jurnal makrozoobentos
-
Upload
shafura-nida -
Category
Documents
-
view
98 -
download
1
description
Transcript of jurnal makrozoobentos
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 22
Studi Kualitas Lingkungan di Sekitar Pelabuhan Bongkar Muat Nikel (Ni) dan
Hubungannya dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Desa Motui
Kabupaten Konawe Utara
Environmental Quality Study at Nickel Mining Port and Its Relation with Community Structure of
Makrozoobentos in Motui, North Konawe
Wa Ode Asriani *), Emiyarti
**), dan Ermayanti Ishak
***)
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK Universitas Halu Oleo
Kampus Hijau Bumi Tridharma Kendari 93232 E-mail:
**[email protected], dan
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh kualitas lingkungan perairan disekitar areal pelabuhan hasil galian
tambang nikel (Ni) dan pengaruh kegiatan pertambangan terhadap biota perairan khususnya terhadap struktur
komunitas makrozoobentos. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-April 2012 di Perairan Desa Motui
Kabupaten Konawe Utara. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui
adanya hubungan pelabuhan pertambangan terhadap perubahan kualitas lingkungan perairan disekitar pelabuhan
tersebut dan kaitannya dengan struktur komunitas makrozoobentos. Hasil pengukuran beberapa parameter
menunjukan nilai: suhu berkisar 34,25-35,75oC, kecepatan arus 0,053-0,059 m/det, kedalaman 1,52-1,96 m,
kecerahan 100%, salinitas 26,75-28,75, pH air 7-8, DO 7,54-7,81 mg/l, TSS 0,9-1,13 mg/l, nikel 0,015-0,021 ppm,
pH subtrat 6,10-6,20, tekstur substrat dominan pasir dan kandungan bahan organik substrat 0,16-1,05%.
Makrozoobentos yang ditemukan selama penelitian terdiri dari 2 kelas yakni 18 spesies kelas gastropoda dan 8
spesies kelas bivalvia. Indeks keanekaragaman diperoleh kisaran nilai antara 0,224-0,514. Indeks dominansi
berkisar antara 0,535-0,814. Nilai indeks dominansi ini menunjukkan nilai dominansi yang tinggi.
Kata Kunci : Struktur Komunitas, Makrozoobentos, Logam Berat Nikel (Ni)
Abstract
This research aimed to know the effect of environmental quality around nickel mine port and mining activity to to
community structure of makrozoobentos. This research executed in from Maret-April 2012 in coastal of water
territory of countryside Motui sub-province Konawe Utara. Data obtained in this research analysed descriptively to
know existence of the relation of mining port to change of water territory environmental quality is around by the
port and its the bearing with community structure makrozoobentos. Result of measurement some parameters shows
value: temperature shifts 34,25-35,750C, water current was range 0,053-0,059 m/s, depth of 1,52-1,96 m, water
brightness/clarity 100%, salinity was range 26,75-28,75, pH of water was range from 7-8, DO (Dissolved Oxygen)
was range from 7,54-7,81 mg/l, TSS (Total Suspendend Solid) was range from 0,9-1,13 mg/l, nickel shifts 0,015-
0,021 ppm, pH of substrate was range from 6,10-6,20, sand dominance substrate texture and substrate organic
material content shifts 0,16-1,05%. Makrozoobentos found during research consisted of 2 class namely 18 class
specieses gastropoda and 8 class species bivalvia. Diversity index is obtained the range of value from 0,224-0,514.
Index dominansi ranges from 0,535-0,814. This dominansi index value shows value dominansi which high.
Keyword : Community Structure, Makrozoobentos, Heavy metal Nickel (Ni)
Pendahuluan
Perairan Desa Motui yang terletak di
Kecamatan Motui Kabupaten Konawe Utara
merupakan daerah yang perairan pantainya
dijadikan tempat penimbunan dari aktivitas
pertambangan nikel. Hal pertama yang dapat
dilihat akibat penimbunan ini adalah tertutupnya
sedimen pantai yang tentu saja dapat
mengganggu bahkan dapat menyebabkan
kematian bagi organisme bentos yang hidup
pada substrat baik hewan maupun tumbuhan.
Jurnal Mina Laut Indonesia Vol. 03 No. 12 Sep 2013 (22 – 35) ISSN : 2303-3959
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 23
Selain itu dengan adanya aktivitas pertambangan
tersebut telah terjadi sedimentasi di daerah
muara sungai.
Salah satu lokasi penambangan nikel
yang berada di Kabupaten Konawe Utara adalah
di wilayah Desa Motui, Kecamatan Motui.
Perusahaan pertambangan nikel yang melakukan
kegiatan penambangan dan telah melakukan
beberapa kali aktifitas pengapalan hasil galian
tambang Nikel (Ni). Untuk melancarkan
kegiatan pengangkutan hasil tambang nikel,
perusahaan telah membangun fasilitas
penunjang seperti pelabuhan. Aktifitas
penimbunan bahan galian tambang disekitar
pelabuhan sebelum pengangkutan diduga dapat
menyebabkan terjadinya perubahan kualitas
lingkungan perairan di areal tersebut.
Pesisir pantai Desa Motui memiliki
keanekaragaman hayati laut, salah satu
diantaranya yaitu makrozoobentos. Bentos
adalah organisme dasar perairan yang hidup
di permukaan (epifauna) atau di dalam
(infauna) substrat dasar. Bentos terdiri dari
organisme nabati (fitobentos) dan hewani
(zoobentos) (Odum, 1993). Bentos dibagi
dalam tiga kelompok besar yaitu
makrobentos, meiobentos, dan mikrobentos.
Makrobentos adalah semua organisme
bentos yang berukuran lebih besar dari 1,0
mm, seperti moluska. Meiobentos adalah
semua organisme bentos yang berukuran
antar 0,1 mm sampai 1,0 mm, seperti
cidaria. Mikrobentos adalah organisme
bentos yang berukuran lebih kecil dari 0,1
mm. Makrozoobentos, terutama yang
bersifat herbivor dan detritivor, dapat
menghancurkan makrofit akuatik yang hidup
maupun yang mati dan serasah yang masuk
ke dalam perairan menjadi potongan-
potongan yang lebih kecil, sehingga
mempermudah mikroba untuk
menguraikannya menjadi nutrien bagi
produsen perairan.
Nikel adalah salah satu jenis logam
berat yang memiliki sifat toksik. Batas
maksimum kadar limbah nikel adalah 1,0
mg/l (Lee, et al., 2011). Keberadaan logam
berat nikel dalam air laut dan sedimen dapat
mengakibatkan berkurangnya organisme
makrozoobentos karena makrozoobentos
hidup di dasar perairan. Nikel juga dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme,
tetapi mereka biasanya mengembangkan
perlawanan terhadap nikel setelah beberapa
saat. Ketoksikan nikel pada kehidupan
akuatik bergantung pada spesies, pH,
kesadahan dan faktor lingkungan lain.
Dari permasalahan tersebut maka
dianggap sangat penting untuk diadakan
penelitian mengenai perubahan kualitas
lingkungan perairan disekitar pelabuhan
bongkar muat nikel (Ni) dan kaitannya
dengan struktur komunitas makrozoobentos
guna menduga sejauh mana terjadinya
perubahan kualitas lingkungan setelah
perusahaan tambang nikel mulai beroperasi
serta pengaruhnya terhadap strutktur
komunitas makrozoobentos. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh kualitas lingkungan
perairan di sekitar areal pelabuhan bongkar muat
nikel (Ni) di Perairan Desa Motui Kabupaten
Konawe Utara dan untuk mengetahui pengaruh
kegiatan pertambangan terhadap biota perairan
khususnya pengaruhnya terhadap struktur
komunitas makrozoobentos.
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat
dijadikan sebagai bahan informasi ilmiah bagi
pemerintah maupun masyarakat sehubungan
dengan adanya pelabuhan hasil galian tambang
tersebut serta sebagai masukan bagi pihak
perusahaan untuk memperhatikan kondisi
lingkungan perairan di wilayah tersebut.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan
yaitu pada bulan Maret-April 2012 yang
bertempat di Perairan Desa Motui Kabupaten
Konawe Utara.
Variabel yang diamati dalam penelitian ini
terdiri dari parameter pendukung dan parameter
inti. Parameter pendukung yaitu parameter
fisika dan parameter kimia. Parameter fisika
kimia perairan dan kualitas substrat terdiri dari
suhu, kecepatan arus, kedalaman, kecerahan,
salinitas, pH air, oksigen terlarut (DO), TSS,
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 24
tekstur substrat, pH substrat, bahan organis
substrat dan logam berat nikel (Ni). Parameter
inti yaitu parameter biologi makrozoobentos
yang terdiri dari jenis dan komposisi, kepadatan,
keanekaragaman dan dominansi.
Stasiun pengamatan ditentukan secara
sengaja atau purposive sampling. Setiap lokasi
penelitian berjarak 200 meter dan memiliki
karakteristik yang berbeda-beda. Hal ini
diasumsikan untuk mewakili seluruh areal lokasi
penelitian.
1. Stasiun I : Terletak di sebelah kiri
pelabuhan, dengan karakteristik lokasi yaitu
merupakan areal pemukiman penduduk;
2. Stasiun II ; Terletak di sebelah kanan
pelabuhan dengan jarak 200 m dari
pelabuhan;
3. Stasiun III ; Terletak disebelah kanan
pelabuhan dengan jarak 200 m dari stasiun
II, dengan karakteristik lingkungan yang
alami, dimana tidak berada daerah
pemukiman penduduk.
Pengukuran parameter kualitas air dan
kualitas substrat seperti suhu, kecerahan,
kedalaman, kecepatan arus, salinitas, pH, DO,
TSS dan pH substrat dilakukan melalui
pengukuran dan pengamatan langsung di
lapangan. Pengukuran tekstur substrat, bahan
organik substrat dan logam berat nikel (Ni)
dilakukan dengan cara mengambil substrat
disetiap stasiun pengamatan. Untuk tekstur
substrat dianalisis dengan menggunakan metode
pipet, bahan organik substrat dianalisis dengan
menggunakan metode titrasi dan logam berat
nikel (Ni) dianalisis dengan menggunakan
metode AAS (Atomic Absorbtion
Spectrophotometer). Pengambilan sampel
parameter biologi (makrozoobentos) dilakukan
dengan menggunakan metode transek. Transek
yang digunakan berukuran 1 x 1 meter. Cara
pengambilan sampel dilakukan dengan
meletakkan transek secara acak pada setiap
stasiun pengamatan. Sampel makrozoobentos
disimpan pada kantung plastik berlabel dan
ditambahkan larutan formalin 7% sebagai bahan
pengawet untuk selanjutnya dilakukan
penyortiran. Setiap pengambilan sampel
dilakukan dengan 1 kali ulangan pada setiap
stasiun pengamatan.
Analisis Data
1. Kepadatan
Kepadatan merupakan jumlah individu dalam
suatu luasan tertentu. Kepadatan digunakan
untuk melihat apakah suatu tempat merupakan
habitat yang sesuai bagi organisme tertentu.
Dengan demikian bila kepadatan tersebut rendah
maka tempat tersebut tidak sesuai bagi
organisme. Untuk menghitung kepadatan
digunakan rumus yang dikemukakan oleh
Soegianto (1994):
Dimana:
Di= Kepadatan makrozoobentos jenis ke-i
(ind/m2);
ni = Jumlah individu makrozoobentos jenis ke-i
(individu);
A = Luas plot yang digunakan (m2) .
2. Keanekaragaman
Menurut Odum (1993), indeks
keanekaragaman jenis adalah indeks
keanekaragaman yang menunjukkan banyak
tidaknya jenis dan individu yang ditemukan
pada suatu perairan. Adapun persamaannya
adalah sebagai berikut:
H’ = -∑ pi log pi
Dimana :
H’ = Indeks keanekaragaman shannon-
Wienner;
Pi = Populasi jumlah individu sampel pada
spesies tersebut (ni/N);
Ni = Jumlah individu ke-I;
N = Jumlah total individu.
Dengan kriteria :
H’ < 1 : Keanekaragaman rendah;
1 < H’ < 3 : Keanekaragaman sedang;
H’ > 3 : Keanekaragaman tinggi.
3. Dominansi
Untuk menghitung dominansi jenis
tertentu dalam suatu komunitas makrozoobentos
digunakan indeks Dominansi Simpson
digunakan rumus yang dikemukakan oleh
(Romimohtarto dan Juwana, 2001).
∑(
)
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 25
Dimana:
D = Indeks dominansi simpson
S = Jumlah spesies makrozoobentos
ni = Jumlah individu spesies ke-i
N = Jumlah total individu keseluruhan spesies
Dengan kriteria:
D=0 dominansi rendah, artinya tidak terdapat
spesies yang mendominasi spesies lainnya
atau strktur komunitas dalam keadaan
stabil;
D=1 dominansi tinggi, artinya terdapat spesies
yang mendominasi jenis yang lainnya atau
struktur komunitas labil, karena terjadi
tekanan ekologis (stress).
Hasil
1. Keadaan Lokasi Penelitian
Kabupaten Konawe Utara dengan
ibukota Wanggudu merupakan pemekaran dari
Kabupaten Konawe, yang terbentuk berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2007 tentang
pembentukan Kabupaten Konawe Utara di
Propinsi Sulawesi Tenggara. Secara geografis
Kabupaten Konawe Utara terletak di bagian
Selatan khatulistiwa, melintang dari Utara ke
Selatan antara 02o97’ dan 03
o86’ lintang Selatan,
membujur dari Barat ke Timur antara 121o49’
dan 122o49’ Bujur Timur.Luas wilayah
Kabupaten Konawe Utara yaitu 500.339 ha atau
13,38 persen dari luas wilayah Sulawesi
Tenggara. Sedangkan luas wilayah perairan laut
(termasuk Perairan Kabupaten Konawe Selatan
dan Kabupaten Konawe ) ±11.960 km2 atau
10,87 persen dari luas perairan Sulawesi
Tenggara. Kabupaten Konawe Utara terdiri dari
tujuh kecamatan yaitu Kecamatan Motui,
Lembo, Lasolo, Molawe, Asera, Langgikima
dan Wiwirano. Sebagaimana yang menjadi
lokasi penelitian ini yaitu di Perairan Desa
Motui merupakan bagian wilayah dari
Kabupaten Konawe Utara yang terletak di
Kecamatan Motui, secara administratif Desa
Motui mempunyai batas-batas wilayah sebagai
berikut:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa
Puuwonggia
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa
Lambuluwo
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan
Bende
- Sebelah Timur berbatasan dengan Laut B
anda
Desa Motui mempunyai kondisi
topografi yang berbukit-bukit, dataran tinggi
pegunungan, lereng gunung, tipe pantai berpasir,
kawasan rawa, kawasan gambut, aliran sungai
dan bantaran sungai. Luas wilayah Desa Motui
60 Ha yang terdiri dari tanah sawa, tanah kering,
tanah basah, tanah perkebunan dan tanah hutan.
Desa Motui juga merupakan lokasi
pertambangan, dimana keadaan lingkungannya
banyak dipengaruhi oleh aktivitas tambang.
Dilihat dari aspek sosial dan ekonomi, penduduk
Desa Motui mayoritas memiliki tingkat mata
pencaharian bertani.
2. Kondisi Fisika-Kimia Perairan
Hasil pengamatan kondisi fisika-kimia perairan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel
2.
Tabel 1. Nilai rata-rata fisika-kimia perairan selama penelitian
Parameter Satuan Stasiun I Stasiun II Stasiun III
Suhu oC 34,5 34,25 35,75
Kecepatan arus m/s 0,057 0,053 0,059
Kedalaman m 1,96 1,52 1,8
Kecerahan (%) 100 100 100
Salinitas ppt 28 28,75 26,75
pH - 8 7 7
DO (Dissolved Oxygen) mg/l 7,81 7,64 7,54
TSS (Total Suspended Solid) mg/l 0,94 1,13 0,9
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 26
Tabel 2. Nilai rata-rata parameter kualitas substrat selama penelitian
Stasiun Tekstur
Kelas BO (%) pH Nikel (Ni) Debu % Liat % Pasir %
I 0,10 0,01 99,88 Pasir 0,16 6 0,021
II 0,12 0,01 99,87 Pasir 0,46 6 0,015
III 0,09 0,01 99,90 Pasir 1,05 7 0,017
3. Struktur Komunitas Makrozoobentos
a. Komposisi dan Jenis Makrozoobentos
Komposisi relatif masing-masing kelas
makrozoobentos selama penelitian terdiri dari 2
kelas yakni kelas gastropoda dan bivalvia
dengan jumlah spesies 26 jenis. Jumlah masing-
masing spesies setiap kelas terdiri atas 18
spesies atau 69% dari kelas Gastropoda dan 8
spesies atau 31% dari kelas bivalvia. Untuk
melihat komposisi relatif masing-masing kelas
makrozoobentos di Perairan Desa Motui Selama
Penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Komposisi relatif masing-masing kelas makrozoobentos di perairan desa motui selama
penelitian
b. Kepadatan Makrozoobentos
Kepadatan organisme makrozoobentos yang
ditemukan pada setiap stasiun pengamatan
berkisar antara 16,25-24 ind/m2. Untuk melihat
rata-rata kepadatan makrozoobentos pada
masing-masing stasiun pengamatan disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3. Kepadatan makrozoobentos pada setiap stasiun pengamatan
Stasiun Kepadatan Satuan
I 16 ind/m2
II 18 ind/m2
III 24 1nd/m2
c. Keanekaragaman dan Dominansi
Makrozoobentos
Keanekaragaman makrozoobentos pada
setiap stasiun pengamatan berkisar antara
0,223-0,514 dan dominansi makrozoobentos
pada setiap stasiun pengamtan berkisar
antara 0,535-0,814. Untuk melihat nilai
keanekaragaman dan dominansi pada
masing-masing stasiun pengamatan dapat
dilihat pada Tabel 4.
69%
31% Gastropoda
Bivalvia
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 27
Tabel 4. Nilai keanekaragaman dan dominansi makrozoobentos pada masing-masing stasiun
Stasiun H' D
I 0,514 0,535
II 0,223 0,814
III 0,292 0,767
Pembahasan
1. Kondisi Fisika-Kimia Perairan
a. Suhu
Parameter fisika-kimia perairan
merupakan faktor yang sangat mempengaruhi
kehidupan dan perkembangan organisme dalam
suatu perairan. Kualitas perairan baru dapat
dikatakan baik apabila organisme tersebut dapat
melakukan pertumbuhan dan perkembangbiakan
dengan baik. Organisme perairan dapat hidup
dengan layak bila faktor-faktor yang
mempengaruhinya, seperti fisika-kimia perairan
berada dalam batas toleransi yang
dikehendakinya.Suhu merupakan parameter fisik
yang sangat mempengaruhi pola kehidupan
organisme perairan, seperti distribusi, komposisi,
kelimpahan dan mortalitas (Nybakken, 1988).
Kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta
semua aktifitas biologi dan fisiologi di dalam
ekosistem sangat dipengaruhi oleh suhu. Suhu
mempunyai pengaruh yang besar terhadap
kelarutan oksigen di dalam air. Apabila suhu
naik maka akan mengakibatkan peningkatan
aktifitas metabolisme akuatik, sehingga
kebutuhan akan oksigen juga meningkat
(Sastrawijaya, 2000).
Berdasarkan Tabel 1, didapatkan nilai
rata-rata suhu pada setiap stasiun berkisar antara
34,25-35,75 oC, dimana kisaran suhu tersebut
termasuk suhu yang normal. Suhu pada ketiga
stasiun tersebut relatif sama, tidak mengalami
fluktuasi, karena keadaan cuaca pada saat
pengukuran relatif sama dan jarak pengukuran
setiap stasiun juga tidak terlalu jauh, sehingga
suhu tidak mengalami perubahan yang jauh. Secara umum kisaran tersebut merupakan
kisaran yang normal bagi kehidupan
makrozoobentos. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Suriawira (1996), bahwa batas
toleransi hewan bentos terhadap suhu tergantung
pada spesiesnya, umumnya suhu di atas 35oC
dapat menekan pertumbuhan populasi hewan
bentos.
Nilai suhu tertinggi berada pada stasiun
III, dimana stasiun ini merupakan area yang
terbuka, sehingga cahaya matahari langsung
masuk ke perairan. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Barus (2004), bahwa pola suhu
ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti kedalaman, intensitas cahaya
matahari, pertukaran panas antara air dengan
udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi
(penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang
tumbuh di tepi. Selain dipengaruhi oleh faktor
kerapatan vegetasi mangrove rendahnya nilai
suhu pada stasiun tersebut diduga adanya
pengaruh aliran air tawar di stasiun tersebut.
Nilai suhu tertinggi berada pada daerah dengan
vegetasi tutupan pohon yang jarang atau perairan
yang terbuka.
b. Kecepatan Arus
Secara umum yang dimaksud dengan
arus adalah gerakan massa air laut ke arah
horizontal dalam skala besar. Besar kecilnya
kecepatan arus sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor antara lain: a) kecepatan angin, b) tahanan
dasar, c) gaya coriolis, d) perbedaan densitas, e)
gelombang, f) refraksi gelombang, g) difraksi
gelombang dan h) refleksi gelombang
(Wibisono, 2005).
Berdasarkan Tabel 1, didapatkan nilai
rata-rata kecepatan arus pada setiap stasiun
berkisar antara 0,053-0,059 m/detik dimana arus
ini relatif cepat. Kondisi arus ini merupakan
kondisi yang normal. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Odum (1996), bahwa arus
merupakan faktor yang membatasi penyebaran
makrozoobentos, dimana kecepatan arus ini
akan mempengaruhi tipe atau ukuran subtrat
dasar perairan yang merupakan tempat hidup
bagi hewan bentos. Selanjutnya berdasarkan
penelitian Nurul dkk. (2010), menyatakan bahwa
pengukuran kecepatan arus di estuaria Kuala
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 28
Sugihan Provinsi Sumatera Selatan pada bulan
November 2009 berkisar 0,037-0,512 m/detik,
dimana menjadi arus yang baik bagi hewan
bentos.
Perbedaan kecepatan arus pada lokasi
penelitian dengan kecepatan arus tertinggi pada
stasiun III disebabkan karena stasiun ini berada
pada daerah terbuka sehingga arus yang masuk
menjadi lebih cepat. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Odum (1993), bahwa beberapa faktor
kecepatan arus air antara lain kecepatan angin
dan kondisi perairan yang terbuka tanpa ada
peredam masa air yang masuk. Selanjutnya
berdasarkan penelitian Rosyadi (2010),
didapatkan bahwa daerah yang memiliki arus
tercepat berada pada stasiun I. Tinggi kecepatan
arus pada stasiun ini diduga karena kondisi
stasiun yang berada paling terluar atau paling
mendekati laut bebas.
c. Kedalaman
Kedalaman sangat berpengaruh terhadap
keberlangsungan hewan bentos. Kedalaman
suatu perairan akan mempengaruhi penetrasi
cahaya yang masuk sampai ke dasar perairan,
jika kedalaman perairan tersebut dangkal maka
cahaya akan masuk sampai kedasar perairan.
Berdasarkan Tabel 1, didapatkan nilai
rata-rata kedalaman pada setiap stasiun berkisar
antara 1,52-1,96 m, ini termasuk perairan yang
dangkal dan juga merupakan habitat dari
makrozoobentos, sehingga penetrasi cahaya
sampai ke dasar perairan menyebabkan
tingginya suhu. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Nybakken (1992), bahwa semakin dangkal suatu
perairan maka cahaya yang masuk akan sampai
ke dasar menyebabkan semakin tinggi tingkat
suhunya.
Berdasarkan penelitian Rosyadi, dkk.
(2009), menyatakan bahwa yang mengambil
sampel pada kedalaman kurang dari 2 m yaitu
kisaran 0,53-1,78 m. Selanjutnya berdasarkan
penelitian Nurul dkk. (2010), menyatakan bahwa
kedalaman perairan yang terukur pada saat
penelitian berkisar antara 125-300 cm.
Kedalaman perairan mempengaruhi jumlah jenis
makrozoobentos. Semakin dalam dasar suatu
perairan, semakin sedikit jumlah jenis
makrozoobentos karena hanya makrozoobentos
tertentu yang dapat beradaptasi dengan kondisi
lingkungannya (Odum, 1996).
d. Kecerahan
Kecerahan perairan dipengaruhi
langsung oleh partikel yang tersuspensi
didalamnya, semakin kurang partikel yang
tersuspensi maka kecerahan air akan semakin
tinggi. Selanjutnya dijelaskan bahwa penetrasi
cahaya semakin rendah, karena meningkatnya
kedalaman, sehingga cahaya yang dibutuhkan
untuk proses fotosintesis oleh tumbuhan air
berkurang. Oleh karena itu, secara tidak
langsung kedalaman akan mempengaruhi
pertumbuhan fauna bentos yang hidup
didalamnya. Disamping itu kedalaman suatu
perairan akan membatasi kelarutan oksigen yang
dibutuhkan untuk respirasi (Nybakken, 1988).
Berdasarkan Tabel 1, didapatkan nilai
rata-rata kecerahan pada semua stasiun yaitu
100%. Ini dikarenakan kedalaman perairan
sangat dangkal sehingga cahaya matahari tembus
sampai ke dasar perairan meskipun tingkat
partikelnya cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Odum (1996), bahwa interaksi antara
faktor kekeruhan perairan dengan kedalaman
perairan akan mempengaruhi penetrasi cahaya
yang masuk ke dalam perairan, sehingga
berpengaruh langsung pada kecerahan,
selanjutnya akan mempengaruhi kehidupan
fauna makrozoobentos.
e. Salinitas
Salinitas merupakan ciri khas perairan
pantai atau laut yang membedakannya dengan
air tawar. Berdasarkan perbedaan salinitas,
dikenal biota yang bersifat stenohaline dan
euryhaline. Biota yang mampu hidup pada
kisaran yang sempit disebut sebagai biota
bersifat stenohaline dan sebaliknya biota yang
mampu hidup pada kisaran luas disebut sebagai
biota euryhaline (Supriharyono, 1978).
Berdasarkan Tabel 1, didapatkan nilai
rata-rata salinitas pada setiap stasiun berkisar
antara 26,75-28,75 ppt. Nilai kisaran salinitas
tersebut relatif sama, tidak menunjukkan
perbedaan yang jauh dan merupakan nilai
salinitas yang rendah bagi kehidupan
makrozoobentos. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Hutabarat dan Evans (1985), bahwa
kisaran normal untuk kehidupan
makrozoobentos yaitu berkisar antara 32-37,5
ppt. Rendahnya salinitas disetiap stasiun
disebabkan karena lokasi penelitian berada pada
pesisir pantai dimana terdapat asupan air tawar
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 29
disekitar lokasi penelitian terutama pada stasiun
I yang paling terkena dampak dari asupan air
tawar tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Nontji (2000), bahwa salinitas pada perairan
yang dekat pantai biasanya lebih rendah karena
pengaruh aliran sungai sedangkan pada daerah
dengan penguapan tinggi salinitas bisa
meningkat juga.
f. pH
pH merupakan faktor pembatas bagi
organisme yang hidup di suatu perairan.
Perairan dengan pH yang terlalu tinggi atau
rendah akan mempengaruhi ketahanan hidup
organisme yang hidup didalamnya (Odum,
1993). Effendi (2000), menambahkan bahwa
sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap
perubahan pH dan menyukai kisaran pH sekitar
7 – 8,5.
Berdasarkan Tabel 1, didapatkan nilai
rata-rata pH pada setiap stasiun berkisar antara
7-8. Kisaran nilai pH di Perairan Desa Motui ini
dikatakan normal apabila dibandingkan dengan
daftar baku mutu air laut untuk biota laut
(KepMen KLH No. 51 tahun 2004) masih
memenuhi syarat yaitu 7- 8,5.
Nilai pH tertinggi berada pada stasiun I,
ini disebabkan pada stasiun ini berada pada
daerah pemukiman dimana terdapat buangan
limbah yang bersifat basa seperti limbah deterjen
sehingga pH sedkit berbeda dibandingkan
stasiun II dan III. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Odum (1993), bahwa dalam
mintakat reduksi lebih banyak dijumpai
Hidrogen Sulfida (H2S), Besi (Fe2+), Metana
(CH4) dan Ammonia (NH3) yang diikuti pula
oleh keasaman yang tinggi dan bau yang khas
dari sedimen yang bewarna kehitam-hitaman.
g. DO (Dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut merupakan variabel
kimia yang mempunyai peran penting sekaligus
menjadi faktor pembatas bagi kehidupan biota
air (Nybakken, 1988). Oksigen terlarut
digunakan dalam degradasi bahan-bahan organik
dalam air. Tanpa adanya oksigen terlarut pada
tingkat konsentrasi tertentu, banyak organisme
akuatik tidak bisa hidup dalam air. Banyak
organisme air mati bukan diakibatkan oleh
toksisitas zat pencemar langsung, tetapi dari
kekurangan oksigen sebagai akibat dari
penguraian oksigen untuk menguraikan zat-zat
pencemar, kekurangan oksigen terjadi karena
pembusukan zat organik (Jaenuru, 2004).
Berdasarkan Tabel 1, didapatkan nilai
rata-rata DO pada setiap stasiun berkisar antara
7,54-7,81 mg/l. Kisaran nilai DO di Perairan
Desa Motui ini tergolong baik yaitu diantara 6-8
mg/l. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Nybakken (1988), bahwa nilai DO yang berkisar
di antara 5,45 – 7,00 mg/l cukup bagi proses
kehidupan bentos. Selanjutnya Barus (2004),
menegaskan bahwa nilai oksigen terlarut di
perairan sebaiknya berkisar antara 6 – 8 mg/l,
makin rendah nilai DO maka makin tinggi
tingkat pencemaran ekosistem tersebut. Perairan
dengan kandungan oksigen seperti diatas
menurut Sinambela (1994), bahwa sudah cukup
untuk memenuhi kehidupan organisme karena
kandungan oksigen terlarut di air sebanyak 2
mg/l sudah dapat menunjang kehidupan normal
asalkan tidak mengandung senyawa beracun.
h. TSS (Total Suspended Solid)
Total padatan tersuspensi adalah padatan
yang tersuspensi di dalam air berupa bahan-
bahan organik dan anorganik yang dapat disaring
dengan kertas miliopore berpori-pori 0,45
mikrometer. Materi yang tersuspensi mempunyai
dampak buruk terhadap kualitas air karena
mengurangi penetrasi matahari kedalam badan
air, kekeruhan air meningkat yang menyebabkan
gangguan pertumbuhan bagi organisme produser
(Monoarfa 2008).
Berdasarkan Gambar 10, didapatkan
nilai rata-rata TSS pada setiap stasiun berkisar
antara 0,9-1,13mg/l. Nilai kisaran TSS tersebut
relatif sama, tidak menunjukkan perbedaan yang
jauh dan merupakan nilai TSS yang rendah bagi
kehidupan makrozoobentos. Hal ini sesuai
dengan Baku Mutu Lingkungan (2004), bahwa
nilai standar untuk TSS untuk perairan <50.
Rendahnya nilai TSS diduga karena
pada lokasi penelitian di Perairan Desa Motui
memiliki substrat yang dominan yaitu substrat
pasir, sehingga padatan tersuspensi juga rendah.
Nilai TSS yang tinggi dapat digunakan sebagai
indikator pencemaran perairan oleh berbagai
keadaan limbah. Hal ini disebabkan oleh
banyaknya senyawa-senyawa baik senyawa
organik maupun anorganik yang sukar
terdekomposisi secara biologis. Banyaknya zat-
zat organik yang tidak bisa diuraikan secara
biologis mudah diuraikan oleh reaksi kimia
dengan oksigen di dalam air (Kegley dan
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 30
Andrews, 1997). Selanjutnya dikatakan bahwa
tingginya tingkat pencemaran bahan organik di
dalam air akan mempercepat penurunan oksigen
terlarut.
2. Parameter Kualitas Substrat
a. Tekstur Substrat
Substrat dasar perairan merupakan
faktor yang penting bagi kehidupan hewan
makrozoobentos yaitu sebagai habitat hewan
tersebut. Masing-masing spesies mempunyai
kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap
substrat (Barnes and Mann, 1994).
Berdasarkan Tabel 2, didapatkan hasil
pengukuran tekstur substrat yang di peroleh dari
tiga stasiun penelitian yaitu berupa debu, liat dan
pasir. Substrat yang dominan pada semua stasiun
penelitian memiliki yaitu pasir berkisar 99-87-
99,90%, sedangkan tekstur lainnya berupa debu
dengan kisaran 0,09-0,12% dan tekstur liat
dengan nilai 0,01% pada semua stasiun.
Tingginya tekstur substrat pasir di lokasi
penelitian dikarenakan daerah tersebut
merupakan daerah pesisir pantai. Hal ini
didiukung oleh Efriyeldi (1997), menyatakan
bahwa karakteristik sedimen mempengaruhi
distribusi, morfologi, fungsional dan tingkah
laku organisme bentos. Tipe substrat merupakan
faktor utama yang dapat mengendalikan
distribusi dan adaptasi organisme bentos serta
menentukan morfologi dan cara makan
organisme tersebut.
Tekstur substrat di Perairan Desa Motui
memiliki kandungan pasir yang lebih tinggi
daripada kandungan debu dan liat. Semua
stasiunnya memiliki tekstur yang didominasi
oleh pasir. Komposisi debu dan liat hampir sama
di setiap stasiun karena pengaruh arus relatif
menjadi lebih cepat sehingga sedimentasi
partikel suspensi halus lebih sulit terjadi. Arus
deras yang terjadi di musim hujan memiliki
kemampuan membawa partikel lebih besar
sehingga pasir mudah terbawa.
b. pH Substrat
Nilai derajat keasaman (pH) sedimen
bersama redoks potensial menunjukkan sifat
kimia substrat bagi kehidupan organisme bentik.
Romimohtarto (2003), menyatakan bahwa
ditinjau dari segala segi substrat yang miliki pH
antara 6-7 merupakan pH terbaik, suasana
biologi dan penyediaan hara umumnya berada
pada tingkat terbaik pada kisaran pH tersebut.
Berdasarkan Tabel 2, didapatkan nilai
rata-rata pH substrat pada setiap stasiun berkisar
antara 6-7. Nilai pH substrat tersebut tidak
memiliki perbedaan yang besar setiap
stasiunnya, karena kondisi substrat pada semua
stasiun didominasi oleh pasir. Kisaran pH
tersebut tergolong normal bagi kehidupan hewan
bentos. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Syafriel (2008), bahwa nilai pH 6-7 kisaran ini
cenderung bersifat asam sampai netral. Hal ini
hubungannya dengan bahan organik, tipe
substrat dan kandungan oksigen. Kisaran nilai
tersebut masih mendukung kelangsungan hidup
bagi organisme makrozoobentos. Selanjutnya
Hutabarat dan Evans (1985), menyatakan bahwa
pH substrat yang dibutuhkan oleh moluska
berkisar antara 5,7-8,4.
c. Bahan Organik Substrat
Kadar organik adalah satu hal yang
sangat berpengaruh pada kehidupan
makrozoobentos, dimana kadar organik ini
adalah sebagai nutrisi bagi makrozoobentos
tersebut. Tingginya kadar organik pada suatu
perairan umumnya akan mengakibatkan
meningkatnya jumlah populasi hewan bentos
dan sebagai organisme dasar, bentos menyukai
substrat yang kaya akan bahan organik. Maka
pada perairan yang kaya bahan organik,
umumnya terjadi peningkatan populasi hewan
bentos (Barnes dan Mann, 1994).
Berdasarkan Tabel 2, didapatkan nilai
rata-rata kandungan bahan organik substrat pada
setiap stasiun berkisar antara 0,16-1,05%. Bahan
organik substrat tertinggi berada pada stasiun III
yaitu 1,05 %, sedangkan nilai bahan organik
substrat terendah berada pada stasiun I yaitu 0,16
%. Secara keseluruhan nilai bahan organik
substrat yang didapatkan dari ketiga stasiun
penelitian di Perairan Desa Motui ini tergolong
rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wa Iba
(1999), bahwa tipe substrat berpasir memiliki
kandungan oksigen yang tinggi karena memiliki
pori-pori yang cukup besar sehingga
memudahkan percampuran intensif dengan air
yang ada diatasnya jika dibandingkan dengan
tipe substrat yang lebih halus namun substrat
berpasir memiliki kandungan bahan organik
yang sangat rendah atau bahkan tidak ada. Hal
ini didukung oleh pernyataan Nybakken (1992),
bahwa substrat berpasir tidak banyak
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 31
mengandung bahan organik dimana bahan
organik tersebut hanyut terbawa arus air.
Bahan organik yang rendah dipengaruhi
oleh substrat dasar atau partikel substrat itu
sendiri. Substrat dasar yang dengan partikel
kasar memiliki kandungan bahan organik yang
rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ita &
Wibowo (2009), bahwa adanya perbedaan
ukuran partikel sedimen memiliki hubungan
dengan kandungan bahan organik, dimana
perairan dengan sedimen yang halus memiliki
presentase bahan organik yang tinggi karean
kondisi perairan yang tenang yang
memungkinkan pengendapan sedimen lumpur
yang diikuti oleh akumulasi bahan-bahan
organik dasar perairan, sedangkan sedimen yang
kasar memiliki kandungan organik yang rendah
karena partikel yang lebih kasar susah untuk
mengendap.
d. Logam Berat Nikel (Ni)
Kontaminasi logam berat dilingkungan
merupakan masalah besar dunia saat ini.
Persoalan spesifik logam berat di lingkungan
terutama karena akumulasinya sampai pada
rantai makanan dan keberadaannya di alam, serta
meningkatnya sejumlah logam berat yang
menyebabkan keracunan terhadap tanah, udara,
dan air. Proses industri dan urbanisasi
memegang peranan penting terhadap
peningkatan kontaminasi tersebut (Effendi,
2003).
Berdasarkan Tabel 2, didapatkan nilai
rata-rata logam berat (nikel) pada setiap stasiun
berkisar antara 0,015-0,021 ppm. Nilai logam
berat pada setiap stasiun relatif sama atau tidak
memiliki perbedaan yang jauh dan kandungan
logam beratnya tergolong normal. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Effendi (2003), bahwa kadar
Ni pada perairan laut berkisar antara 0.005 –
0.007 mg/l dan untuk melindungi kehidupan
organisme akuatik, kadar Ni sebaiknya tidak
melebihi 0.025 mg/l.
Nilai logam berat tertinggi berada pada
stasiun I dikarenakan pada stasiun II terdapat
lokasi pertambangan sehingga unsur logam yang
jatuh keperairan tidak langsung mengendap
melainkan terbawa oleh arus kearah stasiun I.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Wibisono
(2005), bahwa distribusi unsur partikel yang
terdapat diperairan dipengaruhi oleh keadaan
arus yang membawa partikel kecil seperti unsur
logam.
3. Struktur Komunitas Makrozoobentos
a. Komposisi dan Jenis Makrozoobentos
Jenis makrozoobentos yang ditemukan
di 3 stasiun pengamatan terdiri dari 2 kelas yakni
kelas Gastropoda dan Bivalvia dengan jumlah
spesies 26 jenis. Jumlah masing-masing spesies
setiap kelas terdiri atas 18 spesies dari kelas
Gastropoda dan 8 spesies dari kelas Bivalvia.
Adapun komposisi relatif dari masing-masing
kelas makrozoobentos di Perairan Desa Motui
adalah 69 % (Gastropoda) dan 31 % (Bivalvia).
Berdasarkan Gambar 2, terlihat bahwa
komposisi jenis kelas Gastropoda menempati
tingkat tertinggi dibandingkan dengan kelas
bivalvia. Hal ini erat kaitannya dengan
kemampuan adaptasi yang baik oleh kelas
Gastropoda pada semua tipe substrat. Seperti
yang dinyatakan oleh Barnes (1987) dalam
Irawati (2001) bahwa gastropoda telah
melakukan adaptasi sangat ekstensif terhadap
kehidupan pada semua bentuk dasar laut dan
kehidupan pelagis, demikian juga pada perairan
tawar dan daratan. Lebih lanjut dikatakan bahwa
luasnya penyebaran dan bervariasinya kondisi
habitat gastropoda disebabkan oleh kemampuan
adaptasinya yang tinggi terhadap berbagai jenis
lingkungan.
Dari hasil penelitian terhadap organisme
makrozoobentos, dari seluruh stasiun
pengamatan ada yang memiliki kesamaan jenis
makrozoobentosnya. Jenis-jenis makrozoobentos
yang sering dijumpai pada setiap stasiun yaitu
kelas gatropoda dengan jenis yang mendominasi
yaitu Elaphrocancha javacensis. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Rosyadi, dkk. (2009),
menyatakan bahwa organisme yang dominan
pada suatu lokasi tercemar merupakan
organisme indikator yang memiliki daya
toleransi yang besar terhadap perubahan kualitas
air, sehingga jenis tersebut cenderung
ditemukan pada setiap pengamatan, dari setiap
stasiun pengamatan dan perulangannya.
b. Kepadatan Makrozoobentos
Kepadatan makrozoobentos
didefinisikan sebagai jumlah individu
makrozoobentos dalam suatu areal tertentu
biasanya dalam satuan meter kuadrat (Soegianto,
1994).
Berdasarkan Tabel 3, diperoleh
kepadatan organisme makrozoobentos yang
ditemukan pada setiap stasiun pengamatan
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 32
berkisar antara 16-24 ind/m2. Diantara ke-3
stasiun pengamatan, stasiun III memiliki nilai
kepadatan makrozoobentos yang tertinggi dan
kepadatan terendah terdapat pada stasiun I.
Berdasarkan Lampiran 4, bahwa pada
stasiun I, II dan III spesies dengan kepadatan
tertinggi berada pada jenis Elaphrocancha
javacensis dengan kepadatan masing-masing
yaitu 12, 16 dan 21 ind/m2, sedangkan kepadatan
terendah berada pada beberapa jenis seperti
Corbicula javanica, Corbicula rivalis, Hiatula
chinensis, Cyclotus discoideus, Mactra grandis,
Fragum unedo, Fragum fragum, Terebra
succincta, Septifer bilocularis dan lain-lain yaitu
0,25 ind/m2.
Spesies Elaphrocancha javacensis
merupakan spesies yang paling dominan diantara
spesies lain, ini dikarenakan spesies
Elaphrocancha javacensis memiliki toleransi
yang besar terhadap kondisi lingkungan
bersubstrat pasir. Hal ini sesuai dengan
penelitian Heryanto (2008), menyatakan bahwa
Elophroconcha lebih cocok hidup pada substrat
berpasir sehingga kepadatannya lebih tinggi
daripada jenis yang lain.
c. Keanekaragaman dan Dominansi
Makrozoobentos
Indeks keanekaragaman (H')
makrozoobentos sering digunakan untuk
menduga kondisi suatu lingkungan berdasarkan
komponen biologisnya. Sedangkan indeks
dominansi jenis (D) makrozoobentos digunakan
untuk menghitung adanya spesies tertentu yang
mendominasi suatu komunitas makrozoobentos.
Dengan melihat besarnya nilai indeks tersebut
dapat diduga tingkat kestabilan suatu lingkungan
perairan. Kondisi lingkungan suatu perairan
dikatakan masih baik (stabil) apabila diperoleh
nilai indeks keanekaragaman tinggi serta indeks
dominansi rendah. (Emiyarti, 2004).
Berdasarkan Tabel 4, hasil perhitungan
indeks keanekaragaman jenis pada setiap stasiun
pengamatan diperoleh kisaran nilai antara 0,224-
0,514. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat
pada stasiun I dan indeks keanekaragaman
terendah terdapat pada stasiun II. Terlihat nilai
indeks keanekaragaman jenis makrozoobentos di
Perairan Desa Motui berada pada kriteria rendah
yaitu dibawah 1.
Rendahnya nilai indeks keanekaragaman
spesies disetiap stasiun selain dipengaruhi oleh
sedikitnya jumlah spesies yang menyusunnya
juga disebabkan oleh adanya dominansi dari
salah satu spesies tertentu. Berdasarkan hal
tersebut diiduga bahwa terjadi persaingan atau
kompetisi dari spesies organisme
makrozoobentos sehingga ada spesies tertentu
yang mengalami tekanan dari spesies lain di
lokasi penelitian. Soegianto (1994), menyatakan
bahwa suatu komunitas dikatakan mempunyai
keanekaragaman jenis yang tinggi jika
komunitas disusun oleh banyaknya spesies
dengan kelimpahan spesies atau dengan kata lain
bahwa nilai indeks keanekaragaman sangat
dipengaruhi oleh jumlah spesies dan jumlah total
individu masing-masing spesies pada suatu
komunitas.
Adanya perbedaan nilai indeks
keanekaragaman jenis organisme pada setiap
stasiun menunjukan bahwa kekayaan jenis dari
setiap stasiun yang ditemukan sangat bervariasi.
Keadaan ini menunjukan bahwa bervariasinya
organisme pada lokasi penelitian. Hal ini di duga
disebabkan oleh adanya pengaruh kondisi
lingkungan perairan pada setiap stasiun
penelitian tempat dimana ditemukannya
organisme makrozoobentos, dalam hal ini
perkembangan pola adaptasi organisme dalam
menempati ruang untuk perekembangbiakan dan
pertumbuhan serta persaingan untuk
mendapatkan makanan bergantung pada kondisi
lingkungan perairan, serta tekstur substrat dan
kandungan bahan organik yang terdapat dalam
substrat.
Indeks dominansi jenis makrozoobentos
digunakan untuk melihat apakah dalam suatu
komunitas terdapat jenis organisme
makrozoobentos yang dominan. Sebaliknya
apabila nilai dominansi rendah, maka tidak
terdapat adanya organisme yang dominan dalam
suatu komunitas. Efriyeldi (1997), menyatakan
bahwa pada perairan dengan spesies
makrozoobentos yang banyak, akan mempunyai
nilai indeks dominansi yang rendah dibanding
dengan jenis yang sedikit dengan catatan jumlah
masing-masing individu sama.
Nilai Indeks Dominansi jenis
makrozoobentos di Perairan Desa Motui pada
setiap stasiun berkisar antara 0,535-0,814, lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai indeks
dominansi tertinggi terdapat pada stasiun II dan
indeks dominansi terendah terdapat pada stasiun
I. Menurut Romimohtarto dan Juwana (2001),
menyatakan bahwa D=0 berarti dominansi
rendah, artinya tidak terdapat spesies yang
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 33
mendominasi spesies lainnya atau struktur
komunitas dalam keadaan stabil. D=1 berarti
dominansi tinggi, artinya terdapat spesies yang
mendominasi jenis yang lainnya atau struktur
komunitas labil, karena terjadi tekanan ekologis
(stress). Nilai rata-rata indeks dominansi dari
setiap stasiun menunjukkan nilai dominansi yang
tinggi.
Tingginya indeks dominansi pada
stasiun II, ini terjadi karena adanya spesies dari
jenis Elaphrocancha javacensis yang
mendominasi jumlah individu dalam komunitas
pada stasiun tersebut. Sedangkan pada stasiun
dengan nilai indeks dominansi yang rendah,
terlihat bahwa tidak adanya jenis organisme
yang mendominasi dari spesies tertentu pada
setiap stasiun dalam komunitas.
Hasil perhitungan nilai indeks dominansi
menunjukkan bahwa ada beberapa stasiun yang
jumlah individunya dalam satu spesies lebih
dominan dari spesies lain dalam komunitas.
Berdasarkan hal tersebut, diduga bahwa terjadi
persaingan atau kompetisi bagi setiap jenis
organisme makrozoobentos, sehingga ada
spesies tertentu yang mengalami tekanan dari
spesies lain, dalam hal penempatan ruang dan
persaingan untuk mendapatkan makanan. Selain
itu, kondisi lingkungan perairan termasuk
parameter fisik, kimia perairan dan karakteristik
substrat berpengaruh terhadap indeks dominansi
pada lokasi penelitian.
Bahan organik yang rendah diduga
berasal dari laut karena laut adalah daerah
yang oligotrofik (miskin bahan organik).
Kondisi tersebut diduga menjadi penyebab
tingginya indeks dominansi. Indeks
dominansi yang tinggi menunjukan adanya
tekanan ekologis yang kuat sehingga
organisme yang yang tidak mamu menahan
ekologis ini cenderung untuk menghilang
atau mencari tempat lain yang lebih sesuai,
sedangkan organisme yang mampu bertahan
hidup dan beradaptasi dengan kondisi
lingkungan tersebut akan terus menetap.
Simpulan
Kualitas lingkungan perairan di
sekitar areal pelabuhan bongkar muat nikel
(Ni) di Perairan Desa Motui Kabupaten
Konawe Utara masih berada dalam kisaran
normal dan kegiatan pertambangan di
sekitar pelabuhan bongkar muat nikel (Ni)
menyebabkan rendahnya kepadatan dan
keanekaragamanorganisme makrozoobentos.
Persantunan
Penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada Prof. Dr. Ir. LM. Aslan, M.Sc
selaku dekan FPIK Unhalu yang telah
memberikan izin kepada penulis untuk
melakukan penenlitian, Emiyarti, S.Pi., M.Si dan
Ermayanti Ishak, S.Pi., M.Si atas bimbingannya
selama penelitian, Ruslaini, S.Pi., M.Pi atas
pinjaman alat penelitian serta Prof. H. La Onu
La Ola, SE. MS penasehat akademik selama
kuliah.
Daftar Pustaka
Barnes, R,S.K. & K.H.Mann. 1994.
Fundamental Of Aquatic Ecology.
Backwell Scientific Publications.
Oxford.
Barus, T.A. 1996. Metode Ekologi Untuk
Menilai Kualitas Suatu Perairan Lotik.
Program Studi Biologi USU FMIPA-
USU, Medan.
_____, T.A. 2004. Pengantar Limnologi Studi
Tentang Ekosisitem Daratan. Program
Studi Biologi USU FMIPA. Medan.
C.K.Yap, S.M. Al-Barwani.2012. A
Comparative Study of Condition
Indices and Heavy Metals in Perna
Viridis Populations at Sebatu and
Muar, Peninsular Malaysia. Journal
Malaysian. Vol (9): 1063-1069.
Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia
Jilid II. Lipi.
Effendi. H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi
Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius.
Yogyakarta. 258 Hlm.
Efriyeldi, 1997. Struktur Komunitas
Makrozoobentos dan Keterkaitannya
dengan Karakteristik Sedimen di
Perairan Muara Sungai Banten Tengah,
Bengkalis. Tesis. Pascasarjana IPB.
Bogor.
Emiyarti. 2004. Karakteristik Fisika Kimia
Sedimen dan Hubungannya dengan
Struktur Komunitas Makrozoobentos
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 34
di Perairan Teluk Kendari. Tesis Pasca
Sarjana. IPB, Bogor.
Ending Rochaytun, Abdul Rozak. 2007.
Pemantauan Kadar Logam Berat dalam
Sedimen di Perairan Teluk Jakarta. Vol
(11): 28-36.
Fitriana, Y.R. 2006. Keanekaragaman dan
Kemelimpahan Makrozoobentos di
Hutan Mangrove Hasil Rehabilitasi
Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali.
Biodiversitas 7 (1) : 67-72.
Harimurthy, S. 2002. Tipologi Komunitas
Makrozoobentos Sebagai Bioindikator
Pencemaran Perairan di Muara Sungai
Donan, Cilacap, Jawa Tengah. Skripsi.
Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.
Heryanto. 2008. Ekologi Keong di Taman
Nasional Gunung Ciremai. Bidang
Zoologi, Puslit Biologi-LIPI. Jurnal
Biologi Indonesia. 4(5). Hlm. 359-
370.
Hutabarat, S dan S M. Evans. 1985. Pengantar
Oseanografi. Penerbit Universitas
Indonesia. Jakarta.
Irawan, A. 2003. Asosiasi Makrozoobentos
Berdasarkan Letak Padang Lamun
Estuaria Bontang Kuala, Kota Bontang
Kalimantan Timur. [Tesis]. Program
Pasca Sarjana. IPB.
Irwana, 2000. Kelimpahan dan Tipe Distribusi
Makrozoobentos pada Zona Intertidal
Perairan Pomalaa Kabupaten Kolaka.
Skripsi. Jurusan Perikanan Fakultas
Pertanian. Universitas Haluoleo.
Kendari.
Irawati, Nur. 2001. Analisis Tingkat
Pencemaran Teluk Kendari dengan
Makrozoobentos Sebagai
Bioindikator. Skripsi. Jurusan
Perikanan, Fakultas Pertanian.
Universitas Haluoleo. Kendari. 18-
38p.
Ita. R., E. K. Wibowo. 2009. Substrat Dasar
dan Parameter Oseanografi Sebagai
Penentu Keberadaan Gastropoda dan
Bivalvia di Pantai Sluke Kabupaten
Rembang. Jurusan Ilmu Kelautan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Diponegoro. 14(1). Hlm.
50-59.
Jaenuru, L. 2004. Struktur Komunitas
Makrozoobentos di Perairan Sungai
Kambu Kota Kendari. Skripsi. Jurusan
Perikanan Fakultas Pertanian.
Universitas Haluoleo. Kendari.
Kementerian Lingktrngan Hidup. 2004.
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun
2004 tentang Baku Mutu Air Laut.
]akarta: MENKLH.
Kegley and Andrews. 1997. The Chemistry of
Water. Univ. Science Book.
California. 71 p.
Monoarfa, W., 2000. Pengelolaan Kualitas Air.
Universitas Hasanuddin. Makassar.
______ 2008. Dampak Pembangunan Bagi
Kualitas Air di Kawasan Pesisir Pantai
Losari. Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut.
Pradyna Paramita. Jakarta.
Nasim Ahmad Khan, Shaliza Ibrahim,
Piarapakaran Subramaniam. 2004.
Elimination of Heavy Metals From
Wastewater Using Agricultural Wastes
as Adsorbents. Malaysian Journal of
Science (23): 43-51.
Nontji, A. 2000. Laut Nusantara. Djambatan.
Jakarta. Pp 157-171.
Nurul, R.I., Zulkifli. H., dan Hendri. H. 2010.
Struktur komunitas Makrozoobentos di
estuaria Kuala Sugihan Provinsi
Sumatera Selatan. Program Studi llmu
Kelautan Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Sriwijaya, Indralaya.
Maspari Journa. 1(1). Hlm. 53-58.
Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut. Suatu
Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan
dari Marine Biology an Ecological
Approach oleh M. Eidman. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
______. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan
Ekologis. Terjemahan oleh Eidman,
D.Y Bengen dan Koesbiono.
Gramedia. Jakarta.
Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi
Terjemahan. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
_______. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi
Ketiga. Universitas Gajah Mada Press.
Yogyakarta (Penerjemah Tjahjono
Samingar). Hlm. 370, 374-375, 386.
Pennak, R.W. 1978. Fresh Water Invertebrates
of United States. Second Edition. A.
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO 35
Willey Interscience Publ. John Willey
amd Sons, New York.
Rahmania, R. 2001. Analisis Kualitas Air
Dengan Bioindikator Plankton di
Sungai Wanggu Kotamadya Kendari.
Skripsi.jurusan Perikanan Fakultas
Pertanian. Universitas Haluoleo.
Kendari.
Rizky Nurul Irmawan, Hilda Zulkifli,
Muhammad Hendri. 2010. Struktur
Komunitas Makrozoobentos di
Estuaria Kuala Sugihan Provinsi
Sumatera Selatan. Maspari Journal.
Vol (01): 53-58.
Romimohtarto. K., dan S. Juwana, 2001. Biologi
Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang
Biologi Laut. Djambatan. Jakarta.
Rosyadi, Nasution, S., Thamrin. 2009.
Distribusi dan Kelimpahan
Makrozoobenthos Di Sungai Singingi
Riau. PPs Universitas Riau, Pekanbaru
:3 (1). Hlm 5-10.
Sastrawijaya, T.A. 1991. Pencemaran
Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta.
______, T.A. 2000. Pencemaran Lingkungan.
Edisi Kedua. Rineka Cipta. Jakarta.
Saw Ai Yin, Ahmad Ismail, Syaizwan Zahmir
Zulkifli. 2012. Heavy Metals Uptake
by Asian Swamp Eel, Monopterus
Albus From Paddy Fields of Kelautan,
Peninsular Malaysia: Perliminary
Study. Tropical Life Sciences
Research. Vol (3) No (2): 27-38.
Setyowati, Y., Iriani, A. H. Ramelan. 2012.
Pengaruh Rapat Arus Terhadap
Ketebalan dan Struktur Kristal Lapisan
Nikel Pada Tembaga. Indonesian
Journal of Applied Physics. Vol (2) No
(1): 1.
Shoedharma, D. 1994. Keanekaragaman
Makrobentos dan Hubungannya
dengan Kualitas Lingkungan Pesisir
Teluk Lampung. Jurnal Ilmu-Ilmu
Perairan dan Perikanan Indonesia. II.
Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Usaha
Nasional Surabaya-Indonesia.
Supriharyono, 1978. Kondisi Kualitas Air di
Saluran Daerah Persawahan.
Persawahan-Pemukiman dan
Pemukiman Delta Upang Sumatera
Selatan. Fak. Pascasarjana, IPB Bogor.
Surianto, W.A., 2001. Struktur Komunitas
Makrozoobentos Sebagai Indikator
Kualitas Air Di Perairan Pantai Desa
Torekeku Kecamatan Tinanggea
Kabupaten Kendari. Skripsi. Jurusan
Perikanan. Fakultas Pertanian.
Universitas Haluoleo.
Suriawira, U. 1996. Air dalam Kehidupan dan
Lingkungan yang Sehat. Edisi 1.
Alumni. Bandung. Hlm 1-6.
Syafikri, 2008. Studi Struktur Komunitas
Bivalvia dan Gastropoda di Perairan
Muara Sungai Kerian dan Sungai
Simbat Kecamatan Kaliwungu
Kabupaten Kendal. Skripsi. Jurusan
Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Universitas
Diponegoro. Semarang.
Syafriel, 2008. Struktur Komunitas Dan
Komposisi Jenis Serta Penyebaran
Makrozoobentos di Kawasan Hutan
Mangrove. Skripsi. Jurusan Perikanan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Haluoleo. Kendari.
Wibisono, M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan.
Grasindo Gramedia Widiarsarana
Indonesia. Jakarta. 224 hal.
Yuniar Andri S, Hadi Endrawati, Muhammad
Zainuru. 2012. Struktur Komunitas
Makrozoobentos di Perairan Morosari
Kecamatan Sayung Kabupaten Demak.
Journal of Marine Research. Vol (1)
No (2): 235-242.
Zulfandi, Muhammad Zainuru, Retno Hartati.
2012. Struktur Komunitas
Makrozoobentos di Perairan Pandasari
Kecamatan Sayung. Kabupaten
Demak. Journal of Marine Research.
Vol (1) No (1) : 62-66.