Artikel astri reinventing government
-
Upload
astri-yulia -
Category
Documents
-
view
1.522 -
download
4
Transcript of Artikel astri reinventing government
Tanamkan Konsep Reinventing Government dalam
Pelaksanaan Otonomi daerah
Oleh : Astri Yulia
NIM: 24512002
Kelas : AKBU 2012
E-mail : [email protected]
ABSTRACT
Reinvention is not just another word for reform, nor is it synonymous with downsizing,
or privatization, or simply cutting waste and fraud. It is about something much deeper,
something tantamount to changing the very “DNA” of public organizations so that they
habitually innovate, continually improving their performance without having to be
pushed from outside. It is about building an entrepreneurially minded public sector with
a built-in drive to improve—what some would call a self-renewing system.Obviously,
this is complex work that requires careful strategy. David Osborne and Peter Plastrik
lay out what they call the “Five Cs” for successfully reinventing public
organizations:The Core Strategy, to help them create clarity of purpose.The
Consequences Strategy, to introduce consequences for their performance.The Customer
Strategy, to make them accountable to their customers.The Control Strategy, to
empower organizations and their employers to innovate.The Culture Strategy, to
change the habits, hearts, and minds of public employees.
ABSTRAK
Reinvention bukan hanya kata lain untuk reformasi , juga tidak identik dengan
pengurangan , atau privatisasi , atau hanya memotong limbah dan penipuan . Ini
adalah tentang sesuatu yang jauh lebih dalam , sesuatu yang sangat sama saja dengan
mengubah " DNA " dari organisasi publik sehingga mereka biasa berinovasi , terus
meningkatkan kinerja mereka tanpa harus didorong dari luar. Ini adalah tentang
membangun pemerintah wirausaha dengan memikirkan pembangunan untuk
meningkatkan - apa yang orang inginkan untuk memperbaharui sistem. Jelas, ini
1
adalah pekerjaan yang kompleks yang memerlukan strategi hati-hati. David Osborne
dan Peter Plastrik mengeluarkan apa yang mereka sebut " Lima Cs " untuk
keberhasilan Reinventing Government : Strategi Inti , untuk memperjelas maksud
organisasi. Konsekuensi Strategi, untuk menerapkan konsekuensi atas kinerja
organisasi.Strategi Pelanggan, untuk menciptakan pertanggungjawaban organisasai
pemerintah terhadap pelanggan Strategi Kontrol, untuk memberdayakan organisasi
dan pegawainya agar bisa berinovasi. Strategi Budaya, untuk mengubah kebiasaan,
hati , dan pikiran karyawan publik.
A. PENDAHULUAN
1. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sudah diselenggarakan lebih
dari satu dasawarsa. Otonomi daerah untuk pertama kalinya mulai
diberlakukan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang hingga saat ini telah mengalami beberapa
kali perubahan. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tersebut telah
mengakibatkan perubahan dalam sistem pemerintahan di Indonesia yang
kemudian juga membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat di
berbagai bidang.
Secara konseptual, pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dilandasi
oleh tiga tujuan utama yang meliputi tujuan politik, tujuan administratif dan
tujuan ekonomi. Hal yang ingin diwujudkan melalui tujuan politik dalam
pelaksanaan otonomi daerah diantaranya adalah upaya untuk mewujudkan
demokratisasi politik melalui partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Perwujudan tujuan administratif yang ingin dicapai melalui
pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya pembagian urusan pemerintahan
antara pusat dan daerah, termasuk sumber kuangan, serta pembaharuan
manajemen birokrasi pemerintahan di daerah. Sedangkan tujuan ekonomi
yang ingin dicapai dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah
terwujudnya peningkatan Indeks pembangunan manusia sebagai indikator
peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
2
Dalam konsep otonomi daerah, pemerintah dan masyarakat di suatu
daerah memiliki peranan yang penting dalam peningkatan kualitas
pembangunan di daerahnya masing-masing. Hal ini terutama disebabkan
karena dalam otonomi daerah terjadi peralihan kewenangan yang pada
awalnya diselenggarakan oleh pemerintah pusat kini menjadi urusan
pemerintahan daerah masing-masing.
Dalam rangka mewujudkan tujuan pelaksanaan otonomi daerah, terdapat
beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan, antara lain : faktor manusia
yang meliputi kepala daerah beserta jajaran dan pegawai, seluruh anggota
lembaga legislatif dan partisipasi masyarakatnya. Faktor keuangan daerah,
baik itu dana perimbangan dan pendapatan asli daerah, yang akan
mendukung pelaksanaan pogram dan kegiatan pembangunan daerah. Faktor
manajemen organisasi atau birokrasi yang ditata secara efektif dan efisien
sesuai dengan kebutuhan pelayanan dan pengembangan daerah.
Gagasan pelaksanaan otonomi daerah adalah gagasan yang luar biasa
yang menjanjikan berbagai kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara
yang lebih baik. Namun dalam realitasnya gagasan tersebut berjalan tidak
sesuai dengan apa yang dibayangkan. Pelaksanaan otonomi daerah di
Indonesia pada gilirannya harus berhadapan dengan sejumlah tantangan yang
berat untuk mewujudkan cita-citanya. Tantangan dalam pelaksanaan
otonomi daerah tersebut datang dari berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Diantaranya adalah tantangan di bidang hukum dan sosial budaya.
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai segera setelah angin
sejuk reformasi berhembus di Indonesia. Masih dalam suasana euphoria
reformasi dan dalam situasi dimana krisis ekonomi sedang mencekik tingkat
kesejahteraan rakyat, Negara Indonesia membuat suatu keputusan
pemberlakuan dan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Selanjutnya
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai dasar
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia di Judicial Review dengan UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Judicial review ini dilakukan
setelah timbulnya berbagai kritik dan tanggapan terhadap pelaksanaan
3
otonomi daerah di Indonesia. Judicial review tersebut dilaksanakan dengan
mendasarkannya pada logika hukum.
Pada gilirannya, pemerintahan daerah berhadapan dengan keadaan
dimana mereka harus memahami peraturan perundang-undangan hasil
judicial review. Tanpa adanya pemahaman yang baik dari aparatur, maka
bisa dipastikan pelaksanaan otonomi daerah di Kab/Kota di Indonesia
menjadi kehilangan maknanya. Hal ini merupakan persoalan hukum yang
sering terjadi dimana peraturan perundang-undangan tidak sesuai dengan
realitas hukum masyarakat sehingga kehilangan nilai sosialnya dan tidak
dapat dilaksanakan. Wacana ini pernah ditulis oleh Hikmahanto Yuwono dan
dimuat di harian Kompas pada tahun 2002.
Pelaksanaan otonomi daerah telah mendorong lahirnya banyak
perubahan di Indonesia. Namun hal itu tidak berarti bahwa mereka yang
berperan siap dengan kondisi yang akan mereka hadapi. Diserahkannya
kewenangan untuk mengelola potensi daerah kepada pemerintah daerah
tidak berarti bahwa daerah bisa secara massif berupaya meningkatkan
pendapatan daerah yang disisi lain justru berpotensi mengurangi investasi
dan memperlambat pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Demikian pula bahwa perencanaan pembangunan di daerah mesti
didasarkan pada analisa yang obyektif bukan sekedar ambisi kepala daerah
dan harrus secara bijak memperhatikan kepentingan masyarakat kecil.
Belakangan ini kita sangat sering menyaksikan bagaimana para pedagang
kecil yang harus disejahterakan melalui pelaksanaan otonomi daerah justru
menjadi korban penggusuran.
2. Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah
Undang-undang No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional 2005-2025 mengamanatkan bahwa pembangunan
aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk mendukung
keberhasilan pembangunan bidang lainnya. Sebagai wujud komitmen
nasional untuk melakukan reformasi birokrasi, pemerintah telah menetapkan
reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan menjadi prioritas utama
4
dalam Perpres Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2010 – 2014. Makna reformasi birokrasi adalah:
Perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia;
Pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan abad
ke-21; Berkaitan dengan ribuan proses tumpang tindih antarfungsi-fungsi
pemerintahan, melibatkan jutaan pegawai, dan memerlukan anggaran yang
tidak sedikit; Upaya menata ulang proses birokrasi dari tingkat tertinggi
hingga terendah dan melakukan terobosan baru dengan langkah-langkah
bertahap, konkret, realistis, sungguh-sungguh, berfikir di luar
kebiasaan/rutinitas yang ada, dan dengan upaya luar biasa; Upaya merevisi
dan membangun berbagai regulasi, memodernkan berbagai kebijakan dan
praktek manajemen pemerintah pusat dan daerah, dan menyesuaikan tugas
fungsi instansi pemerintah dengan paradigma dan peran baru.
Atas dasar makna tersebut, pelaksanaan reformasi birokrasi diharapkan
dapat: Mengurangi dan akhirnya menghilangkan setiap penyalahgunaan
kewenangan publik oleh pejabat di instansi yang bersangkutan; Menjadikan
negara yang memiliki birokrasi yang bersih, mampu, dan melayani;
Meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat; Meningkatkan mutu
perumusan dan pelaksanaan kebijakan/program instansi; Meningkatkan
efisiensi (biaya dan waktu) dalam pelaksanaan semua segi tugas organisasi;
Menjadikan birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif, dan efektif dalam
menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis.
Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Pemerintah di Indonesia pada dasarnya
dimulai sejak akhir tahun 2006 yang dilakukan melalui pilot project di
Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa
Keuangan. Sejak itu, dikembangkan konsep dan kebijakan Reformasi
Birokrasi yang komprehensif yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden
No.81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025,
dan Permenpan-rb No. 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi
Birokrasi 2010-2014. Selain itu, diterbitkan pula 9 (sembilan) Pedoman
dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi yang ditetapkan dengan
Permenpan-rb No. 7 sampai dengan No. 15 yang meliputi pedoman tentang
5
Pengajuan dokumen usulan sampai dengan mekanisme persetujuan
pelaksanaan reformasi birokrasi dan tunjangan kinerja.
Pelaksanaan reformasi birokrasi di masing-masing instansi pemerintah
dilakukan berdasarkan kebijakan/program/kegiatan yang telah digariskan
dalam Grand Design Reformasi Birokrasi dan Road Map reformasi
Birokrasi, serta berbagai pedoman pelaksanaannya. Selanjutnya, pelaksanaan
reformasi birokrasi memerlukan sistem monitoring dan evaluasi yang solid
dan kredibel dan dapat mencerminkan suatu sistem pengukuran yang
objektif, dan pengguna dapat menerima dan menindaklanjuti hasil dari
sistem tersebut. Dalam rangka itu, ditetapkan Permenpanrb No. 1 Tahun
2012 tentang Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, dan untuk
operasionalisasinya ditetapkan Permenpanrb No. 31 Tahun 2012 tentang
Petunjuk Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Secara
Online.
Pedoman dan Petunjuk Teknis Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi
Birokrasi (PMPRB) tersebut merupakan acuan bagi instansi pemerintah
untuk melakukan penilaian upaya pencapaian program Reformasi Birokrasi
sejalan dengan pencapaian sasaran, indikator dan target nasional. PMPRB
mengkaitkan penilaian atas output dan outcome pelaksanaan program
reformasi birokrasi di instansi pemerintah, serta pencapaian Indikator
Kinerja Utama masing-masing instansi pemerintah dengan indikator
keberhasilan reformasi birokrasi secara nasional.
Sistem Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB),
berperan sangat penting dalam mengetahui dan menilai serta mengawal
pencapaian reformasi birokrasi sebagaimana diharapkan.
3. Kajian Pustaka
Dari sepuluh prinsip Reinventing Government yang disampaikan oleh
David Osborne. Maka terkandung empat prinsip yang merupakan inti dari
pada prinsip Reinventing Government itu sendiri antara lain ;
6
1. Steering, dalam hal ini pemerintah memfasilitasi atau menjembatani
keinginan dari pada masyarakat. Jadi tugas pemerintah disini mengarahkan
bukan intervensi terhadap keingginan dari pada masyarakat itu sendiri.
2. Empowering, pemerintah merupakan milik dari pada masyarakat dan
memberikan wewenang ketimbang melayani masyarakat. Disini titik
beratnya adalah memberdayakan anggota masyarakat sehingga masyarakat
merasa memiliki program-program pemerintah
3. Meeting the needs of the costumer, not the bureaucracy, pemerintah
berorientasi pada pelanggan dan memenuhi kebutuhan pelanggan. Sehingga
kualitas harus ditentukan oleh pelanggan bukan oleh birokrasi.
4. Earning, dalam pemerintahan yang wirausaha mengutamakan
menghasilkan dari pada membelanjakan.
5. Prevention, pemerintah antisipatif dimana lebih baik mencegah dari pada
mengobati.
B. PEMBAHASAN
1. Reinventing Government
Reinventing Government “menurut David Osborn dan Peter Plastrik dalam
Banishing Bureaucracy dimaknai sebagai berikut.
The fundamental tranformation of public system and organizations to
create dramatic increaces in their effectiveness, efficiency, adaptability
and capacity to innovate.this transformation is accomplishedby changing
their purpose, incentives,accountability, power structure and culture.
Transformasi ini akan tercapai apabila dengan mengubah tujuan, sistem
insentif, pertanggungjawaban, struktur kekuasaan, dan budaya sistem dan
organisasi pemerintahan”. Pembaruan adalah dengan penggantian sistem yang
bersifat wirausaha. Pembaruan dengan kata lain membuat pemerintah siap untuk
menghadapi tantangan-tantangan dalam hal pelayanan terhadap masyarakat,
7
menciptakan organisasi-organisasi yang mampui memperbaiki efektifitas dan
efisiensi pada saat sekarang dan dimasa yang akan datang.
Reformasi konsep birokrasi memiliki tujuan untuk mewujudkan good
governance yang dalam pelaksanaanya bebas dari KKN. Selain itu pelaksanaan
reformasi yang profesional akan mampu mewujudkan pelayanan masyarakat
yang lebih baik, serta sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani.
Dapat dibayangkan, peran pemerintah masa mendatang adalah
pemetrintah yang kompetisi antar pemberi jasa, memberi wewenang kepada
warga, mengukur kinerja perwakilannya dengan memusatkan pada hasil, bukan
masukkan, digerakkan oleh tujuan/misi, bukan oleh peraturan, menempatkan
klien sebagai pelanggan, dan menawarkan kepada mereka banyak pilihan lebih
baik, mencegah masalah ketimbang hanya memberi servis setelah masalah
muncul, mencurahkan energinya untuk memperoleh uang, tidak hanya
membelanjakan, mendesentralisasikan wewenang dengan menjalankan
manajemen partisipasi, lebih menyukai mekanisme pasar ketimbang mekanisme
birokratis, memfokuskan pada mengkatalisasi stakeholder (pemerintah swasta
dan lembaga sukarela) kedalam tindakan untuk memecahkan masalah. Seluruh
bentuk peran pemerintah yang akan datang ini sesuai dengan prinsip-prinsip dari
Reinventing Government.
Salah satu model pemerintahan di era NPM adalah model pemerintahan
yang diajukan oleh Osborne dan Gaebler (1992) dalam Mardiasmo (2002), yang
tertuang dalam pandangannya yang dikenal dengan konsep ‘reinventing
government”. Perspektif baru pemerintah menurut Osborne dan Gaebler tersebut
adalah :
1. Pemerintahan katalis; fokus pada pemberian pengarahan,
bukan produksi pelayanan publik. Pemerintah harus menyediakan beragam
pelayanan publik, tetapi tidak harus terlibat secara langsung dengan proses
produksinya. Sebaiknya pemerintah memfokuskan diri pada pemberian arahan,
sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta dan/atau
sektor ketiga (lembaga swadaya masyarakat dan non profit lainnya).
2. Pemerintahan milik masyarakat; memberdayakan masyarakat
daripada melayani. Pemerintah sebaiknya memberikan wewenang kepada
8
masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong
dirinya sendirinya (self-help community).
3. Pemerintah yang kompetitif; menyuntikkan semangat kompetisi
dalam pemberian pelayanan publik. Kompetisi adalah satu-satunya cara untuk
menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan
kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya
tanpa harus memperbesar biaya.
4. Pemerintah yang digerakkan oleh misi; mengubah organisasi
yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi.
Apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah diatur dalam
mandatnya. Namun tujuan pemerintah bukanlah mandatnya tetapi misinya.
5. Pemerintah yang berorientasi hasil; membiayai hasil bukan
masukan. Pada pemerintah tradisional, besarnya alokasi anggaran pada suatu
unit kerja ditentukan oleh kompleksitas masalah yang dihadapi. Semakin
kompleks masalah yang dihadapi, semakin besar pula dana yang dialokasikan.
Kebijakan seperti ini kelihatannya logis dan adil, tapi yang terjadi adalah unit
kerja tidak punya insentif untuk memperbaiki kinerjanya. Justru, mereka
memiliki peluang baru, semakin lama permasalahan dapat dipecahkan, semakin
banyak dana yang dapat diperoleh. Pemerintah wirausaha berusaha mengubah
bentuk penghargaan dan insentif itu, yaitu membiayai hasil dan bukan masukan.
Pemerintah wirausaha akan mengembangkan suatu standar kinerja yang
mengukur seberapa baik suatu unit kerja mampu memecahkan permasalahan
yang menjadi tanggung jawabnya. Semakin baik kinerjanya semakin banyak
pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah
dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.
6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan; memenuhi kebutuhan
pelanggan, bukan birokrasi. Pemerintah tradisional seringkali salah dalam
mengidentifikasikan pelanggannya. Mereka akan memenuhi semua kebutuhan
dan keinginan birokrasi, sedangkan kepada masyarakat seringkali menjadi
arogan. Pemerintah wirausaha tidak akan seperti itu. Ia akan
mengidentifikasikan pelanggan yang sesungguhnya. Dengan cara seperti ini,
tidak berarti bahwa pemerintah tidak bertanggung jawab pada dewan legislatif;
9
tetapi sebaliknya, ia menciptakan sistem pertanggungjawaban ganda : kepada
legislatif dan masyarakat. Dengan cara seperti ini, pemerintah tidak akan
arogan tetapi secara terus menerus akan berupaya untuk lebih memuaskan
masyarakat.
7. Pemerintahan wirausaha; mampu menciptakan pendapatan dan
tidak sekedar membelanjakan. Pemerintah tradisional cenderung tidak
berbicara tentang upaya menghasilkan pendapatan dari aktivitasnya. Padahal,
banyakyang bisa dilakukan untuk menghasilkan pendapatan dari proses
penyediaan pelayanan publik. Pemerintah wirausaha dapat mengembangkan
beberapa pusat pendapatan, seperti : BPS dan Bappeda yang dapat menjual
informasi tentang daerahnya kepada pusat-pusat penelitian, pemberian hak guna
usaha kepada pengusaha dan masyarakat, penyertaan modal, dan lain-lain.
8. Pemerintah antisipatif; berupaya mencegah daripada mengobati.
Pemerintah tradisional yang birokratis memusatkan diri pada produksi
pelayanan publik untuk memecahkan masalah publik, serta cenderung bersifat
reaktif. Pemerintah wirausaha tidak reaktif tetapi proaktif. Ia tidak hanya
mencoba untuk mencegah masalah, tetapi juga berupaya keras untuk
mengantisipasi masa depan. Ia menggunakan perenca-naan strategis untuk
menciptakan visi.
9. Pemerintah desentralisasi; dari hierarki menuju partisipatif dan
tim kerja. Lima puluh tahun yang lalu, pemerintahan yang sentralistis dan
hierarkis sangat diperlukan. Pengambilan keputusan harus berasal dari pusat,
mengikuti rantai komando hingga sampai pada staf yang paling berhubungan
dengan masyarakat dan bisnis. Pada masa itu, sistem tersebut sangat cocok,
karena teknologi informasi masih sangat primitif, komunikasi antar lokasi
masih lamban, dan aparatur pemerintah masih sangat membutuhkan petunjuk
langsung. Tetapi pada saat sekarang, keadaan sudah berubah, perkembangan
teknologi sudah sangat maju dan keinginan masyarakat sudah semakin
kompleks, sehingga pengambilan keputusan harus digeser ke tangan masyarakat,
asosiasi-asosiasi, pelanggan, dan lembaga swadaya masyarakat.
10. Pemerintah berorientasi pada mekanisme pasar; mengadakan
perubahan dengan mekanisme pasar (sistem insentif ) dan bukan dengan
10
mekanisme administratif (sistem prosedurdan pemaksaan). Manajemen
pemerintahan yang mengimplementasikan pemikiran NPM ini sangat
berorientasi pada jiwa dan semangat kewirausahaan, maka manajemen publik
baru di tubuh pemerintah dapat disebut sebagai Manajemen Kewirausahaan. Di
dalam doktrin NPM atau Reinventing Government, pemerintah dianjurkan untuk
meninggalkan paradigma administrasi tradisional yang cenderung
mengutamakan sistem dan prosedur, dan menggantikannya dengan orientasi
pada kinerja atau hasil kerja.
2. Penerapan Konsep Reinventing Government
Bagaimana konsep Reinventing Government dapat diterapkan, terutama
dalam pelaksanaan otonomi daerah ? Dengan kata lain apa yang dapat kita
lakukan untuk menumbuhkan birokrasi yang mempunyai semangat wirausaha
dalam pemerintah daerah sehingga tujuan pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah dapat dicapai dengan baik.
Untuk menjawab permasalahan ini, Osborne dan Plastrik menyatakan
bahwa setidaknya terdapat lima strategi yang dapat digunakan untuk melakukan
perubahan yang mendasar dalam rangka mendorong peningkatan kemampuan
birokrasi yang efektif dan efisien ataupun kemampuan menyesuaikan dan
kapasitas untuk memperbarui sistem dan organisasi publik.
Pertama, strategi inti (the core strategy). Strategi ini menentukan tujuan
sebuah sistem dan organisasi publik. Jika sebuah organisasi tidak mempunyai
tujuan yang banyak, atau saling bertentangan, maka organisasi itu tidak dapat
mencapai kinerja yang tinggi. Dengan kata lain, sebuah organisasi publik akan
mampu bekerja secara efektif jika ia mempunyai tujuan yang spesifik. Oleh
karena itu, penting adanya bagi para pemimpin organisasi-organisasi publik
untuk menetapkan terlebih dahulu tujuan organisasinya secara spesifik.
Barangkali penetapan visi dan misi organisasi juga mempunyai arah dan
pegangan yang jelas. Diluar itu, strategi ini terutama berkaitan dengan usaha-
usaha memperbaiki pengarahan (steering).
11
Kedua, Strategi Konsekuensi (the concequences strategy). Strategi ini
menentukan insentif-insentif yang dibangun kedalam sistem publik. Birokrasi
memberikan para pegawainya yang insentif kuat untuk mengikuti peraturan-
peraturan, dan sekalligus mematuhinya. Pada model birokrasi lama, para
pegawai atau karyawan memperoleh gaji yang sama terlepas dari yang mereka
hasilkan. Namun, dlam rangka Reinventing Goverment, seperti diungkapkan
oleh Osborne dan Plastrik, mengubah insentif adalah penting dengan cara
emnciptakan konsekuensi-konsekuensi bagi kinerja. Jika perlu organisasi-
organisasi publik perlu ditempatkan dalam dunia usaha (market place), dan
membuat organisasi tergantung pada konsumennya untuk memperoleh
penghasilan. Namun, jika hal ini tidak layak untuk dilakukan, maka perlu dibuat
kontrak atau perjanjian guna menciptakan persaingan antara organisasi-
organisasi publik dan swasta.
Ketiga, Strategi Pelanggan (the customers strategy). strategi ini terutama
memfokuskan pada pertanggungjawaban. Berbeda dengan birokrasi lama, dalam
birokrasi model baru, tanggung jawab para pelaksana birokrasi publik
hendaknya ditempatkan pada masyarakat, atau dalam konteks ini dianggap
sebagai pelanggan. Dengan demikian, tanggung jawab tidak lagi semata-mata
ditempatkan pada pejabat birokratis diatasnya. Model pertanggungjawaban
seperti ini dapat diharapkan dapat meningkatkan tekanan terhadap organisasi-
organisasi publik untuk memperbaikik kinerja ataupun pengelolaan sumber-
sumber organisasi. Selanjutnya dengan memberikan pertanggungjawaban
kepada masyarakat aatu konsumen akan dapat menciptakan informasi yaitu,
tentang kepuasan konsumen terhadap hasil-hasil dan pelayanan pemerintahan
tertentu. Degan kata lain, penyerahan pertanggungjawaban kepada para
konsumen berarti bahwa organisasi-organisasi publik harus mempunyai sasaran
yang harus dicapai, yaitu meningkatkan kepuasan konsumen (customers
satification)
Keempat, Strategi Kontrol (the control strategy) strategi ini menentukan
dimana letak kekuasaan membuat keputusan itu diberikan. Dalam sistem
birokrasi lama, sebagian besar kekuasaan tetap berada di dekat puncak hierarki.
Perkembangan birokrasi modern yang semakin kompleks telah membuat
12
organisasi menjadi tidak efektif. Hal ini karena proses pengambilan keputusan
harus melalui jenjang hierarki yang panjang sehingga membuat proses
pengambilan keputusan cenderung lamban, dan jika hal ini k dipaksakan, maka
jika dilewati akan membawa dampak terjadinya bureaucracy barriers. Pada
akhirnya secara keseluruhan, sistem kinerja birokrasi dalam menangani masalah
dan memberikan memberikan pelayanan kepada masyakrakat akan berlangsung
lamban karena bawahan tidak di beri ruang yang cukup untuk mengambil
inisiatif dalam memecahkan masalah. Oleh karena itu, penting adanya
emndesentralisasikan pembuatan keputusan kepada pejabat-pejabat dan
karyawan atau pegawai birokrasi dibawahnya karena hal ini akan mendorong
timbulnya rasa tanggung jawab di kalangan para pegawai birokrasi, dan dalam
konteks yang luas mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses
implementasi kebijakan.
Kelima,Strategi Budaya (the culture strategy) strategi ini menentuka
budaya organisasi publik yang menyangkut nilai, norma, tingkah laku, dan
harapan-harapan para karyawan. Budaya ini akan dibentuk secara kuat oleh
tujuan organisasi, insentif, sistem pertanggungjawaban dan struktur kekuasaan
organisasi. Dengan kata lain, mengubah tujuan, insentif, sistem
pertanggungjawaban dan struktur kekuasaan organisasi akan mengubah budaya.
C. KESIMPULAN DAN SARAN
Otonomi daerah sebagai salah satu mekanisme dalam penyelenggaraan
pemerintahan, didasarkan atas beberapa pertimbangan, antara lain pentingnya
keterbukaan, pemberdayaan, membawa konsekuensi logis bagi birokrasi untuk
mereformasi diri. Hal ini cukup beralasan mengingat birokrasi yang ada semenjak
orde baru telah melenceng dari filosofi dasarnya yakni sebagai pelayan publik. Satu
hal penting yang dapat mendukung dalam upaya reformasi birokrasi adalah
kemauan politik dari seluruh jajaran birokrasi dari tingkat pusat sampai daerah.
Komitmen untuk berubah menyesuaikan tuntutan dan kondisi masyarakat perlu
terus menerus dikembangkan, sehingga birokrasi tidak lagi menjadi hal yang
menakutkan, menyebalkan, membosankan dan julukan yang bernada negatif tidak
perlu lagi terdengar di masa mendatang.
13
Untuk itu, diperlukan Reinventing Government yang bermakna dalam pencarian
format birokrasi yang mempunyai kemampuan untuk memperbarui secara mandiri
dan mempunyai mentalitas wirausaha. Hal ini karena otonomi daerah dengan
berbagai tujuan yang hendak di capai memerlukan birokrasi yang efisien, yang
secara cepat mampu memperbarui diri dan responsif terhadap perubahan-perubahan
yang terjadi.
Namun, dalam menerapkan konsep Reinventing Government akan mendapat
banyak kendala. Hal ini karena model birokrasi di Indonesia dicirikan oleh model
birokrasi patrimonial, birokrasi rente, dan bureaucratic polity. Sebernarnya model-
model birokrasi tersebut sangat bertentangan dengan model birokrasi wirausaha.
Oleh karena itu, usaha mewirausahakan birokrasi tidak akan dapat dilakukan dengan
baik tanpa terlebih dahulu tanpa menghancurkan model birokrasi yang lama. Untuk
itu, diperlukan komitmen yang kuat dari elite politik. Selain itu, hal ini juga dapat
dilakukan dengan mendorong keterlibatan masyarakat dalam melakukan
pengawasan terhadap kinerja birokrasi. Oleh karena itu, program pemberdayaan
masyarakat menjadi salah satu agenda penting yang harus dilakukan. Penguatan
kelompok-kelompok kepentingan, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat juga
penting dilakukan karena kelompok-kelompok ini dapat diharapkan perannya dalam
konteks menyediakan sumber informasi yang cukup untuk mengambil tindakan-
tindakan yang bersifat politis, terutama dalam konteks penyikapannya terhadap
kinerja birokrasi publik.
D. DAFTAR PUSTAKA
Osborne, David and Peter Plastrik, 1992. Banishing Bureaucracy, New
York:Addison-Wesley Publishing Company, Inc.
_______ and Ted Gaebler, 1992. Reinventing Government: How to
Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, New York:
Penguin Books, Ltd.
14
Sedarmayanti, Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan
Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan
Kepemerintahan yang baik), Refika Aditama, Bandung, 2009.
Sarundajang,1999, Arus Balik Kekuasaan ke Pusat Daerah. Jakarta : Sinar
Harapan
http://pmprb.menpan.go.id
15