Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap...

24
1 Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di Laut Lepas Melalui Forum Regional Fisheries Management Organization (RFMO) dan Implikasi Bagi Keanggotaan Indonesia” Rachma Indriyani ABSTRACT One of the classic problems facing fisheries resources in the high seas is the old dictum “freedom of the seas’, whereby global fisheries resources are considered free to all States. However the application of this freedom has become increasingly dangerous as the exhaustible nature of fish stocks has been realised. In 2011, the United Nations Food and Agriculture Organisation (FAO) reported that only 15% of global marine fish stocks were estimated to be underexploited and moderately exploited. In this challenging situation, Regional Fisheries Management Organization (RFMO) appeared as a mechanism through which States that could cooperate in the interest of conserving and managing marine living resources. As an archipelagic State, Indonesia has been joint to some of RFMO. How such RFMOs can lead by their international authorities in managing quotas allocation to all member countries and whether the implication from the existence of Indonesia through its membership are main points of this article. Keywords : RFMO, high seas, fisheries resources, Indonesia membership 1. PENDAHULUAN Sumber daya perikanan adalah salah satu primadona perekonomian bagi setiap negara yang memiliki wilayah laut. Sejarah panjang kodifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 (the United Nations Convention on The Law of The Sea) pun tak luput dari kepentingan nasional setiap negara akan sumber daya perikanan dan tuntutan akan batas laut teritorial. Berkaitan dengan hal tersebut, telah jelas diatur di dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) bahwa setiap negara pantai berkedaulatan penuh hingga laut teritorialnya dan memiliki hak berdaulat di Landas Kontinen, Zona Tambahan serta pengelolaan dan konservasi sumber daya alam di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), di luar semua zona tersebut ialah Laut Lepas (high seas).

Transcript of Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap...

Page 1: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

1

Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan Sumber

Daya Perikanan di Laut Lepas Melalui Forum Regional Fisheries

Management Organization (RFMO) dan Implikasi Bagi

Keanggotaan Indonesia”

Rachma Indriyani

ABSTRACT

One of the classic problems facing fisheries resources in the high seas is the old

dictum “freedom of the seas’, whereby global fisheries resources are considered free

to all States. However the application of this freedom has become increasingly

dangerous as the exhaustible nature of fish stocks has been realised. In 2011, the

United Nations Food and Agriculture Organisation (FAO) reported that only 15% of

global marine fish stocks were estimated to be underexploited and moderately

exploited. In this challenging situation, Regional Fisheries Management Organization

(RFMO) appeared as a mechanism through which States that could cooperate in the

interest of conserving and managing marine living resources. As an archipelagic

State, Indonesia has been joint to some of RFMO. How such RFMOs can lead by

their international authorities in managing quotas allocation to all member countries

and whether the implication from the existence of Indonesia through its membership

are main points of this article.

Keywords : RFMO, high seas, fisheries resources, Indonesia membership

1. PENDAHULUAN

Sumber daya perikanan adalah salah satu primadona perekonomian bagi setiap

negara yang memiliki wilayah laut. Sejarah panjang kodifikasi Konvensi Hukum Laut

1982 (the United Nations Convention on The Law of The Sea) pun tak luput dari

kepentingan nasional setiap negara akan sumber daya perikanan dan tuntutan akan

batas laut teritorial. Berkaitan dengan hal tersebut, telah jelas diatur di dalam

Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) bahwa setiap negara pantai

berkedaulatan penuh hingga laut teritorialnya dan memiliki hak berdaulat di Landas

Kontinen, Zona Tambahan serta pengelolaan dan konservasi sumber daya alam di

Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), di luar semua zona tersebut ialah Laut Lepas (high

seas).

Page 2: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

2

Disebutkan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 bahwa laut lepas merupakan

zona maritim yang berada di luar yurisdiksi nasional. Kebebasan di laut lepas sebagai

perwujudan doktrin dari Grotius “mare liberium” yang menekankan bahwa laut

adalah terbuka untuk semua bangsa dan tidak seorang pun yang berhak melarang

penangkapan ikan di laut.1 Dikarenakan sifat alamiah laut yang begitu dinamis,

potensi persoalan kewenangan ataupun hak untuk bertindak kerapkali muncul

manakala terdapat sumber daya perikanan, yang merupakan “transzonal species”

atau jenis ikan yang bermigrasi jauh dari ZEE suatu negara menuju Laut Lepas (high

seas).

Kepentingan bersama antar negara dalam pengelolaan perikanan lintas batas

tersebut mendorong terbentuknya organisasi perikanan regional yang lebih dikenal

dengan istilah Regional Fisheries Management Organization (RFMO). Saat ini di

setiap samudera sudah ada sejumlah RFMO yang mana aturan-aturan di dalamnya

mengikat terhadap setiap negara yang menjadi anggotanya. Berbagai aturan2 tersebut

dimaksudkan untuk ketertiban dan keharmonisan antara peraturan regional dan

negara-negara. Legitimasi masyarakat internasional membawa RFMOs menjadi

institusi dunia yang memiliki otoritas sah dalam menentukan kebijakan konservasi

dan pengelolaan perikanan di laut lepas.

2. PEMBAHASAN

A. Rezim Hukum Laut Lepas

Invasi kegiatan perikanan di laut lepas ditenggarai semakin meningkat

dalam beberapa dekade terakhir. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor

diantaranya yakni teknologi pelayaran yang semakin mutakhir (seperti

satellite information) sehingga memudahkan penangkapan ikan di laut lepas

yang berdampak pada tidak seimbangnya antara penangkapan dan

1 Melda Kamil Adriano, “Kepentingan Indonesia dalam Pengelolaan Perikanan Laut Bebas”, Jurnal

Hukum Internasional, Volume 1 No. 2, 2005, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, hlm. 503-504

2 Aturan-aturan tersebut antara lain mencakup penggunaan alat penangkapan ikan, metode

penangkapan ikan, musim yang terbuka untuk penangkapan ikan, moratorium, serta pembebasan

ukuran ikan yang ditangkap

Page 3: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

3

perkembangan populasi ikan, semakin tingginya tuntutan dalam negeri suatu

negara yang mengalami over-capacity sehingga mau tidak mau harus

melebarkan zona tangkapan ikan hingga ke laut lepas.3

Pasal 87 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur tentang enam

jenis kebebasan di laut lepas yakni : (a) kebebasan berlayar; (b) kebebasan

untuk melakukan penerbangan di atas laut lepas; (c) kebebasan untuk

memasang kabel dan saluran-saluran pipa di bawah permukaan laut dengan

memperhatikan Bab VI; (d) kebebasan membangun pulau-pulau buatan dan

instalasi-instalasi yang diizinkan menurut hukum internasional dengan

memperhatikan Bab VI; (e) kebebasan menangkap ikan dengan

memperhatikan syarat-syarat yang ditetapkan dalam Bagian 2; dan (f)

kebebasan untuk melakukan penelitian ilmiah dengan memperhatikan Bab VI

dan XIII.

Terutama dalam hal kegiatan perikanan di laut lepas, Pasal 116 mengatur

bahwa semua negara mempunyai hak bagi warga negaranya untuk melakukan

penangkapan ikan di laut lepas dengan tunduk pada : (a) kewajibannya

berdasarkan perjanjian internasional yang diadakan oleh suatu negara dengan

negara lainnya; (b) hak-hak dan kewajiban serta kepentingan negara pantai

yang ditetapkan dalam Pasal 63 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (1) Konvensi, dan

(c) ketentuan-ketentuan mengenai konservasi dan pengelolaan sumber daya

perikanan sebagaimana yang ditetapkan dalam Konvensi.

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa kebebasan menangkap

ikan di laut lepas tidak dapat semata-mata ditafsirkan bebas dan mutlak,

karena harus sejalan dengan kewajiban konservasi jenis dan persediaan ikan,

khususnya ikan beruaya terbatas dan beruaya jauh sebagaimana diatur di

dalam Pasal 63 dan Pasal 64 Konvensi. Masih menurut kedua pasal tersebut,

bahwa negara-negara pantai harus bekerjasama dalam organisasi sub-regional

maupun regional dalam mengeksplorasi jenis ikan “transzonal species”.

3 Trade and Agriculture Directorate and Fisheries Committee, 2014, Fishing for Development-

Background paper for session 5, The Role of Fisheries Management Organisations (RFMOs), hlm.4

Page 4: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

4

Kewajiban untuk kerjasama tersebut diperkuat dengan ketentuan di dalam

Pasal 118 yang menyatakan :

“States shall cooperate with each other in the conservation and

management of living resources in the area of the high seas. States

whose nationals exploit identical living resources, off different living

resources in the same area, shall enter into negotiations with a view to

taking the measures necessary for the conservation of the living

resources concerned. They shall, as appropriate, cooperate to

establish subregional or regional fisheries organizations to this end.”

Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi

perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal di atas, menekankan

peran utama negara terhadap setiap warga negaranya yang melakukan aktifitas

perikanan di laut lepas, yang mana hal ini berarti yurisdiksi negara akan terus

berlaku bagi setiap kapal yang mengibarkan bendera negara tersebut.

Dikarenakan laut lepas tidak tunduk pada yurisdiksi negara manapun, maka

untuk melindungi kepentingan publik, Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur

setiap kapal perikanan untuk memperhatikan tindakan konservasi perikanan di

laut lepas. Pasal 91 Konvensi Hukum Laut memberikan batasan terhadap

setiap kapal yang berlayar di laut lepas tunduk pada negara bendera kapal

dimana kapal tersebut terdaftar, dengan kata lain harus terdapat ‘genuine link’

diantara negara bendera dan kapal tersebut.

Sebuah kapal laut yang berlayar di perairan teritorial dari berbagai negara

dan laut bebas, harus memiliki kebangsaan kapal. Kebangsaan kapal tersebut

seakan-akan adalah pertanda bahwa kapal merupakan bagian dari wilayah

suatu negara itu atau seakan-akan seseorang warga dari negara itu. Di atas

kapal tidak berlaku hukum negara dimana kapal itu berada, namun yang

berlaku adalah hukum negara dari mana kapal tersebut mengibarkan

benderanya.4

Persoalannya adalah Konvensi Hukum Laut 1982 tidak didukung dengan

pengaturan secara rinci terhadap bentuk pengawasan dan penegakan hukum

bagi setiap kapal-kapal perikanan untuk menjalankan langkah-langkah

4 Wartini Soegeng, 2003, Kebangsaan Kapal Indonesia, PT Refika Aditama : Bandung, hlm.7

Page 5: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

5

konservasi di laut lepas. Disamping itu, tidak ada aturan rinci mengenai hak

dan kewajiban negara yang memanfaatkan jenis ikan beruaya jauh dan

beruaya terbatas, hal demikian dapat berpotensi menyulut sengketa antara

negara pantai dengan negara pantai maupun antara negara pantai dengan

negara penangkap ikan.

B. Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs)

Status RFMOs yang merupakan amanat dari Konvensi Hukum Laut ialah

sebagai organisasi internasional. Organisasi internasional adalah organisasi

antar pemerintah yang diakui sebagai subjek hukum internasional dan

mempunyai kapasitas untuk membuat perjanjian internasional.5 Dalam

mengkaji sebuah organisasi internasional, perlu dilihat tiga aspek penting

yakni aspek filosofis yang menyangkut nilai-nilai historis dan tema pokok;

aspek administratif yang bersinggungan dengan tingkat personalitas dan

kapasitas; serta aspek hukum yang menitikberatkan pada masalah

konstitusional dan prosedural antara lain seperti wewenang dan pembatasan

baik terhadap organisasi itu sendiri maupun terhadap anggotanya.6

Perkembangan RFMOs didasarkan pada sifat ikan yang bermigrasi dan

melintasi batas wilayah antar negara. Meningkatnya kesadaran bahwa kegiatan

penangkapan ikan di suatu negara akan dapat mempengaruhi status sumber

daya ikan dan kinerja armada perikanan tangkap di negara lain yang

memanfaatkan sumber daya ikan yang sama, turut menjadi faktor utama

dibangunnya kerjasama dalam RFMOs.

Beberapa regulasi internasional yang melegitimasi terbentuknya serta

mengatur peran dan fungsi dari RFMOs dapat dicermati dari elaborasi

sebagaimana berikut :

1) The United Nations Agreement on Management of Straddling and

Highly Migratory Fish Stocks 1995 (UNFSA)

5 Pasal 1 UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012).

6 Sumaryo Suryokusumo, 1990, Hukum Organisasi Internasional, UI-Press : Jakarta, hlm. 9

Page 6: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

6

Ketentuan konservasi dan pengelolaan perikanan sebagaimana dimaksud

dalam Konvensi Hukum Laut 1982, diadopsi dan diatur lebih rinci di dalam

The United Nations Agreement on Management of Straddling and Highly

Migratory Fish Stocks 1995 atau dikenal dengan Persetujuan PBB

(Perserikatan Bangsa-Bangsa) tentang Persediaan Ikan 1995, yang memuat

kewajiban-kewajiban yang harus ditaati oleh negara peserta persetujuan.7 Pada

Pasal 5 diatur bahwa negara pantai dan negara yang melakukan penangkapan

ikan di laut lepas diwajibkan untuk :

(a) Mengambil langkah-langkah untuk menjamin keberlanjutan atas

persediaan ikan yang beruaya terbatas dan beruaya jauh untuk jangka

waktu yang lama dan memajukan tujuan pemanfaatan persediaan kedua

jenis tersebut secara optimal;

(b) Menjamin bahwa langkah-langkah tersebut didasarkan atas bukti ilmiah

terbaik yang ada dan dirancang untuk memelihara atau memulihkan

persediaan ikan pada tingkat yang mampu menjamin hasil maksimum

yang lestari;

(c) Menerapkan pendekatan kehati-hatian;

(d) Mengukur dampak-dampak dari penangkapan ikan, kegiatan-kegiatan

manusia lainnya dan faktor-faktor lingkungan;

(e) Mengambil langkah-langkah konservasi dan pengelolaan untuk spesies

dalam ekosistem yang sama atau berhubungan dengan atau bergantung

pada persediaan target tersebut;

(f) Meminimalkan pencemaran;

(g) Melindungi keanekaragaman hayati di dalam lingkungan laut;

(h) Mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau mengurangi kegiatan

penangkapan ikan yang berlebihan dan penangkapan yang melebihi

kapasitas;

7 Dikdik Mohamad Sodik, 2011, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia, PT

Refika Aditama, Bandung, hlm. 145

Page 7: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

7

(i) Memperhatikan kepentingan nelayan pantai dan subsistensi;

(j) Mengumpulkan dan memberikan data yang lengkap dan akurat mengenai

kegiatan-kegiatan perikanan;

(k) Memajukan dan melaksanakan penelitian ilmiah dan mengembangkan

teknologi yang tepat dalam mendukung konservasi dan pengelolaan

sumber daya ikan;

(l) Melaksanakan dan menegakkan langkah-langkah konservasi dan

pengelolaan melalui pemantauan; pengawasan dan pengendalian yang

efektif.

Selain kewajiban-kewajiban di atas, persetujuan ini memuat ketentuan

mengenai mekanisme kerjasama internasional, baik bilateral maupun multi

lateral, kegiatan perikanan di laut lepas melalui organisasi-organisasi

pengelolaan perikanan sub-regional ataupun regional yang kompeten. Pada

Pasal 8 ayat (3) menetapkan bahwa apabila organisasi pengelolaan perikanan

sub-regional/regional mempunyai kewenangan untuk menetapkan langkah-

langkah konservasi dan pengelolaan persediaan jenis tertentu ikan yang

beruaya terbatas dan beruaya jauh, negara-negara diwajibkan untuk bekerja

sama dengan menjadi anggota organisasi tersebut.

Ketentuan ayat (4) lebih lanjut mengatur tentang pemberian hak akses

kepada negara-negara anggota ataupun negara-negara non-anggota yang telah

menyepakati penaatan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan yang

ditetapkan organisasi tersebut (cooperating non-state parties) dalam bentuk

alokasi kuota terhadap sumber daya ikan. Dengan kata lain, bagi negara-

negara non-anggota yang tidak menyepakati ketentuan, maka tidak boleh

melakukan penangkapan ikan di laut lepas.8

Satu hal yang tidak biasa dari ketentuan Persetujuan tersebut yakni pada

ketentuan Pasal 21 dimana setiap kapal yang berlayar bukan hanya tunduk

pada negara benderanya, tetapi juga dihadapkan pada resiko inspeksi oleh

8 Dikdik Mohamad Sodik, ibid, hlm. 150

Page 8: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

8

negara-negara anggota, baik kapal milik sesama negara anggota maupun

negara bukan anggota untuk memastikan penaatan tindakan dan konservasi

yang ditetapkan. Kondisi tersebut dapat berpotensi konflik apabila dilandaskan

pada salah satu asa perjanjian yaitu “pacta tertiis nec nocent nec prosunt”9

yang berarti perjanjian tidak dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi

negara ketiga.

Keikutsertaan negara berkembang merupakan salah satu elemen unik yang

diatur di dalam Pasal 25 dan Pasal 26 tentang “Special Requirement of

Developing States”. Ketentuan tersebut mengamanatkan bantuan khusus

kepada negara berkembang yang merupakan anggota dalam RFMOs, berupa

bantuan dana, pengawasan dan penegakan hukum, alih teknologi, penelitian

ilmiah, hingga bantuan yang bersifat teknis. Hal ini didasarkan pada

pertimbangan banyaknya negara berkembang yang memiliki ketergantungan

tinggi pada sumber daya ikan, nelayan-nelayan subsisten dengan skala

penangkapan kecil, dan para nelayan tradisional yang sudah menangkap ikan

secara turun temurun.10

2) FAO Code of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) 1995

Sejak 31 Oktober 1995, CCRF diadopsi menjadi dokumen resmi FAO,

yang berisikan tentang standar perilaku internasional untuk menjamin

dilaksanakannya secara lebih efektif konservasi dan pengelolaan sumber-

sumber perikanan. Salah satu amanat pembentukan RFMOs sebagai upaya

pengelolaan perikanan, dapat terlihat dari ketentuan di dalam Bagian 7 tentang

Fisheries Management butir 7.1.3, yakni :

“For transboundary fish stocks, straddling fish stocks, highly

migratory fish stocks and high seas fish stocks, where these are

exploited by two or more States, the States concerned, including the

relevant coastal States in the case of straddling and highly migratory

fish stocks, should cooperate to ensure effective conservation and

management of the resources. This should be achieved, where

9 Sumaryo Suryokusumo, 2008, Hukum Perjanjian Internasional, PT Tatanusa : Jakarta, hlm.95

10 Recommended Best Practises for Regional Fisheries Management Organizations, 2007, The Royal

Institute of International Affairs, Chatham House, London, hlm. 90

Page 9: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

9

appropriate, through the establishment of a bilateral, subregional or

regional fisheries organization or arrangement.”

Selanjutnya pada butir 7.1.4A dimuat tentang kewajiban bagi negara

pantai untuk turut berpartisipasi aktif dalam upaya konservasi dan pengelolaan

perikanan dengan menjadi anggota RFMOs, sedangkan bagi negara yang

bukan merupakan anggota, ketentuan butir 7.1.5A mewajibkan adanya sikap

kerjasama dan mengambil tindakan yang harmonis dengan setiap ketentuan

yang diadopsi oleh RFMOs terkait. Namun karena sifatnya yang berupa

rujukan perilaku, regulasi ini bersifat sukarela dan lebih mengandalkan etiket

baik dari setiap negara anggota.

3) FAO International Plan of Action (IPOA)

Tindak lanjut dari tujuan di dalam CCRF, FAO mengeluarkan regulasi

yakni International Plan of Action for The Management of Fishing Capacity

yang mana pada Bagian III regulasi ini berisikan mandat untuk mendorong

keanggotaan negara-negara dalam forum RFMOs demi meningkatkan

pengelolaan kapasitas perikanan di tingkat regional dan global.

Regulasi lain dari FAO yakni IPOA for Illegal, Unreported, and

Unregulated (IUU) Fishing yang memberikan definisi bagi RFMOs yakni :

“intergovernmental fisheries organisations or arrangements, as appropriate

that have the competence to establish fisheries conservation and management

measures”.11 Di dalam IPOA ini juga diatur mengenai kewajiban untuk

bekerjasama dalam mencegah, mengurangi, dan menghilangkan IUU Fishing.

Bentuk kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 9, yang berupa :

(1) Partisipasi dan koordinasi serta pertukaran informasi untuk mengurangi

IUU fishing

(2) Fase implementasi, dimana National Plans of Action (NPOA) turut

berpengaruh pada kecepatan implementasi

11 Pasal 6 c International of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported, Unregulated

Fishing (Rome : FAO, 2001)

Page 10: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

10

(3) Pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi, dengan memasukkan

faktor-faktor yang mempengaruhi penangkapan ikan. Pendekatan ini

mencakup Flag State, Port State Measures, Coastal State Measures, dan

Market Related Measures.

(4) Konservasi dan penggunaan berkelanjutan jangka panjang dari sediaan

ikan dan perlindungan lingkungan

(5) Implementasi yang transparan

(6) IPOA harus diterapkan dan dikembangkan tanpa non diskriminasi

terhadap setiap negara maupun kapal penangkap ikan.

Terlihat bahwa RFMOs memiliki peran penting dalam sistem perikanan

global, terutama dalam konservasi dan pengelolaan perikanan. Dalam

operasionalnya, RFMOs memiliki pendekatan yang berbeda-beda, antara lain

berdasarkan pendekatan kawasan (region) dimana pengelolaan dan konservasi

tersebut dilakukan dalam suatu kawasan tertentu; atau RFMOs yang

melakukan pengelolaan dan konservasi melalui pendekatan spesies.

Dalam menentukan siapa yang dapat menjadi negara anggota, RFMOs

memberikan keanggotaan terhadap setiap negara yang akan bergabung dengan

didasarkan pada ‘real interest’ dalam perikanan. Tidak ada penjelasan lebih

rinci mengenai hal ini, namun pada prakteknya penentuan besarnya alokasi

tangkapan turut ditentukan oleh ‘catch history’. Apabila suatu negara

memiliki riwayat jumlah tangkapan yang sedikit maka kemungkinan akan

mendapat kuota tangkapan yang kecil, begitu juga sebaliknya. Ironinya, setiap

negara anggota memiliki besaran kuota tangkap yang berbeda satu sama lain

namun sama-sama wajib menyumbang sejumlah iuran untuk organisasi.12

RFMOs juga mempertimbangkan sanksi perdagangan (trade sanction)

sebagai salah satu jalan untuk memaksakan tindakan pengelolaan dan

konservasi perikanan. Sanksi perdagangan diberikan antara lain melalui

penolakan pendaratan dan transhipments, penolakan pemberian fasilitas

12 Trade and Agriculture Directorate and Fisheries Committee, 2014, Fishing forDevelopment-

Background paper for session 5, The Role of FisheriesManagement Organisations (RFMOs), hlm.12

Page 11: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

11

pelabuhan, diskriminasi terhadap kapal dari negara-negara tertentu, hingga

pelarangan impor. Meskipun dapat digolongkan sebagai pengecualian yang

diatur dalam Pasal XX GATT,13 namun hingga saat ini masih belum ada

penyelesaian terhadap potensi konflik tersebut.14

Persoalannya adalah bagaimana dengan negara-negara berkembang yang

menjadi anggota RFMO dan memiliki ‘real interest’ dalam perikanan serta

bermaksud untuk mengembangkan perikanan dalam negerinya, namun tidak

memiliki riwayat tangkapan dalam jumlah besar? Ketentuan dalam UNFSA

tidak secara jelas mengatur tentang alokasi kuota. Hal ini selalu akan menjadi

kesulitan bagi negara-negara, terutama negara berkembang, yang baru

bergabung dalam RFMOs karena pemberian kuota akan tergantung pada

kemauan negara anggota yang sudah ada untuk berbagi kuotanya dengan yang

lain. Persepsi alokasi hak akses ini akan semakin kompleks tatkala

cooperating non-state parties dapat turut menikmati sejumlah kuota

perikanan. Nampaknya sistem kuota telah bergeser jauh dari hak perikanan

sesungguhnya.

Sehingga ekuilibrium adalah hal yang sulit diwujudkan dalam

keanggotaan RFMOs. Ketika suatu negara anggota mendapat jumlah kuota

tangkapan yang tidak besar sedangkan di sisi lain mereka harus tetap

membayar sejumlah iuran untuk organisasi, maka keanggotaan dalam suatu

RFMO merupakan hal yang dilematis. Berdasarkan hal tersebut, RFMOs

13 Pasal XX mengatur pengecualian umum (general exeptions), yakni pengecualian-pengecualian yang

dimungkinkan untuk menanggalkan aturan-aturan atau kewajiban-kewajiban suatu negara terhadap

GATT, khususnya dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan

yang diperlukan untuk:

(a) melindungi moral masyarakat;

(b) melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, tanaman, hewan

(c) kaitannya dengan impor atau ekspor emas atau perak;

(d) perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual;

(e) produk-produk yang berasal dari hasil kerja para narapidana;

(f) perlindungan kekayaan nasional, kesenian, sejarah atau purbakala;

(g) konservasi kekayaan alam yang dapat habis;

(h) dalam kaitannya dengan adanya kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian-perjanjian

komoditi antar pemerintah

14 Cathy Roheim and Jon G. Sutinen, Trade and Marketplece Measures to Promote Sustainable Fshing

Practices, hlm. vii, diunduh dari http://ictsd.org/i/publications/11838/.

Page 12: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

12

selayaknya memiliki mekanisme alokasi kuota secara transparan yang

disetujui oleh semua anggotanya dan tidak harus terpaksa untuk

menambahkan kuota pada stok perikanan yang sudah oversubscribed.15

Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa doktrin kebebasan laut atau

dikenal dengan ‘Mare Liberum’ yang dicetuskan oleh Hugo Grotius, kini

sudah tidak berlaku lagi di laut lepas. Mengatasnamakan konservasi, kini laut

lepas tengah memiliki zona-zonanya tersendiri yang mana sangat besar

kemungkinan terjadi kapal ikan suatu negara yang menangkap ikan di laut

lepas dikategorikan ilegal, unreported, dan unregulated jika memasuki zona

milik suatu organisasi sub-regional/regional. Sama halnya yang akan terjadi

pada negara anggota suatu organisasi sub-regional/regional yang melakukan

kegiatan perikanan di dalam zona organisasi lain dimana ia bukan merupakan

cooperating non-state parties pada organisasi tersebut.

C. Keanggotaan Indonesia Dalam RFMOs

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, keanggotaan di dalam RFMOs

bukan semata-mata terkait kondisi geografis suatu negara, tetapi lebih kepada

daerah tangkapan ikan dari suatu negara. Umumnya, status keanggotaan dari

RFMOs terdiri dari dua yaitu member country dan cooperating non-

contracting party. Member country merupakan anggota penuh dam

mempunyai kewajiban membayar iuran anggota dan memiliki hak untuk

mengeluarkan pendapat di setiap forum pertemuan RFMO serta memperoleh

kuota penangkapan. Cooperating non-contracting party merupakan negara

yang kooperatif dengan RFMO, tidak membayar iuran, namun datang ke

pertemuan RFMO dan mendapatkan kuota penangkapan dengan jumlah yang

lebih kecil.

1) Landasan Praktis

Untuk melihat bagaimana posisi Indonesia dalam keanggotaan RFMOs,

perlu diketahui beberapa latar belakang keterlibatan Indonesia. Satu hal yang

paling mendasar yakni wilayah Indonesia yang berada di antara Samudera

15 Recommended Best Practises for Regional Fisheries Management Organizations, hlm.4

Page 13: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

13

Hindia dan Samudera Pasifik menjadikan wilayah laut Indonesia memiliki

sumber daya tuna yang cukup melimpah terutama Tuna Sirip Biru Selatan

(Southern Bluefin Tuna/SBT).16 Jenis ikan tersebut memiliki tempat berpijah

(spawning ground) terutama di perairan selatan Pulau Jawa. Untuk

menerapkan konservasi terhadap spesies ini, pada tanggal 10 Mei 1993 telah

dibentuk Konvensi tentang Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan beserta Komisi

yang akan menentukan kuota tangkap dan mengatur keanggotaan yakni

Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT). Selain

itu, terdapat spesies tuna lainnya seperti Atlantik Blufin Tuna yang dikelola

oleh International Commission For The Conservation of Atlantic Tuna

(ICCAT) dan Pacific Bluefin Tuna yang dikelola oleh Western and Central

Pacific Fisheries Commission (WCPFC).

Dengan demikian, landasan praktis Indonesia terkait sumber daya tuna

yakni kebutuhan nelayan Indonesia untuk memanfaatkan spesies tuna di laut

lepas secara legal. Selain itu, tuna merupakan salah satu komoditas ekspor

Indonesia, agar tidak mendapatkan sanksi perdagangan dalam ekspor produk

tuna ke negara anggota RFMOs, maka Indonesia perlu bergabung dalam

keanggotaan RFMOs.

2) Landasan Hukum

Pengelolaan dan konservasi dumber daya perikanan di Indonesia di atur

dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang pada

perkembangannya telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun

2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan. Guna pemanfaatan sumber daya perikanan lintas batas di laut

lepas, Indonesia perlu membuat skala prioritas dalam politik hukum luar

negeri. Untuk melindungi dan memajukan kepentingan nasional, setiap

bangsa harus menentukan sikapnya terhadap bangsa lain dan juga harus

16 Lihat di http://www.ccsbt.org/docs/about.

Page 14: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

14

menentukan arah tindakan yang akan diambil dan dicapai dalam urusan

internasional.17

Cerminan politik hukum Indonesia untuk terlibat dalam RFMOs dapat

dilihat dalam ketentuan pasal 10 ayat (2) yakni : Pemerintah ikut serta secara

aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan internasional

dalam rangka kerjasama pengelolaan perikanan regional dan internasional.

Dorongan untuk terlibat dalam RFMOs turut diamanatkan dalam Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan pada Pasal 11 ayat (2) huruf

f disebutkan salah satu kewajiban Pemerintah yakni berpartisipasi dalam

pengelolaan perikanan melalui forum pengelolaan perikanan regional dan

internasional.

Langkah efektif oleh Indonesia dalam konservasi jangka panjang dan

pemanfaatan secara berkelanjutan atas jenis ikan beruaya terbatas dan beruaya

jauh turut diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2009 tentang

Pengesahan Agreement for the implementation of the provisions of the

UNCLOS of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management

of Straddling Fish Stock and Highly Migratory Fish Stock.

Berdasarkan penjelasan Undang-undang tersebut, manfaat yang ingin

dicapai ialah :

a. Memantapkan kebijakan Pemerintah Indonesia dalam memberantas IUU

fishing

b. Mendapat informasi perikanan secara akurat

c. Mendapatkan alokasi sumber daya perikanan untuk jenis ikan beruaya dan

beruaya terbatas

d. Memperoleh bantuan dan perlakuan khusus sebagai negara berkembang

17 Nicholas Tandi Dammen, 2005, Kewenangan Perwakilan RI di Luar Negeri, Indonesian Journal of

Internasional Law, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,

Jakarta, hlm.710

Page 15: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

15

e. Memperkuat posisi Indonesia dan mempertegas hak berdaulat terhadap

pengelolaan sumber daya ikan di ZEE Indonesia

3) Status Keanggotaan

Saat ini Indonesia telah menjadi anggota di beberapa RFMO seperti :

IOTC (Indian Ocean Tuna Commission),18 CCSBT (Commission for the

Conservation of Southern Bluefin Tuna ),19 dan WCPFC (Western and Central

Fisheries Pacific Commission).20 Dari ketiga RFMOs tersebut nampak bahwa

perikanan jenis tuna merupakan komoditas penting bagi perekonomian

nasional.

4) Kewajiban Negara Anggota

Beberapa kewajiban negara anggota RFMOs ialah :21

(1) Mematuhi semua resolusi dan conservation management measures

(CMM) yang sudah diadosi oleh masing-masing RFMOs;

(2) Mengadopsi semua resolusi dan conservation management measures

(CMM) yang aplikatif ke dalam legislasi nasional;

(3) Membuat laporan tahunan

(4) Melaporkan data dan informasi yang dipersyaratkan oleh resolusi

seperti pendataan Ecologicaly Related Species (ERS)

(5) Mendaftarkan kapal-kapal yang menangkap tuna dan spesies seperti

tuna ke RFMOs terkait

18 Full member sejak 9 Juli 2007, disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2007 tentang

persetujuan pembentukan IOTC

19 Full member sejak 8 April 2008, disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 109 tahun 2007

tentang pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (SBT)

20 Full member sejak 29 November 2013, disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2013

tentang Pengesahan Convention On The Conservation and Management of Highly Migratory Fish

Stocks in The Western and Central Pacific Ocean

21 Erni Widjajanti, Pengelolaan Perikanan Tuna Indonesia dan Peran Kerjasama Indonesia dalam

RFMO, Kementrian Kelautan dan Perikanan, disampaikan pada Seminar Nasional Hukum Laut, 2013,

Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Page 16: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

16

(6) Menghadiri pertemuan tahunan, compliance, dan working group yang

relevan.

5) Implikasi bagi Indonesia

Pada tahun 2009 diterbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan

(selanjutnya disebut Permen KP) Nomor PER.03/MEN/2009 tentang

Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas. Pasal 1 angka 3

memberikan pengertian RFMO secara sederhana yakni organisasi perikanan

yang mengelola perikanan di laut lepas. Selanjutnya, pada tahun 2012

dikeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

PER.12/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas yang

menggantikan Peraturan Menteri tahun 2009. Dalam peraturan ini, RFMO

didefinisikan sebagai organisasi perikanan regional yang mengelola sediaan

ikan yang beruaya jauh dan beruaya terbatas di ZEE dan laut lepas.

Pendaftaran kapal-kapal Indonesia pada Record of Fishing Vessels di

setiap RFMOs, berdasarkan Pasal 14 Permen KP di atas, dilaksanakan oleh

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementrian Kelautan dan Perikanan.

Untuk teknis dan operasional setiap kapal berbendera Indonesia, peraturan ini

mensyaratkan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan

Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Untuk jenis alat

tangkapan yang dipergunakan, mengacu pada ketentuan pada masing-masing

RFMO. Data pada 21 November 2012, jumlah kapal Indonesia yang

tercantum dalam record RFMOs yakni 1.275 unit (IOTC), 194 unit (CCSBT),

dan 430 unit (WCPFC).22

Di dalam Permen KP turut diatur mengenai kewajiban untuk tindakan

konservasi dan pengelolaan terkait dengan hasil tangkapan sampingan23 dan

larangan untuk menangkap ikan selama musim ditutup dan/atau di dalam

wilayah penangkapan ikan yang ditutup. Transhipment atau kegiatan

22 Erni Widjajanti, ibid.

23 Hasil tangkapan sampingan (bycatch) yang secara ekologis terkait dengan perikanan tuna berupa

burung laut, penyu laut, mamalia laut termasuk paus dan hiu monyet, atau bukan hiu juvenille dan hiu

dalam kondisi hamil dimana hiu tersebut harus didaratkan secara utuh

Page 17: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

17

memindahkan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan ke kapal

pengangkut, diperbolehkan menurut Pasal 30 dalam peraturan ini, baik

dilakukan di laut lepas maupun di pelabuhan negara lain yang menjadi

anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama. Kapal yang akan melakukan

transhipment disaksikan oleh pemantau di atas kapal pengangkut ikan

(observer on board) serta kapal diwajibkan untuk mengaktifkan transmitter

Vessel Monitoring System (VMS)24 agar dapat dipantau. Apabila, suatu kapal

tidak dapat melaksanakan kepatuhan sesuai dengan persyaratan dan standar

RFMO maka tindakan kapal tersebut dapat dikategorikan dalam Illegal,

Unreported, dan Unregulated (IUU) Fishing dan selanjutnya dapat

dicantumkan dalam IUU Vessels List.

Terhadap kapal yang diberikan sanksi demikian, Pasal 38 Permen KP

menyebutkan larangan-larangan yang diberlakukan yakni :

(a) Melakukan pemindahan ikan hasil tangkapan dari dan/atau kepada kapal

penangkap ikan maupun kapal pengankut ikan baik di laut lepas negara

anggota RFMO maupun di wilayah Indonesia

(b) Melakukan pendaratan hasil tangkapan, mengisi bahan bahar dan logistik

ataupun terlibat dalam transaksi perdagangan

(c) Menyewakan kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan

(d) Menjual ataupun mengekspor ikan

(e) Merubah nama kapal penangkap ataupun pengangkut ikan

Mencermati beberapa ketentuan hukum yang telah diuraikan sebelumnya,

terdapat beberapa isu yang dapat berpotensi terjadi dalam tataran

implementasi. Pertama, persyaratan dokumen perizinan bagi setiap kapal

perikanan guna pendataan akurat kapal-kapal yang dapat menangkap ikan

secara sah di laut lepas. Saat kapal tidak memperpanjang dokumen perizinan,

maka kemungkinan pergerakan atau posisi kapal tidak diketahui termasuk apa

yang sedang dikerjakan kapal tersebut. Kedua, untuk pendeteksian pergerakan

24 Merupakan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan untuk pengawasan dan pengendalian di bidang

penangkapan dan/atau pengangkutan ikan, dengan menggunakan satelit dan peralatan transmitter yang

ditempatkan pada kapal perikanan; untuk mendapatkan informasi tentang posisi kapal, kecepatan, pola

gerakan kapal dan rekaman data terdahulu maupun near real time,

Page 18: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

18

kapal sangat bergantung pada transmitter yang wajib dihidupkan. Jika tidak

ada sanksi yang tegas, maka responsibilitas kapal perikanan untuk tujuan

konservasi dan pengelolaan perikanan sangatlah rawan, karena kapal

kemungkinan memasang atau mengaktivasi trasmitter hanya untuk memenuhi

persyaratan formal perizinan. Hal ini turut memicu maraknya illegal

transhipment maupun penggunaan bendera kapal kepada pihak lain (flags of

convenience) demi keuntungan ekonomi semata. Ketiga, kapal perikanan

Indonesia dalam sebuah RFMO dapat terancam melakukan pelanggaran di

overlaping area antara satu RFMO dengan RFMO lainnya. Disamping itu,

armada kapal Indonesia yang belum sepenuhnya dilengkapi dengan

perlengkapan untuk mencegah tertangkapnya hiu, burung laut, kura-kura

maupun spesies yang diwajibkan konservasi, maka aktifitas kapal perikanan

akan rentan diklasifikasikan sebagai IUU fishing berdasarkan ketentuan

masing-masing RFMO.

Meski demikian, keputusan Pemerintah untuk bergabung dan ambil bagian

dalam RFMOs tentunya bukan tanpa pertimbangan strategis. Sebagai negara

kepulauan, Indonesia harus bisa mengambil peluang dari keanggotaannya

dengan ikut memanfaatkan sumber daya perikanan di perairan internasional.

Data dari Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) menunjukkan selama

tahun 2008 dan 2009 merupakan ekspor tuna terbesar yakni sebesar 11.620

ton pada tahun 2008 dan 13.049 pada tahun 2009. Hal ini disebabkan

bertambahnya jumlah kapal Indonesia yang didaftarkan di IOTC, sehingga

upaya penangkapan ikan disinyalir menjadi lebih optimal karena nelayan

Indonesia dapat memanfaatkan kuota sebagai full member. Dengan

bergabungnya Indonesia ke dalam IOTC maka posisi tawar Indonesia akan

semakin kuat di dalam akses pasar perikanan tuna terutama di antara sesama

negara anggota. Berkaitan dengan spesies tuna yang ada di Samudera Hindia,

Indonesia juga merupakan daerah pemijahan jenis Southern bluefin tuna

(SBT) yang memiliki nilai yang paling tinggi. Jumlahnya yang sangat terbatas,

menyebabkan banyak pengusaha perikanan tuna menjadikan SBT sebagai

target utama penangkapan terutama oleh Taiwan, Jepang, Korea, Selandia

Baru dan Australia. Hal demikian dapat memperkokoh posisi Indonesia

Page 19: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

19

sebagai pelaku utama perikanan dan dapat meningkatkan ekspor perikanan

nasional.25

Keanggotaan di dalam RFMOs membuat Indonesia mendapatkan alokasi

sumber daya ikan untuk jenis ikan yang beruaya terbatas dan beruaya jauh

melalui penetapan kuota internasional. Berikut adalah penerapan kuota hasil

tangkapan untuk Indonesia26 :

Kuota di CCSBT

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

800 800 750 750 651 651 685 707 750

Kuota di WCPFC

a. Kuota bigeye longline

2008 2009 2010 2011 2012 2013

8.413 7.571 6.814 5.889 5.889 5.889

(satuan ton)

b. Kuota Yellowfin longline

2009 2010 2011 2012 2013

7.192 7.192 7.192 7.192 7.192

(satuan ton)

Hal yang tidak kalah penting dari perolehan kuota perikanan di laut lepas

yakni bagaimana keberlanjutan dari pemanfaatan sumber daya perikanan

tersebut bagi kepentingan nasional. Pasal 25B ayat (2) Undang-Undang No.

25 Mardia, 2011, Manfaat Keanggotaan Indonesia Dalam Indian Ocean Tuna Commission (IOCT),

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, hlm. 39

26 Erni Widjajanti, op.cit

Page 20: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

20

45 Tahun 2009 tentang Perikanan mewajibkan kepada pemerintah untuk

memprioritaskan produksi dan pasokan ke dalam negeri untuk mencukupi

kebutuhan konsumsi nasional. Pasal ini merupakan kebijakan penting

mengenai “domestic obligation“ untuk memprioritaskan konsumsi protein

bagi setiap warga negara Indonesia. Mengingat keanggotaan dalam RFMOs

tidak semata-mata didasarkan pada kondisi geografis suatu negara, maka

sesungguhnya Indonesia sebagai negara pantai dan penghasil tuna merupakan

negara yang paling berkepentingan baik dari sisi sumber daya, habitat dan

perdagangan, jika dibandingkan dengan posisi ‘distance-water fishing state’,

seperti Korea misalnya, yang perairannya jauh dari Samudera Hindia ataupun

Samudera Pasifik, walaupun pada kenyataannya negara-negara tersebut sangat

berpartisipasi aktif dalam rangka untuk melindungi kepentingannya.

Keanggotaan pada suatu RFMO yang pada dasarnya bertolak dari ‘real

interest’ suatu negara, sangat mungkin keanggotaan tersebut terus bertambah

jumlahnya. Secara logika hal ini berarti akan turut berdampak pada

pemberian alokasi kuota perikanan. Anggota yang sudah bergabung akan

berbagi kuota dengan anggota yang baru terdaftar dalam RFMO. Semakin

besar catch history suatu negara maka akan semakin besar perolehan

kuotanya, di sisi lain, bisa diasumsikan kuota negara lain akan ikut berkurang

setiap kali anggota baru ikut bergabung. Kemungkinan lain, jika RFMOs

memperluas daerah penangkapannya hingga semakin jauh ke laut lepas, akan

turut berdampak pada armada kapal yang dibutuhkan akan semakin besar

dengan pemakaian bahan bakar yang semakin banyak. Sebagai negara

berkembang, dalam suatu forum RFMO Indonesia dituntut untuk siap dengan

kecukupan anggaran dan personal capacity dalam peran sertanya untuk

memanfaatkan sumber daya perikanan di laut lepas.

3. PENUTUP

Kebutuhan setiap negara terhadap pemanfaatan sumber daya perikanan di Laut

Lepas telah mendorong terbentuknya Regional Fisheries Management Organizations

(RFMOs) yang merupakan organisasi internasional untuk konservasi dan pengelolaan

sumber daya ikan beruaya jauh dan beruaya terbatas. Otoritas RFMOs berlaku bagi

Page 21: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

21

seluruh negara anggota dan cooperating non-state parties. Problematika yang belum

dapat sepenuhnya diselesaikan oleh RFMOs yakni menjembatani ‘real interests’ guna

alokasi kuota diantara coastal states, yang secara geografis lebih dekat dengan zona

perikanan, distance water fishing states, yang merupakan negara-negara pemancing

jarak jauh, serta cooperating non-state parties. Untuk mewujudkan hak akses

perikanan yang adil proporsional serta seiris dengan tujuan konservasi dan

pengelolaan, RFMOs selayaknya memiliki mekanisme alokasi kuota yang transparan

dan penegakah hukum serta penguatan sanksi terhadap setiap negara anggotanya

yang melakukan pelanggaran.

Sebagai negara yang turut bergabung dalam CCSBT, IOTC, dan WCPFC, ,

Indonesia telah mengadopsi berbagai ketentuan RFMOs dalam peraturan perundang-

undangan nasional. Implikasinya, setiap kapal perikanan Indonesia wajib memenuhi

standar dan persyaratan yang berlaku pada masing-masing RFMOs. Melalui

keanggotaannya, Indonesia dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan

organisasi dan dapat terhindar dari sanksi embargo produk perikanan di negara

sesama anggota. Meski demikian, Indonesia perlu melaksanakan secara penuh dari

seluruh Revolusi/regulasi yang dikeluarkan oleh RFMO untuk mencegah terjadinya

tindakan yang dikategorikan dalam IUU fishing pada masing-masing RFMO.

Page 22: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

22

REFERENSI

Buku dan Jurnal

Cathy Roheim and Jon G. Sutinen, Trade and Marketplece Measures to Promote

Sustainable Fshing Practices, diunduh dari

http://ictsd.org/i/publications/11838/.

Dikdik Mohamad Sodik, 2011, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di

Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung

Erni Widjajanti, 2013, Pengelolaan Perikanan Tuna Indonesia dan Peran Kerjasama

Indonesia dalam RFMO, Kementrian Kelautan dan Perikanan, disampaikan

pada Seminar Nasional Hukum Laut, 2013, Universitas Sebelas Maret,

Surakarta

Mardia, 2011, Manfaat Keanggotaan Indonesia Dalam Indian Ocean Tuna

Commission (IOCT), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian

Bogor

Melda Kamil Adriano, Kepentingan Indonesia dalam Pengelolaan Perikanan Laut

Bebas, Jurnal Hukum Internasional, Volume 1 No. 2, 2005, Lembaga

Pengkajian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Nicholas Tandi Dammen, 2005, Kewenangan Perwakilan RI di Luar Negeri,

Indonesian Journal of Internasional Law, Lembaga Pengkajian Hukum

Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta

Recommended Best Practises for Regional Fisheries Management Organizations,

2007, Chatham House, The Royal Institute of International Affairs, London

Sumaryo Suryokusumo, 1990, Hukum Organisasi Internasional, UI-Press : Jakarta

Sumaryo Suryokusumo, 2008, Hukum Perjanjian Internasional, PT Tatanusa :Jakarta

Trade and Agriculture Directorate and Fisheries Committee, 2014, Fishing for

Development-Background paper for session 5, The Role of Fisheries

Management Organisations (RFMOs)

Wartini Soegeng, 2003, Kebangsaan Kapal Indonesia, PT Refika Aditama : Bandung

Regulasi Internasional

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 Tentang Hukum Laut

FAO Code of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) 1995

Page 23: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

23

FAO International Plan of Action (IPOA)

The United Nations Agreement on Management of Straddling and Highly Migratory

Fish Stocks 1995 (UNFSA)

Regulasi Nasional

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor

31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan Agreement for the

implementation of the provisions of the UNCLOS of 10 December 1982 relating to

the Conservation and Management of Straddling Fish Stock and Highly Migratory

Fish Stock.

Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pengesahan Agreement For The

Establishment of The Indian Ocean Tuna Commision

Peraturan Presiden Nomor 109 tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the

Conservation of Southern Bluefin Tuna (SBT)

Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2013 tentang Pengesahan Convention On The

Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in The Western and

Central Pacific Ocean

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2012 tentang Usaha

Perikanan Tangkap di Laut Lepas

Page 24: Otoritas Internasional Dalam Konservasi dan Pengelolaan ... · Kewajiban kerjasama bagi setiap negara dalam konservasi dan eksploitasi perikanan sebagaimana diutarakan dalam pasal-pasal

24