Ckd

18
DEFINISI Definisi yang diajukan oleh The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) mendefinisikan CKD sebagai kerusakan ginjal, atau penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) <60 mL/min/1.73 m2 selama ≥3 bulan. Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan. dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/l,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik. Source : K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease KLASIFIKASI Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.

description

ljlj

Transcript of Ckd

Page 1: Ckd

DEFINISI

Definisi yang diajukan oleh The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative

(K/DOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) mendefinisikan CKD sebagai

kerusakan ginjal, atau penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) <60 mL/min/1.73 m2

selama ≥3 bulan.

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan. dan LFG sama atau lebih

dari 60 ml/menit/l,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.

Source :K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease

KLASIFIKASI

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat

(stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan

mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:

LFG (ml/mntJl,73m2) = (140 - umur ) X berat badan )

(72 X kreatinin plasma (mg/dl)

*) pada perempuan dikalikan 0, 85

Klasifikasi tersebut tampak pada tabel 3

Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Page 2: Ckd

Klasifikasi atas dasar diagnosis, tampak pada tabel 4. Tabel 4. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi

Penyakit Tipe mayor (Contoh)

Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular

(penyakit otoimun, infeksi sistemik,obat, neoplasia)

Penyakit vascular

(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,

mikroangiopati)

Penyakit tubulointerstitial

(pielonefritis kronik, batu, obstruksi., keracunan obat)

Penyakit kistik

(ginjal polikstik)

Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik

Keracunan obat (siklosporin/ takrolimus)

Penyakil recurrent (glomerular)

Transplant glomerulopathy

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang

mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.

Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang

Page 3: Ckd

masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh

molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya

hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.

Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhimya diikuti oleh proses maladaptasi berupa

sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhimya diikuti dengan penurunan fungsi

nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya

peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan

kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi

jangka panjang aksis rennin angiotansin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor

seperti transforming growth factor f3 (TGF- [3). Beberapa hal yang juga dianggap berperan

terhadap terjadinya progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,

hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis

dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.

Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal

(renal reserve). pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.

Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif,

yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar

60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan

kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada

pasien seperti, nokturia, badan lemah , mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan.

Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata

seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,

pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi

saluran kemih infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi

gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan

elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan teljadi gejala dan

komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal

replacement therapy) antara lain dialisis atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien

dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

PENDEKATAN DIAGNOSTIK

Page 4: Ckd

GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: a). Sesuai dengan penyakit

yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius,

hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya. b).

Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan

volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis,

kejang-kejang sampai koma, c). Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia,

osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit

(sodium, kalium, khlorida).

Tabel 5. Abnormalitas klinis yang dapat ditemukan pada uremia

GAMBARAN LABORATORIS

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: a). Sesuai dengan penyakit

yang mendasarinya. b). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan

kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault.

Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal. c).

Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam

urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia,

hipokalsemia, asidosis metabolik. d). Kelainan urinalisis meliputi, proteiuria, hematuri,

leukosuria, cast, isostenuria.

Page 5: Ckd

Gambar 1. Flowchart for the development of bone, phosphate, and calcium abnormalities in

chronic renal disease1

GAMBARAN RADIOLOGIS

Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi: a). Foto polos abdomen, bisa

tampak batu radio-opak. b). Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering

tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik

oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c). Pielografi antegrad atau

retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi. d). Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan

ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,

kista, massa, kalsifikasi. e). Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada

indikasi.

BIOPSI DAN PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI GINJAL

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran

ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa

ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan

Page 6: Ckd

terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi

kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted

kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan

pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:

1. terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

2. pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)

3. memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal

4. pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

5. pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

6. terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

Perencanaan tatalaksana (action plan) Penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya, dapat

dilihat pada tabel 6.

Table 6. Clinical Action Plan

Stage Description GFR, mL/min per 1.73 m2

 

Actiona

 

1 Kidney damage with

normal or GFR > 90

Diagnosis and treatment, treatment of comorbid conditions, slowing progression, CVD risk reduction

2 Kidney damage with

mild GFR

60–89 Estimating progression

3Moderate GFR

30–59 Evaluating and treating complications

4Severe GFR

15–29 Preparation for kidney replacement therapy

5 Kidney failure <15 (or dialysis)

Kidney replacement (if uremia present)

Source : Harrison’s Principle of Internal Medicine 17th Ed

Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasamya adalah sebelum terjadinya

penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang

masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat

Page 7: Ckd

menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah

menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak

bermanfaat.

Pencegahan Dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien

Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors)

yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan

keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi

traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas

penyakit dasarnya.

Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal

Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi

glomerulus. Skematik tentang patogenesis perburukan fungsi ginjal dapat dilihat pada gambar

2.

Gambar 2. Patogenesis perburukan fungsi ginjal pada CKD,

Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltasi glomerulus ini adalah:

Pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ~ 60

ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.

Protein diberikan 0,6 - 0,8/kg.bb/ hari, yang 0,35 - 0,50 gr di antaranya merupakan protein

nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari, Dibutuhkan

pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi jumlah asupan

kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan

Page 8: Ckd

protein tidak tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen

lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang

mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion anorganik lain juga diekskresikan melalui

ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik

akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan

mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian,

pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah

penting lain adalah~asupan protein berlebih (protein overload) akan

mengakibatkan_perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan

intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltrasion), yang akan meningkatkan progresifitas

pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan

asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan

fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.

Terapi farmakologis, untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat

antihipertensi, di samping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat

penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi

intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa,

pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan

asupan protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomemlus dan hipertrofi glomerulus.

Tabel 7. Pembatasan asupan protein pada CKD

Di samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria.

Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria merupakan faktor risiko terjadinya

Page 9: Ckd

pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses

perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.

Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Ensim Konverting Angiotensin

(Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat

memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya

sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.

Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting,

karena 40-45 % kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit

kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular

adalah, pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia,

pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan

gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap

komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.

Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi

Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya

sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi

pada penyakit ginjal kronik terdapat pada Tabel 8.

Tabel 8. Komplikasi pada penyakit Ginjal Kronik

Page 10: Ckd

Anemia

Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit

ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin. Hal-hal lain yang ikut berperan

dalam terjadinya anemia adalah, defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran

cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi

asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun

kronik.

Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin 10 g% atau hematokrit 30%,

meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum, serum iron, kapasitas ikat besi

total/Total Iron Binding Capacity, feritin serum),mencari sumber perdarahan, morfologi

eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya.

Table 9. Causes of Anemia in CKD

Relative deficiency of erythropoietin

Diminished red blood cell survival

Bleeding diathesis

Iron deficiency

Page 11: Ckd

Hyperparathyroidism/bone marrow fibrosis

"Chronic inflammation"

Folate or vitamin B12 deficiency 

Hemoglobinopathy

Comorbid conditions: hypo/hyperthyroidism, pregnancy, HIV-associated disease, autoimmune disease, immunosuppressive drugs Source : Harrison’s Principle of Internal Medicine 17th Ed.

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab

lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO) mempakan hal yang dianjurkan. Dalam

pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi

dalam mekanisme kerjanya. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan

secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah

yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh,

hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi

klinik adalah 11-12 g/dl.

Tabel 10. Penatalaksanaan Anemia pada penyakit Ginjal Kronik

Osteodistrofi Renal

Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi.

Patofisiologinya dapat dilihat pada gambar 1.

Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi

hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan

hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan

Page 12: Ckd

menghambat absorbsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan

gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.

Mengatasi Hiperfosfatemia

a. Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada

pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan

rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk

hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan

asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya

malnutrisi.

b. Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam

kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara

oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium

yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaC03) dan calcium acetate.

c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent). Akhir- akhir ini

dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar

paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium

mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek

samping yang minimal.

d. Pemberian Kalsitriol (1.25 (OHP). Pemberian kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi

renal banyak dilaporkan. Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat

meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium di saluran cerna sehingga dikhawatirkan

mengakibatkan penumpukan garam calcium carbonate di jaringan, yang disebut

kalsifikasi metastatik. Di samping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang

berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu, pemakaiannya dibatasi pada

pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5

kali normal.

Pembatasan Cairan dan Elektrolit

Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan.

Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang

masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun

insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water loss

Page 13: Ckd

antara 500 -800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk

dianjurkan 500¬800 ml ditambah jumlah urin.

Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan

kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh

karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium

(seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5¬5,5 mEq/lt.

Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam

natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang

terjadi.

Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapi)

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada

LFG kurang dari 15 mI/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal

dialisis atau transplantasi ginjal.