Jurnal Reading MATA

download Jurnal Reading MATA

of 23

description

Mata

Transcript of Jurnal Reading MATA

Jurnal ReadingViral involvement in the pathogenesis and clinical features of opthalmic pterygium Dikutip dari : International Journal of Molecular Medicine 32, halaman: 539-543, 2013

MAHESA BONANG 110.2008.144

Pembimbing :dr. Dasril Dahar, SpMdr. Rita Murnikusumawati, SpM

Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi JakartaKepaniteraan Ilmu Kesehatan MataRS Muhammad Ridwan Meureksa, 2014Keterlibatan Viral Dalam Patogenesis dan Manifestasi Klinis Pterygium Ophthalmica

Oleh : AIKATERINI K. CHALKIA, DEMETRIOS A. SPANDIDOS and EFSTATHIOS T. DETORAKISDepartments of Ophthalmology and Virology, University Hospital of Heraklion, 71110 Heraklion, Crete, Greece. July 12, 2013

AbstrakPterygium adalah lesi fibrovascular yang berpotensi mengancam penglihatan yang berasal dari konjungtiva yang sering meluas pada permukaan kornea . Meski telah dipelajari secara ekstensif , patogenesis belum sepenuhnya dijelaskan. Bukti terbaru tentang kelainan genetik molekuler dalam pterygium adalah perubahan neoplastik dari limbal stem sel potensial yang berkaitan dengan paparan sinar ultraviolet ( UV ). Human papillomavirus ( HPV ) adalah virus onkogenik , yang berhubungan dengan lesi squamo - proliferasi daerah anogenital, kulit dan orofaring . Beberapa studi telah menunjukkan keterlibatan HPV dalam patogenesis lesi neoplastik konjungtiva, termasuk papiloma dan karsinoma sel skuamosa. Keterlibatan HPV sebagai co - faktor dalam patogenesis pterygium, meskipun disarankan oleh beberapa studi menggunakan PCR dan teknik imunohistokimia, masih kontroversial. Selain itu, variasi dalam prevalensi HPV pada pterygium mata telah dilaporkan oleh studi yang berbeda. Kerentanan etnis dan perbedaan metodologis dalam mendeteksi HPV dapat menjelaskan variasi ini. Eksisi bedah, menggunakan teknik yang canggih, adalah metode standar pada terapi untuk pterygium. Namun, lesi sering kambuh dan berulang cenderung lebih agresif. Jika memang HPV yang terlibat dalam patogenesis pterygium atau kekambuhannya, obat antivirus atau vaksinasi mungkin pilihan baru dalam terapi pterygium.

1. PendahuluanPterygium adalah lesi fibrovascular berbentuk sayap dari permukaan mata yang tidak diketahui asal dan patogenesisnya. Tumbuh di daerah konjungtiva interpalpebral, lebih sering dari bagian nasal, dan menyerang epitel kornea yang berdekatan (Gambar 1). Pertumbuhan pterygium dapat menyebabkan astigmatis irreguler, jaringan parut kornea, pembatasan motilitas okular, atau peradangan permukaan mata yang kronis. Pengobatan sejauh ini secara bedah eksklusif, namun, pterygium sering cenderung kambuh agresif. Hal ini telah mengakibatkan penggunaan teknik bedah canggih dalam upaya untuk mengurangi tingkat kekambuhan (Gambar 2).Meskipun patogenesis pterygium tetap menjadi teka-teki, studi epidemiologi menunjukkan bahwa pterygium adalah penyakit mata yang berhubungan dengan matahari (ophthalmoheliosis). Bahkan, prevalensi pterygium tampaknya dikaitkan dengan lintang geografis, dengan prevalensi yang lebih tinggi di daerah-daerah yang terletak di daerah antara 40 di khatulistiwa, menunjukkan bahwa kontak yang terlalu lama dengan radiasi ultraviolet (UV) dapat mencetuskan kejadian pterygium. Selain itu, kejadian microtrauma berulang, dimediasi oleh paparan debu, peradangan konjungtiva kronik, predisposisi genetik dan kekeringan okular semuanya telah dilaporkan terlibat dalam pterygium, yang menunjukkan patogenesis multifaktorial. Bukti menunjukkan bahwa genetik limbal stem sel epitel mungkin memainkan peran penting pada proses peleburan lapisan Bowman, remodeling matriks, proliferasi sel dan angiogenesis, mungkin dengan melibatkan sitokin, matriks metaloproteinase dan faktor pertumbuhan. Terutama, di antara berbagai teori yang diusulkan untuk patogenesis pterygium sejauh ini, kemungkinan mekanisme menular (kemungkin virus) dalam setidaknya subkelompok pterygia. Kemungkinan ini penting karena, jika hal tersebut terbukti valid, itu bisa membenarkan pilihan pengobatan invasif atau meminimalkan invasif melalui obat antivirus.

2. Teori dari penularan patogenetik co-factor pada pterygiumPterygium sebelumnya telah dianggap sebagai kondisi degeneratif. Hipotesis ini, bagaimanapun, telah ditentang dalam beberapa tahun terakhir oleh deteksi perubahan penting molekuler genetik pada pterygium, termasuk hilangnya heterozigositas (LOH) dari DNA mikrosatelit atau mutasi berlebih dari versi p53 oleh fungsinya, yang dapat mendorong pertumbuhan tumor. Dengan demikian, proses patogenetik, dengan partisipasi dari turunan genetik, radiasi UV dan, yang penting, infeksi virus onkogenik telah diusulkan untuk patogenesis pterygium (gambar 3). Menurut ini 'dua hipotesis, turunan genetik atau paparan faktor lingkungan seperti UVR bisa mempengaruhi individu untuk penyakit neoplastik jinak ini ('hipotesis pertama'). Virus onkogenik, atau tambahan paparan UVR, menambah kerusakan lebih lanjut ke materi genetik yang sudah rentan, mungkin merupakan stimulus awal pembentukan atau kekambuhan pterygium ('hipotesis kedua'). Model teoritis ini telah didukung oleh deteksi strain HPV yang dianggap berisiko tinggi untuk pengembangan kanker, termasuk didalamnya E6 dan E7 merupakan protein yang mengganggu fungsi p53.

Gambar 1. (A) Nasal bilateral pterygium. (B dan C) Tingkat kemajuan lesi pada permukaan kornea mata kanan dan kiri ditunjukan saat keadaan abduksi.

Gambar 2. (A) Gambaran intraoperatif dari eksisi nasal dan temporal pterygium. (B) Nasal pterygium telah dieksisi dan lukanya ditutup dengan konjungtival autograf yang diambil dari area konjungtiva bulbi superior. (C) Temporal pterygium telah dieksisi dan luka ditutup dengan konjungtival flap lokal. (D) Penampang akhir dari prosedur yang dilakukan.

Gambar 3. Sebuah model multi-langkah yang diusulkan untuk patogenesis pterygium, di mana kecenderungan genetik, keterlibatan virus dan faktor lingkungan berpartisipasi.

3. Deteksi virus pada pterygiumBanyak penelitian telah dilakukan untuk menyelidiki keterlibatan berbagai virus onkogenik, termasuk HPV, CMV, HSV atau EBV, dalam pengembangan dan kekambuhan pterygium (Tabel I). Kehadiran HPV dalam pterigium telah dilaporkan oleh beberapa studi, dengan prevalensi berkisar dari sangat rendah sampai hampir 100% kasus. Prevalensi berbagai herpes-virus pada pterygium juga berbeda jauh antara laporan. Studi dari Yunani terdeteksi HSV pada 22-45% dan CMV pada 40% pada pterygia yang diperiksa. Di sisi lain, dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Taiwan Chen et al meneliti peran HSV di pterygium, di mana prevalensi hanya 5% yang dilaporkan. Studi lain dari Turki terdeteksi EBV-DNA pada 10% dari pterygia yang diperiksa. Seperti perbedaan dalam prevalensi deteksi virus onkogenik di pterygium mungkin sebagian dapat dijelaskan oleh faktor-faktor etnis atau geografis atau dengan teknik laboratorium. Namun, hal itu juga mungkin mencerminkan sifat heterogen patogenesis pterygium dan kemungkinan bahwa virus onkogenik hanya mempengaruhi sub-kelompok dari pterygia ophtalmica.

4. Keadaan saat ini pada deteksi HPV dalam pterigiumDengan mempertimbangkan bahwa HPV adalah virus onkogenik yang paling sering dilaporkan terkait dengan pterygium mata, beberapa penelitian telah difokuskan pada deteksi HPV dan mentipe untuk menilai potensi peran HPV yang berperan dalam proses pathogenetik yang mengarah ke pembentukan pterygium. Dari catatan, studi tertentu (seperti orang-orang dari SJO et al dari Denmark, Takamura et al dari Jepang atau Hsiao et al dari Taiwan) telah gagal untuk mendeteksi HPV atau laporan prevalensi sangat rendah dari HPV yang diperiksa pada pterygia. Selain itu, Dushku et al mendeteksi p53 berlebih pada epitel limbal dari pterygia yang diteliti dengan semua sampel yang negatif untuk DNA HPV, menunjukkan bahwa faktor-faktor lain selain infeksi, HPV bertanggung jawab atas overekspresi dari p53. Untuk menyelidiki peran HPV dan varians prevalensi pada pterygium dalam penelitian yang berbeda, Piras et al menseleksi pasien dari dua populasi geografis yang jauh, Italia dan Ekuador. HPV terdeteksi di semua pterygia pasien dari Italia, tetapi hanya 21% dari pterygia dari Ekuador. Dalam penelitian tersebut, faktor geografis dan etnis yang diusulkan sebagai penjelasan yang mungkin untuk perbedaan dalam prevalensi HPV dalam pterigium, mendukung multi-faktorial patogenesisnya.

5. Deteksi HPV pada permukaan lesi okularSelama tiga dekade terakhir DNA HPV telah terdeteksi di berbagai lesi mata dari permukaan mata dan bahkan dalam konjungtiva fenotip normal. Infeksi HPV telah sangat berkorelasi dengan patogenesis dan kekambuhan papiloma konjungtiva, conjunctival intraepithelial neoplasia (CIN) dan squamous cell carcinoma of the conjunctiva (SCCC). HPV juga dapat hidup berdampingan dalam lesi SCCC dengan virus onkogenik lainnya, seperti HIV, sehingga sulit untuk menentukan pentingnya HPV per se dalam pengembangan lesi ini. Fakta bahwa pterygium juga sering dilaporkan berdampingan dengan lesi neoplastik permukaan mata, mendukung hipotesis dari infeksi virus onkogenik atau kerjasama sebagai model pathogenetic. Mendapatkan sel dari permukaan okular melalui metodologi non-invasif, termasuk teknik sitologi pengelupasan kulit, dapat memungkinkan deteksi infeksi HPV pada pterygia.

6. Metodelogi untuk deteksi HPV pada pterygiumHPV adalah virus yang tidak memiliki kapsul dengan simetri ikosahedral, terdiri dari genom DNA beruntai ganda melingkar. HPV menyebabkan infeksi pada kulit dan selaput lendir daerah anogenital dan orofaring. Lebih dari 100 jenis telah sepenuhnya diurutkan dan beberapa tampaknya memainkan peran penting dalam perkembangan tumor. Menurut potensi onkogenik, HPV dibagi menjadi jenis risiko rendah dan tinggi (tipe onkogenik / berisiko tinggi: 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68 , 73, 82 dan berpotensi jenis onkogenik: 26, 53, 66) (17,40,41).Diagnosis infeksi virus didasarkan pada deteksi DNA HPV. Namun, modus pengumpulan sampel, kuantitas DNA HPV dari sampel terisolasi dan penggunaan berbagai teknik deteksi DNA HPV dengan sensitivitas dan spesifisitas yang berbeda, adalah faktor-faktor yang secara signifikan dapat mempengaruhi tingkat deteksi infeksi HPV.DNA HPV dapat langsung diisolasi dari spesimen biopsi dengan hibridisasi in situ (ISH), Southern blotting dan hibridisasi dot blot. Namun, teknik ini melelahkan, membutuhkan jumlah besar DNA dan sensitivitasnya terbatas.Dalam kasus di mana spesimen biopsi kecil dengan jumlah DNA HPV terbatas, tes amplifikasi asam nukleat dapat digunakan untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas tes. Hybrid Capture II (HC-II) adalah teknik amplifikasi sinyal non-radioaktif, akurat untuk lesi mukosa, yang membedakan jenis HPV berisiko tinggi dari risiko rendah, tetapi tidak sesuai untuk genotip.Karena sensitivitas tinggi, polymerase chain reaction (PCR) sering dikaitkan dengan tingkat hasil positif palsu. Southern blot, dot blot, reverse dot blot, pencernaan dengan endonuklease restriksi atau analisis urutan langsung dilakukan setelah amplifikasi DNA dapat membantu meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas tes. Real-time PCR atau PCR kuantitatif (qPCR) memungkinkan deteksi cepat dan kuantifikasi dari viral load selama berbagai siklus proses PCR (real-time). Reverse transcriptase-PCR (RT-PCR) merupakan uji kualitatif yang memungkinkan identifikasi ekspresi gen virus dengan menggunakan reverse transcriptase. Kombinasi dari dua teknik, RT-PCR kuantitatif atau real-time RT-PCR (QRT-PCR), dianggap sebagai uji pilihan pertama untuk mendeteksi ekspresi gen virus karena menggabungkan keunggulan kuantitatif dan kualitatif dari dua metode.

7. Intervensi terapeutik potensial pada infeksi HPV pterygiumPengobatan pterygium meliputi bedah eksisi dan kadang terapi adjunctive. Beberapa teknik bedah telah dijelaskan: bare sclera closure, sliding conjunctival flap, penggunaan autologous konjungtiva dan cangkok limbal atau selaput amniotik (Gambar 2). Karena kemungkinan komplikasi dan biaya perawatan bedah dan risiko kekambuhan, sering agresif, berbagai terapi tambahan telah diusulkan, termasuk -iradiasi dan penggunaan mitomycin C atau 5-fluorouracil. Namun metode ini telah dikaitkan dengan nekrosis corneoscleral, defisiensi stem sel limbal dan tingkat kekambuhan variabel. B-iradiasi juga telah dikaitkan dengan pembentukan katarak.Interferon adalah golongan protein dengan antivirus, antiproliferatif, sifat antiangiogenetic dan imunomodulator, dihasilkan dari organisme dalam menanggapi berbagai rangsangan. Bentuk rekombinan -2b (IFN--2b) telah digunakan untuk pengobatan acuminata kondiloma, hepatitis B dan C kronis, sarkoma Kaposi, melanoma ganas, leukemia sel berbulu dan limfoma folikel. Tidak seperti mitomycin C dan 5-fluorouracil, efek samping yang berkaitan dengan administrasi topikal atau sub-konjungtiva dari IFN--2b lebih rendah. IFN--2b dalam bentuk tetes mata telah berhasil digunakan sejauh ini dalam pengelolaan CIN dan papiloma konjungtiva. IFN--2b juga telah dilaporkan untuk mencegah terulangnya pterygium. Namun, penyelidikan tambahan diperlukan untuk sepenuhnya menilai nilai modalitas pengobatan ini dalam pengobatan pterigium.

8. Kesimpulan Meskipun kontroversi dalam literatur medis tentang keterlibatan HPV dalam pterigium (mungkin karena kerentanan rasial atau perbedaan metodologis), kebanyakan studi setuju bahwa HPV terdeteksi dalam setidaknya sub-kelompok pterygia dan bahwa infeksi HPV dapat mempengaruhi patogenesis dan perilaku klinis (termasuk kekambuhan) dari lesi ini. Dengan demikian, itu akan menjadi menarik untuk dieksplorasi kemungkinan obat anti-virus atau bahkan vaksinasi, yang mungkin merupakan pilihan baru dalam terapi yang dipilih pada pterygia akibat infeksi HPV.

TINJAUAN PUSTAKA

PTERIGIUM

I. DEFENISI

Pterigium merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada mata yang patogenesisnya masih belum jelas.1 Pterigium (L. Pterygion = sayap) adalah suatu proses degeneratif dan hiperplastik dengan fibrovaskular berbentuk segitiga (sayap) yang muncul pada konjungtiva, tumbuh terarah dan menginfiltrasi permukaan kornea antara lain lapisan stroma dan membrana Bowman.2-4 Pterigium pertama kali ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli bedah mata pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi.4 Pterigium dapat bervariasi bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi sampai lesi fibrovaskular besar yang tumbuh agresif dan cepat yang dapat merusak topografi kornea, dan yang selanjutnya, mengaburkan bagian tengah optik kornea.5 Dulu penyakit ini dianggap sebagai suatu kondisi degeneratif, pterigium juga menampilkan ciri-ciri seperti tumor, seperti kecenderungan untuk menginvasi jaringan normal dan tingkat rekurensi yang tinggi setelah reseksi, dan dapat hidup berdampingan dengan lesi premalignan sekunder.6 Banyak literatur melaporkan faktor-faktor etiologi berikut yang mungkin menjadi penyebab terjadinya pterigium: radiasi ultraviolet (UV), radang mata kronis, efek toksik zat kimia. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi.1-3,7

II. EPIDEMIOLOGI DAN INSIDENS

Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagiandunia, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. Studi epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari yang kronis, dengan meningkatnya prevalensi geografis dalam peri-khatulistiwa garis lintang 370 utara dan selatan khatulistiwa 'sabuk pterigium'.8 Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang berkulit hitam (usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis 13 utara khatulistiwa,memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%) sedangkan tingkat prevalensi orang kulit putih di perkotaan (usia 40-101 tahun) Melbourne, Australia kurang dari (1,2%). Prevalensi pterigium orang kulit putih lebih dari 40 tahun di pedesaan Australia (6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang lebih dari 40 memiliki tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian ini juga melaporkan orang Indonesia lebih dari 40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera (16,8%) yakni lebih tinggi daripada semua ras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya, kecuali dengan penduduk kulit hitam dari Barbados. 9Secara umum studi lain pterigium, prevalensi pterigium di Sumatera meningkat seiring bertambahnya usia.9 Hal yang jarang terjadi untuk seseorang menderita pterigium sebelum usia 20 tahun. Pasien lebih dari dari 40 tahun memiliki prevalensi tertinggi untuk terjadinya pterigium, sementara pasien berusia 20-40 tahun dilaporkan memiliki insiden tertinggi terjadinya pterigium.10 Hal yang berbeda dengan beberapa studi dimana pterigium ditemukan lebih banyak pada laki-laki.9 Tingkat rekurensi pada pasca ekstirpasi di Indonesia berkisar 35 % - 52 %. Data di RSCM angka rekurensi pterigium mencapai 65,1 % pada penderita dibawah usia 40 tahun dan sebesar 12,5 % diatas 40 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa kekambuhan pasca transplantasi limbal sel sebesar 14 % dan kekambuhan pasca bare sclera sebesar 40-75 % serta conjungtival graft sebesar 3-5%.3

III. ANATOMI KONJUNGTIVA

Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi permukaan aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata. Nama konjungtiva (conjoin: bergabung) diberikan kepada membran mukosa ini karena fakta bahwa ia menhubungkan bola mata dengan kelopak mata. Membentang dari pinggir kelopak mata ke limbus, dan membungkus ruang kompleks yang disebut sakus konjungtiva yang terbuka di depan fisura palpebral.2Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian (Gam. 1): Konjungtiva palpebralis. Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak mata dan melekat kuat pada tarsus. Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni konjungtiva marginal, tarsal, orbital.2,11 Konjungtiva marginal membentang dari tepi kelopak mata sekitar 2 mm pada bagian belakang kelopak sampai ke alur dangkal, yakni sulkus subtarsalis. Bagian ini sebenarnya zona transisi antara kulit dan konjungtiva lebuih tepatnya. Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan banyak mengandung vaskular. Bagian ini melekat kuat pada seluruh tarsal kelopak mata atas. Pada kelopak mata bawah, hanya melekat pada setengah bagian tarsal. Konjungtiva orbital terletak longgar antara tarsal dan forniks.2Konjungtiva bulbaris. melekat longgar pada sclera dan melekat lebih erat pada limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel kornea.2,11 bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episcleral dan kapsul Tenon. Terdapat sebuah dataran tinggi 3-mm dari konjungtiva bulbaris sekitar kornea disebut konjungtiva limbal.2 Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat secaralonggar dengan struktur dibawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva fornix dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.11Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu epitel, lapisan adenoid, dan lapisan fibrosa.2 1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-masing daerah dan dalam bagian-bagian sebagai berikut: Konjungtiva marginal memiliki 5 lapis epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva tarsal memiliki 2 lapis epitel: lapisan superficial terdiri dari sel-sel silinder dan lapisan dalam terdiri dari sel-sel datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris memiliki 3 lapis epitel: lapisan superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan tengah terdiri dari sel polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari sel kubus. Limbal konjungtiva memiliki lagi lapisan yang banyak (5 sampai 6 lapis) epitel berlapis gepeng. 2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari retikulum jaringan ikat halus dengan jerat dimana terdapat limfosit. Lapisan ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak ditemukan ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal kehidupan. Hal ini menjelaskan bahwa peradangan konjungtiva pada bayi tidak menghasilkan reaksi folikuler.3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis. Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah konjungtiva tarsal, di mana lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh dan saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu dengan mendasari kapsul Tenon di daerah konjungtiva bulbar.

Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar uniseluler yang terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di konjungtiva tarsal) dan kelenjar Manz (ditemukan dalam konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini mensekresi mucus yang penting untuk membasahi kornea dan konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris terdiri dari: Kelenjar Krause (terdapat pada jaringan ikat subconjunctival forniks, sekitar 42 buah di atas forniks dan 8 buah di bawah forniks) dan kelenjar Wolfring (terdapat di sepanjang batas atas tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus inferior). 2,12

Gambar 1. Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris, konjungtiva forniks, konjungtiva palpebralis.dikutip dari kepustakaan 11

Gambar 2. Vaskularisasi Konjungtiva dikutip dari kepustakaan 2Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna merah muda dari konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas bebas lateralnya berbentuk cekung. Korunkula adalah massa kecil, oval, merah muda, terletak di canthus bagian dalam. Pada kenyataannya, massa ini merupakan potongan modifikasi kulit dan ditutupi dengan epitel gepeng bertingkat dan berisi kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan folikel rambut.2Arteri yang memperdarahi konjungtiva berasal dari tiga sumber yakni arkade arteri perifer palpebra, arkade arteri marginal kelopak mata, dan arteri ciliaris anterior (Gam. 2). Konjungtiva palpebralis dan forniks diperdarahi oleh cabang-cabang dari arkade arteri perifer dan marginal palpebra. Konjungtiva bulbar diperdarahi oleh dua set pembuluh darah yaitu: arteri konjungtiva posterior yang merupakan cabang dari arteri kelopak mata, dan arteri konjungtiva anterior yang merupakan cabang dari arteri ciliaris anterior. Cabang terminal arteri konjungtiva posterior membentuk anastomosis dengan arteri konjungtiva anterior dan membentuk arkade pericorneal. Vena konjungtiva bermuara ke dalam vena pleksus kelopak mata dan beberapa mengelilingi kornea dan bermuara ke vena ciliaris anterior. Sistem limfatik konjungtiva tersusun dalam dua lapisan, yakni superficial dan profunda. Sistem ini dari sisi lateral bermuara ke limfonodus preaurikuler dan sisi medial bermuara ke limfonodus submandibular.2,12 Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.12

IV. ETIOLOGI

Etiologi pterigium sepenuhnya diketahui. Tetapi penyakit ini lebih sering pada orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan yang paling mungkin adalah pengaruh efek berkepanjangan faktor lingkungan seperti terpapar sinar matahari (sinar ultraviolet), panas, angin tinggi dan debu. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki disebut-sebut sebagai faktor etiologi mungkin.1-3,7 Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal pada kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini mengaktifkan faktor pertumbuhan jaringan yangmenginduksi angiogenesis dan proliferasi sel.1 Radiasi cahaya UV tipeB menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan dalam patogenesis pterigium. Penelitian terbaru telah melaporkan bahwa gen p53 dan human papillomavirus dapat juga terlibat dalam patogenesis pterigium.8

V. KLASIFIKASIPterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera, yaitu: 131. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3: Tipe I: Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas 4mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan. 2. Berdasarkan stadium pterigium dibagai ke dalam 4 stadium yaitu:7,13 Stadium 1 : invasi minimum, pertumbuhan lapisan yang transparan dan tipis, pertumbuhan pembuluh darah yang tipis hanya terbatas pada limbus kornea. Stadium 2: lapisan tebal, pembuluh darah profunda tidak kelihatan dan menginvasi kornea tapi belum mencapai pupil. Stadium 3:lapisan tebal seperti daging yang menutupi pupil, vaskularisasi yang jelas Stadium 4: pertumbuhan telah melewati pupil.3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:2,13 Pterigium progresif: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrate di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium) Pterigium regresif:tipis,atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk membrane, tetapi tidak pernah hilang.4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus diperiksa dengan slitlamppterigium dibagi 3 yaitu:13 T1(atrofi):pembuluh darah episkleral jelas terlihat. T2(intermediet):pembuluh darah episkleral sebagian terlihat. T3(fleshy,opaque):pembuluh darah tidak jelas.

VI. PATOFISIOLOGI Meskipun paparan sinar ultraviolet kronis memainkan peran utama, patogenesis pterigium belum sepenuhnya dipahami. Infeksi virus, mekanisme imunologi, remodeling matriks ekstraseluler, faktor pertumbuhan, sitokin, antiapoptotic mekanisme, dan faktor angiogenik berbagai semuanya telah terlibat dalam pathogenesis.8,14 Patogenesis pterigium ditandai dengan degenerasi kolagen dan elastotic proliferasi fibrovaskular yang menutupi epitel.4, 5 Radiasi sinar UV dapat menyebabkan mutasi pada gen seperti gen supresor tumor p53, sehingga berakibat pada terekspresinya gen ini secara abnormal pada epitel pterigium. Temuan ini menunjukkan bahwa pterigium bukan hanya lesi degeneratif, tetapi bisa menjadi manifestasi dari proliferasi sel yang tak terkendali. Matriks metalloproteinase (MMP) dan jaringan inhibitor MMPs (TIMPs) pada pinggir pterigium mungkin bertanggung jawab untuk proses inflamasi, tissue remodeling, dan angiogenesis yang menjadi ciri pterigium, serta perusakan lapisan Bowman dan invasi pterigium ke dalam kornea.1,6,8 Sinar UV menyebabkan mutasi pada gene suppressor tumor TP53 di sel basal limbal dan fibroblast elastic gene di epitel limbal (gambar 3). Karen kerusakan pada program apoptosis p53 oleh sinar UV, mutasi juga terjadi pada gen lainnya. Hal ini menyebabkan multistep perkembangan pterigium dan tumor sel limbal oleh ekspresi p53 pada sel epitel limbal.12,15 Mutasi pada gen TP53 atau family TP53 pada sel basal limbal juga menyebabkan terjadinya produksi berlebih dari TGF- melalui jalur p53-Rb-TGF-. Oleh karena itu, pterigium merupakan tumor secreting TGF-. Banyaknya sekresi TGF- oleh sel pterigium dapat menjelaskan macam-macam perubahan jaringan dan ekspresi MMP yang terjadi pada pterigium. Pertama, sel pterigium (sel epitel basal limbal) menghasilkan peningkatan MMP-2, MMP-9, MTI-MMP, dan MT2-MMP, yang menyebabkan terputusnya perlekatan hemidesmosom. Awalnya, sel pterigium akan bermigrasi secara sentrifugal ke segala arah menuju ke adjacent dan limbal corneal, limbus, dan membrane konjungtiva. Karena produksi TGF- oleh sel ini, terjadi penipisan jumlah lapisan pada daerah di atas, dan tidak ada massa tumor yang nampak tapi sebagai tumor yang tidak kelihatan. Selanjutnya, setelah perubahan pada seluruh sel basal limbus berkembang dan semua hemidesmosom lepas dari sel-sel ini, terjadi migrasi sel ke kornea diikuti oleh epitel konjungtiva, yang mengekspresikan 6 jenis MMP dan berkontribusi terhadap penghancuran lapisan bowman pada kornea. Sebagai tambahan, TGF- yang diproduksi oleh sel pterigium menyebabkan peningkatan monosit dan pembuluh darah kapiler dalam lapisan epitel dan stroma. Kemudian, sekelompok fibroblast normal berkumpul dibawah invasive epitel limbus di depan tepi yang rusak dari lapisan Bowman dan diaktivasi oleh jalur TGF--bFGF untuk memproduksi MMP-1 dan MMP-3 yang juga membantu dalam penghancuran lapisan bowman. Beberapa sitokin-sitokin ini mengaktivasi fibroblast untuk bermigrasi untuk membentuk pulau kecil fibroblast yang memproduksi MMP 1 dan juga berperan dalam penghancuran membran bowman.15 Semua proses di atas dapat dilihat pada gambar. 4. 15

Gambar 3. Kemungkinan jalur yang berperan dalam proses munculnya pterigium dikutip dari kepustakaan 15.

Gambar 4. Patogenesis invasif pterigium dikutip dari kepustakaan 15

Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat terjadi pada daerah yang kekurangan limbal stem cell. 1,6,8 Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi conjungtivalization pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan membrane mbuhan jaringan fibrotic. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar UV terjadi kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.6,12

Gambar 5. A. Patogenesis pterigium: kerusakan limbal fokal oleh karena sinar UV memicu migrasi mutasi limbal stem cell ke central kornea. B. defisiensi limbal stem cell menyebabkan conjungtivalization kornea dari segala arah dikutip dari kepustakaan 6

Patogenesis pterigium bisa bisa melibatkan respon inflamasi, seperti sejumlah besar limfosit infiltrasi sebagian besar sel-T (CD3 +), ditemukan di substantia propria spesimen pterigium. Hasil ini menunjukkan bahwa mekanisme imunologi, mungkin dari tipe hipersensitivitas 1, 3 dan 4 dapat berkontribusi pada patogenesis pterigium.6,16

VII. GAMBARAN KLINISPterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan pekerjaan di luar rumah. Ptrygium mungkin terjadi unilateral atau bilateral. Penyakit ini muncul sebagai lipatan segitiga konjungtiva yang mencapai kornea, biasanya di sisi nasal. tetapi juga dapat terjadi di sisi temporal. Deposisi besi kadang-kadang terlihat pada epitel kornea anterior disebut garis Stocker. Pterigium terdiri dari tiga bagian Apeks (bagian apikal pada kornea), Collum (bagian limbal), dan Corpus (bagian scleral) membentang antara limbus dan yang canthus2Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi bagian tengah kornea. Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau diplopia.2,11

Gambar 6. PterigiumVIII. DIAGNOSIS Anamnesis Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal, mata sering berair, gangguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwyat trauma sebelumnya.12Pemeriksaan fisikPada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskuler pada permukaan kojungtiva. Pterigium dapat memberikan gambaran vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yangb avaskuler dan flat. Pterigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah temporal. 2,12Pemeriksaan penunjangPemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang di sebabkan oleh pterigium. 12

IX. PENATALAKSANAAN

Karena kejadian pterigium berkaitan dengan aktivitas lingkungan, penanganan pterigium asimptomatik atau dengan iritasi ringan dapat diobati dengan kacamata sinar UV-blockking dan salep mata. Anjurkan pasien untuk menghindari daerah berasap atau berdebu sebisa mungkin. Pengobatan pterigium yang meradang atau iritasi dengan topikal dekongestan atau kombinasi antihistamin dan atau kortikosteroid topikal ringan empat kali sehari.5Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang dapat diindikasikan untuk: (1) alasan kosmetik, (2) perkembangan lanjutan yang mengancam daerah pupil (sekali pterigium telah mencapai daerah pupil, tunggu sampai melintasi di sisi lain), (3) diplopia karena gangguan di gerakan okular.2Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi.8 Berbagai teknik bedah yang digunakan saat ini untuk pengelolaan pterigium.4,12 1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan permukaan sclera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%. 4,8,122. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relative kecil.2,123. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.125. Conjungtival graft: menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan.2,4,8,12

Rekurensi menjadi masalah setelah dilakukan bedah eksisi yakni sekitar 30-50%. Tapi hal ini dapat di minimalisir dengan cara berikut:2,81. Penggunaan mitomicin C intra dan post operasi2. Post poerasi beta iradiasi3. Conjungtival autograft4. Limbal and limbalconjunctival transplantation5. Amniotic membrane transplantation6. Cultivated conjunctival transplantation7. Lamellar keratoplasty8. Fibrin glue

X. DIAGNOSIS BANDINGPterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigium adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini terbentuk karena adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea marjinal. Hal ini biasanya terjadi pada luka bakar akibat zat kimia pada mata.2 Selain itu pterigium juga didiagnosis banding dengan pingekulum yang merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbar di daerah nasal atau temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karenairitasi maupun karena air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi tetpi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.12

XI. KOMPLIKASI

Komplikasi pterigium meliputi iritasi, kemerahan, diplopia, distorsi penurunan visus dan skar pada konjungtiva , kornea dan otot rektus medial. Komplikasi pasca operasi termasuk infeksi, diplopia dan terbentuknya jaringan parut. Retina detachment, perdarahan vitreous dan perforasi bola mata meskipun jarang terjadi. 4,10Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat meliputi: Scleral dan / atau kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul beberapa tahun atau bahkan puluhan tahun setelah perawatan. Beberapa kasus bisa sangat sulit untuk ditangani.10Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah rekurensi. Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Tingkat rekurensi telah berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autografts konjungtiva / limbal atau transplantasi membran amnion pada saat eksisi. 2,10 Pada kesempatan langka, degenerasi ganas dari jaringan epitel yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat terjadi.10

XII. PROGNOSIS

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakn pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva auto graft atau transpalantasi membrane amnion.10

DAFTAR PUSTAKA

1. Dzunic B, Jovanovic P, et al. Analysis of pathohistological characteristics of pterigium . BOSNIAN JOURNAL OF BASIC MEDICAL SCIENCE. 2010;10(4):308-13.2. Khurana KA. Diseases of the Conjunctiva. In:, Khurana KA, editors. Comprehensive Ophthalmology 4th ed. New Delhi: New Age International. 2007. p. 51 - 82.3. Swastika AM, Inakawati S. Perbedaan Kekambuhan Paska Ekstirpasi Pterigium Metode Bare Sclera Dengan Transpalantasi Limbal Stem Sel. Medical Faculty of Diponegoro University. 2008; 1-18.4. Raju KV, Chandra A, Doctor R. Management of Pterigium- A Brief Review. Kerala Journal of Ophthamology. 2008;10(4):63-5.5. Jharmarwala M, Jhaveri R. Pterigium: A New Surgical Technique. Journal Of The Bombay Ophthamologists Association. 2008;11(4):129-30.6. Chui J, Coroneo TM, et al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder with Premalignant Features. The American Journal of Pathology. 2011;178(2):817-27.7. Sharma KA, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting in Pterigium Surgery. Postgraduate Department of Opthalmology, Govt. Medical College, Jammu. 2004;6(3):149-52.8. Ang KPL, Chua LLJ, Dan HTD. Current concepts and techniques in pterigium treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006; 18: 308313.9. Gazzard G, Saw MS, et al. Pterigium in Indonesia: prevalence, severity, and risk factors. Br J Ophthalmol .2002;86:134146.10. Fisher PJ. Pterigium. Updated : 2012. Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview. Accessed July 7,2012.11. Lang KG, Lang EG. Conjunctiva. In:, Lang KG, Gareis O, Lang EG, Recker D, Wagner P, editors. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas 2nd ed. New York: Thieme Stuttgart. 2006. p. 67 - 72.12. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Updated : 2009. Available from: URL: repository.usu.ac.id. Accessed January 23 ,2014. 13. Witcher PJ, Eva RP. Conjunctiva. In: Vaughan & Asburys General Ophthalmology 17th ed. New York: Mc Graw Hill Company. 2007. p. 67 - 72.14. Garg P. Pathogenesis of Pterigium: role of Eph receptors and ligans ephrins. Can J Ophthamol. 2009;44(2):138-40.15. Dushku N, John KM, Schultz SG, Reid WT. Pterygia Pathogenesis: Corneal Invasion by Matrix Metalloproteinase Expressing Altered Limbal Ephitelial Basal Cells. Arch Ophthamol. 2001;119:695-706.16. Redy VS, Mitra SK, Kumar V. Ophthocare in Pterigium and Dacryocytis. The Antiseptic. 1998;95(11):1-4.

1