DISERTASI PERANAN LEMBAGA MEDIASI PERBANKAN DALAM ...
Transcript of DISERTASI PERANAN LEMBAGA MEDIASI PERBANKAN DALAM ...
DISERTASI
PERANAN LEMBAGA MEDIASI PERBANKAN DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA NON LITIGASI
(The Role Of The Institute Of Banking
Mediation Settlement In Litigation )
WILHELMUS RENYAAN
P0400311428
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
ii
LEMBARAN PENGESAHAN
UJIAN PROMOSI
PERANAN LEMBAGA MEDIASI PERBANKAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA NON LITIGASI
(The Role Of The Institute Of Banking Mediation Settlement In Litigation)
Disusun dan diajukan oleh
WILHELMUS RENYAAN
Nomor Pokok P0400311428
Menyetujui
Komisi Penasehat
Prof, Dr. Juajir Sumardi.,SH.,MH
Promotor
Prof.Dr.H.AbdullahMarlang.,SH.,MH Prof.Dr.H.M. Arfin Hamid.,SH.,MH ko-Promotor ko-Promotor
Ketua Program Studi
Program Doktor
Ilmu Hukum
Prof.Dr.Abdul Rasak.,SH.,MH
iii
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI
Saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : WILHELMUS RENYAAN
Nomor Pokok : P0400311428
Program Studi : Doktor / Ilmu Hukum
JudulDisertasi : Peranan Lembaga Mediasi Dalam Penyelesaian
Sengketa Non Litigasi
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Disertasi yang saya tulis ini
benar – benar merupakan hasil karya saya sendiri.
Makasar,Desember 2017
Pembuat Pernyataan,
WILHELMUS RENYAAN
iv
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
atas rahmat dan perlindungan IlahiNya yang dicurahkan kepada penulis
sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi
ini sebagaimana adanya.
Penulisan disertasi ini tidak mungkin rampung tanpa bantuan dari
berbagai pihak. Untuk menyatakan rasa hormat dan bakti yang tulus,
maka penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar–besarnya
kepada Bapak Prof, Dr. Juajir Sumardi.,S.H.,M.H sebagai Promotor,
Bapak Prof.Dr.H.Abdullah Marlang.,S.H.,M.H sebagai Ko –Promotor dan
Bapak Prof. Dr. H.M. Arfin Hamid.,S.H.,M.H sebagai Ko- Promotor atas
bantuan, petunjuk dan bimbingan yang diberikan dalam menggarahkan
penulis untuk menyelesaikan penulisan disertasi ini. Demikian juga penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar–besarnya kepada Bapak Prof.
Dr. Ahmadi Miru,S.H,M.H, Ibu Prof Dr. Hj. Badriyah Rifai, S.H, Ibu Dr.
Nurfaida Said, S.H.,M.H.,M.Si, dan Bapak Dr. Winner Sitorus, S.H., M.H.,
L.LM sebagai Tim Penguji atas kesediaan meluangkan waktu memberikan
saran-saran yang berharga untuk penulisan disertasi ini.
Terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis haturkan kepada :
1. Rektor Universitas Hasanuddin Makasar yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menumpuh kuliah program doktor
2. Pimpinan dan Staf Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin yang telah menuntun dan menyiapkan segala
v
fasilitas penunjang belajar bagi penulis sehingga mampu
menyelesaikan semua kegiatan akademik secara baik dan lancar.
3. Departemen Pendidikan Nasional, yang telah memberikan Beasiswa
Program Penggembangan Study (BPPS) kepada penulis.
4. Para Dosen Program Pascasarjana di bidang kedoktoran Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, yang telah mengasuh dan menuntun
penulis hingga sampai pada tahap akhir study ini.
5. Bapak Prof Dr, Sutarman Yodo, SH,MH, selaku penguji eksternal
yang telah meluangkan waktu untuk dapat menguji penulis pada saat
sidang Promosi Doktor
6. Bapak Eko Waluyo Purwoko selaku Deputi Kepala Perwakilan Kantor
Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Papua yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian.
7. Bapak Ganjar selaku kepala Bagian Adminstrasi pada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Papua yang telah memberikan
informasi – informasi terkait dengan data penelitian ini.
8. Bapak Taufik Ariesta Ardhiawan selaku Analis Manajer pada Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan yang telah
memberikan informasi maupun data-data terkait dengan penelitian ini
9. Bapak Prio Anggoro Kepala Kantor Otoritas Jasa Keuangan Papua
dan Papua Barat yang telah memberikan kesemapatan kepada
Penulis untuk memperoleh data maupun informasi
vi
10. Bapak Niko Jefta, Staff Otoritas Jasa Keuangan Papua dan Papua
Barat yang telah sangat membantu dan menfasilitasi penulis dalam
memperoleh data yang dibutuhkan dalam penyusunan disertasi ini.
11. Bapak Ketua Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura, Bapak Martinus
Balla, yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk
melakukan penelitian maupun memberikan informasi-informasi terkait
dengan data-data penelitian ini.
12. Bapak Ketua Pengadilan Negeri kelas 1A Makasar, Bapak Kemal
Tampubolon,SH,MH yang telah memberikan kesempatan kepada
peneliti untuk melakukan penelitian maupun memberikan informasi-
informasi terkait dengan data-data penelitian ini
13. Bapak Jems Simanjuntak ,S.H.,M.H, Bapak Aloysius Renwarin,
SH.MH, dan Bapak Johanes Sudiman Bakti, SH.MH selaku Advokat /
Penasehat hukum yang teleh memberikan informasi maupun data-
data yang terkait dengan penelitian disertasi ini.
14. Para Nasabah yang menjadi responden dalam pengumpulan data
penelitian ini.
15. Pondokan Batari yang telah memberi tumpangan bagi penulis sejak
tiba di Makassar hingga menyelesaiakan study.
16. Terkhusus pada Orang Tua penulis (Bapak Mathias Bun Renyaan)
atas segala dukungan baik moril maupun matril. Teriring doa kepada
(Almarhumah Ibu Pudentiana Renyaan - Dumatubun) tercinta yang
telah berpulang kerumah Bapa di Surga.
vii
17. Istri tercinta Adventina Iradiana Nani, S.E, atas segala pengorbanan,
ketabahan yang telah memberikan dorongan serta senantiasa
membantu dalam doa selama penulis menempuh pendidikan pada
Program Doktor PascaSarjana Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin.
18. Rekan-rekan program study Doktor ilmu hukum angkatan 2011 atas
segala bantuan, diskusi, buah pikiran dan dukungan yang diberikan
selama proses kuliah terutama dalam penyelesaian disertasi ini.
19. Semua pihak yang telah memberikan bantuan moril hingga selesainya
penulisan disertasi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
Kiranya Tuhan Yang Maha Pengasih senantiasa memberkati dan
memberikan berkatnya kepada bapa, ibu, sdr/sdri.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan disertasi ini
masih banyak kekurangan, dan untuk itu kritik dan saran demi perbaikan
disertasi ini penulis terima dengan senang hati. Semoga disertasi ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan dalam dunia bisnis khususnya
dalam Hukum Perbankan.
Makassar, Desember, 2017
Penulis
WILHELMUS RENYAAN
viii
ABSTRAK
WILHELMUS WILL RENYAAN. “Peranan LembagaMediasiPerbankan Dalam Penyelesaian Sengketa Nonlitigasi” (dibimbingolehJuajirSumardi, AbdullahMarlangdanArfin Hamid). Penelitianinibertujuanuntukmengetahuikedudukanhokummediasiperbankandalampenyelesaiansengketanonlitigasi di Indonesia khususnyapada Bank Indonesia Kantor PerwakilanProvinsi Papua danUntukmengetahuisejauhmanapelaksanaanmediasiperbankandapatmenyelesaikansengketa di bidangperbankanpada Bank Indonesia Kantor PerwakilanProvinsi Papua serta Pelaksanaan Putusan Perdamaian bagi Bank dan Nasabah. Penelitianinidilaksanakan dengan menggunakan metodepenelitianhukum (legal research) yang bersifatempiris, yaknipenelitianuntukmengkajikonsep–konsephokumterkaitdenganlembagamediasiperbankandalampelaksanaannya di lapangan. Pendekatan yang digunakanadalahpendekatanperundang-undangan (statuta approach), pendekatankonseptual (conceptual approach), pendekatankasus (case approach), danpendekatansosiologi Hasilpenelitianmengungkapkanbahwa kedudukan hukum mediasi perbankan dalam penyelesaian sengketa non litigasi,sudah dilaksanakan sesuai ketentuan aturan hukum tetapi di dalam pelaksanaannya belumberjalansecaraefektifhalini di sebabkanbelumterbukanyainformasidaripihak Bank Indonesia terhadapnasabahmenyangkutpenyelesaianpengaduanmaupunkewenangannasabahdalamkaitannyadenganmediasiperbankan, di sampingitu, pelaksanaan mediasi perbankan dapat di laksanakan apabila memiliki unit atau lembaga yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaiakan sengketa atau konflikantaranasabahdenganpihak bank, kemudian terkait dengan pelaksanaan putusan hukum antara para pihak yang bermasalah, maka perlu adanya kesepakatan perdamaian yang jelas yang mengikat kedua belah pihak baik itu nasabah maupun pihak bank, karna kesepakatan yang terjadi antara para pihak yaitu kesepakatan berdasarkan itikad baik yang bisa saja salah satu pihak tidak setuju Kata Kunci :Peranan, Mediasi, Perbankan, Penyelesaian Sengketa
ix
ABSTRACT
WILHELMUS WILL RENYAAN. "The Role of Banking Mediation Institution in Non-litigation Dispute Settlement" (guided by JuajirSumardi, Abdullah Marlang and Arfin Hamid). This study aims to determine the legal position of banking mediation in the settlement of non-litigation disputes in Indonesia, especially at Bank Indonesia Representative Office of Papua Province and To know how far the implementation of banking mediation can resolve dispute in the banking field at Bank Indonesia Representative Office of Papua Province and Implementation of Peace Decision for Bank and Customer. This research is conducted by using the method of legal research (legal research) that is empirical, namely research to examine legal concepts related to banking mediation institution in its implementation in the field. The approach used is the approach of legislation (statuta approach), conceptual approach (approach concept), case approach (case approach), and sociology approach The result of the research revealed that the legal position of banking mediation in non-litigation dispute settlement has been implemented in accordance with the rule of law but in its implementation has not been run effectively this is caused by the unavailability of information from Bank Indonesia to the customer concerning the settlement of the complaint and the authority of the customer in relation to Banking mediation, in addition, the implementation of banking mediation can be carried out if it has units or institutions that have the authority to resolve disputes or conflicts between customers with the bank, then associated with the implementation of legal decisions between the troubled parties, the need for a peace agreement that Clearly binding both parties either the customer or the bank, because the agreement that occurs between the parties is a good faith based agreement that could be either party disagree Keywords: Role, Mediation, Banking, Dispute Settlement
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................ii
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI....................................................iii
PRAKATA...................................................................................................iv
ABSTRAK.................................................................................................viii
ABSTRAC..................................................................................................ix
DAFTAR ISI................................................................................................x
DAFTAR TABEL.......................................................................................xiii
DAFTAR BAGAN......................................................................................xiv
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.....................................................,,.......................1
B. Rumusan Masalah..............................................,.........................9
C. Tujuan Penelitian...............................................,..........................9
D. Kegunaan Penelitian........................................,...........................9
E. Orisionalitas Penelitian...............................................................10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Perbankan....................................................................13
1. Penerapan Hukum Ekonomi Sebagai Dasar Hukum
Perbankan............................................................................13
2. Pengertian dan Asas-Asas Hukum Perbankan....................15
B. Tinjauan Umum Terhadap Bank................................................19
B. 1. Bank Sebagai Lembaga Pembiayaan...............................19
B. 2. Kegiatan Usaha Bank........................................................29
B. 3. Sengketa yang Timbul Dalam Kegiatan Perbankan.........32
C. Tinjauan Umum Alternative Disepute Resolution.......................37
D. Tinjauan Umum Penyelesaian Sengketa Di Bidang
Perbankan.................................................................................73
E. Mediasi Perbankan Sebagai Alternatif Peneyelesaian
Sengketa...................................................................................84
xi
F. Landasan Teoritis.......................................................................95
a. Teori Keadilan (Grand Theory).............................................95
b. Teori Perlindungan Hukum (Middle Theory).........................99
c. Teori Konflik (Applied Theory)............................................102
d. Teori Penyelesaian Sengketa (Applied Theory).................108
G. Kerangka Pikir...........................................................................112
H. Defensi Operasional.................................................................116
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian..........................................................................118
B. Lokasi Penelitian.......................................................................118
C. Populasi dan Sampel................................................................119
D. Jenis dan Sumber Data.............................................................121
E. Teknik Pengumpulan Data........................................................121
F. Analisis Data.............................................................................122
BAB IV HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hukum...................................................................123
1. Kewenangan.......................................................................123
2. Kompetensi.........................................................................141
3. Struktur Kelembagaan........................................................156
B. Peranan Lembaga Mediasi.......................................................163
1. Penyelesaian Sengketa Perkreditan..................................163
2. Penyelesaian Sengketa Kartu Kredit..................................184
3. Penyelesaian Sengketa ATM.............................................199
C. Pelaksanaan Putusan/Kesepakatan.........................................207
1. Terhadap Bank...................................................................215
2. Terhadap Nasabah.............................................................217
xii
BAB V P E N U T U P
A. Kesimpulan...............................................................................225
B. Saran........................................................................................226
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1Pengertian Tentang Mediasi yang Terdapat Pada Sumber
Hukum yang Terkait..............................................................136
Tabel 4. 2. Langka – Langka / Tahapan Dalam Mediasi
Perbankan............................................................................162
Tabel 4. 3 Tangapan Responden Terhadap Faktor Terjadinya Kredit
Bermasalah...........................................................................165
Tabrel 4. 4 Tangapan Responden Terhadap Pilihan Penyelesaian
Sengketa Di Bidang Perbankan..........................................183
Tabel 4. 5 Penyebab Pengunaan Kartu Kredit Bermasalah...............188
Tabel 4. 6 Jumlah Pengaduan yang Di Terima Oleh Bank Indonesia
Kantor Perwakilan Provinsi Papua periode tahun 2013 –
2016.......................................................................................191
Tabel 4 . 7 Kasus-Kasus yang Terjadi Pada Nasabah Kaitanya
Dengan Pengunaan ATM.................................................201
Tabel 4. 8 Tangapan RespondenTerhadap Mediasi Setelah
Terwujudnya Perdamaian......................................................218
xiv
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Kerangka Pikir.........................................................................115
Bagan 2. Prosedur Penyelesaian Sengketa Oleh Bank Indonesia
Kantor Perwakilan Jayapura..................................................... 174
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan bank dalam perekonomian moderen sudah menjadi
kebutuhan yang sulit dihindari, karena bank sudah menyentuh
kebutuhan setiap orang dan seluruh lapisan masyarakat. Kalau dahulu
masyarakat masih dapat menyimpan uang di bawah bantal atau
dalam sebuah celengan, saat ini masyarakatakan lebih senang
menyimpan uang di bank, karena uang tersebut dapat menghasilkan
bunga dan lebih aman. Sementara itu, masyarakat yang
membutuhkan dana akan lebih mudah datang ke bank dari pada
mencari orang yang dapat dan mau meminjamkan dana kepada yang
memerlukan.1
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 10 Tahun 1998
tentang perubahan atas Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan menjelaskan pengertian bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
bentuk –bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak. Dilihat dari pelayanan (service) atau produk yang ditawarkan
1 Abdullah Piter, Suseno, 2003, Sistim Dan Kebijakan Perbankan Di Indonesia. Pusat
Pendidikan Dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia, Jakarta, halaman 1
2
kepada konsumen, bank adalah institusi yang menerima simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman2.
Dalam melaksanakan fungsinya sebagai perantara pihak-pihak
yang memiliki kelebihan dana dengan pihak-pihak yang kekurangan
dana maka menimbulkan adanya hubungan hukum antara bank
dengan nasabah. Hubungan hukum yang terjalin ini dapat
menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank.
Lemahnya perlindungan terhadap nasabah terlihat dari semakin
banyaknya kasus yang muncul dalam kaitan dengan perkembangan
perbankan. Hal ini juga semakin jelas terlihat dari banyaknya keluhan
nasabah melalui media massa yang intinya nasabah tidak puas atas
pelayanan yang diberikan oleh bank yang tidak sesuai dengan iklan
yang ditawarkan.3
Berdasarkan data dari Bank Indonesia Tahun 2013 sebanyak
884.454 pengaduan yang disampaikan oleh Bank Umum, dari
banyaknya pengaduan tersebut tidak semua dapat di mediasi karna
tidak sesuai dengan peraturan, proses dan tahapan untuk dapat
dimediasi oleh Bank Indonesia. Dari jumlah pengaduan masuk, yang
dapat di mediasi atau yang layak dimediasi ada 194
pengaduan dan yang sudah di lakukan mediasi ada 16 pengaduan,
2Ibid, hal 2
3Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan
dan Deposito (Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Perlindungan Deposan Di Indonesia Dewasa Ini), ( Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hlm.3.
3
tetapi juga ada yang bisa di selesaikan antara nasabah dan bank
tanpa melibatkan Bank Indonesia.4
Terkait dengan pelaksanaan mediasi maka adanya ketentuan
hukum Di Indonesia yang mengatur tentang pelaksanaan mediasi
tersebut yang dikenal dengan istilah atau sebutan alternatif
penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution) 5 yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-
Undang-Nomor 30 Tahun 1999 diatur bahwa:
”alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati
para pihak yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan
cara konsultasi, negosiasi,mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli”.
Kemudian menurut Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No 30
Tahun 1999 tersebut juga diatur bahwa:
atas kesepakatan tertulis para pihak sengketa atau beda pendapat
diselesaikan melalui bantuan seorang atau beda pendapat
diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli
maupun seorang mediator
4(http: // kabarwarta.com / berita- 2310 – di – tahun – 2013 – ada – 884454 – pengaduan
– nasabah – ke - bank indonesia . html ). diakses tanggal 13 oktober 2013, jam 19:53
wita 5Jacquelin M.Nolan-Haley dalam bukunya Alternative Dispute Resolution In A Nutshell
yang dikutip oleh Bismar Nasution dalam makalah “Penyelesaian Sengketa AlternatifMelalui Mediasi” yang disampaikan pada Dialog Interaktif PERMA No.2 Tahun 2003 tentang Mediasi di Pengadilan, Medan 2003 menyebutkan bahwa Istilah Alternative Dispute Resolution pertama kalinya lahir di Amerika Serikat seiring dengan pencarian alternatif pada tahun 1976, yaitu ketika “Chief Justice Warren Burger mengadakan the Roscoe E.Pound Conference on the Cause of Popular Dissatisfaction with the Administration of Justice” (“Pound Conference) di Saint Paul, mencari cara-cara baru dalam menyelesaikan konflik
4
Disamping itu juga Undang-Undang No 30 Tahun 1999, Pasal 6
ayat (7), menyatakan kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda
pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak
untuk dilaksanakan dengan itikad baik.6
Alternatif penyelesaian sengketa merupakan salah satu pilihan
bagi para pihak yang hendak menyelesaikan sengketa mereka
dengan tidak melalui pengadilan maupun arbitrase. Pilihan tersebut
sepenuhnya bergantung pada keinginan dari masing-masing pihak
yang bersengketa. Penyelesaian sengketa dengan mediasi, pada saat
ini dibatasi hanya untuk sengketa di bidang keperdataan saja. Hal ini
dilatar belakangi oleh pandangan bahwa sengketa tersebut tidak
merugikan masyarakat secara umum. 7
Untuk menjaga hubungan hukum yang terjalin antara bank dan
nasabah perbankan berusaha untuk menjaga kepercayaan dari
masyarakat dengan memberikan perlindungan hukum terhadap
kepentingan masyarakat, terutama kepentingan dari nasabah bank
yang bersangkutan. Untuk itu Bank Indonesia menetapkan standar
minimum mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/7/PBI/2005 Tentang
Penyelesaian Pengaduan Nasabah yang wajib dilaksanakan oleh
seluruh bank.
6Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT RajaGrafido
Persada, Jakarta. 2005. hlm 90 7Jimmy Jose Sembiring . Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi,
Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase) Jakarta; Visimedia, 2011. hlm 25-26
5
Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 ini dalam
kenyataannya tidak selalu dapat memuaskan nasabah.
Ketidakpuasan tersebut dikarenakan tidak terpenuhinya tuntutan
nasabah bank baik seluruhnya maupun sebagian sehingga berpotensi
menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank.8
Untuk menyelesaikan sengketa antara bank dengan nasabah,
maka Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan sebagai perlindungan
terhadap hak-hak nasabah yaitu Peraturan Bank Indonesia (PBI)
Nomor: 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, sebagaimana telah
dirubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008
tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Mediasi Perbankan
merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang
ditawarkan oleh pihak bank dalam menyelesaikan perselisihan atau
sengketa yang terjadi antara bank dengan nasabah.
Menurut Peraturan Bank Indonesia No.8/5/PBI/2006 Pasal 1 ayat
(5), maka yang dimaksud dengan Mediasi adalah proses
penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu
para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam
bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh
permasalahan yang di sengketakan
8Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 Tentang Penyelesaian Pengaaduan Nasabah
6
Sesuai dengan Pasal 3 ayat 1 PBI No 8/5/PBI/2006, yang
membentuk lembaga mediasi perbankan independen adalah Asosiasi
Perbankan. Asosiasi Perbankan yang membentuk lembaga mediasi
perbankan independen dapat terdiri dari gabungan asosiasi perbankan
untuk menjaga independensinya, serta dapat pula dilakukan
perekrutan dari kalangan bankir.
Untuk menjaga kualitas dari lembaga mediasi perbankan ini, maka
Bank Indonesia dapat memberi akreditasi pada lembaga mediasi
perbankan indonesia tersebut. Lembaga mediasi mempunyai
kewajiban melaporkan secara berkala pada Bank Indonesia mengenai
sengketa yang pernah dimediasikan.Kemudian dari laporan tersebut
Bank Indonesia dapat mengevaluasi kinerja dari lembaga mediasi
perbankan indpendent tersebut dan memberikan akreditasinya.
Dalam Lembaga mediasi ini dimungkinkan adanya
mediator independen yang dapat memberikan saran sesuai dengan
profesinya masing-masing, misalnya ada konflik antara nasabah
dengan bank mengenai masalah hukum, maka harus ada seorang
mediator yang ahli di bidang hukum perbankan, yang dapat berasal
dari pihak indepedent
Dalam pelaksanaan kegiatan usaha perbankan seringkali hak-hak
nasabah tidak dapat terpenuhi dengan baik sehingga menimbulkan
sengketa 9 antara nasabah dengan bank, yang apabila tidak dapat
9
Tata hukum bukan hanya untuk memuaskan kepentingan satu pihak dengan mengorbankan pihak lainnya, tetapi menghasilkan suatu kompromi di antara
7
terselesaikan dengan baik oleh bank, maka berpotensi merugikan
nasabah dan atau bank.
Sengketa dapat terjadi karena tidak adanya titik temu antara para
pihak yang bersengketa. Sengketa ini dapat terjadi diawali karena
adanya perasaan tidak puas dimana ada pihak yang merasa dirugikan
dan kemudian perasaan tidak puas ini menjadi conflict of interest yang
tidak terselesaikan sehingga menimbulkan suatu konflik.10
Penyelesaian konflik hukum tersebut dapat dilakukan melalui dua
cara yaitu melalui proses litigasi dan non litigasi 11 . Konflik hukum
antara bank dengan nasabah yang diselesaikan melalui forum
pengadilan pada akhirnya dapat memenangkan salah satu pihak
karena penyelesaian sengketa melalui pengadilan pada dasarnya
menggunakan prinsip win-lose. Sebaliknya, penyelesaian sengketa
alternatif sifatnya tidak formal, sukarela, melihat ke depan, kooperatif
dan berdasar kepentingan. setelah pengalihan fungsi pengawasan
perbankan ke Otoritas Jasa Keuangan, membuat otoritas memiliki
tugas baru dalam hal perlindungan konsumen. Perpindahan
kewenangan ini diharapkan dapat memperbaiki sistem perlindungan
konsumen atau nasabah perbankan. Selama ini tak sedikit nasabah
kepentingan-kepentingan yang bertentangan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya friksi-friksi, yang memiliki harapan hidup relatif lama, Lihat Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara, Alih bahasa oleh Somardi (Jakarta : Bee Media Indonesia, 2007), hlm.15. 10
Suyud Margono, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hlm.34. 11
Litigasi merupakan penyelesaian suatu sengketa hukum melalui jalur pengadilan, sedangkan non litigasi adalah penyelesaian sengketa hukum melalui jalur luar
pengadilan.
8
merasa tertipu oleh produk dan layanan yang ditawarkan oleh bank.
Seiring beralihnya fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia
ke Otoritas Jasa Keuangan, agar sengketa antara konsumen atau
nasabah dengan pelaku jasa keuangan tak melebar lebih jauh,
Otoritas Jasa Keuangan telah mengingatkan pelaku jasa keuangan
untuk melindungi nasabahnya. Dunia bisnis pada dasarnya
menghendaki penyelesaian sengketa yang efisien dan efektif dimana
prosesnya tidak berbeli-belit, namun dalam prakteknya pihak-pihak
yang bersengketa lebih banyak memilih penyelesaian melalui proses
litigasi di Pengadilan. Hal ini juga terjadi pada sengketa antara bank
dan nasabahnya, sehingga lembaga mediasi diharapkan dapat
berperan dalam melakukan penyelesaian sengketa secara non-litigasi,
bahkan masih banyak pihak bank yang belum membentuk unit
pengaduan atau mediasi perbankan dalam lingkup interen bank
tersebut, hal ini menimbulkan isu bahwa kedudukan hukum mediasi
perbankan belum dilaksanakan sebagaimana mestinya di samping itu
pelaksanaan mediasi perbankan dalam penyelesaian sengketa non-
litigasi cenderung belum dapat perhatian serius dan juga pelaksanaan
putusan perdamaian yang di tetapkan belum memberikan suatu
kepastian hukum yang kuat baik terhadap pihak bank maupun
nasabah
9
B. Rumusan Masalah
Beranjak dari isu penelitian sebagaimana yang diuraikan pada
latar belakang masalah, maka permasalahan dalam penelitian yang
akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan hukum mediasi perbankan sebagai
salah satu penyelesaian sengketa nonlitigasi ?
2. Sejauhmanakah pelaksanaan mediasi perbankan dapat
menyelesaikan sengketa di bidang perbankan ?
3. Bagaimanakah pelaksanaan putusan atau kesepakatan mediasi
perbankan yang di tujukan kepada pihak bank maupun nasabah?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kedudukan hukum mediasi perbankan sebagai
salah satu penyelesaian sengketa nonlitigasi di Indonesia
2. Untuk mengetahui peran mediasi perbankan dapat menyelesaikan
sengketa di bidang perbankan
3. Untuk mengetahui pelaksanaan putusan atau kesepakatan
mediasi perbankan yang di tujukan kepada pihak bank maupun
nasabah
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
10
1. Manfaat teoritis, menambah pengetahuan, wawasan dan
pemahaman mengenai peranan lembaga mediasi perbankan
dalam penyelesaian sengketa non litigasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku,
2. Manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai
bahan masukan bagi kalangan perbankan untuk memerankan
lembaga mediasi perbankan dalam penyelesaian sengketa non
litigasi
E. Orisinalitas Penelitian
Spesifiknya penelitian ini terletak pada orisinalitas penelitian yang
khusus meninjau tentang Peranan Lembaga Mediasi Perbankan
Dalam Penyelesaian Sengketa Non Litigasi
Penelitian yang mirip dengan rencana penelitian ini, antara lain:
1. Pujiono dengan judul peneletian : Mediasi Perbankan, Disertasi
2008. Program studi Ilmu Hukum, Program PasacaSarjana
Universitas Sebelas Maret (UNS) solo, temuan penelitiannya
tentang resolusi sengketa antara nasabah dengan bank dengan
lebih adil dan memuaskan, lebih lanjut Pujiono menekankan juga
jika terjjadi sengketa antara nasabah dengan bank, umumnya
menggunakan jalur pengadilan sebagai resolusi sengketa, seperti
termuat dalam akad/perjanjian antara nasabah dengan bank,
padahal jalur penyelesaian sengketa melalui pengadilan justru
tidak menguntungkan, baik bagi nasabah maupun bank.
11
Dalam penelitian ini, peneliti mengkaji secara komprehensif
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang terkait dengan
Peranan Lembaga Mediasi Perbankan Dalam Penyelesaian
Sengketa Non Litigasi
2. Syarifah Lisa Andriati, dengan judul penelitian :Penyelesaian
Sengketa Perdata Antara Nasabah Dengan Bank Melalui Mediasi
Perbankan, Tesis 2008, Program Studi S2 Ilmu Hukum, Program
PascaSarjana Universitas Sumatera Medan, dimana
pembahasannya lebih mengarah kemediasi perbankan merupakan
alternatif penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan sengketa
yang terjadi antara nasabah dengan bank.
kemudian yang membedakan dari penelitian ini adalah Penelitian
yang telah ada sebelumnya mengkaji secara terbatas mediasi
yang telah di tetapkan oleh bank indonesia menurut ketentuan
peraturan bank indonesia, sedangkan dalam penelitian ini
membahasa bentuk pengaturan , kewenangan dan struktur
kelembagaan.
3. Ayu Endah Damastuti dengan judul penelitiannya :Peranan
Lembaga Mediasi Perbankan Dalam Melindungi Nasabah Bank di
Indonesia. Tesis 2008, Program Studi S2 Ilmu Hukum, Program
PascaSarjana Universitas Indonesia Jakarta dimana
pembahasannya mengacu pada perlindungan terhadap nasabah
bank.Dalam prakteknya bentuk perlindungan nasabah bank
12
diterapkan berdasarkan hubungan kontrak dalam bentuk
perjanjian, baik terhadap nasabah penyimpan maupun nasabah
peminjam.
Dalam Penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya tersebut
memang membahas tentang lembaga mediasi namun hanya
membahas secara terbatas lembaga mediasi yang diamanatkan
dalam ketentuan peraturan Bank Indonesia. Sedangkan dalam
penelitian ini lebih mengarah pada proses pembentukan lembaga-
lembaga mediasi pada Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi
Papua serta legitimasi hukum terkait dengan putusan maupun
mekanisme penyelesaian sengketa tersebut .
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Perbankan
1. Penerapan Hukum Ekonomi Sebagai Dasar Hukum Perbankan
Hukum ekonomi sebagai dasar hukum yang mengatur kegiatan
bidang ekonomi meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi dan
eksistensinya, hubungannya dengan bidang hukum yang lain, serta
bidang-bidang yang dikajinya. Dimana yang dimaksud dengan
esensi dan efektifitas tersebut antara lain: Pertumbuhan ekonomi;
Kesejahteraan; dan Pemerataan kesempatan yang seimbang.1
Hukum ekonomi juga merupakan semua aturan yang mengatur
tentang hukum ekonomi, yang dikeluarkan oleh pemerintah, semua
kebijakan dan adanya keterlibatan pemerintah di dalamnya. Untuk
Indonesia ruang lingkup hukum ekonomi disusun berdasarkan
Pasal 33 UUD 1945, yang selanjutnya dapat disimpulkan sebagai
peciptaan demokrasi ekonomi yang mempunyai ciri-ciri positif yaitu
:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan
asas kekeluargaan
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai Negara.
(3) Bumi,air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasi oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
1Sumantoro, Hukum Ekonomi, Jakarta : Universitas Indonesia (UI) Pers 1986, hal 5
14
(4) Sumber-sumber kekayaan dan keuangan Negara digunakan
dalam permufakatan lembaga-lembaga perwakilan rakyat dan
pengawasan terhadap kebijaksanaannya ada pada lembaga
Perwakilan Rakyat pula.
(5) Warga Negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan
yang dikehendaki serta mempunyai hak akan perkejaan dan
penghidupan yang layak.
(6) Hak milik perorangan diakui dan pemanfataannya tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
(7) Potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga Negara
diperkembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak
merugikan kepentingan umum.
(8) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh
Negara
Demokrasi ekonomi tersebut dihindarkan dari ciri-ciri negatif yaitu :
(1) Sistem free fight liberalism yang menumbuhkan eksploitasi
terhadap manusia dan bangsa, dan dalam sejarahnya di
Indonesia telah menimbulkan dan mempertahankan kelemahan
struktural posisi indonesia dan ekonomi dunia.
(2) Sistem etatisme dalam mana Negara beserta aparatur ekonomi
negara bersifat dominan serta mendesak dan mematikan
potensi dan daya kreasi unit-unit ekonomi diluar sektor Negara.
(3) Pemusatan kekuasaan ekonomi pada satu kelompok dalam
bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.
Prinsip hukum ekonomi juga berkembang dari kaidah-kaidah dan
dasar teori hukum ekonomi itu sendiri, yang meliputi hal-hal
sebagai berikut :2
a. Prinsip efisiensi
Prinsip yang merujuk pada cara bertindak dengan
berusaha mencapai hasil yang optimal, sejumlah konsep yang
2(Bahan Kuliah – Hukum – Ekonomi – Hubungan – Hukum – dengan – Ekonomi)
Marthen Arie, Hubungan Hukum dengan Ekonomi, Oktober, 2012
15
terkaitpada kegunaan pemaksimalan serta pemanfaatan
seluruh sumber daya produksi ekonomi.
b. Prinsip efektivitas
Prinsip ini adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa
jauh target yang telah dicapai. Dimana makin besar target yang
dicapai, makin tinggi efektfitasnya.
c. Prinsip maksimalitas
Prinsip yang mendasarkan pada pemerataan kesempatan
dalam keadaan yang seimbang
d. Prinsip kemanfaatan
Prinsip yang menunjukkan kemanfaatan dalam pertumbuhan
ekonomi yang tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
masyarakat
e. Prinsip keseimbangan
Prinsip yang menekankan pada prediktibilitas ekonomi yang
seimbang
2. Pengertian dan Asas-Asas Hukum Perbankan
Hukum perbankan (banking law), yakni merupakan
seperangkat kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang-
undangan, yurisprudensi, doktrin, dan lain-lain sumber hukum yang
mengatur masalah-masalah perbankan sebagai lembaga, dan
aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi
oleh suatu bank, perilaku petugas-petugasnya, hak, kewajiban,
16
tugas dan tanggung jawab para pihak yang tersangkut dengan
bisnis perbankan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh
bank, eksistensi bank, dan lain-lainnya yang berkenaan dengan
dunia perbankan tersebut.3
Menurut Muhammad Djumhana4 mengenai hukum perbankan
yakni :
“Hukum perbankan adalah sebagai kumpulan peraturan hukum
yang mengatur kegiatan lembaga keuangan bank yang meliputi
segala aspek, dilihat dari segi esensi, dan eksistensinya, serta
hubungannya dengan bidang kehidupan lain”
Adapun perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut
tentang bank,mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara
dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Perbankan
mempunyai fungsi utama sebagai intermediasi, yaitu penghimpun
dana dari masyarakat dan menyalurkannya secara efektif dan
efisien pada sektor-sektor riil untuk menggerakkan pembangunan
dan stabilitas perekonomian sebuah negara. Dalam hal ini, bank
menghimpun dana dari masyarakat berdasarkan asas kepercayaan
masyarakat. Apabila masyarakat percaya pada bank, maka
masyarakat akan merasa aman untuk menyimpan uang atau
dananyadi bank. Bank harus selalu menjaga tingkat kepercayaan
dari nasabah atau masyarakat agar menyimpan dana mereka di
3Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-Undang Tahun 1998,
Cet-1, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1999. hal 14 4Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1996
17
bank, dan bank dapat menyalurkan dana tersebut untuk
menggerakkan perekonomian bangsa.
Jasa bank sangat penting dalam pembangunan ekonomi suatu
negara. Jasa perbankan pada umumnya terbagi atas dua tujuan.
Pertama, sebagai penyedia mekanisme dan alat pembayaran yang
efisien bagi nasabah. Untuk ini, bank menyediakan uang tunai,
tabungan, dan kartu kredit. Ini adalah peran bank yang paling
penting dalam kehidupan ekonomi. Kedua, dengan menerima
tabungan dari nasabah dan meminjamkannya kepada para pihak
yang membutuhkan dana, berarti bank meningkatkan arus dana
untuk investasi dan pemanfaatan yang lebih produktif5
Dalam pelaksanaan kemitraan antara bank dan nasabah untuk
terciptanya sistem perbankan yang sehat, maka kegiatan
perbankan dilandasi dengan beberapa asas hukum, yaitu:
a. Asas demokrasi ekonomi
Asas demokrasi ekonomi ditegaskan dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 setelah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya
berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip
kehati-hatian. Ini berarti fungsi dan usaha perbankan diarahkan
untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
5
Lukman Santoso, Hak Dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, Cet-1, Yogyakarta:
Pustaka Yustisia, 2011. hal 32
18
demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.
b. Asas kepercayaan (fiduciary principle)
Adalah suatu asas yang menyatakan bahwa usaha bank
dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dan
nasabahnya. Bank terutama bekerja dengan dana dari
masyarakat yang disimpan padanya atas dasar kepercayaan,
sehingga setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dengan
tetap mempertahankan kepercayaannya.
c. Asas kerahasiaan (Confidential Principle)
Asas yang mengharuskan atau mewajibkan merahasiakan
segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-
lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia
perbankan wajib dirahasiakan. Dalam Pasal 40 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan bahwa
bank wajib merahasiakan informasi mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya.
d. Asas kehati-hatian (Prudential Principle)
Adalah suatu asas yang menyatakan bahwa bank dalam
menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan
prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat
yang dipercayakan padanya. Hal ini disebutkan dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
19
bahwa perbankan Indonesia dalam melaksanakan usahanya
berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan asas
kehati-hatian. Tujuan diberlakukannya prinsip kehati-hatian tidak
lain adalah agar bank selalu dalam keadaan sehat.6
B. Tinjauan Umum Terhadap Bank
B. 1. Bank Sebagai Lembaga Pembiayaan
Bank adalah sebuah lembaga intermediasi keuangan
umumnya didirikan dengan kewenangan untuk menerima
simpanan uang, meminjamkan uang, dan menerbitkan promes
atau yang dikenal sebagai banknote.7 Kata bank berasal dari
bahasa Italia bancaberarti tempat penukaran uang Sedangkan
menurut Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 1998 Tanggal 10 November 1998 tentang Perbankan,
yang dimaksud dengan bank adalah :
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak
Ada dua sifat khusus industri perbankan:
1. Sebagai salah satu sub sistem industri jasa keuangan.
Bank disebut sebagai jantung atau motor penggerak roda
perekonomian suatu negara dan salah satu leading
indikator kestabilan tingkat perekonomian suatu negara.
Jika perbankan mengalami keterpurukan, hal ini adalah
6Ibid, hal 36-38
7Nindiyo Pramono, Hukum Perbankan, Kuliah Hukum Perbankan, Fakultas Hukum UGM
Yogjakarta,2007, hlm 1
20
indikator perekonomian negara yang bersangkutan sedang
tidak sehat8.
2. Industri yang sangat bertumpu kepada kepercayaan
masyarakat (fiduciaryfinancial institution). Kepercayaan
masyarakat adalah segala-galanya bagi bank. Begitu
masyarakat tidak percaya pada bank maka bank akan
menghadapi rush dan akhirnya collapse. Di AS pada abad
ke-19 dan ke-20, setiap 20 tahun sekali terjadi krisis
perbankan sebagai akibat krisis kepercayaan9. Karena dua
sifat khusus tersebut, industri perbankan adalah industri
yang sangat banyak diatur oleh pemerintah (most heavily
regulated industries). Revisi serta penegakannya harus
dilakukan sangat hati-hati dengan memperhatikan akibat
ekonomi dan fungsi perbankan dalam perekonomian
negara serta kepercayaan masyarakat yang harus dijaga10.
Berdasarkan fungsinya, fungsi pokok bank ada lima di
antaranya11, yaitu :
1. Menghimpun dana.
2. Memberi kredit.
3. Memperlancar lalulintas pembayaran.
4. Media kebijakan moneter.
5. Penyedia informasi, pemberi jasa konsultasi dan bantuan
penyelenggaraan administrasi.
Di dalam operasional usaha bank dikenal pula prinsip-
prinsip atau asas hukum dalam perbankan12, yaitu:
1. Prinsip kepercayaan (fiduciary principle, fiduciary relation).
2. Prinsip kerahasiaan (confidential principle, confidential
relation).
3. Prinsip kehati-hatian (prudentialprinciple, confidential
relation).
8Ibid, hlm 4
9Ibid, hlm 5
10Ibid, hlm 6
11Ibid, hlm 9
12Nindiyo Pramono, Prinsip Atau Asas Hukum Perbankan, Kuliah Hukum Perbankan,
Fakultas Hukum UGM Yogjakarta, 2007, hlm 1
21
4. Prinsip mengenal nasabah (know your customer/KYC).
5. Perlindungan Nasabah
Dilihat dari sisi pengerahan dana, nasabah yang
menyimpan dananya di bank baik sebagai penabung, deposan
maupun pembeli surat berharga (obligasi atau commercial
paper) maka pada saat itu nasabah berkedudukan sebagai
kreditur. Pada sisi penyaluran dana, nasabah peminjam
berkedudukan sebagai debitur dan bank sebagai kreditur. Dari
semua kedudukan tersebut pada dasarnya nasabah
merupakan konsumen dari pelaku usaha yang menyediakan
jasa di sektor usaha perbankan13.Fokus perlindungan nasabah
tertuju pada ketentuan peraturan perundang-undangan serta
ketentuan perjanjian yang mengatur hubungan antara bank
dengan nasabahnya. Sisi lain dalam sektor jasa perbankan
yaitu pelayanan di bidang perkreditan. Pelayanan jasa
perbankan yang juga mendapatkan perhatian yaitu pelayanan
jasa perbankan seperti penerbitan kartu kredit, bank garansi,
transfer uang, penyewaan safe deposit box dan pelayanan jasa
lainnya. Permasalahan sering timbul terutama yang berkaitan
dengan tindakan dari bank itu sendiri maupun tindakan pihak
ketiga yang terkait.Usaha perlindungan konsumen tidak hanya
bergantung pada penerapan hukum perdata semata
sebagaimana diharapkan melalui sanksi dan mekanisme
13
Ibid, hlm 282
22
gugatan ganti rugi14.Ketentuan hukum lainnya seperti hukum
pidana dan hukum administrasi negara juga memuat ketentuan
aturan yang dapat melindungi konsumen seperti mekanisme
perizinan dan pengawasan yang diperketat.
Beberapa mekanisme yang dipergunakan dalam rangka
perlindungan nasabah bank15, yaitu:
1. Pembuatan peraturan baru.
2. Pelaksanaan peraturan yang sudah ada.
3. Perlindungan nasabah deposan lewat lembaga asuransi
deposito.
4. Memperketat perizinan bank.
5. Memperketat pengaturan di bidang kegiatan bank seperti
permodalan, manajemen, kualitas aktiva produktif,
likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan kesehatan bank.
6. Melakukan pengawasan bank.
Sektor perbankan memiliki peranan yang sangat vital,
antara lain sebagai pengatur urat nadi perekonomian nasional.
Lancarnya aliran uang sangat diperlukan untuk mendukung
kegiatan ekonomi.Dengan demikian, kondisi sektor perbankan
yang sehat dan kuat penting menjadi sasaran akhir dari
kebijakan di sektor perbankan.Peran sektor perbankan dalam
pembangunan juga dapat dilihat pada fungsinya sebagai alat
transmisi kebijakan moneter.Disamping itu, perbankan
merupakan alat yang sangat vital dalam menyelenggarakan
transaksi pembayaran, baik nasional maupun
14
Ibid, hlm 284 15
Munir Fuady, Hukum Perbankan Moderen Buku Kesatu, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 2003, hlm 104-107
23
internasional.Mengingat pentingnya fungsi itu, maka upaya
menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan menjadi
bagian yang sangat penting untuk dilakukan.16Seiring dengan
pertumbuhan dunia usaha dan kebutuhan masyarakat akan
produk serta jasa bank, bisnis perbankan kini kian kompleks.
Kompleksitas bisnis bank dapat dilihat baik dari sisi produk dan
layanan maupun dari jaringan usaha dengan lembaga yang
dibangun bank guna memperkuat daya tarik produk dan
layanan bank yang bersangkutan. Kita dapat merasakan bahwa
setiap bank melakukan penambahan outlet, fitur dan benefit
produk banknya.Bekerjasama dengan beberapa lembaga non
bank, dengan beberapa mitra usaha seperti Telkom, Telkomsel,
PLN, Indovision/Cable Vision dan sebagainya. Upaya
pengembangan fitur produk, layanan maupun jaringan usaha
yang dilakukan setiap bank, akan menambah jumlah interaksi
nasabah dengan bank.
Dalam pelaksanaan kegiatan bank sebagai lembaga
pembiayaan maka ada beberapa jenis-jenis bank yang terdiri
dari :
16
Sutedi Adrian, 2007, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi Dan Kepailitan, Sinar Grafika Jakarta, hlm 130
24
a. Jenis Bank Berdasarkan Fungsinya
1 Bank Sentral
Bank Sentral adalah lembaga negara yang
mempunyai wewenang untuk mengeluarkan alat
pembayaran yang sah dari suatu negara, merumuskan
dan melaksanakan kebijkan moneter, mengatur dan
menjaga kelancaran system pembayaran, mengatur dan
mengawasi perbankan serta menjalankan fungsi sebagai
“lender of the last resort”.Bank sentral yang dimaksud
adalah Bank Indonesia. Bank Indonesia adalah lembaga
negara yang independen dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, bebas dari campur tangan
pemerintah dan atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal
yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini.
2 Bank Umum
Pengertian bank umum menurut Peraturan Bank
Indonesia No. 9/7/PBI/2007 adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan
atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.Jasa yang diberikan oleh bank umum
bersifat umum, artinya dapat memberikan seluruh jasa
25
perbankan yang ada.Bank umum sering disebut bank
komersial (commercial bank).
3 Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran.Kegiatan BPR jauh lebih
sempit jika dibandingkan dengan kegiatan bank umum.
b. Jenis Bank Berdasarkan Kepemilikannya
Apabila ditinjau dari segi kepemilikannya, jenis bank
terdiri atas bank milik pemerintah, bank milik swasta
nasional, dan bank milik swasta asing.17
1 Bank Milik Pemerintah
Bank pemerintah adalah bank di mana baik akta
pendirian maupun modalnya dimiliki oleh pemerintah,
sehingga seluruh keuntungan bank dimiliki oleh
pemerintah pula. Contohnya Bank Rakyat Indonesia
(BRI), Bank Mandiri. Selain itu ada juga bank milik
pemerintah daerah yang terdapat di daerah tingkat I dan
tingkat II masing-masing provinsi. Contoh Bank DKI,
Bank Jateng, dan sebagainya.
17
Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 2000, hlm 283
26
2 Bank Milik Swasta Nasional
Bank swasta nasional adalah bank yang seluruh
atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh swasta
nasional serta akta pendiriannya pun didirikan oleh
swasta, begitu pula pembagian keuntungannya juga
dipertunjukkan untuk swasta pula. Contohnya Bank
Muamalat, Bank Danamon, Bank Central Asia, Bank
Lippo, Bank Niaga, dan lain-lain.
3 Bank Milik Asing
Bank jenis ini merupakan cabang dari bank yang
ada di luar negeri, baik milik swasta asing atau
pemerintah asing. Kepemilikannya dimiliki oleh pihak luar
negeri. Contohnya ABN AMRO bank, City Bank, dan
lain-lain.
c. Jenis Bank Berdasarkan Kegiatan Operasinya18
1 Bank Konvensional
Pengertian kata “konvensional” menurut Kamus
Umum Bahasa Indonesia adalah “menurut apa yang
sudah menjadi kebiasaan”. Sementara itu, menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
“berdasarkan kesepakatan umum” seperti adat,
kebiasaan, kelaziman. Berdasarkan pengertian itu, bank
18
Ibid, hlm 284
27
konvensional adalah bank yang dalam operasionalnya
menerapkan metode bunga, karena metode bunga
sudah ada terlebih dahulu, menjadi kebiasaan dan telah
dipakai secara meluas dibandingkan dengan metode
bagi hasil. Bank konvensional pada umumnya beroperasi
dengan mengeluarkan produk-produk untuk menyerap
dana masyarakat antara lain tabungan, simpanan
deposito, simpanan giro; menyalurkan dana yang telah
dihimpun dengan cara mengeluarkan kredit antara lain
kredit investasi, kredit modal kerja, kredit konsumtif,
kredit jangka pendek; dan pelayanan jasa keuangan
antara lain kliring, inkaso, kiriman uang, Letter of Credit,
dan jasa-jasa lainnya seperti jual beli surat berharga,
bank draft, wali amanat, penjamin emisi, dan
perdagangan efek. Bank konvensional dapat
memperoleh dana dari pihak luar, misalnya dari nasabah
berupa rekening giro, deposit on call, sertifikat deposito,
dana transfer, saham, dan obligasi. Sumber ini
merupakan pendapatan bank yang paling besar.
Pendapatan bank tersebut, kemudian dialokasikan untuk
cadangan primer, cadangan sekunder, penyaluran kredit,
dan investasi. Bank konvensional contohnya bank umum
dan BPR.
28
2 Bank Syariah
Sekarang ini banyak berkembang bank syariah.
Bank syariah muncul di Indonesia pada awal tahun
1990-an. Pemrakarsa pendirian Bank Syariah di
Indonesia dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990.Bank syariah adalah
bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah Islam, maksudnya adalah bank yang dalam
operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam,
khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah
secara Islam. Falsafah dasar beroperasinya bank
syariah yang menjiwai seluruh hubungan transaksinya
adalah efesiensi, keadilan, dan kebersamaan. Efisiensi
mengacu pada prinsip saling membantu secara sinergis
untuk memperoleh keuntungan sebesar mungkin.
Keadilan mengacu pada hubungan yang tidak dicurangi,
ikhlas, dengan persetujuan yang matang atas proporsi
masukan dan keluarannya. Kebersamaan mengacu
pada prinsip saling menawarkan bantuan dan nasihat
untuk saling meningkatkan produktivitas. Kegiatan bank
syariah dalam hal penentuan harga produknya sangat
berbeda dengan bank konvensional. Penentuan harga
bagi bank syariah didasarkan pada kesepakatan antara
29
bank dengan nasabah penyimpan dana sesuai dengan
jenis simpanan dan jangka waktunya, yang akan
menentukan besar kecilnya porsi bagi hasil yang akan
diterima penyimpan. Berikut ini prinsip-prinsip yang
berlaku pada bank syariah.19
a) Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah).
b) Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal
(musharakah).
c) Prinsip jual beli barang dengan memperoleh
keuntungan (murabahah).
d) Pembiayaan barang modal berdasarkan sewa murni
tanpa pilihan (ijarah).
e) Pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang
disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa
iqtina).
Dalam rangka menjalankan kegiatannya, bank syariah
harus berlandaskan pada Alquran dan hadis.
Banksyariah mengharamkan penggunaan harga
produknya dengan bunga tertentu. Bagi bank syariah,
bunga bank adalah riba.
B. 2. Kegiatan Usaha Bank
Kegiatan bank umum secara lengkap meliputi kegiatan sebagai
berikut :
19
Munir Fuady, Hukum Perbankan Moderen Buku Kesatu, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 2003, hlm 104-108
30
1. Menghimpun Dana (Funding)
Kegiatan menghimpun dana merupakan kegiatan
membeli dana dari masyarakat. Kegiatan ini dikenal juga
dengan kegiatan funding. Kegiatan membeli dana dapat
dilakukan dengan cara menawarkan berbagai jenis
simpanan. Simpanan sering disebut dengan nama rekening
atau account. Jenis-jenis simpanan yang ada dewasa ini
adalah:
a. Simpanan Giro (Demand Deposit),
b. Simpanan Tabungan (Saving Deposit),
c. Simpanan Deposito (Time Deposit),
2. Menyalurkan Dana (Lending)
Sebelum kredit dikucurkan bank terlebih dulu menilai
kelayakan kredit yang diajukan oleh nasabah.Kelayakan ini
meliputi berbagai aspek penilaian. Penerima kredit akan
dikenakan bunga kredit yang besarnya tergantung dari bank
yang menyalurkannya. Besar kecilnya bunga kredit sangat
mempengaruhi keuntungan bank, mengingat keuntungan
utama bank adalah dari selisih bunga kredit dengan bunga
simpanan. Secara umum jenis-jenis kredit yang ditawarkan
meliputi :
a. Kredit Investasi,
b. Kredit Modal Kerja,
c. Kredit Perdagangan
d. Kredit Produktif,
e. Kredit Konsumtif,
31
f. Kredit Profesi
3. Memberikan Jasa- Jasa Bank Lainnya (Services)
Jasa-jasa bank lainnya merupakan kegiatan penunjang
untuk mendukung kelancaran kegiatan menghimpun dan
menyalurkan dana. Sekalipun sebagai kegiatan penunjang,
kegiatan ini sangat banyak memberikan keuntungan bagi
bank dan nasabah, bahkan dewasa ini kegiatan ini
memberikan kontribusi keuntungan yang tidak sedikit bagi
keuntungan bank, apalagi keuntungan dari spread based
semakin mengecil, bahkan cenderung negatif spread (bunga
simpanan lebih besar dari bunga kredit).Semakin lengkap
jasa-jasa bank yang dapat dilayani oleh suatu bank maka
akan semakin baik. Kelengkapan ini ditentukan dari
permodalan bank serta kesiapan bank dalam menyediakan
SDM yang handal. Disamping itu ,juga perlu didukung oleh
kecanggihan teknologi yang dimilikinya.
Dalam praktiknya jasa-jasa bank yang ditawarkan meliputi :
a. Kiriman Uang (Transfer)
b. Kliring (Clearing)
c. Inkaso (Collection)
d. Safe Deposit Box
e. Bank Card (Kartu kredit)
f. Bank Notes
g. Bank Garansi
h. Bank Draft
i. Letter of Credit (L/C)
j. Cek Wisata (Travellers Cheque)
k. Menerima setoran-setoran.
32
l. Melayani pembayaran-pembayaran.
m. Bermain di dalam pasar modal.20
B. 3. Sengketa yang Timbul Dalam Kegiatan Perbankan
Sengketa dapat terjadi pada siapa saja, sengketa dapat
terjadi antara individu dengan individu, antara individu dengan
kelompok, antara kelompok dengan kelompok, antara
perusahaan dengan perusahaandan sebagainya. Dengan kata
lain, sengketa dapat bersifat publik maupun bersifat
keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkungan nasional
maupun internasional.
Sengketa adalah situasi dimana ada pihak yang merasa
dirugikan oleh pihak lain. Pihak yang merasa dirugikan
menyampaikan ketidakpuasaan ini kepada pihak kedua dan
apabila pihak kedua tidak menanggapi dan memuaskan pihak
pertama, serta menunjukan perbedaan pendapat, maka
terjadilah apa yang dinamakan dengan sengketa. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa sengketa adalah
perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak yang menunjukan
adanya perbedaan pendapat. Penyelesaian sengketa
tergantung bagaimana pengelolaan atas sengketa tersebut21
Sektor Perbankan dalam kehidupan suatu negara merupakan
agen pembangunan (agent of development), karena bank
20
Ibid, hlm 201 21
Nurnaningsih Amriani, 2011, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, hlm 12-13
33
merupakan lembaga keuangan yang memiliki fungsi sebagai
lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary
institution) yakni sebagai lembaga yang melakukan kegiatan
penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk
kredit atau pembiayaan. 22 Di samping itu perbankan juga
merupakan agen kepercayaan (agent of trust) mengingat
adanya salah satu prinsip pengelolaan bank yakni prinsip
kepercayaan (fiduciary principle).
Semakin banyaknya interaksi bisnis antara nasabah
dengan bank, maka semakin banyak pula peluang terjadinya
keluhan, pengaduan bahkan sengketa finansial antara nasabah
dengan bank.Hal ini berawal dengan terjadinya komplain yang
diajukan nasabah kepada bank karena merasa dirugikan
secara finansial. Upaya yang dilakukan nasabah antara lain
dengan datang langsung ke bank, menelepon pada call
centerbank yang bersangkutan, menulis di media cetak
misalnya pada surat pembaca, atau menyampaikan keluhan
secara tertulis langsung kepada bank. Di sisi lain terkadang ada
bank yang kurang memperhatikan pengaduan nasabah, atau
bahkan mengabaikannya. 23 Padahal bank memiliki kewajiban
untuk menyelesaikan setiap pengaduan nasabah yang ada
22
Anonim, 2007, “Pelaksanaan Fungsi Mediasi Perbankan”, Direktorat Investigasi dan
Mediasi Perbankan Bank Indonesia, www.bi.go.id, tanggal akses 28 Oktober 2014. 23
Ibid, hlm 130
34
sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
(PBI) No. 7/7PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan
Nasabah, sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor. 10/10/PBI/2008.
Sengketa finansial dapat terselesaikan dengan beberapa
cara. Disamping melalui cara litigasi, juga dapat dilakukan
dengan cara mediasi. Cara ligitasi sebagaimana praktek
selama ini, disamping memiliki kelebihan juga terdapat
kekurangan, antara lain mengenai proses, biaya dan waktu.
Untuk menutup kekurangan cara litigasi inilah muncul cara
mediasi yang selama ini terbukti produktif dalam menyelesaikan
sengketa finansial antara nasabah dengan bank. Sedangkan
dari peraturan perundang-undangan di bidang perbankan
ketentuan yang memberikan perlindungan hukum bagi nasabah
bank selaku konsumen antara lain adalah dengan
diintrodusirnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yaitu sebagai badan
hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas
simpanan nasabah penyimpan, melalui skim asuransi, dana
penyangga, atau skim lainnya.
Di tingkat teknis payung hukum yang melindungi nasabah
antara lain adanya pengaturan menggenai penyelesaian
pengaduan nasabah dan mediasi perbankan dalam Peraturan
35
Bank Indonesia (PBI). 24 Mengingat penyelesaian pengaduan
nasabah oleh bank yang diatur dalam PBI Nomor 7/7/PBI/2005
tertanggal 20 Januari 2005 tentang Penyelesaian Pengaduan
Nasabah tidak selalu dapat memuaskan nasabah dan apabila
tidak segera ditangani dapat mempengaruhi reputasi bank,
mengurangi kepercayaan masyarakat pada lembaga
perbankan dan merugikan hak-hak nasabah, maka perlu
dibentuk lembaga mediasi yang khusus menangani sengketa
perbankan.
Ketika nasabah menerima putusan yang diberikan oleh
bank tersebut maka permasalahan selesai. Akan tetapi
terkadang ada nasabah yang merasa bahwa bank tidak
memberikan solusi seperti yang diinginkannya sehingga pada
gilirannya berbagai cara akan ditempuh antara lain melaporkan
kepada lembaga konsumen, lembaga ombudsman,
mengajukan gugatan secara perdata, bahkan terkadang ada
nasabah yang melaporkan bank kepada polisi. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa penyelesaian melalui lembaga-lembaga
dimaksud seringkali berlarut-larut dan terlalu prosedural
sehingga harapan kedua belah pihak untuk memperoleh solusi
terbaik secara sederhana, murah, dan cepat belum tentu dapat
tercapai.
24
“Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah”, www. Goole.com, diakses 4 Oktober 2013
36
Ketidakpuasan tersebut berpotensi menimbulkan sengketa
antara nasabah dengan bank semakin berkepanjangan dan
apabila tidak segera ditangani dapat mempengaruhi reputasi
bank, mengurangi kepercayaan masyarakat pada lembaga
perbankan dan merugikan hak-hak nasabah.
Kewenangan bank indonesia sebagai regulator dan
supervisi tersebut dapat diwujudkan antara lain berupa
pemberian pengaturan terkait dengan penyelesaian sengketa
antara nasabah dan perbankan. Hal ini sejalan dengan salah
satu pilar yang terdapat dalam Aristektur Perbankan Indonesia,
yaitu Perlindungan Konsumen berupa nasabah bank.Di
samping itu, kita ketahui bahwa hubungan antara nasabah
dengan bank adalah hubungan transaksional biasa yang diikat
oleh hukum perdata. Salah satu syarat terjadinya hubungan itu
adalah kesepakatan dan kesetaraan di antara keduanya dalam
membuat perikatan. Akan tetapi, apakah pada kenyataannya
nasabah deposan mempunyai kedudukan yang setara dan
telah terjadi kesepakatan sesuai dengan Pasal 1320
KUHPerdata.25
Ada dua masalah dominan yang sering dikeluhkan
konsumen jasa perbankan.Pertama, pengaduan soal produk
perbankan, seperti ATM (AutomaticTeller Machine), Kartu
25
Goodpaster, Garry, 1999, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Seri Dasar Hukum Ekonomi 9, Jakarta: Elip.
37
Kredit, dan aneka ragam jenis tabungan, termasuk keluhan
produk perbankan terkait dengan janji hadiah dan iklan produk
perbankan. Kedua, pengaduan soal cara kerja petugas yang
tidak simpatik dan kurang profesional khususnya petugas
service point, seperti teller, customerservice, dan
satpam.Argumentasi inilah yang mendasari perlunya sebuah
lembaga independen yang dapat menjadi alternatif bagi para
pihak untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi.
Pada akhirnya tanggal 31 Desember 2013 fungsi, tugas,
dan wewenang untuk mengatur dan mengawasi perbankan
telah beralih dari Bank Indonesia kepada Otoritas jasa
Keuangan (OJK), peralihan ini dilakukan untuk pengaturan dan
pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan dari
Bank Indonesia ke OJK. Hal tersebut merupakan realisasi dari
amanat Pasal 34 ayat (1) Undang - Undang Bank Indonesia
yang berisi bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh
lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen
dan dibentuk dengan undang-undang.26
C. Tinjauan Umum Alternative Dispute Resolution
Suatu persoalan besar yang di hadapi bangsa kita adalah dilema
yang terjadi dibidang penegakan hukum. disatu sisi kuantitas dan
26 Ahmad Taqiyuddin, 2012, Undang-Undang OJK Dalam Kajian Hukum dan
Pembangunan Ekonomi, Banjarmasin : Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Lambung
Mangkurat
38
kualitas sengketa yang terjadi dalam masyarakat cenderung
mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Sedangkan disisi lain,
pengadilan negara yang memegang kewenangan menggadili menurut
undang-undang mempunyai kemampuan yang relatif terbatas.
Terlebih-lebih lagi akhir-akhir ini pengadilan negara sedang di landa
krisis. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan terjadi berlarut-larut, karena
cukup potensial memicu terjadinya tindakan main hakim sendiri
(eigenrichting) atau peradilan massa, yang dapat menimbulkan
kekacauaan (chaos) dalam masyarakat. Solusinya pengembangan
penyelesaian sengketa alternatif di Indonesia merupakan hal yang
tidak dapat ditawar-tawar lagi27
Di Indonesia jiwa alternatif penyelesaian sengketa itu sudah ada
dari nenek moyang bangsa indonesia, hal itu terlihat dalam budaya
musyawarah untuk mencapai mufakat yang masih sangat terlihat di
masyarakat pedesaan di Indonesia, dimana ketika ada sengketa di
antara mereka, cenderung masyarakat tidak membawa
permasalahan tersebut ke pangadilan, namun diselesaiakan secara
kekeluargaan. Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan
antara pihak yang bersengketa, maka akan membawa sengketa
tersebut kehadapan kepala desa. Dengan semangat “musyawara
untuk mufakat” yang sudah mengakar dalam jiwa bangsa indonesia,
alternatif penyelesaian sengketa mempunyai potensi yang sangat
27
Rachmadi Usman, 2012, Mediasi Di Pengadilan Dalam Teori Dan Praktik. PN Sinar
Grafika Jakarta Timur, hlm 1-2
39
besar untuk dikembangkan dan digunakan oleh para praktisi hukum di
Indonesia. Pentingnya peran alternatif penyelesaian sengketa
semakin besar dengan diundangkannya UU No. 30 Tahun 1999.28
Penyelesaian sengketa alternatif atau alternative
disputeresolution (ADR), adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa
di luar pengadilan berdasarkan kata sepakat (konsensus) yang
dilakukan oleh para pihak yang bersengketa baik tanpa ataupun
dengan bantuan pihak ketiga yang netral 29 Alternative Disepute
Relation (ADR) merupakan istilah yang perlu dicarikan pandananya
dalam bahasa Indonesia. Alternative DisputeResolution sering
diartikan sebagai alternative to litigation namun seringkali juga
diartikan sebagai alternative to adjudication. Pemilihan terhadap salah
satu dari dua pengertian tersebut menimbulkan implikasi yang
berbeda. Apabila pengertian pertama yang menjadi acuan (alternative
to litigation), maka seluruh mekanisme penyelesaian sengketa diluar
pengadilan termasuk arbitrase merupakan bagian dari ADR. Apabila
ADR ( di luar litigasi arbitrase) merupakan bagian dari ADR,
pengertian ADR sebagai alternative to adjudication dapat meliputi
mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat konsensual atau
28
Frans Hendra Winata, Hukum Penyelesaian Sengketa, Jakarta Sinar Grafika, 2011, hlm 11 29
Rachmadi Usman, Op,Cit, hlm 2
40
kooperatif seperti halnya, konsultasi, negosiasi, mediasi, penilaian ahli
dan konsiliasi.30
Gerakan ADR (Alternative Disepute Relation) lahir di Amerika
Serikat pada era 1970-an yang kemudian menyebar keberbagai
negara dalam bentuk antara lain arbitrase dan mediasi. Secara teori
ADR dapat memberikan prosedur yang lebih murah, cepat, tidak
kompleks seperti litigasi formal. Penggunannya tidak hanya ditujukan
untuk mengatasi hambatan finansial terhadap pengadilan, akan tetapi
juga menghadapi permasalahan yang mengandung faktor budaya,
geografi, dan psikologi.31
Istilah ADR memberi kesan bahwa pengembangan mekanisme
penyelesaian sengketa secara konsensual hanya dapat dilakukan
diluar pengadilan (out court). Sedangkan saat ini membutuhkan
pengembangan mekanisme penyelesaian sengketa secara
konsensual juga diperlukan di dalam pengadilan (court annexed atau
court connected). Alasan pengertian ADR ke ADR juga dilandasi juga
oleh pertimbangan psikologis untuk mendapatkan dukungan terhadap
penyelesaian ADR dari pihak pengadilan. Istilah ADR seolah
merupakan jawaban atas kegagalan pengadilan memberikan akses
keadilan bagi masyarakat, sehingga pemasyarakatan istilah ini
30
Suyud Margono, Penyelesaian Sengketa Bisnis AlternativeDispute Resolution (ADR)
Teknik & Strategi dalam Negosiasi Mediasi & Arbitrase (Jakarta Ghalia Indonesia,2010)
hal 30 31
Nurnaningsih Amriani, 2011, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, hlm 14
41
mengundang rasa tidak aman dan kecemburuan bagi insan
pengadilan.
ADR merupakan label atau merek yang diberikan untuk
mengelompokan proses negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitase.
Masalah pilihan istilah adalah suatu hal yang perlu dipikirkan lebih
jauh, untuk menjamin keberhasilan upaya menyebarluaskan
penerapan ADR di Indonesia, diperlukan istilah yang singkat dan
mudah dimengerti, dan tidak menimbulkan kerancuan pengertian.32
1. Penyelesaian Sengketa Secara Ajudikasi
Proses ajudikasi, dalam hal ini litigasi dan arbitrase melibatkan
pihak ketiga dan melepaskan hak para pihak untuk memutuskan
sengketa kepada pihak ketiga sebagai ajudikator.
a. Litigasi
Litigasi merupakan suatu proses gugatan atas konflik
yang diritualisasikan yang menggantikan konflik sesunggunya,
dimana para pihak dengan memberikan kepada seorang
pengambil keputusan dua pilihan yang bertentangan. Litigasi
merupakan proses yang sangat dikenal (familiar) bagi para
lawyer, dengan karakteristik adanya pihak ketiga yang
mempunyai kekuatan untuk memutuskan (to impose) solusi
diantara para pihak yang bersengketa33
32
Suyud Margono, Op, Cit, hlhm 30-31 33
Ibid , hlm 17
42
Litigasi diartikan sebagai proses administrasi dan
peradilan (court and administrative proceedings). Esinberg
mengatakan bahwa:34
Court and administrative Proceddings, the most familiar
proccess to lawyer, feature a third party with power to
imposed a solution upon the disputants. It Usually produces
a “win/lose” result
Pengadilan dan Proses administrasi, proses yang paling
akrab bagi pengacara, faktor pihak ketiga dengan
kekuasaan untuk memberlakukan solusi atas berselisih. Ini
Biasanya menghasilkan "menang / kalah" hasil
Dalam mengambil alih keputusan dari para pihak , litigasi
sekurang-kurangnya dalam batasan tertentu menjamin bahwa
kekuasaan tidak dapat mempengaruhi hasil dan dapat
menjamin ketentraman sosial. Sebagai suatu ketentuan
umum, sebagai suatu proses gugatan, litigasi sangat baik
Penyelesaian sengketa secara litigasi dapat dikatakan
sebagai penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui
pengadilan. Penyelesaian sengketa secara litigasi tersebut
memiliki karakteristik, yaitu:
1. Penyelesaian sengketa melalui litigasi dapat dikatakan
sebagai penyelesaian sengketa yang memaksa salah satu
pihak untuk menyelesaikan sengketa dengan perantaraan
pengadilan.
2. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan memiliki sifat
eksekutorial dalam arti pelaksanaan terhadap putusan
dapat dipaksakan oleh lembaga yang berwenang.
34Esinberg, Private Ordering Through Negotiation : Dispute Settlement and Rule making,
89 Harv, L. 637 (1976)
43
3. Penyelesaian sengketa melalui litigasi pada umumnya
dilakukan dengan menyewa jasa dari advokat sehingga
biaya yang dibutuhkan relatif besar.
4. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan tertentu harus
mengikuti persyaratan-persyaratan dan proseur-prosedur
formal di pengadilan, akibatnya jangka waktu untuk
sengketa menjadi lebih lama.
5. Proses penyelesaian sengketa litigasi bersifat terbuka
berarti bahwa setiap siapa saja dapat menyaksikan
jalannya persidangan, kecuali untuk perkara-perkara
tertentu, misalnya perkara perceraian.
Sekaitan dengan hal tersebut Lord Woolf menguraikan
dalam laporannya, in my interim report I identified a number of
principles which the civil justice system should meet in order to
ensure access to justice. The system should:35
Dalam laporan interim saya, saya mengidentifikasi sejumlah
prinsip yang harus dihadapi sistem peradilan sipil untuk
memastikan akses terhadap keadilan. Sistem seharusnya
a. Be just in the results it delivers;memberikan hasil
b. Be fire in the way it treats litigants; jangan menimbulkan
amrah dikala berpekara
c. Offer appropriate procedures at a reasonable cost;
menawarkan prosedur yang tepat dengan biaya yang
wajar
d. Deal with cases with reasonable speed; sepakat
menangani kasus-kasus dengan cepat dan memuaskan
e. Be understandable to those who use it; bisa dipahami oleh
mereka yang mengunakannya
f. Be responsive to the needs of those who use it;
bertanggung jawab terhadap kebutuhan bagi yang
menggunakannya
g. Provide as much certanty as the nature of particular cases
allows; and, memberikan sifat-sifat kasus tertentu dan,
h. Be effective: adequately resourced and organized, efektif :
sumber daya yang cukup dan terorganisir
35
The Right Honourable the Lord Woolf, Master of the Rools, Acces to Justice: Final Report (1996, HMSO), hal. 22. www.justice.gov.uk. Diakses tanggal 22 Agustus 2015.
44
b. Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di
luar peradilan umum yang berdasarkan pada perjanjian
arbitrase yang di buat secara tertulis oleh para pihak. 36
Sedangkan Priyatna Abdurasyid, berpendapat, “arbitrase
merupakan suatu tindakan hukum di mana ada pihak yang
menyerahkan sengketa atau selisih pendapat antara dua
orang atau lebih maupun dua kelompok atau lebih kepada
seseorang atau beberapa ahli yang disepakati bersama
dengan tujuan memperoleh satu keputusan final dan
mengikat”.37
Arbitrase mirip dengan sistem penyelesaian sengketa
secara litigasi karena hasil akhirnya sama-sama berbentuk
putusan yang berisi pernyataan menang dan kalah. Menurut
Setiawan, disamping kemiripan dari hasil akhir tersebut,
penyelesaian sengketa melalui arbitrase kadang-kadang bisa
memakan waktu yang lama dan melalui proses yang
berbelit-belit, tidak kalah rumitnya apabila dibandingkan
dengan poses peradilan.38
36
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 37
Candra Irawan, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution di Indonesia. CV. Mandar Maju. Bandung, 2010. hal. 51 38
D.Y. Witanto,2011,Hukum Acara Mediasi ,Penerbit Alfabeta Bandung hal. 11
45
2. Penyelesaian Sengketa Secara Non-Ajudikasi
Penyelesaian sengketa secara non-ajudikasi meliputi
alternatif penyelesaian sengketa yang selama ini diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari, yang sering disebut ADR. Alternatif
Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa
atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, atau penilaian ahli.39
Menurut F.D. Holleman, prinsip fundamental ADR sebenarnya
bersumber dari hukum adat, yaitu prinsip atau asas rukun yang
unsurnya meliputi:40
1. Mengusahakan agar mendapat kesepakatan;
2. Menyelesaikan secara damai;
3. Mencapai persetujuan; dan
4. Mendapat pemecahan.
Di Australia, ADR menjadi isu yang cukup actual, sesuai
uraian Trevor Buck:41
“The Federal Court‟s annual report also notes the increasing
interest in other types of ADR, for example,‟early neutral
evalution‟ ant that „judges are increasingly looking to other
informal procedures that will encourage the parties to identify
and deal with, the central issues with a view to assisting
settlement.
Laporan tahunan Pengadilan Federal juga mencatat
meningkatnya minat dalam jenis lain dari ADR, misalnya,
perubahan yang netral dan hakim mencari prosedur informal 39
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 40 http://irfaninurfaqih.files.wordpress.com/2009/07/aps.pdf.Perkembangan Penyelesaian
Sengketa Alternatif Di Indonesia, hlm 2,diakses tanggal tgl 5 – 09 – 2014 41
Trevor Buck, 2005, Administrative Justice and Alternative Dispute Resolution: The Australian Experience,Departmentfor Constitutional Affairs. hal. 15
46
lainnya yang mengdorong para pihak untuk mengidentifikasi
dan menangani, isu sentral dengan tujuan untuk membantu
penyelesaian.
Beberapa bentuk penyelesaian sengketa non-ajudikasi yang
dikenal dan sering dilakukan dalam praktik sehari-hari, antara lain
konsultasi, negosiasi, konsiliasi, mediasi, dan penilaian ahli.
a. Konsultasi
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak banyak mengatur
tentang konsultasi.Konsultasi hanya disinggung dalam Pasal 1
angka (10), itu pun tanpa menguraikan secara jelas dan tegas
mengenai pengertian konsultasi, mekanisme, dan hal-hal
lainnya.
Candra Irawan mengutip Black‟s Law Dictionary yang
mengatur: “consultation is the of asking the advice or opinion
of same one (such as a lawyer)” yang bilamana diterjemahkan
berarti:
“konsultasi adalah suatu tindakan dari seseorang meminta
nasihat atau pendapat kepada seseorang (seperti yang
dilakukan penasihat hukum)”.
Orang yang memberi konsultasi disebut konsultan yaitu orang
yang karena pendidikan, pengalaman, dan keahlian mengenai
hal tertentu.42
b. Negosiasi
Negosiasi sebagai pilihan dalam penyelesaian sengketa,
diartikan sebagai, “suatu tindakan yang dilakukan oleh para
42
Candra Irawan, Op. Cit, hal.27
47
pihak yang bersengketa untuk menyatukan dua kepentingan
yang saling bertentangan melalui proses tawar-menawar agar
tercapai suatu kompromi (perdamaian) yang saling
menguntungkan (win-win solution).43
Kata negosiasi berasal dari kata “negotiation” dalam
bahasa inggris yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan kata “berunding” atau “bermusyawarah”.
Orang yang mengadakan perundingan disebut negosiator.
Menurut Joni Emerson, secara umum negosiasi dapat
diartikan sebagai suatu tujuan untuk mencapai kesepakatan
bersama atas dasar kerjasama yang lebih harmonis dan
kreatif. Di sini para pihak berhadapan langsung secara
seksama mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi
dengan cara kooperatif dan saling terbuka satu sama lain.44
Christopher W. Moore memberikan definisi,
“negotiation is a bargaining relationship between parties
who have a perceiver or actual conflict of interest.”45
Negosiasi adalah hubungan tawar-menawar antara pihak-
pihak yang memiliki perseptor atau konflik kepentingan
c. Konsiliasi
Konsiliasi berasal dari bahasa inggris “consiliation” yang
berarti perdamaian. Dari beberapa pengertian yang diberikan
oleh pakar hukum dapat diketahui bahwa konsiliasi tidak jauh
43
Candra Irawan, Op.Cit, hal. 30 44
Abdul Manan, Penerapan Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam Proses Penyelesaian Perkara.Majalah Suara Udilag Vol.II No.6 April 2005, Jakarta, hal. 2-3 45
D. Y. Witanto, Op. Cit., hal. 16
48
pengertiannya sebagaimana diatur dalam Pasal 1851 sampai
dengan Pasal 1863 KUH Perdata yakni kesepakatan antara
pihak untuk mengakhiri sengketa luar pengadilan dan
kesepakatan ini dibuat tertulis.
Menurut Christopher W. Moore.46
Conciliation is the psychological component of mediation, in
which the party attempt to create an atmosphere of trust and
cooperation that promotes positive relationships and is
conductive to productive negotiation”.
Konsiliasi adalah komponen psikologi mediasi, dimana
upaya pihak untuk menciptakan suasana kepercayaan dan
kerjasama yang mempromosikan hubungan yang positif dan
konduktif untuk negosiasi produktif
Menurut Michael Noone, “Consiliation process are commonly
much more interventionist than private mediations”.47
Proses konsiliasi umumnya jauh lebih intervensionis dari
mediasi pribadi
Faktor-faktor yang menyebabkan sehingga sulit
membedakan antara konsiliasi dengan mediasi adalah karena
keduanya memiliki ciri-ciri yang hamper mirip yaitu dalam
hal:48
1. Konsiliasi dan mediasi sama-sama memiliki sifat
kooperatif dalam proses penyelesaiannya:
2. Sama-sama menggunakan pihak ketiga yang netral;
3. Masuknya pihak ketiga bertujuan untuk membantu
penyelesaian damai di antara para pihak;
4. Pihak ketiga yang membantu para pihak sama-sama tidak
memiliki kewenangan untuk memutuskan;
46
D.Y Witanto, Op. Cit., hal. 19-20. 47
Jimmy Joses Sembiring,Cara Menyelesaiakan Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, & Arbitrase) Visi Media Jakarta Selatan, 2011, hal. 46 48
D.Y Witanto, Op. Cit., hal. 19-21.
49
5. Sama-sama bertujuan untuk mencapai kesepakatan
secara damai.
d. Mediasi
Mediasi merupakan kosakata atau istilah yang berasal dari
kosakata Inggris, yaitu mediation. Para penulis dan sarjana
Indonesia kemudian lebih suka mengindonesiakannya
menjadi “mediasi” seperti istilah-istilah lainnya, yaitu
negotation menjadi “negosiasi”, arbitration menjadi arbitrase,
dan ligitation menjadi “litigasi”. Orang awam yang tidak
menggeluti ranah penyelesaian sengketa tidak jarang salah
sebut atau menyamakan antara mediasi dan meditasi yang
berasal dari kosakata Inggris meditation yang berarti
bersemedi. Sudah pasti keduannya amat berbeda karena
mediasi bekaitan dengan cara penyelesaian sengketa atau
bernuansa sosial dan legal, sedangkan meditasi berkaitan
dengan cara pencarian ketenangan bathin atau bernuansa
spiritual.49
Mediasi adalah upaya penyelesaian konflik dengan
melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki
kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-
49
Takdir Rahmadi, 2011, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat,
Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Hal 12
50
pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang
diterima oleh kedua belah pihak.50
Mediasi disebut emergent mediation apabila mediatornya
merupakan anggota dari sistem sosial pihak-pihak yang
bertikai, memiliki hubungan lama dengan pihak-pihak yang
bertikai, berkepentingan dengan hasil perundingan, atau ingin
memberikan kesan yang baik misalnya sebagai teman yang
solider.
Pengertian mediasi menurut Priatna Abdurrasyid yaitu
suatu proses damai dimana para pihak yang bersengketa
menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator
(seseorang yg mengatur pertemuan antara 2 pihak atau lebih
yg bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa
biaya besar besar tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya
oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Pihak ketiga
(mediator) berperan sebagai pendamping dan penasihat.
Sebagai salah satu mekanisme menyelesaikan sengketa,
mediasi digunakan di banyak masyarakat dan diterapkan
kepada berbagai kasus konflik.
50
Felix Oentoeng Soebagjo,Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Bidang Perbankan, Bahan Diskusi Terbatas ”Pelaksanaan Mediasi Perbankan Oleh BI dan Pembentukan Lembaga Independent Mediasi Perbankan”, Kerja Sama Magister Hukum Bisnis Dan Kenegaraan UGM Yogjakarta Dan BI, Yogjakarta 21 Maret 2007, halaman 7
51
Beberapa alasan mengapa mediasi sebagai alternatif
penyelesaian sengketa mulai mendapat perhatian yang lebih
di Indonesia:
a. Faktor Ekonomis, dimana mediasi sebagai altematif
penyelesaian sengketa memiliki potensi sebagai sarana
untuk menyelesaikan sengketa yang lebih ekonomis, baik
dari sudut pandang biaya maupun waktu.
b. Faktor ruang lingkup yang dibahas, mediasi memiliki
kemampuan untuk membahas agenda permasalahan
secara lebih luas, komprehensif dan fleksibel.
c. Faktor pembinaan hubungan baik, dimana mediasi yang
mengandalkan cara-cara penyelesaian yang kooperatif
sangat cocok bagi mereka yang menekankan pentingnya
hubungan baik antar manusia (relationship), yang telah
berlangsung maupun yang akan datang.51
Mediasi semakin popular dalam kalangan teoritisi dan
praktisi melahirkan pendekatan yang berbeda dalam
mendefinisikan mediasi sesuai dengan cara pandangan
masing-masing. Hal ini sejalan dengan tulisan Laurence
Boulle:52
“There are two approaches to defining the practice of
mediation, as there are to defining the practices of law
yering, counseling, or medicine. Some writers, practitioners
and academics define the process in ideal terms which
emphasise certain values, principles and objectives. This
can be referred to as the conceptualist approach. the
second approach is to define mediation not in terms of an
idealized concept or theory, but in terms of what actually
happens in practice. This can be referred to as the
descriptive approach.”
51
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi Di Indonesia, (Jakarta Gramedia Pustaka Utama,2006), hlm 119 52
Laurence Boulle, Mediation: Priniciples, Process, Practice, Butterwonths, Sydney Australia, 1996, hal. 4-5
52
“Ada dua pendekatan untuk mendefinisikan praktek
mediasi, karena ada untuk mendefinisikan praktek hukum,
konseling, atau kesehatan. Beberapa penulis, praktisi dan
akademisi mendefenisikan proses dalam hal yang ideal
yang menekankan nilai-nilai tertentu, prinsip-prinsip dan
tujuan. Ini dapat disebut sebagai pendekatan konseptual,
pendekatan kedua adalah untuk mendefenisikan mediasi
tidak dalam hal konsep ideal atau teori, tetapi dalam hal
apa yang sebenarnya terjadi dalam praktek. Hal ini dapat
disebut sebagai pendekatan deskriptif.”
Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa
Latin, mediare yang berarti „berada di tengah‟.Makna ini
menunjukkan pada peran pihak ketiga sebagai mediator
dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan
sengketa antara para pihak.„Berada di tengah‟ juga bermakna,
mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak
dalam menyelesaikan sengketa.Ia harus mampu menjaga
kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan
seimbang, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari
pihak yang bersengketa (disputans).53
Mediasi sangat sulit didefinisikan.Dimensinya sangat
jamak dan tidak terbatas, sehingga banyak orang yang
menyebutkan mediasi tidak mudah diberi definisi.
Mediation is easy to define. It does not provide a single
analytical model which can be neatly described and
distinguished from other decision-making processes.54
53
Syahrizal Abbas,Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional Prenada Media Grup, Jakarta, 2011, hlm. 1-2. 54
Laurence Boulle, Op. Cit. hal. 3
53
mediasi mudah untuk menentukan. ini tidak memberikan
model analisis tunggal yang dapat dijelaskan dan
dibedakan dari proses pengambilan keputusan
Hal ini disebabkan karena mediasi tidak memberi satu
model yang dapat diuraikan secara terinci dan dibedakan dari
proses pengambilan keputusan lainnya. Mediasi sangat
tergantung kepadaperan yang dimainkan oleh pihak yang
terlibat dalam penyelesaian masalah yakni para pihak dan
mentor.
Meskipun sulit didefinisikan, Boulle menguraikan:55
“mediation is a decision-making process in which the
parties are assisted by a third party, the mediator; the
mediator attempts to improve the process of decision
making and to assist the parties reach an outcome to which
each of them can assent”.
Mediasi adalah proses pengambilan keputusan dimana
para pihak dibantu pihak ketiga, mediator, mediator
berupaya untuk meningkatkan proses pengambilan
keputusan dan membantu para pihak untuk mencapai hasil
yang masing-masing dari mereka dapat persetujuan”
Berbagai literature menguraikan sejumlah prinsip dalam
mediasi.Prinsip dasar (basic principles) merupakan landasan
filosofis dilakukannya kegiatan mediasi.Prinsip atau filosofi ini
merupakan kerangka kerja yang harus dipahami oleh
mediator, sebab mediator sebagai pihak yang bertugas
mewujudkan perdamaian bagi para pihak sehingga perlu
memperhatikan prinsip-prinsip tersebut. Ruth Charlton,
55
Laurence Boulle, Loc. Cit.
54
sebagaimana dikutip oleh David Spencer dan Michael Brogan
(2006:84-85) menyebutkan sebagai “the five basic
philosophies of mediation”,/ "Lima filosofi dasar mediasi",
yakni prinsip kerahasiaan (confidentiality), prinsip
kesukarelaan (voluntariness), prinsip pemberdayaan
(empowerment), prinsip netralitas (neutrality), dan prinsip
solusi yang unik (a unique solution).56
Karakteristik utama dari proses mediasi, adalah:57
a. Adanya kesepakatan para pihak untuk melibatkan pihak
ketiga yang netral;
b. Mediator berperan sebagai penengah yang memfasilitasi
keinginan para pihak untuk berdamai;
c. Para pihak secara bersama menentukan sendiri
keputusan yang akan disepakati;
d. Mediator dapat mengusulkan tawaran-tawaran
penyelesaian sengketa kepada para pihak tanpa ada
kewenangan memaksa dan memutuskan;
e. Mediator membantu pelaksanaan isi kesepakatan yang
dicapai dalam mediasi.
Karakteristik tersebut menunjukkan, mediasi merupakan
kelanjutan negosiasi, namun dipandu oleh mediator.Beberapa
model mediasi yang dikenal selama ini diuraikan oleh
Laurence Boulle, professor of law dan associate director of the
Dispute Resolution Center, Bond University. Boulle
mengemukakan bahwa model-model ini didasarkan pada
model klasik tetapi berbeda dalam hal tujuan yang hendak
56
Syahrizal Abbas, Op. Cit. hal 28-30 57
Chandra Irawan, Op. Cit., hal. 42-43
55
dicapai dan cara mediator melihat posisi dan peran mereka.
Boulle menyebutkan ada empat model mediasi, yaitu
settlement mediation, facilitative mediation, therapeutic
mediation, dan evaluative mediation.58
Terkait dengan model mediasi, maka ada empat model
mediasi yang biasanya dipergunakan
1. Model Penyelesaian / Settlement Mediation
a. Biasanya mediator adalah orang yang ahli dalam
bidang yang didiskusikan / dipersengketakan, tetapi
tidak memiliki keahlian teknik mediasi
b. Yang diutamakan adalah keahlian pada bidang yang
sedang disengketakan.
c. Berfokus pada penyelesaian bukan pada kepentingan.
d. Penyelesaiannya menjadi lebih cepat.
e. Kelemahannya para pihak akan merasa tidak memiliki
hasil kesepakatan tersebut.
2. Model Fasilitasi / Facilitative Mediation
a. Yang diutamakan adalah teknik mediasi tanpa harus
ahli pada bidang yang sedang disengketakan.
b. Kelebihannya adalah para pihak ketika selesai
sengketa akan merasa puas, karena yang diangkat
adalah kepentingannya dan bukan sekedar hal yang
dipersengketakan.
c. Kekurangannya adalah waktu yang dibutuhkan menjadi
lebih lama.
d. Fokus pada kepentingan.
3. Mediasi Therapeutic / Mediasi Terapi
a. Diharapkan adalah selesainya sengketa dan juga para
pihak benar-benar menjadi baik / tetap berhubungan
baik.
58
Lourence Boulle, Op. Cit. hal 28-29
56
b. Biasanya digunakan dalam family dispute (kasus
keluarga).
4. Mediasi Evalutive / Evaluative Mediation
a. Para pihak datang dan mengharapkan mediator akan
memberikan semacam pemahaman bahwa apabila
kasus ini terus berlangsung, maka siapa yang akan
menang dan siapa yang akan kalah.
b. Lebih berfokus pada hak dan kewajiban.
c. Mediator biasanya ahli pada bidangnya atau ahli dalam
bidang hukum karena pendekatan yang difokuskan
adalah pada hak dan standar penyelesaian atas kasus
yang serupa.
d. Ada pemberian advice kepada para pihak berupa
nasihat-nasihat hukum dalam proses mediasi, bisa juga
menjadi semacam tempat dimana para pihak hadir dan
ada porsi keputusan dari mediator atau semacam jalan
keluar yang diberikan oleh si mediator.
e. Kelemahannya adalah para pihak akan merasa tidak
memiliki hasil kesepakatan yang ditandatangani
bersama.59
Model penyelesaian sengketa juga terdapat didalam
hukum hukum ekonomi, yang dikenal dengan penyelesaian
sengketa ekonomi. Hal ini didasari atau penyelesaian
sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan
mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu
persengketaan antar negara. Menurut Pasal 33 ayat (1)
(Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa
dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
59
Nurnaningsih Amriani, Op, Cit hlm 85-86
57
1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan
usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu
persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
2. Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak
memihak dimaksud untuk mencari fakta.
3. Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika
pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan
secara langsung persengketaan yang terjadi diantara
mereka.
Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan:
1. Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih
memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar
atau orang kaya.
2. Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa
(ordinary citizens) untuk perkara di pengadilan.
Tujuan memperkarakan suatu sengketa:
1. adalah untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan
memuaskan,
2. dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly)
dan murah (inexpensive)60
Penyelesaian sengketa memang sulit dilakukan, namun bukan
berarti tidak mungkin diwujudkan dalam kenyataan.Modal
60
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/04/pengertian-sengketa-ekonomi/diakses
tanggal 12-01-2014
58
utama penyelesaian sengketa adalah keinginan dan itikad
baik para pihak dalam mengakhiri persengketaan
mereka.Keinginan dan itikad baik ini kadang-kadang
memerlukan bantuan pihak ketiga dalam
mewujudkannya.Mediasi merupakan salah satu bentuk
penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga. Mediasi
dapat memberikan sejumah keuntungan antara lain:61
1. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa
secara cepat dan relativ murah dibandingkan dengan
membawa perselisihan tersebut ke pengadilan atau
lembaga arbitrase.
2. Mediasi akan memfokuskan perhatian para pihak pada
kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan
emosi atau psikologis mereka, sehingga mediasi bukan
hanya tertuju pada hak-hak hukumnya.
3. Mediasi memberikan kesempatan para pihak untuk
berprestasi secara langsung dan secara informal dalam
menyelesaikan perselisihan mereka.
4. Mediasi memberikan kemampuan para pihak untuk
melakukan control terhadap proses dan hasil lainnya.
5. Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan
arbitrase sulit diprediksi, dengan suatu kepastian melalui
suatu konsensus.
6. Mediasi memberikan hasil tahan uji dan akan mampu
menciptakan saling pengertian yang lebih baik diantara
para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang
memutuskannya.
7. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan
yang hamper selalu mengiringi setiap putusan yang
bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim di
pengadilan.
61
Syahrizal Abbas, Op. Cit, hlm. 26-27
59
Terkait dengan teknik mediasi, ada beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian dari seorang mediator agar proses
mediasi dapat berjalan lancar dan memperoleh hasil yang
maksimal. Mediator perlu bersikap squarely, open stance, lean
forward, eye contact, and relax yang disingkat solder dalam
melakukan praktek mediasi.62
Mediasi dapat dilakukan melalui beberapa tahapan,
yaitu:63
1. Tahap Pertama, setuju untuk menengahi (agree to
mediate);
2. Tahap Kedua, menghimpun sudut pandang (gather points
of view)
3. Tahap Ketiga: memusatkan perhatian pada kebutuhan
(focus on interest);
4. Tahap Keempat: menciptakan pilihan terbaik (create win-
win options);
5. Tahap Kelima: mengevaluasi pilihan (evaluate options);
6. Tahap Keenam: menciptakan kesepakatan (create an
agreement).
e. Penilaian Ahli
Penilaian ahli atau dikenal juga dengan istilah pendapat
ahli adalah suatu keterangan yang dimintakan oleh para pihak
yang sedang bersengketa kepada seorang ahli tertentu yang
dianggap lebih memahami tentang suatu sengketa yang
terjadi.Permintaan pendapat ahli adalah karena adanya
62
Muslih MZ, Pengatar Mediasi: Teori dan Praktik, dalam M. Mukhsin Jamil (ed.), Mengelola Konflik Membangun Damai; Teori, Strategi dan Imlementasi Resolusi Konfllik, (Semarang: Walisongo Mediation Centre, 2007) hal. 6-10. 63
Ibid. hal. 5-6
60
perbedaan pendapat di antara kedua belah pihak.Pendapat
ahli dimintakan, terkait dengan baik mengenai pokok sengketa
maupun di luar pokok sengketa bilamana diperlukan.Pendapat
ahli dibutuhkan dengan tujuan memperjelas duduk persoalan
yang disengketakan.
f. Perdamaian sebagai Wujud Penyelesaian Sengketa
Secara etimologis, perdamaian berarti penghentian
konflik.Dalam syariat, perdamaian adalah akad yang
mengakhiri persengketaan antara dua orang yang
bersengketa. 64 Menurut bahasa, kata damai berarti rukun,
aman, tentram, tenang, tidak ada permusuhan, perselisihan
atau persengketaan.Berdamai artinya berbaik kembali,
berhenti bermusuhan, dan berunding untuk mencari
kesepakatan. 65 Mendamaikan berarti mengusahakan agar
kedua belah pihak yang bersengketa mau menghentikan
persengketaan, berunding untuk mencari kesepakatan
penyelesaian sengketa, dan agar mereka dapat berbaik
kembali dan hidup rukun bersama. Dengan demikian, esensi
perdamaian adalah:66
a. Berhenti bersengketa;
b. Berunding untuk mencari kesepakatan dalam
penyelesaian sengketa;
64
Sayyid Sabiq, Figh Sunnah, Juzu‟3 , (Cairo: Dar Al-Fath, 2000) hal. 208 65
A. Mukti Arto, 2001, Mencari Keadilan, Kritik dan saran Terhadap Praktik Peradilan
Perdata di Indonesia, PustakaPelajar, Yogyakarta., hal. 208. 66
Ibid,hlm 322
61
c. Berbaik kembali dan hidup rukun bersama.
Rukun perdamaian adalah ijab dan Kabul dengan semua
lafal yang menunjukkan perdamaian. Ketika perdamaian telah
terlaksana, ia menjadi akad yang mengikat bagi kedua orang
yang berdamai. Salah seorang dari keduanya tidak boleh
membatalkannya secara sepihak tanpa persetujuan yang
lain. 67 Perdamaian memerlukan persyaratan agar sah dan
mengikat.Diantara syarat perdamaian itu adalah mengenai
orang (subjek) yang berdamai, hak (objek) yang
disengketakan, dan mengenai kompensasi perdamaian.68
Kerukunan yang merupakan titik awal terpeliharanya
keharmonisan hidup yang mewujudkan nilai-nilai kedamaian,
didasarkan kepada tiga asas yakni asas rukun, patut, dan
laras.69
Lederach (2003-23) menguraikan, “Conflict happens. It is
normal and it is continuosly present in human relationship.
Change happens as well. Human community and
relationship are not static but ever dynamic, adapting,
chaging.70
Konflik yang terjadi. Hal yang biasa dan itu terus menerus
hadir dalam hubungan manusia. Perubahan terjadi juga.
Komunitas masyarakat dan hubungan tidak statis tetapi
dinamis, beradaptasi, berubah
67
Ibid. hlm. 322 68
Ibid. hlm. 322 69
Moh.Koesnoe, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa ini. Airlangga University Pres. Surabaya, 1979, hal. 44 70
Andre Hynan Poeloengan. Materi Pelatihan Mediasi di PMN. Dengan judul: Akses Kepada Keadilan, Manfaat Mediasi dan Pembangunan Perdamaian, Pusat Mediasi Nasional, Jakarta. 2012. Hal. 1
62
Menurut Satjipto Rahardjo, sekalipun Ishlah tidak
tercantum dalam hukum positif, itu tidak berarti tidak ada
dalam masyarakat dan arena itu harus diabadikan saja. Ini
termasuk positivism atau legal dogmatism yang sempit.Di atas
hukum sebenarnya masih ada keadilan. Dalam suasana
hukum modern yang sarat dengan prosedur dan rumusan-
rumusan yang legalistik, keadilan memang menjadi perkara
yang susah dicapai. Oleh karena itu, piagam ishlah
merupakan sumbangan yang sangat berharga di saat kita
berfikir keras tentang bagaiman memulihkan keadilan dan
wibawa di negari ini.71
Sehubungan dengan hal itu, jika ishlah dimodifikasi
sedemikian rupa bisa dijadikan model penyelesaian sengketa
mengunakan pendekatan konsensus bagi masyarakat
Indonesia.Hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan
budaya musyawarah di dalam masyarakat, sehingga dapat
mengikis budaya „dendam‟ yang terbukti mengganggu
produktivitas dalam masyarakat dalam menjalankan
aktivitasnya.72Tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup
secara damai.Hukum menghendaki perdamaian.Selanjutnya
van Apeldoorn menyimpulkan tujuan hukum adalah tata tertib
71
Adi Sulistiyono, Budaya Musyawarah Untuk Penyelesaian Sengketa Win-win Solution dalam Perspektif Hukum, Jurnal Hukum Bisnis Volume 25-No.1 Tahun,2000. hal. 77 72
Ibid
63
masyarakat yang damai dan adil. 73 Sedangkan menurut
Montesquieu, perdamaian merupakan hukum kodrat yang
pertama.74
Seorang Filosofis abad pertengahan, Pendeta ST.
Agustinus (354-430 M) dalam karya tulisnya yang terkenal
Civitas Dei (Kerajaan Tuhan) merumuskan keadilan adalah
asas ketertiban yang muncul dalam perdamaian, sedangkan
perdamaian adalah ikatan semua orang yang
menginginkannya dalam kesukaan bergaul
mereka.75Agustinus melihat tatanan hukum sebagai sesuatu
yang didominasi oleh tujuan perdamaian.76
Di samping itu, Franz von Benda-Beckmann menyatakan,
masyarakat juga memiliki mekanisme dan kapasitas untuk
menciptakan hukum dan keadilannya sendiri. Sejalan teori
tersebut adalah yang dikemukakan oleh Abraham Lincoln:
“Perkecillah peran pengadilan.Bujuklah para tetangga anda
untuk berkompromi sepanjang yang anda dapat
lakukan.Tunjukkan pada mereka bagaimana orang yang
namanya saja disebut pemenang, tetapi sering dalam
kenyataannya lebih merupakan pihak yang nyata-nyata
kalah, yaitu kalah dalam biaya, pembayaran, dan
pemborosan waktu.”77
73
L.J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan oleh Mr. Oetarid Sadino. Cetakan Ketigapuluhempat, PT. Pradnya Paramita. Jakarta, 2011, hal. 10 74
Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.Hal.83. 75
Sunarjo, Pengadilan di Indonesia. Bagaimana Memperoleh Respek dari Masyarakat. Inspiring, Bantul Yogyakarta, 2010, hal. 96 76
Bernard L. Tanya dkk, Loc. Cit. hal. 54 77
Achmad Ali. 1998 Menjelajah Kajian Empiris Terhadap Hukum, PT.Yarsif Watampone,
Jakarta.hal. 18.
64
Teori sistem hukum Lawrence M. Fridman digunakan
untuk menganalisis implementasi mediasi di pengadilan.
Menurut Friedman, sistem hukum terdiri atas tiga elemen,
yakni struktur, substansi, dan budaya hukum.78
“legal systems, first of all, have structure. They have from,
patterns, and persistent style. Structure is the body, the
framework, the long-lasting shape of the system: the way
courts or police departments are organized, te lines of
jurisdiction, the table of organization.Substance is what we
call the actual rules or norms used bay institutions, (or as
the case may be) the real, observable behavior patterns of
actors within the system.
Sistim hukum, pertama-tama, memiliki struktur. Berasal dari
pola, dan struktur gaya gigih adalah tubuh, kerangka,
bentuk tahan lama dari sistim : cara pengadilan atau
departemen kepolisian terorganisir dalam garis yuridiksi
dalam bentuk organisasi adalah apa yang kita sebut aturan
atau norma yang digunakan lembaga ( atau kemungkinan
sebagai kasus) nyata, pola perilaku yang dapat diamati dari
aktor dalam sistem yang sebenarnya.
Besides structure and substance, then there is a third and
vital element of the legal system. It is element of demand.
What creates a demand? One factor, for want of a better
term, we calls legal culture. By this we mean ideals,
attitudes, beliefs, expectations, and opinion about law”
selain struktur dan substansi,
maka ada unsur ketiga dan penting dari sitem hukum. ini
adalah elemen pemerintah. Apa yang menciptakan
tuntutan? Salah satu faktor , karena ingin istilah yang lebih
baik, kita menyebut budaya hukum. dengan ini
dimaksudkan cita-cita, sikap, keyakinan, harapan, dan
pendapat tentang hukum”
3. Perdamaian menurut Hukum Acara Perdata
Perdamaian atau yang dikenal dengan istilah “dading” dalam
praktek hukum acara perdata, yakni persetujuan atau perjanjian
78
Lawrence M. friedman, 1997 ,Law and Society an Introduction,Prentice-Hall, inc.,
Englewood Cliffs. hal. 6-7
65
yang disetujui oleh kedua belah pihak yang bersengketa untuk
mengakhiri perselisihan di pengadilan.Perdamaian yang dilakukan
tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 130 HIR, Pasal 154 R.Bg.,
dan Pasal 1851 HUH Perdata.
Pasal 130 HIR menyebutkan bahwa apabila pada hari sidang
yang ditetapkan kedua belah pihak hadir maka hakim
berkewajiban untuk mendamaikan mereka. Dalam hal ini sesuai
dengan kehendak HIR hakim dapat mengambil peranan yang
aktif. Untuk memberikan kesempatan terwujudnya perdamaian itu,
sidang diundurkan.Pada hari sidang berikutnya seandainya pihak-
pihak berhasil mewujudkan perdamaian, hasilnya diserahkan
kepada hakim. Perdamaian itu biasanya berupa perjanjian dibawa
tangan yang ditulis di atas kertas bermetarai. Berdasarkan adanya
perdamaian diantara kedua belah pihak kemudian hakim
menjatuhkan putusan yakni berdasarkan acte van vergelijk atau
surat penyelesaian perselisihan. Keputusan hakim tersebut berisi
hukuman terhadap kedua belah pihak untuk memenuhi isi
perdamaian yang telah mereka buat sendiri. Akta perdamaian
tersebut mempunyai kekuatan yang sama seperti suatu putusan.
Hakim yang biasayang menetapkan putusan tersebut yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde).
Perdamaian dapat dilakukan sepanjang proses berjalan bahkan
hingga taraf banding di Pengadilan Tinggi. Menurut ketentuan
66
Pasal 130 HIR permohonan banding atas ketentuan perdamaian
tidak dibenarkan. Sebabnya karena jawaban itu terwujud atas
kehendak kedua belah pihak. Karena itu bersifat mau sama mau.
Proses dengan akta perdamaian itu dianggap selesai sama sekali.
Karena itu apabila suatu waktu apa yang telah diatur didalam akta
perdamaian itu diajukan lagi dalam suatu guggatan baru maka
guggatan itu akan dinyatakan ne bis in idem dan karenanya tidak
akan diterima. Selain di dalam persidangan suatu perdamaian
dapat pula lahir diluarnya. Perdamaian yang demikian hanya
mengikat kedua belah pihak dan karena itu apabila salah satu
pihak tidak mentaatinya, persoalan tetap harus diajukan ke depan
pengadilan79
Menurut Code Civil Prosedur (CCP) di Jepang yang
berhubungan dengan wakai:80
a. Pengadilan dapat mengupayakan wakai pada setiap tahap
litigasi (Pasal 89);
b. Wakai dicapai dan dicatat, maka ia memiliki efek yang sama
seperti putusan final hakim (Pasal 267).
Oleh karena mekanisme dan teknik upaya perdamaian tersebut
diserahkan kepada hakim, maka berhasil atau tidaknya upaya
perdamaian tergantung pada usaha maksimal hakim yang
bersangkutan. Hakim menganjurkan para pihak berdamai dan
79
Krisna Harahap, 2009, Hukum Acara Perdata (Mediasi, Class Action, Arbitrase &
Alternatif, Penerbit PT Grafitri Budi Utami, hlm 61-62 80
Yoshiro Kusano,2008,WAKAI, Terobosan Baru Penyelesaian Sengketa,Penerbit Grafindo Khazanah Ilmu hal. 18-19
67
hakim tidak terlibat dalam proses damai. Hakim kurang berperan
aktif dalam upaya perdamaian.81
Peranan hakim mediator termasuk majelis hakim yang
memeriksa perkara dalam usaha menyelesaikan perkara secara
damai adalah sangatpenting. Proses perdamaian mempunyai arti
yang sangat penting dan bermanfaat bagi masyarakat pada
umumnya, khususnya bagi pihak yang berperkara karena sifatnya
yang mengikat dan kekuatannya sama dengan putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu penyelesaiannya
cepat, biaya ringan, dan menghilangkan permusuhan kedua belah
pihak yang berperkara.Putusan perdamaian Adalah lebih baik dan
bermanfaat bagi kedua belah pihak, jika dibandingkan apabila
perkara diputus dengan putusan biasa.82
Apabila dicermati ketentuan Pasal 130 HIR/Pasal 154 R.Bg
dan Pasal 1851 KUH Perdata tersebut di atas, maka terdapat
beberapa syarat formal yang harus diperhatikan oleh hakim dalam
pelaksanaannya, antara lain:
Kedua belah pihak yang bersengketa hendaknya menyetujui
secara sukarela untuk menghadiri sengketa yang sedang
berlangsung di pengadilan. Persetujuan sukarela itu harus timbul
dari kehendak murni kedua belah pihak, artinya persetujuan untuk
81
Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis. Citra Media. Yogyakarta, 2006.hal. 78-79 82
Zainuddin Mappong. Disertasi.Eksekusi Putusan Serta Merta.. Proses Gugatan dan Cara Membuat Putusan serta PelaksanaanEksekusi dalam Perkara Perdata. Tunggal Mandiri Publishing. Malang. 2010. hal. 75
68
berdamai itu bukan kehendak salah satu atau kehendak hakim.
Dengan demikian berlaku sepenuhnya unsur-unsur persetujuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yakni:83
a. Adanya kata sepakat secara sukarela (toestemming);
b. Kedua belah pihak cakap membuat persetujuan
(bekwamheid);
c. Dibuat persetujuan mengenai pokok yang tertentu (bepaalde
onderwerp); dan
d. Berdasarkan alasan yang diperbolehkan (geoorlosfde
oorzaah)
Jadi putusan perdamaian haruslah tunduk kepada asas
umum perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 dan Pasal 1321
KUH Perdata.Oleh karena itu dalam suatu persetujuan tidak boleh
terkandung cacat pada setiap unsur pokok atau esensial dari
persetujuan. Dengan demikian suatu persetujuan yang diberikan
kepada semua pihak tidak boleh mengandung unsur: a.
kekeliruan/kekhilafan (dwaling); b. paksaan (dwang); dan c.
penipuan (bedrog).Pasal 1859 KUH Perdata mengatur, putusan
perdamaian “dapat dibatalkan” apabila terjadi kekhilafan mengenai
orangnya atau pokok yang diperselisihkan.Pasal 1860 KUH
Perdata menguraikan beberapa faktor kesalahpahaman putusan
perdamaian, seperti kesalahpahaman tentang duduk perkara, atau
tentang suatu alas hak yang batal, merupakan alasan untuk
membatalkan putusan perdamaian.
83
Victor M. Situmorang, Perdamaian dan Perwasitan dalam Hukum Acara Perdata.
Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 6-7
69
Putusan perdamaian harus benar-benar mengakhiri suatu
sengketa secara menyeluruh dan tuntas.Suatu putusan
perdamaian yang tidak secara tuntas mengakhiri sengketa yang
sedang terjadi antara kedua belah pihak dianggap tidak memenuhi
syarat formal.Putusan perdamaian seperti itu dianggap tidak sah
dan tidak mengikat kepada kedua belah pihak.
Adapun syarat lain yang menjadi dasar putusan perdamaian
adalah harus didasarkan kepada persengketaan yang telah ada.
Putusan perdamaian hanya terjadi atas sengketa perdata dan
persengketaannya secara nyata telah terwujud murni. Menurut
ketentuan Pasal 1851 KUH Perdata, persengketaan itu harus: a.
sudah berwujud sengketa perkara di pengadilan, b. sudah nyata
terwujud sengketa perdata yang akan diajukan ke pengadilan,
sehingga perdamaian yang dibuat oleh para pihak mencegah
terjadinya perkara di siding pengadilan.
Jadi keliru pendapat yang menyatakan bahwa putusan
perdamaian hanya dapat dilakukan dari sengketa perkara yang
telah diperiksa atau masih tergantung di pengadilan.Pendapat
tersebut mengurangi kebolehan yang diberikan oleh ketentuan
Pasal 1851 KUH Perdata.Sebab Pasal 1851 KUH Perdata
memuat ketentuan bahwa putusan perdamaian dapat saja
dilahirkan dari suatu persengketaan perdata yang belum diajukan
ke pengadilan.
70
Syarat keempat persetujuan perdamaian tersebut adalah
menuangkan persetujuan dalam bentuk tertulis. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 1851 KUH Perdata yang mengatur: Persetujuan ini
tidak sah, melainkan jika dibuat lisan. Sedangkan sahnya suatu
persetujuan perdamaian apabila dibuat secara tertulis, syarat ini
sifatnya imperativ (memaksa).
4. Eksistensi Putusan Perdamaian
Perdamaian yang dilahirkan melalui penyelesaian sengketa
secara ajudikasi atau non-ajudikasi pada dasarnya tidak
memerlukan eksekusi bilamana para pihak taat dan tunduk pada
isi perjanjian perdamaian. Namun, bilamana salah satu pihak
ingkar atau enggan untuk melaksanakan isi perjanjian perdamaian
tersebut akan menimbulkan perasaan yang kesal atau
kekecewaan bagi pihak yang seharusnya menerima pelaksanaan
suatu prestasi.
Terdapat beberapa ketentuan mengenai kekuatan putusan
perdamaian, yakni Pasal (1) KUH Perdata dan Pasal 130 HIR atau
Pasal 154 R.Bg. Pasal antara para pihak suatu kekuatan seperti
suatu putusan hakim dalam tingkat penghabisan.84
Selanjutnya ditegaskan: “Putusan yang sedemikian tidak
diizinkan dibanding”. 85 Ketentuan ini memberikan konsekuensi
hukum jika putusan perdamaian kedudukannya sama dengan
84
Pasal 130 ayat (2) HIR 85
Pasal 130 ayat (3) HIR
71
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Kekuatan hukum tetap yang melekat pada putusan perdamaian
ditegaskan dalam Undang-undang sendiri, sesuai dengan
ketentuan beberapa pasal tersebut di atas. Ketentuan Pasal 1858
KUH Perdata dengan tegas mengatur: “mempunyai kekuatan
seperti suatu putusan hakim dalam tingkat penghabisan”. Pasal
130 ayat (2) HIR memakai istilah: “berkekuatan hukum dan akan
dijalankan sebagi putusan yang biasa”. Meskipun kedua pasal
tersebut tidak persis sama redaksinya, namun maksud dari kedua
istilah itu sama dengan pengertian bahwa putusan perdamaian
serupa dengan “putusan hakim (pengadilan) yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (res judicata)”.
Persetujuan perdamaian tidak tunduk kepada asas ne bis in
idem yang diatur dalam Pasal 1917 KUH Perdata. Lagipula dalam
ketentuan Pasal 130 ayat (2) HIR ditegaskan, hanya putusan
perdamaian yang mempunyai nilai sama dengan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Kekuatan eksekutorial putusan perdamaian adalah terhadap
putusan perdamaian melekat dua kekuatan hukum, yakni
kekuatan hukum mengikat dan kekuatan hukum eksekusi.
Putusan Mahkamah Agung tanggal 9 November 1976 No. 1245
K/Sip/1974, yang menentukan:
“Pelaksanaan suatu perjanjian dan tafsiran suatu perjanjian
tidak didasarkan semata-mata atas kata-kata dalam perjanjian
72
tersebut, tetapi juga berdasarkan sifat objek persetujuan serta
tujuan yang telah ditentukan dalam perjanjian (bestending en
gebruikneliijh beding).”86
Akta perdamaian memiliki beberapa kekhususan
dibandingkan dengan putusan pengadilan pada umumnya, hal ini
didasarkan pada beberapa hal, antara lain:87
1. Putusan pengadilan akan bisa langsung di eksekusi sejak
putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, sedangkan akta
perdamaian belum tentu bisa langsung dieksekusi sejak
setelah diucapkan. Adakalanya masih harus digantungkan
pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan para
pihak.
2. Putusan pengadilan hanya akan menghukum salah satu pihak
saja, kecuali dalam hal gugatan konvensi dan rekkonvensi
dikabulkan secara bersamaan, sedangkan dalam akta
perdamaian kedua belah pihak akan dihukum untuk menaati
isi perdamaian.
3. Putusan pengadilan akan membebankan biaya perkara
kepada pihak yang kalah, sedangkan dalam akta perdamaian
biaya perkara akan dibebankan kepada kedua belah pihak
secara berimbang kecuali para pihak menghendaki lain.
Pasal 1337 KUH Perdata menegaskan, suatu sebab (causa)
adalah kesusilaan atau kepatutan.Jika suatu putusan perdamaian
mengandung kausa yang haram atau putusan perdamaian
bertentangan dengan undang-undang, bagaimana kekuatan
eksekutorial yang melekat pada putusan perdamaian
tersebut?Putusan Mahkamah Agung No. 454 K/Pdt/1991 tanggal
7 April 1993 sebagai bahan kajian. Ali Boediarto mengurairkan
86
Victor M. Situmorang, Op. Cit. hal. 20 87
D.Y. Witanto, Op. Cit. hal. 219-220
73
abstrak hukum putusan tersebut:88 Suatu “perjanjian perdamaian”
untuk mengakhiri sengketa dalam suatu gugatan perdata, isinya
tidak boleh bertentangan dengan Pasal 1320 KUH Perdata.
Sesuai Pasal 130 HIR, isi putusan perdamaian tidak boleh
mengandung cacat juridis materiil dan bertentangan dengan
hukum dan/atau undang-undang.
D. Tinjauan Umum Penyelesaian Sengketa di Bidang Perbankan
Penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah telah
dilaksanakan oleh bank Indonesia, melalui Direktorat Investigasi dan
Mediasi Perbankan. Regulasi berkenaan dengan mediasi perbankan
telah pula diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. Hal ini sejalan
dengan pengaturan kewenangan bank Indonesia dalam pengawasan
bank. Sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang bank Indonesia, bahwa bank Indonesia mengatur
dan mengawasi bank. Tugas yang terakhir yaitu mengatur dan
mengawasi bank inilah yang nantinya akan dipegang oleh Otoritas
Jasa Keuangan (OJK).
Berdasarkan Undang - Undang Nomor.21/2011, Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) merupakan lembaga independen yang memiliki
fungsi, tugas dan wewenang untuk mengatur dan memberikan
pengawasan terhadap jasa keuangan.Dalam hal ini, Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) mengambil alih fungsi bank Indonesia dalam
88
Ali Boediarto, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VIII No. 92 Mei 1993,
74
melakukan pengawasan terhadap aktivitas perbankan, demi
menciptakan sistem perbankan yang sehat yang memenuhi tiga aspek
yaitu kesanggupan memelihara kepentingan masyarakat, mendorong
pertumbuhan ekonomi dan pengendalian moneter serta agar mampu
mengembangkan usahanya secara wajar.
Industri perbankan yang sehat juga perlu didukung pengawasan
yang independen dan efektif seperti yang tertuang di dalam Pilar
Ketiga API. Pengawasan independen dan efektif sangat diperlukan
baik kini maupun jangka panjang, sebagai jawaban atas
meningkatnya kegiatan usaha maupun kompleksitas risiko perbankan.
Bank-bank tidak lagi hanya menjual produk dan jasa perbankan
melainkan juga produk keuangan lain seperti asuransi, efek beragun
aset, dan reksa dana sehingga diperlukan pengawasan yang lebih
kompleks.89
Konteks pengawasan bank melalui mediasi perbankan yang oleh
Undang-undang bank Indonesia diberikan kewenangan pengawasan
bank kepada bank Indonesia sangat penting untuk diterapkan. Bank
Indonesia berdasarkan undang-undang tersebut diberikan
kewenangan untuk mengawasi bank. Kewenangan tersebut
mencakup empat aspek yaitu, power to lincense, power to regulate,
power to control dan power to impose sanction.90
89
Agus Sugiarto, Membangun Fundamental Perbankan Yang Kuat,
http://www.ppatk.go.id, diakses tanggal 8 November 2013. 90
Bismar Nasution, Aspek Hukum Penyelesaian Sengketa Antara Bank Dan Nasabah,
disampaikan pada Diskusi Terbatas Mediasi Perbankan, diselenggarakan oleh Bank
75
Pengawasan yang dilaksanakan bank Indonesia terhadap bank
dapat berupa pengawasan langsung yaitu berbentuk pemeriksaan
yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan, juga dapat berupa
pengawasan tidak langsung yaitu suatu bentuk pengawasan dini
melalui penelitian analisis, dan evaluasi laporan bank. 91Penerapan
pengawasan bank itu berkaitan dengan kepercayaan masyarakat
terhadap bank. Karena hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap
suatu bank mempunyai dampak domino yang dapat mempengaruhi
kepercayaan terhadap lainnya, sehingga perbankan secara
keseluruhan mengalami kesulitan. Oleh karena itu, kebutuhan untuk
melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap perbankan
mutlak diperlukan untuk menjaga kepercayaan masyarakat.92
Tujuan pengawasan bank untuk meningkatkan keyakinan
masyarakat, bahwa bank dari segi keuangan tergolong sehat, bank
dikelola secara baik dan profesional serta tidak terkandung ancaman
terhadap kepentingan masyarakat yang menyimpan dananya di bank.
Tekanan dan perhatian diberikan aspek-aspek di dalam individual
bank yang diharapkan dapat melindungi pengembalian dana
masyarakat. Tujuan umum pengawasan dan pembinaan bank adalah
menciptakan sistem perbankan yang sehat, yang memenuhi tiga
Indonesia bekerjasama dengan Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tiara Convention Center Medan, Kamis, 14 Februari 2007, hlm.9. 91
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia,PT Citra Aditya Bakti, Bandung
2000, hlm.104. 92
Zulkarnain Sitompul,2005. Problematika Perbankan, (Bandung: BooksTerrace &
Library.,hlm.218.
76
aspek yaitu perbankan yang dapat memelihara kepentingan
masyarakat dengan baik dan perbankan yang berkembang secara
wajar serta bermanfaat bagi perekonomian nasional.93Pemeliharaan
kepentingan masyarakat dapat tercipta dengan mengupayakan agar
secara individual bank beroperasi dengan sehat dan efisien.
Dengan demikian akan tercipta perbankan yang aman serta
mampu memenuhi kewajibannya kepada para deposan. Perbankan
harus berkembang secara wajar sehingga pelayanan jasa perbankan
dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Perbankan sebagai
pusat teknologi dan inovasi mampu secara aktif mencari dan
mengembangkan potensi ekonomi yang belum tergali di dalam
masyarakat. Bank harus dapat tumbuh namun pertumbuhan tersebut
hendaknya berlangsung secara wajar. Bank yang sehat dan efisien
bermanfaat bagi perkembangan ekonomi dan dapat menunjang
pengendalian moneter.94
Berkenaan dengan mediasi perbankan sejalan dengan
kewenangan bank Indonesia dalam power to regulate. Melalui itu
memungkinkan otoritas pengawas (bank Indonesia) mengatur
kegiatan operasi bank berupa ketentuan dan peraturan sehingga
dapat terciptanya suatu sistem perbankan yang sehat, sekaligus dapat
93
Bismar Nasution, op.cit., hlm.9. 94Ibid
77
memenuhi harapan masyarakat atas kecukupan dan kualitas
pelayanan jasa perbankan.95
Sengketa merupakan fenomena sosial yang terjadi sejak manusia
saling berinteraksi.Manusia mempunyai kepentingan yang terhadap
sesuatu atau kadang-kadang berbeda pendapat dalam memahami
sesuatu.Kompleksitas dan tingginya dalam kehidupan modern
semakin berpeluang menimbulkan sengketa.
Hubungan hukum yang lahir dari perikatan atau undang-undang
memungkinkan terjadinya sengketa antara para pihak. Terkait dengan
hal tersebut, Phill Haris menulis:96
Every social group contains within in the elements and conditions in
which disputes will arise. Even the smallest social group will
experience disputes between its members, and as we would
expect, the larger and frequent, will be the disputes which crop up
within it. Hardly a day goes by in people‟s everyday lives without
some problem occuring, some arguments arising or same
resentment or frustation being felt by one person or group over
activities of another.”
“Setiap kelompok sosial mengandung dalam unsur-unsur dan
kondisi dimana sengketa akan muncul. Bahkan kelompok sosial
terkecil akan mengalami perselisihan antar anggotanya, dan seperti
yang kita harapkan, semakin besar dan sering, akan menjadi
perselisihan didalamnya. Hampir sehari lewat dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari tanpa terjadi masala. Beberapa argumen
yang timbul atau kebencian atau frustasi yang sama dirasakan oleh
satu orang atau kelompok atas kegiatan yang lainnya”
Sengketa biasanya timbul karena adanya permasalahan dalam
masyarakat.Bagaimana sebab timbulnya masalah? Ada dua hal yang
menimbulkan masalah, yaitu:97
95
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, Op.Cit., hlm.204 96
Phil Harris. An Introduction to Law, Seventh Edition, Cambridge University Press, Cambridge New York, 2007, hal. 150.
78
1. Karena adanya perbedaan antara das sollen dan das sein; dan
2. Karena adanya perbedaan antara apa yang dinginkan dengan apa
yang terjadi.
Konsep yang akan digunakan mengacu pada pendapat Nader dan
Tood yang secara eksplisit membedakan antara:98
a. Pra-konflik adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas
orang;
b. Konflik adalah keadaan dimana para pihak menyadari atau
mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas tersebut, dan
c. Sengketa adalah keadaan dimana konflik tersebut dinyatakan di
muka umum atau dengan melibatkan pihak ketiga.
Jika makna penyelesaian sengketa sebagai produk, artinya
sengketa itu telah berakhir dan tidak ada lagi masalah, dengan kata
lain telah “selesai” segalanya. Suatu sengketa dapat dikatakan
selesai:99
1. Secara Yuridis, apabila telah diputus oleh hakim dengan putusan
yang mempunyai dasar hukum, dapat memberi kepastian hukum
dan perlindungan hukum;
2. Secara empirik, apabila putusan hakim itu telah memenuhi rasa
keadilan, dapat memulihkan hubungan sosial antara pihak yang
bersengketa dan dapat memberi kemanfaatan;
3. Secara psikologis, apabila hakim dapat memberi rasa aman dan
tentram, memberi rasa damai dan memberi rasa puas,
4. Secara praktik, apabila putusan hakim itu telah menyelesaikan
semua aspek sengketa, dapat dilaksanakan dan tidak
menimbulkan sengketa baru antara para pihak.
97
A. Mukti Arto, Mencari Keadilan, Kritik dan saran Terhadap Praktik Peradilan Perdata di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hal. 28-29. 98
Valerine J.L. Kriekhoff, Mediasi (Tinjauan dari Segi Antropologi Hukum) dalam Antopologi Hukum, Sebuah Bunga Rampai, T.O. Ihromi (Penyunting). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 2003, hal. 225. 99
D. Y. Witanto, 2011, Hukum Acara Mediasi , Penerbit Alfabeta Bandung, hl. 56
79
Penyelesaian sengketa ada masyarakat tradisional dan modern
masih tetap mempertahankan metode yang mampu menyelesaikan
sengketa dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Achmad
Ali yang menyatakan, masyarakat modern, hanya pranata
pengadilanlah satu-satunya cara penyelesaian sengketa. Di luar
pengadilan masih terdapat cara-cara penyelesaian persengketaan
lain, seperti: mediasi, arbitrase, dan konsiliasi.100
Menurut Satjipto Rahardjo, ada beberapa pilihan bagi seseorang
untuk menyelesaikan perkaranya. Cara berperkara lebih dari satu
tempat berlaku bagi Indonesia yang begitu majemuk, terdiri atas
sekian ratus komunitas adat atau lokal.Satjipto menyatakan barangkali
sudah waktunya „out of court settlement‟ diterapkan di
Indonesia. 101 David M. Trubek menguraikan, kecenderungan
menghindari pengadilan, selain karena faktor biaya dan waktu, juga
karena tidak semua sengketa cocok diselesaikan melalui proses
pengadilan. Trubek menyebutkan, ada beberapa sengketa yang
kurang cocok untuk diselesaikan melalui proses pengadilan, yaitu
sengketa keluarga, kontoversi antar tetangga, tuntutan yang
mencakup sejumlah uang yang tidak banyak, serta problem yang
timbul dalam manajemen hubungan perdagangan jangka panjang.102
100
Achmad Ali, Sosiologi Hukum. Kajian Empiris Terhadap Pengadilan. BP. IBLAM, Jakarta, 2004, hal. 17 101
Harian Kompas, edisi Jumat 15 Januari 2010, hal. 6 102
Bernard L. Tanya, Hukum dalam Ruang Sosial, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal. 27
80
Hal ini sesuai dengan uraian Lawrence M. Friedman, faktor budaya
ikut menentukan perilaku seseorang yang sedang terlibat suatu
sengketa untuk membawa sengketanya pada lembaga peradilan atau
lembaga peradilan atau membawa sengketanya melalui jalur non-
ligitimasi.103
Terkait dengan sindiran terhadap pengadilan muncul anekdot seperti
yang dikemukakan oleh Ambrose Bierce (Stan Ross: 1996):
“Litigation is a machine which you go into as a pig and come out as a
sausage.”
(Pengadilan adalah sebuah mesin dimana anda memasukinya dalam
wujud seekor babi yang utuh, tetapi ketika anda keluar sudah dalam
bentuk sosis).104
Abraham Lincoln once said. “Persuade your neighbors to
compromise whenever you can. Point out to them how the nominal
winner is often the real loser-in fees, expenses, and waste of
time.”105
Abraham Lincoln pernah berkata:
“Bujuklah para tetangga anda untuk berkompromi sepanjang yang
anda dapat lakukan.Tunjukkan pada mereka bagaimana orang yang
namanya saja disebut pemenang, tetapi sering dalam kenyataannya
lebih merupakan pihak yang nyata-nyata kalah; yaitu kalah dalam
biaya pembayaran dan pemborosan waktu.”106
Harry C. Bredemeir dalam tulisannya berjudul, Law as n Integrative
Mechanism menyatakan, “Hukum itu bagi kebanyakan orang
merupakan sesuatu yang sedapat mungkin dihindari saja.”107
103
Adi Sulistyono, Budaya Musyawarah Untuk Penyelesaian Sengketa Win-win Solution dalam Perspektif Hukum, Jurnal Hukum Bisnis Volume 25-No.1 Tahun, hal. 74 104
Achmad Ali, Op, Cit, hal. 2 105
As quated in Lincoln the lawyer, Fredrick Trevor Hill dalam James F. Haggerty, ESQ. In The Court of Public Opinion. Winning Your Case with Public Relations. Published byJohn Willey & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey, USA. 2003. Hal. xix. 106
Achmad Ali. Op, Cit, hal. 18 107
Anthon Freddy Susanto. Semiotika Hukum, Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, PT. Refika Aditama, Bandung. 2005, hal. 139.
81
Mahatma Gandhi selama menjadi pengacara senantiasa
memperjuangkan penggunaan jalur non litigasi, walaupun untuk itu
harus kehilangan banyak uang. Hal ini sesuai pernyataan Gandhi
(1927);108
“realised that the true function of a lawyer was to unite parties ... A
large part of my time during about private compromise of hundreds
of cases. I lost nothing therebeby not even money, certainly not my
soul.”
“menyadari bahwa fungsi sebenarnya dari seorang pengacara
adalah untuk menyatukan pihak......sebagaian besar waktu saya
selama kompromi tentang pribadi ratusan kasus”
Terkait hal tersebut, Lawrence M. Friedman menulis:109
“societies without lawyers are common; societies without judges
and courts are much more rare Institutions that resolve, or help
resolve, disputes are ubiquitous; all but very simplest societies have
them. Perhaps the judges evolved from the mediator, that is, a third
person who tries to help people iron out difficulties by themselves-a
kind of go between, without power to force the parties to
settle”“masyarakat tanpa pengacara yang umum; masyarakat tanpa
hakim dan pengadilan jauh lebih jarang lembaga yang
menyelesaikan, atau membantu menyelesaikan, sengketa dimana-
mana, semua tapi sangat sederhana masyarakat memiliki mereka
mungkin hakim berevolusi dari mediator sebagai orang ketiga”
Teori penyelesaian sengketa yang sejalan dengan berbagai
pandangan tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Marc Galanter
yaitu “justice in many roams” (keadilan didapatkan di banyak tempat),
tanpa prosedur yang formal.Ahmadi Miru lebih lanjut menguraikan
penyelesaian sengketa secara patut merupakan harapan setiap orang
yang menghadapi sengketa dengan pihak lain, termasuk penyelesaian
108
Adi Sulistiyono, Op. Cit, hal. 78 109
Lawrence M. Friedman, Law and Society an Introduction, Prentice-Hall, inc., Englewood Cliffs, 1977, hal. 27-28
82
sengketa secara patut atas sengketa yang timbul antara konsumen
dengan produsen.110
Disamping itu juga Ahmadi Miru dan Sutarman
Yodo (2004 : 235-236) yang menyatakan bahwa penyelesaian
sengketa melalui pengadilan sangat lambat, diakibatkan oleh proses
pemeriksaan yang sangat formalistik dan teknis. Disamping itu, arus
perkara yang semakin deras mengakibatkan pengadilan dibebani
dengan beban yang terlampau banyak.111Marc Galanter lebih lanjut
menguraikan, dalam hal menyelesaikan sengketa, masyarakat dapat
memperoleh keadilan melalui forum resmi yang telah disediakan oleh
negara (pengadilan), maupun forum tidak resmi yang disediakan oleh
masyarakat.112
Begitu pula teori dari Franz von Benda-Beckmann yang dikutip
Sulistyowati Irianto, 113 masyarakat juga memiliki mekanisme dan
kapasitas untuk menciptakan hukum dan keadilannya
sendiri.Pendapat senada diuraikan oleh Norber Rouland, “tatkala
sebuah kelompok atau komunitas berkesempatan menarik diri dari
wewenang negara dan undang-undang, kelompok itu tidaklah lenyap
dalam jurang non-hukum.Mekanismenya lalu diatur oleh sistem
mereka sendiri.”114
110
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, 2011,
hal 209 111
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,Hukum PerlindunganKonsumen. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2004 hal 235-236 112
Adi Slistyono, Op. Cit. Hal, 78. 113
Sulistyowati Irianto, Menuju Perkembangan Hukum Pro-Keadilan Rakyat, dalam Antonius Cahyadi dan Donny Danardono (ed.). hal. 7. 114
Bernard L. Tanya, Op, Cit, hal. 19
83
Terkait hal tersebut Syed Khalid Rashid dan Syed Ahmad Idid
menulis:115
“In the past, every civilization had its own means of amicable
settlement disputes. Islam gave prominence to shulh (which covers
negotiation, mediation, conciliation, and compromise of action) and
tahkim (arbitration); Chinese preferred xieshang (negotiation and
consultation) and tiaojie (mediation); while Hindu had panchayat
(village tribunal of five elders) in the past and Lok Adalats at
present.”
“ dimasa lalu, setiap perbedaan memilik cara sendiri penyelesaian
damai Islam memberikan keunggulan (yang meliputi negosiasi,
mediasi, konsiliasi, dan kompromi tindakan) tahkim (arbitrase);
xieshang disukai Cina (negosiasi dan konsultasi) dan tiaojie
(mediasi), sedangkan Hindu memiliki panchayat ( pengadilan lima
desa tetua) dimasa lalu dan saat ini “
Daniel S. Lev dalam tinjauannya mengenai kultur hukum di
Indonesia, cara-cara penyelesaian konflik mempunyai karakteristiknya
sendiri disebabkan oleh karena dukungan nilai-nilai tertentu.
Sekalipun terdapat perbedaan intensitas di sana-sini, namun pada
umunya kompromi dan perdamaian merupakan nilai-nilai yang
mendapatkan dukungan kuat masyarakat.116
Menurut Moh. Koesnoe, asas kerukunan dalam kaitanya dengan
penyelesaian sengketa, memunculkan dua ajaran, yakni:117
a. Ajaran penyelesaian sengketa, yakni berangkat dari pandangan
bahwa penyelesaian sengketa harus dilakukan sedemikian rupa
sehingga para pihak kembali berada dalam keadaan semula
sebelum sengketa terjadi.
115
Syed Khalid Rashid dan Syed Ahmad Idid, Mediation and Arbitration in Asia Pacific. IIUM Pres, International Islamic University Malaysia. 2009. hal. xxi. 116
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, hal. xxi 117
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Citra Aditya Bakti. Bandung, 2006, hal. 277
84
b. Ajaran pengambilan keputusan, yakni berangkat dari pemikiran
bahwa tidak setiap sengketa dapat diselesaikan melalui ajaran
penyelesaian sengketa.
E. Mediasi Perbankan serbagai Alternatif Peneyelesaian Sengketa
Upaya penyelesaian sengketa melalui litigasi di pengadilan dan
arbitrase tidakmudah dilakukan,terutama bagi nasabah kecil dan
usaha mikro. Penyelesaian melalui litigasi di pengadilan dan arbitrase
pada umumnya memerlukan biaya yang tidak sedikit, prosedur yang
tidak sederhana dan membutuhkan waktu yang relatif lebih lama.
Memperhatikan karekteristik nasabah kecil dan usaha mikro yang
spesifik serta berbeda dengan nasabah menengah dan
besar, penyelesaian sengketa antara bank dengannasabah kecil dan
usaha mikro seyogjanya dapat dilakukan secara sederhana,
murah, dan cepat. Salah satu alternatifnya adalah melalui mediasi
perbankan. Agar hak-hak nasabah dapat terjaga, terlindungi dan
terpenuhi dengan baik perlu segera dibentuk lembaga mediasi
perbankan. Sebelum lembaga tersebut dapat dibentuk, sesuai dengan
kewenangan yang dimilikinya, untuk sementara waktu bank
Indonesia melaksanakan fungsi mediasi perbankan tersebut.118
Dasar hukum Mediasi di Indonesia adalah Undang-Undang No.
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa yang berlaku tanggal 12 Agustus 1999. Ketentuan
mengenai mediasi diatur dalam Pasal 6 ayat (3), (4) dan (5). Pada
118
PP BI Nomor 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan
85
Pasal 6 ayat (3) merupakan suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan
dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak menurut
ketentuan Pasal 6 ayat (2). Rumusan Pasal 6 ayat (3) mengatakan
bahwa “atas kesepakatan tertulis para pihak” sengketa atau beda
pendapat diselesaikan melalui bantuan “seorang atau lebih penasehat
ahli” maupun melalui “seorang mediator”. UU No. 30 Tahun 1999 tidak
memberikan definisi atau pengertian yang jelas mengenai mediasi
maupun mediator. Dari literatur hukum ada beberapa pengertian
mediasi yang dapat disebutkan disini, antara lain :
1. Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian masalah (sengketa)
dimana suatu pihak luar, tidak memihak, netral, tidak bekerja
dengan para pihak yang bersengketa, membantu mereka (yang
bersengketa) mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang
memuaskan119.
2. Menurut Christopher W Moore, mediasi adalah intervensi dalam
sebuah sengketa oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang
bersengketa dan bukan merupakan bagian dari kedua belah pihak
serta bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang
untuk mengambil keputusan, hanya bertugas membantu pihak-
pihak yang bertikai agar secara sukarela mau 120mencapai kata
119
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2003, Hlm. 79 120
Ibid, halaman 80
86
sepakat yang diterima oleh masing-masing pihak dalam sebuah
persengketaan121
.
3. Di dalam Black‟s Law Dictionary dikatakan bahwa mediasi dan
mediator adalah122:
“Mediation is private, informal dispute resolution process in which
a neutral third person, the mediator, helps disputing parties to
reach an agreement”. “The Mediator has no power to impose a
decision on the parties”.
Mediasi bersifat pribadi, proses penyelesaian sengketa informal,
dimana orang ketiga yang netral, mediator, membantu pihak
yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan. Mediator tidak
memiliki kekuasaan untuk memaksakan keputusan pada pihak”
4. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan
mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna
mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela
terhadap sebagian atau seluruh permasalahan yang
disengketakan123.
Dari perumusan-perumusan diatas dapat menunjukkan bahwa:124
1. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa di luar
pengadilan berdasarkan perundingan.
2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa
dalam perundingan.
3. Tidak sebagaimana halnya seorang hakim atau arbiter, seorang
mediator tidak dalam posisi (tidak mempunyai kewenangan)
untuk memutus sengketa para pihak.
121
Felix Oentoeng Soebagjo, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Bidang Perbankan, Makalah Disampaikan pada Diskusi Terbatas: Pelaksanaan MediasiPerbankan oleh Bank Indonesia dan Pembentukan Lembaga Mediasi Independen, 21 Maret 2007, Yogyakarta, Hlm. 1 122
Pasal 1 angka 5 Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan 21 123
Felix Oentoeng Soebagjo, op.cit., hal. 1 124
Ibid., hal. 1
87
4. Tugas dan kewenangan mediator hanya membantu dan
memfasilitasi pihak-pihak yang bersengketa dapat mencapai
suatu keadaan untuk dapat mengadakan kesepakatan tentang
hal-hal yang disengketakan.
5. “The assumption…….is that third party will be able to alter the
power and social dynamics of the conflict relationship by
influencing the beliefs and behaviors of individual parties, by
providing knowledge and information , or by using a more
effective negotiation process and thereby helping the
participants to settle contested issues”.
“ asumsinya adalah bahwa..... pihak ketiga akan mampu
mengubah kekuasaan dan dinamika sosial hubungan konflik
dengan cara mempengaruhi kepercayaan dan perilaku masing-
masing pihak, dengan memberikan pengetahuan dan informasi,
atau dengan menggunakan proses negosiasi yang lebih efektif
dan dengan demikian membantu para peserta untuk
menyelesaikan masalah.
6. Mediasi adalah Non-Coercive. Ini berarti bahwa tidak ada suatu
sengketa (yang diselesaikan melalaui jalur mediasi) akan dapat
diselesaikan, kecuali hal tersebut disepakati / disetujui bersama
oleh pihak-pihak yang bersengketa125.
Perbedaan antara Mediasi (ADR) dengan Litigasi /Arbitrase126
1. jika kesepakatan hasil mediasi dilanggar, harus ajukan gugatan,
tidak bisa langsung eksekusi;
2. pihak yang bersengketa membuat kesepakatan;
3. para pihak yang menentukan jalannya mediasi;
4. kesepakatan merupakan restrukturisasi dari kontrak yang
disengketakan;
5. win-win solution;
6. jika putusan tidak dilaksanakan,dapat diminta eksekusi ke
pengadilan;
7. hakim/arbiter yang membuat putusan;
8. persidangan ditentukan oleh hukum acara yang berlaku;
9. keputusan didasarkan pada kontrak yang disengketakan;
10. win-lose judgement;
125
Iswahjudi A. Karim, Arbitrase dan Mediasi, Karimsyah Law Firm, Jakarta, 2005, hal. 2 126
Ibid, hal. 2
88
Ada beberapa keuntungan yang seringkali didapatkan dari hasil
mediasi127
, yaitu:
1. Keputusan yang hemat;
2. Penyelesaian secara cepat;
3. Hasil-hasil yang memuaskan bagi semua pihak;
4. Kesepakatan-kesepakatan komperehensif dan customized;
5. Praktek dan belajar prosedur-prosedur penyelesaian masalah
secara kreatif;
6. Tingkat pengendalian lebih besar dan hasil yang bisa diduga;
7. Pemberdayaan individu;
8. Melestarikan hubungan yang sudah berjalan atau mengakhiri
hubungan dengan cara yang lebih ramah;
9. Keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan;
10. Kesepakatan yang lebih baik daripada hanya menerima hasil
kompromi atau prosedur menang-kalah;
11. Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu
Sesuai ketentuan Pasal 4 PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi
Perbankan dinyatakan bahwa Mediasi Perbankan yang dilaksanakan
oleh bank Indonesia bersifat fasilitatif, dimana bank Indonesia melalui
mediatoryang ditunjuk akan membantu nasabah dan bank untuk
mengkaji ulang Sengketa secara mendasar dalam rangka
memperoleh kesepakatan. Sengketa antara nasabah dengan bank
yang disebabkan tidak dipenuhinya tuntutan finansial nasabah oleh
bank dalam penyelesaian pengaduan nasabah dapat diupayakan
penyelesaiannya melalui mediasi perbankan.
Mediasi di bidang perbankan dilakukan oleh lembaga mediasi
perbankan independen yang dibentuk asosiasi
perbankan.Pembentukan lembaga Mediasi perbankan independen
127
Rachmadi Usman, Op, Cit hlm. 83-85
89
sebagaimana dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember
2007.Dalam pelaksanaan tugasnya, lembaga mediasi perbankan
independen melakukan koordinasi dengan bank Indonesia.
fungsimediasi perbankan dilaksanakan oleh bank Indonesia. Fungsi
mediasi perbankan yang dilaksanakan oleh bank Indonesia pada
upaya membantu nasabah dan bank untuk mengkaji ulang sengketa
secara mendasar dalam rangka memperoleh Kesepakatan.
Dalam rangka melaksanakan fungsi mediasi perbankan bank
Indonesia menunjuk mediator. Mediator tersebut harus memenuhi
syarat paling kurang sebagai berikut:
a. memiliki pengetahuan di bidang perbankan, keuangan, dan atau
hukum;
b. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas
penyelesaian sengketa; dan
c. tidak memiliki hubungan sedarah atau semenda sampai dengan
derajat kedua dengan Nasabah atau Perwakilan Nasabah dan
Bank.
Mediasi perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dilaksanakan untuk setiap Sengketa yang memiliki nilai tuntutan
finansial paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).Nasabah tidak dapat mengajukan tuntutan finansial yang
diakibatkan oleh kerugian immateriil.128
Begitu pula dengan ketentuan di dalam Pasal 41 POJK No.
1/POJK.07/2013 yang menentukan bahwa OJK mempersyaratkan
kerugian yang diderita nasabah paling banyak Rp 500.000.000,-. Hal
128
PasaL 2 PP BI Nomor 8/5/PBI/2006 Tentang Mediasi Perbankan
90
ini menunjukkan bahwa pihak yang bersengketa yaitu bank dan
nasabah dengan melalui Ootoritas Jasa Keuangan maksimal adalah
Rp. 500.000.000,- 129 Mengaju kepada ketentuan Pasal 2 diatas
apakah sudah memberikan rasa keadilan bagi para nasabah, artinya
apabila nasabah yang memiliki kerugian di bawa Rp. 500.000.000.00
apakah dia berhak juga untuk menagajukan tuntutan. Disinilah perlu
adanya pemahaman hukum terkait dengan tuntutan ganti kerugian
yang harus di cermati oleh pihak bank
Bank indonesia melalui regulasi ketentuan perundang-undangan
dibentuklah lembaga mediasi perbankan, yang mana lembaga ini
telah disosialisasikan melalui Peraturan Bank Indonesia No.
8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 dan Surat Edaran Bank
Indonesia No. 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006 sehingga dengan
demikian bank Indonesia telah menjalankan fungsi mediasi perbankan
sebagai sarana yang sederhana, murah, dan cepat dalam hal
penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank belum dapat
memuaskan nasabah dan menimbulkan sengketa antara nasabah
dengan bank. Pengajuan penyelesaian sengketa dimaksud dapat
disampaikan kepada bank Indonesia oleh nasabah atau perwakilan
nasabah dengan persyaratan sebagai berikut :
1. Sengketa yang dapat diajukan adalah sengketa keperdataan yang
timbul dari transaksi keuangan.
129Pasal 41 POJK Nomor : 1 / POJK/.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
91
2. Sengketa yang dapat diajukan adalah sengketa yang timbul dari
hasil penyelesaian pengaduan nasabah yang telah dilakukan oleh
bank.
3. Nasabah tidak dapat mengajukan tuntutan finansial yang
diakibatkan oleh kerugian immaterial. Yang dimaksud kerugian
immaterial antara lain adalah kerugian karena pencemaran nama
baik dan perbuatan tidak menyenangkan.
4. Nilai tuntutan finansial diajukan dalam mata uang rupiah dengan
jumlah maksimal adalah Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah). nilai tuntutan finansial sama juga yang di atur di dalam
ketentuan OJK mempersyaratkan kerugian yang diderita nasabah
paling banyak Rp 500.000.000,-.Jumlah tersebut dapat berupa
kumulatif dari kerugian finansial yang telah terjadi pada nasabah,
potensi kerugian karena penundaan atau tidak dapat
dilaksanakannya transaksi keuangan Nasabah dengan pihak lain,
dan atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan nasabah untuk
mendapatkan penyelesaiannya sengketa.
5. Batas waktu pengajuan adalah paling lambat 60 (enampuluh) hari
kerja, yang dihitung sejak tanggal surat hasil penyelesaian
pengaduan nasabah dari bank. Dalam ketentuan OJK di jelaskan
juga dikatakan bahwa fasilitas pengaduan nasabah oleh OJK
adalah maksimal 30 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari
setelah akta kesepakatan dilakukan.
6. Nasabah mengajukan penyelesaian sengketa kepada lembaga
Mediasi perbankan secara tertulis dengan menggunakan formulir
terlampir atau dibuat sendiri oleh nasabah dan dilengkapi dokumen
pendukung antara lain:
a. Foto copy surat hasil penyelesaian pengaduan yang diberikan
bank kepada nasabah.
b. Foto copy bukti identitas nasabah yang masih berlaku.
c. Surat penyataan yang ditandatangani di atas meterai yang
cukup bahwa sengketa yang diajukan tidak sedang dalam
proses atau telah mendapatkan keputusan dari lembaga
arbitrase, peradilan, atau lembaga Mediasi lainnya dan belum
pernah diproses dalam Mediasi perbankan yang difasilitasi oleh
Bank Indonesia.
d. Foto copy dokumen pendukung yang terkait dengan sengketa
yang diajukan
92
e. Foto copy surat kuasa, dalam hal pengajuan penyelesaian
sengketa dikuasakan.
Menurut Badriyah Harun, ada beberapa hal yang merupakan
aturan mediasi, antara lain sebagai berikut :
a. Nasabah dan bank wajib menyampaikan dan mengungkapkan
seluruh informasi penting yang terkait dengan pokok sengketa
dalam pelaksanaan mediasi
b. Seluruh informasi dari para pihak yang berkaitan dengan proses
mediasi merupakan informasi yang bersifat rahasia dan tidak
dapat disebarluaskan untuk kepentingan pihak lain diluar pihak-
pihak yang terlibat dalam proses mediasi, yaitu pihak-pihak selain
nasabah, bank dan mediator
c. Mediator bersifat netral, tidak memihak dan berupaya membantu
para pihak untuk menghasilkan kesepakatan.
d. Kesepakatan yang dihasilkan dari proses mediasi adalah
kesepakatan secara sukarela antara nasabah dengan bank dan
bukan merupakan rekomendasi atau keputusan mediator.
e. Nasabah dan bank tidak dapat meminta pendapat hukum
(legaladvice) maupun jasa konsultasi (legal counsul) kepada
mediator.
f. Nasabah dan bank dengan alasan apapun tidak akan mengajukan
tuntutan hukum terhadap mediator, pegawai maupun Bank
Indonesia sebagai pelaksana fungsi mediasi perbankan, baik atas
kerugian yang mungkin timbul karena pelaksanaan atau eksekusi
akta kesepakatan, maupun oleh sebab-sebab lain yang terkait
dengan pelaksanaan mediasi.
g. Nasabah dan bank yang mengikuti proses mediasi berkehendak
untuk menyelesaiakan sengketa. Dengan demikian, nasabah dan
bank bersedia, melakukan proses mediasi dengan itikad baik,
bersikap kooperatif dengan mediator selama proses mediasi
berlangsung dan menghadiri pertemuan mediasi sesuai dengan
tanggal dan tempat yang telah disepakati130
Apabila dalam proses mediasi tercapai kesepakatan antara
nasabah, perwakilan dengan bank maka kesepakatan yang
130
Badriyah Harun, 2010, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Yogyakarta Pustaka Yustia, hlm 129
93
dihasilkan tersebut harus dituangkan dalam akta kesepakatan yang di
tanda tangani oleh nasabah, atau perwakilan nasabah dengan bank.
Akta kesepkatan ini bersifat final dan mengikat bagi bank dan
nasabah. Berdasar ketentuan Surat Edaran BI No.8/14/DPNP tanggal
1 Juni 2006 Tentang Mediasi Perbankan, akta kesepakatan bersifat
final dan mengikat. Artinya sengketa yang telah diselesaikan tidak
dapat diajukan untuk proses fasilitasi ulang di OJK dan berlaku
sebagai undang undang bagi konsumen dan bank dan apabila tidak
ada kesepakatan, maka konsumen dan bank menandatangani berita
acara hasil fasilitasi OJK yang menyatakan tidak ada kesepakatan di
antara para pihak, sehingga dalam hal ini konsumen dapat
mengajukan gugatan perdata ke pengadilan. Bank wajib
melaksanakan hasil penyelesaian sengketa perbankan antara
nasabah dengan bank yang telah disepakati dan dituangkan dalam
akta kasepakatan.
Apabila tidak tercapainya kesepakatan melalui mediasi antara
nasabah atau perwakilan dengan bank tentu pihak yang merasa
dirugikan akan melakukan upaya lanjutan penyelesaian sengketa
melalui proses arbitrase atau peradilan. Jika nasabah atau perwakilan
nasabah dan bank melakukan upaya lanjutan, maka mereka sepakat
untuk :
a. Tidak melibatkan mediator maupun bank Indonesia sebagai
pelaksana fungsi mediasi perbankan untuk memberikan
keasaksian dalam pelaksanaan peradilan dimaksud
94
b. Tidak meminta mediator maupun bank Indonesia menyerahkan
sebagaian atau seluruh dokumen mediasi yang di tatausahakan
bank Indonesia, baik berupa catatan, laporan, risalah, laporan
proses mediasi dan atau berkas lainnya yang terkait dengan
proses mediasi.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia
bahwa pelaksanaan mediasi pelaksanaan proses mediasi sampai
dengan ditandatanganinya akta kesepakatan dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak nasabah atau
perwakilan nasabah dan bank menandatangani perjanjian mediasi.
Namun jangka waktu proses mediasi dapat diperpanjang sampai 30
(tiga puluh) hari kerja berikut berdasarkan kesepakatan nasabah atau
perwakilan nasabah.
Pengajuan penyelesaian sengketa disampaikan kepada Direktorat
Investigasi dan Mediasi Perbankan. Namun peraturan bank Indonesia
tidak mengatur dimana saja mediasi dapat dilaksanakan. Pengaduan
disampaikan oleh nasabah kepada alamat diatas, namun
pelakasanaan mediasi dapat dilakukan pada wilayah hukum kantor
perwakilan bank Indonesia di seluruh indonesia, tergantung dimana
nasabah dan bank bersengketa. Hal ini untu memudahkan para pihak
untuk melakukan proses mediasi.131
131
Susilawetty, 2013 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Ditinjau Dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan, Penerbit Gramata Publishing, Komp Jatiwarna Indah Jln. Bunga Matahari V Blok E No 1 Pondok Gede Bekasi, hlm 141-143
95
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi, para pihak
biasanya mampu mencapai kesepakatan di antara mereka, sehingga
manfaat mediasi dapat dirasakan.
F. Landasan Teoritis
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir
pendapat teori,mengenai suatu masalah yang dapat dijadikan sebagai
bahan pegangan teoritis bagi peneliti atau penulis. Teori adalah
serangkaian preposisi atau keterangan yang saling berhubungan
dalam sistim deduksi yang mengemukakan suatu penjelasan atau
suatu gejala132
a. Teori Keadilan (Grand Theory)
Di dalam perkembangan pemikiran filsafat hukum dan teori
hukum, tentu tidak lepas dari konsep keadilan.Konsep keadilan
tindak menjadi monopoli pemikiran satu orang ahli
saja.Banyak para pakar dari berbegai didiplin ilmu memberikan
jawaban apa itu keadilan. seperti Thomas Aqunas, Hari Chand,
Aristoteles, John Rawls, R. Dowkrin, R. Nozick dan Posner
sebagian nama yang memberikan jawaban tentang konsep
keadilan.133Tetapi dalam penerapan teori keadilan peneliti lebih
132
Teori merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabugkan dengan pengalaman empiris, sehingga teori tentang ilmu merupakan suatu penjelasaan yang rasional sesuai dengan objek penelitian yang dijelaskannya dan untuk mendapat verivikasi, maka harus didukung oleh data empiris yang membantu dalam mengungkapkan kebenaran. M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Peneltian ( Bandung Mandar Maju,1994) 133
Teori Keadilan John Rawls Pemahaman Sederhana Buku A Theory Of Justice, (Massachussetts, Havard University Press, 1971), hal 22
96
condong mengunakan teori keadilan yang dikemukakan oleh John
Rawls.
John Rawls, dalam buku A Theory of Justice.Teori keadilan
Rawls dapat disimpulkan memiliki inti sebagai berikut:134
1. Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap
kemerdekaan ini hanya untuk kepentingan kemerdekaan itu
sendiri,
2. Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam
kehidupan sosial maupun kesetaraan dalam bentuk
pemanfaatan kekayaan alam (“social goods”). Pembatasan
dalam hal ini hanya dapat dizinkan bila ada kemungkinan
keuntungan yang lebih besar.
3. Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan
terhadap ketidaksetaraan berdasarkan kelahiran dan kekayaan.
Untuk meberikan jawaban atas hal tersebut, Rawls melahirkan
3 (tiga) prinsip kedilan, yang sering dijadikan rujukan oleh bebera
ahli yakni:
1. Prinsip kebebasan yang sama (equal liberty of principle)
2. Prinsip perbedaan (differences principle)
3. Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)
Rawls berpendapat jika terjadi benturan (konflik), maka: Equal
liberty principle /Prinsip kebebasanharus diprioritaskan dari pada
prinsip-prinsip yang lainnya. Dan, Equal opportunity principle/
Prinsip persamaan kesempatan harus diprioritaskan dari pada
differences principle / Prinsip Perbedaan.
Keadilan adalah Kejujuran (Justice As Fairnes) Masyarakat
adalah kumpulan individu yang di satu sisi menginginkan bersatu
134
Ibid, hlm 27
97
karena adanya ikatan untuk memenuhi kumpulan individu – tetapi
disisi yang lain – masing-masing individu memiliki pembawaan
serta hak yang berbeda yang semua itu tidak dapat dilebur dalam
kehidupan sosial. Oleh karena itu Rawls mencoba memberikan
jawaban atas pertanyaan, bagaimana mempertemukan hak-hak
dan pembawaan yang berbeda disatupihak dengan keinginan
untuk bersama demi terpenuhnya kebutuhan bersama?,setiap
orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan
tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin
tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan
tentang keadilan yang tengah berkembang.Orang-orang atau
kelompok yang terlibat dalam situasi yang sama tidak mengetahui
konsepsi-konsepsi mereka tentang kebaikan. Situasi yang sama
dan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat Tidak ada
pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang
lainnya.
Pada keadaan ini orang-orang dapat melakukan kesepakatan
dengan pihak lainnya secara seimbang.“Posisi Original” yang
bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh
ciri Rasionalitas (rationality), Kebebasan (freedom), dan
Persamaan (equality).135Guna mengatur struktur dasar masyarakat
(basic structure of society).Setiap orang memiliki hak yang sama
135
Ibid
98
atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel
dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain. “Setiap
orang mempunyai kebebasan dasar yang sama”Dalam hal ini
kebebasan-kebebasan dasar yang dimaksud antara lain:
a. kemerdekaan berpolitik (political of liberty),
b. kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi
(freedom of speech and expression),
c. kebebasan personal (liberty of conscience and though).
d. kebebasan untuk memiliki kekayaan (freedom to hold property)
e. Kebebasan dari tindakan sewenang-wenang.136
Difference principle (prinsip perbedaan) – Ketidaksamaan sosial
dan ekonomi diatur sedemikian rupa, sehingga diperoleh manfaat
sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak
diuntungkan.Equal opportunity principle (prinsip persamaan
kesempatan)- Jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi
semua orang dalam keadaan dimana adanya persamaan
kesempatan yang adil.
Jadi sebenarnya ada 2 (dua) prisip keadilan Rawls, yakni equal
liberty principle/ Prinsip kebebasan yang sama dan inequality
principle / Prinsip ketidaksetaraan Akan tetapi inequality principle/
Prinsip ketidaksetaraanmelahirkan 2 (dua) prinsip keadilan yakni
Difference principle/prinsip perbedaandan Equal opportunity
principle / prinsip persamaan kesempatan yang akhirnya berjumlah
136
Ibid
99
menjadi 3 (tiga) prisip, dimana ketiganya dibangun dari kotrusi
pemikiranOriginal Positio / Posisi asli
b. Teori Perlindungan Hukum (Middle Theory)
Perlindungan hukum adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
setiap objek hukum. Berkaitan dengan teori perlindungan hukum
terhadap nasabah, penulis mengambil pendapat dari Marulak
Pradede mengemukakan bahwa dalam sistem perbankan
Indonesia, mengenai perlindungan terhadap nasabah
penyimpan dana, dapat dilakukan melalui 2 teori yaitu, teori
perlindungan secara impilisit (implicit deposit protection) ,
d a n t e o r i p e r l i n d u n g a n s e c a r a e k s p l i s i t (Explicit
deposit protection). 137 Mengenai teori perlindungan secara
implisit(implicit deposit protection), yaitu perlindungan yang
dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang efektif,
yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank.
Perlindungan ini yang diperoleh melalui:
(1) peraturan perundang-undangan dibidang perbankan,
(2) perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan
pembinaan yang efektif, yangdilakukan oleh bank
Indonesia,
(3) upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah
lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap
sistem perbankan padaumumnya,
(4) memelihara tingkat kesehatan bank,
137Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia,Kencana Pernada Media grup,
Jakarta2011, hlm., 145
100
(5) melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian,
(6) cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank dan
kepentingan nasabah, dan
(7) menyediakan informasi risiko pada nasabah.138
Mengenai teori perlindungan secara eksplisit (Explicit deposit
protection),yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu
lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga
apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut
yang akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank
yang gagal tersebut, perlindungan ini diperoleh melalui
pembentukan lemabaga yang menjamin simpanan masyarakat,
sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI Nomor 26
Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Bank Umum.139
Beberapa mekanisme yang digunakan dalam rangka
perlindungan nasabah bank adalah sebagai berikut :140
1. Pembuatan Peraturan Baru
Lewat pembuatan peraturan baru atau merevisi peraturan
yang sudah ada merupakan salah satu cara untuk memberikan
perlindungan kepada nasabah suatu bank. Banyak peraturan
yang secara langsung maupun tidak langsung yang bertujuan
melindungi nasabah. Akan tetapi lebih banyak lagi diperlukan
seperti itu dari apa yang terdapat dewasa ini.
138
Marulak Pardede, Likuidasi Bank dan Perlindungan Nasabah, (Jakarta Sinar Harapan, 1998) hlm 133 - 134 139
Ibid, hlm 146 140
Munir Fuady, Arbitase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa), (Bandung: Citra
Aditya Bakti,2003) hlm 104-105
101
2. Pelaksanaan Peraturan yang sudah ada
Salah satu cara lain memberikan perlindungan kepada
nasabah adalah dengan melaksanakan peraturan yang ada
dibidang perbankan secara lebih ketat oleh pihak otoritas
moniter, khususnys peraturan yang bertujuan melindungi
nasabah sehingga dapat dijamin law enforcement yang baik.
Peraturan perbankan tersebut harus ditegakan secara objektif
tanpa melihat siapa deriktur, komisaris, atau pemegang saham
dari bank yang bersangkutan.
3. Perlindungan Nasabah Deposan lewat Lembaga Asuransi
Deposito
Perlindungan nasabah, khususnya lembaga deposan
melalalui lembaga asuransi deposan yang adil dan predictable
ternyata juga membawa hasil yang positif.
4. Memperketat Perizinan Bank
Memperketat perizinan untuk suatu pendirian bank baru
adalah salah satu cara agar bank tersebut kuat dan
qualifiedsehingga dapat memberikan keamanan bagi para
nasabahnya
5. Memperketat Pengaturan di Bidang Kegiatan Bank
Ketentuan yang menyangkut kegiatan bank banyak juga
yang secara langsung atau tidak langsung bertujuan untuk
melindungi nasabah. Pengaturan-pengaturan tersebut misalnya
102
ketentuan mengenai permodalan, manajamen, aktiva produktif,
likuiditas, rentabilitas, solvabilitas dan kesehatan bank
6. Memperketat Pengawasan Bank
Dalam rangka meminimalkan resiko yang ada dalam bisnis
bank, maka pihak otoritas, khususnya bank Indonesia (juga
dalam hal ini menteri kuangan) harus melakukan tindakan
pengawasan dan pembinaan terhadap bank-bank yang ada,
baik terhadap bank-bank pemerintah maupun terhadap bank
swasta. Hanya saja perlu diperhatikan disini bahwa sebagai
pengawas, bank Indonesia tidak dapat mencampuri secara
langsung interen dari bank yang diawasinya itu. Sebab
pengendalian bank tersebut tetap menjadi kewenangan
pengurus bank tersebut. Karena itu, harus jelas batas-batas
dari ikut campur tangan bank Indonesia sehingga tidak
mengambil porsi kewenangan dari pengurus bank tersebut.
c. Teori Konflik (Applied Theory)
Teori ini dikemukakan Schuyt, bahwa konflik merupakan
situasi yang didalamnya dua pihak atau lebih mengejar tujuan-
tujuan yang satu dengan yang lain yang tidak dapat di selesaikan
dan dimana mereka dengan daya upaya mencoba dengan sadar
menentang tujuan-tujuan pihak lain141
141
Theo Hubjers , Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah ( Yogyakarta ; Kanisius, 1982) hal 128-129
103
Dalam situasi ini dibedakan bentuk-bentuk penyelesaian
sengketa secara yuridis dan non yuridis penyelesaian konflik
dapat timbul ke permukaan dalam berbagai bentuk seperti melalui
musyawarah atau perundingan. Kedua belah pihak yang ada
dalam konflik dapat menyelesaikan secara internal jadi kedua
belah pihak memiliki kebebasan untuk menyelesaiakan konflik
tersebut dengan baik.
Menurut Satjipto Raharjo Mengatakan bahwa :
Hukum melindungi kepentingan seorang dengan cara
mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak
dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian
dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keleluasaannya
dalam masyarakat itu biasa di sebut sebagai hak, melainkan
hanya kekuasaan tertentu saja, yaitu yang diberikan oleh
hukum kepadanya.142
Achmad Ali Mendefenisikan :
Konflik adalah setiap situasi dimana dua atau lebih pihak yang
memperjuangkan tujuan-tujuan pokok tertentu dari masing-
masing pihak, saling memberikan tekanan dan satu sama lain
gagal mencapai suatu pendapat dan masing-masing pihak
saling berusaha untruk memperjuangkan se4cara sadar tujuan-
tujuan pokok mereka143
Persengketaan hukum merupakan salah satu wujud dari
konflik pada umumnya.Salah satu fungsi hukum adalah untuk
menyelesaikan konflik di dalam masyarakat.Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Harry. C. Bredemeier :
142
Satjipto Raharjo, Mengejar Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan (teaching Order
Finding Disorder), Pidato mengakhiri masa jabatan sebagai guru besar tetap pada Fakultas Hukum Unversitas Diponegoro Semarang 15 desember 2008, hal 8 143
Achmad Ali,2004,Sosiologi Hukum. Kajian Empiris Terhadap PengadilanBP.
IBLAM, Jakarta, hlm 64
104
The function of the law is the ordely resolution of conflicts. As
this implies, the law, (the clarest model of which I shall take to
be the court system) is brought into operatiohnj after there hes
been a conflict. Someonev claimst that is interests have been
violated by someone else. The court‟s task is to render a
decesion that will prevent the conflict – and all potential confict
lake it from disrupting productive cooperartion...144
fungsi hukum adalah resolusi sistem konflik. Karena ini berarti,
hukum, (model yang harus diambil untuk menjadi sistem
pengadilan) dibawa kekegiatan setelah ada konflik. Tugas
pengadilan adalah untuk membuat suatu keputusan yang akan
mencegah konflik dan semua konflik potensial dari yang
mengganggu kerjasama produktif.
Menurut Bredemeier, fungsi hukum adalah menertibakan
pemecahan konflik-konflik. Secara tidak langsung hukum baru
berfungsi setelah ada konflik. Yaitu jika sesoarang mengkalim
bahwa kepentingan-kepentinganya telah diganggu oleh orang lain.
Sering dikemukakan bahwa pembicaraan tentang hukum baru di
mulai apabila terjadi suatu konflik antara dua pihak kemudian
diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga.Gary Goodpaster
dalam “ tinjauan terhadap penyelesaian sengketa” dalam buku
Arbitrase di Indonesia mengatakan bahwa :
Setiap masyarakat memiliki berbagai cara untuk memperoleh
kesepakatan dalam proses perkara atau untuk menyelesaiakan
sengketa dan konflik. Cara yang dipakai pada suatu sengketa
tertentu jelas memilki konsekuensi, baik bagi para pihak yang
bersengketa maupun masyarakat dalam arti seluas-luasnya.
Karena adanya konsekuensi itu, maka sangat di perlukan untuk
menyalurkansengketa-sengketa tertentu kepada suatu
mekanisme penyelesaian sengketa yang paling tepat bagi
mereka145
144
Ibid, hlm 59 145
Gunawan Wijaya & Ahmad Yani, Hukum Arbitrase (Jakarta Raja Grafindo Persada 2000) hal 3
105
Hal ini berarti dalam dalam penyelesaian suatu konflik terdapat
berbagai cara yang di tempuh oleh sesorang atau masyarakat.
Setiap penyelesaian sengketa mempunyai konsekuensi yang
berbeda-beda. Oleh karena itu dalam suatu proses penyelesaian
sengketa harus diperhatikan juga kebiasaan masyarakat setempat
sehingga diperoleh suatu penyelesaian sengketa yang
tepat.Alternative dispute resolution (ADR) merupakan suatu istila
asing yang perlu dicarikan padannya dalam bahasa indonesia.
Berbagai istilah dalam bahasa indonesia telah di perkenalkan
dalam berbagai forum oleh berbagai pihak, seperti Pilihan
Penyelesaian Sengketa (PPS) 146 mekanisme penyelesaian
sengketa (MAPS), pilihan penyelesaian sengketa diluar
pengadilan, dan mekanisme penyelesaian sengketa secara
kooperatif.
ADR sering diartikan sebagai alternative to litigation dan
alternative to adjudication.Pemelihan terhadap salah satu dari dua
pengertian tersebut menimbulkan impilikasi yang berbeda.Apabila
pengertian pertama menjadi acuan (alternative to litigation),
seluruh mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
termasuk arbitrase yang merupakan bagian dari ADR. Apabila
ADR (diluar litigasi dan arbitrase) merupakan bagian dari
146
Lihat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) memperkenalkan dan memberikan sarana penyelesaian linfgkungan hidup di luar Pengadilan (ADR) didayagunakan /diefektifkan sebatgai pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup secara alternatif
106
pengertian ADR sebagai alternative to adjudication dapat meliputi
penyelesaian sengketa yang bersifat konsensus atau kooperatif
seperti halnya negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Dilihat dari
perkembangan ADR di Amerika serikat, maka ADR yang
dimaksud adalah ADR sebagai alternative to adjudication. Hal ini
disebabakan keluaraan (outcome)adjudication baik pengadilan
maupun arbitrase cenderung menghasilkan win-lose bukan win-
win sehingga solusi yang dapat diterima kedua belah pihak yang
bersengketa (mutual acceptable solution) sangat kecil tercapai.147
Altschul yang dikutip oleh H. Priyatna Abdulrassyid dalam
bukunya “Albitrase dan Penyelesaian Sengketa” mengatakan
bahwa ADR ialah :
“a trial of a case before a private tribunal agreed to by the
parties so as to save legal costs, avoid public, and avoid
lenghty trial delays”.
"Sebuah persidangan kasus di depan pengadilan swasta yang
disepakati oleh para pihak sehingga dapat menghemat biaya
hukum, menghindari masyarakat, dan menghindari penundaan
pengadilan yang ketat
Kemudian Philip D. Botswick (going private with the juficial
system, 1995 atau menjadi pribadi dengan sistem juficial)
mengatakan bahwa Alternative Dispute Resolation (ADR) adalah
147
Suyud Margono, ADR dan Arbitrase Proses Pelembangaan dan Aspek Hukum (Jakiarta Ghalia Indonesia,) 2000, hlm 36
107
sebuah perangkat pengalaman dan teknik hukum yang
bertujuan:148
a) Menyelesaiakan sengketa hukum diluar pengadi9lan demi
keuntungan para pihak.
b) Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran
waktu yang biasa terjadi.
c) Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya di
ajukan ke pengadilan.
Jacqueline M Nolan-Harley menjelaskan bahwa ADR “ is umbrella
term which refers generally to alternatives to court adjudication of
dispute such a negotation, mediation, arbitration, mini trial and
summary jury trial.”149
Disini Jacqueline M Nolan-Harley menekankan bahwa
penyelesaian sengketa alternatif itu sebagai istila protektif yang
merunjuk secara umum kepada alternatif-alternatif ajudikasi
pengadilan atas konflik, tanpa menyinggung konsiliasi sebagai
bentuk penyelesaian sengketa alternatif.
Blacks Law Dictionary menjelaskan ADR adalah :
Terems refers to procedures setting disepute by means other
than litigation; e.g by arbitration, mediation, mini trial. Such
prosedures which are usually less costly and more
expeditiousm, are increasingly being used in commercial and
labor disepute, divorcee action, in resolving motor vehicle and
medical malpractice tort claims, and in other dispute that would
likely otherwise involve court litigatio150
mengacu pada prosedur pengaturan perselisihan dengan cara
selain litigasi, misalnya melalui arbitrase, mediasi, mini trial.
Dimana prosedur seperti yang biasanya lebih murah semakin
sering digunakan dalam komersial dan perselisihan tenaga
kerja, dalam menyelesaikan kendaraan bermotor dan gugatan
klaim malpraktek medis dan dalam sengketa lain yang
kemungkinan akan dinyatakan melibatkan litigasi pengadilan
148
H Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Suatu Pengantar (Jakarta, Fikahati Aneka, 2002) hal 15 149
Jacqueline M Nolan-Harley, Alternative Dispute Resolution In Arbitration Nushell, (St. Paul. Minn; West Publishing Co. 1992), hal 1-2 150
Henry Campebell, Blacks Law Dictionary, editon ( st Paul..Minn West publising. Co, 1990) hal 78
108
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Abitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Alternative
Penyelesian Sengketa diartikan sebagai lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati
para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara
konsiliasi, mediasi, konsilidasi, atau penilaian para ahli (Pasal 1
angka 10).Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ADR atau
APS adalah suatu proses penyelesaian sengketa dimana para
pihak yang bersengketa dapat membantu atau dilibatkan dalam
menyelesaikan suatu sengketa yang terjadi atau melibatkan pihak
ke tiga yang netral.
d. Teori Penyelesaian Sengketa (Applied Theory)
Teori hukum yang dikemukakan oleh Lucy V. Kazt, 151 yaitu
keberhasilan proses penyelesaian sengketa alternatif melalui
mediasi dikarenakan adanya “equitable and legal remedies” yang
memberikan adanya kesederajatan yang sama dan penggantian
kerugian secara hukum yang harus dihormati oleh para pihak. Para
pihak mempunyai keyakinan bahwa penyelesaian sengketa
melalui mediasi akan mendapat remedy for damages bagi mereka
dengan win-win solution bukan winlose solution. Di sini, para pihak
“sama-sama menang” tidak saja dalam arti ekonomi atau
keuangan, melainkan termasuk juga kemenangan moril dan
151 Lucy V. Katz., “Enforcing An ADR Clause-Are Good Intention All You Have ?,” American Business Law Journal 575, (1988), hal. 588.
109
reputasi (nama baik dan kepercayaan). Selanjutnya, mediasi
memiliki prinsip bahwa putusan tidak mengutamakan
pertimbangan dan alasan hukum, melainkan atas dasar
kesejajaran kepatutan dan rasa keadilan. Selain dapat
mempersingkat waktu penyelesaian, mediasi juga diharapkan
mengurangi beban psikologis yang akan mempengaruhi berbagai
sikap dan kegiatan pihak yang berperkara. Proses mediasi juga
menimbulkan efek sosial, yaitu semakin mempererat hubungan
sosial atau hubungan persaudaraan. Dengan mediasi, dapat
dihindari cara-cara berperkara melalui pengadilan yang mungkin
menimbulkan keretakan hubungan antara pihak-pihak yang
bersengketa.
Sedangkan, penyelesaian sengketa melalui proses mediasi
dapat berjalan lebih informal, terkontrol oleh para pihak serta lebih
mengutamakan kepentingan kedua belah pihak yang bersengketa
untuk mempertahankan kelanjutan hubungan yang telah dibina.
Dalam persfektif equitable apabila terjadi perdamaian tidak
semata-mata atas dasar keputusan hukum atau ekonomi, tetapi
atas dasar pertimbangan kejujuran, hubungan antar pribadi, dan
banyak keinginan yang sulit dimengerti seperti; kebutuhan akan
permintaan maaf, dan pengakuan akan adanya harga diri. Hal ini,
mengakui bahwa kesederajatan dalam mediasi di pengadilan
dapat mengungkapkan sifat manusia yang sering kali sembunyi
110
dibalik topeng hukum (masks of the law).152Equitable and legal
remedies meliputi specific performance, damage remedies, dan
liquidated damages.153 Sebagian besar yang paling sesuai dalam
upaya-upaya hukum untuk penyelesaian (remedy) terhadap
pelanggaran ketentuan penyelesaian sengketa alternatif
berdasarkan keputusan specific performance. Equity akan
memberikan specific performance suatu kontrak ketika upaya-
upaya hukum untuk penyelesaian tidak cukup. Dalam proses
mediasi specific performance (pelaksanaan apa yang dijanjikan
dalam kontrak) akan memerlukan pemeliharaan hubungan baik
antara para pihak, hal ini berada dalam pemecahan masalah yang
akan dirundingkan oleh kedua belah pihak yang bersengketa.
Kedua belah pihak itu akan saling berinteraksi dalam suatu proses
yang dirancang untuk mengurangi permusuhan dengan
meningkatkan komunikasi, memperbaiki hubungan dan membantu
para pihak mencapai kesepakatan. 154 Damage remedies, bagi
pihak yang tidak melanggar mungkin mampu mendapatkan
kembali pentingnya ganti rugi (damages). Hak untuk mendapatkan
ganti rugi karena itikad buruk (bad faith) dalam penyelesaian
sengketa alternatif dapat diterima. Suatu perbuatan berdasarkan
152Jacqueline M. Nolan Haley. “Court Mediation And The Search For Justice Through Law”, Washington University Law Quartely 74, (1996), hal. 84. 153
Lucy V. Katz, Op.Cit. 590. 154
Joel Lee, “The Enforceability of Mediaton Clauses in Sngapore,” Singapore Journal of Legal Studies 229, (1999), hal. 243.
111
itikad buruk atau berbohong dalam perjanjian merupakan
kesalahan, karena bersumber dari :
“that covenant of good faith and fair dealing requires that
neither party do anything which will deprive the other of the
benefit of the agreement.”
"Bahwa perjanjian itikad baik dan kesepakatan yang adil
mensyaratkan bahwa kedua belah pihak tidak melakukan
sesuatu yang akan menghilangkan manfaat lain dari
kesepakatan tersebut."
Upaya hukum untuk penyelesaian ganti rugi terhadap itikad
buruk dari kesepakatan ada ketika setiap pihak menyangkal
kewajiban atau menolak untuk melaksanakan tanpa alasan.
Selanjutnya, dalam liquidated damages dapat dilaksanakan
dengan syarat-syarat tertentu yang meliputi ganti rugi yang sulit
diperkirakan dan kerugian yang dapat diantisipasi. Dimana harus
ada beberapa indikasi pada waktu kesepakatan itu dirundingkan
dapat diterima dan menguntungkan kedua belah pihak. Namun,
bagaimanapun proses pengakuan ganti rugi itu sendiri terjadi tidak
berubah dari prinsipnya yaitu melalui sebuah proses penyelesaian
yang adil dan jujur. Berbeda dengan proses pengadilan yang
menciptakan ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah
(win-lose), dan bahkan sering juga pihak yang menang di
pengadilan merasa seperti pihak yang kalah karena ada
112
pembatasan terhadap ganti kerugian, dan ada penundaan
terhadap biaya kerugian.155
Penyelesaian sengketa melalui mediasi juga dapat mengurangi
permusuhan dan mengizinkan para pihak mengontrol hasil
penyelesaian sengketanya dengan satu penekanan kenetralan,
tanggung jawab individu, dan kewajaran timbal balik yang ada
dalam mediasi. Penyelesaian sengketa dengan mediasi juga
mengizinkan para pihak menemukan suatu penyelesaian yang
sesuai dengan keinginan mereka, bahkan terhadap persetujuan
yang mereka sepakati bersama.156 Selain itu, mediasi juga memiliki
kapasitas untuk mengakui adanya secara psikologis akan adanya
kebutuhan-kebutuhan rohani dari para pihak, termasuk kebutuhan
untuk berdamai, memaafkan, dan untuk dimaafkan.157
G. Kerangka Pikir
Penelitian ini dititk beratkan pada peranan lembaga mediasi
perbankan dalam penyelesaian sengketa nonlitigasi. Didalam
ketentuan bank Indonesia lembaga khusus yang menangani yaitu
lembaga mediasi perbankan bank Indonesia (BI). Lembaga ini
bertugas untuk menyelesaikan penyelesaian secara nonlitigasi (di luar
pengadilan).Lembaga ini terbentuk sesuai dengan Peraturan Bank
155Danny Ciraco, “Forget The Mechanics And Bring In The Gardeners,” University of Baltimore Intellectual Property Law Journal 9, (2000), hal. 81 156
Bridget Genteman Hoy, “The Draft Uniform Mediation Act In Context: Can It Clear Up The, Clutter?”, Saint Louis University Law Journal 44, (Summer 2000), hal. 1125. 157
Jacqueline M. Nolan-Haley, “The Merger Of Law And Mediation: Lessons From Equity Jurisprudence And Roscoe Pound,” Cardozo Journal of Conflict Resolution 6, (2004), h. 69.
113
Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006. Mediasi adalah proses penyelesaian
sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang
bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan
sukarela terhadap sebagian atau seluruh masalah yang
disengketakan.
Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini mengkaji lebih
lanjut peranan lembaga mediasi perbankan dalam penyelesaian
sengketa nonlitigasi, dengan variabel pertamanya bagaimana
kedudukan hukum mediasi perbankan dalam penyelesaian sengketa
nonlitigasi dengan indikatornya bentuk pengaturan, kewenangan dan
struktur kelembagaan variabel pertama tersebut termasuk dalam tipe
penelitian hukum normatif (legal research) pendekatan yang
dipergunakan dalam penelitian normatif ini adalah pendekatan
perundang-undangan (status approach), 158 dan pendekatan
konseptual (conseptual approach) 159 dan pendekatan perbandingan
(comparativeapproach), 160 yang fokus penelitiannya tertuju pada
bahan-bahan hukum tertulis, kemudian mengkaji secara mendalam
dengan menganalisa isi (content analysis) peraturan perundang-
undangan yang ada.
158
Lihat : Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta; 2007. hal 93, bahwa pendekatan-pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. 159
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang
2005, hal 252, bahwa pengunaan pendekatan konsep tertuju pada hal-hal yang berkaitan dengan fokus penelitian . 160
Menurut Peter Mahmud Marzuki, Op Cit, hal 132 bahwa pendekatan perbandingan hukum dilakukan dengan mengadakan studi perbandingan hukum.
114
Selanjutnya dalam variabel yang kedua adalah pelaksanaan
mediasi perbankan dapat menyelesaiakan sengketa di bidang
perbankan indikatornya penyelesaian sengketa perkreditan,
penyelesaian sengketa kartu kredit dan penyelesaian sengketa ATM
dan pada variabel yang ketiga adalah pelaksanaan
putusan/kesepakatan dengan indikatornya terhadap bank maupun
terhadap nasabah. Kemudian baik variabel yang kedua maupun yang
ketiga mengunakan kajian secara empiris dengan pendekatan
sosiologi terhadap fakta hukum/ data hukum yang ada yang bertujuan
untuk mengetahui secara faktual keadaan yang sebenarnya yang
terjadi dilapangan (masyarakat).
Dengan demikian, jika ketiga variabel tersebut berserta masing-
masing indikatornya terharmonisasi dengan baik, maka diharapkan
akan dapat terwujudnya penyelesaian sengketa dibidang perbankan
yang efisensi dan berkeadilan. Untuk lebih jelasnya dapat tercermin
dalam bagan kerangka pikir berikut ini
115
Bagan 1 :
Bagan KerangkaPikir :
Peranan Lembaga Mediasi
Perbankan
Landasan Teori :
- Teori Keadilan
- Teori Perlinduangan Hukum
- Teori Sengketa
- Teori Penyelesaian Sengketa
Landasan Hukum :
- UU No. 30 Tahun 1999
- PBI No 7/7/PBI/2005
- Perma No 1tahun 2016
- PBI No 8/5/2006
- POJK No 1/POJK.07/2013
- POJK No 1/POJK.07/2014
-SEOJK No 2/SOJK.07/2014
Pelaksanaan MediasiPerbankan
1. Penyelesaian Sengketa
Perkreditan
2. Penyelesaian Sengketa Kartu
Kredit
3. Penyelesaian Sengketa ATM
Pelaksanaan Putusan/
Kesepakatan
1. Terhadap BANK
2. Terhadap
Nasabah
Kedudukan Hukum
1. Kewenangan
2. Kompetensi
3. Struktur
Kelembagaan
Terwujudnya Lembaga Mediasi
Perbangkan Yang Efektif Dalam
Menyelesaikan Sengketa Antara
Bank Dan Nasabah Bank.
116
H. Defenisi Operasional
Agar permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dapat dipahami
secara jelas dan tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda, maka
perlu dikemukakan batasan-batasan dari beberapa istilah yang
digunakan, antara lain :
1. Mediasi ialah proses penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh
mediator dengan tidak memiliki kewenangan memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian.
2. Kedudukan Hukum ialah hukum memiliki kekuasaan penuh dalam
mengatur aplikasi keadilan dalam penyelenggaraan negara atau
menjunjung tinggi hukum sebagai dasar bersikap dan berperilaku.
3. Kewenangan ialah kekuasaan membuat keputusan memerintah
dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.
4. Kompetensi ialah ketentuan yang terkait dengan kewenangan
dalam penyelesaian sengketa
5. Struktur kelembagaan ialah kerangka organisasi yang merupakan
visualisasi dari tugas dan wewenang serta tanggung jawab.
Jabatan dan jumlah pejabat serta batas-batas formal dalam hal
apa lembaga itu beroprasi.
6. Peranan lembaga Mediasi Perbankan ialah sebuah lembaga atau
unit yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaiakan
pertikaian atau perselisihan antara pihak nasabah dan bank guna
117
mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela
terhadap sebagian atau seluruh permasalahan yang
disengketakan.
7. Penyelesaian sengketa Perkreditan ialahpenyelesaian kredit
bermasalah melalui perundingan kembali antara kreditur dan
debitur dengan memperingan syarat-syarat pengembalian kredit
sehingga diharapkan debitur memiliki kemampuan untuk
menyelesaikan kredit.
8. Penyelesaian sengketa Kartu Kredit ialah penyelesaian kartu
kredit bermasalah Sebagai alat transaksi yang tidak lepas dari
kekeliruan yang bersifat teknis maupun kesalahan yang bersifat
yuridis yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban para pihak yang terkait dengan transaksi menggunakan
kartu kredit.
9. Penyelesaian sengketa ATM ialah penyelesaian yang terkait
dengan pengunaan ATM, yang sering menimbulkan kerugian bagi
nasabah ketika mengunakan mesin ATM untuk menarik uangnya
10. Pelaksanaan Putusan atau Kesepakatan ialah pelaksanaan atau
penerapan hasil dari penyelesaian sengketa tersebut.
11. Terhadap Bank ialah bank harus melaksanakan putusan
kesepakatan yang telah di mediasi
12. Terhadap Nasabah ialah nasabah wajib melaksanakan putusan
kesepakatan dengan itikad baik
118
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Penelitian ini adalah metode penelitian hukum (legal research)
yang bersifat empiris, yakni penelitian untuk mengkaji konsep-konsep
hukum terkait dengan lembaga mediasi perbankan dalam
pelaksanaannya di lapangan.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-
undangan (statuta approach), pendekatan konseptual (conceptual
approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan
sosiologi
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Pemerintah Provinsi Papua
tepatnya di Bank Indonesia Perwakilan Propinsi Papua terletak di Kota
Jayapura, ibu kota Provinsi Papua, yang memiliki wilayah
pengawasan terhadap bank-bank dengan karakteristik penelitian
kesamaan di berbagai daerah, khususnya berkaitan dengan peranan
lembaga mediasi perbankan. Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura
alasan pemilihan ini terkait dengan ada tidaknya penetapan
pengadilan terkait dengan akta perdamaian yang di laksanakan oleh
mediasi perbankan. Advokat atau pengacara pemilihan advokat atau
pengacara terkait dengan adanya kewenangan mereka dalam
119
penaganan kasus-kasus perdata dalam kaitannya dengan mediasi
perbankan.
Kabupaten kerom, dengan melakukan pemilihan kabupaten ini
sebagai tempat penelitian karna terdapat beberapa nasabah yang
belum mengetahui atau mendapat informasi terkait dengan proses
penyelesaian pengaduan maupun proses mediasi perbankan ketika
terjadi sengketa antara nasabah dengan bank.
Kabupaten Jayapura (sentani),dengan melakukan pemilihan
kabupaten ini penelitian ini sebagai tempat penelitian karna terdapat
beberapa nasabah yang belum mengetahui atau mendapat informasi
terkait dengan proses penyelesaian pengaduan maupun proses
mediasi perbankan ketika terjadi sengketa antara nasabah dengan
bank
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah
pihak-pihak yang terlibat langsung dalam penyelesaian sengketa
mediasi perbankan seperti pimpinan pada Bank Indonesia
Perwakilan Provinsi Papua, Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas
1A Jayapura, Advokat / Pengacara serta Nasabah.
120
2. Sampel Penelitian
Sampel yang ditarik dalam penelitian purposif sampling, yaitu
sampel ditentukan sendiri oleh penulis. Dengan demikian maka
sampel dalam penelitian ini adalah :
a. Bank Indonesia Perwakilan Propinsi Papua 2 orang. alasan
pemilhan 2 orang tersebut berkaitan dengan kewenanganya
yaitu sebagai pimpinan Kepala Kantor Perwakilan Provinsi
Papua dan Kepala Bagian Kredit yang berkaitan dengan
mediasi perbankan.
b. Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura sebanyak 3
orang, alasan pemilihan hakim tersebut di karenakan ingin
mengetahui informasi tentang ada atau tidaknya penetapan
pengadilan terkait akta perdamaian yang berasal dari mediasi
perbankan.
c. Advokat atau Pengacara sebanyak 3 orang, alasan pemilihan
advokat ini di karenakan mereka sering mendampingi klein
yang terkait dengan kasus perbankan maupun pada saat
mediasi perbankan serta tangapan terhadap pelaksanaan
ketentuan mediasi perbankan
d. Kabupaten Kerom yaitu nasabah pada Bank BNI Kantor
Cabang Pembantu Kabupaten kerom sampel yang di ambil
berjumlah 15 orang
121
e. Kabupaten Jayapura yaitu terkait dengan nasabah pada Bank
Mandiri Cabang Pembantu Kabupaten Jayapura dan Bank
Danamond sampel yang di ambil berjumlah 30 orang, dengan
demikian jumlah responden 53 orang
D. Jenis dan Sumber Data
penelitian ini adalah penelitian data kualitatif yang terdiri dari data
primer dan data sekunder, keduanya saling melengkapi dan
mendukung. Sumber data yang digunakan sebagai dasar untuk
menunjang hasil penelitian adalah :
1. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
lapangan penelitian yang bersumber dari:
a. nasabah,
b. pimpinan maupun kepala perkerditan pada kantor Bank
Indonesia Perwakilan Propinsi Papua
c. Hakim dan
d. advokat atau Pengacara
2. Data sekunder adalah data yang diperoleh berupa sumber-sumber
resmi seperti dokumen-dokumen termasuk juga literatur bacaan
lainnya seperti majalah maupun ketentuan perundang-undangan
yang sangat berkaitan dengan pembahasan penelitian ini.
E. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara :
1. Penelitian Kepustakaan
Penelitian kepustakaan (library research) dilakukan dengan
membaca buku-buku, majalah-majalah dan sejenisnya yang relevan
122
dengan permasalahan yang akan dibahas dalam topik permasalahan
ini.
2. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan (field research) dilakukan untuk
memperoleh data primer dengan melakukan kuisoner atau daftar
pertanyaan dan wawancara yaitu mendatangi responden dengan
melakukan tanya jawab.
F. Analisis Data
Dalam penelitian ini digunakan analisis kualitatif yaitu analisis
untuk menganalisis data yang tidak dapat di kuantifikasi seperti bahan
pustaka, hasil wawancara, peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan masalah yang di kaji
Adapun data yang di peroleh dari responden melalui angket secara
terstruktur dilapangan untuk kepentingan kuantifikasi data, di
pergunakan dalam bentuk deskriptif dengan analisis tabel frekuensi
atau persentase dengan rumus :
P = f/N x 100% = ...keterangan : P = Persentase , F = Frekuensi.
N = Jumlah responden
123
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hukum
1. Kewenangan
Kedudukan hukum Bank Indonesia (Bank Indonesia
Perwakilan Provinsi Papua) mempunyai kewenangan hanya
mengatur dan mengawasi bank-bank yang ada di wilayahnya.
Bank Indonesia tidak mempunyai kewenangan mengambil
keputusan atau menyelesaikan sengketa antara nasabah dengan
bank. Bank indonesia harus memiliki independesi atau
kemandirian dalam menjalankan kewenangan dan tugasnya. hal
ini sejalan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang
Bank Indonesia yang menyatakan bahwa “ Bank Indonesia adalah
lembaga negara yang indepeden dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya”. Namun Sejalan dengan amanat Pasal 34 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia maka
dibentuk lembaga pengawas pada jasa keuangan melalui Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
(untuk selanjutnya disebut UU OJK). OJK merupakan lembaga
negara yang mempunyai fungsi regulasi (pengaturan) dan
supervisi (pengawasan) terhadap seluruh kegiatan di dalam sektor
jasa keuangan. Sektor jasa keuangan tersebut meliputi, jasa
124
keuangan di sektor perbankan, kegiatan jasa keuangan di sektor
pasar modal dan kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian,
dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan
lainnya.
Kemudian Ketentuan yang di atur didalam Peraturan Bank
indonesia Nomor 8 / 5 / PBI / 2006 tentang mediasi perbankan
sebagaimana telah di ubah oleh Peraturan Bank Indonesia Nomor
10 / 1 / PBI / 2008 tentang perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8 / 5 / PBI / 2006 tentang mediasi perbankan
belum mencerminkan sifat sukarela dari para pihak yang
bersengketa dalam memilih lembaga mediasi dan mediator
sebagai alternative penyelesaian sengketa.
OJK sendiri telah menerbitkan Peraturan No.1/POJK.07/2013
Tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen
Pada Pelaku Jasa Keuangan dan Peraturan No 1/POJK.07/2014
Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa
Keuangan, namun tidak menjelaskan secara mendetail mengenai
prosedur mediasi perbankan, melainkan menjelaskan secara
umum mengenai prosedur mediasi jasa keuangan meliputi pasar
modal, peransuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan
lembaga jasa keuangan lainnya. Berbeda dengan Bank Indonesia
yang sebelumnya mengatur mediasi perbankan secara khusus
melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/10/PBI/2008 Tentang
125
Mediasi Perbankan dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
8/14/DPNP/2006 Tentang Mediasi Perbankan, dimana Peraturan
Bank Indonesia dan Surat Edaran tersebut telah memberikan
pemahaman secara mendetail mengenai prosedur mediasi
perbankan.
OJK memiliki berbagai kewenangan, baik dalam rangka
pengaturan maupun pengawasan sektor jasa keuangan.
Kewenangan di bidang pengaturan diperlukan dalam
mengimplementasikan berbagai ketentuan baik yang diatur dalam
Undang – Undang OJK maupun Undang- Undang di sektor jasa
keuangan lainnya, yang ditetapkan dalam bentuk peraturan OJK
maupun Peraturan Dewan Komisioner. Adapun untuk
melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai beberapa
wewenang antara lain melakukan pengawasan, pemeriksaan,
penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap
Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan
jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan, termasuk
kewenangan perizinan kepada Lembaga Jasa Keuangan.
Secara substansial bisa dikatakan bahwa kewenangan OJK
merupakan amanat konstitusi yang bertujuan agar sektor jasa
keuangan berjalan dengan tertib, teratur, adil, transparan, serta
126
akuntabel.Tujuan ini pada akhirnya diharapkan dapat mewujudkan
sistem keuangan yang stabil dan berkelanjutan.1
Peraturan Bank Indonesia adalah sebuah aturan hukum.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004, sumber hukum fomal yang berlaku saat ini adalah Undang-
Undang Dasar 1945, Undang-Undang / Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, dan Peraturan Daerah 2 sebagaimana diatur dalam Pasal
7 ayat (4) UU Nomor 10 Tahun 2004, bahwa jenis peraturan
perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi. Kemudian dalam Penjelasan dinyatakan bahwa jenis
peraturan perundang-undangan tersebut antara lain peraturan yang
dikeluarkan oleh MPR dan DPR, DPD, MA, MK, BPK, BI, dan Iain-
lain.
Dalam Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1992, sebagaimana
telah diubah Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, tidak terdapat pengaturan secara khusus tentang
1 Hermansyah, 2012, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Ed.2, Kencana, Jakarta, hlm 228 2 Febrian, Eksistensi Kelembagaan Mediasi Perbankan Dalam Peraturan Bank Indonesia
Terhadap Sistem Aturan Hukum, disampaikan pada “Diskusi Terbatas Mengenai Mediasi
Perbankan, Kerjasama Bank Indonesia dengan Kajian Hukum Bisnis Fakultas Hukum
Sriwijaya”, (Palembang, tanggal 12 April 2007), hal. 13
127
mediasi perbankan. Namun jika dikaitkan dengan Undang - Undang
Nomor 10 tahun 2004, maka Peraturan Bank Indonesia mediasi
perbankan dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. 3 Adapun peraturan yang lebih tinggi atau
berkaitan dengan mediasi perbankan adalah :
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 42 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3821);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun l999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4357);
4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3872);
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang
Penyelesaian Pengaduan Nasabah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 17, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4476)4
6. Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan (“POJK No.1/2013”);
3 Ibid, hal. 14
4 Lihat Konsiderans PBI Mediasi Perbankan
128
7. Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa (“POJK No. 1/2014”); dan5
8. Surat Edaran OJK No. 2/SEOJK.07/2014 tanggal 14 Februari
2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan
Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan (“SE OJK No.
2/2014”)
Perlindungan nasabah yang kuat diperlukan untuk
pembentukan sebuah sistem perbankan yang mantap, yang pada
akhirnya bermuara pada sebuah sistem perbankan yang efisien,
kuat, dan mantap guna menciptakan stabilitas sistem keuangan
yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itulah
terkait dengan perlindungan hukum terhadap nasabah, maka
peneliti ingin memperkuat hal tersebut dengan teori hukum yang di
kemukakan oleh Marulak Pardede dengan dua teori yaitu teori
perlindungan secara impilisit (implicit deposit protection), d a n
teori perlindungan secara eksplisit (Explicit deposit protection).6
Mengenai teori perlindungan secara implisit (implicit deposit
protection), yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan
dan pembinaan bank yang efektif, yang dapat menghindarkan
terjadinya kebangkrutan bank. Perlindungan ini yang diperoleh
melalui: (1) peraturan perundang-undangan dibidang perbankan,
(2) perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan
5 lihat salinan konsiderans POJK tentang Perlindungan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan & salinan Konsiderans POJK tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa serta SEOJK tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan Bab IV, hlm 5 6 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Pernada Media grup,
Jakarta2011, hlm., 145
129
yang efektif, yang dilakukan oleh bank Indonesia, (3) upaya
menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah lembaga pada
khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada
umumnya, (4) memelihara tingkat kesehatan bank, (5) melakukan
usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian, (6) cara pemberian
kredit yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah, dan
(7) menyediakan informasi risiko pada nasabah.7
Mengenai teori perlindungan secara eksplisit (Explicit deposit
protection), yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga
yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga apabila bank
mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti
dana masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal
tersebut, perlindungan ini diperoleh melalui pembentukan lembaga
yang menjamin simpanan masyarakat, sebagaimana diatur dalam
Keputusan Presiden RI Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan
terhadap Kewajiban Bank Umum.8
Kemudian dalam rangka mewujudkan perlindungan yang kuat,
maka Bank Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan
terkait yakni Peraturan Bank Indonesia Nomor. 7/6/PBI/2005,
Peraturan Bank Indonesia Nomor. 7/7/PBI/2005, dan Peraturan
Bank Indonesia Nomor.8/5/PBI/2006, di samping itu juga OJK
sendiri juga dalam hal yang sama mengelurkan beberapa peraturan
7 Marulak Pardede, Likuidasi Bank dan Perlindungan Nasabah, (Jakarta Sinar Harapan,
1998) hlm 133 - 134 8 Ibid, hlm 146
130
terkait dengan perlindungan konsumen seperti Peraturan OJK No.
1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan, Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Surat Edaran OJK No.
2/SEOJK.07/2014 tanggal 14 Februari 2014 tentang Pelayanan dan
Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa
Keuangan
Penerbitan Peraturan Bank Indonesia Nomor. 7/6/PBI/2005
tanggal 20 Januari 2005 tentang “Transparansi Informasi Produk
Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah” dan Peraturan Bank
Indonesia Nomor. 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang
“Penyelesaian Pengaduan Nasabah” yang menjadi bagian dari
Paket Kebijakan Perbankan Januari 2005 merupakan titik tolak
dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor .8/5/PBI/2006
tanggal 30 Januari 2006 tentang “Mediasi Perbankan” sebagai
bagian dari Paket Kebijakan Perbankan Januari 2006, yang
merupakan realisasi dari upaya bank Indonesia untuk
menyelaraskan kegiatan usaha perbankan dengan amanat Undang
– Undang Perlindungan Konsumen yang mewajibkan adanya
kesetaraan hubungan antara pelaku usaha (bank) dengan
konsumen (nasabah), Sebagai bagian dari Paket Kebijakan
Perbankan, penerbitan ketiga ketentuan tersebut akan dapat
membawa dimensi baru dalam pengaturan perbankan dengan turut
131
diperhatikannya pula kepentingan nasabah secara eksplisit sebagai
aspek penting yang turut mempengaruhi perkembangan
perbankan. 9Adapun penjelasan lebih lanjut tentang Peraturan Bank
Indonesia yang terkait dengan pembentukan mediasi perbankan
sebagai berikut:
a. Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data
Pribadi Nasabah.
Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor. 7/6/PBI/2005
diatur ketentuan yang mewajibkan bank untuk senantiasa
memberikan informasi yang cukup kepada nasabah maupun
calon nasabah mengenai produk-produk yang ditawarkan bank,
baik produk yang diterbitkan oleh bank itu sendiri maupun
produk lembaga keuangan lain yang dipasarkan melalui bank.
Peraturan Bank Indonesia ini mensyaratkan bahwa informasi
yang disediakan untuk nasabah haruslah memenuhi kriteria-
kriteria yang ditetapkan, antara lain mengungkapkan secara
berimbang manfaat, risiko, dan biaya-biaya yang melekat pada
suatu produk. Selain itu, dalam Peraturan Bank Indonesia
diatas diatur pula bahwa penyampaian informasi harus
dilakukan dengan memenuhi standar tertentu, antara lain harus
dapat dibaca secara jelas, tidak menyesatkan, dan mudah
9 Muliaman D. Hadad , “Perlindungan dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam Arsitektur
Perbankan Indonesia,” Http://www.bi.go,id, diakses tgl 19 Nov 2015
132
dimengerti. Pada bagian lainnya, Peraturan Bank Indonesia
tersebut juga mengatur mengenai pembatasan penggunaan
data pribadi nasabah hanya untuk kepentingan internal bank.
Dari perspektif regulator, penerbitan Peraturan Bank
Indonesia tersebut memiliki dua tujuan, yaitu untuk melindungi
dan memberdayakan nasabah serta untuk meningkatkan aspek
good governance pada bank. 10 Dari sisi perlindungan dan
pemberdayaan nasabah, implementasi efektif dari Peraturan
Bank Indonesia tersebut akan dapat meningkatkan
pemahaman nasabah mengenai suatu produk sehingga
nasabah akan memiliki bekal yang cukup untuk memutuskan
apakah produk bank yang akan dimanfaatkannya sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan keuangannya. Agar
informasi yang diterima oleh nasabah tidak simpang siur dan
terdapat kejelasan mengenai karakteristik produk bank yang
sebenarnya, maka pemberian informasi tersebut diarahkan
untuk memenuhi kriteria tertentu dan terstandarisasi. Oleh
karena itu, diperlukan pengaturan yang secara spesifik dapat
mengarahkan pemberian informasi yang lengkap, akurat,
terkini, dan utuh. Selain itu, pembatasan penggunaan data
pribadi nasabah akan meningkatkan rasa aman dan nyaman
nasabah dalam berhubungan dengan bank karena untuk dapat
10 http://lawyerindonesia.blogspot.eom/2007/8/pei-lindungan-nasabah-dalara-sistem.litml, diakses pada tanggal 29 November 2015
133
memberikan data pribadi nasabah kepada pihak lain untuk
tujuan komersial bank harus terlebih dahulu meminta ijin
kepada nasabah yang bersangkutan (kecuali ditetapkan lain
oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku).
Pada sisi lain, penerapan Peraturan Bank Indonesia
Nomor. 7/6/PBI/2005 secara konsisten dan efektif juga akan
membawa manfaat pada bank berapa peningkatan good
governance karena mekanisme dan tata cara penggunaan
produk, termasuk hak dan kewajiban nasabah dan bank, wajib
diungkapkan secara transparan dalam pemberian informasi
produk bank kepada nasabah sehingga secara tidak langsung
akan dapat mengurangi penyimpangan-penyimpangan dalam
kegiatan operasional bank. Selain itu, pembatasan penggunaan
data pribadi nasabah hanya untuk keperluan internal bank juga
akan memberikan perlindungan kepada bank dari tuntutan
hukum karena hak-hak pribadi nasabah terlindungi dengan
baik.
b. Penyelesaian Pengaduan Nasabah
Pada Peraturan Bank Indonesia Nomor. 7/7/PBI/2005
tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah, bank Indonesia
mewajibkan seluruh bank untuk menyelesaikan setiap
pengaduan nasabah yang terkait dengan adanya potensi
kerugian finansial pada sisi nasabah. Dalam POJK No.1/2013
134
mewajibkan setiap bank untuk memiliki unit yang dibentuk
secara khusus di setiap kantor bank untuk menangani dan
menyelesaikan pengaduan yang diajukan oleh konsumen tanpa
dipungut bayaran. hal yang sama juga di atur di dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor. 7/7/PBI/2005 tentang
Penyelesaian Pengaduan Nasabah Pasal 4 ayat (1) Bank
wajib memiliki unit dan atau fungsi yang di bentuk secara
khusus di setiap kantor bank untuk menangani dan
menyelesaikan pengaduan yang di ajukan oleh nasabah dan
atau perwakilan nasabah. Kemudian dalam Peraturan Bank
Indonesia ini diatur mengenai tata cara penerimaan,
penanganan, dan juga pemantauan penyelesaian pengaduan.
Selain itu, bank diwajibkan pula untuk memberikan laporan
triwulanan kepada bank Indonesia mengenai pelaksanaan
penyelesaian pengaduan nasabah tersebut, dengan demikian
maka baik Peraturan Bank Indonesia maupun Peraturan OJK
dalam pelaksanaannya harus mementingkan nasabah /
konsumen
Pada prinsipnya, baik Peraturan Bank Indonesia maupun
Peraturan OJK diatas mengatur bahwa bank atau OJK tidak
diperkenankan menolak setiap pengaduan yang diajukan
secara lisan maupun tertulis. Untuk pengaduan lisan, bank
wajib menyelesaikannya dalam waktu 2 hari kerja sedangkan
135
untuk pengaduan tertulis wajib diselesaikan dalam waktu 20
hari kerja dan dapat diperpanjang hingga 20 hari kerja
berikutnya apabila terdapat kondisi-kondisi tertentu.11
Untuk memastikan bahwa bank telah melaksanakan
ketentuan penyelesaian pengaduan nasabah, maka setiap
triwulan bank diwajibkan menyampaikan laporan kepada Bank
Indonesia mengenai kasus-kasus pengaduan yang sedang dan
telah diselesaikan oleh bank. Laporan ini nantinya akan disusun
sedemikian rupa sehingga akan mudah diketahui produk apa
yang paling bermasalah dan jenis permasalahan yang paling
sering dikemukakan nasabah. Melalui laporan ini pula bank
Indonesia akan dapat memantau permasalahan yang
kemungkinan dapat berkembang menjadi permasalahan yang
bersifat sistemik sehingga dapat segera dilakukan langkah-
langkah preventif untuk mencegah ekskalasi permasalahan
yang dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat pada
lembaga perbankan. Penerbitan Peraturan Bank Indonesia
Penyelesaian Pengaduan Nasabah ini memiliki dua tujuan
utama yaitu untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan
masyarakat pada lembaga perbankan dan untuk menurunkan
11
Lihat Pasal 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah
136
publikasi negatif terhadap bank yang dapat mempengaruhi
reputasi bank tersebut 12
Tabel 4.1 Pengertian tentang Mediasi Perbankan yang Terdapat
Pada Sumber Hukum yang Terkait
No
Nama dan Bentuk Peraturan
Perundang-Undangan
Di ataur dalam
Pasal /Penjelasan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Peraturan Bank Indonesia
Nomor : 10 / 1 / PBI / 2008
Peraturan Bank Indonesia
Nomor : 8 / 5 / PBI / 2006
Surat Edaran Nomor : 8 / 14 / DPNP
Peraturan Bank Indonesia
Nomor : 7 / 7 / PBI / 2005
Surat Edaran Nomor : 7 / 24 / DPNP
Peraturan Bank Indonesia
Nomor : 10 / 10 / PBI / 2008
Surat Edaran Nomor : 10 / 13 /
DPNP
Peraturan OJK No.
1/POJK.07/2013
Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2014
Surat Edaran OJK No.
2/SEOJK.07/2014
Pasal 3 Ayat (1)
Bab II Pasal 3
Perihal : Mediasi
Perbankan
Pasal 2 Ayat (2)
Perihal :
Penyelesaian
Pengaduan
Pasal 16 Ayat (1),
(2), (3)
Perihal :
Perubahan atas
surat Edaran
Nomor : 7 / 24 /
DPNP Tentang
Penyelesaian
Pengaduan
Bab I Ketentuan
Umum Pasal 1
Ayat (3)
Bab I Ketentuan
Umum Pasal 1
Ayat (2)
Bab IV
12
Lihat Penjelasan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah
137
Dari tabel tersebut di atas dapat di jelaskan bahwa pelaksanaan
ketentuan mengenai mediasi perbankan dalam Pasal 3 ayat (1)
Peraturan Bank Indonesia Nomor .10/I/PBI/2008 tentang
perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor .8/5/PBI/2006
diatur :
Mediasi di bidang perbankan dilakukan oleh lembaga mediasi
Perbankan Independen yang dibentuk asosiasi Perbankan.
Dari uraian penjelasan pasal tersebut peneliti berpendapat
bahwa pelaksanaan pembentukan lembaga mediasi perbankan ini
harus di perjelas proses pembentukannya, termasuk
pembentukannya pada tingkat atau unit – unit yang terdapat pada
masing-masing bank ataukah pada bank Indonesia dalam hal ini
Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Papua sebagai tempat
pelaksanaan proses mediasi. Dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor .1/POJK.07/2013 mewajibkan setiap bank untuk
memiliki unit yang dibentuk secara khusus di setiap kantor bank
untuk menangani dan menyelesaikan pengaduan yang diajukan
oleh Konsumen tanpa dipungut bayaran. Pengaduan harus didasari
atas adanya kerugian/potensi kerugian finansial pada Konsumen
karena kesalahan atau kelalaian bank..
Kemudian pada tabel tersebut juga pada penjelasan Bab II
Pasal 3 yaitu tentang penyelenggara mediasi perbankan, menurut
peneliti bahwa sebagaimana yang sudah di amanatkan dalam
Peraturan Bank Indonesia tersebut yang mana penyelengaraan
138
mediasi perbankan di laksanakan oleh bank Indonesia, maka perlu
adanya suatu kajian normatif tidak hanya pelaksanaan mediasi
tersebut di laksanakan oleh pihak bank Indonesia tetapi harus juga
dilaksanakan oleh bank-bank yang bernaung di bawa bank
Indonesia dalam bentuk pembentukan unit-unit kecil yang
mempunyai kewenangan dalam penyelenggaran mediasi
perbankan atau juga di perkuat dengan ketentuan yang di
tetapakan di dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut.
Terkait dengan surat edaran yang di keluarkan oleh Bank
Indonesia kepada seluruh bank dan nasabah bank tentang perihal
mediasi perbankan sebagaimana yang tertera di dalam tabel
tersebut diatas, maka menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh
penelti, barangkali untuk pihak bank menyangkut surat edaran hal
tersebut sudah menjadi bagian yang harus dilksanakan oleh setiap
bank tentang pelaksanaan mediasi perbankan tersebut. Namun
sebaliknya untuk nasabah informasi tentang surat edaran
pelaksanaan mediasi perbankan tidak menggetahui atau tidak
mendapat informasi bahwa adanya pelaksanaan mediasi
perbankan sebagai mana yang di jelasakan dalam surat edaran
dimaksud hal ini lah yang harus di perhatikan dan di pahami oleh
pihak bank dalam memberikan informasi tentang pelakasanaan
mediasi perbankan sebagaimana yang di amantakan dalam surat
edaran tersebut
139
Dalam tabel tersebut diatas terkait dengan Pasal 1 ayat (2),
menyangkut penyelesaian pengaduan nasabah dimana jelaskan
bahwa :
Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank, termasuk
pihak yang telah memiliki rekening namun memanfaatkan jasa
bank untuk melakukan transaksi (walk in customer)
Menurut peneliti dari hasil penelitian bahwa dalam pelaksanan
penyelesaian pengaduan oleh nasabah, maka perlindungan
terhadap nasabah sangatlah penting, sering kali nasabah berada
pada posisi lemah yang harus mengikuti ketentuan yang sudah di
tetapkan oleh pihak bank. seharusnya adanya ketentuan hukum
atau pasal yang diatur di dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor :
7 / 7 / PBI / 2005 yang menyangkut perlindungan hukum terhadap
nasabah bukan hanya tentang proses penyelesaian pengaduan
oleh nasabah, hal inilah yang sering menjadi kelemahan dari
pelaksanaan ketentuan Peraturan Bank Indonesia tersebut.
Kemudian di dalam tabel diatas dijelasakan pula tentang
pelaksaan surat edaran yang di keluarkan oleh bank Indonesia
menyangkut penyelesaian pengaduan nasabah, maka menurut
peneliti bahwa pelaksanaan surat edaran dimaksud harus juga di
informasikan kepada nasabah sehingga nasabah dapat mengetahui
atau dapat mengimplementasikan surat edaran tersebut . Hal inilah
yang kurang mendapat perhatian dari pihak bank
140
Pada point yang selanjutnya dari tabel tersebut diatas yang
menyangkut Peraturan Bank Indonesia tentang perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7 / 7 / PBI / 2005 , Pasal 16 ayat
(1), (2) dan (3) serta perubahan surat ederan Nomor : 7 / 24 /
DPNP Tentang Penyelesaian Pengaduan, maka menurut peneliti
bahwa pelaksanan Peraturan Bank Indonesia, maupun penerbitan
surat edaran tentang perubahan penyelesaian pengaduan oleh
nasabah, kiranya di sertai juga adanya penetapan pasal – pasal
maupun penjelasan-penjelasan dalam surat edaran terkait dengan
perlindungan hukum bagi nasabah, karna hal tersebut sangatlah
penting sehingga nasabah merasa nyaman dalam kapasitanya
sebagai nasabah penanam modal maupun nasabah yang
memperoleh kredit dari pihak bank tersebut. disamping itu juga
informasi maupun sosialisasi maupun pembentukan badan atau
lembaga-lembaga ataupun unit-unit kecil pada setiap bank dalam
proses maupun penyelesaian pengaduan yang di ajukan oleh
nasabah tersebut.
Kemudian sebagaimana kita ketahui bahwa pelaksanaan
mediasi perbankan juga merupakan bagian dari OJK untuk itu
didalam tabel tersebut juga di jelaskan tentang ketentuan OJK yaitu
Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan pada Bab I Ketentuan umum
Pasal 1 ayat (3) yang menjelaskan tentang perlindungan
141
konsumen, kemudian Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2014 tentang
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 1 ayat (2) yaitu
lembaga alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga yang
melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan Surat
Edaran OJK No. 2/SEOJK.07/2014 tanggal 14 Februari 2014
tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada
Pelaku Usaha Jasa Keuangan pada Bab IV menyatakan bahwa
penyelesaian pengaduan melalui lembaga alternatif penyelesaian
sengketa, menurut peneliti ketentuan hukum dari Pelaksanaan
Peraturan OJK tersebut belum optimal di laksanakan artinya
kurangnya pengetahuan nasabah tentang cara melakukan
pengaduan ke Otoritas Jasa Keuangan, luasnya lingkup fungsi dan
tugas Otoritas Jasa Keuangan yang tidak hanya mengurusi
masalah sengketa antara bank dengan nasabah, tetapi juga lingkup
tugas Otoritas Jasa Keuangan yang juga menangani tentang
asuransi dan pasar modal dan banyaknya pengaduan yang
diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan atas kasus atau sengketa
antara nasabah dengan bank baik melalui pengaduan secara
langsung maupun melalui telepon atau secara online.
2. Kompetensi
Terkait dengan kompetensi kedudukan hukum maka telah
disebutkan bahwa khusus untuk penyelesaian sengketa perbankan
antara nasabah dengan bank, berdasarkan Peraturan Bank
142
Indonesia Nomor . 8/5/PBI/2006 dapat dilaksanakan oleh mediasi
perbankan yang sedianya akan dilaksanakan oleh Lembaga
Mediasi Independen. Namun mengingat Lembaga Mediasi
Independen belum dapat dibentuk oleh Asosiasi Perbankan, maka
fungsi mediasi perbankan untuk sementara dilaksanakan oleh bank
Indonesia. Kemudian mengenai mediasi perbankan Otoritas Jasa
Keuangan juga telah membentuk Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa yang merupakan amanat dari POJK No.
1/POJK.07/2013. Lembaga ini baru dibentuk pada tanggal 21
Januari 2016. Pembentukan Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa ini sebenarnya telah diamanatkan sewaktu masih dalam
kewenangan Bank Indonesia.
Mediasi merupakan suatu proses negosiasi penyelesaian
masalah (sengketa) dimana suatu pihak, tidak memihak, netral,
tidak bekerja dengan para pihak yang bersengketa, membantu
mereka (yang bersengketa) mencapai suatu kesepakatan hasil
negosiasi yang memuaskan.13 Mediasi biasa dipakai untuk
menyelesaikan case-case keperdataan. Peraturan Bank Indonesia
Nomor .8/5/PBI/2006 memberikan kewenangan kepada bank
Indonesia untuk sementara melaksanakan mediasi perbankan
sebelum terbentuknya lembaga mediasi perbankan indipenden,
13 Garry Goodpaster, 1999, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Seri Dasar Hukum Ekonomi
9, Jakarta: Elips.
143
yang selambat-lambatnya dibentuk 31 Desember 2007.14 Artinya,
pelaksanaan mediasi perbankan oleh bank Indonesia bersifat
sementara (temporary) sebelum terbentuknya lembaga baru yang
secara khusus melaksanakan mediasi perbankan nantinya.
Fungsi mediasi yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia terbatas
pada upaya membantu nasabah dan bank untuk mengkaji ulang
permasalahan atau sengketa yang timbul di antara mereka untuk
memperoleh kesepakatan. Adapun yang dimaksud dengan
“membantu nasabah dan bank” adalah bank Indonesia
memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan cara memanggil,
mempertemukan, mendengar, dan memotivasi nasabah dan bank
untuk mencapai kesepakatan tanpa memberikan rekomendasi atau
keputusan.15
Dalam hal penyelesaian sengketa tersebut dapat peneliti
kaitkan dengan teori hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh
oleh Lucy V. Kazt,16 yaitu keberhasilan proses penyelesaian
sengketa alternatif melalui mediasi dikarenakan adanya “equitable
and legal remedies” yang memberikan adanya kesederajatan yang
sama dan penggantian kerugian secara hukum yang harus
dihormati oleh para pihak. Para pihak mempunyai keyakinan
bahwa penyelesaian sengketa melalui mediasi akan mendapat
14 Pasal 3 ayat 2 dan 4 PBI No 8/5/PBI/2006 (ketentuan ini dihapus melalui PBI N0. 10/1/PBI/2008) 15 Pasal 4 dan penjelasan PBI No 8/5/PBI/2006 16 Lucy V. Katz., “Enforcing An ADR Clause-Are Good Intention All You Have ?,” American Business Law Journal 575, (1988), hal. 588.
144
remedy for damages bagi mereka dengan win-win solution bukan
winlose solution. Di sini, para pihak “sama-sama menang” tidak
saja dalam arti ekonomi atau keuangan, melainkan termasuk juga
kemenangan moril dan reputasi (nama baik dan kepercayaan).
Banyak para ahli berpendapat bahwa Peraturan Bank Indonesia
Nomor. 8/5/PBI/2006 dan SEBI No. 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006
tentang Mediasi Perbankan, tidak sepenuhnya sesuai prinsip
mediasi, karena:17
a. Pengajuan penyelesaian mediasi hanya dilakukan oleh
nasabah/perwakilan nasabah (Pasal 7 ayat (1) PBI No.
8/5/PBI/2006);
b. Mengandung unsur paksaan (kewajiban) kepada bank untuk
memenuhi panggilan BI dan mengikuti proses mediasi (Pasal 7
ayat (2) PBI No. 8/5/PBI/2006);
c. Terdapat ancaman pengenaan sanksi adimistratif dan tingkat
kesehatan bank (seharusnya dalam rangka pengawasan) jika
bank tidak melaksanakan hal-hal yang ditentukan dalam Akta
Kesepakatan Mediasi ( Pasal 16 PBI No. 8/5/PBI/2006).
Terlepas dari perdebatan yang masih berlangsung, di bawah ini
Penelti akan memaparkan beberapa ketentuan dan mekanisme
penyelesaian sengketa melalui Forum Mediasi Perbankan
sebagaimana yang telah diatur dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor. 8/5/PBI/2006 Jo. Peraturan Bank Indonesia Nomor.
17 Mohammad Fajrul Falaakh, 2007, Perlindungan Nasabah Bank Melalui Fungsi Mediasi dan Supervisi Bank Indonesia, Makalah pada Diskusi Terbatas Pelaksanaan Mediasi Perbankan Oleh Bank Indonesia & Pembentukan Lembaga Mediasi Independen, Kerjasama Bank Indonesia dan Magister Hukum UGM, Denpasar, 11 April 2007
145
10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.
Pertama, Mediasi (Perbankan) adalah proses penyelesaian
sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak
yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk
kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh
permasalahan yang disengketakan (Pasal 1 angka 5 PBI No.
8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan).
Adapun yang menjadi penyelenggara mediasi perbankan
sebagaimana telah disebut dalam ketentuan Pasal 3 Peraturan
Bank Indonesia Nomor. 8/5/PBI/2006, yakni:
a) Lembaga Mediasi perbankan independen yang dibentuk
asosiasi perbankan
b) Lembaga ini saat ini belum terbentuk, (akan dibentuk selambat-
lambatnya 31 Des 2007), sehingga fungsi Mediasi Perbankan
untuk sementara dilaksanaan oleh Bank Indonesia.
Penyelengaraan mediasi perbankan juga di laksanakan dalam
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor.
01/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa (LAPS) di Sektor Jasa Keuangan. POJK tersebut antara
lain mengatur mekanisme penyelesaian pengaduan di sektor jasa
keuangan yang dapat ditempuh melalui 2 tahapan yaitu
penyelesaian pengaduan yang dilakukan oleh Lembaga Jasa
Keuangan (internal dispute resolution) dan penyelesaian sengketa
146
melalui lembaga peradilan atau lembaga di luar peradilan (external
dispute resolution).
Kedua, Proses beracara dalam mediasi perbankan secara
teknis telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.
8/5/PBI/2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/14/DPNP
tanggal 1 Juni 2006, yaitu sebagai berikut:
a) Pengajuan penyelesaian Sengketa dalam rangka mediasi
perbankan kepada bank Indonesia dilakukan oleh nasabah atau
perwakilan nasabah.
b) Dalam hal nasabah atau perwakilan nasabah mengajukan
penyelesaian sengketa kepada bank Indonesia, bank wajib
memenuhi panggilan bank Indonesia.
Syarat-syarat Pengajuan penyelesaian sengketa melalui
mediasi perbankan (Pasal 8 PBI No. 8/5/PBI/2006), yaitu:
a) Diajukan secara tertulis dengan disertai dokumen pendukung
yang memadai;
b) Pernah diajukan upaya penyelesaiannya oleh nasabah kepada
bank;
c) Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau belum
pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau
belum terdapat Kesepakatan yang difasilitasi oleh lembaga
mediasi lainnya;
d) Sengketa yang diajukan merupakan sengketa keperdataan;
e) Sengketa yang diajukan belum pernah diproses dalam mediasi
perbankan yang difasilitasi oleh bank Indonesia; dan
f) Pengajuan penyelesaian sengketa tidak melebihi 60 (enam
puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian
pengaduan yang disampaikan bank kepada nasabah.
Dalam Ketentuan Pasal 42 sampai dengan Pasal 45 Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor. 1/POJK.07/2013 menentukan
fasilitas pengaduan nasabah oleh OJK, di dalam ketentuan tersebut
147
juga dikatakan bahwa fasilitas pengaduan nasabah oleh OJK
adalah maksimal 30 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari
setelah akta kesepakatan dilakukan, OJK menunjuk fasilitator untuk
mengkaji ulang permasalahan secara mendasar dalam rangka
memperoleh kesepakatan penyelesaian.
Pasal 9 Peraturan Bank Indonesia Nomor. 8/5/PBI/2006
menyebutkan bahwa proses mediasi dilaksanakan setelah nasabah
atau perwakilan nasabah dan bank menandatangani perjanjian
mediasi (agreement to mediate) yang memuat: Kesepakatan untuk
memilih Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa; dan
persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan mediasi yang
ditetapkan oleh bank Indonesia, kemudian bank wajib mengikuti
dan mentaati perjanjian mediasi yang telah ditandatangani oleh
nasabah atau perwakilan nasabah dan bank.
Catatan yang bisa diberikan adalah bahwa perlu pengaturan
dalam hal bank tidak mau menandatangani perjanjian mediasi
(agreement to mediate), padahal nasabah telah melakukan
pengaduan baik secara lisan atau tulisan, serta tidak puas terhadap
penyelesaian yang diberikan oleh bank yang bersangkutan. Untuk
itu di sini diusulkan agar sejak semula para pihak sudah setuju
untuk menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka melalui
mediasi, yaitu dengan mencantumkan klausula mediasi (mediation
clause) dalam perjanjian pokoknya, yakni dalam perjanjian kredit
148
atau perjanjian pembiayaan, serta dalam hal produk penghimpunan
dana dapat disertakan pada buku rekening simpanan nasabah
bahwa dalam hal terjadi sengketa dapat diselesaikan melalui
lembaga mediasi perbankan setelah terlebih dahulu menempuh
prosedur pengaduan nasabah.
Adanya penetapan klausula mediasi inilah yang disebut sebagai
mandatory mediation18 yang didasarkan pada kesepakatan
bersama oleh para pihak sebagai wujud dari sistem terbuka (open
system) dari hukum perjanjian, yakni perjanjian terkait dengan
penyelesaian sengketa (vide Pasal 1338 Jo Pasal 1320
KUHPerdata). Dengan mencantumkan klausula mediasi dalam
perjanjian pokoknya menyebabkan bank maupun nasabah terikat
untuk melaksanakannya semata-mata karena memang
diperjanjikan (asas pacta sunt servanda).
Ketiga, secara lebih detail dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor. 8/5/PBI/2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI)
Nomor 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006, ketentuan dan proses
mediasi perbankan adalah sebagai berikut:
1. Persyaratan Pengajuan Penyelesaian Sengketa
a. Pengajuan penyelesaian sengketa nasabah hanya dapat
dilakukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah, termasuk
18 Felix Oentoeng Soebagjo, 2007, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di
Bidang Perbankan, Bahan Diskusi Terbatas “Pelaksanaan Mediasi Perbankan oleh Bank Indonesia dan Pembetukan Lembaga Mediasi Perbankan Independen”, Kerjasama Magíster Hukum Bisnis dan Kenegaraan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan Bank Indonesia, Yogyakarta, 21 Maret 2007.
149
lembaga, badan hukum dan atau bank lain yang menjadi
nasabah bank tersebut
b. Sengketa yang diajukan adalah sengketa keperdataan yang
timbul dari transaksi keuangan
c. Pengajuan penyelesaian sengketa dilakukan secara tertulis
dengan format sesuai Lampiran 1 SEBI (Surat Edaran Bank
Indonesia) dengan menyertakan dokumen yang
dipersyaratkan.
Pelaksana fungsi Mediasi Perbankan dapat menolak
pengajuan penyelesaian sengketa yang tidak memenuhi
persyaratan dimaksud. menurut Niko Jefta,19 penyelesaian
sengketa di luar pengadilan dapat melalui 2 jalur (Pasal 39 )
yaitu
a. melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa dan
b. melalui fasiltasi oleh OJK
Artinya bahwa ketika terjadi konflik atau sengketa nasabah
bisa mengunakan sarana ketentuan peraturan OJK yang
menjelaskan tentang proses penangangan perkara dengan
mengunakan jalur yang sudah di atur di dalam ketentuan
peraturan OJK tersebut
2. Batas waktu
Pengajuan penyelesaian sengketa dilakukan paling lama
60 (enam puluh) hari kerja, yang dihitung sejak tanggal surat
hasil penyelesaian pengaduan nasabah dari bank sampai
dengan tanggal diterimanya pengajuan penyelesaian sengketa
19 Wawancara dengan Bapak Niko Jefta Staf KOJK Papua dan Papua Barat 25 April 2015
150
oleh pelaksana fungsi mediasi perbankan secara langsung dari
nasabah atau tanggal stempel pos apabila disampaikan melalui
pos. Proses mediasi dilaksanakan dalam jangka waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja yang dihitung sejak nasabah dan
bank menandatangani perjanjian mediasi (agreement to
mediate) sampai dengan penandatanganan Akta Kesepakatan.
OJK sendiri dalam pelaksanan waktu penyelesaian sengketa
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 Ayat (1) Peraturan
OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan,
proses pelaksanaan fasilitasi oleh OJK paling lama 30 hari
kerja sejak penandatanganan perjanjian fasilitasi, dan dapat
diperpanjang sampai dengan 30 hari kerja berikutnya
berdasarkan kesepakatan konsumen dan bank. Kesepakatan
hasil dari proses fasilitasi oleh OJK dituangkan dalam
kesepakatan perdamaian yang ditandatangani konsumen dan
bank. Berdasarkan SEBI No. 8/2006 kesepakatan perdamaian
bersifat final dan mengikat, artinya sengketa yang telah
diselesaikan tidak dapat diajukan untuk proses fasilitasi ulang
di OJK dan berlaku sebagai undang-undang bagi konsumen
dan bank
3. Nilai tuntutan finansial
Nilai tuntutan finansial dalam mediasi perbankan diajukan
dalam mata uang Rupiah dengan batas paling banyak sebesar
151
Rp.500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah). Begitu pula dengan
ketentuan di dalam Pasal 41 POJK No. 1/POJK.07/2013 yang
menentukan bahwa fasilitas pengaduan oleh OJK
mempersyaratkan kerugian yang diderita nasabah paling
banyak Rp 500.000.000,-. Begitupun dengan syarat lainnya,
dimana Pasal 8 PBI No. 8/5/PBI/2006 jo PBI No.10/1/PBI/2008
sama dengan Pasal 41 POJK No. 1/POJK.07/2013.
4. Cakupan nilai tuntutan finansial
a. Nilai kumulatif dari kerugian yang telah terjadi pada nasabah
b. Potensi kerugian karena penundaaan atau tidak dapat
dilaksanakannya transaksi keuangan nasabah dengan pihak
lain.
c. Biaya-biaya yang telah dikeluarkan nasabah untuk
mendapatkan penyelesaian sengketa.
d. Nilai tuntutan finansial ini tidak termasuk nilai kerugian
immaterial.
5. Prosedur
a. Atas dasar pengajuan penyelesaian sengketa oleh nasabah,
pelaksana fungsi mediasi perbankan dapat melakukan
klarifikasi atau meminta penjelasan kepada nasabah dan
bank secara lisan dan atau tertulis
b. Pelaksana fungsi mediasi perbankan memanggil nasabah
dan bank untuk menjelaskan tata cara pelaksanaan mediasi
perbankan. Apabila nasabah dan bank sepakat
menggunakan mediasi perbankan sebagai alternatif
penyelesaian sengketa, nasabah dan bank wajib
menandatangani perjanjian mediasi (agreement to mediate).
c. Kesepakatan yang diperoleh dari proses mediasi dituangkan
dalam suatu Akta Kesepakatan yang bersifat final dan
mengikat bagi nasabah dan bank
.
152
Di dalam OJK juga adanya prosedur penyelesaian
sengketa yaitu didahului dengan penyelesaian pengaduan
konsumen pada bank. Kemudian ketika tidak memenuhi
kesepakatan, baru timbul sengketa. Ketika timbul sengketa,
nasabah dapat memilih penyelesaian sengketa di pengadilan
atau di luar pengadilan. Ketika nasabah memilih penyelesaian
sengketa di luar pengadilan, maka nasabah dapat
menyelesaikan sengketanya melalui Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa atau dengan fasilitas penyelesaian
sengketa oleh OJK
Dalam hal pelaksanaan yang dimaksud dengan bersifat
final adalah sengketa tersebut tidak dapat diajukan untuk
dilakukan proses mediasi ulang pada pelaksana fungsi mediasi
perbankan, sedangkan yang dimaksud dengan mengikat
adalah kesepakatan berlaku sebagai undang-undang bagi
nasabah dan bank yang harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Pada ketentuan Pasal 14 Peraturan Bank Indonesia Nomor.
8/5/PBI/2006 disebutkan bahwa bank wajib mempublikasikan
adanya sarana alternatif penyelesaian Sengketa di bidang
perbankan dengan cara mediasi kepada nasabah.
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/14/DPNP
tanggal 1 Juni 2006 tersebut disebutkan bahwa informasi yang
wajib dipublikasikan oleh bank paling kurang memuat:
153
a. Prosedur yang harus ditempuh nasabah untuk dapat
mengajukan penyelesaian sengketa;
b. Persyaratan pengajuan penyelesaian sengketa;
c. Batas waktu pengajuan penyelesaian sengketa;
d. Dalam hal pelaksanaan nilai tuntutan finansial maksimum
untuk setiap sengketa, sama halnya dengan OJK yang di
atur di dalam POJK No.1/2013 yaitu berupa kerugian
finansial yang telah terjadi pada nasabah, potensi kerugian
karena penundaan atau tidak dapat dilaksanakannya
transaksi keuangan nasabah dengan pihak lain, dan atau
biaya- biaya yang telah dikeluarkan nasabah untuk
menyelesaikan sengketa; dan
e. Cakupan nilai tuntutan finansial tidak termasuk nilai
kerugian immaterial.
Tugas publikasi ini di samping perlu dilaksanakan oleh setiap
bank, menurut hemat Peneliti hendaknya juga dilaksanakan oleh
Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Papua sejak dini
melalui sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, misalnya
dalam bentuk penyuluhan-penyuluhan di bidang perbankan
khususnya mengenai mekanisme penyelesaian sengketa. Hal ini
perlu dilakukan mengingat masyarakat perlu memperoleh edukasi
di bidang mediasi perbankan, sehingga nasabah riil maupun yang
potensial (masyarakat yang belum menjadi nasabah bank) sejak
awal telah mengetahui bahwa ada sarana yang dapat ditempuh
untuk mencegah terjadinya kerugian dalam hal melakukan
transaksi keuangan dengan bank yang dilakukan dengan bantuan
pihak ketiga yang netral dan impartial, serta memenuhi asas
sederhana, cepat, dan biaya ringan.
154
Lebih lanjut Peneliti berpendapat bahwa ketentuan ini akan
efektif jika klausula yang berisi perjanjian mediasi (agreement to
mediate) tertulis dalam produk-produk yang diberikan oleh bank,
misalnya pencantuman dalam klusula penyelesaian sengketa
pada perjanjian kredit/pembiayaan yang diberikan bank atau
pencantuman dalam rekening nasabah deposan.
Berdasarkan pada pemaparan di atas menunjukkan bahwa
penyelesaian sengketa perbankan melalui mediasi perbankan
hampir sama dengan mediasi perbankan di era otoritas jasa
keuangan, khususnya selama masih difasilitasi OJK. Persamaan
tersebut terlihat dari pengaturan mengenai kewajiban menempuh
penyelesaian secara internal dengan bank, syarat, jangka waktu,
dan penandatanganan perjanjian mediasi.
Mediasi perbankan berdasarkan ketentuan Pasal 6 Ayat (1)
PBI No. 8/5/PBI/2006 jo PBI No.10/1/PBI/2008 dilaksanakan untuk
setiap sengketa yang memiliki nilai tuntutan finansial paling
banyak Rp 500.000.000,-. Begitu pula dengan ketentuan di dalam
Pasal 41 POJK No. 1/POJK.07/2013 yang menentukan bahwa
fasilitas pengaduan oleh OJK mempersyaratkan kerugian yang
diderita nasabah paling banyak Rp 500.000.000,-. Begitupun
dengan syarat lainnya, dimana Pasal 8 PBI No. 8/5/PBI/2006 jo
PBI No.10/1/PBI/2008 sama dengan Pasal 41 POJK No.
1/POJK.07/2013.
155
Proses mediasi dimulai dengan pengajuan penyelesaian
sengketa dalam rangka mediasi perbankan kepada Bank
Indonesia oleh nasabah atau perwakilan nasabah. Proses mediasi
dimulai ketika nasabah atau perwakilan nasabah dan bank
menandatangani perjanjian mediasi. Proses mediasi paling lama
30 hari setelah perjanjian mediasi ditandatangani dan dapat
diperpanjang selama 30 hari. Ketentuan Pasal 42 sampai dengan
Pasal 45 POJK No. 1/POJK.07/2013 menentukan fasilitas
pengaduan nasabah oleh OJK, di dalam ketentuan tersebut juga
ditentukan bahwa para pihak harus menandatangani perjanjian
mediasi dan fasilitas pengaduan nasabah oleh OJK adalah
maksimal 30 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari setelah
akta kesepakatan dilakukan. Otoritas Jasa Keuangan menunjuk
fasilitator untuk mengkaji ulang permasalahan secara mendasar
dalam rangka memperoleh kesepakatan penyelesaian.
Perbedaan antara mediasi perbankan yang difasilitasi OJK
dengan mediasi perbankan oleh Bank Indonesia terletak dalam
pengertian mediasi. Peraturan OJK menggunakan kata
“memfasilitasi”, dimana pengertian memfasilitasi berdasarkan
peraturan OJK adalah upaya mempertemukan konsumen dan
pelaku jasa keuangan untuk mengkaji ulang permasalahan secara
mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan penyelesaian.
156
3. Struktur Kelembagaan
Struktur kelembagan mediasi perbankan dalam kedudukan
hukum menurut Ginanjar, Direktur Konsumer Bank Indonesia
Kantor Perwakilan Provinsi Papua mengarah kepada proses –
proses atau langkah- langkah dalam pelaksanaan mediasi
perbankan. Adapun langka-langkah tersebut adalah sebagai berikut
:20
1. Langkah 1:
Minta penjelasan kepada bank mengenai penyelesaian
sengketa melalui mediasi perbankan Pahami surat hasil
penyelesaian pengaduan dari bank sebagai tanggapan
terhadap permasalahan yang anda adukan. Putuskan sikap
terhadap surat bank, dapat menerima atau menolak keputusan
yang diberikan bank. Apabila tidak sepakat dengan bank maka
mempunyai beberapa pilihan untuk menyelesaikan sengketa
dengan bank, yaitu dengan mediasi perbankan, arbitrase,
alternatif penyelesaian sengketa lainnya, atau jalur pengadilan.
Apabila memilih menggunakan mediasi perbankan sebagai
alternatif penyelesaian sengketa, dapatkan informasi mengenai
prosedur dan tata cara penyelesaian sengketa melalui mediasi
perbankan tersebut dari bank . Pastikan sengketa dapat
dimediasi. Sesuai ketentuan bank Indonesia.
20 Wawancara Bapak Ginanjar, Direktur Konsumer Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Papua tgl, 4 juni 2015
157
2. Langka 2:
Ajukan permohonan penyelesaian sengketa kepada
pelaksana fungsi mediasi perbankan sampaikan permohonan
secara tertulis sesuai format yang telah ditetapkan dan
sertakan dokumen pendukung sesuai ketentuan bank
Indonesia, dokumen pendukung yang harus dilampirkan
adalah:
a. Fotokopi surat hasil penyelesaian pengaduan yang
diberikan bank kepada nasabah.
b. Fotokopi bukti identitas yang masih berlaku.
c. Surat pernyataan yang ditandatangani di atas materai yang
cukup bahwa sengketa yang diajukan tidak sedang
diproses atau telah mendapatkan keputusan dari lembaga
arbitrase, peradilan, atau lembaga mediasi lainnya dan
belum pernah diproses melalui mediasi perbankan yang
difasilitasi oleh bank Indonesia.
d. Fotokopi dokumen pendukung yang terkait dengan
sengketa yang diajukan; dan
e. Fotokopi surat kuasa khusus tanpa hak substitusi dalam hal
pengajuan penyelesaian sengketa diwakilkan / dikuasakan.
Berikan penjelasan yang selengkap-lengkapnya kepada
pelaksana fungsi mediasi perbankan mengenai
permasalahan yang diajukan dan upaya-upaya
penyelesaian yang telah dilakukan oleh bank.
3. Langkah 3:
Ikuti proses mediasi dalam membantu penyelesaian
sengketa, pelaksana fungsi mediasi perbankan akan
melakukan beberapa kegiatan yang memerlukan partisipasi
nasabah: Penandatanganan perjanjian mediasi. Penuhi
panggilan pelaksana fungsi mediasi perbankan untuk
158
mendapatkan penjelasan tentang tata cara proses mediasi dan
perjanjian mediasi, yang memuat:
1. Kesepakatan untuk memilih Mediasi sebagai alternative
penyelesaian sengketa; dan
2. Persetujuan untuk patuh dan tunduk pada peraturan
Mediasi yang ditetapkan oleh pelaksana fungsi mediasi
perbankan. Apabila nasabah dan bank telah memahami
proses mediasi dan sepakat terhadap isi perjanjian mediasi
maka nasabah dan bank melakukan penandatanganan
perjanjian mediasi pertemuan dalam rangka pelaksanaan
proses mediasi. Ikuti pertemuan dengan bank yang
difasilitasi oleh mediator dalam rangka mencapai
penyelesaian terhadap masalah yang disengketakan.
Dalam rangka pelaksanaan proses mediasi tersebut,
mediator bersikap netral dan tidak memberikan
rekomendasi atau keputusan. Penandatanganan akta
kesepakatan. nasabah harus menandatangani akta
kesepakatan dengan bank yang dihasilkan dari proses
mediasi. Akta kesepakatan dapat memuat kesepakatan
penuh atau kesepakatan sebagian atas hal yang
dipersengketakan, atau pernyataan tidak dicapainya
kesepakatan dalam proses mediasi.
159
4. Langkah 4:
Laksanakan akta kesepakatan dan lakukan seluruh hal-hal
yang disepakati dalam akta kesepakatan. Laporkan kepada
pelaksana fungsi mediasi mengenai realisasi akta kesepakatan.
Apabila nasabah dan bank tidak mencapai kesepakatan dalam
proses mediasi perbankan, nasabah dapat melanjutkan upaya
penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau jalur peradilan
Pengajuan penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan
dilakukan oleh nasabah secara tertulis sebagaimana format yang
ditetapkan Bank Indonesia (Bank Indonesia Perwakilan Provinsi
Papua ). Selain itu, nasabah juga harus menyampaikan dokumen
pendukung terkait, antara lain surat pernyataan yang
ditandatangani diatas meterai yang cukup bahwa sengketa yang
diajukan tidak sedang dalam proses atau telah mendapatkan
keputusan dari lembaga arbitrase, peradilan, atau lembaga mediasi
lainnya dan belum pernah diproses dalam mediasi perbankan yang
difasilitasi oleh bank Indonesia. Dalam rangka membantu nasabah,
bank Indonesia menyediakan format pengajuan penyelesaian
sengketa dan surat pernyataan yang perlu disampaikan nasabah.
Menurut Prio Anggoro, 21Kepala Kantor OJK Provinsi Papua
dan Papua Barat, dalam hal penyelesaian sengketa diluar
pengadilan dapat di tempuh melalui ketentuan Surat Edaran
21 Wawancara Bapak Prio Anggoro, Kepala Kantor Otoritas Jasa keuangan Papua dan Papua Barat , 25 juni 2015
160
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2 / SEOJK.07/ 2014 Tentang
Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku
Usaha Jasa Keuangan menjelaskan dalam Bab IV (angka 1) dan
(angka 2) bahwa “ pengaduan konsumen wajib terlebih dahulu di
selesaikan oleh PUJK (angka 1), dan apabila dalam hal tidak
tercapai kesepakatan penyelesaian pengaduan sebagaimana
dimaksud dalam (angka 1), konsumen dan PUJK dapat melakukan
penyelesaian sengketa diluar pengadilan atau melalui pengadilan
(angka 2). Kemudian disampaikan juga oleh Prio Anggoro bahwa
pelaksanan penyelesaian sengketa dapat di tempuh melalui dua
jalur sebagaimana yang di atur di dalam Pasal 39 ayat (1), (2) dan
(3) Peraturan OJK nomor 1 /POJK/.7/2013 yang menjalaskan
bahwa “dalam hal tidak tidak mencapai kesepakatan penyelesaian
pengaduan, konsumen dapat melakukan penyelesaian sengketa di
luar pengadilan dan melalui pengadilan ayat (1), ayat (2)
penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana di maksud
pada ayat (1) dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian
sengketa dan ayat (3) dalam hal penyelesaian sengketa tidak
dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), konsumen dapat
menyampaikan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk
memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan
oleh pelaku di Pelaku Usaha Jasa Keuangan
161
Mengacu kepada penjelasan yang di sampaikan oleh Prio
Anggoro, maka kaitannya dengan teori hukum yang di kemukakan
oleh Lucy V. Kazt,22 bahwa penyelesaian sengketa melalui
proses mediasi dapat berjalan lebih informal, terkontrol oleh para
pihak serta lebih mengutamakan kepentingan kedua belah pihak
yang bersengketa untuk mempertahankan kelanjutan hubungan
yang telah dibina. Dalam persfektif equitable apabila terjadi
perdamaian tidak semata-mata atas dasar keputusan hukum atau
ekonomi, tetapi atas dasar pertimbangan kejujuran, hubungan antar
pribadi, dan banyak keinginan yang sulit dimengerti seperti;
kebutuhan akan permintaan maaf, dan pengakuan akan adanya
harga diri. Hal ini, mengakui bahwa kesederajatan dalam mediasi di
pengadilan dapat mengungkapkan sifat manusia yang sering kali
sembunyi dibalik topeng hukum (masks of the law).23
Dalam hal pelaksanaan mediasi perbankan di dalam
pelaksanaannya, OJK tidak mengunakan istilah mediasi tetapi
mengunakan kata memfasilitasi. Sedangkan pengertian
memfasilitasi terdapat pada Pasal 42 POJK No 1/POJK.07/2013
yang menentukan bahwa
“pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan yang
dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaiman
dimaksud dalam Pasal 41 merupakan upaya mempertemukan
22 Lucy V. Katz., “Enforcing An ADR Clause-Are Good Intention All You Have ?,” American Business Law Journal 575, (1988), hal. 588. 23 Jacqueline M. Nolan Haley. “Court Mediation And The Search For Justice Through
Law”, Washington University Law Quartely 74, (1996), hal. 84.
162
Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk mengkaji
ulang permasalahan secara mendasar dalam rangka
memperoleh kesepakatan penyelesaian”.
Jika pengaduan konsumen tidak dapat diselesaikan oleh bank,
maka konsumen dapat mengajukan penyelesaian sengketa melalui
fasilitas OJK.
Tabel 4. 2. Langka – Langka / Tahapan Dalam Mediasi Perbankan
No
Tahapan
Mediasi
Uraian – uraian
1.
2.
3.
4.
Langka 1
Langka 2.
Langka 3
Langka 4
a. Meminta penjelesan kepada Bank tentang penyelesaian sengketa
b. Memahami surat hasil penyelesaian pengaduan
c. Sikap menerima putusan dari Bank d. Mengunakan prosedur lain apabila tidak
sepakat dengan Bank
a. Permohonan di ajukan kepada pelaksana fungsi mediasi
b. Permohonan di ajukan secara tertulis sesuai format yang telah ditetapkan dan sertakan dokumen pendukung Sesuai ketentuan Bank Indonesia
a. Ikuti Proses Mediasi Dalam membantu penyelesaian sengketa
b. Penandatanganan perjanjian mediasi c. Penuhi panggilan pelaksana fungsi
mediasi perbankan untuk mendapatkan penjelasan tentang tata cara proses mediasi dan perjanjian mediasi
a. Melaksanakan kesepakatan yang disepakati dalam akta kesepakatan
b. Melaporkan kepada pelaksana fungsi mediasi mengenai realisasi akta kesepakatan
c. Apabila Anda dan Bank tidak mencapai kesepakatan dalam proses mediasi perbankan, Anda dapat melanjutkan upaya penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau jalur peradilan.
163
Dari hasil penelitian maka peneliti dapat menjelaskan bahwa
tahapan dalam pelaksanaan mediasi perbankan baik yang di
laskanakan oleh Bank Indonesia maupun Otoritas Jasa Keuangan
sangatlah penting di ketahui oleh nasabah karna memberikan
informasi yang sangat penting dalam pelaksanan mediasi
perbankan, sayangngya pelaksanaanya hanya sebatas wacana
yang mana tidak di ketahui oleh nasabah. padahal nasabah
mempunyai hak untuk mengetahui tahapan tersebut bilamana
terjadi sengketa atau konflik antara nasabah dengan pihak bank.
B. Peranan Lembaga Mediasi
1. Penyelesaian Sengketa Perkreditan
Peranan Lembaga mediasi dalam kaitanya dengan
penyelesaian perkreditan adalah hal yang paling mendasar untuk
mencega timbulnya kredit bermasalah atau kredit macet yaitu
setelah pencairan kredit dimana bila kredit dicairkan bukan berarti
masalah selesai justru sebaliknya.masalah akan dihadapi sampai
lunasnya pemberian kredit tersebut. Oleh karena itu calon debitur
harus dimonitor agar dalam penggunaan uang tidak melenceng
dari rencana semula sesuai dengan perjanjian Kredit, Menurut
Nurcahyono, (2009: 28), langkah-langkah yang praktis untuk
mencegah timbulnya kredit bermasalah adalah:24
24
Nurcahyo. 2009., Mencegah Timbulnya Kredit Macet. (http://jh
thamrin.blogspot.com/2009/04/non-performing-loan.html, diakses 28 Juni 2015).
164
1. Monitor atau kunjungan debitur pada priode tertentu atau
secara teratur.
2. Mengikuti prosedur pemberian kredit secara teratur.
3. Bila merasa ditekan oleh debitur maka serahkan ke petugas
yang lain.
4. Jangan ragu-ragu untuk menolak permohonan kredit bila
memang tidak layak untuk diberikan kredit.
5. Melengkapi lebih dahulu dokumen yang kurang sebelum kredit
dicairkan.
6. Memantau perkembangan pembayaran angsuran tiap bulan,
bila terjadi keterlambatan maka segera dicari penyebabnya.
7. Meminta laporan keuangan setiap 3 bulan sekali untuk debitur
besar atau yang memiliki usaha.
8. Apabila debitur dalam angsuran pembayaran setiap bulan
sering mengalami keterlambatan,harus cukup waspada dan
perlu monitoring lebih aktif.
9. Jangan mencairkan kredit hanya melihat kecukupan besarnya
jaminan.
Perkreditan merupakan salah satu usaha penting bagi bank
dalam memberikan keuntungan, tetapi berbagai masalah atas
penyaluran kredit harus dihadapi perbankan. Akhir-akhir ini banyak
kritikan terhadap kinerja perbankan nasional yang dilakukan oleh
praktisi keuangan ataupun lembaga-lembaga pemerintahan. Hal ini
sehubungan dengan adanya kredit bermasalah yang biasa disebut
Non Performance Loan (NPL) dengan jumlah yang cukup
signifikan di sejumlah bank tersebut. Berita kredit bermasalah di
sejumlah bank telah menimbulkan implikasi kurang baik bagi bank
itu sendiri. Beberapa debitur berkualitas bagus mulai pindah ke
bank lain. Disinyalir debitur yang pindah tersebut khawatir jangan-
jangan kredit mereka hanya menunggu giliran untuk diungkap di
165
media massa oleh pemeriksa. Kredit bermasalah atau non
performing loan merupakan resiko yang terkandung dalam setiap
pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya. Resiko tersebut
berupa keadaan di mana kredit tidak dapat kembali tepat pada
waktunya (wanprestasi). Berdasarkan hasil penelitian peneliti,
kredit bermasalah atau non performing loan di perbankan itu dapat
di sebabkan oleh beberapa faktor. Adapun faktor terjadinnya kredit
bermasalah dapat di uraiakan dalam tabel berikut ini :
Tabel 4. 3 Tangapan Responden Terhadap Faktor Terjadinya
Kredit Bermasalah
No
Uraian
Banyaknya
Presentasi
1.
2.
3.
Kesengajaan
Keselahan prosedur
Makro Ekonomi
12
18
15
26,66
40
33,33
Total..........................................
45
100
Data primer di olah 2015
Dari tabel tersebut dapat di jelasakan tentang faktor terjadinya
kredit bermasalah, sebanyak 12 (26,66%) responden mengetahui
adanya kesengajaan, kemudian 18 (40%) responden mengetahui
adanya kesalahan dalam prosedur, dan 15 (33,33%) responden
mengetahui adanya makro ekonomi. Dari faktor terjadinya kredit
bermasalah sebagaimana yang telah peniliti uraikan dalam tabel
166
tersebut diatas faktor kesengajaan yang di maksudkan disini yaitu
kurangnya Informasi yang belum memadai mengenai karakteristik
produk atau jasa yang ditawarkan oleh bank dan juga pemahaman
nasabah terhadap aktivitas dan produk atau jasa perbankan yang
masih kurang. Kemudian faktor kesalahan prosedur misalnya
pada saat nasabah merasa dirinya sudah memenuhi syarat untuk
pengajuan kredit usaha, tetapi ternyata pihak bank belum dapat
mencairkan kredit yang diajukan, dalam hal ini pihak bank dalam
memberikan kredit tentu saja melakukan analisa terlebih dahulu
yang dinilai berdasarkan syarat atau ketentuan yang berlaku. dan
yang terakhir faktor makro ekonomi yang di maksudkan disini
adalah nasabah-nasabah yang awam terhadap syarat kredit yang
dari segi usaha masih sangat sederhana begitu juga dengan
dokumen dan hal lain yang berkaitan dengan syarat kredit hanya
berpikir bagaimana pun caranya asalkan dia dapat mendapatkan
kredit usaha.
Dengan demikian maka menurut peneliti peranan lembaga
mediasi dalam hal penyelesaian sengketa perkreditan terkait
dengan berhasil atau tidaknya suatu sengketa diselesaikan
melalui mediasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan mediator
dalam menguasai dan menerapkan teknis mediasi serta
kemampuan memanfaatkan tahapan- tahapan mediasi secara
optimal untuk mengidentifikasi isu, menetapkan interest, dan
167
menawarkan opsi penyelesaian sengketa. Dengan demikian suatu
proses mediasi akan mempunyai kualitas yang berbeda,
tergantung pada kemampuan mediatornya. Kelemahan mediasi
adalah pada kekuatan eksekusinya. Efektifitasnya sangat
tergantung dari itikad baik para pihak menaati hasil kesepakatan.
Apabila salah satu pihak tidak mau melaksanakan kesepakatan
yang telah dicapai, tidak ada upaya hukum yang dapat dilakukan
untuk memaksanya.
Dalam hal kesepakatan penyelesaian sengketa menurut
peneliti dalam teori hukum yang d kemukakan oleh Lucy V.
Kazt,25 yaitu keberhasilan proses penyelesaian sengketa alternatif
melalui mediasi dikarenakan adanya “equitable and legal
remedies” yang memberikan adanya kesederajatan yang sama
dan penggantian kerugian secara hukum yang harus dihormati
oleh para pihak. Para pihak mempunyai keyakinan bahwa
penyelesaian sengketa melalui mediasi akan mendapat remedy
for damages bagi mereka dengan win-win solution bukan winlose
solution.
Kemudian dalam hal proses penyelesaian sengketa maka
pada Peraturan Bank Indonesia Nomor. 7/7/PBI/2005 tentang
Penyelesaian Pengaduan Nasabah, bank Indonesia mewajibkan
seluruh bank untuk menyelesaikan setiap pengaduan nasabah
25 Lucy V. Katz., “Enforcing An ADR Clause-Are Good Intention All You Have ?,” American Business Law Journal 575, (1988), hal. 588.
168
yang terkait dengan adanya potensi kerugian finansial pada sisi
nasabah, menurut Niko Jefta 26
OJK sendiri dalam pelaksanaanya
juga wajib menerima dan menyelesaikan pengaduan-pangaduan
yang di ajukan oleh konsumen.
Terkait dengan kewajiban bank untuk menyelesaikan setiap
pengaduan nasabah, maka Bank Indonesia Kantor Perwakilan
Provinsi Papua harus memfasilitasi adanya mekanisme
menangani dan menyelesaikan pengaduan nasabah atau
perwakilan nasabah. Pada Bank Indonesia Kantor Perwakilan
Provinsi Papua sengketa yang timbul antara bank dengan
nasabah dapat diselesaikan terlebih dahulu melalui prosedur
pengaduan. Pengaduan dapat diajukan secara lisan maupun
tertulis. Dalam pengaduan secara lisan, Bank Indonesia Kantor
Perwakilan Provinsi Papua wajib menyelesaikan dalam waktu dua
hari kerja. Apabila dalam jangka waktu dua hari kerja tidak dapat
diselesaikan, maka pihak Bank Indonesia Kantor Perwakilan
Provinsi Papua wajib meminta kepada nasabah untuk mengajukan
secara tertulis dengan dilengkapi dokumen- dokumen yang ada.
Setelah nasabah mengajukan secara tertulis, maka Bank
Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Papua menyampaikan bukti
tanda terima pengaduan nasabah. bukti penerimaan tersebut
memuat:
26 wawancara Bapak Niko Jefta, Staf KOJK Papua dan Papua Barat, 25 Juni 2015
169
a. Nomor registrasi pengaduan
b. Tanggal penerimaan pengaduan
c. Nama nasabah
d. Nama dan nomor telepon petugas bank yang menerima
pengaduan
e. Deskripsi singkat pengaduan
Untuk menyelesaikan pengaduan, dari hasil wawancara
peneliti dengan Bapak Ginanjar Direktur Konsumer Bank
Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Papua menetapkan
kebijakan dan memiliki prosedur atau tahap yang meliputi :27
a) Penerimaan Pengaduan
Biasanya para nasabah apabila hendak menyampaikan
segala keluhan atau hendak menyampaikan pengaduannya di
layani oleh pihak customer service Bank Indonesia Kantor
Perwakilan Provinsi Papua setelah itu pihak customer service
memproses pengaduan nasabah kepada devisi Kepatuhan,
setelah itu devisi kepatuhan yang menentukan devisi
manakah yang berhak untuk menangani permasahan yang
diajukan oleh nasabah Bank Indonesia Kantor Perwakilan
Provinsi Papua, itu tergantung jenis permasalahan yang
diadukannya misalnya apabila masalah kredit maka akan
diberikan kepada pihak divisi perkreditan selanjutnya divisi
itula yang menangani permasalahan yang diajukan oleh
nasabah tersebut
27
Wawancara Bapak Ginanjar, Direktur Konsumer Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Papua tgl 4 Juni 2015
170
b) Penanganan dan penyelesaian pengaduan
Dalam hal ini pihak bank berupaya meluruskan segala
masalah yang di ajukan oleh pihak nasabah secara persuasif.
Ini bertujuan untuk menjelaskan apa-apa saja penyebab
terjadi timbulnya sengketa, ini juga upaya untuk
menyelesaiakan permaslahan secara cepat agar tidak
berlanjut ke tahap yang lebih rumit.
c) Pemantauan penanganan dan penyelesaian pengaduan
Namun apabila dengan cara persuasif tidak memuaskan
pihak nasabah maka nasabah berhak untuk melanjutkan
kembali pengaduan yang diajukannya, tahap selanjutnya
pihak Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Papua
memilih mediasi sebagai alternatif selanjutnya, sesuai dengan
Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia, apabila pengaduan
nasabah tidak terselesaikan, maka untuk selanjutnya dapat
ditempuh proses mediasi perbankan. alternatif mediasi
menggunakan mediator dari pihak Bank Indonesia. Pihak
Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Papua Bank selalu
memantau sampai selesainya sengketa dan sampai saat ini
pihak Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Papua
selalu patuh apabila ada pemanggilan dari pihak bank
Indonesia untuk menyelesaikan sengketa dengan nasabah
yang bersangkutan. Singkatnya, mekanisme penyelesaian
171
sengketa antara nasabah dan bank pada Bank Indonesia
Kantor Perwakilan Provinsi Papua ditempuh melalui dua
tahap. Pertama, Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi
Papua wajib menyelesaikan terlebih dahulu sengketa dengan
nasabahnya sesuai Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
Kedua, apabila sengketa belum dapat diselesaikan dengan
baik, nasabah bank dapat mengajukan permohonan
penyelesaian sengketa melalui mediasi yang difasilitasi oleh
bank Indonesia sesuai Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.
Ketentuan Peraturan Bank Indonesia Nomor .8/5/PBI/2006
tentang Mediasi Perbankan, ditentukan bahwa mekanisme
mediasi perbankan adalah tahapan proses mediasi sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. Dalam usahanya untuk
menyelesaikan sengketa melalui proses mediasi antara bank dan
nasabah harus memenuhi persyaratan dan prosedur sesuai
dengan Peraturan Bank Indonesia tentang mediasi pebankan.
Untuk mengetahui apakah persyaratan dan prosedur mediasi
perbankan yang diatur oleh Peraturan Bank Indonesia sudah ideal
atau belum, maka akan dilakukan analisa terhadap proses
beracara dalam mediasi perbankan dengan proses beracara
dalam mediasi di pengadilan. Mengenai prosedur mediasi di
172
pengadilan diatur dalam PERMA No.1 Tahun 2016.
Sesungguhnya mediasi perbankan tidak termasuk dalam ruang
lingkup yang diatur, sebab PERMA ini hanya berlaku untuk
mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan28,
penggunaan PERMA tersebut hanya sarana pembanding saja
dengan proses beracara pada mediasi perbankan. Sebelum
mengajukan suatu sengketa ke lembaga mediasi perbankan,
terdapat syarat-syarat tertentu agar suatu sengeketa dapat
diselesaikan melalui mediasi perbankan. Syarat mediasi
perbankan berdasarkan ketentuan Pasal 8 Peraturan Bank
Indonesia No.8/5/PBI/2006, menyatakan bahwa syarat-syarat
pengajuan penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan
adalah:
1. Syarat subjektif (Pasal 1 ayat (2) dan (3) PBI
No.8/5/PBI/2006).
Berkenaan dengan pihak yang mengajukan, yaitu
nasabah dan perwakilan nasabah. Nasabah adalah pihak
yang menggunakan jasa bank, termasuk pihak yang tidak
memiliki rekening namun memanfaatkan jasa bank untuk
melakukan transaksi keuangan (walk-in customer). Perwakilan
nasabah adalah perseorangan, lembaga dan atau badan
28
Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, Pasal 1 ayat (1).
173
hukum yang bertindak untuk dan atas nama nasabah dengan
berdasarkan surat kuasa khusus dari nasabah.
2. Syarat Objektif (Pasal 6 ayat (1) dan (2) PBI No.8/5/PBI/2006)
Berkaitan dengan objek sengketa yaitu tuntutan untuk
setiap sengketa yang mimiliki nilai paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah), tanpa tuntutan yang
diakibatkan oleh kerugian imateriil. sama ha pula dengan
ketentuan di dalam Pasal 41 POJK No. 1/POJK.07/2013 yang
menentukan bahwa OJK mempersyaratkan kerugian yang
diderita nasabah paling banyak Rp 500.000.000,-.
bersengketa yaitu bank dan nasabah dengan melalui
Ootoritas Jasa Keuangan maksimal adalah Rp. 500.000.000,-
Hal ini menunjukkan bahwa pihak yang Jumlah maksimum
nilai tuntutan sebagaimana dimaksud dapat berupa nilai
kumulatif dari kerugian yang telah terjadi pada nasabah,
potensi kerugian karena penundaan atau tidak dapat
dilaksanakannya transaksi keuangan nasabah dengan pihak
lain, dan atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk
mendapatkan penyelesaian sengketa.
174
Bagan 2. Prosedur Penyelesaian Sengketa Oleh Bank
Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Papua
Data primer di olah 2015
Tahap 1 : PBI No. 7/7/PB/2005 jo. PBI
No. 10/10/PBI/2008
TANGGAPAN
NASABAH ATAS
PENYELESAIAN BANK
PENYELESAIAN
OLEH BANK
20 HK + 20 HK
PENGADUANOLEH
NASABAH
MENERIMA
TIDAK MENERIMA
VERFIKASI
+
KLARIFIKASI
MEDIASI
PERBANKAN
30 HK +30 HK
HHK
PENGAJUAN
SENGKETA
Tahap 2. PBI No. 8/5/PBI/2006 jo. PBI No.
10/1/PBI/2008
175
Dari uraian pelaksanaan mediasi yang dilakukan oleh pihak
Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Papua, maka dapat di
jelaskan bahwa pelaksanaan mediasi yang di lakukan oleh pihak
Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Papua dapat di laksanakan
dalam beberapa tahapan.
Tahapan yang pertama adalah tahapan pengaduan yang
dilakukan oleh pihak nasabah kepada Bank Indonesia Perwakilan
Provinsi Papua ketika terjadi sengketa yaitu melalui proses
pengaduan, kemudian di terima oleh pihak Bank Indonesia
Perwakilan Provinsi Papua untuk melaksanakan proses
penyelesaian selama kurang lebih 20 hari dalam masa kerja
apabila berkurang bisa di tambahkan lagi 20 hari masa kerja.
kemudian mengundang nasabah untuk menangapi proses
pengaduan apakah di terima atau tidak di terima proses
pengaduan tersebut, kalau di terima maka proses pengaduan
yang di ajukan oleh nasabah di nyatakan selesai. Tetapi ketika
proses pengaduan tersebut tidak dapat di terima oleh pihak
nasabah maka Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Papua harus
menawarkan proses mediasi terkait dengan tidak di terimanya
tangapan atau proses penyelesaian pengaduan yang di ajukan
oleh nasabah.
Pihak Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Papua harus
menawarkan tahap yang kedua yaitu tahapan mediasi perbankan
176
artinya proses harus dilaksanakan dengan mengajukan pengajuan
sengketa yang bermasalah, kemudian pihak Bank Indonesia
Perwakilan Provinsi Papua memverikasi atau mengkalarifikasi
terkait dengan pengajuan sengketa tersebut setelah itu
mengundang para pihak baik nasabah maupun bank untuk
mengikuti proses mediasi dan ketika terjadi kesepakatan, maka
proses sengketa tersebut selesai dan akan di tetapkan dalam
suatu akta perdamaian sehingga para pihak baik nasabah
maupun pihak bank yang bermasalah harus melaksanakan
ketentuan kesepakatan tersebut dengan itikad baik. Dari
penjelasan tersebut dapat peneliti sampaikan bahwa apa yang
telah dilaksanakan oleh Bank Indonesia Perwakilan Provinsi
Papua dalam hal proses penyelesaian pengaduan maupun
memediasi masih mengalami kendala artinya nasabah ingin agar
ketika terjadi konflik proses pengaduan maupun proses
memediasi harus dilkasanakan tanpa mengurangi ketentuan yang
sdh di atur di dalam Peraturan Bank Indonesia baik menyangkut
proses pengaduan maupun proses memediasi, yang nasabah di
sini inginkan bahwa proses tersebut tidak memakan waktu yang
terlalu lama artinya kalau mengacu pada proses pengaduan
nasabah sangat terlau lama yaitu 20 hari kerja itupun kalau belum
ada kesepakatan maka di tambah 20 hari kerja total 40 hari kerja,
waktu yang sangat lama dan membosankan bagi nasabah kertika
177
harus mengikuti prosedur tersebut, pada hal pihak nasabah ingin
secepatnya proses tersebut di selesaian dengan secepatnya. Jadi
pihak Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Papua harus dapat
menyelesaikan proses pengaduan maupun mediasi secara efektif
Dalam melaksanakan proses mediasi perbankan para pihak
juga dituntut untuk memenuhi aturan sebagai berikut29:
1. Nasabah dan bank wajib menyampaikan dan mengungkapkan
seluruh informasi penting terkait dengan pokok sengketa dalam
pelaksanaan mediasi;
2. Seluruh informasi dari para pihak yang berkaitan dengan
proses mediasi merupakan informasi yang bersifat rahasia dan
tidak dapat disebarluaskan untuk kepentingan pihak lain di luar
pihak-pihak yang terlibat dalam proses mediasi yaitu pihak-
pihak selain nasabah, bank, dan mediator;
3. Mediator bersifat netral, tidak memihak, dan berupaya
membantu para pihak untuk menghasilkan kesepakatan;
4. Kesepakatan yang dihasilkan dalam proses mediasi adalah
kesepakatan secara sukarela antara nasabah dengan bank dan
bukan merupakan rekomendasi atau keputusan mediator;
5. Nasabah dan bank tidak dapat meminta pendapat hukum (legal
advice) maupun jasa konsultasi hukum (legal councel) kepada
mediator;
29
Surat Edaran Bank Indonesia No.8/14/DPNP, bagian 3.
178
6. Nasabah dan bank dengan alasan apapun tidak akan
mengajukan tuntutan hukum terhadap mediator, pegawai
maupun bank Indonesia sebagai pelaksana fungsi mediasi
perbankan, baik atas kerugian yang akan timbul karena
pelaksanaan atau eksekusi akta kesepakatan, maupun oleh
sebab-sebab lain yang terkait dengan pelaksanaan mediasi;
7. Nasabah dan bank yang mengikuti proses mediasi
berkehendak untuk menyelesaiakan sengketa, dengan
demikian bersedia :
a. Melakukan proses mediasi dengan itikad baik;
b. Bersikap kooperatif dengan mediator;
c. Menghadiri pertemuan mediasi sesuai dengan tanggal dan
tempat yang telah disepakati.
8. Dalam hal proses mediasi mengalami kebuntuan dalam
mencapai kesepakatan, baik untuk sebagian maupun
keseluruhan pokok sengketa, mediator dapat:
a. Menghadirkan pihak lain sebagai nara sumber atau sebagai
tenaga ahli untuk mendukung kelancaran mediasi;
b. Menangguhkan proses mediasi sementara dengan tidak
melampaui batas waktu proses mediasi; atau Menghentikan
proses mediasi.
9. Dalam hal nasabah dan/atau bank melakukan upaya hukum
lanjutan penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau peradilan
maka Nasabah dan bank sepakat untuk:
a. Tidak melibatkan mediator maupun bank Indonesia sebagai
pelaksana fungsi mediasi perbankan untuk memberi
179
kesaksian dalam pelaksanaan arbitrase atau pengadilan
dimaksud;
b. Tidak meminta mediator maupun bank Indonesia
menyerahkan sebagian atau seluruh dokumen mediasi yang
ditatausahakan bank Indonesia, baik berupa catatan,
laporan, risalah, laporan proses mediasi dan/atau berkas
lainnya yang terkait dengan proses mediasi.
10. Dalam hal nasabah dan bank berinisiatif menghadirkan
narasumber atau tenaga ahli tertentu, maka nasabah dan bank
sepakat untuk menanggung biayanya.
11. Proses mediasi berakhir dalam hal :
a. Tercapainya kesepakatan
b. Berakhirnya jangka waktu mediasi
c. Terjadi kebuntuan yang mengakibatkan dihentikannya
proses mediasi
d. Nasabah menyatakan mengundurkan diri dari proses
mediasi; atau
e. Salah satu pihak tidak mentaati perjanjian mediasi
(agreement to mediate)
Dari uraian beberapa point dalam hal melaksanakan proses
mediasi perbankan bagi para pihak dituntut untuk memenuhi
aturan, menurut peneliti adalah merupakan suatu keharusan yang
harus dilaksanakan oleh para pihak dengan rasa memiliki dan
rasa tanggung jawab secara adil. Terkait dengan adil atau
keadilan dalam teori hukum yang dikemukakan oleh Jhon Rawls
memiliki 3 (tiga) prinsip kedilan, yang sering dijadikan rujukan
oleh beberapa ahli yakni:
180
1. Prinsip kebebasan yang sama (equal liberty of principle)
2. Prinsip perbedaan (differences principle)
3. Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)
Rawls berpendapat jika terjadi benturan (konflik), maka:
Equal liberty principle / Prinsip kebebasan harus diprioritaskan dari
pada prinsip-prinsip yang lainnya. Dan, Equal opportunity
principle/ Prinsip persamaan kesempatan harus diprioritaskan
dari pada differences principle / Prinsip Perbedaan.30
a. Pengadilan Negeri
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 10
Undang-Undang No.14 Tahun 1970, badan peradilan
merupakan lembaga yang sah dan berwenang untuk
menyelesaikan sengketa. Sebagai tindak lanjut dari Undang-
Undang No.14 tahun 1970 ditetapkan berbagai peraturan
perundang-undangan yang menentukan batas yurisdiksi untuk
setiap badan peradilan. Khusus berkenaan dengan
permasalahan sengketa perkreditan, menurut 31Joko Waluyo
Hakim Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura bahwa
Pengadilan Negeri kelas !A Jayapura wajib menyelesaikan
setiap perkara perdata yang diajukan dengan menempuh
proses mediasi.
30 Teori Keadilan John Rawls Pemahaman Sederhana Buku A Theory Of Justice, (Massachussetts, Havard University Press, 1971), hal 22 31 Wawancara Joko Waluyo Hakim Pengadilan Negeri Kelas !A Jayapura, tgl 23 juni 2015
181
Hal yang sama juga di sampaikan oleh 32Irianto Prijatna
bahwa sebagaian pencari keadilan mengharapkan /
menguntungkan penyelesaian pada proses mediasi,
sedangkan sebagian yang lain justru mengangap mediasi
sebagai penghambat proses persidangan. Menurut Bernard
Akasian yang juga Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas 1A
Jayapura bahwa alasan bagi mereka yang mengharapkan
proses mediasi agar gugatan yang dilakukan agar supaya
pihak tergugat memberikan perhatian kepada masalah yang
mereka hadapi, sehingga apabila mereka sudah bertemu di
Pengadilan maka di harapkan pihak tergugat bersedia
menyelesaikan permasalahan dengan mediasi33.
Kompentensi pengadilan Negeri kelas 1A Jayapura
sebagaimana yang di kemukakan oleh Joko Waluyo34, para
hakim dalam menangani perkara-perkara yang berhubungan
dengan perbankan sering mengalami kebuntuan apalagi yang
berkaitan dengan mediasi, hal ini di sebabkan para pihak tidak
bersedia menyelesaiakan perkaranya melalui prosedur mediasi
lebih banyak melalui proses litigasi. disamping itu proses
mediasi memperlama proses persidangan dan perkarannya
32
Wawncara Irianto Prijatna Hakim Pengadilan Negeri Kelas !A Jayapura, tgl 24 juni 2015 33 Wawancara Bernard Akasian Hakim Pengadilan Negeri Kelas !A Jayapura, tgl 25 juni 2015 34
Wawancara Joko Waluyo Hakim Pengadilan Negeri Kelas !A Jayapura, tgl 23 juni 2015
182
sudah pernah dilakukan mediasi sejak pertemuan-pertemuan di
tingkat keluarga, kepolisian ataupun secara adat.
b. Tangapan Advokat
Tangapan advokat terhadap pelaksanaan ketentuan
Peraturan Bank Indonesia Nomor : 8 / 5 / PBI / 2006 tentang
mediasi perbankan, sebagai mana yang di ungkapan oleh
James Simanjuntak35, Advokat / Penasehat hukum
mengatakan pelaksanaan ketentuan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 8 /5 / PBI / 2006, sangatlah penting bagi nasabah karna
ketika terjadi konflik antara nasabah dengan pihak bank
ketentuan Peraturan Bank Indonesia ini sangat di perlukan
karna melalui medasi perbankan yang di atur dalam ketentuan
tersebut, suatu kasus dapat di selesaiakan dengan biaya
murah, cepat, dan para pihak merasa puas.
Lain halnya pendapat yang di kemukakan oleh Johanes
Sudiman Bakti36 bahwa pelaksanaan ketentuan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 8 /5/PBI/2006, merupakan solusi dalam
menyelesaikan persoalan antara nasabah dengan bank tetapi
didalam penetapan kesepakatan perdamaian perlu adanya
legitimasi atau penetapan hukum dari Pengadilan Negeri
setempat sehingga para pihak patuh dan menjalankan
kesepakatan perdamaian tersebut.
35 Wawancara Bapak James Simanjuntak, Advokat / Penasehat Hukum tgl 8 juni 2015 36
Wawancara Bapak Johanes Sudiman Bakti , Advookat / Penasehat Hukum , tgl 11 juni 2015
183
Kemudian menurut Aloyisus Renwarin37 terkait dengan
penerapan ketentuan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8
/5/PBI/2006 tentang mediasi perbankan dalam hal penunjukan
mediator seharusnya di berikan kewenangan mutlak kepada
nasabah dalam menentukan mediator yang akan
membantunya dalam proses penyelesaian perkara atau
sengketa perbakan, bukan sebaliknya penunjukan langsung
yang di lakukan oleh pihak bank sebagaimana di jelaskan
dalam Pasal 5 ayat (2). Jadi disini perlu adanya kebebasan
kepada pihak nasabah dalam menunjuk mediator tetapi tetap
memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang di jelasakan di
dalam Pasal 5 ayat (2) tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terkait dengan
proses penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi pada
bidang perbankan maka dapat di lihat dalam tabel berikut ini :
Table 4. 4. Tangapan Responden Terhadap Pilihan
Penyelesaian Sengketa Di Bidang Perbankan
No
Uraian
Banyaknya
Presentasi
1.
2.
Non Litigasi
Litigasi
45
0
100
0
Total......................................
45
100
Data primer diolah 2015 37
Wawancara Bapak Aloyisus Renwarin, Advokat / Penasehat Hukum, tgl 21 juli 2015
184
Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa sebanyak 45
(100%) responden dalam hal ini setuju terkait penyelesaian
sengketa yang di laksanakan oleh Bank Indonesia Kantor
Perwakilan Provinsi Papua mengunakan cara non litigasi yaitu
melalaui cara persuasif dengan menitik beratkan pada social
justice ketimbang mengunakan cara yang idealis semata
dengan cara juridis formil namun dengan menggunakan
tahapan-tahapan procedural. sebagaimana yang tertuang
dalam ketentuan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8 / 5 / PBI/
2006 tentang mediasi perbankan dan juga ketentuan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 7 / 7 /PBI/ 2005 tentang Penyelesaian
Pengaduan Nasabah
Disamping itu menurut peneliti bahwa pihak nasabah lebih
menginginkan proses penyelesaian sengketa tersebut secara
kekeluargaan atau secara damai hal ini di karenakan pihak
nasabah tidak ingin mengunakan jalur litigasi karna prosesnya
lama dan akan merugikan pihak nasabah itu sendiri
2. Penyelesaian Sengketa Kartu Kredit
Kegiatan usaha kartu kredit dilakukan dalam bentuk
penertiban kartu kredit yang dimanfaatkan oleh pemegangnya
untuk pembelian barang dan / atau jasa. Perusahan pembiayaan
yang melakukan kegiatan usaha kartu kredit sebagaimana
185
dimaksud, sepanjang berkaitan dengan sistim pembayaran wajib
mengikuti ketentuan bank Indonesia.
Para pihak yang terlibat dalam usaha kartu kredit adalah:
1. Pihak penerbit
a. Bank
b. Lembaga keuangan yang khusus bergerak di bidang
penerbitan kartu kredit
c. Lembaga keuangan yang disamping bergerak di dalam
penerbitan kartu kredit, bergerak juga di bidang kegiatan
lainnya
2. Pihak pemegang kartu kredit
a. Tidak melakukan pembelian dengan kartu kredit yang
melebihi batas maksimum.
b. Menandatangani slip pembelian yang disedorkan oleh pihak
penjual barang/jasa.
c. Melakukan pembayaran kembali harga pembelian sesuai
dengan tagihan oleh pihak penerbit kartu kredit.
d. Melakukan pembayaran
3. Pihak penjual barang atau jasa
Terhadap pihak penjual barang atau jasa, yang mana kartu
kredit akan atau telah di pergunakan, secara hukum
mempunyai kewajiban-kewajiban sebagai berikut :
a. Memperkenankan pihak pemegang kartu kredit untuk
membeli barang atau jasa dengan memakai kartu kredit
b. Bila perlu melakukan pengecekan atau otorisasi tentang
penggunaan dan keabsahan kartu kredit yang bersangkutan
c. Menginformasikan kepada pemegang/ pembeli barang/jasa
tentang charge tambahan selain harga jika ada. Misalnya
charge tambahan sekian persen dari harga penjualan
terhadap pembelian dengan memakai kartu kredit terhadap
beberapa jenis produk tertentu
186
d. Menyodorkan sliip pembayaran untuk ditandatangani oleh
pihak pembeli/pemegang kartu kredit.
e. Membayar komisi ketika melakukan penagihan kepada
perantara (jika dipakai perantara) atau kepada penerbit (jika
dilakukan langsung kepada penerbit).
4. Pihak perantara
a. Perantara penagihan (antara penjual dan penerbit)
Pihak perantara penagihan yang disebut juga acquirer
adalah pihak yang meneruskan tagihan kepada penerbit
berdasarkan tagihan yang masuk kepadanya yang diberikan
oleh penjual/barang. Pihak perantara penagihan inilah yang
melakukan pembayaran kepada pihak penjual tersebut.
b. Perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit)
Apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban
/prestasinya maka pihak tersebut dapat dikatakan
melakukan wanprestasi. Bentuk wanprestasi dalam
penggunaan kartu kredit yang biasa terjadi adalah pihak
pemegang kartu kredit tidak membayar tagihan dari bank
penerbit hingga jatuh tempo. Wanprestasi dalam
pengunaan kartu kredit oleh pemegangnya tidak bisa
dikenakan sanksi secara langsung oleh pihak bank, hal
tersebut sesuai dengan Pasal 1243 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang menyatakan bahwa penggantian
kerugian atas wanprestasi baru dapat dilakukan setelah
pihak yang melakukan wanprestasi harus dibuktikan
187
adanya kelalaian dari pemegang kartu kredit dan diberi
peringatan karena tidak menepati janjinya,dan ia tetap tidak
bersedia melakukan kewajibannya. Apabila peringatan ini
tidak dihiraukan oleh yang mengalami wanprestasi, maka
pihak bank akan mengirimkan tagihan serta mengingatkan
akan menyita harta benda sesuai dengan perjanjian yang
ada. Pernyataan lalainya pihak pemegang kartu kredit
harus dibuktikan dengan surat perintah peringatan
pembayaran atau surat sejenis lainnya yang diatur dalam
pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.38
Seiring berkembangnya jaman yang semakin modern ini,
perkembangan penggunaan kartu kredit pun semakin banyak dan
hal ini menimbulkan semakin banyaknya pula penyalahgunaan
kartu kredit di masyarakat. Selain itu, yang terjadi adalah para
pihak yang terlibat dalam penggunaan kartu kredit tidak
selamanya melaksanakan kewajiban dan mendapatkan hak yang
diperjanjikan, baik karena kesengajaan, kekhilafan maupun
karena alasan-alasan yang lain. Terkait dengan hal tersebut maka
akan di uaraikan dalam tabel penyebab pengunaan kartu kredit
bermasalah sebagai berikut:
38 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Terjemahan R.Subekti dan R.Ciptrosudibyo, Jakarta, Pradnya Sasmita.
188
Tabel 4. 5 Penyebab Penggunaan Kartu Kredit Bermasalah
No
Uraian
Banyaknya
Presentasi
3.
4.
Kelalaian
Tidak mampu
membayar
31
14
68,88
31,11
Total........................................
45
100
Data primer di olah 2015
Terkait dengan tabel 4.6 tentang penyebab pengunaan kartu
kredit bermasalah dalam pengunaannya yang di akibatkan karna
kelalaian dan tidak mampu membayar maka terlihat bahwa jumlah
penyebab kredit bermasalah yang diakibatkan karna kelalaian
sebanyak 31 (68,88%) responden. penyebab kredit bermasalah
dalam pengunaan kartu kredit diakibatkan karna tidak mampu
membayar sebanyak 14 (31,11%) responden, dengan demikian
maka menurut peneliti penyebab kredit bermasalah dalam
penggunaan kartu kredit menyangkut kelalaian maka para pihak
dapat melakukan klarifikasi. Biasanya pihak Bank Indonesia
Kantor Perwakilan Provinsi Papua tidak bertanggungjawab
terhadap kerugian yang disebabkan oleh pemegang kartu maupun
pihak lain yang tidak berwenang dalam penggunaan kartu kredit
tersebut. Akan tetapi pihak Bank Indonesia Kantor Perwakilan
Provinsi Papua bertanggungjawab jika kerugian yang diderita
disebabkan kelalaian dari pihak Bank Indonesia Kantor Perwakilan
189
Provinsi Papua, misalnya kesalahan dalam lembar penagihan
yang diterima oleh pemegang kartu kredit
Kemudian penyebab kredit bermasalah dalam penggunaan
kartu kredit dalam kaitanya dengan ketidak mampuan membayar
menggunakan kartu kredit, maka menurut peneliti para pihak
terlebih dahulu membuat suatu perjanjian. Kemudian atas dasar
perjanjian tersebut akan memunculkan suatu hubungan hukum
yaitu menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihaknya.
Dalam hal ini yang dijadikan obyek kegiatan para pihak adalah
kartu kredit. Dengan adanya hak dan kewajiban dari masing-
masing pihak maka dibutuhkan suatu perlindungan hukum atas
pengakuan dan jaminan hukum dalam rangka melindungi
pemegang kartu kredit.
Penyelesaian penyalahgunaan kartu kredit dapat melalui dua
cara yaitu Litigasi yang diatur dalam Pasal 1 angka (1) dan Pasal
10 angka (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman39 yang memuat kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan negara yang merdeka
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan
keadilan serta pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan.
39 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
190
Apabila penyelesaian dilakukan melalui jalur pengadilan maka
pihak Card Holder akan dituduh telah melakukan wanprestasi
yang tercantum dalam Pasal 1235 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang berbunyi dalam tiap-tiap perikatan untuk
memberikan sesuatu adalah termasuk kewajiban si berhutang
untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan
merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik sampai
pada saat penyerahan. Penyelesaian masalah yang dimaksud
adalah wanprestasi yang dilakukan oleh Card Holder dalam hal
dana yang ada pada bank tidak mencukupi untuk pembayaran
transaksi yang dilakukan, sehingga pihak issuer dapat meminta
kepada card holder untuk memenuhi prestasi.
Terkait dengan Pemakai kartu kredit yang sebenarnya bukan
merupakan orang yang berhak dengan melakukan pemalsuan
terhadap tanda tangan dari pemegang kartu yang sah,
tindakannya dikategorikan sebagai penipuan sesuai dengan Pasal
378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu barangsiapa
dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau
martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian
kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan
barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
191
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
Kemudian dalam kaitanya dengan proses pengaduan yang di
terima oleh Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Papua
baik itu dari Bank BNI Cabang Jayapura, Bank Mandiri Cabang
Jayapura maupun Bank Danamond Cabang Jayapura dalam
kurun waktu 4 tahun terakhir maka akan diuraikan dalam tabel
sebagi berikut :
Tabel 4. 6, Jumlah Pengaduan yang Di Terima Oleh Bank
Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Papua Periode
Tahun 2013 – 2016
No
Kasus yang di
terima
2013
2014
2015
2016
1
2.
3.
Bank BNI Cabang
Jayapura
Bank Mandiri
Cabang Jayapura
Bank Danamon
Cabang Jayapura
6
5
4
9
10
8
7
8
6
5
3
3
Total ............................
15
26
21
11
Data Primer di olah 2015
Dari tabel tersebut diatas dapat peneliti gambarkan bahwa
jumlah kasus yang diterima oleh Bank Indonesia Perwakilan
Provinsi Papua yaitu pada tahun 2013 baik itu kasus yang berasal
dari Bank BNI Cabang Jayapura, Bank Mandiri Cabang Jayapura
dan Bank Danamon Cabang Jayapura sebanyak 15 kasus,
kemudian pada tahun 2014 total jumlah kasus yang diterima baik
dari Bank BNI Cabang Jayapura, Bank Mandiri Cabang Jayapura
192
dan Bank Danamon Cabang Jayapura oleh Bank Indonesia
Cabang Jayapura berjumlah 26 kasus, lalu pada tahun 2014
jumlah kasus yang diterima oleh Bank indonesia Perwakilan
Provinsi Papua dari Bank BNI Cabang Jayapura, Bank Mandiri
Cabang Jayapura dan Bank Danamon Cabang Jayapura
berjumlah 21 kasus , dan yang terakhir kasus yang diterima oleh
pihak Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Papua yang berasal
dari Bank BNI Cabang Jayapura, Bank Mandiri Cabang Jayapura
dan Bank Danamon Cabang Jayapura oleh Bank Indonesia
Cabang Jayapura berjumlah 11 kasus
Kasus – kasus yang sering di tangani oleh pihak Bank
Indonesia Perwakilan Provinsi Papua yaitu menyangkut
penghimpun dana, penyaluaran dana dan sisitim pembayaran
Dalam kasus sistim pembayaran di sini lebih mengarah
kepada penggunaan kartu kredit dan debit paling banyak
dikeluhkan nasabah terutama menyangkut mekanisme kerja dari
kartu sendiri, maupun penagihan dan pengenaan bunga yang
dinilai merugikan nasabah.
Direktur Konsumer Bank Indonesia Kantor Perwakilan
Provinsi Papua Ginanjar40, mengatakan bahwa tingginya keluhan
karena penggunaan kartu disebabkan karena mesin dan sistem
jaringan kadang kala tidak bisa berfungsi seratus persen setiap
40 Wawancara Bapak Ginanjar, Direktur Konsumer Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Papua tgl, 4 juni 2015
193
saat. Hal ini disebabkan oleh kerusakan mesin atau sedikit
kesalahan pada jaringan. Oleh karena itu untuk dapat menjaga
kepercayaan nasabah, dengan cara menyelesaikan perselisihan
dengan nasabah secara cepat. Selain itu, bank harus lebih
memperhatikan penggunaan mesin-mesin yang handal dan
memantau operasional serta memelihara mesin, sehingga tetap
bekerja maksimal.
Terhadap perselisihan yang sering terjadi antara nasabah
dan bank dalam hal pemegang kartu kredit yang merasa tidak
melakukan transaksi, tetapi tetap saja ditagih bahkan sampai-
sampai dikejar-kejar oleh debt collector meskipun sudah
mengajukan komplain. Apabila perusahaan penyelenggara tetap
melimpahkan kerugian kepada pemegang kartu kredit meskipun
pemegang kartu telah mengajukan komplain dan dapat
membuktikan tidak bertransaksi maka nasabah dapat mengadu ke
bank Indonesia dengan membawa bukti-bukti. Bukti-bukti ini
diperlukan untuk mengantisipasi adanya pemegang kartu kredit
yang nakal.
Deputi Kepala Perwakilan Kantor Bank Indonesia Provinsi
Papua Eko Waluyo Purwako41 menilai sistem mediasi sengketa
nasabah di perbankan masih lemah. Hal ini terlihat dari semakin
banyaknya pengaduan yang dilaporkan nasabah ke bank
41
Wawancara Bapak Eko Waluyo Purwako, Deputi Kepala Perwakilan Kantor Bank Indonesia Provinsi Papua, 7 Juni 2015
194
Indonesia untuk itulah maka di perlukan upaya hukum dalam
penaganan kasus sengketa tersebut yaitu dengan di terbitkannya
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi
Perbankan yang diperbarui dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 10/1/PBI/2008, yang mengharuskan bank memiliki
lembaga mediasi. Dalam penyelesaian sengketa nasabah dengan
perbankan, mekanisme yang ditempuh adalah dengan
penyelesaian antara nasabah dan bank. Bila tidak bisa, maka
kemudian dapat dilaporkan ke bank Indonesia untuk diselesaikan
dan apabila tidak berhasil juga maka dapat ditempuh jalur
pengadilan atau arbitrase.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat
mempercepat proses mediasi perbankan, dengan meningkatkan
peran dan fungsi kepatuhan (compliance) serta pengawasan
bank. Eko Waluyo Purwako Deputi Kepala Perwakilan Kantor
Bank Indonesia Provinsi Papua mengatakan juga bahwa betapa
pentingnya mempercepat penyelesaian pengaduan nasabah
sebagai bagian dari peningkatan layanan supaya reputasi dan
kredibilitas bank dimasyarakat tetap terjaga.42
Dengan pengenalan, pemahaman, ataupun sikap positif
untuk memanfaatkan sarana pengaduan sebagai cara
penyelesaian masalah, nasabah diharapkan dapat mengupayakan
42Wawancara Bapak Eko Waluyo Purwako, Deputi Kepala Perwakilan Kantor Bank Indonesia Provinsi Papua, 7 Juni 2015
195
penyelesaian permasalahan melalui mekanisme yang telah
disediakan bank dan dapat menghindari terjadinya konflik lebih
lanjut dengan bank yang akhirnya hanya akan merugikan nasabah
dan bank dalam hal waktu, biaya, dan reputasi. Forum tersebut
diharapkan sebagai wadah merumuskan upaya yang diperlukan
dalam penyelesaian sengketa antara nasabah dengan bank, serta
menjadi sumber masukan mengenai regulasi dan arah
perlindungan nasabah ke depan.
Namun pada tahun 2011 telah disahkan Undang-Undang
Otoritas Jasa Keuangan yang menggantikan tugas bank Indonesia
dalam mengatur dan mengawasi bank. Dengan disahkannya
Undang-Undang tersebut maka satuan kerja bank Indonesia yang
berkaitan dengan pengaturan dan pengawasan bank akan
dipindahkan ke Otoritas Jasa Keuangan dimana salah satu satuan
kerja yang dipindahkan adalah Direktorat Investigasi dan Mediasi
Perbankan. Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan akan
mulai dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan mulai 1 Januari
2014, sehingga dengan dipindahkannya Direktorat Investigasi dan
Mediasi Perbankan ke Otoritas Jasa Keuangan maka akan
memperkuat posisi Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan
sebagai pelaksana mediasi perbankan.
196
Menurut Nicko Jefta,43 staf KOJK Papua dan Papua Barat
mengatakan bahwa pihak OJK melalui ketentuan surat edaran
telah menetapkan proses penyelesaian sengketa terhadap para
pihak melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa
sebagaimana yang diuraiakan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan (SEOJK) Nomor 2/(SEOJK).07/2014 tentang
Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen dan Pelaku
Usaha Jasa Keuangan pada bagian ke IV ayat (1). (2), (3), dan (4)
tentang Penyelesaian Pengaduan Melalui Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa . Walaupun demikian, Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK.) tidak mencabut keberlakuan Peraturan
Bank Indonesia selama ketentuan-ketentuan dalam Peraturan
Bank Indonesia tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK.)
Berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku proses
penyelesaian sengketa antara bank dengan Konsumen
(didefinisikan sebagai pihak yang menempatkan dananya
dan/atau memanfaatkan pelayanan Bank, atau perwakilannya)
dapat dibagi menjadi dua tahapan. Yaitu tahapan penyelesaian
pengaduan Konsumen pada Bank dan tahapan penyelesaian
sengketa melalui OJK.
43 Wawancara Bapak Nicko Jefta, Staf KOJK Papua dan Papua Barat, tgl, 10 juni 2015
197
a. Penyelesaian Pengaduan Konsumen pada Bank
POJK No.1/2013 mewajibkan setiap Bank untuk memiliki
unit yang dibentuk secara khusus di setiap kantor Bank untuk
menangani dan menyelesaikan pengaduan yang diajukan oleh
Konsumen tanpa dipungut bayaran. Pengaduan harus
didasari atas adanya kerugian/potensi kerugian finansial pada
Konsumen karena kesalahan atau kelalaian Bank.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor. 7/2005
pengaduan tersebut dapat dilakukan baik secara tertulis
maupun secara lisan, pada setiap kantor bank terlepas dari
apakah kantor bank tersebut merupakan kantor bank tempat
Konsumen membuka rekening dan/atau melakukan transaksi
keuangan. Atas pengaduan yang dilakukan secara lisan, bank
wajib menyelesaikannya dalam jangka waktu dua hari kerja
terhitung sejak tanggal pencatatan pengaduan. Apabila
diperkirakan memerlukan waktu lebih lama, maka petugas unit
penanganan dan penyelesaian pengaduan pada kantor bank
pengaduan lisan tersebut disampaikan meminta Konsumen
untuk mengajukan pengaduan secara tertulis.
Setelah menerima pengaduan tertulis dari konsumen,
bank wajib menyelesaikan pengaduan terkait paling lambat 20
hari kerja sejak tanggal penerimaan pengaduan tertulis oleh
bank, dan dapat diperpanjang sampai dengan paling lama 20
198
hari kerja lagi dalam kondisi tertentu. kondisi tertentu tersebut
seperti:
1. pengaduan tertulis disampaikan pada kantor bank yang
berbeda dengan kantor bank tempat terjadinya
permasalahan yang diadukan sehingga terdapat kendala
komunikasi di antara kedua kantor bank tersebut;
2. transaksi keuangan yang diadukan konsumen
memerlukan penelitian khusus terhadap dokumen-
dokumen bank; atau
3. terdapat hal-hal lain di luar kendali bank, keterlibatan
pihak ketiga dalam transaksi keuangan yang dilakukan
oleh konsumen. Setiap perpanjangan wajib diberitahukan
kepada konsumen yang bersangkutan.
Penyelesaian pengaduan Konsumen sesuai dengan SEBI
Nomor. 1/2014 dapat berupa pernyataan maaf atau ganti rugi
kepada konsumen. Ganti rugi diberikan untuk kerugian yang
bersifat material, dengan ketentuan, diantaranya: (i) Konsumen
telah memenuhi kewajibannya; (ii) terdapat ketidaksesuaian
antara produk dan/ atau layanan bank yang diterima dengan yang
diperjanjikan; (iii) pengaduan diajukan paling lama 30 hari sejak
diketahuinya produk dan/ atau layanan yang tidak sesuai dengan
perjanjian; dan (iv) kerugian berdampak langsung pada
Konsumen. Ganti rugi yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan (OJK.) maksimum sebesar nilai kerugian konsumen.
b. Penyelesaian Sengketa Melalui OJK
Jika pengaduan konsumen tidak dapat diselesaikan oleh
bank, maka konsumen dapat mengajukan penyelesaian
199
sengketa melalui pengadilan atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa di sektor perbankan.
Berdasarkan POJK Nomor. 1/2014 lembaga alternatif
penyelesaian sengketa di sektor perbankan dibentuk oleh
bank-bank yang dikoordinasi oleh asosiasi perbankan, yang
berwenang untuk memeriksa sengketa dan menyelesaikannya
melalui mediasi, ajudikasi atau arbitrase.
3. Penyelesaian Sengketa ATM
Penggunaan Kartu ATM sudah bukan hal yang baru lagi bagi
masyarakat sekarang ini. Seiring dengan berkembangnya zaman
penggunaan kartu ATM sekarang ini telah banyak digunakan oleh
kalangan masyarakat sebagai nasabah bank. Nasabah yang
semakin banyak yang menggunakan kartu ATM membuat banyak
pihak ketiga yang tergiur untuk dapat memanfaatkan situasi ini. Hal
ini menyebabkan terjadi banyak kasus-kasus yang dikarenakan
pengunaan ATM tersebut . Kasus-kasus yang umum terjadi seperti
kartu tertelan, uang yang tidak keluar pada saat penarikan, serta
rekening yang terdebet.
Hampir setiap hari kita jumpai keluhan nasabah bank dimuat di
berbagai media cetak. Keluhan nasabah yang dikutip di awal
tulisan ini hanyalah untuk menunjukkan salah satu contoh. Jika
dicermati keluhan yang terjadi pada umumnya tidak jauh dari
masalah transaksi tabungan (baik di ATM maupun di kantor bank),
200
jasa pengiriman uang yang terlambat, dan penagihan kredit oleh
tukang tagih kredit bank yang berperilaku sangat kasar kepada
debitor. yang membuat jengkel, mengapa seolah telah terjadi
semacam “paduan suara” di antara perbankan bahwa untuk
menyelesaikan keluhan nasabah di media cetak, cukup dijawab
dengan kata-kata “keluhan telah dibicarakan dengan nasabah dan
telah diselesaikan dengan baik” sebagaimana contoh kutipan di
awal tulisan ini.
Bagi nasabah yang bersangkutan, permasalahannya mungkin
benar-benar telah diselesaikan, namun bagi masyarakat umum
yang membaca keluhan nasabah tersebut jelas masih penasaran
karena setelah menunggu cukup lama akhirnya mereka tidak
mendapatkan informasi apapun tentang bagaimana bank
menyelesaikan keluhan nasabah. Disini yang diharapkan oleh
masyarakat adalah bank bersedia menjelaskan secara terbuka
proses dan cara penyelesaian keluhan nasabah. Dengan demikian
bagi masyarakat awam akan dapat memperoleh suatu
pembelajaran karena mereka akan mengetahui bagaimana
penyelesaian yang dilakukan bank, sehingga masyarakat lainnya
tidak perlu ramai-ramai mengirim keluhan yang sama ke media
massa ketika mereka mengalami kasus yang sama.
Namun demikian, dengan masih enggannya pihak perbankan
untuk menjelaskan secara terbuka proses penyelesaian keluhan
201
nasabah, maka hal ini akan membuka peluang bagi bank untuk
tetap dapat mengeksploitasi ketidaktahuan nasabah terhadap
produk dan jasa perbankan, karena kasus sebesar apapun
akhirnya toh dapat diselesaikan hanya dengan mempublikasikan
kata-kata sapu jagad di media massa.
Berdasarkan kasus-kasus yang terjadi pada nasabah dapat
dibagi menjadi beberapa bentuk sebagaimana di jelaskan dalam
tabel berikut ini :
Tabel 4 . 7 Kasus-Kasus yang Terjadi Pada Nasabah Kaitanya
Dengan Pengunaan ATM
No
Uraian
Banyaknya
Presentasi
1.
2.
Akibat kerusakan Mesin
Akibat kesalahan
Manusia
14
31
31,11
68,88
Total......................................
45
100
Data primer di olah 2015
Dari tabel tersebut dapat di jelaskan bahwa dari 45 responden
maka di jelaskan sebanyak 14 (31,11%) responden dapat
dikaterogikan mengalami kasus akibat adanya kerusakan pada
mesin kartu ATM. Kerusakan mesin kartu ATM ini merupakan
tanggung jawab bank yang mana kesalahan tersebut bukan dari
pihak nasabah sehingga apabila kerugian maka menjadi tanggung
jawab bank, sehingga nasabah apabila terjadi masalah pada kartu
202
ATM yang diakibatkan kerusakan mesin ATM dapat melaporkan
pada pihak bank sehingga dapat diselesaikan sesuai dengan
prosedur yang ada.
Kemudian 31 (68,88%) responden mengalami kasus akibat
kesalahan dari manusia itu sendiri maka jika dilihat dalam syarat
dan ketentuan umum pada bank umumnya adalah “Pemegang
kartu setiap waktu akan menjaga kartu dan Personal Identification
Number (PIN) yang merupakan nomor rahasia pemegang kartu
bertanggung jawab penuh atas setiap transaksi dengan
menggunakan kartu dan nomor PIN dengan cara bagaimanapun
transaksi dilakukan.
Terkait dengan kasus –kasus yang terjadi pada nasabah
dalam kaitanaya dengan pengunaan ATM maka menurut peneliti
perlu adanaya penerapan Undang-ndang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai
perlindungan terhadap nasabah atas kerusakan electronic banking
yang mensyaratkan adanya keseimbangan perlindungan
kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta
perekonomian yang sehat, dalam konteks ini termasuk dalam
hubungan antara bank sebagai pelaku usaha dengan nasabahnya.
Apabila terjadi permasalahan atas kerusakan electronic banking,
maka nasabah selaku konsumen dapat mengajukan pengaduan
kepada bank Indonesia hal ini berdasarkan Peraturan Bank
203
Indonesia Nomor 10/10PBI/2008 tentang perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7PBI/2005 tentang
Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Tindakan hukum yang dapat
dilakukan terhadap para pihak terkait dalam kerusakan electronic
banking adalah dengan cara diserahkannya penyelesaian
persoalan ke pada pihak ketiga yang secara hukum memiliki
wewenang untuk menangani permasalahan yang ada dan
diselesaikan secara litigasi / melalui pengadilan atau pun secara
non litigasi / di luar pengadilan seperti melalui mediasi, negosiasi,
konsiliasi dan arbitrase menurut aturan hukum yang
berlaku.44Penyelesaian sengketa melalui fungsi mediasi
perbankan.. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu
diinformasikan kepada para nasabah Bank Indonesia Kantor
Perwakilan Provinsi Papua mengenai alternatif penyelesaian
sengketa melalui lembaga mediasi perbankan, sebagaimana yang
telah diatur oleh ketentuan bank Indonesia tersebut.
Rudy Fonataba45 selaku customer service di Bank Mandiri
Cabang Jayapura mengatakan bahwa di Bank Indonesia Kantor
Perwakilan Provinsi Papua belum pernah dilakukan mediasi
perbankan mengenai transaksi bermasalah terhadap nasabah
pengguna jasa Kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM).
44 Ronny Prasetya, 2010, Tinjauan Hukum Perlindungan Nasabah Korban Kejahatan Perbankan, Jakarta, PT. Prestasi Pustakaraya. Hal. 37. 45 Wawancara Bapak Rudy Fonataba selaku customer service pada Bank Mandiri Cabang Jayapura , tgl 4, agustus 2015
204
Penyelesaian yang dilakukan pihak Bank Indonesia Kantor
Perwakilan Provinsi Papua yaitu dengan tahap-tahap sebagai
berikut:
1. Melapor kepada pihak Bank Indonesia Kantor Perwakilan
Provinsi Papua
2. Mengisi formulir keluhan nasabah serta melengkapi
persyaratannya (foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) +
buku tabungan)
3. Menunggu proses dari pihak bank
4. Mendapatkan penyelesaian dari pihak bank.
Selanjutnya hasil wawancara yang dilakukan kepada nasabah
pengguna jasa Kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bermasalah,
dari tiga orang nasabah pengguna jasa Kartu Anjungan Tunai
Mandiri (ATM) bermasalah yaitu kepada:
1. Risna Siregar46 pernah mengalami transaksi bermasalah
yakni resi tidak keluar, uang transfer tidak sampai ke nomor
rekening tujuan dan tabungan sudah terdebet sejumlah Rp.
1.450.000,- (satu juta empat ratus lima puluh ribu rupiah) pada
Tanggal 16 Juni 2013. Jam transaksi yakni 20.10, Lokasi
Anjungan Tunai Mandiri (ATM) di Mall Jayapura.
2. Rihi Simon Taihuttu47 pernah mengalami transaksi
bermasalah yakni uang tidak keluar tabungan sudah terdebet
sejumlah Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) pada Tanggal
46 Wawancara ibu Risna Siregar, selaku nasabah di Bank Mandiri Cabang Jayapura, tgl,22 agustus 2015, 47 Wawancara Rihi Simon Taihuttu selaku nasabah di Bank Mandiri Cabang Jayapura , tgl 23 agustus 2015,
205
27 Januari 2012. Jam transaksi yakni 21.24, Lokasi Lokasi
Anjungan Tunai Mandiri (ATM) di Mall Jayapura.
3. Raymundus Renyaan48 pernah mengalami transaksi
bermasalah yakni uang terdebet tanpa melakukan penarikan
sejumlah Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah).
Ketiga nasabah pengguna jasa kartu anjungan tunai mandiri
(ATM) bermasalah mengatakan bahwa mereka pernah
mengalamai transasksi bermasalah dalam menggunakan kartu
anjungan tunai mandiri (ATM) di Mall Jayapura dan juga telah
mendapatkan penyelesaiannya. Pihak nasabah mengatakan
mereka menunggu konfirmasi dari pihak bank untuk mendapatkan
penyelesaian transaksi bermasalah dengan jangka waktu 5 (lima)
hari maka telah mendapatkan konfirmasi dari pihak bank dan uang
nasabah langsung di transfer ke nomor rekening nasabah.
Retno kusuma Ningrum49 selaku customer service di Bank
BNI Cabang Jayapura mengatakan bahwa pada saat
mengadukan keluhan terkait masalah pelayanan (kartu Kredit atau
terblokir) terkadang pelayanan dari pihak bank kurang cepat /
kurang efektif, sebagai nasabah pada bank harusnya
diprioritaskan karna walaupun sedang ada di luar kota yang hilang
kartu ATMnya agar dapat diproses . masalah seperti ini sering
48 Wawancara Raymundus Renyaan selaku nasabah di Bank Danamond Cabang Jayapura , tgl 7 agustus 2015 49 Wawancara Retno kusuma Ningrum, selaku customer service pada Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Papua , tgl 28 agustus 2015
206
terjadi, sehingga harus kembali lagi ke Jayapura pada bank yang
pertama kali di buka. Namun biasanya dari pihak bank meminta
apabila kartu ATMnya hilang melengkapi berita acara kehilangan
dari kepolisian dan foto copy KTP.
Dengan demikian, dari uraian yang di kemukakan oleh
beberapa responden terkait dengan pemahaman menyangkut
mediasi perbankan yang di laksanakan oleh pihak Bank Indonesia
Kantor Perwakilan Provinsi Papua , dalam hal ini menyangkut
mengetahui maupun menginformasikan mengenai adanya
ketentuan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang mediasi
perbankan, kemudian mengenai pengajuan pengaduan kepada
Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Papua terkait
permasalahan atau sengketa yang di sengketakan.
Dari uraian tersebut maka menurut peniliti bahwa pihak Bank
Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Papua harus bisa
memberikan informasi dalam kaitannya dengan ketentuan
Peraturan Bank Indonesia tentang mediasi perbankan sebagai jalur
non litigasi dalam proses penyelesaian sengketa antara para pihak
maupun proses ketentuan hukum Peraturan Bank Indoensia
menyangkut atau terkait dengan pengajuan pengaduan oleh
nasabah
207
C. Pelaksanaan Putusan atau Kesepakatan
Kesepakatan antara nasabah atau perwakilan nasabah dengan
bank yang dihasilkan dari proses mediasi dituangkan ke dalam suatu
akta kesepakatan yang ditandatangani oleh nasabah atau perwakilan
nasabah. Dalam Pasal 1 huruf 7 PBI Nomor 8/5/PBI/2006 tentang
Mediasi Perbankan dinyatakan kesepakatan adalah persetujuan
bersama antara nasabah atau perwakilan nasabah dengan bank
terhadap suatu upaya penyelesaian sengketa.
Kesepakatan yang dihasilkan dari proses mediasi adalah
kesepakatan secara sukarela antara nasabah dengan bank terhadap
sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan dan
bukan merupakan rekomendasi dan atau keputusan mediator. Karena
mediator hanya sebagai fasilitator para pihak untuk mencapai
kesepakatan. Oleh karena itu kesepakatan yang diperoleh adalah
murni bersumber dari para pihak tanpa adanya intervensi mediator.
Kesepakatan damai yang telah dicapai para pihak haruslah
acceptable solution artinya kesepakatan tersebut merupakan
kesepakatan yang diterima oleh kedua belah pihak dan
menguntungkan kedua belah pihak. Tidak harus win-win solution, tapi
ada garis yang dapat diambil menjadi kesepakatan. Artinya kedua
belah pihak sama-sama menerima keputusan itu, karena kalau
208
misalnya kedua belah pihak tidak menerima keputusan itu akan
berpengaruh pada implementasi dari kesepakatan itu.50
Penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan lebih mirip
dengan penyelesaian sengketa secara musyawarah untuk mencapai
mufakat. Penyelesaian sengketa antara nasabah dengan bank melalui
mediasi merupakan hal yang dianggap paling ideal, mengingat
keadilan ,muncul dari para pihak karena tidak ada pihak yang
mengambil keputusan yang menguntungkan keduabelah pihak.
Dalam teori hukum yang di kemukakan oleh Jhon Rawls51
keadilan adalah Kejujuran (Justice As Fairnes) Masyarakat adalah
kumpulan individu yang di satu sisi menginginkan bersatu karena
adanya ikatan untuk memenuhi kumpulan individu – tetapi disisi yang
lain – masing-masing individu memiliki pembawaan serta hak yang
berbeda yang semua itu tidak dapat dilebur dalam kehidupan sosial
Oleh karena itu Rawls mencoba memberikan jawaban atas
pertanyaan, bagaimana mempertemukan hak-hak dan pembawaan
yang berbeda disatupihak dengan keinginan untuk bersama demi
terpenuhnya kebutuhan bersama?, setiap orang dihadapkan pada
tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri,
termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga
membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang
tengah berkembang. Orang-orang atau kelompok yang terlibat dalam
50
Felix Oentoeng Soebagjo, op.cit., hlm.5. 51 Teori Keadilan John Rawls Pemahaman Sederhana Buku A Theory Of Justice, (Massachussetts, Havard University Press, 1971), hal 27
209
situasi yang sama tidak mengetahui konsepsi-konsepsi mereka
tentang kebaikan. Situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang
di dalam masyarakat Tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi
antara satu dengan yang lainnya.
Sifat lain dari penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah
adanya unsur kesukarelaan. Tanpa adanya kesukarelaan di antara
para pihak, maka mekanisme alternatif penyelesaian sengketa tidak
akan bisa terlaksana. Kesukarelaan yang dimaksud meliputi
kesukarelaan terhadap mekanisme penyelesaiannya dan
kesukarelaan terhadap isi kesepakatan.52
Dalam Pasal 1 huruf 8 Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan dinyatakan bahwa
“Akta Kesepakatan adalah dokumen tertulis yang memuat
kesepakatan yang bersifat final dan mengikat bagi nasabah dan
bank”.
Kesepakatan yang diperoleh dari proses mediasi perbankan
dituangkan dalam suatu akta kesepakatan yang bersifat final dan
mengikat bagi nasabah dan bank. Pelaksanaan yang dimaksud final
adalah sengketa tersebut tidak dapat diajukan untuk dilakukan proses
mediasi ulang pada pelaksana fungsi mediasi perbankan. Sedangkan
yang dimaksud dengan mengikat adalah kesepakatan berlaku sebagai
52
Sefti Williarsih Weblog, Perlindungan Kepentingan Nasabah dan Pentingnya Menjaga Reputasi Bank, http://www.worldpress.com, diakses tanggal 8 Juli 2015
210
undang-undang bagi nasabah dan bank yang harus dilaksanakan
dengan itikad baik.
Terhadap mekanisme pengawasan pelaksanaan kesepakatan
tersebut merujuk pada Pasal 6 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
yang menyatakan “Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda
pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk
dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan
Negeri dalam jangka waktu paling lama 30 (tigapuluh hari) sejak
penandatanganan.
Apabila dalam jangka waktu tigapuluh hari dan atau dengan
perpanjangan tiga puluh hari untuk kondisi tertentu proses mediasi
perbankan belum berhasil maka para pihak dapat menempuh upaya
hukum lain baik melalui pengadilan atau arbitrase. Tetapi upaya
hukum lain dari para pihak ini tidak boleh melibatkan mediator
maupun bank Indonesia sebagai pelaksana fungsi mediasi perbankan
dan tidak boleh mempergunakan dokumen-dokumen yang
dipergunakan dalam proses mediasi. Akan tetapi, akta kesepakatan
yang dihasilkan dari proses mediasi dapat dijadikan sebagai alat bukti
ke Pengadilan Negeri dan dapat dimintakan eksekusinya ke
pengadilan apabila ada salah satu pihak yang tidak melaksanakan
kesepakatan sebagaimana yang terdapat dalam akta kesepakatan.
211
Pelaksanaan akta kesepakatan hasil mediasi sangat bergantung
dari itikad baik para pihak dalam mentaati hasil-hasil perundingan atau
kesepakatan tersebut. Memang sudah seharusnya kesepakatan yang
diperoleh tanpa ada paksaan dan didasarkan kepada kesukarelaan
para pihak dapat dilaksanakan oleh para pihak dengan itikad baik.
Namun demikian apabila dalam kurun waktu tigapuluhari sejak
penandatanganan kesepakatan belum dilaksanakan maka dapat
dikatakan bahwa pihak yang tidak melaksanakan isi kesepakatan
telah melakukan wanprestasi.
Kekuatan mengikat dari akta kesepakatan mediasi pada
hakikatnya merupakan kesepakatan dari para pihak, yakni bank
dengan nasabah. Mengenai akibat perjanjian diatur dalam Pasal 1338
KUH Perdata yang menyebutkan bahwa:
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-
persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat
kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-
undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik.”
Dengan istilah “secara sah” pembentuk undang-undang
menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan. Semua persetujuan yang dibuat menurut
hukum atau secara sah (Pasal 1320 KUH Perdata) adalah mengikat
212
sebagai undang-undang terhadap para pihak. Di sini tersimpul
realisasi asas kepastian hukum.53
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menunjukkan kekuatan
kedudukan kreditur dan sebagai konsekuensinya perjanjian itu tidak
dapat ditarik kembali secara sepihak. Namun kedudukan ini diimbangi
dengan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang mengatakan bahwa
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik54. Hal ini memberi
perlindungan pada debitur dan kedudukan antara kreditur dan debitur
menjadi seimbang. Ini merupakan realisasi dari asas keseimbangan.55
Dalam Pasal 16 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/5/PBI/2006 disebutkan bank melanggar ketentuan sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) 56, Pasal 9 ayat (2) 57, Pasal
1358 dan Pasal 1459 dikenakan sanksi administratif sesuai dengan
Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
53
ibid 54
Itikad baik dalam kontrak merupakan lembaga hukum (rechtsfiguur) yang berasal dari hukum Romawi yang kemudian diserap oleh civil law. Doktrin itikad baik bermula doktrin ex bona fides. Doktrin yang mensyaratkan adanya itikad baik dalam kontrak. Inti konsep bona fides adalah fides. Fides merupakan suatu konsep yang aslinya merupakan sumber yang relegius, yang bermakna kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lainnya, atau suatu kepercayaan atas kehormatan dan kejujuran seseorang kepada orang lainnya. Lihat Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, 2004), hlm.128-133. 55
Ibid., hlm.83. 56
Pasal 7 ayat (2) PBI Nomor 8/5/PBI/2006 menyatakan: ”Dalam hal nasabah atau perwakilan nasabah mengajukan penyelesaian sengketa kepada Bank Indonesia, Bank wajib memenuhi panggilan Bank Indonesia”. 57
Pasal 9 ayat (2) PBI Nomor 8/5/PBI/2006 menyatakan: “Bank wajib mengikuti dan menaati perjanjian mediasi yang telah ditandatangani oleh nasabah atau perwakilan nasabah dan bank”. 58
Pasal 13 PBI Nomor 8/5/PBI/2006 menyatakan: “Bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian sengketa perbankan antara nasabah dengan bank yang telah disepakati dan dituangkan dalam Akta Kesepakatan”. 59
Pasal 14 PBI Nomor 8/5/PBI/2006 menyatakan: “Bank wajib mempublikasikan adanya sarana alternatif penyelesaian sengketa di bidang perbankan dengan cara mediasi kepada nasabah”.
213
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.10 Tahun
1998 berupa teguran tertulis. Dalam ayat (2) nya disebutkan
pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperhitungkan dalam komponen penilaian tingkat kesehatan bank.
Dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
disebutkan bahwa:
“Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 47 A, Pasal 48, Pasal 49, dan
Pasal 50 A, bank Indonesia dapat menerapkan sanksi administratif
kepada bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang ini, atau Pimpinan bank Indonesia
dapat mencabut izin usaha bank yang bersangkutan.”
Sanksi administratif tersebut, antara lain:
1) Denda uang;
2) Teguran tertulis;
3) Penurunan tingkat kesehatan bank;
4) Larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
5) Pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang
tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan;
6) Pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan
mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum
Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat
pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia;
Pencantuman anggota, pengurus, pegawai bank, pemegang
saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi, para pihak
biasanya mampu mencapai kesepakatan di antara mereka,
sehingga manfaat mediasi dapat dirasakan. Mediasi perbankan
pada Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Papua sangat
214
terasa manfaatnya dalam segi waktu penyelesaiannya yang relatif
singkat, tetap terjaga hubungan baik dengan nasabah, terjaganya
reputasi Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Papua , dan
juga terjaganya kepercayaan masyarakat pada Bank Indonesia
Kantor Perwakilan Provinsi Papua selain itu mediasi perbankan juga
memberikan manfaat membangun perbankan yang sehat, kuat,
dan transparan sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi
sosial perbankan.
. Dalam proses pelaksanaan mediasi, Bank Indonesia Kantor
Perwakilan Provinsi Papua dalam melaksanakan fungsi mediasi
perbankan tidak memberikan keputusan atau rekomendasi
penyelesaian sengketa kepada nasabah dan pada pihak Bank
Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Papua. Dalam hal ini,
pelaksanaan mediasi perbankan dilakukan dengan cara
memfasilitasi nasabah dan bank untuk mengkaji kembali pokok
permasalahan sengketa secara mendasar agar tercapai
kesepakatan. Kesepakatan antara nasabah dan bank inilah yang
untuk selanjutnya dituangkan dalam bentuk akta kesepakatan
yang merupakan dokumen tertulis yang memuat kesepakatan
yang bersifat final dan mengikat. Kesepakatan yang dihasilkan
merupakan kesepakatan yang dibuat secara sukarela antara
nasabah dengan bank dan bukan merupakan rekomendasi ataupun
keputusan mediator. Sehubungan dengan peran mediator yang
215
hanya menjadi fasilitator, nasabah dan bank tidak dapat meminta
pendapat hukum maupun jasa konsultasi hukum kepada mediator.
Dalam kesepakatannya akta kesepakatan ini hanya dibuat
didepan mediator tanpa keikutsertaan pihak lain yang berwenang
dan juga tidak perlu pendaftran pelaksanaan ke Pengadilan agar
memiliki kekutan eksekutorial. Apabila dibandingkan dengan proses
mediasi lain ataupun alternatif penyelesaian sengketa lainnya, akta
kesepakatan mediasi perbankan ini agak berbeda pelaksanaanya
benar-benar didasarkan adanya itikad baik dari nasabah dan bank.
Untuk melaksanakannya tanpa adanya pengawasan dari badan
lain. Kewajiban yang jelas diatur hanya terdapat pada Pasal 13
Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 bahwa bank wajib
untuk melaksanakan hasil penyelesaian sengketa dengan nasabah
yang telah disepakati dan ditangkan dalam akta kesepakatan.
Pelaksanaan putusan dapat berpengaruh pada para pihak yang
berpekara, baik itu pihak bank maupun pihak nasabah. Berikut ini
pengaruh putusan yakni :
1. Terhadap Bank
Khusus untuk perbankan mengenai mediasi diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi
Perbankan, sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan
Bank Indonesia Nomor. 10/1/PBI/2008. Mediasi Perbankan ini
merupakan upaya lanjutan (fase 2) dari upaya penyelesaian
216
pengaduan nasabah (fase 1) yang tidak terselesaikan secara
internal oleh bank.60
Dengan demikian sebelum menempuh
proses mediasi terlebih dahulu pihak nasabah harus telah
mengajukan pengaduan kepada bank yang bersangkutan dan
ketika tidak menerima putusan dari lembaga pengaduan yang ada
di internal bank, baru kemudian pihak nasabah diperkenankan
untuk menyelesaian sengketa dimaksud ke lembaga Mediasi
Perbankan, yang untuk sementara ini dijalankan oleh Bank
Indonesia (B1).
Berdasarkan Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/5/PBI/2006 disebutkan bahwa kesepakatan antara nasabah atau
perwakilan nasabah dengan bank yang dihasilkan dari proses
mediasi dituangkan dalam akta kesepakatan yang ditandatangani
oleh nasabah atau perwakilan nasabah dan bank. Konsekuensi
hukum setelah penandatangan akta kesepakatan, yaitu bahwa
bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian sengketa perbankan
antara nasabah dan bank. Hal ini terlihat dalam ketentuan Pasal
13 Peraturan Bank Indonesia Nomor. 8/5/PBI/2006 yang
menyebutkan bahwa bank wajib melaksanakan hasil penyelesaian
sengketa perbankan antara nasabah dengan bank yang telah
disepakati dan dituangkan dalam akta kesepakatan. Apabila pihak
bank tidak melaksanakannya, bank Indonesia akan menjatuhkan
60 Anonim, 2007, “Pelaksanaan Fungsi Mediasi Perbankan”, Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia, www.qbi.go.id, tanggal akses 28 April 2008
217
hukuman kepada bank yang bersangkutan, yaitu sanksi
administratif, mulai dari berupa denda uang, teguran tertulis,
penurunan tingkat kesehatan bank, larangan untuk turut serta
dalam kegiatan kliring, pembekuan kegiatan usaha tertentu
maupun untuk bank secara keseluruhan, pemberhentian pengurus
bank dan pencantuman anggota pengurus, pegawai bank,
pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang
perbankan.
2. Terhadap Nasabah
Penyelesaian pengaduan nasabah oleh bank yang diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor. 7/7/PBI/2005 tentang
Penyelesaian Pengaduan Nasabah pada praktiknya tidak selalu
dapat memuaskan nasabah. Ketidakpuasan tersebut dapat
diakibatkan oleh tuntutan nasabah yang tidak dipenuhi bank baik
seluruhnya maupun sebagian mengingat lembaga pengaduan
nasabah berada pada internal bank yang bersangkutan sehingga
penyelesaiannya merupakan kebijakan bank tempat nasabah
melakukan kegiatan transaksi keuangan. Ketika nasabah
menerima putusan yang diberikan oleh bank tersebut maka
permasalahan selesai. Akan tetapi terkadang ada nasabah yang
merasa bahwa bank tidak memberikan solusi seperti yang
diinginkannya sehingga pada gilirannya berbagai cara akan
ditempuh antara lain melaporkan kepada Lembaga Konsumen,
218
Lembaga Ombudsman, mengajukan gugatan secara perdata,
bahkan terkadang ada nasabah yang melaporkan bank kepada
polisi. Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa penyelesaian
melalui lembaga-lembaga dimaksud seringkali berlarut-larut dan
terlalu prosedural sehingga harapan kedua belah pihak untuk
memperoleh solusi terbaik secara sederhana, murah, dan cepat
belum tentu dapat tercapai.
Tabel 4. 8 Tangapan Responden Terhadap Mediasi Setelah
Terwujudnya Perdamaian
No
Uraian
Banyaknya
Presentase
1.
2.
3.
Kesepakatan yang dibuat dalam
bentuk akta/putusan perdamaian
memberikan jaminan kepastian
hukum
Para pihak melaksanakan
akta/putusan perdamaian dengan
iklas dan itikad baik
Para pihak ragu akta/ putusan
perdamaian dilaksanakan dengan
iklas dan itikad baik
0
12
33
0
26,66
73,33
Total.......................................................
45
100
Sumber data primer diolah 2015
Dari tabel tersebut diatas bahwa dari 45 responden yang
menyetujui kesepakatan yang dibuat dalam bentuk akta/putusan
perdamaian memberikan jaminan kepastian hukum 0 (0%), kemudian
Para pihak melaksanakan akta/putusan perdamaian dengan iklas dan
itikad baik sebanyak 12 (26,66%) dan Para pihak ragu akta/ putusan
219
perdamaian dilaksanakan dengan iklas dan itikad baik sebanyak 33
(73,33 0%).
Dengan demikian kekuatan hukum dari putusan mediasi mengacu
di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang
intinya menyatakan bahwa kesepakatan penyelesaian sengketa atau
beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para
pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Kesepakatan tersebut
wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib
dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
pendaftaran.61
Kalau kita kaji lebih dalam bahwa kekuatan mengikat hasil
mediasi pada hakikatnya sama seperti undang-undang. Hal ini terjadi
karena penyelesaian sengketa melalui mediasi merupakan
kesepakatan dari para pihak, yakni bank dengan nasabah atau
perwakilan nasabah.
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata
intinya menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Khusus mengenai kesepakatan para pihak sebagai hasil mediasi di
samping harus memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata juga berdasarkan
Peraturan Bank Indonesia Nomor. 8/5/PBI/2006 harus dituangkan
61
Ibid, hal 92.
220
dalam bentuk akta kesepakatan yaitu dokumen tertulis yang memuat
kesepakatan yang bersifat final dan mengikat bagi nasabah dan Bank
Dengan demikian berdasarkan pada peraturan perundang-
undangan sebagaimana tersebut di atas, kesepakatan yang diperoleh
dari mediasi perbankan mempunyai kekuatan hukum sehingga bagi
para pihak wajib melaksanakannya dengan penuh itikad baik ( in good
faith). Dalam hal pihak bank tidak melaksanakannya, Bank Indonesia
akan memberikan sanksi. Hal ini juga memberikan bukti, bahwa
mediasi perbankan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan
mediasi pada umumnya.
Penyelesian sengketa melalui mediasi perbankan merupakan cara
yang efektif bagi nasabah untuk menjembatani permasalahannya
dengan pihak bank. Hasil keputusan mediasi yang telah di lakukan
oleh bank dengan nasabah, dengan dibantu oleh seorang mediator,
adalah merupakan kesepakatan bersama kedua belah pihak sehingga
harus dipahami dan dilaksanakan bersama.62 Kesepakatan adalah
persetujuan bersama antara nasabah atau perwakilan nasabah bank
terhadap suatu upaya penyelesaian sengketa.63 Sebuah proses
penyelesaian sengketa tidaklah ada artinya apabila keputusannya
tidak dapat dilaksanakan oleh para pihak yang bersengketa. Sehingga
harus ada kekuatan hukum yang menjamin bahwa akta kesepakatan
62 Ayu Endah, Peranan Lembaga Mediasi Perbankan dalam Melindungi Nasabah Bank di Indonesia, Tesis (Jakarta Universitas Indonesia, 2008) hlm 81-82 63 Intan kusuma Ambarsari, Penyelesaian sengketa Tramsaksi Keuangan Melalui Mediasi Perbankan, Tesis (Jakarta Unviversitas Indonesia,) hlm 73
221
dalam mediasi perbankan akan terlaksana dan ada sangsi tegas yang
dapat di berikan bagi pihak yang tidak melaksanakan isi dari akta
kesepakatan tersebut.
Kesepakatan yang di hasilkan dari proses mediasi adalah
kesepaktan secara sukarela antara nasabah dengan bank dan bukan
merupakan rekomendasi dan/atau keputusan mediator.64
Kesepakatan damai yang dicapai para pihak haruslah acceptable
solution yang artinya kesepakatan tersebut merupakan kesepakatan
yang diterima oleh kedua bela pihak dan menguntungkan kedua belah
pihak, sebab jika ada salah satu pihak tidak menerima keputusan ini.
Kemungkinan akan berpengaruh pada implementasi dari kesepakatan
itu.65
Hasil mediasi perbankan sebagaimana di jelaskan dalam PBI No
8/5/PBI/2006 yaitu pada Pasal 12 berbunyi :
“ kesepakatan antara nasabah atau perwakilan nasabah dengan
bank yang dihasilkan dari proses mediasi di tuangkan dalam akta
kesepakatan yang ditanda tangani oleh nasabah atau perwakilan
nasabah dan bank. Isi kesepakatan dapat berupa kesepakatan
penuh atau kesepakatan sebagian atas hal yang dipersengketakan
atau pernyataan bahwa tidak tercapai kesepakatan dalam proses
mediasi66
Hasil penyelesaian sengketa yang menggunakan sarana mediasi
di dasarkan kepada kesepakatan para pihak secara damai demi
64
ibid 65 Siti Magadianty, Adam dan Clarita Derantini, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Delik 2003 66
ibid
222
kepentingan dan keuntungan bersama. Kesepakatan perdamaian
yang telah di capai oleh para pihak bersifat final dan binding, sehingga
para pihak harus melaksanakan isi perjanjian dengan itikad baik67
hasil mediasi yang dituangkan secara tertulis dan ditanda tangani oleh
kedua belah pihak berlaku sebagai undang-undang sesuai dengan
Pasal 1338 KUHPerdata mengenai kebebasan berkontrak yang
berbunyi :
“semua perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka mereka yang membuatnya”.
Dinyatakan pula dalam pasal ini bahwa suatu perjanjian tidak
dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak,
atau karena alasan-alasan oleh undang-undang dinyatakan cukup
untuk itu. Disebutkan pula bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik.
Untuk memperkuat kekuatan hukum dan guna lebih memberikan
kepastian kepada para pihak atas hasil kesepakatan mediasi tersebut,
maka terhadap akta kesepakatan tersebut dapat dilakukan
pendaftaran di Pengadilan Negeri. Perlunya pendaftaran ini adalah
menginggat bahwa hasil mediasi perbankan ini hanya mengikat para
pihak, yang berbeda dengan penyelesaian sengketa melalui arbitrase
yang mengikat semua pihak. Pendaftaran hasil mediasi di atur di
67 Andhika Perdana, Perbandingan Penyelesaian sengketa antara Nasabah dengan Bank Melalui Mediasi Perbankan dengan Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi Pengadilan, Tesis ( Jakarta Indonesia 2009)
223
dalam Undang-Undang No 30 tahun 1999 tentang Arbirase dan
Alternatif Penyelesaian sengketa pada Pasal 6, ayat 7, dan 8 yaitu :
Ayat 7, kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat
secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk di
laksanakan dengan itikad baik serta wajib di daftarkan di
Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak pendaftaran.
Ayat 8, kesepakatan penyelesiaan sengketa atau beda pendapat
sebagaimana di maksud dalam ayat 7 wajib selesai dilaksanakan
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
Namun sayangnya, dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8 / 5
/ PBI / 2006, pandaftaran ke pengadilan negeri tidak di atur, pada hal
prosedur tersebut akan makin memperkuat kekuatan hukum hasil
mediasi dan akan dapat makin melindungi nasabah dari kemungkinan
wanprestasi pihak bank. Selain dalam Pasal 13 Peraturan Bank
Indonesia Nomor . 8 /5/PBI/2006, disebutkan bahwa bank wajib
melaksanakan hasil penyelesaian sengketa perbankan antara
nasabah dengan bank yang telah disepakati dan dituangkan dalam
akta kesepakatan. Disini juga sebaiknya diatur pula mengenai
tenggang waktu kapan bank harus memenuhi atau menaati akta
kesepakatan tersebut sekaligus sangksi apa yang akan dikenakan
terhadap bank, apabila bank ternyata tidak memenuhi dan atau
terlambat dalam memenuhi hal-hal yang telah disepakati dalam akta di
maksud68
68 Khotibul Umam, catatan krisis PBI 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa & Rekomendasi
224
Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 hanya
mengatur sanksi administratif bagi bank yang tidak melaksanakan
hasil penyelesaian sengketa yang telah dituangkan ke dalam suatu
akta kesepakatan. Sanksi administratif ini dapat diperhitungkan dalam
komponen penilaian tingkat kesehatan bank. Akan tetapi tidak
mengatur apabila nasabah yang melanggar isi kesepakatan yang
dituangkan dalam akta kesepakatan. Oleh karena itu harus diatur
sanksi yang tegas terhadap salah satu pihak yang tidak
melaksanakan kesepakatan yang telah dicapai.
,http://sharialearn.wikidot.com/khotibulumam002, diakses pada tanggal 4 desember 2015 pukul 07.30 Wip
225
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, dan berpatokan
pada fokus permasalahan dalam penelitian maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Kedudukan hukum mediasi perbankan dalam penyelesaian
sengketa non litigasi yang di atur di dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang proses pengaduan
nasabah dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006, dan
juga Peraturan Nomor.1/POJK.07/2013 Tentang Pelayanan dan
Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Jasa Keuangan
dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014
Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa
Keuangan merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian
sengketa sebagaimana yang di atur di dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999.
2. Pelaksanaan mediasi perbankan dalam kaitanya dengan
penyelesaian prekreditan, penyelesaian kartu kredit, maupun
penyelesaian pengunaan kartu ATM dilaksanakan berdasarkan
ketentuan hukum Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005
tentang proses pengaduan nasabah dan Peraturan Bank
226
Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang medasi perbankan serta
Peraturan Nomor.1/POJK.07/2013 Tentang Pelayanan dan
Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Jasa Keuangan
dan Peraturan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga
Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan dapat
dilaksanakan baik dari aspek positif maupun dari aspek negatif .
Dari aspek positif terutama dalam meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap pelaksanan ketentuan peraturan tersebut
menyangkut penyelesaian perkreditan, penyelesaian pengunaan
kartu kredit maupun pengunaan kartu ATM. kemudaian dari aspek
negatif keberadaan mediasi perbankan masih belum optimal
dilaksanakan yang disebabkan oleh Jaringan (informasi) yang
masih lemah, rasio (perbandingan) antara petugas bank dengan
jumlah nasabah yang tidak propersional dan belum terbentuknya
unit –unit (lembaga-lembaga yang memediasi dan menyelesaikan
pengaduan) yang ada pada setiap bank .
3. Dalam hal pelaksanaan putusan atau kesepakatan hasil mediasi
perbankan, maka para pihak, dapat menerima kesepakatan yang
telah di tuangkan dalam akta perdamaian untuk dilaksanakan
sesuai dengan rasa tanggung jawab dan itikad.
B. Saran
Adapun saran yang ingin peneliti anjurkan dalam penulisan
disertasi ini adalah sebagai berikut :
227
1. Perlu adanya informasi dari pihak Bank Indonesia Kantor
Perwakilan Provinsi Papua kepada para nasabah terkait dengan
adanya kedudukan hukum Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/7/PBI/2005 tentang proses pengaduan nasabah dan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang medasi perbankan
serta Peraturan Nomor.1/POJK.07/2013 Tentang Pelayanan dan
Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Jasa
Keuangan dan Peraturan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa
Keuangan, baik menyangkut kewenangan, kompetensi maupun
strukur kelembagan dan prosedur yang harus ditempuh oleh
nasabah. Penyampaian informasi ini dapat berupa brosur, pamflet,
atau bentuk pengumuman lainnya. karna selama ini kebanyakan
nasabah kurang atau tidak mengetahui adanya ketentuan
pelaksanaan baik yang menyangkut Peraturan Bank Indonesia
maupun Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tersebut. Sosialisai ini
penting sehingga nasabah dapat mengetahui dan mengunakan
hak-haknya apabila terjadi sengketa yang merugikan bagi pihak
nasabah
2. Pelaksanaan mediasi perbankan yang dilakukan oleh Bank
Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Papua, maka perlu adanya
pembentukan unit-unit kecil di Bank Indonesia Kantor Perwakilan
Provinsi Papua khususnya yang merupakan kantor perwakilan
228
cabang baik itu menyangkut unit yang terkait dengan mediasi
maupun unit yang mempunyai kewenangan sebagaimana yang
diamanatkan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/7/PBI/2005 tentang proses pengaduan dalam Pasal 4 (1), hal
yang sama juga diamantakan dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 menyangkut pembentukan
lembaga unit dalam hal penyelesaian pengaduan terhadap
nasabah, mewajibkan setiap Bank untuk memiliki unit yang
dibentuk secara khusus di setiap kantor Bank untuk menangani
dan menyelesaikan pengaduan yang diajukan oleh Konsumen
tanpa dipungut bayaran. Di samping itu sumber daya manusia
terbatas, sehingga hal ini menghambat penyelesaian sengketa
antara bank dengan nasabah. untuk itulah perlu adanya
penambahan atau pembentukan lembaga unit dan pemberdayan
sumber daya manusia yang ada di setiap bank sehingga mediasi
perbankan dapat berjalan secara optimal.
3. Pelaksanaan putusan / kesepakatan perdamaian yang di tujukan
kepada pihak bank maupun nasabah pada prinsipnya harus di
taati dan di laksanakan sebagaimana mestinya berdasarkan itikad
baik. Namun alangka baiknya kalau putusan perdamaian yang di
buat dalam akta perdamaian antara para pihak di tetapkan atau
disahkan dengan adanya penetapan hukum dari Pengadilan
Negeri sehingga menjadi aturan hukum yang sah yang mengikat
229
para pihak dalam melaksanakan mediasi tersebut. karna kalau
berdasarkan itikad baik bisa saja salah satu pihak tidak setuju
atau kecewa dengan kesepakatan akta perdamaian tersebut.
Untuk itulah dalam peraturan mediasi perbankan perlu adanya
penetapan pasal khususnya menyangkut pasal yang menjelaskan
perlu adanya penetapan hukum dari Pengadilan Negeri, sehingga
lebih mengikatkan para pihak dengan patuh menjalankan akta
perdamaian tersebut dengan rasa tanggung jawab
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Piter, Suseno ,2003, Sistim Dan Kebijakan Perbankan Di
Indonesia, Pusat Pendidikan Dan Studi Kebank sentralan (PPSK)
Bank Indonesia,Penerbit Pustaka Jakarta.
Ahmadi Miru danYuda Sutarman.2004. Hukum Perlindungan Konsumen
PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Ahmadi Miru, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen
Di Indonesia, PT Raja Grtafindo Persada: Jakarta
Achmad Ali, 1998 Menjelajah Kajian Empiris Terhadap Hukum, PT.Yarsif
Watampone, Jakarta. ................., 2004, Sosiologi Hukum. Kajian Empiris Terhadap Pengadilan
BP. IBLAM, Jakarta.
As quated in Lincoln the lawyer, Fredrick Trevor Hill dalam James
F.Haggerty, ESQ.In The Court of Public Opinion. Winning Your
Case with Public Relations.Publishedby John Willey & Sons, Inc.,
Hoboken, NewJersey, USA. 2003.
Anthon Freddy Susanto. 2005, Semiotika Hukum, Dari Dekonstruksi Teks
Menuju Progresivitas Makna, PT. Refika Aditama, Bandung.
Bernard L. Tanya, 2010, Hukum dalam Ruang Sosial, Genta Publishing,
Yogyakarta.
Bambang Sutiyoso, 2006, Penyelesaian Sengketa Bisnis. Citra Media.
Yogyakarta.
Bismar Nasution, Aspek Hukum Penyelesaian Sengketa Antara Ban Dan
Nasabah, disampaikan pada Diskusi Terbatas Mediasi Perbankan,
diselenggarakan oleh Bank Indonesia bekerjasama dengan
Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, Tiara Convention Center Medan, Kamis, 14
Februari 2007
Badriyah Harun, 2010, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah,
Yogyakarta Pustaka Yustia
Candra Irawan, 2010, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian
Sengketa di Luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution di
Indonesia. CV. Mandar Maju. Bandung.
........................., 2013, Dasar-Dasar Pemikiran Hukum Ekonomi
Indonesia, PN Mandar Maju, Bandung
Djumhana, Muhammad.2003 Hukum Perbankan di Indonesia (Bandung:
PT Citra Aditya Bhakti) Esinberg, Private Ordering Through Negotiation : Dispute Settlement and
Rule making, 89 Harv, L. 637 (1976)
Felix Oentoeng Soebagjo, Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian
Sengketa di Bidang Perbankan, Makalah Disampaikan pada
Diskusi Terbatas: Pelaksanaan Mediasi Perbankan oleh Bank
Indonesia dan Pembentukan Lembaga Mediasi Independen, 21
Maret 2007,Jogya.
Febrian, Eksistensi Kelembagaan Mediasi Perbankan Dalam Peraturan
Bank Indonesia Terhadap Sistem Aturan Hukum, disampaikan
pada “Diskusi Terbatas Mengenai Mediasi Perbankan, Kerjasama
Bank Indonesia dengan Kajian Hukum Bisnis Fakultas Hukum
Sriwijaya”, (Palembang, tanggal 12 April 2007),
Frans Hendra Winata, 2011, Hukum Penyelesaian Sengketa, Jakarta
Timur, PN Sinar Grafika,
Fatahiliah A. Syukur, 2012 Mediasi Yudisial Di Indonesia, Peluang Dan
Tantangan Dalam Memajukan Sistem Peradilan, Penerbit Mandar
Maju, Bandung
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum Arbitrase, PT
RajaGrafido Persada, Jakarta.
Gunawan Widjaja, 2005, Seri Hukum Bisnis Alternatif Penyelesaian
Sengketa, PT Raja Grafido Persada, Jakarta.
Gatot Soemartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi Di Indonesia, (Jakarta
Gramedia Pustaka Utama)
Garry Goodpaster, 1995, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa: Seri
Dasar-dasar Hukum Ekonomi Arbitrase di Indonesia, (Jakarta:
Ghalia Indonesia)
............................, 1999, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Seri Dasar Hukum Ekonomi 9, Jakarta: Elip.
Hans Kelsen, 1995 Teori hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif
Sebagai Dasar Ilmu Hukum, Rimidi Press.
Henry Campebell, Blacks Law Dictionary, editon ( st Paul..Minn
Westpublising. Co, 1990
Herlien Budiono,2006, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian
Indonesia, Citra Aditya Bakti. Bandung.
Hermansyah, 2011, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana
Pernada Media grup, Jakarta
Iswahjudi A. Karim,2005, Arbitrase dan Mediasi, Karimsyah Law Firm,
Jakarta.
John Rawls,1971,Teori Keadilan Pemahaman Sederhana Buku A Theory
Of Justice, (Massachussetts, Havard University Press).
Jacqueline M Nolan-Harley, 1992, Alternative Dispute Resolution InArbitration Nushell, (St. Paul. Minn; West Publishing Co.)
............................................. “Court Mediation And The Search For Justice
Through Law”, Washington University Law Quartely 74, (1996)
Jimmy Joses Sembiring, 2011, Cara Menyelesaiakan Sengketa di Luar
Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, & Arbitrase) Visi Media
Jakarta Selatan
Jhonny Ibrahim, 2005, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu
Media, Malang
Krisna Harahap, 2009, Hukum Acara Perdata (Mediasi, Class Action,
Arbitrase & Alternatif, Penerbit PT Grafitri Budi Utami
Lukman Santoso, 2011, Hak Dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank, Cet-
1, Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Lawrence M. Friedman, 1997 , Law and Society an Introduction ,Prentice-
Hall, inc., Englewood Cliffs.
Laurence Boulle, 1996, Mediation: Priniciples, Process, Practice,
Butterwonths, Sydney Australia.
Munir Fuady, 2003, Hukum Perbankan Moderen Buku Kesatu, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung.
......................., 2000, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian
Sengketa), (Bandung: Citra Aditya Bakti).
Muhamad Djumhana,2000,Hukum Perbankan Indonesia, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Muslih MZ, 2007, Pengatar Mediasi: Teori dan Praktik, dalam M. Mukhsin
Jamil (ed.), Mengelola Konflik Membangun Damai; Teori, Strategi
dan Imlementasi Resolusi Konfllik, (Semarang: Walisongo
Mediation Centre)
Mukti Arto. A, 2001, Mencari Keadilan, Kritikdan saran Terhadap Praktik
Peradilan Perdata di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Moh.Koesnoe,1979, Catatan-Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa ini
.Airlangga University Pres. Surabaya. Marulak Pardede, 1998, Likuidasi Bank dan Perlindungan Nasabah,
(Jakarta Sinar Harapan) Nindiyo Pramono, 2007 Hukum Perbankan, Kuliah Hukum Perbankan,
Fakultas Hukum UGM Yogjakarta.
Nurnaningsih Amriani, 2011, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perdata di Pengadilan, Penerbit PT Raja Grafindo Persada
Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Kencana PrenadaMedia
Group, Jakarta.
Phil Harris. 2007, An Introduction to Law, Seventh Edition, Cambridge University Press, Cambridge New York.
Priyatna Abdurrasyid. H, 2002, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Suatu Pengantar (Jakarta, Fikahati Aneka,)
Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, PN. Sinar Grafika Jakarta Timur
............................., 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia,
Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Ronny Sautma Hotma Bako, 1995, Hubungan Bank dan Nasabah
Terhadap Produk Tabungan dan Deposito (Suatu Tinjauan Hukum
Terhadap Perlindungan Deposan Di Indonesia Dewasa Ini), (
Bandung: Citra Aditya Bakti,)
Ronny Prasetya, 2010, Tinjauan Hukum Perlindungan Nasabah Korban
Kejahatan Perbankan, Jakarta, PT. Prestasi Pustakaraya.
Sutedi Adrian,2007,Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang,
Merger, Likuidasi Dan Kepailitan, Sinar Grafika Jakarta.
Sayyid Sabiq, Figh Sunnah, Juzu’3 , (Cairo: Dar Al-Fath, 2000)
Solly Lubis. M, 1994, Filsafat Ilmu dan Peneltian ( Bandung Mandar Maju)
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT.Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2006
Satjipto Raharjo, Mengejar Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan
(teaching Order Finding Disorder), Pidato mengakhiri masa
jabatan sebagai guru besar tetap pada Fakultas Hukum
Unversitas Diponegoro Semarang 15 desember 2008,
.........................., 2006, Ilmu Hukum , cetakan Keenam, Penerbit Citra
Aditya Bakti, Bandung.
.........................., Indonesia Jangan Menjadi Negara Hukum Kacangan (Jakarta: Kompas, 19 Agustus 2002)
..........................,Hukum dan Masyarakat, Penerbit Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Syahrizal Abbas, 2011, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional Prenada Media Grup, Jakarta
Suyud Margono, 2010, Penyelesaian Sengketa Bisnis Alternative Dispute
Resolution (ADR) (Jakarta Ghalia Indonesia,)
Syed Khalid Rashid dan Syed Ahmad Idid, Mediation and Arbitration in
Asia Pacific.IIUM Pres, International Islamic University Malaysia.
2009
Sulistyowati Irianto, Menuju Perkembangan Hukum Pro-Keadilan Rakyat,
dalam Antonius Cahyadidan Donny Danardono (ed.).
Susilawetty, 2013, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Ditinjau
Dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan, Penerbit
Gramata Publishing, Komp Jatiwarna Indah Jln. Bunga Matahari V
Blok E No 1 Pondok GedeBekasi
Sumantoro,1986, Hukum Ekonomi, Jakarta : Universitas Indonesia (UI)
Pers
Theo Hubjers , 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah ( Yogyakarta;
Kanisius).
Trevor Buck, 2005, Administrative Justice and Alternative Dispute
Resolution: The Australian Experience, Department for
Constitutional Affairs
Thy Widiyono, 2006 Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan Di Indonesia, (Bogor:Ghalia Indonesia).
Takdir Rahmadi, 2011, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui
Pendekatan Mufakat, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Tan Kamello, “Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui
Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah”, disampaikan pada
pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dihadapan Rapat Terbuka
Universitas Sumatera Utara, Medan, 2 September 2006.
Valerine J.L. Kriekhoff, 2003, Mediasi (Tinjauan dari Segi Antropologi
Hukum) dalam Antopologi Hukum, Sebuah Bunga Rampai, T.O.
Ihromi (Penyunting). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Victor M. Situmorang, 1993, Perdamaian dan Perwasitan dalam Hukum
Acara Perdata. Rineka Cipta, Jakarta.
van Apeldoorn. L. J, 2011, Pengantar Ilmu Hukum ,terjemahan oleh Mr.
Oetarid Sadino. Cetakan Ketiga puluh empat, PT. Pradnya
Paramita. Jakarta.
Witanto. D. Y, 2011, Hukum Acara Mediasi ,Penerbit Alfabeta Bandung
Yoshiro Kusano,2008, WAKAI, Terobosan Baru Penyelesaian Sengketa,
Penerbit Grafindo Khazanah Ilmu.
Yahya Harahap. M, 1997, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Sinar Grafika.)
Zulkarnain Sitompul, 2005. Problematika Perbankan, (Bandung: Books
Terrace & Library).
Jurnal dan Artikel :
Adi Sulistyono, Budaya Musyawarah Untuk Penyelesaian Sengketa Win-
win Solution dalam Perspektif Hukum, Jurnal Hukum Bisnis
Volume 25-No.1 Tahun, 2000
Abdul Manan, Penerapan Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam
Proses Penyelesaian Perkara.Majalah Suara Udilag Vol.II No.6
April 2005
Ali Boediarto, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VIII No. 92
Mei 1993
Andre Hynan Poeloengan. 2012 Materi Pelatihan Mediasi di PMN.
Dengan judul: Akses Kepada Keadilan, Manfaat Mediasi dan
Pembangunan Perdamaian, Pusat Mediasi Nasional, Jakarta
Andhika Perdana, Perbandingan Penyelesaian Sengketa Antara Nasabah
dengan Bank Melalui Mediasi Perbankan dengan Penyelesaian
Sengketa Melalui Mediasi Pengadilan, Tesis (Jakarta, Universitas
Indonesia, 2009)
Ayu Endah, Peranan Lembaga Mediasi Perbankan dalam Melindungi
Nasabah Bank di Indonesia, (Jakarta Universitas Indonesia, 2008)
Ahmad Taqiyuddin, 2012, Undang-Undang OJK Dalam Kajian Hukum dan
Pembangunan Ekonomi, Banjarmasin : Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Lambung Mangkurat
Bridget Genteman Hoy, “The Draft Uniform Mediation Act In Context:Can It Clear UpThe, Clutter?”, Saint Louis University Law Journal 44,(Summer 2000)
Danny Ciraco, “Forget The Mechanics And Bring In The
Gardeners,”University of Baltimore Intellectual Property Law Journal 9, (2000),
Lucy V. Katz., 1998, “Enforcing An ADR Clause-Are Good Intention AllYou
Have ?,” American Business Law Journal 575.
Harian Kompas, edisi Jumat 15 Januari 2010.
Intan kusuma Ambarsari, Penyelesaian sengketa Transaksi Keuangan Melalui Mediasi Perbankan, Tesis (Jakarta Unviversitas Indonesia,)
Joel Lee, “The Enforceability of Mediaton Clauses in Sngapore,”Singapore
Journal of Legal Studies 229, (1999), Jacqueline M. Nolan-Haley, “The Merger Of Law And Mediation: Lessons
From Equity Jurisprudence And Roscoe Pound,” Cardozo Journal of Conflict Resolution 6, (2004)
Marthen Arie, (Bahan Kuliah – Hukum – Ekonomi – Hubungan – Hukum –
dengan – Ekonomi) Hubungan Hukum dengan Ekonomi, Oktober, 2012
Mohamad Fajrul Falak 2007, Perlindungan Nasabah Bank Melalui Fungsi
Mediasi dan Supervisi Bank Indonesia, Makalah pada Diskusi Terbatas Pelaksanaan Mediasi Perbankan Oleh Bank Indonesia & Pembentukan Lembaga Mediasi Independen, Kerjasama Bank Indonesia dan Magister Hukum UGM, Denpasar, 11 April 2007
Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta:
Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, 2004).
Siti Magadianty, Adam dan Clarita Derantini, Mediasi Sebagai Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Delik 2003
Zainuddin Mappong. Disertasi. Eksekusi Putusan Serta Merta.. Proses
Gugatan dan Cara Membuat Putusan serta Pelaksanaan
Eksekusi Dalam Perkara Perdata. Tunggal Mandiri Publishing.
Malang. 2010
Referensi Elektronik :
Anonim, 2007, “Pelaksanaan Fungsi Mediasi Perbankan”, Direktorat
investigasi dan Mediasi Perbankan Bank Indonesia, www.bi.go.id,
tanggal akses 28 Oktober 2014
http://irfaninurfaqih.files.wordpress.com/2009/07/aps.pdf.Perkembangan
Penyelesaian Sengketa Alternatif Di Indonesia, diakses tanggal tgl
5 – 09 – 2014
http://sharialearn.wikidot.com/khotibulumam002, diakses pada tanggal 4
desember 2015 pukul 07.30 Wip http://lawyerindonesia.blogspot.eom/2007/8/pei-lindungan –nasabah-
dalara-sistem.litml,diakses pada tanggal 29 November 2015
http: // kabarwarta.com / berita- 2310 – di – tahun – 2013 – ada – 884454
– pengaduan – nasabah – ke - bank indonesia . html ). diakses
tanggal 13 oktober 2013, jam 19:53 wita
http;//www.constitution.org/sps/sps02 1-1.htm, diakses tanggal 11-112014
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/04/pengertian-sengketa-
ekonomi/ diakses tanggal 12-01-2014
Muliaman D. Hadad , “Perlindungan dan Pemberdayaan Nasabah Bank
Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia,” Http://www.bi.go,id,
diakses tgl 19 Nov 2015
Nurcahyo. 2009., Mencegah Timbulnya Kredit Macet. (http://jh
thamrin.blogspot.com/2009/04/non-performing-loan.html, diakses 28
Juni 2015).
Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi, www.klinikhukum.com, diakses
tanggal 15 Februari 2015
Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah”, www. Goole.com, diakses 4 Oktober 2013
Sefti Williarsih Weblog, Perlindungan Kepentingan Nasabah dan
Pentingnya Menjaga Reputasi Bank, http://www.worldpress.com, diakses tanggal 8 Juli 2015
The institutes of Justinia Book I, dalam http:// www.thelatinlibrary.com / justinian / institutes 1.shtmldiakses tanggal 11-11-2014
The Right Honourable the Lord Woolf, Master of the Rools, Acces to
Justice: Final Report (1996, HMSO), hal. 22. www.justice.gov.uk. diakses tanggal 22 Agustus 2014