Ckd
-
Upload
yusuf-brilliant -
Category
Documents
-
view
17 -
download
5
description
Transcript of Ckd
DEFINISI
Definisi yang diajukan oleh The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative
(K/DOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) mendefinisikan CKD sebagai
kerusakan ginjal, atau penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) <60 mL/min/1.73 m2
selama ≥3 bulan.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan. dan LFG sama atau lebih
dari 60 ml/menit/l,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.
Source :K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease
KLASIFIKASI
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat
(stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/mntJl,73m2) = (140 - umur ) X berat badan )
(72 X kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0, 85
Klasifikasi tersebut tampak pada tabel 3
Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Klasifikasi atas dasar diagnosis, tampak pada tabel 4. Tabel 4. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit Tipe mayor (Contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular
(penyakit otoimun, infeksi sistemik,obat, neoplasia)
Penyakit vascular
(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,
mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi., keracunan obat)
Penyakit kistik
(ginjal polikstik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin/ takrolimus)
Penyakil recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh
molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhimya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhimya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi
jangka panjang aksis rennin angiotansin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor
seperti transforming growth factor f3 (TGF- [3). Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis
dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal
(renal reserve). pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif,
yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan
kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada
pasien seperti, nokturia, badan lemah , mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan.
Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata
seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi
saluran kemih infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi
gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan
elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan teljadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy) antara lain dialisis atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien
dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
PENDEKATAN DIAGNOSTIK
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: a). Sesuai dengan penyakit
yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius,
hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya. b).
Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan
volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis,
kejang-kejang sampai koma, c). Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia,
osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, khlorida).
Tabel 5. Abnormalitas klinis yang dapat ditemukan pada uremia
GAMBARAN LABORATORIS
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: a). Sesuai dengan penyakit
yang mendasarinya. b). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault.
Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal. c).
Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam
urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia, asidosis metabolik. d). Kelainan urinalisis meliputi, proteiuria, hematuri,
leukosuria, cast, isostenuria.
Gambar 1. Flowchart for the development of bone, phosphate, and calcium abnormalities in
chronic renal disease1
GAMBARAN RADIOLOGIS
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi: a). Foto polos abdomen, bisa
tampak batu radio-opak. b). Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering
tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik
oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c). Pielografi antegrad atau
retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi. d). Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan
ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi. e). Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi.
BIOPSI DAN PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI GINJAL
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran
ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa
ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan
terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi
kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted
kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan
pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:
1. terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
3. memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
4. pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
5. pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
6. terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Perencanaan tatalaksana (action plan) Penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya, dapat
dilihat pada tabel 6.
Table 6. Clinical Action Plan
Stage Description GFR, mL/min per 1.73 m2
Actiona
1 Kidney damage with
normal or GFR > 90
Diagnosis and treatment, treatment of comorbid conditions, slowing progression, CVD risk reduction
2 Kidney damage with
mild GFR
60–89 Estimating progression
3Moderate GFR
30–59 Evaluating and treating complications
4Severe GFR
15–29 Preparation for kidney replacement therapy
5 Kidney failure <15 (or dialysis)
Kidney replacement (if uremia present)
Source : Harrison’s Principle of Internal Medicine 17th Ed
Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasamya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang
masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat
menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah
menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak
bermanfaat.
Pencegahan Dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien
Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors)
yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi
traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas
penyakit dasarnya.
Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Skematik tentang patogenesis perburukan fungsi ginjal dapat dilihat pada gambar
2.
Gambar 2. Patogenesis perburukan fungsi ginjal pada CKD,
Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltasi glomerulus ini adalah:
Pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ~ 60
ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.
Protein diberikan 0,6 - 0,8/kg.bb/ hari, yang 0,35 - 0,50 gr di antaranya merupakan protein
nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari, Dibutuhkan
pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi jumlah asupan
kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan
protein tidak tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen
lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion anorganik lain juga diekskresikan melalui
ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik
akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian,
pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah
penting lain adalah~asupan protein berlebih (protein overload) akan
mengakibatkan_perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan
intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltrasion), yang akan meningkatkan progresifitas
pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan
asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan
fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
Terapi farmakologis, untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat
antihipertensi, di samping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat
penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa,
pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan
asupan protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomemlus dan hipertrofi glomerulus.
Tabel 7. Pembatasan asupan protein pada CKD
Di samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria.
Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria merupakan faktor risiko terjadinya
pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses
perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Ensim Konverting Angiotensin
(Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat
memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya
sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.
Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting,
karena 40-45 % kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular
adalah, pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia,
pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan
gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap
komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.
Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya
sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi
pada penyakit ginjal kronik terdapat pada Tabel 8.
Tabel 8. Komplikasi pada penyakit Ginjal Kronik
Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit
ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin. Hal-hal lain yang ikut berperan
dalam terjadinya anemia adalah, defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran
cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi
asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun
kronik.
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin 10 g% atau hematokrit 30%,
meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum, serum iron, kapasitas ikat besi
total/Total Iron Binding Capacity, feritin serum),mencari sumber perdarahan, morfologi
eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya.
Table 9. Causes of Anemia in CKD
Relative deficiency of erythropoietin
Diminished red blood cell survival
Bleeding diathesis
Iron deficiency
Hyperparathyroidism/bone marrow fibrosis
"Chronic inflammation"
Folate or vitamin B12 deficiency
Hemoglobinopathy
Comorbid conditions: hypo/hyperthyroidism, pregnancy, HIV-associated disease, autoimmune disease, immunosuppressive drugs Source : Harrison’s Principle of Internal Medicine 17th Ed.
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab
lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO) mempakan hal yang dianjurkan. Dalam
pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi
dalam mekanisme kerjanya. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan
secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah
yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh,
hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi
klinik adalah 11-12 g/dl.
Tabel 10. Penatalaksanaan Anemia pada penyakit Ginjal Kronik
Osteodistrofi Renal
Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi.
Patofisiologinya dapat dilihat pada gambar 1.
Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan
hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan
menghambat absorbsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan
gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.
Mengatasi Hiperfosfatemia
a. Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada
pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan
rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk
hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan
asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya
malnutrisi.
b. Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam
kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara
oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium
yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaC03) dan calcium acetate.
c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent). Akhir- akhir ini
dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar
paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium
mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek
samping yang minimal.
d. Pemberian Kalsitriol (1.25 (OHP). Pemberian kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi
renal banyak dilaporkan. Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat
meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium di saluran cerna sehingga dikhawatirkan
mengakibatkan penumpukan garam calcium carbonate di jaringan, yang disebut
kalsifikasi metastatik. Di samping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang
berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu, pemakaiannya dibatasi pada
pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5
kali normal.
Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan.
Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang
masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun
insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water loss
antara 500 -800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk
dianjurkan 500¬800 ml ditambah jumlah urin.
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan
kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh
karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium
(seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5¬5,5 mEq/lt.
Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam
natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang
terjadi.
Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapi)
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 mI/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal
dialisis atau transplantasi ginjal.