Jurnal Diversita DOI: 10.31289/diversita.v6i1.2894 Jurnal ...
Jurnal Antory Royan
-
Upload
sukma-rudianto -
Category
Documents
-
view
223 -
download
0
description
Transcript of Jurnal Antory Royan
1
Kebijakan Perlindungan Hukun Bagi Anak Sebagai Korban Perkosaan Dalam Memperoleh Pelayanan Rehabilitasi
Antory Royan AdyanFakultas Hukum Universitas Bengkulu
Email : [email protected]
Abstrac
This study focused on identifying the rules or norms of positive law, relating to Article 64 paragraph (3) letter a of Law No.23 of 2002 carried through rehabilitation efforts, both within the institution and outside the institution. Background inequity of treatment between the rights of offenders and the rights of victims in the criminal justice system. positive in criminal law today is more emphasis on the protection of non-physical rehabilitation of mental disorder be done "in abstracto" or indirectly berdasakan legal system in Indonesia embraces the Civil Law system, which is based on the written law (written law) and poured as much as possible the norm to the rule of law. Special protection policy that ensures the future of the child victims of crime, in Article 64 paragraph (3) letter a of Law No.23 of 2002, it is necessary written law. Indonesia's civil law system adopted should be clearly mentioned and detailed in order to ensure legal certainty in providing maintenance support services and child care, medical, health care and physical rehabilitation of child psychology. Through the decision of the judge in imposing its decision based on the principles of organization of the judiciary, in article 2, paragraph (2) No. 48 Year 2009, the Court declared the state to implement and enforce the law and justice based on Pancasila, to implement the provisions of Article 64 paragraph (3) letter a of Law no. 23 of 2002.
Key Word : Protection, Law ,Childs Victims, Rehabilitation
Abstraks
Penelitian yang difokuskan untuk mengidentifikasikan tentang kaidah-kaidah atau norma- norma dalam hukum positif, yang berkaitan dengan pasal 64 ayat (3) huruf a UU No.23 Tahun 2002 dilaksanakan melalui upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga. Dilatar belakangi ketidak adilan perlakuan antara hak-hak pelaku dan hak-hak korban dalam sistem peradilan pidana. dalam hukum pidana positif saat ini lebih menekankan pada perlindungan rehabilitasi non fisik berupa ganguan mental dilakukan secara “in abstracto” atau secara tidak langsung berdasakan sistim hukum di Indonesia menganut sistim Civil Law, yang berbasis pada hukum tertulis (written
2
law) dan Menuangkan semaksimal mungkin norma ke dalam aturan hukum. Kebijakan yang menjamin Perlindungan khusus dimasa depan bagi anak korban tindak pidana, pada pasal 64 ayat (3) huruf a UU No.23 Tahun 2002, perlu diupayakan hukum tertulis Di Indonesia yang menganut sistim hukum civil law yang harus menyebutkan secara jelas dan terperinci untuk menjamin kepastian hukum dalam memberikan pelayanan bantuan pemeliharaan dan perawatan anak, pengobatan, pelayanan kesehatan rehabilitasi fisik serta psikologi anak. Peluang hakim dalam menjatuhkan putusan berdasarkan asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, dalam pasal 2 ayat (2) Nomor 48 Tahun 2009, menyatakan Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dapat menerapkan ketentuan pasal 64 ayat (3) huruf a UU No.23 Tahun 2002.
Kata Kunci : Perlindungan, Hukum, Anak Korban, Rehabilitasi
A. Pendahuluan
Perlindungan terhadap anak harus mengacu kepada prinsip the best
interest of child yang digunakan dalam hal semua tindakan menyangkut anak
yang dilakukan oleh lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun swasta,
lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislative, maka
kepentingan yang terbaik harus menjadi pertimbangan (Pasal 3 ayat (1)
Konvensi Hak Anak). Anak perempuan sebagai korban tindak pidana perkosaan
dalam sistem peradilan pidana, tidak diperlakukan sama dengan pelaku sebagai
tersangka atau terdakwa atau terpidana yang telah diatur hak-haknya dalam
Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitap Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Anak perempuan sebagai korban perkosaan mengalami
penderitaan immaterial atau penderitaan non fisik berupa trauma. Jaminan
perlindungan anak dalam sistem peradilan pidana, tidak sebanding jaminan
perlindungan hak-hak sipelaku tindak pidana. Perlindungan hukum anak korban
perkosaan sebatas penderitaan fisik diatur dalam pasal 98 – 101 KUHAP,
3
diterimanya hak korban melalui penggabungan perkara yang timbul akibat oleh
kejahatan tersebut (hanya biaya yang telah dikeluarkan oleh korban).
Pertanggungjawaban pelanggar hukum pidana tidak menghiraukan sebab-sebab
atau akibat-akibat tindak pidana (kejahatan) pada penderitaan diri korban. Ada
kesan proses itu sudah berhenti, ketika putusan pengadilan pidana sudah
dieksekusi. Proses peradilan telah selesai, Korban dikesampingkan dan
dilupakan tidak lepas dengan hukum pidana yang di anut Indonesia yang
bersumber hukum pidana modern yang melahirkan pertanggungjawaban dalam
hukum pidana bersifat daad-dader strafrecht, yaitu hukum pidana yang
berorientasi pada sipembuat dan perbuatannya, yaitu bagaimana
memperlakukan pelaku tindak pidana sedemikian rupa sehingga hak asasi dan
kepentingannya masa depan dipelaku tindak pidana agar tidak lebih buruk
sebelum ia belum terlibat dengan hukum pidana. Pemberian pemidanaan
terhadap pelaku tindak pidana, maka selesailah sudah tugas Hukum pidana di
dalam memberikan perlindungan terhadap masyarakat dari ancaman pelaku
tindak pidana, termasuk di dalam pengertian perlindungan terhadap masyarakat
ini adalah kepentingan korban (Roeslan Saleh, 1983 : 18-19). Sejauhmana
tanggung jawab negara ini memberikan perlindungan hukum bagi anak sebagai
korban tindak pidana perkosaan dipenuhi secara baik dalam sistem hukum yang
berlaku di negara saat ini. Inilah pokok permasalahan yang untuk kasus
terhadap anak perempuan sebagai korban perkosaan menunjukkan masih
banyak kendala bagi anak perempuan sebagai korban perkosaan dalam
mendapatkan keadilan. Undang-undang Nomor UU No.23 Tahun 2002 tentang
4
perlindungan anak menentukan karakteristik pemerintah atau negara dalam
menentukan sistem hukum perlindungan anak yang masih menampilkan
kesenjangan hukum mengenai anak dan hak-hak anak yang masih belum
sepenuhnya terintegrasi kedalam norma hukum positif dan belum maksimal
khususnya dalam pemberian rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal
64 ayat (3) huruf a UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
menyatakan perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui : upaya rehabilitasi,
baik dalam lembaga maupun di luar lembaga. Dilatar belakangi ketidakadilan
perlakuan antara hak-hak pelaku dan hak-hak korban dalam upaya rehabilitasi,
baik dalam lembaga maupun di luar lembaga sistem peradilan pidana dan tujuan
negara, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum. Atas dasar ini, negara harus ikut campur
tangan secara aktif dalam upaya memberikan perlindungan terhadap nasib
korban secara kongkrit dan individual, melalui rehablitasi sebagai bentuk
kompensasi maupun restitusi, maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini ádalah (1) Apakah kebijakan perlindungan hukum anak sebagai
korban perkosaan memperoleh rehabilitasi ? (2) Bagaimanakah kebijakan di
masa depan yang dapat menjamin perlindungan hukum bagi anak sebagai
korban perkosaan dalam memperoleh pelayanan rehabilitasi
B. Metode Penelitilian
Jenis penelitian ini bersifat normatif, yaitu penelitian yang difokuskan
untuk mengidentifikasikan tentang kaidah-kaidah atau norma- norma dalam
5
hukum positif. Metode pendekatan ini dilakukan dengan beberapa pendekatan,
yaitu meliputi pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep,
perbandingan dan pendekatan historis. Pengumpulan bahan hukum dilakukan
melalui inventarisasi dokumen berupa studi kepustakaan untuk mencari bahan
hukum, terdiri dari bahan primer terdiri dari UU No 23 Tahun 2002 dan peraturan
pemerintah yang relevan, Bahan hukum sekunder berupa buku-buku, jurnal
dan artikel yang membahas kebijakan rehabiltasi perlindungan bagi anak,
Bahan hukum tersier berupa ensiklopedi dan kamus. Setelah bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier dikumpul
kemudian diolah dengan menyeleksi reabilitas dan validitasnya. Bahan primer
dan bahan sekunder, serta bahan tersier tersebut dianalisis secara kualitatif,
yaitu dengan cara mendiskripsikan bahan yang telah diperoleh dari hasil
penelitian melalui pendekatan induktif, yaitu suatu kerangka fikir dari
pengetahuan yang bersifat khusus ke pengetahuan yang bersifat yang umum
dan pendekatan secara deduktif, yaitu pengetahuan yang bersifat umum ke
pengetahuan yang bersifat yang khusus dengan menghubungankan bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier.
C. Hasil Penelitian Dan Pembahasan
1.Kebijakan Perlindungan Hukum Bagi Anak Sebagai Korban Perkosaan
dalam Memperoleh PelayananRehabilitasi.
Pelaksanaan pelayanan perlindungan anak sebagai korban, merupakan
amanat Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai amanat sudah seharusnya
6
mempunyai hak untuk mendapatkan pemeliharaan, perawatan, bimbingan dan
pendidikan. Dengan memberikan hak-hak dasar kepada anak, diharapkan anak
akan berkembang dengan baik sehingga menjadi anak yang berguna bagi orang
tua, keluarga, masyarakat, dan bangsa secara keseluruhan. Sarana untuk
memperoleh reparasi salah satunya dalam bentuk rehabiltasi bagi perorangan,
perlu diberikan ketentuan yang memadai yang mencakup hak-hak kelompok
atau masyarakat yang menjadi korban untuk mengajukan tuntutan bersama,
tuntutan terhadap kerugian yang dialami dan tuntutan untuk mendapatkan
reparasi yang selayaknya. Untuk keperluan penentuan pengertian tentang
korban, baik perorangan maupun kelompok, sangatlah bermanfaat untuk
mengacu pada Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan
dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Declaration of Basic Principles of Justice for
Victims of Crime and Abuse of Power) terutama pada frase-frase dari paragraf 1
dan 2. Berikut ini kutipannya:
“Korban berarti orang yang secara perorangan atau kelompok menderita
kejahatan, termasuk cedera fisik atau mental, penderitaan emosional,
kerugian ekonomi atau perampasan nyata terhadap hak dasar mereka”.
Kekerasan terhadap kaum perempuan telah menjadi keprihatinan yang
mendesak dan meluas, dan sangat berkaitan dengan konteks studi saat ini
mengenai hak atas reparasi salah satunya dalam bentuk rehabiltasi bagi para
korban. Perlindungan hak asasi manusia berdasarkan hukum internasional,
kedaulatan negara berkaitan dengan empat pandangan, yakni pandangan
universal absolut, universal relatif, partikularistik absolut, dan pandangan
7
partikularistik relatif. Pandangan universal absolut menganggap masalah
perlindungan hak asasi manusia sebagai etika universal yang tidak bisa ditawar
lagi oleh negara manapun. Hal ini berbeda dengan pandangan universal relatif,
meski tetap mengakui masalah perlindungan hak asasi sebagai masalah
universal, namun pandangan ini masih mengakui perkecualian yang didasarkan
atas asas-asas hukum internasional. Pandangan Partikularistik absolut, melihat
persoalan hak asasi manusia (HAM) sebagai masalah universal dan masalah
masing-masing bangsa. Ini berarti pemberlakuan konvenan-konvenan
internasional memerlukan penyelarasan sesuai dengan karateristik budaya suatu
bangsa. Pandangan partikularistik relatif, mengakui adanya realtifitas cultural
dalam pelaksanaan perlindungan HAM yang berlaku secara universal. Hal ini
mengandung tantangan bagaimana agar pelaksanaan asas-asas HAM universal
senapas dan mendapat dukungan dari nilai-nilai budaya nasional sehingga
keberlakuannya mendapat legalitas secara formal dan sosial (Idrus affandi dan
Karim Suryadi,, 2003 : 6). Perlindungan minimal yang dapat diperoleh semua
orang, karena keberadaannya sebagai HAM memberikan sebuah pengakuan
moral tentang kesetaraan semua manusia dan pengakuan setiap orang perlu
diberi kesempatan untuk mengembangkan diri secara penuh. Kehidupan
bermartabat dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya tergantung pada HAM. HAM
membentuk landasan bagi keberadaannya sebagai manusia. Landasan HAM
Keberadaan, khususnya terhadap anak yang diatur dalam beberapa instrument
internasional yang berkaitan dengan perlindugan hukum terhadap remaja (anak)
adalah : (a) Peraturan-peraturan minimum standar PBB mengenai administrasi
8
peradilan bagi remaja (Beijing Rules) yang di sahkan melalui resolusi Majelis
PBB no 43/35 tanggal 29 November 1985; (b) Peraturan-perturan PBB bagi
perlindungan remaja (anak) yang kehilangan kebebasannya, November 1990;
dan (c) Pedoman PBB dalam rangka pencegahan tidak pidana remaja/anak
(pedoman Riyadh) “United Nations guidelines for the prevention of juvenile
delinquency (The Rhiyadh Guidelines)”, yang disahkan dan dinyatakan dalam
resolusi Majelis PBB no. 45/122 tanggal 14 Desember 1990; (d) Resolusi Majelis
Umum PBB No.45/110 UN Stsandar Minimun Rules for Non Custodial Measure
(Tokyo Rule), tanggl 14 Desember 1990Paulus Hadisuprapto, 2008 :135).
Sistem hukum di Indonesia menganut sistem Eropa Kontinental, yang
berbasis pada hukum tertulis dan menuangkan semaksimal mungkin norma ke
dalam aturan hukum. Yang menjadi sumber hukum adalah undang-undang yang
dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislatif dan kebiasaan yang hidup
dimasyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. Prinsip
Umum sistem Eropa kontinental adalah hukum yang memperoleh kekuatan
mengikat, karena sumber-sumber hukumnya diwujudkan dalam peraturan-
peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik di
dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu
(http://eko-ss.blogspot.com/2012/09/antara-civil-law-dan-common-law.html).
Prinsip utama ini dianut mengingat nilai utama yang merupakan tujuan hukum
adalah kepastian hukum. Sehingga berdasarkan sistem hukum yang dianut
tersebut, hakim tidak dapat leluasa untuk menciptakan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat umum. Putusan seorang hakim dalam suatu perkara hanya
9
mengikat para pihak yang berperkara saja. Jaminan pemenuhan rehabilitasi dan
pengakuan hak anak, termasuk hak - hak atas pemulihan kesehatan anak
secara fisik dan non fisik, tergantung pada suatu gerakan global dimana setiap
orang tak hanya memahami dan menghormati kewajiban terhadap anak dan
bertindak atas nama anak-anak. Parlemen dan anggotanya berada dibarisan
terdepan dalam memperjuangkan perlindungan anak. Anggota parlemen bisa
membuat legislasi, mengawasi kegiatan pemerintah, mengalokasi sumber-
sumber daya financial dan sebagai pemimpin di dalam Negara dan masyarakat.
Jaminan rehabilitasi terhadap hukum yang tertulis hanya menyebutkan korban
terhadap kejahatan HAM berat dan perdagangan orang, maka pemenuhan
pemulihan hak-hak anak dapat diberikan sesuai dengan hukum positif
berdasarkan perundang-undang yang berlaku. Hak anak sebagai korban tindak
pidana untuk memperoleh rehabilitasi yang diatur dalam pasal 64 ayat (3) huruf a
UU No.23 Tahun 2002, tidak disebutkan hukum secara tertulis, maka hak-hak
anak tersebut tidak akan dipenuhi oleh negara. Ini konsekwensi dianutnya
model negara kesejahteraan yang menganut sistem Eropa Kontinental. Negara
bertanggung jawab untuk memberikan kesejahteraan pada masyarakatnya
bersumber hukum yang tertulis. kebijakan formulatif rehabilitasi mengenai
perlindungan korban perkosaan kejahatan melalui ganti kerugian menurut hukum
positif, adalah :
1. Hukum pidana positif saat ini lebih menekankan rehabilitasi pada
perlindungan korban perkosaan “in abstracto” dan secara tidak
langsung
10
2. Perlindungan korban perkosaan secara langsung masih terbatas
dalam bentuk pemberian rehabilitasi melalui ganti kerugian oleh
sipelaku tindak pidana. Belum ada ketentuan ganti kerugian yang
diberikan oleh negara kepada korban perkosaan tindak pidana.
Rehabilitasi melalui Ganti rugi oleh negara hanya terbatas kepada
tersangka atau terdakwa dan terpidana
3. Ada 5 (lima) kemungkinan rehabilitasi melalui ganti kerugian kepada
korban perkosaan dalam perkara pidana, yaitu ; (a) pemberian
rehabilittasi melalui ganti rugi sebagai syarat khsusus dalam pidana
bersyarat, (b) Memperbaiki akibat dalam tindak pidana ekonomi
sebagai tindakan tata tertib, (c) pembayaran uang pengganti dalam
tindak pidana korupsi, sebagai pidana tambahan, (d) penggantian
biaya rehabilitasi yang telah dikeluarkan dalam proses penggabungan
gugatan perkara ganti kerugian (perdata) dalam perkara pidana (e)
Membayar pidana denda oleh sipelaku tindak pidana kepada negara,
apabila tidak dibayar sipelaku tindak pidana dikenai pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan (Muladi dan Barda Nawawi Arief , 1984 :
136).
Di Indonesia gugatan rehabilitasi melalui ganti rugi korban perkosaan
tindak pidana melalui jalur hukum perdata didasarkan pada pasal 1365 KUH
perdata. Orang yang secara bersalah melakukan perbuatan melawan hukum dan
dengan merugikan orang lain, adalah berwajib menganti kerugian. Gugatan
rehabilitasi melalui ganti rugi oleh korban perkosaan tindak pidana melalui jalur
11
hukum perdata, baru dapat dilakukan apabila pemeriksaan perkara pidana telah
selesai, dan terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan telah
melanggar tindak pidana yang didakwakan kepadanya dan telah selesai, dan
telah memiliki kekuatan hukum yang tetap.
2.Kebijakan Perlindungan Hukum Bagi Anak Sebagai Korban Perkosaan
dimasa depan yang menjamin Memperoleh Pelayanan Rehabilitasi
Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) dalam penanganan kasus
kekerasan terhadap perempuan merupakan sistem yang terpadu yang
menunjukkan proses keterkaitan antar instansi/pihak yang berwenang
menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan akses pelayanan yang
mudah dan terjangkau bagi korban dalam setiap proses peradilan. Peran
pendamping korban sangatlah penting guna memberikan dorongan psikologi dan
moril bagi korban agar dapat menjelaskan kekerasan yang dialaminya dalam
proses peradilan (Nurherwati 2000 : 17). KUHAP tidak mengatur dan tidak
melarang adanya pendamping bagi korban, yaitu :
1. Peran Pendamping merupakan kebutuhan korban, hal tersebut berkaitan
dengan hak korban untuk didengar keterangannya, mendapat informasi
atas upaya hukum yang berjalan, dipertimbangkan rasa keadilan yang
ingin diperoleh dan dipulihkan situasi dirinya;
2. Pendamping membantu korban lebih terbuka mengungkap kekerasan
yang dialami, memudahkan polisi melakukan penyidikan dan membuka
arus komunikasi yang terhambat; Pendamping melakukan penguatan,
12
pemberdayaan dan dukungan bagi korban dalam membuat keputusan
menyelesaikan kasus kekerasan terhadap perempuan yang dihadapinya;
Pendamping membangun koordinasi dengan layanan lain (konseling
secara psikologi, psikiatri, shelter, pelibatan dengan
keluarga/komunitas /tokoh masyarakat/tokoh agama/tokoh adat.
Sehingga koordinasi antara pendamping, korban, penyidik, jaksa
penuntut umum, hakim dan melibatkan para advokat yang mendampingi
tersangka/terdakwa sangatlah penting dalam memberikan hak korban
untuk mendapat pendampingan ( Widiartama , 2009 : 19-20).
Mekanisme koordinasi antara pendamping, korban anak perempuan ,
penyidik, jaksa penuntut umum, hakim dan melibatkan para advokat terhadap
pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban anak perempuan tindak pidana
perkosaan akan memberikan hak bagi korban untuk mendapatkan keadilan dan
bebas dari diskriminasi. Kebijakan terhadap korban untuk menyeimbangkan
kepentingan yang ditujukan kepada korban adalah bagaimana memperlakukan
korban dengan baik berupa pemberitahuan perkara dan restitusi. Kewajiban
polisi dan penuntut umum dapat dilaksanakan melalui :
1. Polisi harus menginformasikan kepada hak korban mengenai
kemungkinan memperolah bantuan informasi dan restitusi dari pelaku.
2. Jika korban menyataklan keinginannya memperoleh informasi dan
restitusi, polisi harus memperhatikan keinginan korban sesaui dengan
kewewangnanya.
13
3. Polisi harus memasukkan keinginan korban dalam berkas perkara dan
mendiskripsikan secara detail mengenai kerugian yang diderita oleh
korban dan restitusi yang diinginkan oleh pelaku.
4. Penuntut umum harus memberikan informasi kepada korban mengenai
semua keputusan yang penting mengenai perkaranyadan
mempertimbangkan keinginan korban memperoleh restitusi ketika
menghentikan perkara.
5. Penuntut umum wajib mengundang korban perkosaan, terutama
keluarga korban untuk dengar pendapat secara personal untuk
menjelaskan prosedur dan aspek khsus dari kasus tersebut (Mudzakir ,
2007 : 19).
Masuknya rehabilitasi melalui restitusi dan kompensasi sebagai bagian
hukum pidana merupakan perubahan yang fundamental, karena mempengaruhi
cara padang terhadap konsep-konsep yang mempengaruhi prosedur, karena
keadilan substantive dan tidak mengurangi hak-hak tersangka atau terdakwa.
Koordinasi diperlukan untuk kerja sama dengan korban kejahatan. Dengan
mempertimbangkan kerjasama dengan korban di masa yang akan datang mutlak
diperlukan, karena tanpa dukungan korban kejahatan, baik sebagai pelapor
maupun sebagai saksi, dapat dipastikan polisi dan jaksa tidak dapat bekerja
dengan baik dan sistem Peradilan akan lumpuh. Peran dan dukungan korban
yang sangat besar terhadap sistem peradilan pidana tersebut, perlu diimbangi
dengan memberikan perhatian kepada korban.
14
Putusan pengadilan dalam Pasal 50 Nomor 48 Tahun 2009,tentang
Kekuasaan Kehakiman, berbunyi : Putusan pengadilan selain harus memuat
alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili. Pasal 53 Nomor 48 Tahun 2009, dalam
memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan
dan putusan yang dibuatnya. Penetapan dan putusan harus memuat
pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum
yang tepat dan benar. Pasal 68A UU No.49 Tahun 2009 tentang Peradilan
Umum, menyatakan, dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim harus
bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya. Penetapan dan
putusan harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada
alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar. Berdasarkan ketentuatan Pasal
50 dan Pasal 53 Nomor 48 Tahun 2009, dan Pasal 68A UU No.49 Tahun 2009,
maka peluang hakim dapat menerapkan ketentuan pasal 64 ayat (3) huruf a UU
No.23 Tahun 2002.
Peluang hakim dalam menjatuhkan putusan berdasarkan asas
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, dalam pasal 2 ayat (2) Nomor 48
Tahun 2009, menyatakan : Peradilan negara menerapkan dan menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila melalui konsep Negara Hukum Pancasila, yaitu
terjalinnya hubungan fungsional yang proposional antara kekuasaan-kekuasaan
negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah sedangkan peradilan
15
merupakan sarana terakhir dan tentang hak-hak asasi manusia tidaklah hanya
menekan hak atau kewajiban tetapi terjalinnya suatu keseimbangan antara hak
dan kewajiban. Kewajiban yang diakibatkan oleh pertanggungjawaban negara
atas pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional memberikan hak pada
pribadi atau kelompok pribadi yang menjadi korban dalam wilayah negara itu
untuk mendapatkan remedi yang efektif dan reparasi yang adil, sesuai dengan
hukum internasional (Ganti-Rugi Dalam Pelanggaran Hukum Internasional).
Konsep tanggung jawab negara dalam hukum Internasional memberikan konsep
keseimbangan sejalan dengan Negara Hukum Pancasila, yaitu titik central
adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas
kerukunan (Philipus M Hadjon, 1987 : 23).
D. Kesimpulan
1. kebijakan perlindungan hukum bagi anak sebagai korban perkosaan
dalam memperoleh memperoleh pelayanan rehabilitasi adalah
mewujudkan asas persamaan pemerataan keadilan dan kesejahteraan
bagi anak korban sebagai perkosaan, salah satunya melalui ganti rugi
dan kompensasi yang diberikan kepada korban berupa pelayanan
rehabilitasi sebagai tanggung jawab negara dalam memberikan
perlindungan hukum. Kebijakan dalam pasal 64 ayat (3) huruf a UU
No.23 Tahun 2002 yang mengatur rehabilitasi anak dalam hukum
pidana positif saat ini lebih menekankan pada perlindungan rehabilitasi
non fisik berupa ganguan mental dilakukan secara “in abstracto” atau
16
secara tidak langsung berdasakan sistim hukum di Indonesia menganut
sistim Civil Law, yang berbasis pada hukum tertulis (written law) dan
Menuangkan semaksimal mungkin norma ke dalam aturan hukum.
2. Kebijakan yang menjamin Perlindungan khusus dimasa depan bagi anak
korban sebagai perkosaan, pada pasal 64 ayat (3) huruf a UU No.23
Tahun 2002, perlu diupayakan hukum tertulis Di Indonesia yang
menganut sistim hukum civil law yang harus menyebutkan secara jelas
dan terperinci untuk menjamin kepastian hukum dalam memberikan
pelayanan bantuan pemeliharaan dan perawatan anak, pengobatan,
pelayanan kesehatan rehabilitasi fisik serta psikologi anak. Melalui
hakim dalam menjatuhkan putusan berdasarkan asas penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman, dalam pasal 2 ayat (2) Nomor 48 Tahun 2009,
menyatakan : Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila, dapat menerapkan ketentuan pasal
64 ayat (3) huruf a UU No.23 Tahun 2002.
17
Daftar Pustaka
Affandi Idrus dan Karim Suryadi, Hak Asasi Manusia, Universitas Terbuka,
Jakarta, 2003
Hadisuprapto, Paulus,Delikuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangan, Bayumedia, Malang, 2008
Hadjon, Philipus M., Perlindungan Hukum Bagi Rakyat, Bina Ilmu, Surabaya, 1987
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984
Mudzakir, Alternative Dispute Resolution (ADR), Penyelesaian Perkara Pidana dalam system Peradilan Pidana Indonesia, Makalah Workshop, Jakarta, 18 Januari 2007
Nurherwati, Sri, Koordinasi Lintas Institusi Sebagai Kebutuhan Korban, Refika Aditama, Bandung, 2000.
Saleh, Roeslan, Hukum Pidana Sebagai Konfrontasi Manusia dan Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta. 1983
Widiartama,Viktimologi Perspektif Korban dalam Penaggulangan Kejahatan, Universitas Atmadjaya, Jogyakarta, 2009
Restatemen Ketiga Undang-Undang tersebut, § 901 (Ganti-Rugi Dalam Pelanggaran Hukum Internasional).
http://eko-ss.blogspot.com/2012/09/antara-civil-law-dan-common-law.html, diunduh pada jam 6.30. Wib tanggal 23 tahun 2012