ejurnal udolf (02-06-14-04-36-03)

12
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, 2 (1): 37-48 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2014 STRATEGI KAMBOJA DALAM PENYELESAIAN KONFLIK KUIL PREAH VIHEAR PASCA BENTROKAN BERSENJATA DENGAN MILITER THAILAND TAHUN 2011 RUDOLF VOLMAN 1 NIM. 0802045247 Abstrak: This research aims to describe the conflict resolution strategies of Cambodia Preah Vihear temple after armed clashes with the Thai armi in 2011. This type of research is descriptive which describe strategies for conflict resolution Cambodia Preah Vihear temple after armed clashes with the Thai armi in 2011. The data described is secondary data obtained through literature review and literature such as books, the internet, and others. The analysis technique used is the Library Research Studies. The results show that the strategy used by the parties in resolving disputes Cambodian seizure of territory around the Preah Vihear temple between Thailand and Cambodia is to involve a third party in settlement of the conflict. Cambodia found the desired bilateral settlement mechanism Thai side did not give a peace agreement between the two countries so that the need for a third party in settlement of the case. In resolving the case, the trusted third party is Indonesian Cambodia and the United Nations. Keywords : Strategi Kamboja, Kuil Preah Vihear Pendahuluan Kuil Hindu Preah Vihear yang berusia kurang lebih 900 tahun menjadi sumber perselisihan antara Kamboja dan Thaiand, setelah pasukan Prancis menarik diri dari kawasan Indochina pada tahun 1954, kedua negara saling mengklaim wilayah tersebut sebagai kedaulatannya masing-masing. Kamboja mengklaim wilayah Kuil tersebut berdasarkan peta yang dibuat tahun 1907, sementara Thailand menggunakan peta tahun 1904. Kuil Preah Vihear merupakan kuil yang dibangun oleh suku asli Kamboja (suku Khmer) sehingga atas dasar sejarah itulah pada tahun 1962 Makamah Internasional memutuskan Kuil tersebut merupakan milik Kamboja( http://id.shvoong.com/law-and-politics/international-law/2014090- 1 Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email: [email protected]

description

s

Transcript of ejurnal udolf (02-06-14-04-36-03)

Page 1: ejurnal udolf (02-06-14-04-36-03)

eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, 2 (1): 37-48

ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org

© Copyright 2014

STRATEGI KAMBOJA DALAM PENYELESAIAN KONFLIK KUIL

PREAH VIHEAR PASCA BENTROKAN BERSENJATA DENGAN

MILITER THAILAND TAHUN 2011

RUDOLF VOLMAN1

NIM. 0802045247

Abstrak:

This research aims to describe the conflict resolution strategies of Cambodia

Preah Vihear temple after armed clashes with the Thai armi in 2011. This type

of research is descriptive which describe strategies for conflict resolution

Cambodia Preah Vihear temple after armed clashes with the Thai armi in 2011.

The data described is secondary data obtained through literature review and

literature such as books, the internet, and others. The analysis technique used

is the Library Research Studies.

The results show that the strategy used by the parties in resolving disputes

Cambodian seizure of territory around the Preah Vihear temple between

Thailand and Cambodia is to involve a third party in settlement of the conflict.

Cambodia found the desired bilateral settlement mechanism Thai side did not

give a peace agreement between the two countries so that the need for a third

party in settlement of the case. In resolving the case, the trusted third party is

Indonesian Cambodia and the United Nations.

Keywords : Strategi Kamboja, Kuil Preah Vihear

Pendahuluan

Kuil Hindu Preah Vihear yang berusia kurang lebih 900 tahun menjadi sumber

perselisihan antara Kamboja dan Thaiand, setelah pasukan Prancis menarik diri

dari kawasan Indochina pada tahun 1954, kedua negara saling mengklaim wilayah

tersebut sebagai kedaulatannya masing-masing. Kamboja mengklaim wilayah

Kuil tersebut berdasarkan peta yang dibuat tahun 1907, sementara Thailand

menggunakan peta tahun 1904. Kuil Preah Vihear merupakan kuil yang dibangun

oleh suku asli Kamboja (suku Khmer) sehingga atas dasar sejarah itulah pada

tahun 1962 Makamah Internasional memutuskan Kuil tersebut merupakan milik

Kamboja( http://id.shvoong.com/law-and-politics/international-law/2014090-

1 Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Mulawarman. Email: [email protected]

Page 2: ejurnal udolf (02-06-14-04-36-03)

eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 37-48

38

konflik-perbatasan-thailand-dan-kamboja/). Tetapi menurut Thailand, sebenarnya

wilayah di sekitar kuil Preah Vihear bukan milik siapapun, karena daerah

perbatasan tersebut dibuat secara sembarangan pada zaman colonial Prancis,

tetapi bangunan tersebut merupakan tempat suci bagi seluruh masyarakat sekitar

untuk beribadah.

Konflik tersebut semakin berkelanjutan setelah Kuil Preah Vihear yang

disebutkan terletak di wilayah Kamboja secara resmi masuk kedalam daftar

warisan dunia (World Heritage List) yang dikeluarkan oleh UNESCO (United

Nations Economic, Social and Organization) pada tahun 2008 lalu. Langkah ini

nampaknya tidak dapat diterima oleh Pemerintah Thailand. Sehingga konflik

antara Kamboja dan Thailand mulai muncul pada tahun 2008 lalu pasca keputusan

UNESCO tersebut.

Sejak saat itu kedua pihak telah membangun pertahanan militer di sepanjang

perbatasan dan bentrokan secara berkala pernah terjadi sehingga mengakibatkan

kematian sejumlah tentara dari kedua pihak. Konflik kedua negara ini disebabkan

oleh ketidakjelasan keputusan Makamah Internasional atas wilayah seluas 4,6

Km2 persegi di sekitar kuil Preah Vihear. Sehingga kedua negara saling

mengklaim daerah seluas 4,6 km persegi tersebut masuk kedalam wilayah

kedaulatannya masing-masing.

Tahun 2011 lalu telah terjadi beberapa kali bentrokan bersenjata antara kedua

pasukan militer kedua negara di wilayah kuil Preah Vihear, ketegangan di

kawasan Candi Preah Vihear semakin meningkat pada bulan februari 2011

setelah Thailand dan Kamboja sama-sama mengklaim menguasai wilayah

tersebut. Bentrokan senjata ini terjadi sekitar 100 km dari candi. Tetapi kedua

negara membantah sebagai pihak yang pertama kali menembakan senjata.

Thailand mengatakan pasukan mereka tengah berpatroli ketika pasukan Kamboja

menembak, sedangkan Kamboja mengklaim kalau pasukan Thailand melakukan

serangan bersenjata yang agresif ke tentara Kamboja. Akibat dari bentrokan

tersebut sepuluh orang tewas dalam bentrokan bersenjata antara pasukan militer

kedua negara tersebut. Beberapa bulan kemudian pada bulan April 2011 lalu

kedua negara ini kembali terlibat bentrokan bersenjata dan menewaskan enam

orang tewas, duabelas lainnya terluka dan tiga orang dalam keadaan kritis

(http://www.bbc.co.uk/Indonesia/dunia/2011/04/110422_cambodiathailand.shtml.

Konflik ini telah menjadi komoditi politik domestik di kedua negara. Mengingat

kekalahannya di Mahkamah Internasional 1962, Thailand hanya mau

menyelesaikan konflik dalam level bilateral. Dalam posisi ini, Thailand secara

angka lebih kuat dibandingkan Kamboja. Sementara itu, Kamboja lebih percaya

diri melibatkan pihak luar, baik PBB maupun ASEAN. Keterlibatan pihak luar

dipercaya bisa menaikan posisi tawar Kamboja dimata Thailand.. Ketidaksamaan

pendekatan yang ingin digunakan oleh kedua negara menyebabkan konflik ini

terus berlanjut hingga sekarang(http://www.politik.lipi.go.id/index.php/en/

Page 3: ejurnal udolf (02-06-14-04-36-03)

Strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil tahun 2011 (Rudolf Volman)

39

columns/politikinternasional/451-menanti-diplomasi-tingkat-tinggi-indonesia-

dalam-konflik-thailand-kamboja).

Perbedaan asumsi Thailand yang hanya ingin menyelesaikan konflik secara

bilateral dan tidak ingin adanya pihak luar dalam penyelesaian konflik kuil

tersebut, ini membuktikan bahwa Thailand ingin konflik tersebut terus berlanjut

karena Thailand ingin mempertahankan klaimnya terhadap wilayah disekitar kuil

Preah Vihear. Hal ini merupakan tantangan yang serius bagi pemerintah Kamboja,

oleh sebab itu Kamboja harus mempersiapkan strategi untuk menyelesaikan

konflik tersebut sehingga dapat menjaga wilayah kedaulatannya di Kuil Preah

Vihear.

Berkaitan dengan judul dan latar belakang masalah, maka penulis membatasi

masalah pada bagaimana strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil Preah

Vihear pasca bentrokan bersenjata dengan militer Thailand tahun 2011?

Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui dan

mendeskripsikan strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil Preah Vihear

pasca bentrokan bersenjata dengan militer Thailand tahun 2011.

Landasan Teori dan Konsep

A. Teori Konflik

Konflik secara konseptual yaitu dengan konflik dimaksudkan perwujudan atau

pelaksanaan beraneka pertentangan antara dua pihak, yang dapat merupakan dua

orang atau bahkan golongan besar seperti Negara. Kadang-kadang konflik

dugunakan untuk menyebut pertentangan antara pandangan dan perasaan

seseorang (BN.Marbun,1996:34).

Soerjono Soekanto menyebutkan sebab-sebab terjadinya konflik dapat dibedakan

sebagai berikut :

1. Perbedaan antara individu-individu.

2. Pebedaan Kebudayaan.

3. Perbedaan Kepentingan.

4. Perubahan Sosial (Soerjono Soekanto,1990:107-108).

B. Konsep Strategi Penyelesaian Konflik

Menurut Wijono, untuk mengatasi konflik individu/kelompok diperlukan tiga

strategi yaitu :

Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy)

Berorientasi pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya

individu atau kelompok yang bertikai mengambil jalan tengah (berkompromi) atau

membayar sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa

orang atau kelompok ketiga sebagai penegah. Dalam strategi kalah-kalah, konflik

bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan

mengalami jalan buntu, maka pihak ketiga diundang untuk campur tangan oleh

Page 4: ejurnal udolf (02-06-14-04-36-03)

eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 37-48

40

pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri.

Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu :

a. Arbitrasi (Arbitration)

Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah

pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan penegah dalam

menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat.

b. Mediasi (Mediation)

Mediasi dipergunakan oleh mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti

yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang mediator tidak mempunyai

wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi

yang diberikan tidak mengikat (http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/04/manajemen-

konflik-definisi-ciri-sumber.html).

Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif, yaitu

berupaya untuk menggambarkan strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik

Kuil Preah Vihear pasca bentrokan bersenjata dengan militer Thailand tahun

2011. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah tinjauan pustaka (library

research) dengan mengumpulkan data-data sekunder yang bersumber dari buku-

buku, artikel, dan data-data dari internet yang tingkat kapabilitasnya terhadap

permasalahan yang dihadapi dan validitasnya dapat dipertanggung jawabkan.

Jenis data yang digunakan adalah data Skunder. Teknik analisis data yang

digunakan adalah analisa isi (content analysis) yang menjelaskan dan menganalisa

data hasil penelitian yang telah dibaca dan dirangkum dari sumber tertulis yang

berhasil diperoleh dan kemudian menyajikan hasil penelitian tersebut ke dalam

suatu penulisan yaitu strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil Preah

Vihear pasca bentrokan bersenjata dengan militer Thailand tahun 2011. Adapun

fokus penelitian dalam penelitian ini adalah Strategi Kamboja dalam penyelesaian

konflik dan keterlibatan pihak ketiga

Pembahasan

Wijono menjelaskan tentang strategi penyelesaian konflik yaitu dengan

menggunakan strategi kalah-kalah (Lose-Lose Strategy) (http://jurnal-

sdm.blogspot.com/2010/04/manajemen-konflik-definisi-ciri-sumber.html) yang di

maksudkan dengan strategi kalah-kalah disini adalah kedua negara yang bertikai

baik itu pihak Thailand maupun pihak Kamboja saling mengalah dan tidak

memperlihatkan sikap egoisme masing-masing negara tentang mekanisme

penyelesaian yang akan digunakan dalam penyelesaian sengketa kedua negara.

Kedua negara mengambil jalan tengah (berkompromi) dan melibatkan pihak

ketiga dalam penyelesaian sengketa wilayah perbatasan kedua negara.

Didalam konflik yang terjadi antara Thailand dan Kamboja yang memperebutkan

wilayah seluas 4,6 Km2 di sekitar Kuil Preah Vihear ini, awalnya pemerintah

Thailand bersikukuh ingin menyelesaikan konflik ini secara bilateral, tanpa

Page 5: ejurnal udolf (02-06-14-04-36-03)

Strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil tahun 2011 (Rudolf Volman)

41

campur tangan dari pihak ketiga baik itu PBB maupun ASEAN. Sebaliknya

Kamboja berharap agar konflik tersebut harus diselesaikan dengan bantuan pihak

ketiga agar tidak ada lagi bentrokan bersenjata antara pasukan militer kedua

negara. Atas desakan dari PBB akhirnya Thailand setuju untuk melibatkan pihak

ketiga dalam kasus tersebut dan meminta konflik perbatasan ini diselesaikan

melalui ASEAN.

Jika dilihat dari keinginan pihak Thailand yang hanya ingin menyelesaikan

konflik tersebut dengan mekanisme bilateral, hal ini dikarenakan jika

penyelesaian konflik tersebut menggunakan mekanisme bilateral maka dengan

cara ini posisi Thailand akan lebih di untungkan karena power yang dimiliki

Thailand baik itu kekuatan militer maupun ekonomi secara angka lebih tinggi

dibandingkan power yang dimiliki Kamboja dan harapan untuk memiliki wilayah

seluas 4,6 Km2 di sekitar Kuil Preah Vihear akan lebih mudah dicapai oleh pihak

Thailand.

Hal tersebut tentunya merupakan ancaman bagi pihak Kamboja karena sebagian

besar wilayah tersebut masih didalam kedaulatan Kamboja. Sehingga pada bulan

Februari 2011 lalu pasca bentrokan bersenjata antara kedua pasukan militer kedua

negara di kawasan Kuil Preah Vihear Kamboja langsung membawa kasus tersebut

ke Mahkamah Internasional.

Sebenarnya pada kasus yang terjadi antara Thailand dan Kamboja ini, pemerintah

Thailand dan pemerintah Kamboja sebenarnya sudah sepakat untuk melibatkan

pihak ketiga baik itu PBB maupun ASEAN dalam penyelesaian konflik perebutan

wilayah perbatasan tersebut, dan yang menjadi penghambatnya adalah adanya

perbedaan antara pemerintah Thailand dan pihak militernya. Di Thailand, pihak

militer berperan sangat penting dalam pemerintahan dan dalam kebijakan luar

negeri Thailand. Dalam pemerintahan Thailand, terjadi perbedaan pendapat antara

Departemen Pertahanan dan Departemen Luar Negeri mengenai cara penyelesaian

konflik perbatasan dengan Kamboja ini. Departemen Pertahanan menolak peran

pihak ketiga sebagai penengah untuk menengahi konflik perbatasan antara

Thailand dan Kamboja. Pihak militer Thailand ingin menyelesaikan konflik ini

secara bilateral dengan Kamboja. Sedangkan Departemen Luar Negeri Thailand

mau menerima pendekatan yang ditawarkan ASEAN dalam menyelesaikan

konflik perbatasan dengan Kamboja.

Kamboja beranggapan jika konflik perebutan wilayah seluas 4,6 Km2 di

perbatasan kedua negara tersebut hanya diselesaikan melalui mekanisme bilateral

maka konflik tersebut akan semakin berlanjut dan tidak akan menemukan

kesepakatan damai antara keduanya. Hal inilah yang mendasari Kamboja meminta

adanya peran pihak ketiga dalam kasus tersebut.

a. Keterlibatan Indonesia selaku Pemimpin ASEAN tahun 2011

Wijono menjelsakan Mediasi adalah prosedur yang dipergunakan oleh mediator

untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena

Page 6: ejurnal udolf (02-06-14-04-36-03)

eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 37-48

42

seorang mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-

pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat. Pada kasus

yang terjadi antara Thailand dan Kamboja yang memperebutkan wilayah

perbatasan di sekitar Kuil Preah Vihear, yang berperan menjadi mediator dalam

konflik kedua negara tersebut adalah Indonesia. Indonesia dipilih sebagai

mediator atas permintaan DK PBB yang meminta Indonesia untuk dapat menjadi

penengah dalam penyelesaian konflik tersebut, mengingat kedua negara tersebut

merupakan anggota ASEAN oleh sebab itu Indonesia di anggap sebagai pihak

yang berkompeten untuk menjadi mediator dalam konflik kedua negara tersebut,

karena pada saat itu Indonesia masih menjabat sebagai ketua ASEAN.

Pada bulan Februari 2011 lalu, setelah pertemuan informal Menteri Luar Negeri

ASEAN, kedua negara sepakat untuk melibatkan Indonesia didalam penyelesaian

konflik sengketa wilayah disekitar Kuil Preah Vihear dan menunjuk Indonesia

menjadi peninjau konflik kedua negara yang bersengketa. Pada kasus antara

Thailand dan Kamboja tersebut, Indonesia tidak mengambil alih tanggung jawab

kedua negara untuk memastikan adanya gencatan senjata tetapi mendukung hal

tersebut dan melaporkan secara akurat temuan yang ada di lapangan.

Indonesia sebagai mediator memang pada dasarnya tidak memiliki hak untuk

memutuskan siapa yang berhak atas wilayah yang disengketakan antara Thailand

dan Kamboja tersebut. Peran Indonesia dalam penyelesaian konflik tersebut hanya

sebatas memfasilitasi dan memberikan solusi-solusi yang terbaik dalam

penyelesaian konflik tersebut.

Pada tanggal 7-8 April tahun 2011 lalu Indonesia memfasilitasi dan

mempertemukan kedua negara pada Pertemuan JBC di Istana Bogor yang dihadiri

oleh Menlu Kamboja Hor Namhong, namun dari pihak Thailand hanya dihadiri

Sekretaris Menlu Thailand Chavanond Intarakomalyasut. Pertemuan tersebut

tidak menghasilkan kesepakatan yang signifikan untuk mencapai perdamaian

kedua negara.

Dalam pertemuan JBC tersebut Menlu Indonesia Marty Natalegawa dalam hal ini

bertindak sebagai mediator menegaskan bahwa permasalahan kedua negara

merupakan masalah yang rumit dan memerlukan pertemuan yang selanjutnya

untuk merundingkan permasalahan tersebut dan keputusan untuk menempatkan

peninjau dari Indonesia belum bisa dilaksanakan.

Perundingan Antara Thailand dan Kamboja pada pertemuan JBC tersebut antara

lain mengenai :

Pertama adalah tawaran Kamboja untuk mengirim tim teknis yang menetapkan

pilar perbatasan, tanpa harus menunggu persetujuan dari parlemen Thailand

mengenai isi dari kesepaktan-kesepakatan JBC sebelumnya. Namun, Thailand

menolak tawaran tersebut. Thailand berkeras menginginkan agar parlemen

Page 7: ejurnal udolf (02-06-14-04-36-03)

Strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil tahun 2011 (Rudolf Volman)

43

negaranya harus menyetujui lebih dulu butir-butir kesepakatan JBC sebelumnya

sebelum mengirimkan tim teknis ke perbatasan.

Kedua adalah pembuatan peta foto untuk mengidentifikasi perbatasan. Dalam hal

ini, Kamboja berharap agar pembuatan peta tersebut dapat dilakukan segera tanpa

menunggu persetujuan parlemen Thailand. Namun pihak Thailand kembali

menginginkan hal tersebut disetujui parlemen terlebih dulu.

Ketiga adalah mengenai peran Indonesia sebagai Ketua ASEAN untuk

melangsungkan pertemuan General Border Committee (GBC). Pihak Kamboja

mengajukan usul agar GBC selanjutnya dilangsungkan di Indonesia karena

Indonesia sudah mendapatkan mandat DK PBB untuk ikut dalam negosiasi

Thailand-Kamboja, namun Thailand menolaknya juga, sehingga Satu-satunya hal

yang disepakati pada perundingan JBC adalah adanya "check point" antara kedua

negara.

Pertemuan antara kedua Menlu Thailand dan Kamboja tersebut diprakarsai

Indonesia selaku Ketua ASEAN, hal tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil

sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Sidang itu

sebelumnya meminta Thailand dan Kamboja bekerja sama dengan ASEAN

sebagai mediator untuk menuntaskan persoalan perbatasan melalui jalan damai.

Pihak Kamboja berpendapat bahwa pihaknya sudah lama melakukan proses

negosiasi dengan pihak Thailand namun antara kedua negara belum mencapai

kesepakatan apa pun sehingga pihak Kamboja memerlukan pihak luar sebagai

mediator dan yang terbaik adalah Indonesia sebagai Ketua ASEAN.

Pada pertemuan KTT ASEAN 7 Mei 2011 lalu, Indonesia selaku ketua ASEAN

dan bertindak sebagai mediator antara Thailand dan Kamboja kembali

memfasilitasi dan mempertemukan kedua negara. Pertemuan ini merupakan upaya

terakhir dari rangkaian agenda yang disiapkan Indonesia selaku juru tengah

konflik, bersamaan dengan posisinya sebagai ketua organisasi ASEAN tahun

2011.

Dalam pertemuan tersebut, Marty Natalegawa menjelaskan Thailand akhirnya

menyetujui kerangka acuan pengiriman tim pemantau ke daerah perbatasan kedua

negara yang disengketakan tersebut. Tetapi dengan syarat, pihak Thailand

meminta agar pasukan Kamboja ditarik dari berbagai titik di perbatasan yang

disengketakan. Peran Indonesia nampaknya sangat berhati-hati merespon

permintaan ini.

Marty Natalegawa menjelaskan Indonesia sebagai mediator tidak akan

menggunakan istilah penarikan pasukan karena pihak Indonesia yakin pihak

Thailand maupun Kamboja mempunyai pendapat yang berbeda tentang hal itu.

Indonesia beranggapan bahwa hal tersebut bukan syarat baru karena sebelumnya

sudah pernah diungkap Thailand, namun belum ada tanggapan dari Kamboja

terkait hal ini. Indonesia berharap segera mengirim 30 orang anggota tim

Page 8: ejurnal udolf (02-06-14-04-36-03)

eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 37-48

44

peninjau, yang masing-masing 15 orang akan berada di sisi perbatasan Kamboja-

Thailand.

Pemerintah Indonesia selaku Ketua Asean tahun 2011 menjelaskan tiga

rekomendasi yang di hasilkan pada pertemuan kedua negara yang difasilitasi

Indonesia.

Ketiga rekomendasi dari Indonesia tersebut adalah : pertama, meng-aktifkan

pertemuan GBC (General Border Committee). Rekomendasi kedua, kedua negara

melihat kembali nota ke-sepahaman (MOU) yang telah disepakati pada tahun

2000 lalu. Adapun rekomendasi ketiga, agar terjadi mutual trust, kehadiran

observer, yang dalam hal ini Indonesia. Mengenai nota kesepahaman yang telah

disepakati tahun 2000 meliputi antara lain penarikan pasukan dan rakyat sipil lain

dari kawasan sengketa, yaitu di sekitar kuil kuno Phrea Vihear. MOU 2000 itu

menyepakati bahwa tidak ada pergerakan apa pun dari pasukan atau rakyat sipil di

kawasan yang dipersengketakan.

Dalam kasus sengketa wilayah tersebut, peran Indonesia sebagai mediator

memang masih dalam tahap mendengarkan pernyataan-pernyataan dari pihak

Thailand dan Kamboja mengenai konflik sengketa wilayah tersebut dan

memberikan rekomendasi tentang bagaimana yang harus dilakukan kedua negara

untuk menemukan kesepakatan damai dan meredakan bentrokan antara pasukan

militer kedua negara kembali terjadi. Hal tersebut dikarenakan Indonesia secara

teknis tidak memiliki wewenang terhadap kedua negara tersebut dan rekomendasi

yang diberikan Indonesia untuk mengirim pemantaunya (Obsever) kedaerah

perbatasan yang disengketakan tidaklah mengikat. Pengiriman pemantau

(Obsever) dari Indonesia ini bertujuan untuk meninjau genjatan senjata antara

pasukan militer Thailand dan Kamboja.

b. Keterlibatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

Wijono menjelaskan Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga

mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai

hakim dan penegah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu

perjanjian yang mengikat. Dalam kasus sengekata wilayah antara Thailand dan

Kamboja tersebut, pemerintah Kamboja meminta PBB untuk menjadi pihak ketiga

(Abriator) dalam penyelesaian perebutan wilayah kedua negara tersebut.

Pada tahun 2011 lalu, pasca bentrokan bersenjata antara kedua negara yang terjadi

pada awal bulan Februari tersebut Kamboja meminta ke Mahkamah Internasional

untuk menafsirkan keputusan tahun 1962 itu dan menjelaskan tentang

kepemilikan tanah seluas 4,6 Km2 disekitar Kuil Preah Vihear. Langkah Kamboja

yang mengadukan permasalahannya kepada Dewan Keamanan PBB dan meminta

PBB untuk mengirim pasukan perdamaian ke daerah sekitar Kuil Preah Vihear

langsung di tanggapi dengan cepat oleh pihak Dewan Keamanan PBB. Sehingga

pasca bentrokan bersenjata kedua negara pada bulan Februari 2011 lalu, Pihak

PBB mengundang Indonesia sebagai pemimpin ASEAN melalui Menteri Luar

Page 9: ejurnal udolf (02-06-14-04-36-03)

Strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil tahun 2011 (Rudolf Volman)

45

Negeri Indonesia Marty Natalegawa dan dihadiri oleh 15 anggota Dewan

Keamanan PBB (Republik Rakyat Cina, Rusia, Prancis, Britania Raya, Amerika

Serikat, Bosnia/Herzegovina, Brazil, Kolombia,, Gabon Jerman, India, Lebanon,

Nigeria, Portugal dan Afrika Selatan) Menteri Luar Negeri Kamboja Hor

Namhong dan Menteri Luar Negeri Thailand Kasit Piromya. Hal tersebut guna

mencari solusi terbaik dalam penyelesaian konflik antara kedua negara.

Dalam sidang tersebut, Marty Natalegawa menegaskan Indonesia selaku Ketua

ASEAN berkomitmen tidak akan ada lagi baku tembak antara pasukan Thailand

dan Kamboja di kawasan perbatasan kedua negara.

Dalam tipe arbitrasi ini peranan PBB dalam kasus ini adalah sebagai hakim

(abriator) dalam penyelesaian kasus sengketa tersebut dan memiliki wewenang

penuh untuk menentukan tentang apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan

konflik perebutan wilayah kedua negara tersebut. Dalam hal ini, keputusan yang

di tetapkan pada pertemuan yang diadakan oleh PBB tersebut memiliki kekuatan

yang mengikat dan pihak Thailand dan Kamboja harus melaksanakan apa yang

telah ditetapkan pada pertemuan tersebut.

Pasca bentrokan bersenjata antara pasukan militer kedua negara di daerah

perbatasan Pada 28 April 2011 lalu, Kamboja mengajukan permohonan kepada

Mahkamah Internasional untuk menafsirkan keputusan pada tahun 1962 atas Kuil

Preah Vihear beserta wilayah seluas 4,6 km2

disekitar Kuil tersebut. Hal ini

disertai dengan satu permintaan Kamboja yang meminta Thailand segera dan

tanpa syarat apapun untuk menarik pasukan dari daerah sekitar Kuil Preah

Vihear di perbatasan kedua negara.

Dilain pihak, pihak militer Thailand menentang tindakan Kamboja yang

mengadukan masalah sengketa tersebut kepada Mahkamah Internasional.

Thailand menganggap bahwa untuk menyelesaikan konflik kedua negara tersebut

tidak perlu adanya intervensi dari pihak luar. Sebaliknya, walaupun pihak militer

Thailand menentang tindakan tersebut, baik pemerintah Thailand maupun

Kamboja sepakat untuk mengupayakan agar konflik tersebut dapat segera

diselesaiakan.

Selama menunggu penafsiran keputusan Mahkamah Internasional tahun 1962

tersebut, Mahkamah Internasional memerintahkan Kamboja dan Thailand pada

18 Juli 2011 untuk segera menarik pasukan militer kedua negara dari kawasan

sengketa dan menetapkan daerah seluas 17,3 Km2 di sekitar Kuil Preah Vihear

sebagai Zona Demiliterisasi dan memungkinkan pengamat ASEAN untuk

memasuki ke PDZ untuk memantau gencatan senjata.

Keputusan mahkamah Internasional ini pada awalnya belum di tanggapi oleh

kedua negara, pasukan militer kedua negara masih berjaga-jaga di kawasan

tersebut. Hal ini dikarenakan para aktivis nasionalis Thailand menolak perintah

dari Mahkamah Internasional untuk menarik pasukan dari kawasan sengketa

kedua negara dan meminta pengadilan internasional tersebut untuk

Page 10: ejurnal udolf (02-06-14-04-36-03)

eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 37-48

46

memerintahkan pemerintah Thailand menarik diri dari kasus yang diajukan oleh

Kamboja ke Mahkamah Internasional dan menolak pengikatan hukum suatu

putusan pengadilan.

Walaupun adanya penolakan dari pihak aktifis Thailand, dilain pihak Para Menteri

Pertahanan dan Pemimpin Angkatan Darat dari kedua negara yang bersengketa itu

setuju untuk menarik pasukan dari daerah Kuil Preah Vihear. Ketegangan kedua

negara menurun sejak bulan Agustus 2011 setelah Perdana Menteri Thailand yang

baru Yingluck Shinawarta, mulai berkuasa. Perdana Menteri Thailand yang baru

tersebut merupakan teman dan mantan penasihat ekonomi Perdana Menteri

Kamboja Hun Sen.

Pada akhirnya kedua negara pada saat yang bersamaan setuju untuk membentuk

satuan kerja untuk memindahkan personel militer secara menyeluruh dan

bersama-sama dari posisi-posisi sekarang di zona demeliterisasi sementara ini.

Dan meminta Indonesia untuk mengamati penarikan pasukan militer kedua

negara dari kawasan yang disengketakan secara bersama-sama.

Penarikan mundur pasukan militer kedua negara ini sesuai dengan keputusan

Mahkamah Internasional, (ICJ), untuk meredakan konflik selama beberapa tahun

belakangan dan mencegah terjadinya bentrokan antara kedua pasukan militer

kedua negara kembali terjadi di kawasan sengketa tersebut. Pada bulan Juli tahun

2011 lalu, Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan agar militer kedua belah

pihak ditarik secara menyeluruh dan bersamaan dari kawasan seluas 17,3 Km2 di

sekeliling Kuil Preah Vihear, yang ditetapkan sebabai kawasan demilitarisasi.

Sebagi gantinya, polisi kedua negara yang dikerahkan di kedua perbatasan.

Tepat setahun setelah perintah Mahkamah Internasional tahun 2011 lalu, akhirnya

pada Juli 2012 lalu, kedua negara sepakat menarik seluruh pasukan militernya dari

kawasan yang disengketakan. Pemerintah Kamboja menarik sekitar 500 personel

militernya dari kawasan Kuil Preah Vihear dan menempatkan sekitar 250 polisi

dan 100 petugas keamanan di kawasan tersebut.

Keputusan kedua negara ini untuk menarik pasukan militernya dari wilayah kuil

Preah Vihear yang diperebutkan merupakan keputusan yang di tunggu selama ini

oleh berbagai pihak. Hal ini di karenakan jika masih ada pasukan militer yang di

tempatkan oleh kedua di daerah yang di seketakan tersebut, maka sudah pasti akan

terjadi kembali bentrokan bersenjata antara kedua pasukan militer tersebut.

Langkah kedua negara ini merupakan titik terang untuk menuju perdamaian antara

kedua belah pihak di masa depan.

Didalam kasus yang terjadi antara Thailand dan Kamboja ini, peran pihak ketiga

memang sangat diharapkan untuk menyelesaikan konflik tersebut kerena dengan

adanya pihak ketiga sebagai penegah di dalam penyelesaian konflik antara kedua

negara maka solusi dan rekomendasi untuk penyelesaian konflik kedua negara

Page 11: ejurnal udolf (02-06-14-04-36-03)

Strategi Kamboja dalam penyelesaian konflik Kuil tahun 2011 (Rudolf Volman)

47

sudah pasti akan ditemukan dengan mudah dan kesepakatan damai antara

keduanya pasti akan tercapai.

Kesimpulan

Strategi yang digunakan oleh pemerintah Kamboja untuk menyelesaikan sengketa

perebutan wilayah seluas 4,6 Km2 disekitar Kuil Preah Vihear antara Thailand dan

Kamboja yaitu dengan melibatkan pihak ketiga didalam penyelesaian konflik

yang melibatkan kedua negara tersebut. Keinginan pihak Kamboja yang meminta

adanya peran pihak ketiga dalam penyelesaian konflik sengketa tersebut karena

pihak Kamboja beranggapan bahwa mekanisme penyelesaian secara bilateral

tidak memberikan kesepakatan damai antara kedua negara melainkan bentrokan

bersenjata antara pasukan militer kedua negara terus terjadi. Oleh sebab itu, pihak

Kamboja berkeinginan perlunya peran pihak ketiga untuk menjadi penengah

dalam penyelesaian sengketa tersebut.

Didalam upaya penyelesaian konflik antara Thailand dan Kamboja tersebut

Indonesia selaku pemimpin ASEAN tahun 2011 dipilih sebagai mediator dan

memfasilitasi pertemuan antara kedua negara. Peran Indonesia dalam upaya

penyelesaian konflik tersebut hanya sebagai pihak yang mendengarkan dan

memberikan rekomendasi yang harus dilakukan untuk meredakan konflik kedua

negara. Selain itu juga, Kamboja mengadukan kasus tersebut kepada Mahkamah

Internasional (PBB) dan meminta Mahkamah Internasional untuk mejelaskan

tentang kepemilikan wilayah yang disengketakan.

Saran

Selama menunggu keputusan dari Mahkmah Internasional tentang kepemilikan

wilayah disekitar Kuil Preah Vihear kedua negara harus menjalin hubungan baik

antar keduanya. Baik pihak Thailand dan pihak Kamboja harus menjaga

perdamaian dan berkerja sama untuk membangun kawasan perbatasan yang

disengketan antara kedua negara. Selanjutnya, jika Mahkamah Internasional telah

mengumumkan keputusannya tentang siapa yang berhak atas wilayah disekitar

Kuil Preah Vihear kedua negara harus bisa menerima keputusan Mahkamah

Internasional tersebut dan tidak mempermasalahkan wilayah tersebut kembali.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

BN. Marbun, S.H, 1996. Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan,

Soekanto, Soerjono, 1990. Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press Jakarta

Internet

Konflik Perbatasan Thailand dan Kamboja, http://id.shvoong.com/law-and-

politics/international-law/2014090-konflik perbatasan-thailand-

dan-kamboja/

Page 12: ejurnal udolf (02-06-14-04-36-03)

eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor 1, 2014: 37-48

48

Menanti Diplomasi tingkat tinggi Indonesia dalam konflik Thailand-Kamboja,

http://www.politik.lipi.go.id/index.php/en/columns/politik-

internasional/451-menanti-diplomasi-tingkat-tinggi-indonesia-

dalam-konflik-thailand-kamboja

Pasukan Thailand-Kamboja Bentrok, http://www.bbc.co.uk/ Indonesia/

dunia/2011/ 04/11 0422_cambodiathailand. shtml,

Menajemen Konflik: Definisi, Ciri, Sumber, Dampak, dan Strategi Mengatasi

Konflik, http://jurnal-sdm.blogspot.com/2010/04/manajemen-

konflik-definisi-ciri-sumber.html