akibat
regulasi simpatetik yang diubah hasil dari perawatan dialisis dan kelemahan
untuk meregulasi fungsi nervus autonomik dan peripheral disebabkan oleh
kegagalan ginjal.
10
D. DIAGNOSIS AKHIR
Hasil diskusi dan eliminasi dari keempat diagnosis banding di atas
menyimpulkan bahwa diagnosis pada skenario ini adalah hipotensi orthostatik.
Hipotensi orthostatik adalah penurunan tekanan darah yang drastis dan secara tiba-
tiba yang berhubungan dengan posisi badan. (misalnya : terlentang ke berdiri tegak,
dan dari duduk ke berdiri). Keadaan ini ditandai dengan adanya penurunan tekanan
darah sistole sekitar 20mmHg dan tekanan diastole sekitar 10mmHg antara 3 menit
pada keadaan berdiri dibanding dengan tekanan darah dari posisi terlentang ke
berdiri.
Biasanya keadaan ini ditemukan pada pasien lansia yaitu umur lebih dari
65 tahun. Pemeliharaan homeostatik dari tekanan darah ini diatur terutama oleh
system syaraf autonom, sehingga dengan adanya keikutsertaan autunom menjadi
hipotensi. Orthostatic hipotensi bisa dibedakan menjadi neurogenik dan
nonneurogenik, neurogenik disebabkan dari gangguan autonom sistem primer atau
sekunder.
Central Nervous Peripheral nervous system
Tumor, stroke Diabetes mellitus
Multiple sclerosis Alkoholik
Gangguan autonom Guillain barre disease
Spinal cord trauma HIV infection
Sedangkan nonneurogenik disebabkan dari kerusakan cardiac,
berkurangnya volume intravaskular, dan karena efek samping obat. Pasien dengan
resiko ini juga dilaporkan kadang-kadang hypoperfusi, akibat dari penglihatan yang
menurun, penurunan pendengaran, dan perasaan pusing. Untuk meningkatkan
peredaran volume darah, dan mengurangi kemungkinan terjadinya hipotensi, pasien
menerima tambahan garam, dan terapi cairan. Disarankan juga untuk melatih
gerakan tidur dengan kepala yang agak tinggi, kemudian bangun pelan-pelan
dari posisi terlentang atau duduk.
11
a. Hubungan hipotensi ortostatik dengan geriatric
1. Perubahan pada Sistem Kardiovaskular
Jantung dan pembuluh darah mengalami perubahan baik struktural maupun
fungisional. Penurunan yang terjadi berangsur-angsur sering terjadi ditandai
dengan penurunan tingkat aktivitas, yang mengakibatkan penurunan kebutuhan
darah yang teroksigenasi. 3 Jumlah detak jantung saat istirahat pada orang tua
yang sehat tidak ada perubahan, namun detak jantung maksimum yang dicapai
selama latihan berat berkurang. Pada dewasa muda, kecepatan jantung di
bawah tekanan yaitu, 180-200 x/menit. Kecepatan jantung pada usia 70-75 tahun
menjadi 140-160 x/menit.
Perubahan Struktur
Pada fungsi fisiologis, faktor gaya hidup berpengaruh secara signifikan
terhadap fungsi kardiovaskuler. Gaya hidup dan pengaruh lingkungan
merupakan faktor penting dalam menjelaskan berbagai keragaman fungsi
kardiovaskuler pada lansia, bahkan untuk perubahan tanpa penyakit-terkait.
Secara singkat, beberapa perubahan dapat diidentifikasi pada otot
jantung, yang mungkin berkaitan dengan usia atau penyakit seperti penimbunan
amiloid, degenerasi basofilik, akumilasi lipofusin, penebalan dan kekakuan
pembuluh darah, dan peningkatan jaringan fibrosis. Pada lansia terjadi
perubahan ukuran jantung yaitu hipertrofi dan atrofi pada usia 30-70 tahun.
Berikut ini merupakan perubahan struktur yang terjadi pada sistem kardiovaskular
akibat proses menua:
i. Penebalan dinding ventrikel kiri karena peningkatan densitas kolagen
dan hilangnya fungsi serat-serat elastis. Implikasi dari hal ini adalah
ketidakmampuan jantung untuk distensi dan penurunankekuatan kontraktil.
ii. Jumlah sel-sel peacemaker mengalami penurunan dan berkas his
kehilangan serat konduksi yang yang membawa impuls ke ventrikel.
Implikasi dari hal ini adalah terjadinya disritmia.
iii. Sistem aorta dan arteri perifer menjadi kaku dan tidak lurus karena
peningkatan serat kolagen dan hilangnya serat elastis dalam lapisan medial
12
arteri. Implikasi dari hal ini adalah penumpulan respon baroreseptor dan
penumpulan respon terhadap panas dan dingin.
iv. Vena meregang dan mengalami dilatasi. Implikasi dari hal ini adalah vena
menjadi tidak kompeten atau gagal dalam menutup secara sempurna
sehingga mengakibatkan terjadinya edema pada ekstremitas bawah dan
penumpukan darah.
Perubahan Struktur
Pada fungsi fisiologis, faktor gaya hidup berpengaruh secara signifikan
terhadap fungsi kardiovaskuler. Gaya hidup dan pengaruh lingkungan
merupakan faktor penting dalam menjelaskan berbagai keragaman fungsi
kardiovaskuler pada lansia, bahkan untuk perubahan tanpa penyakit-terkait.
Secara singkat, beberapa perubahan dapat diidentifikasi pada otot jantung,
yang mungkin berkaitan dengan usia atau penyakit seperti penimbunan amiloid,
degenerasi basofilik, akumilasi lipofusin, penebalan dan kekakuan pembuluh
darah, dan peningkatan jaringan fibrosis. Pada lansia terjadi perubahan ukuran
jantung yaitu hipertrofi dan atrofi pada usia 30-70 tahun. Berikut ini merupakan
perubahan struktur yang terjadi pada sistem kardiovaskular akibat proses menua:
v. Penebalan dinding ventrikel kiri karena peningkatan densitas kolagen
dan hilangnya fungsi serat-serat elastis. Implikasi dari hal ini adalah
ketidakmampuan jantung untuk distensi dan penurunankekuatan kontraktil.
vi. Jumlah sel-sel peacemaker mengalami penurunan dan berkas his
kehilangan serat konduksi yang yang membawa impuls ke ventrikel.
Implikasi dari hal ini adalah terjadinya disritmia.
vii. Sistem aorta dan arteri perifer menjadi kaku dan tidak lurus karena
peningkatan serat kolagen dan hilangnya serat elastis dalam lapisan medial
arteri. Implikasi dari hal ini adalah penumpulan respon baroreseptor dan
penumpulan respon terhadap panas dan dingin.
viii. Vena meregang dan mengalami dilatasi. Implikasi dari hal ini adalah vena
menjadi tidak kompeten atau gagal dalam menutup secara sempurna
sehingga mengakibatkan terjadinya edema pada ekstremitas bawah dan
penumpukan darah. (Miller dan Carrol, 1999)
13
2. Perubahan pada Sistem Endokrin
Sekitar 50% lansia menunjukka intoleransi glukosa, dengan kadar gula
puasa yang normal. Penyebab dari terjadinya intoleransi glukosa ini adalah faktor
diet, obesitas, kurangnya olahraga, dan penuaan. 3 Frekuensi hipertiroid pada
lansia yaitu sebanyak 25%, sekitar 75% dari jumlah tersebut mempunyai gejala,
dan sebagian menunjukkan “apatheic thyrotoxicosis”. Berikut ini merupakan
perubahan yang terjadi pada sistem endokrin akibat proses menua:
i. Kadar glukosa darah meningkat. Implikasi dari hal ini adalah Glukosa
darah puasa 140 mg/dL dianggap normal.
ii. Ambang batas ginjal untuk glukosa meningkat. Implikasi dari hal ini
adalah kadar glukosa darah 2 jam PP 140-200 mg/dL dianggap normal.
iii. Residu urin di dalam kandung kemih meningkat. Implikasi dari hal ini
adalah pemantauan glukosa urin tidak dapat diandalkan.
iv. Kelenjar tiroad menjadi lebih kecil, produksi T3 dan T4 sedikit menurun,
dan waktu paruh T3 dan T4 meningkat. Implikasi dari hal ini adalah serum
T3 dan T4 tetap stabil. (Setiabudhi dan Hardiwinoto, 1999)
3. Perubahan pada Sistem Renal dan Urinaria
Seiring bertambahnya usia, akan terdapat perubahan pada ginjal, bladder,
uretra, dan sisten nervus yang berdampak pada proses fisiologi terlait
eliminasi urine. Hal ini dapat mengganggu kemampuan dalam mengontrol
berkemih, sehingga dapat mengakibatkan inkontinensia, dan akan memiliki
konsekuensi yang lebih jauh.
Perubahan pada Sistem Renal
Pada usia dewasa lanjut, jumlah nefron telah berkurang menjadi 1 juta
nefron dan memiliki banyak ketidaknormalan. Penurunan nefron terjadi sebesar 5-
7% setiap dekade, mulai usia 25 tahun. Bersihan kreatinin berkurang 0,75
ml/m/tahun. Nefron bertugas sebagai penyaring darah, perubahan aliran
vaskuler akan mempengaruhi kerja nefron dan akhirnya mempebgaruhi fungsi
14
pengaturan, ekskresi, dan matabolik sistem renal. Berikut ini merupakan
perubahan yang terjadi pada sistem renal akibat proses menua:
i. Membrana basalis glomerulus mengalami penebalan, sklerosis pada area
fokal, dan total permukaan glomerulus mengalami penurunan, panjang dan
volume tubulus proksimal berkurang, dan penurunan aliran darah renal.
Implikasi dari hal ini adalah filtrasi menjadi kurang efisien, sehingga secara
fisiologis glomerulus yang mampu menyaring 20% darah dengan
kecepatan 125 mL/menit (pada lansia menurun hingga 97 mL/menit atau
kurang) dan menyaring protein dan eritrosit menjadi terganggu, nokturia.
ii. Penurunan massa otot yang tidak berlemak, peningkatan total lemak tubuh,
penurunan cairan intra sel, penurunan sensasi haus, penurunan kemampuan
untuk memekatkan urine. Implikasi dari hal ini adalah penurunan total cairan
tubuh dan risiko dehidrasi.
iii. Penurunan hormon yang penting untuk absorbsi kalsium dari saluran
gastrointestinal. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko osteoporosis.
Perubahan pada Sistem Urinaria
Perubahan yang terjadi pada sistem urinaria akibat proses menua, yaitu
penurunan kapasitas kandung kemih (N: 350-400 mL), peningkatan volume
residu (N: 50 mL), peningkatan kontraksi kandung kemih yang tidak di sadari,
dan atopi pada otot kandung kemih secara umum. Implikasi dari hal ini adalah
peningkatan risiko inkotinensia. (Dilman dan Vladimir)
15
b. Hubungan hipotensi ortostatik dengan hipertensi & DM
Tekanan darah ditentukan oleh laju aliran darah dihasilkan oleh jantung
(cardiac output) dan resistensi dari pembuluh darah ke aliran darah. Resistensi
diproduksi terutama di arteriol dan dikenal sebagai resistensi pembuluh darah
sistemik. Ada beberapa mekanisme fisiologis yang memungkinkan tekanan darah
dipertahankan dalam kisaran normal seperti: (1) Sistem saraf otonom adalah
regulator yang paling cepat menanggapi tekanan darah dan menerima informasi
terus menerus dari baroreseptor yang terletak di sinus karotis dan arkus aorta.
Informasi ini disampaikan ke pusat vasomotor. Penurunan tekanan darah
menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatik sehingga kontraktilitas jantung
meningkat (reseptor β) dan vasokonstriksi arteri dan vena (α reseptor), (2)
Mekanisme pergeseran cairan kapiler mengacu pada pertukaran cairan yang
melintasi membran kapiler antara darah dan cairan interstitial. Gerakan cairan
dikendalikan oleh kapiler tekanan darah, tekanan cairan interstitial serta tekanan
osmotik koloid plasma. Tekanan darah yang rendah menyebabkan cairan bergerak
dari ruang interstitial ke dalam sirkulasi, membantu untuk mengembalikan volume
darah dan tekanan darah, (3) mekanisme hormonal dapat menurunkan dan
menaikkan tekanan darah dengan cara vasokonstriksi dan vasodilatasi (Lionakis
dkk., 2012).
Terdapat beberapa faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan hipertensi,
yaitu:
* Peningkatan kekakuan/penurunan elastisitas arteri
Peningkatan resistensi perifer total
* Dengan kemajuan zaman , obesitas , stres , kurangnya aktifitas fisik , pola diet
khusus dapat meningkatkan natrium dan penurunan asupan kalium
* Penurunan volume darah disebabkan oleh arteri yang besar dan kaku
menurunkan
tekanan darah diastolik.
* Penuaan merusak fungsi baroreseptor dan fungsi ginjal. Aktivitas baroreseptor
yang rusak beresiko menyebabkan hipotensi ortostatik.
(Gupta dan Kasliwal 2004)
16
Hipotensi ortostatik adalah neuropati kardiovaskular yang merupakan
manifestasi dari diabetes disebabkan oleh degenerasi aferen vasomotor simpatis.
Hipotensi ortostatik sering dianggap sebagai reaksi hipoglikemik. Dalam kondisi
normal, jantung berdetak dalam irama yang telah ditentukan. Umumnya, stimulasi
simpatis meningkatkan dan stimulasi parasimpatis mengurangi kontraktilitas
jantung . Jumlah denyut jantung per menit berkisar antara 20-30 denyut/menit dan
150-250 denyut/menit di bawah pengaruh maksimal vagal dan simpatik maksimal.
Karena keterlibatan saraf otonom jantung, denyut jantung meningkat pada pasien
diabetes. Degenerasi vagal menyebabkan perubahan pernafasan pada denyut
jantung dan menyebabkan takikardia (Kocer dkk , 2005).
Ketika individu normal berdiri dari posisi berbaring, refleks
baroregulatory menghasilkan penghambatan vagal dan stimulasi simpatis, yang
mengakibatkan peningkatan denyut jantung dan vasokonstriksi untuk
mempertahankan tekanan darah sistemik. Setiap penurunan lengkung refleks,
seperti lesi eferen dengan ketidakmampuan untuk meningkatkan denyut jantung
dan vasokonstriksi, dapat menyebabkan hipotensi ortostatik. Penuaan dan
beberapa perubahan patologis, seperti hipertensi dan penyakit kardiovaskular,
telah terbukti menjadi faktor risiko terjadinya hipotensi ortostatik. Cryer et al.
melaporkan bahwa 18 % dari 100 pasien diabetes memiliki hipotensi ortostatik
dengan penurunan tekanan darah rata-rata 20 mmHg atau lebih (Wu dkk., 2009).
Hipotensi ortostatik diabetes biasanya memiliki penyebab neurogenik
dikaitkan dengan keterlibatan eferen dari lengkung refleks baroregulatory dengan
rusaknya serat simpatis vasokonstriktor pada splanknikus, otot, dan kulit. Sebuah
studi menyatakan bahwa kurusakan patofisiologi hipotensi ortostatik diabetes
adalah kurangnya kemampuan untuk meningkatkan resistensi pembuluh darah
akibat gangguan fungsi saraf simpatik yang menginervasi pembuluh yang resisten.
Sebaliknya, respon cardiovagal berkurang dan perubahan denyut jantung setelah
berdiri memainkan peran signifikan dalam hipotensi ortostatik diabetes. Pada
neuropati otonom diabetes, gangguan parasimpatis dengan penurunan nada
cardiovagal biasanya muncul pertama dan kemudian mengurangi aktivitas
simpatis dengan gangguan vasokonstriksi dan denyut jantung tetap berkembang
17
kemudian. Pada penderita diabetes, aktivitas simpatis menurun dengan gangguan
vasokonstriksi di tahap akhir diabetes (Wu dkk., 2009)
Sebuah studi menunjukkan bahwa hipotensi ortostatik terjadi sebagai
akibat dari disfungsi vagal yang disebabkan oleh blokade parasimpatis dan
menyarankan bahwa penarikan vagal merupakan faktor dominan dalam
pemeliharaan homeostasis hemodinamik pada awal subyek sehat yang berdiri.
Oleh karena itu, respon cardiovagal terhadap berdiri masih merupakan faktor
penting untuk pemeliharaan homeostasis tekanan darah selama perubahan
ortostatik dari berbaring ke posisi berdiri (Wu dkk., 2009).
Studi menunjukkan bahwa kedua hipertensi dan diabetes merupakan
faktor risiko untuk hipotensi ortostatik, dan dengan demikian risiko hipotensi
ortostatik lebih besar pada subyek diabetes dengan hipertensi dibandingkan
dengan subyek non-diabetes dengan hipertensi (Wu dkk., 2009).
c. Hubungan hipotensi ortostatik dengan diuretika, calcium channel blocker
dan insulin.
Diuretik yang digunakan untuk merawat tekanan darah tinggi dapat
mengurangi volume darah dengan mengeluarkan cairan dari tubuh. Diuretik yang
diberikan dalam dosis tinggi merupakan penyebab hipotensi ortostatik. Kondisi
yang dapat menyebabkan hipotensi ortostatik adalah pelebaran arteri dan vena.
Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menurunkan volume plasma (dengan
menekan reabsorpsi tubular natrium, sehingga meningkatkan ekskresi natrium dan
air) dan cardiac output, tapi selama terapi jangka panjang efek hemodinamik
utama adalah pengurangan resistensi pembuluh darah perifer. (Brewster dan
Sutters)
Calcium channel blocker adalah obat yang menghalangi masuknya
kalsium ke dalam sel otot jantung dan pembuluh darah . Masuknya kalsium sangat
penting untuk konduksi sinyal listrik yang dikirim dari sel otot ke sel otot jantung,
dan memberikan sinyal pada sel untuk berkontraksi. Hal ini juga diperlukan agar
sel-sel otot dapat berkontraksi dan memompa darah. Dalam arteri, masuknya
kalsium ke dalam sel otot menyebabkan sel berkontraksi dan memperlebar arteri.
18
Jadi, dengan menghalangi masuknya kalsium, calcium channel blockers
mengurangi konduksi listrik di dalam jantung, menurunkan kekuatan kontraksi
dari sel-sel otot, dan memperlebar arteri. Pelebaran pembuluh darah mengurangi
tekanan darah dan dengan demikian upaya jantung untuk memompa darah dapat
dikurangi. Dengan berkurangnya kekuatan kontraksi, oksigen yang dibutuhkan
oleh jantung juga berkurang. Pelebaran pembuluh darah menyediakan lebih
banyak darah membawa oksigen ke jantung. Selain itu, calcium channel blockers
memperlambat konduksi listrik melalui hati dan dengan demikian memperbaiki
detak jantung cepat yang abnormal. (Annette)
E. TREATMENT
i. Nonfarmakologis
Perawatan nonfarmakologis harus ditawarkan kepada
seluruh pasien. Apabila medikasi yang kemungkinan besar
memicu terjadinya hipotensi (khususnya anti hipertensif) tidak
dapat dihentikan pemakaiannya, pada umumnya pasien harus
diinstruksikan untuk mengkonsumsi obat-obatan tersebut
sebelum tidur. Pasien harus menghindari makanan tinggi
karbohidrat (untuk mencegah hipotensi setelah makan siang),
mengurangi konsumsi alcohol, dan memastikan meminum air
dengan jumlah cukup. Pasien harus dianjurkan untuk menyimpan
buku catatan gejaladanmenghindari factor pemicu. Pasien lansia
harus mengkonsumsi minimal 1,25hingga 2,5 L cairan setiap hari
untuk menyeimbangkan kehilangan urin yang akan terjadi
selama 24 jam. Air putih (1 gelas 480 mL air keran pada suatu
studi dan 2 gelas 250 mL air putih pada studi lainnya) diketahui
mampu meningkatkan standing systolic blood pressure hingga
lebih dari 20 mmHg selama 2 jam.
Sodium dapat diresepkan untuk suplemen, dengan cara
menambahkan garam pada makanan atau konsumsi tablet
19
garam 0,5-1 gram. Level sodium selama 24 jam pada pasien
dapat diukur selama dilakukan perawatan. Pasien dengan level
sodium kurang dari 170mmol per 24 jam harus diberi suplemen
sodium 1-2 gram 3 kali sehari dan dilakukan reevaluasi dalam 1
atau 2 minggu, dengan tujuan meningkatkan sodium urin hingga
nilai 150-200mEq. Pasien yang mengkonsumsi suplemen sodium
harus dikontrol apakah terjadi peningkatan berat badan dan
mengalami edema.
Pengikat yang diletakkan pada ekstremitas bawah atau
abdomen dapat membantu perawatan. Sebuah studi acak,
terkontrol, single blinded, menggunakan tilt-table menunjukkan
hasil yang efektif terhadap manajemen hipotensi ortostatik
dengan aplikasi perban kompresi pada bagian tubuh bawah.
Program olahraga yang terfokus pada peningkatan kondisi
fisik dan mengajarkan gerakan fisik untuk menghindari hipotensi
ortostatik telah dilaporkan sangat bermanfaat. Pasien harus
secara aktif berdiri dengan kaki menyilang, dengan atau tanpa
membungkuk kedepan. Posisi jongkok juga dapat digunakan
untuk mengurangi gejala hipotensi ortostatik. Gerakan lainnya
yaitu latihan isometric yang melibatkan lengan, kaki, dan otot
abdominal selama pergantian posisi atau posisi berdiri dalam
waktu lama. Mengangkat ujung kaki, kontraksi tinggi, dan
membungkuk juga direkomendasikan. (Lanier dkk., 2011)
ii. Farmakologis
Pada pasien yang tidak memberikan respon adekuat
terhadap terapi non-farmakologis untuk hipotensi ortostatik,
pemberian medikasi dapat diindikasikan.
20
Fludrokortison. Fludrokortison, yang merupakan mineral kortikoid
sintetis, dipertimbangkan sebagai terapi utama hipotensi
ortostatik. Dosis harus dititrasi dalam rentang terapeutik hingga
gejala berkurang, atau hingga pasien mengalami edema
peripheral atau kenaikan berat badan sebesar 4-8 lb (1,8-3,6 kg).
Efek samping obat ini termasuk sakit kepala, hipertensi pada
saat posisi telentang, dan gagal jantung kongestif. Hipokalemia
juga dapat terjadi, namun kondisi ini tergantung dosis yang
diberikan dan dapat timbul pada minggu pertama atau minggu
kedua perawatan. Sebuah penelitian menyatakan bahwa
hypokalemia timbul pada 24% partisipan yang mengkonsumsi
fludrokortison, dengan rerata onset 8 bulan.
Midodrine.Midodrine, sebuahagonis alfa-1-adrenergik selektif
peripheral, secara signifikan meningkatkan standing systolic
blood pressure dan mengurangi gejala pada pasien dengan
hipotensi ortostatik neurologis. Pasien dilarang mengkonsumsi
dosis terakhir setelah pukul 6 malam untuk menghindari
hipertensi pada saat telentang. Efek samping obat ini termasuk
piloerection, pruritus, dan parestesia. Penggunaan midodrine
kontraindikasi pada pasien dengan penyakit jantung coroner,
retensi urinary, thyrotoxicosis, atau gagal ginjal akut. The U.S
Food and Drug Administration telah menerbitkan rekomendasi
untuk menarik midodrine dari pasaran dikarenakan minimnya
data mengenai efektivitasnya. Persetujuan penggunaan
midodrine masih dibahas hingga saatini. Kegunaan obat ini harus
dibatasi untuk subspesialis. Obat ini dipercaya memiliki efek
sinergistik apabila dikombinasikan dengan fludrokortison.
Pyridostigmine (Mystinone). Pyridostigmine adalah inhibitor
kolinesterase yang meningkatkan neurotransmisi pada neuron
acetylcholine-mediated pada sistem saraf autonomik. Pada
21
penelitian double-blind crossover ,pasien dibagi kedalam grup
secara acak, yang menerima 60 mg pyridostigmine; 60 mg
pyridostigmine dengan 2,5 mg midodrine; 60 mg
pyridostigminedengan 5 mg midodrine; atau plasebo.
Dibandingkan dengan kelompok placebo, kelompok treatment
menunjukkan penurunan standing systolic blood pressure tanpa
adanya keparahan hipertensi supinasi. Efek samping termasuk
diare, diaphoresis, hipersalivasi, dan fasikulasi. (Lanier dkk.,
2011)
22
Laki-laki, 70 tahunSetelah selesai perawatan gigi, pada saat pasien bangkit dari kursi mendadak badannya lemas dan merasa pusing lalu mau jatuh.PMH: Hipertensi dan DM terkontrol dengan pengobatan insulin, diuretika dan calcium channel blocker.Vital Sign: TD: 165/85mmHg; N: 86, R: 18, T: afebris
Dari kondisi pasien, didapatkan kemungkinan yang bisa terjadi ke pasien
Hemorrraghic ShockHemorargi akut dan berat dihubungkan dengan epistaxis, dan trauma maxillofacial. Peredaran darah merespon banyaknya darah yang hilang, Setelah kehilangan darah 15-30%, denyut nadi menurun, setelah kehilangan darah lebih dari 30%,
Acute Congestive Heart FailureGagal jantung adalah digambarkan bahwa jantung tidak mampu memompa darah untuk mencapai yang dibutuhkan untuk metabolisme, sehingga menghasilkan aliran oksigen yang kurang. Pasien ini mempunyai tekanan
Cardiogenic ShockHal ini juga jarang terjadi pada emergency dental, diagnosis shock ini susah ditegakkan, hal ini disebabkan banyak faktor misalnya embolis pulmonary, sepsis, hipovolemia, shock anafilaktik, dan kerusakan neurogenik
Renal Failure and DialysisHipotensi yang berhubungan dengan pasien gagal ginjal kronis dapat ditemukan sebelum dan selepas dialisis.
Hipotensi OrtostatikHipotensi orthostatik adalah penurunan tekanan darah yang drastis dan secara tiba-tiba yang berhubungan dengan posisi badan.
III. KESIMPULAN
23
Hemorrraghic ShockHemorargi akut dan berat dihubungkan dengan epistaxis, dan trauma maxillofacial. Peredaran darah merespon banyaknya darah yang hilang, Setelah kehilangan darah 15-30%, denyut nadi menurun, setelah kehilangan darah lebih dari 30%,
Acute Congestive Heart FailureGagal jantung adalah digambarkan bahwa jantung tidak mampu memompa darah untuk mencapai yang dibutuhkan untuk metabolisme, sehingga menghasilkan aliran oksigen yang kurang. Pasien ini mempunyai tekanan
-Penuaan merusak fungsi baroreseptor dan fungsi ginjal. Aktivitas baroreseptor yang rusak beresiko menyebabkan hipotensi ortostatik.-Sistem aorta dan arteri perifer menjadi kaku dan tidak lurus karena peningkatan serat kolagen dan hilangnya serat elastis dalam lapisan medial arteri. Implikasi dari hal ini adalah penumpulan respon baroreseptor dan penumpulan respon terhadap panas dan dingin.
Diuretik yang digunakan untuk merawat tekanan darah tinggi mengurangi volume darah dengan mengeluarkan cairan dari tubuh.Diuretik dalam dosis tinggi penyebab hipotensi ortostatik pelebaran arteri dan vena.Calcium Channel BlockersMemperlebar arteri pelebaran pembuluh darah mengurangi tekanan darah. Calcium channel blockers dapat menyebabkan hipotensi ortostatik.
Diabetes dapat menyebabkan degenerasi aferen vasomotor simpatis sehingga terjadi hipotensi ortostatik.
Dari hasil diskusi kelompok dan hasil penjelasan di kasus mengenai tanda-
tanda dan gejala dapat ditarik kesimpulan diagnosis kerja pada kasus
tersebut, yaitu Hipotensi ortostatik.
Penanganan hipotensi ortostatik dapat dilakukan dengan cara non-
farmakologis dan farmakologis.
IV. DAFTAR PUSTAKA
24
Annette, Calcium Channel Blocker Drug Information, http://www.rxlist.com/script/main/art.asp?articlekey=94662
Bennet, J.D., Rosenberg, M.B., 2002, Medical Emergencies in Dentistry, Saunders, Philadelphia.
Brewster L.M., Sutters M., Hypertension Drug Therapy, http://www.health.am/hypertension/hypertension-drug-therapy/#ixzz2l4jj7br9
Dilman, Vladimir dkk., Theories of Aging, http://www.antiaging-systems.com/ARTICLE-613/theories-of-aging.htm.
Field, A., and Longman, L. Tyldesley’s oral medicine. 5thed. New York: Oxford university press. 2004. p. 231-8
Frush, K. Cinoman, M. Bailey, B. Hohenhaus, S. Management of Pediatric emergencies in dental office. Available at: http://dentalsource.org/pediatricdentalhealth.htm.
Gupta, R., Kasliwal, RR., 2004, Understanding Systolic Hypertension in the Elderly, JAPI, vol. 52.
Haas DA. 2006, Management of medical emergencies in the dental office: conditions in each country, the extent of treatment by the dentist. Anesth Prog. 2006 Spring;53(1):20-4.
Hales, RT., 2006, Patient evaluation and medical history. In: Manual of minor oral surgery for the general dentistry, Edited by: Koerner, KR. Iowa: Blackwell Munksgraad, p:14-8.
Kocer, A., Akturk, Z., Maden, E., Tasci, A., 2005, Orthostatic Hypotension and Heart Rate Variability as Indicators of Cardiac Autonomic Neuropathy in Diabetes Mellitus, Eur J Gen Med, 2(1):5-9.
Lanier, J.B., Mote, M.B., Clay, E.C., 2011, Evaluation and Management of Orthostatic Hypotension, Am Fam Physician, 84(5):527-536.
Lionakis, N., Mendrinos, D., Sanidas, E., Favatas, G., Georgopoulou, M., 2012, Hypertension in Elderly, World J. Cardiol, 4(5):135-147.
Malamed SF., Medical Emergencies in the Dental Office, 6th edition. 2007, Mosby Elsevier.
Miller, C.A., 1999, Nursing Care of Older Adults: Theory and Practice, Lippincott, Philadelphia.
Setiabudhi, T., dan Hardiwinoto, 1999, Panduan Gerontologi Tinjauan dari Berbagai Aspek, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Wu, J., Yang, Y., Lu, F., Wu, C., Wang, R., Chang, C., 2009, Population-Based Study on the Prevelence and Risk Factors of Orthostatic Hypotension in Subjects with Pre-Diabetes and Diabetes, Diabetes Care, 32(1):69-74.
25