Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

21
Zainal Abidin © 2020, Kelasa, 15 (2), 233 253 | 233 Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra http://kelasa.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/kelasa p-ISSN : 1907-7165 e-ISSN: 2721-4672 KEKUASAAN PADA WACANA NEGOSIASI DALAM NOVEL CANTIK ITU LUKA KARYA EKA KURNIAWAN Power in the Negotiation Discourse in a Novel Entitled Cantik itu Luka Written by Eka Kurniawan Zainal Abidin Balai Bahasa Provinsi Riau [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kekuasaan dalam novel Cantik Itu Luka (CIL) Karya Eka Kurniawan dengan permasalahan siapakah pihak yang dominan dan yang dimarjinalkan dalam wacana negosiasi pada novel tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data berupa kata, gabungan kata, dan kalimat di dalam novel tersebut dikumpulkan dengan metode pustaka dengan teknik simak dan catat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dominansi budaya feodal terhadap budaya komunis, penguasa terhadap feodal, komunis terhadap penguasa, feodal terhadap kekerasan, kekerasan terhadap penguasa sehingga secara terbalik budaya- budaya dominan tersebut memarjinalkan budaya yang termarjinalkan. Ideologi disampaikan melalui hegemoni wacana negosiasi kolaborasi (win-win), dominasi (win- lose), akomodasi (lose-win), dan menghindari konflik (lose-lose). Kata-kata kunci: kekuasaan, wacana negosiasi, novel Cantik Itu Luka Abstract This research aims to describe the power in novel Cantik Itu Luka (CIL), written by Eka Kurniawan's with the problem of who is the dominant and marginalized party in the negotiation discourse in the novel. This study uses a qualitative method. Data in the form of words, word combinations, and sentences in the novel were collected using the library method with the observation and note-taking technique. The results show that there are dominances of feudal culture against communist cultures against feudal, communist against sovereignty, feudal against violence, violence against sovereignty so that in reverse these dominant cultures marginalize the marginalized cultures. The ideology is conveyed through the hegemony of the discourse of negotiating collaboration (win-win), domination (win-lose), accommodation (lose-win), and avoiding conflict (lose-lose). Keywords: power, negotiation discourse, the novel Cantik Itu Luka Naskah Diterima Tanggal 24 Sepetember 2020Direvisi Akhir Tanggal 4 Desember 2020Disetujui Tanggal 11 Desember 2020 doi: DOI: https://doi.org/10.26499/kelasa.v15i2.116

Transcript of Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

Page 1: Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

Zainal Abidin

© 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253 | 233

Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra

http://kelasa.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/kelasa

p-ISSN : 1907-7165

e-ISSN: 2721-4672

KEKUASAAN PADA WACANA NEGOSIASI

DALAM NOVEL CANTIK ITU LUKA KARYA EKA KURNIAWAN

Power in the Negotiation Discourse in a Novel Entitled Cantik itu Luka

Written by Eka Kurniawan

Zainal Abidin

Balai Bahasa Provinsi Riau

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kekuasaan dalam novel Cantik Itu Luka

(CIL) Karya Eka Kurniawan dengan permasalahan siapakah pihak yang dominan dan

yang dimarjinalkan dalam wacana negosiasi pada novel tersebut. Penelitian ini

menggunakan metode kualitatif. Data berupa kata, gabungan kata, dan kalimat di dalam

novel tersebut dikumpulkan dengan metode pustaka dengan teknik simak dan catat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dominansi budaya feodal terhadap

budaya komunis, penguasa terhadap feodal, komunis terhadap penguasa, feodal

terhadap kekerasan, kekerasan terhadap penguasa sehingga secara terbalik budaya-

budaya dominan tersebut memarjinalkan budaya yang termarjinalkan. Ideologi

disampaikan melalui hegemoni wacana negosiasi kolaborasi (win-win), dominasi (win-

lose), akomodasi (lose-win), dan menghindari konflik (lose-lose).

Kata-kata kunci: kekuasaan, wacana negosiasi, novel Cantik Itu Luka

Abstract

This research aims to describe the power in novel Cantik Itu Luka (CIL), written by

Eka Kurniawan's with the problem of who is the dominant and marginalized party in the

negotiation discourse in the novel. This study uses a qualitative method. Data in the

form of words, word combinations, and sentences in the novel were collected using the

library method with the observation and note-taking technique. The results show that

there are dominances of feudal culture against communist cultures against feudal,

communist against sovereignty, feudal against violence, violence against sovereignty so

that in reverse these dominant cultures marginalize the marginalized cultures. The

ideology is conveyed through the hegemony of the discourse of negotiating

collaboration (win-win), domination (win-lose), accommodation (lose-win), and

avoiding conflict (lose-lose).

Keywords: power, negotiation discourse, the novel Cantik Itu Luka

Naskah Diterima Tanggal 24 Sepetember 2020—Direvisi Akhir Tanggal 4 Desember 2020—Disetujui Tanggal 11 Desember 2020

doi: DOI: https://doi.org/10.26499/kelasa.v15i2.116

Page 2: Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

Kekuasaan Pada Wacana Negosiasi Dalam Novel …

234 | © 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253

PENDAHULUAN

Karya sastra diciptakan untuk

mengungkapkan apa yang ada di

lingkungannya karena sastra dan budaya

merupakan dua hal yang tidak dapat

dipisahkan. Sastra muncul sebagai

representasi budaya masyarakatnya.

Sastra menyajikan gambaran kehidupan,

dan kehidupan itu sendiri sebagian besar

terdiri dari kenyataan budaya. Dalam

pengertian ini, kehidupan mencakup

hasil budi daya manusia yang mencakup

hubungan antarmanusia dan

antarperistiwa yang terjadi dalam batin

seseorang. Penciptaan karya sastra bukan

hanya karangan biasa atau imajinasi

pengarang. Namun, sastra diciptakan

berdasarkan pengalaman pribadi

pengarang, peristiwa yang ada pada saat

itu, peristiwa orang lain, atau sengaja

dibuat untuk sindiran. Realitas budaya

dalam karya sastra tidak secara langsung

diungkapkan oleh pengarang. Pengarang

merupakan anggota yang hidup dan

berhubungan dengan orang-orang yang

berada di sekitarnya, maka dalam proses

penciptaan karya sastra seorang

pengarang tidak terlepas dari pengaruh

lingkungannya. Oleh karena itu, karya

sastra yang lahir di tengah-tengah

masyarakat merupakan hasil

pengungkapan jiwa pengarang tentang

kehidupan, peristiwa, serta pengalaman

hidup yang telah dihayatinya. Menurut

Fitriani (2018) hasil pengungkapan itu

memiliki nilai-nilai kehidupan bagi

pembacanya, baik positif maupun

negatif, yang dapat diteladani atau

dihindari (hlm. 149).

Peristiwa bersejarah di Indonesia

menjadi sumber dalam cerita novel.

Banyak narasi yang menceritakan bahwa

bangsa Indonesia pernah dijajah oleh

Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, dan

Jepang. Sejarah merekam perubahan-

perubahan zaman yang terjadi di

dalamnya. Novel dapat menarasikan

sebuah cerita dengan latar sejarah

sehingga menggambarkan sejarah.

Novel yang demikian diharapkan

memberikan pencerahan dan inspirasi

dari suatu peristiwa lampau yang pernah

terjadi sebagai referensi tambahan

penyampai ilmu pengetahuan sejarah

kepada khalayak. Berbagai novel yang

diciptakan oleh pengarang dan berbagai

judul sudah dibaca oleh pembaca. Salah

satu novel yang dikategorikan dalam

novel dengan latar sejarah adalah novel

yang berjudul Cantik itu Luka (CIL)

karya Eka Kurniawan (2017) Novel ini

memiliki karakteristik dan keunikan

yang kuat dibandingkan dengan novel

lain. Representasi zaman kolonial dan

rumitnya penjajahan menjadikan isi

novel tersebut seolah-olah benar terjadi.

Page 3: Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

Zainal Abidin

© 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253 | 235

Penelitian tentang novel CIL

sudah banyak dilakukan di antaranya

Khoirunnisa (2017) dengan judul

“Diskriminasi Gender dan Agensi

Perempuan dalam Novel Cantik Itu Luka

Karya Eka Kurniawan”, Crisdina (2018)

dengan judul “Ketidakadilan Gender

dalam Novel Cantik itu Luka Karya Eka

Kurniawan: Tinjauan Feminisme Dan

Implementasinya sebagai Bahan Ajar

Sastra di SMA”, dan Kurniawati (2018)

dengan judul “Kajian Feminisme dalam

Novel Cantik itu Luka Karya Eka

Kurniawan”. Penelitian yang dilakukan

secara umum berpresfektif gender.

Perempuan sebagai objek penelitian

dibicarakan dengan problematika:

feminis, tertindas, dan sebagainya.

Namun, penelitian tentang kekuasaan

pada wacana negosiasi dalam novel

tersebut belum pernah dilakukan.

Analisis wacana kritis terhadap

karya sastra sudah pernah dilakukan oleh

Agustin (2013) dengan judul “Analisis

Wacana Kritis Pada Novel Ksatria

Pembela Kurawa Narasoma Karya

Pitoyo Amrih”. Dengan teori AWK

Fairclough, penelitian tersebut

menunjukkan bahwa praktik kekuasaan

memunculkan adanya kelompok yang

lebih dominan (Kurawa) dan kelompok

tertindas (Pandawa), ideologi yang

mengarah pada sosok raja Duryudana

yang kilau akan kekuasaan sehingga ia

menghalalkan segala cara demi

mewujudkan keinginannya untuk dapat

menguasai penuh negara Hastinapura,

dan menampilkan kelompok kurawa

yang begitu sombong, iri dengki, sadis,

pemarah, dan pendendam, sedangkan

kelompok Pandawa adalah orang-orang

yang memiliki kemuliaan hati, penyabar

dan selalu cinta damai.

Penelitian tentang kekuasaan

dalam karya sastra juga pernah

dilakukan oleh Idayatiningsih (2017)

yang berjudul “Perlawanan terhadap

Dominasi Kekuasaan dalam Novel

Pasung Jiwa Karya Okky Madasari

(Analisis Wacana Kritis)”. Hasil

penelitian tersebut menunjukkan bahwa

(1) dilihat dari dimensi teks

(mikrostruktural), aspek kelinguistikan

memperlihatkan bahwa perlawanan

dilakukan melalui kosa kata, gramatika,

dan struktur teks yang membentuk

kesatuan wacana. Perlawanan dalam

aspek kelinguistikan tersebut berbentuk

ideologi yang diperjuangkan dan

direpresentasikan oleh kosakata pada

nilai representasional, nilai relasional,

dan nilai ekspresif. (2) Dilihat dari

dimensi praktik kewacanaan

(mesostruktural), menyuarakan

perlawanan melalui kontribusi proses

produksi dan konsumsi teks, pengarang

Page 4: Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

Kekuasaan Pada Wacana Negosiasi Dalam Novel …

236 | © 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253

berpengaruh pada pemroduksian teks,

sedangkan konsumen memaknai wacana

tersebut sebagai bentuk perlawanan

terhadap ketidakbebasan, ketidakadilan

dan kesewenang-wenangan. (3) Dilihat

dari dimensi praksis sosiokultural

(makrostruktural), konteks sosial budaya

yang ada di luar teks berpengaruh pada

munculnya teks. Secara situasional,

Novel Pasung Jiwa bisa menjadi

semacam cermin untuk menjadi seorang

pemimpin yang bijak.

Penelitian lain yang sejenis

adalah penelitian yang dilakukan oleh

Mustofa (2014) dengan judul “Analisis

Wacana Kritis (AWK) dalam Cerpen

Dua Sahabat Karya Budi Darma:

Konteks Pembelajaran Bahasa dan

Sastra Indonesia”. Dalam penelitian

tersebut ditemukan bahwa untuk

mengungkap ideologi yang ada di

dalamnya tidak bisa menempatkan

bahasa secara tertutup, tetapi harus

melihat konteks, terutama bagaimana

ideologi dari seseorang atau kelompok-

kelompok yang ada tersebut berperan

dan membentuk wacana dalam teks

tersebut. Selain itu, teks sastra sangat

bergantung pada situasi saat penciptaan

dan individualisasi pengarangnya

sehingga makna yang terkandung di

dalamnya tidak bisa ditentukan dari

susunan kebahasaannya saja, tanpa

mempertimbangkan susunan retorika

yang terkait dengan situasi konteks

komunikasi yang mendukungnya.

Novel CIL merupakan novel

yang menceritakan berbagai peristiwa

yang terjadi saat zaman kolonial dan

pascakolonial di Indonesia. Peristiwa

tersebut di antaranya penjajahan Jepang,

pemberontakan kelompok nelayan, dan

terbentuknya Partai Komunis Indonesia

yang dilarang keras di Indonesia.

Peristiwa-peristiwa tersebut menjadikan

cerita dalam novel memiliki daya tarik

tersendiri bagi pembaca. Terdapat juga

berbagai negosiasi yang dilakukan oleh

tokoh-tokoh di dalam cerita tersebut.

Negosiasi, saat ini, merupakan

wacana yang sedang ramai dibicarakan

orang. Untuk menggapai kepentingan,

banyak pihak melakukan upaya ini.

Karena sedemikian pentingnya, wacana

negosiasi dicantumkan sebagai salah

satu materi ajar dalam pembelajaran di

sekolah. Oleh karena itu, pembicaraan

tentang wacana negosiasi dalam novel

CIL perlu dilakukan.

Penelitian ini dilakukan dengan

permasalahan siapakah pihak yang

dominan dan yang dimarjinalkan dalam

wacana negosiasi pada novel CIL karya

Eka Kurniawan. Dengan membahas

permasalahan tersebut, kekuasaan dalam

novel CIL dapat dideskripsikan.

Page 5: Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

Zainal Abidin

© 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253 | 237

Penelitian ini menggunakan

landasan teori Fairclough (1989) tentang

prosedur analisis wacana kritis yang

tahapnya terdiri atas tiga, yaitu deskripsi,

interpretasi, dan eksplanasi (hlm. 26).

Menurut Fairclough, (1989)

analisis teks pada tahap deskripsi

mengacu pada tingkatan yang

berhubungan dengan sifat formal teks,

kajiannya meliputi aspek kosakata dan

gramatikal yang tercakup pada aspek

makna eksperensial (ideasional),

interpersonal serta makna tekstual teks,

sedangkan aspek struktur teks ada pada

analisis genre. Secara global, dapat

dikatakan bahwa tahapan deskripsi

adalah tahapan yang mengacu pada fitur-

fitur linguistik. Tahap interpretasi

berkaitan dengan hubungan antara teks

dan interaksi dalam teks yaitu dengan

melihat teks sebagai suatu produk proses

produksi, dan sebagai sumber dalam

proses interpretasi. Tahap ini merupakan

tahap yang menyertakan faktor-faktor

sosial (interpretasi konteks) dari suatu

teks, misalnya tentang siapa yang

terlibat, apa yang sedang terjadi, dalam

hubungan apa, serta apa peran bahasa

pada teks tersebut, selanjutnya baru

ditentukan interpretasi teksnya

berdasarkan hubungannya dengan

interpretasi konteks tersebut. Dijelaskan

lebih detail oleh Fairclough bahwa

interpretasi adalah penggeneralisasian

melalui apa yang ada dalam teks dan apa

yang ada dalam benak si interpreter serta

dalam kerangka berpikir members of

resourses.

Tahapan selanjutnya adalah

eksplanasi. Tahap ini berkaitan dengan

hubungan antara konteks interaksi dan

sosial. Tahapannya berhubunganan

dengan penentuan sosial proses produksi

dan interpretasi serta efek-efek sosial

pada terwujudnya sebuah teks.

Pertanyaan yang muncul pada tahap ini

biasanya adalah apa yang membantu

terbentuknya sebuah wacana yang

berhubungan dengan penentuan sosial

yang meliputi level situasional,

institusional dan kemasyarakatan. Pada

level ideologi, pertanyaan yang muncul

adalah elemen apa yang digambarkan

memiliki muatan ideoligis. Konteks

sebelum menginterpretasi teks

diperlukan interpretasi konteks yang

meliputi teks. Yang dimaksud dengan

konteks di sini adalah konteks situasi

yang terdiri atas: field, tenor dan mode.

Field merupakan medan dalam suatu

wacana yang mengacu pada hal apa yang

sedang terjadi dalam teks serta tindakan

sosial yang sedang berlangsung. Tenor

merupakan pelibat suatu wacana yang

mengacu pada siapa yang terlibat dalam

teks tersebut, kepada siapa teks tersebut

Page 6: Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

Kekuasaan Pada Wacana Negosiasi Dalam Novel …

238 | © 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253

ditujukan, serta apa hubungan yang

terjadi antar pelaku dalam wacana,

misalnya status dan kekuasaan

partisipan, afeksi (suka atau tidak suka

atau netral), kontak (frekuensi dan durasi

kontak, kedekatan). Mode merupakan

sarana dalam suatu wacana yang

menunjukkan bagian yang menjadi

tujuan yang akan dicapai tenor, misalnya

bagaimana bahasa digunakan, tulis atau

lisan, yang digunakan sebagai aksi atau

sebagai refleksi. Sistem appraisal

merupakan sistem evaluasi yang

menyatakan sikap atau makna yang ada

dalam suatu wacana atau teks, yang

mempunyai kekuatan emosional yang

dapat membuat suatu teks bermakna bagi

pembaca (hlm. 141─148).

LANDASAN TEORI

Untuk membahas wacana

negosiasi dalam novel CIL karya Eka

Kuriawan ini dipakai teori wacana

negosiasi. Menurut Kebudayaan (2017),

negosiasi adalah bentuk interaksi sosial

yang berfungsi unuk mencapai

kesepakatan di antara pihak-pihak yang

mempunyai kepentingan berbeda (hlm.

2). Sementara itu, Kosasih (2014)

mengatakan bahwa negosiasi merupakan

proses penetapan keputusan secara

bersama antara beberapa pihak yang

memiliki kepentingan berbeda.

Negosiasi merupakan suatu cara dalam

menetapkan keputusan yang dapat

disepakati oleh dua pihak atau lebih

untuk mencukupi kepuasan pihak-pihak

yang berkepentingan (hlm. 86).

Secara umum negosiasi sering

diartikan sebagai suatu bentuk interaksi

sosial antara pihak–pihak yang terlibat

yang berusaha untuk saling

menyelesaikan tujuan yang berbeda dan

bertentangan. Secara formal negosiasi

adalah bentuk pertemuan bisnis antara

dua pihak atau lebih yang bertujuan

untuk mencapai suatu kesepakatan

dalam berbisnis. Negosiasi juga

merupakan perundingan antara dua

pihak yang di dalamnya terdapat proses

memberi, proses menerima, dan proses

tawar-menawar. Negosiasi bertujuan

untuk menyatukan perbedaan pendapat

dari orang-orang yang memiliki

kepentingan berbeda; mencapai

kesepakatan dalam kesamaan persepsi,

pengertian, dan persetujuan; dan

mendapatkan kondisi penyelesaian atau

jalan keluar dari masalah yang dihadapi.

Negosiasi terdiri atas negosiasi

yang berdasarkan situasi, jumlah

negosiator, dan untung rugi. Negosiasi

berdasarkan situasi dibedakan menjadi

negosiasi formal dan negosiasi

nonformal atau informal. Berdasarkan

jumlah negosiator, negosiasi dibedakan

Page 7: Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

Zainal Abidin

© 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253 | 239

menjadi negosiasi dengan pihak

penengah dan tanpa pihak pengengah.

Negosiasi berdasarkan untung rugi

terdiri atas (1) negosiasi kolaborasi

(win-win), (2) negosiasi dominasi (win-

lose), (3) negosiasi akomodasi (lose-

win), dan (4) negosiasi menghindari

konflik (lose-lose).

Dalam penelitian ini wacana

negosiasi dikaitkan dengan representasi

sebagaimana yang dikemukakan oleh

Eriyanto (2009). Menurut Eriyanto

(2009) representasi adalah bagaimana

seseorang atau kelompok, gagasan atau

pendapat tertentu ditampilkan dalam

pemberitaan. Penggambaran tersebut

dilakukan dengan dua cara, yaitu

diperburuk dan apa adanya.

Penggambaran yang diperburuk

merupakan upaya untuk memarjinalkan

seseorang atau kelompok, gagasan atau

pendapat tersebut, sedangkan

penggambaran yang apa adanya adalah

upaya untuk mendominankannya (hlm.

113).

Dalam analisis wacana yang

kritis, ideologi merupakan konsep sentral

karena teks, percakapan, dan sebagainya

adalah bentuk praktik ideologi atau

pencerminan ideologi tertentu. Ideologi

dibangun oleh kelompok yang dominan

untuk mereproduksi dan melegitimasi

dominasi mereka Eriyanto (2009, hlm.

13).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan

penelitian kualitatif. Moleong (2007)

menjelaskan bahwa penelitian kualitatif

bermaksud untuk memahami fenomena

yang dialami oleh subjek penelitian

misalnya perilaku, persepsi, motivasi,

dan tindakan secara holistik dengan cara

deskripsi dalam bentuk kata-kata dan

bahasa pada konteks khusus yang

alamiah dengan memanfaatkan berbagai

metode ilmiah (hlm. 6), sedangkan Ratna

(2014) menyatakan bahwa metode

pencarian fakta ini dilakukan dengan

mendeskripsikan fakta-fakta tersebut

kemudian menganalisis serta

menginterpretasikannya dengan tepat

(hlm. 53). Data penelitian ini berupa

kata-kata, kalimat, dan wacana yang

berkaitan dengan kekuasaan dalam novel

Cinta Itu Luka (CIL) karya Eka

Kurniawan. Novel ini diterbitkan

Gramedia Pustaka Utama, cetakan ke-

13, Desember 2017 dengan tebal 505

halaman. Pengumpulkan data dilakukan

dengan metode pustaka atau

dokumentasi dengan teknik simak dan

catat.

Untuk menganalisis ideologi

dalam novel Cantik Itu Luka karya Eka

Page 8: Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

Kekuasaan Pada Wacana Negosiasi Dalam Novel …

240 | © 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253

Kurniawan penulis memakai langkah-

langkah seperti yang dikemukakan oleh

Darma (2013) yaitu (1) pembacaan

secara kritis-kreatif terhadap novel

Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan;

(2) pengidentifikasian data; (3)

penyajian data yang telah diidentifikasi

adanya (4) penafsiran makna; dan (5)

penyimpulan (hlm. 212).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Representasi Tokoh-Tokoh Utama

dalam Novel Cantik Itu Luka

Sebelum dilakukan pembahasan

tentang representasi tokoh-tokoh dalam

novel CIL, perlu disampaikan tokoh-

tokoh yang terdapat di dalamnya.

Tokoh-tokoh tersebut sebagai berikut.

1. Dewi Ayu, wanita pelacur berdarah

Belanda yang lahir akibat hubungan

tidak direstui karena ayah ibunya

masih bertalian darah satu ayah,

berbeda ibu;

2. Shodancho, lelaki purnawirawan

militer yang beralih menjadi

pengusaha dengan memanfaatkan

status ketika menjabat di kemiliteran;

3. Maman Gendeng, lelaki preman

arogan yang selalu menyelesaikan

masalah dengan kekerasan;

4. Kamerad Kliwon, lelaki pemimpin

organisasi komunis yang dilahirkan

dari seorang ayah komunis;

5. Alamanda, anak pertama Dewi Ayu;

6. Adinda, anak ke-2 Dewi Ayu;

7. Maya Dewi, anak ke-3 Dewi Ayu;

8. Cantik, anak ke-4 Dewi Ayu;

9. Nurul Aini, anak Alamanda dan

Shodanco;

10. Krisan, anak Adinda dan Kamerad

Kliwon; dan

11. Rengganis si Cantik, anak Maya

Dewi dan Maman Gendeng.

Ada empat budaya dalam novel

CIL yang ditampilkan oleh pengarang

melalui wacana negosiasi pada tokoh-

tokoh utamanya. Pertama, Dewi Ayu

sebagai budaya feodal yang suka

menjadikan orang lain sebagai budak. Ini

dapat ditandai dengan kalimat dalam

data 1 dan 2 berikut.

Data 1.

…. Paling tidak, pikirnya ketika itu,

ia bisa dijadikan temannya di rumah,

mencari kutu di rambut setiap sore,

menunggu rumah sementara ia pergi

ke rumah pelacuran. Kurniawan

(2017), hlm. 15)

Data 2.

Kejutan berikutnya: si jawara

memperlihatkan papan sabak yang

ditulisi dengan rapi, tampaknya oleh

seorang gadis. Ia bisa membacanya.

Si jawara juga tidak, tapi si jawara

tahu apa yang ditulis di sana.

“Dewi Ayu ingin kawin

denganmu,” katanya. Kurniawan

(2017, hlm. 30)

Gabungan kata dijadikan teman,

mencari kutu, menunggu rumah pada

Page 9: Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

Zainal Abidin

© 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253 | 241

data 2 adalah frase verbal yang

mengarah kepada aktivitas

mempekerjakan orang lain tanpa diberi

upah yang biasa dilakukan oleh orang

berbudaya feodal. Demikian pula,

kalimat Dewi Ayu ingin kawin denganmu

yang didahului dengan kalimat si

jawara memperlihatlan papan sabak

yang ditulisi dengan rapi….

Kedua, Shodancho sebagai

budaya penguasa/kapitalis. Yang

tergambar di dalam data 11 dan 13

berikut.

Data 11. Sang Shodancho masih

menguasai seruas kecil wilayah kota

itu, dari markasnya di mana ia

memasang papan nama Komandan

Rayon Militer. Kurniawan (2017,

hlm. 129)

Data 13. "Apakah kau tak ingin pergi ke

hutan lagi?" tanya Tino Sidiq

akhirnya.

Tidak." Itu ia buktikan dengan

memasang papan nama di depan

bekas markas shodannya: Rayon

Militer Halimunda.

Kepada Mayor Sadrah yang

muncul secara tiba-tiba setelah

mendengar keputusannya untuk

tinggal di kota dan terutama

pendirian rayon militer yang sesuka

hati, ia berkata pendek, "Kini aku

Komandan Rayon Militer, setia pada

sumpah prajurit, dan menunggu

perintah." …. Kurniawan (2017, hlm.

167)

Kalimat Itu ia buktikan dengan

memasang papan nama di depan bekas

markas shodannya: Rayon Militer

Halimunda mendeskripsikan karakter

penguasa yang memaksakan kehendak

sendiri demi ambisi pribadi. Ini

diperkuat dengan kalimat Kini aku

Komandan Rayon Militer, setia pada

sumpah prajurit, dan menunggu

perintah. Kalimat terakhir ini

mempertegas arogansi kekuasaan yang

dimiliki seorang Shodancho. Perangai

Shidancho yang kapitalis tampak jelas

dalam data 20 berikut.

Data 20.

…. Melihat itu sang Shidancho

berkomentar bahwa di masa yang

akan datang penangkapan ikan

seperti nelayan-nelayan itu sudah

seharusnya ditinggalkan perlahan-

lahan. Kapal-kapal besar yang bisa

menampung puluhan nelayan dengan

ikan tangkapan lebih banyak dan

risiko rematik yang lebih sedikit

akan menggantikan perahu-perahu

lecil mereka yang rentai terhadap

badai. Para nelayan tak akan lagi

banyak berhubungan dengan air

laut. … Kurniawan (2017, hlm. 219)

Kalimat Kapal-kapal besar yang

bisa menampung puluhan nelayan

dengan ikan tangkapan lebih banyak

sangat jelas mencerminkan karakter

kapitalisnya. Ia juga tidak peduli dengan

kepentingan orang lain seperti

disebutkan pada kalimat Melihat itu sang

Shidancho berkomentar bahwa di masa

yang akan datang penangkapan ikan

seperti nelayan-nelayan itu sudah

Page 10: Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

Kekuasaan Pada Wacana Negosiasi Dalam Novel …

242 | © 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253

seharusnya ditinggalkan perlahan-

lahan.

Karakter Shodancho yang

kapitalis dan tak peduli dengan orang

lain lebih banyak lagi dituliskan dalam

data 21 berikut.

Data 21.

Setelah satu minggu berkabung,

Sang Shodancho mulai

memerintahkan kapal-kapalnya

datang kembali, mencari ikan di

tempat yang sebelumnya lagi dan

menjual ikan di pelelangan yag sama

lagi, dalam satu upaya membalas

dendam terhadap Kamerad Klwon

dan teman-temannya. Para buruh di

kapal penangkap ikan memprotes

rencana tersebut karena mereka

merasa takut terhadap ancaman

yang akan membakar kapal-kapal itu

berani muncul lagi di daerah

tradisional mereka. Sang Shodancho

tak peduli dan memecat siapa pun

yang tak sepakat dengannya.

Kurniawan (2017, hlm. 297)

Kalimat Sang Shodancho mulai

memerintahkan kapal-kapalnya dan

Sang Shodancho tak peduli dan memecat

siapa pun semakin memperjelas karakter

Shodancho.

Data 22.

Sang Shodancho mengacuhkan

tuntutannya dan tetap

memerintahkan kapal-kapal itu tetap

beroperasi sebagaimana biasa,

kecuali kali ini dikawal para prajurit

dari rayon militer dengan senjata

lengkap. Kurniawan (2017, hlm.

297)

Budaya penguasa yang arogansi

tecermin dari kalimat kapal-kapal itu

tetap beroperasi sebagaimana biasa,

kecuali kali ini dikawal para prajurit

dari rayon militer dengan senjata

lengkap.

Ketiga, Maman Gendeng sebagai

budaya kekerasan. Data 7, 9, dan 10

berikut dapat mendeskripsikan karakter

tokoh tersebut.

Data 7.

Orang-orang masih mengingat

dengan baik bagaimana laki-laki itu

datang ke Halimunda di suatu pagi

yang ribut, ketika ia berkelahi

dengan beberapa nelayan di pantai.

…. Di akhir masa kolonial, dengan

sia-sia ia mencoba mengembara

namun tak menemukan musuh

maupun lawan. Kurniawan (2017,

hlm. 112))

Data 9

Maman Gendeng lama tak

bertarung, melampiaskan hasrat

tubuhnya dengan menenggelamkan

mereka, namun itu bukan halangan

yang pertama. Kurniawan (2017,

hlm. 120)

Data 10

Maman Gendeng kembali

bertanya tentang lelaki terkuat,

sungguh-sungguh yang paling kuat,

di kota itu. …

“Berikan kekuasaanmu padaku,”

kata Maman Gendeng kepadanya,

“atau kita bertarung sampai

seseorang mati.” Kurniawan (2017,

hlm. 128)

Kata-kata rebut, berkelahi,

bertarung, menenggelamkan, dan

bertarung pada data 7, 9, dan 10 tersebut

Page 11: Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

Zainal Abidin

© 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253 | 243

mendeskripsikan karakter keras dalam

menyelesaikan suatu masalah.

Keempat, Kamerad Kliwon

sebagai budaya komunis seperti yang

tercantum dengan pada data 15 berikut.

Data 15.

Tak seorang pun tahu bagaimana

Kamerat Kliwon akhirnya menjadi

seorang pemuda komunis, padahal

meskipun ia bukan pemuda yang

cukup kaya, ia menjalani hidupnya

dengan cara yang sangat

menyenangkan. Ayahnya memang

seorang komunis …. Tapi sebelum

ini tak ada tanda-tanda bahwa

Kliwon akan mengikuti jejaknya….

Kurniawan (2017, hlm. 168)

Melalui wacana negosiasi dalam

CIL dapat diketahui representasi dari

empat budaya tersebut.

Negosiasi Kolaborasi (Win-Win)

Sebagian besar dari kita sering

menerapkan budaya negosiasi

kolaborasi. Kita sering menyebutnya

dengan “winwin solution”. Ini wajar

dilakukan oleh semua orang karena pada

dasarnya, manusia tidak mau merugi

dalam hal apa pun. Agar semua pihak

diuntungkan, negosiasi netral yang

dilakukan adalah negosiasi kolaborasi.

Dalam CIL, ketika budaya

kekerasan berhadapan dengan budaya

feodal, terjadi negosiasi secara

kolaborasi. Hal ini tampak pada

peristiwa ketika Maman Gendeng

berniat menjadikan Dewi Ayu sebagai

istrinya, Dewi Ayu menolak. Akan

tetapi, Dewi Ayu menyetujui solusi

untuk menjawab keinginan Maman

Gendeng karena hakikatnya Maman

mencintai Dewi Ayu hanya untuk

memiliki tubuhnya. Perhatikan data 11

berikut!

Data 11. "Menyedihkan," kata sang

pelacur. "Kau lelaki ketiga puluh

dua yang mencoba memilikiku.”

Itu tak membuat sang preman

terkejut, sebab ia telah menduganya

dengan sangat tepat. Hal ini

memberinya sedikit keberanian untuk

bicara. “Jika aku tak bisa

mengawinimu,” katanya, "paling

tidak aku membayarmu setiap hari

sebagai pelacur.

“Masalahnya lelaki tak setiap

hari bisa meniduriku, dan aku akan

sering menerima uang buta,” kata

Dewi Ayu sambil tertawa kecil.

“Tapi aku suka, paling tidak, jika

aku hamil kini aku tahu siapa

ayahnya.” Jadi kau sepakat bahwa

kau jadi pelacurku seumur

hidupmu?” tanya Maman Gendeng.

Kurniawan (2017, hlm. 133)

Bagian klausa Jika aku tak bisa

mengawinimu dalam novel tersebut

merupakan upaya negosiasi yang

dilakukan oleh pelaku yang mempunyai

kepentingan. Dengan penambahan induk

kalimat paling tidak aku membayarmu

setiap hari sebagai pelacur dalam

wacana negosiasi tersebut membuktikan

bahwa negosiasi yang dilakukan bersifat

Page 12: Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

Kekuasaan Pada Wacana Negosiasi Dalam Novel …

244 | © 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253

kolaborasi. Dengan menjadi pelanggan

tetap Dewi Ayu, Maman Gendeng dapat

menikmati Dewi Ayu dengan cara

mengeluarkan uang seperti yang

dinginkan Dewi Ayu. Pada kondisi

seperti ini, keduanya tidak dirugikan.

Terlebih-lebih terjadinya kesepakatan

yang ditandai dengan kalimat Jadi kau

sepakat bahwa kau jadi pelacurku

seumur hidupmu?.

Tidak berbeda dengan negosiasi

yang dilakukan antara Alamanda yang

mewakili budaya Indonesia dan

Shodancho yang mewakili budaya

penguasa/kapitalis (data 24) berikut.

Data 24.

“Katakan, Shodancho, ia akan

mati pukul lima dini hari ini, kan?”

tanya Alamanda tiba-tiba dari

kegelapan.

“Ya.” jawab Sang Shodancho

tanpa menoleh.

“Akan kubuka mantra itu dan

kuberikan cintaku untukmu jika kau

menjamin bahwa laki-laki itu akan

hidup,” kata Alamanda lagi, dengan

suara nyaring dan penuh kepastian.

Sang Shodancho tiba-tiba bangun

dan duduk memandang istrinya

dalam kegelapan kamar. Keduanya

saling memandang sejenak dalam

satu transaksi paling aneh antara

sepasang suami istri.

“Aku serius, Shodancho.”

“Transaksi yang cukup adil,” kata

Sang Shodancho, "meskipun itu

membuatku sangat cemburu.

Kurniawan (2017, hlm. 346─347)

Alamanda pada wacana negosiasi

tersebut berlaku sebagai negosiator

untuk menyelamatkan Kamerad Kliwon

dari hukuman mati. Penawaran yang

diberikan kepada Shodancho tampak

pada kalimat Akan kubuka mantra itu

dan kuberikan cintaku untukmu jika kau

menjamin bahwa laki-laki itu akan

hidup. Kesepakatan terjadi dengan

penanda kalimat Transaksi yang cukup

adil yang dikemukakan Shodancho.

Pada jenis negosiasi yang seperti

ini, pihak yang dominan dalam negosiasi

masih samar. Meskipun dapat

ditentukan, simpulan yang diambil

terlalu dini seperti negosiasi yang

dilakukan pada data 11 dan 27 tersebut.

Pada kondisi seperti itu budaya komunis

(Kamerad Kliwon) dan budaya

penguasa/kapitalis (Shodancho)

merupakan pihak yang diunggulkan

karena dialah yang dapat menentukan

negosiasi tersebut diterima atau tidak.

Negosiasi Dominasi (Lose-Lose)

Untuk mencapai apa yang

diinginkan, banyak pihak melakukan

dominasi terhadap orang lain dalam

bernegosiasi seperti negosiasi yang

terdapat pada data 4 berikut.

Data 4. “Kenapa kau takut padaku? Aku

hanya ingin disentuh olehmu, dan

tentu saja disetubuhi, sebab kau

suamiku.”

Mak Gedik tak menjawab apa

pun.

Page 13: Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

Zainal Abidin

© 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253 | 245

“Pikirkanlah, kita kawin dan kau

tak menyetubuhiku,” katanya lagi.

“Aku tak akan pernah bunting

dan orang-orang akan bilang

kemaluanmu tak lagi berfungsi.”

“Kau iblis betina perayu,” kata

Mak Gedik akhirnya.

“Si Cantik yang menggoda,”

Dewi Ayu menambahkan.

“Kau tak lagi perawan.”

“Tentu saja itu tidak benar,”

kata Dewi Ayu sedikit tersinggung.

“Setubuhilah aku maka kau tahu

bahwa kau salah.”

….

“Demi iblis, aku tak akan

melakukannya sebab aku tahu kau

tak perawan.” Kurniawan (2017,

hlm. 53─54)

Perlakuan budaya feodal (Dewi

Ayu) sebagai istri terhadap Mak Gedik,

suami, merupakan negosiasi dominan.

Ini tampak dalam kalimat Setubuhilah

aku maka kau tahu bahwa kau salah.

Pemaksaan yang dilakukan oleh Dewi

Ayu mendeskripsikan dominansinya

terhadap Mak Gedik sebagai pihak yang

termarjinalkan yang tampak dalam

kalimat Demi iblis, aku tak akan

melakukannya sebab aku tahu kau tak

perawan. Lewat ideologinya pengarang

mencoba menghegemoni pembaca

bahwa dalam budaya feodal perempuan

(istri) dapat juga melakukan paksaan

dalam melakukan hubungan seks

terhadap laki-laki (suami). Perempuan

yang memiliki kekuasaan (cantik dan

berpengaruh) selalu mendominasi laki-

laki yang dianggap lemah.

Negosiasi yang sama juga

dilakukan Shodancho kepada Dewi Ayu

saat melamar anaknya, Alamanda (data

12).

Data 12.

"Kau menodongkan pistol seperti

seorang pengecut, "kata sang

pelacur dengan jengkel. "Itu

kebiasaan buruk, maafkan aku,

Nyonya," kata Shodancho.“Aku

hanya ingin tanya, apakah aku bisa

mengawini anak sulungmu,

Alamanda?"

Dewi Ayu mencibir dengan

penuh ejekan, dan mengingatkannya

bahwa perlakuan buruk terhadap

ibunya akan berakibat buruk pada

keinginannya. Tapi kemudian ía

berkata dengan sedikit rasional:

"Alamanda punya otak dan tubuh

sendiri, tanyakan langsung padanya

apakah ia mau kawin denganmu atau

tidak. Di dalam hati ia berkata,

tentara kurus ini sangatlah

menyedihkan, melamar dengan cara

itu.

“… Alamanda hanya mencintai

seorang lelaki yang pergi dan ia

menunggunya. Tak ada bedanya, kau

harus tanya Alamanda," kata Dewi

Ayu lagi. Jika ia mau kawin

denganmu akan kubuatkan pesta

yang meriah, jika ia tak ingin kawin

denganmu, kusarankan untuk bunuh

diri.” Kurniawan (2017, hlm. 136)

Dalam kalimat negosiasi

dominannya Kau menodongkan pistol

seperti seorang pengecut dan Aku hanya

ingin tanya, apakah aku bisa mengawini

anak sulungmu, Alamanda?, budaya

penguasa/kapitalis (Shodancho) ingin

menunjukkan bahwa kekuasaannya

melebihi kekuasaan yang dimiliki

Page 14: Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

Kekuasaan Pada Wacana Negosiasi Dalam Novel …

246 | © 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253

budaya feodal (Dewi Ayu). Dengan

demikian, budaya penguasa/kapitalis

berlaku sebagai pihak yang dominan,

sedangkan budaya feodal berada di pihak

yang dimarjinalkan. Ideologi yang ingin

disampaikan oleh pengarang adalah

budaya penguasa/kapitalis melalui

kekuasaan dalam arti yang sebenarnya

(pejabat) mengalahkan budaya feodal

kekuasaan dalam arti cantik dan

berpengaruh.

Hakikatnya, kekuasaan bersifat

nisbi karena di atas kekuasaan terdapat

kekuasaan yang lebih besar lagi..

Ideologi inilah yang ingin disampaikan

pengarang lewat hegemoninya dalam

negosiasi dominasi Maman Gendeng

kepada Shodancho (data 14).

Data 14. "Dengar, Shodancho." Dan

menambahkan dengan segera: "Tak

seorang pun boleh tidur dengan

Dewi Ayu kecuali aku, dan

kukatakan jika kau berani kembali ke

tempat tidurnya, aku akan

memporakporandakan tempat ini

tanpa ampun." Betapa marahnya

Shodancho itu mendengar seseorang

yang belum dikenalnya mengancam

begitu rupa: di sini, di kantornya

sendiri. Ia bertanya-tanya apakah

lelaki ini belum mengetahui siapa

dirinya. Negara bisa

menggantungnya hanya dengan

membiarkan mulutnya mengatakan

bahwa lelaki itu harus digantung

Kurniawan (2017, hlm. 136)

Negosiasi antara budaya

kekerasan (Maman Gendeng) dan

budaya penguasa/kapitalis (Shodancho)

dimenangkan oleh budaya kekerasan.

Kalimat Dengar, Shodancho… Tak

seorang pun boleh tidur dengan Dewi

Ayu kecuali aku, dan kukatakan jika kau

berani kembali ke tempat tidurnya, aku

akan memporakporandakan tempat ini

tanpa ampun. Tidak ada halangan ketika

kekerasan memonopoli apa yang

dimiliki budaya penguasa/kapitalis.

Hegemoni ideologi yang ingin

disampaikan pengarang lewat negosiasi

dominan tersebut terdapat data 23

berikut.

Data 23.

Kenyataannya kapal-kapal itu

kembali lagi, mencari ikan lagi di

perairan dangkal dan menjual ikan

di pelelangan mereka. Tak

tergoyahkan oleh ancaman semacam

itu, seorang nelayan berkata pada

Kamerad Kliwon, "Tak ada cara

lain, Kamerad, kita harus membakar

kapal-kapal Shodancho." Kurniawan

(2017, hlm. 302)

Ada upaya menyusupkan budaya

komunis dalam budaya

penguasa/kapitalis dalam wacana

negosiasi pada novel CIL tersebut.

Dengan cara yang memaksa, upaya itu

digambarkan oleh pengarang dalam

kalimat Tak ada cara lain, Kamerad,

kita harus membakar kapal-kapal

Shodancho.

Page 15: Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

Zainal Abidin

© 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253 | 247

Negosiasi Akomodasi (Lose-Win)

Dalam lingkungan masyarakat

terkadang ada pihak-pihak yang rela

berkorban demi kepentingan orang lain.

Dalam wacana negosiasinya, ia sering

memakai negosiasi akomodasi (lose-win)

seperti itu yang terdapat dalam novel

CIL (data 6) berikut.

Data 6. “Biar kutemui sendiri," katanya

dengan geram. Dewi Ayu menemui

Komandan Kamp di kantornya.

Masuk begitu saja tanpa mengetuk

pintu. Sang Komandan tengah duduk

di kursinya, menghadapi kopi dingin

di atas meja dan radio yang

mendengung tak menyiarkan apa

pun. Lelaki itu menoleh dan terkejut

dengan kelancangan tersebut.

Wajahnya memancarkan kemarahan

orang yang sesungguh-sungguhnya.

Namun, sebelum ia meledak marah,

Dewi Ayu telah melangkah berdiri di

hadapannya hanya terpisah oleh

meja.

“Aku gantikan gadis yang tadi,

Komandan. Kau tiduri aku tapi beri

ibunya obat dan dokter. Dan

dokter!” Kurniawan (2017, hlm. 71)

Demi menyelamatkan orang tua

Ola, Dewi Ayu rela menyerahkan

tubuhnya sebagai alat tukar kesembuhan

ibu Ola. Ini tampak dalam kalimat Aku

gantikan gadis yang tadi, Komandan.

Kau tiduri aku tapi beri ibunya obat dan

dokter. Dan dokter!” Hal ini

dilakukanya setelah kegagalan Ola

bernegosiasi kepada Komandan Jepang.

Dalam menghadapi kekuasaan asing,

budaya feodal berada pada pihak yang

dimarjinalkan, sedangkan kekuasaan

asing sebaliknya. Pengarang ingin

menyampaikan ideologi dengan cara

menghegemoni pembaca bahwa perang

merupakan arena pertempuran fisik dan

batin yang menghalalkan segala cara

untuk mendapatkan kekuasaan.

Keberhasilan bernegosiasi seperti ini

bukan ukuran dalam memandang

wacana negosiasi. Memang, pada

wacana negosiasi antara Dewi Ayu dan

Komandan Jepang, pengarang

memenangkan negosiasi yang dilakukan

oleh budaya feodal (Dewi Ayu), tetapi

pada wacana negosiasi yang lain justru

sebaliknya. Sebagai contoh ditemukan

pada negosiasi dalam data 8,13, 16, 17,

dan 19 berikut.

Data 8. “Nasiah, maukah kau jadi

istriku?” tanyanya dengan wajah

penuh permohonan. “Jika perang

selesai, aku akan mengawinimu.”

Gadis itu malahan menangis dan

menggeleng.

“Tuan Gerilya,” kata gadis itu

terbata-bata. “Tidakkah kau lihat

lelaki di sampingku? Ia begitu

lemah, memang. Ia tak mungkin

pergi ke laut buat cari ikan, dan

apalagi pergi berperang seperti

Tuan. Tuan bisa membunuhnya

dengan sangat mudah, dan Tuan

bisa dapatkan aku semudah Tuan

menenteng ikan layang. Tapi jika itu

terjadi, izinkanlah aku mati

bersamanya, sebab kami saling

Page 16: Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

Kekuasaan Pada Wacana Negosiasi Dalam Novel …

248 | © 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253

mencintai dan tak ingin dipisahkan”

Kurniawan (2017, hlm. 116)

Data 8 tersebut merupakan

negosiasi Maman Gendeng dengan

Nasiah. Penawaran yang disampaikan

oleh Maman tampak dalam kalimat

Nasiah, maukah kau jadi istriku?.

Negosiasi yang dilakukan berakhir

dengan kemenangan Nasiah yang

ditandai dengan kalimat Tapi jika itu

terjadi, izinkanlah aku mati bersamanya,

sebab kami saling mencintai dan tak

ingin dipisahkan.

Data 13. "Apakah kau tak ingin pergi ke

hutan lagi?" tanya Tino Sidiq

akhirnya.

Tidak." Itu ia buktikan dengan

memasang papan nama di depan

bekas markas shodannya: Rayon

Militer Halimunda.

Kepada Mayor Sadrah yang

muncul secara tiba-tiba setelah

mendengar keputusannya untuk

tinggal di kota dan terutama

pendirian rayon militer yang sesuka

hati, ia berkata pendek, "Kini aku

Komandan Rayon Militer, setia pada

sumpah prajurit, dan menunggu

perintah."

“Jangan membuat lelucon. Kau

seorang jenderal dan tempatmu di

samping presiden," kata Mayor

Sadrah. “Aku akan menjadi apa pun

asalkan tetap di kota ini, di samping

gadis yang namanya kau sebutkan

untukku,” katanya dalam nada yang

begitu menyedihkan, “Bahkan

seandainya aku harus menjadi

seekor anjing sekalipun.”

Sadrah memandang sahabatnya

dengan tatapan iba yang begitu

dalam. “Gadis itu sudah punya

kekasih,” kata Mayor Sadrah setelah

kebimbangan sejenak. Ia tak

sanggup memandang wajah Sang

Shodancho, maka sambil

memandang ke arah lain, ia

melanjutkan, "Seorang pemuda

bernama Kliwon. la tahu bahwa ia

telah mengatakan sesuatu yang

menyakitkan hati. Kurniawan (2017,

hlm. 167)

Negosiasi pada data 13 tersebut

tampak pada kalimat Kau seorang

jenderal dan tempatmu di samping

presiden dan Aku akan menjadi apa pun

asalkan tetap di kota ini, di samping

gadis yang namanya kau sebutkan

untukku. Pada negosiasi tersebut budaya

penguasa/kapitalis Shodancho berada

pada pihak yang dominan, sedangkan

Mayor Sadrah sebaliknya.

Data 16. “Aku jatuh cinta,” kata Kliwon

pada ibunya.

“Itu lebih menyedihkan.” Mina,

ibunya, duduk di samping Kliwon

dan mengelus rambutnya yang ikal

dan dibiarkan memanjang.

“Pergilah dan mainkan gitar di

bawah jendela kamarnya

sebagaimana biasa.”

“Aku pergi untuk merayu

ibunya,” kata Kliwon nyaris

menangis. "Ibunya tak kuperoleh dan

tiba-tiba aku jatuh cinta pada

anaknya, dan tampaknya juga tak

akan kuperoleh."

"Kenapa tidak? Adakah gadis

yang tak menginginkanmu?"

"Mungkin gadis ini," kata Kliwon

pendek dan merebahkan dirinya di

pangkuan Mina, seperti anak kucing

yang manja. "Namanya Alamanda.

Page 17: Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

Zainal Abidin

© 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253 | 249

Seandainya aku harus jadi komunis

dan memberontak dan menghadapi

sederet regu tembak sebagaimana

pernah terjadi pada ayah dan

Kamerad Salim untuk memperoleh

gadis ini, aku akan melakukannya.”

Kurniawan (2017, hlm. 173)

Dalam data 16 tersebut

penawaran pada wacana negosiasi

ditandai dengan kalimat Seandainya aku

harus jadi komunis dan memberontak

dan menghadapi sederet regu tembak

sebagaimana pernah terjadi pada ayah

dan Kamerad Salim untuk memperoleh

gadis ini, aku akan melakukannya.

Negosiasi ini berakhir dengan

kemenangan Kamerad Kliwon karena

cintanya diterima oleh Alamanda

walaupun akhirnya dikandaskan oleh

Shodancho.

Data 17. “Apa kabar? Aku dengar kau

sakit."

“Ya, sakit karena cinta." Apakah

cinta sejenis malaria?”

“Lebih mengerikan." Si gadis

tampak bergidik, lalu sambil

menuntun adiknya, ia melangkah

berjalan menuju sekolah. Kliwon

menyusul dan berjalan di

sampingnya, tampak menderita

sebelum akhirnya berkata.

“Dengar gadis kecil," katanya.

"Maukah kau mencintaiku?"

Alamanda berhenti dan menoleh

kepadanya, lalu menggeleng.

”Kenapa?" tanya Kliwon

kecewa.

"Kau sendiri yang bilang, cinta

lebih mengerikan dari malaria.”

Alamanda menggandeng kembali

tangan adiknya, melangkah

melanjutkarn perjalanan. la

meninggalkan Kliwon yang untuk

kedua kalinya, ambruk alam demam

yang lebih membuatnya menderita.

Kurniawan (2017, hlm. 177)

Data 17 tersebut merupakan

wacana negosiasi antara Kamerad

Kliwon dan Alamanda. Negosiasi dalam

kutipan itu ditandai dengan kalimat

penawaran Maukah kau mencintaiku

yang ditawarkan oleh Kliwon.

Penawaran itu tidak berakhir seperti

yang diinginkan Kliwon karena

Alamanda tidak menyepakatinya Kau

sendiri yang bilang, cinta lebih

mengerikan dari malaria.

Data 19. Perpisahan tersebut begitu

menyakitkan sehingga Alamanda

akhirnya memohon pada Kamerad

Kliwon:

“Perkosalah aku sebelum kau

pergi.”

“Tidak,” kata Kamerad Kliwon.

“Kenapa? Kau meniduri hampir

semua gadis Halimunda tapi kau tak

mau memerkosa kekasihmu

sendiri?”

“Sebab kau berbeda.” Itu benar.

Kamerad Kliwon tak akan takluk

oleh apa pun dan bersikeras tak

akan menyentuh kemaluan gadis itu.

“Sampai kita kawin,” katanya,

seperti pemuda-pemuda alim.

Kurniawan (2017, hlm. 210)

Negosiasi los-win juga

ditampilkan oleh data 19 di atas.

Negosiasi tersebut terjadi antara

Page 18: Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

Kekuasaan Pada Wacana Negosiasi Dalam Novel …

250 | © 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253

Kamerad Kliwon dan Alamanda ketika

akan berpisah di stasiun kereta api.

Negosiasi diawali oleh penawaran dari

Alamanda dalam kalimat Perkosalah

aku sebelum kau pergi. Negosiasi

tersebut tidak mengalami kesepakatan

karena penolakan Kliwon. Dari negosiasi

tersebut diketahui bahwa pihak Kliwon

berada pada pihak yang dominan,

sedangkan Alamanda sebaliknya.

Negosiasi Menghindari Konflik (Lose-

Lose)

Dalam kehidupan sehari-hari,

banyak pihak memilih untuk melakukan

tindakan yang pada dasarnya tidak

diingingkan. Namun, demi menjaga

ketertiban, kenyamanan, dan keamanan

di lingkungan sekitar, banyak pihak

bernegosiasi secara lose-lose. Budaya ini

ternyata ada dalam novel CIL (2014,

hlm. 32) (data 3).

Data 3. Hal ini sama sekali tak

menghibur, malahan membuat Ma

Gedik jatuh di pinggir jalan yang

berpasir, menangis meraung-raung

meratapi kemalangan dirinya. Si

gadis menyurah kusir berhenti

sejenak, mundur dan ia turun berdiri

di depan lelaki itu. Disaksikan si

kusir tua, kodok yang bernyanyi,

burung hantu, nyamuk, dan ngengat,

membuat perjanjian.

“Enam belas tahun yang akan

datang. Tuan Belanda itu akan

bosan denganku. Tunggulah di

puncak bukit cadas jika kau masih

mencintaiku dan terutama jika

masih menginginkan sisa-sisa orang

Belanda.” Kurniawan (2017, hlm.

32)

Peristiwa yang ditampilkan

dalam novel tersebut adalah seorang

lelaki (Mak Gedik) tidak merelakan

kekasihnya (Mak Iyang) dijadikan

gundik Belanda (Stamler). Namun,

karena paksaan yang sangat keras oleh

pihak-pihak Belanda, para jawara, Mak

Iyang tidak dapat menolak kondisi itu. Ia

hanya bersikap pasrah dan juga

menginginkan Mak Gedik bersikap

sama. Pada kondisi seperti ini, budaya

menghindari konflik akan menyuburkan

sikap penindasan oleh penguasa

(diwakili oleh Stamler). Perempuan

sebagai objek seks dihegemoni oleh

pengarang dengan ideologi bahwa

menjadi gundik penguasa adalah

“menyenangkan” karena setelah dua

belas tahun akan kembali kepada sang

kekaksih. Mak Gedik sebagai pihak yang

dimarjinalkan tidak dapat menolak

kondisi tersebut karena negosiasi yang

dilakukan oleh sang kekasih (Mak

Iyang).

Penguasa dalam wacana

negosiasi dalam data 1 tidak hanya

ditafsirkan sebagai penjajah. Namun,

juga mengarah kepada kapitalis yang

dapat menguasai perempuan sebagai

objek seks. Perhatikan data 5 berikut!

Page 19: Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

Zainal Abidin

© 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253 | 251

Data 5. Ola kembali tanpa obat, sebaliknya,

ia menangis lebih kencang.

“Biarlah ia mati,” katanya

sambil sesenggukan.

“Apa kau bilang?” tanya Dewi

Ayu. Ola menggeleng dengan lemah

sambil melap air matanya dengan

ujung lengan baju. "Tak

mungkin”katanya pendek.

“Komandan itu mau memberiku obat

jika aku tidur dengannya.”

Kurniawan (2017, hlm. 71)

Demi menghindarkan diri

sebagai objek seks, perempuan (Ola)

bernegosiasi secara lose-lose meskipun

harus membiarkan ibunya meninggal

dunia. Ini ditandai dengan kalimat

Biarlah ia mati. Sepintas tindakan Ola

merupakan dominasi terhadap

kesempatan hidup ibunya. Akan tetapi,

sikap Ola muncul sebagai hasil negosiasi

dominansi di dalam dirinya terhadap

perlakuan komandan Jepang. Ini tampak

pada kalimat Tak mungkin dan

Komandan itu mau memberiku obat jika

aku tidur dengannya.

Negosiasi dengan Pihak Penengah

Budaya negosiasi dalam

kehidupan kita bukan hanya dipandang

dari sisi keuntungannya, melainkan juga

dari sisi jumlah negosiator yang terlibat

di dalamnya. Untuk “memuluskan”

capaian, banyak pihak melibatkan orang

lain dalam negosiasinya. Pelibatan

negosiator ini tidak hanya secara formal,

seperti dalam pengadilan dan perjanjian

kerja sama, tetapi juga secara nonformal

seperti data 18 berikut.

Data 18. “Ia ingin mati telanjang, polos

seperti bayi yang dilahirkan,” kata

Kliwon.

“Itu tak mungkin,”kata Sang Kapten.

“Tak ada orang yang suka melihat

kemaluannya tergantung ke mana-

mana, terutama jika ia orang

komunis.”

“Itu permintaannya yang

terakhir.”

“Tak mungkin”

“Kalau begitu lakukanlah di

kamar mandi,” kata Kliwon.

“Biarkan ia telanjang, mungkin ia

ingin buang tai dulu, dan

tembaklah.”

“Seorang komunis nomor satu

mati di kamar mandi,” kata Sang

Kapten sambil menganggukkan

kepala. “Cerita bagus untuk buku

sejarah kelak.” Kurniawan (2017,

hlm. 184)

Kalimat Ia ingin mati telanjang,

polos seperti bayi yang dilahirkan yang

disampaikan oleh pihak penengah

(Kliwon) merupakan awal wacana

negosiasi Kamerad Salim. Meskipun

akhirnya ia mati dengan peluru

eksekutornya yangtampak dalam kalimat

Sang Kapten sambil menganggukkan

kepala, ia merupakan pihak yang

dominan karena penawarannya

disepakati oleh esksekutor.

Dengan demikian, dapat

diinterpretasikan bahwa representasi

setiap tokoh dalam novel CIL semakin

jelas dinarasikan pada akhir cerita.

Page 20: Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

Kekuasaan Pada Wacana Negosiasi Dalam Novel …

252 | © 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253

Budaya feodal (Dewi Ayu) dihilangkan

oleh pengarang. Demikian pula dengan

budaya komunis (Kamerad Kliwon),

kekerasan (Maman Gendeng), dan

penguasa/kapitalis (Shodancho).

Ideologi yang diselipkan dalam tokoh

Shondancho tersirat dalam peristiwa

tidak kembalinya Shodancho yang

mempengaruhi pembaca bahwa

penguasa/kapitalis masih berpotensi ada

di Indonesia.

PENUTUP

Berdasarkan pembahasan

tersebut, dapat disimpulkan bahwa

dalam novel CIL budaya feodal (Dewi

Ayu) lebih dominan daripada budaya

komunis (Kamerad Kliwon) dan budaya

penguasa/kapitalis (Shodanco) lebih

dominan daripada budaya feodal.

Budaya komunis (Kamerad Kliwon)

lebih dominan daripada budaya

penguasa/kapitalis (Shodanco),

sedangkan budaya feodal (Dewi Ayu)

lebih dominan daripada budaya

kekerasan (Maman Gendeng). Budaya

kekerasan (Maman Gendeng) lebih

dominan daripada budaya

penguasa/kapitalis (Shodanco). Dari

budaya yang dominan tersebut dapat

dapat diketahui bahwa budaya komunis

(Kamerad Kliwon) dimarjinalkan

daripada budaya feodal (Dewi Ayu),

budaya feodal (Dewi Ayu) dimarjinalkan

daripada budaya penguasa/kepitalis

(Shodanco), budaya penguasa/ kapitalis

(Shodanco) dimarjinalkan daripada

budaya komunis (Kamerad Kliwon),

budaya kekerasan (Maman Gendeng)

dimarjinalkan daripada budaya budaya

feodal (Dewi Ayu), dan budaya

penguasa/kapitalis (Shodanco)

dimarjinalkan daripada budaya

kekerasan (Maman Gendeng).

Dalam novel CIL, pengarang

menyampaikan ideologinya melalui

hegemoni wacana negosiasi kolaborasi

(win-win), dominasi (win-lose),

akomodasi (lose-win), dan menghindari

konflik (lose-lose).

Mengingat sangat kompleksnya

ideologi yang disampaikan dalam novel

CIL, para pembaca perlu diingatkan agar

tidak menafsirkan sendiri dalam

memahami isi cerita novel tersebut.

Selain itu, bagi para peneliti, penelitian

dengan sudut pandang yang lain yang

sumber data novel CIL perlu terus

dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Agustin, D. K. I. (2013). Analisis

Wacana Kritis pada Novel Ksatria

Pembela Kurawa Narasoma Karya

Pitoyo Amrih. Jurnal Skriptorium,

Volume 2, 61─76.

Crisdina, C. (2018). Ketidakadilan

Gender dalam Novel Cantik Itu

Luka Karya Eka Kurniawan:

Page 21: Jurnal Kelasa: Kelebat Bahasa dan Sastra Zainal Abidin

Zainal Abidin

© 2020, Kelasa, 15 (2), 233 – 253 | 253

Tinjauan Feminisme dan

Implementasinya sebagai Bahan

Ajar Sastra di SMA. Universitas

Muhammadiyah Surakarta.

Darma, Y. A. (2013). Analisis Wacana

Kritis. Bandung: Yrama Widya.

Eriyanto. (2009). Analisis Wacana:

Pengantar Analisis Teks Media.

Jogyakarta: PT. LKiS Jogyakarta.

Fairclough, N. (1989). Language and

Power. London: Longman.

Fitriani, F. dan A. E. (2018). Nilai-Nilai

Kehidupan dalam Novel Dilan, Dia

Adalah Dilanku Tahun 1990 dan

Implementasinya pada

Pembelajaran Bahasa Indonesia.

Jurnal Mabasan, Volume 12,

137─150.

Idayatiningsih, R. (2017). Perlawanan

terhadap Dominasi Kekuasaan

dalam Novel Pasung Jiwa Karya

Okky Madasari (Analisis Wacana

Kritis). Jurnal Lingua Franca:

Jurnal Bahasa, Sastra, Dan

Pengajarannya, Volume 5,(42 ─

62).

Kebudayaan, K. P. dan. (2017). Teks

Negosisiasi. In Bahasa Indonesia

Paket C Setara SMA/MA. Jakarta:

Direktorat Pembinaan Pendidikan

Keaksaraan dan Kesetaraan.

Khoirunnisa. (2017). Diskriminasi

Gender dan Agensi Perempuan

dalam Novel Cantik itu Luka Karya

Eka Kurniawan. Universitas Islam

Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kosasih, E. (2014). Jenis-Jenis Teks

dalam Mata Pelajaran Bahasa

Indonesia SMA/MA/SMK. Jakarta:

Yrama Widya.

Kurniawan, E. (2017). Cantik Itu Luka.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kurniawati, A. (2018). Kajian

Feminisme dalam Novel Cantik Itu

Luka Karya Eka Kurniawan. Jurnal

Parole, Volume 1 N, 195–206.

Moloeng, L. J. (2007). Metodologi

Penelitian Kualitatif. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Mustofa. (2014). Analisis Wacana Kritis

(AWK) dalam Cerpen Dua Sahabat

Karya Budi Darma: Konteks

Pembelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia. Jurnal BASTRA, Volume

1, 13 ─ 22.

Ratna, N. K. (2014). Teori, Metode, dan

Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.