HARMONY AND THE ROLE OF ACTORS TO ACTUALIZE OF …
Transcript of HARMONY AND THE ROLE OF ACTORS TO ACTUALIZE OF …
i
INTERAKTIF | Vol. 13 | No.1 | Hlm. 1- 85 | Malang, Juli 2021 | ISSN 2086-0374
HARMONY AND THE ROLE OF ACTORS TO ACTUALIZE OF
SOCIAL RESILIENCE IN PURWOREJO AND TABANAN (Rahmat Saleh, Irin Oktafiani, Norman Luther Aruan, Angela Iban)
WISATA PETIK BUAH SEBAGAI HABITUS SOSIAL-EKONOMI
BARU MASYARAKAT DUSUN KUNIRAN DESA JEKEK
KECAMATAN BARON NGANJUK
(Muhammad Hudalinnas, Ika Silviana)
HUBUNGAN EMOTIONAL COPING BEHAVIOR DENGAN
AGRESIVITAS SUPORTER SEPAK BOLA BONEK MANIA
(Abdulloh Alba Syaiba)
HUBUNGAN ANTARA LIMA FAKTOR KEPRIBADIAN (BIG FIVE
PERSONALITY) DENGAN KPU TRUST PEMILIH PEMILU 2024 (Irsyad Abdul Rasyid, Lusy Asa Akhrani)
TATA KELOLA SUMBER DAYA DI TINGKAT BAWAH:
PARTISIPASI DAN KONTESTASI KUASA PENGELOLAAN
SUMBER DAYA AIR MASYARAKAT GUNUNG KAWI,
KABUPATEN MALANG (irza khurun'in, Genta Mahardhika Rozalinna)
ii
Vol 13 No. 1 Juli 2021
Penanggung Jawab
Dekan FISIP Universitas Brawijaya
Redaktur
Lusy Asa Akhrani
Managing Editor
Faizah
Editor:
Fathur Rahman
Abdul Aziz SR
Genta Mahardhika Rozalinna
Nia Ashton Destrity
Wifka Rahma Syauki
Muhaimin Zulhair
Reviewer: Abdul Wahid Ali Maksum Ika Herani I Wayan Suyadnya Thoyyibatus Sarirah
Copy Editor dan Teknisi
Dinil Maghfiroh
Diterbitkan Oleh:
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya
Alamat Redaksi
Gedung B Lt.6 FISIP
Jl. Veteran Malang 65145
Tlp. (0341) 575755 Fax. (0341) 570038
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas perkenan-Nya kami dapat
menerbitkan INTERAKTIF: Jurnal Ilmu-ilmu Sosial Volume 123 Nomor 1, Juli 2021. Jurnal
Interaktif terbit dua kali dalam satu tahun. Edisi ini menampilkan 5 (lima) artikel terkait
dengan ilmu-ilmu sosial yang meliputi: ((1) Harmony and The Role of Actors to Actualize
of Social Resilience in Purworejo and Tabanan, (2) Wisata Petik Buah Sebagai Habitus
Sosial-Ekonomi Baru Masyarakat Dusun Kuniran Desa Jekek Kecamatan Baron
Nganjuk, (3) Hubungan Emotional Coping Behavior Dengan Agresivitas Suporter
Sepak Bola Bonek Mania, (4) Hubungan Antara Lima Faktor Kepribadian (Big Five
Personality) Dengan Kpu Trust Pemilih Pemilu 2024, (5) Tata Kelola Sumber Daya di
Tingkat Bawah: Partisipasi dan Kontestasi Kuasa Pengelolaan Sumber Daya Air
Masyarakat Gunung Kawi, Kabupaten Malang). Terima kasih kami sampaikan kepada
para peneliti, yang telah ikut berpartisipasi dalam penerbitan jurnal ini. Tidak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada para Mitra Bestari atau Reviewer yang telah membantu sehingga
jurnal ini dapat diterbitkan. Semoga kerjasama yang telah berjalan dapat ditingkatkan.
Malang 31 Juli 2021
Salam,
Dewan Redaksi
iv
PANDUAN PENULISAN
Tulis atau tempel judul artikel Anda di sini dalam bahasa inggris Nama Penulis 1
(1), Nama Penulis 2
(2), dst. (jika afiliasi para penulis berbeda, tambahkan
keterangan angka sebagaimana dicontohkan) Tulis atau tempel email korespondensi penulis di sini (satu saja, tanpa garis bawah)
(1)Jurusan/Fakultas, Universitas, Kota, Negara
(2)Jurusan/Fakultas, Universitas, Kota, Negara (tambahkan sesuai kebutuhan)
Type your abstract here in FORMAL ENGLISH and limit to the maximum of 250
ITALICIZED words. You don‟t need to put the title (“Abstract”) in this section. The
abstract should contain several important information of your study, including
research problems and study objectives, method, and results. First impression to your
abstract may determine whether or not readers will continue to read the whole article.
Therefore, use this section wisely.
Keywords: keywords 1; keywords 2; etc (maximum 5 keywords in alphabetical order)
Tulis abstrak Anda di sini dalam BAHASA INDONESIA formal dan maksimal 300
kata. Abstrak dalam Bahasa Indonesia tidak perlu ditulis miring. Anda juga tidak perlu
menuliskan judul (“Abstrak”) di bagian ini. Abstrak harus berisi informasi-informasi
penting berkaitan dengan penelitian Anda, seperti problematika dan tujuan penelitian,
metode, dan hasil. Kesan pertama terhadap abstrak artikel Anda mungkin akan
menentukan apakah pembaca akan meneruskan membaca artikel Anda atau tidak.
Oleh karena itu, gunakanlah bagian ini secara bijak.
Kata kunci: kata kunci 1; kata kunci 2; dst (maksimal 5 kata kunci disusun secara
alfabetis)
Heading 1: gunakan gaya ini untuk heading level 1 (yaitu Pendahuluan, Metode, Hasil
dan Diskusi, Simpulan)
Gunakan gaya ini untuk memulai teks utama artikel Anda. Artikel ini harus ditulis dalam
bahasa Indonesia formal (kecuali bagian Abstrak). Heading level 1 ditulis dengan menggunakan
huruf kapital. Anda harus selalu merujuk ke formatting styles box pada toolbar di atas ketika
menulis. Di sana tersedia semua gaya penulisan yang Anda perlukan dalam menulis artikel agar
sesuai dengan gaya penulisan di Mediapsi.
Bagian “Pendahuluan” harus berisi latar belakang penelitian Anda mendeskripsikan
problematika penelitian, penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan (kajian pustaka), dan
tujuan penelitian Anda. Anda bisa menyebutkan hipotesis penelitian Anda di bagian ini jika
diperlukan.
v
Bagian “Metode” harus berisi keterangan mengenai desain penelitian, subjek penelitian,
instrumen/alat-alat penelitian (jika ada), dan teknik analisis data. Untuk penelitian eksperimen,
disarankan untuk ditambahkan prosedur-prosedur eksperimen. Penelitian kualitatif mungkin tidak
jauh berbeda dengan sistematika penulisan ini. Akan tetapi, jika perlu dilakukan penyesuaian
tertentu, maka diperkenankan untuk mengubahnya sesuai kebutuhan.
Kemudian, bagian “Hasil dan Diskusi” memuat deskripsi umum dari hasil penelitian Anda
sesuai dengan metode yang digunakan. Bagian ini juga memuat pembahasan menyeluruh
mengenai hasil penelitian Anda tadi.
Bagian “Simpulan” bagian ini berisi simpulan penelitian dan memberikan rekomendasi untuk
penelitian lebih lanjut.
Jika Anda memerlukan teks yang disertai poin-poin atau angka-angka, maka Anda dapat
mengikuti format sebagai berikut:
Untuk teks berpoin, gunakan gaya ini.
1. Untuk teks berangka, gunakan gaya ini.
Tabel dan gambar harus ditampilkan dengan memperhatikan keserasian dengan teks. Tabel dan
gambar Anda akan dicetak dalam warna hitam putih. Oleh karena itu, harap mempertimbangkan
hal ini dalam pemilihan warna.
Tabel Anda harus ditampilkan di sini dalam bentuk yang bisa diedit dan tanpa menggunakan garis
vertikal. Ini berarti Anda tidak dianjurkan untuk menampilkan tabel dalam format gambar (JPEG,
BMP, TIFF, dsb). Sementara itu, berkebalikan dengan tabel, gambar yang Anda tampilkan harus
merupakan gambar terbaik berkaitan dengan resolusinya, dalam format gambar seperti disebutkan
sebelumnya. Resolusi gambar minimum yang dianjurkan adalah 200 dpi.
vi
Judul tabel harus ditulis seperti ini:
Tabel 1.
Ini adalah judul tabel dan tabel termaksud diletakkan tepat di bawah judul.
Kolom 1 Kolom 2 Kolom 3 Kolom 4 Kolom 5 Kolom 6
Untuk penanda
desimal harap
menggunakan titik
(.)
Anda dapat merubah
sesuai kebutuhan,
misalnya, rata
tengah.
0.988 0.888
Atau miring Atau bisa juga
tebal
Jika diperlukan, deskripsi atau catatan berkaitan dengan tabel di atasnya dapat ditulis di sini (sumber
disebutkan).
Karena artikel pada jurnal ini akan dicetak dalam dua kolom, maka kami menganjurkan Anda
untuk menyesuaikan ukuran tabel dan gambar Anda secara serasi. Anda diperbolehkan
menampilkan tabel dan gambar sebesar satu kolom (setengah lebar halaman ini), satu setengah
kolom (tiga perempat lebar halaman ini), atau bahkan dua kolom penuh (selebar halaman ini),
sesuai dengan kebutuhan Anda.
Sementara itu, judul gambar ditulis dengan gaya seperti ini:
GAMBAR ANDA
Gambar 1. Ini adalah judul gambar Anda dan diletakkan tepat di bawah gambar termaksud.
Berkaitan dengan istilah-istilah asing, Anda harus menuliskannya dalam bentuk miring (italic).
Hal ini juga dimaksudkan untuk semua kata yang tidak ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia,
termasuk kata-kata yang berasal dari bahasa lokal Nusantara.
Heading 2: gunakan gaya ini untuk heading level 2
Heading level dua dapat dibuat sebagai subbagian dari heading level 1. Sebagai contoh, pada
bagian “Metode”, subbagiannya dapat berupa desain penelitian, subjek penelitian, dsb.
Subbagian-subbagian tersebut harus memakai gaya heading level 2 ini.
Heading 3: gunakan ini untuk heading level 3
vii
Jika diperlukan, Anda bisa menambahkan heading level 3 sebagai sub-subbagian dari heading
level 1.
DAFTAR REFERENSI
Sitasi dalam teks dan daftar pustaka harus menyesuaikan dengan gaya American Psychological
Association (APA).
Silakan merujuk ke Panduan Penulisan Sitasi dan Kepustakaan Jurnal sebagaimana terlampir
dalam laman Mediapsi.
Anda juga dapat menggunakan reference and citation generator bawaan pada program
pengolah kata yang Anda miliki atau menggunakan third party softwares seperti
Mendeley, EndNote, dsb. untuk memudahkan pekerjaan Anda.
Artikel dari jurnal-jurnal ilmiah bereputasi dan buku-buku teks sangat disarankan untuk
menjadi referensi utama Anda.
Kami juga sangat menyarankan agar Anda menggunakan referensi terbaru (paling tidak 10
tahun terakhir).
viii
Daftar Isi
Judul Jurnal ............................................................................................. i
Dewan Redaksi ....................................................................................... ii
Kata pengantar ........................................................................................ iii
Panduan Penulisan .................................................................................. iv
Daftar Isi ................................................................................................. viii
Harmony And The Role Of Actors To Actualize Of Social Resilience In
Purworejo And Tabanan
(Rahmat Saleh, Irin Oktafiani, Norman Luther Aruan, Angela Iban) ...... 1
Wisata Petik Buah Sebagai Habitus Sosial-Ekonomi Baru Masyarakat
Dusun Kuniran Desa Jekek Kecamatan Baron Nganjuk
(Dita Rachmayani, Sukaesi Marianti, Annisa Alda Arrumdias) ............... 27
Hubungan Emotional Coping Behavior Dengan Agresivitas Suporter
Sepak Bola Bonek Mania
(Abdulloh Alba Syaiba) .......................................................................... 41
Hubungan Antara Lima Faktor Kepribadian (Big Five Personality)
Dengan KPU Trust Pemilih Pemilu 2024
(Irsyad Abdul Rasyid, Lusy Asa Akhrani) .............................................. 51
Tata Kelola Sumber Daya di Tingkat Bawah: Partisipasi dan
Kontestasi Kuasa Pengelolaan Sumber Daya Air Masyarakat Gunung
Kawi, Kabupaten Malang
(Irza khurun'in, Genta Mahardhika Rozalinna) ........................................ 66
1
HARMONY AND THE ROLE OF ACTORS TO ACTUALIZE OF SOCIAL
RESILIENCE IN PURWOREJO AND TABANAN
Irin Oktafiani
(1), Norman Luther Aruan
(1), Rahmat Saleh
(1), Angela Iban
(2)
Peneliti pada Pusat Penelitian Kependudukan – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta,
Indonesia (2)
Peneliti pada Pusat Penelitian Kewilayahan – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta,
Indonesia
Rukun and Tri Hita Karana had been conceptualized by scholars in anthropology as
harmony in the Javanese and Balinese people from the late 20th until the early 21st
century. These two kinds of philosophies still relevant amid the significant changes in
the so-called modern society of Javanese and Balinese. This paper shows how rukun
and Tri Hita Karana, which have been renowned along time will ensure the social
resilience in the people of Purworejo and Tabanan when they are facing challenges.
These two regions also remain still by the supports of organic actors who are ready to
secure the harmony in the society. Data in this paper is collected from the focus group
discussion and in-depth interviews in Purworejo and Tabanan as part of the research
Penelitian Pembentukan Desa Berketahanan Sosial which is conducted in 2019 by
Social Welfare Research and Development Agency of The Ministry of Social Services of
Indonesia. Furthermore, this paper analyzed the meaning of harmony in the Purworejo
and Tabanan people and their ability to face any changes. The results are; (1) Rukun
and Tri Hita Karana still relevant in the people of Purworejo and Tabanan; (2) there
are some organic actors who then help the society to keep the long-live philosophy of
rukun and Tri Hita Karana.
Keywords: Harmony, Rukun, Tri Hita Karana, Actors, Social Resilience
Filosofi Rukun dan Tri Hita Karana pada masyarakat Jawa dan Bali dikonsepsikan
sebagai harmoni dalam kajian antropologi pada akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-
21. Kedua filosofi ini dianggap masih relevan di tengah perubahan masyarakat modern
di Jawa dan Bali. Tulisan ini akan memperlihatkan bagaimana filosofi Rukun dan Tri
Hita Karana yang sudah ada di dalam masyarakat masih relevan dan dapat menjamin
ketahanan sosial masyarakat Purworejo dan Tabanan dalam menghadapi perubahan.
Ditambah lagi kedua daerah tersebut telah memiliki dukungan melalui kehadiran aktor-
aktor organik yang siap menjadi penjaga bagi keseimbangan di dalam masyarakat.
Sumber data diperoleh melalui Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara
mendalam di Purworejo dan Tabanan sebagai bagian dari Penelitian Pembentukan Desa
Berketahanan Sosial yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial RI pada tahun 2019. Penelitian ini
menggunakan analisis makna harmoni dan pendekatan agency untuk melihat pola pikir
dan kemampuan masyarakat dalam menghadapi perubahan. Temuan dari penelitian ini
adalah; (1) Filosofi rukun dan Tri Hita Karana masih relevan dalam perkembangan
masyarakat di Purworejo dan Tabanan; (2) Aktor-aktor dalam masyarakat lahir secara
organik sebagai penjaga keseimbangan dalam masyarakat.
Kata Kunci: Harmoni, Rukun, Tri Hita Karana, Aktor, Ketahanan Sosial
Kontribusi: Dalam artikel ini, Irin Oktafiani, Norman Luther Aruan, Rahmat Saleh,
dan Angela Iban berperan sebagai Kontributor Utama.
2
PENDAHULUAN
Tulisan ini adalah studi mengenai bagaimana harmoni dalam masyarakat menjadi
penopang untuk menciptakan ketahanan sosial atau lingkungan kehidupan sehari-hari
yang mapan. Selain lahir dari bekal-bekal filosofi budaya turun temurun masyarakat,
harmoni juga tercipta dari hadirnya para aktor yang kemudian disebut sebagai pranata
sosial. Tulisan ini berangkat dari hasil penelitian tahun 2019 yang dilakukan oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial, Republik
Indonesia, dalam rangka Pembentukan Desa Berketahanan Sosial. Penelitian ini
bertujuan untuk mewujudkan Desa Berketahanan Sosial pada tujuh kabupaten yang
belum memiliki Penyuluh Sosial Masyarakat, dua di antaranya adalah Purworejo dan
Tabanan. Hal ini dikarenakan Penyuluh Sosial Masyarakat di dalam pokok kerja
Kementerian Sosial dianggap sebagai ujung tombak pembentukan Desa Berketahanan
Sosial. Penulis memilih Purworejo dan Tabanan sebagai obyek dari tulisan dengan dasar
bahwa kedua daerah ini menunjukkan kondisi ketahanan sosial turut tercipta dengan
keberadaan pranata sosial atau para aktor di dalam masyarakat.
Harmoni merupakan salah satu ide yang lahir dari masyarakat. Sebagai sebuah
pengetahuan, kebudayaan melahirkan nilai dan ide untuk mewujudkan ritus kehidupan
sehari-hari yang ideal bagi para pelakunya, yaitu masyarakat. Hal ini tentu tidak terlepas
bahwa sebagai makhluk sosial, hidup suatu individu adalah bagian dari masyarakat luas
(Mulder, 1983) sehingga membutuhkan suatu sistem nilai dan ide untuk menjalankannya.
Dalam budaya yang berkembang pada masyarakat Jawa, nilai dan ide tersebut tumbuh
menjadi sebuah prinsip kehidupan seperti yang dijelaskan oleh Adamson (2007), salah
satunya adalah rukun. Menurut pandangan Geertz (dalam Jay, 1969), rukun dalam
masyarakat Jawa telah membentuk sistem pengelolaan relasi dan interaksi di antara
mereka, bahwa rukun menjadi kaidah dasar yang paling menentukan. Tidak hanya
menjelaskan sebuah kondisi, nilai rukun juga dimaknai oleh masyarakat Jawa sebagai
cara bertindak. Pada kajian Antropologi, hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat
tertuntun oleh pengetahuannya untuk melakukan suatu perilaku. Itu sebabnya rukun juga
dapat diterjemahkan sebagai social harmony, yaitu sebuah keadaan atau kondisi sosial
yang tentram, aman, dan tanpa perselisihan (Jay, 1969). Lebih luas dari itu, Hawkins
(1996) menekankan bahwa kondisi rukun dianggap sebagai prinsip resolusi konflik dan
filosofi untuk menjaga relasi sosial dalam masyarakat Jawa. Bagi Hawkins, rukun bukan
3
sekadar mekanisme praktis yang ada di dalam masyarakat tradisional, tetapi juga
merupakan filosofi yang akan terus relevan sekalipun masyarakat berubah menjadi
modern.
Sementara itu, konsep harmoni yang sama berkembang dalam masyarakat Bali
melalui filosofi Tri Hita Karana (Ramstedt 2014:61). Tri Hita Karana merupakan filosofi
yang berhubungan dengan agama Hindu dan mengatur tiga jenis relasi yang ada di dalam
hidup manusia. Relasi tersebut adalah hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan),
hubungan manusia dengan sesama (pawongan), dan hubungan manusia dengan alam
(palemahan) (lihat Warren, 2007:172; Sukarma, 2016:88). Tiga unsur tersebut telah
mewakili mikrokosmos dan makrokosmos atau segmen-segmen kehidupan manusia,
yaitu sosial, lingkungan, dan spiritual yang membentuk suatu kesatuan dimana manusia
menjadi inti pelakunya. Kosmologi ini menunjukkan bahwa kebahagiaan, kemakmuran,
dan harmoni tidak diberikan oleh Sang Ilahi dan alam tanpa upaya manusia, untuk
menjaga ketahanan hubungan tersebut.
Dua sistem ide masyarakat yang berkembang pada masyarakat Jawa dan Bali di
atas, yaitu rukun dan Tri Hita Karana, menunjukkan perannya untuk menjaga
keseimbangan dan memastikan adanya harmoni di dalam masyarakat. Tulisan ini akan
melihat bahwa harmoni dalam masyarakat Purworejo dan Tabanan masih dirasakan
melalui keberadaan filosofi rukun dan Tri Hita Karana. Terdapat argumentasi bahwa
filosofi harmoni merupakan suatu hal bentukan negara dan merupakan ciri dari
masyarakat tradisional. Namun, di dalam tulisan ini penulis menemukan bahwa sekalipun
masyarakat mengalami dinamika, misalnya kemajuan teknologi, filosofi rukun dan Tri
Hita Karana masih terus memiliki peran menjadi penjaga keharmonisan dalam
masyarakat. Di sisi lain, hal tersebut pada nyatanya tidak berdiri sendiri, namun juga
didukung oleh adanya aktor-aktor yang lahir secara organik di dalam masyarakat
Purworejo dan Tabanan, sehingga semakin mendukung kelanggengan konsep harmoni
tersebut. Tulisan ini akan terbagi ke dalam dua bagian pembahasan. Pertama, penulis akan
menggambarkan kondisi terkini masyarakat Purworejo dan Tabanan yang kemudian
dianalisis menggunakan konsep rukun (Hawkins, 1996) dan Tri Hita Karana (Sukarma,
2016). Kedua, adalah bagian munculnya aktor-aktor secara organik yang mendukung
harmoni di dalam masyarakat yang akan dianalisis melalui modalitas agency as intention
(Ortner, 2011). Penulis melihat keberadaan aktor-aktor di dalam masyarakat Purworejo
4
dan Tabanan tidak bisa dilihat sebagai kemampuan individu karena memiliki otoritas
lebih tinggi dari yang lain, tetapi didasari oleh kesadaran masyarakat yang memiliki pola
pikir dan tujuan yang sama, dalam hal ini adalah filosofi rukun dan Tri Hita Karana.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode penelitian yang
digunakan yaitu diskusi kelompok terpumpun (Focus Group Discussion atau FGD),
wawancara mendalam (in-depth interview), analisis data sekunder, dan observasi. FGD
dilakukan dengan para tokoh masyarakat, perangkat desa, dan perwakilan masyarakat
desa di masing-masing kabupaten. Metode ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran
profil, potensi, dan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat di tiap desa.
Sementara metode wawancara mendalam dilakukan untuk mendalami hasil dari FGD,
melihat respon dari informan yang terpilih terkait potensi desa dan masalah-masalah yang
dihadapi, sampai munculnya aktor-aktor secara organik di setiap desa. Wawancara
mendalam dilakukan secara luring (offline) dan daring (online) melalui aplikasi Whatsapp
dengan beberapa informan di Purworejo dan Tabanan. Informan yang dipilih dari
Kabupaten Tabanan merupakan seorang penyuluh sosial dan dosen, sedangkan dari
Kabupaten Purworejo merupakan dua orang pekerja. Analisis data sekunder dilakukan
dengan mengumpulkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menggambarkan
kondisi terkini masyarakat Purworejo dan Tabanan. Metode observasi dilakukan untuk
mengamati secara langsung kehidupan masyarakat desa dan bagaimana mereka hidup
beriringan dengan filosofi rukun di Kabupaten Purworejo dan Tri Hita Karana di
Kabupaten Tabanan.
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Tabanan.
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan mempertimbangkan pada
karakteristik masyarakat dan merupakan lokasi pembentukan penyuluh sosial yang telah
dipilih oleh Pusat Penyuluhan Sosial (Puspensos), Kementerian Sosial. Di sisi lain, kedua
daerah tersebut menunjukkan bahwa kondisi harmoni di dalam masyarakat lahir secara
organik melalui keberadaan para aktor di dalam masyarakat.
5
HASIL DAN DISKUSI
A. Konsep Ketahanan dan Definisi Ketahanan Sosial Bagi Pemerintah1
Teori ketahanan lahir dan banyak dipakai untuk menjelaskan fenomena psikologi,
akan tetapi teori ketahanan juga dipakai untuk menjelaskan fenomena dari disiplin ilmu
lain. Sebagai contoh, C. S. Holling (1973:14) melihat ketahanan dalam sistem ekologi
dan berpendapat bahwa ketahanan merupakan ukuran kegigihan sistem dan
kemampuannya dalam menyerap perubahan dan gangguan, sekaligus dapat tetap
mempertahankan beberapa hubungan atau relasi di antara populasi atau beberapa variabel
yang tersedia. Ketahanan juga menjelaskan bagaimana individu dapat memanfaatkan
akses untuk mengatasi efek negatif yang mungkin muncul dari tekanan yang dihadapi,
hal ini dinamakan sebagai coping strategy (Meadows, et al., 2015:9). Kemudian konsep
ketahanan berkembang, tidak hanya mampu menjelaskan strategi bertahan individu tetapi
juga dapat menjelaskan strategi yang dilakukan di dalam masyarakat sebagai bagian dari
komunitas. Misalnya saja coping strategy masyarakat di Ethiopia dan Makassar dalam
menghadapi perubahan iklim dengan melakukan migrasi, pembagian kerja, diversifikasi
pekerjaan, dan mengurangi luas lahan (lihat Costa, et al. 2013 dan Asmamaw, 2019).
Dalam aspek sosial, ketahanan secara khusus dilihat sebagai upaya-upaya advokasi untuk
penguatan kapasitas institusi masyarakat (Suwignyo, 2018:94). Bagi Michael Hanisch
(2016), agar lebih memahami konsep ketahanan, perlu mengetahui apa dan siapa yang
penting untuk bertahan beserta tujuannya, bagaimana ketahanan harus dipromosikan,
serta siapa yang bertanggung jawab atas hal tersebut. Apabila dapat disimpulkan, penulis
berargumentasi bahwa ketahanan sosial dapat dilihat sebagai upaya-upaya yang
dilakukan masyarakat untuk menjaga satu tatanan yang dianggap ideal dan bagaimana
masyarakat merespon tekanan-tekanan yang melanda dalam kehidupan mereka.
Pemerintah Indonesia juga sudah merumuskan konsep ketahanan sosial di dalam
masyarakat yang tercantum pada Keputusan Menteri Sosial nomor 12 tahun 2006.
Ketahanan sosial masyarakat merupakan suatu kemampuan bagi komunitas dalam
mengatasi risiko perubahan, ekonomi, dan politik. Risiko dari perubahan ekonomi dan
politik dianggap dapat mengganggu kestabilan masyarakat, sehingga penting bagi suatu
1 Pemakaian istilah ketahanan di Indonesia masih menjadi perdebatan dalam dunia akademis karena dekat dengan program yang dilakukan pemerintah Orde Baru (Suryanto, 2020) dan istilah ini kadang diartikan oleh para akademisi sebagai resilience maupun strength. Penulis membatasi istilah ketahanan sosial dalam tulisan ini menggunakan konsep resilience untuk melakukan analisis karena kedekatan konsepnya dengan istilah ketahanan sosial yang dipakai oleh pemerintah dalam Keputusan Menteri Sosial nomor 12 tahun 2006.
6
komunitas untuk melewati perubahan tersebut dengan baik. Ketahanan sosial ini
diharapkan muncul dimulai dari individu dan institusi keluarga. Suatu komunitas
dianggap memiliki ketahanan sosial apabila mampu melindungi dirinya dari keterpurukan
dan hal ini dapat dilihat melalui empat dimensi ketahanan sosial.
Empat dimensi ketahanan sosial mencakup elemen yang perlu diperhatikan agar
tidak terjadi keterpurukan dan perlu dikembangkan dalam masyarakat. Dimensi pertama
berfokus pada kepastian tersedianya pelayanan dasar di masyarakat dan tingkat
perlindungan sosial bagi kelompok rentan, miskin, dan penyandang masalah sosial.
Melalui dimensi ini diharapkan pelayanan sosial dapat diakses dengan mudah, dapat
dijangkau oleh masyarakat, serta segala kebutuhan kelompok rentan dan penyandang
masalah sosial dapat tercukupi. Dimensi kedua berfokus pada tingkat partisipasi
masyarakat dalam organisasi sosial yang ada di lingkungan mereka. Melalui dimensi ini
diharapkan relasi sosial yang sudah ada di dalam masyarakat dapat dipelihara dengan baik
dan berkelanjutan. Kemudian, dimensi ketiga berfokus pada kemampuan pengendalian
konflik sosial dan tindak kekerasan. Melalui dimensi ini peran aktif para aktor atau tokoh
dalam masyarakat diharapkan dapat mencegah, maupun menanggapi dan mengatasi
konflik sosial yang muncul. Dimensi terakhir adalah pemeliharaan kearifan lokal dalam
mengelola sumber daya alam dan sosial yang ada di tengah masyarakat. Pada dimensi ini,
pemerintah berharap masyarakat dapat berperan aktif dalam menjaga serta melestarikan
alam, lingkungan, dan budaya masing-masing daerah.
Lebih lanjut di dalam Keputusan Menteri Sosial Nomor 12 Tahun 2006,
pemerintah menganggap pranata sosial yang ada pada masyarakat menjadi pendukung
terwujudnya ketahanan sosial masyarakat. Apabila dapat didefinisikan secara sederhana,
pranata sosial merupakan seperangkat nilai dan norma yang ada di dalam masyarakat
yang dilembagakan atau diinstitusikan dalam bentuk formal maupun informal. Hal ini
berarti, pranata sosial merupakan suatu sistem yang muncul secara organik dari
masyarakat itu sendiri dan lebih lagi bersumber dari nilai dan norma yang dipercaya oleh
mereka. Penulis dalam hal ini setuju dengan anggapan mengenai pentingnya pranata
sosial dalam mewujudkan ketahanan sosial masyarakat. Sekalipun pranata sosial terlihat
penting di dalam penentuan peran dan fungsi anggota masyarakat, tetapi penulis juga
melihat bahwa pranata sosial dapat berfungsi dengan baik disebabkan oleh filosofi yang
7
Ketahanan sosial
masyarakat (upaya- upaya yang dilakukan)
dipegang di dalam masyarakat. Filosofi rukun dan Tri Hita Karana menjadi landasan bagi
masyarakat bertindak dan berelasi dengan pencipta, sesama, dan lingkungannya.
Jadi, ketahanan sosial dapat terwujud oleh karena keberadaan filosofi yang hidup
dan bertahan di dalam masyarakat serta diusahakan untuk terus dalam kondisi mapan.
Apabila digambarkan, ketahanan sosial dan filosofi harmoni dalam masyarakat
merupakan hubungan bolak-balik saling ketergantungan untuk menjaga keseimbangan di
dalam masyarakat dan masih dipegang teguh oleh masyarakat. Meskipun hubungan
antara harmoni dan ketahanan sosial di dalam masyarakat sifatnya saling ketergantungan,
akan tetapi kondisi ini hanya akan dapat tercapai melalui peran-peran penjaga di dalam
masyarakat. Hal ini akan dijelaskan dalam lebih lanjut dalam deskripsi untuk memahami
kondisi masyarakat di Purworejo dan Tabanan.
Gambar 1. Hubungan bolak-balik saling ketergantungan antara filosofi harmoni dengan
ketahanan sosial masyarakat.
B. Kabupaten Purworejo
Kabupaten Purworejo terbagi dalam 16 kecamatan dan 494 desa/kelurahan. Pada
tahun 2018 luas wilayah Kabupaten Purworejo adalah 103.481 Ha yang terdiri dari
87.105 Ha (84,18%) lahan pertanian dan 16.375 Ha (15,82%) bukan lahan pertanian.
Adapun jumlah penduduk di Kabupaten Purworejo pada tahun 2018 berjumlah sebanyak
Harmoni - Rukun dan
Tri Hita Karana
8
716.477 jiwa. Dengan komposisi penduduk laki-laki sebanyak 49,32% dan penduduk
perempuan sebanyak 50,68 % (BPS, 2019). Kabupaten Purworejo secara administratif
berada pada Provinsi Jawa Tengah dan secara historis lebih dikenal sebagai tanah
Bagelen. Secara administratif, Kabupaten Purworejo merupakan salah satu Kabupaten di
Provinsi Jawa Tengah yang berbatasan dengan beberapa daerah. Sebelah utara berbatasan
dengan Kabupaten Wonosobo dan Magelang; Sebelah selatan berbatasan dengan
Samudra Indonesia; Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kebumen; dan Sebelah
timur berbatasan dengan wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya Kabupaten
Kulonprogo. Kabupaten Purworejo dikenal sebagai tanah Bagelen dikarenakan awalnya
kawasan ini sangat disegani oleh wilayah lain, karena keberadaan sejumlah tokoh.
Misalnya dalam pengembangan ajaran agama Islam di tanah Jawa bagian selatan, tokoh
Sunan Geseng dikenal sebagai ulama besar yang pengaruhnya sampai ke Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang. Selain itu juga terdapat tokoh dalam
bidang pendidikan, pertanian dan militer. Seperti WR Supratman Komponis lagu
Kebangsaan “Indonesia Raya”, Jenderal Urip Sumoharjo, Jenderal Ahmad Yani, Letjen
Sarwo Edy Wibowo, dan lain sebagainya 2.
Potensi Alam dan Sosial di Desa
Kabupaten Purworejo memiliki beberapa potensi, baik alam maupun sosial.
Beberapa potensi alam Kabupaten Purworejo di antaranya area pesisir pantai, pertanian,
perkebunan, dan pegunungan Menoreh untuk berladang. Selain itu beberapa jenis
investasi juga mulai dikembangkan di Kabupaten Purworejo, di antaranya pada industri
mebel bambu, industri kayu, dan industri gula dan pariwisata3. Potensi alam di Kabupaten
Purworejo ini dapat mendukung kemajuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya
sehari-hari. Di samping itu, masyarakat Kabupaten Purworejo mendukung keberadaan
wilayahnya melalui pembentukan lembaga-lembaga sosial --potensi sosial yang dimiliki
oleh desa--, baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun inisiatif masyarakat. Misalnya
seperti keberadaan PKK, Karang Taruna, BUMDES, dan Linmas (Suradi, dkk., 2019).
2 (https://purworejokab.go.id/web/sejarah-kabupaten-purworejo.html) 3 Hal ini selaras dengan visi Kabupaten Purworejo, yaitu “Terwujudnya Kabupaten Purworejo yang semakin sejahtera berbasis pertanian, pariwisata, industri dan perdagangan yang berwawasan budaya, lingkungan dan ekonomi kerakyatan”
9
Masalah Sosial di Desa
Pergesekan di antara warga juga merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri terjadi
di Purworejo. Secara umum, beberapa permasalahan yang sering muncul di antaranya
adalah permasalahan irigasi lahan, perselingkuhan, dan pembagian warisan. Masalah-
masalah tersebut dapat muncul dan menimbulkan keresahan di desa. Beruntung, warga
memiliki mekanisme penyelesaian konflik sendiri, seperti Kepala Desa atau pemuka
agama yang dianggap memiliki kekuasaan untuk menyelesaikan masalah. Namun,
apabila masalah dianggap besar, akan dibawa ke pihak yang berwajib, yaitu kepolisian.
Di sisi lain, seiring perkembangan zaman yang semakin modern, masyarakat desa
Kabupaten Purworejo pun sadar mengakui adanya ancaman masalah sosial di
wilayahnya, yaitu migrasi masuk yang terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Migrasi masuk ini menyebabkan munculnya kompleks perumahan baru di tengah
masyarakat. Kondisi demikian jika tidak ditangani dengan baik maka khawatir akan
memicu gesekan sosial.
“Saya takutnya, masyarakat yang sudah guyub, karena makin ke sini
pendatang makin banyak, dan sifatnya orang itu kan beda-beda, ada yang
mau bersosialisasi, ada yang tidak, nah itu yang harus kita tangani bersama
agar warga masyarakat tetap terhindar dari masalah sosial,” – hasil FGD,
28 November 2019
Menyikapi kondisi di atas, dari pihak aparatur desa atau kelurahan akan menggerakkan
kader-kadernya untuk menjalankan peran sebagai Penyuluh Sosial Masyarakat (PSM).
Kader-kader ini sudah terbiasa aktif menjalankan kegiatan yang berkaitan dengan urusan
kemasyarakatan, seperti PKK, Karang Taruna, Posyandu, dan sebagainya. Sehingga
hadirnya PSM diharapkan bisa turut serta menjaga harmoni kehidupan masyarakat
Kabupaten Purworejo.
Guyub-Rukun Masyarakat Desa
Masyarakat desa di Kabupaten Purworejo pada umumnya menghayati prinsip
hidup yang disebut guyub-rukun. Artinya, hidup bersama dalam keadaan saling
menghormati, saling membantu, tanpa perselisihan dan pertentangan, sehingga hidup
10
tenang dan tentram. Guyub-rukun merupakan keadaan yang harus dipertahankan dalam
semua hubungan sosial, seperti bertetangga atau bermasyarakat. Sebagai makhluk sosial
di tengah masyarakat, manusia tentu tidak akan mampu hidup sendiri tanpa bantuan dari
orang lain. Terlebih kehidupan di desa, tetangga menjadi “saudara” terdekat dari rumah
yang akan cepat memberikan bantuan. Namun tidak menutup kemungkinan jika tetangga
sebelah rumah berbeda keyakinan.
“Guyub itu perasaan komunal untuk bersatu, mementingkan kepentingan
orang lain di atas kepentingan diri sendiri. Rukun itu lebih kepada usaha
untuk selalu mencari keselarasan.”- wawancara, 1 April 2020
Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat desa di Kabupaten Purworejo sebagian
besar beragama Islam, dengan afiliasi organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU).
Akan tetapi terdapat juga agama atau keyakinan lain yang dianut masyarakat di sana yaitu
Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Penghayat Kepercayaan. Perbedaan dalam beragama
atau berkeyakinan tidaklah menjadi “gangguan” bagi masyarakat. Nyatanya mereka bisa
hidup berdampingan dengan guyub rukun. Terciptanya kerukunan hidup tidak terlepas
dari kesadaran-bersama terhadap nilai-nilai toleransi. Selain itu juga peran dari tokoh
masyarakat dan tokoh agama yang ada di masyarakat setempat. Misalnya di Desa
Kemanukan, Kecamatan Bagelen, yang telah dinobatkan menjadi Kampung Kerukunan
Umat Beragama dan menjadi desa percontohan di Jawa Tengah. Masyarakat Desa
Kemanukan terkenal dengan budaya toleransi dan keramahan masyarakatnya. Pemerintah
Kabupaten mengakuinya bahwa kerukunan masyarakat tersebut menjadi modal positif
dalam mendukung pembangunan daerah4.
Kerukunan hidup masyarakat desa di Kabupaten Purworejo juga karena adanya
tradisi dan adat-istiadat Jawa yang dilestarikan oleh masyarakat setempat. Meski diakui
ada pengaruh dari luar, tetapi tidak menjadi sumber masalah sosial. Masyarakat mampu
menyaring mana yang sesuai atau tidak sesuai dengan tradisi dan adat istiadat. Justru dari
praktik tersebut, menjadi kekuatan untuk meningkatkan kerukunan masyarakat.
Misalnya, dalam studinya Purnamasari (2015) mencontohkan yang terjadi pada
masyarakat Desa Kamijoro Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo, yaitu kegiatan
4 https://jatengprov.go.id/beritadaerah/desa-kerukunan-umat-beragama/
11
selametan, mitung dino (hari ketujuh duka cita), mitoni, mantu, khitanan, nyukur
kuncung, kesripahan (dibantu pas lagi berduka), dan tradisi lainnya. Tradisi-tradisi
tersebut tidak hanya dilakukan oleh kelompok Islam, tetapi juga dilaksanakan oleh
kelompok Kristen. Menariknya adalah setiap pelaksanaan tradisi tidak hanya
mengundang sesama kelompok tetapi juga mengundang dari luar kelompoknya.
Pelaksanaan tradisi ini untuk menunjukkan eksistensi bersama hidup rukun sebagai
masyarakat Jawa, tanpa melihat latar belakang agama.
“Selametan itu „penjaga‟ guyub-rukun di desa. Dulu, waktu saya keterima
kerja saya juga bikin selametan di rumah. Saya pikir, tidak perlu, padahal
posisinya sudah di Jakarta. Orangtua pikir itu penting, gak enak sama
tetangga.” – wawancara, 1 April 2020
Tidak hanya pada pelaksanaan tradisi, guyub-rukun masyarakat desa di Kabupaten
Purworejo juga tampak pada kegiataan keagamaan. Seperti saat acara haul (peringatan
hari wafat seseorang yang diadakan setahun sekali) Simbah Kyai Iman Syafi'i dari Desa
Tlogobulu, syabanan (kegiatan rutin sebelum memasuki bulan puasa), dan suran
(selamatan awal Tahun Hijriyah), kelompok agama lain membawakan makanan serta
minuman. Begitu juga sebaliknya, ketika kelompok Kristen, Katolik, Hindu, Budha, atau
Penghayat Kepercayaan sedang melaksanakan kegiatan kerohanian atau keyakinannya
maka kelompok Islam (seperti Banser NU) ikut menjaga ketertiban agar peribadatan
kelompok tersebut berjalan lancar. Kegiatan-kegiatan keagamaan itu mencerminkan
kedewasaan bermasyarakat di sana, dalam arti masyarakat mampu menempatkan
kepentingan masing-masing keyakinan beragama dan urusan kemasyarakatan.
Hal lain yang turut mendukung guyub-rukunnya kehidupan masyarakat desa di
Kabupaten Purworejo adalah kegiatan sosial-budaya tradisional. Seperti acara nguber
rowo jombor, kuda kepang, merdi bumi, merti desa (bersih desa), kerigan (kerja bakti
atau bakti sosial) membangun rumah warga “bedah rumah”, gotong-royong memperbaiki
jalan, dan kegiatan lainnya yang dilakukan secara bersama-sama. Beberapa desa yang
sudah mendukung kegiatan sosial-budaya ini melalui Dana Desa, yaitu Desa Kliwonan,
Desa Pituruh, Desa Gantung, Desa Pandanrejo, Desa Keligintung, Desa Sidomukti, dan
Desa Suren. Kegiatan sosial-budaya ini menjadi ruang-ruang perjumpaan tersendiri bagi
12
warga. Sering kali pada kegiatan ini terjalin interaksi sosial yang cair dan penuh
keterbukaan antar warga sehingga bisa saling memahami dan menghormati.
“Di kampung saya itu masih dilakukan kegiatan gotong-royong, terutama
pada saat membangun atau renovasi rumah. Biasanya pas pemasangan
genteng itu akan dibantu sama tetangga. Genteng di kampung itu kan satu-
satu dipasangnya, beda dengan genteng di kota. Jadi dibantu sama tetangga.
Dibayarnya pakai makanan saja” – wawancara, 1 April 2020
C. Kabupaten Tabanan
Kabupaten Tabanan berada di bagian selatan Pulau Bali, Provinsi Bali dengan
luas wilayah 839,33 km² yang terdiri dari daerah pegunungan dan pantai. Beberapa
wilayah di kabupaten ini merupakan daerah yang cukup subur sehingga menjadi tempat
di mana para petani melakukan kegiatan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Di daerah-daerah yang lain merupakan daerah berbukit-bukit dan terjal. Kabupaten
Tabanan di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Buleleng, Kabupaten Badung di
sebelah timur dan Samudera Hindia di sebelah selatan. 14,90 persen dari luas Provinsi
Bali merupakan wilayah Kabupaten Tabanan. Kabupaten Tabanan dikenal sebagai daerah
agraris karena 28 persen dari luas lahan yang ada merupakan lahan persawahan.
Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, penduduk Kabupaten Tabanan
tercatat berjumlah 431.162 jiwa dengan laju pertumbuhan alaminya sebesar 0,15. Dari
431.162 jiwa, 214.264 (49,69 %) di antaranya merupakan penduduk laki laki dan 216.898
(50,31 %) merupakan penduduk perempuan. Dilihat dari komposisi penduduknya, rasio
jenis kelamin atau sex ratio penduduk Kabupaten Tabanan pada tahun 2010 adalah
sebesar 98,79, artinya setiap 100 penduduk perempuan di Kabupaten Tabanan terdapat
98 penduduk laki laki. Kabupaten Tabanan dengan luas wilayah sebesar 839 km² dan
jumlah penduduk sebanyak 431.162 jiwa, kepadatan penduduknya mencapai 513 jiwa per
km². Apabila dilihat tingkat kepadatan penduduk per kecamatan, persebaran penduduk di
Kabupaten Tabanan tidak merata. Terdapat beberapa kecamatan yang tingkat kepadatan
penduduknya jauh di atas rata-rata, antara lain kecamatan Kediri (1.399 jiwa per km²),
Tabanan (1.235 jiwa per km²), Marga (970 jiwa per km²), Kerambitan (930 jiwa per km²),
Baturiti (515 jiwa per km²) sedangkan lainnya tingkat kepadatan penduduknya 500 jiwa
13
per km² ke bawah. Untuk jumlah anggota rumah tangga per keluarga, di Kabupaten
Tabanan, jumlah anggota rumah tangga per keluarga sebanyak 4 orang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk suatu daerah antara lain kelahiran,
kematian, perpindahan keluar, dan perpindahan ke dalam. Selama tahun 2010 di
Kabupaten Tabanan telah terjadi kelahiran sebanyak 3.650 jiwa, kematian 3.012 jiwa,
jumlah penduduk yang datang sebanyak 3.816 jiwa dan jumlah penduduk yang pindah
sebanyak 2.519 jiwa. Dan pada tahun 2010, di Kabupaten Tabanan tidak ada keluarga
yang mengikuti program transmigrasi.
Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2010 menunjukkan
angkatan kerja di Kabupaten Tabanan sebanyak 261.534 jiwa. Dari angkatan kerja yang
ada 254.402 jiwa (97,27 persen) di antaranya adalah penduduk yang bekerja, dan sisanya
7.132 (2,73 persen) merupakan pengangguran terbuka. Penduduk angkatan kerja yang
berada di Kabupaten Tabanan, penduduknya bekerja di sektor pertanian, yaitu sekitar
43,96 persen. Penduduk angkatan kerja yang bekerja di sektor perdagangan terdapat
44.250 jiwa (17,39 persen), di sektor industri sebanyak 35.313 jiwa (13,88 persen), dan
sisanya tersebar di enam sektor lainnya. Jumlah penduduk yang bukan angkatan kerja di
Kabupaten Tabanan sebanyak 82.354 jiwa, di mana 19.249 jiwa (23,37 persen) karena
masih bersekolah, 48.697 jiwa (59,13 persen) mengurus rumah tangga dan 14.408 (17,05
persen) karena alasan lainnya5.
Potensi Alam dan Sosial di Desa
Potensi unggulan Kabupaten Tabanan adalah bidang pertanian karena sebagian
besar mata pencaharian, soko guru perekonomian daerah, serta penggunaan lahan wilayah
Tabanan masih didominasi bidang pertanian dalam arti luas. Kabupaten Tabanan terdiri
dari 10 Kecamatan, yaitu Kecamatan Tabanan, Kecamatan Kediri, Kecamatan
Kerambitan, Kecamatan Selemadeg, Kecamatan Selemadeg Barat, Kecamatan
Selemadeg Timur, Kecamatan Penebel, Kecamatan Pupuan, Kecamatan Marga, dan
Kecamatan Baturiti6.
5 www.tabanankab.go.id 6 ibid
14
Dari hasil FGD ditemukan bahwa Karang Taruna, Posyandu Balita/Lansia dan
PKK adalah potensi sosial yang dimiliki oleh seluruh desa. Karang Taruna (Sekehe
Teruna Teruni) kebanyakan bergerak di bidang olahraga dan kesenian di setiap desa.
Dalam banyak kasus, Sekehe Teruna Teruni (STT) adalah tempat belajar bagi anak-anak
muda untuk berorganisasi. STT atau yang sering disebut sebagai muda-mudi juga setiap
enam bulan menunjukkan bahwa mereka adalah agen kewirausahaan dan ekonomi
dengan mengadakan kegiatan bazar atau penggalangan dana, dan biasa dilakukan
menjelang hari raya Galungan. Selain itu setiap desa juga memiliki potensi yang
beragam. Mulai dari Kelompok-Kelompok Usaha, Sekehe Gong dan Kelompok Tani
(subak).
Potensi alam yang dimiliki oleh beberapa desa yaitu pertanian dan pariwisata.
Kabupaten Tabanan secara keseluruhan merupakan lumbung padi di Provinsi Bali. Rata-
rata mata pencaharian penduduknya adalah bertani. Namun terdapat juga desa yang
memiliki potensi wisata seperti air terjun, pantai, maupun potensi seni dan budaya.
Tabel 1. Potensi Desa di Kabupaten Tabanan
No
Potensi Desa
Jumlah
No
Potensi
Desa
Jumla
h
No
Potensi
Desa
Jumlah
1
Karang Taruna
18
16
Peternakan
babi
2
31
BPD
1
2
Posyandu Lansia
15
17
Pecalang
2
32
Kelompok
Usaha
Mikro
1
3
Posyandu Anak
12
18
Kelompok
Posbindu
1
33
TPS 3R
1
4
PKK
11
19
Kelompok
Seka Seni
1
34
UMKM
1
5
Bumdes
6
20
Kelompok
Sadar
Wisata
1
35
Ladang
1
6
Kelompok Subak
5
21
Wisata
Pantai
1
36
Tukang
Stiel Bali
1
15
7
Seka Gong
5
22
Posyandu
Lansia
1
37
Tukang
Ukir Kayu
1
8
Kelompok Tani
3
23
Kelompok
Kue
1
38
Tukang
Ukir Patung
1
9
Kelompok Wanita
Tani
2
24
Kelompok
Lemon
1
39
Linmas/Kea
manan
1
10
UPPO (Unit
Pengolahan Pupuk
Organik)
2
25
Air Terjun
1
40
KWT
Mekar sari
1
11
Kader Posyandu
2
26
Pokdar
Was
1
41
TK/PAUD
1
12
Peternakan Babi
2
27
Kelompok
Budidaya
Ikan
1
42
Seka
Angklung
1
13
Bank Sampah
2
28
Organisasi
Saman
Traya
1
43
Kelompok
KWT
1
14 Sawah 2 29 Pertanian 1
15 Gotong Royong 2 30 Pariwisata 1
Sumber: Hasil FGD, 28 November 2019
Masalah Sosial di Desa
Masalah sosial merupakan realitas sosial yang kompleks sehingga sumber
masalahnya juga bersifat kompleks, dapat berasal dari level individu maupun sistem
(Soetomo, 2011). Permasalahan sosial di Kabupaten Tabanan yaitu pernikahan dini,
pencurian ternak dan hasil tani, keadilan, kemiskinan, kebersihan lingkungan, akses ke
layanan kesehatan dan pengelolaan sampah. Permasalahan sampah merupakan
16
permasalahan sosial, dianggap masalah yang prioritas oleh masyarakat Kabupaten
Tabanan, harus segera diselesaikan.
Penyebab permasalahan sampah yang utama adalah tidak adanya Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) yang dapat diakses oleh tiap desa di Kabupaten Tabanan. Hal ini seperti
yang ditegaskan oleh informan X:
“ Terkait dengan sampah, desa kami berada di pelosok, cukup jauh dari
kabupaten, intinya kurang lebih 38 KM dari Kabupaten Tabanan, rata-rata
permasalahan di desa kecamatan kami memang sampah, karena kami tidak
mempunyai TPA, tempat pembuangan sampah bersama.”- wawancara,
November 2019
Permasalahan sampah bukan menjadi permasalahan khas Kabupaten Tabanan,
tetapi merupakan permasalahan Provinsi Bali secara keseluruhan. Berdasarkan penelitian
Bali Partnership sebanyak 50 persen sampah di Bali berasal dari tiga daerah, yaitu Kota
Denpasar, Kabupaten Badung dan Kabupaten Gianyar. 70 persen dari sampah yang
dibuang ke tempat sampah berakhir di TPA Sarbagita Suwung. Artinya tidak
memadainya fasilitas TPA yang ada di Provinsi Bali, sehingga hanya terkonsentrasi di
beberapa tempat sehingga menyulitkan akses masyarakat untuk mengelola sampah di
wilayahnya.
Selain disebabkan TPA yang memadai, permasalahan sampah juga disebabkan oleh
proses pemilahan sampah yang tidak dilakukan oleh masyarakat dan kebiasaan
membuang sampah sembarangan. Agar pengelolaan sampah menjadi lebih mudah dan
memiliki nilai tambah, sampah sebaiknya dipilah terlebih dahulu. Berdasarkan penelitian
Bali Partnership, sebanyak 52 persen sampah di Bali tidak dikelola dengan baik, artinya
masih ada sampah yang terbuang di sekitarnya, dibakar dan terbuang ke saluran air7. Hal
tersebut juga ditegaskan oleh informan Y:
“Kalau kita bicara masalah sampah memang ga ada habis-habisnya,
kebetulan di desa kami, dulu memang masyarakat buang sampah
sembarangan, ada di titik-titik tertentu, seperti di tempat umum, membuang
sampah, pake plastik kresek gitu, ditimbun. Karena adanya timbunan sampah
7 https://www.mongabay.co.id/2019/07/02/inilah-data-dan-sumber-sampah-terbaru-di-bali/
17
tersebut, akhirnya menimbulkan masalah.”- wawancara tanggal 28
November 2019
Tri Hita Karana Masyarakat Desa
Menghadapi permasalahan sampah, masyarakat di Kabupaten Tabanan telah
melakukan beberapa usaha untuk mengatasi masalah tersebut. Pertama, menggunakan
Dana Desa untuk membayar petugas untuk mengangkut sampah ke Tempat Pembuangan
Akhir (TPA). Hal ini merupakan solusi jangka pendek agar sampah tidak menumpuk di
wilayah desa. Kedua, menyediakan kontainer di setiap banjar sebagai tempat
penampungan sampah dan bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan
untuk mengangkut ke TPA. Hal ini masih dirasakan menyulitkan karena birokrasi yang
kurang jelas dan masyarakat merasa sangat tidak terbantu. Hal ini dijelaskan oleh
informan Y:
“...desa kami ini sudah kebetulan banjar nya ada empat, kita sudah belikan
kontainer yang besar itu untuk masing-masing banjar. Permasalahannya
mentok sampai di sana karena seperti dibilang tadi, TPA kita ga punya, kalau
saya di desa X itu letaknya di tengah kota pak. Nggak ada lahan. Kita sudah
kerja sama dengan DLHK, truknya ktia suruh angkut, membawa ke sana, kita
bayar, oke kita keluarkan dana. Ada benturan lagi, katanya dari dinas ga
boleh mungut ini. Ini permasalahan yang klasik.” – hasil FGD, 28 November
2020
Ketiga, menyadarkan masyarakat akan pentingnya melakukan pemilahan sampah mulai
dari dalam rumah tangga. Sampah plastik dapat dipilah dan disetorkan ke Bank Sampah.
Bank Sampah akan menjual ke investor yang membutuhkan dan diolah menjadi biji
plastik. Anggota masyarakat yang menjadi nasabah program Bank Sampah dapat
memperoleh keuntungan dari hasil penjualan. Sedangkan untuk sampah organik akan
diolah menjadi pupuk. Sehingga pada gilirannya masyarakat sadar dan berperan dalam
menjaga lingkungan.
18
D. Rukun dan Tri Hita Karana di dalam Masyarakat Desa di Purworejo dan
Tabanan
Desa dan masyarakat saling terkait satu sama lain karena keberadaan masyarakat
membentuk desa, di sisi lain desa mengatur bagaimana masyarakat bertindak dan
berperilaku. Beberapa literatur dalam ilmu sosial yang mengkaji mengenai desa di Jawa,
misalnya, melihat desa sebagai sebuah satuan komunitas sosial. James Scott (1976)
mendefinisikan desa sebagai sebuah kesatuan besar sosial. Dalam bukunya, Scott melihat
desa sebagai komunitas korporat dari petani, mereka memiliki nilai-nilai tersendiri dalam
unit komunitasnya, yang akhirnya dikenal sebagai konsep moral economy. Sebelum studi
James Scott, Eric Wolf (1957) melihat desa layaknya organisasi korporat yang memiliki
seperangkat aturan berisikan hak-hak dan ketentuan keanggotaan di dalam desa. Melalui
dua tulisan ini terlihat bahwa desa identik dengan masyarakat yang berada di dalamnya.
Peter Boomgaard (1991:291) berargumen bahwa setidaknya ada tiga terminologi
desa, yaitu pertama, desa merupakan sebuah kluster fisik tempat tinggal, baik desa kecil
maupun yang lebih luas. Kedua, desa dilihat sebagai unit administratif. Sebagai unit
administratif desa identik dengan peraturan-peraturan yang terkait dengan kekuasaan di
atasnya, misalnya saja kerajaan atau negara. Keberadaan desa sebagai pengatur
masyarakat dalam skala yang lebih kecil dan langsung berhubungan dengan masyarakat.
Terakhir, desa merupakan unit komunal yang memiliki kohesi sosial yang menentukan
keberadaan komunitas di dalam desa, baik dalam hal kepentingan desa dan solusi dalam
menghadapi konflik. Terminologi terakhir lebih melihat relasi sosial di dalam masyarakat
yang menjadi pengikat sekaligus penjaga keseimbangan di desa. Sebuah desa dapat
terjaga „kedamaiannya‟ atau berada dalam kondisi harmoni tergantung dari ikatan dari
masyarakatnya.
Pada desa di Jawa, filosofi mengenai rukun dikenal dalam relasi sosial
masyarakat. Beberapa literatur telah melihat bagaimana filosofi rukun menjadi bagian
dari praktik hidup orang Jawa (lihat Jay, 1969; Geertz, 1976; Koentjaraningrat 1985).
Clifford Geertz (1976:61) melihat rukun tidak hanya sebagai sebuah nilai yang abstrak
tetapi juga dapat terlihat kepada praktik kerjasama yang ada di masyarakat. Dalam
konteks penelitian Geertz saat itu, Ia melihat bahwa rukun menjadi dasar dalam
pembagian kerja dan pertukaran kapital, seperti pembangunan rumah, pengolahan sawah,
dan irigasi. Pertukaran kapital dalam konteks rukun juga terlihat dalam acara selametan
19
di desa. Pada acara selametan sunat misalnya, Geertz mencontohkan pemberian buwuh8
sebagai alat penjaga kerukunan oleh karena itu setiap orang yang sudah mendapatkan
undangan dan sebelumnya sudah pernah diberikan buwuh oleh tetangganya harus
membalasnya pada saat tetangga tersebut melakukan hajatan yang serupa. Saling
membalas buwuh ini tetap dilakukan sebagai salah satu bentuk menjaga kondisi rukun di
desa. Lebih tajam lagi, Andrew A Beatty (1999:47) beranggapan bahwa selametan
merupakan bentuk kompromi sosial sekaligus merupakan kunci kerukunan karena tiap-
tiap masyarakat diingat dan dinilai bukan dari identitas bawaan mereka melainkan apa
yang sudah mereka berikan sebagai kontribusi di dalam masyarakat.
Seiring dengan perkembangan zaman, filosofi rukun juga mulai dipertanyakan
eksistensinya pada orang Jawa terutama bagi mereka yang sudah tidak tinggal di desa.
Apakah rukun masih bisa dianggap sebagai dasar orang Jawa dalam berperilaku? Hal ini
dipertanyakan juga oleh Mary Hawkins (1996) apakah filosofi rukun juga berubah dalam
pandangan orang Jawa kontemporer. Bagi Hawkins pertumbuhan daerah menjadi kota
dan masuknya modernitas malah tetap melanggengkan keberadaan filosofi rukun di
dalam kehidupan orang Jawa yang berada di daerah urban bahkan yang berada di luar
Pulau Jawa. Rukun tetap ada dalam bentuk selametan dan arisan, misalnya saja dalam
selametan yang diadakan seseorang setelah melakukan ibadah haji. Melalui selametan
dan arisan terlihat bahwa rukun masih eksis sebagai nilai yang dipegang dalam kehidupan
orang Jawa.
Di sisi lain, bagi masyarakat Hindu Bali dikenal filosofi harmoni bernama Tri Hita
Karana. Apabila konsep rukun di Jawa menjelaskan pentingnya relasi harmoni di antara
masyarakat, filosofi Tri Hita Karana melihat harmoni sebagai dasar moral dari relasi di
antara Tuhan kepada manusia, antar sesama manusia, dan juga antara manusia dan alam
(Warren, 2007; Ramstedt, 2014). Bagi Sukarma (2016:88), Tri Hita Karana adalah sebuah
apresiasi dari Tuhan yang memberikan kemampuan untuk mengetahui dan mengerti
bahwa esensi kuasa pekerjaan Tuhan yang dapat membentuk kehidupan sosial dalam
masyarakat dan juga relasi dengan lingkungan. Karena Tri Hita Karana merupakan
sebuah dasar moral yang mengatur juga relasi dengan alam, oleh karena itu filosofi ini
dapat terlihat juga dalam pengaturan sistem irigasi tradisional bali yang dikenal dengan
8 Kontribusi berupa uang atau makanan yang diberikan tetangga atau keluarga besar dalam rangka mengganti keramah-tamahan yang diberikan oleh si penyelenggara hajatan
20
subak. Wisnu Wardana dan Putu Sudira (1999) membahas mengenai penerapan nilai Tri
Hita Karana dalam subak, mereka berargumentasi bahwa terdapat nilai Tri Hita Karana
dalam konstruksi, operasi, dan perawatan sistem subak di Bali. Semua ini dilakukan
masyarakat demi terciptanya harmoni.
Masuk ke dalam permasalahan sosial yang terjadi di kedua daerah, berdasarkan
FGD yang dilakukan di Purworejo dan Tabanan penyelesaian masalah dapat dicapai
sesuai dengan filosofi rukun dan Tri Hita Karana yang ada di dalam masyarakat. Di dalam
masyarakat desa di Kabupaten Purworejo dan Tabanan permasalahan selalu dicoba
diselesaikan terlebih dahulu dan apabila dipandang berat baru akan masuk ke pengadilan.
Hal ini disebabkan adanya perasaan di dalam masyarakat yang menganggap bahwa
kerukunan di dalam masyarakat harus diutamakan. Akan tetapi, perasaan wajib untuk
menjaga keseimbangan ini tidak hanya muncul pada saat ada masalah namun juga muncul
dalam suasana tenang. Misalnya dalam hal pengadaan selametan selain sebagai bentuk
ucapan syukur juga menjadi sarana untuk membalas kebaikan tetangga yang sebelumnya.
Di Tabanan dikenal kegiatan adat ngayah atau ayahan yang berarti sumbangan
tenaga kerja pada saat ada seseorang yang membutuhkan bantuan dalam
menyelenggarakan selametan. Bagi Warren (2007:175) ayahan merupakan jantung dari
hubungan di dalam masyarakat, di samping itu ayahan juga merupakan kewajiban yang
mengikat masyarakat dan merupakan perilaku baik dalam pengertian kebanyakan orang
Bali. Sama halnya dengan buwuh pada orang Jawa, ngayah mengikat rasa tanggung jawab
individu untuk membantu dikarenakan adanya sumbangan dalam bentuk tenaga kerja atau
ayahan yang menjadi pengikat antar mereka dalam suatu organisasi. Apabila seseorang
atau keluarga tidak mengikuti ngayah maka keluarga tersebut akan dikenakan denda atau
dalam bentuk yang lebih berat akan dikeluarkan dari organisasi adat yang ada di desa
tersebut. Hal lain yang mendukung terjaganya tradisi ngayah di suatu desa adalah
perasaan malu yang menghantui individu yang tidak mengindahkannya.
Kalau enggak ikut ngayah itu kena denda atau kalau sudah parah dikeluarkan
dari adat... (dendanya) gak (besar) sih tapi malunya itu loh... [D]endanya
berupa uang 50.000, uang kepeng, semen, pasir, bata/batako yang digunakan
untuk pembangunan fisik – wawancara, 6 Juni 2020
21
Di sisi lain, di Tabanan filosofi Tri Hita Karana bahkan muncul dalam upaya
pengelolaan sampah yang ada di desa. Sebelum adanya TPA, banyak keluarga mengelola
sampahnya sendiri dengan cara dibakar atau dikumpulkan di belakang rumah. Sebelum
sampah dibakar, biasanya mereka akan membuat lubang untuk menampung sampah. Hal
ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan alam. Beberapa keluarga bahkan memisahkan
sampah organik dan non-organik untuk kemudian dijadikan pupuk tanaman. Akan tetapi
seiring berjalannya waktu kesadaran masyarakat untuk menjaga keseimbangan
lingkungan menjadi kecil, banyak dari mereka yang hanya menumpuk sampah tanpa
dipisahkan terlebih dahulu. Meskipun belum banyak yang menyadari, nilai-nilai Tri Hita
Karana dalam menjaga keseimbangan lingkungan mulai kembali digaungkan oleh
beberapa orang yang berpengaruh di desa, di antaranya kepala desa dan penyuluh sosial
yang dipilih dari masyarakat. Pengelolaan sampah diupayakan dapat berjalan dengan
baik, bahkan sampai dikirimkan kepada bank sampah untuk mendapatkan hasil yang lebih
menguntungkan. Jalan ini diambil sebagai bentuk upaya menjaga keseimbangan di antara
masyarakat dan alam.
Apabila diperhatikan kembali, keberadaan aktor menjadi penting dalam menjaga
dan menjamin terwujudnya harmoni dalam masyarakat. Aktor-aktor dalam masyarakat
muncul sebagai mediator di antara perbedaan pendapat dan keinginan masyarakat,
terlebih sebagai penjaga filosofi atau nilai yang ada di dalam masyarakat, seperti
keberadaan kepala desa, orang-orang yang dituakan serta tokoh lain yang berpengaruh di
dalam masyarakat. Tulisan Patrojani dan Affif (2018) melihat keberadaan aktor di dalam
kekerabatan sebagai pranata sosial di Sumatera Barat dapat mempengaruhi proyek
pembangunan irigasi di Sumatera Barat. Di dalam tulisannya Patrojani dan Affif melihat
agency pada aktor di dalam kekerabatan setempat memiliki kemampuan untuk
menghimpun dukungan dan melakukan protes terhadap kebijakan pembangunan irigasi.
Kemunculan aktor dalam menjaga harmoni di masyarakat juga muncul di Purworejo
dan Tabanan, dalam bentuk kepala kampung, pedanda atau pandita (Pendeta tinggi
Hindu Bali), orang-orang yang dituakan, kelihan adat atau banjar, tempek, pekaseh
subak, pemangku, sutri agung, dan tokoh-tokoh agama. Keberadaan mereka
mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan diambil di desa sebelum dapat
diimplementasikan. Aktor-aktor ini muncul bertujuan untuk menjaga keseimbangan dan
nilai yang sudah ada di dalam masyarakat, dalam hal ini adalah rukun dan Tri Hita
22
Karana. Hal ini sejalan dengan pendapat Sherry Ortner (2011) yang melihat aktor di
masyarakat dalam dua bentuk modalitas, yaitu agency as power dan agency as intention.
Para aktor di atas muncul bukan semata sebagai legitimasi kekuasaan tetapi untuk
menjaga nilai internal yang ada dalam budaya setempat, dalam hal ini adalah nilai rukun
dan Tri Hita Karana. Dalam tulisan ini, terlihat dalam pengakuan informan di Purworejo,
bahwa orang tua menjadi penting untuk kembali mengadakan selametan sebagai bentuk
pandangan baik yang harus dilakukan di dalam masyarakat. Kemudian keberadaan kepala
desa dan penyuluh sosial turut menjadi aktor penting dalam berkontribusi memberikan
edukasi untuk menjaga lingkungan sekaligus tetap menghidupi filosofi Tri Hita Karana.
SIMPULAN
Melalui tulisan ini penulis mendapati bahwa ketahanan sosial masyarakat dan
harmoni merupakan hal yang saling bersisian dan berhubungan timbal balik, terutama
dalam konteks masyarakat di Purworejo dan Tabanan. Harmoni terwujud di dalam
masyarakat melalui filosofi rukun dan Tri Hita Karana untuk menjaga ketahanan sosial
masyarakat. Hal ini terwujud di dalam relasi sosial dan interaksi bermasyarakat. Relasi di
antara masyarakat dapat terlaksana dengan baik melalui berbagai bentuk, salah satunya
keberadaan selametan dan ayahan. Melalui dua kegiatan tersebut masyarakat di
Purworejo dan Tabanan menunjukkan bahwa mereka masih menjaga sebuah kompromi
sosial di tengah dinamika kemajuan zaman. Hal lain yang tidak kalah penting ditunjukkan
oleh masyarakat Tabanan, yaitu menjaga harmoni dengan alam melalui kegiatan
pengolahan sampah. Dalam hal ini konsep Tri Hita Karana masih dipegang oleh
masyarakat Tabanan untuk menjaga keseimbangan harmoni dengan alam.
Sementara itu, tulisan di atas menunjukkan peran aktor tidak dapat diabaikan
dalam menjaga harmoni masyarakat. Para pemangku adat, tokoh, agama, dan orang yang
dituakan penting perannya untuk menjaga sekaligus meneruskan perilaku ini pada
generasi selanjutnya. Dengan dipertahankan dan dipromosikan terus menerus, filosofi
rukun dan Tri Hita Karana akan membentuk ikatan di antara masyarakat. Misalnya,
dengan tetap melakukan selametan walaupun sudah tidak tinggal di desanya lagi, serta
tetap mengikuti ayahan yang dilakukan di desa, atau menyebarkan edukasi mengenai
pengelolaan sampah yang baik agar alam tetap terjaga keseimbangannya. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa ketahanan sosial masyarakat dan harmoni tidak dapat
23
dipisahkan dan hal tersebut dapat terjaga berkat peran keberadaan aktor-aktor yang
menjaga filosofi tersebut di dalam masyarakat.
ACKNOWLEDGEMENT
Terima kasih kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial -
Kementerian Sosial RI, dimana para penulis telah dilibatkan dalam “Action Research
Desa Berketahanan Sosial Tahun 2019”. Bahwa ide dan gagasan artikel ini lahir dari
Action Research tersebut.
24
DAFTAR REFERENSI
Adamson, C. (2007). Gendered Anxieties: Islam, Women‟s Rights, and Moral Hierarchy
in Java. Anthropological Quarterly 80(1): 5–37
Asmamaw, M., Mereta S. T., & Ambelu A. (2019). Exploring households‟ resilience to
climate change-induced shocks using Climate Resilience Index in Dinki watershed,
central highlands of Ethiopia. PLoS ONE 14(7): e0219393. https://doi.
org/10.1371/journal.pone.0219393
Badan Pusat Statistik Kabupaten Purworejo. (2020). Kabupaten Purworejo dalam Angka
2019. Purworejo: CV Berguna.
Beatty, A. (1999). Varieties of Javanese Religion: An anthropological account. New
York: Cambridge University Press.
Boomgaard, P. 1(991). The Javanese village as a Cheshire cat: The Java debate against a
European and Latin American background dalam The Journal of Peasant Studies.
(18)2, 288-304, DOI: 10.1080/03066159108438453
Coser, L. A. (1956). The Functions of Social Conflicts. New York: Routledge.
Costa, M. M., Máñez, K. S., & Paragay, S. H. (2013). Climate Change: International Law
and Global Governance Book. Nomos Verlagsgesellschaft mbH
Hanisch, M. (2016). What is resilience? Ambiguities of Key Term. Federal Academy for Security Policy. Security Policy Working Paper No. 19
Hawkins, M. (1996). Is Rukun Dead? Ethnographic Interpretations of Social Change and
Javanese Culture dalam The Journal of Australian Anthropology. 7(3)
Henley, D. & Davidson, J. S. (2007). Introduction: radical conservatism – the protean
politics of adat dalam Jamie S. Davidson dan David Henley (eds). The revival of
tradition in Indonesian politics : the deployment of adat from colonialism to
indigenism. New York: Routledge.
Holling, C. S. (1973). Resilience and Stability of Ecological Systems dalam Annual
Review of Ecology and Systematics, 4. Pp. 1-23
Jay, R. R. (1969). Javanese Villagers: Social Relations in Rural Modjokuto. Cambridge:
Massachusetts Institute of Technology Press.
Johnson, C. (2009). Arresting development : the power of knowledge for social change.
New York: Routledge.
Kementerian Sosial. (2006). Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 12/HUK/2006 Tentang
Model Pemberdayaan Pranata Sosial Dalam Mewujudkan Masyarakat
Berketahanan Sosial, Jakarta: Kementerian Sosial.
25
Koentjaraningrat. (1985). Javanese Culture. Singapore: Oxford University Press.
Meadows, S., Miller, L., & Robson, S. (2015). Airman And Family Resilience. California:
RAND Corporation.
Newberry, J. ( 2013). Back Door Java: Negara, Rumah Tangga, dan Kampung di
Keluarga Jawa. Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor Indonesia.
Ortner, S. B. (2011). Specifying Agency The Comaroffs and Their Critics, Interventions,
3:1, 76-84, DOI: 10.1080/13698010020027038
Patrojani, P. D. & Surraya, A. (2018). Kekerabatan sebagai Pranata Sosial yang
Mempengaruhi Agency Perlawanan Masyarakat: Studi Kasus Protes Petani
terhadap Proyek Pembangunan Irigasi di Sumatra Barat dalam Antropologi
Indonesia. 39(2). Pp. 157-175
Purnamasari, D. E. (2015). Solidaritas Mekanik Komunitas Islam Dan Kristen Di Desa
Kamijoro Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo. FIS Vol. 42 No. 2 Desember
2015, hal. 161-176 http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/FIS
Rahnema, M. (1997). Towards post-development: searching for signposts, a new
language and new paradigms. Dalam : (M. Rahnema and V. Bawtree, eds) The Post-
Development Reader; Zed Books; London: pp. 377–404.
Ramstedt, M. (2014). Discordant temporalities in Bali's new village jurisdictions, The
Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, 46:1, 60-78, DOI:
10.1080/07329113.2014.893722
Scott, J. C. (1976). The Moral Economy of the Peasant; Rebellion and Subsistence in
Southeast Asia, New Haven, CT/London: Yale University Press.
Sukarma, I. W. (2016). Tri Hita Karana: Theoretical Basic of Moral Hindu dalam International Journal of Linguistics, Language, and Culture. 2(9). Pp. 84-96.
Suradi, dkk. (2019). Pembentukan Desa Berketahanan Sosial. Jakarta: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan, Penelitian, dan
Penyuluhan Sosial, Kementerian Sosial RI.
Suryanto. (2020). Bahan presentasi „Pembahasan Topik Penelitian Penguatan Ketahanan
Keluarga dan Masyarakat dalam Menghadapi Perubahan Lingkungan‟. Disajikan
dalam Seminar Daring Rancangan Penelitian Grand Desain Riset Topik Penelitian:
Penguatan Ketahanan Keluarga dan Masyarakat dalam Menghadapi Perubahan
Lingkungan. Kedeputian Bidang IPSK-LIPI, 22 Juli 2020
Wardana, W. & Sudira, P. (1999). Penerapan Tri Hita Karana dalam Perancangan,
Pembangunan, serta Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi Subak dalam
Agritech 19(2). Pp. 59-65.
26
Warren, C. (2007). Adat in Balinese discourse and practice: locating citizenship and the
commonweal dalam Jamie S. Davidson dan David Henley (eds). The revival of
tradition in Indonesian politics : the deployment of adat from colonialism to
indigenism. New York: Routledge.
Wolf, E. R. (1957). Closed Corporate Peasant Communities in Mesoamerica and Central
Java, Southwestern Journal of Anthropology, Vol.13, No.1
27
FRUIT PICKED TOUR AS A NEW SOCIAL-ECONOMIC HABITUS
FOR DUSUN KUNIRAN COMMUNITY, JEKEK NGANJUK
Muhammad Hudalinnas
(1), Ika Silviana
(2)
(1,2)Program Studi Sosiologi Agama, IAIN Kediri
The development of technology encourages humans to be more creative in responding
to the impacts resulting from modernity. Without leaving the values of locality, the
village community began to move by optimizing the existing potential. Through the
use of natural resources in the village, the community has begun to increase creativity
by choosing the tourism sector. The steps taken by the people of Kuniran Hamlet were
choosing fruit picking tours as an effort to improve socio-economic conditions. The
assessment of the people of Kuniran Hamlet, Jekek Village, Baron Nganjuk District
was carried out using a descriptive qualitative approach by borrowing the concept of
habitus from Piere Bourdieu. This research was conducted in October 2020 with 3
informants. The results of this study are that fruit picking tours are an initiation of the
community and are managed independently by the community with the support of
local stakeholders, by utilizing economic, social, cultural and symbolic capital to
produce joint efforts to reduce unemployment. and improving the economy of the
people with the new habitus of the people of Dusun Kuniran, which is to be more
optimistic about being a farmer and an increasing work ethic in order to support the
development of fruit picking tourism. The solidarity of the people of Kuniran Hamlet
has also increased for the sake of village development and community welfare
Keywords: village community, agro-tourism, habitus
Perkembangan teknologi mendorong manusia untuk menjadi lebih kreatif
dalam merespon dampak-dampak yang dihasilkan dari modernitas. Tanpa
meninggalkan nilai-nilai lokalitas masyarakat desa mulai bergerak dengan
mengoptimalkan potensi yang ada. Melalui pemanfaatan sumber daya alam yang ada
di desa, masyarakat mulai meningkatkan kreativitas dengan memilih sector wisata.
Langkah yang diambil oleh masyarakat Dusun Kuniran adalah memilih wisata petik
buah sebagai upaya meningkatkan kondisi sosial-ekonomi. Pengkajian masyarakat
Dusun Kuniran Desa Jekek Kecamatan Baron Nganjuk dilakukan dengan pendekatan
kualitatif desktiptif dengan meminjan konsep habitus dari Piere Bourdieu. penelitian
ini di lakukan pada bulan oktober 2020 dengan informan berjumlah 3 orang. Hasil
kajian ini adalah wisata petik buah merupakan inisiasi dari masyarakt dan dikelola
masyarat secara mandiri dengan dukungan stakeholder setempat, dengan
memanfaatkan modal ekonimi, sosial, budaya dan simbolik menghasilkan usaha
bersama untuk mengurangi pengangguran dan meningkatkan perekonomian
masyarakat. terbangauannya habitus baru masyarakak Dusun Kuniran, yaitu lebih
optimis berprofesi sebagai petani dan etos kerja semakin meningkat demi mendukung
berkembangnya wisata petik buah. Solidaritas masyarakat Dusun Kuniran juga
semakin meningkat demi terciptanya pembangunan desa dan kesejahteraan
masyarakat.
Kata Kunci: komunitas desa, agrowisata, habitus
28
PENDAHULUAN
Pariwisata merupakan kegiatan yang bertujuan menyajikan jasa pariwisata,
menyediakan daya tarik wisata, usaha sarana pariwisata dan usaha lain terkait bidang
pariwisata (Junaedi, 2012). Pariwisata merupakan industri besar yang berkembang pesat
di bumi pertiwi sebab di dukung oleh daya tarik masyarakat dan wisata yang bersifat
alami maupun buatan. Indonesia memiliki banyak potensi wisata seperti alam yang indah,
hutan, gunung, laut, sungai, sawah, pantai dan lain sebagainya, serta kaya akan
kebudayaanya yang masih di lestarikan hingga kini.
Kemashuran Indonesia sebagai negara gemah ripah loh jinawi menjadi hal yang
diyakini masyarakatnya. Tanah yang subur menjadi salah satu sumber penghidupan
masyarakat Indonesia. Apapun yang di tanam akan tumbuh, seperti menanam padi,
jagung, sayuran, buah-buahan dan lain sebagainya. Hal ini di manfaatkan oleh masyarakat
terutama yang berprofesi sebagai petani. Pola perekonomian yang terjadi di desa masih
di dominasi oleh sektor pertanian atau perkebunan hal ini di sebabkan salah satunya oleh
potensi yang ada dan mampu mendorong berkembangnya komoditas tersebut. Khusus
pada buah-buahan ini termasuk salah satu komoditi yang sangat di minati oleh masyarakat
pada umunya. Tidak hanya dalam menghasilkan produk buah yang berkualitas untuk
dijual, tetapi juga berkembang menjadi suatu ide pariwisata. Bentuk pariwisata yang
menjadikan buah sebagai komoditas utama sering disebut dengan agrowisata, bentuk ini
sudah banyak digalakkan di berbagai kota di Indonesia.
Agrowisata adalah suatu kegiatan masyarakat khususnya kalangan petani yang
bertujuan sebagai daya tarik wisata yang di dalamnya juga melibatkan masyarakat sekitar
untuk menjaga dan mengelola agrowisata tersebut (Bimbi, dkk., 2017). Agrowisata
merupakan usaha di sektor pertanian yang di kelola langsung oleh petani bertujuan
sebagai sarana pembelajaran, serta sebagai sarana wisata atau liburan. Agrowisata ini
menjadi salah satu model wisata yang cukup menarik untuk di kunjungi, karena
pengunjung dapat mengenal keragaman hayati yang ada. Salah satu komoditas hayati
disini adalah wisata petik buah dimana wisata ini memiliki daya tarik tersendiri untuk di
datangi, karena di dalamnya dapat mengenal beragam buah dan langsung bisa
memetiknya untuk di nikmati.
Agrowisata ini menjadi salah satu alternatif yang digunakan untuk mengangkat
desa agar lebih berdaya. Biasanya agriwisata terletak di pedesaan, dan disebut sebagai
29
desa wisata. Desa wisata merupakan salah satu daya tarik pariwisata yang sekarang mulai
di kumandangkan oleh pemerintah pusat maupun daerah guna untuk meningkatkan
perekonomian masyarakat sekitar. Kekayaan alam yang di miliki desa serta kebudayaan
yang masih terjaga adalah sebuah potensi yang sangat besar dan mendukung dalam
mengembangkan desa wisata. Hal tersebut dikuatkan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, pada BAB III yang berisi
tentang Prinsip Penyelenggaraan Pariwisata disebutkan pada Pasal 5c, bahwa pariwisata
seyogyanya mampu untuk “Memberikan manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan,
kesejahteraan, dan proporsionalitas”. Serta pada Pasal 5d juga dipaparkan bahwa
“Penyelenggaraan pariwisata juga harus memelihara kelestarian alam dan lingkungan
hidup” dan 5e “Memberdayakan masyarakat setempat”.
Keberadaan agrowisata tentunya tidak terlepas dari partisipasi dan peran
masyarakat sekitar. Masyarakat disini memiliki posisi sentral dalam tata pengelolaan
wisata agro tersebut, dikarenakan lahirnya wisata tersebut tidak terlepas dari ide-ide
masyarakat itu sendiri dan masyarakat selalu ikut andil di dalam pengelolaan agrowisata.
Keterlibatan masyarakat secara bersama-sama merupakan upaya untuk mencapai tujuan
bersama. Dengan adanya agrowisata petik buah secara perlahan tidak langsung terdapat
dua peningkatan terhadap masyarakat desa sekitar agrowisata tersebut, yaitu peningkatan
secara sosial dan ekonomi. Dari segi sosialnya adalah masyarakat daerah tempat wisata
tersebut secara tidak langsung meningkatkan rasa solidaritas seperti bergotong royong,
guna menjaga dan merawat wisata yang menjadi ikon di desa. Dari segi ekomoni
pembangunan kawasan agrowisata tersebut sedikit banyak membantu menuntaskan
kemiskinan dan mengangkat kesejahteraan masyarakat sekitar desa wisata tersebut.
Penelitian terkait partisipasi masyarakat dalam mebangun agrowisata sudah banyak
dilakukan. Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Bimbi, Agung Suprojo,
Roro Merrychornelia W (2017) dengan judul “Pengaruh wisata petik jambu (Agrowisata)
terhadap pemberdayaan dan perubahan sosial masyarakat di Desa Bumiaji Kecamatan
Bumiaji Kota Batu” penelitian ini menunjukkan bahwa Desa Bumiaji memiliki potensi
alam yang baik, sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk meningkatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta menciptakan lapangan pekerjaan baru. Sebagai upaya
mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan perekonomian daerah tersebut. Penelitian
“Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Agrowisata dan Dampaknya Terhadap
30
Sosial Ekonomi Masyarakat: Studi Kasus pada Agrowisata Kampung Flory, Sleman,
Yogyakarta” dilakukan oleh Zaqiah Ramdani dan Tuti Karyani (2020) juga melihat dari
sisi dampak sosial ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat Kampung Flory diantaranya
dapat bekerjasama antar sesama warga dengan bergotong royong, dapat meningkatkan
wawasan dan ilmu pengetahuan, mampu meningkatkan pendapatan, dan mampu
menciptakan lapangan kerja sehingga mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Penelitian lain melihat dari sisi partisipasi masyarakat dan pola
pengorganisasiannya, yaitu penelitian yang dilakukan oleh I Made Cahya Baskara, dkk.
(2017). “Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Potensi Pariwisata Subak Sukawayah
Ubud” menjelaskan bahwa partisipasi krama subak dalam pengelolaan potensi Subak
Sukawayah ditelaah melalui empat tahapan partisipasi yaitu, partisipasi dalam
perencanaan pengembangan, pelaksanaan, pengambilan manfaat, dan evaluasi
pengembangan. Dengan melakukan pengelolaan atas potensi dan kedala yang dihadapi
dengan menggunakan teori AGIL dari Tallcot Parsons memahami fungsi
keberlangsungan Subak Sukawayah sebagai suatu organisasi sosial tradisional ditengah
tantangan perkembangan pariwisata. Penelitian lainnya adalah “Keterlibatan Masyarakat
Dalam Pengelolaan Agrowisata Di Desa Tulungrejo, Kota Batu” yang dilakukan oleh
Bella Chintya Melatia dan Nararya Narottamaa (2020) juga melihat partisipasi
masyarakat, bahwa sebagian besar masyarakat petani di Desa Tulungrejo telah
berpartisipasi secara aktif dalam usaha pengelolaan agrowisata petik apel Top Apel
Mandiri tersebut. Pada proses pengorganisasian dan penggerakan masyarakat petani telah
berpartisipasi secara spontan sedangkan pada proses perencanaan dan pengawasan
masyarakat petani telah berpartisipasi secara terdorong. Sedangkan dampak dari usaha
agrowisata ini banyak yang positif meskipun ada beberapa dampak negatifnya baik secara
ekonomi maupun sosial.
Beberapa kesamaan dengan penelitian terdahulu terkait fokus partisipasai
masyarakat, pengorganisasian kelompok dan juga konteks wisata. Sisi yang berbeda dari
penelitian ini adalah melihat habitus yang terbentuk dalam ruang agrowisata.penelitian
kali ini peneliti Memfokuskan pada peran dan partisipasi masyarakat lokal dalam
peningkatan perekonomian desa dengan cara berkolaborasi bersama stakeholder desa.
Berlandaskan pada potensi yang ada di dusun Kuniran yakni potensi lahan yang cukup
dan keahlian masyarakat dalam bertani, terutama menanam sayuran, buah-buahan dan
31
lain-lain. Hasil dari pembahasan peneliti harapannya dapat di jadikaan sebagai bahan
referensi dan rujukan ketika Agrowisata Petik Buah yang ada di dusun Kuniran tersebut
akan melakukan pengembangan guna untuk menciptakan strategi pengelolaan wisata
yang saat ini bersifat sangat dinamis.
METODE
Penelitian yang berlokasi di Dusun Kuniran Desa Jekek Kecamatan Baron
Kabupaten Nganjuk ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif yaitu
cara yang dapat menghasilkan data deskrptif analisis, dengan memahami data yang
berupa tulisan atau lainnya secara nyata, kemudian di teliti dan di pelajari secara utuh.
Fokus pada penelitian kualitatif adalah gejala yang bersifat holistik (menyeluruh, tidak
dapat di pisah-pisahkan).penelitian ini memfokuskan pada partisipasi masyarakat lokal
dalam peningkatan ekonomi desa. Metode yang digunakan mencoba melihat fenomena
pembetukan habitus sosial-ekonomi masyarakat melalui aktivitas di agrowisata.
Penelitian ini terfokus pada pengamatan dan di analisa secara cermat hingga tuntas
(Sugiono, 2008). Sedangkan sumber data penelitian meliputi data primer dan sekunder,
Data primer di peroleh dengan melakukan wawancara dan pengamatan guna untuk
menggali data fisik, sosial ekonomi yang di dapatkan dari informan, sedangkan data
sekunder adalah suatu data pendukung yang meliputi biografi desa, jurnal wisata desa dan
badan pusat statistik. Informasn pada penelitian ini berjumlah 3 orang yaitu bapak
johanudin selaku kepala desa, bapak ahmad mujianto selaku kerua bumdes dan bapak
agus selaku ketua agro tersebut. Validasi/keabsahan data dalam penelitian menggunakan
trigulasi metode dan sumber data dari paparan yang di dapat dari wawancara dan
pengamatan informan dan penarikan kesimpalan dari data tersebut.
HASIL DAN DISKUSI
a. Dusun Kuniran dan Potensinya
Kawasan dusun Kuniran dan sekitarnya memang terkenal sebagai dusun
pertanian dikarenakan mayoritas penduduk berprofesi sebagai petani. Bertani sudah
menjadi kegitan turun temurun dari nenek moyang mereka. Komoditas yang
menonjol dari daerah ini adalah sayur dan buah. Didukung dengan lokasinya yang
dekat dengan pasar yaitu pasar Sambi Kenceng, memudahkan masyarakat dalam
32
mendistribusikan hasil panen. Pada prinsipnya, wisata agro atau agrowisata
merupakan kegiatan industri yang mengharapkan kedatangan konsumen secara
langsung di daerah wisata yang mempunyai keaslian, keunikan kenyamanan dan
keindahan alam. Wisata agro sendiri adalah usaha petani yang di olah sedemikian
rupa dan di perkenalkan dalam bentuk wisata dimana wisatawan dapat melihat
semjua proses yang ada di dalamya. Keberadaan wisata agro sendiri secara langsung
maupun tidak langsung berdampak pada kehidupan sosial ekonomi daerah tersebut.
Seperti yang terjadi di dusun Kuniran, kegiatan agrowisata berdampak positif pada
peningakatan sosial, ekonomi, pengetahuan dan gaya hidup.
Keragaman sumber daya alam pertanian holtikultura di kawasan Dusun
Kuniran dapat di jadikan sebagai kawasan objek wisata agro seperti wisata buah atau
wisata sayuran. Namun kawasan agrowisata Dusun Kuniran lebih mengkhususkan
pada wisata buah yaitu buah pepaya dan buah naga. Dusun Kuniran telah cukup lama
membudidayakan buah pepaya. Hal ini didukung kondisi tanah di dusun Kuniran
memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan berbagai jenis tanaman.
Terutama dalam membudidayakan tanaman yang tumbuh di udara yang sejuk.
Seiring perkembangan zaman dan peningkatan pengetahuan masyarakat petani di
dusun Kuniran, kreativitas masyarakat berimplikasi pada meningkatnya kehidupan
sosial dan ekonomi masyarakat. Kegiatan perkebunan pepaya dan buah naga di dusun
Kuniran mulai di tata sebagai komoditas agrowisata. Pada awal pembukaan objek
wisata petik buah, yaitu buah pepaya, pengunjung dapat melihat proses perawatan
buah dan dapat memetik sendiri sebagai sebuah pengalaman bagi wisatawan.
Uniknya tanaman pepaya yang di tanam memiki jenis pohon yang pendek dan
berbuah lebat. Selain itu pengunjung juga dapat menikmati wahana bermain untuk
anak kecil dan kolam renang, harga tiket masuk sendiri tergolong sangat murah yaitu
tiket masuk ke agrowisata hanya di kenai biaya 3.000 rupiah sedangkan untuk ke
kolam renang hanya di kenai biaya 5.000 rupiah.
Masyarakat dusun Kuniran memiliki partisipasi aktif dalam seluruh proses
yang di lakukan untuk menjadikan desa wisata tersebut. Berlandaskan latar belakang
profesi yang kebanyakan sebagai petani, tentunya hal ini sangat membantu dalam
proses pengelolaan agrowisata. Menurut Ahmad Mujiono sebagai penanggung
jawab dari badan usaha milik desa, wisata agro petik buah pepaya ini merupakan
33
potensi wisata milik desa yang di kembangkan oleh warga desa sendiri. Kebun milik
desa sebagai pengembangan wisata desa memiliki luas 1 hektar. Buah pepaya yang
ditanam adalah jenis kalifornia dimana keunggulan dari jenis ini adalah buahnya
yang manis dan cepat proses berbuahnya. Pepaya jenis kalifornia ini dijual seharga
4.000 rupiah perkilogramnya.
Dengan adanya agrowisata tersebut kondisi sosial ekonomi masyarakat dusun
Kuniran mengalami peningkatan. Perkembangan ini ditandai dengan ditetapkannya
Dusun Kuniran sebagai kawasan agrowisata. Banyaknya kios-kios yang berada di
area wisata itu juga menunjukkan bahwa perekonomian masyarakat sekitar mulai
naik. Para generasi muda turut memajukan kepariwisataan desa di antaranya dengan
cara sistem pengelolan agrowisata sepenuhnya dipegang oleh para pemuda dusun
Kuniran. Saat ini masyarakat desa lebih memfokuskan dengan kegiatan pertanian
guna menjadikan dusun Kuniran sebagai produsen aneka sumber daya hayati, dengan
adanya agrowisata tersebut di harapkan dapat mengurangi tingkat Penganguran
masyarakatnya. Hal ini dapat mendorong warga yang masih menganggur untuk
bertani sehingga dapat mengurangi resiko penggganguran.
Hasil wawancara dengan bapak Johanudin selaku Kepala Desa, menjelaskan
bahwa adanya wisata desa tersebut muncul dari pemikiran warga desa itu sendiri dan
di pelopori oleh bapak Agus selaku ketua agro dan bapak Ahmad Mujiono selaku
ketua BUMDES. Hal ini muncul dikarenakan desa tersebut terkenal sebagi desa yang
mayoritas warganya berprofesi sebagai petani, khususnya petani buah dan sayuran,
serta kawasan tersebut memiliki lahan yang cukup untuk dibuat wisata. Bapak
Ahmad Mujiono juga menegaskan bahwa wisata tersebut selain dikelola oleh
masyarakat itu sendiri yaitu para pemuda dusun yang menamainya dengan Pemkab
(Pemuda Kuniran Bersatu ) para pemuda ini yang mengelola wisata tersebut mulai
dari perawatan, penjagaan tempat parkir dan loket masuk. Selanjutnya adalah
Pokwan (Kelompok Wanita) pokwan ini adalah orang-orang yang berjualan di kios-
kios area wisata di karenakan Pokwan ini yang ikut membantu pembuatan agrowisata
mulai dari nol sampai sekarang. Untuk kios setiap bulan di kenai biaya 100.000 ribu
untuk dana kebersihan dan listrik. Hasil dari agrowisata tersebut akan di bagi yaitu
40% untuk upah Pemkab (Pemuda Kuniran Bersatu) dan 60% masuk ke agrowisata,
selain itu pihak BUMDES juga ikut campur tangan didalam nya.
34
Adanya wisata tersebut menunjukkan peningkatan sosial ekonomi dari
masyarakat sekitar wisata. Dibidang sosial peningkatan yang dialami warga cukup
mempengaruhi pola hidup masyarakat tersebut, sehingga warga sekitar desa wisata
memiliki sebuah ikatan sosial dimana ikatan tersebut memiliki fungsi untuk
mempererat tali persaudaraan dan rasa goyong royong guna menjaga dan memelihara
desa wisata tersebut. Kemudian dari segi ekonomi masyarakat yang pengangguran
sekarang dengan adanya wisata tersebut masyarakat memiliki pekerjaan. Bagi warga,
khususnya petani merasakan adanya pengaruh yang cukup kuat atas keberadaan
agrowisata terhadap tingkat perekonomian dan etos kerja warga. Sekarang
masyarakat lebih tekun dalam bertani dan cita-cita masyarakat adalah menjadikan
dusun kuniran sebagai produsen sumber daya hayati khususnya buah dan sayuran,
pendapatan hasil dari wisata tersebut di gunakan untuk mengelola agrowisata.
b. Habitus Masyarakat Dusun Kuniran
Masyarakat dusun Kuniran menunjukkan adanya potensi seperti yang
disebutkan Bourdieu sebagai sumber daya yakni berupa struktur mental (kognitif)
yang digunakan aktor (individu atau kelompok) untuk menghadapi kehidupaan
sosial. Jenkins mengatakan bahwa habitus diperoleh atau terbentuk melalui proses
yang panjang, tergantung pada tempat di mana aktor itu tinggal. Awalnya Dusun
Kuniran sudah memiliki kebiasaan untuk bertani karena pada dasarnya lahan yang
luas serta keadaan alam yang mendukung untuk di lakukannya kegiatan bertani
(mengutip dari pernyataan kepala desa). Hal ini sangatlah memberi keuntungan bagi
masyarakat Dusun Kuniran untuk meneruskan budaya yang telah lama di lakukan
oleh nenek moyangnya. Seiring berjalannya waktu dan juga kondisi sosial di sekitar
Dusun Kuniran yang mayoritas bertani ini juga disana banyak yang menjadi
pedagang di pasar untuk mendistribusikan hasil pertanian yang ada di Dusun
Kuniran. Diuntungkan juga dengan jarak Dusun Kuniran yang berdekatan dengan
pasar Sambi Kenceng, sebagai tempat pemasaran.
Proses adanya agrowisata di dusun Kuniran tidak begitu saja terbentuk oleh
waktu, melainkan keadaan sosial yang semakin lama kian berubah dan juga
komoditas masyarakat yang semakin meningkat. Seperti yang dilihat oleh Bourdieu
bahwa habitus sebagai faktor penting yang berkontribusi untuk reproduksi sosial,
karena merupakan pusat untuk menghasilkan dan mengatur praktik yang membentuk
35
kehidupan sosial. Menurut hasil wawancara, Masyarakat Dusun Kuniran telah
memiliki konsep reproduksi yang maju dalam mengembangkan serta meningkatkan
perekonomian dengan cara membuat Agrowisata yang ada di Dusun dengan
bermodalkan keahlian dalam bertani serta mendistribusikannya pada konsumen,
maka dari itu masyarakat berinisiatif membuat hal tersebut dengan menggandeng
stakkeholder sebagai agen pendukung jalannya program tersebut.
c. Pengelolaan Modal Masyarakat Dusun Kuniran
Perkembangan masyarakat Dusun Kuniran tidak lepas dari kejeliannya dalam
mengelola modal yang dimiliki. Modal disini mengacu pada pemikiran Bourdieu
yang membedakan modal menjadi empat, yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal
budaya dan modal simbolik. Modal-modal inilah yang dikelola oleh masyarakat
dusun Kuniran.
1) Modal Ekonomi
Bourdieu menyebutkan bahwa modal ekonomi sebagai modal material,
yang bernilai ekonomi. Seperti halnya pembahasan yang ada di atas, Desa
Kuniran memiliki luas lahan sekitar 1 hektar, yang mana ukuran luas tersebut
sudah masuk dalam terkategori dusun yang luas. Modal ini cukup untuk di
jadikan pertanian sebagai sarana produksi ekonomi masyarakat, dan juga
agrowisata sebagai program pendukung dalam meningkatkan ekonomi
masyarakat. Hal tersebut tentunya tidak hanya lahan yang luas saja tetapi
keahlian serta kreatifitas masyarakat yang terbukti dapat menghasilkan nilai-
nilai ekonomi, yang tentunya juga di dukung dengan modal-modal yang lain
untuk menselaraskan perputaran roda ekonomi masyarakat Dusun Kuniran.
2) Modal Sosial
Untuk mencapai peningkatan ekonomi di perlukan jaringan relasi yang
mendukung. Modal sosial merupakan potensi untuk menciptakan suasana yang
harmonis dan tercapai tujuan masyarakat. Pada masyarakat Dusun Kuniran
terdapat beberapa unsur yang dapat membantu berkembangnya agrowisata yang
sedang dalam proses pengerjaan ini yakni berupa relasi masyarakat, norma,
partisipasi proaktif dan juga gotong royong masyarakat.
Dalam sebuah pengembangan agrowisata tentunya harus melibatkan
penuh partisipasi proaktif dalam masyarakat tentunya dengan cara tradisi gotong
36
royong yang mana hal tersebut sangatlah mempermudah kegiatan itu cepat untuk
di selesaikan. Selain itu, kerjasama yang seperti itu sangatlah berdampak baik
untuk mental sosial yang ada di masyarakat Dusun Kuniran. Terjadinya
hubungan timbal balik yang baik antar masyarakat akan terlihat ketika suatu hari
salah satu tetangga (masayarakat) memiliki hajatan dsb. yakni sikap partisipasi
masyarakat yang tanpa di suruh pun sudah andil dalam hajatan yang di lakukan.
Hubungan baik ini sangatlah menguntungkan untuk masyarakat di Dusun
Kuniran, terutama dalam sikap guyub dalam pengerjaan program agrowisata.
3) Modal Budaya
Bourdieu memberi pandangan bahwa modal budaya merupakan
keseluruhan kualifikasi intelektual yang di peroleh secara formal maupun dari
hasil warisan keluarga. Modal budaya masyarakat Dusun Kuniran yang di
dapatkan dari pendidikan. Diantaranya adalah pengetahuan yang mana
pengetahuan ini berguna untuk mengasah kemampuan serta menerapkan hal
yang di nilai dapat berorientasi pada pengembangan masyarakat dan juga
meningkatkan kemampuan dalam berfikir individu guna menghasilkan suatu
pengalaman baik pada individu dan juga masyarakat. Pendidikan dan juga
pengalaman akan sangat membantu individu dalam berkontribusi untuk
pengembangan progam dan juga hal-hal apa saja yang menjadi cita-cita untuk
kedepannya baik itu untuk masyarakat Dusun Kuniran maupun perorangan,
pendidikan di masyarakat dusun kuniran sendiri tergolong menengah ke bawah
hal ini mengacu pada pernyataan bapak agus selaku ketua agro bahwasanya
kebanyakan masyarakat dusun kuniran menikah dini dari pada meneruskan
pendidikan. terutama bagi kaum perempuan, hal ini di sebabkan oleh beberapa
faktor salah satunya ekonomi.
4) Modal Simbolik
Modal simbolik dari masyarakat Dusun Kuniran tidak terlepas dari
kebiasaannya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari mereka seperti bertani,
berdagang, gotong royong dan bersekolah. Dalam bertani, masayarakat Dusun
Kuniran memiliki simbol yakni berupa lahan dan juga garapan sawah. Kemudian
dengan berdagang masyarakat Dusun Kuniran memiliki simbol yang berupa
stand berdagang di pasar yang bertempat di sebelah Dusun Kuniran yakni pasar
37
Sambi Kenceng. Kemudian dengan sekolah sebagai agen ilmu pengetahuan di
Dusun Kuniran yang memiliki simbol bangunan yang megah di titik strategis
Dusun Kuniran. Selain symbol-simbol fisik tersebut, masyarakat dusun Kuniran
juga memiliki modal bahasa, yaitu bahasa jawa yang merekatkan mereka dalam
kesamaan sejarah dalam memelihara nilai-nilai luhur. Bahasa ini juga memiliki
kontribusi dalam melancarkan pola pengelolaan agrowisata di Dusun Kuniran.
d. Agrowisata sebagai Ranah Praktik
Ranah (field) merupakan tempat untuk persaingan dan perjuangan.
Pembahasan dalam hal meningkatkan sektor ekonomi ini di bagi menjadi dua
pertama persaingan. Untuk meraih keuntungan yang banyak, masyarakat yang
memiliki keahlian dalam berdagang harus turut berpartisispasi aktif dalam berinovasi
dalam agrowisata. Agar nantinya dengan adanya pasar sebagai distributor buah-
buahan tidak menjadi faktor penghambat penghasilan yang ada di agrowisata petik
buah yang tengah di bangun dan di kembangkan mayarakat Dusun Kuniran
Kemudian yang kedua, masyarakat yang memiliki basik berdagang serta
bertani harus mengoptimalkan skill dalam membangun sebuah wisata di tengah-
tengah dusun, di mana lokasi agrowitasa katakan kurang memiliki pamor di mata
masyarakat luas. Artinya, masyarakat Dusun Kuniran harus bersama-sama belajar
tentang hal-hal apa saja yang menjadi daya tarik utama adanya sebuah wisata di Desa
dan juga bagaimana orientasi untuk kedepan program-prgram yang di rencanakan
untuk mengembangkan agrowisata petik buah agar lebih berdaya saing nantinya.
Karena pada dasarnya sifat dari wisata saat ini sangatlah dinamis.
Praktik dari habitus ditunjukkan melalui rumus yang tunjukkan oleh Bourdieu,
melalui rumus (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Dengan kata lain, habitus yang
membawa modal untuk bersaing dalam sebuah ranah adalah praktik. Masyarakat
dusun kuniran memiliki potensi baik dari individu maupun dari sumber daya alamnya
sendiri. Hal ini juga didasari dengan kebiasan masyarakat yang suka bertani karena
pada dasarnya terdapat lahan yang luas serta di dukung dengan keadaan alam yang
sangat mendukung. Hal tersebut sangat menguntungkan untuk melakukan kegiatan
bertani bagi masyarakat Dusun Kuniran, juga dalam mempertahankan dan
meneruskan warisan budaya nenek moyang mereka sebelumya yang juga berprofesi
sebagai petani. Seiring berkembangnya zaman kondisi sosial masyarakat mengalami
38
perubahan yaitu yang semula hanya sebagai petani sekarang juga ada yang berprofesi
sebagai pedagang hal ini di latar belakangi karna letak dusun kuniran berdampingan
dengan pasar Sambi Kenceng.
Landasan sejarah dan didukung oleh modal masyarakat Dusun Kuniran yaitu
modal Ekomoni, sosial, budaya dan simbolik sebagai pendorong masyarakat
setempat untuk bersifat inovatif dan progresif dalam mengelola agrowisata petik
buah yang di nilai dapat memberikan dampak baik secara ekonomi maupun sosial
bagi masyarakat itu sendiri. Memanfaatkan lahan dan semangat gotong royong serta
sifat proaktif masyarakat dusun Kuniran bersama stakeholder desa membentuk
sebuah terobosan atau strategi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Dusun
Kuniran itu sendiri. Ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Sherli Yolanda
dan Herman Felani (2020), wujud partisipasi ideal dimana melakukan perencanaan
dari awal bottom up yang melibatkan masyarakat setempat dalam proses perencanaan
dan pembangunan, bentuk partisipasi tersebut juga tampak dari adanya keinginan
masyarakat serta antusias untuk membangun mengembangkan Desa Segajih menjadi
Desa Wisata live in & education. meningkatkan perekonomian masyarakat sekaligus
juga untuk meningkatkan potensi desa wisata tersebut.
Peningkatkan perekonomian desa salah satunya diinisiasi dengan adanya
pengembangan wisata, sekarang Dusun Kuniran sudah berubah menjadi desa wisata.
Kesadaran yang terbangun antara masyarakat Dusun Kuniran dan stakeholder desa
perlu untuk terus dipupuk dan ditularkan. Demi semangat meningkatkan kemampuan
dalam pengelolaan agrowisata. Hal ini sebagai wujud dari cara masyarakat untuk
meningkatkan usaha bersama meningkatkan taraf hidup masyarakat. Ranah
agrowisata petik buah Dusun Kuniran adalah sebagai salah satu tempat hubungan
relasoinal. Masyarakat dalam melakukan satu kerja sama dengan berbagai pihak-
pihak terkait dan cara agar terwujudnya taraf hidup yang lebih baik. Melalui cara
bekerja sama dengan berbagai pihak pemerintah mulai dari pihak desa, kecamatan
hingga kabupaten. Dengan adanya kerjasama tersebut di harapkan agar dapat
menjalin kerja sama yang saling menguntungkan. Masyarakat harus terus berusaha
menggali dan memanfaatkan kebiasaan positif (habitus) dan modal yang dimiliki
masyarakat Dusun Kuniran sebagai bentuk kemandirian.
39
SIMPULAN
Keragaman sumber daya alam pertanian holtikultura di kawasan Dusun Kuniran
dapat di jadikan komoditas agrowisata dengan produk buah dan syuran. Dusun Kuniran
lebih mengkhususkan wisata petik buah yaitu buah pepaya. Dari hasil penelitian terdapat
beberapa poin penting. Pertama, Partisispasi aktif masyarakat sebagai motor yang
menggerakkan keberhasilan argowisata. Gerakan dilakukan dari bawah ke atas, dan
mendapatkan respon positif dari stakeholder desa. Kedua, dengan memanfaatkan modal
ekonomi berupa lahan yang luas; modal sosial berupa nilai solidaritas masyarat yang
tinggi; nilai budaya berupa pengetahuan masyarat dalam pengelolaan argowisata; serta
modal simbolik berupa pasar, sekolah, sawah, dan juga bahasa jawa yang baik; modal-
modal tersebut menjadi bekal mayarakat dalam upaya menciptakan wisata petik bauh,
sebagai upaya mengurangi pengangguran dengan tercitanya lapangan kerja baru dan
meningkatkan perekonomian masyarakat. Ketiga, habitus yang terbentuk melalui modal-
modal tersebut menjadi pola hidup baru bagi masyarakak Dusun Kuniran, yakni lebih
optimis dengan profesinya sebagai petani dan etos kerja semakin meningkat karena
mendukung berkembangnya wisata petik buah yang sudah dirintis. Di sisi lain masyarakat
Dusun Kuniran lebih solid dalam menciptakan pembangunan di desanya.
40
DAFTAR REFERENSI
Baskara, I Made Cahya, dkk. (2017). Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Potensi Pariwisata Subak Sukawayah Ubud. ojs.unud.ac.id
Bimbi, Agung Suprojo, Roro Merry Chornelia W (2017) “Pengaruh Wisata Petik Buah
Jambu (Agrowisata) terhadap Pemberdayaan Sosial Masyarakat di Desa Bumiaji
kecamatan Bumiaji Kota Batu” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik vol. 6. No 2
Haryatmoko. (2003). Landasan Teoretis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu. BASIS
Nomor 11-12, Tahun Ke-52, November-Desember.
Hasbullah, Jousairi. (2006). Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). Jakarta: MR-United Press.
Jenkins, Richard. (2004). MembacaPikiran Pierre Bourdieu, Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Melatia, Bella Chintya dan Narottamaa, Nararya. (2020). Keterlibatan Masyarakat Dalam
Pengelolaan Agrowisata Di Desa Tulungrejo, Kota Batu. Jurnal Destinasi
Pariwisata 8(1):82 DOI: 10.24843/JDEPAR.2020.v08.i01.p11
Mutahir, Arizal. (2011). Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu; Sebuah Gerakan untuk
Melawan Dominasi, Yogyakarta: Kreasi Wacana
Ramdani, Zaqiah dan Karyani, Tuti. (2020). Partisipasi Masyarakat Dalam Pengembangan Agrowisata Dan Dampaknya Terhadap Sosial Ekonomi
Masyarakat (Studi Kasus pada Agrowisata Kampung Flory, Sleman, Yogyakarta).
MIMBAR AGRIBISNIS: Jurnal Pemikiran Masyarakat Ilmiah Berwawasan
Agribisnis 6(2): 675-689
Sugiono. (2008). Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung:
Alfabeta, hal 205-214
Triyono dan Djohan, Eniarti B.. (2015). Pengembangan Wisata Agro: Peluang Kerja
Masyarakat Di Kawasan Poncokusumo Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur.
Jurnal Kependudukan Indonesia 10(1): 43-52
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.
https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2009/10TAHUN2009UU.HTM
Yolanda, Sherli dan Felani, Herman. (2020). Partisipasi Masyarakat Dalam
Pengembangan Dan Peningkatan Kunjungan Wisatawan Di Desa Wisata Segajih Live In
& Education, Kulon Progo, Yogyakarta. Naskah Piblikasi Program Studi Ilmu
Komunikasi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
41
.
HUBUNGAN EMOTIONAL COPING BEHAVIOR DENGAN
AGRESIVITAS SUPORTER SEPAK BOLA BONEK MANIA
Abdulloh Alba Syaiba
Jurusan Psikologi Universitas Brawijaya
Abstract
The study would like to see the relationship of emotional coping behavior with the
aggressiveness of bonek mania soccer supporters. This research is a correlational
quantitative study. The sample used in this study are 197 bonek mania supporters
selected through simple random sampling technique. The research instrument was a
way of coping scale for the emotional focused coping scale, and an aggression
questionnaire scale for the aggressiveness scale. Pearson's Product Moment
Analysis on SPSS version 2.2 for Windows shows a correlational value of 0.271 with
a significance value of 0.000 (<0.05). The results indicate that there is a correlation
between emotional coping behavior and the aggressive Bonek Mania.
Keywords: Aggressiveness, Bonek Mania, Emotional Coping Behavior.
Abstrak
Penelitian hendak mengungkap hubungan emotional coping behavior dengan
agresivitas supporter sepak bola bonek mania. Penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif korelasional. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 197
suporter bonek mania yang dipilih melalui teknik simple random sampling.
Instrument penelitian berupa skala ways of coping untuk skala emotional focused
coping, dan skala aggression questionnaire untuk skala agresivitas. Analisis Product
Moment Pearson‟s pada SPSS versi 2.2 for Windows menunjukkan nilai korelasional
sebesar 0,271 dengan nilai signifikansi sebesar 0.000 (< 0,05) hasil tersebut
menunjukkan bahwa terdapat hubungan emotional coping behavior dengan
agresifitas supporter bola Bonek Mania.
Kata kunci: Agresifitas, Bonek Mania, Emotional Coping Behaviour.
42
Pendahuluan
Setiap pertandingan selalu ada kemenangan dan kekalahan, begitu juga dengan
permainan sepak bola. Pihak yang mengalami kemenangan akan merasakan uforia tersendiri
baik bagi pemain maupun suporternya, dan tidak sedikit diantara mereka melakukan selebrasi
atas kemenangan tersebut. Bersamaan dengan hal tersebut bagi pihak yang mengalami
kekalahan akan mengalami kekecewaan, dan bersamaan hal tersebut rasa kekecewaan atas
kekalahan seharusnya tetap dilandasi suportivitas, sehingga kekalahan dapat diterima dengan
lapang dada, baik untuk pemain maupun supporter pendukungnya. Akan tetapi, yang terjadi
saat ini adalah banyak terjadinya kasus krisis suportivitas pada supporter bola. Bahkan dalam
kasus kebanyakan mereka cenderung melakukan tindakan agresivitas, seperti memukul,
menghina dan mencemooh antar klub supporter lawan favoritnya. Perilaku agresi tersebut,
kebanyakan muncul seperti perilaku menyanyikan lagu dengan kata-kata kotor, melempar
benda-benda di sekitarnya, hingga membawa senjata tajam (Silwan, 2005).
Homby (2000), menjelaskan suporter adalah seseorang yang secara sukarela ikut
ambil bagian dalam mendukung sebuah teori, konsep, kegiatan yang sukarela ikut ambil
bagian dalam mendukung dan memberikan sokongan dalam pertandingan. Suporter dalam
dunia sepak bola, merupakan penggemar sepak bola yang secara tidak langsung maupun
tidak memberikan dukungan saat klub favoritnya melakukan pertandingan (Wojowasito,
1980). Suporter bola di Indonesia melakukan beberapa perilaku agresivitas yang memberikan
dampak buruk. Sebagai contoh tindakan agresivitas yang dilakukan oleh supporter bola, yaitu
di Kota Bandung 16 bus yang berisi penuh anggota suporter dari Persija Jakarta bergerak dari
arah Solo, di Tol Palimanan km 188, suporter Persib Bandung yang berada di sisi tol
melempari bus hingga terjadi tawuran di pintu tol Palimanan. Tawuran ini mengakibatkan
salah satu anggota suporter Persija berinisial HRL tewas akibat dikeroyok dengan senjata
tajam seperti pedang dan senjata angina (Adnan, 2016). Besarnya basis supporter di
Indonesia positif menjadi hal yang dilematis, karena selain mendatangkan efek positif juga
menimbulkan efek negatif, antara lainnya adanya perkelahian antar suporter sepak bola,
perusakan fasilitas umum, hingga tawuran yang mengakibatkan luka-luka, perusakan fasilitas
umum seperti stadion, rumah penduduk yang memakan korban jiwa (Hidayat, 2014).
Hal yang sering kita jumpai pada supporter bola yakni kejadian saling menghina,
pemukulan, kemarahan serta rasa permusuhan antar suporter dan hal tersebut dapat dikatakan
sebagai bentuk agresivitas (Hidayat, 2014). Buss & Perry (1992) menjelaskan, bahwa
perilaku agresif merupakan perilaku yang berniat menyakiti orang lain baik secara fisik
maupun psikis untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Agresi juga merupakan perwujudan
43
perilaku seseorang yang cenderung melawan sesuatu yang berakibat melanggar norma-norma
yang berlaku (Saad, 2003). Trisnawati (2014) menjelaskan bahwa agresivitas menciptakan
perilaku kekerasan, baik secara individual maupun secara kelompok, contohnya seperti
tawuran.
Agresivitas merupakan suatu bentuk perilaku dengan tujuan untuk menyakiti orang
lain, baik secara fisik maupun psikis dengan motif menyalurkan perasaan negatif yang
dirasakan oleh seseorang dapat diekspresikan sehingga tujuan yang diinginkan tercapai (Buss
dan Perry, 1992). Menurut Kartono (2003), mengungkapkan bahwa agresivitas adalah
ledakan-ledakan emosi dan kemarahan hebat yang meluap-luap dalam bentuk sewenang-
wenang, penyerangan, penyergapan, serbuan kekejaman, perbuatan-perbuatan yang
menimbulkan penderitaan dan kesakitan, pengerusakan, dan tindakan permusuhan ditujukan
kepada seseorang atau benda.
Aksi agresivitas adalah sebuah perilaku terarah yang ditujukan untuk memberikan
kesakitan fisik maupun psikologis (Aronson, 2007). Sedangkan Taylor (2000), bahwa
agresivitas merupakan suatu tindakan dengan maksud melukai orang lain. Berdasarkan
definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa agresi adaah suatu tindakan atau perbuatan
yang dilakukan oleh individu untuk menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikologis
dengan tujuan menyalurkan perasaan negatif yang dirasakan oleh seseorang.
Penelitian ini menggunakan teori agresivitas oleh Buss & Perry (1992) dengan
berfokus aspek agresi fisik yang berupa serangan fisik, agresi verbal yang berupa serangan
melalui kata-kata, kemarahan yang berarti perwujudan emosi dan permusuhan yang
merupakan perasaan sakit hati sebagai wujud dari proses berpikir kognitif.
Suporter-suporter yang datang untuk menyaksikan dan mendukung klub sepak bola
favoritnya kemungkinan besar memiliki masalah-masalah pribadi terlebih dahulu. Hal ini
ditunjukkan dari perilaku para suporter yang sering membawa dan mengkonsumsi minuman
beralkohol sebelum dan selama pertandingan berlangsung (Pamulatsih, 2017). Pada saat
pertandingan, klub favoritnya kalah atau ketika suporter lain mengejek maka agresvitas pun
akan muncul sebagai akibat tekanan yang sudah dialaminya menjadi meningkat, sehingga
agresivitas yang dilakukan suporter diakibatkan oleh tekanan-tekanan yang semakin
meningkat dikarenakan masalah-masalah pribadi yang tidak segera diselesaikan (pre
determinan personal). Hal tersebut tidak terkecuali supporter Persebaya yaitu bonek mania,
yang memiliki super power dan memiliki pengaruh besar dalam dunia persepakbolaan di
Indonesia yang membawa dampak positif maupun negatif. Dampak negatif yang dirasakan
adalah, dimana timbulnya sikap agresi yang memungkinkan seseorang bertindak yang tidak
44
sesuai akal sehat dan norma (irasional), dan berdampak pada aksi kekerasan, mudah
tersinggung, tidak terorganisasi (Wahyudin, 2011).
Beberapa faktor yang mempengaruhi agresivitas adalah faktor internal yang berasal
dari dalam diri individu tersebut, salah satu adalah tekanan yang berasal diri sendiri. Pada
saat frustrasi tersebut muncul akan menyebabkan munculnya kemarahan akan
memungkinkan seseorang bertindak secara agresif (Berkowitz, 1995). Lazarus & Folkman
(2011) menjelaskan bahwa ketegangan muncul akan akibat stressor akibat adanya tekanan
fisik serta psikis akibat tuntutan dalam diri dan lingkungan. Ketika ada sesuatu hal yang
terjadi diluar kehendak individu, maka pada situasi pemecahan masalah akan memicu
munculnya sekumpulan usaha dalam menghadapi situasi yang menekan atau biasa disebut
coping stress. Folkman (1994) membagi coping stress menjadi dua, salah satunya yakni
emotional focused coping yang berfokus pada pengelolaan emosi ketika mendapatkan
stressor.
Emosional focused coping dapat bersifat adaptif maupun maladaptif. Koping yang
bersifat maladaptif yaitu koping yang cenderung kurang dapat menguasai lingkungan
sehingga menghambat perkembangan individu, seperti mengkonsumsi minuman beralkohol
dan melakukan aktivitas secara berlebihan (Lazarus & Folkman, 1984). Individu yang tidak
memiliki tingkat koping stress yang baik akan cenderung lebih berperilaku agresi
(Aggaraningtyas, 2013). Hal ini tampak beberapa suporter sering membawa dan
mengkonsumsi minimal alkohol baik sebelum maupun partandingan berlangsung, dimana hal
tersebut memunculkan perilaku agresivitas seseorang (Pamulatsih, 2017).
Emotional focused coping merupakan strategi meredakan emosi individu yang
disebabkan oleh tekanan, tanpa berusaha mengubah situasi terhadap tekanan tersebut secara
langsung (Lazarus dan Folkman, 1994). Menurut Sarafino (2011), emotional focused coping
merupakan salah satu unsur dari coping stress. Coping stress sendiri merupakan suatu
rangkaian proses strategi yang dilakukan oleh individu untuk menekan situasi yang tidak
diinginkan (Folkman, 1994). Sedangkan menurut Sari (2010), menjelaskan bahwa coping
stress merupakan usaha-usaha, baik secara mental maupun perilaku, dalam mengatasi,
mentoleransi, mengurangi dan meminimalisasikan situasi maupun kejadian yang penuh
tekanan. Usaha tersebut dilakukan dengan tujuan mengelola stress yang berorientasi pada
emosi.
Lazarus dan Folkman, menjelaskan bahwa emotional focused coping dilakukan
dalam rangka mengatur emosi ketika tekanan pada individu dapat diterima. Cara mengetahui
strategy coping dengan bentu emotional focused coping dapat diukur melalui; a) Pelarian diri
45
yakni dimana individu berusaha untuk menghindarkan diri dari pemecahan masalah yang
sedang dihadapai, b) Penyalahan diri dimana individu selalu menyalahkan diirnya sendiri dan
menghukum diri sendiri serta menyesali yang telah terjadi, c) Minimalisasi dengan cara
menolak masalah yang ada dengan menganggap seolah-olah tidak ada masalah, bersikap
pasrah, dan acuh terhadap lingkungan, d) Pencarian makna, yakni ketika individu
menghadapi masalah hingga sampai titik kegagalan bagi dirinya hingga melibatkan segi-segi
yang penting dalam hidupnya.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif korelasional untuk melihat kaitan
antara dua variabel yang hendak diteliti, yaitu. Atas dasar dari tujuan penelitian yaitu
hubungan emotional focused coping dengan agresivitas suporter bola. Pendekatan kuantitatif
merupakan suatu desain penelitian dimana mengharuskan dilakukannya pencatatan data hasil
penelitian secara numerik, sehingga memudahkan proses analisis dan interpretasi dengan
menggunakan metode-metode statistik (Azwar, 2013).
Variabel independen dalam penelitian ini adalah emotional focused coping yang
diartikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan seseorang dalam rangka fokus pada
pengelolaan emosi ketika mendapatkan stressor (tekanan). Skala Ways of Coping terdiri dari
aspek distancing, accepting responsibility, escape-avoidance, positive reappraisal. Variabel
dependen dalam penelitian ini adalah agresivitas supporter bola bonek mania yang
didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan untuk melukai seseorang baik secara sengaja
maupun tidak, dan cenderung melawan sesuatu hal dan mengakibatkan pelanggaran-
pelanggaran, baik pada nilai yang berlaku dalam masyarakat. Skala agresivitas menggunakan
alat ukur yang telah diadaptasi dan di modifikasi sesuai dengan responden yaitu suporter
sepak bola. Skala Aggression Quetionnaire terdiri dari 4 aspek yaitu aspek agresi fisik, agresi
verbal, kemarahan, dan permusuhan.
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah suporter bola bonek mania.
Jumlah minimal sampel dalam penelitian ini sebanyak 138 subjek yang didapat dari
penghitungan G-Power, namun data yang tersebar dan dapat diolah sebanyak 197 subjek
yang terdiri dari supporter sepak bola Persebaya yakni Bonek Mania. Teknik sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah probability sampling. Tipe jenis probability sampling
yang digunakan untuk penelitian ini adalah teknik simple random sampling.
Pengambilan data penelitian menggunakan skala emotional focused coping yang
diperoleh dari skala yang dikembangkan Lazarus dan Folkman (1984), dan diadaptasi oleh
46
Adimas (2016) yang terdiri dari 22 aitem favorable dengan reliabilitas skala sebesar 0,916.
Skala agresivitas diperoleh dari skala Buss dan Perry (1992), yang lalu diadaptasi dan
dimodifikasi oleh Dian Pamulatsih (2018). Skala tersebut terdiri dari 28 aitem dengan
reliabilitas skala sebesar 0,907. Pengambilan data dilakukan dengan menyebar skala yang
telah dibuat melalui google form.
Skala ini disusun berdasarkan dua kategori aitem, yaitu aitem yang mendukung
(favorable) dan aitem yang tidak mendukung (unfavorable), serta disediakan empat alternatif
respon yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju
(STS). Pemberian skor ini dari angka 4 sampai 1 untuk aitem yang mendukung (favorable)
dan aitem yang tidak mendukung (unfavorable) pemberian skor dari angka 1 sampai 4.
Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota besar Jawa Timur dan menyebar hingga pulau Bali.
Subjek yang menjadi sampel penelitian merupakan supporter bola Persebaya yaitu bonek
mania. Jumlah partisipan yang mengikuti penelitian ini sebanyak 197 orang partisipan,
dengan rincian 164 berjenis kelamin laki-laki dan 33 orang partisipan berjenis kelamin
perempuan. Dari total 197 partisipan sebanyak 1,01% partisipan memiliki jenjang pendidikan
SMP se-derajat, sebanyak 31,97% (63 orang) yang merupakan pelajar SMA se-derajat, dan
sebanyak 67,00% (132 orang) memiliki pendidikan Strata atau perguruan tinggi. Kondisi
tersebut mempengaruhi kemampuan partisipan dalam memahami pertanyaan-pertanyaan
yang terdapat pada skala. Hal ini berimbas pada pemahaman partisipan mengenai maksud
dan tujuan dari penelitian ini. Lalu sebanyak 133 orang 67,51% telah menjadi suporter sepak
bola selama lebih dari tujuh tahun. Analisis deskriptif korelasional menunjukkan bahwa baik
variabel emotional focused coping dan variabel agresivitas pada suporter bola berada pada
kategori tinggi.
Hasil uji normalitas pada emotional focused coping diperoleh nilai signifikansi
sebesar 0,000. Hasil uji normalitas pada agresivitas diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,054.
Maka dapat disimpulkan bahwa data dari emotional focused coping tidak terdistribusi secara
normal, namun data dari agresivitas terdistribusi normal. Hasil uji linearitas menunjukkan
bahwa nilai signifikansi linieritas antara emotional focused coping dan agresivitas,
didapatkan nilai F sebesar 0,271 dengan nilai signifikansi sebesar 0,074 (p>0,05).
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dinyatakan ahwa terdapat hubungan linier antara
emotional focused coping dengan agresivitas.
Berdasarkan hasil analisis dalam penelitian ini antara variabel emotional focused
47
coping dengan agresivitas sebesar 0,000 (<0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
peran yang signifikan antara emotional focused coping dengan agresivitas pada supporter
bonek mania.
Diskusi
Penelitian ini hendak mengungkap hubungan emotional focused coping dengan
agresifitas supporter bola bonek mania. Berdasarkan hasil uji hipotesis yang dilakukan dalam
penelitian ini diketahui bahwa terdapat hubungan antara emotional focused coping dengan
agresifitas supporter bola bonek mania. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku
agreif yang ditimbulkan oleh bonek mania pada saat pertandingan dapat dipicu oleh beberapa
faktor. Faktor yang cenderung muncul dan menjadi salah satu pemicu agresifitas adalah
faktor kekalahan pada saat pertandingan sehingga menimbulkan kekecewaan. Faktor tersebut
mempunyai andil besar dalam tindakan agresif pada supporter Persebaya.
Peneliti menemukan faktor lain yang juga dapat mempengaruhi agresifitas dari
supporter Persebaya, yaitu lawan main. Apabila lawan main yang dihadapi adalah lawan yang
biasa maka tingkatan agresi dilakukan oleh supporter Persebaya cenderung rendah.
Sebaliknya apabila lawan yang dihadapi adalah musuh bebuyutan maka tingkatan agresi yang
dilakukan cenderung tinggi. Saat pertandingan berlangsung agresi verbal maupun agresi fisik
sering terjadi dan ditujukan langsung kepada klub lawan maupun suporternya. Perilaku agresi
tersebut seperti menyanyikan lagu-lagu yang menyindir musuh, hingga menyebabkan
tindakan fisik antar sesama supporter. Menurut Darminto (2013), faktor lingkungan yakni
adanya cuaca yang tidak mendukung dapat mempengaruhi emosi seseorang. Salah satu
contohnya pada saat cuaca terik, pada saat pertandingan berlangsung dimana emosi seseorang
akan cenderung lebih cepat naik dan hal ini berpengaruh pada proses munculnya perilaku
agresi pada saat menjadi supporter.
Selain itu, faktor internal berupa kematangan emosi merupakan hal pokok yang
dapat mempengaruhi perilaku agresif masing-masing individu. Seseorang yang telah matang
tingkat emosionalnya dapat mengendalikan gejolak-gejolak luapan emosinya, sehingga
individu tersebut dapat mengelola emosinya dengan baik (Hidayat, 2014). Hasil tersebut
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut seperti sifat dari variabel. Emotional
focused coping merupakan salah satu bentuk koping stress yang berorientasi pada
pengelolaan emosi, yang merupakan strategi untuk meredakan emosi individu yang
disebabkan oleh tekanan, tanpa berusaha untuk mengubah suatu situasi yang menjadi sumber
tekanan secara langsung.
48
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi agresivitas pada supporter sepak
bola antara lain kematangan emosi. Hurlock (1980) menjelaskan bahwa kematangan emosi
merupakan kemampuan individu dalam mengontrol emosi dalam situasi sosialnya. Anisavitry
(2017) pada penelitiannya menjelaskan bahwa terdapat hubungan negative antara
kematangan emosi dengan agresivitas seseorang, yang memiliki kontribusi sebesar 59%. Hal
tersebut juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Putri (2010), yang menjelaskan
bahwa terdapat hubungan negative antara kematangan emosi dengan agresivitas, dimana
kematangan emosi tinggi yang dimiliki oleh sesorang maka tingkat agresivitas akan
cenderung rendah.
Mengacu penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa secara tidak langsung
emotional focused coping berperan terhadap agresivitas pada seseorang. Hal tersebut
mengacu pada pemilihan stress koping yang dilakukan individu, dimana pada hasil penelitian
ini bahwa focused coping yang berlebihan akan berdampak negative terhadap diri individu
yang mengakibatkan adanya perilaku maladaptive dan emosi yang tidak terkontrol, bahkan
dapat memicu munculnya perilaku agresi individu, salah satunya agresi verbal, seperti aksi
saling mencemooh supporter lawan yang dilakukan oleh Bonek Mania saat mendukung tim
sepak bola favoritnya Persebaya. Adanya kematangan emosi seseorang yang tidak terkendali
akibat tekanan situasi saat pertandingan berlangsung, dimana klub sepak bola favoritnya
mengalamai kekalahan yang mengakibatkan supporter Bonek Mania melampiaskan
kemarahannya, contohnya seperti agresi fisik yang dapat mengakibatkan serangan fisik
seperti memukul, menampar, menendang, melempar dan menghajar antar supporter.
Selain itu, adanya tingkat pendidikan partisipan dapat menjadi indikator lain yang
mampu berperan terhadap agresivitas seseorang saat menjadi bagian supporter sepak bola.
Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi juga akan cenderung untuk
mengambil sikap dan mengatasi masalah, dalam hal ini adalah menggunakan problem
focused coping dalam menyelesaikan masalah (Pramadi dan Lasmono, 2003). Hal ini juga
dipengaruhi oleh tipe kepribadian yang dimiliki oleh seseorang, tipe kepribadian yang
cenderung rileks tidak terburu-buru akan cenderung menggunakan problem focused coping
dengan baik, begitupun sebaliknya.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa emotional focused coping
seseorang berhubungan dengan perilaku agresivitas. Hasil penelitian ini, perilaku agresivitas
yang dilakukan merupakan suatu bentuk perilaku agresi supporter sepak bola yang
dipengaruhi oleh emotional focused coping, dimana ada saat menonton pertandingan klub
sepak bola favoritnya bonek mania bukan hanya menonton pertandingan tersebut sebagai
49
hiburan saja namun bisa sebagai salah satu bentuk meluapkan emosi. Ketika klub sepak bola
favorit yang didukung mengalami kekalahan dan atau mendapat ejekan dan makian dari
supporter lain, maka supporter bonek mania akan melakukan emotional focused coping yang
bersifat adaptif maupun maladaptive. Hasil penelitian Debri (2016), perasaan yang menyukai
sesuatu hal yang berlebihan dalam lingkup klub sepa bola dapat menyebabkan perasaan
bangga yang berlebihan, sehingga seseorang dapat kehilangan rasionalitasnya dan pada
akhirnya dapat melakukan tindakan yang diluar kendali dengan tujuan untuk membela,
mempertahankan rasa harga diri, gengsi, rivalitas, serta eksistensi klub maupun supporter
yang didukung. Hasil penelitian ini menjadi salah satu kerangka acuan dalam memberikan
intevensi bagaimana membentuk supporter dengan problem focused coping bukan dengan
emotional focuses coping.
Terdapat keterbatasan saat pelaksanaan penelitian ini yakni adanya ketidaknormalan
data yang sudah didapatkan, sehingga populasi yang ada di lapangan tidak dapat diwakilkan
dengan sampel data yang sudah diambil. Faktor-faktor eksternal yang tidak dapat dikontrol
peneliti saat pengisian skala, mengingat pengambilan data dilakukan secara online dengan
media google form.
DAFTAR PUSTAKA
Adimas. (2016). Fakultas Psikologi. Universitas Muhammadiyah Malang. Hubungan antara
strategy emotion focused coping dan aggressive driving pada remaja.
Adnan, M. R. (2016). The Jakmania mengungkapkan salah satu anggota mereka Harun Al
Rasyid Lestaluhu meninggal karena dikeroyok oknum yang tak bertanggung jawab.
Jakarta: www.goal.com:http://www.goal.com/id-ID/news/1391/liga-1-
indonesia/2016/11/07/29269212/ini-kronologi-meninggalnya-anggota-the-jakmania-
dalam-insiden-di-.
Agriawan, D. (2016). Skripsi. Universitas Muhammadiyah Malang. Hubungan fanatisme
dengan perilaku agresi suporter sepak bola.
Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan Validitas . Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Azwar, S. (2017). Metode Penelitian Psikologi. Jakarta: Pustaka Belajar.
Buss, A. H., & Perry, M. (1992). Journal of Personality and Social Psychology. The
aggression quetionnaire, 452-459.
Creswell, J. W. (2015). Penelitian Kualitatif dan Riset: Memilih di antara lima pendekatan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
50
Folkman, dkk. (1986). Journal of Social and Personal and Relationships. Dynamics of a
stressful encounter: Cognitive appraisal, coping and encounter outcomes, 243-252.
Ghozali, I. (2013). Aplikasi analisis multivariate dengan program SPSS.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Hapsari, I & Wibowo, I. (2015). Jurnal Psikologi. Fanatisme dan agresivitas suporter klub
sepak bola, 52-58.
Hidayat, A., Rustiana, E. R., & Pramono, H. (2014). Journal of Physical Education and
Sports. Agresivitas suporter klub Sriwijaya FC di stadion Jakabaring Palembang
2014, 67-72.
Lazarus, R. S. (1984). Springer Publication. Stress, appraisal and coping.
Pamulatsih, Dian. (2017). Hubungan Antara Emotional Focused Coping Dan Agresivitas
Pada Suporter Sepak Bola.
Sinatrya, E. Y., & Darminto, E. (2013). Agresivitas suporter sepak bola Persebaya Surabaya
pada saat pertandingan berlangsung, 1-5.
51
HUBUNGAN ANTARA LIMA FAKTOR KEPRIBADIAN (BIG FIVE
PERSONALITY) DENGAN KPU TRUST PEMILIH PEMILU 2024
Irsyad Abdul Rasyid(1),
Lusy Asa Akhrani(2)
(1)
[email protected], (2)
Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya
ABSTRACT
This research aims to know the corelation between big five personality
(extraversion, neuroticism, conscinetiousness, agreeableness, & openness)
and KPU trust. There was 548 respondens who participate in this research.
Respondens are Indonesian citizens who have the right to vote and will
participate in the next election in 2024. Respondens were collected by
accidental sampling. Big five personality measured by Big Five Inventory
44-item Scale which has modificated by Ramdani (2012). KPU trust
measured by KPU trust scale (Akhrani, 2019) which refers to Lewicki,
McAllister, & Bies research in 1998. This research use stepwise method to
analyse the data. Conscientiousness is the only trait which showed the
correlation with KPU trust as the result of the stepwise method. Correlation
coefficient shows at 0,107 (p<0,05) which means there is a weak correlation
between conscientiousness and KPU trust.
Keyword: Big Five Personality, KPU Trust, Conscientiousness
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara lima faktor
kepribadian (extraversion, neuroticism, conscinetiousness, agreeableness, &
openness) dengan KPU trust pada pemilih pemilu 2024. Responden yang
digunakan pada penelitian ini adalah sebanyak 548 orang. Responden
tersebut merupakan warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih dan
pernah berpartisipasi dalam pemilu sebagai pemilih miniman satu kali. Big
five personality diukur menggunakan Big Five Inventory 44-item Scale yang
dimodifikasi oleh Ramdhani (2012). KPU trust diukur dengan menggunakan
skala KPU trust (Akhrani, 2019) yang mengacu pada penelitian Lewicki,
McAllister, & Bies (1998). Data yang telah dikumpulkan dianalisis
menggunakan metode stepwise yang mendapatkan hasil bahwa terdapat
hubungan antara conscientiousness dengan KPU trust. Koefisien korelasi
diperoleh sebesar 0,107 dengan p <0,05 dimana hal ini menunjukan terdapat
korelasi yang signifikan antara conscientiousness dengan KPU trust. Empat
faktor kepribadian lainnya (extraversion, neuroticism, agreeableness, &
openness) ditemukan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan KPU
trust.
Kata kunci: Conscientiousness, Big Five Personality, KPU trust
52
Tahun 2019 KPU (Komisi Pemilihan Umum) menyelenggarakan Pemilu secara
serentak untuk memilih presiden, wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi,
dan DPRD Kabupaten/Kota. KPU merupakan sebuah lembaga yang dibentuk
pemerintah untuk menyelenggarakan Pemilu. Berdasarkan Undang-undang Nomor 22
Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, Pemilu dilaksanakan oleh komisi
pemilihan umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional
mempenyai arti bahwa lingkup kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara
Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Indonesia. Sifat tetap mempunyai arti
bahwa KPU adalah lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan
meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri mempunyai arti bahwa
dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum KPU harus bebas dari pengaruh pihak mana
pun (Tjiptabudy, 2009).
Sifat mandiri KPU dalam menyelenggarakan Pemilu 2019 mulai banyak
dipertanyakan. Desember 2018 KPU mengumumkan akan menggunakan kotak suara
yang terbuat dari kardus. Pro dan kontra opini publik timbul atas keputusan tersebut.
Banyak warga yang khawatir dengan kualitas kotak suara yang akan digunakan
(Mahbub, 2018). Pihak KPU menjelaskan bahwa KPU telah menghitung kelemahan dan
kelebihan penggunaan kotak suara kardus pada pemilu. KPU menjelaskan bahwa kotak
suara kardus berbahan kedap air dan sudah digunakan sejak Pemilu 2014, 2017, dan
2018. Harga yang jauh lebih murah terkait bahan dantempat penyimpanan kotak suara
menjadi alasan utama mengapa KPU menggunakan kotak suara kardus (Putri, 2018).
Kontroversi lain kembali timbul saat KPU memutuskan untuk memberikan 20
butir daftar pertanyaan debat kepada kedua pasang calon Presiden dan Wakil Presiden.
Sudirman Said selaku Direktur Materi dan Debat Prabowo-Sandiaga menilai pemilih
akan kehilangan hak untuk mengetahui kemampuan calon pemimpinnya (Fai, 2019).
Ketua KPU Arief Budiman mengklarifikasi hal tersebut dengan memberikan pernyataan
bahwa pemberian daftar pertanyaan itu agar calon presiden dan wakil presiden dapat
menjawab pertanyaan secara mendetail sehingga inti dari kampanye dapat tercapai
(Anggriawan, 2019).
Pasca Pemilu diselenggarakan pun banyak kejadian-kejadian yang membuat
publik mempertanyakan integritas KPU sebagai lembaga yang seharusnya netral dan
independen dalam menjalankan Pemilu. KPU sempat mengakui terdapat
53
ketidaksesuaian data pada formulir C1 di sejumlah daerah dengan situs perhitungan
KPU (Akbar, 2019). Kejadian aneh lainnya terjadi ketika penghitungan suara
dilaksanakan. Tercatat lebih dari 400 orang anggota KPPS (Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara) meninggal dengan alasan yang tidak jelas dan lebih dari 3.500
petugas KPPS jatuh sakit (Rolan, 2019). Menurut Arief Budiman selaku ketua KPU
beban kerja PEMILU cukup besar sehingga menjadi salah satu faktor banyak pentugas
yang jatuh sakit dan meninggal dunia (Mashabi, 2020).
KPU sebagai satu-satunya lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk
menyelenggarakan Pemilu seharusnya memegang erat asas independensi baik
institusional, fungsional, dan personal (Marzuki, 2008). Kepercayaan publik dapat
hilang jika asas independensi pada KPU tidak dapat dipertanggungjawabkan.
kepercayaan merupakan faktor penting dalam kegiatan politik. Kepercayaan terjadi
karena adanya keyakinan bahwa individu yang terlibat dalam hubungan akan
memberikan keuntungan. Kepercayaan terbentuk melalui sikap menerima, mendukung,
berbagi, dan kerjasama (Johnson & Johnson, 2000).
Kepercayaan terhadap lembaga politik merupakan salah satu bentuk dari
kepercayaan politik. Kepercayaan politik tidak hanya berlaku pada kepercayaan
terhadap pemerintah, akan tetapi berlaku juga kepada kepuasan terhadap elemen-elemen
politik yang melekat. Kepercayaan politik merupakan bentuk terhadap kepercayaan
pada komponen sistem politik yang berlaku (Matulessy & Samsul, 2013).
Kepercayaan politik adalah kepercayaan warga negara kepada lembaga politik
dan sistem politik negara (Turper & Aarts, 2017). Menurut Miller & Listhaug (1990)
kepercayaan politik muncul setelah individu membuat evaluasi positif terhadap
pemerintah, sekaligus yakin pada lembaga politik lainnya. Magum (Matulessy &
Samsul, 2013) menyebutkan bahwa kepercayaan politik merupakan faktor yang
mempengaruhi keterlibatan individu dalam politik. Loeber (Fauzie, 2014) menjelaskan
bahwa terdapat tiga dimensi pada kepercayaan politik yakni: kepercayaan terhadap
politisi, termasuk pejabat pemerintah, kemudian kepercayaan terhadap institusi politik,
termasuk DPR, DPRD, dan kepercayaan terhadap sistem demokrasi yang ada.
Kepercayaan politik merupakan salah satu faktor yang menyebabkan seseorang
ingin memilih atau tidak memilih (Anderson, 2009). Komponen kepercayaan pemilih
dalam partisipasi pemilih dianggap penting agar sistem politik yang demokratis tetap
54
stabil (Almond dan Verba dalam Fauzie, 2014). Individu yang memiliki kepercayaan
politik akan cenderung memiliki tingkat partisipasi politik (Bourne, 2010).
Penelitian mengenai kepercayaan politik telah dilakukan oleh Akhrani, Imansari,
dan Faizah (2018). Peneliti melakukan penelitian mengenai hubungan kepercayaan
politik dengan partisipasi politik pemilih pemula yang dilakukan kepada 105 responden.
Penelitian ini menghasilkan hasil yang signifikan dimana semakin tinggi kepercayaan
politik maka semakin tinggi pula partisipasi politiknya. Berdasarkan penelitian ini pula
diketahui bahwa kepercayaan politik dan partisipasi politik berkorelasi. Hal
tersebut dikarenakan partisipasi politik yang dimiliki oleh pemilih pemula
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, yang salah satunya adalah
psikologi kognitif dan juga faktor sosial dan politik. Faktor-faktor tersebut berkaitan
erat dengan kepercayaan politik sehingga memunculkan hubungan antara kedua
variabel tersebut. Keputusan seseorang untuk berpartisipasi dalam sebuah agenda politis
berbanding lurus dengan kepercayaan politiknya.
Kepercayaan politik mempunyai banyak bentuk, salah satunya ialah
kepercayaan terhadap lembaga politik. KPU sebagai salah satu komponen politik, harus
selalu dipercaya oleh pemilih. Kepercayaan di bangun dengan mengedepankan luber
jurdil ketika menyelenggarakan pemilu. Penyelenggaraan Pemilu yang bersifat
langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil (luber jurdil) hanya dapat
terwujud apabila penyelenggaraan Pemilu mempunyai integritas yang tinggi serta
memahami dan menghormati hak-hak sipil dan politik dari warga negara (Simanjuntak,
2016). Kepercayaan pada KPU atau KPU trust berarti kepercayaan seorang individu
atau masyarakat terhadap komponen politik yang paling melekat pada Pemilu yaitu
lembaga penyelenggara Pemilu KPU.
Kepercayaan terbangun melalui beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah
predisposisi kepribadian, reputasi, stereotype, pengalaman aktual, dan orientasi
psikologis (Lewicki & Wiethoff, 2000). Kepribadian merupakan salah satu faktor dalam
membentuk kepercayaan. Ghufron dan Riswanita (Gumelar & Pandina, 2014)
menyebutkan bahwa masing-masing individu mempunyai cara yang berbeda dalam
berperasaan, mengembangkan pikiran-pikiran, dan menentukan minat pribadi. Setiap
orang berbeda dalam mengolah dan bereaksi terhadap berbagai kebutuhan yang berasal
dari luar dirinya. Suryabrata (Gumelar & pandina, 2014) menyebutkan bahwa
55
kepribadian merupakan suatu kebulatan dari aspek-aspek jasmaniah dan ruhaniah yang
bersifat dinamis dalam hubungannya dengan lingkungan. Kepribadian merupakan suatu
organisasi dinamis dalam diri seseorang yang merupakan sistem psikofisis yang
menghasilkan pola-pola karakteristik seseorang dalam perilaku, pikiran dan perasaan
(Carver & Scheier dalam Gumelar & Pandina, 2014).
Fieldman (1994) menjelaskan terdapat beberapa pendekatan untuk memahami
kepribadian. Salah satunya adalah teori trait. Trait merupakan sebuah model untuk
mengidentifikasi dan menggambarkan suatu kepribadian. Trait didefinisikan sebagai
suatu dimensi yang menetap dari karakteristik kepribadian, hal tersebut membedakan
individu dengan individu lain (Fieldman, 1994). Trait mengandung sifat-sifat untuk
berperilaku dalam kebiasaaan-kebiasaan yang berhubungan dengan pola berpikir dan
perasaan (Vecchoine & Caprara, 2009)
Beberapa penelitian terdahulu telah menyororti peran kepribadian dalam
menentukan tingkat partisipasi politik. Penelitian Milbrath (1965) telah menyarankan
untuk mempertimbangkan peran kepribadian dalam partisipasi memilih, namun
penelitian-penelitian empirik terhadap hubungan antara keduanya sangat sedikit dan
sebagian besar hanya terbatas pada sifat-sifat tertentu saja (Vecchoine & Caprara,
Personality determinants of political participation: The contribution of traits, 2009).
. Salah satu metode untuk menjelaskan trait adalah Big Five Personality.
Dimensi-Dimensi dalam Big five Personality Traits adalah Neuroticism (sifat
pencemas), Extraversion (energik dan mudah bergaul), Agreeableness (lemah lembut),
Openness to Experience (mempunyai daya imajinasi tinggi) dan Conscientiousness
(berpikir sebelum bertindak dan teratur) (Goldberg dalam Ramdhani, 2012)
Penelitian terdahulu berhasil membuktikan bahwa variabel-variabel dalam Big
five Personality mempunyai hubungan dengan trust. Kepercayaan seringkali dimasukan
sebagai indikator pada dimensi Agreeableness. Pandangan ini terlalu sempit untuk
menjelaskan motif-motif kompleks yang berhubungan dengan trust secara umum
(Evans & Revelle, 2008). Octavianty & Jatmika (2015) mengemukakan bahwa tipe
kepribadian OCEAN (Big five Personality) mempunyai hubungan dengan brand trust
pada konsumen maskapai penerbangan low cost carrier. Extraversion, Agreeableness,
Openness to Experience, dan Conscientiousness mempunyai hubungan yang positif
dengan brand trust pada konsumen maskapai penerbangan low cost carrier, sedangkan
56
hubungan yang negatif terdapat pada Neuroticism.
Seseorang dengan skor extraversion yang tinggi cenderung percaya. Ia adalah
seseorang yang energik, optimis, dan cenderung mempercayai sesuatu yang dipilihnya
(Pervin et al dalam Octavianty & Jatmika, 2015). Seseorang dengan skor agreeableness
yang tinggi juga berkorelasi positif dengan tingkat kepercayaannya. Hal ini dikarenakan
individu dengan skor agreeableness yang tinggi cenderung mempercayai lingkungan
sosial mereka dan memiliki kecenderungan untuk berhubungan baik dengan lingkungan
sosial. Ia cenderung untuk menanggapi semua informasi yang diperoleh dari
lingkungannya sehingga cenderung lebih mudah percaya berita-berita yang ia dengar
pada lingkungan sosialnya (Azam et al. dalam Octavianty & Jatmika, 2015.
Individu dengan skor conscientiousness yang tinggi berhubungan secara positif
dan signifikan dengan trust, dimana individu dengan tipe kepribadian conscientiousness
dicirikan sebagai individu yang teliti dan detail, mereka juga fokus pada perencanaan,
serius dan cenderung berhati – hati dalam mengambil setiap keputusan (Pervin et al.
dalam Octavianty Jatmika, 2015). Citra yang diberikan oleh obyek kepercayaan sangat
baik dengan didukung oleh pernyataan orang lain yang menunjukan bahwa sebuah
obyek kepercayaan dapat diandalkan menyebabkan individu dengan ciri yang detail dan
berhati–hati dalam membuat keputusan memberikan kepercayaannya.
Seseorang dengan skor openness yang tinggi juga berkorelasi positif dengan
trust. Ia memiliki karakter yang kreatif, berpemikiran terbuka, berpandangan luas, serta
cenderung untuk mencoba hal-hal baru (Pervin et al. dalam Octavianty & Jatmika,
2015). Seseorang yang selalu tertarik untuk mencoba hal-hal baru dan berpemikiran
terbuka akan cenderung lebih mudah mempercayai hal-hal yang menarik perhatiannya.
Lain halnya dengan 4 faset kepribadian diatas, seseorang dengan skor neuroticism yang
tinggi berkorelasi negatif dengan trust, hal ini berarti semakin tinggi skor neuroticism
seseorang, skor trustnya akan rendah. Seseorang dengan skor neuroticism yang tinggi
dicirikan sebagai seseorang dengan emosi tidak stabil, ia sering mengalamim
kecemasan terhadap apapun. Ia juga memiliki kekhawatiran yang berlebihan terhadap
suatu peristiwa yang negatif sehingga akan sulit untuk mempercayai apapun (Azam et
al. dalam Octavianty dan jatmika, 2015).
Berdasarkan penjabaran tersebut, peneliti melakukan penelitian mengenai big five
dan trust dengan KPU sebagai obyek trust yang berjudul “Hubungan Antara Lima
57
Faktor Kepribadian (Big Five Personality Traits) dengan KPU Trust Pada Pemilih
Pemilu 2024”
Metode
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dan merupakan bagian dari
penelitian payung oleh Akhrani (2019). Penelitian ini melibatkan dua variabel yakni
variabel independen (x) adalah Kepribadian Pemilih (Big Five Personality) dan variabel
dependen (y) adalah Kpu Trust. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan Big
Five Personality terhadap KPU trust pada Pilpres 2024. Metode penelitian yang
digunakan adalah kuantitatif korelasional.
Partisipan Penelitian
Partisipan dalam penelitian ini adalah warga negara Indonesia yang berusia 17
tahun, memiliki hak pilih dalam PEMILU, dan pernah berpartisipasi dalam PEMILU
sebelumnya. Terdapat sebanyak 548 subjek untuk memenuhi jumlah minimal sampel
yang telah didapat dan untuk mengantisipasi kemungkinan adanya sampel yang tidak
memenuhi kriteria yang telah ditetapkan peneliti dimana partisipan diambil
menggunakan purposive sampling.
Partisipan diberikan dua skala yaitu skala Big Five Inventory (BFI) yang
dikembangkan oleh John (1990) ini kemudian dimodifikasi dengan proses transadaptasi
bahasa dan budaya oleh Ramdhani (2012) dan skala KPU trust yang dibuat oleh
Akhrani (2019) yang mengacu pada teori kepercayaan politik dari Lewicki (2003).
Metode tryout digunakan sebelum skala KPU Trust disebarkan pada kuesioner
penelitian. Skala ini berbentuk skala likert dengan lima alternatif jawaban yaitu Sangat
Setuju (SS), Setuju (S), Netral (N), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS).
Teknik Analisa Data
58
Teknik analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode stepwise untuk
mengetahui hubungan antara big five personality dengan KPU trust. Metode stepwise
memilih variabel berdasarkan korelasi parsial terbesar selanjutnya dimasukkan
variabel lain satu per satu sampai didapatkan model yang paling baik (Hanum, 2011).
Metode ini dilakukan untuk menghindari multikolinearitas antar variabel independen
(Sembiring, 2003).
Penghitungan menggunakan bantuan software IBM SPSS 22.0 for Windows
untuk menganalisis hasil dari data yang didapatkan. Setelah data diolah, peneliti
menginterpretasikan hasil analisis data kemudian membahas hasil analisis statistik
sesuai dengan teori dan kerangka pemikiran yang telah penulis ajukan sebelumnya.
Hasil
Normalitas
Berdasarkan olah data pada uji normalitas menggunakan kolmogorov smirnov
didapatkan hasil signifikansi sebesar 0,000. Hasil tersebut munujukan nilai signifikansi
dibawah 0,05 sehingga dinyatakan bahwa data terdistribusi secara tidak normal. Nilai
tidak normal ini dapat dilanjutkan karena menurut Azwar (2001) inferensi terhadap
mean yang valid pada distribusi skor normal juga akan valid pada distribusi skor tidak
normal asalkan responden cukup besar. Nilai besaran responden juga dijelaskan
Ghasemi & Zahediasl (2012) harus memiliki responden >30.
Linearitas
Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah data penelitian dari masing- masing
variabel dapat berhubungan secara linear mengikuti garis lurus atau tidak (Sugiyono,
2007). Artinya bahwa ada persamaan yang berlaku ketika salah satu nilai dari variabel
naik atau turun akan mempengaruhi variabel yang lain.
59
Tabel 1.
Hasil Uji Linearitas
Variabel Nilai Signifikansi Keterangan
Agreeableness – KPU Trust 0.877 Linear
Neuroticism – KPU Trust 0.283 Linear
Extraversion – KPU Trust 0.510 Linear
Conscientiousness – KPU Trust 0.674 Linear
Openness – KPU Trust 0.075 Linear
Hipotesis
Data dari variabel penelitian ini telah memenuhi uji asumsi, maka data dapat
dianalisis Uji dilakukan menggunakan metode stepwise. Uji ini dilakukan untuk melihat
hubungan yang terbaik antara Big Five Personality dan dimensi-dimensinya yaitu
agreeableness, neuroticism, extraversion, conscientiousness, dan openness dengan
KPU Trust.
Tabel 2.
Variables Entered/Removed
Model
Variables
Entered
Variables
Removed Method
1 conscient . Stepwise (Criteria: Probability-of-F-to-enter <=
,050, Probability-of-F-to-remove >= ,100).
a. Dependent Variable: kpu trust
Tabel 3.
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate Durbin-Watson
1 .107a .011 .010 12.361 1.874
a. Predictors: (Constant), conscient
b. Dependent Variable: kpu trust
60
Tabel 2 dan 3 menjelaskan metode stepwise. Stepwise digunakan untuk
memasukan satu per satu variabel independen (agreeableness, neuroticism,
extraversion, conscientiousness, dan openness) yang mempunyai koefisien korelasi
parsial paling besar terhadap variabel dependen (KPU trust) (Hanum dalam Wohon dkk
2017). Hasil dari uji tersebut menunjukan bahwa terdapat 1 model regresi yaitu
conscientiousness dengan KPU trust. Koefisien korelasi diperoleh sebesar 0,107 dimana
hal ini menunjukan terdapat korelasi yang sangat lemah antara conscientiousness
dengan KPU trust, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat bukti atas adanya
hubungan antara conscientiousness dan KPU trust. Koefisien determinasi diketahui
sebesar 0,011 yang berarti conscientiousness dalam KPU trust dapat menjelaskan efek
sebesar 1,1% sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain.
Diskusi
Berdasarkan hasil uji stepwise menunjukan hanya terdapat satu model saja yaitu
conscientiousness dan KPU trust. Dimensi conscientiousness mempunyai korelasi yang
positif dengan KPU trust. Individu dengan skor conscientiousness yang tinggi juga
mendapatkan skor kepercayaan terhadap KPU yang tinggi. Conscientiuosness dan KPU
trust digambarkan sebagai pribadi yang teratur, penuh pengendalian diri, terorganisasi,
ambisius, fokus pada pencapaian, dan disiplin diri, pada umumnya juga merupakan
orang yang pekerja keras, peka terhadap suara hati, tepat waktu, dan tekun (Feist &
Feist, 2009 ).
Conscientiousness melihat tingkat organisasi, kekakuan, dan motivasi. Individu
dengan skor yang rendah cenderung tidak terorganisir, tidak berarah, malas, ceroboh,
dan mudah menyerah. Individu yang concientiuosnessnya tinggi dalam penelitian ini
menunjukan kepercayaan pada lembaga penyelenggara PEMILU (KPU). Citra yang
baik masih melekat pada KPU. Banyaknya kontroversi-kontroversi terkait keputusan
dan kebijakan-kebijakan yang KPU ambil dapat KPU klarifikasi dengan baik. Hal
tersebut menyebabkan individu dengan skor conscientiousness yang tinggi
mempercayai KPU dikarenakan orang dengan trait concientiuosness akan
mengorganisasikan setiap informasi terkait KPU dengan baik dan memilih untuk
memberi kepercayaan terhadap lembaga tersebut.
61
Dimensi kepribadian lainnya dinyatakan tidak signifikan pada penelitian ini.
Korelasi yang tidak signifikan maka statistiknya dinyatakan sebagai terjadi karena
kebetulan sehingga harus diabaikan (Azwar, 2005) hal ini menandakan bahwa tinggi
maupun rendahnya skor ke-empat dimensi selain conscientiousness (extraversion,
openness, agreeableness, dan neuroticism) tidak berhubungan dengan tinggi maupun
rendahnya skor KPU trust.
Seseorang dengan skor openness yang tinggi belum tentu mendapatkan skor
KPU trust yang tinggi begitu pula sebaliknya. Ia memiliki karakter yang kreatif,
berpemikiran terbuka, berpandangan luas, serta cenderung untuk mencoba hal-hal baru.
Ia juga memiliki keinginan tersendiri dalam menyelidiki banyak hal (Pervin et al. dalam
Octavianty & Jatmika, 2015). Keterbukaan ini membuat seseorang dapat berpikir
analitis dan mempertanyakan hal-hal yang terjadi. Sikap skeptis akan segala hal
membuatnya mencarai berbagai macam informasi yang kritis dalam melihat perkara-
perkara yang ada (Zhang et al. dalam Novianty & Widiastuti, 2019). Informasi-
informasi yang diterima dapat menentukan sejauh mana ia memutuskan untuk
mempercayai KPU atau tidak.
Seseorang dengan skor extraversion yang tinggi belum tentu mendapatkan skor
KPU trust yang tinggi begitu pula sebaliknya. Extraversion yang tinggi menunjukan
bahwa individu merupakan pribadi yang penuh kasih sayang, periang, banyak bicara,
dan mudah bergaul dengan orang lain. Extraversion yang rendah menunjukan bahwa
kemungkinan individu akan menyendiri, sulit untuk mengekspresikan emosi, dan pasif
(Feist & Feist, 2009 ). Seseorang dengan skor agreeableness yang tinggi juga belum
tentu mendapatkan skor KPU trust yang tinggi begitu pula sebaliknya. Agreeableness
yang tinggi menunjukan bahwa individu lebih percaya, murah hati, dan baik hati,
namun individu dengan skor yang rendah pada agreeableness pada umumnya mudah
mencurigai, pelit, sulit berteman, kritis kepada orang lain, dan mudah tersinggung (Feist
& Feist, 2009 ).
Seseorang dengan skor neuroticism yang tinggi belum tentu mendapatkan skor
KPU trust yang tinggi begitu pula sebaliknya. Neuroticism yang tinggi menunjukan
bahwa seseorang cenderung mudah cemas, temperamental, rendah diri, emosional, dan
tidak tahan terhadap gangguan yang berkaitan dengan stres. Skor neuroticism yang
rendah menunjukan bahwa orang tersebut biasanya tenang, lemah lembut, tidak
62
tempramental dan puas diri (Feist & Feist, 2009 ).
Hal ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya dimana Octavianty & Jatmika
(2015) menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara ke-empat dimensi
diatas dengan trust. Mowen dan Minor (2002) mengemukakan bahwa kepribadian dapat
memprediksi bagaimana seseorang akan bereaksi terhadap situasi yang memiliki tingkat
kejelasan yang variatif, hal ini disebut toleransi terhadap ketidakjelasan. Situasi yang
menjadikan kepribadian berperan terhadap toleransi ketidakjelasan adalah situasi yang
benar-benar baru dimana informasi tersebut sangat sedikit. Informasi-informasi tentang
KPU yang ada sangat banyak dan dapat diakses dengan mudah darimana saja. Data
yang diambil menunjukan bahwa 538 responden mengakses berita politik melalui media
sosial. Hal ini membuat big five sebagai variabel independen sulit untuk melihat
hubungan KPU trust.
Kesimpulan
Penelitian ini berhasil mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara salah satu dimensi big five personality yaitu conscientiousness dengan
KPU trust sedangkan ke-empat dimensi lainnya yaitu extraversion, agreeableness,
openness, dan neuroticism tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan KPU trust.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, J. (2019, 4 20). KPU Akui Keliru Input Data: Quick Count Boleh Dipercaya
Boleh Tidak. Retrieved from tirto.id: https://tirto.id/kpu-akui-keliru-input-data-quick-
count-boleh-dipercaya-boleh-tidak-dmKx
Akhrani, L., Imansari, F., & Faizah. (2018). Kepercayaan politik dan partisipasi politik
pemilih pemula. Mediapsi, Vol 4 (1), hal: 1-6.
Anderson, M. R. (2009). Community Psychology, Political Efficacy, and Trust.
Political Psychology, 59-84.
Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Besser, A., & Shackelford, T. K. (2007). Mediation of the effects of the big five
personality dimensions on negative mood and comfirmed affective expectations by
perceived situational stress: a quasi-field study of vacationers. Personality and
63
Individual Differences, 42(7), 1333-1346.
Bourne, P. (2010). Modelling Political Trust In A Developing Country. Current
Research Jurnal of Social Sciences, 2(2): 84-98.
Costa, P. T., & McCrae, R. R. (1992). Four ways five factors are basic. Personality and
Individual Differences, 653-665.
Evans, A. M., & Revelle, W. (2008). Survey and behavioral measurements of
interpersonal trust. Journal of Research in Personality, 1585-1593.
Fai. (2019, 1 6). Kontroversi Bocoran Pertanyaan Debat dari KPU. Retrieved from
detiknews.com: https://news.detik.com/berita/4373157/kontroversi-bocoran-
pertanyaan-debat-dari-kpu
Fauzie, R. (2014). Adaptasi dan validasi skala political trust dan political efficacy.
Jurnal Pengukuran Psikologi dan Pendidikan Indonesia, Vol 3 (4), hal: 301-328.
Feist, J., & Feist, G. J. (2009 ). Theories of personality. Singapore: McGraw-Hill.
Fieldman, R. S. (1994). Essentials of Understanding Psychology. new york : McGraw-
Hill Education.
Friedman, H. S.& Schustack, M. W. (2008). Kepribadian Teori Klasik dan Riset
Modern Jilid 1. Jakarta: Erlangga
Ghufron, M. N., & Rini, R. (2010). Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-rizz.
Gumelar, G., & Pandina, I. (2014). Trait Kepribadian dan Kepercayaan Konsumen
untuk Berbelanja Pada Toko Online. Perspektif Ilmu Pendidikan, 75-81.
Hanum, H. (2011). Perbandingan Metode Stepwise, Best Subset Regression, dan. Jurnal
Penelitian Sains, 14201-1-14201-6.
Johnson, D. H., & Johnson, F. P. (2000). Joining Together: Group Theory and Group
Skills, 11th Edition. Nedham Heights: MA: A Pearson Education Company.
KPUKaltim. (n.d.). Tentang KPU. Retrieved from Komisi Pemilihan Umum Provinsi
Kalimantan Timur : https://kaltim.kpu.go.id/tentang-kpu/
Lewicki, R. J., & Tomlinson, E. C. (2003). Trust and Trust Building. Colorado:
University of Colorado.
Lewicki, R., & Wiethoff, C. (2000). Trust, trust development, and trust repair. The
handbook of conflict resolution: Theory and practice.
64
Mahbub, A. (2018, 12 27). Kotak Suara Kardus untuk Memilih Politikus. Retrieved
from nasional.tempo.co: https://nasional.tempo.co/read/1159093/kotak-suara-kardus-
untuk-memilih-politikus/full&view=ok
Marzuki, S. (2008). Peran Komisi Pemilihan Umum Dan Pengawas. Jurnal Hukum .
Matulessy, A., & Samsul. (2013). Political efficacy, political trust dan collective self
esteem dengan partisipasi dalam gerakan mahasiswa. Jurnal Penelitian Psikologi.,
Vol 04 (1), hal: 84-106.
Mayer, R. D. (1995). An integrative model of organizational trust. JSTOR, 20(3), 709-
734.
McCrae, R. R., & Costa Jr., P. T. (1997). Personality Trait Strucuture as A Human
Universal. American Psychologist, 509-516.
Milbrath, L. W. (1965). Political Prticipationts: How and Why Do People Get Involved
With Politics? The American Political Science Review.
Miller, A. H., & Listhaug, O. (1990). Political parties and confidence in government:A
comparison of Norway, Sweden and the United States. British Journal of Political
Science, 20(3), 357–386.
Mowen, J. & Minor, M. 2002.Perilaku Konsumen. Edisi Kelima, Jilid I. Jakarta:
Erlangga
Ramdhani, N. (2011). Penyusunan Alat Pengukur Berbasis Theory of Planned Behavior.
Buletin Psikologi, vol. 19 no. 2, 55-69.
Rolan. (2019, 3 3). KPU: Petugas KPPS Meninggal Dunia Jadi 412. Retrieved from
detiknews.com: https://news.detik.com/berita/d-4534645/kpu-petugas-kpps-
meninggal-dunia-jadi-412
Sembiring, R. (2003). Analisis Regresi. Bandung: ITB.
Simanjuntak, J. (2016). Kemandirian Lembaga Penyelenggara. Papua Law Journal.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif & RND. Bandung: Alphabeta.
Sumanto. (2014). Teori dan Aplikasi Metode Penelitian. Yogyakarta: CAPS (Center of
Academic Publishing Service).
Thoms, P., Moore, K. S., & Scott, K. S. (1996). The relationship between self-efficacy
for participating in self-managed work groups and the big personality dimensions.
Journal of Organizational Behaviour, 17(4), 349-362.
65
Tjiptabudy. (2009). TelaaH Yuridis Fungsi dan Peran Panwaslu dalam Sistem
Pemilihan Umum di Indonesia . Jurnal Konstitusi, 46-58.
Turper, S., & Aarts, K. (2017). Political trust and sophistication: taking measurement
seriously. Social indicator research, Vol 130, hal: 415-434.
Vecchoine, m., & Caprara, G. V. (2009). Personality determinants of political
participation: The contribution of traits. Personality and Individual Differences, 487-
492.
66
MASYARAKAT DAN TATA KELOLA SUMBER DAYA AIR:
PARTISIPASI DAN KONTESTASI PENGELOLAAN SUMBER
DAYA AIR DI GUNUNG KAWI, KABUPATEN MALANG
Irza Khurun‟in(1)
, Genta Mahardhika Rozalinna(2)
(1)
[email protected], (2)
Dosen Program Studi Hubungan Internasional FISIP Universitas Brawijaya (2)
Dosen Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Brawijaya
ABSTRACT
Water crisis has become a global phenomena. In Indonesia, water scarsity is
spreading in many regions. Drought and water crisis are problem that must be
faced by Indonesia‟s society. Malang, a region in East Java Province actually
has abundant water resources, as it has around 48 water springs. Since 2012,
however, Malang Region experienced with water crisis. It was estimated that 13
district (kecamatan) from 33 district in this Region experienced in water crisis. It
is very interesting to assess what happens in Malang where it has abundant
water springs but has to face water crisis. Hipotetically, there is a problem in
terms of water governance in Malang Region. This paper focus to assess water
governance in Malang Region especially in Gunung Kawi‟s society. This paper
argues that the vulnerability over water supply may be significantly reduced
when there is a community participation and water governance is established by
creating collaboration among stakeholders. The benefit of controlling water
supply, however, may trigger contestation if the economic perspective
overpowers environmental or social perspectives is dominated.
Keywords: governance, water resources, society participation, contestation.
ABSTRAK
Krisis air telah menjadi fenomena global. Kerentanan atas ketersediaan air
menjadi hal yang semakin meluas di Indonesia. Bencana kekeringan dan krisis
air bersih menjadi tantangan yang akan semakin intens dihadapi masyarakat
Indonesia. Kabupaten Malang merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur
yang memiliki potensi sumber daya air yang cukup kaya. Meski memiliki 48
sumber mata air yang tersebar di 33 kecamatan, krisis air menjadi salah satu
permasalahan yang mengancam Kabupaten Malang. Pada tahun 2012 terdapat 13
kecamatan dari total 33 kecamatan di Kabupaten Malang yang mengalami krisis
air. Terjadinya krisis air pada daerah yang memiliki sumber daya air yang
melimpah mengindikasikan adanya persoalan yang sedang terjadi dalam tata
kelola sumber daya air. Paper ini memfokuskan pada pengkajian atas
pengelolaan sumber mata air di wilayah Gunung Kawi, Kabupaten Malang,
utamanya terkait dengan pola-pola partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat
dalam pengelolaan sumber daya berikut kontestasi kuasa yang terbangun. Paper
ini berargumen bahwa kerentanan atas air dapat dikelola tatkala partisipasi
masyarakat menjadi pondasi dalam tata kelola sumber data. Namun demikian,
perkembangan dalam pengelolaan sumber daya juga memicu tumbuhnya
kontestasi kuasa antar aktor tatkala terjadi transformasi pemanfaatan sumber
daya kearah profit ekonomi.
Kata Kunci: tata kelola; sumber saya air; partisipasi masyarakat,
kontestasi.
67
PENDAHULUAN
Kabupaten Malang tercatat telah mengalami krisis air di tengah keberlimpahan
sumber-sumber mata air yang dimilikinya. Pada tahun 2012, Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur (2012) memaparkan temuannya terkait
terjadinya krisis air di 13 kecamatan dari 33 kecamatan di Kabupaten Malang.
Ironisnya, di antara 13 kecamatan yang mengalami krisis air tersebut juga memiliki
sumber-sumber mata air.
Selain persoalan terjadinya musim kemarau, hal lain yang turut berkontribusi
terhadap terjadinya krisis air adalah menurunnya debit air dari sumber-sumber mata air
yang ada di 13 kecamatan tersebut (WALHI Jatim, 2012). Munculnya situasi di atas
menunjukkan adanya persoalan terkait tata kelola sumber mata air di Kabupaten
Malang. Salah satu penyebab dari persoalan tata kelola sumber mata air di Kabupaten
Malang adalah minimnya upaya konservasi yang dilakukan baik oleh warga maupun
pemerintah (Buwono, Muda, dan Arsad, 2017). Terdapat kecenderungan dimana
masyarakat dan pemerintah kabupaten lebih banyak mendekati sumber-sumber mata air
pada aspek pemanfaatan, namun masih belum optimal pada aspek perlindungan dan
pelestarian.
Masih belum optimalnya upaya-upaya perlindungan dan pelestarian sumber-
sumber mata air di Kabupaten Malang semakin diperparah dengan adanya beberapa
aktivitas masyarakat yang menambah beban atas fungsi sumber-sumber mata air.
Pertambahan penduduk, pembukaan lahan pertanian baru, hingga penebangan-
penebangan pohon di sekitar sumber mata air memberi tekanan yang semakin besar
bagi sumber mata air. Pada sisi yang lain, upaya konservasi atas sumber-sumber mata
air masih cenderung minim dilakukan.
Tulisan ini diangkat dari hasil penelitian atas tata kelola sumber daya air di
kawasan Pegunungan Kawi Kabupaten Malang. Pilihan atas lokasi penelitian dengan
mempertimbangkan relatif amannya ketersediaan air pada kawasan pegunungan. Selain
itu, terdapat keunikan tata kelola sumber daya air yang berlangsung di kawasan ini,
utamanya terkait dengan bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya
mata air. Tulisan ini lebih memfokuskan pada analisis terhadap pola partisipasi
masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan atas air berikut dinamika yang menyertainya.
68
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam menganalisis tata kelola sumber daya adalah
pendekatam kualitatif yang memberikan instrumen untuk lebih memahami makna
melalui cara kerja analisis data secara induktif (Creswell, 2012). Pendekatan ini dipilih
karena mampu menghasilkan data naratif terkait perilaku manusia, pemahaman latar
belakang dan penjelasan atas kesimpulan yang berlangsung secara kontinu (Taylor dan
Bogdan, 1984).
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yaitu penelitian untuk
mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasi suatu kasus dalam konteksnya di
mana kasus tersebut terjadi (Salim, 2001). Penelitian kualitatif dengan metode studi
kasus memfokuskan diri untuk mengetahui keumuman (diversity) dan kekhususan
(particularities) dari subyek penelitiannya. Hasil yang diharapkan adalah penjelasan
tentang keunikan dari kasus yang diteliti (Salim, 2001).
HASIL DAN DISKUSI
Krisis Air dan Tata Kelola Lingkungan
Krisis air telah menjadi fenomena global. Diestimasikan secara global, lebih dari
2,4 miliar orang masih memiliki kesulitan dalam hal sanitasi dan 2 miliar orang
mengalami permasalahan kesehatan akibat kualitas air yang buruk (Marks, 2009). Krisis
air pada akhirnya memiliki implikasi sigifikan terhadap penurunan kualitas kesehatan
dan kehidupan manusia. Terjadinya krisis air tidak hanya diakibatkan oleh faktor
geografis dan terjadinya perubahan iklim. Krisis air juga dapat terjadi pada wilayah
dengan potensi sumber mata air yang melimpah. Berdasarkan penelitian yang
dilaksanakan oleh Buwono, Muda, dan Arsad (2017) yang mengambil lokasi di
Kabupaten Malang, terjadinya krisis air lebih diakibatkan oleh minimnya upaya
konservasi atas sumber daya air yang diabaikan oleh masyarakat maupun pemerintah.
Penelitian di atas mengkonfirmasi hipotesis yang dikembangkan oleh John Urry
(2015), yang menyatakan bahwa persoalan terkait dengan lingkungan merupakan
implikasi dari keseluruhan pola interaksi sosial yang berkembang di masyarakat dalam
memaknai, memandang, dan menggunakan sumber daya (hutan, air, energi) yang ada di
sekitarnya. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan pada
akhirnya membutuhkan rekonstruksi atas struktur sosial yang dikembangkan oleh
69
masyarakat itu sendiri.
Pengelolaan lingkungan dan sumber daya berbasis komunitas menjadi salah satu
alternatif yang dipromosikan oleh berbagai pihak. Inisiatif lokal dalam menyelesaikan
persoalan lingkungan dan sumber daya menjadi salah satu faktor yang mendukung
upaya-upaya yang dilakukan oleh lembaga negara, swasta, hingga lembaga
internasional. Berbasis apa yang dilakukan oleh pemerintah Kota Surabaya dalam
mengatasi persoalan krisis air di wilayahnya, Pratono dan Suwarso (2007) berargumen
inisiatif dan keterlibatan aktif masyarakat dalam program mengatasi persoalan akses
terhadap air bersih menjadi faktor determinan dalam kesuksesan program di Kota
Surabaya.
Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya
Partisipasi masyarakat dalam penanganan persoalan lingkungan dan krisis sumber
daya tidak semudah yang dibayangkan. Berbasis pengalaman komunitas-komunitas
masyarakat di India, upaya kolektif masyarakat untuk mengatasi permasalahan
lingkungan dan memperjuangkan hak atas air menghadapi tantangan yang luar biasa
utamanya tatkala berhadapan dengan negara dan korporasi (Singh, 2016).
Dalam konteks demokrasi tata kelola lingkungan dan sumber daya, menempatkan
partisipasi dari masyarakat merupakan bagian dari membangun demokrasi dari bawah.
Secara konseptual, demokrasi dari bawah sejatinya menjadi sisi yang melengkapi
pelembagaan demokrasi yang dikembangkan oleh negara maupun rezim politik global.
Sebagaimana dikatakan Hiariej dan Stokke (2017), tidak berlangsungnya secara
sempurna konsolidasi demokrasi dikarenakan kecenderungan mendekati demokrasi
lebih pada pelembagaan demokrasi, namun kurang dalam memberikan ruang-ruang
partisipatif bagi masyarakat untuk aktif dalam mengisi proses demokrasi yang tengah
dikembangkan. Implikasinya, demokrasi mengalami pembajakan karena cenderung
hanya menjadi domain elite yang memanfaatkan keuntungan-keuntungan yang dibuka
oleh adanya institusionalisasi demokrasi prosedural (Hadiz, 2011; Hiariej dan Stokke,
2017).
Citizenship atau kewarganegaraan merupakan sifat yang dilekatkan pada warga
negara sebagai sebuah bagian dari suatu negara. Kewarganegaraan ini bersifat sangat
politis, pembentukannya melibatkan persaingan, ketegangan, dan konflik dalam
70
masyarakat luas (Hiariej dan Stokke, 2017). Kewarganegaraan formal dan aktual
merupakan produk sekaligus strategi politik, yang lebih jauh dapat didefinisikan sebagai
sebuah perjuangan untuk keadilan budaya, sosial, dan politik (Hiariej dan Stokke,
2017).
Stephen Ndegwa (1997) dalam Patterson (1999) menyatakan bahwa konsep
kewarganegaraan (citizenship) dapat dipahami setidaknya dari dua perspektif yakni
liberalisme dan komunalisme atau civic-republican. Perspektif liberalisme melihat
citizenship sebagai hak-hak individu dalam kelompok masyarakat. Gagasan citizenship
ala liberal menangkap ide bahwa manusia melihat diri mereka sebagai bagian dari
entitas politik yang lebih besar yang mana memberikan mereka akses yang sama
terhadap politik, sosial, dan hak-hak sipil (Patterson, 1999). Individu-individu tersebut,
atau disebut sebagai warga negara, mengekspresikan „kewarganegaraannya‟ melalui
aktivitas partisipatif untuk menunjukkan bahwa warga negara memiliki hak-hak dalam
proses pemerintahan di negara demokratis.
Sementara itu, Miller (1995) dalam Patterson (1999) menyatakan bahwa
perspektif komunalisme melihat konsep „kewarganegaraan‟ atau citizenship ini sebagai
sebuah bentuk tanggung jawab sebagai warga negara yang harus diberikan untuk
negaranya. Menurut Stewart (1995) dalam Patterson (1999), komunalis melihat warga
negara sebagai bagian dari shared community. Implikasinya, Oldfield (1990) dalam
Patterson (1999) menyatakan bahwa individu sebagai warga negara dan bagian dari
shared community, merasa memiliki tanggung jawab terhadap lingkungannya serta
merasa bertanggung jawab untuk turut serta pencapaian tujuan bersama.
Masyarakat dalam negara demokrasi merupakan bagian penting yang tidak bisa
dilepaskan dalam proses berlangsungnya pemerintahan, termasuk di dalamnya
pengelolaan sumber daya alam. Dalam konteks citizenship yang secara singkat telah
dipaparkan di atas, maka ada upaya masyarakat sebagai warganegara untuk terlibat aktif
atau berpartisipasi dalam terselenggaranya pemerintahan, baik di tingkat pusat hingga di
tingkat pemerintahan terkecil seperti desa.
Davis (1962) dalam Arnstein (1969) mendefinisikan partisipasi sebagai sebuah
keterlibatan baik mental maupun emosional seseorang dalam situasi kelompok yang
mendorongnya untuk berkontribusi untuk mendukung atau menunjang tercapainya
tujuan-tujuan kelompok serta turut bertanggung jawab terhadap kelompok tersebut.
71
Siagian (1985), membagi partisipasi menjadi dua, yakni partisipasi aktif dan pasif.
Partisipasi pasif dimaknai sebagai keterlibatan seseorang yang tidak bertanggung jawab
penuh untuk mendukung tercapainya tujuan kelompok namun perilaku serta
tindakannya tidak mengakibatkan terhambatnya suatu kegiatan. Partisipasi aktif
merujuk pada aktifitas yang turut serta memikirkan nasib sendiri dengan memanfaatkan
lembaga sosial dan politik yang ada dalam masyarakat sebagai penyalur aspirasinya.
Dalam konteks tata kelola sumber daya, ada perasaan „memiliki‟ dalam diri
masyarakat terhadap sumber daya di lingkungannya. Partisipasi masyarakat
menekankan pada keterlibatan individu dalam perencanaan, pengimplementasian dan
pengaturan lingkungan lokal mereka (UNEP, 2004). Implikasinya, masyarakat dengan
kesadaran diri ikut terlibat dalam pengelolaannya untuk kebaikan bersama.
Pengelolaan Sumber Mata Air di Gunung Kawi
Keberadaan sumber mata air-sumber mata air di wilayah Gunung Kawi
merupakan bagian dari keberadaan hutan yang berada di wilayah Gunung Kawi. Pada
awal keberadaan hutan sejatinya pohon-pohon trembesi dan bambu yang memiliki
fungsi menahan dan menyimpan air hujan menjadi air tanah.
Keberadaan hutan yang didominasi oleh pohon-pohon penyimpan air seperti
trembesi dan bambu ini memberi kontribusi terhadap munculnya sumber mata air-
sumber mata air di hutan yang berada di Gunung Kawi. Untuk saat ini, justru terlihat
dominan pada wilayah Gunung Kawi adalah pepohonan jenis pinus dan karet, meski
demikian pohon bambu masih bisa ditemui utamanya pada lokasi sekitar sumber air.
Perubahan jenis pepohonan di hutan Gunung Kawi memiliki keterkaitan dengan
program pemerintah yang mendorong tanaman-tanaman keras, yang memiliki nilai
ekonomi sebagai komoditas ekspor, pada hutan-hutan negara sekitar tahun 1970-an.
Pada awalnya, penggunaan dan pemanfaatan air yang berasal dari sumber mata air
di Gunung Kawi, khususnya yang berada di Desa Balaisari Kecamatan Ngajum dan
Desa Wonosari Kecamatan Wonosari dilakukan secara sporadis dan spontan oleh
masyarakat sekitar sumber mata air. Sekitar tahun 1948 sudah mulai ada mekanisme
sederhana yang dibuat oleh masyarakat untuk memanfaatkan sumber mata air bagi
kebutuhan air minum warga.
Karena letak sumber air Sumber Manggis dan Sumber Urip yang relatif jauh dari
72
permukiman penduduk Desa Balaisari dan Desa Wonosari, masyarakat kemudian
bersama-sama membuat sistem untuk mengalirkan air dari sumber mata air ke
permukiman. Sistem yang dibuat menggunakan bambu yang disambung-sambung dari
lokasi sumber mata air sampai ke rumah-rumah warga. Oleh masyarakat setempat
sistem itu dinamakan dengan Pring Kricik/Pring Kucur.
Proses pembuatan Pring Kricik/Pring Kucur sebagai mekanisme untuk
mengalirkan air dari sumber mata air ke rumah-rumah warga di Desa Balaisari dan
Desa Wonosari merupakan hasil kerjasama antarwarga yang bergotong- royong
membangun Pring Kricik/Pring Kucur sampai ke rumah-rumah warga yang
membutuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa pada awalnya sistem pengeloaan sumber
mata air berikut pemanfaatnya dilakukan oleh masyarakat langsung yang membutuhkan
ketersediaan air bagi kebutuhan minum dan rumah tangga.
Sistem pengelolaan sumber mata air di Desa Balaisari dan Desa Wonosari mulai
mengalami pergeseran tatkala pemanfaatan sumber mata air di dua desa tersebut tidak
lagi terbatas pada pemenuhan kebutuhan air minum dan rumah tangga warga, namun
juga untuk kebutuhan warga dari luar Desa Balaisari dan Desa Wonosari yang datang ke
Gunung Kawi untuk melakukan ziarah, tirakat, ibadah maupun melakukan wisata alam
dan religi. Fungsi sumber mata air Sumber Manggis dan Sumber Urip pada akhirnya
tidak hanya sebatas pemenuhan kebutuhan dasar atas air untuk warga sekitar, namun
juga menopang geliat aktivitas wisata dan aktivitas religi yang semakin berkembang di
Gunung Kawi.
Perkembangan dari pemanfaatan sumber mata air Sumber Urip dan Sumber
Manggis ini tidak terlepas dari adanya kraton, pesarean (makam), tempat peribadatan
yang berada di sekitar Desa Balaisari dan Desa Wonosari. Di samping itu, adanya
keinginan masyarakat luar untuk melakukan ritual mandi dan minum dari air yang
berasal dari sumber mata air Sumber Manggis dan Sumber Urip ditangkap oleh
masyarakat dengan menumbuhkan kreativitas ekonomi membuat pemandian-pemandian
bagi warga yang datang di Desa Balaisari dan Desa Wonosari. Sumber mata air Sumber
Urip dan Sumber Manggis pada akhirnya melayani dua fungsi yakni pemenuhan
kebutuhan dasar atas air dan penunjang aktivitas ekonomi (wisata) berbasis
pemanfaatan air.
Perkembangan dari fungsi sumber mata air di atas pada akhirnya turut
73
memengaruhi sistem pengelolaan sumber mata air. Adanya dampak ekonomis dari
pengelolaan sumber mata air, utamanya terkait dengan aktivitas wisata (pemandian,
penginapan/hotel) menjadi salah satu faktor yang menumbuhkan kebutuhan untuk
mengelola sumber mata air secara lebih terstruktur, tidak lagi berbasis spontanitas dan
tidak terlembaga. Konteks kebutuhan untuk lebih menstrukturkan kelembagaan
pemanfaatan sumber mata air, utamanya untuk wisata, pada akhirnya mengubah sistem
pengelolaan yang sebelumnya dilakukan secara bersama oleh masyarakat berganti
mengarah pada sistem pengelolaan berbasis kelompok masyarakat
Transformasi Struktur Pengelola Sumber Air
Hadirnya struktur pengelola pemanfaatan air dari sumber mata air Sumber Urip
berawal dari kisah tentang kesembuhan warga dari luar wilayah Gunung Kawi yang
meminum air yang berasal dari sumber mata air Sumber Urip. Kisah kesembuhan warga
yang sebelumnya diindikasikan kritis dan mendapat kesembuhan setelah meminum air
dari sumber mata air Sumber Urip akhirnya merebak ke warga-warga desa di sekitar
wilayah Gunung Kawi yang membuat warga sekitar sumber air berbondong-bondong
untuk ke sumber mata air Sumber Urip untuk memperoleh berkah yang sama.
Jika sebelum-sebelumnya fungsi sumber mata air Sumber Urip adalah untuk
menopang kelangsungan hidup masyarakat dalam hal pemenuhan kebutuhan air minum
dan rumah tangga, fungsi sumber mata air menjadi bertambah sebagai sumber
penyembuhan yang menghidupkan warga akibat adanya perubahan persepsi atas fungsi
sumber mata air Sumber Urip.
Hadirnya fungsi baru dari sumber mata air Sumber Urip ini pada akhirnya
meningkatkan kuantitas jumlah orang yang datang berkunjung ke Desa Wonosari.
Selain melakukan ziarah, tirakat, dan ibadah, warga yang datang juga mencari air yang
berasal dari sumber mata air Sumber Urip untuk diminum. Di samping mencari air
untuk diminum, kehadiran warga yang datang lebih dari satu hari juga membutuhkan air
untuk sarana mandi dan bersih-bersih warga yang datang untuk ziarah, tirakat, dan
ibadah. Adanya kebutuhan ini pada akhirnya menciptakan kebutuhan infrastruktur
penunjang dalam bentuk permandian-permandian bagi warga yang datang ke Desa
Wonosari.
Dari sinilah konteks hadirnya permandian-permandian baik dalam bentuk
74
permandian umum maupun permandian-permandian privat hadir di kawasan Gunung
Kawi dapat dipahami tanpa mengurangi adanya faktor perluasan fungsi dari sumber
mata air Sumber Urip sebagai sarana penyembuhan baik melalui metode diminum
maupun digunakan sebagai air untuk mandi dan bersuci.
Persingungan antara kebutuhan praktis dan persepsi atas fungsi air penyembuh
menjadikan wisata pemandian di Desa Wonosari dan Desa Balaisari berkembang
hingga saat ini. Hadirnya pemandian-pemandian ini menjadi penambah ritus-ritus yang
dilakukan oleh warga yang datang ke kawasan Gunung Kawi dengan tidak hanya
melakukan ziarah, tirakat, ibadah, namun juga melakukan mandi dan bebersih di
pemandian dan atau minum air dari sumber mata air Sumber Urip.
Letak permandian-permandian yang dibangun untuk warga yang datang ke
kawasan Gunung Kawi berdekatan dengan lokasi makam maupun kraton yang menjadi
tempat ziarah, tirakat, ibadah. Infrastruktur-infrastruktur untuk penyediaan tempat
permandiaan bagi warga yang datang ke Gunung Kawi, karena letaknya berada di areal
pemakaman, utamanya pemakaman pendiri desa: Mbah Jugo. Lebih memberikan
kesempatan bagi para keturunan Mbah Jugo untuk mengambil inisiatif dalam
penyediaan infrastruktur-infrastruktur sanitasi penunjang pemanfaatan sumber mata air
Sumber Urip.
Berawal dari sini kemudian terbangun struktur baru dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumber mata air Sumber Urip. Jika sebelumnya, struktur pengelolaan
sumber mata air Sumber Urip lebih bersifat spontan dilakukan bersama-sama dalam
rangka pemenuhan kebutuhan air dan rumah tangga warga Desa, dengan adanya
kebutuhan menghadirkan infrastruktur-infrastruktur sanitasi penunjang areal
pemakaman maka terdapat struktur baru dalam pemanfaatan sumber mata air yang
dikelola oleh keluarga besar keturunan Mbah Jugo.
Struktur baru dalam pemanfaatan sumber mata air Sumber Urip merupakan
kelanjutan dari kelembagaan yang telah dibentuk oleh keluarga keturunan Mbah Jugo
untuk mengelola, menjaga, dan merawat pemakaman leluhur Mbah Jugo. Para
keturunan Mbah Jugo telah membentuk sebuah lembaga dengan nama Yayasan
Ngestigondo. Yayasan ini kemudian berkembang dalam proses pengelolaan, tidak
hanya sebatas mengelola makam namun juga meningkat dalam mengelola infrastruktur
sanitasi (toilet) dan pemandian yang dibangun di sekitar makam Mbah Jugo.
75
Kawasan Gunung Kawi pada akhirnya menjadi terkenal sebagai salah satu tempat
wisata di Kabupaten Malang. Orang yang datang dari luar kawasan Gunung Kawi
semakin banyak, tidak saja dari wilayah Kabupaten Malang, namun juga dari daerah
yang relatif jauh dari Gunung Kawi. Kehadiran warga yang semakin banyak
menumbuhkan kebutuhan untuk tempat penginapan bagi tempat peristirahatan orang
luar daerah.
Struktur kesempatan yang terbuka akibat adanya kebutuhan tempat penginapan
dimanfaatkan oleh warga Desa Wonosari dengan membangun tempat-tempat
penginapan/hotel di wilayah Desa Wonosari. Berdasarkan data BPS tahun 2017,
terdapat 91 penginapan/hotel di Desa Wonosari. Jumlah penginapan/hotel di satu desa
yang mencapai angka 91 menunjukkan bahwa tingkat kehadiran orang ke kawasan
Gunung Kawi cukup signifikan. Hal ini juga memberikan implikasi geliatnya ekonomi
dari sektor wisata di Desa Wonosari.
Satu hal yang cukup menarik tatkala mencermati geliat ekonomi di Desa
Wonosari terkait dengan tumbuhnya tempat-tempat penginapan/hotel adalah sebagian
besar dari tempat penginapan/hotel merupakan milik warga yang masih memiliki garis
keturunan leluhur desa yakni Mbah Jugo. Selain itu, warga yang masih memiliki garis
keturunan Mbah Jugo juga mengelola lahan-lahan parkir bagi kendaraan-kendaraan
pengunjung yang datang melakukan ziarah, tirakat, ibadah maupun wisata ke Desa
Wonosari.
Konteks di atas menambah peran signifikan dari Yayasan Ngestigondo pada Desa
Wonosari pada khususnya maupun kawasan Gunung Kawi pada umumnya. Yayasan
Ngestigondo yang secara langsung aktif dalam mengelola kompleks pemakaman,
pemandian, sarana sanitasi (toilet), tempat parkir, hingga penginapan/hotel di Desa
Wonosari terlihat menjadi aktor utama dari perkembangan ekonomi desa, utamanya
sektor pariwisata.
Pelembagaan terhadap proses pemanfaatan sumber mata air tidak hanya dilakukan
oleh Yayasan Ngestigondo, namun juga oleh masyarakat di sekitar hutan yang
berdekatan dengan letak sumber mata air. Di Desa Wonosari telah terbentuk
kelembagaan yang disusun oleh sekelompok warga, utamanya yang berasal dari RW 1.
Kelompok warga ini merupakan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang
memiliki peran dalam pengelolaan sumber mata air di Desa Wonosari utamanya pada
76
sumber mata air Sumber Urip dan Sumber Manggis. LMDH yang dibentuk oleh warga
RW 1 dinamakan LMDH Sumber Marem.
Salah satu peran signifikan yang dilakukan oleh LMDH adalah melakukan
pemanfaatan sumber mata air untuk pemenuhan kebutuhan air minum warga. Aktifitas
yang dilakukan adalah mengelola Pring Kricik yakni sistem pengaliran air dari sumber
air menuju rumah-rumah warga di RW 1 untuk digunakan sebagai air minum dan
kebutuhan keluarga. Meski strukturnya dibuat sederhana dengan hanya terdiri dari
Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan Petugas Pemeliharaan, LMDH juga menjadi lembaga
yang mengorganisir pertemuan-pertemuan warga di RW 1 untuk membahas tentang
permasalahan-permasalahan terkait dengan pengelolaan Pring Kricik, baik soal besaran
kontribusi bagi pengguna layanan Pring Kricik, penentuan ekspansi pemanfaat layanan
Pring Kricik di luar warga RW 1, hingga membahas perawatan sistem Pring Kricik.
Peran LMDH Sumber Marem dalam pengelolaan air dapat tumbuh dan
berkembang juga disebabkan oleh keleluasaan yang diberikan perhutani kepada
masyarakat untuk memanfaatkan sumber-sumber mata air yang letaknya berada pada
hutan negara yang dikelola oleh Perhutani. Keleluasaan yang diberikan perhutani
kepada LMDH merupakan berkah bagi masyarakat karena hingga saat ini dari pihak
perhutani belum meminta kontribusi atas pemanfaatan sumber mata air yang dilakukan
oleh LMDH.
Meski demikian, dengan perkembangan dari proses pemanfaatan sumber mata air
baik yang dilakukan oleh LMDH maupun oleh Yayasan Ngestigondo, muncul wacana
yang berkembang di lingkup Perhutani untuk menggagas Perjanjian Kerja Sama (PKS)
antara Perhutani, LMDH dan juga Desa. Perjanjian Kerja Sama tersebut akan diarahkan
pada besaran debit air yang bisa diakses masyarakat serta persentase bagi hasil atas
proses-proses pemanfaatan sumber mata air yang semakin terlihat besaran nilai
ekonominya. Rencana membuat PKS ini juga untuk lebih memformalkan kerjasama
yang telah berlangsung antara perhutani dengan LMDH yang telah sejak lama
memanfaatkan air dari sumber mata air Sumber Urip dan Sumber Manggis.
Kompleksitas Tata Kelola Sumber Mata Air
Upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat Desa Wonosari dalam pemanfaatan
sumber mata air Sumber Urip dan Sumber Manggis memberikan gambaran terkait
77
perkembangan tata kelola yang dilakukan masyarakat terhadap sumber mata air. Hal
yang sangat terlihat jelas adalah terjadinya transformasi dalam hal pengelolaan sumber
mata air. Jika pada awalnya, tata kelola sumber mata air dilakukan secara spontan dan
dijalankan secara bersama-sama oleh masyarakat, dalam perjalanan waktu mulai
bergeser ke arah tata kelola sumber mata air yang dilakukan secara lebih terstruktur
melalui kelembagaan yang dibangun oleh kelompok masyarakat.
Hal ini secara jelas terlihat dari perkembangan aktivitas yang dilakukan oleh
Yayasan Ngestigondo dan HIPPAM Sumber Marem. Tumbuh dan berkembangnya
Desa Wonosari sebagai tujuan wisata serta kebutuhan memudahkan masyarakat dalam
mengakes air dari sumber air secara lebih mudah menjadi variabel penjelas dari
pergeseran tata kelola sumber mata air dari spontan dan dilakukan bersama-sama
menuju tata kelola sumber mata air yang terstruktur dan dilakukan oleh lembaga
spesifik yang memiliki fokus pada pemanfaatan sumber mata air Sumber Urip dan
Sumber Manggis.
Transformasi berikutnya yang terjadi mengiringi perkembangan tata kelola
sumber mata air di Desa Wonosari adalah adanya pola komersialisasi atas sumber daya
air yang digunakan. Perkembangan tata kelola sumber mata air di Desa Wonosari
semakin menunjukkan kuatnya logika-logika ekonomi dalam mengelola sumber daya
air. Jika pada awalnya tata kelola sumber mata air dilakukan dengan pola bebas dan
gratis, dengan hadirnya HIPPAM Sumber Marem yang menjalankan pipanisasi dan
penarikan iuran bulanan atas pemanfaatan air dari sumber mata air, tata kelola sumber
mata air mulai mengarah pada sistem privatisasi sumber daya.
Komersialisasi sumber daya air semakin intens terlihat di Desa Wonosari
mengiringi perkembangan ekonomi wisata religi. Terjadi pergeseran di mana sumber
daya tidak lagi didekati sebagai „sumber daya publik‟ yang bebas diakses tanpa
konsekuensi, namun mulai didekati sebagai „sumber daya privat´ melalui prasyarat-
prasyarat baru (iuran untuk memperoleh layanan) untuk bisa memperoleh akses
terhadap air dari sumber mata air.
Transformasi yang lain yang juga mengiringi adalah semakin menguatnya gejala
dominasi otoritas atas sumber mata air. Jika pada awal-awal pemanfaatan sumber mata
air Sumber Urip dan Sumber Manggis berbagai komponen baik perhutani, desa,
maupun kelompok masyarakat cenderung tidak terlalu mempersoalkan kepemilikan dan
78
otoritas atas sumber mata air, seiring dengan semakin membesarnya „profit‟ yang
dihasilkan dalam proses komersialisasi sumber mata air menjadikan berbagai pihak
yang berada di sekitar sumber mata air mulai menginginkan untuk lebih terlibat dalam
proses pemanfaatan sumber mata air sebagai salah satu mekanisme memperbesar
keuntungan (ekonomi) dari hasil melibatkan diri dalam proses pemanfaatan sumber air.
Selain terkait dengan potensi „profit‟ ekonomi yang semakin terlihat, kontestasi
antara perhutani, kelompok masyarakat pengguna air juga terkait dengan aspek
pengendalian atas penggunaan air dari sumber mata air. Berkembangnya sektor
pariwisata di wilayah Desa Wonosari telah menciptakan keinginan-keinginan untuk
memaksimalkan potensi sumber daya air yang ada. Terakhir adalah pembuatan Coban
Baung. Inisiasi masyarakat yang membuat Coban Baung dengan mengambil air dari
sumber mata air Sumber Urip dan Kali Gedong telah memperbesar debit air yang
diambil dari sumber-sumber mata air tersebut. Pihak perhutani mulai melihat perlu
adanya pengontrolan dalam pemanfaatan sumber mata air. Salah satu yang dilakukan
adalah dengan menurunkan besaran pipa dari 4 dim menjadi 2 dim untuk instalasi
pemasangan pipa-pipa ke rumah warga yang baru mendaftar untuk bergabung dalam
HIPPAM.
Selain itu, mulai digagas tentang kuota debit yang perlu diatur dalam rangka
menjaga ketersediaan dan keberlangsungan sumber mata air. Pengaturan kuota debit ini
dikarenakan pihak perhutani melihat bahwa saat ini pemanfaatan sumber mata air tidak
lagi hanya sebatas untuk pemenuhan kebutuhan pokok air minum warga, namun juga
sudah dikembangkan ke arah ekonomi pariwisata yang menggunakan air dari sumber
mata air sebagai salah satu komponen utama pengembangan wisata.
Di sisi lain, kelompok masyarakat juga mulai memiliki kepentingan untuk dapat
lebih besar akses terhadap sumber mata air. Sudah ada permintaan yang ditujukan
kepada pihak perhutani agar sumber mata air, utamanya sumber mata air Sumber Urip,
untuk bisa diserahkan kepada masyarakat dengan harapan masyarakat lebih bisa
mengoptimalkan penggunaan sumber mata air. Sampai pada saat penelitian ini
berlangsung, upaya yang dilakukan oleh kelompok masyarakat untuk mendapatkan
akses penuh terhadap sumber mata air Sumber Urip masih belum memperoleh
persetujuan dari pihak perhutani.
Belum diperolehnya persetujuan dari pihak perhutani lebih didasarkan pada
79
kekhawatiran akan terjadinya eksploitasi air dari sumber mata air dan mengancam
keberlangsungan dari sumber mata air itu sendiri. Kekhawatiran ini didasarkan pada
semakin besarnya pemanfaatan air dari sumber mata air untuk pemanfaatan pada sektor
pariwisata, utamanya yang mendukung sarana permandian, coban, penginapan/hotel,
maupun fasilitas sanitasi (toilet umum) bagi pengunjung yang datang ke Desa
Wonosari.
Kontestasi yang semakin terlihat dalam tata kelola sumber mata air di Desa
Wonosari juga menunjukkan adanya pergeseran secara signifikan makna sumber mata
air oleh masyarakat. Jika sebelumnya sumber mata air lebih sebagai sarana untuk
menunjang kehidupan masyarakat Desa Wonosari, melalui penyediaan air bagi
kebutuhan minum dan rumah tangga, saat ini telah berkembang ke arah air sebagai
faktor penting bagi pengembangan ekonomi pariwisata di Desa Wonosari. Sumber mata
air menjadi semakin menjadi komoditas yang dimaksimalkan untuk orientasi
keuntungan (ekonomi). Pergeseran pemaknaan atas sumber mata air ini jika terus
berlangsung dan membesar akan memberi tekanan pada keberlangsungan sumber daya.
Sejauhmana pergeseran pemaknaan atas sumber mata air yang semakin besar pada
fungsi ekonomi memberi tekanan terhadap fungsi sosial dan fungsi ekologis menjadi
kajian penting untuk lebih didalami.
Konteks beberapa pergeseran yang terjadi seiring dengen perkembangan
pemanfaatan sumber mata air sebagaimana dipaparkan diatas semakin menciptakan
kompleksitas tatkala dilihat dari sudut pandang ekologi. Terdapat kesan dimana sumber
daya air masih dilihat sebagai „sumber daya tidak terbatas‟ dan kurang tergambar
adanya kekhawatiran atas keterancaman terkait ketersediaan sumber daya. Gambaran ini
bisa dilihat dari pilihan mekanisme yang digunakan oleh HIPPAM Sumber Marem yang
memilih menggunakan sistem los (bebas) dibandingkan dengan sistem meteran (kuota).
Salah satu implikasi dari pilihan sistem ini adalah masyarakat bebas memanfaatkan
sebesar apapun yang diinginkan dan bahkan limpahan-limpahan air yang mengalir ke
rumah- rumah warga terbuang secara percuma karena tidak ada sistem untuk
menyetop aliran air yang dikirim ke rumah-rumah warga. Lazim terlihat limpahan air
yang terbuang percuma karena proses aliran air yang berlangsung terus-menerus.
Transformasi-transformasi yang tengah berlangsung di Desa Wonosari
memberikan kompleksitas atas pengembangan tata kelola sumber mata air.
80
Kompleksitas yang tengah berlangsung juga telah mulai terlihat menumbuhkan bibit-
bibit konflik/kontestasi akibat semakin kuatnya tarik-menarik kepentingan dari pihak-
pihak yang berada di sekitar sumber mata air. Selain tumbuhnya bibit kontestasi antar
komponen masyarakat, hal lain yang juga patut menjadi perhatian adalah tentang
pemaknaan atas sumber daya yang cenderung semakin mengarah pada orientasi-
orientasi ekonomi dibandingkan dengan orientasi-orientasi sosial dan ekologis.
Kesimpulan
Kelangkaan barang publik berupa sumber air bersih menjadi permasalahan yang
kedepan yang dihadapi berbagai daerah, termasuk di Kabupaten Malang. Adanya
fenomena krisis atas air yang terjadi di Kabupaten Malang telah menciptakan
momentum untuk melakukan pengkajian atas tata kelola sumber air. Hadirnya
kemandirian warga dalam memastikan pemenuhan atas barang publik berupa air bagi
keberlangsungan kehidupan masyarakat menjadi fondasi penting bagi penyelesaian
permasalahan air. Upaya-upaya partisipasi dari bawah yang dilakukan oleh masyarakat
membentuk ruang-ruang yang semakin lebar bagi hadirnya republican citizenship di
tingkat bawah. Ketiadaan peran dari aktor lain (misalnya pemerintah maupun swasta)
pada penyediaan barang publik di tingkat masyarakat telah memunculkan ruang bagi
terbangunnya partisipasi dan solidaritas kolektif di tingkat bawah.
Kontestasi kuasa atas tata kelola air akan semakin menguat tatkala pengelolaan
atas air menciptakan pertambahan nilai ekonomi-politik baik pada sumber daya air
maupun pada kelembagaan yang mengurusi air. Kontestasi kuasa yang berkorelasi
dengan nilai ekonomi-politik dari barang publik yang ada di tingkat desaakan menjadi
wujud dari dinamika perpolitikan di tingkat bawah. Tatkala nilai ekonomi-politik dari
sumber daya di tingkat bawah semakin besar, kehadiran aktor-aktor yang sebelumnya
mengabaikan sumber daya desa menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindarkan.
Penelitian-penelitian lanjutan terkait dengan kontestasi kuasa di tingkat desa, utamanya
tatkala pemerintah supra desa dan/atau perusahaan menjadikan desa berikut potensi
sumber daya yang dimilikinya menjadi penting untuk dilakukan. []
81
Daftar Referensi
Arnstein, S.R. 1969. “A Ladder of Citizen Participation.” Journal of the American
Planning Association 35 (4): 216-224.
Buwono, N. R., G. O. Muda, dan S. Arsad. 2017. “Pengelolaan Mata Air Sumberawan
Berbasis Masyarakat di Desa Toyomarto Kecamatan Singosari Kabupaten
Malang.” Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan 9 (1): 25-36.
Creswell, J.W. 2012. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hadiz, V. 2011. Localizing Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia
Perspective. Standford: Stanford University Press.
Hiariej, E., dan K. Stokke. 2017. Politics of Citizenship in Indonesia. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Marks, S. 2009. Water Shock: Water in Crisis. New Jersey: John Willey & Sons.
Patterson, A. S. 1999. “The Dynamic Nature of Citizenship and Participation:
Lesson from Three Rural Senegalese Case Studies.” Journal of Africa
Today 46 (1): 3-27.
Pratono, A., dan B. Suwarso. 2007. “Community-Based Environmental Governance: A
Community Movement in Surabaya.” 20 Maret. www.wepa-
db.net/pdf/0810forum/paper30.pdf.
Salim, A. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Siagian, S. P. 1985. Administrasi Pembangunan. Jakarta: Gunung Agung.
Singh, N. 2016. The Human Right to Water: From Concept to Reality. Switzerland:
Springer.
Taylor, S. J., dan R. Bogdan. 1984. Introduction to Qualitative Research Methods: The
Search for Meaning. New York: John Wiley & Sons.
UNEP. 2004. “Environmental Management and Community Participation: Enhancing
Local Programmes.” Diakses Oktober 4, 2016. http://www.unep.or.jp
Urry, J. 2015. “Climate Change and Society.” Dalam Why the Social Science Matter.
New York: Palgrave-Macmillan.
WALHI Jatim. 2012. Dampak Kekeringan: 13 Kecamatan di Malang Krisis Air. 11
September. http://walhijatim.or.id.