Kalamsiasi v2n1 Mar 2009

download Kalamsiasi v2n1 Mar 2009

of 110

Transcript of Kalamsiasi v2n1 Mar 2009

BUREAUCRATIC DISCRETION: Analisis Interaksi Budaya Politik, Struktur Birokrasi, dan Budaya Birokrasi Pemerintah DaerahSri Juni Woro Astuti(Dosen Ilmu Administrasi Negara Universitas Wijaya Putra Surabaya)

ABSTRACT In running commendation of public policy, the existence of bureaucratic discretion is needed especially for the service of public where bureaucracy government officer look out on direct with society as client, customer and also citizen which must serve better. Bureaucratic discretion conveys the idea of a public agency acting with considerable latitude in implementing broad policy mandates in certain situations. But in fact, bureaucrat often conducts the functionary abuse of their discretion. Besides influenced by political behavior or culture, this bureaucratic discretion also is oftentimes influenced by internal condition of bureaucracy itself, covering organizational culture and structure of bureaucracy. Therefore, to control the use of bureaucratic discretion requires to be conducted by developing accountability system. Keywords: discretion, bureaucratic culture, accountability

PENDAHULUANMomentum reformasi yang ditandai dengan jatuhnya pemerintah orde baru, sebenarnya selain dipicu oleh masalah ekonomi juga merupakan refleksi ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Maka kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi pemerintah pun makin rendah. Hal ini disinyalir antara lain karena rendahnya kualitas pelayanan birokrasi terhadap masyarakat yang sebagian besar dilakukan oleh pegawai negeri sipil (PNS) (Kompas, 6 Juli 2003). Rendahnya kualitas pelayanan publik ini1

antara lain disebabkan rendahnya diskresi birokrasi terutama pada level pelaksana bawah (street-level bureaucracy) sehingga pelayanan yang dihasilkan kurang fleksibel, dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat secara riil. Sejak digulirkannya UndangUndang Nomor 22 tahun 1999 (UU 22/ 1999) yang merupakan tonggak reformasi di bidang pemerintahan khususnya pemerintahan daerah, banyak yang mensinyalir bahwa kinerja birokrasi dalam pemberian pelayanan publik belum banyak mengalami perubahan atau

2

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 1, Maret 2009, 1 - 15

kemajuan. Padahal semangat otonomi yang diharapkan terwujud adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberian pelayanan publik yang lebih berkualitas. Di beberapa daerah justru muncul fenomena beralihnya kekuasaan yang semula didominasi oleh pemerintah pusat kini kekuasaan berada di tangan pemerintahan daerah. Suatu bukti bahwa komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat masih sebatas wacana, dapat dilihat dari kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang cenderung lebih mengutamakan belanja rutin daripada untuk pembangunan yang dapat dinikmati langsung oleh masyarakat. Komitmen pemerintah untuk mempriotitaskan pendidikan pun juga belum diwujudkan. Peran birokrasi pemerintah daerah yang di masa sebelum reformasi berada di bawah kendali pemerintah pusat, kini kelihatan begitu powerfull membuat kebijakan di daerahnya walau kadang kebijakan itu tanpa didasari kajian-kajian akan dampak dan manfaatnya secara lebih matang. Dalam implementasi kebijakan pun seringkali pemerintah daerah justru mengusung praktik-praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang semakin kental. Kasus-kasus seperti di Ciamis, yang tidak memberlakukan lelang terbuka untuk proyek-proyek APBD, di Situbondo yang marak dengan proyek titipan, dan masih banyak kasus lain sekitar penyim-

pangan yang dilakukan dalam penyelenggaran pemerintahan daerah membuktikan bahwa telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa daerah. Jika dilihat dari konteks kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah, kewenangan Pemerintah Daerah semakin besar, namun hal ini tidak menjadikan pemerintah daerah dapat menggunakan kewenangan yang besar tersebut seperti pola lama dimana pemerintah yang menentukan segala sesuatunya. Otonomi daerah berarti membangun demokrasi melalui pelibatan seluruh stakeholders daerah. Pola penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan structural-efficiency model telah digeser dengan localdemocracy model. Pemerintah daerah harus dapat mengakomodir berbagai perbedaan aspirasi melalui forum-forum dialog antar stakeholders untuk dapat merumuskan kepentingan umum yang pada gilirannya digunakan untuk menentukan prioritas dalam proses kebijakan publik. Namun dalam perjalanannya, pelaksanaan demokrasi sering dinilai kebablasan. Suara dan aspirasi rakyat yang masih sekedar komoditas politik ternyata banyak dimanfaatkan sebagian partai politik untuk mencapai kekuasaan. Bahkan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang merupakan representasi rakyat acapkali bersikap tidak menjadi wakil rakyat, tetapi hanya mewa-

Sri Juni Woro Astuti, Bureaucratic Discretion: Analisis Interaksi Budaya Politik...

3

kili partai politiknya atau bahkan dirinya sendiri. Peran kontrol lembaga ini terhadap jalannya pemerintahan daerah terutama kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, justru sering melampaui batas kewenangannya. Sehingga, lembaga legislatif di daerah ini terkesan berusaha mendominasi kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kewenangan DPRD ini bahkan tidak hanya di wilayah domain pembuatan kebijakan namun juga tidak jarang memasuki domain administratif yang menjadi kewenangan birokrasi pemerintah. Dengan demikian, telah terjadi pergeseran lokus dan fokus penggunaan kekuasaan dari eksekutif ke legislatif (Thoha, 2003). Kewenangan birokrasi Pemerintah Daerah dalam menjalankan kebijakan publik pun terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan politik. Hal ini tercermin dari proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik di mana kepentingan penguasa selalu menjadi kriteria yang dominan dan sering menggusur kepentingan masyarakat banyak manakala keduanya tidak berjalan bersama-sama (Kompas, 6 Juli 2003). Fenomena di atas menggambarkan adanya tarik-menarik kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bergerak antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Tarik-menarik kekuasaan ini sebenarnya tidak perlu dilakukan, mengingat masing-masing telah memiliki

domain kewenangan yang jelas. Dari kewenangan yang dimiliki baik legislatif maupun eksekutif, masing-masing dapat menggunakan dan menjalankan kewenangannya itu secara mandiri dan profesional serta dapat dipertanggung jawabkan. Derajat keleluasaan untuk menggunakan kewenangan oleh masing-masing lembaga dan pejabat dalam lembaga tersebut dimaknai sebagai diskresi atau keleluasaan untuk mengambil kebijak-sanaan baik dalam proses pengambilan keputusan maupun pelaksanaan kebijakan sepanjang masih berada dalam domain kewenangannya dan tidak melanggar norma-norma etika dan hukum yang lebih luas. Polisi lalu-lintas, misalnya, ketika sedang beroperasi di jalan raya mereka memiliki tingkat diskresi yang tinggi untuk mengambil keputusan atau tindakan guna mengatasi kemacetan lalu-lntas walaupun harus melanggar rambu-rambu yang ada. Namun penggunaan ruang diskresi ini acapkali disalahartikan dan akhirnya menjurus pada penyimpangan kekuasaan. Seperti yang terjadi di Sumatera Barat (Sumbar), di mana dalam APBD Sumbar tahun 2002 terdapat pengeluaran untuk berbagai tunjangan kepada anggota Dewan, seperti pembelian spring bed sebesar Rp14 juta, tunjangan meja rias sebesar Rp1,5 juta, rak piring Rp500.000, kursi tamu Rp18 juta, lemari buku Rp3,25 juta, dan tunjangan asuransi Rp2,5 juta per

4

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 1, Maret 2009, 1 - 15

bulan selama 5 tahun. Akibatnya APBD menjadi defisit. Untuk menutupi defisit, diterbitkan Peraturan Daerah (Perda) mengenai pungutan. Di antaranya pungutan mengenai air tanah dan air permukaan, perda retribusi bahan bakar kendaraan bermotor dan retribusi kesehatan (Kompas, 26 Agustus 2003). Penerbitan Peraturan Daerah (Perda) yang marak di era otonomi banyak dipermasalahkan karena substansinya justru membebani masyarakat daerah. Di Lampung, melalui Peraturan Daerah nomor 6 tahun 2000 (Perda 6/2000), untuk komoditas yang keluar dari Provinsi Lampung diharuskan izin, lalu dikenakan retribusi. Kabupaten Pasaman, Sumbar, memiliki Perda 14/2000 yang mengenakan retribusi kepada pasar, grosir, dan pertokoan sebesar Rp5.000 per hari. Adapun di Kabupaten Pariaman melalui Perda 2/2000 dikenakan retribusi bagi masyarakat yang menjual ternak. Bahkan, di Kabupaten Cirebon, ada Perda yang memberlakukan pungutan kepada pengamen, di Bengkulu diberlakukan pungutan kepada masyarakat yang mengambil sayuran di hutan (Kompas, 26 Agustus 2003). Kebijakan pemerintah daerah dan DPRD untuk memproduksi beberapa peraturan daerah tersebut tidak lain karena adanya persepsi keliru dalam memaknai kewenangan dan diskresi yang melekat pada kedua lembaga penyelenggara pemerintahan daerah tersebut.

DISKRESI BIROKRASI SETENGAH HATI VERSUS OVER DISCRETION? Diskresi umumnya diartikan sebagai kemampuan administrator untuk memilih diantara alternatif dan memutuskan bagaimana suatu kebijakan (policy) pemerintah harus diimplementasikan dalam situasi-situasi tertentu (Rourke, 1984). Sarana ini sangat penting untuk kesuksesan pembuatan kebijakan dan dirangkai ke dalam pembuatan konstitusi sebagai alat penyebaran baik power (kekuasaan) dan konflik antar berbagai kepentingan (Bryner, 1987). Dengan demikian, diskresi jelas merupakan bagian dari proses administratif dan diskresi yang memadai sangat diperlukan dalam menjalankan kegiatan masing-masing. Dengan beberapa contoh di atas, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa dengan adanya diskresi Pemerintah Daerah yang semakin besar ini pelayanan kepada masyarakat justru terlalaikan dan lebih mementingkan kepentingan elite pemerintahan itu sendiri? Hasil penelitian tentang kualitas pelayanan publik di beberapa Pemerintah Kabupaten dan Kota yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto dkk (2003) menjelaskan bahwa kurang adanya diskresi birokrasi sehingga mengakibatkan pelayanan menjadi lamban. Namun di sisi lain, fenomena empiris yang dicontohkan di atas justru menunjukkan hal yang

Sri Juni Woro Astuti, Bureaucratic Discretion: Analisis Interaksi Budaya Politik...

5

sebaliknya. Bagaimana persepsi birokrat itu sendiri terhadap perlunya ruang diskresi, dan sejauhmana mereka merasa dapat menggunakan ruang diskresi tersebut dalam menjalankan tugas dan kewenangannya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menarik untuk dicari penjelasannya agar dapat dicari solusinya sehingga tudingan-tudingan miring terhadap birokrasi ini segera dapat dieliminir. Analisis tentang diskresi birokrasi ini masih sangat diperlukan mengingat dalam menjalankan amanat kebijakan publik selalu diperlukan adanya diskresi, terutama untuk pelayanan publik di mana aparat birokrasi berhadapan langsung dengan masyarakat baik sebagai client, customer maupun citizen yang harus dilayani dengan baik. Dalam proses pem-berian pelayanan publik, aparat birokrasi di level bawah (street-level bureaucracy) seringkali dituntut dapat mengambil keputusan secara cepat, dan fleksibel. Sebagaimana hasil jajak pendapat pada masyarakat Amerika Serikat yang mayoritas menilai puas terhadap pelayanan birokrasi pemerintahnya karena mereka lebih fleksibel, responsif, dan cepat. Hasil pooling ini paling tidak dapat mewakili suara dan harapan rakyat terhadap aparatur birokrasi dalam memberikan pelayanan. Agar birokrasi dapat fleksibel, responsif, dan cepat diperlukan adanya ruang kebebasan (diskresi) bagi mereka untuk menjadi lebih kreatif tanpa takut

dipersalahkan hanya karena tidak sesuai prosedur. Pemberian diskresi kepada para pelaksana ini akan mendorong kreativitas dan motivasi kerja baik secara individual maupun organisatoris dalam satuan kerja. Namun di sisi lain, pemberian diskresi tanpa kontrol yang memadai juga akan berakibat adanya penyalahgunaan wewe-nang yang pada gilirannya merugikan kepentingan masyarakat. Di sinilah letak dilema atau kontroversi pentingnya diskresi di dalam birokrasi pemerintah. Terlebih lagi dalam pengambilan keputusan birokrasi sangat sulit untuk tidak memasukkan pertimbangan di luar pertimbangan profesional. Derajat intervensi politik sangat tinggi, sehingga membuat birokrasi tidak profesional dan justru menjadi mesin politik penguasa. Adanya gejala supremasi legislatif terhadap eksekutif dan birokrasi jelas telah membatasi ruang diskresi birokrasi sehingga tidak dapat bertindak netral dan profesional. Besarnya intervensi legislatif terhadap domain kewenangan birokrasi dapat dilihat dalam penataan organisasi birokrasi, pengangkatan kepala dinas, dan pejabat-pejabat daerah lainnya di era reformasi ini yang tidak lepas dari pengaruh legislatif. Kecenderungan intervensi legislatif dalam manajemen birokrasi pemerintah sebenarnya dilandasi oleh adanya motif-motif pribadi dan golongan seperti perebutan kekuasaan maupun mengejar keuntungan materi baik secara langsung atau tidak langsung. Apalagi

6

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 1, Maret 2009, 1 - 15

partai politik yang berhasil memenangkan calon Bupati atau Walikota di daerahnya, cenderung akan memanfaatkannya untuk kepentingan parpolnya itu. Pejabat baru yang didukung oleh partai politik tertentu sulit menjadi pemimpin yang tidak bias kepentingan, ia sulit melepaskan diri dari intervensi parpol atau kelompok yang memenangkannya. Hal ini akan berimbas pada tekanan-tekanan terhadap birokrasi pemerintah dalam membuat kebijakan di domain administrasi sebagai pelaksanaan dari kebijakan politik. PENGARUH STRUKTUR DAN KULTUR Pengaruh politik ini bisa bervariasi kekuatannya hingga ke level bawah mempengaruhi perilaku pegawai birokrasi pemerintah (baca: PNS). Hal ini terjadi mengingat dalam struktur birokrasi kita masih bercorak hierarkhis dengan kultur yang patrimonial. Kuatnya peran pemimpin puncak yang tidak lain adalah pejabat politik seringkali mengaburkan profesionalisme birokrasi. Sebagaimana disebut di atas dalam pengangkatan pejabat-pejabat karir di birokrasi Pemerintah Daerah sering diintervensi oleh kekuatan politik yang mendukung pejabat puncak tadi. Bahkan dalam mutasi dan pengangkatan pejabat birokrasi seperti para kepala dinas ada campur tangan DPRD setempat. Hal ini jelas sudah mengurangi diskresi birokrasi

dalam mengatur atau merestrukturisasi organisasinya untuk meningkatkan kinerja pelayanan kepada masyarakat daerahnya. Selain faktor lingkungan yang mempengaruhi diskresi birokrasi, faktor internal birokrasi itu sendiri juga ikut mempengaruhi seberapa jauh pejabat birokrasi dapat menggunakan diskresinya sesuai dengan tuntutan profesionalitas dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pelayanan publik. Faktor internal itu adalah struktur dan budaya birokrasi. Sebagaimana diketahui, lembaga birokrasi merupakan suatu bentuk dan tatanan yang mengandung struktur dan kultur (budaya). Struktur mengetengahkan susunan dari suatu tatanan, dan budaya mengandung nilai (values), sistem, dan kebiasaan yang dilakukan oleh para pelakunya yang mencerminkan perilaku dari sumberdaya manusianya (Thoha, 2003). Birokrasi sebagai organisasi besar dengan struktur hiararkhi panjang bercirikan kewenangan pejabat puncak lebih besar. Pejabat yang berada pada struktur lebih rendah akan menerima delegasi wewenang dari atasannya, dimikian hingga level yang paling bawah memiliki kewenangan operasional yang terbatas dan lebih banyak berperan hanya sebagai pelaksana. Akibatnya pejabatpejabat pada level bawah apalagi staf yang justru sering berhadapan langsung dengan

Sri Juni Woro Astuti, Bureaucratic Discretion: Analisis Interaksi Budaya Politik...

7

publik merasa tidak memiliki kewenangan apapun untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan tugas operasional sekalipun. Dengan kata lain diskresi yang dimiliki sangat kecil atau hampir-hampir tidak ada. Kelemahan struktur birokrasi tersebut semakin diperparah dengan tumbuh berkembangnya budaya paternalistik, seperti di Indonesia. Pejabat pada hirarkhi atas merasa dengan kewenangan besar yang mereka miliki dapat membuat keputusan sesuai dengan kemauannya sendiri atau kepentingan pihak lain yang lebih tinggi atau lebih besar kekuasaannya, seperti pejabat-pejabat politik. Dengan struktur kewenangan dan budaya paternalistik yang masih kuat, maka birokrasi menjelma menjadi mesin kekuasaan yang selalu tunduk kepada pejabat di atasnya. PENYIMPANGAN DISKRESI LEBIH BANYAK DILAKUKAN: KASUS SITUBONDO DAN SURABAYA Pengaruh budaya paternalistik dan feodalisme yang sangat mewarnai budaya politik telah merasuki budaya birokrasi di Indonesia. Hal itu mewujud dalam pola perumusan kebijakan pada beberapa dasawarsa pemerintahan sebelum era reformasi, antara lain dalam sistem perencanaan yang sentralistis sehingga mengu-

rangi ruang gerak para pegawai untuk berinisiatif dan melakukan inovasi-inovasi. Kriteria pengawasan yang mengandalkan ketaatan terhadap sistem dan prosedur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan penekanannya masih pada audit terhadap pertanggungjawaban keuangan telah memacu munculnya formalitas dalam pengawasan dan pertanggungjawaban pekerjaan (Kasim, 1998). Alhasil, administrasi negara Indonesia sangat dipengaruhi oleh pendekatan birokratis yang menekankan pada pengaturan semua kegiatan berdasarkan prosedur dan peraturan perundanganundangan (rules driven). Orientasi birokrasi yang berlebihan pada aspek formalitas, justru memunculkan praktikpraktik birokrasi yang tidak efisien, tidak produktif dan mengabaikan makna kinerja dalam pelaksaanaan tugas kesehariannya. Bekerja dalam bingkai peraturanperaturan formal bagi birokrasi sudah merupakan prakondisi yang sejak lama diyakini sebagai suatu cara yang paling efisien, efektif, dan profesional. Hal ini didasarkan pada teori birokrasi Weber yang mengisyaratkan bahwa pelaksanaan tugas diatur oleh suatu sistem peraturanperaturan abstrak yang konsisten dan mencakup juga penerapan aturan-aturan tersebut di dalam kasus-kasus tertentu. Artinya bahwa setiap keputusan dan

8

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 1, Maret 2009, 1 - 15

tindakan birokrasi haruslah didasarkan pada peraturan yang berlaku, jika tidak maka dikhawatirkan akan terjadi tindakan sewenang-wenang pejabat mengingat tidak ada aturan formal yang jelas. Seorang pejabat yang ideal dituntut melaksanakan tugas-tugasnya dengan semangat sine ira et studio (formal dan tidak bersifat pribadi), tanpa perasaan-perasaan dendam dan nafsu dan oleh karena itu tanpa perasaan kasih sayang atau antusiasme (Blau dan Meyer, 1987). Demikian halnya dalam kondisi di mana seorang pejabat atau petugas yang terpaksa harus menggunakan diskresi dalam keputusan dan tindakannya tidak boleh lepas dari koridor hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Sejauh mana kesesuaian tindakan diskretif pejabat birokrasi dengan peraturan perundangundangan akan dipaparkan berikut ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa birokrasi pemerintah daerah di era otonomi cenderung belum mampu mengedepankan aspek profesionalisme yang menjadi harapan masyarakat terutama dalam peningkatan kualitas pelayanan publik. Hal ini diketahui dari hasil penyebaran kuesioner kepada 100 responden masyarakat di Kabupaten Situbondo dan 100 responden masyarakat di Kota Surabaya.

Gambar 1: Tanggapan Masyarakat terhadap Peningkatan Profesionalisme Birokrasi (Tahun 2004)

Sumber: Data Primer diolah, 2004.

Survei yang dilakukan terhadap masing-masing 100 responden baik di Surabaya maupun di Situbondo menunjukkan bahwa penilaian masyarakat terhadap profesionalisme birokrasi dalam pelayanan publik mayoritas masih rendah yakni 46% untuk Surabaya dan 49% untuk Situbondo. Responden yang menilai profesionalisme birokasi sama saja dari sebelum otonomi daerah dengan setelah otonomi daerah sebesar 45% untuk Surabaya, 37% untuk Situbondo. Sedangkan yang menilai lebih profesional hanya 9% untuk Surabaya dan 14% untuk Situbondo. Namun tanggapan masyarakat tersebut ternyata mengalami perubahan ketika peneliti menyebarkan kembali angket yang sama pada tahun 2006. Perubahan pendapat ini tidak lepas dari semakin mantapnya penyelenggaraan otonomi daerah yang sudah berjalan selama lebih dari 5 tahun dan Undang-

Sri Juni Woro Astuti, Bureaucratic Discretion: Analisis Interaksi Budaya Politik...

9

undang penyelenggaraan pemerintahan daerah telah direvisi dari UU nomor 22 dan 25 tahun 1999 yang efektif diberlakukan tahun 2001 menjadi UU nomor 32 dan 35 tahun 2004.Gambar 2: Tanggapan Masyarakat terhadap Peningkatan Profesionalisme Birokrasi (Tahun 2006)

pemerintah daerah semenjak reformasi dan otonomi daerah digulirkan. Akibat masih rendahnya profesionalisme birokrasi, maka seringkali keputusan atau tindakan yang diambil seorang pejabat kurang dilandasi oleh kode etik dan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Bupati/ Walikota merupakan kekuatan paling besar di kalangan elite pemerintahan daerah (ketika masih mengacu pada UU 22/1999) yang hingga saat ini ternyata membawa dampak besar dalam arus politisasi birokrasi. Pengangkatan pejabat struktural pemerintah daerah yang seharusnya menganut merit system ternyata banyak yang diabaikan termasuk yang terjadi pada pemerintah kota Surabaya dan kabupaten Situbondo, khususnya pada awal-awal otonomi daerah. Fenomena pengangkatan dan mutasi pejabat di lingkungan birokrasi pemerintah daerah yang tidak sepenuhnya dilandasi penilaian atas prestasi atau kinerja menjadi salah satu kelemahan utama birokasi untuk menjadi profesional. Hal ini menunjukkan bahwa Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat) yang bertanggungjawab di bidang kepegawaian tidak mematuhi peraturan perundangan yang ada dan cenderung membiarkan diri terseret pada arus politisasi birokrasi. Padahal sesuai ketentuan perundang-undangan yakni PP nomor 100 tahun 2000 (PP 100/2000)

Sumber: Data Primer diolah, 2007.

Dari gambar di atas dapat diketahui pergeseran pandangan masyarakat terhadap profesionalisme birokrasi. Ada pergeseran pandangan yang cukup signifikan terhadap profesionalisme birokrasi. Responden yang menilai bahwa profesionalisme birokrasi masih rendah atau kurang profesional turun menjadi sebesar 22% untuk Surabaya dan 32% untuk Situbondo. Responden yang menilai sama saja sebesar 38% untuk Surabaya dan dan 33% untuk Situbondo. Sedangkan yang menilai sudah lebih baik sebesar 40% untuk Surabaya dan 35% untuk Situbondo. Pendapat responden mengenai profesionalisme birokrasi tersebut didasarkan pada penilaian mengenai kompetensi pejabat birokrasi

10

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 1, Maret 2009, 1 - 15

tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural, penempatan pegawai didasarkan pada prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan tersebut serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, atau golongan. Setiap pejabat dalam menjalankan kewenangannya, selalu dimungkinkan untuk memiliki dan menjalankan diskresi (keleluasaan mengambil keputusan) sepanjang hal itu masih dalam domain kewenangannya dan didasarkan pada prinsip-prinsip profesionalisme, knowledge, dan mengutamakan kepentingan publik serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai etika serta hukum yang lebih luas. Namun dalam praktiknya setiap pejabat mempunyai penafsiran yang berbeda dan cenderung kurang tepat mengenai makna diskresi itu sendiri. Contoh yang dapat dikemukakan antara lain: Keputusan Pemerintah Kota yang pernah mengangkat para lurah dan camat namun tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Keputusan tersebut bukan diskresi melainkan merupakan pelanggaran dan tidak memenuhi kriteria prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Keputusan mutasi dan promosi pegawai telah diatur dalam perundang-undangan dan harus dipatuhi oleh pejabat yang berwenang sehingga ruang diskresi yang

dapat digunakan pejabat sangat terbatas. Untuk diketahui bahwa keputusan yang diambil oleh seorang pejabat dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: (1) keputusan yang mutlak harus didasarkan dan sesuai dengan peraturan perundangundangan sehingga tidak memungkinkan adanya diskresi, (2) keputusan yang bersifat diskretif bebas (freises ermessen) di mana batas hukumnya tidak dinyatakan secara jelas, namun masih harus melihat pada aspek lain yang lebih luas seperti Hak-hak Asasi Manusia (HAM) dan hukum lain yang lebih universal, dan (3) keputusan diskretif terbatas, yang artinya seorang pejabat dapat dimungkinkan untuk memilih diantara alternatif yang ada tetapi masih dalam batasan-batasan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh ketentuan perundang-undangan yang ada (hasil wawancara dengan Eko Prasojo, UI, 2007). Dengan demikian keputusankeputusan dan tindakan-tindakan pejabat birokrasi tersebut dapat dikategorikan berdasarkan kejelasan dan kelengkapan ketentuan perundang-undangan yang mendasarinya hingga sampai pada tataran operasional. Semakin rinci peraturan perundang-undangan yang dibuat maka semakin tidak dimungkinkan adanya tindakan atau keputusan diskretif. Namun yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa dalam segi kelengkapan peraturan saja tidak cukup memberikan petunjuk operasional yang jelas bagi para pejabat

Sri Juni Woro Astuti, Bureaucratic Discretion: Analisis Interaksi Budaya Politik...

11

untuk mengambil tindakan, apalagi jika substansinya masih belum sinkron satu sama lain sehingga cenderung terjadi inkonsistensi hukum. Selain penyalahgunaan diskresi yang dilakukan dengan jelas-jelas melanggar ketentuan yang berlaku dan mementingkan kepentingan pribadi atau golongan, fenomena inkonsistensi dan ketidakjelasan hukum dan peraturan perundang-undangan juga menjadi penyebab penyimpangan diskresi. Pejabat di daerah sering merasa kewalahan mengikuti perkembangan peraturan yang seringkali mengalami perubahan. Dalam kondisi seperti itu maka sangat dimungkinkan terjadinya multi interpretasi yang akhirnya berdampak pada munculnya penyimpangan-penyimpangan yang mungkin disengaja atau murni karena misunderstanding belaka. Hasil penelitian di Pemerintah Kota Surabaya, jarang ditemui adanya tindakan yang benar-benar bersifat diskretif. Demikian juga di Kabupaten Situbondo. Hal ini antara lain disebabkan kultur birokrasi di Indonesia yang masih bernuansa paternalistis dan derajat formalisasinya masih tinggi. Derajat formalisasi tinggi tidak berarti menunjukkan tingkat kepatuhan pegawai terhadap hukum dan peraturan menjadi tinggi pula, namun bisa juga mereka cenderung memandang hukum dan peraturan hanya pada tataran formal saja. Dalam praktiknya banyak

ditemui kasus-kasus yang menonjol yang umumnya dipersepsi sebagai diskresi ternyata sebenarnya justru merupakan pelanggaran. Demi memuaskan pihakpihak tertentu, pejabat seringkali menggunakan kewenangannya untuk membuat keputusan yang (mungkin) dianggapnya sah-sah saja mengingat kedudukan dan kewenangan yang dimilikinya cukup tinggi. Sebaliknya dalam menyelesaikan permasalahan atau keluhan masyarakat yang seharusnya memerlukan tindakan yang tegas bahkan bilamana perlu mengambil tindakan yang bersifat diskretif justru jarang dilakukan. Contoh kasus pelenggaran tempat usaha yang juga pelanggaran terhadap perizinan gangguan yang sering terjadi di Surabaya. Pihak yang berwenang seharusnya melakukan tindakan tegas sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 01 tahun 2004 tentang Izin Gangguan khususnya Pasal 28 yang berbunyi:a) Kepala daerah berwenang melakukan penutupan/ penyegelan dan menghentikan kegiatan pada tempat usaha yang tidak memiliki izin gangguan; b) Kepala Daerah berwenang melakukan pencabutan ijin, penutupan/ penyegelan dan penghentian kegiatan pada tempat usaha yang melangar izin.

Kasus-kasus sejenis sebenarnya banyak terjadi, antara lain yang banyak

12

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 1, Maret 2009, 1 - 15

mendapat sorotan dari kalangan DPRD dan masyarakat luas di Surabaya adalah mengenai reklame bermasalah yang mencuat sejak tahun 2005 hingga saat ini. Terhadap pelanggaran tersebut, pejabat yang berwenang tidak segera mengambil tindakan tegas bahkan cenderung ditutupi hingga menimbulkan kesan adanya permainan antara pejabat dengan pihak pengusaha. Dalam kasus ini memang benar telah terjadi kolusi antara pihak pemberi izin, pihak yang berwenang menertibkan, dan pengusaha atau pemilik perusahaan reklame. Namun, fokus bahasan lebih diarahkan pada tidak adanya tindakan pejabat yang tegas dalam menjalankan peraturan yang ada, bahkan cenderung mencari celah atau mengulurulur waktu agar reklame yang bermasalah itu tetap masih terpasang. Tindakan membiarkan atau tidak memberlakukan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebenarnya dapat pula dikatakan sebagai diskresi pejabat yang mengarah pada maladministrasi publik, yang dengan kewenangannya mereka sengaja menunda kewajiban secara berlarut-larut yang dampaknya adalah menguntungkan satu pihak tetapi dapat merugikan pihak-pihak lain yang lebih luas. Berbeda dengan kasus-kasus yang lebih banyak bersifat penyimpangan diskresi pejabat birokrasi di atas, di kabupaten Situbondo justru pernah terjadi dimana keputusan yang bersifat diskretif

yang sebenarnya sangat diperlukan demi kelancaran sebuah proyek yang sangat bermanfaat bagi nelayan ternyata justru tidak mendapat dukungan dari struktur birokrasi yang lebih tinggi. Tindakan diskretif dalam kasus pengadaan Kapal latih dan cold-storage yang diambil oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan untuk segera menyelesaikan proyek demi kemanfaatan masyarakat nelayan yang lebih luas, sebenarnya tidak bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan yang lebih tinggi dan juga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pelaksanaan pemerintahan yang baik. Sebaliknya justru tindakan tersebut terpaksa diambil demi menyelamatkan anggaran yang sudah ada dan mempercepat tercapainya tujuan dari pengadaan proyek tersebut yakni meningkatkan kesejahteraan nelayan. Namun pada kenyataannya keputusan yang bersifat diskretif tersebut justru mendapat tekanan dari pihak internal birokrasi pada struktur yang lebih tinggi. Dengan kata lain, keputusan diskretif tersebut tidak dapat diterima dan dijalankan. Ini karena adanya intervensi atau tekanan dari struktur birokrasi yang lebih tinggi. Derajat kesesuaian atau ketidaksesuaian keputusan atau tindakan diskretif yang diambil oleh seorang pejabat juga dapat dikaji dari dinamika hukum dan peraturan perundang-undangan yang sampai saat ini masih diatur secara sentra-

Sri Juni Woro Astuti, Bureaucratic Discretion: Analisis Interaksi Budaya Politik...

13

listis oleh Pemerintah Pusat. Di era reformasi dan otonomi daerah, peraturan formal dalam artian perundanganundangan yang digariskan Pemerintah Pusat seringkali mengalami perubahan yang berakibat pada ketidakpastian dasar hukum bagi pengambil kebijakan dan pelaksana di tingkat daerah. Dalam kondisi yang masih terdapat inkonsistensi kebijakan yang digariskan oleh Pusat, daerah cenderung mengambil sikap pasif karena dalam beberapa hal merasa otonomi yang diberikan tidak sepenuh hati. Di sisi lain, sikap pejabat-pejabat birokrasi di daerah tidak begitu saja bebas dari kecenderungan perilaku budget maximizer (akan dibahas pada bagian selanjutnya) di mana dengan otonomi yang diterima cenderung akan digunakan semaksimal mungkin untuk memperbesar peluang memperoleh keuntungan (anggaran) baik secara pribadi maupun untuk unit tugasnya masing-masing. PERILAKU YANG BERORIENTASI PADA KEPENTINGAN PRIBADI DAN GOLONGAN Banyaknya pelanggaran atas dana APBD yang dilakukan DPRD baik secara sendiri maupun bersama dengan Pemerintah Daerah, banyak disebabkan karena ketidakjelasan peraturan perundangundangan yang dijadikan acuan penyusunan anggaran Dewan. Sebagaimana diketahui PP Nomor 110 tahun 2000 (PP

110/2000) yang menjadi acuan untuk menyusun anggaran rumah tangga dewan terkena judicial review karena dianggap bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Sebagai akibatnya, perencanaan anggaran rumah tangga DPRD menjadi semakin kacau dan DPRD merasa memiliki hak untuk membuat itemitem kebutuhan tanpa mengacu pada PP 110/2000 tersebut. Selain disebabkan ketidak jelasan peraturan perundangundangan yang berlaku, banyak motifmotif lain yang memang mengarah pada tindakan korupsi guna kepentingan pribadi atau golongan. Dalam menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD), birokrasi pemerintah sering menggunakan kewenangannya untuk mengalokasikan sejumlah anggaran yang sebenarnya tidak sesuai atau bukan merupakan kebutuhan masyarakat secara luas melainkan hanya atas desakan pihakpihak tertentu. Fenomena ini dikenal dengan perilaku budget maximiser, yang sangat terkait dengan orientasi kepentingan pribadi dan golongan (baca: politis). Diskresi birokrasi yang sebenarnya adalah salah satu sumber power bagi birokrasi agar dapat mengambil keputusan di domainnya dan mengimplementasikan kebijakan publik berdasarkan nilai-nilai etika, pertimbangan rasional dan profesional tanpa ada intervensi kepentingan pihak lain, seringkali dimaknai secara

14

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 1, Maret 2009, 1 - 15

keliru. Banyak pejabat di birokrasi tidak bisa membedakan secara benar apa itu diskresi atau penyalahgunaan kewenangan. Budaya era orde baru, di mana kekuasaan jabatan (position power) sangat dominan sehingga penyalahgunaan kekuasaan jabatan untuk kepentingan pribadi dan golongan menjadi sesuatu yang sangat permisif di kalangan masyarakat awam. PURNA WACANA Dari paparan di atas diketahui bagaimana para pejabat birokrasi banyak yang melakukan penyalahgunaan kewenangan diskresi. Selain dipengaruhi budaya atau perilaku politik, diskresi birokrasi ini juga sering dipengaruhi oleh kondisi internal birokrasi itu sendiri, yang meliputi struktur dan budaya organisasi birokrasi. Dahulu ketika orde baru dengan struktur yang cenderung sentralistik, pelayanan publik terkesan lamban dan kurang responsif terhadap perkembangan tuntutan masyarakat di daerah. Kini dengan adanya otonomi luas, struktur organisasi pemerintah juga mengalami perubahan. Tetapi, diskresi birokrasi pemerintah daerah yang makin besar tersebut ternyata belum digunakan secara efektif untuk penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih baik. Faktor internal berikutnya setelah struktur adalah budaya atau kultur organisasi birokrasi yang mendasari pola

perilaku setiap individu penyelenggara pelayanan publik, baik secara organisasional maupun perorangan. Budaya birokrasi ini dipengaruhi pula oleh budaya yang berkembang dalam masyarakat, di mana dalam masyarakat kita masih kuat budaya paternalistiknya. Hal ini mewujud dalam perilaku bawahan yang cenderung menggantungkan pada perintah atau petunjuk dari atasan, tidak memiliki keberanian atau kemauan untuk berinisiatif dalam menjalankan tugas dan fungsinya sehari-hari. Akibatnya pelayanan publik seringkali terkesan kaku, birokratis, dan kurang adaptif terhadap kondisi di lapangan. Untuk mengontrol penggunaan diskresi birokrasi dalam implementasi kebijakan publik tersebut, Hunold (2001) mengusulkan sebuah konsep yang diilhami oleh teori deliberative democracy. Hunold ingin mengembangkan model akuntabilitas administratif berdasarkan pada keterlibatan masyarakat yang terkait secara langsung dalam proses pembuatan keputusan/ peraturan, jadi tidak hanya mengandalkan peran legislatif. Melalui deliberative democracy ini masyarakat menggunakan pertimbangan publik untuk secara kolektif ikut memberikan masukan dalam proses pengambilan keputusan (Bohman, 1996). Pentingnya mengaitkan diskresi birokrasi dengan akuntabilitas dan responsibilitas perlu mendapat perhatian. Sebagaimana dirasakan pada tahun-tahun

Sri Juni Woro Astuti, Bureaucratic Discretion: Analisis Interaksi Budaya Politik...

15

terakhir ini, birokrasi publik dihadapkan pada tuntutan akan peningkatan akuntabilitas dan responsibilitas. Hal ini sebagai respon terhadap rendahnya kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik. Dan situasi ini dicatat sebagai era yang telah terjadi krisis akuntabilitas di tubuh birokrasi. Krisis akuntabilitas tersebut antara lain diakibatkan oleh besarnya kekuasaan birokrasi (semenjak era orde baru), sehingga kesadaran untuk mempertanggungjawabkan kewenangan yang diberikan oleh rakyat melalui lembaga legislatif masih sangat kurang. Birokrasi tidak saja menjadi mesin peguasa, tetapi telah menjelma menjadi penguasa itu sendiri. Dalam sistem demokrasi, kondisi seperti ini jelas menyimpang dari prinsip yang ingin ditegakkan, yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Kependudukan dan Kebijakan UGM. Finn, P 1993. Public Trust and Public . Accountability, Australian Quarterly 65, Winter: 509. Hunold, C. 2001. Corporatism, Pluralism, and Democracy: Toward a Deliberative Theory of Bureauratic Accountability. An International Journal of Policy an Administration, Vol. 14, No. 2, April, 151167. Jackson, M. 1995, Democratic Accountability, Canberra Bulletin of Public Administration 78, 868. Mulgan, Richard. 1997. The Processes of Public accountability. Australian Journal of Public Administration, 56 (1): 2536, March. Parker, R S. 1980, Responsible Government in Australia, Drummond, Richmond. Klitgaard, Robert. 1988, Controlling Corruption, The Regent of the University of California. Klitgaard, R., and Maclean-Abaroa, Parris, Corrupt Cities: A Practical Guide to Cure and Prevention. Oakland, Cal.: Institute for Contemporary Studies Press. Rourke, Francis E. 1984, Bureaucracy, Politics and Public Policy, 3th edition, New York: Macmillan. Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Kompas, 6 Juli 2003. Kompas, 26 Agustus 2003.

DAFTAR PUSTAKABlau, Peter M and Meyer, Marshall W. 1987. Birokrasi dalam Masyarakat Modern. Edisi kedua, terjemahan. Jakarta: UI-Press,. Bryner, G. 1987. Bureaucratic Discretion: Law and Policy in Federal Regulatory Agencies. New York: Pergamon Press. Corbett, D 1992, Australian Public Sector Managemen. Sydney: Allen & Unwin. Dwiyanto, A., dkk. 2003. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PERILAKU MENYIMPANG ANGGOTA DPRDLusi Andriyani(Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Jln. Mojopahit No. 666 B Sidoarjo, Telp.: 031-8945444, Fax.: 031-8949333)

ABSTRACT The legislatives absence in a plenary session, the legislatives trip, and thelegislatives involvement for both of civil and criminal cases deteermine the society trust. The phenomena represent legislative behaviour that unreasonable to their duty as society representative in which they must be able to struggle for the society aspiration. The efforts to recognize the legislative deviated acts and the society perception on it are linked with the society trust their representatives chosen. Key words: perception, the legislative deviated behaviour

PENDAHULUANDalam pemilihan umum sekarang, masyarakat dapat memilih wakilnya langsung pada tanda gambar partai dan juga mencoblos nomor urut wakil yang diinginkannya. Pola semacam ini memberikan keterbukaan dan kebebasan kepada masyarakat untuk menentukan wakil yang duduk di lembaga perwakilan rakyat yakni Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau yang acapkali disebut sebagai Dewan sehingga aspirasi yang akan disampaikan oleh anggota dewan yang terpilih merupakan keinginan rakyat yang sesungguhnya. Pemilihan wakil rakyat secara langsung juga mencerminkan kedekatan antara wakil rakyat dengan17

mereka

yang

diwakilinya

secara

emosional. Kedekatan emosional masyarakat dengan wakilnya yang duduk di lembaga DPRD akan membawa konsekuensi pada tingkatan yang lebih mendasar tentang penilaian masyarakat terhadap perilaku sehari-hari wakil-wakil yang mereka percayai. Penilaian masyarakat dapat mempengaruhi pilihan rakyat untuk pemilu yang akan datang serta akan berpengaruh pada berkurangnya kepercayaan pemilih terhadap wakil yang akan dipilih. Sifat selektif masyarakat untuk memilih wakil mereka berlangsung secara alamiah dan terbentuk melalui informasi-informasi yang mereka dapatkan, baik melalui berita

18

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 1, Maret 2009, 55 - 63

ataupun perbincangan-perbincangan lain. Sorotan perilaku anggota dewan melalui media massa seperti: ketidakhadiran dewan dalam rapat, anggota dewan yang sering melakukan jalan-jalan atau pelesir, anggota dewan yang berperkara di pengadilan, dan permasalahan lain yang diinformasikan melalui media massa akan berpengaruh pada kepercayaan masyarakat. Perilaku anggota dewan yang tidak mencerminkan kepribadian yang baik akan menyebabkan masyarakat kecewa dan merasa dikhianati. Kekecewaan masyarakat akan berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat. Bukti nyata bahwa masyarakat semakin selektif terhadap anggota dewan sebagai wakil mereka dapat dilihat dari adanya demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat pada saat pelantikan anggota dewan pada tahun 2004 lalu. Hal ini menggambarkan ketidak setujuan rakyat terhadap wakilnya. Bahkan mereka juga tidak banyak menaruh harapan terhadap wakil yang terpilih tersebut. Tindakan protes rakyat tersebut didasari dengan kenyataan bahwa sebanyak 323 anggota DPR/D baru merupakan tersangka tindak pidana korupsi. Tercatat juga 20 kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota Dewan, 15 diantaranya telah ditindaklanjuti, tetapi ada juga kasus yang di SP3 (Surat Perintah Pemberhentian Penyelidikan)-kan namun ada pula yang dihentikan tanpa adanya SP3, seperti kasus Gorontalo dan Sema-

rang (Quo Vadis DPR/D Kejaksaan RI. Pikiran Rakyat Cyber Media, 09/09/2004). Dari gambaran kasus di atas dapat dilihat bagaimana perilaku anggota dewan yang tidak proporsional dengan jabatan mereka ternyata adalah semacam fenomena Nouveau Riche (orang kaya baru/ OKB), dengan melihat fasilitas yang diberikan pada saat pelantikan, saat menjabat dan pada saat mengakhiri jabatan selalu tidak jauh dari uang. Contohnya yang terjadi pada saat pelantikan DPRD Jawa barat yang menghabiskan dana 1,55 miliar rupiah. Pada saat menjabat para anggota dewan mendapatkan gaji 910 juta rupiah perbulan, rumah dinas, juga honor untuk mengesahkan rancangan Peraturan Daerah (Raperda) sebesar 3,6 juta rupiah untuk satu rancangan walaupun dalam melaksanakan tugasnya jauh dari profesiobalisme. Dan pada saat mereka mengakhiri jabatan mendapatkan uang 33 miliar rupiah yang dibagikan kepada 100 anggota dewan serta permintaan untuk fasilitas mobil dinas Hyundai Accent. (ibid). Bermula dari pemikiran tersebut, permasalahan dalam kajian ini adalah bagaimanakah persepsi masyarakat terhadap perilaku menyimpang anggota DPRD? Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan persepsi masyarakat tentang penyimpangan yang banyak dilakukan oleh anggota DPRD sebagai wakil rakyat.

Lusi Andriyani, Persepsi Masyarakat Terhadap Perilaku...

19

METODE PENELITIANPenelitian deskriptif-kualitatif ini berupaya menggambarkan persepsi masyarakat terhadap perilaku menyimpang anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo. Dengan menggunakan teknik Random Sampling, peneliti mengambil informan dari beberapa elemen masyarakat yang aktif di kegiatan sosial ataupun politik seperti PKK, karang taruna, LKMD, arisan, tahlilan, partai politik, aparat desa, paguyuban di kecamatan Sidoarjo. Data primer yang diperoleh dengan menggunakan indepth interview. Sedangkan untuk mengetahui hubungan perilaku anggota DPRD dengan partisipasi masyarakat, data yang diperoleh berasal dari angket yang diberikan kepada masyarakat sebagai responden. Sementara data sekunder diperoleh dari artikel koran serta internet yang memuat profil anggota DPRD Sidoarjo dan pemberitaan kasus yang dihadapi oleh anggota dewan seperti korupsi, suap, jalan-jalan (plesir) dan sebagainya. Setelah data terkumpul kemudian diolah, dianalisis, dan ditarik suatu implikasi teoritis terhadap fenomena yang ditemukan di dalam penelitian. POLA PERILAKU MENYIMPANG ANGGOTA DPRD Perilaku merupakan fungsi yang terbangun dari interaksi seseorang dengan lingkungannya di mana keduannya mempunyai sifat-sifat tersendiri, dan

apabila sifat tersebut berinteraksi maka akan memunculkan perilaku individu. Dalam penelitian mengenai perilaku menyimpang anggota DPRD Sidoarjo ini dapat dimaknai sebagai kegiatan atau aktivitas manusia baik yang dapat diamati secara langsung maupun tidak yang keluar dari aturan-aturan formal dalam bidang politik. Berdasarkan pada pandangan di atas, maka yang dijadikan obyek pengamatan adalah perilaku anggota DPRD dalam kehidupan sehari-hari terutama berkenaan dengan penggunaan kekuasaan sebagai bagian dari pekerjaan mereka sebagai wakil rakyat. Anggota DPRD sebagai aktor politik menurut pandangan masyarakat jauh dari makna yang ideal dan formal. Pemaknaan istilah DPRD menurut masyarakat umum dimaknai dengan uangkapan Dewan Permainkan Rakyat Dewe. Bahkan mendapat pemaknaan yang lebih ekstrem lagi sebagai cerminan dari perilaku yang dilihat oleh masyarakat sebagai tindakan dari para wakil rakyat yang hanya menggunakan uang negara untuk kepentingan yang tidak jelas dengan istilah Dana Pembelanjaan Rawan Dhemit. Pemaknaan ini mencerminkan tindakan yang dilakukan oleh DPRD. Masyarakat juga memaknai tindakan DPRD sebagai kegiatan kerja yang bersifat monoton yaitu rapat-rapat atau sidang saja. Dari pandangan masyarakat sebagai informan dalam penelitian ini dapat diidentifikasi beberapa pola

20

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 1, Maret 2009, 55 - 63

perilaku DPRD: 1) DPRD sebagai penyalur aspirasi rakyat 2) DPRD berperilaku sebagai pembuat kebijakan 3) DPRD berperilaku untuk memutuskan anggaran 4) DPRD hanya melakukan kegiatan rapat-rapat saja 5) DPRD melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan rencana kerja yang telah tersusun atau rencana kerja yang secara yuridis formal telah disahkan 6) DPRD melakukan pekerjaan penggunaan dana rakyat untuk kepentingan sendiri 7) DPRD sebagai makelar proyek, yakni dengan mengadakan kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan secara finansial. Dari identifikasi di atas maka ada faktor penting yang mampu membentuk pola perilaku tersebut. Faktor penting tersebut adalah input dan output yang berdasarkan pada pandangan bahwa manusia adalah sistem yang terbuka, yang berinteraksi dengan lingkungan dan hidup dalam lingkungan. Menurut pendapat ini manusia mendapatkan input dari lingkungan dan melakukan tindakan atau perilaku tertentu. Tindakan dan perilakunya merupakan masukan bagi lingkungannya (Indrawijaya, 1989).

Pola perilaku yang muncul dari anggota DPRD merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003: 163) yang dipengaruhi oleh berbagai faktor: pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosio-budaya masyarakat. Identifikasi pemaknaan istilah DPRD yang dikemukakan oleh masyarakat di atas dipandang masyarakat sebagai perilaku menyimpang, yakni antara lain tindakan: KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), Money Politics. Korupsi dapat dimaknai sebagai perilaku pejabat publik, politikus dan pegawai negeri yang secara tidak wajar dan ilegal dipergunakan untuk memperkaya dirinya sendiri atau memperkaya mereka yang dekat dengan kekuasaan. Menurut pandangan hukum, korupsi meliputi atas pelanggaran hukum yang berlaku, penyalahgunaan wewenang, merugikan negara, dan memperkaya diri. Maraknya korupsi menunjukkan adanya sebuah tantangan bagi perkembangan demokrasi yang ada di Indonesia, terutama dalam upaya untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik (Good Governance). Secara umum korupsi mengurangi dan mereduksi kemampuan institusi tertentu khususnya dalam hal ini adalah DPRD. Dan pada waktu yang bersamaan tindakan korupsi yang dilakukan oleh anggota legislatif di Sidoarjo atas penggu-

Lusi Andriyani, Persepsi Masyarakat Terhadap Perilaku...

21

naan APBD telah mempersulit legitimasi dan upaya untuk membangun demokrasi dengan meningkatkan kepercayaan dan toleransi. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi karena menimbulkan distorsi dan inefisiensi. Korupsi juga memungkinkan terjadinya kekacauan pada sektor publik yang memungkinkan adanya upaya-upaya untuk mereduksi pelayanan publik sehingga apa yang seharusnya dapat dinikmati oleh masyarakat tidak dapat terpenuhi dengan baik. Tindakan menyimpang DPRD dalam hal ini korupsi mencakup penyalahgunaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang berupa: 1. pengurangan jam kerja 2. penyalahgunaan uang APBD 3. penggunaan peralatan kantor 4. pungli (pungutan liar) 5. korupsi dana Surat Perjalanan Dinas 6. korupsi Dana Proyek Kerja Dalam bidang politik sangat sulit untuk membuktikan adanya tindakan menyimpang atau korupsi yang dilakukan oleh DPRD. Namun lebih sulit lagi untuk membuktikan adanya ketiadaan korupsi di lembaga legislatif tersebut. Tampaknya, korupsi yang ada di lembaga tersebut dipandang sebagai tindakan yang lumrah atau suatu hal biasa yang dilakukan oleh masyarakat.

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PERILAKU MENYIMPANG ANGGOTA DPRD Tanggapan masyarakat tentang fenomena perilaku menyimpang anggota DPRD cukup beragam. Masyarakat Sidoarjo telah banyak mengetahui kasus korupsi yang dilakukan anggota DPRD Sidoarjo sebagai tindakan atau perilaku menyimpang. Namun di sisi lain ada masyarakat Sidoarjo yang tidak pernah mendengar mengenai tindakan korupsi tersebut. Hal ini terungkap dari pernyataan Ibu Rochma sebagai ibu rumah tangga. Keterbatasan informasi yang diperoleh menggambarkan kurangnya akses yang diperoleh Ibu Rochma. Fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat yang semestinya berfungsi sebagai kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan belum berfungsi secara maksimal. Ibu Rochma mempunyai pemikiran tersebut dikarenakan faktor pendukung, pengalaman, serta kemampuan menghayati stimulus yang masih kurang. Pula ibu Rochma hanya sebagai ibu rumah tangga yang terbiasa dengan pergaulan terbatas hanya di lingkungan domestik belaka. Informan lain memberikan tanggapan bahwa tindakan korupsi yang dilakukan oleh anggota DPRD merupakan hal yang biasa-biasa saja. Tanggapan tersebut dikemukakan oleh Andri seorang pegawai swasta. Persepsi Andri yang memandang bahwa tindakan menyim-

22

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 1, Maret 2009, 55 - 63

pang anggota DPRD Sidoarjo khususnya tindakan korupsi, dipandang sebagai hal yang lumrah dan biasa dilakukan oleh semua orang. Munculnya persepsi ter-sebut juga di pengaruhi oleh pengalaman sosial yang telah dialami oleh Andri. Sebagai seorang yang mempunyai pekerjaan di sektor swasta hal tersebut sering dilakukan, bahkan masyarakat umum banyak yang melakukan tindakan tersebut. Ada juga beberapa informan yang acuh tak acuh terhadap tindakan menyimpang (korupsi) yang dilakukan oleh anggota DPRD. Seperti yang tergambar dari pernyataan Bapak Masud seorang pegawai swasta. Sikap acuh tak acuh dari masyarakat memberikan gambaran bahwa perilaku yang dilakukan oleh anggota DPRD sebagai perilaku yang terpisah dari diri masyarakat. Pernyataan seperti di atas terjadi ketika masyarakat belum menyadari bahwa DPRD merupakan wakil serta cerminan masyarakat di lembaga legislatif. Sebagai cerminan masyarakat sudah selayaknya DPRD memperjuangkan aspirasi rakyat dan berupaya untuk melaksanakan semua tugas untuk kepentingan rakyatnya. Semua yang terpaparkan tersebut merupakan persepsi yang terbangun dalam masyarakat. Persepsi sebagai tanda dari kemampuan seseorang untuk mengenal dan memaknakan suatu objek dan tindakan menurut Scheerer (dalam Salam, 1984) merupakan sebuah representasi

yang fenomenal tentang objek distal sebagai hasil dari pengorganisasian dari objek distal itu sendiri, medium dan rangsangan proksinal. Persepsi mengenai dunia oleh pribadi-pribadi yang berbeda juga akan berbeda karena setiap individu menanggapinya dengan aspek-aspek situasi tadi yang mengandung arti khusus sekali bagi dirinya (Chaplin, J P 1999). , Persepsi terhadap tindakan dan perilaku anggota DPRD Sidoarjo yang dikemukakan oleh ibu Rochma, Andri, dan Masoed merupakan sebuah proses pemaknaan yang muncul dari diri mereka masing-masing dan secara psikologis sangat dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan dan lingkungan sosial secara umum. Dan bisa jadi dipengaruhi oleh pengalaman, cara berpikir, serta situasi batin atau minat masing-masing orang terhadap fenomena tersebut. Karena sifatnya yang subjektif tersebut, maka tidak mengherankan apabila terjadi perbedaan pandangan dan pemahaman. SIKAP DAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP ANGGOTA DPRD Sikap dan kepercayaan masyarakat merupakan implikasi yang terbangun karena adanya pemaknaan dan persepsi yang ada dalam masyarakat. Informan penelitian sebagai representasi dari masyarakat Sidoarjo telah memaknai perilaku menyimpang anggota DPRD

Lusi Andriyani, Persepsi Masyarakat Terhadap Perilaku...

23

Sidoarjo sebagai tindakan korupsi yang secara formal menyimpang dari aturan. Informan juga mempunyai persepsi bahwa tindakan korupsi yang dilakukan oleh anggota DPRD Sidoarjo pada tahun 1999 2004 berkaitan dengan penggunaan dana APBD merupakan hal yang lumrah, biasabiasa saja bahkan ada informan yang menanggapi tindakan tersebut dengan sikap acuh tak acuh serta mengecam. Pemaknaan dan persepsi masyarakat Sidoarjo mengenai anggota DPRD yang terwakili oleh informan akan berpengaruh pada sikap dan kepercayaan masyarakat terhadap anggota DPRD itu sendiri. Sikap dan kepercayaan yang terbangun dalam masyarakat akan dapat dilihat dari bentuk partisipasi politik yang ada dalam masyarakat. Partisipasi politik dapat dibedakan menjadi tiga yaitu partisipasi aktif, pasif dan tidak aktif. 1. Partisipasi aktif adalah kegiatan yang sifatnya mempengaruhi proses input politik seperti mengajukan petisi, demonstrasi, kontak dengan pejabat pemerintah, anggota aktif atau pengurus partai politik, mengajukan alternatif keputusan politik yang berlainan yang dibuat oleh pemerintah. 2. Partisipasi pasif merupakan tindakan melaksanakan output seperti mentaati hukum, membayar pajak, dan memelihara ketertiban dan keamanan. 3. Partisipasi tidak aktif merupakan

tindakan untuk tidak melakukan apaapa seperti tidak membayar pajak, tidak mentaati peraturan, tidak menghadiri kampanye politik dan tidak menjadi anggota aktif partai politik (Surbakti: 105). Ada dua pendekatan yang digunakan untuk menilai tinggi rendahnya partisipasi politik (op. cit., 122): 1. pendekatan disposisional yang berasumsi bahwa lingkungan sosial tidak mempengaruhi perilaku politik secara langsung melainkan berpengaruh melalui faktor kepribadian sebagai faktor perantara. 2. pendekatan kontekstual yang berasumsi bahwa sikap dan perilaku seorang individu dalam masyarakat ditentukan oleh lingkungan sosialekonomi dan politik masyarakat tempat individu tersebut hidup. Faktor yang termasuk di dalam kategori ini antara lain adalah status sosial, status ekonomi, kelas, kultur dan tipe rezim yang berkuasa dalam masyarakat. Dari dua pendekatan itu, faktor kontekstual dan disposisi merupakan faktor yang mempengaruhi partisipasi politik. Faktor kontekstual mungkin dapat mempengaruhi secara langsung terhadap perilaku/ partisipasi politik, tetapi mungkin juga tidak berpengaruh secara langsung melainkan pengaruhnya itu melalui faktor

24

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 1, Maret 2009, 55 - 63

disposisi. Sedangkan faktor disposisi selain dipengaruhi oleh lingkungan juga oleh faktor bawaan dan faktor individu lainnya. Faktor disposisi akan berpengaruh secara langsung terhadap perilaku/ partisipasi politik asalkan faktor kontekstual tidak terlalu berpengaruh secara langsung terhadap perilaku. Apabila dilihat dari pendekatan disposisional, persepsi dan pemaknaan yang diberikan oleh masyarakat tidak berkaitan dengan seberapa dekat masyarakat dengan anggota DPRD sebagai wakil mereka. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan yang disampaikan oleh Sutrisno: Aku gak kenal karo anggota DPRD sing tak pilih, pokoke melu pemilu (Saya tidak mengenal anggota DPRD yang saya pilih, pokoknya ikut pemilu). Walaupun Sutrisno tidak mengenal wakil rakyat yang dipilihnya, Sutrisno tetap melakukan kewajibannya sebagai warga negara yang baik yaitu menggunakan hak pilihnya dan membayar pajak sebagai bentuk partisipasi. Partisipasi pasif yang ditunjukkan oleh informan tersebut memberikan gambaran bahwa masyarakat memperlakukan pola dan proses politik secara terpisah. Dimana mereka memilih dan mengikuti pemilu hanya sebagai sebuah ketaatan warga negara tanpa mempunyai alasan khusus mengapa memilih wakil tersebut. Sedangkan membayar pajak dan menjaga ketertiban sebagai bagian dari

kehidupan masyarakat yang ada di sekitarnya mempunyai pengaruh langsung dalam kehidupan sehari-hari. Persepsi, tanggapan, pemaknaan, dan sikap masyarakat yang tercermin dalam partisipasi politik ataupun yang lainnya, bukan berarti dapat menjadi landasan untuk menjustifikasi bahwa masyarakat akan selalu memilih wakilnya. Data di atas dapat menjadikan acuan bahwa tidak semua proses berjalan linier antara persepsi masyarakat terhadap perilaku menyimpang anggota DPRD dengan sikap dan partisipasi masyarakat. Masyarakat akan tetap membayar pajak dan menjaga ketertiban walaupun mereka mengetahui tindakan korupsi yang dilakukan oleh anggota DPRD. Namun di sisi lain masih ada rasa kecewa dari masyarakat terhadap anggota DPRD sebagai wakil mereka dengan konsekuensi tidak memilih pada pemilu yang akan datang apabila wakil atau calon anggota DPRD tersebut sama atau mencalonkan kembali.

SIMPULANBerkaitan dengan pola perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anggota DPRD, masyarakat mempunyai identifikasi tersendiri di mana ada beberapa perilaku atau tindakan yang dimaknai sebagai perilaku menyimpang, di antaranya: DPRD melakukan pekerjaan

Lusi Andriyani, Persepsi Masyarakat Terhadap Perilaku...

25

yang tidak sesuai dengan rencana kerja yang telah tersusun atau rencana kerja yang secara yuridis formal telah disahkan, DPRD melakukan penyalahgunaan dana rakyat untuk kepentingan sendiri, DPRD sebagai makelar proyek, melakukan kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan secara finansial. Bahkan masyarakat mengidentifikasi korupsi sebagai tindakan menyimpang dengan berberapa bentuk, antara lain: pengurangan jam kerja, penyalahgunaan uang APBD, pengunaan peralatan kantor, pungli (Pungutan Liar), korupsi dana perjalanan dinas, maupun korupsi dana proyek kerja. Selanjutnya dengan mamahami pemaknaan dan persepsi masyarakat terhadap perilaku menyimpang anggota DPRD maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa perilaku menyimpang yang dilakukan oleh para anggota DPRD tidak linier dengan kehidupan mereka seharihari dalam bermasyarakat. Masyarakat tetap membayar pajak dan menjaga ketertiban dengan baik. Implikasi langsung bagi partisipasi politik adalah masyarakat akan melakukan tindakan untuk tidak memilih anggota DPRD pada pemilu yang akan datang apabila anggota yang dicalonkan tersebut ternyata orang yang sama dan pernah menduduki jabatan sebagai anggota DPRD pada periode tersebut.

DAFTAR PUSTAKAArikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Duverger, Maurice. 2000. Sosiologi Politik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hamzah, Andi. 2005. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Kristiadi, J. 1996. Pemilihan Umum dan Perilaku Pemilih di Indonesia. Prisma. 3 Maret. Moleong, Lexy J. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Santoso,Sam. 2003. The Art of Corruption. Surabaya: PT Temprina Media Grafika. Suseno, Frans-Magnis. 1994. Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Utama. Sugiyono. 1998. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. Suryabrata, Sumadi. 1992. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Pers. Thoha, Miftah. 1999. Perilaku Organisasi. Jakarta : PT Grafindo Persada. Umar, Husein. 2002. Metode Riset Komunikasi Organisasi. Jakarta: PT Gramedia. NN. 2003. Kabupaten Sidoarjo dalam Angka. CV Aneka Surya. www.pikiranrakyat.com. Badan kehormatan DPRD Bisakah Kehormatan Wakil Rakyat di Pulihkan?. _____ Quo vadis DPRD. www.jaringanislamliberal.com. Pemilu dan Pluralisme Pilihan Politik.

EVALUASI KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI TAHUN 1429 H/2008Andik Afandi(Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Jln. Mojopahit 666 B Sidoarjo, Telp.: 031-8945444, Faks.: 031-8949333, e-mail: [email protected])

ABSTRACT The Indonesian policy of hajj services that studied by participative research (case study 1429 H/2008) with descriptive-qualitative analysis concluded that its need the management improvement assessment and action fund management, event organization, traveling management, guidance services, healthcare services, information and communication services, and administrative services could be better service quality at the next time. Keywords: Hajj services, hajj management, hajj worship, hajj community.

PENDAHULUANPenyelenggaraan ibadah haji tahun 1429 H menjelang penghujung tahun 2008 M merupakan penyelenggaraan ibadah haji kali pertama pasca penetapan kebijakan baru penyelenggaraan ibadah haji yang diatur dengan Undang-undang Republik Indonesia (RI) nomor 13 tahun 2008 (UU 13/2008) tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, menggantikan UU Haji yang lama (UU 17/1999). Dinyatakan bahwa pembentukan UU baru tersebut dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan perkembangan tuntutan masyarakat, yang juga diperlukan upaya penyempurnaan sistem dan manajemen27

nya agar berjalan dengan (makin) aman, tertib, dan lancar serta adil, transparan, dan akuntabel. Ibadah haji diselenggarakan dengan asas keadilan, profesionalitas dan akuntabilitas dengan prinsip nirlaba (pasal 2), dengan tujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan dan perlindungan yang sebaik-baiknya bagi jemaah haji agar dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan ajaran agama Islam (pasal 3). Untuk itu pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi (dan dokumen), bimbingan ibadah haji, akomodasi (dan

28

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 1, Maret 2009, 85 - 101

konsumsi), transportasi, pelayanan kesehatan, keamanan, dan lain-lain. (pasal 6). Jelas bahwa penyelenggaraan ibadah haji bagi Indonesia merupakan dan menyangkut suatu kebijakan, yang bertujuan meng-utamakan kepentingan publik (Islamy, 2002), khususnya jamaah haji. Dari pemberitaan di berbagai media, banyak yang menilai bahwa penyelenggaraan ibadah haji 1429 H merupakan penyelenggaraan terburuk, kendati Menteri Agama (Menag) RI membantah dan berpendapat sebaliknya kendati beliau akhirnya sempat mengemukaan permintaan maafnya (infohaji 02/2009). Mengundang polemik dan menimbulkan kontroversi, perbedaan sudut pandang penilaian yang lazim terjadi ketika beropini tentang suatu kebijakan (dan hajat) publik (Wahab, 1997). Yang jelas, Menag pun akhirnya menyampaikan permohonan maafnya (infohaji 02/2009). Belakangan, kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahkan menggagas dibentuknya panitia khusus (Pansus) untuk menelisik lebih jauh. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis lebih lanjut sebagai evaluasi (Sutopo dan Sugiyanto, 2001) atas kebijakan penyelenggaraan ibadah haji 1429 H tersebut, agar diperoleh sudut pandang yang lebih obyektif atasnya guna diperoleh feed-back bagi perbaikannya (Dunn, 1993), dengan fokus pada penyelenggaraan haji reguler.

METODE PENELITIANStudi ini dilakukan dengan metode participatory research, di mana pengambilan datanya dilakukan dengan teknik pengamatan berperan serta (participant observation). Peneliti terlibat dengan menjadi salah satu anggota jamaah haji 1429 H pada rombongan (rom) 1 kelompok terbang (kloter) 06 embarkasi Surabaya (SUB06) (Kota Pasuruan). Untuk itu analisis akan dilakukan secara kualitatif --baik atas data kualitatif maupun atas data kuantitatif- yakni dengan cara men-deskripsikannya (deskriptif). Dengan menggunakan metodologi serta teknik penelitian dan analisis tersebut, studi ini tentu saja memiliki keterbatasan dalam hal generalisasi.

DESAIN KEBIJAKANSistem (kebijakan dan pelaksanaan) penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia dirancang sebagai tugas (atau hajat) nasional (pasal 8 ayat (2) UU 13/2008), yang menempatkan pemerintah dalam hal ini (dhi) Depag RI sebagai regulator sekaligus operator, khususnya bagi ibadah haji reguler (sedangkan untuk haji khusus atau yang lebih dikenal dengan sebutan haji plus Depag melimpahkan sebagian besar wewenang dan kewajiban serta tanggungjawabnya dengan cara memberikan lisensi kepada lembaga biro perjalanan tertentu yang dipandang memiliki kemam-

Andik Afandi, Evaluasi Kebijakan Penyelenggaraan Ibadah Haji...

29

puan, kompetensi dan komitmen). Pada musim haji 1429 H, dari kuota sebanyak 210.000 jamaah haji, 191.000 di antaranya berstatus reguler, sementara 19.000 lainnya khusus (infohaji 02/2009). Dalam melaksanakan tugasnya, Depag RI memiliki kelembagaan Direktorat Jenderal (Ditjen; yang dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal/Dirjen) Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang memiliki kepanjangan organisasi hingga ke tingkat Kantor Wilayah (Kanwil; di tingkat provinsi) dan Kantor Departemen (Kandep; di tingkat kabupaten/kota) bahkan hingga Kantor Urusan Agama (KUA; di tingkat kecamatan). Dalam pelaksanaannya, Depag berkoordinasi dengan pihak pemerintah daerah (Pemda) dalam hal ini Gubernur (kepala Pemda provinsi) dan Bupati (kepala Pemda kabupaten)/Walikota (kepala Pemda Kota) serta perwakilan RI untuk Arab Saudi. Gubernur dan Bupati/Walikota berperan memberikan dukungan administrasi, kependudukan, kewilayahan dan transportasi domestik, sementara perwakilan RI untuk Arab Saudi diperlukan guna berkoordinasi dengan pemerintah kerajaan Arab Saudi, selain dukungan lapangan selama prosesi ibadah haji. Selain itu, di setiap embarkasi, Depag memiliki institusi asrama transito bagi jamaah haji, guna kelancaran proses pemberangkatan dan pemulangannya. Penyelenggaraan ibadah haji setiap

tahunnya dikelola dengan membentuk kepanitiaan, yakni Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPHI) yang terdiri dari Tim Pemandu Haji Indonesia (TPHI), Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI), Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) ditambah dengan Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD) dan Tim Kesehatan Haji Daerah (TKHD). Di Arab Saudi, kepanitiaan meliputi Markas Besar (Mabes) yang berkedudukan di kantor Konsulat Jenderal RI Bidang Haji di Jeddah bagi 3 (tiga) Daerah Kerja (Daker) yakni Jeddah, Makkah dan Madinah yang masing-masing terbagi menjadi beberapa sector. Tiap-tiap Sektor terdiri dari beberapa Maktab yang berfungsi sebagai group services bagi beberapa penginapan jamaah. Sebagaimana halnya kepanitiaan di Arab Saudi yang pada dasarnya bersifat adhoc, personelnya pun sebagian besar merupakan tenaga yang direkrut secara musiman (temus). Di luar itu, terdapat sebuah komisi independen bernama Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) yang beranggotakan 9 orang (6 dari unsur masyarakat dari unsur Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta organisasi/tokoh masyarakat Islam dan 3 dari unsur pemerintah). Komisi ini bertugas mengawasi dan memantau penyelenggaraan ibadah haji serta memberikan pertimbangan guna penyempurnaannya; dan melaporkannya kepada Presiden dan DPR. UU 13/2008 meng-

30

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 1, Maret 2009, 85 - 101

amanatkan pembentukan KPHI selambatlambatnya 28 April 2009. Adapun lingkup kewajiban pemerintah selaku penyelenggara yang mengelola dan melaksanaan penyelenggaraan ibadah haji antara lain adalah: (1) menetapkan besarnya Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH); (2) melakukan pembinaan peribadatan haji; (3) menyediakan akomodasi yang layak; (4) menyediakan transportasi; (5) menyediakan konsumsi; (6) memberikan layanan kesehatan; serta (7) memberikan pelayanan administrasi dan dokumen; kepada para jamaah haji.

(SISKOHAT) melalui bank yang ditunjuk di mana calon jamaah haji membuka rekening tabungan haji,. Karena calon jamaah haji yang memiliki hak berangkat telah terlebih dahulu menyetor sejumlah Rp20.000.000,00 ke rekening Menag RI untuk mendapatkan porsi haji. Selisih waktu antara pembayaran porsi dengan pelunasan bervariasi bergantung animo keberangkatan haji di masing-masing provinsi/kabupaten/kota (oleh karena kuota nasional dibagi lagi ke dalam kuota provinsi; dan di sebagian provinsi kuota tersebut dibagi lagi menjadi kuota kabupaten/kota). Daftar tunggunya bervariasi rata-rata berkisar antara 23 tahun untuk musim haji 1429 H, dan makin panjang/lama sekarang ini. Hal ini menunjukkan animo masyarakat untuk berhaji yang cenderung terus meningkat dari waktu ke waktu. realitas ini jelas tergambar pula dari kenyataan bahwa pada hari pertama pelunasan saja tidak kurang dari 38.032 jamaah yang telah melunasi BPIH-nya (depag.go.id). BPIH yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden RI nomor 53 tahun 2008 (Perpres 53/2008) tentang BPIH 1429 H/2008 M tersebut untuk kali pertama ditetapkan secara berbeda (dalam denominasi US$) berdasarkan 11 embarkasi dengan mempertimbangkan proporsionalitasnya untuk penerbangan dari dan ke embarkasi menuju atau bertolak ke/dari Jeddah atau Madinah (Aceh dan

PEMBAHASANPenetapan BPIH Pada 22 Juli 2008, Depag mengumumkan BPIH rata-rata sebesar US$3387 + Rp501.000,00; yang terdiri dari komponen biaya penerbangan ratarata sebesar US$1859 (54%), biaya operasional di Arab Saudi termasuk living cost sebesar US$1528 dan biaya operasional di dalam negeri sebesar Rp501.000,00 (okezone.com). Total biaya tersebut wajib dilunasi (antara 11 Agustus hingga 10 September 2008) oleh calon jamaah haji dalam denominasi rupiah tergantung kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (US$) yang setiap harinya diumumkan oleh Depag melalui Sistem Informasi Haji (SIH)/Sistem Informasi Komputerisasi Haji Terpadu

Andik Afandi, Evaluasi Kebijakan Penyelenggaraan Ibadah Haji...

31

Padang US$3258, Medan dan Batam US$3292, Palembang dan Solo US$3379, Jakarta dan Surabaya US$3430, Banjarmasin, Balikpapan dan Makassar US$3571), tidak lagi berdasar-kan zona. Dengan besaran tersebut, maka dengan menggunakan patokan kurs Rp9.300,00 per US$1 berarti kenaikannya dibanding tahun sebelumnya adalah rata-rata sebesar US$450 di setiap embarkasi; paling rendah embarkasi Aceh dan Padang yakni Rp 4.430.540,00 serta paling tinggi Jakarta dan Surabaya yakni Rp 5.081.620,00 (Real Time Information System/RTIS) atau berkisar 30% (indosiar. com), yang dinyatakan Menag bahwa Kenaikan yang terjadi, sepenuhnya lebih karena naiknya harga penerbangan (menggunakan maskapai penerbangan Garuda Indonesian Airways/GIA 107.465 jamaah dan menggunakan Saudi Arabian Airlines/SAA 86.000 jamaah) sebagai akibat naiknya harga minyak dunia. Sedangkan komponen lain yang naik, biaya tinggal di Arab Saudi, hanya sedikit, lebih disebabkan oleh kenaikan kurs (RTIS). Mengenai struktur kurs matauang yang dalam 2 (dua) kurs (US$ untuk biaya penerbangan dan biaya operasional di Arab Saudi serta Indonesian Rupiah/IDR biaya di tanah air) kiranya akan lebih baik lagi manakala ditetapkan sekalian saja dalam 3 (tiga) kurs, yakni US$ untuk biaya penerbangan dan Saudi Arabian Rial/SAR untuk biaya operasional di Arab Saudi

serta Indonesian Rupiah/IDR. Toh biaya operasional selama di Arab Saudi transaksi yang dilakukan (seharusnya) memang menggunakan matauang setempat, apalagi di dalamnya termasuk living cost selama di Arab Saudi yang memang diterimakan kepada jamaah dalam SAR. Dengan demikian jamaah diuntungkan dengan tidak perlu diperhitungkannya biaya alih kurs karena berhadapan dengan kurs jual US$ dan kurs beli SAR, sementara Depag diuntungkan dengan tidak perlu terlalu sibuk dengan penukaran kurs US$ ke SAR. Tentang saat penetapan BPIH yang cenderung lambat (biasanya bulan Mei sudah dapat ditetapkan) sangat mungkin terkait dengan alotnya negosiasi dengan 2 (dua) maskapai penerbangan yang ditunjuk, oleh karena berfluktuasi (cenderung naik secara tajam)-nya harga minyak mentah dunia dan dengan demikian harga bahan bakar minyak (BBM) pesawat (avtur), padahal fuel surecharge cukup mendominasi harga tiket pesawat. Alhasil, BPIH ditetapkan 11 hari dari saat tercapainya harga puncak minyak pada 11 Juli 2008 sebesar US$147,27 per barel (Kompas, 20 Juli 2008). Jelas, ini menguntungkan pihak maskapai secara sepihak yang dengan demikian cenderung merugikan jamaah terutama, sebagaimana diungkapkan Menag, bahwa kenaikan BPIH sepenuhnya karena kenaikan biaya

32

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 1, Maret 2009, 85 - 101

penerbangan akibat kenaikan harga pasar internasional BBM; apalagi ternyata kontrak Depag dengan kedua maskapai tidak mengandung klausul perubahan harga jika seharusnya demikian. Dan ternyata, pada saat pelaksanaan ibadah haji, harga minyak dunia mengalami penurunan yang cukup tajam hingga berada di kisaran US$56-an saja. Dengan asumsi bahwa harga minyak mentah tertransformasikan ke produk hilir dalam waktu 2 (dua) mingguan saja, maka sesungguhnya sangat mungkin untuk dilakukannya koreksi harga biaya penerbangan haji. Kendati Menag berkilah bahwa kontrak harga penerbangan bersifat fix (antara lain untuk maksud melindungi jamaah jika yang terjadi justru sebaliknya dan faktanya pada periode tersebut harga tiket penerbangan internasional cenderung tetap, namun hal ini menunjukkan lemahnya posisi tawar pemerintah berhadapan dengan mitra kerjanya (karena menyangkut volum yang signifikan), padahal penetapan BPIH semula justru ditunda (sehingga mengamankan maskapai). Terkait hal ini, tak kurang Indonesian Corruption Watch (ICW) yang coba mengkritisinya (infohaji 02/2009) namun hingga kini tak terdengar tindak lanjutnya. BPIH juga dikritik berbagai kalangan karena menggunakan pola setor tunai sebesar Rp20.000.000,00 sebagai porsi untuk kemudian mengendap di rekening

Menag selama bertahun-tahun, di mana keuntungan daripadanya akan dipergunakan untuk pembiayaan tidak langsung penyelenggaraan ibadah haji. Di samping ke-tidak langsung-an suatu biaya bersifat debatable juga bukankah hal tersebut pada dasarnya dapat dipandang sebagai beban tambahan bagi jamaah (opportunity cost), sesuatu yang secara prinsip hendak dihindari sebagaimana diamanatkan UU 13/2008? Dan dengan bertambah panjangnya antrian calon jamaah, maka semakin bertambah besar pula akumulasi dana mengendap tersebut. Menilik kelemahan sistem pengendalian internal dan pengelolaan keuangan serta berbagai pemborosan dan inefisiensi pengelolaan dana yang terjadi pada musim haji 1427 H/2006 M (bpk.go.id) maka patut kiranya diambil langkah perbaikan sistemik agar kecenderungan penyelewengan dan penyimpangan tidak terjadi. Pembinaan Ibadah Haji Pembinaan ibadah haji dilakukan sejak sebelum keberangkatan hingga kepulangan jamaah dari tanah suci. Pembinaan tersebut dilakukan melalui berbagai cara, antara lain secara tertulis melalui buku-buku dan/atau pemberitahuan/pengumuman tertulis, melalui tatap muka dan praktik bimbingan manasik haji sebelum keberangkatan maupun penyampaian informasi maupun petunjuk serta pemberitahuan/pengumuman secara lisan

Andik Afandi, Evaluasi Kebijakan Penyelenggaraan Ibadah Haji...

33

selama prosesi perjalanan ibadah. Materi tertulis yang diberikan sebelum keberangkatan adalah 1 (satu) set buku paket bimbingan manasik yang terdiri dari: (1) panduan perjalanan haji; (2) bimbingan manasik haji; (3) hikmah ibadah haji; dan (4) tuntunan keselamatan, doa dan dzikir ibadah haji. Itu masih ditambah lagi dengan buku panduan singkat dan praktis dari pihak Kanwil Depag dan (umumnya) dari pihak Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) setempat. Secara keseluruhan menyangkut materi, buku-buku tersebut kiranya telah mencukupi. Kecukupan materi tersebut terasa karena pihak Depag bahkan masih menambahkan 1 (satu) buku lagi yang dibagikan sesaat menjelang kepulangan, yakni Panduan Pelestarian Haji Mabrur. Khusus buku paket keempat yang berisikan tuntunan keselamatan, doa dan dzikir ibadah haji yang formatnya lebih kecil disertai tali untuk dikalungkan sangat membantu jamaah. Hanya saja untuk buku-buku dari Depag nampaknya proses editing finalnya masih dapat diperbaiki (penampilannya kurang menarik untuk lebih mengundang minat baca) serta editing updating menyangkut detil perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu (buku yang dibagikan dalam kata pengantarnya telah mengutip UU Haji yang baru namun dalam isinya masih mengutip UU Haji yang lama). Selain itu informasi tentang tidak adanya penyeleng-

garaan sholat Ied di Mina, misalnya, tidak tertuang. Kendati secara material sudah cukup dan mencakup namun diperlukan kejelian ekstra untuk memahaminya secara baik dengan belajar daripadanya. Apalagi terkadang terdapat informasi yang berbeda dengan yang diberikan oleh Kanwil maupun KBIH, maka dengan dayabaca rata-rata pada umumnya calon jamaah terkadang justru menimbulkan pertanyaan dan/atau kebingungan tersendiri (sebagai perbandingan, buku-buku haji yang diterbitkan secara internasional dan yang beredar di Arab Saudi (semisal Petunjuk Ibadah Haji terbitan Divisi terjemah Al-Sulay Corporative Office for Call & Guidance at Al-Sulay; brosur Manasik Haji terbitan Kementerian Haji Kerajaan Arab Saudi; Panduan Ibadah Haji dalam tabloid harian Makkah Melayu edisi Kamis 4 Desember 2008; Haji Umrah dan Ziarah terbitan Departemen Urusan Keislaman, Wakaf, Dakwah dan Bimbingan Islam Kerajaan Arab Saudi; Alleviating the Difficulties of the Hajj terbitan Islamtoday Book; Hajj and Umrah Guide terbitan Minister of Islamic Affairs, Waqf and Irshad Salih bin Abdul-Aziz bin Muhammad Aal ash-Shaikh; dll) yang cenderung lebih simpel, ringkas dan padat sehingga lebih mudah diikuti/dipahami). Buku-buku yang dibagikan sebelum keberangkatan tersebut pada dasarnya merupakan bahan bagi bimbingan

34

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 1, Maret 2009, 85 - 101

manasik, yang dijadualkan untuk diselenggarakan sebanyak 14 kali pertemuan. Realisasinya, pertemuan tersebut dilakukan 1 kali bagi keseluruhan jamaah di tingkat kabupaten/kota yang karena jumlahnya yang banyak menjadi cenderung kurang efektif, 3 kali di Kandepag secara berkelompok berdasarkan domisili kecamatan (cukup efektif), sementara sisanya dilakukan di tingkat KUA. Yang diselenggarakan di KUA, dilaksanakan di KBIH, dengan dihadiri petugas KUA. Jumlah dan jadual pertemuan kurang terorganisasi dengan baik, antara lain karena ketersediaan waktunya yang sudah mepet (rangkaian pertemuan terhalangi oleh Ramadhan dan Iedul Fitri) dan para jamaah haji mandiri yang pada kenyataannya dititipkan pada KBIH cenderung kikuk berada di lingkungan KBIH (oleh karena pengelolaan acaranya menjadi cenderung khusus di samping kehadiran petugas KUA menjadi kurang efektif). Sayang, sesi praktik dan simulasi lapangan di halaman asrama haji Sukolilo Surabaya akhirnya ditiadakan. Terkait dengan pengorganisasian jamaah dalam bentuk kelompok terbang (kloter) sebanyak 450-an orang sesuai dengan kapasitas tempat duduk pesawat pengangkut yang diketuai oleh seorang Ketua Kloter (dari pihak Depag) beserta para petugas TPHI dan TKHI untuk kemudian dipecah dalam 10 rombongan (45 orang) dengan diketuai oleh seorang

ketua rombongan (karom) yang setiap rombongan terdiri dari 4 regu yang dipimpin oleh seorang ketua regu (karu) efektifitasnya terasa terkait dengan arus lalu-lintas informasi namun kurang efektif di lapangan, karena pelaksanaan ibadah di lapangan yang sebenarnya lebih efektif dalam kelompok kecil justru cenderung mengelompok besar bahkan melampaui rombongan karena cenderung bergabung dalam KBIH sehingga cenderung lamban bahkan tak jarang terasa mengganggu jamaah lain. Fungsi guidance dari pemerintah juga lemah pada saat di lapangan, antara lain oleh karena manajemen pemondokan yang satu kloter terpisah dalam dua gedung penginapan (di Madinah berjarak ratusan meter dan di Makkah bersebelahan), oleh karena kamar yang ditempati oleh personel TPHI dan TKHI justru berada di gedung yang dihuni minoritas anggota kloter. Pada saat tinggal di Makkah, salah seorang jamaah tertangkap pihak berwajib Saudi Arabia karena sesuatu sebab (tidak ada informasi jelas sebab tersebut apa), namun yang jelas pihak regu, kloter, maktab, bahkan sektor tidak mampu menjembatani untuk membantu membebaskan yang bersangkutan (ybs), sehingga yang bersangkutan harus menjalani penahanan dan dengan demikian terpisah dari rombongan termasuk untuk prosesi ibadah hajinya bahkan hingga kepulangannya (ybs baru

Andik Afandi, Evaluasi Kebijakan Penyelenggaraan Ibadah Haji...

35

kembali ke tanah air beberapa bulan kemudian). Penyediaan Akomodasi Penyediaan akomodasi di asrama transito haji Surabaya terpisah antara jamaah pria dengan jamaah wanita. Kondisinya layak, termasuk fasilitasnya. Hanya saja penyediaan akomodasi yang sesungguhnya disediakan bagi yang mengalami udzur sehingga tidak dapat langsung pulang setibanya di tanah air, ternyata memerlukan birokrasi yang sulit (tidak mudah/segera). Suasana birokratis tersebut juga terasa saat menjelang keberangkatan di mana calon jamaah selama berada dalam asrama diwajibkan mengenakan tas paspor kendati tidak berisi paspor padahal kepada masingmasing jamaah telah diberikan kartu bukti tinggal yang seharusnya cukup sebagai identitas (tidak ada pemberitahuan yang menyatakan bahwa langkah tersebut diambil semata untuk pembiasaan oleh sebab selama di tanah suci para jamaah diharapkan selalu berperilaku demikian, misalnya). Pemondokan di Madinah di Zahrah Mubarak (Mubarak Group for Hotels) berjarak cukup dekat dengan masjid Nabawi sehingga memudahkan jamaah. Kondisi kamarnya pun layak, kendati diisi secara overcapacity (berkapasitas 2 orang tetapi dihuni 4 orang). Kloter SUB06, entah mengapa, menempati 2 (dua) gedung

berjarak beberapa ratus meter, kendati kapasitas gedung mencukupi jika diatur keseluruhan tinggal di 1 (satu) gedung. Bagi yang mendapat penginapan agak jauh, kepada mereka diberikan kompensasi berupa pengembalian sebagian biaya komponen penginapan. Secara tradisi tinggal di Madinah adalah untuk melaksanakan rangkaian sholat yang biasa disebut sebagai sholat arbain yakni sholat lima waktu berjamaah di masjid Nabawi berturut-turut selama 40 waktu sehingga memerlukan setidaknya 8 hari 8 malam menginap. Jadual keberangkatan menuju Makkah ternyata diajukan sehari (semula direncanakan hampir 9 hari menjadi tepat 8 hari kendati sholat ke-40 dilakukan pada saat injury time keberangkatan ke Makkah), maka ada rombongan para anggota kepolisian RI (Polri) dari Polri Daerah Khusus Ibu-kota (metropolitan) Jakarta (Raya) (Polda Metro Jaya) yang tinggal satu gedung dengan sebagian Kloter SUB06 yang tiba di Madinah setelah kedatangan kloter SUB06 yang keberangkatannya ke Makkah beriringan dengan Kloter SUB06 terpaksa hanya menjalani 39 kali sholat berjamaah di masjid Nabawi. Sangat mungkin mereka mengalami kekecewaan. Kondisi demikian terjadi karena penghunian kamar di hotel dimaksud segera digantikan oleh jamaah kloter berikut yang sudah menyusul datang.

36

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 1, Maret 2009, 85 - 101

Pemondokan di Makkah di Zahrat Myar Building yang merupakan gedung yang samasekali baru dan pertama kali dipergunakan jamaah haji berkondisi layak, yang 1 (satu) kamarnya bervariasi (bergantung luas kamar) untuk dihuni antara 310 per kamarnya. Kekurangannya adalah karena format kamarnya yang setiap kamar terdiri dari 1 (satu) kamar mandi (KM)/water closet (WC) menimbulkan ketidaknyamanan khususnya bagi kamar-kamar besar. Di Madinah dan Makkah, penghuni kamar bercampur antara pria dan wanita. Seperti di Madinah, ketersediaan listrik dan pasokan air cukup. Hanya saja sebagai gedung bertingkat, jumlah liftnya relatif terbatas namun tersedia tangga biasa. Sebagaimana di Madinah, Kloter SUB06 juga terpisah dalam 2 (dua) gedung kendati di Makkah bersebelahan. Namun bukannya tanpa masalah, sebab penempatan kamarnya yang oleh muassasah Asia Tenggara ditentukan harus first come first in menyebabkan salah satu KBIH dengan jumlah jamaah terbesar menjadi terpisah. Protes yang dilakukan oleh pihak KBIH dan jamaah tidak berhasil mengubah keadaan, kendati pengaturannya sebelumnya konon telah disepakati sebelumnya pada saat rapat di kantor haji Daerah Kerja (Daker) Madinah beberapa hari sebelumnya. Berbeda dengan jarak penginapan dengan masjid Nabawi di Madinah yang relatif dekat, jarak

penginapan di Makkah yang berlokasi di kawasan baru yakni Umm al Judd anNuzhah area (district 5) berjarak cukup jauh dengan masjidil Haram (sekitar 7km). Dan seperti yang mengalami penempatan penginapan yang berlokasi relatif jauh di Madinah, maka yang mengalaminya di Makkah pun memperoleh kompensasi pengembalian sebagian biaya penginapan. Ketegangan sempat terjadi antar KBIH, yang berarti antar jamaahsaat pengaturan penginapan di tenda di Mina. Pasalnya, survei beberapa hari sebelumnya yang dilakukan oleh TPHI, para Karom dan para Karu yang telah menyepakati pembagian ruangan dalam tenda, ternyata menghadapi kenyataan lapangan yang berbeda karena luasan ruangan tenda berkurang akibat ditempati oleh aparat keamanan setempat. Kekecewaan terhadap TPHI pun kembali muncul, sebab kendati tenda akhirnya dihuni secara lebih sesak dari rencana semula, ketegangan antar KBIH berlangsung berkepanjangan. Penyediaan Transportasi Sebagian besar jamaah ketika di Makkah memang menempati penginapan yang jauh dan sangat tersebar di berbagai kawasan. Mengenai jauhnya, pihak Depag selalu menggunakan alasan akibat terjadinya pembongkaran 1400-an gedung di sekitar masjidil Haram seiring dengan dimulainya proyek Jabal Umar yang merupakan multiyears project

Andik Afandi, Evaluasi Kebijakan Penyelenggaraan Ibadah Haji...

37

perluasan kompleks masjidil Haram, selain makin (melambung) mahalnya biaya sewa pemondokan. Namun dari pengamatan di lapangan, dapat disimpulkan bahwa alasan tersebut cenderung dilebihlebihkan. Kenaikan harga sewa penginapan sangat mungkin hanya berlangsung secara temporer (sesaat) ketika puncak perburuan penginapan. Dan untuk kasus jamaah haji Indonesia di mana Pemerintah RI dapat mamanfaatkan uang endapan antrian calon jamaah jika tangkas menyiasati saat puncak perburuan penginapan, sangat mungkin hal tersebut dapat teratasi. Apalagi, faktanya beberapa penginapan yang berlokasi dekat dengan masjidil Haram ternyata kosong (tak berpenghuni) di saat musim haji, dan beberapa jamaah dari negara-negara kecil (Malaysia, Bangladesh, dll.) dapat tinggal di penginapan yang sangat dekat dengan masjidil Haram (walaupun ada juga jamaah haji negara lain yang juga tinggal di sekitar penginapan jamah haji Indonesia yang cukup jauh). Agaknya, pemerintah cenderung berlogika, bahwa tidak mengapa penginapan jauh, asalkan disediakan layanan transportasi. Justru di sinilah permasalahannya. Karena itu artinya diperlukan energi dan sumberdaya untuk mengelola transportasi pulang-pergi (PP) dari penginapan ke masjidil Haram. Apalagi kualitas lalu-lintas di sana tidak bisa dibilang tertib dan lancar, di samping

pada musim haji tentunya kepadatan arus lalu-lintas mencapai puncaknya. Dan pada setiap titik manajemen transportasi potensial terjadi persoalan. Bus-bus yang disediakan memang dalam kondisi layak, namun jumlahnya kurang dari dapat dibilang mencukupi. Bus-bus untuk transportasi lokal tersebut diawaki oleh sopir-sopir yang direkrut dari berbagai asal, yang banyak di antaranya tidak sungguh-sungguh mengenal dengan baik kota Makkah hingga ke sudutsudutnya; apalagi persebaran bangunan tinggal jamaah yang juga menyulitkan penyusunan rute bus. Memang, disediakan pos-pos tertentu untuk konsolidasi dan penghantaran bagi yang tersesat, namun bagi kebanyakan jamaah itu dirasa tidak cukup simpel. Rute yang ditempel di bus pun terkadang diubah secara sepihak tanpa dikomunikasikan. Bus-bus tersebut beroperasi dalam kurun waktu tertentu sebelum wuquf dan sesudahnya, dengan suatu penjadwalan; namun yang disebut dengan jadwal sebenarnya adalah jam beroperasi-nya bus, yang sangat sering mismatch dengan animo kebutuhan transportasi pada beberapa titik waktu. Di sinilah pangkal kekecewaan yang sempat memicu berbagai ketegangan (di antara para jamaah, antara jamaah dengan awak bus, bahkan antara jamaah dengan petugas lapangan transportasi). Jika transportasi lokal di Makkah banyak diwarnai dengan berbagai

38

KALAMSIASI, Vol. 2, No. 1, Maret 2009, 85 - 101

masalah, termasuk dipindahkannya terminal di dekat masjidil Haram suatu ketika di suatu siang (saat sebagian jamaah sedang berada di masjidil Haram, sehingga tidak mengetahuinya); tidak demikian halnya transportasi domestik antar titik tempat utama. Perjalanan dari Madinah ke Makkah, perjalanan ke dan dari Armina (Arafah-Muzdalifah-Mina) serta perjalanan dari Makkah ke Jeddah cenderung lancar, kecuali saat puncak kepadatan menuju Arafah (untuk persiapan wuquf) di mana bus bahkan sempat mogok beberapa jam dan saat keluar dari Mina pasca wuquf yang memang padat --kendati rombongan kami mengambil nafar awwal. Kekecewaan muncul juga ketika kepadatan puncak arus lalu-lintas di Armina yang memaksa bus datang menjemput lebih awal sebelum tengah malam saat jamaah seharusnya menginap (mabbit) atau setidaknya melewatkan tengah malam di Muzdalifah karena demikian seharusnya (Talal, 1429H dan Sheikh Abdul Aziz, 1428H) selepas wuquf di Arafah sebelum melanjutkan perjalanan ke Mina untuk lontar jumrah. Kelancaran bahkan ketepatan waktu juga terjadi dengan penerbangan menggunakan pesawat B747 368 berkapasitas 460-an penumpang (Ahlan Wasahlan, November 2008) milik maskapai SAA khususnya saat keberangkatan (Surabaya Madinah) yang tepat sesuai schedule. Waktu tempuh juga tepat saat penerbang-

an kepulangan (JeddahSurabaya) kendati take-off agak tertunda karena kekurangsigapan petugas groundhandling. Perjalanan keluar dari bandara Madinah saat kedatangan sedikit kacau karena sempat terbaur dengan jamaah dari neg