KAJIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERUSAKAN …
Transcript of KAJIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERUSAKAN …
25
KAJIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERUSAKAN GEDUNG MILIK
ORANG LAIN SECARA BERKELOMPOK
Oleh :
I Nyoman Suandika, SH.,MH
Ni Luh Sayu Hary Sudewi
Fakultas Hukum Universitas Mahendradatta, Jalan Ken Arok Nomor 12 Denpasar
([email protected], [email protected])
Abstract, The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia in Article 1 Paragraph (3)
confirms that the State of Indonesia is a state of law. The affirmation of the rule of law implies
that every action of the state and citizens must be based on and based on the law.
Demonstrations that are destructive in nature can disrupt campus order and security.
Demonstrations that end in vandalism often result in fatalities and injuries, both from the
protesters and from the security forces at the demonstration, namely campus security units and
even police. The reality shows that there are still frequent demonstrations or demonstrations
that lead to the destruction of campus facilities, which greatly disturbs the comfort and order
in carrying out campus activities. Starting from this reality, several problems arise in this
thesis, namely what are the factors that influence the criminal act of destroying other people's
buildings which are carried out in groups and what are the legal sanctions for the criminal
acts of destroying other people's buildings in groups.
The type of research used in this study is a normative legal research type, namely by reviewing
or analyzing legal materials from the literature or books and laws and regulations related to
the research to be discussed, using the statute approach and the fact approach.
The results of the discussion of this thesis are the factors that influence the criminal act of
destroying other people's buildings which are carried out in groups, namely environmental
factors, social factors, social control factors, and religious factors, as well as provocation
factors. Legal sanctions for the criminal act of destroying buildings belonging to other people
in groups are regulated in the provisions of Article 408 of the Criminal Code concerning
destroying and destroying goods as described in Article 408, which reads that whoever
intentionally and unlawfully destroys, damages or renders train buildings unusable. fire, tram,
telegraph or electricity, or buildings to stem, divide or distribute water, gas lines, water or
channels used for public purposes, is punishable by a maximum imprisonment of 4 (four years).
Keywords: Vandalism, Group, Criminal Act
Abstrak,Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 1 Ayat
(3) menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.1 Penegasan negara hukum
tersebut mengandung arti bahwa setiap tindakan negara dan warga negara harus berlandaskan
dan berdasarkan atas hukum. Unjuk rasa yang bersifat pengrusakan dapat menganggu
ketertiban dan keamanan kampus. Unjuk rasa yang berakhir pengrusakan sering kali juga
menelan korban jiwa dan luka-luka baik dari pihak pengunjuk rasa maupun dari pihak
pengamanan aksi unjuk rasa yaitu satuan keamanan (satpam) kampus bahkan polisi. Realitas
menunjukkan bahwa masih seringnya terjadi unjuk rasa atau demonstrasi yang berujung pada
1 Mustafa Kemal Pahsa Dan Kawan-Kawan, 2003, Pancasila Dalam Tinjauan Historis Dan
Filosofis Citra Karsa Mandiri, Yogyakarta, hal. 108
26
pengrusakan fasilitas-fasilitas kampus, dimana hal tersebut sangat mengganggu kenyamanan
dan ketertiban dalam melakukan aktivitas kampus. Bertolak dari realitas tersebut timbul
beberapa permasalahan dalam skripsi ini yaitu apakah faktor yang mempengruhi tindak pidana
perusakan Gedung milik orang lain yang dilakukan secara berkelompok dan bagaimanakah
sanksi hukum terhadap tindak pidana perusakan gedung milik orang lain secara berkelompok.
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian hukum
normatif yaitu dengan mengkaji atau menganalisis bahan-bahan hukum dari literatur-literatur
atau buku-buku dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian yang
akan di bahas, dengan menggunakan Pendekatan perundang-undangan dan pendekatan fakta.
Hasil pembahasan skripsi ini adalah faktor yang mempengruhi tindak pidana perusakan
Gedung milik orang lain yang dilakukan secara berkelompok adalah faktor lingkungan, factor
pergaulan, faktor kontrol social, dan faktor Keagamaan, serta faktor provokasi. Sanksi hukum
terhadap tindak pidana perusakan gedung milik orang lain secara berkelompok adalah diatur
didalam ketentuan Pasal 408 KUHP tentang menghancurkan dan pengrusakan barang
sebagaimana dijelaskan didalam Pasal 408, yang berbunyi barangsiapa dengan sengaja dan
melawan hukum menghancrukan, merusakkan atau membikin tak dapat dipakai bangunan-
bangunan kereta api trem, telegrap atau listrik, atau bangunan-bangunan untuk membendung,
membagi atau menyalurkan air, saluran gas, air atau saluran yang digunakan untuk keperluan
umum, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat tahun).
Kata Kunci : Perusakan, Berkelompok, Tindak Pidana
I. PENDAHULUAN
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dalam
Pasal 1 Ayat (3) menegaskan bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum.2
Penegasan negara hukum tersebut
mengandung arti bahwa setiap tindakan
negara dan warga negara harus
berlandaskan dan berdasarkan atas
hukum.3 Pengaturan lebih lanjut
sehubungan dengan aksi unjuk rasa dijamin
dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar
Negra Republik Indonesia Tahun 1945
yang berbunyi kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang.
Negara hukum merupakan
terjemahan dari konsep rechtstaat atau rule
of law yang bersumber dari pengalaman
2 Mustafa Kemal Pahsa Dan Kawan-Kawan, 2003, Pancasila Dalam Tinjauan Historis Dan
Filosofis Citra Karsa Mandiri, Yogyakarta, hal. 108
3 Tri Hayati, 2015, Era Baru Hukum Pertambangan, Buku Obor, Jakarta, hal. 15 4 A. Rasyid Rahman. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. UPT MKU, Universitas
Hasanuddin Makassar: Jakarta, hal. 42
demokrasi konstitusional di Eropa pada
abad ke-19 dan abad ke-20. Oleh karena
itu, ciri-ciri negara hukum antara lain:
adanya supremasi hukum, jaminan hak
asasi manusia, dan legalitas hukum. Di
negara hukum, peraturan perundang-
undangan yang berpuncak pada undang-
undang dasar (konstitusi) merupakan satu
kesatuan sistem hukum sebagai landasan
bagi setiap penyelenggara kekuasaan.
Konsep “Demokrasi” berasal dari
bahasa yunani yaitu “Demos” yang berarti
rakyat dan ”Carlos” atau “Cretein” yang
berarti pemerintahan atau kekuasaan. Jadi
“Demos-Cratos” atau “Demos- Cretein”
berarti pemerintahan rakyat atau kekuasaan
rakyat.4 Oleh sebab itu, rakyat mempunyai
pengaruh dan peranan yang sangat penting
dalam suatu pemerintahan. Dalam suatu
negara demokrasi dikenal bahwa
27
kekuasaan tertinggi berada pada rakyat,
yang merupakan kemponen utama dari
suatu pemerintahan negara.
Sejak bergulirnya reformasi pada
tahun 1998, gerakan demonstrasi atau
unjuk rasa di Indonesia semakin meluas.
Hampir di setiap daerah, orang melakukan
unjuk rasa untuk menyampaikan
aspirasinya. Aksi unjuk rasa atau
demonstrasi merupakan salah satu hak
setiap warga negara yang dilindungi oleh
negara dalam konstitusi dasar dan undang-
undang. Kemerdekaan menyampaikan
pendapat ini merupakan sarana bagi setiap
warga negara untuk menggapai tujuannya.
Demonstrasi atau unjuk rasa adalah
pernyataan protes yang dikemukakan
secara massal.5
Istilah unjuk rasa kini telah dikenal
oleh semua kalangan masyarakat, baik tua
maupun muda, bahkan sesekali terlihat
baik secara langsung maupun di media
massa, anak-anak juga dilibatkan dalam
kegiatan ini. Seringkali disaksikan bahwa
unjuk rasa biasanya dilakukan oleh para
mahasiswa yang tidak sependapat terhadap
kebijakan yang diterima. Generasi muda
harapan bangsa ini biasanya melakukan
unjuk rasa terhadap pemerintah atau pihak
rektorat kampus. Namun seringkali unjuk
rasa ini berakhir dengan kericuhan,
pengrusakan fasilitas umum, sampai
dengan jatuhnya korban jiwa yang
seringkali jumlahnya tidak sedikit. Unjuk
rasa yang dilakukan oleh mahasiswa bukan
hanya untuk kepentingan rakyat semata,
tetapi juga untuk kepentingan mahasiswa
sendiri atau sekelompok mahasiswa saja.
Mahasiswa melakukan unjuk rasa di dalam
area kampus karena ada kebijakan yang
dikeluarkan oleh pihak kampus yang
merugikan mahasiswa dan tidak
mementingkan kepentingan mahasiswa.
Dalam praktik unjuk rasa, kebebasan atau
5 Depertemen Pendidikan Dan
Kebudayaan. 2002. Kamus Besar Bahasa
kemerdekaan untuk menyampaikan
aspirasi tidak selamanya berjalan sesuai
yang diharapkan oleh mahasiswa yang
melakukan demonstrasi. Oleh karena itu
banyak aksi unjuk rasa yang berakhir
dengan kerusuhan yang mengarah pada
tindakan pengrusakan. Tindakan
pengrusakan yang terjadi dilakukan oleh
para mahasiswa itu sendiri merupakan
tindak pidana. Unjuk rasa yang bersifat
pengrusakan dapat menganggu ketertiban
dan keamanan kampus. Unjuk rasa yang
berakhir pengrusakan sering kali juga
menelan korban jiwa dan luka-luka baik
dari pihak pengunjuk rasa maupun dari
pihak pengamanan aksi unjuk rasa yaitu
satuan keamanan (satpam) kampus bahkan
polisi. Realitas menunjukkan bahwa masih
seringnya terjadi unjuk rasa atau
demonstrasi yang berujung pada
pengrusakan fasilitas-fasilitas kampus,
dimana hal tersebut sangat mengganggu
kenyamanan dan ketertiban dalam
melakukan aktivitas kampus. Bertolak dari
realitas tersebut timbul beberapa
pertanyaan bahwa apakah pelaku-pelaku
demonstrasi anarkis ini tidak mendapat
sanksi yang membuat mereka jerah atau
bahkan mereka tidak mendapatkan sanksi
sama sekali, sehingga masih sering terjadi
demonstrasi yang anarkis dan berujung
pengrusakan. Berdasarkan permasalahan
dan realitas yang disebutkan di atas, maka
Penulis tertarik untuk mengangkat judul
“Penegakan Hukum Terhadap
Pengerusakan Gedung Secara
Berkelompok.
II. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah
tersebut diatas maka dapat dikemukakan
rumusan permasalahanya yaitu:
1. Apakah faktor yang mempengruhi
tindak pidana perusakan Gedung
milik orang lain yang dilakukan
Indonesia. Penerbit Balai Pustaka: Jakarta, hal.
250
28
secara berkelompok ?
2. Bagaimanakah sanksi hukum
terhadap tindak pidana perusakan
gedung milik orang lain secara
berkelompok?
III. TUJUAN PENELITIAN
Adapun yang menjadi tujuan dari
penyusunan penelitian ini adalah sebagai
berikut diantaranya :
1. Untuk mengetahui faktor yang
mempengruhi tindak pidana
perusakan Gedung milik orang lain
yang dilakukan secara
berkelompok.
2. Untuk mengetahui sanksi hukum
terhadap tindak pidana perusakan
gedung milik orang lain secara
berkelompok.
IV. KERANGKA TEORITIS
a. Konsep Negara Hukum
Pelopor Negara Hukurn Liberal
adalah Immanuel kant yang melahirkan
konsep Rechstaats, dan kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh Frederick
Julius Stahl yang mengemukakan bahwa
unsur-unsur Negara hukum adalah negara
hukum menurut konsep rechtstaats dianut
oleh Negara-negara di Eropa Continental,
Prancis, Jerman dan Belanda.6 Konsep
Negara hukum ini juga identik dengan
konsep Rule of Law yang berkembang di
Negara Anglo Saxon, Menurut A.V. Dicey
ciri-ciri Rule of Law. Terdapat beberapa
unsur penting yang terkandung di dalam
pengertian the rule of law yang dijadikan
sebagai sebuah acuan dalam bernegara
diantaranya :7
1. Supremacy of law (supremasi
hukum) merupakan rumusan yang
menempatkan hukum sebagai
6 Marjanne Termoshuizen, 2004, The
Concept Rule of Law, dalam JENDERA, Jurnal
Hukum : Rule of Law, edisi 3 Tahun II, hal. 98
7 Yohanes Usfunan, 2015, Hukum,
HAM dan Pemerintahan, Udayana University
Press, Denpasar, hal. 242
panglima yang tertinggi dengan
demikian tidak ada suatu
pemerintahan yang melakukan
tindakan di luar dari
kewenangannya.
2. Equality before the law
(persamaan di depan hukum)
adalah kondisi setiap individu
memiliki kedudukan yang sama di
hadapan hukum.
3. Contitution Based on Individual
Right (hak asasi manusia) adalah
hak yang diakui sebagai salah satu
prinsip dasar manusia dan
dilindungi keberadaannya di
dalam suatu negara.
Negara Indonesia adalah Negara
hukum, demikian dijelaskan dalam Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Negara
hukum adalah Negara yang berlandaskan
hukum dan yang menjamin keadilan bagi
warganya. Maksudnya adalah segala
kewenangan dan tindakan alat-alat
perlengkapan negara atau penguasa
semata-mata berdasarkan hukum atau
dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal
yang demikian akan mencerminkan
keadilan bagi pergaulan hidup warganya.8
Dengan demikian tindakan aparat
penegak hukum termasuk kepolisian dalam
melaksanakan tugas dan fungsi serta
kewenangannya dalam penegakan hukum
terhadap kepemilikan senjata api ilegal
harus tetap berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang
8Abu Daud Busro dan Abu Bakar
Busro, 1983, Azas-Azas Hukum Tata Negara.
Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 111
29
selanjutnya disebut KUHP, dikenal dengan
istilah “stratbaar feit”. Istilah strafbaar feit
dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
dengan berbagai istilah yaitu tindak pidana,
delik, peristiwa pidana, perbuatan yang
boleh dihukum, dan perbuatan pidana.
Kanter dan Sianturi memberikan
pengertian tindak pidana sebagai berikut: 9
Tindak pidana ialah suatu tindakan
pada tempat, waktu dan keadaan
tertentu, yang dilarang (diharuskan)
dan diancam dengan pidana oleh
undang-undang, bersifat melawan
hukum, serta dengan kesalahan
dilakukan oleh seseorang (mampu
bertanggung jawab).
Selanjutnya menurtu Moeljatno
mendefenisikan perbuatan pidana sebagai
yaitu berikut:
perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barangsiapa
yang melanggar larangan tersebut.
Dapat juga dikatakan bahwa
perbuatan pidana adalah perbuatan
yang oleh suatu aturan hukum
dilarang dan diancam pidana, asal
saja dalam saat itu diingat bahwa
larangan ditujukan kepada perbuatan
yaitu suatu keadaan atau kejadian
yang ditimbulkan oleh kelakuan
orang, sedangkan ancaman pidana
itu ditujukan kepada orang yang
ditimbulkan kejadian itu.10
9 Erdianto Effendi. 2011. Hukum
Pidana Indonesia-Suatu Pengantar. PT Rafika
Aditama: Bandung, hal. 99
10 Moeljatno. 2009, Asas-Asas Hukum
Pidana. PT Rineka Cipta: Jakarta, hal. 59
11 Andi Hamzah. 2004, Hukum Acara
Pidana Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta, hal.
88
Dari kedua pendapat di atas, maka
dapat diartikan bahwa tindak pidana adalah
suatu perbuatan yang dilakukan oleh
manusia yang mana perbuatan tersebut
melangggar apa yang dilarang atau apa
yang diperintahkan oleh suatu aturan
hukum atau undang-undang dan disertai
dengan sanksi berupa sanksi pidana.
Seorang ahli hukum yaitu Simon
merumuskan unsur-unsur tindak pidana
sebagai berikut:11
1. Diancam pidana oleh hukum;
2. Bertentangan dengan hukum;
3. Dilakukan oleh orang yang
bersalah, dan
4. Orang itu dipandang dapat
bertanggungjawab atas
perbuatannya.
Menurut Moeljatno unsur tindak
pidana adalah:12
a) Perbuatan;
b) Yang dilarang (oleh aturan
hukum);
c) Ancaman pidana (yang melanggar
larangan).
c.Pertanggungjawaban Pidana
Secara umum istilah
pertanggungjawaban pidana berarti
memiliki dua kata yaitu
pertanggungjawaban dan pidana. Dasar
kata pertanggungjawaban adalah tanggung
jawab. Tanggung jawab diartikan sebagai
keadaan wajib menanggung segala
sesuatunya kalau terjadi apa-apa boleh
dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan
sebagainya.13 Simons berpendapat bahwa
mampu bertanggung jawab adalah mampu
12 Ibid, hal. 79
13 Desy Anwar, 2003, Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia, Amelia,
Surabaya, hal. 450
30
untuk menginsyafi sifat melawan
hukumnya perbuatan dan sesuai dengan
keinsyafan itu mampu untuk menentukan
kehendaknya.27 Maka untuk dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya
melalui hukum pidana, seseorang haruslah
terbukti memenuhi unsur kesalahan dan
juga menyadari secara insyaf terhadap
tindak pidana yang telah dilakukannya.
Menurut Mulyatno ada beberpa
unsur-unsur pertanggungjawaban pidana
antara lain sebagai berikut :
a. Kesalahan;
b. Kemampuan bertanggungjawab;
c. Tidak ada alasan pemaaf. 14
Berdasarkan penjelassan di atas
tersebut dapat diketahui bahwa subjek
pertanggungjawaban pidana yang akan
mempertanggungjawabkan suatu tindak
pidana itu adalah pelaku tindak pidana
dalam hal ini manusia atau korporasi. Maka
dari itu subjeknya harus sama antara pelaku
tindak pidana dan yang akan
mempertanggungjawabkan perbuatan
pidananya. Menurut Pandangan Ey. Kanter
dan SR. Sianturi, yang dianggap sebagai
subyek tindak pidana adalah Manusia
(natuurlijke-persoonen), sedangkan hewan
dan badan-badan hukum (rechtspersonen)
tidak dianggap sebagai subjek.15
V. Metode Penelitian
a. jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah tipe penelitian
hukum normatif yaitu dengan mengkaji
atau menganalisis bahan-bahan hukum dari
literatur-literatur atau buku-buku dan
peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan penelitian yang akan
14 Tri Andrisman, 2009, Hukum
Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum
Hukum Pidana Indonesia, Universitas
Lampung, Bandar Lampung, hal. 73.
15 E.Y Kanter dan S.R Sianturi, 2002,
Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, hal. 253
di bahas.16 Penelitian hukum normatif
yaitu penelitian yang mengkaji hukum
yang dikonsepkan sebagai norma atau
kaidah yang berlaku dalam masyarakat,
dan menjadi acuan perilaku setiap orang.
Penelitian hukum normatif disebut juga
sebagai penelitian hukum teoritis, dimana
fokus kajian dalam penelitian ini menurut
Bambang Sunggono adalah inventarisasi
hukum positif, asas-asas dan doktrin
hukum, penemuan hukum dalam perkara in
concreto, sistematik hukum, taraf
sinkronisasi hukum, perbandingan hukum,
dan sejarah hukum.17
b. Pendekatan Masalah
Jenis Pendekatan dalam proposal ini
penulis menggunakan 2 (dua) pendekatan,
yakni pendekatan undang-undang (statute
approach) dan pendekatan fakta (the fact
approach).
c. Sumber bahan Hukum
Dalam proposal penelitian ini
digunakan 3 (tiga) jenis sumber sumber
bahan hukum. Ketiga sumber bahan hukum
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bahan hukum primer, terdiri dari
peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan penelitian
yang akan di bahas. Adapun
peraturan perundang-undangan
tersebut dinataranya :
1) Undang Undang dasar negara
Republik Indonesia Tahun
1945
2) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata
2. Bahan hukum sekunder yaitu
berupa publikasi tentang hukum
yang berhubungan dengan
28Bagir Manan, 2009, Penelitian
Bidang Hukum, Puslitbang Bandung, Bandung,
hal. 4 17 Bambang Sunggono, 2009,
Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal. 81
31
penelitian yang akan dibahas
seperti misalnya : buku-buku
hukum, jurnal penelitian di
bidang hukum, dan hasil-hasil
seminar.18
3. Bahan hukum tersier yaitu bahan
hukum yang mendukung bahan
hukum primer dan bahan hukum
skunder seperti misalnya kamus
bahasa Indonesia dan kamus
hukum.
d. Teknik Pengumpulan bahan hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum
yang dilakukanoleh peneliti dalam
penelitian ini adalah dengan menghimpun
bahan hukum primer maupun bahan hukum
skunder yang berkaitan dengan
permasalahan tindak pidana Perusakan
gedung milik orang lain yang dilakukan
secara berkelompok. Bahan hukum
tersebut diperoleh melalui studi
kepustakaan seperti buku, jurnal, artikel,
internet, dan lain sebagainya.
e. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum
dalam penulisan ini dengan
mengumpulkan dan mengambil dari
kepustakaan maupun lapangan yang
kemudian diolah secara kualitatif dan
disajikan secara diskriptif. Deskriptif
meliputi nisi maupun struktur hukum
prositif.19 Dimana keseluruhan bahan
hukum yang dikumpulkan baik dari bahan
hukum primer maupun sekunder, akan
diolah dan dianalisis dengan cara
menyusun bahan hukum secara sistematis,
digolongkan dalam pola dan tema,
diklasifikasikan, dihubungkan antara satu
bahan hukum dengan bahan hukum yang
lainnya, dilakukan interpretasi untuk
31Sunaryati Hartono, 2006, Penelitian
Hukum Di Indonesia pada Abad Ke 20,
Alumni, Bandung, hal. 134
32Philipus M. Hadjon, 2004,
Pengakuan Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif)
Dalam Yuridika, hal. 9
memahami makna bahan hukum dalam
situasi sosial, dan dilakukan penafsiran dan
perspektif penelitian setelah memahami
keseluruhan kualitas bahan hukum.
VI. FAKTOR YANG MEMPENGRUHI
TINDAK PIDANA PERUSAKAN
GEDUNG MILIK ORANG LAIN
YANG DILAKUKAN SECARA
BERKELOMPOK
a. Tindak Pidana Pengrusakan Barang
Milik Orang Lain Yang Dilakukan
Secara Berkelompok
Di dalam kamus besar bahasa
Indonesia, kata penghancuran berasal dari
kata hancur yang berarti pecah menjadi
kecil-kecil, dan mendapat awalan peng-
dan akhiran –an, yang berarti proses,cara,
perbuatan menghancurkan. Sedangkan
perusakan berasal dari kata rusak yang
berarti sudah tidak sempurna lagi (baik,
utuh), mendapat awalan pe- dan akhiran –
an, yang berarti suatu, proses, perbuatan
merusakkan. Ini adalah pengertian secara
bahasa. 20
Sedangkan pengertian
penghancuran dan perusakan secara istilah,
seperti yang tercantum dalam Pasal 406
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), unsur-unsur pengertiannya
adalah dengan sengaja dan dengan
melawan hukum membinasakan,
merusakkan, membuat sehingga tidak
dapat dipakai lagi atau menghilangkan
suatu barang yang sama sekali atau
sebagian kepunyaan orang lain.
Menghancurkan (vernielen), disebut
juga membinasakan yang berarti merusak
sama sekali, misalnya membanting gelas,
cangkir, tempat bunga, sehingga hancur.
20 Ahmad A.K. Muda, 2001, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, hal.
386
32
“Membuat sehingga tidak dapat dipakai
lagi” artinya perbuatan itu harus
sedemikian rupa, sehingga barang itu
betul-betul tidak dipakai lagi. Misalnya
melepaskan roda-roda kendaraan, dengan
hanya mengulirkan sekrupnya saja belum
berarti membuat sehingga tidak dapat
dipakai lagi, oleh karena itu dengan jalan
memasang roda-rodanya dengan
mengembalikan sekrup yang mengulir ia
dapat memperbaiki dan dapat
dipergunakan lagi.21 “Menghilangkan”
berarti membuat sehingga barang itu tidak
ada lagi, misalnya dibakar habis, dimakan,
dibuang sehingga hilang. Sedangkan
merusakkan berarti kurang daripada
membinasakan (beschaidigen) misalnya
memukul gelas- gelas, cangkir, dan
sebagainya tidak sampai hancur, akan
tetapi hanya pecah sedikit retak atau hanya
putus pegangannya.22
Tindak pidana kejahatan
penghancuran dan pengrusakan barang
terdapat pada kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yaitu terdapat pada pasal
406, 407, 408, 409, 410, dan pasal 412.
Dimana penegasan-penegasan tersebut
adalah sebagai berikut :
Pasal 406, Barangsiapa dengan
sengaja dan secara melawan hukum
menghancurkan, merusak, membuat
tak dapat dipakai atau
menghilangkan barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian milik
orang lain, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah
Pasal 407 ; Perbuatan perbuatan
yang diterangkan dalam pasal 406,
bila nilai kerugian tidak lebih dari
dua ratus lima puluh rupiah, diancam
21 bid, hal. 141
dengan pidana penjara paling lama
tiga bulan atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah. Ayat
(2) Bila perbuatan yang dirumuskan
dalam pasal 406 ayat (2) itu
dilakukan dengan memasukkan
bahan-bahan yang merusak nyawa
atau kesehatan, atau bila hewan itu
termasuk dalam pasal 101, maka
ketentuan ayat (1) tidak berlaku
Pasal 408 : Barangsiapa dengan
sengaja dan secara melawan hukum
menghancurkan, merusak atau
membuat tak dapat dipakai
bangunan-bangunan kereta api,
trem, telegraf, telepon atau listrik,
atau bangunan bangunan untuk
membendung air, membagi air atau
menyalurkan air, saluran gas,
saluran air atau saluran yang
digunakan untuk keperluan umum,
diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun
Pasal 409 : Barangsiapa yang karena
kesalahannya (kealpaannya)
menyebabkan bangunan-bangunan
tersebut dalam pasal di atas
dihancurkan, dirusakkan atau dibuat
tak dapat dipakai, diancam dengan
pidana kurungan paling lama satu
bulan atau pidana denda paling
banyak seribu lima ratus rupiah
Pasal 410 : Barangsiapa dengan
sengaja dan secara melawan hukum
menghancurkan atau membuat tak
dapat dipakai suatu gedung atau
kapal yang seluruhnya atau sebagian
milik orang lain, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima
tahun.
Pasal 412 : Bila salah satu kejahatan
22 Ibid, hal. 279
33
yang diterangkan dalam bab ini
dilakukan oleh dua orang atau lebih
dengan bersekutu, maka pidananya
dapat ditambah sepertiga, kecuali
dalam hal yang tersebut dalam pasal
407 ayat (1).
Tentang pengertian dari
penghancuran dan perusakan telah
dijelaskan diatas, selain itu pada pasal 406
terdapat kata membuat sehingga tidak
dapat dipakai lagi, maksudnya tindakan
tersebut harus sedemikian rupa, sehingga
barang tersebut tidak dapat diperbaiki lagi.
Adapun yang dimaksud dengan barang
adalah semua benda yang berwujud seperti:
uang, baju, perhiasan dan sebagainya
termasuk pula binatang, dan benda yang
tak berwujud seperti aliran listrik yng
disalurkan melalui kawat serta gas yang
disalurkan melalui pipa. Dalam praktek
sering terjadi lebih dari seorang terlibat
dalam peristiwa tindak pidana. Disamping
si pelaku ada seorang atau beberapa orang
lain yang turut serta. Orang-orang yang
terlibat dalam kerjasama yang
mewujudkan tindak pidana tersebut,
masing-masing dari mereka berbeda satu
dengan yang lain, tetapi dari perbedaan-
perbedaan yang ada pada masing-masing
itu terjalin suatu hubungan yang
sedemikian rupa eratnya dimana perbuatan
yang satu menunjang perbuatan yang lain,
yang semuanya mengarah pada satu yaitu
terwujudnya tindak pidana. Hukum Acara
Pidana di Indonesia yang berbasis pada
KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981) menganut asas negative wettelijke.
Hal itu tersirat di dalam Pasal 183 KUHAP
yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Selain itu alat bukti juga mempunyai
peranan yang penting dalam proses
pembuktian perkara pidana di persidangan.
Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah
menentukan secara limitatif alat bukti yang
sah menurut Undang-Undang. Dalam
hukum acara pidana Indonesia menganut
sistem pembuktian Negatief Wettelijk
Bewijstheorie, dengan demikian hanya
alat-alat bukti yang sah menurut undang-
undang yang dapat dipergunakan untuk
pembuktian. hal itu berarti hanya alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang
yang dapat dipergunakan untuk
pembuktian. Sehingga di luar dari
ketentuan tersebut tidak dapat
dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.
Berdasarkan Pasal 184 ayat (1)
KUHAP dikenal ada lima macam alat-alat
bukti yang sah, yakni :
a) Keterangan saksi Saksi
menurut Pasal 1 butir 26
KUHAP yaitu orang yang dapat
memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan
tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, lihat
sendiri atau alami sendiri.
b) Keterangan Ahli Keterangan
ahli adalah keterangan yang
diberikan oleh seseorang yang
berkeahlian khusus dalam hal
yang diperlukan. Sifatnya tidak
mengikat boleh diapakai atau
tidak.
c) Surat Surat adalah pembawa
tanda tangan bacaan yang
berarti, yang menterjemahkan
suatu isi pikiran. Tidak
termasuk kata surat, adalah foto
dan peta, sebab benda ini tidak
memuat tanda bacaan. Adapun
contohcontoh dari alat bukti
surat itu, adalah Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) yang
34
dibuat oleh polisi, BAP
Pengadilan, Berita Acara
Penyitaan, Surat Perintah
Penahanan, Surat Izin
Penggeledahan, Surat Izin
Penyitaan, dan lain-lainnya.
d) Petunjuk Pasal 188 Ayat (1)
KUHAP memberi definisi
petunjuk adalah sebagai
perbuatan, kejadian atau
keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antarasatu
dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu
sendiri, menandakan bahwa
telah terjadi suatu tindak pidana
dan siapa pelakunya. Petunjuk
sebagaimana dimaksud dalam
Ayat (1), hanya dapat diperoleh
dari keterangan saksi, alat bukti
surat, atau keterangan
terdakwa.
e) Keterangan terdakwa
Merupakan apa yang
dinyatakan oleh terdakwa
tentang perbuatan yang ia
lakukan, ia ketahui dan ia
alami. Pemeriksaan terdakwa
ini merupakan bagian akhir dari
proses pembuktian di muka
pengadilan.
Dewasa ini banyak sekali terdapat
kasus dimana pelakunya lebih dari satu
orang, yang terjadi dimasyarakat kita.
Contohnya dalam kasus pengrusakan
barang. Dalam beracara hakim
menjatuhkan pidana atas suatu perkara.
Hakim mendasarkan putusannya selain
pada undang-undang juga
mempertimbangkan tuntutan dari jaksa
penuntut umum. Surat dakwaan adalah
surat yang memuat perumusan tindak
pidana yang didakwakan kepada terdakwa,
perumusan ditarik dan disimpulkan dari
hasil pemeriksaan dan penyidikan
dihubungkan dengan rumusan pasal tindak
pidana yang dilanggar dan didakwakan
kepada terdakwa dan surat dakwaan
tersebutlah yang yang menjadi dasar
pemeriksaan bagi hakim dalam sidang
pengadilan.
Dakwaan yang digunakan dalam
kasus perkara ini adalah dakwaan
alternatif, yaitu dalam surat dakwaan ini
terdapat beberapa dakwaan yang disusun
secara berlapis, lapisan yang satu
merupakan alternatif dan bersifat
mengecualikan dakwaan pada lapisan
lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan
bila belum didapat kepastian tentang tindak
pidana mana yang paling tepat dapat
dibuktikan. Dalam dakwaan alternatif,
meskipun dakwaan terdiri dari beberapa
lapisan, hanya satu dakwaan saja yang
dibuktikan tanpa harus memperhatikan
urutannya dan jika salah satu telah terbukti
maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak
perlu dibuktikan lagi. Dalam bentuk surat
dakwaan ini antara lapisan satu dengan
yang lainnya menggunakan kata sambung
atau. Menurut penulis dakwaan jenis ini
memberikan pilihan kepada pengadilan
untuk menentukan dakwaan mana yang
paling tepat untuk dipertanggungjawabkan
oleh terdakwa sehubungan dengan tindak
pidana.
b. Faktor-Faktor Yang Memperngaruhi
Tindak Pidana Perusakan Gedung
Milik Orang Lain
Tindak pidana yang berasal dari
terjemahaan dari bahasa Belanda yaitu
Strafbaarfeit. Perkataan “feit” berarti
sebagian dari kenyataan atau “eengedeelte
van werkwlijkheid”, sedangkan
“strafbaar” berarti dapat dihukum.
Sehingga secara harfiat Strafbaarfeit dapat
diterjemahkan sebagai bagian dari suatu
35
kenyataan yang dapat di hukum.23 Menurut
Simon strafbaarfeit adalah kelakuan yang
diancam dengan pidana yang besifat
melawan hukum yang berhubungan
dengan kesalahan oleh orang yang mampu
bertanggungjawab.2 Istilah tindak pidana
dari strafbaarfeit, juga mengarah kepada
gerak-gerik atau tingkah laku seseorang.
Istilah strafbaarfeit jika diterjemahkan
kedalam bahasa indonesia yang
menimbulkan berbagai pengertian dan
makna, dan para pemuka hukum di
indonesia mengistilahkan stafbaarfeit itu
dalam penjelasan yang berbeda,
diantaranya Moeljatno yang berpendapat di
dalam bukunya, berpendapat bahwa
pengertian tindak pidana yang menurut
istilahnya yakni “Perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum larangan dan
disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barangsiapa
melanggar larangan tersebut Berbeda
dengan pengertian stafbaarfeit menurut
Van Hamel dalam buku Satochid
Kartonegara yakni tindakan seseorang
yang dirumuskan dalam Undang-undang
adalah suatu yang bersifat melawan hukum
yang patut dipidana dengan tindakan yang
diperbuatnya.24
Berdasarkan dari uraian pendapat
tersebut, tindak pidana yang dimaksud
adalah suatu perbuatan pidana atau tindak
pidana yang merupakan suatu perbuatan
yang tidak sesuai atau melanggar suatu
aturan hukum atau melakukan suatu
perbuatan yang dilarang oleh hukum yang
disertai ancaman dan sanksi pidana yang
mana aturan tersebut ditujukan kepada
orang yang melakukan suatu perbuatan
23 P.A.F. Lamintang, 2010. Dasar-
Dasar Hukum Pidana Indonesia Sinar Baru, , Bandung, hal. 181
24 Satochid Kartonegoro, 2005, Hukum Pidana Bagian Pertama, Balai Lektur Mahasiswa, , Jakarta, hal. 4
yang menimbulkan kejadian tersebut.
Dalam hal ini setiap orang atau pelaku yang
melanggar aturan-aturan hukum yang telah
ditetapkan, sehingga dapat ditetapkan
orang tersebut adalah sebagai pelaku
perbuatan pidana atau sebagai pelaku
tindak pidana.25 Perbuatan tersebut harus
dirasakan oleh masyarakat, hal itu akan
suatu hambatan dalam tata pergaulan yang
dicita-citakan oleh masyarakat.26
Faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya suatu kerusuhan yang
menimbulkan bentrokan membuat suasana
mencekam, tidak kondusif baik yang
terjadi dari individu-individu maupun
kelompok atau masyarakat tersebut. Faktor
utama penyebab terjadinya kerusuhan
adalah susahnya untuk mengendalikan diri
dari para individu-individu dan kelompok
atau masyarakat yang sangat mudahnya
terprovokasi. Dalam hal ini adapun
indikator penyebab terjadinya kerusuhan
yang ada di tengah-tengah masyarakat
melalui beberapa asumsi yaitu sebagai
berikut:27
1. Dinamika sosial, ekonomi, budaya
dan politik suatu daerah mempunyai
potensi bagi terjadinya ketegangan
sosial maupun konflik (baik dalam
kategori yang lunak maupun yang
keras seperti kerusuhan).
2. Perimbangan kekuatan-kekuatan
sosial seperti suku, agama, ras dan
antargolongan yang hampir sama
dianggap sebagai akar utama
penyebab terjadinya kerusuhan.
3. Daerah dengan perimbangan antara
penduduk asli dan pendatang yang
25 Mukhlis. R, 2014, Keistimewaan
dan Kekhususan Aceh dalam Perspektif Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jurnal Media Hukum Riau, Vol. 4, No. 1, hal. 202
26 Ibid. hal. 203 27Ibid, hal. 8
36
timpang dilihat dari penguasaan aset
ekonomi maupun politik, akan
memungkinkan menimbulkan
konflik dan kerusuhan.
4. Pola pemukiman penduduk yang
heterogen/beragam macam atau
multi- etnik dianggap dapat menjadi
sumber konflik atau ketegangan
sosial maupun kerusuhan.
5. Kerusuhan tidak akan terjadi apabila
tidak didahului oleh faktor-faktor
provokator sebagai pemicunya,
dengan tujuan untuk mengumpulkan
massa sekalipun gerakan massa
tersebut tidak dimaksudkan untuk
melawan hukum.
Sebagaimana aturan-aturan yang
telah ditetapkan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Pasal 170 KUHP
tentang Kejahatan Terhadap Ketertiban
Umum. Dalam hal sanksi pidana bagi
pelaku kerusuhan ditinjau dari Hukum
Pidana, khususnya penerapan Pasal 170
(1) KUHP Indonesia ditetapkan bahwa:
Barang siapa dengan terang-
terangan dan dengan tenaga
bersama menggunakan kekerasan
terhadap orang atau barang,
diancam dengan pidana penjara
paling lama lima (5) tahun enam
(6) bulan.”
Bagi pelaku kerusuhan tersebut
menurut ketentuan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Pasal 170 KUHP
yang mengancam pelaku kerusuhan.
khususnya yang diatur di dalam Pasal 170
(2) KUHP Indonesia terhadap pelaku
kerusuhan yang bersalah diancam:
1. dengan pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun, jika ia
dengan sengaja menghancurkan
barang atau jika kekerasan yang
28 Ibid., hal. 146
digunakan mengakibatkan luka-
luka;
2. dengan pidana penjara paling
lama 9 (sembilan) tahun, jika
kekerasan mengakibatkan luka
berat;
3. dengan pidana penjara paling
lama 12 (dua belas) tahun, jika
kekerasan mengakbatkan maut.
Menurut R. Soesilo dalam
memaparkan penafsiran pada Pasal 170
KUHP bahwa yang tidak diperbolehkan
atau dilarang dalam pasal ini adalah
“Melakukan Kekerasan”. Kekerasan
yang dilakukan secara bersama-sama,
artinya dilakukan oleh sedikit-dikitnya
dua orang atau lebih. Kemudian
kekerasan itu harus ditujukan kepada
orang atau barang dan kekerasan itu harus
dilakukan di muka umum, karena
kejahatan itu tergolong dimasukan
kedalam golongan kejahatan ketertiban
umum.28
Andi Hamzah juga memberikan
penafsiran di dalam Pasal 170 KUHP
menjadi bagian inti atau unsur delik, yang
memuat:29
1) Melakukan kekerasan.
2) Di muka umum atau terang-
terangan (openlijk).
3) Bersama-sama, dan
4) Ditujukan kepada orang atau
barang.
Adapun pengaturan pasal KUHP
yang menyebabkan kerusuhan terjadi,
yaitu pengaturan penghasutan/provokator
yang menyebabkan kerusuhan itu terjadi,
yaitu terkandung di dalam Pasal 160
KUHP dan Pasal 161 KUHP. Menurut
Tim Penerjemah Badan Pembinaan
Hukum Nasional khusunya di dalam
29 Ibid, hal. 5
37
Pasal 160 KUHPidana ialah:19
Barangsiapa di muka umum
dengan lisan atau tulisan
menghasut supaya melakukan
perbuatan pidana, melakukan
kekerasan terhadap penguasa
umum atau tidak menuruti baik
ketentuan undang-undang,
diancam pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp. 4500,-.
(empat ribu lima ratus rupiah).”
Pelaku tindak pidana akan diminta
pertanggungjawaban apabila telah
memenuhi unsur-unsur delik. Jadi unsur-
unsur tindak pidana itu adalah Unsur-
unsur Pasal 160 KUHP yakni meliputi,
unsur-unsur objektif, yang memuat
barang siapa, di muka umum dengan lisan
atau tulisan, menghasut supaya
melakukan perbuatan pidana, melakukan
kekerasan terhadap penguasa umum.
unsur-unsur subyektif, yang memuat
dengan sengaja.
Selaian kasus kerusuhan
sebagaimana dijelaskan di atas, maka
dalam hal ini juga akan dijelaskan faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya
suatu tindakan pengrusakan sesuai
dengan pokok permasalahan dalam
skripsi ini. Faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya suatu tindakan
pengrusakan didasari hal-hal sulit
mengontrol diri sehingga menyebabkan
seseorang melakukan tindak pidana. baik
secara perseorangan maupun
berkelompok. Adapun faktor-faktor
penyebab terjadinya suatu pengrusakan
yang ada ditengah-tengah masyarakat,
yaitu:
1. Faktor lingkungan yang dimuat oleh
A.Lacassagne dalam buku Soejono
30 A. Lacasaggne dalam Soedjono,
2003, Doktrin-Doktrin Kriminologi, (Bandung: Alumni), hal. 42
bahwa lingkungan yang merupakan
faktor yang mempengaruhi
seseorang untuk melakukan suatu
tindak pidana. Faktor lingkungan
yang mempengaruhi dampak
tersebut dimuat mulai dari
lingkungan yang memberi
kesempatan untuk melakukan tindak
pidana, lingkungan pergaulan yang
memberi contoh menyimpang, dan
faktor lingkungan ekonomi
rendah/kemiskinan/ dan
kesengasaraan.30
2. Faktor lingkungan pergaulan yang
berbeda-beda salah satu pengaruh
yang sangat besar dalam
menentukan suatu kejahatan yang
bisa dilakukan. Menurut W.A
Bonger dalam buku Soejono
menyatakan bahwa pengaruh
lingkungan sangat berpengaruh
besar dalam mengikat kepribadian
seseorang, menjadikan dia seseorang
yang baik atau sebaliknya.31
3. Faktor Kontrol Sosial yang
menentukan seseorang dapat
melakukan suatu tindak pidana atau
sebaliknya karena kunci hal tersebut
adalah keluarga atau masyakarat
yang mempunyai kontrol lingkungan
yang ketat atau disiplin, oleh karena
itu kemungkinan terjadinya suatu
kejahatan tersebut akan kecil, begitu
juga sebaliknya jika orangtua atau
masyarakat tersebut yang
mempunyai kontrol sosial tapi tidak
dilakukan secara maksimal,
kemungkinan terjadinya suatu
kejahatan tersebut akan berdampak
besar akibatnya.
4. Faktor Keagamaan yang disebabkan
terjadinya suatu tindak pidana.
31 Ibid, hal.43
38
seseorang yang jauh dari agama
semakin besar kemungkinan untuk
melakukan kejahatan atau
sebaliknya jika sesorang dekat
dengan agama maka untuk
melakukan suatu tindak kejahatan
akan kecil.
VII SANKSI HUKUM TERHADAP
TINDAK PIDANA PERUSAKAN
GEDUNG MILIK ORANG LAIN
SECARA BERKELOMPOK
a. Sanksi Hukum Pidana
Menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana
(KUHP)
Penetapan sanksi dalam suatu
perundang-undangan pidana bukanlah
sekadar masalah teknis perundang-
undangan semata, melainkan ia bagian
tidak terpisahkan dari substansi atau
materi perundang-undangan itu sendiri.
Artinya, masalah, penalisasi, depenalisasi,
kriminalisasi dan dekriminalisasi harus
dipahami secara komprehensif dengan
segala aspek persoalan substansi atau
materi perundangan-undangan pada tahap
kebijakan legislasi.32 Selaian Sanksi
pidana dikenal juga tindakan yang dapat
dikenakan kepada pelaku tindak pidana.
Sanksi Pidana diatur secara tegas dalam
pasal 10 KUHP yang berbunyi:
Pidana terdiri atas:
a. Pidana Pokok:
1. Pidana Mati;
2. Pidana Penjara;
3. Kurungan;
4. Denda;
5. Pidana Tutupan (berdasarkan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun
32 Ibid, hal. 27
1946 Berita RI II Nomor 247)
b. Pidana Tambahan :
1. Pencabutan Hak-Hak Tertentu;
2. Perampasan Barang-Barang
Tertentu;
3. Pengumuman Keputusan Hakim.
b. Sanksi Hukum Terhadap
Tindak Pidana Perusakan
Gedung Milik Orang Lain
Secara Berkelompok
Aturan terhadap perusakan barang
dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Adapun ketentuan pasal-pasal
tentang pengrusakan barang yang
terkandung di dalam pasal 406-412
KUHPidana yang dapat dikategorikan
dalam hal atau bentuk-bentuk dari
tindakan kejahatan pidana, antara lain:
1) Penghancuran dan Pengrusakan dalam
bentuk pokok
Tindak pidana yang diatur dalam
ketentuan Pasal 406 yang
berbunyi:
a) Barang siapa dengan dan
dengan sengaja melanggar
hukum menghancurkan,
merusakkan, membuat
sehingga tidak dapat dipakai
lagi, atau menghilangkan
barang yang seluruhnya atau
sebagai kepunyaan orang lain,
diancam dengan hukuman
penjara selama-lamanya 2
(dua) tahun delapan bulan atau
denda paling banyak Rp.
4500,- (empat ribu lima ratus
rupiah).”
b) Dijatuhkan pidana yang sama
terhadap orang, yang dengan
sengaja melawan hukum
membunuh, merusakan,
membikin tak dapat
39
digunakan atau
menghilangkan hewan, yang
seluruhnya atau sebagian
adalah kepunyaan orang.”
Mengenai Pasal 406
menjelaskan bahwa pelaku tindak
pidana agar dapat dihukum harus
dibuktikan apabila:
1) Bahwa terdakwa telah
membinasakan, merusakkan,
membuat sehingga tidak dapat
dipakai lagi atau menghilangkan
sesuatu barang;
2) Bahwa pembinasaan dan
sebagainya itu harus dilakukan
dengan sengaja dan dengan
melawan hak;
3) Bahwa barang itu harus sama
sekali atau sebagian adalah milik
orang lain.
Pelaku tindak pidana dapat
dimintakan suatu
pertanggungjawaban di dalam pasal
ini tidak mengenai suatu barang saja,
tetapi juga mengenai binatang.
Apabila unsur-unsur di dalam tindak
pidana ini diuraikan secara
terperinci, jadi unsur-unsur dalam
tindak pidana ini adalah sebagai
berikut :
2) Penghancuran atau Pengrusakan
Ringan
Tindak pidana yang diatur dalam
ketentuan Pasal 407 KUHP tentang
menghancurkan atau merusakan barang
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 407
KUHP ayat 2 yang berbunyi:
a. Perbuatan-perbuatan yang
dirumuskan dalam Pasal 406, jika
harga kerugian tidak lebih dari
dua puluh lima rupiah diancam
dengan pidana penjara paling
lama tiga bulan atau pidana denda
paling banyak dua ratus lima
puluh rupiah.
b. Jika perbuatan yang dirumuskan
dalam pasal 406 ayat kedua itu
dilakukan dengan memasukkan
bahan-bahan yang merusakkan
nyawa atau kesehatan, atau jika
hewan itu termasuk dalam pasal
101, maka ketentuan ayat
pertama tidak berlaku.
c. Adapun jika nilai barangnya tidak
lebih dari dua ratus lima rupiah
(Rp. 25,-), maka pasal yang
digunakan adalah Pasal 407 ayat
(1) KUHP. Akan tetapi, dengan
berkembangnya nilai mata uang,
patokan nilai mata uang yang
terkandung di dalam Pasal 407
ayat (1) KUHP tidak dapat
digunakan lagi.
3) Penghancuran dan Pengrusakan
bangunan jalan kereta api, telegraf,
telepon, dan listrik (fasilitas umum).
Tindak pidana yang diatur didalam
ketentuan Pasal 408 KUHP tentang
menghancurkan dan pengrusakan barang
sebagaimana dijelaskan didalam Pasal
408, yang berbunyi:
Barangsiapa dengan sengaja dan
melawan hukum menghancrukan,
merusakkan atau membikin tak
dapat dipakai bangunan-bangunan
kereta api trem, telegrap atau
listrik, atau bangunan-bangunan
untuk membendung, membagi atau
menyalurkan air, saluran gas, air
atau saluran yang digunakan untuk
keperluan umum, diancam dengan
pidana penjara paling lama 4
(empat tahun).”
Istilah penghancuran dan
pengrusakan barang diatas hanya
mengenai barang-barang biasa
kepunyaan orang lain. Sebagaimana
40
dijelaskan jika seseorang merusakkan
suatu barang yang ada dalam Pasal 408
KUHP maka diancam dengan penjara
paling lama 4 tahun.
VIII. PENUTUP
a. Simpulan
Dari pembahasan tersebut di atas
maka dalam skripsi ini ada dua kesimpulan
antara lain :
1) Faktor yang mempengruhi tindak
pidana perusakan Gedung milik
orang lain yang dilakukan secara
berkelompok adalah faktor
lingkungan, factor pergaulan,
faktor kontrol social, dan faktor
Keagamaan, serta faktor
provokasi.
2) Sanksi hukum terhadap tindak
pidana perusakan gedung milik
orang lain secara berkelompok
adalah diatur didalam ketentuan
Pasal 408 KUHP tentang
menghancurkan dan pengrusakan
barang sebagaimana dijelaskan
didalam Pasal 408, yang berbunyi
barangsiapa dengan sengaja dan
melawan hukum menghancrukan,
merusakkan atau membikin tak
dapat dipakai bangunan-bangunan
kereta api trem, telegrap atau
listrik, atau bangunan-bangunan
untuk membendung, membagi
atau menyalurkan air, saluran gas,
air atau saluran yang digunakan
untuk keperluan umum, diancam
dengan pidana penjara paling lama
4 (empat tahun).
DAFTAR PUSTAKA
A) Buku-Buku
A. Lacasaggne dalam Soedjono, 2003,
Doktrin-Doktrin Kriminologi,
(Bandung: Alumni)
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum
Dan Penelitian Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung
Abu Daud Busro dan Abu Bakar Busro,
1983, Azas-Azas Hukum Tata
Negara. Ghalia Indonesia, Jakarta
Adami Chazawi. 2002, Pelajaran Hukum
Pidana Bagian I Stelsel Pidana,
Teori-Teori Pemidanaan & Batas
Berlakunya Hukum Pidana, PT Raja
Grafindo: Jakarta
Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok
Metodologi Penelitian Hlukum
Empiris Murni .Sebuah Alternatif /
Universitas Trisakti, Jakarta
Ahmad A.K. Muda, 2001, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka
Amir Ilyas, Yuyun Widaningsih. 2010,
Hukum Korporasi Rumah Sakit,
Rangkang Education: Yogyakarta
Andi Hamzah. 2004, Hukum Acara Pidana
Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta
Bagir Manan, 2009, Penelitian Bidang
Hukum, Puslitbang Bandung,
Bandun
Bambang Sunggono, 2009, Metodologi
Penelitian Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Daniel W. Van Ness, 2005, An Overview of
Restorative Justice Around the
world., Makalah untuk konferensi
lima tahunan PBB ke-11, workshop
2 di Thailand Bangkok
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan,
2001, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
41
Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
2002. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Penerbit Balai Pustaka:
Jakarta
B) Jurnal
Fernando I. Kansil, 2014, Sanksi Pidana
Dalam Sistem Pemidanaan Menurut
Kuhp Dan Di Luar KUHP, Lex
Crimen Vol. Iii/No. 3/Mei-Jul/, hal.
26
Marjanne Termoshuizen, 2004, The
Concept Rule of Law, dalam
JENDERA, Jurnal Hukum : Rule of
Law, edisi 3 Tahun II
Mukhlis. R, 2014, Keistimewaan dan
Kekhususan Aceh dalam Perspektif
Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Jurnal Media Hukum
Riau, Vol. 4, No. 1
Ruci Pebriyani, 2016,
Pertanggungjawaban Pidana
(Toerekenbaardheid) Terhadap
Pelaku Secara Bersama-Sama
(Deelneming Van Strafbaarfeit)
Dalam Delik Korupsi, E Journal
Gloria Yuris Volume 4 Nomor 2 ,
Untan
C) Peraturan Peundang-Undangn
Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
Tentang Perlindungan Hak Asasi Masnusia