E2 - Death and Dying

6
Death and Dying Preparing For The Worst with Excellency Teddy Hidayat The therapist who decides to involve himself in the treatment of a dying person must commit himself to utilize all his effort in behalf of the patients welfare The patient must understand this clearly and also know that the therapist will be constant available and reliable figure for the patient The psychodynamic evidence is that the fear of abandonment occupies a central position in the mind of the dying person (Schwartz & Karasu ) Pendahuluan Seorang dokter karena profesinya tidak jarang harus berhadapan dengan pasien-pasien yang akan meninggal karena penyakit. Sebaiknya dokter memahami kematian menurut budaya dan kepercayaan pasien sehingga akan dengan baik dapat membantu mengelola pasien-pasien yang tengah menghadapi akhir hayatnya - dan agar mereka dapat melaluinya dengan tenang. Proses kematian adalah suatu krisis yang menyerap banyak energi dan pikiran tidak saja pasien dan keluarga, tetapi juga pada semua yang merawat yang berusaha agar pasien tersebut meninggal dalam damai dan iman. Umumnya ada keengganan dokter merawat pasien – pasien yang akan meninggal, karena masih banyak pendapat sumbang dan mitos yang mengatakan “Dokter itu bodoh bila pasien yang dirawatnya selalu meninggal”. Begitu pula adanya ketegangan dan kecemasan dalam menjalani proses kematian. Oleh karena itu diperlukan persyaratan pada mereka yang bertugas merawat pasien-pasien yang akan meninggal yaitu memiliki kepribadian yang mature, memiliki dedikasi tinggi dalam mendahulukan kepentingan pasien dan mampu bekerja. Disini diperlukan kemampuan dan kemauan. Dalam tulisan berikut kata untuk “dying” yang digunakan ialah meninggal yang merujuk pada keadaan dan proses menuju akhir hayat dan mati adalah terjemahan dari “death”. Bagaimana dokter sampai bertemu dan terlibat dengan pasien dalam keadaan menjelang akhir hayat, jauh lebih beraneka warna dibandingkan situasi pertemuannya dengan pasien-pasiennya lain yang berada dalam terapi. Situasinya biasanya dikaraterisasi oleh pasien yang sebelumnya “cukup sehat” tetapi sekarang menderita penyakit yang mengurangi kekuatan fisiknya atau menyebabkan hendaya jelas dan akan membawa maut dalam waktu dekat. Dokter dapat dipanggil oleh pasien sendiri atau keluarganya atau teman sejawat yang mengobati pasien karena keadaan mental pasien dalam keadaan depresi, ketakutan, keputusasaan, yang sering juga menyulitkan perawatannya oleh karena kegelisahannya, tidak mau makan, menolak minum obat dan sebagainya. Bantuan spiritual dan penghiburan oleh keluarga juga dirasa masih kurang berhasil

description

BAHASAN KLINIS TENTANG KEMATIAN

Transcript of E2 - Death and Dying

Page 1: E2 - Death and Dying

Death and Dying PreparingFor The Worst with Excellency

Teddy Hidayat

The therapist who decides to involve himself in the treatment of a dying person must commithimself to utilize all his effort in behalf of the patients welfare

The patient must understand this clearly and also know that the therapist will be constantavailable and reliable figure for the patient

The psychodynamic evidence is that the fear of abandonment occupies a central position in themind of the dying person

(Schwartz & Karasu )Pendahuluan

Seorang dokter karena profesinya tidak jarang harus berhadapan denganpasien-pasien yang akan meninggal karena penyakit. Sebaiknya dokter memahamikematian menurut budaya dan kepercayaan pasien sehingga akan dengan baikdapat membantu mengelola pasien-pasien yang tengah menghadapi akhir hayatnya- dan agar mereka dapat melaluinya dengan tenang.

Proses kematian adalah suatu krisis yang menyerap banyak energi danpikiran tidak saja pasien dan keluarga, tetapi juga pada semua yang merawat yangberusaha agar pasien tersebut meninggal dalam damai dan iman. Umumnya adakeengganan dokter merawat pasien – pasien yang akan meninggal, karena masihbanyak pendapat sumbang dan mitos yang mengatakan “Dokter itu bodoh bilapasien yang dirawatnya selalu meninggal”. Begitu pula adanya ketegangan dankecemasan dalam menjalani proses kematian. Oleh karena itu diperlukanpersyaratan pada mereka yang bertugas merawat pasien-pasien yang akanmeninggal yaitu memiliki kepribadian yang mature, memiliki dedikasi tinggidalam mendahulukan kepentingan pasien dan mampu bekerja. Disini diperlukankemampuan dan kemauan.

Dalam tulisan berikut kata untuk “dying” yang digunakan ialah meninggalyang merujuk pada keadaan dan proses menuju akhir hayat dan mati adalahterjemahan dari “death”. Bagaimana dokter sampai bertemu dan terlibat denganpasien dalam keadaan menjelang akhir hayat, jauh lebih beraneka warnadibandingkan situasi pertemuannya dengan pasien-pasiennya lain yang beradadalam terapi. Situasinya biasanya dikaraterisasi oleh pasien yang sebelumnya“cukup sehat” tetapi sekarang menderita penyakit yang mengurangi kekuatanfisiknya atau menyebabkan hendaya jelas dan akan membawa maut dalam waktudekat. Dokter dapat dipanggil oleh pasien sendiri atau keluarganya atau temansejawat yang mengobati pasien karena keadaan mental pasien dalam keadaandepresi, ketakutan, keputusasaan, yang sering juga menyulitkan perawatannya olehkarena kegelisahannya, tidak mau makan, menolak minum obat dan sebagainya.Bantuan spiritual dan penghiburan oleh keluarga juga dirasa masih kurang berhasil

Page 2: E2 - Death and Dying

menenangkan pasien. Dalam gambaran tadi dokter dilihat perannya untukmeringankan depresi, menyembuhkan dari gejala-gejala mental-emosional yangmembuatnya tertekan, bingung dan menderita, sehingga pasien bisa meninggaldengan tenang, wajar, tanpa takut, suatu kematian yang layak ( an appropriatedeath,a good death). Dokter disini turut serta dan memberi sumbangan dalam“end of care”

Dalam tulisan ini akan diuraikan terlebih dahulu mengenai perubahanpsikologis yang terjadi pada penderita yang mengetahui penyakitnya dalamstadium terminal dan tindakan dokter yang sebaiknya dilakukan dari sudutpandang psikiatri.

Perubahan psikologis pasien yang akan meninggalKubler dan Ross meneliti reaksi 200 pasien yang akan meninggal,

menemukan ada 5 stadium yang merupakan reaksi dinamik dari suatu kehilangan(loss) ;Stadium 1 Shock dan DenialReaksi pertama setelah pasien mengetahui keadaan sakitnya adalah syok. Pasienterlihat bingung dan kemudian tidak mempercayai diagnosa dokter atau mungkinmenyangkal serta menyatakan semuanya itu tidak benar. Beberapa pasien mungkintetap ada dalam stadium ini, ia akan mengunjungi satu dokter kemudian berpindahke dokter yang lain untuk mendapatkan dukungan yang terdahulu itu keliru.Stadium 2 AngerPasien menjadi frustasi, mudah tersinggung dan marah, kenapa sampai sakit sepertiini. Ia menyalahkan dan marah pada Tuhan, pada nasibnya, pada teman-teman dananggota keluarganya. Kemarahan mungkin juga tertuju pada dokter atau perawatyang mengobatinya yang dianggap tidak sanggup mengobati penyakitnya.Stadium 3 BergainingPasien kembali ingin bekerja sama dengan dokter yang pernah merawatnya,dengan teman-temannya dan mulai mendekati Tuhan. Ia menduga punya harapanhidup 50 %. Sehingga dalam permohonannnya kalau dikabulkan oleh Tuhan,maka ia akan memenuhi beberapa janji ; memberi derma pada panti asuhan secarateratur, pindah agama dan sebagainya.Stadium 4 DepresiPasien mengalami depresi, menarik diri dari pergaulannya, psikomotor menurun,mengalami gangguan tidur, merasa tidak ada harapan dan mungkin ada pikiranbunuh diri.Stadium 5 AcceptancePasien mulai berpikir secara realistik bahwa kematian tidak dapat dielakkan danmenerima sebagai pengalaman universal. Pasien dengan tabah menerimakenyataann ini dan dapat menceritakan pengalaman yang dialami dalam

Page 3: E2 - Death and Dying

menyongsong kematian yang tidak pasti datangnya, entah besok atau lusa. Pasienyang punya kepercayaan yang kuat pada agama yang dianutnya yang memandangkehidupan sesudah kematian adalah lebih baik, tidak mengalami ketakutan danpenantian.

Perawatan dan terapiPertolongan pada pasien yang akan meninggal sangat diperlukan terutama

dalam menyelesaikan masalah-masalah yang belum terselesaikan, membantumemenuhi beberapa keinginan yang belum terpenuhi. Weismann mencatatbeberapa keadaan yang diperlukan menjelang kematian :

a. Perasaan bebas dari rasa nyerib. Dapat berfungsi semaksimal mungkin dalam batas ketidakmampuannyac. Dapat menyelesaikan konflik-konflik yang masih adad. Dapat memenuhi beberapa keinginan yang belum terlaksana

Beberapa petunjuk untuk dokterJujur terhadap pasien, terangkan diagnosis dengan kata-kata sederhana yang

mudah dimenegrti secara hati-hati. Jawablah pertanyaan secara langsung. Apabilapasien tidak mengerti arti diagnosis walaupun telah diterangkan, sebaiknyapenjelasan ditunda karena mungkin pasien belum siap untuk menerima beritabahwa dirinya menderita penyakit fatal. Pada kasus seperti ini jangan mencobamenyadarkan pasien. Jika tampaknya kemudian pasien sudah siap, ia akanmenanyakan secara langsung tentang diagnosa dan pengobatannya atau inginmendiskusikan penyakitnya. Beberapa pasien mungkin menolak menyadarikeadaan penyakitnya yang serius sampai hari kematiannya, dalam hal ini terjadiperlawanan atau penolakkan terhadap diagnosis.

Berikan perawatan yang terbaik pada pasien sehingga merasa aman dan sehat.Jika dirawat di rumah sakit tanyakan apakah ingin ada teman sekamar. Cegahpasien merasa diisolasi dari perawat dengan cara lebih sering melakukankunjungan dan berkomunikasi untuk membesarkan hatinya dan berdiskusi secaraterbuka.

Pada pasien yang tengah mengalami syok, frustasi dan tidak ada harapansetelah mengetahui diagnosa penyakitnya, usahakan tidak membebaninya dengankeharuan dokter akan keadaan ini.

Komunikasi sangat penting untuk pasien. Diharapkan dokter dan perawatberperan sebagai pendengar aktif atau “emphatic listening” yang dapatmenghargai keunikan pasien sebagai individu. Sebagian besar orang takutmeninggal, sehingga banyak petugas kesehtan yang segan mendiskusikanpengalaman ini dengan pasien yang akan meninggal.

Page 4: E2 - Death and Dying

Perhatian dokter pada pasien dapat menolong dari rasa kesendirian dalammenghadapi proses akhir hayatnya. Keberanian untuk menceritakan perasaannyaakan mengurangi tekanan akan meninggal dan perasaan terisolasi. Usahakandiciptakan suasana yang menggembirakan sehingga akan mengurangi tegegangandan kemuraman.

Kunjungan tetap dokter, perawat, sahabat dan keluarga sangat besar manfaatnyadalam mengurangi perasaan takut akan meninggal. Ikutkan keluarga dalam prosesdiagnosa dan pengobatan. Apabila mereka enggan untuk diikutsertakan karenatakut terhadap proses duka cita, diskusikan secara terbuka pentingnya perhatiankeluarga untuk memberi dorongan terhadap pasien.

Beri kenyamanan pada pasien yang akan meninggal, menghilangkan nyeri,misal dengan pemberian analgetik atau bahkan bagi yang telah toleran terhadapanalgetik dapat digunakan narkotika dosis adekuat, misal untuk pasien-pasienpenyakit kanker. Perhatikan hygiene dan menolong untuk menyegarkan kembalipasien dengan memberi kesempatan untuk menghirup udara segar dan matahari.

Bila mungkin lakukan psikoterapi suportif sehingga pasien tidak merasasendirian atau takut. Pengertian agama mengenai hidup dan kematian dapatdiselipkan dalam psikoterapi tersebut sehingga pasien tidak merasa cemas dantakut menghadapi peristiwa akhir hayat.

Apabila hal –hal diatas dapat dilakukan dengan baik maka pasien yangmenhadapi akhir hayatnya mampu melakukan

1. Mempersiapkan diri menghadapi hari kematian2. Pasien telah mengucapkan selamat tinggal pada orang-orang terdekat3. Dapat berpikir realistik dan telah menerima kenyataan bahwa hidupnya akan

berakhir dan mungkin ada tugas yang belum terselesaikan4. Mampu mengisi waktu penantian dengan hal yang positif

Catatan akhirPerlu difahami bahwa “menjelang kematian” tidak selalu dan sendirinya

merupakan kondisi yang menekan, mengancam dan menakutkan sehinggamenimbulkan guncangan jiwa. Tampaknya ada pula yang orang yang menghadapisaat maut justru dengan kegembiraan seperti mengekspetasi kebebasan, akanmendapat hadiah kehidupan lanjutan yang indah ; apalagi ada kebanggaanmengorbankan nyawanya demi satu tujuan yang luhur. Dengan demikian kematiandiglorifikasi dan memberi warna tersendiri pada emosi menantikan kematian (misal bagi orang yang bertekad mengorbankan nyawanya, orang yang menyiapkanbunuh diri dan orang yang menunggu eksekusi hukuman mati ).

Pendekatan kedokteran bagi pasien dalam keadaan akhir hayatnya biasanyauntuk sebagian besar atau praktis seluruhnya bersifat paliatif, yaitu segala usaha

Page 5: E2 - Death and Dying

untuk meniadakan atau mengurangi penderitaan pasien. Begitu juga gejalakecemasan, putus asa, terisolasi, yang dari segi psikiatri ditolong dengan bantuanpenghiburan dan dukungan psikologis, bantuan spiritual, dan obat-obatan antikecemasan , anti depresi dan lain –lain. Sejauh usaha itu berhasil meringankangejala-gejala, pertolongan itu tentu sangat berharga apabila diberikan dengansistematis dan terampil untuk memberikan kesempatan pada pasien “meninggaldengan baik”. Meninggal dengan baik dapat dinilai dari luar, dari kelakuan danucapan pasien, bahwa dirinya sadar, merasa terhibur dan damai, tidak takut dantidak nyeri.

Masih merupakan misteri apabila pasien yang tadinya dalam keadaanketakutan dan pergumulan batin, kemudian meninggal dalam keadaan damai,sejauh mana hasil itu tercapai karena “terapi” yang diperolehnya, karena tepatnya,spesifitas tindakan dan pengobatan professional yang telah dilakukan

Ada kalanya pasien – pasien dalam keadaan akhir hayatnya telah diberikansegenap bantuan medik, psikiatrik, spiritual yang tampaknya diperlukan olehnyamenjelang saat kematian yang secara klinis sudah dianggap pasti, akan tetapikemudian terhindar dari kematian. Diantara pasien – pasien itu apabila ada yangsempat ditanya ada yang mengaku bahwa meskipun menghargai segala upaya yangtelah dicurahkan pada mereka pada hari-hari atau jam-jam menjelang kematian –mereka merasa bahwa kata-kata yang mereka dengar tidak sungguh membuat“perubahan dalam batin” . Mereka mengaku bahwa kedamaian hati, keberaniandan kepasrahan menghadapi kematian dan penerangan spiritual itu bukan berkatterapi itu. Bahwa mereka menunjukkan sikap dan kelakuan damai dan terhiburadalah (kata mereka) justru untuk menenangkan hati orang-orang yang dilihat disekitarnya yang begitu sedih atau berduka. Bahkan ada yang mengaku merekasebenarnya terganggu oleh perhatian dan kata-kata penghibur yang dicurahkanpada mereka, sekalipun dengan niat yang baik, pada saat-saat kegentingan jiwa itu.

Barangkali tidak banyak orang ( kalaupun ada ) dapat mengetahui danmerasakan apa yang batiniah alami dan hayati oleh pasien itu. Kemampuanberempati yang diperlukan untuk itu mungkin hanya diperoleh kalau diripernahnya berada dalam situasi yang sama atau menghadapi kematian atau dengancara lain berhasil meresolusi dan menyublimasi pelbagai konflik bersangkutandengan finalitas kehidupan. Schwartz dan Karasu mengemukakan bahwaketakutan akan ditinggalkan sendiri ( the fear of abandonment ) menempati posisisentral dalam jiwa orang yang meninggal. Kalau begitu hal yang esensial dalamusaha pertolongan bagi orang yang akan meninggal adalah menanamkan ataumemperkuat perasaan padanya bahwa ia tidak perlu takut ; bahwa orang yangmendampinginya itu ada disitu bersama dia dan untuk dia. Oleh karena itu seringkali keberadaan keluarga, sanak saudara, teman yang mengenalnya akrab,meskipun awam dalam pelayanan orang meninggal jauh lebih efektif untuk

Page 6: E2 - Death and Dying

membuat pasien “damai, bahagia, dan bersyukur dalam hati” sehingga pasien bisameninggal dengan tenang (setidak-tidaknya demikian kalau tidak ada komorbiditasdengan suatu gangguan mental sebagai komplikasi). Mereka lebih efektifdibandingkan dengan orang professional betapapun terampilnya menerapkanteknik dan prosedur medik dan psikologis menurut keahliannya.Oleh karena ituuntuk menyamai dan sedapat-dapatnya melebihi efektivitas mereka, dokter atausiapapun yang bertugas mendampingi orang dalam proses meninggal, sebaiknyamempersiapkan dirinya untuk menemukan dampak kondisi pasien atas dirinyasendiri. Untuk itu diperlukan bahwa dokter sudah cukup berhasil menyublimasikonflikdan ketakutan sendiri mengenai finalitas untuk berempati dengan pasiennya; untuk mencapai itu yang bersangkutan melatih diri atau harus pernah – atauberulang kali mengalami situasi mendekati maut dan dengan sukses mengatasikegamangan jiwa yang menyertainya.

Kepustakaan1. Sadock BJ., Sadock V.A 2007 Death, Dying, and Bereavement in Kaplan & Sadocks

Comprehensive Textbook of Psychiatry , eds Benyamin J, Sadock, V.A Sadock 10 ed ,Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia pp 2367

2. Marlina SM 2005Aspek Psikososial Penyakit Kanker dalam Majalah Paliatif Kanker,Vol.I No 2, kelompok Perawatan Paliatif dan Bebas Nyeri . Tim Penanggulangan KankerRSUD Soetomo / FK Unair Surabaya

3. Donal L Patrick et al 2002 Pain, Depression, and Fatigue in Symptom Management inCancer, National Cancer Institute

4. Lubis D Bachtiar 2012 Kebutuhan Pasien Yang Akan Meninggal dalam UnderstandingThat Heals DIOMA Malang h 179 – 185

5. Luh Ketut Suryani Penderita Kanker Stadium Lanjut : Penanganan Psikiatri YayasanKesehtan Jiwa Dharmawangsa h 7 – 15 Jakarta