INDUKSI TUNAS DARI EKSPLAN BONGGOL PISANG UDANG …
Transcript of INDUKSI TUNAS DARI EKSPLAN BONGGOL PISANG UDANG …
Repository FMIPA 1
INDUKSI TUNAS DARI EKSPLAN BONGGOL PISANG UDANG (Musa acuminata
Colla) SECARA IN VITRO PADA MEDIA MS DENGAN PENAMBAHAN BAP DAN
KINETIN
Ririn Sari Wati1, Mayta Novaliza Isda
2, Siti Fatonah
2
1Mahasiswa Program S1 Biologi
2Dosen Bidang Botani Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Kampus BinaWidya Pekanbaru, 28293, Indonesia
ABSTRACT
Musa acuminata Colla has many adventages and unique characteristics, such as high calium
content 400 mg and low calorie. Therefore, this species is potential to be widely cultivated
that need the availability of the banana seedlings. The occurance of this species in Riau is
very scarce, especially in Kampar district due to the conventional cultivation method, so that
in vitro propagation is necessary. The most important step in the in vitro propagation is shoot
induction. This research used a randomized block design (RBD), which included two groups
of treatment i.e. the variation of BAP concentrations (2, 4, 6, 8 mg/l) and the the combination
between BAP and kinetin concentrations (2 mg/l BAP+0,4 mg/l kinetin, 4 mg/l BAP+0,4
mg/l kinetin, 6 mg/l BAP+0,4 mg/l kinetin, 8 mg/l BAP+0,4 mg/l kinetin) on MS medium
with 5 replications. The result showed that the addition of BAP and combination between
BAP and kinetin were the best results with 100% explant growth and shoot induction. The
group with 8 mg/l BAP + 0,4 mg/l kinetin showed only needs 10,40 hst for shoot induction.
Keywords: BAP, shoot induction, in vitro, kinetin, Musa acuminata Colla
ABSTRAK
Pisang udang (Musa acuminata Colla) memiliki kelebihan dan keunikan tersendiri,
diantaranya mengandung 400 mg kalium dan rendah kalori, sehingga membuat pisang ini
potensial untuk lebih dikembangkan. Pengembangan potensi juga harus diimbangi dengan
ketersediaan bibit pisang tersebut. Pada saat sekarang ini, pisang udang sudah cukup sulit
ditemui di Riau khusus nya di Kabupaten Kampar, hal ini dapat disebabkan oleh kelemahan
pengembangan pisang secara konvensional. Untuk mengatasi masalah tersebut dilakukan
perbanyakan secara in vitro. Salah satu tahapan yang penting dalam perbanyakan secara in
vitro adalah induksi tunas. Induksi tunas dari eksplan bonggol pisang udang menggunakan
rancangan acak kelompok (RAK) dengan perlakuan pemberian konsentrasi BAP (2, 4, 6, 8
mg/l) serta kombinasi BAP dengan kinetin (2 mg/l BAP+0,4 mg/l kinetin, 4 mg/l BAP+0,4
mg/l kinetin, 6 mg/l BAP+0,4 mg/l kinetin, 8 mg/l BAP+0,4 mg/l Kinetin) pada media MS
dengan 5 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan, pemberian BAP dan kombinasi BAP
dengan kinetin memberikan hasil terbaik pada persentase ekplan hidup dan pembentukan
tunas sebesar 100%. Penggunaan 8 mg/l BAP + 0,4 mg/l kinetin memberikan waktu muncul
tunas tercepat yaitu 10,40 hari setelah tanam.
Kata kunci: BAP, induksi tunas, in vitro, kinetin, pisang udang (Musa acuminata Colla)
Repository FMIPA 2
PENDAHULUAN Pisang udang (Musa acuminata
Colla) merupakan kultivar pisang yang
unik di karenakan pisang ini memiliki kulit
buah bewarna ungu-kemerahan dan dari
beberapa sumber menyebutkan bahwa
pisang udang memiliki legenda tersendiri,
membuat pisang udang kerap dijadikan
bahan baku pengobatan bagi masyarakat
tradisional. Pisang udang memiliki
kandungan kalori yang rendah yaitu 110
kalori, mengandung 400 mg kalium,
vitamin C dan kaya akan vitamin B6
(Anonim 2014). Pisang udang juga
merupakan pisang yang awet sehingga
dapat bertahan lama. Beberapa kelebihan
dan keunikan yang dimiliki, membuat
pisang ini potensial untuk lebih
dikembangkan.
Pengembangan potensi pisang
udang juga sangat bergantung pada
ketersediaan bibit pisang udang itu sendiri.
Provinsi Riau merupakan salah satu daerah
yang memiliki keanekaragaman pisang
yang cukup tinggi. Berdasarkan penelitian
Manurung (2012) tentang analisis
hubungan kekerabatan pisang (Musa spp.)
di Kabupaten Kampar berdasarkan
Karakter Morfologi didapatkan 33 kultivar
pisang yang ada pada 5 Kecamatan di
Kabupaten Kampar Provinsi Riau, hal ini
menunjukkan tingkat keanekaragaman
kultivar pisang yang masih tinggi.
Beragamnya jenis pisang ini tidak
menjamin banyaknya kelimpahan setiap
jenis pisang tersebut. Pisang udang
merupakan salah satu jenis pisang yang
saat sekarang ini sudah cukup sulit ditemui
di Riau khususnya di Kabupaten Kampar
(Manurung 2012).
Kelangkaan pisang udang terkait
dengan minimnya pengetahuan masyarakat
mengenai pisang ini baik cara pengolahan
maupun kandungan nutrisi. Selain itu
ukuran buah pisang yang terlalu besar
membuat pisang udang kurang diminati
untuk dijadikan pisang meja (dessert type).
Hal ini membuat pisang udang jarang
dimanfaatkan oleh masyarakat dan
dibudidayakan petani. Kelangkaan pisang
udang juga di sebabkan oleh genom AAA
yang memiliki homozigositas tinggi,
variasi rendah sehingga rentan terhadap
kepunahan. Kelangkaan pisang udang
juga disebabkan oleh kelemahan
perbanyakan pisang secara konvensional.
Pisang biasanya diperbanyak secara
vegetatif menggunakan anakan atau
bonggolnya. Ukuran anakan yang cukup
besar menyulitkan transportasi benih dari
suatu tempat ke tempat penanaman.
Anakan yang diproduksi oleh satu induk
pisang secara alami hanya 1-10 anakan
dalam satu tahun dengan ukuran dan umur
beragam, sehingga sangat sulit diperoleh
anakan berukuran seragam dan dalam
jumlah memadai. Bila ini tidak ada
penangganan serius maka spesies pisang
termasuk pisang udang akan kehilangan
plasma nutfah pisang di Indonesia. Oleh
karena itu perbanyakan klonal pisang
dengan teknik kultur jaringan (in vitro)
dapat mengatasi kendala tersebut.
Teknik in vitro sebagai salah satu
cara untuk memperbanyak tanaman
memiliki prospek yang lebih baik daripada
metode perbanyakan vegetatif
konvensional. Teknik in vitro sangat tepat
dalam upaya pelestarian pisang udang
karena teknik ini dapat menyediakan bibit
tanaman dalam jumlah besar, seragam dan
dengan kualitas baik. Selain itu, menurut
Hutami (2008) bahwa konservasi
menggunakan teknik in vitro juga
meminimalisir kehilangan genotype akibat
cekaman biotik maupun abiotik dan
mempermudah dalam pertukaran plasma
nutfah. Eksplan yang digunakan berasal
dari bonggol, penggunaan bonggol juga
mempengaruhi kecepatan pembentukan
tunas karena pada bonggol pisang terdapat
mata tunas yang mengandung jaringan
meristematik sehingga aktif membelah dan
akan tumbuh menjadi anakan baru (Liana
2007).
Media MS (Murashige dan Skoog)
merupakan media yang sering digunakan
dalam kultur in vitro tanaman pisang.
Keistimewaan media MS adalah
kandungan nitrat, kalium, dan
Repository FMIPA 3
amoniumnya yang tinggi. Modifikasi
media kultur in vitro dengan penambahan
zat pengatur tumbuh dilakukan untuk
menaikkan persentase keberhasilannya.
Zat pengatur tumbuh yang digunakan
dalam induksi tunas ialah sitokinin jenis
Benzil Amino Purin (BAP ) dan kinetin.
Berdasarkan penelitian Shirani et al.
(2010) pada induksi tunas beberapa
kultivar pisang dengan pemberian
sitokinin menunjukkan bahwa pemberian
BAP dan kinetin berpengaruh terhadap
induksi dan multiplikasi tunas pisang
Berangan Intan (AAA), Berangan(AAA),
dan Rastali (AAB). Tujuan dari penelitian
ini adalah menentukan pengaruh
pemberian BAP dan kombinasi BAP
dengan kinetin terhadap induksi tunas
pisang udang serta menentukan
konsentrasi terbaik kombinasi BAP dan
kinetin yang sesuai terhadap induksi tunas
pisang udang.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini telah dilaksanakan
pada bulan November 2014 - Maret 2015
di Laboratorium Kultur Jaringan Dinas
Pertanian dan Peternakan Provinsi Riau Jln
Kaharudin Nasution KM.10 Padang
Marpoyan, Pekanbaru.
Bahan-bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah media MS
(Murashige Skoog), 7 g agar, 30 g gula,
BAP, kinetin, asam askorbat, akuades,
alkohol 70%, HCl 1 N, NaOH 1 N,
bayclin, kertas saring, tissue, aluminium
foil, karet gelang, eksplan bonggol pisang
udang yang berasal dari Kabupaten
Kampar.
Alat-alat yang digunakan adalah
Laminar air flow cabinet (LAFC) (Lab
Tech) tipe K.S.025, autoclaf (All
American) tipe HL-36Ae, timbangan
analitik (Kern) tipe ABJ 120-4M, pH
meter, erlenmeyer, botol kultur, gelas
ukur, gelas kimia, pipet tetes, cawan petri,
pinset, spatula, scalpel, lampu bunsen.
Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang
terdiri dari 9 perlakuan dengan 5 kali
ulangan. Pelaksanaan penelitian meliputi
sterilisasi alat, pembuatan media tanam,
persiapan dan penanaman eksplan.
pemeliharaan dilakukan dengan menjaga
ruang inkubasi agar kondisinya selalu
bersih dan steril. Pemeliharaan ruang
inkubasi dengan menyemprotkan 70 %
alkohol 2 hari sekali. Suhu ruang diatur
23-25°C dan diberi penyinaran lampu
selama 90 hari.
Parameter dalam penelitian
meliputi: persentase eksplan hidup(%),
persentase yang membentuk tunas (%) dan
waktu terbentuknya tunas (hst). Data
dianalisis statistik menggunakan ANOVA,
apabila terdapat pengaruh nyata
dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf
5%. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Tunas Eksplan Bonggol
Pisang Udang
Pengaruh pemberian konsentrasi
BAP tunggal serta kombinasi dengan
kinetin yang diberikan terhadap
pertumbuhan tunas dapat dilihat pada tabel
1.
Tabel 1. menunjukkan bahwa
perlakuan BAP dan kombinasi dengan
kinetin memberikan pengaruh nyata
terhadap persentase pembentukan tunas
dan waktu muncul tunas namun tidak
berpengaruh nyata terhadap persentase
eksplan hidup. Pemberian BAP maupun
kombinasi dengan kinetin serta kontrol
(Tabel 1) pada eksplan bonggol pisang
udang menunjukkan tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap persentase
eksplan hidup yaitu 100%. Menurut Isda
dan Fatonah (2014) bahwa persentase
hidup eksplan yang tinggi disebabkan
nutrisi pada media pertumbuhan tersedia
cukup untuk beberapa minggu penanaman.
Media berperan dalam penyediaan unsur
hara yang dibutuhkan eksplan untuk
tumbuh sehingga mampu menginduksi
tunas
Repository FMIPA 4
Fenol pada pisang udang yang
bergenom AAA diduga juga berpengaruh
terhadap persentase eksplan hidup.
Menurut Damayanti (2010) umumnya
varietas pisang yang mempunyai genom A
pada ploidinya menghasilkan fenol yang
lebih sedikit dibandingkan varietas yang
memiliki genom B, dengan begitu diduga
pada pisang udang peristiwa browning
tidak berpengaruh terhadap tingkat
penyerapan nutrisi eksplan dari media
tanam. Selain itu, ukuran eksplan diduga
juga berpengaruh terhadap peristiwa
browning. Ukuran eksplan pisang udang
yang cukup besar membuat peristiwa
browning hanya terdapat pada permukaan
seludang sehingga tidak mengenai bagian
meristematik dari eksplan. Hal ini terlihat
pada penelitian Nisa dan Rodinah (2005)
pada beberapa kultivar pisang yaitu pisang
raja, pisang mauli dan pada pisang kepok
yang bergenom BBB menunjukkan tingkat
persentase hidup yang tidak mencapai
90%.
Induksi tunas merupakan salah satu
tahapan penting dalam mendapatkan bahan
tanam yang aseptik. Dalam induksi tunas
terdapat beberapa tahapan pembentukan
tunas (Gambar 1). Persentase
pembentukan tunas pada eksplan yang
ditanam pada media yang menggunakan
ZPT baik BAP secara tunggal maupun
yang dikombinasikan dengan kinetin
menunjukkan persentase pembentukan
tunas sebesar 100%. Hal ini di sebabkan
Zat pengatur tumbuh pada tanaman adalah
senyawa organik bukan hara yang
mempunyai peran yang sangat penting di
dalam perkembangan kultur.
Gambar 1. Tahapan pembentukan tunas
pada eksplan bonggol pisang
udang a: warna awal
seludang putih (awal
penanaman), b: seludang
merekah 3 hst, c: seludang
berubah warna hijau 5 hst, d:
tonjolan (nodul) calon tunas
45 hst (pembentukan tunas
tidak langsung), e: kuncup
tunas 45 hst (pembentukan
tunas langsung), f: tunas
dewasa 65 hst
Penambahan zat pengatur tumbuh
sitokinin eksogen akan mempengaruhi zat
pengatur tumbuh endogen dalam
pembentukan tunas. Penggunaan sitokinin
antara 0,1-10 mg/l mampu menginduksi
pembentukan tunas sesuai dengan
spesifikasi kultivar (Pierik 1987).
Kode
Perlakua
n
Konsentrasi Eksplan
Hidup
Pembentukan
Tunas (%)
Waktu Muncul
Tunas ±sd (hst)
BAP Kinetin (%)
B0 - - 100 60 63,80 ± 35,9d
B1 2 mg/l 0 mg/l 100 100 12,20 ± 1,30abc
B2 4 mg/l 0 mg/l 100 100 12,20 ± 1,78abc
B3 6 mg/l 0 mg/l 100 100 10,80 ± 2,16ab
B4 8 mg/l 0 mg/l 100 100 11,80 ± 1,64abc
B1K1 2 mg/l 0,4 mg/l 100 100 11,40 ± 1,94ab
B2K1 4 mg/l 0,4 mg/l 100 100 13,40 ± 0,54bc
B3K1 6 mg/l 0,4 mg/l 100 100 14,40 ± 1,67c
B4K1 8 mg/l 0,4 mg/l 100 100 10,40 ± 2,88a
Tabel 1. Persentase eksplan membentuk tunas, waktu muncul tunas, jumlah tunas dan
tinggi tunas
f
Repository FMIPA 5
Sitokinin berperan dalam pengaturan
pembelahan sel dan morfogenesis.
Pertumbuhan eksplan dalam kultur
in vitro dipengaruhi oleh interaksi dan
keseimbangan zat pengatur tumbuh pada
media dengan hormon endogen yang
terdapat dalam eksplan. Berbeda dengan
perlakuan kontrol persentase pembentukan
tunas hanya mencapai 60%. Hal ini
diduga hormon endogen yang berada pada
eksplan belum cukup mampu untuk
menginduksi tunas.
Rata–rata waktu muncul tunas pada
semua perlakuan berbeda nyata terhadap
Untuk perlakuan BAP tunggal tidak
berpengaruh nyata terhadap waktu muncul
tunas namun pada perlakuan 6 mg/l BAP
(B3) waktu muncul tunas lebih cepat
dibandingkan perlakuan yang lain sebesar
10,80 hst.
Perlakuan kombinasi dari hasil
didapatkan rata-rata waktu muncul tunas
tercepat adalah pada pemberian 8 mg/l
BAP yang dikombinasikan dengan 0,4
mg/l kinetin dengan rata-rata 10,40 hst.
Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi
perlakuan tersebut memberikan hasil
terbaik dari semua perlakuan untuk waktu
terbentuknya tunas. Menurut Lestari
(2011) penambahan zat pengatur tumbuh
yang tepat akan mempengaruhi dan
meningkatkan aktifitas pembelahan sel
baik pada proses morfogenesis amaupun
organogenesis.
Golongan sitokinin efektif untuk
induksi tunas. Diduga BAP dan kinetin
yang diberikan secara bersamaan akan
lebih meningkatkan atau memacu induksi
tunas, dan diduga penggunaan dua jenis
sitokinin ini mampu menekan jumlah
auksin endogen. Salisbury dan Ross
(1992) menyatakan zat pengatur tumbuh
pada konsentrasi tertentu mampu
menghambat kerja hormon endogen.
Penambahan sitokinin eksogen akan
mengubah kadar hormon endogen yang
dikandung eksplan. Pemberian sitokinin
mampu mempercepat waktu muncul tunas,
dengan rasio sitokinin lebih tinggi
dibandingkan dengan rasio auksin
endogen. Hariyanti et al. (2004)
menyatakan bahwa semakin tinggi rasio
auksin maka pengaruh hambatannya
terhadap waktu muncul tunas semakin
meningkat pula. BAP yang digunakan
mampu meningkatkan pembentukan tunas
karena memiliki efektifitas memicu
pembelahan sel dan diferensiasi tunas pada
kultur in vitro. Selain BAP, penambahan
kinetin juga efektif dalam meningkatkan
waktu terbentuknya tunas. Diduga kinetin
dapat bersinergis dan menstimulir
pembentukan serta mengakumulasi
sitokinin endogen pada sel meristem
eksplan sehingga mampu mengoptimalkan
peranan BAP dalam pembelahan sel dan
pembentukan tunas. Hal ini sesuai dengan
pendapat Maulida (2005) yang
menyatakan kinetin berpengaruh dalam
mempercepat induksi tunas.
Menurut Darmono (2003) bahwa
keberhasilan kultur in vitro juga ditentukan
oleh sumber dan ukuran dari eksplan yang
digunakan . Kecepatan pembentukan tunas
secara umum pada tanaman juga dapat
dipengaruhi oleh jenis eksplan dimana
pada penelitian ini eksplan yang
digunakan berasal dari bonggol. Bonggol
merupakan bagian dari pisang yang
memiliki mata tunas yang meristematik
sehingga aktif membelah dan dapat
tumbuh menjadi bibit-bibit pisang yang
baru (Nisa et al. 2011)
KESIMPULAN
Perlakuan pemberian BAP tunggal dan
kombinasi dengan kinetin berpengaruh
nyata terhadap persentase pembentukan
tunas dan waktu terbentuknya tunas
eksplan bonggol pisang udang.
Perlakuan pemberian BAP dan
kombinasi BAP dengan kinetin
memberikan hasil terbaik pada persentase
ekplan hidup dan pembentukan tunas
sebesar 100%, pada pemberian BAP 8
mg/l yang dikombinasikan dengan 0,4
mg/l kinetin menunjukkan hasil
pembentukan tunas tercepat yaitu 10,40
hari setelah tanam.
Repository FMIPA 6
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini terselenggara atas
bantuan dana penelitian program
kreatifitas mahasiswa (PKM) yang
dibiayai oleh Dikti.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2014. Red Bananas.
http://www.red bananas information,
recipes and facts.html. [Diakses
tanggal 01 Oktober 2014]
Damayanti F dan Samsurianto. 2010.
Konservasi In vitro Plasma Nutfah
Pisang untuk Aplikasi di Bank Gen.
Bioprospek. 7(2):86-91
Darmono W. 2003. Menghasilkan Anggrek
Silangan. Jakarta: Penebar Swadaya
Hariyanti E, R Nirmala, Rudarmono.
2004. Mikropropagasi Tanaman
Pisang Talas dengan Napthalene
Acetic Acid (NAA) dan Benzyl
Amino Purine (BAP). Jurnal
Budidaya Pertanian. 10(1):26-34
Hutami S. 2008. Ulasan Masalah
Pencoklatan pada Kultur Jaringan.
Jurnal Agro Biogen. 4 (2): 83-88
Isda MN dan Fathonah S. 2014. Induksi
Akar pada Eksplan Tunas Anggrek
Grammatophylum scriptum var.
Citrinum secara In vitro pada Media
MS dengan Penambahan BAP dan
NAA. Jurnal biologi lingkungan.
7(2):53-52
Lestari E. 2011. Peranan Zat Pengatur
Tumbuh dalam Perbanyakan
Tanaman Melalui Kultur Jaringan.
Jurnal Agrobiogen. 7(1):63-68
Liana R. 2007. Respon Pisang Talas
(Musa paradisiaca var. Sapientum)
terhadap pemberian zat pengatur
tumbuh IAA (Indole Acetic Acid)
dan BAP (Benzyl Amino Purine)
melalui Teknik Kultur Jaringan
[Skripsi]. Banjarbaru: Fakultas
Pertanian, Universitas Lampung
Manurung NM. 2012. Analisis Hubungan
Kekerabatan Pisang (Musa spp.) di
Kabupaten Kampar Berdasarkan
Karakter Morfologi [Skripsi].
Pekanbaru: Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Riau
Maulida. 2005. Kombinasi Zat Pengatur
Tumbuh IBA dan BAP pada
Perbanyakan Tanaman Jarak Kaliki
(Ricinus comunis L.) Varietas
Bangkok secara In vitro
Nisa C dan Rodinah. 2005. Kultur
Jaringan Beberapa Kultivar Buah
Pisang (Musa paradisiaca L.) dengan
Pemberian Campuran NAA dan
Kinetin. Bioscientiae. 2(2):23-36
Nisa C, Rodinah, Annisa. 2011.
Formulasi Zat Pengatur Tumbuh
pada Pisang Talas secara In vitro.
Agroscientiae. 19(2):107-111
Pierik RLM. 1997. In vitro Culture of
Higher Plants. Boxton. Martinus
Nijhoff Publisher
Salisbury FB dan Ross CW. 1992.
Fisiologi Tumbuhan III edisi ke-4.
Penerjemah Lukman, D.R. dan
Sumaryono. Bandung: ITB
Shirani M, Sariah W, Zakaria M, Maziah.
2010. Scalp induction rate responses
to cytokinins on proliferating shoot-
tips of banana cultivars (Musa spp.).
Am. J. Agric. B