digilib.uns.ac.id/Register... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vi ABSTRAK...
Transcript of digilib.uns.ac.id/Register... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user vi ABSTRAK...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
REGISTER ANAK JALANAN KOTA SURAKARTA
SKRIPSI
Oleh :
MEMET SUDARYANTO
K1209042
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
Januari 2013
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
REGISTER ANAK JALANAN KOTA SURAKARTA
Oleh:
MEMET SUDARYANTO
K1209042
SKRIPSI
diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRAK
Memet Sudaryanto. K1209042. Register Anak Jalanan Kota Surakarta. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari 2013.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) karakteristik penggunaan register anak jalanan Kota Surakarta; dan (2) tujuan penggunaan register anak jalanan di Kota Surakarta.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Sumber data adalah peristiwa tutur anak jalanan dan informan. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi langsung, wawancara, dan pencatatan dialog anak jalanan. Uji validitas data yang digunakan adalah triangulasi metode dan triangulasi sumber. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis interaktif yang meliputi empat komponen yaitu: (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, dan (4) penarikan simpulan.
Karakteristik register anak jalanan adalah (1) umumnya menggunakan bahasa jawa, (2) ada pergeseran dan perubahan makna, (3) menggunakan kata-kata bentuk ringkas, (4) menggunakan kata bermakna kasar, (5) ada peristiwa alih kode dan campur kode, (6) menggunakan ragam intim. Tujuan penggunaan register anak jalanan adalah untuk : (1) membedakan dengan kelompok anak jalanan yang lain, (2) menunjukkan penghormatan atau kekuasaan, (3) menunjukkan keakraban, (4) menegaskan emosi, dan (5) menyembunyikan makna komunikasi dari masyarakat.
Simpulan peneletian ini adalah karakteristik dan tujuan khusus register anak jalanan berbeda dengan karakteristik dan tujuan masyarakat atau kelompok komunitas lain.
Kata kunci: register, anak jalanan, komunikasi, ragam bahasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
Semua tidak akan selesai jika tidak diawali dengan satu langkah, yang disebut perubahan
(Penulis)
Rambut putih tak menjadikan kita manusia yang segala tahu (Dee : Jembatan Zaman)
Dan setiap senti gurun akan terinspirasi karena kau berani beku dalam neraka, kau berani putih meski sendiri, karena kau.. berbeda
(Dee : Salju Gurun)
Pada akhirnya aku percaya, aku sendiri yang harus bertanggung jawab atas hidupku
(Oka Rusmini : Akar Pule)
Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari
biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas (Donny Dhirgantoro : 5cm)
Jadi orang yang bisa membuat napas orang lain menjadi sedikit lebih lega karena kehadiran kita di situ..
(Donny Dhirgantoro : 5cm)
Saya Ian.. saya bangga bisa berada di sini bersama kalian semua. Saya akan mencintai tanah ini seumur hidup saya, saya akan menjaganya, dengan apa pun yang saya punya, saya akan menjaga kehormatannya seperti saya menjaga diri saya sendiri. Seperti saya akan selalu menjaga mimipi-mimpi saya terus hidup
bersama tanah air tercinta ini. (Donny Dhirgantoro : 5cm)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini dengan tulus dan ikhlas kupersembahkan kepada :
1. Mamak (Suratminingsih) dan Bapak (Sukir) : terima kasih
sudah membuatku menjadi ada, kalian adalah yang terhebat;
2. Mbak Titi dan Dik Dyah tersayang, aku selalu merindukan
kebersamaan kita;
3. Anak jalanan di kota Surakarta yang telah memberi senyum
di pagiku dan pelukan di malamku;
4. yang telah menyeparokan otaknya demi penulisan
skripsi ini;
5. Sahabat sejatiku: Lili Haryanti, Imroatun Sholihah, Santi
Harnani, Muhammad Nur Kholis, Auditya, Ningtias yang
telah mendukungku dan menjadikan prosesku selama ini
sukses besar;
6. Semua penghuni kos Klampis Ireng yang bahagia di atas
sedihku, dan sedih di atas bahagiaku;
7. Teman-teman seperjuangan Bastind angkatan 2009 yang
telah memberikan pengalaman yang luar biasa dan tidak
terlupakan;
8. Teman-teman PPL SMAN 1 Surakarta yang baik hatinya;
dan
9. Seseorang yang dipertemukan oleh hujan, dan mungkin
dipisahkan oleh hujan pula.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini dibuat dengan tujuan sebagai
syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Dalam Penyusunan skripsi ini, penulis menyadari tidak dapat bekerja
seorang diri, melainkan bekerja sama dengan berbagai pihak. Atas
terselesaikannya skripsi ini, penulis meyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof.Dr.H.M.Furqon Hidayatullah,M.Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah
memberikan izin penulisan skripsi ini.
2. Dr.Muhammad Rohmadi,M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan izin dalam penulisan skripsi ini.
3. Dr.Kundharu Saddhono,S.S.,M.Hum., Ketua Program Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dalam penulisan skripsi
ini.
4. Dra.Sumarwati,M.Pd. dan Drs.Edy Suryanto,M.Pd., sebagai pembimbing
skripsi I dan II yang senantiasa dengan sabar dan perhatian membimbing
penulis dalam menyusun skripsi ini.
5. Ibu dan Bapak Dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang
telah memberikan bekal ilmu kepada penulis, terima kasih.
6. Semua pihak yang telah mendukung dan membantu sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan, khususnya dalam bidang bahasa dan sastra
Indonesia.
Surakarta, Januari 2013
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ........................................................................................................ ii
PERSETUJUAN ......................................................................................... iii
PENGESAHAN .......................................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................. v
MOTTO ....................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ....................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................ viii
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA ...................................................................... 7 A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan ............................ 7
1. Hakikat Bahasa .......................................................................... 6
2. Hakikat Register ........................................................................ 14
3. Hakikat Anak Jalanan ................................................................ 22
B. Kerangka Berpikir ........................................................................... 28
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................. 30
A. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... 30
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ........................................................ 32
C. Data dan Sumber Data .................................................................... 33
D. Teknik Sampling...... ....................................................................... 34
E. Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 35
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
F. Validitas Data .................................................................................. 36
G. Teknik Analisis Data ....................................................................... 37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................... 41
A. Deskripsi Lokasi ............................................................................. 41
B. Karakteristik Subjek Penelitian ...................................................... 48
C. Deskripsi Hasil Penelitian ............................................................... 52
D. Pembahasan Hasil Penelitian .......................................................... 100
1. Karakteristik Register Anak Jalanan. ........................................... 101
2. Tujuan Pemakaian Register......................................................... 111
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 114
A. Simpulan ......................................................................................... 114
B. Saran ............................................................................................... 119
Daftar Pustaka ........................................................................................... 121
Lampiran ............................................................................................... 124
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Berpikir ......................................................................... 29
2. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian .............................. 32
3. Model Analisis Mengalir............................................................... 40
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Contoh Bahasa yang Digunakan Sesama Pengemis ............................... 27
2. Contoh Bahasa yang Digunakan Pengemis dengan Calon Dermawan ... 27
3. Karakteristik Register Bentuk Ringkas ................................................... 106
4. Karakteristik Register Penggunaan Kata Kasar ................................................. 109
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Tabel Temuan Register Anak Jalanan Kota Surakarta. ............ 124
2. Transkripsi Data Konfirmasi...................................................... 130
3. Transkripsi Data Observasi Lapangan......................................... 134
4. Dokumentasi Keberadaan Anak Jalanan..................................... 141
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagian besar anak jalanan bergelut dengan kompleksitas kehidupan
yang terjadi di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Surakarta, dan
kota-kota lainnya. Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2007) jumlah anak
jalanan yang meningkat menjadikan mereka sebagai mata rantai dari premanisme.
Seperti inilah kondisi penduduk negeri ini, banyak anak jalanan yang
menghabiskan masa mudanya untuk mengadu nasib getir kehidupan jalan. Anak
jalanan memiliki mobilitas tinggi dibandingkan anak pada umumnya. Menurut
Sudarsono (dalam Zakarya, 2011) anak jalanan tidak mempunyai tempat tinggal
yang tetap, yang secara yuridis tidak berdomisili autentik. Mereka berpindah dari
satu kota ke kota lain, tanpa kurun waktu lama. Termasuk salah satu tujuan
mobilisasi anak jalanan juga terjadi di Kota Surakarta. Meski Surakarta digembar-
gemborkan sebagai kota layak anak, nyatanya masih banyak anak jalanan yang
menghiasi tiap sudut kota. Ini dapat dengan mudah ditemukan di Pasar Ledoksari
yang dihuni puluhan anak jalanan, Terminal Tirtonadi, dan beberapa tempat
lainnya. Jumlah anak jalanan dimungkinkan akan terus bertambah tanpa mengenal
masa. Hal ini dipicu oleh keadaan masyarakat Indonesia yang mempermudah alur
transmigrasi atau perpindahan penduduk. Selain itu, juga keadaan ekonomi di
kalangan masyarakat kecil masih kurang.
Ketidakpercayaan diri anak jalanan terhadap kondisi kecerdasan
intelektualnya yang belum baik, mendorong mereka untuk mengisolasi diri dari
masyarakat secara umum. Seperti pada penelitian Kuswarno (2009) bahwa anak
jalanan memiliki kepasrahan nasib yang cukup tinggi, jadi mereka akan sangat
sulit untuk keluar dari kepengemisannya. Hal ini pula yang menandakan bahwa
mereka bangga dan betah dalam waktu lama untuk menjadi pengemis. Selain itu,
melonjaknya keberadaan anak jalanan mendorong mereka untuk membuat
komunitas tersendiri dan lebih memperketat isolasi diri, untuk jauh dari
masyarakat ilmiah. Dalam arti, kebanyakan dari anak jalanan tidak bersekolah,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
maupun putus sekolah. Hal ini membuat komunitas anak jalanan makin kuat dan
meluas.
Jumlah anak jalanan ternyata sampai sekarang tidak bisa dipastikan angka
pastinya, sebab jumlah tersebut akan bertambah ataupun berkurang dalam kurun
waktu yang tidak dapat ditentukan. Berdasarkan data Departemen Sosial Republik
Indonesia (dalam Suhartanto, 2008) ditemukan bahwa beberapa tahun terakhir
jumlah anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan cukup pesat. Menurut
data dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (DINSOSNAKERTRANS),
tercatat sebanyak 648 anak yang terdiri dari anak terlantar, anak nakal, dan anak
jalanan tersebar di Solo (Arum, 2010). Meningkatnya jumlah anak jalanan
tersebut dipicu oleh beberapa faktor salah satunya anak yang drop out dari
sekolah. Berdasarkan data dari Kemendiknas (Jatmika, 2010) menyatakan bahwa
sekitar 1,7 persen dari 30 juta anak sekolah dasar, terutama kelas 1-4 mengalami
drop out karena berbagai alasan, sehingga berpotensi untuk meningkatnya buta
aksara di Indonesia, dengan kata lain mampu meningkatkan pula jumlah anak
jalanan di Surakarta.
Meskipun sudah disadari sebagai anggota masyarakat, keberadaan anak
jalanan sebagai anggota masyarakat kadang kala tidak diakui oleh sebagian orang.
Hal ini dikarenakan keadaan psikis mereka yang berbeda dengan masyarakat
(anak) pada umumnya. Selain itu, salah satu penyebab ketidakberterimaan anak
jalanan adalah keadaan bahasanya yang terkesan kasar dan tidak beratur.
Sebenarnya kondisi tersebut bukan kesalahan anak jalanan. Namun, keadaan itu
sebagai akibat mereka kurang mengerti sistem komunikasi yang baik dan benar.
Bahkan keadaan memaksa mereka untuk menciptakan sistem maupun alat
komunikasi baru yang lebih fleksibel dan nyaman untuk digunakan dalam
komunitas tersebut. Meskipun begitu anak jalanan termasuk dalam masyarakat
bahasa, mereka menggunakan bahasa dalam bersosialisasi maupun bekerja.
Jelasnya, mereka mengemis dengan bahasa, meronta dengan bahasa, mereka
berkenalan dengan komunitas baru dengan bahasa. Dengan komunitas yang makin
luas, sebagian anak jalanan menciptakan bahasa komunitas sebagai media
berkomunikasi antaranak jalanan. Bahasa dalam komunitas tersebut menggunakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
lambang-lambang yang hanya bisa dimengerti oleh komunitas di dalamnya.
Meskipun kadang kala penggunaan diksi yang dianggap kasar dan berbeda dengan
anak pada umumnya, anak jalanan tetaplah berbahasa dan anak jalanan tetaplah
temasuk dalam masyarakat bahasa. Oleh karena itu, dalam setiap bahasa yang
dipakai termasuk ke dalam kajian kebahasaan/linguistik yang bisa untuk diteliti.
Dalam berinteraksi sosial dengan orang lain, kelompok anak jalanan juga
tidak terlepas dari kegiatan kebahasaan. Bahasa tersebut belum tentu dipahami
oleh masyarakat di luar anak jalanan. Dalam kebahasaan, istilah bahasa komunitas
tertentu disebut register. Masyarakat mengangggap anak jalanan memiliki bahasa
yang kasar. Namun sebenarnya mereka tidak mengetahui apa yang dikatakannya.
Hal ini dikarenakan interaksi mereka dengan kelompok anak jalanan yang juga
sepola, membuat anak jalanan tidak membuka paradigma tentang bahasa yang
mereka pakai.
Tidak urung, banyak kata tidak senonoh dilontarkan. Padahal, mereka
sendiri tidak paham, mengapa kata-kata yang dianggap oleh masyarakat itu salah
atau buruk. Dengan tekanan keras dari masyarakat, memaksa anak jalanan
membentuk komunitas kecil maupun besar untuk menampung aksi dan
keluhannya. Dalam komunitas itulah mereka berkesempatan untuk berkreasi dan
saling memaksimalkan interaksi. Oleh karena itu, muncul register di tengah-
tengah anak jalanan. Mereka menggunakan bahasa mereka sendiri agar
masyarakat tidak mengerti. Hal ini dapat dikemukakan contoh berikut ini.
Kartu data di atas, digunakan untuk menjelaskan contoh dari temuan
kili anak jalanan. Dari
contoh kalimat di atas, ditemukan dua register, yakni pengki dan munggah. Dilihat
dari konteksnya, pengki memiliki makna anak jalanan yang memiliki tingkatan di
X : ora ngapa-ngapa kok. Pengkimu nangdi -apa.
Y : embuh mau Mas. Lagi munggah paling
X : munggah ki apa tho Y : yo golek det neng dhuwur bis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
bawah bos; sedangkan munggah, memiliki arti berpindah dari satu bis ke bis yang
lain untuk mengamen atau mencari nafkah. Kedua register tersebut
memungkinkan hanya dimengerti penutur dan mitra tutur, dalam hal ini anak
jalanan yang bersangkutan. Selain contoh kalimat di atas, juga ditemukan register
pada kalimat berikut.
Dalam kartu data di atas, juga ditemukan register kata ngalor. Ngalor
berasal dari kata lor atau makna harfiahnya adalah utara. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008) utara memiliki arti arah utara. Namun secara
kontekstual, ngalor memiliki perbedaan makna dengan harfiahnya. Ngalor dalam
hal ini adalah pergi ke warung makan yang berada di arah barat. Anak jalanan
menggunakan arah warung makan sebagai interpretasi lor. Hal ini menunjukkan
penggunaan register sebagai bentuk perubahan atau pergeseran makna.
Penggunaan register pada anak jalanan di Kota Surakarta dapat pula dilihat dari
contoh di bawah ini.
Medhun dalam konteks di atas memiliki arti turun dari bis dan standby di
jalanan untuk mencari nafkah. Standby dalam konteks ini berarti kesiagaan, atau
bersiaga. Ketiga contoh tersebut adalah contoh register anak jalanan yang makna
dan artinya hanya diketahui oleh mereka.
Makna lain yang juga tersirat adalah linguistik sebagai sebuah disiplin
ilmu memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat ilmiah untuk
mengkaji bahasa yang meliputi unsur-unsur pertanyaan (apa, siapa, kapan,
mengapa, di mana, bagaimana) seputar bahasa yang muncul atau dimunculkan.
Pemakaian bahasa sehari-hari terbukti kerap menunjukkan identitas diri dari
penutur bahasa tersebut dalam lingkungan sosial. Oleh karena itu, penggunaan
X1 : Wis ngalor urung ndes X2 : urung bos, iki arep mangkat X1 : sisan sebungkus ndes. Kaya biasane
jalanan 1 dan partisipan. Anak jalanan 1 berjalan menjauh menuju arah barat, yakni arah Hotel Asia)
Aku arep medhun, golek dhit sik. Aku mau turun, cari uang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
bahasa anak jalanan dalam keseharian memiliki kekuatan yang menarik untuk
diteliti. Pada penelitian ini, bahasa yang dikaji adalah register pada anak jalanan
yang dapat dijadikan sebagai wacana ilmu bahasa, terkhusus register anak jalanan
kelompok profesi di Surakarta dan memaparkan pola interaksi verbal atau
karakteristik pemakaian bahasa yang digunakan mereka dalam kegiatan di jalan
dan berkomunikasi sehari-hari. Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa tertarik
untuk mengkaji register anak jalanan. Dari register tersebut akan dianalisis
karakteristik dari register dan tujuan penggunaanya. Analisis penggunaan register
pada anak jalanan diharapkan nantinya mampu mendeksripsikan dan
dimanfaatkan sebagai satu kajian ilmu linguistik demi mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Materi berkenaan dengan register anak jalanan di Surakarta merupakan
materi beragam dan menarik untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut. Selain peneliti
harus terjun ke lapangan, penelitian ini juga membutuhkan semangat dalam
berinteraksi dengan anak jalanan. Berdasar pada latar belakang di atas, peneliti
ingin mengkaji lebih mendalam berkenaan penggunaan register. Hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberi wawasan baru dalam kajian linguistik, utamanya
dalam sosiolinguistik.
B. Rumusan Masalah
Melalui latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana karakteristik penggunaan register pada anak jalanan Kota
Surakarta?
2. Apa sajakah tujuan penggunaan register pada anak jalanan Kota Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan:
1. Karakteristik penggunaan register pada anak jalanan Kota Surakarta;
2. Tujuan penggunaan register pada anak jalanan Kota Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan
kebahasaan, terutama dalam penggunaan register pada anak jalanan Kota
Surakarta. Kaitannya dengan keberagaman dan tujuan dari penggunaan
register yang berkembang di Kota Surakarta.
Selain memperkaya ilmu pengetahuan di bidang kebahasaan, dalam
penelitian ini diharapkan mampu memperluas kesepahaman bahasa yang ada
di masyarakat Surakarta.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Masyarakat
1) Sebagai bentuk pemaparan bahasa yang berkembang di tengah
masyarakat modern, mengingat anak jalanan juga merupakan bagian
dari masyarakat.
2) Peluasan penggunaan kosakata baru yang efektif dan tepat makna
bagi masyarakat tertentu. Dalam hal ini penggunaan kosakata bagi
masyarakat yang memiliki intensitas bertemu lebih banyak dengan
anak jalanan.
3) Sebagai bentuk pengeksploran penggunaan register pada anak
jalanan Kota Surakarta yang beragam dan makin luas untuk
dipahami bersama.
b. Bagi Mahasiswa dan Dosen
1) Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian disiplin
ilmu sosiolinguistik dan memperkaya kosakata baru dalam
berbahasa.
2) Menemukan sebuah register pada anak jalanan Kota Surakarta
untuk memacu motivasi melakukan penelitian-penelitian kajian
berbahasa lainnya.
3) Dapat digunakan sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan
1. Hakikat Bahasa
a. Pengertian Bahasa
Bahasa sebagai alat komunikasi utama bagi manusia. Kehidupan
sehari hari manusia menggunakan bahasa sebagai sarana untuk berinteraksi
antara satu dengan yang lain. Dengan berinteraksi, manusia dapat memenuhi
kebutuhannya sebagai makhluk sosial dengan bekerja sama untuk menyatakan
pikiran dan pendapatnya. Tidak hanya itu, peran bahasa sebagai alat
komunikasi pada akhirnya akan membentuk pola-pola baru yang lebih unik dan
berbeda, baik dilihat dari media, kondisi dan situasi, dan komunikan.
Bahasa memiliki ciri-ciri yang spesifik, seperti konvensional, oral,
simbolis, berkembang dan dinamis, beragam, dan arbitrer. Oral, yakni
diucapkan dan dilafalkan serta ada rangsangan di otak untuk menanggapi bunyi
tersebut. Simbolis, yakni sebuah bahasa juga merupakan lambang dan simbol
bahasa, seperti huruf, angka, lambang bahasa, dan berbagai bentuk lambang
atau simbol lainnya. Bahasa juga memiliki sifat berkembang dan dinamis,
yakni bahasa akan terus berkembang dari satu masa ke masa yang lain.
Perubahan tersebut berkenaan dengan sistem atau mungkin munculnya
kosakata baru dan perlambangan bunyi yang baru. Bahasa juga memiliki
ragam, seperti ragam baku, ragam resmi, ragam santai, dan ragam akrab.
Bahasa sebagai lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh
masyarakat untuk berhubungan dan kerja sama, berinteraksi, dan
mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 1993:21). Arbitrer, artinya bahasa
memiliki sifat manasuka dan bebas, tidak ada aturan bahwa kursi harus disebut
sebagai tempat duduk, mungkin saja di tempat lain kursi merupakan doa-doa
dalam agama Islam.
Kaitannya dengan penggunaan interaksi, kerjasama, dan berhubungan,
maka bahasa sangat mungkin menggunakan keabriterannya. Oleh karena itu,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
sering ditemukan penggunaan bahasa dan kosakata tertentu yang hanya
dimengerti dan pemaknaannya hanya komunitas tertentu yang tahu. Tidak
hanya itu, ternyata kearbitreran bahasa turut dirasakan pula oleh remaja masa
kini. Remaja sering menggunakan angka dan simbol dalam berkalimat secara
tertulis. Contohnya, me7 lokasi, 7an penulis, sudah dit4, aku=dia. Apabila
dideskripsikan secara singkat, menuju lokasi, tujuan penulis, sudah di tempat,
aku sama dengan dia. Ini menunjukkan, masyarakat bahasa pun mencoba
menggunakan akal dan kekreativannya untuk mengembangan bahasa dalam
berkomunikasi satu sama dengan yang lainnya.
b. Bahasa sebagai Alat Komunikasi
Bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai peranan yang penting
dalam interaksi manusia. Bahasa dapat digunakan manusia untuk
menyampaikan ide, gagasan, keinginan, perasaan dan pengalamannya kepada
orang lain. Tanpa bahasa manusia akan lumpuh dalam berkomunikasi maupun
berinteraksi antara individu maupun kelompok. Dengan demikian manusia
tidak dapat terlepas dari bahasa. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat
Samsuri (1987:4) bahwa manusia tidak akan lepas dari pemakaian bahasa,
karena bahasa adalah alat yang dipakainya untuk membentuk pikiran, perasaan,
keinginan dan perbuatan-perbuatannya, serta sebagai alat untuk mempengaruhi
dan dipengaruhi.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa bahasa adalah tanda yang jelas dari
kepribadian, yang baik maupun yang buruk; tanda yang jelas dari keluarga dan
bangsa; tanda yang jelas dari budi kemanusiaan. Dari pembicaraan seseorang
tidak saja keinginannya yang dapat diungkap, tetapi juga motif keinginannya,
latar belakang pendidikannya, pergaulannya, adat istiadatnya, dan lain
sebagainya (Samsuri, 1987:4). Secara umum, apabila dicermati penggunaan
bahasa di masyarakat yang sebagian besar bekerja sebagai pekerja keras di
daerah pinggiran akan memiliki bahasa yang lebih kasar dibandingkan
keluarga kraton yang merupakan keluarga bangsawan. Bahasa nyatanya juga
memiliki penanda identitas yang jelas. Dalam sebuah konteks, masyarakat
Banyumas ketika berkomunikasi dengan masyarakat Jawa pada umumnya akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
memiliki sistem dan perbedaan yang cukup jelas. Salah satunya adalah tanda
glotal yang dipakai untuk mengakhiri sebuah kata berhuruf terakhir vokal. Jika
dibandingkan dengan bahasa Jawa pada umumnya akan ditemukan perbedaan
lain yang cukup signifikan. Ini menunjukkan, bahasa memiliki penanda
identitas yang menjadi ciri khas dari satu daerah.
Sebagai alat komunikasi, bahasa harus mampu menampung perasaan
dan pikiran penutur, serta mampu menimbulkan adanya saling mengerti
antarpenutur atau penulis dengan pendengar atau pembaca. Seseorang dapat
berkomunikasi dengan baik dalam suatu bahasa, bila orang tersebut menguasai
sistem bahasa itu. Sempurna atau tidaknya bahasa sebagai alat komunikasi
umum, sangat ditentukan oleh kesempurnaan sistem atau aturan bahasa dari
masyarakat pemakainya (Santoso, 1990:1).
Nababan (1993:40) mengemukakan bahwa bahasa memiliki fungsi
kemasyarakatan dalam arti memiliki peranan khusus suatu bahasa di dalam
kehidupan masayarakat. Klasifikasi bahasa berdasarkan fungsi kemasyarakatan
dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan ruang lingkup dan berdasarkan bidang
pemakaian. Berdasarkan ruang lingkup, berarti bahasa digunakan oleh manusia
dalam lingkup nasional atau lingkup kelompok. Di dalam lingkup nasional
masyarakat menggunakaan bahasa Indonesia, sedangkan pada lingkup
kelompok lebih fleksibel. Bahasa nasional tentu saja di Indonesia adalah
bahasa Indonesia, yakni bahasa yang dipakai oleh seluruh rakyat Indonesia.
Bahasa Indonesia pun diatur dalam undang-undang kebahasaan dan lambang
negara. Di negara lain pun semestinya juga memiliki bahasa nasional, karena
posisi bahasa Nasional yang begitu penting. Itulah alasannya setiap negara
menggunakan satu bahasa yang digunakan sebagai identitas bangsa.
Jika bahasa nasional dipakai oleh satu kelompok bangsa, tentu saja
bahasa kelompok tidak demikian. Meski sama-sama digunakan satu kelompok
masyarakat, lingkup penggunaanya tetap berbeda. Bahasa nasional hanya
digunakan oleh sebangsa dalam satu negara saja, sedangkan bahasa kelompok
tidak. Bahasa kelompok mungkin saja digunakan sekelompok masyarakat dari
ragam negara yang berbeda dengan lingkup yang lebih sempit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Bahasa atau linguistik memiliki cabang kajian ilmu yang luas. Salah
satu cabang ilmu bahasa adalah sosiolinguistik. Sosiolinguistik adalah ilmu
yang mengaitkan bahasa dan struktur sosial (Ibrahim, 1995:40). Di dalam
sosiolinguistik dikaji mengenai bahasa kaitan dengan ilmu sosial, yaitu : umur,
jenis kelamin, kelas sosioekonomi, pengelompkan regionalnya, status, dan
lainnya. Jadi, di dalam sosiolinguistik dibahas kajian penggunaan bahasa
kaitannya dengan sosial.
c. Sosiolinguistik
Sosiolinguistik mengkaji penggunaan bahasa pada kesosialan
masyarakat tertentu yang kondisinya pasti berbeda dengan kondisi sosial
daerah lainnya. Tingkat sosial yang dimaksud memiliki pengertian yang sangat
luas, sesuai yang dijelaskan Ibrahim di atas, salah satunya adalah umur
pengguna bahasa. Contoh konkretnya adalah adanya penambahan,
pengurangan, penggantian suku kata, dan berbagai bentuk lainnya. Jika
dibandingkan dengan bahasa masyarakat lain dengan beda umur akan terlihat
perbedaannya. Inilah yang disebut sebagian masyarakat saat ini disebut alay
atau yang sebelumnya disebut lebay. Dalam berbagai konteks, kedua kata
tersebut memiliki arti berlebihan atau hiperbolis.
Selain umur, tentu saja kekhasan sosiolinguistik juga timbul dalam jenis
kelamin penutur, berbagai kosakata mungkin saja digunakan kaum lelaki yang
tidak disadari oleh kaum wanita, begitu pula sebaliknya. Contoh nyata dalam
masyarakat bahasa saat ini adalah kata roti Jepang. Roti Jepang memang satu
istilah yang mungkin bermakna roti atau kue dari Jepang. Beberapa kaum hawa
menafsirkan bahwa roti Jepang adalah pembalut. Selain kedua contoh tersebut,
berbagai konteks sosial juga berpengaruh pada penggunaan kata dan kalimat.
Kridalaksana (1993:181) menyatakan bahwa sosiolinguistik adalah
cabang ilmu linguistik yang mempelajari hubungan saling pengaruh antara
perilaku bahasa dan perilaku sosial. Dalam kajian linguistik, terutama
sosiolinguistik seperti yang dijelaskan Kridalaksana, ilmu ini akan
menjabarkan segala sesuatu bekenaan dengan perilaku bahasa dan perilaku
sosial. sebagai contoh, seorang yang tingkat sosialnya tinggi menggunakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
bahasa dengan kekhasan yang berbeda dengan tingkat sosial lain. Secara
terinci, dalam sosiolinguistik dibahas variasi bahasa, variasi tuturan, seperti
dialek, gaya bahasa dan ragam bahasa, tindak tutur, idiom, serta rahasia yang
terkandung dalam bahasa.
Ragam bahasa adalah variasi pemakaian bahasa yang timbul dari akibat
adanya sarana, situasi, dan bidang pemakaian yang berbeda-beda (Mustakim,
1994:218). Penggunaan bahasa dalam sarana yang berbeda, memungkinkan
seseorang menggunakan ragam yang berbeda dengan sarana yang lainnya.
Semisal, seorang yang sedang berkomunikasi dengan pihak lainnya
menggunakan telepon dan menggunakan email akan berbeda, apalagi
penggunaan telegram yang lebih singkat. Penggunaan ragam bahasa bisa
berbeda antara situasi tertentu. Pada konteks pertemuan seorang abdi dalem
keraton dengan pembantu secara umum akan berbeda. Abdi dalem akan
menggunakan bahasa yang lebih halus dengan atasannya, pembantu rumahan
akan menggunakan bahasa yang relatif lugas dan sesuai konteksnya.
Mustakim (1994:218) menjelaskan bahwa penggunaan bahasa dan
pemakaiannya pun makin beragam. Seorang dapat dengan mudah
berkomunikasi dengan keberagaman yang ada. Di sisi lain, sebagian dari
mereka perlu menggunakan pakem dan menjunjung kebiasaan sebagai satu
penggunaan kekhasan. Menurut penelitian Fajarwati (2007:23), kekhasan
ragam bahasa bisa dijumpai pada pemakaian kata, pemakaian partikel,
interjeksi, penggunaan idiom, munculnya plesetan.
Ragam bahasa khususnya di Indonesia dewasa ini berkembang dengan
cukup pesat. Adanya slogan, sleng, register, akronim, plesetan dan berbagai
bentuk lainnya turut mewarnai penggunaan bahasa Indonesia. Kesemuanya
dikaji dalam linguistik, terkhusus sosiolinguistik. Hal ini berkaitan dengan
penelitian Fatturokhman (2000) yang menjelaskan bahwa komunikasi dengan
menggunakan lambang verbal (komunikasi verbal) terjadi ketika partisipan
komunikasi menggunakan kata-kata, baik itu lisan ataupun tulisan. Jadi, oleh
Faturrokhman dipaparkan bahwa komunikasi tidak memandang itu dilisankan
atau ditulis. Asalkan terjadi interaksi dari dua pihak, itulah komunikasi. Di sisi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
lain, Faturrokhman kembali menemukan, bahwa di dalam masyarakat kini,
tidak hanya komunikasi verbal saja, namun juga komunikasi nonverbal, yakni
sebuah komunikasi ketika partisipan komunikasi menggunakan simbol selain
kata-kata seperti nada bicara, intonasi, sorotan mata, bentuk bibir, dan ekspresi
wajah.
Dengan adanya perkembangan yang beragam, membuat komunikasi
antarmasyarakat lebih mudah, terutama dalam satu komunitas dan kelompok
tertentu. Perannya pun makin beragam dan unik, tidak terlepas dari situasi dan
kondisi penutur, tetapi juga keinginan penutur turut terkover.
d. Analisis Makna
Analisis makna yang digunakan di dalam penelitian ini berdasar pada
teori milik Hymes (dalam Bell, 1976:79) menyatakan bahwa di dalam
analisis bahasa perlu adanya delapan elemen yang diakronimkan dengan kata
speaking. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di dalam berkomunikasi
yaitu (1) setting and scene, (2) participants, (3) ends, (4) act, (5) key,
(6) instrumentalities, (7) norms,dan (8) genres.
1) Setting and Scene, mengacu pada keadaan sekitar yang bersifat fisik
secara umum. Dalam komunikasi diambil tempat, terutama waktu dan
situasi budaya/keadaan sekitar. Hal ini berfungsi untuk
mendeskripsikan situasi, tempat, dan waktu dari sebuah perbincangan.
2) Participants, merupakan pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa
pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan
penerima pesan. Dalam hal ini, pihak yang dimaksudkan adalah anak
jalanan yang sedang berkomunikasi dengan sesama anak jalanan
maupun ketika anak jalanan berkomunikasi dengan pihak luar.
3) Ends merujuk pada hasil tuturan, maksud dan tujuan pertuturan. Setiap
pertuturan memiliki tujuan dalam penuturannya, begitu juga dengan
anak jalanan. Ketika anak jalanan berkomunikasi dengan sesama anak
jalanan maupun pihak di luar anak jalanan, mereka memiliki tujuan dan
maksud dari tuturannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
4) Act Sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran, berkenaan
dengan kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan
hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik.
5) Key bertolok pada nada, cara dan semangat di mana suatu pesan
disampaikan, contohnya dengan senang hati, dengan serius, dengan
singkat, dan dengan sombong. Dalam key, setiap anak jalanan dapat
dicermati bagaimana nada ketika berkomunikasi dengan mitra tutur,
demikian dapat menjadi patokan perbincangan.
6) Instrumentalities merupakan elemen analasis yang mengacu pada jalur
yang dipakai, seperti jalur lisan, tertulis, telegram. Anak jalanan di
Kota Surakarta sebagian besar menggunakan bahasa lisan dalam
bercakap, baik ke sesama anak jalanan maupun dengan luar pihak. Di
lain sisi, tidak semua anak jalanan cakap berbahasa tulis, fakta ini
mendorong penggunaan bahasa lisan yang lebih dominan.
7) Norms mengacu pada norma atau aturan bertingkah laku dalam
berinteraksi dengan mitra tutur. Interaksi ini akan berkolaborasi dengan
tingkah laku maupun gerak-gerik dari anak jalanan yang dapat
diinterpretasikan sebagai satu kesatuan berkomunikasi.
8) Genres mengacu pada jenis bentuk penyampaian. Penutur maupun
mitra tutur dalam berkomunikasi menggunakan sajian lisan langsung
atau tidak langsung. Dalam hal ini juga dipertimbangkan, ketika ada
pihak lain yang memengaruhi pertuturan.
Dalam teori Hymes di atas dapat diidentifikasi bahwa sebuah
percakapan baru dapat dikatakan sebuah peristiwa tutur kalau memenuhi
syarat setting dan scene, participants, ends, act sequance, key,
instrumentalities, norms, dan genres.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
2. Hakikat Register
a. Pengertian Register
Konsep register berdasarkan perspektif sosiolinguistik pada mulanya,
register dipakai oleh kelompok profesi tertentu. Bermula dari adanya usaha
orang-orang yang terlibat dalam komunikasi secara cepat, tepat, dan efisien di
dalam suatu kelompok kemudian mereka menciptakan ungkapan khusus yang
dipakai oleh kelompok mereka sendiri.
Setiap anggota kelompok itu beranggapan sudah dapat saling
mengetahui karena mereka sama-sama memiliki pengetahuan, pengalaman,
dan kepentingan yang sama. Selain karena pengetahuan, pengalaman, dan
kepentingan yang sama, juga karena masa pertemuan yang cukup rutin
membuat sekelompok orang memiliki objek pembicaraan yang terkadang
sama. Dengan kekerapan pertemuan setiap anggota masyarakat bahasa,
membuat masyarakat menggunakan dan mengaplikasikan sistem bahasa yang
sama. Sistem bahasa tersebutlah yang disebut dengan register. Jadi, dapat
dikatakan bahwa intensitas pertemuan mampu mengubah komunikasi lebih
intim dan komunikasi tersebut dapat menjadi satu aspek perubahan tuturan
yang ada antara satu dengan yang lainnya.
Akibat dari interaksi semacam itu, akhirnya bentuk tuturan
(kebahasaannya) akan menunjukkan ciri-ciri tertentu. Semisal, pengurangan
struktur sintaksis dan pembalikan urutan kata yang normal dalam kalimat
(Holmes, 1992:27-282). Oleh karenanya, ciri-ciri tuturan (kebahasaan)
mereka selain akan mencerminkan identitas kelompok tertentu, juga dapat
menggambarkan keadaan apa yang sedang dilakukan oleh kelompok tersebut.
Konsep register telah banyak diutarakan oleh para sosiolinguis dengan
pemahaman yang berbeda-beda.
Dalam penelitian Lewandowski (2010) dinyatakan bahwa register
didefinisikan sebagai variasi bahasa berdasarkan pada situasi dan kondisi
penutur. Ditambahkan pula, bahwa register akan semakin kuat apabila
hubungan tiap anggota tuturan tidak dalam bermasalah. Selain itu, dijelaskan
bahwa register akan menjadi satu media perbincangan antaranggota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
kelompok untuk saling mengerti hal tersebut. Hal ini didukung dari pendapat
Holmes (1992:276) memahami register dengan konsep yang lebih umum
karena disejajarkan dengan konsep ragam (style). Style juga berarti gaya, gaya
penggunaan bahasa. Jadi, menurut Holmes (1992), mungkin saja satu
komunitas tertentu memiliki ragam dan gaya yang sama, namun ketika
dibandingkan dengan gaya atau ragam yang dimiliki komunitas lainnya akan
cukup berbeda, dan bahkan berbeda sama sekali. Setiap detail ciri dan
kekhasan dari ragam dipaparkan Holmes (1992) juga merupakan ciri dan
kekhasan register.
Selain pendapat dari Holmes, beberapa sosiolinguis menjelaskan
konsep register secara lebih sempit, yakni hanya mengacu pada pemakaian
kosakata khusus yang berkaitan dengan kelompok pekerjaan yang berbeda.
Karena perbedaan ragam dan register tidak begitu penting maka kebanyakan
para sosiolinguis tidak begitu mempermasalahkannya.
Selain dikaitkan dengan ragam seperti yang dijelaskan di atas, register
pun turut dikaitkan dengan dialek. Dalam pembicaraan tentang register pada
umumnya, Chaer (2004) menambahkan, apabila dialek berkenaan dengan
masalah bahasa itu digunakan oleh siapa, di mana, dan kapan, maka register
berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan untuk kegiatan apa.
Seseorang dalam kehidupannya mungkin saja hanya memiliki satu
dialek, misalnya masyarakat di daerah Kebumen akan menggunakan
dialeknya dalam kehidupannya sehari-hari. Namun, masyarakat tersebut pasti
tidak hidup hanya dengan satu register saja. Sebab, dalam kehidupannya
sebagai anggota masyarakat, bidang kegiatan yang harus dilakukan pasti lebih
dari satu kegiatan.
Semisal, seorang ahli bedah yang juga seorang relawan dalam sebuah
perang, ia akan terus berkomunikasi dan berinteraksi dengan para ahli bedah
lain dengan bahasa dokter. Ketika ahli bedah berkumpul dengan para relawan
perang di medan laga, maka ia akan menggunakan bahasa dan kode tertentu
dalam berkomunikasi. Ini menunjukkan bahwa ketika si ahli bedah berasal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
dari daerah Madura, meski ia memiliki dan menggunakan logat Madura,
dalam berkomunikasi kerja ia tetap memiliki register lebih dari satu bahasa.
Variasi bahasa yang berkenaan dengan penggunaanya, pemakaianya,
atau fungsinya disebut fungsiolek (Nababan, 1991), ragam, atau register.
Secara tidak langsung, Nababan memaparkan bahwa register juga merupakan
satu variasi bahasa berdasarkan pada fungsinya. Pendapat tersebut diperkuat
dengan pendapat Chaer (2004:69), bahwa variasi bahasa berdasarkan fungsi
lazim disebut register. Variasi bahasa pada umumnya dibicarakan berdasarkan
bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan.
Wardhaugh (dalam Purnanto, 2002:12), register merupakan variasi
bahasa yang digunakan dalam suatu kelompok tertentu atau di dalam suatu
komunitas tertentu. Jadi, bertumpu pada pendapat Wardhaugh, pemakaian
bahasa oleh sekelompok orang yang ditandai oleh adanya pemilihan kosakata-
kosakata tertentu sesuai dengan kelompok-kelompok profesi atau sosial
tertentu dinamakan sebagai register. Secara tersirat, Wardhaugh memaparkan
penggunaan register berada di setiap elemen kelompok masyarakat seperti
penggunaan bahasa dalam pasukan pengaman presiden, tentara, polisi,
penjahat jalanan, mahasiswa, dosen, ilmuwan dan berbagai golongan
masyarakat bahasa, termasuk anak jalanan.
Hymes (dalam Purnanto, 2002:19) menyatakan bahwa pemilihan
pemakaian register tidak hanya karena adanya situasi tertentu yang menuntut
penggunaan register, tetapi pemilihan register juga turut menentukan situasi
pemakaiannya. Jika dijabarkan, Hymes menjelaskan peran register mampu
menentukan situasi pemakaiannya. Dalam situasi tertentu, register mampu
menentukan situasi yang berbeda, tergantung pada tujuan penggunaan dan
makna yang terkandung di dalamnya.
Di samping ragam, dalam variasi tutur juga terdapat tingkat tutur,
variasi bahasa, dan register (Poedjosoedarmo, 2001). Secara umum, register
dapat digunakan oleh siapa saja dan dalam bidang yang tidak terbatas. Semisal
di bidang jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian,
perdagangan bahkan komunitas kecil seperti anak jalanan dalam satu lingkup
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
tertentu. Menurut Chaer (2004), variasi bahasa atau register akan sangat
tampak pada bidang kosakata. Setiap bidang tertentu mestinya memiliki
kosakata khusus dan hanya tertentu saja diketahui.
Register secara sederhana dapat dikatakan sebagai variasi bahasa
berdasarkan fungsi penggunaannya. Di dalam konsep ini, register tidak
terbatas pada pilihan kata saja, tetapi juga termasuk pada pilihan penggunaan
struktur teks. Register meliputi seluruh pilihan aspek kebahasaan atau
linguistik dan banyak linguis menyebut register sebagai style atau gaya
bahasa. Variasi pilihan register tergantung pada konteks dan situasi, antara
lain terdiri dari 3 variabel yaitu: field (medan), tenor (pelibat), dan mode
(sarana). Ketiganya selalu bekerja secara simultan untuk membentuk
konfigurasi makna.
Konsep register berkaitan dengan konsep variasi bahasa karena
munculnya variasi bahasa sangat dimungkinkan oleh berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Dalam kaitan ini, Hymes menyatakan bahwa pemilihan
pemakaian register tidak hanya karena adanya situasi tertentu yang menuntut
penggunaan register, tetapi pemilihan register juga turut menentukan situasi
pemakaiannya. Konsep Hymes setidaknya mengandung dua arah
pemahaman, yaitu: (1) munculnya variasi bahasa karena dipengaruhi oleh
faktor situasi tertentu dan (2) pemakaian variasi bahasa menyatakan situasi
tertentu. Hudson (1996:24) menyatakan bahwa register as varieties according
to user
sejalan dengan pendapat Spolsky (1998:33) bahwa, register is variety
associated with a specific function, register adalah variasi bahasa yang
dihubungkan dengan fungsi khusus.
Halliday (1978:35) menjelaskan bahwa register adalah bentuk variasi
bahasa berdasarkan pada penggunaan bahasa tersebut. Ia juga menjelaskan,
yang sedang dilakukan (keadaan alami aktivitas) dan bentuk pengekspresian
yang berbeda pada proses sosial. Jadi, register adalah cara mengungkapkan
hal berbeda dan memiliki makna yang berbeda. Halliday juga memberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
sebuah contoh ekstrim, yakni bahasa yang terbatas dan penggunaan bahasa
yang khusus untuk tujuan yang khusus pula.
Ibrahim (1995:45) menyatakan bahwa register merupakan salah satu
kajian ilmu bahasa kaitannya dengan sosiologi dengan adanya variable status
keakraban, peralian keluarga, sikap, dan tujuan tiap anggota kelompok.
Register digunakan oleh komunitas tertentu sebagai bentuk keakraban,
simbol, dan sikap penggunanya. Penggunaan bahasa cenderung memberikan
dampak yang berbeda bagi pendengarnya.
Register ini sering digunakan pada suatu komunitas tertentu seperti
komunitas penyiar, tukang becak, pedagang, banci bahkan pada komunitas
terdidik seperti siswa maupun mahasiswa. Anak jalanan yang biasanya
tergabung di dalam suatu komunitas juga menggunakan register di dalam
keseharianya. Register tidak hanya digunakan sebagai komunikasi dengan
orang satu komunitas tetapi juga di luar komunitas (kelompok anak jalanan
lain dan masyarakat umum).
Parera (1993:133) mendefinisikan register adalah variasi dalam tutur
yang digunakan oleh sekelompok orang tertentu dengan profesi dan perhatian
yang sama. Satu register yang khusus dapat dibedakan dengan register yang
lain. Register ditentukan oleh pelibat bicara, medan makna yang dicocokkan
dengan profesi dan perhatian serta sarana yang digunakan. Dengan kata lain,
Parera menjelaskan bahwa register satu kelompok/komunitas akan memiliki
pemaknaan, fungsi penggunaan yang berbeda dengan register dari
kelompok/komunitas serupa lainnya. Dalam satu komunitas serupa pun
memiliki perbedaan, apalagi jika dibandingkan dengan lain profesi dalam
komunitas yang berbeda pula.
Di lain pihak Ferguson (1994:20) memaparkan bahwa variasi register
adalah situasi komunikasi yang terjadi secara teratur dalam masyarakat
(dalam hal partisipan, setting, fungsi komunikasi), akan cenderung
memunculkan ciri struktur dan penggunaan bahasa yang berbeda dari situasi
komunikasi yang lain. Orang yang terlibat dalam stuasi komunikasi secara
langsung akan cenderung mengembangkan kosakata, ciri-ciri intonasi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
sama, dan potongan-potongan kalimat serta fonologi yang mereka gunakan
dalam situasi tertentu. Ciri-ciri register yang demikian itu, akan memudahkan
komunikasi yang cepat sementara ciri yang lain dapat membina perasaan
yang erat (Ferguson dalam Purnanto, 2002:21).
Atmahardianto (2012) menyimpulkan dalam skripsinya, bahwa
register merupakan ragam bahasa berdasarkan pemakaiannya, yaitu bahasa
yang digunakan tergantung pada apa yang sedang dikerjakan dan sifat
kegiatannya. Register mencerminkan aspek lain dari tingkat sosial, yaitu
proses sosial yang merupakan macam-macam kegiatan sosial yang biasanya
melibatkan orang. Register merupakan bentuk makna yang khususnya
dihubungkan dengan konteks sosial tertentu, yang di dalamnya banyak
kegiatan dan sedikit percakapan, yang kadang-kadang disebut sebagai bahasa
tindakan.
b. Kajian Bahasa Register
Register terdiri dari beberapa macam. Dipandang dari berbagai sudut
pandang yang berbeda, dalam Pateda (1990:65) membagi register menjadi
lima macam, yaitu :
1) Oratorical atau frozen yang digunakan oleh pembicara yang profesional
sehingga seseorang tertarik dengan pembicaraannya. Register pada jenis
oratorical pada umumnya digunakan oleh seorang ahli yang memiliki
pendidikan keilmuan. Seperti ahli bedah, dokter, redaktur, manajer,
akuntan, politikus, jaksa, dan ahli bidang keilmuan lainnya. Pembicaraan
dalam jenis register ini dianggap menarik, karena keilmuan yang
diperbincangkan memiliki bobot tersendiri.
2) Deliberate atau formal, ditujukan kepada pendengar untuk memperluas
pembicaraan yang disengaja. Pada register formal, setiap perbincangan
mengarah pada keadaan yang resmi. Dalam situasi dan keadaan resmi pun
beberapa komunikan tetap menggunakan register dalam percakapan situasi
resmi. Berbagai motif penggunaan register yang hanya dimengerti sebagian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
kecil ini tidak menjadi masalah, asalkan komunikan merasa lebih nyaman
ketika berbincang dengan register.
3) Konsultatif, terdapat dalam transaksi perdagangan ditempat terjadi dialog
karena ia membutuhkan persetujuan. Konsultatif adalah register yang
cukup berbeda dengan yang lainnya. Register jenis ini lebih bersifat tidak
resmi, namun tidak terlalu santai. Akrab dan mengena, namun tidak saling
intim. Secara implisit, Pateda memaparkan bahwa dalam perdagangan, ada
banyak sekali penggunaan register untuk berbagai keperluan terutama
dalam transaksi perdagangan.
4) Casual, untuk menghilangkan rintang-rintangan antara dua orang yang
berkomunikasi. Casual dalam hal ini adalah santai dan tidak ada bentuk
tertekan karena kebutuhan, atau karena profesi. Namun, jenis register
casual ini lebih umum dan dalam kondisi santai. Kondisi antarpenutur tidak
terikat pada situasi yang formal maupun ada penghalang. Kondisi santai
tidak mengikat tujuan perbincangan yang kukuh.
5) Intimate, digunakan dalam situasi dan suasana kekeluargaan. Pada register
jenis ini, register lebih bersifat pada penggunaan intim. Jenis penggunaan
register ini lebih intim dan tidak ada penghalang antarkomunikan. Jenis
situasi atau kondisi antara lain, kekeluargaan, persahabatan karib, geng
karib, dan berbagai bentuk hubungan intim lainnya. Dalam kondisi ini
antarpenutur sudah sangat dekat dan tanpa ada halangan.
Ada tiga komponen pokok dalam analisis register, yaitu: (1) analisis
ciri-ciri linguistik register, (2) analisis ciri-ciri situasional, dan (3) analisis
fungsional dan konvensional atau gabungan ciri-ciri linguistik dan situasional
(Biber dalam Purnanto, 2002:24)
1) Analisis ciri-ciri linguistik register
Ada dua tipe penandaan dalam ciri linguistik register, yaitu penanda
register dan ciri linguistik inti (Purnanto, 2002:24). Penanda register
merupakan ciri-ciri yang membedakan dan hanya dapat ditemukan dalam
register-register tertentu, misalnya dalam kata combo yang artinya
bermain musik bersama-sama dalam satu tim secara lengkap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
2) Analisis ciri-ciri situasional register
Dalam membentuk ciri situasional register, dalam bahasa komunikasi
anak jalanan dilakukan dengan mengacu pada pembentuk makna register
yaitu berupa kosakata ataupun ungkapan yang bertumpu pada faktor-
faktor utama dan faktor pendukung yang menyebabkan terjadinya register
tersebut, dalam konteks situasi yang melatarbelakanginya
3) Analisis fungsional dan konvensional untuk ciri-ciri linguistik situasional.
Untuk mendapatkan analisis fungsi dan konvensional, dilakukan
pendekatan secara multidimensional. Pemakaian register oleh anak
jalanan di Kota Surakarta sangat berkaitan dengan situasi tutur
masyarakat. Seperti juga yang banyak terjadi di bidang-bidang yang lain,
pemilihan kosakata dalam percakapan komunitas anak jalanan sedikit
banyak dipengaruhi oleh faktor sosial, situasional, dan kultural. Bertolak
dari hal tersebut maka penggunaan kosakatanya pun akan terpengaruhi
atau beralih menjadi bahasa Jawa, sebab masayarakat Surakarta juga
merupakan masyarakat diglosik, yang tidak hanya mengggunakan satu
bahasa dalam berkomunikasi.
Meski penggunaan register terbatas pada lingkup dan komunitas
tertentu saja, namun secara garis besar kajian berkenaan dengan register
dibahas dalam sosiolinguistik. Sosiolinguistik yang hakekatnya adalah kajian
yang berhubungan antara keadaan masyarakat dan kebahasaan yang
terkandung di dalamnya. Masyarakat dalam hal ini adalah masyarakat bahasa,
yakni seluruh masyarakat yang di dalamnya menggunakan bahasa sebagai
alat komunikasi dan interaksi antarindividu dalam kelompok.
Suwito (1982) menyatakan bahwa masyarakat bahasa (speech
community) adalah suatu masyarakat atau sekelompok orang yang
mempunyai verbal repertoire relatif sama dan mempunyai penilaian sama
terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang dipergunakan dalam
masyarakat itu. Anwar (1990:30) menjelaskan, bahwa yang dimaksud
masyarakat bahasa ialah suatu masyarakat yang didasarkan kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
penggunaan bahasa tertentu yang menjadi ukuran untuk menunjuk kepada
masyarakat itu ialah bahasa yang digunakan oleh para anggota masyarakat
itu dalam kehidupan mereka. Masyarakat bahasa bukan hanya kelompok
orang yang menggunakan bahasa sama, tetapi sekelompok orang yang juga
mempunyai norma sama dalam memakai bentuk-bentuk bahasa.
Oleh karena itu, setiap kelompok dalam masyarakat yang karena
tempat, umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan sebagainya, menggunakan bahasa
sama serta mempunyai penilaian sama terhadap norma-norma pemakaian
bahasanya dapat membentuk masyarakat tutur atau masyarakat bahasa.
Dalam masyarakat bahasa, memungkinkan munculnya komunitas bahasa dan
penggunaan bahasa yang hanya dipahami dan dimengerti golongan komunitas
tertentu saja. Dengan adanya komunitas yang memahami bahasa tertentu,
akan muncul variasi bahasa yang akan menyatukan setiap bahasa dalam
komunitas tersebut.
Masyarakat bahasa tidak memiliki lingkup yang terbatas, namun
bersifat sangat luas dan universal. Tidak melulu pada situasi baku, formal,
santai, ataupun intim. Penggunaan bahasa dalam masyarakat bahasa tidak
terpaku pada keadaan, situasi, jenis percakapan, namun secara umum. Contoh
masyarakat bahasa adalah masyarakat atau komunitas kedokteran, keguruan,
kepolitikan, kehukuman dan berbagai bentuk masyarakat yang lainnya.
3. Hakikat Anak Jalanan
Anak jalanan digambarkan sebagai kelompok masyarakat dengan
tingkat stratifikasi sosial rendah atau merupakan golongan bawah grassroots
dengan status sosial serta posisi kekuasaan/wewenang (power/autority) yang
tidak jelas. Tidak memiliki banyak akses ke sumber daya serta tidak memiliki
kemampuan untuk menjadi subjek (Ritzer dan Godman, 2004).
Pernyataan di atas didukung pula oleh pendapat Brick (2001) yang
menyatakan bahwa anak jalanan pada intinya adalah anak yang tidak
memiliki tempat tinggal yang tetap. Brick menambahkan bahwa situasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
kehidupan anak jalanan adalah tempat-tempat umum yang jauh dari suasana
kekeluargaan pada umumnya.
Jumlah anak jalanan di Indonesia ternyata cukup fantastis. Meskipun
tersebar di berbagai daerah dengan kuota masing-masing, data yang tercatat
pun masih melejit. Berdasarkan data dari Kementerian Sosial Republik
Indonesia (2009) jumlah anak terlantar sebanyak 3.488.309, Balita terlantar
sebanyak 1.178.824, anak rawan terlantar sebanyak 10.322.674, sementara
anak nakal sebanyak 193.155 anak, dan anak cacat sebanyak 367.520 anak.
Hal tersebut diperkuat dengan survei mahasiswa dari Unika Atmajaya Jakarta
di 12 Kota Besar di Indonesia pada tahun 1999, menyebutkan jumlahnya
39.861 anak (Kementerian Sosial Republik Indonesia, 2009).
Berdasarkan data di atas, ternyata jumlah anak jalanan meningkat
drastis dibanding tahun 2002. Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) yang diselenggarakan dengan kerjasama Badan Pusat Statistik
(BPS) dan Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial (Pusdatin Kesos)
pada tahun 2002 jumlah anak jalanan sebanyak 94.674 anak (Kementerian
Sosial Republik Indonesia, 2009).
Menurut data Badan Pemberdayaan Masyarakat Perlindungan
Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bapermas PP, PA
dan KB) Kota Surakarta serta data-data Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) jumlah anak jalanan di Surakarta tak kurang dari ratusan anak.
DINSOSNAKERTRANS (Arum, 2010) mencatat jumlah anak jalanan di
Kota Surakarta mencapai 648 anak yang terdiri dari anak terlantar, anak
nakal, dan anak jalanan tersebar di Solo. Jumlah ini diperkirakan semakin
meningkat pada beberapa tahun mendatang. Memang tak sedikit pihak yang
melakukan upaya penanganan. Namun sebagian besar upaya tersebut masih
bersifat sementara dan insidental.
Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak, dijelaskan bahwa anak adalah seseorang yang berusia di bawah 21
tahun dan belum menikah. Lain halnya dengan Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikemukakan bahwa anak adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Dalam penelitian register anak jalanan ini, anak didefinisikan
sebagai seorang manusia yang masih kecil, berkisar antara 6 16 tahun yang
mempunyai ciri-ciri fisik yang masih berkembang dan masih memerlukan
dukungan dari lingkungannya. Seperti manusia pada umumnya, anak juga
mempunyai berbagai kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial.
Bermula dan besar di jalanan, anak pun berinteraksi dengan kehidupan
jalanan. Pada umumnya, berdasarkan observasi di beberapa titik di Kota
Surakarta, anak jalanan ditemani oleh orangtuanya. Pada akhirnya, apabila
diawasi saja. Dari
pernyataan tersebut, maka anak jalanan didefinisikan sebagai anak yang
berumur 4-18 tahun dan memiliki kehidupan di jalanan. Pernyataan tersebut
dikuatkan oleh pendapat Kuswarno (2009) bahwa kata jalan menunjukkan
suatu tempat di mana mereka melakukan aktivitas kehidupannya dan
maknanya positif atau paling tidak netral.
Tidak sedikit dari anak jalanan bermula dengan perilaku sederhana dan
melakukan tindakan-tindakan yang salah, akhirnya menyebar ke dalam segi
kehidupan yang lainnya. Mereka yang pada mulanya hanya untuk mencari
uang, kemudian menjadi satu mata pencaharian dan hobi bersama. Hal ini
didukung dari penelitian Saludung (2002) yang menyatakan bahwa mereka
yang mengemis karena sangat miskin, dorongan kebutuhan makanan dan
biaya pendidikan anak.
Dari penelitian Saludung, tergambar betapa mirisnya kehidupan anak
jalanan, karena keadaan ekonomi keluarga yang mendorong mereka untuk
berada di jalan sedangkan itu bukan pilihan bagi mereka. Dengan keberadaan
mereka di jalan, anak jalanan akan semakin rusak oleh lingkungan yang
membentuk mereka, hal ini seperti yang dinyatakan Izzudin (dalam
Kuswarno 2009:98) berhasil mengungkap bahwa anak jalanan jarang
tersentuh oleh peraturan, baik peraturan adat maupun peraturan pemerintah.
Semakin anak jalanan tidak tersentuh peraturan adat maupun
pemerintah, mereka akan semakin liar dan mengisolasi diri sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Pernyataan ini didukung pendapat dari Faturrokhman (2000) yang berhasil
mengungkapkan karakteristik dari anak jalanan di alun-alun Kota Bandung.
Salah satunya adalah, anak jalanan itu tidak tersentuh oleh norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat sehingga menjadikan mereka subetnis dalam
masyarakat. Oleh karena itu mereka dapat mengembangkan bahasa mereka
sendiri.
Pengertian children on the street (anak jalanan) menurut Suhartanto
(2008) adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang
masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada dua kelompok anak jalanan
dalam kategori ini. Pertama, anak-anak yang tinggal bersama orangtuanya
dan senantiasa pulang ke rumah setiap hari. Kedua, anak yang melakukan
kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan namun masih mempertahankan
hubungan dengan keluarga dengan cara pulang baik berkala ataupun dengan
jadwal yang tidak rutin. Anak jalanan adalah anak-anak yang menghabiskan
seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan dan tidak memiliki hubungan
atau memutuskan hubungan dengan orangtua atau keluarganya.
Anak yang seharusnya bermain dan bersekolah terpaksa harus bekerja
keras mencari rizki di jalanan. Kehidupan jalanan yang begitu keras
berpengaruh besar terhadap perkembangan mereka baik perkembangan fisik,
sosial maupun psikologis. Kehidupan mereka begitu rentan terhadap
kekerasan, eksploitasi, pelecehan seksual, bahkan kriminalitas. Selaras dengan
pernyataan Kuswarno (2009), kehidupan di jalanan adalah kehidupan yang
keras dan mereka bertahan dan berjuang pada kehidupan kerasnya jalanan,
bahkan sebagian dari mereka menyebutkan bahwa tindakan mereka adalah
bekerja.
Suhartanto (2008) menjelaskan bahwa anak jalanan dengan keunikan
kerangka budayanya, memiliki tindak komunikasi yang berbeda dengan anak
yang normal. Komunikasi intrabudaya anak jalanan dapat menjelaskan
tentang proses, pola, perilaku, gaya, dan bahasa yang digunakan oleh mereka.
Aspek-aspek tersebut tampak manakala berkomunikasi dengan sesama,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
keluarga, petugas keamanan dan ketertiban, pengurus rumah singgah, dan
lembaga pemerintah.
Anak jalanan yang sudah terbiasa dalam lingkungan rumah singgah dan
berbeda dalam hal ini salah satunya adalah penggunaan bahasa. Perilaku
komunikasi dengan bahasa tertentu biasanya berlangsung secara dominan
dengan orang-orang di sekitar jalanan. Keadaan yang memaksa anak jalanan
untuk tidak bersekolah sangatlah merugikan bagi anak jalanan itu sendiri.
Selain gagal bersosialisasi dengan lingkungan yang lebih luas, anak jalanan
terkesan mengisolasi diri dan lebih tertutup.
Dengan keadaan yang memaksa mereka melakukan penyendirian, maka
tidak ayal mereka akan memiliki kecirian dan kekhasan yang tidak ditemui
pada motorik halus anak seusianya. Termasuk dalam kekhasan yang dimiliki
anak jalanan adalah bahasa yang dimilikinya. Bahasa anak jalanan terkesan
keras dan kasar jika diperdengarkan pada anak umumnya. Hal ini merupakan
sebuah sistem yang sudah terintegrasi pada diri anak jalanan.
Anak jalanan tidak mengerti bahasa maupun intonasinya yang kasar
atau lebih tepatnya dianggap kasar oleh masyarakat. Menurut kelompok ini,
bahasa yang mereka gunakan sah-sah saja dan tidak ada kekeliruan di
dalamnya. Selain penggunaan bahasa dan intonasi berbeda, mereka kadang
kala menciptkan bahasa sendiri. Bahasa yang hanya dimengerti oleh satu
komunitas saja dan diterapkan pula oleh satu komunitas tersebut, inilah yang
disebut register.
Dari hasil kajian pustaka berkenaan dengan anak jalanan, dapat
dikomparasikan dengan penelitian Kuswarno (2009) yang menyebutkan
bahwa sisi perilaku pengemis dapa diketahui bahwa pada umumnya
komunikasi sesama pengemis menggunakan bahasa daerah asal mereka.
Kuswarno menambahkan dalam hasil kajian temuannya, ketika anak jalanan
berada di tempat
tinggal mereka, hampir semua hidup berkelompok dengan sesama mereka
yang berasal dari daerahnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Tabel 1. Contoh bahasa yang digunakan sesama pengemis (Kuswarno, 2009)
Ngobrol dengan sesama Frekuensi Persentase
a. Bahasa Indonesia 8 33,3
b. Bahasa Daerah masing-masing 16 66,7
Jumlah 24 100
Dari tabel di atas, terlihat dari 24 anak jalanan, menggunakan bahasa
daerah disaat mengobrol dengan sesama anak jalanan. Frekuensi dari
penggunaan bahasa Jawa adalah dua per tiga dari keseluruhan sampel
penelitian.
Tabel 2. Contoh bahasa yang digunakan pengemis dengan calon
dermawan (Kuswarno, 2009)
Frekuensi Persentase
a. Bahasa Indonesia 16 66,7
b. Bahasa Daerah masing-masing 6 25,0
c. 2 8,3
Jumlah 24 100
Dari kedua tabel di atas, terlihat perbedaan penggunaan bahasa oleh
anak jalanan. Ketika anak jalanan berada dalam komunitasnya, mereka lebih
nyaman menggunakan bahasa daerah, karena dengan penggunaan bahasa
daerah, calon dermawan belum pasti memahami percakapan tersebut.
Sedangkan, untuk mendapatkan perhatian dari calon dermawannya, mereka
menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa tersebut dianggap lebih universal.
Dengan begitu, terlihat jelas fungsi bahasa telah dipahami sebagai tujuan dan
penggunaannya oleh anak jalanan. Semakin terlihat, bahwa anak jalanan
merupakan anggota masyarakat bahasa yang penting untuk diteliti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
B. Kerangka Berpikir
Register merupakan bahasa yang digunakan oleh sekelompok orang yang
bahasanya memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Keunikan dan kekhasan itu
terlihat pada penggunaan kosakata, kalimat pada situasi, dan kondisi mereka.
Setiap kelompok atau komunitas memiliki register sendiri seperti pada anak
jalanan dan tentunya penggunaan register tersebut juga memiliki tujuan atau
maksud tertentu. Register yang nampak di komunitas anak jalanan di Kota
Surakarta akan dipetakan melalui penelitian ini. Setiap register yang muncul akan
didata dan dianalisis.
Berdasarkan pada kerangka berpikir yang dirancang, menunjukkan bahwa
setiap register yang muncul dalam pergaulan anak jalanan sangat beragam dan di
antaranya karena kedekatan antaranak jalanan dalam komunitas. Kemungkinan
munculnya register dalam komunitas anak jalanan sebagai masyarakat bahasa
adalah kesamaan dan frekuensi kesibukan bersama. Dengan frekuensi yang tinggi,
maka register yang diciptakan akan semakin kuat sehingga bahasa tersebut hanya
dimengerti komunitas itu saja. Dengan pola yang demikian nantinya akan dibuat
analisis hasil penelitian tetang register yang dipakai oleh anak jalanan di Kota
Surakarta.
Setiap bahasa yang ada dalam anak jalanan perlu untuk dianalisis, karena
nyatanya register yang ada dalam pergaulan mereka memiliki kandungan makna
yang berbeda dengan penggunaan keseharian masyarakat pada umumnya. Analisis
data penggunaan register anak jalanan menggunakan teori speaking milik Hymes
(dalam Bell, 1976:79).
Penemuan yang ada dalam penelitian ini tidak berhenti pada analisis
speaking saja, namun akan ada pembahasan pada dua rumusan masalah yang
dipaparkan sebelumnya. Pertama membahas mengenai karakteristik bahasa
register anak jalanan Kota Surakarta. Pada pembahasan ini, akan ditemukan
beberapa karakteristik yang sama dari setiap fenomena munculnya register anak
jalanan di Kota Surakarta.
Di samping mengutarakan adanya karakteristik dari setiap bahasa yang
muncul dari kalangan anak jalanan, juga perlu ditemukan adanya tujuan dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
penggunaan register di kalangan anak jalanan di Kota Surakarta. Setiap register
yang dipakai anak jalanan akan dipaparkan keberfungsiannya dan tujuan
dipakainya register tersebut.
Dalam penelitian ini akan dipaparkan pula makna yang tersirat dari
register tersebut serta penutur, keadaan situasi dan kondisi percakapan, serta
berbagai aspek lain. Lebih jelasnya, alur/kerangka berpikir penelitian ini dapat
dilihat pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Karakteristik bahasa register anak jalanan Kota
Surakarta
Tujuan penggunaan bahasa register pada anak jalanan
Anak Jalanan Kota Surakarta
Sosiolinguistik : Register
Kesibukan bersama yang tidak berkaitan dengan
Profesi
Timbul karena aktivitas dan profesi sosial yang sama
Bahasa register anak jalanan di Kota Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Register anak jalanan Kota Surakarta dikaji dengan sosiolinguistik.
Menurut Holmes (1992) sosiolinguistik mempelajari hubungan antara bahasa dan
keadaan sosial. Holmes juga berpendapat, bahwa sosiolingustik mempelajari
alasan masyarakat bahasa yang berbicara dengan cara yang berbeda. Kajian
sosiolinguistik membantu penyimak bahasa untuk memahami suatu bahasa
dengan konteks sosial yang menyelimutinya. Tingkatan sosial seseorang yang
berbeda mempersulit mitranya untuk memahami suatu interaksi, sedangkan
lapisan masyarakat di Indonesia sangat beragam. Bertumpu dari alasan tersebut,
perlu adanya kajian sosiolinguistik untuk membantu penyelesaian masalah
interaksi antaranggota masyarakat.
Dijelaskan pula oleh Kridalaksana (1993:181) yang menyatakan bahwa
sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari hubungan saling
pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial. Pemaknaan yang lebih luas
adalah linguistik mampu memengaruhi keadaan sosial suatu masyarakat.
Sedangkan ada timbal balik, bahwa keadaan sosial masyarakat juga memengaruhi
bahasa yang digunakan. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini
akan mengkaji keilmuan di bidang bahasa masyarakat anak jalanan kota
Ssurakarta. Setiap bahasa anak jalanan akan digali informasi penggunaan
registernya.
Konsep anak jalanan adalah setiap anak yang berada di jalanan untuk
berbagai kegiatan yang dilakukannya. Kegiatan anak jalanan tidak terpusat pada
kegiatan ekonomi saja, namun juga kegiatan sosial seperti nongkrong. Anak
jalanan tidak dipilah menurut profesinya, namun dipilah berdasar pada keberadaan
anak jalanan di lingkungan masyarakat Surakarta. Didukung pula dari penelitian
Brick (2001) yang menyatakan bahwa anak jalanan pada intinya adalah anak yang
tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Brick menambahkan bahwa situasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
kehidupan anak jalanan adalah tempat-tempat umum yang jauh dari suasana
kekeluargaan pada umumnya.
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan register anak jalanan
sebagai kajian utamanya, sehingga penelitian ini perlu menggunakan tempat
khusus dalam penelitiannya. Selain observasi di sepanjang jalan, penelitian ini
juga melakukan wawancara dengan narasumber atau informan yang dibutuhkan
dalam mendukung penelitian. Bahan observasi atau objek kajian ini adalah
register pada anak jalanan. Tempat penelitian di Kota Surakarta yang meliputi
Kecamatan Jebres, Kecamatan Serengan, dan Kecamatan Banjarsari. Dengan
lokasi yang rinci, yakni: (1) Pasar Ledoksari, (2) Teras Panggung Motor Yamaha,
(3) Pusat Pembinaan Anak Jalanan dan Orang Pinggiran (PPAP) Seroja,
(4) Stasiun Kereta Api Jebres, (5) Lampu Lalu Lintas Perempatan Bank Indonesia,
(6) Terminal Tirtonadi, (7) Perempatan Jimbaran Radio, (8) Stasiun Kereta Api
Balapan, (9) Kecamatan Serengan.
Pada setiap titik lokasi penelitian tidak dibatasi waktu penelitian. Secara
umum, kegiatan penelitian terdiri dari survei dan observasi lokasi penelitian dan
keberadaan anak jalanan. Survei meliputi pemilihan tempat yang dituju dan
peninjauan jumlah anak jalanan, sedangkan observasi meliputi pengambilan data
tentang anak jalanan seperti tempat tinggal, usia, jenis kelamin, dan status
pernikahan. Kegiatan selanjutnya adalah melakukan pendekatan komunikatif
dengan anak jalanan maupun komunitasnya. Agar berterima di lokasi penelitian
dan tidak dianggap pengganggu, maka perlu adanya pendekatan khusus untuk
berteman dengan mereka. Setelah adanya hubungan interpersonal antara peneliti
dan anak jalanan, maka selanjutnya adalah persiapan sarana dan prasarana yang
dibutuhkan.
Anak jalanan diberikan ruang gerak untuk mengembangkan bahasa yang
dimilikinya untuk bercakap-cakap dengan lingkungan sekitarnya tanpa
terpengaruh keadaan dan kondisi peneliti. Seluruh sarana dan prasrana yang
disiapkan, akan menjadi fasilitas dalam pengumpulan data, analisis data, verifikasi
data, dan penulisan laporan penelitian. Dari serangkaian kegiatan penelitian
tersebut, diharapkan mampu terselesaikan dalam kurun waktu satu tahun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Penelitian ini dilaksanakan pada Juli 2012 Desember 2012. Sesuai dengan
karakter penelitian kualitatif, waktu dan kegiatan penelitian bersifat fleksibel.
Adapun rincian waktu kegiatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. di bawah
ini.
Gambar 2. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian
No Waktu Kegiatan Penelitian
Juli Agustus September Oktober November Desember
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Penyusunan Proposal
X X
2. Survei dan observasi awal
X X X X
3. Identifikasi Lokasi Penelitian
X X X
4. Identifikasi Informan
X X
5. Persiapan dan penyusunan Instrumen
X X
6. Pengumpulan data
X X X X X X X X
7. Reduksi data X X X X X
8. Display data X X X
9. Verivikasi data X X X
10. Penarikan Simpulan
X X X X X
11. Penulisan Laporan Penelitian
X X X X X X X X
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
Penelitian ini merupakan kualitatif deskriptif. Hal ini disesuaikan dengan
rumusan masalah penelitian yang sudah ditetapkan. Dalam penelitian ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
informasi yang bersifat kualitatif dideskripsikan secara teliti dan analitis.
Pendeskripsian meliputi mencatat dan meneliti register anak jalanan.
Stategi penelitian yakni studi kasus. Studi kasus adalah sebuah metode
penelitian yang secara khusus menyelidiki fenomena kontemporer yang terdapat
dalam konteks kehidupan nyata. Studi kasus dilakukan melalui observasi, peneliti
menjadi partisipan pasif dan sebisa mungkin tidak diketahui keberadaannya oleh
anak jalanan. Hal ini disebabkan, kondisi anak jalanan yang lebih sensitif dan
agresif. Oleh karena itu, data diperlukan seobjektif mungkin dengan keadaan
natural anak jalanan. Kemudian melakukan wawancara dengan dengan teknik
sadap, teknik simak (baik dengan teknik simak libat cakap maupun teknik simak
bebas libat cakap), teknik rekam dan teknik catat. Wawancara yang dilakukan
meliputi wawancara individual, wawancara kelompok, dan wawancara kepada
informan utama baik anak jalanan, masyarakat terdekat maupun pakar bahasa.
C. Data dan Sumber Data
1. Data
Data atau informasi penting yang dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian
ini berupa data kualitatif. Data penelitian ini diperoleh melalui hasil menyimak
percakapan dan wawancara register anak jalanan. Data ini bersifat kualitatif dan
akan disajikan dengan kata-kata dan kalimat. Dalam penelitian ini, informasi yang
bersifat evaluatif kualitatif dideskripsikan secara teliti dan analitis. Pendeskripsian
meliputi mencatat dan meneliti hasil observasi dan wawancara. Register yang
ditemukan dalam percakapan antaranak jalanan maupun anak jalanan ketika
ditanya berkenaan dengan kosakata yang dipakai dalam kesehariannya.
Data berupa kata maupun frasa yang merupakan register. Data ini
dianalisis dan didiskripsikan dalam bentuk kalimat maupun deskripsi singkat.
Peneliti juga menggambarkan bentuk percakapan, situasi, dan atribut informasi
dalam pengambilan data.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
2. Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah :
a. Peristiwa
Sumber data yang utama dalam penelitian ini adalah peristiwa tutur anak
jalanan berada di jalan, saat sedang mengamen, saat sedang mengobrol
dengan sesama anak jalanan, saat anak jalanan diwawancarai. Secara
umum, kegiatan mereka berpusat di Pasar Ledoksari, perempatan
Panggung, Stasiun Jebres, Pasar Jebres, dan Terminal Tertonadi.
b. Informan
Anak jalanan di Surakarta dengan rentang usia 4-18 tahun. Masyararakat
anak jalanan di Surakarta, meliputi pengamen, pengemis, penjual koran,
dan anak-anak jalanan lainnya yang pekerjaannya hanya nongkrong di
pinggir jalan ataupun beraktivitas lainnya.
D. Teknik Sampling
Populasi dari penelitian ini adalah anak jalanan di Kota Surakarta. Kota
Surakarta membawahi lima kecamatan, antara lain Kecamatan Serengan,
Kecamatan Banjarsari, Kecamatan Jebres, Kecamatan Pasar Kliwon, dan
Kecamatan Laweyan. Dalam penelitian register anak jalanan di Kota Surakarta
dilakukan pengambilan sampling dengan purposive sampling. Teknik
pengambilan sampling dengan metode ini adalah pengambilan cuplikan data
dengan maksud dan tujuan tertentu.
Pengambilan sample anak jalanan tertuju pada anak jalanan wilayah
Kecamatan Serengan, Kecamatan Banjarsari, dan Kecamatan Jebres. Ketiga
kecamatan tersebut dipilih karena tujuan tertentu. Tujuan yang pertama adalah
keberanekaragaman dari anak jalanan di tiga wilayah tersebut. Selain itu,
Kecamatan Jebres dan Kecamatan Banjarsari adalah wilayah yang strategis untuk
dilewati kendaraan umum. Selain itu tujuan pengambilan sample di tiga wilayah
tersebut adalah moblitas anak jalanan yang sama di tiga wilayah tersebut.
Dari hasil pengamatan penelitian, anak jalanan di satu kecamatan selalu
berpindah dari satu kecamatan ke kecamatan yang lain. Jadi, pengambilan sample
di tiga wilayah tersebut diharapkan mampu mewakili populasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
E. Teknik Pengumpulan Data
Keadaaan anak jalanan yang sebagian dari mereka tidak memiliki rumah
permanen dan psikomotor yang sensitif dan agresif memerlukan teknik tersendiri
untuk mengumpulkan data. Teknik yang dilakukan dalam mengumpulkan data
meliputi beberapa teknik, antara lain :
1. Observasi Langsung
Observasi adalah catatan lapangan, hasil pengamantan visual, yang
menjelaskan momen-momen dan nilai-nilai rutinitas dan problematik
kehidupan setiap individu yang terlibat di dalam penelitian. Lebih sering
menjadi pelengkap metode lain, tidak berdiri sendiri. Kegiatan observasi
harus dicatat serinci mungkin, secara deskriptif, bukan interpretatif. Dengan
teknik observasi ini, peneliti ikut terjun langsung melihat kegiatan anak
jalanan. Terjun ke lapangan dengan melihat kondisi dan situasi keadaan
masyarakat. Observasi dilakukan dengan mengamati keadaan sosial, tempat,
pelaku, dan kejadian/peristiwa.
2. Wawancara
Menurut Stokkink (1997), wawancara bertujuan memberikan fakta,
alasan, atau opini untuk sebuah topik tertentu dengan menggunakan kata-kata
narasumber sehingga pendengar dapat membuat satu kesimpulan atau
keabsahan data. Selain itu, wawancara merupakan tanya jawab dengan
seseorang yang diperlukan untuk dimintai keterangan atau pendapatnya
mengenai suatu hal untuk dimuat dalam surat kabar (KBBI). Wawancara
dilakukan dengan teknik sadap, teknik simak (baik dengan teknik simak libat
cakap maupun teknik simak bebas libat cakap), teknik rekam dan teknik catat.
Wawancara ini meliputi wawancara individual, wawancara kelompok, dan
wawancara kepada informan utama maupun seluruh anak jalanan.
3. Pencatatan
Pencatatan dilakukan sambil memberi tanda pada kalimat-kalimat atau
kata-kata dalam percakapan yang mengandung register. Selain itu, pencatatan
tidak serta merta mencatat di antara anak jalanan. Mengingat psikis anak
jalanan yang berbeda dengan anak pada umumnya, tentu memerlukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
pendekatan ekstra pula. Tidak semudah ketika bertemu dengan anak pada
umumnya. Pada pencatatan, setiap data perlu dicatat di media ala kadarnya.
Pada kenyataannya, peneliti pernah menulis data di kulit tangan ataupun kulit
kaki. Hal itu dilakukan untuk tidak mengurangi kepercayaan anak jalanan dan
membuat agar serangkaian percakapan tetap berjalan natural.
Selain mencatat di lokasi penelitian, peneliti juga menulis dan mencatat
kembali di rekam data peneliti. Hasil catatan tersebut dikomparasikan dengan
ingatan dan diperbaiki apabila ada kesalahan. Pencatatan setelah sudah
direvisi, diketik dan dimasukkan dalam data penelitian. Pencatatan data
penelitian tidak saja pada register saja, namun seluruh penggunaan bahasa
pada masyarakat bahasa, khususnya anak jalanan di Surakarta.
F. Validitas Data
Data yang terkumpul diperiksa keabsahannya. Oleh karena itu, untuk
mengusahakan terjadinya validitas data yang diperoleh dilakukan triangulasi.
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang dimanfaatkan sesuatu
yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding
terhadap data itu.
Dalam penelitian ini digunakan triangulasi metode dan triangulasi sumber.
Triangulasi metode adalah mengecek kebenaran data dari beberapa sumber yang
berbeda dengan menggunakan beberapa metode. Triangulasi metode merupakan
proses penyokongan dan penguatan bukti terhadap temuan, analisis, dan
interpretasi data yang telah dilakukan peneliti. Pada triangulasi data jenis ini
digunakan metode ganda untuk mengkaji masalah atau program tunggal, seperti
wawancara, pengamatan, daftar wawancara terstruktur, dan dokumen.
Triangulasi sumber adalah proses penguatan dan pembuktian temuan
dengan melakukan klarifikasi dengan berbagai sumber yang berbeda dalam satu
komunitas yang sama. Temuan dalam penelitian ini dicek pada anak jalanan lain,
sehingga temuan tersebut memiliki makna yang sama dari setiap anak jalanan .
Peneliti bisa memperoleh data dari narasumber (manusia) yang berbeda posisinya
dengan teknik wawancara yang mendalam sehingga informasi dari narasumber
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
yang satu bisa dibandingkan dengan narasumber lainnya. Triangulasi metode
mengecek kebenaran data berdasarkan perspektif metode yang berbeda. Dari
beberapa perspektif tersebut akan diperoleh pandangan yang lebih lengkap, tidak
hanya sepihak sehingga bisa dianalisis dan ditarik kesimpulan yang lebih utuh dan
menyeluruh.
Dalam triangulasi data penelitian analisis register anak jalanan di Kota
Surakarta, narasumber merupakan anak jalanan. Untuk mencapai hal tersebut,
metode yang dipergunakan adalah metode triangulasi, yaitu metode yang
menggunakan beberapa sumber data untuk mencapai konvergensi data sehingga
mencapai data yang valid (Golafshani, 2003). Triangulasi yang dilakukan pada
penelitian ini adalah wawancara dan observasi.
Penggunaan metode wawancara pada pengambilan data ini adalah
wawancara dengan anak jalanan, selain itu juga wawancara dengan keluarga anak
jalanan, wawancara dengan pihak-pihak yang sering bertemu dengan anak jalanan
seperti guru luar sekolah. Metode observasi dilakukan ketika peneliti ingin
mendapatkan hasil yang natural dan tidak ada unsur yang didesain sebelumnya,
baik dari pihak anak jalanan maupun dari peneliti.
G. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
analisis interaktif (interactive model of analysis). Analisis model interaktif ini
merupakan interaksi dari empat komponen, yaitu: pengumpulan data, reduksi
data, penyajian data (display data), dan penarikan simpulan (verifikasi). Dari hasil
analisis tersebut ditemukan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan bentuk-bentuk
register dan karakteristik bahasa anak jalanan. Adapun langkah-langkah analisis
interaktif adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan mencari data register melalui
wawancara anak jalanan kemudian mencatatnya. Selain melakukan wawancara
dengan anak jalanan, juga dilakukan observasi di lokasi penelitian. Selain itu, juga
bertanya pada beberapa pihak yang memahami keadaan dan kondisi anak jalanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Pengumpulan data juga merekam hasil wawancara dengan nara sumber lain yaitu
pakar bahasa.
Selain itu, juga dilakukan observasi (partisipan pasif). Peneliti dalam
penelitian ini berada di sekitar anak jalanan yang kemudian ditulis dan dicatat
apabila terdapat kalimat dan kata baru, yang sekiranya hanya dimiliki oleh
sebagian anak jalanan tersebut. Keberadaan peneliti di lingkungan penelitian tidak
mempengaruhi keadaan dan situasi dari anak jalanan, hal ini dilakukan untuk
tidak mengurangi keabsahan data yang dikumpulkan.
2. Reduksi Data
Teknik ini mengambil langkah yang berupa pencatatan data yang
diperoleh dari hasil observasi. Dalam pencatatan tersebut dilakukan seleksi,
pemfokusan dan penyederhanaan data, data mana yang akan diambil. Proses ini
berlangsung sampai laporan ini selesai ditulis. Seluruh data yang didapatkan di
lapangan, ditranskripsikan dalam bentuk teks. Setelah semua data
ditranskripsikan, maka setiap percakapan yang tidak mengandung register akan
dihapus dan dijadikan lampiran saja. Data yang merupakan kata-kata register akan
dipakai akan dihitamkan dalam kartu data yang digunakan.
Reduksi data, pada intinya melihat dan mencermati transkrip pecakapan
maupun pembicaraan anak jalanan. Setelah dicermati dengan seksama, setiap
kosakata yang tidak memiliki perbedaan arti dalam kamus akan dikurangi dan
tidak dipakai. Pada percakapan yang dimaksudkan dilanjutkan dengan mencermati
kosakata yang dipakai.
3. Penyajian Data
Melalui sajian data, data yang telah terkumpul dikelompokkan dalam
beberapa bagian dengan jenis permasalahannya supaya mudah dilihat dan
dimengerti, sehingga mudah dianalisis. Dalam penyajian data, dibuat kartu
informasi atau sering pula disebut kartu data. Dalam setiap kartu terdapat kata
kunci dari percakapan. Kata kunci, yakni register yang menjadi data utama.
Selanjutnya dikonfirmasikan pada pihak terkait.
Setelah seluruh kata sudah masuk dalam konteks dan kalimat percakapan,
maka data segera diurutkan berdasarkan pengambilan data awal sampai terakhir.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Dimasukkan pula, identitas anak jalanan yang mengutarakan kalimat tersebut,
spesifikasi umur, tempat pengambilan rekaman, waktu pengambilan data, serta
deskripsi lokasi pengambilan data. Ini merupakan langkah untuk mengurangi
subjektivitas, pengurangan kesalahan deskripsi dan analisis data. Setiap kata atau
frasa mendapatkan satu bagian analisis dan kartu data. Dari setiap kartu data,
dilanjutkan dengan pencermatan dan satu register dideskripsikan dalam satu poin
yang kemudian dijabarkan secara luas.
Setelah data terkumpul kemudian dianalisis dengan mengelompokkan
menurut kelompoknya masing-masing. Pertama, data ditulis dalam bentuk
transkrip dialog maupun monolog. Setelah data tersaji dalam bentuk dialog,
peneliti menandai kata yang masuk dalam register. Selanjutnya, peneliti
menganalisis kata atau frasa tersebut dengan teori dari Hymes (dalam Bell,
1976:79) dengan teori speaking (setting and scene, participants, ends, act, key,
instrumentalities, norms, dan genres.) Teori Hymes merupakan satu teori yang
lebih kompleks dibandingkan teori lainnya. Salah satunya teori dari Conrad dan
Biber (2000: 47). Biber dan Conrad menganalisis register berdasarkan tiga
langkah, yaitu: (1) mendeskripsikan situasi penggunaan register; (2) menganalisis
karakteristik linguistik dari register tersebut; dan (3) mengidentifikasi fungsi dan
tujuan untuk membantu menjelaskan penggunaan bahasa tersebut. Setelah data
tersebut dianalisis, maka ditarik simpulan dalam setiap kata tersebut dan
dikonsultasikan pada pakar bahasa yang memahami dan mengerti pemaknaan
dalam bahasa tersebut. Data yang sudah terkumpul pada akhirnya akan ditarik
simpulan berkenaan dengan kepemilikan makna karakter yang baik dari
dalamnya.
4. Penarikan Simpulan
Proses ini merupakan penarikan simpulan dari data yang sudah diperoleh
sejak awal penelitian. Penelitian di sini masih bersifat terbuka jadi simpulannya
masih bersifat sementara dan tidak menutup kemungkinan akan muncul
kesimpulan berikutnya secara eksplisit dan berlandaskan kuat.
Simpulan dalam penelitian ini menunjukkan hasil dari analisis register
pada anak jalanan di Kota Surakarta. Setiap hasil penelitian, dijabarkan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
deskripsi singkat untuk menunjukkan penggunaan dan tujuan register. Namun
tentu saja, tidak semua bahasa yang dimiliki dapat terkover dalam bentuk
deskripsi lengkap. Dalam penelitian ini, belum semua register anak jalanan di
Kota Surakarta dapat terangkum. Keempat komponen di atas saling menjalin dan
dilakukan secara terus-menerus di dalam proses mengumpulkan data. Adapun
visualisasi proses analisis tersebut dapat dilihat pada Gambar. 3 di bawah ini.
Gambar 3. Analisis Interaktif (Miles & Huberman, 1992:23)
Pengumpulan Data
Penarikan simpulan
Reduksi Data Display Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi
Lokasi penelitian register anak jalanan ini adalah Kota Surakarta yang
memiliki jumlah anak jalanan yang relatif tinggi. DINASKERTRANS mencatat
jumlah anak jalanan di Kota Surakarta mencapai 648 anak yang terdiri dari anak
terlantar, anak nakal, dan anak jalanan tersebar di Surakarta. Kota Surakarta terdiri
dari lima kecamatan yakni Kecamatan Banjarsari, Kecamatan Jebres, Kecamatan
Pasar Kliwon, Kecamatan Serengan, dan Kecamatan Laweyan. Secara spesifik
lokasi pengambilan data diambil di tiga titik penelitian, yakni Kecamatan Jebres,
Kecamatan Banjarsari, dan Kecamatan Serengan. Pengambilan lokasi penelitian
tersebut dikarenakan intensitas mobilitas anak jalanan di daerah tersebut yang
tinggi, keterjangkauan wilayah penelitian, dan kondisi sosial anak jalanan di tiga
kecamatan tersebut beraneka ragam.
Ketiga faktor utama di atas dianggap mampu mewakili keberagaman utama
anak jalanan di Kota Surakarta yang terdiri dari lima kecamatan di Kota Surakarta.
Kota Surakarta yang dikenal sebagai Kota Solo, juga merupakan sebuah dataran
rendah yang terletak di cekungan lereng pegunungan Lawu dan pegunungan
Merapi dengan ketinggian sekitar 92 m di atas permukaan air laut. Dengan luas
sekitar 44 Km2, Kota Surakarta terletak di
oleh 3 (tiga) buah sungai besar, yaitu : sungai Bengawan Solo, Kali Jenes, dan Kali
Pepe. Kota Surakarta terbagi dalam lima wilayah kecamatan yang meliputi 51
kelurahan. Batas wilayah Kota Surakarta sebelah utara adalah Kabupaten
Karanganyar dan Kabupaten Boyolali. Batas wilayah sebelah timur adalah
Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar, batas wilayah sebelah barat
adalah Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar, sedangkan batas
wilayah sebelah selatan adalah Kabupaten Sukoharjo.
Kota Surakarta merupakan pusat Karesidenan Surakarta. Disamping itu,
Kota Surakarta merupakan kota yang terkenal dengan kota dagang. Sebagai kota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
dagang, perekonomian di Kota Surakarta tergolong baik, dilihat dari kondisi
masyarakat, keramaian jalanan, dan mobilitas masyarakatnya. Sebagai pusat
karesidenan, Kota Surakarta memiliki dua stasiun kereta api, terminal bus yang
besar, dan beberapa pasar tradisional. Beberapa pasar tersebut antara lain : Pasar
Gedhe, Pasar Klewer, Pasar Slompretan, Pasar Legi, Pasar Kliwon, Pasar
Ledoksari, Pusat Grosir Solo, dan pasar modern seperti mall, market, perbelanjaan,
pengembangan usaha batik, dan toko-toko besar.
Pernyataan di atas ditegaskan dalam pernyataan Samroni, dkk (2010)
bahwa sampai saat ini, kehidupan ekonomi masyarakat Surakarta dapat dikatakan
lancar dan maju. Termasuk sebagai komoditas utama masyarakat Surakarta adalah
berdagang. Salah satu ciri dagang yang paling menonjol dari kegiatan masyarakat
Surakarta adalah banyaknya pasar di kota ini. Pasar yang paling penting dan paling
besar di Kota Solo adalah Pasar Gedhe. Dijelaskan pula, bahwa Pasar Gedhe
berada ditengah-tengah kampung Pecinan, atau kampung orang-orang keturunan
Cina.
Selain Kota Surakarta yang terkenal dengan kota dagang, kota ini juga
memiliki banyak tempat wisata yang tergolong menjanjikan untuk menjadi lokasi
anak jalanan untuk mencari nafkah. Lokasi-lokasi tersebut seperti kompleks
Sriwedari, kompleks Stadion Manahan, kompleks Taman Balekambang, Alun-alun
Keraton, dan Pasar Klewer. Lokasi tersebut di atas menjadi daya tarik untuk anak
jalanan karena ramai dikunjungi warga. Kompleks Sriwedari terdiri dari taman
hiburan rakyat, selain itu di pinggiran Sriwedari juga dijadikan wisata pejalan kaki.
Setiap trotoar dihiasi tumbuhan menjalar yang meneduhkan jalan. Selain itu juga
disediakan kursi untuk duduk-duduk santai, sehingga tidak urung banyak yang
singgah di lokasi tersebut.
Seperti halnya kompleks Sriwedari, kompleks Manahan pun juga dipenuhi
oleh tumbuhan peneduh, banyak pula kursi-kursi yang disediakan untuk yang
hendak singgah. Lokasi tersebut menjadi satu lokasi yang memungkinkan dipakai
anak jalanan untuk mencari nafkah, karena lokasi ini pula menjadi tempat anak
muda di Kota Surakarta untuk jalan-jalan santai, olah raga ringan, olah raga berat,
dan berbagai kegiatan lainnya. Sedangkan Alun-alun Keraton Solo juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
merupakan satu lokasi yang ramai dikunjungi oleh warga, lokasi ini menjadi satu
daya tarik untuk anak jalanan.
Dari gambaran umum Kota Surakarta di atas, dijelaskan secara terinci
lokasi penelitian dari pengambilan data register anak jalanan di Kota Surakarta.
Pengambilan data terkhusus diadakan di Kecamatan Jebres, Kecamatam
Banjarsari, dan Kecamatan Serengan. Masing-masing kecamatan memiliki titik
perkumpulan anak jalanan yang paling ramai. Dalam penelitian ini titik
perkumpulannya antara lain, Pasar Ledoksari, Hotel Asia Panggung, PPAP Seroja,
Stasiun Jebres, Perempatan Bank Indonesia, dan Perempatan Panggung Motor.
Dari setiap lokasi tersebut dijabarkan di bawah ini.
1. Kecamatan Jebres
Kecamatan Jebres merupakan satu kecamatan di Kota Surakarta yang
di sebelah timur berbatasan langsung dengan Kabupaten Karanganyar.
Kecamatan Jebres sebagai daerah perbatasan yang tingkat penduduk
marginalnya cukup tinggi, dapat dijadikan salah satu objek penelitian
sosiolinguistik yang tepat. Selain itu, di beberapa lokasi sering terlihat anak
jalanan yang berlalu-lalang.
Kecamatan Jebres memiliki jangkauan yang cukup merata dan luas.
Spesifikasi lokasi penelitian yaitu sekitar Pasar Ledoksari, lampu lalu lintas
Perempatan Panggung, Teras Panggung Motor Yamaha, sekitar Hotel Asia
Panggung, PPAP Seroja, Stasiun Kereta Api Jebres, dan lampu lalu lintas
Perempatan Bank Indonesia.
a. Pasar Ledoksari
Pasar Ledoksari berada di 30 meter arah selatan dari Stasiun Kereta Api
Jebres, Surakarta. Berdasarkan survei, lokasi tersebut menjadi satu wilayah
yang cukup strategis sebagai tempat tinggal anak jalanan, berupa teras kios
pasar. Beberapa anak jalanan tinggal bersama orangtuanya dan beberapa
yang lain tinggal sendiri. Kondisi dan situasi di Pasar Ledoksari cukup
sesuai dengan kondisi psikologis anak jalanan yang bebas. Oleh karena itu,
Pasar Ledoksari menjadi salah satu lokasi penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Pasar Ledoksari, selain menjadi tempat tinggal anak jalanan juga tidak
menggeser fungsi utama pasar sebagai tempat transaksi jual beli. Hasil
survei di lapangan, ketika pasar sudah mulai aktif, kegiatan anak jalanan
pun berubah. Pada pagi hari anak jalanan mulai beraktivitas di jalanan dan
meninggalkan Pasar Ledoksari.
b. Lampu Lalu Lintas Perempatan Panggung
Lampu lalu lintas (traffic light) daerah Panggung Motor (Yamaha)
menjadi satu lokasi penelitian, karena di lokasi tersebut sering ditemui anak
jalanan yang cukup banyak. Anak jalanan yang berada di daerah ini
usianya sangat bervariatif. Lokasi tersebut menjadi tempat beroperasi anak
jalanan untuk mengamen, menjual koran, mengemis, dan sebagian hanya
lontang-lantung di sepanjang trotoar.
Jumlah anak jalanan yang cukup banyak di daerah tersebut menjadi
alasan pengambilan lokasi penelitian. Dengan tingginya intensitas
bertemunya anak jalanan satu dengan yang lainnya, maka semakin tinggi
pula interaksi komunikasi anak jalanan. Komunikasi tersebutlah yang
menjadi sumber penelitian sosiolinguistik, dengan pengambilan lokasi
tersebut kajian sumber penelitian akan semakin luas.
Lokasi ini menjadi lokasi pencarian nafkah bagi anak jalanan, sebagian
besar dari mereka bekerja (mengamen, jual koran, dan meminta-minta),
naik bus, mengelap kaca ketika hujan, dan lainnya. Sebagian anak jalanan
sewaktu lampu sedang berwarna hijau, mereka berinteraksi, berkomunikasi
seperti halnya teman akrab.
c. Teras Panggung Motor Yamaha
Teras Panggung Motor (Yamaha) merupakan sebuah tempat penjualan
motor (showroom) yang di depannya terdapat teras yang cukup luas untuk
peristirahatan dan duduk santai, terutama untuk anak jalanan. Panggung
Motor berada di selatan jalan utama, perempatan lampu lalu lintas
perempatan Panggung.
Perempatan Panggung Motor berada di jalur bus utama menuju
Terminal Tirtonadi, dari arah Surabaya, Tawangmangu (Kabupaten
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Karanganyar), Sragen, Madiun, dan Ngawi. Oleh karena itu, perempatan
Panggung menjadi kawasan fleksibel bagi anak jalanan untuk mengamen
dari bus ke bus, sebagai tempat transisi anak jalanan dari bus satu ke bus
yang lainnya. Maka dari itu, lokasi Panggung Motor memiliki anak jalanan
terbanyak dari pada lokasi lainnya.
Beberapa anak jalanan memanfaatkan teras panggung motor Yamaha
sebagai tempat transisi pada pagi, siang, dan sore hari. Karena lokasi
tersebut milik Panggung Motor, sehingga pada pagi, siang dan sore hari,
anak jalanan tidak beraktivitas di sana. Pada malam hari, teras panggung
motor dimanfaatkan oleh anak jalanan untuk bersinggah, tidur, duduk
santai, dan beberapa kegiatan lain, terlepas dari mengamen di tugu lampu
lalu lintas. Lebih dari 15 anak jalanan berinteraksi di daerah tersebut pada
waktu maghrib sampai dini hari. Dengan interaksi yang cukup lama dalam
satu waktu, maka dapat didapatkan data kajian yang berkualitas.
d. PPAP Seroja
Pusat Pembinaan anak jalanan dan Orang Pinggiran Seroja (PPAP)
Seroja, yang bertempat di Jalan Petoran, Belakang Asia Motor, Jebres
Surakarta. Di PPAP Seroja anak jalanan dibelajarkan mengenai membaca,
menulis, berhitung, dan berkarya. Beberapa anak jalanan yang mengikuti
program ini rata-rata berusia setara SD dan SMP. Di sana, anak jalanan
berinteraksi dengan anak jalanan lainnya dan kaum marginal di daerah
Surakarta. Di lokasi ini dapat ditemukan lebih dari 20 anak jalanan
berbagai usia dan berbagai karakter yang bersedia belajar bersama.
PPAP Seroja adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial. Lembaga pendidikan bagi
anak jalanan dan masyarakat marginal yang dalamnya terdapat guru yang
alim dan bermoral. Dengan ajaran dan pembelajaran dari seorang yang
alim, anak jalanan diharapkan memiliki karakter yang lebih baik. Kegiatan
pembelajaran diadakan di sebuah rumah singgah di Jalan Pentoran dan
mendapatkan pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung,
pembelajaran moral, dan keagamaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
e. Stasiun Kereta Api Jebres
Stasiun kereta api Jebres berada di Kecamatan Jebres, Surakarta.
Stasiun Jebres sering kali menjadi tempat berkumpulnya anak jalanan
untuk mengamen. Selain itu, tempat ini menjadi tempat transisi anak
jalanan untuk mengamen di dalam kereta.
Lokasi penelitian ini lebih didominasi anak jalanan yang berusia
dewasa dan sebagian besar dari luar kota. Lokasi ini tidak menjadi salah
satu lokasi penelitian, karena anak jalanan berjaga jarak dengan masyarakat
sekitar serta aktivitasnya lebih sering bernyanyi, menghafalkan lirik lagu
dan bermusik.
f. Lampu Lalu Lintas Perempatan Bank Indonesia
Perempatan lampu lalu lintas di selatan Balaikota Surakarta menjadi
satu objek penelitian karena di lokasi tersebut sering kali ditemukan anak
jalanan yang sering berlalu-lalang mengamen dan menjual koran. Lokasi
lampu lalu lintas perempatan Bank Indonesia hanya memiliki trotoar yang
menjadi lokasi tempat duduk dan istirahat anak jalanan di daerah tersebut.
Di tempat ini aktivitas sebagian anak jalanan adalah mengamen,
menjual koran, mengemis, dan lontang lantung. Beberapa anak jalanan
berinteraksi ketika lampu lalu lintas sedang berwarna hijau. Mereka
berbicara satu dengan yang lainnya, bercanda dan sering kali membahas
mengenai topik yang menjadi hobi anak jalanan.
Lokasi penelitian ini dianggap strategis karena lebih dari enam anak
jalanan berinteraksi dan berkomunikasi di tempat ini. Lokasi ini ramai saat
siang hari dan sore hari, namun pada malam hari tidak, karena lokasi
tersebut tidak memiliki tempat beristirahat.
2. Kecamatan Banjarsari
Kecamatan Banjarsari merupakan kecamatan yang luas, dari Terminal
Tirtonadi, Stasiun Kereta Api Balapan, dan perempatan Jimbaran Radio.
a. Terminal Tirtonadi
Terminal Tirtonadi merupakan terminal terbesar di Kota Surakarta.
Terminal Tirtonadi terletak di Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Terminal Tirtonadi menjadi tempat pertemuan dan berkumpulnya anak
jalanan di salah satu sudut Kota Surakarta dan Manahan.
Di lokasi penelitian ini, sering kali anak jalanan turun dan berpindah
dari bus satu ke bus yang lain. Kondisi lokasi penelitian ini cukup ramai
dan semrawut, sesuai dengan kondisi psikis anak jalanan. Oleh karena itu,
lokasi ini menjadi lokasi penelitian, namun intensitasnya tidak begitu
tinggi, karena anak jalanan bersikap agresif dan berani.
Dengan pola mobilitas yang tinggi dan bebas, anak jalanan sering
berkumpul dan berinteraksi satu dengan yang lainnya. Di terminal
Tirtonadi dapat ditemui anak jalanan dari berbagai usia. Mobilitas yang
tinggi dapat dilihat dari anak jalanan yang dengan bebas menaiki bus untuk
mengamen. Anak jalanan dibebaskan biaya transportasi oleh supir.
Aktivitas lain dari anak jalanan juga tampak di kawasan ini seperti duduk
dan beristirahat di depan terminal, di kursi depan terminal, taman depan
terminal, atau bahkan sering duduk di trotoar depan terminal.
b. Stasiun Kereta Api Balapan
Stasiun Kereta Api Balapan berada di Kecamatan Banjarsari, Kota
Surakarta. Letak Stasiun Kereta Api berada di 100 meter barat RRI
Surakarta. Stasiun ini merupakan stasiun terbesar di Kota Surakarta.
Mobilitas anak jalanan di sini sangat singkat, karena kebanyakan dari
mereka tidak diperkenankan masuk kereta. Dalam stasiun Kereta Api
Balapan, anak jalanan dan anak pinggiran biasanya duduk di teras stasiun,
di tempat parkir dan di rel kereta yang sepi.
Anak jalanan memiliki jam operasi yang singkat di lokasi ini, oleh
karenanya lokasi ini tidak menjadi lokasi utama pengambilan data. Anak
jalanan di lokasi ini hanya melakukan transisi dari satu kereta ke kereta
lain, atau bahkan seringkali tidur di kereta api yang tidak beroperasi.
c. Perempatan Jimbaran Radio
Lampu lalu lintas (traffic light) daerah Jimbaran Radio menjadi satu
lokasi penelitian, karena di lokasi tersebut sering ditemui anak jalanan yang
cukup banyak. Lokasi tersebut menjadi tempat beroperasi anak jalanan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
seperti mengamen, menjual koran, mengemis, dan beberapa hanya lontang-
lantung di sepanjang trotoar.
Jimbaran Radio berada 100 meter sebelum Stasiun Kereta Api Balapan.
Jumlah anak jalanan mencapai 5-6 anak jalanan, hal tersebut menjadi
alasan pengambilan lokasi penelitian. Dengan bertemunya anak jalanan,
komunikasi tersebutlah yang menjadi sumber penelitian sosiolinguistik.
Pengambilan lokasi perempatan radio Jimbaran tersebut menjadi kajian
sumber penelitian.
3. Kecamatan Serengan
Kecamatan Serengan berada di pusat kota, sebagian anak jalanan
merupakan komunitas punk yang berada di jalanan dan menghabiskan
waktunya di jalan. Perempatan Jalan Slamet Riyadi. Anak jalanan di lokasi ini
hanya menjual koran dan ketika hujan mengelap kaca mobil. Mereka terbiasa
nongkrong dan duduk di tepi jalanan tanpa beraktivitas yang lainnya. Lokasi
ini berada di 50 meter timur Hotel Diamond, Perempatan Jalan Slamet Riyadi
satu arah. Jumlah anak jalanan yang beroperasi di daerah ini berkisar 3 atau 4
anak jalanan.
Berdasarkan deskripsi tempat di atas dapat diketahui bahwa anak jalanan
memilih tempat yang strategis untuk mengamen, mengemis, menjual koran atau
hanya sekedar lontang-lantung di jalan. Tempat strategis di sini adalah tempat-
tempat yang dikunjungi atau tempat yang menjadi pusat aktivitas masyarakat,
seperti pasar, terminal, stasiun, dan lampu merah.
B. Karakteristik Subjek Penelitian
Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan banyak waktunya di jalan.
Kehidupan jalanan yang keras dan bebas akan membentuk karakteristik pada
dirinya. Anak jalanan di daerah Surakarta memiliki ciri yang hampir sama di setiap
daerahnya. Hal ini dipertegas dari penelitian Saludung (2002), bahwa anak jalanan
tidak bekerja, sakit, dan cacat. Mengemis setiap hari dari pagi sampai sore dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
malam di berbagai tempat di Makassar, caranya duduk, jalan, berpindah-pindah,
menggunakan bayi, mendatangi mobil di lampu merah.
1. Anak Jalanan Daerah Kecamatan Jebres
a. Dalam pergaulan dan berkehidupan sehari-hari anak jalanan sebagian besar
menggunakan bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan sedikit dalam bahasa
Inggris (stop, you, fuck, swear).
b. Anak jalanan di daerah Kecamatan Jebres memiliki keanekaragaman usia,
karakteristik alat musik, dan beberapa ciri fisik seperti menggunakan tindik
di telinga, baju kumal, celana setinggi 3/4, dan rambut yang tidak tertata
atau bahkan di tata berantakan. Namun, secara umum tidak ditemukan satu
gaya sama yang dimiliki anak jalanan.
c. Anak jalanan di kecamatan ini tersebar di Perempatan Panggung,
Perempatan Balaikota, Teras Panggung Motor, Pasar Ledoksari, dan di
Stasiun Jebres Surakarta.
d. Sebagian besar anak jalanan menggunakan bahasa Indonesia dalam situasi
formal, seperti bersekolah di PPAP Seroja, namun dalam pergaulan sehari-
hari tidak. Mereka cenderung menggunakan ragam santai, ragam akrab,
atau ragam intim.
e. Usia anak jalanan sangat variatif. Beberapa anak jalanan berkisar 4 tahun.
Anak jalanan berusia 4 tahun masih bersama orangtuanya ketika
berkegiatan di jalanan. Namun orang tua anak jalanan hanya mengawasi
dari kejauhan.
f. Anak jalanan berusia 10 tahun biasanya berkumpul dengan anak jalanan
seusianya, mereka lebih sering terlihat bercanda dan tertawa satu dengan
yang lainnya. Anak jalanan dalam usia 10 tahun, tidak lagi di antar orang
tuanya
g. Anak jalanan yang berusia berkisar dari 15 tahun ke atas sering kali terlihat
menggerombol dan berkumpul dengan seusianya. Anak jalanan seusia ini
tidak mudah bersosialisasi dengan masyarakat umum. Mereka terkesan
mengisolasi diri dan tidak peduli terhadap masyarakat. Namun, ketika
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
masyarakat mulai melakukan hal yang mencurigakan, mereka akan
mengawasi dengan seksama.
h. Anak jalanan di Jebres, Surakarta paling variatif dari kecamatan lain.
Mereka tidur dan menganggap Pasar Ledoksai sebagai tempat tinggal dan
pulang. Sebagian tidur di teras toko, dan berkegiatan di jalanan.
i. Anak jalanan di Kecamatan Jebres tidak bersekolah di sekolah formal,
namun sebagian kecil anak jalanan bersekolah di pendidikan informal yang
dikelola oleh LSM PPAP Seroja.
2. Anak Jalanan Daerah Kecamatan Banjarsari
a. Anak jalanan di wilayah Banjarsari memiliki gaya yang sama, namun ada
pula yang memiliki karakter berbeda. Karakter tersebut dapat dilihat dari
cara berpakaian dan alat musik yang dimainkan. Cara berpakaian yang
paling menonjol berbeda adalah anak jalananan yang sudah mulai
mengenakan kacamata fantasi, rantai yang mengalung di dompet, dan
mengenakan sepatu (tidak lagi sandal).
b. Alat musik yang dimainkan di daerah ini seperti halnya di daerah lain,
namun cenderung satu dengan yang lainnya sama, dalam memainkan alat
musik, anak jalanan di kecamatan ini menggunakan alat yang sama.
c. Anak jalanan di Kecamatan Banjarsari berada di daerah Terminal Tirtonadi
dan Perempatan Radio Jimbaran. Jika dispesifikkan, anak jalanan di daerah
Terminal Tirtonadi berada di kawasan belakang terminal, di taman depan
terminal, dan di perkampungan di sekitar Terminal Tirtonadi.
d. Anak jalanan tidur di tempat yang ia sebut rumah dan ia merasa nyaman
berada di tempat tersebut. Seperti emper toko, taman depan Terminal
Tirtonadi, dan kursi kosong di beberapa daerah sedekatnya.
e. Anak jalanan di daerah ini menggunakan bahasa Jawa sebagai komunikasi
utamanya. Penggunaan bahasa Jawa dipakai sebagai sarana berbincang satu
dengan yang lainnya, namun ketika anak jalanan mengamen di bus,
menggunakan lagu berbahasa Indonesia.
f. Tidak ada spesifikasi perbedaan model percakapan antara satu orang
dengan yang lainnya. Antara yang lebih muda dan yang lebih tua, tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
memiliki perbedaan pemilihan diksi yang aneh atau menarik. Selain tidak
ada diksi yang spesial dipakai, tidak ada gradasi penggunaan bahasa ketika
dengan orang yang lebih tua atau dengan yang lebih muda.
g. Rerata usia anak jalanan di daerah kecamatan Banjarsari, berkisar antara 14
sampai 20 tahun, dan keseluruhan anak jalanan bercampur dalam satu
wilayah yang sama, tidak saling memisah. Namun, dalam keseharian satu
sama lain, saling menjaga diri dalam bergaul.
h. Anak jalanan di daerah ini, nantinya akan berpindah dari satu bis ke bis
yang lain, jadi dimungkinkan interaksi sangat sedikit. Selain itu, secara
umum anak jalanan yang berpindah dari satu bis ke bis yang lain tampak
lebih rapi, karena sebagian besar lahan pekerjaan mereka di dalam bis.
3. Anak Jalanan Daerah Kecamatan Serengan
a. Kawasan Kecamatan Serengan lebih tepatnya berada di Barat Solo Grand
Mall, Jalan Slamet Riyadi, Surakarta.
b. Anak jalanan menggunakan bahasa Jawa sebagai komunikasi utamanya,
dan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan orang yang lalu lalang.
c. Penggunaan bahasa Jawa relatif lebih tinggi daripada penggunaan bahasa
Indonesia atau bahasa lainnya. Anak jalanan sering bersuara dengan
lantang dan tanpa beban. Bahasa Jawa yang digunakan adalah bahasa Jawa
ngoko tanpa mengindahkan norma dan peraturan dalam bahasa Jawa.
d. Tidak ada yang merasa terganggu dengan sikap satu dengan yang lainnya,
kegiatan berjalan kompak dan bekerja sama dalam mencari uang.
e. Setiap anak jalanan tidur di tempat yang dirasa nyaman, seperti halte dan
teras sekolah, namun ketika di pagi hari, mereka berpindah.
f. Pada siang hari beberapa anak jalanan menjual koran, mengamen dan
meminta-minta di daerah Kecamatan Serengan.
g. Usia anak jalanan relatif sama, berkisar antara 16-18 tahun dan karakter
yang hampir sama.
h. Karakter anak jalanan hampir sama, menggunakan sepatu yang serupa,
gelap. Anak jalanan juga menggunakan model rambut yang serupa, punk.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Beberapa anak jalanan menggunakan tindik yang sama, dan pada tempat
yang hampir sama, khususnya di bagian telinga
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik anak
jalanan di Kota Surakarta sebagian besar menggunakan bahasa Jawa sebagai
bahasa komunikasi sehari-hari. Usia anak jalanan bervariasi. Namun, dapat
dikatakan bahwa anak jalanan yang umur balita dan anak-anak masih didampingi
orang tua sedangkan usia remaja dan dewasa lebih sering sendiri dalam melakukan
aktivitasnya. Anak jalanan memiliki karakteristik fisik yang lusuh, tidak terawat,
dan acak-acakan. Gaya hidup yang miliki dapat dikatakan bebas seperti tidur di
jalan atau pasar.
C. Deskripsi Hasil Penelitian
Register merupakan bahasa yang digunakan oleh komunitas masyarakat
tertentu. Bahasa yang hanya dapat dipahami oleh komunitas di dalamnya, seperti
register anak jalanan di Kota Surakarta. Berikut ini akan dipaparkan temuan
register pada anak jalanan di kota Surakarta.
1. Deskripsi Register Anak Jalanan di Kota Surakarta
Analisis makna dilakukan untuk mengetahui makna kata atau kalimat
sesuai dengan konteksnya. Analisis pada peristiwa tutur anak jalanan di Kota
Surakarta didasarkan pada (a) setting and scene (keadaan), (b) participants (pihak
yang terlibat dalam pertuturan), (c) ends (maksud dan tujuan pertuturan), (d) act
(nada, cara dan semangat di mana suatu pesan disampaikan), (e) key (bentuk
ujaran dan isi ujaran), (f) instrumentalities (pada jalur yang dipakai), (g) norms
(norma atau aturan dalam berinteraksi), dan (h) genres (jenis bentuk
penyampaian).
a. Kata klimis berantakan
Kata klimis arti sesuai dengan kamus adalah rapi dan mengilap,
sedangkan dalam register kata klimis memiliki arti antonimnya yakni
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
berantakan dan tidak rapi. Kata klimis dapat ditemukan pada perbincangan
anak jalanan seperti pada kutipan di bawah ini.
Peristiwa tutur ini terjadi pada Sabtu, 27 Oktober 2012; pukul 20.00
WIB, tugu traffic-light Panggung dekat Asia Motor, Jebres, Surakarta.
Keadaan sekitar sangat ramai oleh anak jalanan yang sedang bermain gitar
dan bernyanyi. Beberapa mobil berlalu-lalang, dan keadaan jalan sangat
ramai kendaraan. Ketika anak jalanan saling mengejek, anak jalanan 1
tertawa terbahak-bahak. Dalam peristiwa tersebut terdapat empat anak
jalanan yang masing-masing terlihat memiliki jenjang usia yang berbeda-
beda.
Empat anak jalanan tersebut antara lain anak jalanan 1 dan 4 dengan
usia ± 10 tahun; anak jalanan 2 dan 3 berusia ± 7 tahun. Partisipan pada
peristiwa tutur ini adalah dua anak jalanan aktif sebagai pembicara aktif,
dan dua anak jalanan sebagai partisipan pasif. Dua anak sebagai partisipan
pasif hanya tertawa terbahak-bahak. Dengan adanya dua partisipan pasif,
membuktikan bahwa dua anak jalanan tersebut paham dengan komunikasi
antara satu dengan yang lainnya. Register yang ada di dalamnya
merupakan bukti, bahwa antaranak jalanan ada saling kesepahaman makna
bahasa yang diutarakan satu dengan yang lainnya.
Anak jalanan 1 : Arep mblayang nangdi kowe Le? Mau pergi kemana kamu?
Anak jalanan 2 : Ngapa! melainkan penegasan)
Anak jalanan 1 :Arep mblayang nangdi kowe ki? Nganti ujudmu Klimis1, kaya bar disetlika wae! Mau pergi kemana kamu? Sampai-sampai kelihatan rapi banget, seperti habis disetlika saja
(Anak jalanan 1 bermaksud untuk menyindir penampilan anak jalanan 2 yang kusut dan tidak rapi)
Anak jalanan 2 : diancuk! Ki arep ngalor kono golek pangan! Titip po? Whomau ke warung makan, cari makanan! Mau titip?
Anak jalanan 1 : Ra duwe det aku. Tidak punya uang aku! Anak jalanan 2 : Oke, aku dhisik ya! aku duluan ya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Selain kesepahaman makna, ternyata perbedaan umur anak jalanan
tidak berpengaruh pada ragam bahasa yang dipakai oleh anak jalanan.
Anak jalanan tidak mengenal adanya gradasi diksi dengan siapa mereka
berbicara dan tidak ada perilaku yang berbeda ketika berbicara dengan
orang yang lebih tua. Setelah diamati lebih lanjut, dan ditanyakan pada ibu
salah satu anak jalanan, ternyata anak jalanan sejak kecil tidak diajarkan
cara bertutur dengan orang yang lebih tua, bagaimana mengaplikasikan
undha-usuk basa dengan lawan tutur. Dari konteks di atas, dapat ditarik
simpulan berkenaan dengan tujuan percakapan dengan penggunaan register
klimis adalah untuk menunjukkan muka yang rapi seperti baju. Klimis
dalam bahasa jawa berarti alus sarta gilap , atau halus dan mengkilap .
Penggunaan register dalam konteks di atas, menyatakan bahwa
orang tersebut berpenampilan menarik. Tujuan penggunaan kata klimis
untuk mengejek anak jalanan 2, bahwa anak jalanan 2 berpenampilan
sangat kucel dan tidak rapi. Dengan demikian topik pembicaraan dalam
konteks ini adalah penampilan seorang anak jalanan yang kumal dan
kurang terawatt yang akan pergi ke suatu tempat. Anak jalanan tersebut
berbicara tentang penampilan yang seharusnya bisa lebih rapi. Anak
jalanan 1 mengejek dan menertawakan anak jalanan 2.
Setelah dilakukan perbandingan makna kata klimis pada anak
jalanan dengan komunitas di luar itu, terjadi pergeseran makna. Kata klimis
dalam penelitian ini berarti berantakan, sedangkan bagi mahasiswa UNS,
kata klimis digunakan untuk barang-barang seperti rambut, baju, atau
sepatu. Barang-barang yang klimis tersebut berarti barang-barang tersebut
berada dalam kondisi yang baik, rapi, dan indah. Sedangkan klimis pada
anak anak jalanan berarti berantakan, tidak rapi, dan tidak sedap dipandang
mata.
Bertumpu dari hasil analisis di atas, ternyata anak jalanan pun juga
menggunakan perlawanan makna untuk mengejek dan mengingatkan
seseorang. Secara tidak langsung, anak jalanan dalam percakapan ini
menggunakan gaya bahasa sindiran, atau sering disebut majas ironi. Dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
majas ironi, seseorang dikatakan baik kadang kala, fakta adalah hal yang
antonim, yakni berantakan dan tidak rapi. Jadi diisyarakatkan oleh salah
satu anak jalanan, bahwa lawan tuturnya tidak rapi atau berantakan.
Nada bicara pada anak jalanan 1 ketika menyebutkan penampilan
anak jalanan 2 dengan nada mengejek. Sambil tertawa terbahak-bahak dan
melirik anak jalanan 2. Nada bicara anak jalanan 2 ketika menanggapi
anak jalanan 1 dengan nada memelas dan sedikit marah bercanda. Tapi dari
pembicaran tidak ada kesan marah dan nilai rasa kasar. Keduanya terkesan
berada di ragam akrab dan intim dalam bertutur, jadi benar-benar
mengurangi esensi rasa marahnya.
Peristiwa tutur yang terjadi pada anak jalanan tersebut terkesan
ragam santai dan akrab. Seakan satu dengan yang lain saling bersahabat
dekat. Percakapan tersebut terjadi di tugu traffic-light di perempatan
Panggung, dan percakapan terjadi secara langsung antara pembicara ssatu
dengan yang lain. Percakapan tersebut tanpa menggunakan media tulis
ataupun media yang lainnya. Meskipun anak jalanan berada di pinggir
traffic light, di antara mereka seakan-akan tidak bising dengan lalu lalang
mobil dan motor di sekitar mereka.
Dengan lokasi di pinggir jalan utama, tentunya partisipan
percakapan tersebut adalah semuanya anak jalanan. Tidak ada partisipan
dari luar anak jalanan. Oleh karena itu, peristiwa tutur tersebut tidak
menggunakan norma ataupun aturan percakapan baik secara normatif
maupun secara peradaban. Antara satu anak jalanan dengan yang lain,
berbicara dengan apa adanya tanpa beban dan aturan yang membakukan
percakapan. Ketika salah satu anak jalanan mengucapkan kata diancuk
sebagai bentuk umpatan, tidak ada anak jalanan lain yang mengingatkan
Anak jalanan 1 : Arep mblayang nangdi kowe Le? Mau pergi kemana kamu?
(nada bertanya dengan mimik garang)? (
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
atau menegur, hal ini berarti ucapan dan percakapan tiap anak jalanan tidak
memiliki aturan norma yang merangkulnya. Hal tersebut membuktikan
bahwa komunikasi anak jalanan berjalan dengan santai dan akrab, tanpa
ada aturan yang mengikat. Jenis bentuk penyampaian percakapan dengan
narasi dan saling mengejek satu dengan yang lain, tanpa adanya kalimat
yang memiliki ciri penyampaian seperti pantun, puisi, dan lainnya tidak
ada.
Dari analisis di atas, maka kata klimis masuk ke dalam kriteria
register. Selain itu setelah dilakukan komparasi penggunaan register klimis
pada anak jalanan dan pada masyarakat secara umum yang diwakili oleh
mahasiswa di Surakarta, ditemukan perbedaan makna. Klimis menurut
sesama anak jalanan berarti berantakan dan tidak rapi, sedangkan menurut
masyarakat secara umum berarti rapi dan enak dipandang mata.
b. Kata ngalor pergi ke warung makan
Kata berikutnya yang ditemukan pada percakapan anak jalanan
adalah kata ngalor. Ngalor dengan kata dasar lor yang artinya utara
memiliki arti yang berbeda dalam register anak jalanan. Dalam konteks ini,
ngalor memiliki arti pergi ke warung makan, dapat dilihat dari konteks di
bawah ini. Sedangkan ngalor dalam percakapan umum masyarakat bahasa
berarti pergi ke arah utara dari posisi awal.
Peristiwa tutur ini terjadi pada Sabtu, 27 Oktober 2012; pukul 20.00
WIB, tugu traffic-light Panggung dekat Asia Motor, Jebres, Surakarta.
Keadaan sekitar sangat ramai oleh anak jalanan yang sedang bermain gitar
dan bernyanyi. Beberapa mobil berlalu-lalang, dan keadaan jalan sangat
Anak jalanan 1:Arep mblayang nangdi kowe ki? Nganti ujudmu Klimis, kaya bar disetlika wae! Mau pergi kemana kamu? Sampai-sampai kelihatan rapi banget, seperti habis disetlika saja
Anak jalanan 2: Ngalor kono golek pangan! Titip po? Whoke warung makan, cari makanan! Kamu mau nitip?
Anak jalanan 1: Ra duwe det aku. ak punya uang aku! Anak jalanan 2 : Oke, aku dhisik ya! aku duluan ya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
ramai kendaraan. Ketika anak jalanan saling mengejek, anak jalanan 1
tertawa terbahak-bahak. Kata register yang kedua (ngalor) diambil ketika
satu anak jalanan berjalan menjauh dari komunitas dan pergi ke satu arah,
dan anak yang lain bertanya. Dalam keseharian masyarakat, apabila
mengucapkan kata ngalor yang di benak pertama kali adalah pergi ke suatu
tempat di arah utara, namun ketika melihat gerak-gerik anak jalanan yang
menuju ke arah barat, pernyataan tadi ditangguhkan.
Seperti halnya pada register yang pertama, terdapat dua partisipan
aktif dan dua partisipan pasif. Partisipan aktif yaitu anak jalanan 1 dan anak
jalanan 2, sedangkan partisipan pasif dua anak jalanan 3, dan 4. Anak
jalanan 1 dan 2 sebagai pemain utama yang saling berbincang satu dengan
yang lain, sedangkan anak jalanan 3 sebagai pendukung, penyemangat dan
tertawa sebagai partisipan pasif.
Dari empat partisipan di atas, setiap anak jalanan meski memiliki
umur yang tidak sama ternyata juga tidak menerapkan undha usuk basa
maupun mengubah ragam bahasanya. Anak jalanan dalam peristiwa tutur
ini tidak menggunakan ragam bahasa khusus maupun menggunakan status
sosial sebagai penggunaan ragam kebahasaannya. Namun, ragam bahasa
yang digunakan adalah ragam bahasa santai atau intim dan bahasa Jawa
yang dominan digunakan adalah bahasa Jawa Ngoko. Tujuan dan maksud
peristiwa tutur terutama pada percakapan ketika seorang anak jalanan pergi
menjauh dan menggunakan kata (ngalor) adalah sebagai jawaban dari
pertanyaan anak jalanan 1 kepada anak jalanan 2. Jadi tujuan penggunaan
kata register ngalor sekadar bentuk jawaban pertanyaan.
Anak jalanan 1 bertanya pada anak jalanan 2, anak jalanan 2 hendak
pergi ke mana ia. Kemudian anak jalanan 2 menjawab ngalor yang artinya
menuju kiblat arah utara (lor) atau menuju ke arah utara. Sedangkan ketika
diamati, anak jalanan itu pergi ke warung makan, seperti pada percakapan
berikutnya anak jalanan 2 bertanya pada anak jalanan titip po?
ikut pesan sesuatu, yang menunjukkan kepergiannya ke warung makan.
Ketika diamati, setelah anak itu pergi, ia pergi arah barat (menuju SMP
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Kristen 4 Surakarta). Penggunaan kata-kata seperti kepergiannya,
kemudian setiap pertanyaan dijawab sesuai dengan pertanyaannya, sesuai
dengan proporsi kebahasaan. Dalam percakapan dan konteks di atas, yang
menjadi titik poin adalah kata ngalor yang berarti pergi ke warung makan,
sehingga pemilihan topik pembicaraannya adalah kepergian seorang anak
jalanan dari tempat berkumpulnya dan makan malam (mencari makanan)
ke arah barat (SMP Kristen 4 Surakarta). Setelah dilakukan triangulasi data
pada anak jalanan yang berbeda, ternyata munculnya kata register ngalor
dari lokasi tempat makan yang ada di utara Panggung Motor, tetapi
sekarang sudah digusur.
Penggunaan kata register ngalor juga ditriangulasikan pada anak-
anak secara umum di Kota Surakarta. Ketika responden berjalan ke warung
arep ngalor koe Tidak, saya
makna antara penggunaan kata ngalor untuk anak jalanan dan kata ngalor
untuk anak SD yang berdomisili di Kota Surakarta.
Uraian di atas menunjukkan pergeseran makna ngalor. Menurut
kajian register dalam penelitian ini, ngalor memiliki makna pergi ke
warung makan. Meskipun secara harfiah ngalor berarti ke arah utara dan
hal ini pun sudah dikomparasikan dengan anak pada umumnya. Secara
umum, dapat ditarik simpulan bahwa makna ngalor terjadi pergeseran
makna.
Pada peristiwa tutur anak jalanan, berkenaan dengan kata ngalor
mereka menggunakan nada tanya (naik) seperti halnya pengguna bahasa
pada umumnya. Anak jalanan (anak jalanan (2) tersenyum datar dan
menanggapi dengan bertanya dan adanya keselarasan antara pertanyaan
dan jawaban. Tidak ada nada tinggi yang serius yang disampaikan anak
jalanan satu dengan yang lainnya. Cara menyampaikannya dengan datar
dan rileks, dengan ragam santai. Jalur bahasa yang digunakan untuk
bercakap satu dengan yang lainnya, ketika anak jalanan bercakap dengan
anak jalanan lain, mereka berada di tugu traffic-light dengan jalur lisan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Jalur lisan di konteks ini berarti anak jalanan tidak menggunakan alat
peraga lain. Percakapan tersebut dalam bentuk tuturan lisan. Penggunaan
bahasa Jawa pada konteks tuturan di atas adalah bahasa Jawa ngoko.
Termasuk kata register pada konteks ini termasuk dalam bahasa
Jawa ngoko pula, yakni ngalor apabila bahasa yang lebih halus adalah
ngaler (ler) yang memiliki sama arti yakni pergi ke arah utara. Dalam
konteks di atas, percakapan anak jalanan sama sekali tidak ada penaikkan
nada bicara. Meskipun dengan nada datar tanpa ada menaikkan nada tinggi,
dalam tengah percakapan ternyata ada sisipan penggunaan istilah diancuk
oleh anak jalanan 2. Meskipun begitu istilah/kata diancuk menunjukkan
bahwa setiap anak jalanan tidak memiliki norma yang mengatur
percakapannya. Setiap penyimak anak jalanan pun tidak ada itikad untuk
membenarkan ataupun mengkritisi kesalahan norma berbahasa pada lawan
bicaranya. Anak jalanan dalam konteks tuturan di atas tidak memiliki
norma atau aturan yang membatasinya percakapannya.
Jenis percakapan tersebut adalah narasi dan menjelaskan atau
menjawab pertanyaan dari apa yang telah diajukan oleh temannya. Anak
jalanan satu dengan yang lain tidak ada tanda adanya jenis percakapan
lainnya. pada percakapan ini masih terkesan datar dan tidak memiliki
intonasi maupun ciri tertentu. Dengan demikian kata register ngalor dapat
dikatagorikan sebagai register karena kepemilikan makna yang berbeda
dengan makna pada kamus dan tujuan penggunaan kata tersebut agar tidak
bersifat umum atau diketahui publik.
c. Kata ahai dengan makna sesuatu (versi Syahrini)
Ahai merupakan sebuah ungkapan yang memiliki makna sempurna.
Seorang anak jalanan mengungkapkan betapa sempurnanya Dardi (nama
anak jalanan) dan menggunakan kata ahai untuk mengungkapkan
kegembiraannya tersebut. Kata ahai tidak terdapat dalam kamus, namun
apabila disesuaikan dengan konteks yang ada, maka kata tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
mendekati kepemilikan makna sempurna. Kata ahai ditemukan pada
percakapan di kartu data berikut.
Teras panggung motor (Yamaha), Jebres, Surakarta sebelah utara,
berdampingan dengan jalan utama Panggung. Jumat, 28 Oktober 2012;
pukul 16.00 WIB. Anak jalanan dalam ragam santai, situasi tuturan tidak
ada masalah, hanya percakapan keseharian saja yang terlihat. Kondisi di
pinggiran jalan banyak pejalanan kaki, dan sebagian besar yang lain para
pekerja yang pulang dari kantor sedang menunggu bis atau sedang
berpindah dari bis satu ke bis yang lain.
Kondisi jalan utama ramai oleh kendaraan, beberapa anak jalanan
sedang mengamen dan meminta-minta di jalanan, namun ada dua anak
jalanan perempuan dan satu anak jalanan laki-laki yang sedang mengobrol
di depan/teras Panggung Motor Yamaha, Jebres, Surakarta.
(1) Anak Jalanan Perempuan; (2) Anak Jalanan perempuan; (3)
Anak Jalanan laki-laki. Ada tiga anak jalanan sedang bermain gitar saling
bercakap-cakap, dua anak jalanan perempuan diantaranya sedang
berbincang akrab. Anak jalanan pertama menyebutkan dia (sebagai kata
Anak jalanan 1 : ndhredheg aku mben ketemu dheke orangnya itu nggak nahan banget.. Berdebar aku kalau di dekatnya
Anak jalanan 2 : Kowe ijik ngesir manungsa kae ta? Opo ta apikke dheke ki? Kamu masih suka sama manusia yang satu itu? Apa sih bagusnya dia sampai kamu tergila-gila padanya
Anak jalanan 1 : dheke ki ahai3 banget lho, nggantheng, pinter golek det, kerep njajakake aku barang, kurang opo ta Len! Dia itu sesuatu banget lho, tampan, pintar cari uang, sering traktir aku juga! Kurangnya apa sih?
Anak jalanan 2 ih ahai3 Dardi noh Len! Pinter banget sisan! Halah, lebih sesuatu Dardi ku dong! Pintar sekali juga!
Anak jalanan 2 : halah, cangkemmu! halah, omonganmu itu lho
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
ganti orang ketiga) yang ditanggapi oleh anak jalanan 2 yang menyebut
secara terang-terangan namanya Dardi. Disamping kedua anak tersebut
terdapat satu anak jalanan yang menjadi pemirsa pasif, dan tidak mengikuti
perbincangan. Kedua anak jalanan tersebut memiliki rentang umur yang
hampir sama, dan memiliki kedekatan yang akrab, dilihat dari penyebutan
kata ganti orang ketiga, dan ditanggapi orang tersebut adalah Dardi.
Ketiga anak jalanan terlihat sangat akrab, selain itu ketiganya pula
memiliki reverensi sama dalam pemaknaan tuturannya. Dengan pemaknaan
yang sama itulah, tujuan dari peristiwa tutur tersebut adalah sebagai
interaksi dua anak jalanaan ketika salah seorang mengucapkan ahai dalam
konteks tersebut ternyata memiliki makna yang belum tentu dapat
diketahui referensinya bila berdiri sendiri. Tujuan secara umum percakapan
tersebut adalah interaksi anak jalanan 1 yang menceritakan pujaannya
(Dardi) kepada anak jalanan 2, namun anak jalanan 2 tidak
memerdulikannya dan terlihat mengejeknya. Namun tujuan dari peristiwa
tutur itu tersampaikan.
Ketika kata ahai mencoba ditriangulasikan dengan masyarakat di
luar anak jalanan, ada perbedaan makna dan kebutaan informasi.
Perubahan penafsiran tersebut menilik pada kebingungan dan
ketidakpahaman dari makna kata ahai. Karena ketika kata tersebut
diungkapan dalam suatu Koe ki ahai tenan kok bro
seluruh responden dari kalangan mahasiswa menjawab dengan pertayaan
ahai
merupakan register, karena penggunaannya menimbulkan efek yang
berbeda ketika diterapkan pada anak jalanan dan ketika diterapkan pada
mahasiswa, sebagai anggota komunitas di luar anak jalanan.
Bentuk ujaran yang digunakan oleh anak jalanan 1 terlihat lebih
ekspresif dan menggunakan kata-kata yang lugas, tanpa adanya sindirian.
Sedangkan anak jalanan 2 terkesan mengejek dengan menjelek-jelekkan
sosok Dardi, di depan anak jalanan 1, namun anak jalanan 1 tidak sakit
hati, karena paham dengan sikap anak jalanan 2 yang hanya bercanda.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Kedua belah pihak telah mengetahui konteks pembicaraan, jadi tidak ada
pihak yang sakit hati atau tidak terima. Dengan adanya pembicaraan
mengenai Dardi dan ejekan-ejekan kecil mengenainya, maka konteks di
atas ditarik simpulan topik pembicaraan tersebut adalah seorang lelaki yang
dikagumi anak jalanan 1, namanya Dardi. Kedua anak jalanan tersebut
menyampaikan positif dan negatifnya Dardi kemudian saling meledek.
Penggunaan ragam pada peristiwa tutur diatas terdengar akrab dan santai.
Tidak ada hentakan tanda marah, meskipun diantara mereka saling
mengejek. Intonasi biasa saja, tidak ada intonasi tinggi, namun layaknya
sahabat bersenda-gurau.
Dengan intonasi yang santai dan akrab, hal tersebut menunjukkan
ketika anak jalanan 2 menyebutkan kejelekan dari Dardi, anak jalanan 1
mencubit anak jalanan 2 dan saling tertawa. Hal ini membuktikan bahwa
kedua anak jalanan saling akrab dan tidak ada beban atau rasa marah,
kecewa dan benci satu dengan lainnya. Namun pada ujaran cangkemmu
terdapat sedikit nada naik dan menghentak. Pada ujaran dheke ki ahai3
banget lho, nggantheng, pinter golek det, kerep njajakake aku barang
terdapat nada mendayu dan manja.
Peristiwa tutur ini terjadi di teras sebuah toko di perempatan jalan,
meskipun perbincangan mereka dirasa cukup rahasisa, namun keduanya
biasa saja, dan menggunakan jalur lisan dalam berkomunikasi satu dengan
lainnya. Pada percakapan ini ditemukan register untuk kata ahai, kata ini
meruapakan ekspresi yang memiliki perannya sebagai kata. Kata ini untuk
menunjukkan betapa luar biasanya Dardi, lelaki yang diperbincangkan oleh
anak jalanan 1. Register tersebut merupakan penggunaan bahasa untuk
menunjukkan ungkapan yang menandakan sifat-sifat yang dimiliki oleh
Dardi.
Dengan tuturan yang dipaparkan sesuai dengan konteks di atas,
tidak ditemukan satu aturan atau norma tertentu. Oleh karena itu, dalam
peristiwa tutur ini tidak adanya norma yang mengatur percakapan antara
anak jalanan dan mengikat cara berinteraksi anak jalanan. Dibaca dari kata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
ganti yang dipakai untuk mengungkapkan Dardi dengan manungsa kae
atau manusia itu. Selain itu, hal yang cukup ironis, ketika salah satu anak
jalanan (perempuan di Kota Surakarta (Solo) yang terkenal santun dan
ramah) mengatakan cangkemmu atau mulutmu dengan nada menghentak
dan keras.
Jenis bentuk penyampaian dengan cerita narasi, tanpa adanya
ungkapan estetis. Bentuk ini didukung dengan medekripsikan seseorang,
kemudian melanjutkan cerita satu ke cerita yang lain, ketika seorang
perempuan menyukai seorang lelaki, kemudian teman yang lain menimpali
bahwa Dardi lebih baik segalanya daripada orang yang dikagumi anak
jalanan 1. Jenis cerita deskriptif juga merupakan serangkaian dengan cerita
narasi dalam cuplikan konteks di atas.
Analisis data di atas membuktikan bahwa ahai merupakan bagian
dari register anak jalanan. Selain bertumpu dari analisis speaking, juga
berdasar pada komparasi yang telah dilakukan pada masyarakat umum di
luar anak jalanan. Dari komparasi tersebut didapatkan simpulan yang
menunjukkan bahwa munculnya makna baru dari kata ahai yang digunakan
oleh anak jalanan, sedangkan kata tersebut tidak dipahami oleh masyarakat
bahasa secara umum.
d. Kata suwak bodoh
Suwak merupakan kata yang termasuk register anak jalanan dan
digunakan dalam percakapan sesama komunitas. Kata ini memiliki
perbedaan arti dengan kamus. Sesuai dengan kamus, suwak berarti sobek
atau robek. Apabila disesuaikan dengan konteks di bawah ini, suwak
berarti bodoh atau tidak berotak. Dalam konteks di bawah ini pula akan
ditemui pergeseran makna dan munculnya makna baru dari kata tersebut.
Hakikatnya, register tidak hanya memunculkan makna baru, namun juga
perbedaan penerimaan kata tersebut oleh lawan tutur. Data tersebut dapat
dilihat di kartu data di bawah ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Percakapan tersebut bertempat di Teras Panggung Motor (Yamaha),
Jebres, Surakarta pada sebelah utara, berdampingan dengan jalan utama
Panggung. Setting waktu, pada hari Minggu, 28 Oktober 2012; pukul 16.00
WIB. Anak jalanan dalam ragam santai, situasi tuturan tidak ada masalah
yang terlihat. Kondisi sekitar teras Panggung Motor jalan utama masih
ramai oleh kendaraan, beberapa anak jalanan lalu-lalang, di depan/teras
Panggung Motor Yamaha, Jebres, Surakarta juga masih ada tiga anak
jalanan dan masih berbicara hal yang sama.
(1) Anak Jalanan Perempuan; (2) Anak Jalanan perempuan; (3)
Anak Jalanan laki-laki. Ada tiga anak jalanan sedang bercakap-cakap, dua
anak jalanan perempuan, dan satu anak jalanan laki-laki. Terdapat dua anak
jalanan perempuan yang memiliki usia hampir sama 11 tahun. Kedua anak
jalanan tersebut menjadi partisipan aktif, sedangkan satu anak jalanan laki-
laki menjadi partisipan pasif. Ada dua orang lagi yang terlibat dalam
percakapan tersebut, yaitu seseorang yang dipanggil dia dan Dardi, dua
laki-laki yang menjadi pujaan hati kedua anak jalanan itu.
Dalam konteks di atas, terdapat tujuan pemakaian kata suwak untuk
mengungkapkan rasa gemas terhadap temannya karena masih
mencintai/menyukai Dardi. Anak jalanan 2 merasa anak jalanan 1 selalu
Anak jalanan 1 : dheke ki ahai3 banget lho, nggantheng, pinter golek det, kerep njajakake aku barang, kurang opo ta Len! Dia itu sesuatu banget lho, tampan, pintar cari uang, sering traktir aku juga! Kurangnya apa sih?
Anak jalanan 2 : ahai3 Dardi noh Len! Pinter banget sisan! Halah, lebih sesuatu Dardi ku dong! Pintar sekali juga!
Anak jalanan 1 : Promosi! Promosi! Dardi elek ngono we pamer!! Suwak4 tenan kowe wi! romosi! Promosi! Dardi jelek seperti itu aja sombong! Songong banget kamu ya
Anak jalanan 1 : Cinta itu nggak bisa berbohong Len! Yen
hahahaha cinta itu nggak bisa bohong ya! Sekali
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
disakiti atau mungkin tidak disukai Dardi. Tujuan itu tercapai dari
tanggapan selanjutnya yang dijawab oleh anak jalanan 1 dengan pola
interaksi yang sama.
Kata suwak masuk ke dalam register, karena kata tersebut
mengalami perbedaan reseptif arti dan pemaknaan. Ketika diterapkan pada
koe
ki suwak tenan kok
merasa tersinggung dengan ucapan tersebut. Sedangkan apabila diterapkan
pada sesama anak jalanan kata tersebut tidak mengalami perubahan arti dan
makna. Kata tersebut tetap berarti normal dan netral, tidak ada rasa marah
atau tersinggung dengan kondisi tersebut.
Ujaran tersebut memiliki paduan kata yang masih umum dan tidak
ada spesifikasi yang mendalam. Penggunaan kata sebagian besar masih
berupa kata umum. Namun, beberapa kata menunjukkan dan
mengidentifikasikan kehidupan anak jalanan, sepeti cangkem; manungsa
kae. Pengungkapan penggunaan kata-kata yang kasar menunjukkan kondisi
anak jalanan yang keras. Meskipun dengan menggunakan pengungkapan
kata yang keras, topik yang dibicarakan masih sama. Penggunaan register
suwak sebagai bentuk ejekan dan candaan antara anak jalanan 1 dan anak
jalanan 2. Topik yang dibicarakan secara umum masih sama dengan
analisis sebelumnya berkenaan dengan seorang laki-laki pujaan.
Nada yang digunakan pada pengucapan kata suwak dengan nada
menghentak, tetapi disampaikan sambil bercanda. Selain itu, juga sedikit
gerak tubuh menghantam lengan anak jalanan 1 yang tidak serius. Intonasi
dan nada yang digunakan secara umum menunjukkan kedua orang tersebut
merupakan sahabat akrab yang saling memahami permasalahan satu
dengan yang lainnya. Penggunaan ujaran dalam konteks di atas, digunaan
ujaran tersebut secara lisan dan dengan sedikit isyarat seperti melotot dan
mencubit lawan bicara. Seperti pada ujaran tersebut sebagian besar
menggunakan jalur lisan dan percakapan langsung tanpa media yang
lainnya. Lisan dalam hal ini ternyata mampu mengurangi esendi dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
makna suwak. Meskipun kata ini bernilai bahasa kasar, kata register ini
secara umum memiliki kesamaan arti dalam bahasa lainnya.
Kata suwak merupakan istilah dalam register yang hampir memiliki
kesamaan arti dengan songong. Kata itu digunakan untuk mengungkapkan
perasaan sebal dan gemas pada lawan bicara. Namun apabila dibandingkan
dengan kata tersebut berdiri sendiri dan dilafalkan oleh orang secara umum
akan menimbulkan sakit hati. Kata ini memiliki nilai kasar dalam
pelafalannya. Oleh karena itu benar jika dinyatakan bahwa percakapan ini
tidak menggunakan aturan percakapan yang sesuai dengan prinsip kerja
sama masyarakat orang Jawa. Penggunaan norma dalam percakapan ini
masih belum dan atau sama sekali tidak terlihat, bahkan istilah yang
digunakan kata suwak terkesan kasar dan tidak beretika. Kata suwak adalah
jenis kata yang kasar dan tidak normal dalam pergaulan. Secara istilah, kata
suwak digunakan untuk mempertegas ejekkan yang diberikan pada lawan
tutur. Akan tetapi dalam konteks ini, anak jalanan terkesan akrab dan
dekat. Tidak ada konflik antara satu anak dengan anak yang lainnya.
Dalam pernyataan konteks di atas tidak ada maslah/konflik yang
terlihat, sekaligus bentuk penyampaian ini menggunakan narasi dan cerita
deskripsi yang di dalamnya terdapat analogi, pembandingan antara anak
jalanan 1 dan anak jalanan 2. Cerita narasi tersebut meliputi seorang
perempuan yang disakiti masih saja mencintai orang yang sama, akhirnya
keluarlah kata suwak untuk mengungkapkan perasaannya. Dari penjabaran
di atas, kata suwak masuk ke dalam kata register, karena pemaknaannya
berbeda antara konteks di atas dengan makna dalam kamus.
Kata suwak ketika dikomparasikan penggunaannya oleh sesama
anak jalanan dengan penggunaan oleh masyarakat secara umum
menemukan pergeseran penerimaan. Secara umum, masyarakat akan sakit
hati mendengar ucapan tersebut, sedangkan pada anak jalanan kata tersebut
memiliki kekuatan untuk pengakraban. Komparasi yang dilakukan bersama
dengan siswa sekolah menengah atas, ditemukan rasa tersinggung ketika
penutur mengatakan kata tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
e. Kata pengki anak buah
Kata pengki muncul dua kali pada peristiwa tutur hari Selasa,
30 Oktober 2012, pukul 11.00 WIB di Pasar Ledoksari, Jebres, Surakarta.
Lingkungan percakapan dalam keadaaan ramai, baik situasi pasar maupun
situasi stasiun, di stasiun juga masih terlihat banyak orang yang datang dan
pergi.
Kata pengki termasuk ke dalam register. Selain karena maknanya
berbeda dengan makna dalam kamus, kata ini hanya dimengerti dalam satu
komunitas anak jalanan saja. Pengki memiliki makna anak buah, atau
seseorang yang berada di bawah kekuasaan bos.
Di Pasar Ledoksari, anak jalanan yang disebut oleh responden lain
Bos, sedang kehausan dan menginginkan es teh. Datang seorang anak
jalanan, dan kemudian anak jalanan tersebut disuruh untuk membelikan es
teh ataupun mencari pengki-nya. (1) Anak Jalanan laki-laki berumur ± 18
tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki berumur ± 15; (3) Anak Jalanan laki-laki
berumur ± 10 tahun.
Anak jalanan 1 : Bocah-bocah mau padha nyangdi to nyuk(munyuk), babarblas ra ketok wudel5 sitok- anak-anak tadi kemana saja ta? Sama sekali tidak kelihatan satu pun
Anak jalanan 2 : lha mbuh ya.. lha pengki5mu nengdi? Mbok kon nggolekki siji-siji, angger manut karo ujudmu dhaan! tahu.. Lha Pesuruh/anak buah/bawahan di mana? Disuruh mencari satu per satu, karena mereka tundhuk sama kamu
Anak jalanan 1 : Asu, mbokya golekana kon tuku es teh 1 ndhes7! Opo kowe dadi pengki5 ku wae nyuk? Tukua es teh 1 wae ndhes7! Anjing, paling enggak kamu itu mencarikan, suruh dia beli es teh 1! Atau kamu menjadi suruhan saya saja! Belikan aku es teh 1 saja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Terdapat satu anak jalanan yang terlihat paling tua. Menghampiri
satu anak jalanan yang memiliki usia di bawahnya. Anak jalanan yang
ketiga disebut pengki, anak jalanan yang pertama disebut bos oleh anak
jalanan 2. Anak jalanan 1 terkesan garang dan keras; sedangkan responden
2 berada di bawah anak jalanan 1, dan anak jalanan 3 adalah yang paling
kecil dan takut.
Penggunaan kata pengki dalam konteks ini sebagai bentuk kata
ganti orang yang disuruh dan diminta untuk membelikan es teh. Tujuannya
untuk menyuruh seseorang sesuai dengan gradasi/strata sosial anggota anak
jalanan. Tujuan secara tersirat adalah untuk menunjukkan kekuasaan
seseorang untuk meminta/menyuruh orang lain yang telah dia kuasai atau
di bawah kekuasaannya.
Bentuk ujaran adalah percakapan keras dengan beberapa pemilihan
kata yang kasar dan tidak sopan. Bentuk ucapan yang ada seperti nyok atau
nyet untuk monyet, kemudian asu atau anjing untuk mengungkapkan
elspresi marah dan garang. Dengan mengetahui bentuk ujaran serta tujuan
percakapan, diambil topik yang diangkat adalah menyuruh pengki untuk
membeli es teh, dan semula tidak ada pengki yang ada untuk
membelikannya minuman tersebut. Nada yang digunakan adalah nada
tinggi dan dengan pelafalan yang garang. Mimik muka terlihat ingin
menampakkan kemarahannya dan ingin menunjukkan siapa dia. Ada
penekanan di banyak kata, yang menimmbulkan ekspresi lebih jahat dan
garang. Beberapa kali anak jalanan 2 melirik dan melotot kepada anak
jalanan 3. Anak jalanan 1 juga sempat melirik dan mimik garang pada
beberapa kesempatan. Satu kali anak jalanan 2 mengusir anak jalanan 1
agar pergi membelikannya minuman.
Menggunakan percakapan normal dan lusan. Tanpa adanya jalur
lainnya, seperti jalur tertulis, sms, dll. Karena percakapan langsung maka
seluruh percakapan yang terrekam menggunakan jalur lisan. Register yang
digunakan adalah pengki yang disinyalir memiliki arti orang suruhan, yang
mau disuruh dan diperintah. Tidak terdapat norma yang jelas dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
mengatur percakapan antara anak jalanan 1, 2 dan 3. Terlihat dari
penggunaan kata yang tidak baik, seperti nyuk, asu, wudhel, dan lainnya.
Selain itu, ketika anak jalanan 2 dan 3 berbicara dengan anak
jalanan 1 menunjukkan kepekaannya terhadap norma yang diatur sendiri
dan ditaati sendiri. Dengan sedikit peraturan intern yang membuat anak
jalanan 2 dan 3 hormat kepada yang paling tua, dimungkinkan karena takut
dan merasa hormat.
Jenis bentuk penyampaiannya menggunakan jalur lisan tanpa
adanya interaksi dengan jalur lainnya. jalur lisan antara tiga orang anak
jalanan yang satu dengan yang lainnya tidak terlihat adanya penggunakan
bahasa nonlisan. Namun beberapa bahasa nonverbal diutarakan seperti
mengepalkan tangan, gerakkan tangan mengusir, dan lainnya.
Konteks tersebut merupakan bentuk secara umum dan digunakan
beberapa kali pada ujaran langsung. Jalur lisan adalah yang paling sering
digunakan. Dengan konteks yang baik, jenis yang baik, amak pesan atau
tujuan yang ingin dicapai dapat sampai di tempat tujuan dengan baik,
karena satu komunikasi dan yang lainnya berpengaruh. Dengan analisis
data di atas ditemukan pemaknaan kata pengki merupakan register anak
jalanan. Hal ini dikarenakan ditemukannya pergeseran makna antara
penggunaan register pada anak jalanan dengan penggunaan pengki pada ibu
rumah tangga, mereka menangkap pengki adalah alat kebersihan.
f. Kata ndhes memiliki persamaan makna dengan cah
Peristiwa tutur ini terjadi pada, Selasa, 30 Oktober 2012. Pukul
11.00 WIB. Pasar Ledoksari, Jebres, Surakarta. ± 300 meter selatan Stasiun
Kereta Api, Jebres, Surakarta. Masih dengan keadaan yang sama dengan
analisis sebelumnya keadaaan jalanan ramai, baik situasi pasar maupun
situasi stasiun, dari stasiun juga masih terlihat banyak yang datang dan
pergi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Kata ndhes tidak ada dalam kamus Bahasa Jawa, namun jika
disesuaikan dengan konteks di bawah ini, ndhes memiliki makna sama
dengan cah.
Situasi anak jalanan sedikit sepi, anak jalanan tidak berlalu lalang di
depan pasar, kebanyakan anak jalanan terlihat di jalanan, tidak ada
kegiatan interaksi. Beberapa partisipan yang aktif, antara lain tiga anak
jalanan, (1) Anak Jalanan laki-laki berusia ± 18 tahun; (2) Anak Jalanan
laki-laki berumur ± 15; (3) Anak Jalanan laki-laki dengan kisaran usia ± 10
tahun.
Terdapat satu anak jalanan yang terlihat paling tua yaitu 18 tahun,
menghampiri satu anak jalanan yang memiliki usia dibawahnya sekitar 15
tahun. Anak jalanan yang ketiga disebut pengki (anak jalanan yang berusia
10 tahun), anak jalanan yang pertama disebut bos oleh anak jalanan 2.
Secara mimik muka, anak jalanan 1 terkesan garang dan keras. Sedangkan
anak jalanan 2 berada di bawah anak jalanan 1, dan anak jalanan 3 adalah
yang paling kecil dan penakut.
Kata ndhes termasuk dalam register karena penerapannya akan
berbeda jika diterapkan pada anak jalanan dan diterapkan pada kelompok
lain. Kelompok anak jalanan sama sekali tidak ada dampak penggunaan
Anak jalanan 2 : lha mbuh ya.. lha pengkimu nengdi? Mbok kon nggolekki siji-siji, angger manut karo ujudmu dhaan! tau saya.. Lha Pesuruh/anak buah/bawahan di mana? Disuruh mencari satu per satu, karena mereka tunduk sama kamu
Anak jalanan 1 : Asu, mbokya golekana kon tuku es teh 1 ndhes6! Opo kowe dadi pengkiku wae nyuk? Tukua es teh 1 wae ndhes! Anjing, paling enggak kamu itu mencarikan, suruh dia beli es teh !Atau kamu menjadi suruhan saya saja! Belikan aku es teh 1 saja
Anak jalanan 2 : Jon (Jono : nama orang) tukokno bos8mu iki es teh Jon, belikan bosmu ini es teh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
kata tersebut. Sedangkan dari kelompok anak pada umumnya merasa
tersinggung dan tidak terima dengan pengucapannya. Kata tersebut
bermakna kasar dan tidak sopan, sedangkan dalam penerapan anak jalanan,
kata tersebut sah-sah saja, dan tidak ada efek yang berpengaruh.
Tujuan dari konteks penggunaan register ndhes adalah untuk
memanggil salah seorang dari anak jalanan atau anak jalanan lainnya.
Sebagai bentuk kata ganti orang dan menjelaskan kedekatan seseorang
dengan yang lainnya. Karena tidak mungkin seseorang yang baru kenal
menyebut orang lain dengan sebutan tersebut. Selain itu, untuk tujuan jera
juga dimungkinkan anak jalanan yang menjadi anak jalanan 1 memanggil
dengan sebutan ndhes untuk menimbulkan efek agar anak jalanan 3 takut.
Ujaran yang dipakai dalam konteks ini bersifat kasar, namun
percakapan antara orang satu dengan orang yang lain tetap terjaga benang
merahnya. Ujaran menggunakan register ndhes sebagai bentuk singkatan
dari sebuah kata yang telah dipaparkan sebelumnya. Topik pembicaraan
secara umum masih sama dengan analisis sebelumnya, yakni mengenai
permintaan/menyuruh anak jalanan lain untuk membelikannya minuman
dingin. Namun, tidak ada yang ada untuk membelikannya.
Nada yang digunakan adalah nada tinggi dan dengan pelafalan yang
garang. Mimik muka terlihat ingin menampakkan kemarahannya dan ingin
menunjukkan siapa dia. Ada penekanan di banyak kata, yang menimbulkan
ekspresi lebih jahat dan garang.
Beberapa kali anak jalanan 2 melirik dan melotot kepada anak
jalanan 3. Anak jalanan 1 juga sempat melirik dan mimik garang pada
beberapa kesempatan. Satu kali anak jalanan 2 mengusir anak jalanan 1
agar pergi membelikannya minuman
Peristiwa ini berjalan secara berurutan, yang pertama anak jalanan 1
mencari anak jalanan, yang kedua anak jalanan 1 bertemu dengan anak
jalanan 2 dan yang terakhir anak jalanan 2 memanggil anak jalanan 3.
Keseluruhan menggunakan percakapan normal dan lisan. Karena
percakapan langsung maka seluruh percakapan menggunakan jalur lisan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Jalur bahasa yang lainnya tidak ditemukan dalam konteks ini, karena anak
jalanan terkesan sederhana dan yang dikenakan simpel.
Register yang digunakan adalah Ndhes atau gondhes merupakan
kata ganti orang kedua yang memiliki arti sama dengan bocah, atau Nak
untuk anak. Dalam percakapan ini tidak ada norma yang mengatur, karena
masih bayak kata-kata kasar yang masih diucapkan, terutama dalam
percakapan antara yang muda dan yang tua. Seperti register ini sendiri
merupakan kata yang kasar. Ndhes apabila diucapkan data situasi umum
bersifat kasar dan tidak beretika.
Ketika berinteraksi antara yang lebih muda kepada yang lebih tua
sedikit ada kekhasan gaya untuk sopan, tunduk, sedangkan yang tua kepada
yang muda, tidak ada rasa hormat, bahkan tidak ada sikap mengayomi.
Percakapan ini menggunakan jenis bentuk penyampaian dengan narasi dan
perintah, karena sikap satu anak jalanan kepada anak jalanan yang lain
tidak memiliki latar yang luang, jadi terkesan padat dan jelas.
Dalam upaya mendapatkan keabsahan data, kata ndhes pun
dikomparasikan penggunaannya dengan masyarakat bahasa di luar anak
jalanan. Ditemukan perbedaan dan pergeseran penerimaan makna anak
jalanan dengan di luar anak jalanan, dilihat dari konteks di atas, yang
menyatakan bahwa makna di luar anak jalanan akan bersifat negatif,
sedangkan ketika dipakai oleh anak jalanan makna tersebut bersifat netral.
g. Kata bos ang yang
memilki makna
Kata bos ditemukan pada percakapan hari Selasa, 30 Oktober 2012,
pukul 11.00 WIB. Pasar Ledoksari, Jebres, Surakarta. ± 300 meter selatan
Stasiun Kereta Api, Jebres. Keadaan Stasiun Kereta Api Jebres cukup
ramai mengingat hari minggu, banyak penumpang turun dan berdatangan.
Keadaan masih sama, tidak ada perbedaan situasi yang mendadak ketika
register ini diucapkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Situasi keadaan di daerah tersebut panas dan beberapa kali anak
jalanan berkumpul ketika suasana renggang dan tidak ada pekerjaan.
Sesekali lewat petugas satpam Pasar, namun tidak merespons dengan
keberadaan anak jalanan di sana. Secara umum, untuk partisipan tidak ada
perubahan, yakni responden 1 datang paling awal, anak jalanan 2 kemudian
mengikuti dan yang terakhir anak jalanan 3 datang paling akhir.
Akan ada perbedaan makna kata bos jika diterapkan pada anak
jalanan dan diterapkan pada masyarakat pada umumnya. Ketika ditanya
berkenaan dengan persepsi mereka terhadap bos pada anak jalanan, mereka
mengganggap bos adalah orang yang selalu meminta uang anak jalanan,
sedangkan bos dalam register anak jalanan ini berarti panutan, guru, dan
seseorang yang dituakan, atau tetua.
Sesuai gradasi umur, anak jalanan 1 lebih tua daripada anak jalanan
2, dan anak jalanan 2 lebih tua daripada anak jalanan 3. (1) Anak Jalanan
laki-laki berumur ± 18 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki berumur ± 15
tahun; (3) Anak Jalanan laki-laki dengan usia ± 10 tahun. Pertama-tama
anak jalanan yang terlihat paling tua mendatangi anak jalanan 2, terlihat
hubungan antara anak jalanan 1 dan anak jalanan 2 tidak terdapat hubungan
yang hormat-menghormati. Ketiganya seorang lelaki yang duduk di dekat
kereta api yang sedang dimatikan.
Tujuan pemberian julukan bos pada anak jalanan 1 oleh anak
jalanan 2 diidentifikasikan untuk menghormati dan menuakan-(tua) anak
Anak jalanan 1 : Asu, mbokya golekana kon tuku es teh 1 ndhes7! Opo kowe dadi pengki6ku wae nyuk? Tukua es teh 1 wae ndhes7! Anjing, paling enggak kamu itu mencarikan, suruh dia beli es teh 1! Atau kamu menjadi suruhan saya saja! Belikan aku es teh 1 saja
Anak jalanan 2 : Jon(Jono : nama orang) tukokno bos8mu iki es teh Jon, belikan bosmu ini es teh
Anak jalanan 3 : pira mas? berapa mas? Anak jalanan 2 : siji wae ndhes7! Cepet! atu saja! Cepat! Anak jalanan 3 : iyo neh! iya-iya!
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
jalanan 1. Dimungkinkan selain karena usia yang relatif lebih tua, juga
karena mimiknya paling garang.
Tujuan percakapan tersebut adalah ungkapan marah dan kesal
ketika seorang bos meminta seseorang untuk membeli es teh namun tidak
ada yang disuruh. Disusul dengan kata perintah dan deksripsi anak jalanan
seperti penyebutan nama Jon. Tujuannya untuk menjalin interaksi satu
dengan yang lain, supaya anak jalanan 2 membelikannya es teh.
Ujaran terkesan kasar dan tertekan, dari setiap anak jalanan
memiliki kekhasan ujarannya masing-masing, seperti pada anak jalanan 1
seorang yang ganas, berbicara garang dan kasar. Dilihat dari percakapan
(konteks) yang berbicara dengan kasar hanya anak jalanan 1, salah satu
alasannya karena ditakuti anak jalanan yang lain. Anak jalanan 2, takut tapi
kadang berani pada yang lebih kecil, dilihat dari percakapan. Perubahan
emosi yang dari awal takut, kemudian berani pada anak jalanan 3. Anak
jalanan 3 di lihat dari percakapan adalah yang paling kecil dan penakut.
Secara spesifik, penggunaan nada pada setipa anak jalanan adalah;
anak jalanan 1, nada tinggi, intonasi garang dan menggunakan tekanan
yang berat; anak jalanan 2, menggunakan nada semi-takut dan berlagak
berani ketika berbincang dengan anak jalanan 3; sedangkan anak jalanan 3,
dengan nada rendah, lirih dan tanpa tenakan.
Semangat untuk berujar, pada anak jalanan 1 dan anak jalanan 2
tinggi, sedangkan pada anak jalanan 3 rendah. Tidak ada penggunaan jalur
tulis, hanya menggunakan jalur lisan saja. Jalur bahasa yang lainnya tidak
ada yang digunakan karena situasi yang kurang tepat, dan paling tepat
hanyalah jalur lisan.
Register yang dipakai adalah ndhes menunjukan penggunaan
bahasa yang kasar dan keras, menunjukkan kata gondhes. Istilah tersebut
lazim digunakan oleh anak jalanan, namun jika diujarkan pada situasi
umum terdengar kasar.
Anak jalanan merasa bebas dan tidak ada yang aturan, bahkan pada
percakapan ini digunakan register ndhes yang menunjukkan kondisi dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
situasi yang tidak sopan. Istilah yang kasar dipakai oleh suatu komunitas
dan tidak ada yang menegur, akan semakin merusak norma bahasa pada
anak jalanan.
Beberapa kata yang lain yang tidak sopan secara umum juga ada,
namun lebih kental pada ekspresi yang ada. Seperti geram, galak, melotot
dan lainnya. Bentuk percakapannya adalah narasi dan lebih tepatnya
kalimat perintah untuk menekankan maksud dan tujuan percakapan. Narasi
dalam konteks tersebut ada ketika Anak jalanan 2 menjelaskan
ketidakberadaan anak jalanan yang lainnya. Anak jalana menceritakan
detail percakapan dengan situasi demi situasi, anak jalanan berbicara satu
dengan yang lain menunjukkan keakraban dan kedekatan meskipun
terkesan tidak hormat-menghormati.
h. Kata kawasan wilayah kerja
Dalam kehidupan sehari-hari kadang masyarakat bahasa pada
umumnya menggunakan kata kawasan sebagai bentuk perwilayahan
dengan tanpa maksud dan tujuan tertentu. Ternyata, kata kawasan juga
ditemukan pada bahasa anak jalanan dengan makna yang berbeda.
Rabu, 31 Oktober 2012; pukul 14.00 WIB. Depan showroom motor,
Yamaha Motor, Panggung motor, berdampingan dengan jalan raya. Situasi
jalanan ramai dengan kendaraan bermotor, suara gaduh anak jalanan yang
terbahak-bahak saat bersenda-gurau.
Sedang ada konflik, ketika anak jalanan 2 dan anak jalanan 3
berkelahi tanpa diketahui penyebabnya. Kedua anak itu hanya memukul
satu sama lain, tanpa adu mulut. Keadaan memanas ketika orang yang
paling tua dan dituakan merasa terganggu dan berusaha melerai. Kemudian
keduanya pun berhenti. (1) Anak Jalanan laki-laki berusia ± 20 tahun; (2)
Anak Jalanan laki-laki berusia ± 13 tahun; (3) Anak Jalanan laki-laki
berkisar ± 13 tahun.
Partisipan pada peristiwa tutur tersebut terdiri dari 3 orang anak
jalanan, dua diantaranya berusia kisaran 13 tahun dan yang paling tua dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
disegani berusia 20 tahun. Selain itu beberapa anak jalanan yang lain
menyorak anak jalanan yang berkelahi. Namun tidak menjadi partisipan
aktif, karena ketidakberhubungannya antara pembicaraan dan konteks
kalimat. Namun dari seluruh partisipan yang ada, hanya Anak jalanan 1
yang peduli dan ikut melerai.
Tujuan mengatakan register kawasan untuk menunjukkan bahwa
lokasi tersebut meruapakan satu wilayah untuk kekuasaan dan agar kedua
anak jalanan yang berkelahi terssebut segera tenang dan tidak membuat
kegaduhan. Tujuan pengungkapan kata register tersebut juga sebagai
bentuk pengungkapan bahwa anak jalanan 1 perlu dihormati sebagai
pemilik kawasan.
Tujuan secara umum adalah untuk melerai perkelahian antar anak
jalanan yaitu anak jalanan 2 dan anak jalanan 3 oleh Anak jalanan 1.
Dengan adanya peristiwa tutur ini setidaknya dua anak jalanan itu akirnya
berpisah tidak lagi berkelahi.
Bentuk ujaran yang digunakan seperti pemilihan kata yang kasar
dan digunakan untuk menenangkan anak jalanan 2 dan anak jalanan 3.
Setidaknya pemilihan ujaran yang cukup kasar mampu menenangkan dua
anak jalanan yang sedang berkelahi, selain menimbulkan efek jera juga
sebagai alat untuk menenangkan dua anak jalanan tersebut.
Nada yang digunakan ketika mengucapkan ujaran yang di
dalamnya terdapat register kawasan dengan nada kesal, dan marah karena
ketenangannya terusik dan terganggu. Selain dengan nada kesal dan marah,
beberapakali hentakan juga dipakai untuk menimbulkan efek marah dan
geram. Selain adanya nada dan tekanan, ekspresi yang timbul juga mampu
mengidentifikasikan ekspresi yang sedang dirasakan (megucapkan
kawasan) seperti marah dengan melotot, dan sedikit mengepalkan tangan.
Kawasan dalam register anak jalanan ditemukan ploting makna
kawasan tersebut, antara lain kawasan satu untuk manggung, kawasan dua
untuk masar, kawasan tiga untuk nyepur, kawasan empat digunakan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
ngleseh, dan jenis kata lainnya. Hal ini berbeda-beda dan ada banyak
ragam dari kata kawasan ini.
Peristiwa tutur dalam konteks kalimat yang mengandung kara
kawasan menggunakan jalur lisan. Kawasan bagian kota atau daerah
tertentu yg mempunyai sifat-sifat yg khas: industri; pertokoaan. Dalam
kamus besar bahasa Indonesia, kata kawasan secara umum adalah daerah
yang memiliki ciri khas yang sama, sedangkan bagi anak jalanan, makna
kata kawasan adalah lokasi dan wilayah dalam satu kekuasaan, semacam
tempat dari raja itu memerintah.
Secara norma kebahasaan, konteks yang dipakai menggunakan
bahasa yang tidak baik, namun di sisi lain secara luas, konteks tersebut
mengandung norma sosial yang cukup baik. dinyatakan dengan efek yang
timbul setelah anak jalanan 1 geram dengan perilaku yang ditimbulkan
anak jalanan 2 dan anak jalanan 3.
Kalimat di atas merupakan contoh yang tidak mengandung norma yang
baik untuk masyarakat berbahasa. Jenis dan bentuk penyampain peristiwa
tutur ini dengan bentuk tuturan narasi, dengan tegas anak jalanan 1
menyatakan hal yang sedikit kasar. Dalam peristiwa tutur ini tidak ada nilai
estetik yang perlu dijaga.
i. Kata munggah , nyepur , medhun , ngampung
, manggung , masar , ngleseh
Kata munggah, nyepur, medhun, ngampung, manggung, masar,
ngleseh digunakan dalam konteks situasi yang sama. Cukup berbeda
dengan makna umumnya, munggah memiliki makna naik bus dan
melakukan kegiatan mencari uang, sedangkan nyepur adalah mencari uang
Aja dha padu wae to Su
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
di atas kereta api, medhun memiliki makna kamus turun, namun dalam
register berarti turun ke jalan untuk mencari uang.
Sedangkan ngampung memiliiki makna dalam register yakni pergi
ke pemukiman penduduk untuk mencari uang, manggung memiliki makna
pergi ke daerah Panggung untuk mencari uang, sedangkan masar bermakna
pergi pasar, begitu pula dengan ngleseh bermakna pergi ke tempat-tempat
lesehan untuk mencari uang.
Partisipan 1 : Bu, lha Tutik meniko wonten pundi kok mboten ketingal?
Anak jalanan 2 : Munggah10 Partisipan 1 : Munggah10 pundi Bu? Anak jalanan 2 : Munggah10 Bis mas, ngamen.
Partisipan 1 : istilah lain malih napa bu?
Anak jalanan 2 : Nyepur11, iku ngamen neng cedhak stasiun neng
daerah sepuran Medhun12, iku
biasane nik nggone lampu merah digunakan untuk nongkrong di lampu meNgampung13, muter neng kampung-kampung, neng omah-omah ngono mas makna berkeliling ke kampung-kampung dan rumah- . Manggung14, iku nang Panggung, daerah Panggung.
Masar15, iku neng pasar mas, ngamen ing pasar. Iku aku ngerti ya saka bajaku kok mas! Saiki bajaku ra enek. mengamen di sekitar pasar, saya mengetahuinya dari
Anak jalanan 3 : Ulat16mu kui lho mas le ngematke aku! Mbok biasa
wae! Rasah ngulat16ke!
Partisipan 1 : ora lho Nov! biasa wae kok!
Anak jalanan 1 : Ngleseh17 mas, iku neng Lesehan!
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Wawancara ini dilakukan pada Sabtu, 3 November 2012; pukul
19.00 WIB. Teras Panggung Motor, Jebres, Surakarta, tepatnya
Perempatan Panggung motor, disamping Jalan utama.
Situasi jalan utama depan Panggung Motor, sangat ramai dalam
keadaan malam hari. Beberapa kendaraan lalu lalang, baik itu roda dua,
mobil ataupun bus. Beberapa anak jalanan menggerombol dan sedang
bermain gitar. Tetapi ada pula satu ibu anak jalanan dan anak jalanan yang
sedang duduk menunggu anaknya yang lain sedang mengamen.
Di Teras Panggung, keadaan terlihat lebih sepi daripada hari
biasanya yang ramai kendaraan lalu lalang. Tidak ada konflik antara satu
anak jalanan dengan anak jalanan lain. Di perempatan jalan tidak terlihat
adanya anak jalanan yang saling berkonflik dan masalah.
(1) Ibu dari anak Jalanan (Imam) ± 45 tahun; (2) Anak Jalanan
laki-laki (Imam) ± 7 tahun. Ibu dari anak jalanan yang bernama Imam
sedang duduk menunggu hujan reda, sebagai anak jalanan utama. Beberapa
anak jalanan sedang bermain alat musik dan bernyanyi, tanpa
berkomunikasi yang berhubungan dengan anak jalanan yang lainnya.
Tujuan wawancara ini untuk menggali informasi yang lebih luas
berkaitan dengan kondisi anak jalanan saat ini, kondisi jalan yang mulai
sepi dan tidak begitu ramai. Kemudian sedikit mendapatkan informasi
mengenai istilah anak jalanan yang sering digunakan.
Tujuan secara umum penggunaan register tersebut merupakan
untuk medekripsikan bahasa anak jalanan tersebut. Bentuk ujaran yang
digunakan berupa jawaban dari pertanyaan yang ada. Partisispan memberi
pertanyaan yang sekiranya tidak mencurigakan. Topik pembicaraan adalah
kegiatan mobilitas anak jalanan di Kota Surakarta, khususnya di daerah
Jebres.
Nada pembicaraan datar tanpa ada ekspresi yang bersifat emotif,
nada bicara tidak ada tekanan yang berarti. Anak jalanan satu dengan yang
lain tidak saling memengaruhi, dan kondisi yang datar membuat situasi
tidak emotif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Dalam wawancara yang dibuat seperti perbincangan tidak ada cara
ataupun semangat yang khusus dalam menunjukkan pertanyaan maupun
jawaban. Dalam peristiwa tutur ini menggunakan jalur lisan, karena
dilakukan dengan wawancara langsung.
Register
1) Munggah
Berarti munggah/naik, naik dalam hal ini bukan naik tangga, naik
tingkat. Naik dalam hal ini khusus untuk mengamen di bis. Bekerja di
dalam bis, dengan istilah yang lebih mudah dan sederhana. Ketika
diaplikasikan dalam masyarakat luas (khususnya masyarakat Jawa),
masyarakat tidak begitu paham dan mengerti maksud dari bahasa
tersebut. sekilas, memang sederhana, namun penggunaan bahasa
tersebut bersifat khusus.
2) Nyepur
Nyepur adalah kegiatan di atas Sepur (Kereta Api), berarti anak
jalanan sedang mencari uang di atas kereta api. Penggunaan istilah ini
mempermudah interaksi dengan anak jalanan lainnya. istilah ini
menunjukkan keberadaan anak jalanan. Namun belum tentu orang
awam paham, seperti halnya telah dilakukan uji coba pada salah
seorang mahasiswa yang kadang kala pulang kampung dengan kereta
api, ia tidak paham istilah nyepur.
3) Medhun
Medhun dalam bahasa Indonesia berarti turun, bukan turun pangkat,
bukan turun tangga, maupun gajinya turun. Namun sebagai ungkapan
khusus anak jalanan, medhun berarti turun dari bis, setelah berkegiatan
di atas bis, entah itu mengamen, mengemis, maupun kegiatan lainnya.
4) Ngampung
Ngampung yaitu berkegiatan di kampung, dari pintu ke pintu, istilah
ini untuk memudahkan anak jalanan dalam berinteraksi ketika mereka
berada/mengamen di kampung, masyarakat. Ngampung berarti di
berbagai daerah yang bisa dipakai tempat mengamen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
Ternyata kata ngampung dari penelitian ini turut ditemukan dalam
penelitian Lestari (2011). Dalam pemaparannya, Lestari menjelaskan
bahwa kata ngampung merupakan pembagian wilayah kerja dari
seorang anak jalanan yang bertugas mengitari kampung-kampung.
Dari sini, kedua penelitian ini dapat ditarik kesamaan makna
penggunaan kata register dalam konteks yang sama.
5) Manggung
Manggung tidak bisa diartikan sebagai kegiatan di stage-panggung.
Namun, satu istilah ketika anak jalanan berkegiatan di daerah
Panggung Motor, entah mereka mengamen, mengemis, meminta-
minta maupun kegiatan lainnya. bagi sebagaian orang mungkin
berpikir manggung berarti kegiatan di atas panggung, bernyanyi,
konser atau sejenisnya.
6) Masar
Masar berarti berkegiatan di pasar, dalam kata masar memiliki dua
makna yang bisa berbeda arti.
a) Masar : mengamen di pasar, pasar yang dimaksudkan adalah pasar
yang berskala besar, seperti Pasar Gedhe, Pasar Klewer, dan pasar
lainnya. biasanya mereka mengamen, meminta-minta dan lainnya
b) Masar : pulang ke rumah dan tidur. Masar dalam hal ini spesifik
berarti Pasar Ledoksari. Pasar Ledoksari menjadi tempat tinggal
bagi anak jalanan yang bagi mereka paling nyaman dan menarik
untuk mereka. Mereka akan tinggal di Pasar Ledoksari dan tidur
untuk menunggu pagi.
7) Ngleseh
Ngleseh berarti mengamen di lesehan-lesehan tempat makan
masyarakat. Ngleseh berarti mereka akan berkegiatan di Lesehan baik
kota maupun di pinggiran.
Norma dalam percakapan ini cukup terjaga, dilihat dari tanggapan ibu
anak jalanan ketika partisipan berbicara dnegan bahasa kromo alus, dia
paham dengan begitu bahasa kromo alus berterima. Namun merek abelum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
tentu menggunakannya dalam berkehidupan sehari-hari. Dalam peristiwa
tutur ini mengacu pada penyampaian melalui narasi dan menjawab
pertanyaan yang disediakan. Anak jalanan terpacu dan bukan pada
kesadaran pribadi dalam menjawab pertanyaan.
j. Kata colut memiliki makna berpindah dari satu tempat ke tempat lain
Kata colut tidak memiliki pemaknaan dalam kamus bahasa Jawa.
Kata ini adalah register yang digunakan anak jalanan yang memiliki arti
berpindah tempat. Hal tersebut terlihat dari data yang diambil pada hari
Senin, 5 November 2012; Pukul 14.00WIB di Tugu perempatan Jimbaran
Radio, Surakarta, 50 meter sebelum Stasiun Balapan dari arah timur. (1)
Anak Jalanan laki-laki berusia kisaran 15 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki
berusia kisaran 12 tahun. Situasi yang dideskripsikan, kondisi yang panas,
siang hari. Perempatan tampak lebih sepi dari sebelumnya, dan kegiatan
mengamen menjadi kurang begitu ramai dan emndapatkan banyak
pemasukan.
Anak jalanan yang berusia 15 tahun, ketika sudah mulai bosan
berkegiatan dan hendak pindah ke terminal/stasiun lain, ada pula anak
jalanan berusian kisaran 12 tahun yang diajak untuk berpindah namun tidak
bersedia. Tidak ada anak jalanan di sekitar daerah tersebut, hanya
kendaraan yang lalu lalang dan beberapa motor tidak memberikan uang
untuk anak jalanan yang mengamen.
Menunjukan arah tujuan kepergiannya, anak jalanan 1 berusaha
memberikan sedikit ajakan, persuasi kepada anak jalanan 2 untuk
berpindah tempat ke stasiun balapan, namun anak jalanan 2 meskipun
Anak jalanan 1 : Melu ra? ikut tidak Anak jalanan 2 : Nengdi? kemana Anak jalanan 1 : Colut18, Tirtonadi! indah ke Tirtonadi Anak jalanan 2 : Ora om! Tidak Om
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
paham dengan percakapan, tidak bersedia berpindah ke stasiun, tanpa
alasan.
Isi ujaran terkesa singkat dan padat, yaitu ajakan berpindah tempat
seorang anak jalanan kepada anak jalanan lainnya. Kata colut memiliki arti
keluar dan pergi, biasanya dipakai oleh mahasiswa yang akan membolos,
namun bagi anak jalanan memiliki arti berpindah dari objek tempat satu ke
tempat yang lainnya.
Nada yang digunakan adalah nada ajakan, persuasi. Di lain pihak
anak jalanan 2 menjawab dengan nada datar. Anak jalanan satu mengajak
dengan sangat semangat, namun anak jalanan 2 menjawab dengan
sederhana.
Jalur bahasa yang digunakan adalah jalur bahasa lisan, tanpa media
apapun,. Obrolan biasa dua anak jalanan. Register yang digunakan adalah
colut yang artinya berpindah dari satu tempat ke tempat lain, seperti pada
konteks yang jelas, berpindah dari perempatan Radio Jimbaran ke Stasiun
Kereta Api.
Tidak terlihat adanya pelanggaran norma, maupun tindakan yang
senonoh dan tidak sopan. Dengan begitu datarnya percakapan, belum
mampu dilakukan identifikasi yang mendalam, namun secara garis besar
ungkapan yang digunakan masih datar. Jenis dan bentuk penyampaian
ujaran dengan persuasi, bukan narasi maupun deskripsi. Anak jalanan 1
mengajak anak jalanan 2 untuk berpindah tempat.
k. Kata bolo pasukan dalam tim
Kata bolo yang dalam keseharian masyarakat bahasa menyatakan
artinya adalah teman, sedangkan dalam konteks anak jalanan, bolo
memiliki makna pasukan atau pasukan dalam satu tempat kerja. Ditemukan
penggunaan kata bolo dalam percakapan anak jalanan pada hari Sabtu,1
Desember 2012. Pukul 15.00 WIB. Kompleks Balaikota Surakarta,
Surakarta. ± 300 meter selatan Pasar Gedhe, Surakarta Kondisi jalanan
tampak sangat ramai memuncak, jalanan sedikit lebih macet. Beberapa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
anak jalanan sedang bercanda guari satu dengan lainnya. namun beberapa
yang lain tampak serius.
Kondisi cuaca cerah, namun beberapan percakapan sering tidak
berkaitan karena jumlah anak jalanan cukup banyak. Ada anak jalanan
kecil yang mengikuti perbincangan.
(1)Anak Jalanan laki-laki berusia ± 18 tahun; (2) Anak Jalanan laki-
laki berusia ± 15 tahun; (3) Anak Jalanan laki-laki berusia ± 10 tahun; (4)
Anak Jalanan laki-laki berusia kisaran 15 tahun; (5) Anak Jalanan laki-laki
berusia kisaran 4 tahun. Usia anak jalanan yang paling kecil adalah adik
dari anak jalanan yang lainnya.
Beberapa anak jalanan yang lainnya tidak termonitori karena
aktivitasnya yang tidak begitu mendukung. Beberapa anak jalanan sedang
asik bermain musik, beberapa anak jalanan sedang makan dan beberapa
lainnya sedang mengamen.
Tujuan dari percakapan dan penggunaan kata register bolo untuk
menunjukkan anak jalanan memiliki teman, bahwa teman-temannya telah
pergi mendahuluinya. Percakapan ini terjadi tanpa ada tujuan khusus untuk
menunjukkan situasi maupun kondisi tertentu yang diidentifikasikan.
Tujuan penggunaan register lebih tertuju untuk efisiensi pemakaian dan
pemaknaan kata yang dipakai satu orang dengan yang lainnya.
Bentuk ujaran berupa kata, kalimat dan beberapa ujaran yang
lainnya. kalimat yang berisi register lainnya, apabila dipahami perkata oleh
orang awam akan cukup sulit, namun anak jalanan akan paham dengan
rangkaian kata yang telah dipakai.
anak jalanan 5 : baksoku peken baksoku buat kamu aja anak jalanan 1 : aku nanging terminal kok arep munggah,
arep munggah kene balaku wis do rampung aku mau naik di terminal saja, mau naik di sini
teman-temanku sudah selesai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Topik pembicaraan adalah kehidupan sehari-hari, bukan sebuah
konflik yang ada di masyarakat. Namun sebuah peristiwa tutur anak
jalanan pada hari biasa. Nada, tekanan, cara dan semangat penyampaian
terkesan datar dan tanpa ada gejala yang memungkinkan ada konflik
maupun beberapa nada yang dibuat dengan sengaja, nada mengejek.
Digunakan nada mengejek, namun masih terkesan datar dan tanpa ada
gejolak yang berarti. Tekanan masih bersifat datar.
Peristiwa tutur ini berjalan secara langsung dengan jalur lisan.
Register yang dipakai meliputi kata bolo yang menunjukkan sekawanan
rekan mengamen, bukan berarti sahabat. Namun sekumpulan komunitas
mengamen yang satu dan yang lain akan bekerja sama untuk mencari uang.
Pada kasus umum, kata bolo bermaksud untuk menjelaskan makna sahabat,
kawan dekat atau teman sepemikiran, namun pada konteks ini, maksud dari
kata bolo rekan satu grup untuk mencari uang.
Norma tidak begitu menonjol atau berpengaruh, bersifat biasa dan
datar. Tidak ada penyelewengan yang berarti, namun satu anak jalanan
dengan yang lain saling menghormati dan saling berbicara sopan. Tidak
menutup kemungkinan, ketika berbicara mengenai hal yang mengandung
konflik mungkin saja berpengaruh berbeda. Bentuk penyampaiannya
menggunakan penyampaian narasi. Dengan bercerita dari satu aspek ke
aspek yang lainnya, dan menceritakan secara runtut tanpa jeda, satu anak
jalanan ke anak jalanan lainnya.
l. Kata rampung pulang selesai kerja
Makna secara umum untuk kata rampung adalah selesai, namun
dalam konteks di bawah ini, kata rampung memiliki makna usai bekerja
dan hendak pulang. Ditemukan penggunaan kata rampung pada percakapan
anak jalanan. Percakapan yang dilakukan pada hari Sabtu, 1 Desember
*matamu, matamu, matamu!! *iki kok gambare kok kayak ngene? hahaha.. mengko di cekel polisi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
2012, pukul 15.00 WIB. Komplek Balaikota Surakarta, Surakarta. ± 300
meter selatan Pasar Gedhe, Surakarta. (1) Anak Jalanan laki-laki berusia
kisaran ± 18 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki berusia ± 15 tahun; (3) Anak
Jalanan laki-laki ± 10 tahun; dan (4) Anak Jalanan laki-laki berusia kisaran
15 tahun. Selain anak jalanan ini, masih banyak anak jalanan yang hadir,
namun tidak berbincang.
Kondisi sosial masyarakat cenderung datar dan tidak ada konflik.
Sebagai perbincangan normalnya masyarakat, tidak ada konflik yang
menjadi tolok utama satu dengan yang lainnya. Kondisi jalannya ramai dan
beberapa motor lalu lalang. Beberapa kendaraan besar menyebabkan
macet, sekitar kanan dan kiri jalanan, anak jalanan sedang berbincang satu
dengan yang lainnya.
Percakapan ini tidak memiliki tujuan yang spesifik, hanya saja
beberapa kata digunakan untuk mempersingkat pembicaraan, termasuk
register rampung yang berarti selesai. Selesai bukan berarti menyelesaikan
tugas, atau menyelesaikan pekerjaan, namun untuk menunjukkan telah
pulang.
anak jalanan 1 : aku ing terminal kok arep munggah, arep munggah kene balaku wis do rampung aku mau naik di terminal saja, mau naik di sini teman-temanku sudah selesai
anak jalanan 3 : la iki kok gambare kok kayak lha
ini kok gambarnya semacam ini? Hahaha.. ntar ditangkap polisi lho!
anak jalanan 3 : dheke neng Tegal, ora mudeng neng kene
kapan, mbolang kok kon mulih-mulih dia di Tegal, saya tidak mengetahui dia ke sini kapan! Mbolang kok disuruh pulang!
anak jalanan 4 : nak ora enek sms wae. kalau tidak ada sms saja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
Bentuk ujaran berupa kata, kalimat dan beberapa kalimat umpatan.
Bentuk ujaran itu seperti,
Selain itu, beberapa pemilihan diksi untuk memperkjelas kalimat
dan mengaitkan antar anak jalanan, termasuk di dalamnya menggunakan
register lainnya. Nada, cara penyampaiannya, dan semangat dalam
mengucapkan dan berbincang satu anak jalanan dengan anak jalanan lain
terkesan datar, tidak ada penekanana yang berarti maupun memengaruhi
makna kata ataupun kalimat yang diucapkan.
Peristiwa tutur ini menggunakan jalur percakapan secara lisan. Pada
jalur ini banyak yang berbicara, namun yang diambil yang memiliki
keterkaitan dengan tema dan anak jalanan yang berpengaruh saja,
beberapa audien yang tidak memengaruhi makna dan kosakata dari anak
jalanan lainnya, tidak digunakan. Tidak ada pelanggaran norma yang
terlihat secara nyata, maupun tersirat. Karena percakapan bersifat kejadian
datar tanpa konflik, maka anak jalanan satu dengan yang lain tidak ada
kegiatan atau peristiwa yang mengganggu. Anak jalanan satu dengan yang
lainnya hormat-menghormati. Jenis atau bentuk penyampaiannya
merupakan dialog realis, yang di dalamnya hanya narasi tanpa ada konflik
yang mendasari. Jadi genres percakapan ini termasuk ke dalam narasi.
m. Kata Nggurke liki makna ditinggalkan sendirian
Nggurke, dalam bahasa masyarakat secara umum berarti
dianggurkan, seperti halnya benda. Berbeda dengan makna register anak
jalanan untuk kata nggurke, adalah istri yang ditinggalkan di rumah
sendirian.
Percakapan ini terjadi pada Senin, 3 Desember 2012. Pukul 17.00
WIB di komplek Perempatan Panggung Motor, depan Yamaha Motor
panggung Jebres terjadi perbincangan anak jalanan yang ditemukannya
penggunaan register yaitu penggunaan kata nggurke.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Keadaan lingkungan sekitar ada beberapa anak jalanan yang sedang
duduk santai dan bercerita dengan lapang satu sama lainnya. keadaan
sore yang sedikit renggang dimanfaatkan anak jalanan untuk saling
mengejek dan bermain alat musik.
(1) Anak Jalanan laki-laki berusia kisaran ± 15 tahun; (2) Anak
Jalanan laki-laki berusia kisaran ± 17 tahun; (3) Anak Jalanan laki-laki
berumur ± 10 tahun. Beberapa anak jalanan lainnya tidak diidentifikasi
karena tidak memengaruhi kegiatan perbincangan satu dengan yang
lainnya. anak jalana saling berbicara hangat tanpa ada beban yang
dibawanya.
Anak jalanan di luar anak jalanan berkegiatan yang berbeda,
beberapa diantaranya masih bermain alat musik, bermain dengan
temannya, ada pula yang tidur. Tujuan pengambilan register nggurke,
pada sebagian besar orang menganggap barang saja yang bisa
dianggurkan, tanpa berkegiatan, namun dalam hal ini untuk memudahkan
anak jalanan lain, dalam berkomunikasi istilah ini keluar sebagai kata
register.
Kata register tersebut untuk megatakan bahwa istri seseorang tidak
ia bawa kemana-mana, hanya tinggal di rumah saja, ia istilahkan sebagai
dianggurkan. Dalam hal ini penggunaan bahasa terkesan kasar dan egois,
anak jalanan 1 : bojomu ing omah gur mbok nggurke, opo ra mesakake? manten istrimu di rumah hanya disia-siakan, apa tidak
kasihan? Pengantin baru. Hahahahhaha
anak jalanan 3 : aku dak melu urun, dak tuku. wani pira? aku ikut menyumbang dong, saya beli. Berani berapa?
anak jalanan 2 : 2.000. gaya mu! 2.000! gaya mu! anak jalanan 3 : Hey! Koe ki ngapa bar umbah2? hey! Kamu
habis nyuci?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
seorang suami yang menganggurkan isterinya karena alasan yang tidak
logis.
Bentuk ujaran yang dipakai adalah akkulturasi bahasa Indonesia
dan bahasa Jawa, kata anggur dalam bahasa Indonesia. Anggur,
menganggur tidak memiliki kegiatan apa-apa yg dapat menghasilkan
uang; tidak melakukan apa-apa; tidak bekerja.
Namun dalam register mampu muncul istilah nggurke yang
bemakna dianggurkan. Nada, cara dan semangat yang ada hanya nada
mengejek, ataupun bentuk bercanda ataupun gurauan yang tidak begitu
jelas.
Pada dua contoh kalimat di atas, termasuk ke dalam nada mengejek.
Percakapan ini terjadi dengan jalur lisan, tanpa jalur lainnya. dengan
register nggurke yang memiliki makna dianggurkan atau dalam bahasa
Jawa dianggurke. Termasuk ke dalam register, karena dianggurke
memiliki makna tidak diajak berhubungan suami-isteri.
Norma yang kurang tegas, menjelaskan bahwa tidak ada pihak yang
melarang ataupun mengingatkan ketika seorang suami mengatakan hal
setega itu kepada isterinya. Namun beberapa teman lainnya hanya
tertawa terbahak-bahak mendengar kaimat tersebut. Hal tersebut
seharusnya menjadi norma dan point tersendiri dalam bergaul, terutama
sudah berumah tangga. Terkesan memalukan ketika didengar oleh orang
lain.
Jenis bentuk penyampain adalah narasi dan deksripsi, yaitu
menarasikan kegiatan seorang anak jalanan kemudian mendeskripsikan
dan mencocokan dengan kehidupan nyata. Seperti mengatakan tentang
sudah menikah, tetapi isterinya didiamkan saja di rumah.
Anak jalanan 1 :aku dak melu urun, dak tuku.
Anak jalanan 2 : wani pira? Anak jalanan 1 : 2.000 gayamu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
n. Kata manten pasangan muda-mudi
Kata manten atau temanten memiliki arti kamus mempelai pria dan
wanita secara sah baik oleh hukum maupun agama. Pada konteks anak
jalanan, kata manten memiliki perbedaan makna, yakni pasangan muda-
mudi yang sedang berpacaran, asalkan sudah melakukan hubungan suami-
istri sudah dapat dikatakan manten.
Percakapan ini terjadi pada Senin, 3 Desember 2012. Pukul 17.00
WIB di perempatan Panggung Motor, depan Yamaha Motor panggung,
Jebres. Terjadi percakapan antaranak jalanan. Keadaan sosial daerah
tersebut cukup ramai oleh kendaraan, selain itu juga beberapa orang lalu-
lalang karena cuaca yang cerah dan nyaman untuk berjalan-jalan. Beberapa
anak jalanan duduk santai dan bercerit satu dengan yang lainnya. satu anak
jalanan dengan yang lain terkesan ramah dan akrab. Namun beberapa kali
terkesan saling tertawa dan dorong-mendorong, hal tersebut ketika
pembicaraan pada ujung.
(1) Anak Jalanan laki-laki berusia ± 15 tahun; (2) Anak Jalanan
laki-laki berusia ± 17 tahun; (3) Anak Jalanan laki-laki dengan usia ± 10
tahun. Selain itu beberapa anak jalanan juga duduk di sekitar lokasi
tersebutm namun tidak berperan aktif dalam perbincangan yang sesuai
dengan yang lainnya.
Percakapan tersebut dengan register manten, yang dalam bahasa
Jawa berarti temanten atau mempelai pria dan wanita. Dalam percakapan
ini bertujuan untuk mengasingkan dua orang yang belum menikah secara
hukum, tetapi sudah dikatakan mempelai. Hal tersebut diidentifikasikan
dari jari tangannya yang tidak mengenakan cincin dan usia yang relatif
masih muda. Ketika diminta klarifikasi dari orang yang bersangkutan,
juga mengaku belum menikah.
Ujaran yang digunakan bersifat terbuka dan beberapa register yang
digunakan masih bersifat umum. Topik pembicaraan mengenai
ketidakharmonisan hubungan dua orang yang sedang memadu kasih,
tanpa pernikahan secara hukum, namun mungkin sudah secara agama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Tidak ada nada yang terlihat secara jelas, namun beberapa nada
mengejek, tertawa, seperti pada
Mengacu pada jalur lisan percakapan tersebut, karena diliihat dari
kejadian nyata yang ada di masyarakat. Bentuk ujaran yang lainnya juga
beberapa kata yang kasar dan semantiknya tidak masuk katagori kata yang
halus. Beberapa pemaknaan kata cukup dalam, seperti halnya wanita yang
berstatus pasangan, namun ditinggalkan karena bawel. Beberpa hal lain,
seperti wanita yang dianggurkan,, dan diceritakan kepada kawan yang
seyogyanya merupakan aib pribadi. Jenis dan bentuk penyampaiannya
secara narasi dan deskripsi cerita. Karena mengandung alur cerita setiap
anak jalanan, baik anak jalanan 1, anak jalanan 2 maupun yang lainnya.
o. Kata rabi bersetubuh
Kata rabi memiliki perbedaan makna antara makna dalam kamus
dan register anak jalanan. Rabi yang berkembang di masyarakat secara luas
berarti pernikahan. Sedangkan dalam konteks di bawah ini, rrabi memiliki
makna persetubuhan antara sepasang kekasih. Ditemukan penggunaan kata
rabi pada percakapan di bawah ini.
Anak jalanan 1 : Bajamu ing omah gur mbok nggurke, opo ra mesakake? Manten . istrimu di rumah hanya disia-siakan, apa
tidak kasihan? Pengantin baru. Hahahahhaha
Anak jalanan 2 : Oalah Mbang, Mbang, bajane pengen rabi malah ditinggal liyane adhem-adhem bajane dikeloni. Oallah mbang, mbang! Istri inginnya bersetubuh kok dibiarkan, yang lain saja dingin-dingin dipeluk
Anak jalanan 3 : Aku dak melu urun, dak tuku. Wani pira? aku ikut menyumbang dong, saya beli.
Berani berapa?
opo ra mesakake? manten
Anak jalanan lain: hahahaahhahahaha
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Percakapan terjadi pada hari Senin, 3 Desember 2012, pukul 17.00
WIB. Kompleks Perempatan Panggung Motor, depan Yamaha Motor
panggung, Jebres, Surakarta. ± 300 meter sebelah utara Pasar Gedhe,
Surakarta. Kondisi ramai oleh motor yang berlalu-lalang dengan keadaan
kota yang mulai sore, anak jalanan saling menggerombol dan bercerita. (1)
Anak Jalanan laki-laki dengan usia ± 15 tahun; (2) Anak Jalanan laki-laki
dengan usia ± 17 tahun; (3) Anak Jalanan laki-laki berumur ± 10 tahun.
Beberapa anak jalanan sedang bercerita satu dengan yang lainnya. Salah
satu anak jalanan menjadi objek perbincangan, yang menceritakan tentang
isterinya yang hanya di rumah saja.
Penggunaan register rabi digunakan anak jalanan untuk
menunjukan kata kerja, yaitu bersetubuh antara suami-isteri. Tujuan
secara umum, adalah ajang berceita secara pribadi anak jalanan satu yang
menceritakan banyak hal tentang kehidupan pribadinya. Tujuan tersebut
melebar hingga ia menceritakan hal yang tidak ia sukai dari isterinya,
padahal itu tidak baik.
Bentuk ujaran dalam konteks ini adalah kata perkata yang telah
disingkat dan dipadatkan serta ujaran tersebut hanya dipahami segolongan
anak jalanan saja. Seperti nggurke dan lainnya, namun beberapa istilah
ada di masyarkat, namun pemaknaan dari anak jalanan pun berbeda.
Nada, cara dan semangat sama dengan analisis sebelumnya
menggunakan nada yang mengejek namun santai, jadi tidak ada konflik
antar satu anak jalanan dengan anak jalanan lainnya. beberapa kali
ditunjukkan ekspresi sedih dan tidak puas akan sesuatu.
Jalur bahasa yang digunakan untuk bercakap satu dengan yang
lainnya, ketika anak jalanan bercakap dengan anak jalanan lain, mereka
Anak jalanan : aku dak melu urun, dak tuku. wani pira? iuran ya? Saya beli, berani berapa?
Anak jalanan : Hey! Koe ki ngapa bar umbah2? selesai mencuci ya?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
berada di tugu traffic-light dengan jalur lisan. Tidak ada instrument atau
jalur lainnya.
Penggunaan kata rabi pada anak jalanan berbeda dengan konsep
rabi masyarakat umum, rabi untuk masyarakat umum adalah menikah
secara hukum dan agama. Sedangkan menurut anak jalanan, istilah rabi
bermaksudkan bersetubuh antar pria dan wanita, seperti pasangan suami-
isteri.
Penggunaan istilah rabi oleh anak jalanan 2 menunjukkan bahwa
setiap anak jalanan tidak memiliki norma yang mengatur percakapannya.
Tidak ada sikap yang baik untuk membenarkan ataupun mengkritisi
kesalahan norma berbahasa pada lawan bicaranya. Anak jalanan tidak
memiliki norma atau aturan yang mampu membatasinya dalam
berkomunikasi satu dengan yang lainnya.
Jenis bentuk penyampaian adalah narasi dan deksripsi, yaitu
menarasikan kegiatan seorang anak jalanan. Seperti mengatakan tentang
sudah menikah, tetapi isterinya didiamkan saja di rumah. Selain itu
penyelewengan arti dan semantik dari kata rabi yang berubah.
p. Kata kerja mengamen, mengemis, dan melakukan
berbagai hal dalam bentuk apapun untuk mendapatkan uang
Kata kerja untuk sebagian orang bermakna mencari uang di suatu
tempat secara rutin. Sedangkan makna untuk register kerja anak jalanan
adalah mengamen, mengemis, dan melakukan berbagai hal dalam bentuk
apapun untuk mendapatkan uang.
Penggunaan kata kerja ditemukan pada perbincangan anak jalanan
pada hari Rabu, 5 Desember 2012, pukul 20.00 WIB di Tugu perempatan
Jimbaran Radio, Surakarta. Situasi percakapan pada malam hari dengan
kondisi yang ramai, dan kondisi jalanan padat. Saat itu ada beberapa anak
jalanan yang mengamen dan mengemis di beberapa tugu traffic-light.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
(1) Anak Jalanan laki-laki berusia ± 10 tahun, anak tersebut
bernama Marsono. Beberapa anak jalan lainnya dari kejauhan mengamati
dan melihat percakapan antara partisipan dan anak jalanan, namun tidak
bertindak aktif. Register yang digunakan adalah kata kerja atau dalam
bahasa Indonesia disebut kerja. Dalam situasi ini, anak jalanan
menganggap kegiatannya adalah sebuah pekerjaan yang harus diselesaikan
dan mendapatkan uang baik itu laba, upah sebagai pengganti jerih-
payahnya. Menurut asumsi publik, kegiatan yang dilakukan anak jalanan
saat ini masih sebatas mengamen dan meminta-minta.
Bentuk ujaran yang digunakan adalah kata, kalimat dan kalimat
tanya. Seperti menanyakan keberadaan anak jalanan, serta mampu
mnejawab pertanyaan yang dilontarkan oleh anak jalanan, dan mampu
menjawab dengan benar.
Nada, cara dan semangat dalam menjawab pertanyaan bersifat
reseptif, dan sedikit ada semangat. Pada saat bertanya, sudah menggunakan
tekanan ketika bertanya, nada naik dengan benar. Kegiatan anak jalanan
ketika ditanyai sesuatu, tidak bisa berdiam diri. Ia melakukan kegiatan
ekstra seperti memetik gitar, sambil jalan-jalan tanpa arah, dan kegiatan
lainnya.
Kegiatan dan peristiwa tutur ini berjalan dengan baik dengan jalur
lisan sebagai cara pengambilan datanya. Register yang ada adalah kerja
yang memiliki arti bekerja, dalam hal ini identifikasi kata bekerja pada
anak jalanan dan pada lingkungan masyarakat adalah berbeda. Jadi,
anak jalanan 1 : kowe ki ngapa neng kene ? Aku ki lagi kerja. kamu ngapain disini? Aku baru kerja
partisipan 1 : Ora opo-opo. Ora masar opo piye? idak apa-apa! Tidak ke pasar atau gimana?
anak jalanan 1 : Ora lha wong adhem tenan kok! idak, ini dingin sekali kok
partisipan 1 : Gek kono kerjao aku tak neng kene. udah, ke sana saja, aku di sini
anak jalanan 1 : wegah tidak mau partisipan 1 : Yowis aku tak lunga! ya sudah aku pergi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
masyarakat belum tentu mampu menerima istilah anak jalanan sebagai
bekerja.
Secara normatif, tidak ada pelanggaran norma yang terjadi.
Dikarenakan anak jalanan masih menggunakan bahasa yang wajar dalam
bergaul dan berinteraksi. Namun adakalanya, jika dipermasalahkan, anak
jalanan yang menggunakan bahasa sehari-hari dan berbicara dengan yang
lebih tua tidak menggunakan bahasa yang baik kepada yang lebih tua.
Jenis peristiwa tutur ini adalah wawancara secara relaistis dari
pertanyaan dan klarifikasi register yang dipakai dalam keseharian anak
jalanan.
Meskipun klarifikasi bersifat singkat, namun setidaknya anak
jalanan paham dan mengerti makna yang disampaikan oleg partisipan
dalam konteks tersebut. selain itu juga sebagai bentuk klarifikasi
penggunaan bahasa pada anak jalanan yang satu dan anak jalanan yang
lainnya apakah juga mengerti dan paham dengan tutuan anak jalanan yang
lainnya.
q. Kata kawasan pembagian lokasi kerja dan bos
penguasa pemimpin
Ditemukan penggunaan kata kawasan dan bos pada perbincangan
anak jalanan yang terjadi pada hari Sabtu, 8 Desember 2012. Pukul 15.00
WIB. Kompleks Teras Panggung Motor (Yamaha), Jebres, Surakarta pada
sebelah utara, berdampingan dengan jalan utama Panggung. (1) Anak
Jalanan laki-laki dengan usia ± 10 tahun bernama Slamet Irianjaya
Pertanyaannya : Ora masar opo piye?
Dan jawabannya : Ora lha wong adhem tenan kok!
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Tujuan dari peristiwa tutur tersebut untuk menggali informasi
mengenai register yang dipakai oleh anak jalanan lain. Namun di sisi lain,
anak jalanan tidak mengerti bahwa anak tersebut ditanya mengenai
penggunaan bahasa anak jalanan lainnya. Tujuan penggunaan register
pada kata kawasan adalah untuk mengetahui batasan kawasan beroperasi
anak jalanan dalam satu daerah.
Dari peristiwa tutur ini di dapatkan, batasan wilayah untuk daerah
Panggung dan Pasar Ledoksari, Kecamatan Jebres, Surakarta. Dengan
diketahuinya batasan penggunaan baik dari anak jalanan (Slamet Irianjaya)
dan anak jalanan lainnya, maka diketahui bahwa pemaknaan istilah
kawasan serupa dengan pemaknaan kata daerah kekuasaan. Selain itu,
penggunaan kata kawaan pada anak jalanan satu dengan yang lainnya
memiliki persamaan persepsi.
Penggunaan kata bos, merupakan orang yang telah membimbing
anak jalanan berada di jalanan. Anak jalanan tidak beroperasi sendirian,
namun mereka dimonitori oleh seorang bos. Meskipun dalam peristiwa
tutur ini tidak mampu digali siapa bos di kawasan Panggung, namun
setidaknya pengertian bos untuk anak jalanan memiliki persepsi yang
berbeda dengan masyarakat secara umum.
Bentuk ujaran berupa kalimat dan jawaban atas pertanyaan. Kalimat
seperti, anak jalanan mampu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh
partisipan.
partisipan 1 : Pasar, Panggung, kawasan ngono kui batase opo ta? Pasar, Panggung, Kawasan seperti itu batasannya apa ta?
anak jalanan 1 : Ya, kui rel kreta! Gek cedhak pasar, perempatan ngono kui jenenge wis beda mas! Ya, ada rel kereta! Kalau enggak, dekat pasar! Di dekat perempatan! Namanya sudah beda!
partisipan 1 : Bos ki opo ta? bos itu artinya apa ta? anak jalanan 1 : Bos ki sing mbimbing bos itu
pembimbing!
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
Topik pembicaraan adalah klarifikasi dari register anak jalanan
yang diklarifikasikan di tempat yang berbeda. Topik secara eksplisit
menceritakan tentang kawasan tempat anak jalanan beroperasi dan
pengertian dari kata bos. Anak jalanan bersikap responsif dan menanggapi
dengan baik pertanyaan dan tuturan dari partisipan.
Jalur digunakan peristiwa tutur ini adalah jalur lisan, karena bentuk
interaksi ini wawancara semu. Anak jalanan ditemui ketika sedang
beroperasi dan diajak berinteraksi untuk mendapatkan informasi yang
dibutuhkan. Register yang dipakai adalah kata kawasan dan bos. Kawasan
memiliki makna yang sempit, yaitu daerah kekuasaan dan lokasi
beroperasi anak jalanan, sedangkan bos memiliki arti seorang pembimbing
yang memonitori kegiatan anak jalanan di jalan.
Norma pembicaraan antara anak jalanan dan partisipan adalah
pembicaraan antar generasi yang berbeda. Namun tidak ada pembedaan
diksi dan kalimat ketika anak jalanan berinteraksi dengan seseorang yang
lebih tua. Norma tersebut adalah gambaran kecil anak jalanan di satu
kawasan.
Bentuk peristiwa tuturan pada konteks ini adalah eksplorasi dan
narasi. Anak jalanan menjawab pertanyaan dan menceritakan apa yang
diketahuinya tanpa mengetahui adanya wawancara dan menggali
informasi.
r. Kata mulih tidur
Makna kata mulih yang secara umum dipahami oleh masayrakat
adalah pulang ke rumah, sedangkan dalam register anak jalanan, mulih
berarti tidur. Entah dimana dan kapan waktunya, asalkan ia bisa tidur dan
beristirahat itu dinamakan mulih.
Ditemukan penggunaan kata mulih pada percakapan anak jalanan
pada hari Senin, 10 Desember 2012. Pukul 15.00 WIB di teras Panggung
Motor (Yamaha), Jebres. Situasi di sekitar teras Panggung Motor (Yamaha)
partisipan 1 :Bos ki opo ta? bos itu artinya apa ta? anak jalanan 1 :Bos ki sing mbimbing bos itu pembimbing!
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
ramai dan bising oleh kendaraan bermotor sedangkan cuaca cerah.
Beberapa anak jalanan masih berlalu lalang di jalanan. Kegiatan anak
jalanan adalah mengamen, meminta-minta dan menjual koran.
(1) Anak Jalanan laki-laki denga usia ± 8 tahun; (2) Anak Jalanan
perempuan (bernama Tugi) dengan usia kisaran ± 10 tahun. Ketika
peristiwa tutur berlangsung anak jalanan tersebut sendirian, namun selang
beberapa waktu, datang Tugi (anak jalanan (2) yang mengikuti jalannya
peristiwa tutur yang sedang berlangsung. Ada dua anak jalanan yang
menjadi nara sumber dan objek penelitian, namun selain itu ada pula anak
jalanan yang duduk-duduk dan bernyanyi, namun tidak sebagi objek
penelitian.
Tujuan dari penggunaan register mulih untuk mengidentifikasikan
bahwa anak jalanan pulang ketika dia tidur saja, dan tempat pulang bagi
anak jalanan tersebut adalah tempat tidur yang ia pakai untuk istirahat.
Anak jalanan mengidentifikasikan dirinya ingin pulang ke tempat tidur dan
istirahat.
Penggunaan register mulih atau pulang menunjukkan aktivitas anak
jalanan ketika dia pulang hanya tidur saja. Dilihat dari kondisi anak jalanan
ketika pulang saat dia sudah merasa kantuk, dan akan tidur ketika sampai
di rumah. Bentuk tuturan anak jalanan tersebut adalah beberapa kata,
kalimat pernyataan, dan kalimat tanya. Contohnya,
Mlaku? Mulih nengdi? alan kaki? Kemana? anak jalanan 1 Turu tidur!
partisipan 1 : Kerja kono lho. kerja sana lho! anak jalanan 1 : Lha aku bar iki mulih lho Lha saya setelah ini pulang
lho! partisipan 1 : Mlaku? Mulih nengdi? jalan kaki? Kemana? anak jalanan 1 : Turu tidur!
partisipan 2 : Ora tau sekolah meneh? tidak pernah sekolah lagi?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
Variasi penggunaan bahasa pada anak jalanan, serta anak jalanan
mengerti penggunaan kalimat tertentu untuk maksud tertentu. Contohnya
kalimat perintah dengan tujuan untuk memerintah, kalimat tanya untuk
bertanya, kata berdiri sendiri untuk menjawab pertanyaan.
Penggunaan nada juga terlihat pada beberapa konteks kalimat yang
dipakai oleh anak jalanan, seperti ketika itu ada beberapa anak jalanan
yang lebih dewasa menghampiri anak jalanan ini, dan anak tersebut terlihat
takut.
Jalur yang digunakan dalam peristiwa tutur ini adalah jalur lisan,
karena penggunaan dan pemakaian bahasa lisan sebagai sarana utama
perbincangan. Selain itu penggunaan register terdengar ketika anak jalanan
mulih
ke Pasar Ledoksari untuk beristirahat (tidur).
Bentuk peristiwa tutur pada konteks ini mengacu pada eksplorasi
dan narasi. Percakapan terjadi secara natural, ketika anak jalanan bertemu
dengan anak jalanan lainnya. Eksplorasi, karena anak jalanan ketika
ditanya perihal nama anak perempuan tersebut, ia menjawab pertanyaannya
Ora tau sekolah meneh? (tidak pernah sekolah lagi?) oleh anak jalanan
dijawab seperti pada kartu data di bawah ini.
Takut :
anak jalanan 1 : Kae lho sing neng kono mengko dha rhene nak kowe neng kene, dikira bosku! itu lho, yang di sana, nanti mereka ke sini kalau kamu di sini! Nanti kamu dikira bos saya!
anak jalanan 1 : Kowe mulih wae yo? kamu pulang aja ya? Kata : anak jalanan 2 : eko Kalimat pernyataan : anak jalanan 1 : Lha aku bar iki mulih lho Lha saya setelah
ini pulang lho! Kalimat perintah : anak jalanan 1 : heh, ini buat
kakakmu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
Berdasarkan kajian di atas ternyata dalam bahasa anak jalanan
dapat ditemukan register seperti munggah, klimis, masar, pengki, bos,
kawasan, rabi dan sebagainya. beberapa kata tersebut, memiliki makna
leksikal yang sama dengan kamus. Namun, beberapa yang lain merupakan
kata baru, seperti pengki, munggah, masar, dan lainnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan
register pada anak jalanan tergantung pada konteks. Register yang mereka
gunakan mengandung makna yang hanya dapat dipahami oleh komunitas
mereka seperti kata munggah, klimis, suwak, dan kata lainnya.
D. Pembahasan Hasil Penelitian
Penelitian analisis register anak jalanan di Kota Surakarta dengan rumusan
masalah yang pertama berkaitan dengan pendeskripsian karakteristik penggunaan
register pada anak jalanan di Kota Surakarta. Temuan yang didapatkan akan
dianalisis melalui teori Hymes (dalam Bell, 1976:79), yakni analisis SPEAKING.
Kesamaan ciri khusus yang menjurus ke karakateristik register tersebut akan
dikelompokkan. Setelah temuan berkenaan dengan karakteristik register
dipaparkan, pembahasan berikutnya akan berkutat dengan tujuan dari penggunaan
register anak jalanan. Dimungkinkan anak jalanan memiliki tujuan tertentu dalam
menggunakan register tersebut. Setiap temuan yang didapatkan akan digeneralisasi
menjadi beberapa tujuan penggunaan register saja.
Hal semacam ini juga pernah dibahas oleh Fajarwati (2007) yang
memaparkan bahwa di dalam Radio Expose (sebuah acara radio di Solo Radio) ada
karakteristik bahasa, yakni pemakaian kosakata Jawa, pemakaian kosakata bahasa
Inggris, pemakaian kata gaul, singkatan, akronim, dan slang, serta ditemukan pula
pelesapan dan penambahan fonem atau suku kata, dan yang terakhir adalah
pemakaian afiks dialek Jakarta.
bak! sudah selesai liburan m keti Sapa iki jenenge yang ini namannya siapa?
ketika anak jala Ora sekolah de tidak sekolah dek?
Seko
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
Jika penelitian ini dikaitkan dengan temuan Fajarwati (2007) maka ditarik
benang merah, bahwa keduanya didominasi oleh bahasa Jawa. Selain itu, adanya
pelesapan dan penambahan fonem atau terkenal dengan istilah aferesis, sinkope,
dan apokope. Namun sayang, Fajarwati tidak mengungkapkan nilai rasa bahasa
yang ada dalam acara radio tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dibahas
beberapa temuan dari karakteristik dan tujuan penggunaan register anak jalanan di
Kota Surakarta yakni sebagai berikut.
1. Karakteristik Register Anak Jalanan
Dalam menjawab rumusan masalah penelitian register anak jalanan di
Kota Surakarta ini, akan dibahas bentuk dan karakteristik register yang
berkembang dalam komunitas anak jalanan Kota Surakarta. Karakteristik yang
dimiliki oleh bahasa anak jalanan ternyata didukung pula oleh penelitian
Kuswarno (2009:90) yang menyatakan bahwa bahasa verbal dan nonverbal
yang digunakan oleh anak jalanan diduga memiliki karakteristik yang khas.
Kuswarno menambahkan pula, bahwa hakikat komunitas anak jalanan pada
umumnya, dunia pengemis memiliki budaya yang mereka ciptakan sendiri
yang meliputi seluruh perangkat tata nilai dan perilaku mereka yang unik.
Konsep utama register dalam Parera (1993:133) adalah variasi dalam
tutur yang digunakan oleh sekelompok orang tertentu dengan profesi dan
perhatian yang sama. Sekelompok yang dimaksud dari teori ini adalah
kelompok anak jalanan di Kota Surakarta. Sedangkan variasi tersebut hanya
diketahui komunitas atau kelompok itu saja. Dalam bagian penutup penelitian
Lestari (2011) jelas dipaparkan, bahwa karakteristik pemakaian bahasa
pengamen tidak terlepas dari wujud interaksinya dengan orang lain. Ditemukan
pula, pilihan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi adalah bahasa Jawa,
bahasa Indonesia, bahasa campuran Jawa-Indonesia, terkadang ada pula
campuran dengan bahasa Inggris.
Keberagaman penggunaan bahasa dan temuan dalam penelitian ini
mampu membentuk beberapa pola dari hasil temuan penelitian. Dari pola
tersebut dibuatlah beberapa simpulan berkenaan dengan hasil temuan
penelitian. Karakteristik register adalah satu bentukan kesamaan dari beberapa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
temuan. Kekhasan dalam bahasa anak jalanan ini pun dibahasa dalam
penelitian Faturrokhman (2000) yang menyatakan bahwa anak jalanan
mempunyai perilaku komunikasi yang berbeda dengan masyarakat pada
umumnya. Pola komunikasi verbal mereka cenderung lebih lugas, dan banyak
terdiri dari istilah-istilah yang dibuat oleh kelompok sebagai penegas identitas
kelompoknya sedangkan untuk pola komunikasi nonverbal, anak jalanan lebih
ekspresif dalam mengungkapankan perasaannya.
Karakteristik yang ditemukan dari analisis ini dominasi penggunaan
bahasa Jawa, terjadi pergeseran dan perubahan makna kata, menggunakan
kata--kata bentuk ringkas, penggunaan kata-kata bermakna kasar, dalam
percakapan antaranak jalanan, juga ditemukan lagi dua karakteristik bahasa
anak jalanan di Kota Surakarta, yakni adanya pengalihan kode dan
pencampuran kode, serta ragam bahasa yang dipakai oleh anak jalanan ketika
berkoomunikasi satu dengan yang lainnya adalah ragam intim. Fenomena
penggunaan alih kode secara umum menggunakan bahasa tujuan yakni bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris. Sedangkan pemilihan ragam bahasa yang dipilih
adalah ragam bahasa intim atau akrab. Hal ini mengingat mereka memiliki
profesi yang sama dan kebersamaan dalam profesi tersebut.
a. Umumnya menggunakan bahasa Jawa
Penggunaan bahasa Jawa dominan di kalangan anak jalanan kota
Surakarta. Meskipun dalam beberapa konteks ada pula penggunaan bahasa
dari bahasa asing. Alasan utama dominasi penggunaan bahasa Jawa karena
sebagian anak jalanan berasal dari daerah sekitar Kota Surakarta. Hal ini
jika dikaitkan dengan daerah asal yang pada umumnya berasal dari Jawa
Tengah dan sekitanya akan memiliki pemahaman bahasa yang sama.
Bahasa jawa yang dominan tentu saja bukan bahasa Jawa yang sesuai
dengan unggah-ungguh dalam bahasa Jawa.
Karakteristik register anak jalanan yang kedua ini senada dengan
temuan dari penelitian Purnanto (2002) yang ditulis menjadi sebuah buku,
yang menyebutkan bahwa di dalam berinteraksi secara lisan dipilih bahasa
Jawa dengan tingkat tutur ngoko antarsesama pialang, ataupun yang lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
tua. Bertumpu dari pendapat Purnanto, bahwa kaitannya dengan register
dalam masyarakat Surakarta, pada umumnya ada dominasi penggunaan
bahasa Jawa dalam keseharian maupun dalam register tersebut.
Di sisi lain, penggunaan bahasa Jawa yang notabene selalu digunakan
sehari-hari merupakan bahasa ibu sebagian besar anak jalanan di Kota
Surakarta. Sebagai contohnya kata Ngalor yang memiliki makna dalam
kamus pergi ke arah utara, namun pada penggunaan register anak jalanan
memiliki makna berbeda, yakni pergi ke warung makan. Selain itu juga
kata suwak yang memiliki arti bodoh, sedangkan kata manggung bukan
lagi berarti naik ke atas panggung dan bernyanyi, namun makna manggung
adalah pergi ke daerah Panggung untuk mencari nafkah. Selain kedua kata
tersebut, ada pula kata munggah, medhun, mulih, rampung, rabi, dan
contoh lainnya. Dari beberapa kata di atas mampu mewakili data utama,
bahwa anak jalanan memiliki dominasi penggunaan bahasa adalah bahasa
Jawa.
Karena bahasa Jawa sebagai bahasa yang dominan, tentu saja ada pula
penggunaan bahasa lain yang juga dipakai oleh anak jalanan. Contoh lain
pemahaman bahasa anak jalanan di luar bahasa jawa adalah bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris yang lebih jelasnya akan dijelaskan pada alih
kode dan campur kode.
b. Ada Perubahan dan Pergeseran Makna Harfiah
Makna harfiah sebuah kata dapat dilihat berdasarkan kamus bahasa
tersebut. Berbeda halnya dengan register yang memiliki pemaknaan
berbeda dengan makna harfiah tersebut. Register memiliki pemaknaan
yang hanya diketahui oleh komunitas tertentu. Karakteristik yang pertama
dari kajian register anak jalanan Kota Surakarta adalah adanya pergeseran
atau perubahan makna.
Pergeseran makna yang dimaksudkan di atas adalah perbedaan makna
register dengan makna harfiahnya. Namun makna tersebut hanya bergeser,
tidak berubah secara drastis. Hal ini tampak pada kata register ndhes, bos,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
kawasan, suwak, rampung, nggurke, dan kerja. Kata-kata tersebut tidak
mengalami perubahan makna, hanya saja kata tersebut tidak memiliki
makna yang sejajar dengan makna harfiahnya.
Selain pergeseran makna, dalam register anak jalanan, ada pula kata
register yang mengalami perubahan makna. Perubahan makna tersebut
antara lain, klimis, ahai, ngalor, pengki, munggah, nyepur, medhun,
ngampung, manggung, masar, ngleseh, colut, bolo, manten, rabi, kerja, dan
mulih. Dari kata yang disebutkan sebelumnya, kata-kata tersebut
mengalami perubahan makna. Contohnya adalah kata pengki yang makna
sebenarnya adalah keranjang sampah bergeser menjadi anak buah. Selain
itu, pada kata manggung, ngampung, masar, ngleseh, nyepur, medhun juga
mengalami perubahan makna menjadi makna baru.
Pada hakikatnya karakteristik register yang paling utama adalah adanya
pergeseran dan perubahan makna harfiah sebuah kata menjadi kata yang
memiliki makna baru dan hanya diketahui oleh komunitas itu saja.
Perubahan makna tersebut menjadikan register anak jalanan tidak dimiliki
dalam komunitas lainnya. Hal ini selaras dengan pendapat Wardaugh
(dalam Purnanto, 2002) bahwa sebuah register hakikatnya sebagai
pemakaian kosakata khusus yang berkaitan dengan jenis pekerjaan maupun
kelompok tertentu.
c. Menggunakan kata-kata bentuk ringkas
Ada pula penggunaan bentuk ringkas dalam komunikasi antaranak
jalanan. Penggunaan bentuk ringkas tersebut tidak hanya pada susunan kata
berimbuhan saja, namun juga dua kata atau lebih yag terwakili oleh satu
kata dalam register. Bentuk ringkas dirasa lebih praktis dan nyaman
digunakan daripada menggunakan bentuk lengkap yang memiliki arti sama.
Sebagian anak jalanan merasa pentingnya komunikasi terletak pada
kesesuaian pemahaman terhadap satu bahasa. Bentukan ringkas yang
dipakai oleh anak jalanan terlihat praktis dan lebih aplikatif bagi mereka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
Dalam Sutardjo (2008:50) terdapat pengkajian berkenaan dengan
pengurangan atau penanggalan suku kata awal dalam sebuah kata. Sutardjo
menjelaskan, pengurangan suku kata adalah sebuah bentuk peringkasan
yang tidak mengubah makna kata tersebut. Dalam bukunya, Sutardjo
membagi pengurangan suku kata menjadi tiga yakni aferesis, sinkope, dan
apokope.
Selaras dengan penelitian ini, Purnanto (2002) dalam peneletiannya
juga menemukan salah satu karakteristik register dalam pialang kendaraan
bermotor adalah pembentukkan kata antara lain ditemukan adanya
penyingkatan kata, bentuk pemendekan atau kontraksi sebagai salah satu
pembentukan kata dalam bahasa. Jika ditarik benang merah antara
penelitian ini dan temuan dari Purnanto, keduanya saling berkaitan pada
penggunaan bentuk ringkas. Dalam komunikasi antaranggota kelompok,
anggota kelompok akan menggunakan bahasa yang lebih ringkas dan lebih
mudah dicerna antaranggota kelompok tersebut.
Aferesis adalah pengurangan suku kata di awal kata, dicontohkan
kakang menjadi kang, bapak menjadi pak, simbah menjadi mbah.
Sedangkan sinkope, merupakan pengurangan suku kata di tengah-tengah
kata, dicontohkan, dhuwit menjadi dhit, sethithik menjadi sithik, dan njaluk
menjadi njuk. Apokop adalah pengurangan suku kata pada akhir kata.
Dhimas menjadi dhi, kakang menjadi kak, dan mbakyu menjadi mbak.
Contoh penggunaan bentuk ringkas antara lain nggurke, dalam bahasa
masyarakat secara umum berarti dianggurkan, namun dalam analisis
register berarti istri yang ditinggalkan sendiri di rumah. Selain kata
nggurke, adapula kata thole, menyang endi, ora, iki, akon, munyuk, embuh,
asu, ora usah, dinggurke, dhuwit, sethithik, dan mbakyu. Bentuk ringkas ini
seharusnya sama sekali tidak merubah makna dalam kalimat tersebut.
Bentuk ringkas dalam percakapan anak jalanan dapat diklasifikasikan
dalam tiga bentuk yakni aferesis, sinkope, dan apokope. Dari ketiga jenis
tersebut, paling banyak ditemui di aferesis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
Tabel 3. Karakteristik register bentuk ringkas
Jenis
Pengurangan
Suku Kata
Kata Asal Kata
Bentukan
Aferesis Thole le
menyang
endi
nyangdi/
nangdi/
nengdi
ora/iki/akon ra/ki/kon
Munyuk nyuk
Embuh mbuh
Asu su
ora usah orasah
Dianggurkak
e
dinggurke
Sinkope Dhuwit dhit/
det
Sethithik sithik
Apokope Mbakyu mbak
d. Menggunakan kata bermakna kasar
Penggunaan bahasa Jawa yang diterapkan anak jalanan adalah bahasa
ngoko kasar. Dalam undha usuk basa Jawa, terdapat Basa Jawa Ngoko dan
Basa Jawa Krama. Pada masyarakat umumnya, ketika berinteraksi dengan
yang lebih tua, maka menggunakan krama, sedangkan dengan sejawat
menggunakan ngoko.
Penggunaan bahasa Jawa Krama dalam register anak jalanan ternyata
disependapati oleh penelitian dari Lestari (2011). Bertumpu dari temuan
dan simpulan Lestari, yang menyatakan bahwa pola interaksi verbal
pengamen menggunakan bahasa Jawa. Tampak dari data yang
disajikannya, bahwa bahasa yang dipergunakan antarpengamen adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
bahasa Jawa ngoko. Fenomena dalam anak jalanan, sebagian besar mereka
menggunakan ngoko dengan setiap lawan bicara. Hal ini karena mereka
merupakan kaum tidak berpendidikan dan mereka tidak memiliki
pengetahuan tentang norma lingkungannya.
Fenomena dalam anak jalanan, sebagian besar mereka menggunakan
ngoko pada setiap lawan bicara. Hal ini karena mereka merupakan kaum
tidak berpendidikan. Selain itu, lingkungan mendukung adanya
penyelewengan dan ketidakpedulian terhadap satu sikap yang salah. Ini
selaras dengan penemuan Faturrokhman (2000) bahwa hal yang paling
menonjol dalam kajian anak jalanannya adalah, perilaku komunikasi anak
jalanan sama sekali tidak mengindahkan norma, aturan, ataupun tata krama
yang berlaku di masyarakat. Hal yang terpenting bagi mereka adalah
mempertahankan identitas kelompok, sebagai sikap pembenaran dari
masyarakat yang mengucilkan anak jalanan.
Penyelewengan dan ketidakpedulian tersebut mampu merangsang anak
jalanan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami dari
maksud dan tujuan pelafalan. Namun, beberapa kata menunjukkan dan
mengidentifikasikan kehidupan anak jalanan, sepeti cangkem; manungsa
kae. Aspek-aspek makna dalam semantik menurut Pateda ada empat hal,
yaitu :
1) Pengertian (sense) pengertian disebut juga dengan tema. Pengertian
ini dapat dicapai apabila pembicara dengan lawan bicaranya atau
antara penulis dengan pembaca mempunyai kesamaan bahasa yang
digunakan atau disepakati bersama. Lyons (dalam Pateda, 2001:92)
mengatakan bahwa pengertian (sense) adalah sistem hubungan-
hubungan yang berbeda dengan kata lain di dalam kosakata.
2) Nilai rasa (feeling) Aspek makna yang berhubungan dengan nilai
rasa berkaitan dengan sikap pembicara terhadap hal yang
dibicarakan. Dengan kata lain, nilai rasa yang berkaitan dengan
makna adalah kata-kata yang berhubungan dengan perasaan, baik
yang berhubungan dengan dorongan maupun penilaian. Jadi, setiap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
kata mempunyai makna yang berhubungan dengan nilai rasa dan
setiap kata mempunyai makna yang berhubungan dengan perasaan.
3) Nada (tone) Aspek makna nada menurut Shipley adalah sikap
pembicara terhadap kawan bicara ( dalam Pateda, 2001:94). Aspek
nada berhubungan pula dengan aspek makna yang bernilai rasa.
Dengan kata lain, hubungan antara pembicara dengan pendengar
akan menentukan sikap yang tercermin dalam kata-kata yang
digunakan.
4) Maksud (intention)
Aspek maksud menurut Shipley (dalam Pateda, 2001: 95)
merupakan maksud senang atau tidak senang, efek usaha keras
yang dilaksanakan.
Pengungkapan penggunaan kata-kata yang kasar menunjukkan
kondisi anak jalanan yang keras, suwak sebagai bentuk ejekan.
Selain itu ada pula kata rabi yang lebih memperhalus makna dari
bersetubuh.
Tabel 4. Karakteristik register Penggunaan Kata Kasar
No. Kata register Nilai rasa
1. suwak Nilai rasa untuk kata suwak kasar, memaknai
lawan bicara yang lebih dari sekadar bodoh.
2. klimis Kata klimis yang sejatinya memiliki arti rapi,
berubah arti menjadi bentuk yang berantakan,
tidak teratur, dan tidak sedap dipandang mata.
3. ndhes Ndhes merupakan kata gantian untuk cah.
Kata ini memiliki nilai rasa yang kasar, karena
pada umumnya digunakan untuk preman
(bahasa preman).
4. rabi Rabi untuk memaknai persetubuhan lebih
lembut. Pada biasanya, penggunaan kata
untuk persetubuhan adalah kawin. Kata kawin
jauh lebih kasar dibandingkan rabi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
5. pengki Berarti bawahan, atau anak buah. Pengki
memiliki makna yang lebih halus daripada
bawahan, atau suruhan. Oleh karena itu, kata
ini memiliki perluasan makna yang lebih
halus.
Dari sekian kata di atas, masih ada banyak kata lain dalam
percakapan anak jalanan yang memiliki makna kasar ataupun
makna kata halus.
e. Ada peristiwa alih kode dan campur kode
Menilik pada hasil penelitian ini, ditemukan adanya fenomena alih
kode dan campur kode. Alih kode dan campur kode merupakan peristiwa
pergantian bahasa yang digunakan dalam keseharian. Perubahan ragam
santai menjadi ragam resmi, atau juga ragam resmi ke raham santai disebut
dengan istilah alih kode. Sedangkan, menurut Appel (dalam Chaer, 2004)
menyatakan bahwa gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan
situasi inilah yang disebut dengan alih kode. Sedangkan pengertian dari
campur kode tidak jauh berbeda dengan alih kode, pembedanya adalah
campur kode cukup memiliki kata atau klausa yang mengandung bahasa
lain. Jadi pengertian dari alih koden jelas lebih luas dibandingkan dengan
campur kode.
Jika dikaitkan dengan penelitian milik Letari (2011) ditemukan pula
simpulan yang menyatakan bahwa ditemukan alih kode dan campur kode
dari penelitiannya. Alih kode memang tidak begitu menonjol ketika anak
jalanan berada di antara anak jalanan lainnya, sedangkan alih kode terlihat
begitu jelas ketika anak berada di PPAP Seroja, atau di lembaga
kependidikan yang resmi lainnya.
Berbeda halnya dengan campur kode yang sering sekali muncul dalam
dialog anak jalanan. Anak jalanan menggunakan beberapa istilah dalam
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris untuk menegaskan makna
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
pembicaraannya. Contoh penggunaan kata yang merupakan campur kode
adalah kata swear, fuck, stop, you, oke, cinta itu nggak bisa berbohong,
bos, dan kawasan. Dari sekian contoh kata atau kalimat yang mengandung
alih kode adalah penggunaan bahasa tujuan bahasa Inggris dan Bahasa
Indonesia. Bahasa Inggris meliputi swear, fuck, stop, you, oke. Sedangkan
penggunaan dalam bahasa Indonesia adalah cinta itu nggak bisa
berbohong, bos, dan kawasan. Ini merupakan beberapa contoh saja, dalam
percakapan deskripsi data dapat ditemukan lebih banyak lagi fenomena alih
kode dan campur kode.
Satu lagi penelitian yang membahas adanya penggunaan campur kode
dan alih kode dalam register adalah penelitian Purnanto (2002) yang
menyebutkan bahwa ciri khas pemakaian bahasa pialang juga ditandai oleh
adanya penciptaan kata sebagai kosakata khusus yang diserap dari bahasa
lain. Gejala semacam ini lazim dikosakatakan sebagai campur kode. Dari
pembahasan di atas, maka dapat diambil satu temuan baru bahwa adanya
alih kode dan campur kode dari percakapan antaranak jalanan. Oleh karena
itu, alih kode dan campur kode menjadi satu contoh karakteristik bahasa
anak jalanan di Kota Surakarta.
f. Menggunakan ragam intim
Berdasarkan pada tingkat keformalannya, Chaer (2004) membagi
ragam bahasa menjadi ragam beku, ragam resmi, ragam konsultatif, ragam
santai, dan ragam intim. Setiap ragam bahasa tersebut tentunya memiliki
tingkat formalitas yang berbeda, dan susunan di atas adalah susunan ragam
bahasa jika diurutkan dari yang paling formal menuju paling tidak formal.
Dalam penelitian ini, disimpulkan bahwa salah satu karakteristik
penggunaan register anak jalanan adalah ragam intim.
Ragam intim menurut Chaer (2004) adalah salah satu bentuk ragam
bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sudah
akrab, seperti antaranggora keluarga, antarteman yang sudah karib,
antaranggota komunitas, dan kedekatan lainnya. Ragam jenis ini menurut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
Chaer memiliki ciri yang paling khusus adalah penggunaan kata yang tidak
lengkap, pendek-pendek, dan dengan artikulasi yang kadang tidak jelas.
Selaras dengan temuan Lestari (2011) yang menyatakan bahwa anak
jalanan di Kota Surakarta menggunakan ragam bahasa informal. Ragam
bahasa ini dapat ditunjukkan dengan adanya gejala bahasa aferesis dan
sinkope.
Temuan Lestari dapat dilengkapi dengan penelitian ini yang
menyebutkan adanya penggunaan ragam bahasa informal dalam keseharian
anak jalanan Surakarta. Ini menunjukkan keadaan yang dekat dan intim
antaranak jalanan. Kedekataan tersebut membuat mereka leluasa dalam
menggunakan ragam informal dan intim dalam keseharian mereka. Salah
satu contoh nyatanya adalah penggunaan kata ndhes dalam keseharian
antaranak jalanan adalah bentuk ragam intim. Apabila kata ndhes bukan
register, maka antaranak jalanan akan tersinggung.
2. Tujuan Pemakaian Register
Tujuan pemakaian register dipilih sebagai rumusan masalah yang
kedua, karena tujuan pengunaan register merupakan kunci pokok penelitian.
Bahasa mampu menunjukkan keinginan pengucapan, motif keinginan
pengucapan, latar belakang pendidikan, pergaulan, adat istiadat, dan lainnya,
hal ini senada dengan teori Samsuri (1987:4) bahwa dari pembicaraan
seseorang tidak saja keinginannya yang dapat diungkap, tetapi juga motif
keinginannya, latar belakang pendidikannya, pergaulannya, adat istiadatnya,
dan lain sebagainya. Begitu pentingnya peran bahasa dalam kehidupan sehari-
hari sehingga penggunaannya mampu menunjukkan sikap dan kebiasaan
seseorang.
a. Membedakan dengan Kelompok Anak Jalanan Lain
Tujuan utama dari keberadaan anak jalanan adalah untuk membuat
sebuah sistem komunikasi yang tidak dimengerti oleh kelompok lain. Hal
ini adalah tujuan register yang paling utama. Dengan menyembunyikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
makna suatu sistem bahasa agar tidak dimengerti oleh kelompok lain, maka
hakikat register pun terpenuhi. Register anak jalanan Kota Surakarta pun
sama dengan dengan register pada umumnya. Register ini memiliki tujuan
utama untuk menyembunyikan identitas makna yang merupakan register.
Meskipun begitu, adakalanya makna dari sebuah register diketahui oleh
komunitas lain. Meskipun penggunaannya kadangkala sudah dipahami
masyarakat secara umum, esensi dari register tersebut tidak berubah. Ada
beberapa register yang belum tentu diketahui oleh komunitas lainnya,
seperti pengki, mudhun, munggah, colut, mulih, rabi, dan manggung.
b. Menunjukkan Keakraban Anggota Komunitas
Selain fungsi utamanya adalah menyembunyikan makna register dari
luar komunitas, register juga memiliki fungsi pengakraban. Pengakraban
berasal dari kata akrab yang juga berarti intim. Antaranak jalanan memiliki
keintiman dalam berkomunikasi. Berikut juga tujuan penggunaan bahasa
tersebut. Register tertentu yang memiliki nilai rasa kasar ternyata memiliki
kehalusan makna apabila digunakan pada sesama anak jalanan. Didukung
temuan dari Dviri dan Aviad (1995) yang menyatakan bahwa anak jalanan
selalu melakukan ritual dengan memberikan sebatang rokok untuk
pengemis lain. Ditambahkan, setiap pengemis selalu menyisihkan sebagian
besar batang rokoknya kepada sesama anak jalanan untuk mendapatkan
pengakuan dalam ikatan kekerabatan.
Hal ini terbukti dari percakapan tertentu, lawan tutur tidak marah atau
ikut membalas dengan kata kasar. Pada konteks di bawah ini, kata suwak
yang memiliki makna kata kasar, namun ketika diucapkan antaranak
jalanan memiliki makna pengakraban. Penutur dan lawan tutur tidak ada
rasa marah sedikitpun.
c. Menunjukkan Kekuasaan/Penghormatan
Selain bentuk pengakraban, register juga mampu menumbuhkan jarak
antara penutur dan lawan tutur. Ini dilakukan untuk memberikan jarak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
antaranak jalanan, agar ada rasa hormat kepada penutur atau memberikan
efek pemberian penghormatan kepada lawan tutur. Salah satu konteks di
bawah ini merupakan bentuk nyata pengadaan jarak antara penutur dan
lawan tutur menggunakan register. Ketika penutur anak jalanan 1
menggunakan kata cangkem, lawan tutur langsung takut dan merasa tidak
enak hati dengan penutur, sehingga dengan kata Ora mas dia meniadakan
amarahnya.
Register juga mampu menunjukkan fenomena sosial kekuasaan
seseorang. Hal ini terlihat dari kata register pengki yang memiliki arti anak
buah. Bos yang memiliki arti pendidik. Ini merupakan dua contoh konkret
adanya fenomena sosial dalam masyarakat anak jalanan di Kota Surakarta.
Pengki merupakan register untuk anak buah, atau orang yang sering
disuruh-suruh, sedangkan bos adalah anak jalanan yang sudah dewasa yang
memberikan pengajaran bagi anak jalanan yang masih baru. Sesuai konteks
di bawah ini, anak jalanan yang disebut sebagai pengki merupakan anak
jalanan yang selalu menuruti semua yang diinginkan oleh bosnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan di Bab IV
tentang analisis karakteristik dan tujuan dari register anak jalanan kota Surakarta.
Ditemukan penggunaan register anak jalanan dapat ditarik simpulan sebagai
berikut.
1. Karakteristik Penggunaan Register pada Anak Jalanan di Kota Surakarta
Keberagaman penggunaan bahasa dan temuan dalam penelitian ini
mampu membentuk beberapa pola dari hasil temuan penelitian. Pola
komunikasi verbal mereka cenderung lebih lugas, dan banyak terdiri dari
istilah-istilah yang dibuat oleh kelompok sebagai penegas identitas
kelompoknya sedangkan untuk pola komunikasi nonverbal, anak jalanan lebih
ekspresif dalam mengungkapankan perasaannya.
Karakteristik yang ditemukan dari analisis ini yakni terjadi pergeseran
dan perubahan makna kata, dominasi penggunaan bahasa Jawa, memiliki
bentuk ringkas, dan penggunaan kata-kata kasar, selain itu, dalam percakapan
antaranak jalanan, juga ditemukan lagi dua karakteristik bahasa anak jalanan di
Kota Surakarta, yakni adanya pengalihan kode dan pencampuran kode, serta
ragam bahasa yang dipakai oleh anak jalanan ketika berkoomunikasi satu
dengan yang lainnya adalah ragam intim. Fenomena penggunaan alih kode
secara umum menggunakan bahasa tujuan yakni bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris. Sedangkan pemilihan ragam bahasa yang dipilih adalah ragam bahasa
intim atau akrab. Hal ini mengingat mereka memiliki profesi yang sama dan
kebersamaan dalam profesi tersebut.
a. Perubahan dan Pergeseran Makna Harfiah
Selain pergeseran makna, dalam register anak jalanan, ada pula kata
register yang mengalami perubahan makna. Perubahan makna tersebut
antara lain, klimis, ahai, ngalor, pengki, munggah, nyepur, medhun,
ngampung, manggung, masar, ngleseh, colut, bolo, manten, rabi, kerja,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
dan mulih. Dari kata yang disebutkan sebelumnya, kata-kata tersebut
mengalami perubahan makna. Contohnya adalah kata pengki yang makna
sebenarnya adalah keranjang sampah bergeser menjadi anak buah. Selain
itu, pada kata manggung, ngampung, masar, ngleseh, nyepur, medhun juga
mengalami perubahan makna menjadi makna baru.
b. Dominasi Penggunaan Bahasa Jawa
Penggunaan bahasa Jawa dominan di kalangan anak jalanan kota
Surakarta. Meskipun dalam beberapa konteks ada pula penggunaan bahasa
dari bahasa asing. Alasan utama dominasi penggunaan bahasa Jawa karena
sebagian anak jalanan berasal dari daerah sekitar Kota Surakarta. Hal ini
jika dikaitkan dengan daerah asal yang pada umumnya berasal dari Jawa
Tengah dan sekitanya akan memiliki pemahaman bahasa yang sama.
Bahasa jawa yang dominan tentu saja bukan bahasa Jawa yang sesuai
dengan unggah-ungguh dalam bahasa Jawa.
Karena bahasa Jawa sebagai bahasa yang dominan, tentu saja ada pula
penggunaan bahasa lain yang juga dipakai oleh anak jalanan. Contoh lain
pemahaman bahasa anak jalanan di luar bahasa jawa adalah bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris yang lebih jelasnya akan dijelaskan pada alih
kode dan campur kode.
c. Ragam Bahasa Informal
Setiap ragam bahasa tersebut tentunya memiliki tingkat formalitas yang
berbeda, dan susunan di atas adalah susunan ragam bahasa jika diurutkan
dari yang paling formal menuju paling tidak formal. Dalam penelitian ini,
disimpulkan bahwa salah satu karakteristik penggunaan register anak
jalanan adalah ragam intim.
Adanya penggunaan ragam bahasa informal dalam keseharian anak
jalanan Surakarta. Ini menunjukkan keadaan yang dekat dan intim
antaranak jalanan. Kedekataan tersebut membuat mereka leluasa dalam
menggunakan ragam informal dan intim dalam keseharian mereka. Salah
satu contoh nyatanya adalah penggunaan kata ndhes dalam keseharian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
antaranak jalanan adalah bentuk ragam intim. Apabila kata ndhes bukan
register, maka antaranak jalanan akan tersinggung.
d. Bentuk Ringkas
Ada pula penggunaan bentuk ringkas dalam komunikasi antaranak
jalanan. Penggunaan bentuk ringkas tersebut tidak hanya pada susunan kata
berimbuhan saja, namun juga dua kata atau lebih yag terwakili oleh satu
kata dalam register. Bentuk ringkas dirasa lebih praktis dan nyaman
digunakan daripada menggunakan bentuk lengkap yang memiliki arti sama.
Sebagian anak jalanan merasa pentingnya komunikasi terletak pada
kesesuaian pemahaman terhadap satu bahasa. Bentukan ringkas yang
dipakai oleh anak jalanan terlihat praktis dan lebih aplikatif bagi mereka.
Contoh penggunaan bentuk ringkas antara lain nggurke, dalam bahasa
masyarakat secara umum berarti dianggurkan, namun dalam analisis
register berarti istri yang ditinggalkan sendiri di rumah. Selain kata
nggurke, adapula kata thole, menyang endi, ora, iki, akon, munyuk, embuh,
asu, ora usah, dinggurke, dhuwit, sethithik, dan mbakyu. Bentuk ringkas ini
seharusnya sama sekali tidak merubah makna dalam kalimat tersebut.
Bentuk ringkas dalam percakapan anak jalanan dapat diklasifikasikan
dalam tiga bentuk yakni aferesis, sinkope, dan apokope. Dari ketiga jenis
tersebut, paling banyak ditemui di aferesis.
e. Penggunaan Kata yang Kasar
Penggunaan bahasa Jawa yang diterapkan anak jalanan adalah bahasa
ngoko kasar. Dalam undha usuk basa Jawa, terdapat Basa Jawa Ngoko dan
Basa Jawa Krama. Pada masyarakat umumnya, ketika berinteraksi dengan
yang lebih tua, maka menggunakan krama, sedangkan dengan sejawat
menggunakan ngoko. Tampak dari data yang disajikannya, bahwa bahasa
yang dipergunakan antarpengamen adalah bahasa Jawa ngoko. Fenomena
dalam anak jalanan, sebagian besar mereka menggunakan ngoko dengan
setiap lawan bicara. Hal ini karena mereka merupakan kaum tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
berpendidikan dan mereka tidak memiliki pengetahuan tentang norma
lingkungannya.
Fenomena dalam anak jalanan, sebagian besar mereka menggunakan
ngoko pada setiap lawan bicara. Hal ini karena mereka merupakan kaum
tidak berpendidikan. Selain itu, lingkungan mendukung adanya
penyelewengan dan ketidakpedulian terhadap satu sikap yang salah. Hal
yang terpenting bagi mereka adalah mempertahankan identitas kelompok,
sebagai sikap pembenaran dari masyarakat yang mengucilkan anak jalanan.
Penyelewengan dan ketidakpedulian tersebut mampu merangsang anak
jalanan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami dari
maksud dan tujuan pelafalan.
f. Penggunaan Alih Kode dan Campur Kode
Menilik pada hasil penelitian ini, ditemukan adanya fenomena alih
kode dan campur kode. Alih kode dan campur kode merupakan peristiwa
pergantian bahasa yang digunakan dalam keseharian. Perubahan ragam
santai menjadi ragam resmi, atau juga ragam resmi ke raham santai disebut
dengan istilah alih kode.
Contoh penggunaan kata yang merupakan campur kode adalah kata
swear, fuck, stop, you, oke, cinta itu nggak bisa berbohong, bos, dan
kawasan. Dari sekian contoh kata atau kalimat yang mengandung alih kode
adalah penggunaan bahasa tujuan bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.
Bahasa Inggris meliputi swear, fuck, stop, you, oke. Sedangkan
penggunaan dalam bahasa Indonesia adalah cinta itu nggak bisa
berbohong, bos, dan kawasan. Ini merupakan beberapa contoh saja, dalam
percakapan deskripsi data dapat ditemukan lebih banyak lagi fenomena alih
kode dan campur kode.
2. Tujuan Pemakaian Register
Tujuan pemakaian register dipilih sebagai rumusan masalah yang
kedua, karena tujuan pengunaan register merupakan kunci pokok penelitian.
Dari pembicaraan seseorang tidak saja keinginannya yang dapat diungkap,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
tetapi juga motif keinginannya, latar belakang pendidikannya, pergaulannya,
adat istiadatnya, dan lain sebagainya. Begitu pentingnya peran bahasa dalam
kehidupan sehari-hari sehingga penggunaannya mampu menunjukkan sikap
dan kebiasaan seseorang.
a. Merahasiakan dari Kelompok Bahasa Lain
Tujuan utama dari keberadaan anak jalanan adalah untuk membuat
sebuah sistem komunikasi yang tidak dimengerti oleh kelompok lain. Hal
ini adalah tujuan register yang paling utama. Dengan menyembunyikan
makna suatu sistem bahasa agar tidak dimengerti oleh kelompok lain, maka
hakikat register pun terpenuhi. Register anak jalanan Kota Surakarta pun
sama dengan dengan register pada umumnya. Register ini memiliki tujuan
utama untuk menyembunyikan identitas makna yang merupakan register.
b. Untuk Mengakrabkan Anggota Komunitas
Selain fungsi utamanya adalah menyembunyikan makna register dari
luar komunitas, register juga memiliki fungsi pengakraban. Pengakraban
berasal dari kata akrab yang juga berarti intim. Antaranak jalanan memiliki
keintiman dalam berkomunikasi. Berikut juga tujuan penggunaan bahasa
tersebut. Register tertentu yang memiliki nilai rasa kasar ternyata memiliki
kehalusan makna apabila digunakan pada sesama anak jalanan. Hal ini
terbukti dari percakapan tertentu, lawan tutur tidak marah atau ikut
membalas dengan kata kasar. Pada konteks di bawah ini, kata suwak yang
memiliki makna kata kasar, namun ketika diucapkan antaranak jalanan
memiliki makna pengakraban. Penutur dan lawan tutur tidak ada rasa
marah sedikitpun.
c. Menunjukkan Kekuasaan
Selain bentuk pengakraban, register juga mampu menumbuhkan jarak
antara penutur dan lawan tutur. Ini dilakukan untuk memberikan jarak
antaranak jalanan, agar ada rasa hormat kepada penutur atau memberikan
efek pemberian penghormatan kepada lawan tutur. Salah satu konteks di
bawah ini merupakan bentuk nyata pengadaan jarak antara penutur dan
lawan tutur menggunakan register. Pengki merupakan register untuk anak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
buah, atau orang yang sering disuruh-suruh, sedangkan bos adalah anak
jalanan yang sudah dewasa yang memberikan pengajaran bagi anak jalanan
yang masih baru.
B. Saran
1. Bagi Masyarakat
a. Dengan membaca hasil penelitian register ini dapat menambah atau
memperkaya wawasan masyarakat mengenai penggunaan bahasa
yang digunakan anak jalanan.
b. Bertumpu dari penelitian ini, masyarakat seharusnya memahami,
setiap bahasa yang dipakai oleh anak jalanan bukan bermaksud
kasar. Namun memang kurangnya pengetahuan mereka akan norma
dan peraturan, mereka mengatakan hal semacam itu.
c. Masyarakat semakin mengetahui tujuan penggunaan register anak
jalanan Kota Surakarta yang selama ini belum mereka ketahui oleh
umum.
d. Masyarakat mengetahui adanya karakteristik dari setiap register
yang kadang kala tidak dimengerti oleh masyarakat pada umumnya.
2. Bagi Mahasiswa dan Dosen
a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan contoh dalam pengkajian
disiplin ilmu sosiolinguistik bidang ilmu register.
b. Dengan adanya penelitian di bidang sosiolinguistik ini, diharapkan
mahasiswa dari Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia mampu
membuka cakrawala akan bidang kajian penelitian skripsi lainnya,
tidak hanya melulu di bidang pengajaran bahasa Indonesia.
c. Dosen memberikan peluang kepada mahasiswa untuk sejenak
keluar dari bidang kajian pendidikan, perlu sesekali memberikan
bimbingan mahasiswa di bidang linguistik terapan, salah satunya
bidang kajian sosiolinguistik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
d. Analisis register anak jalanan di Kota Surakarta dapat digunakan
oleh dosen sebagai materi pembelajaran sosiolinguistik di kelas
mata kuliah sosiolinguistik.
3. Bagi Peneliti Lain
a. Hasil penelitian ini bisa dijadikan dasar atau pembuka wawasan bagi
peneliti lain bahwa ternyata register anak jalanan bervariasi sehingga
mereka bisa mengembangkan penelitian selanjutnya.
b. Memberikan lahan baru bagi para peneliti untuk terus mengkaji kota
Surakarta yang salah satu titik poin pentingnya adalah anak jalanan.
c. Berbagi wawasan keilmuan sosiolinguistik yang ada di masyarakat
Surakarta dalam bentuk hasil penelitian dan deskripsi analisis hasil
penelitiannya.