PEMIDANAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN …
Transcript of PEMIDANAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN …
87 Nurhafifah & Reza Pahlevi
PEMIDANAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
BIASA
Nurhafifah1
2Reza Pahlevi
1Lecturer at Faculty of Law, Syiah Kuala University
2University of Muhammadiyah Aceh
Corresponding author: [email protected].
Abstract
violence or persecution is a problem that always arises in the midst of society.
Legally the criminal acts of persecution have been regulated in Article 351
paragraph (1) of the Criminal Code (KUHP), with a maximum imprisonment of
up to 2 years. The purpose of this study is to explain the factors causing the
occurrence of criminal acts of persecution, as well as the efforts taken in order to
cope with the occurrence of criminal acts of ordinary persecution. Data in this
study were obtained through library research and field research. The results
showed that the factors causing the occurrence of criminal acts of persecution are
the nature of emotions or heartaches caused by a dispute. Efforts taken in order
to overcome the occurrence of criminal acts of persecution are usually done with
repressive efforts. This action can be seen as a precaution for the future so that
ordinary perpetrators of criminal offenses do not repeat the crime (recidivist).
Key words: Mistreatment, Criminal, Sanction
I. PENDAHULUAN
Hukum adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang
sebagai anggota-anggota masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum
adalah mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib di dalam masyarakat.1
Meningkatnya angka kriminalitas di masyarakat banyak menimbulkan
Tindakan kejahatan, yang salah satu hal yg sering terjadi dan dialami oleh
masyarakat yaitu adalah kejahatan kekerasan atau penganiayaan. Tindakan
1Wirdjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama,
Bandung, hlm 15.
Vol.5 No.1ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
88 Nurhafifah & Reza Pahlevi
penganiayaan tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga merugikan orang lain
dan masyarakat luas. Kejahatan kekerasan atau penganiayaan suatu problem yang
senantiasa muncul ditengah-tengah masyarakat. Masalah tersebut muncul dan
berkembang membawa akibat tersendiri baik bagi si pelaku lebih parah lagi bagi si
korban yang mungkin berakibat pada bentuk trauma fsikis yang berkepanjangan.2
Pengertian “penganiayaan” atau dengan kata lain “menganiaya” yaitu dengan
sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi suatu perbuatan
yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain tidak dapat dianggap sebagai
penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menjaga keselamatan badan.3
Menganiaya adalah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang
lain. akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang
lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan
untuk menambah keselamatan badan.4
Secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut
“penganiayaan”, mengenai arti dan makna kata penganiayaan tersebut banyak
perbedaan diantara para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan diartikan
sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit
(pijn) atas luka (letsel) pada tubuh orang lain. Adapula yang memahami
2Teguh Syuhada Lubis, 2017, Penyidikan Tindak Pidana Penganiayaan Berat Terhadap Anak,
Jurnal Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Vol. 3 No. 1 Mare, hlm 134. 3Leden Marpaung, 2002, Tindak Pidana terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantas dan
Prevensinya), Sinar Grafika, Jakarta, hlm 5. 4Tirtaamidjaja, 1955, Pokok-pokok Hukum Pidana, Fasco, Jakarta, hlm 174.
89 Nurhafifah & Reza Pahlevi
penganiayaan adalah “Dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka,
kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan.5
Satochid Kartanegara juga mengemukakan pengertian penganiayaan diartikan
sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit
(pijn) atas luka (letsel) pada tubuh orang lain.6
Dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana penganiayaan mempunyai
unsur sebagai berikut.
a. Adanya kesengajaan.
b. Adanya perbuatan.
c. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yakni:
1. Rasa sakit pada tubuh.
2. Luka pada tubuh.
Unsur pertama adalah berupa unsur subjektif (kesalahan), unsur kedua dan
ketiga berupa unsur objektif.
Penganiayaan yang merupakan suatu tindakan yang melawan hukum, memang
semuanya perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang berakibat
kepada dirinya sendiri. Penganiayaan biasa ini merupakan suatu tindakan hukum
yang bersumber dari sebuah kesengajaan. Kesengajaan ini berarti bahwa akibat
suatu perbuatan dikehendaki dan ini ternyata apabila akibat itu sungguh-sungguh
dimaksud oleh perbuatan yang dilakukan itu yang menyebabkan seseorang rasa
sakit, luka, bahkan dapat menimbulkan kematian.
5Soenarto Soerodibroto, 1994, KUHP dan KUHAP, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm
211. 6Satochid Kartanegara, 1998, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliyah Bagian Dua, Balai lektur
Mahasiswa, Jakarta, hlm 509.
Vol.5 No.1ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
90 Nurhafifah & Reza Pahlevi
Berkaitan penganiayaan biasa yang menjadi fokus dalam penelitian ini secara
jelas telah diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP yang menegaskan bahwa
“Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode empiris, melalui pendekatan kuantitatif.
Data dalam penelitian menggunakan data primer (interview) dan data sekunder
(literature review).
a. Data Primer
Data primer diperoleh melalui penelitian lapangan (field research)
dilakukan untuk mendapatkan data primer dengan cara wawancara
(interview) dengan responden dan informan. Data yang didapat, diolah dan di
analisis dengan menggunakan metode deskriptif yaitu menjelaskan secara
penggambaran tentang permasalahan yang dibahas.
Dalam penelitian ini bentuk wawancara yang digunakan adalah wawancara
mendalam (indeep interview)yang dalam pelaksanaannya pewawancara sudah
membawa pedoman wawancara tentang apa-apa yang ditanyakan secara garis
besar.
b. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library
Research). Penelitian pustaka dilakukan dengan cara membaca dan
mempelajari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan, majalah, surat
91 Nurhafifah & Reza Pahlevi
kabar serta pendapat para sarjana yang relevan dengan masalah yang diangkat
dalam penelitian ini.
Dari keseluruhan data yang diperoleh baik dari penelitian kepustakaan
maupun penelitian lapangan di analisis dengan menggunakan pendekatan
kualitatif yaitu dengan menganalisa yang menghasilkan data deskriptif dan
analisa dari apa yang ditanyakan kepada responden dan informan secara
tertulis dan lisan.
III. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Pengertian dan Jenis-Jenis Penganiayaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti penganiayaan
adalah: “perlakuan yang sewenang-wenang.” Pengertian yang dimuat dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengertian dalam arti luas, yakni yang
menyangkut “perasaan” atau “batiniah”. Sedangkan penganiayaan yang
dimaksud dalam ilmu hukum pidana adalah yang berkenaan dengan tubuh
manusia.7
Mengenai penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP, R. Soesilo dalam
bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, mengatakan bahwa
undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan
“penganiayaan” itu. Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan
“penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan),
7Leden Marpaung, Tindak Pidana terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantas dan Prevensinya),
Op.Cit, hlm 5.
Vol.5 No.1ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
92 Nurhafifah & Reza Pahlevi
rasa sakit, atau luka. Menurut alinea 4 pasal ini, masuk pula dalam pengertian
penganiayaan ialah “sengaja merusak kesehatan orang”. R. Soesilo dalam
buku tersebut juga memberikan contoh dengan apa yang dimaksud dengan
“perasaan tidak enak”, “rasa sakit”, “luka”, dan “merusak kesehatan”.8
Adapun jenis-jenis tindak pidana penganiayaan sebagai berikut:
1) Penganiayaan Biasa
Penganiayaan biasa (gewone misshandeling) dapat disebut juga
dengan penganiayaan bentuk pokok atau bentuk standar terhadap
ketentuan Pasal 351 KUHP.
Pasal 351 merumuskan sebagai berikut:
(1) Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8
bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4500.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama
7 tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Pasal 351 KUHP itu
merupakan tindak pidana materiil, hingga tindak pidana tersebut baru dapat
dianggap sebagai telah selesai dilakukan oleh pelakunya, jika akibatnya yang
tidak dikehendaki oleh undang-undang itu benar-benar telah terjadi, yakni
berupa rasa sakit yang dirasakan oleh orang lain. Untuk dapat dipidananya
pelaku, akibat berupa rasa sakit pada orang lain itu harus benar-benar timbul,
akan tetapi opzet dari pelaku tidaklah perlu ditujukan pada akibat tersebut.
8R. Soesilo, 1991, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, hlm 120.
93 Nurhafifah & Reza Pahlevi
Unsur lain yang tidak kalah pentingnya dalam rumusan tindak pidana
penganiayaan dalam bentuk pokok adalah unsur luka berat atau unsur zwaar
lichamelijk letsel, yakni yang terdapat di dalam rumusan Pasal 351 dan Pasal
353 KUHP. Pasal 90 KUHP telah memasukkan beberapa keadaan ke dalam
pengertian luka berat pada tubuh atau ke dalam pengertian zwaar lichamelijk
letsel, sebagai berikut:9
1) Penyakit atau luka yang tidak dapat diharapkan akan dapat sembuh secara
sempurna atau yang menimbulkan bahayanya bagi nyawa.
2) Ketidakcakapan untuk melaksanakan kegiatan jabatan atau pekerjaan
secara terus-menerus.
3) Kehilangan kegunaan dari salah satu pancaindra, Lumpuh.
4) Terganggunya akal sehat selama waktu lebih dari empat minggu.
5) Keguguran atau matinya janin dalam kandungan seorang wanita.
2) Penganiayaan Ringan
Kejahatan yang dikualifikasikan sebagai penganiayaan ringan (lichte
mishandeling) yang dimuat dalam Pasal 352 KUHP, yang rumusannya
sebagai berikut:
(1) Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan Pasal 356, maka
penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, diancam sebagai
penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana
dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejaatan ini
terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Dari ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP
tersebut diatas itu dapat diketahui, bahwa untuk dapat disebut sebagai tindak
9P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, 2012, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap
Nyawa, Tubuh, & Kesehatan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 151.
Vol.5 No.1ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
94 Nurhafifah & Reza Pahlevi
pidana penganiayaan ringan, tindak pidana tersebut harus memenuhi beberapa
syarat sebagai berikut:10
a. Bukan merupakan tindak pidana penganiayaan dengan direncanakan
terlebih dahulu.
b. Bukan merupakan tindak pidana penganiayaan yang dilakukan:
a) Terhadap ayah atau ibunya yang sah, terhadap suami, istri, atau
terhadap anaknya sendiri.
b) Terhadap seorang pegawai negeri yang sedang menjalankan tugas
jabatannya secara sah.
c) Dengan memberikan bahan-bahan yang sifatnya berbahaya untuk
nyawa atau kesehatan manusia.
c. Tidak menyebabkan orang yang dianiaya menjadi sakit atau terhalang
dalam melaksanakan tugas-tugas jabatannya atau dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatan pekerjaannya.
3) Penganiayaan Berencana
Pasal 353 KUHP mengenai penganiayaan berencana dirumuskan
sebagai berikut:
(1) Penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
10
Ibid, hlm 144.
95 Nurhafifah & Reza Pahlevi
Salah satu unsur penting yang terdapat dalam rumusan tindak pidana
yang diatur dalam Pasal 353 ayat (1) KUHP itu ialah unsure voorbedachte
raad yang oleh para penerjemah biasanya telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan kata direncanakan lebih dahulu.11
Unsur voorbedachte raad itu dianggap telah dipenuhi oleh seorang
pelaku, jika keputusannya untuk melakukan suatu tindakan terlarang itu telah
ia buat dalam keadaan tenang dan pada waktu itu ia juga telah
memperhitungkan mengenai arti dari perbuatannya dan tentang akibat-akibat
yang dapat timbul dari perbuatannya itu. Beliau berpendapat bahwa antara
waktu seorang pelaku membuat suatu rencana dengan waktu ia melaksanakan
rencananya itu harus terdapat suatu jangka waktu tertentu, karena sulit bagi
orang untuk mengatakan tentang adanya suatu voorbedachte raad, jika
pelakunya ternyata telah melakukan perbuatannya, yaitu segera setelah ia
mempunyai niat untuk melakukan perbuatan tersebut.
4) Penganiayaan Berat
Yang dimaksud dengan tindak pidana penganiayaan berat oleh
undang-undang dirumuskan dalam Pasal 354 ayat (1) dan ayat (2) KUHP,
sebagai berikut:
(1) Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena
melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama
delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.
11
Ibid, hlm 149.
Vol.5 No.1ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
96 Nurhafifah & Reza Pahlevi
Dalam Pasal ini harus diketahui bahwa tindak penganiayaan berat ini
harus dilakukan dengan sengaja dan opzet dari pelaku itu harus ditujukan
pada perbuatan untuk menimbulkan luka berat pada tubuh orang lain.
5) Penganiayaan Berat dengan Direncanakan Lebih Dulu
Penganiayaan berat dengan rencana terlebih dahulu, dirumuskan
dalam Pasal 355 KUHP, yaitu sebagai berikut:
(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Tindak pidana penganiayaan berat dengan direncanakan lebih dulu
merupakan suatu gequalificeerde zware mishandeling atau suatu penganiayaan
berat dengan pemberatan, yakni sama dengan tindak pidana penganiayaan
berat seperti yang diatur dalam Pasal 354 KUHP, yanng karena didalamnya
terdappat suatu unsur yang memberatkan maka pidana yang diancamkan
terhadap pelakunya menjadi diperberat. Unsur yang memberatkan itu ialah met
voorbedachte raad atau dengan direncanakan terlebih dahulu.
6) Keikutsertaan dalam Penyerangan atau Perkelahian yang Dilakukan oleh
Beberapa Orang
Tindak pidana turut serta dalam penyerangan atau perkelahian
dirumuskan dalam BAB XX tentang Penganiayaan Pasal 358 KUHP yang
isinya sebagai berikut:
“Mereka yang sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian di
mana terlibat beberapa orang, selain tanggung jawab masing-masing
terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya, diancam:
(1) Dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan jika akibat
penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat;
97 Nurhafifah & Reza Pahlevi
(2) Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, jika akibatnya ada
yang mati.”
Keikutsertaan dalam penyerangan atau perkelahian itu harus dilakukan
secara sengaja, dan agar pelakunya dapat dipidana, pelaku tersebut harus
menghendaki untuk turut serta dalam penyerangan atau perkelahian yang
bersangkutan, dan bukan karena ia telah tersangkut dalam penyerangan atau
perkelahian tersebut. Selain itu, unsur menyebabkan luka berat pada tubuh dan
menyebabkan kematian seseorang juga merupakan keadaan-keadaan yang
menyebabkan orang dapat dipidana karena tindak pidana kesengajaan turut
serta dalam suatu penyerangan atau suatu perkelahian di mana terlibat
berbagai orang, atau menurut istilah Prof. Van Bemmelen, luka berat pada
tubuh dan kematian seseorang itu merupakan strafbepalende geovlgen atau
merupakan akibat-akibat yang membuat pelaku menjadi dapat dipidana.12
7) Terang-Terangan dan Dengan Tenaga Bersama Melakukan Menggunakan
Kekerasan Terhadap Orang atau Barang.13
Pasal 170 KUHP:
(1) Barangsiapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama
menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Yang bersalah diancam:
a. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan
sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang
digunakan mengakibatkan luka-luka.;
b. Dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika
kekerasan mengakibatkan luka berat;
c. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika
kekerasan mengakibatkan maut.
12
Ibid, hlm 200 – 202. 13
Saut Marulitua Silalahi, “Sekilas Pasal 170 KUHP”, https://sautvankelsen.wordpress.
com/2010/08/04/sekilas-pasal-170-kuhp/, diakses pada 10 Januari 2018, Pukul 20.34 WIB.
Vol.5 No.1ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
98 Nurhafifah & Reza Pahlevi
Dari pasal tersebut maka unsur yang terkandung dalam Pasal 170
KUHP tersebut adalah sebagai berikut:
1. Unsur Barangsiapa.
Hal ini menunjukkan kepada orang atau pribadi sebagai pelaku.
2. Dengan terang-terangan.
Perbuatan tersebut dilakukan di depan publik, dimana semua orang dapat
melihatnya.
3. Dengan tenaga bersama.
Artinya perbuatan kekerasan tersebut dilakukan oleh dua orang atau
lebih secara bersama-sama. Arti kata bersama-sama ini menunjukkan
bahwa perbuata itu dilakukan dengan sengaja (delik dolus) atau memiliki
tujuan yang pasti, jadi bukanlah merupakan ketidaksengajaan (delik
culpa).
4. Kekerasan
Kekerasan dengan mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang
tidak kecil dan tidak sah. Kekerasan dalam pasal ini biasanya terdiri dari
“merusak barang” atau “penganiayaan”.
5. Terhadap orang atau barang.
Kekerasan itu harus ditujukan kepada orang atau barang sebagai korban.
Penggunaan pasal ini tidaklah sama dengan penggunaan Pasal 351
KUHP, dikarenakan dalam pasal ini pelaku adalah lebih dari satu, sedangkan
dalam Pasal 351 KUHP, pelaku adalah satu orang, ataupun dapat lebih dari
satu orang dengan catatan dilakukan tidak dalam waktu yang bersamaan.
Seseorang dapat saja mendapat perlakuan kekerasan dari dua orang atau lebih
99 Nurhafifah & Reza Pahlevi
tetapi para pelaku tidak melakukannya bersama-sama atau tidak sepakat dan
sepaham untuk melakukan kekerasan itu, maka hal ini sudah memasuki ranah
Pasal 351 KUHP.14
Kekerasan yang dilakukan sesuai Pasal 170 KUHP sudahlah tentu
dilakukan oleh para pelaku dalam waktu yang bersamaan ataupun dalam
waktu yang berdekatan dengan syarat ada kesepakatan dan kesepahaman
untuk berbuat tindakan kekerasan tersebut terhadap orang atau barang.
Perbedaan yang paling mendasar Pasal 170 KUHP dengan Pasal 351
KUHP adalah dilakukannya tindakan itu di hadapan orang banyak atau di
ruang publik terbuka, sedangkan pada Pasal 351 KUHP hal ini tidak
dibedakan, apakah dilakukan di ruang tertutup untuk umum ataupun di ruang
publik terbuka.
B. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Penganiayaan Biasa
Ada 3 (tiga) putusan yang menjadi objek pembahasan dalam penelitian
ini tentang penganiayaan biasa yang penyelelesaiannya dilakukan di
Pengadilan Negeri Banda Aceh yaitu: putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh
Nomor : 10/Pid.B/2016/ PN-Bna, Putusan Nomor 174/Pid.B/2016/PN.Bna dan
Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor 89/Pid.B/2017/ PN Bna.
Penyebab terjadinya pemukulan dilakukan oleh terakwa terhadap saksi
korban dikarenakan terdakwa tidak menerima ditegur oleh saksi korban
dengan kata-kata “tidak boleh ramai-ramai berada di ruangan IGD RSUZA dr.
Zainoel Abidin dan peraturan di IGD RSUZA dr. Zainoel Abidin 1(satu) orang
14
Ibid.
Vol.5 No.1ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
100 Nurhafifah & Reza Pahlevi
pasien yang jaga hanya diperbolehkan 1(satu) orang dari pihak keluarga
pasien”.
Berkaitan dengan kasus ini (Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh
Nomor: 10/Pid.B/2016/ PN-Bna) penyebab terjadinya tindak pidana
penganiayaan biasa berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan dapat
diketahui pelaku melakukan penganiayaan dikarenakan merasa keberatan
dengan suatu aturan/larangan yang diterapkan oleh korban kepada pelaku
dan/atau keluarga pelaku, yaitu menerapkan peraturan Instalasi Gawat Darurat
(IGD) tidak boleh ramai, korban menjelaskan bahwasanya ruang IGD hanya
boleh satu pasien satu orang yang bisa menjaganya. Pelaku merasa sakit hati
yang diakibatkan oleh larangan korban, sambil meninggalkan korban, lalu tiba-
tiba korban menghampiri lalu memukul kepala korban dibagian belakang
sebelah kanan saksi korban dengan tangan sebelah kanan sebanyak 1(satu) kali
sekuatnya sehingga saksi korban terjatuh lalu saksi korban tidak sadarkan diri
dan pingsan.15
Pelaku mengemukakan bahwa peraturan IGD yang menentukan bahwa
hanya boleh satu pasien satu orang yang bisa menjaganya merupakan peraturan
yang sama sekali tidak menghargai pasien beserta keluarganya. Padahal,
pasien dalam keadaan yang sakit sangat mengharapkan keberadaan anggota
keluarga untuk menjaga. Oleh sebab itu, ketika ada larangan peraturan
semacam itu, yang bersangkutan mengakui sulit untuk menerimanya dan
15
Totok Yanuarto, Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh, Wawancara, Tanggal 3
Januari 2018.
101 Nurhafifah & Reza Pahlevi
merasa keberadaan pasien dan keluarga di rumah sakit tersebut sama sekali
tidak dihargai oleh petugas pengamanan.16
C. Upaya yang Ditempuh dalam Menanggulangi Terjadinya Tindak Pidana
Penganiayaan Biasa
Ketika suatu kasus pidana telah dilaporkan oleh korban kepada penegak
hukum, penegak hukum dalam hal ini kepolisian, kejaksaan dan pengadilan
sehingga lahirnya lahirnya suatu putusan, maka secara otomatis penegak
hukum telah melakukan upaya represif, yaitu segala tindakan yang dilakukan
oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadinya tindakan pidana. Tindakan ini
dapat dipandang sebagai pencegahan untuk masa yang akan datang. Tindakan
ini meliputi cara aparat hukum dalam melakukan penyidikan, penyidikan
lanjutan, penuntutan pidana, pemeriksaan di pengadilan, eksekusi, dan
seterusnya sampai pembinaan narapidana.17
Pada dasarnya ada 3 (tiga) upaya penanggulangan tindak pidana dapat
ditempuh, yaitu: penerapan hukum pidana, pencegahan tanpa pidana, dan
mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
lewat media massa. Dalam hal terjadinya penganiayaan biasa upaya yang
biasanya ditempuh lebih menitikberatkan pada sifat represif adalah penerapan
hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana.18
16
Syahril, Pelaku Tindak Pidana Penganiayaan Biasa, Wawancara, Tanggal 28
Desember 2017. 17
Totok Yanuarto, Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh, Wawancara, Tanggal 3
Januari 2018. 18
Totok Yanuarto, Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh, Wawancara, Tanggal 3
Januari 2018.
Vol.5 No.1ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
102 Nurhafifah & Reza Pahlevi
Dalam mengatasi kejahatan sanksi hukum berupa sanksi pidana
merupakan sanksi yang paling efektif dalam menangani dan/atau
menanggulangi kejahatan. Meskipun demikian dalam hukum pidana dikenal
adanya asas yakni hukum pidana sebagai suatu upaya terakhir (ultimum
remidium). Hukum pidana diberlakukan sebagai ultimum remidium agar selain
memberikan kepastian hukum, juga agar proses hukum pidana yang cukup
panjang dapat memberikan keadilan baik terhadap korban maupun terhadap
pelaku itu sendiri.19
Sebenarnya, terhadap tindak pidana penganiayaan biasa penyelesaian
perkaranya tidak harus dilanjutkan ke pengadilan. Penyelesaiannya dapat
diselesaikan melalui penyelesaian perkara dengan ADR (Alternative Dispute
Resolution) seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. ADR (Alternative
Dispute Resolution) merupakan penyelesaian suatu perkara diluar peradilan
melalui upaya damai yang mengedepankan prinsip win-win soltion yaitu kedua
belah pihak yang berperkara sama-sama merasa menang dan tidak ada yang
merasa dikalahkan. Namun terhadap perkara penganiayaan biasa yang terjadi
di wilayah hukum Pengadilan Negeri Banda Aceh, sangat jarang ditemukan
penyelesaian perkara tersebut melalui upaya damai, tetapi penyelesaiannya
dilakukan di pengadilan.20
19
Rahmawati, Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh, Wawancara, Tanggal 3 Januari
2018. 20
Yusrizal, Advokat/Penasehat Hukum di Banda Aceh, Wawancara, Tanggal 8
Januari 2018.
103 Nurhafifah & Reza Pahlevi
Biasanya perkara penganiayaan ringan yang sering diselesaikan secara
adat di tingkat gampong oleh oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas:
keuchik, imeum meunasah, tuha peut, sekretaris gampong dan ulama,
cendekiawan dan tokoh adat lainnya di gampong yang bersangkutan.
Penyelesaian perkara tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana
telah diatur dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan
Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.21
Berdasakan keterangan sebagaimana disebutkan di atas dapat
disimpulkan bahwa upaya yang ditempuh dalam rangka menanggulangi
terjadinya tindak pidana penganiayaan biasa yaitu dilakukan dengan upaya
represif, yaitu segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum
sesudah terjadinya tindak pidana (penerapan hukum pidana terhadap pelaku
tindak pidana). Tindakan ini dapat dipandang sebagai pencegahan untuk masa
yang akan datang agar pelaku tindak pidana penganiayaan biasa tidak
mengulangi melakukan tindak pidana (residivis).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang sebelumnya telah dipaparkan
pada di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab terjadinya
tindak pidana penganiayaan biasa yaitu dipengaruhi oleh faktor intern (faktor
yang berasal dari dalam diri pelaku) seperti adanya sifat marah atau sakit hati
yang disebabkan adanya suatu perselisihan, sehingga menimbulkan emosi
21
Yusrizal, Advokat/Penasehat Hukum di Banda Aceh, Wawancara, Tanggal 8
Januari 2018.
Vol.5 No.1ISSN 2087-4758
Jurnal Hukum dan Keadilan
MEDIASI
104 Nurhafifah & Reza Pahlevi
pelaku penganiayaan biasa yang berlebihan terhadap korban penganiayaan.
Upaya yang ditempuh dalam rangka menanggulangi terjadinya tindak pidana
penganiayaan biasa yaitu dilakukan dengan upaya represif, yaitu segala
tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum yang dimulai dari
proses penangkapan hingga proses pembinaan di lembaga permasyarakatan.
Tindakan ini dapat dipandang sebagai pencegahan untuk masa yang akan
datang agar pelaku tindak pidana penganiayaan biasa tidak mengulangi
melakukan tindak pidana (residivis) tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Leden Marpaung, 2002, Tindak Pidana terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantas
dan Prevensinya), Sinar Grafika, Jakarta.
Satochid Kartanegara, 1998, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliyah Bagian Dua, Balai
lektur Mahasiswa, Jakarta.
Soenarto Soerodibroto, 1994, KUHP dan KUHAP, PT. Rajagrafindo Persada,
Jakarta.
Tirtaamidjaja, 1955, Pokok-pokok Hukum Pidana, Fasco, Jakarta.
Wirdjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika
Aditama, Bandung.
B. Jurnal
Teguh Syuhada Lubis, 2017, Penyidikan Tindak Pidana Penganiayaan Berat
Terhadap Anak, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera
Utara Vol. 3 No. 1 Mare, hlm 134.
C. Peraturan perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)