ejurnal udolf (02-06-14-04-36-03)
description
Transcript of ejurnal udolf (02-06-14-04-36-03)
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, 2 (1): 37-48
ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org
© Copyright 2014
STRATEGI KAMBOJA DALAM PENYELESAIAN KONFLIK KUIL
PREAH VIHEAR PASCA BENTROKAN BERSENJATA DENGAN
MILITER THAILAND TAHUN 2011
RUDOLF VOLMAN1
NIM. 0802045247
Abstrak:
This research aims to describe the conflict resolution strategies of Cambodia
Preah Vihear temple after armed clashes with the Thai armi in 2011. This type
of research is descriptive which describe strategies for conflict resolution
Cambodia Preah Vihear temple after armed clashes with the Thai armi in 2011.
The data described is secondary data obtained through literature review and
literature such as books, the internet, and others. The analysis technique used
is the Library Research Studies.
The results show that the strategy used by the parties in resolving disputes
Cambodian seizure of territory around the Preah Vihear temple between
Thailand and Cambodia is to involve a third party in settlement of the conflict.
Cambodia found the desired bilateral settlement mechanism Thai side did not
give a peace agreement between the two countries so that the need for a third
party in settlement of the case. In resolving the case, the trusted third party is
Indonesian Cambodia and the United Nations.
Keywords : Strategi Kamboja, Kuil Preah Vihear
Pendahuluan
Kuil Hindu Preah Vihear yang berusia kurang lebih 900 tahun menjadi sumber
perselisihan antara Kamboja dan Thaiand, setelah pasukan Prancis menarik diri
dari kawasan Indochina pada tahun 1954, kedua negara saling mengklaim wilayah
tersebut sebagai kedaulatannya masing-masing. Kamboja mengklaim wilayah
Kuil tersebut berdasarkan peta yang dibuat tahun 1907, sementara Thailand
menggunakan peta tahun 1904. Kuil Preah Vihear merupakan kuil yang dibangun
oleh suku asli Kamboja (suku Khmer) sehingga atas dasar sejarah itulah pada
tahun 1962 Makamah Internasional memutuskan Kuil tersebut merupakan milik
Kamboja( http://id.shvoong.com/law-and-politics/international-law/2014090-
1 Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Mulawarman. Email: [email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 37-48
38
konflik-perbatasan-thailand-dan-kamboja/). Tetapi menurut Thailand, sebenarnya
wilayah di sekitar kuil Preah Vihear bukan milik siapapun, karena daerah
perbatasan tersebut dibuat secara sembarangan pada zaman colonial Prancis,
tetapi bangunan tersebut merupakan tempat suci bagi seluruh masyarakat sekitar
untuk beribadah.
Konflik tersebut semakin berkelanjutan setelah Kuil Preah Vihear yang
disebutkan terletak di wilayah Kamboja secara resmi masuk kedalam daftar
warisan dunia (World Heritage List) yang dikeluarkan oleh UNESCO (United
Nations Economic, Social and Organization) pada tahun 2008 lalu. Langkah ini
nampaknya tidak dapat diterima oleh Pemerintah Thailand. Sehingga konflik
antara Kamboja dan Thailand mulai muncul pada tahun 2008 lalu pasca keputusan
UNESCO tersebut.
Sejak saat itu kedua pihak telah membangun pertahanan militer di sepanjang
perbatasan dan bentrokan secara berkala pernah terjadi sehingga mengakibatkan
kematian sejumlah tentara dari kedua pihak. Konflik kedua negara ini disebabkan
oleh ketidakjelasan keputusan Makamah Internasional atas wilayah seluas 4,6
Km2 persegi di sekitar kuil Preah Vihear. Sehingga kedua negara saling
mengklaim daerah seluas 4,6 km persegi tersebut masuk kedalam wilayah
kedaulatannya masing-masing.
Tahun 2011 lalu telah terjadi beberapa kali bentrokan bersenjata antara kedua
pasukan militer kedua negara di wilayah kuil Preah Vihear, ketegangan di
kawasan Candi Preah Vihear semakin meningkat pada bulan februari 2011
setelah Thailand dan Kamboja sama-sama mengklaim menguasai wilayah
tersebut. Bentrokan senjata ini terjadi sekitar 100 km dari candi. Tetapi kedua
negara membantah sebagai pihak yang pertama kali menembakan senjata.
Thailand mengatakan pasukan mereka tengah berpatroli ketika pasukan Kamboja
menembak, sedangkan Kamboja mengklaim kalau pasukan Thailand melakukan
serangan bersenjata yang agresif ke tentara Kamboja. Akibat dari bentrokan
tersebut sepuluh orang tewas dalam bentrokan bersenjata antara pasukan militer
kedua negara tersebut. Beberapa bulan kemudian pada bulan April 2011 lalu
kedua negara ini kembali terlibat bentrokan bersenjata dan menewaskan enam
orang tewas, duabelas lainnya terluka dan tiga orang dalam keadaan kritis
(http://www.bbc.co.uk/Indonesia/dunia/2011/04/110422_cambodiathailand.shtml.
Konflik ini telah menjadi komoditi politik domestik di kedua negara. Mengingat
kekalahannya di Mahkamah Internasional 1962, Thailand hanya mau
menyelesaikan konflik dalam level bilateral. Dalam posisi ini, Thailand secara
angka lebih kuat dibandingkan Kamboja. Sementara itu, Kamboja lebih percaya
diri melibatkan pihak luar, baik PBB maupun ASEAN. Keterlibatan pihak luar
dipercaya bisa menaikan posisi tawar Kamboja dimata Thailand.. Ketidaksamaan
pendekatan yang ingin digunakan oleh kedua negara menyebabkan konflik ini
terus berlanjut hingga sekarang(http://www.politik.lipi.go.id/index.php/en/
Strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil tahun 2011 (Rudolf Volman)
39
columns/politikinternasional/451-menanti-diplomasi-tingkat-tinggi-indonesia-
dalam-konflik-thailand-kamboja).
Perbedaan asumsi Thailand yang hanya ingin menyelesaikan konflik secara
bilateral dan tidak ingin adanya pihak luar dalam penyelesaian konflik kuil
tersebut, ini membuktikan bahwa Thailand ingin konflik tersebut terus berlanjut
karena Thailand ingin mempertahankan klaimnya terhadap wilayah disekitar kuil
Preah Vihear. Hal ini merupakan tantangan yang serius bagi pemerintah Kamboja,
oleh sebab itu Kamboja harus mempersiapkan strategi untuk menyelesaikan
konflik tersebut sehingga dapat menjaga wilayah kedaulatannya di Kuil Preah
Vihear.
Berkaitan dengan judul dan latar belakang masalah, maka penulis membatasi
masalah pada bagaimana strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil Preah
Vihear pasca bentrokan bersenjata dengan militer Thailand tahun 2011?
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui dan
mendeskripsikan strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil Preah Vihear
pasca bentrokan bersenjata dengan militer Thailand tahun 2011.
Landasan Teori dan Konsep
A. Teori Konflik
Konflik secara konseptual yaitu dengan konflik dimaksudkan perwujudan atau
pelaksanaan beraneka pertentangan antara dua pihak, yang dapat merupakan dua
orang atau bahkan golongan besar seperti Negara. Kadang-kadang konflik
dugunakan untuk menyebut pertentangan antara pandangan dan perasaan
seseorang (BN.Marbun,1996:34).
Soerjono Soekanto menyebutkan sebab-sebab terjadinya konflik dapat dibedakan
sebagai berikut :
1. Perbedaan antara individu-individu.
2. Pebedaan Kebudayaan.
3. Perbedaan Kepentingan.
4. Perubahan Sosial (Soerjono Soekanto,1990:107-108).
B. Konsep Strategi Penyelesaian Konflik
Menurut Wijono, untuk mengatasi konflik individu/kelompok diperlukan tiga
strategi yaitu :
Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy)
Berorientasi pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya
individu atau kelompok yang bertikai mengambil jalan tengah (berkompromi) atau
membayar sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa
orang atau kelompok ketiga sebagai penegah. Dalam strategi kalah-kalah, konflik
bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan
mengalami jalan buntu, maka pihak ketiga diundang untuk campur tangan oleh
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 37-48
40
pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri.
Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu :
a. Arbitrasi (Arbitration)
Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah
pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan penegah dalam
menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat.
b. Mediasi (Mediation)
Mediasi dipergunakan oleh mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti
yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang mediator tidak mempunyai
wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi
yang diberikan tidak mengikat (http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/04/manajemen-
konflik-definisi-ciri-sumber.html).
Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif, yaitu
berupaya untuk menggambarkan strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik
Kuil Preah Vihear pasca bentrokan bersenjata dengan militer Thailand tahun
2011. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah tinjauan pustaka (library
research) dengan mengumpulkan data-data sekunder yang bersumber dari buku-
buku, artikel, dan data-data dari internet yang tingkat kapabilitasnya terhadap
permasalahan yang dihadapi dan validitasnya dapat dipertanggung jawabkan.
Jenis data yang digunakan adalah data Skunder. Teknik analisis data yang
digunakan adalah analisa isi (content analysis) yang menjelaskan dan menganalisa
data hasil penelitian yang telah dibaca dan dirangkum dari sumber tertulis yang
berhasil diperoleh dan kemudian menyajikan hasil penelitian tersebut ke dalam
suatu penulisan yaitu strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil Preah
Vihear pasca bentrokan bersenjata dengan militer Thailand tahun 2011. Adapun
fokus penelitian dalam penelitian ini adalah Strategi Kamboja dalam penyelesaian
konflik dan keterlibatan pihak ketiga
Pembahasan
Wijono menjelaskan tentang strategi penyelesaian konflik yaitu dengan
menggunakan strategi kalah-kalah (Lose-Lose Strategy) (http://jurnal-
sdm.blogspot.com/2010/04/manajemen-konflik-definisi-ciri-sumber.html) yang di
maksudkan dengan strategi kalah-kalah disini adalah kedua negara yang bertikai
baik itu pihak Thailand maupun pihak Kamboja saling mengalah dan tidak
memperlihatkan sikap egoisme masing-masing negara tentang mekanisme
penyelesaian yang akan digunakan dalam penyelesaian sengketa kedua negara.
Kedua negara mengambil jalan tengah (berkompromi) dan melibatkan pihak
ketiga dalam penyelesaian sengketa wilayah perbatasan kedua negara.
Didalam konflik yang terjadi antara Thailand dan Kamboja yang memperebutkan
wilayah seluas 4,6 Km2 di sekitar Kuil Preah Vihear ini, awalnya pemerintah
Thailand bersikukuh ingin menyelesaikan konflik ini secara bilateral, tanpa
Strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil tahun 2011 (Rudolf Volman)
41
campur tangan dari pihak ketiga baik itu PBB maupun ASEAN. Sebaliknya
Kamboja berharap agar konflik tersebut harus diselesaikan dengan bantuan pihak
ketiga agar tidak ada lagi bentrokan bersenjata antara pasukan militer kedua
negara. Atas desakan dari PBB akhirnya Thailand setuju untuk melibatkan pihak
ketiga dalam kasus tersebut dan meminta konflik perbatasan ini diselesaikan
melalui ASEAN.
Jika dilihat dari keinginan pihak Thailand yang hanya ingin menyelesaikan
konflik tersebut dengan mekanisme bilateral, hal ini dikarenakan jika
penyelesaian konflik tersebut menggunakan mekanisme bilateral maka dengan
cara ini posisi Thailand akan lebih di untungkan karena power yang dimiliki
Thailand baik itu kekuatan militer maupun ekonomi secara angka lebih tinggi
dibandingkan power yang dimiliki Kamboja dan harapan untuk memiliki wilayah
seluas 4,6 Km2 di sekitar Kuil Preah Vihear akan lebih mudah dicapai oleh pihak
Thailand.
Hal tersebut tentunya merupakan ancaman bagi pihak Kamboja karena sebagian
besar wilayah tersebut masih didalam kedaulatan Kamboja. Sehingga pada bulan
Februari 2011 lalu pasca bentrokan bersenjata antara kedua pasukan militer kedua
negara di kawasan Kuil Preah Vihear Kamboja langsung membawa kasus tersebut
ke Mahkamah Internasional.
Sebenarnya pada kasus yang terjadi antara Thailand dan Kamboja ini, pemerintah
Thailand dan pemerintah Kamboja sebenarnya sudah sepakat untuk melibatkan
pihak ketiga baik itu PBB maupun ASEAN dalam penyelesaian konflik perebutan
wilayah perbatasan tersebut, dan yang menjadi penghambatnya adalah adanya
perbedaan antara pemerintah Thailand dan pihak militernya. Di Thailand, pihak
militer berperan sangat penting dalam pemerintahan dan dalam kebijakan luar
negeri Thailand. Dalam pemerintahan Thailand, terjadi perbedaan pendapat antara
Departemen Pertahanan dan Departemen Luar Negeri mengenai cara penyelesaian
konflik perbatasan dengan Kamboja ini. Departemen Pertahanan menolak peran
pihak ketiga sebagai penengah untuk menengahi konflik perbatasan antara
Thailand dan Kamboja. Pihak militer Thailand ingin menyelesaikan konflik ini
secara bilateral dengan Kamboja. Sedangkan Departemen Luar Negeri Thailand
mau menerima pendekatan yang ditawarkan ASEAN dalam menyelesaikan
konflik perbatasan dengan Kamboja.
Kamboja beranggapan jika konflik perebutan wilayah seluas 4,6 Km2 di
perbatasan kedua negara tersebut hanya diselesaikan melalui mekanisme bilateral
maka konflik tersebut akan semakin berlanjut dan tidak akan menemukan
kesepakatan damai antara keduanya. Hal inilah yang mendasari Kamboja meminta
adanya peran pihak ketiga dalam kasus tersebut.
a. Keterlibatan Indonesia selaku Pemimpin ASEAN tahun 2011
Wijono menjelsakan Mediasi adalah prosedur yang dipergunakan oleh mediator
untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 37-48
42
seorang mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-
pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat. Pada kasus
yang terjadi antara Thailand dan Kamboja yang memperebutkan wilayah
perbatasan di sekitar Kuil Preah Vihear, yang berperan menjadi mediator dalam
konflik kedua negara tersebut adalah Indonesia. Indonesia dipilih sebagai
mediator atas permintaan DK PBB yang meminta Indonesia untuk dapat menjadi
penengah dalam penyelesaian konflik tersebut, mengingat kedua negara tersebut
merupakan anggota ASEAN oleh sebab itu Indonesia di anggap sebagai pihak
yang berkompeten untuk menjadi mediator dalam konflik kedua negara tersebut,
karena pada saat itu Indonesia masih menjabat sebagai ketua ASEAN.
Pada bulan Februari 2011 lalu, setelah pertemuan informal Menteri Luar Negeri
ASEAN, kedua negara sepakat untuk melibatkan Indonesia didalam penyelesaian
konflik sengketa wilayah disekitar Kuil Preah Vihear dan menunjuk Indonesia
menjadi peninjau konflik kedua negara yang bersengketa. Pada kasus antara
Thailand dan Kamboja tersebut, Indonesia tidak mengambil alih tanggung jawab
kedua negara untuk memastikan adanya gencatan senjata tetapi mendukung hal
tersebut dan melaporkan secara akurat temuan yang ada di lapangan.
Indonesia sebagai mediator memang pada dasarnya tidak memiliki hak untuk
memutuskan siapa yang berhak atas wilayah yang disengketakan antara Thailand
dan Kamboja tersebut. Peran Indonesia dalam penyelesaian konflik tersebut hanya
sebatas memfasilitasi dan memberikan solusi-solusi yang terbaik dalam
penyelesaian konflik tersebut.
Pada tanggal 7-8 April tahun 2011 lalu Indonesia memfasilitasi dan
mempertemukan kedua negara pada Pertemuan JBC di Istana Bogor yang dihadiri
oleh Menlu Kamboja Hor Namhong, namun dari pihak Thailand hanya dihadiri
Sekretaris Menlu Thailand Chavanond Intarakomalyasut. Pertemuan tersebut
tidak menghasilkan kesepakatan yang signifikan untuk mencapai perdamaian
kedua negara.
Dalam pertemuan JBC tersebut Menlu Indonesia Marty Natalegawa dalam hal ini
bertindak sebagai mediator menegaskan bahwa permasalahan kedua negara
merupakan masalah yang rumit dan memerlukan pertemuan yang selanjutnya
untuk merundingkan permasalahan tersebut dan keputusan untuk menempatkan
peninjau dari Indonesia belum bisa dilaksanakan.
Perundingan Antara Thailand dan Kamboja pada pertemuan JBC tersebut antara
lain mengenai :
Pertama adalah tawaran Kamboja untuk mengirim tim teknis yang menetapkan
pilar perbatasan, tanpa harus menunggu persetujuan dari parlemen Thailand
mengenai isi dari kesepaktan-kesepakatan JBC sebelumnya. Namun, Thailand
menolak tawaran tersebut. Thailand berkeras menginginkan agar parlemen
Strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil tahun 2011 (Rudolf Volman)
43
negaranya harus menyetujui lebih dulu butir-butir kesepakatan JBC sebelumnya
sebelum mengirimkan tim teknis ke perbatasan.
Kedua adalah pembuatan peta foto untuk mengidentifikasi perbatasan. Dalam hal
ini, Kamboja berharap agar pembuatan peta tersebut dapat dilakukan segera tanpa
menunggu persetujuan parlemen Thailand. Namun pihak Thailand kembali
menginginkan hal tersebut disetujui parlemen terlebih dulu.
Ketiga adalah mengenai peran Indonesia sebagai Ketua ASEAN untuk
melangsungkan pertemuan General Border Committee (GBC). Pihak Kamboja
mengajukan usul agar GBC selanjutnya dilangsungkan di Indonesia karena
Indonesia sudah mendapatkan mandat DK PBB untuk ikut dalam negosiasi
Thailand-Kamboja, namun Thailand menolaknya juga, sehingga Satu-satunya hal
yang disepakati pada perundingan JBC adalah adanya "check point" antara kedua
negara.
Pertemuan antara kedua Menlu Thailand dan Kamboja tersebut diprakarsai
Indonesia selaku Ketua ASEAN, hal tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil
sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Sidang itu
sebelumnya meminta Thailand dan Kamboja bekerja sama dengan ASEAN
sebagai mediator untuk menuntaskan persoalan perbatasan melalui jalan damai.
Pihak Kamboja berpendapat bahwa pihaknya sudah lama melakukan proses
negosiasi dengan pihak Thailand namun antara kedua negara belum mencapai
kesepakatan apa pun sehingga pihak Kamboja memerlukan pihak luar sebagai
mediator dan yang terbaik adalah Indonesia sebagai Ketua ASEAN.
Pada pertemuan KTT ASEAN 7 Mei 2011 lalu, Indonesia selaku ketua ASEAN
dan bertindak sebagai mediator antara Thailand dan Kamboja kembali
memfasilitasi dan mempertemukan kedua negara. Pertemuan ini merupakan upaya
terakhir dari rangkaian agenda yang disiapkan Indonesia selaku juru tengah
konflik, bersamaan dengan posisinya sebagai ketua organisasi ASEAN tahun
2011.
Dalam pertemuan tersebut, Marty Natalegawa menjelaskan Thailand akhirnya
menyetujui kerangka acuan pengiriman tim pemantau ke daerah perbatasan kedua
negara yang disengketakan tersebut. Tetapi dengan syarat, pihak Thailand
meminta agar pasukan Kamboja ditarik dari berbagai titik di perbatasan yang
disengketakan. Peran Indonesia nampaknya sangat berhati-hati merespon
permintaan ini.
Marty Natalegawa menjelaskan Indonesia sebagai mediator tidak akan
menggunakan istilah penarikan pasukan karena pihak Indonesia yakin pihak
Thailand maupun Kamboja mempunyai pendapat yang berbeda tentang hal itu.
Indonesia beranggapan bahwa hal tersebut bukan syarat baru karena sebelumnya
sudah pernah diungkap Thailand, namun belum ada tanggapan dari Kamboja
terkait hal ini. Indonesia berharap segera mengirim 30 orang anggota tim
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 37-48
44
peninjau, yang masing-masing 15 orang akan berada di sisi perbatasan Kamboja-
Thailand.
Pemerintah Indonesia selaku Ketua Asean tahun 2011 menjelaskan tiga
rekomendasi yang di hasilkan pada pertemuan kedua negara yang difasilitasi
Indonesia.
Ketiga rekomendasi dari Indonesia tersebut adalah : pertama, meng-aktifkan
pertemuan GBC (General Border Committee). Rekomendasi kedua, kedua negara
melihat kembali nota ke-sepahaman (MOU) yang telah disepakati pada tahun
2000 lalu. Adapun rekomendasi ketiga, agar terjadi mutual trust, kehadiran
observer, yang dalam hal ini Indonesia. Mengenai nota kesepahaman yang telah
disepakati tahun 2000 meliputi antara lain penarikan pasukan dan rakyat sipil lain
dari kawasan sengketa, yaitu di sekitar kuil kuno Phrea Vihear. MOU 2000 itu
menyepakati bahwa tidak ada pergerakan apa pun dari pasukan atau rakyat sipil di
kawasan yang dipersengketakan.
Dalam kasus sengketa wilayah tersebut, peran Indonesia sebagai mediator
memang masih dalam tahap mendengarkan pernyataan-pernyataan dari pihak
Thailand dan Kamboja mengenai konflik sengketa wilayah tersebut dan
memberikan rekomendasi tentang bagaimana yang harus dilakukan kedua negara
untuk menemukan kesepakatan damai dan meredakan bentrokan antara pasukan
militer kedua negara kembali terjadi. Hal tersebut dikarenakan Indonesia secara
teknis tidak memiliki wewenang terhadap kedua negara tersebut dan rekomendasi
yang diberikan Indonesia untuk mengirim pemantaunya (Obsever) kedaerah
perbatasan yang disengketakan tidaklah mengikat. Pengiriman pemantau
(Obsever) dari Indonesia ini bertujuan untuk meninjau genjatan senjata antara
pasukan militer Thailand dan Kamboja.
b. Keterlibatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Wijono menjelaskan Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga
mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai
hakim dan penegah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu
perjanjian yang mengikat. Dalam kasus sengekata wilayah antara Thailand dan
Kamboja tersebut, pemerintah Kamboja meminta PBB untuk menjadi pihak ketiga
(Abriator) dalam penyelesaian perebutan wilayah kedua negara tersebut.
Pada tahun 2011 lalu, pasca bentrokan bersenjata antara kedua negara yang terjadi
pada awal bulan Februari tersebut Kamboja meminta ke Mahkamah Internasional
untuk menafsirkan keputusan tahun 1962 itu dan menjelaskan tentang
kepemilikan tanah seluas 4,6 Km2 disekitar Kuil Preah Vihear. Langkah Kamboja
yang mengadukan permasalahannya kepada Dewan Keamanan PBB dan meminta
PBB untuk mengirim pasukan perdamaian ke daerah sekitar Kuil Preah Vihear
langsung di tanggapi dengan cepat oleh pihak Dewan Keamanan PBB. Sehingga
pasca bentrokan bersenjata kedua negara pada bulan Februari 2011 lalu, Pihak
PBB mengundang Indonesia sebagai pemimpin ASEAN melalui Menteri Luar
Strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil tahun 2011 (Rudolf Volman)
45
Negeri Indonesia Marty Natalegawa dan dihadiri oleh 15 anggota Dewan
Keamanan PBB (Republik Rakyat Cina, Rusia, Prancis, Britania Raya, Amerika
Serikat, Bosnia/Herzegovina, Brazil, Kolombia,, Gabon Jerman, India, Lebanon,
Nigeria, Portugal dan Afrika Selatan) Menteri Luar Negeri Kamboja Hor
Namhong dan Menteri Luar Negeri Thailand Kasit Piromya. Hal tersebut guna
mencari solusi terbaik dalam penyelesaian konflik antara kedua negara.
Dalam sidang tersebut, Marty Natalegawa menegaskan Indonesia selaku Ketua
ASEAN berkomitmen tidak akan ada lagi baku tembak antara pasukan Thailand
dan Kamboja di kawasan perbatasan kedua negara.
Dalam tipe arbitrasi ini peranan PBB dalam kasus ini adalah sebagai hakim
(abriator) dalam penyelesaian kasus sengketa tersebut dan memiliki wewenang
penuh untuk menentukan tentang apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan
konflik perebutan wilayah kedua negara tersebut. Dalam hal ini, keputusan yang
di tetapkan pada pertemuan yang diadakan oleh PBB tersebut memiliki kekuatan
yang mengikat dan pihak Thailand dan Kamboja harus melaksanakan apa yang
telah ditetapkan pada pertemuan tersebut.
Pasca bentrokan bersenjata antara pasukan militer kedua negara di daerah
perbatasan Pada 28 April 2011 lalu, Kamboja mengajukan permohonan kepada
Mahkamah Internasional untuk menafsirkan keputusan pada tahun 1962 atas Kuil
Preah Vihear beserta wilayah seluas 4,6 km2
disekitar Kuil tersebut. Hal ini
disertai dengan satu permintaan Kamboja yang meminta Thailand segera dan
tanpa syarat apapun untuk menarik pasukan dari daerah sekitar Kuil Preah
Vihear di perbatasan kedua negara.
Dilain pihak, pihak militer Thailand menentang tindakan Kamboja yang
mengadukan masalah sengketa tersebut kepada Mahkamah Internasional.
Thailand menganggap bahwa untuk menyelesaikan konflik kedua negara tersebut
tidak perlu adanya intervensi dari pihak luar. Sebaliknya, walaupun pihak militer
Thailand menentang tindakan tersebut, baik pemerintah Thailand maupun
Kamboja sepakat untuk mengupayakan agar konflik tersebut dapat segera
diselesaiakan.
Selama menunggu penafsiran keputusan Mahkamah Internasional tahun 1962
tersebut, Mahkamah Internasional memerintahkan Kamboja dan Thailand pada
18 Juli 2011 untuk segera menarik pasukan militer kedua negara dari kawasan
sengketa dan menetapkan daerah seluas 17,3 Km2 di sekitar Kuil Preah Vihear
sebagai Zona Demiliterisasi dan memungkinkan pengamat ASEAN untuk
memasuki ke PDZ untuk memantau gencatan senjata.
Keputusan mahkamah Internasional ini pada awalnya belum di tanggapi oleh
kedua negara, pasukan militer kedua negara masih berjaga-jaga di kawasan
tersebut. Hal ini dikarenakan para aktivis nasionalis Thailand menolak perintah
dari Mahkamah Internasional untuk menarik pasukan dari kawasan sengketa
kedua negara dan meminta pengadilan internasional tersebut untuk
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 37-48
46
memerintahkan pemerintah Thailand menarik diri dari kasus yang diajukan oleh
Kamboja ke Mahkamah Internasional dan menolak pengikatan hukum suatu
putusan pengadilan.
Walaupun adanya penolakan dari pihak aktifis Thailand, dilain pihak Para Menteri
Pertahanan dan Pemimpin Angkatan Darat dari kedua negara yang bersengketa itu
setuju untuk menarik pasukan dari daerah Kuil Preah Vihear. Ketegangan kedua
negara menurun sejak bulan Agustus 2011 setelah Perdana Menteri Thailand yang
baru Yingluck Shinawarta, mulai berkuasa. Perdana Menteri Thailand yang baru
tersebut merupakan teman dan mantan penasihat ekonomi Perdana Menteri
Kamboja Hun Sen.
Pada akhirnya kedua negara pada saat yang bersamaan setuju untuk membentuk
satuan kerja untuk memindahkan personel militer secara menyeluruh dan
bersama-sama dari posisi-posisi sekarang di zona demeliterisasi sementara ini.
Dan meminta Indonesia untuk mengamati penarikan pasukan militer kedua
negara dari kawasan yang disengketakan secara bersama-sama.
Penarikan mundur pasukan militer kedua negara ini sesuai dengan keputusan
Mahkamah Internasional, (ICJ), untuk meredakan konflik selama beberapa tahun
belakangan dan mencegah terjadinya bentrokan antara kedua pasukan militer
kedua negara kembali terjadi di kawasan sengketa tersebut. Pada bulan Juli tahun
2011 lalu, Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan agar militer kedua belah
pihak ditarik secara menyeluruh dan bersamaan dari kawasan seluas 17,3 Km2 di
sekeliling Kuil Preah Vihear, yang ditetapkan sebabai kawasan demilitarisasi.
Sebagi gantinya, polisi kedua negara yang dikerahkan di kedua perbatasan.
Tepat setahun setelah perintah Mahkamah Internasional tahun 2011 lalu, akhirnya
pada Juli 2012 lalu, kedua negara sepakat menarik seluruh pasukan militernya dari
kawasan yang disengketakan. Pemerintah Kamboja menarik sekitar 500 personel
militernya dari kawasan Kuil Preah Vihear dan menempatkan sekitar 250 polisi
dan 100 petugas keamanan di kawasan tersebut.
Keputusan kedua negara ini untuk menarik pasukan militernya dari wilayah kuil
Preah Vihear yang diperebutkan merupakan keputusan yang di tunggu selama ini
oleh berbagai pihak. Hal ini di karenakan jika masih ada pasukan militer yang di
tempatkan oleh kedua di daerah yang di seketakan tersebut, maka sudah pasti akan
terjadi kembali bentrokan bersenjata antara kedua pasukan militer tersebut.
Langkah kedua negara ini merupakan titik terang untuk menuju perdamaian antara
kedua belah pihak di masa depan.
Didalam kasus yang terjadi antara Thailand dan Kamboja ini, peran pihak ketiga
memang sangat diharapkan untuk menyelesaikan konflik tersebut kerena dengan
adanya pihak ketiga sebagai penegah di dalam penyelesaian konflik antara kedua
negara maka solusi dan rekomendasi untuk penyelesaian konflik kedua negara
Strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil tahun 2011 (Rudolf Volman)
47
sudah pasti akan ditemukan dengan mudah dan kesepakatan damai antara
keduanya pasti akan tercapai.
Kesimpulan
Strategi yang digunakan oleh pemerintah Kamboja untuk menyelesaikan sengketa
perebutan wilayah seluas 4,6 Km2 disekitar Kuil Preah Vihear antara Thailand dan
Kamboja yaitu dengan melibatkan pihak ketiga didalam penyelesaian konflik
yang melibatkan kedua negara tersebut. Keinginan pihak Kamboja yang meminta
adanya peran pihak ketiga dalam penyelesaian konflik sengketa tersebut karena
pihak Kamboja beranggapan bahwa mekanisme penyelesaian secara bilateral
tidak memberikan kesepakatan damai antara kedua negara melainkan bentrokan
bersenjata antara pasukan militer kedua negara terus terjadi. Oleh sebab itu, pihak
Kamboja berkeinginan perlunya peran pihak ketiga untuk menjadi penengah
dalam penyelesaian sengketa tersebut.
Didalam upaya penyelesaian konflik antara Thailand dan Kamboja tersebut
Indonesia selaku pemimpin ASEAN tahun 2011 dipilih sebagai mediator dan
memfasilitasi pertemuan antara kedua negara. Peran Indonesia dalam upaya
penyelesaian konflik tersebut hanya sebagai pihak yang mendengarkan dan
memberikan rekomendasi yang harus dilakukan untuk meredakan konflik kedua
negara. Selain itu juga, Kamboja mengadukan kasus tersebut kepada Mahkamah
Internasional (PBB) dan meminta Mahkamah Internasional untuk mejelaskan
tentang kepemilikan wilayah yang disengketakan.
Saran
Selama menunggu keputusan dari Mahkmah Internasional tentang kepemilikan
wilayah disekitar Kuil Preah Vihear kedua negara harus menjalin hubungan baik
antar keduanya. Baik pihak Thailand dan pihak Kamboja harus menjaga
perdamaian dan berkerja sama untuk membangun kawasan perbatasan yang
disengketan antara kedua negara. Selanjutnya, jika Mahkamah Internasional telah
mengumumkan keputusannya tentang siapa yang berhak atas wilayah disekitar
Kuil Preah Vihear kedua negara harus bisa menerima keputusan Mahkamah
Internasional tersebut dan tidak mempermasalahkan wilayah tersebut kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
BN. Marbun, S.H, 1996. Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan,
Soekanto, Soerjono, 1990. Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press Jakarta
Internet
Konflik Perbatasan Thailand dan Kamboja, http://id.shvoong.com/law-and-
politics/international-law/2014090-konflik perbatasan-thailand-
dan-kamboja/
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 37-48
48
Menanti Diplomasi tingkat tinggi Indonesia dalam konflik Thailand-Kamboja,
http://www.politik.lipi.go.id/index.php/en/columns/politik-
internasional/451-menanti-diplomasi-tingkat-tinggi-indonesia-
dalam-konflik-thailand-kamboja
Pasukan Thailand-Kamboja Bentrok, http://www.bbc.co.uk/ Indonesia/
dunia/2011/ 04/11 0422_cambodiathailand. shtml,
Menajemen Konflik: Definisi, Ciri, Sumber, Dampak, dan Strategi Mengatasi
Konflik, http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/04/manajemen-
konflik-definisi-ciri-sumber.html