ANALISIS IMPLEMENTASI MODEL COGNITIVE APPRENTICESHIP...

164
ANALISIS IMPLEMENTASI MODEL COGNITIVE APPRENTICESHIP DENGAN METODE SCAFFOLDING TERHADAP KEMAMPUAN MATEMATIKA SISWA Skripsi Disusun oleh: DEA RAHMA AULIA 11140170000023 JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020

Transcript of ANALISIS IMPLEMENTASI MODEL COGNITIVE APPRENTICESHIP...

  • ANALISIS IMPLEMENTASI MODEL COGNITIVE

    APPRENTICESHIP DENGAN METODE SCAFFOLDING

    TERHADAP KEMAMPUAN MATEMATIKA SISWA

    Skripsi

    Disusun oleh:

    DEA RAHMA AULIA

    11140170000023

    JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

    FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2020

  • i

    ABSTRAK

    DEA RAHMA AULIA (11140170000023). “Analisis Implementasi Model

    Cognitive Apprenticeship Dengan Metode Scaffolding Terhadap Kemampuan

    Matematika Siswa”. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah

    dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Juli 2020.

    Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses pembelajaran matematika

    dengan menggunakan Model Cognitive Apprenticeship dan Metode Scaffolding serta

    mengetahui efektifitas pembelajaran matematika jika Model Cognitive Apprenticeship

    dikombinasikan dengan menggunakan metode Scaffolding. Metode penelitian ini

    adalah metode kepustakaan (library research) dengan sumber data berupa artikel yang

    terdiri dari 3 artikel mengenai pembelajaran dengan Model Cognitive Apprenticeship

    dan 3 artikel mengenai pembelajaran dengan Metode Scaffolding. Teknik analisis data

    menggunakan metode analisis isi, untuk mengkaji dan menelaah kesesuaian antara

    teori Model Cognitive Apprenticeship dan Metode Scaffolding dalam proses

    pembelajaran matematika. Hasil analisis data menunjukkan bahwa Model Cognitive

    Apprenticeship yang dikombinasikan dengan Metode Scaffolding tidak dirasa lebih

    baik. Hal tersebut dikarenakan Scaffolding yang terdapat dalam langkah Model

    Cognitive Apprenticeship sudah cukup jelas. Tanpa harus menggunakan metode

    scaffolding, bantuan dapat diberikan secara bertahap dengan menggunakan komponen

    sequencing yang terdapat dalam model Cognitive Apprenticeship.

    Kata Kunci: Model Cognitive Apprenticeship, Metode Scaffolding, Penelitian

    Kepustakaan, Pembelajaran Matematika.

  • ii

    ABSTRACT

    DEA RAHMA AULIA (11140170000023). “Analysis of Implementation of

    Cognitive Apprenticeship Model with Scaffolding Method in Mathematics

    Learning”. Thesis of Mathematics Education Department, Faculty of Tarbiya and

    Teaching Science, Syarif Hidayatullah State Islamic University of Jakarta, July 2020.

    The purpose of this research is to analyze the process of learning mathematics

    using the Cognitive Apprenticeship Model and the Scaffolding Method and determine

    the effectiveness of mathematics learning if the Cognitive Apprenticeship Model is

    combined with the Scaffolding Method. The method of this research is library research

    with data sources in the form of article consists of 3 articles about the learning with

    Cognitive Apprenticeship Model and 3 articles about the learning with Scaffolding

    Method. The data analysis technique uses content analysis method, to study and to

    examine the suitability among Cognitive Apprenticeship Model’s theory and

    Scaffolding Method’s theory in the process of learning mathematics. The results of data

    analysis indicate that the Cognitive Apprenticeship Model combined with the

    Scaffolding Method did not feel better. This is because the scaffolding contained in the

    Cognitive Apprenticeship Model’s step is quite clear. Without having to use the

    scaffolding method, assistance can be given in stages using the sequencing components

    contained in the Cognitive Apprenticeship Model.

    Keywords: Cognitive Apprenticeship Model, Scaffolding Method, Library Research,

    Mathematics Learning.

  • iii

    KATA PENGANTAR

    Bismillahirrohmaanirrohiim

    Alhamdulillahirobbil’aalaamiin, segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang

    telah melimpahkan segala rahmat, nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis diberikan

    kesempatan, kemudahan dan kelancaran untuk menyelesaikan skripsi ini. Shalawat

    serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga,

    sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.

    Selama proses penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa kemampuan dan

    pengetahuan penulis sangat terbatas. Namun, penulis mendapatkan banyak bantuan,

    bimbingan, dan doa dari berbagai pihak yang sangat membantu penulis dalam

    menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih

    sebanyak-banyaknya kepada:

    1. Ibu Dr. Sururin, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Ibu Dr. Gelar Dwirahayu, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Matematika

    Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan selaku

    Dosen Pembimbing II yang selalu mengingatkan penulis, selalu memberikan

    bimbingan, arahan dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

    Semoga Allah selalu memberikan kemuliaan dan keberkahan kepada Ibu dan

    keluarga.

    3. Ibu Gusni Satriawati, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika

    Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    4. Ibu Finola Marta Putri, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing I yang memberikan

    masukan dan arahan kepada penulis selama pembuatan skripsi ini. Semoga Allah

    selalu memberikan kemuliaan dan keberkahan kepada Ibu dan keluarga.

    5. Bapak Firdausi, S.Si, M.Pd., selaku Dosen Penasihat Akademik yang telah

    memberikan bimbingan dan arahan selama perkuliahan aktif hingga akhir masa

  • iv

    studi penulis. Semoga Allah selalu memberikan kemuliaan dan keberkahan kepada

    Bapak dan keluarga.

    6. Ibu Moria Fatma, M.Si., selaku Dosen Pembimbing PPKT yang telah memberikan

    bimbingan dan arahan selama pelaksanaan PPKT berlangsung. Semoga Allah selalu

    memberikan kemuliaan dan keberkahan kepada Ibu dan keluarga.

    7. Seluruh Dosen dan Staff Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah

    dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu

    pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan. Semoga ilmu yang Bapak

    dan Ibu berikan dapat bermanfaat serta menjadi pahala yang senantiasa mengalir.

    8. Kepada semua peneliti artikel yang digunakan sebagai referensi dalam penulisan

    skripsi ini. Dengan adanya artikel-artikel tersebut, penulis dapat menyelesaikan

    skripsi ini.

    9. Keluarga tercinta, khususnya kedua orang tua penulis Ayahanda Fudoli dan Ibunda

    Ely Yusnar yang senantiasa mendoakan, memberikan dukungan baik moril dan

    materil kepada penulis selama ini. Adik kesayangan penulis satu-satunya Nanda

    Kurnia yang senantiasa menjadi penyemangat dan menemani penulis selama ini.

    10. Sahabat-sahabat tercinta selama perkuliahan, Carlolita Hardani dan Himmatul

    Aliyyah. Terima kasih telah menjadi sahabat terbaik dari awal perkuliahan yang

    senantiasa menjadi tempat berbagi, menemani dan saling menyemangati, bersama

    kalian kuliah terasa menyenangkan. Kalian partner travelling terbaik. Semoga

    kalian senantiasa diberikan kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan

    skripsi.

    11. Sahabat tercinta Muchamad Eris Rizqul Ulum, S.T., yang senantiasa memberikan

    semangat dan mengingatkan penulis untuk menyelesaikan skripsi. Terima kasih

    untuk semua dukungan moril dan materil yang diberikan, itu semua teramat berarti

    bagi penulis. Semoga Allah memberikan kemudahan dalam tesismu dan

    dimudahkan langkahmu untuk meraih cita-cita.

    12. Seluruh teman-teman Jurusan Pendidikan Matematika 2014 A dan B yang telah

    berbagi ilmu pengetahuan selama perkuliahan. Terima kasih kepada Sari Juniatun

  • v

    Nikmah, S.Pd., yang selama perkuliahan telah menjadi tutor Belajar Bareng Sari

    dengan sabar mengajar sehingga penulis dapat memahami materi perkuliahan.

    Semoga kalian semua kedepannya bisa sukses dan meraih cita-cita kalian.

    13. Teman seperjuangan selama bimbingan Kak Kurnia Nihaya, S.Pd., yang selalu

    sabar memberikan masukan kepada penulis serta selalu mengingatkan penulis untuk

    bimbingan. Semoga Allah memberi kemudahan kepada kakak dan kita tetap bisa

    menjalin silaturahmi.

    Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada semua pihak yang namanya tidak dapat

    penulis sebutkan satu persatu. Semoga semua doa, bantuan, dukungan, masukan dan

    arahan yang diberikan kepada penulis dibalas oleh Allah SWT. Semoga Allah selalu

    melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Aamiin yaa robbal’alamin.

    Demikian yang dapat penulis ucapkan, penulis menyadari masih banyak

    kekurangan dalam skripsi ini. Karena itu, penulis menerima kritikan yang membangun

    dan saran dari siapa saja yang membaca skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat

    memberikan manfaat bagi orang lain khususnya yang telah membaca skripsi ini. Akhir

    kata penulis ucapkan mohon maaf dan terima kasih.

    Jakarta, Juli 2020

    Penulis

    Dea Rahma Aulia

  • vi

    DAFTAR ISI

    ABSTRAK .................................................................................................................... i

    ABSTRACT .................................................................................................................. ii

    KATA PENGANTAR ................................................................................................ iii

    DAFTAR ISI ............................................................................................................... vi

    DAFTAR TABEL .................................................................................................... viii

    DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. ix

    DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................... x

    BAB I .......................................................................................................................... 11

    PENDAHULUAN .................................................................................................. 11

    A. Latar Belakang ........................................................................................... 11

    B. Identifikasi Masalah ................................................................................... 18

    C. Pembatasan Masalah ................................................................................. 18

    D. Rumusan Masalah ...................................................................................... 19

    E. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 19

    F. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 19

    BAB II ........................................................................................................................ 21

    KAJIAN TEORI .................................................................................................... 21

    A. Acuan Teori ................................................................................................. 21

    B. Hasil Penelitian yang Relevan ................................................................... 41

    C. Kerangka Berpikir ..................................................................................... 42

    BAB III ....................................................................................................................... 45

    METODOLOGI PENELITIAN .......................................................................... 45

    A. Jenis Penelitian ........................................................................................... 45

    B. Sumber Data ............................................................................................... 46

    C. Fokus Penelitian ......................................................................................... 47

    D. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 47

  • vii

    E. Teknik Analisis Data .................................................................................. 48

    BAB IV ....................................................................................................................... 50

    TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................................. 50

    A. Deskripsi Data ............................................................................................. 50

    B. Temuan Hasil Analisis ............................................................................... 51

    C. Deskripsi Data Penelitian .......................................................................... 60

    D. Pembahasan dan Temuan Penelitian ....................................................... 73

    BAB V ......................................................................................................................... 85

    KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 85

    A. Kesimpulan ................................................................................................. 85

    B. Saran ............................................................................................................ 86

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 87

  • viii

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1. 1 Statistik Perbandingan Nilai Matematika per Tahun Pelajaran 2017,

    2018, 2019 ................................................................................................ 13

    Tabel 4. 1 Sumber Data Penelitian .......................................................................... 50

    Tabel 4. 2 .................................................................................................................... 71

  • ix

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1. 1 Rata-rata Nilai Ujian Nasional 2019 ................................................. 12

    Gambar 2. 1 Bagan Kerangka Berpikir .................................................................. 44

    Gambar 4.1 ................................................................................................................ 76

    Gambar 4.2 ................................................................................................................ 76

    Gambar 4.3 ................................................................................................................ 77

    Gambar 4.4 ................................................................................................................ 78

    file:///C:/Users/AA%20Eris/Desktop/SKRIPSI%20DEA/SKRIPSI/SIDANG%20Bismillah/Dea%20Rahma%20Aulia%2011140170000023.docx%23_Toc49335866

  • x

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1 ................................................................................................................ 92

    Lampiran 2 .............................................................................................................. 101

    Lampiran 3 .............................................................................................................. 106

    Lampiran 4 .............................................................................................................. 111

    Lampiran 5 .............................................................................................................. 123

    Lampiran 6 .............................................................................................................. 129

    Lampiran 7 .............................................................................................................. 144

    Lampiran 8 .............................................................................................................. 152

  • 11

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Matematika merupakan ilmu dasar bagi perkembangan ilmu-ilmu lainnya. Oleh

    karena itu, matematika merupakan ilmu yang penting dalam berbagai bidang ilmu

    pengetahuan dan teknologi. Ruseffendi menyatakan bahwa matematika dimulai dari

    unsur-unsur yang tidak terdefinisikan (undefined terms, basic terms, primitive terms),

    kemudian pada unsur yang didefinisikan, lalu aksioma/postulat, dan akhirnya pada

    teorema.1 Matematika merupakan ilmu yang sistematis sehingga menuntut orang yang

    mempelajarinya untuk terus berkembang dengan konsep yang telah dimilikinya.

    Fungsi mata pelajaran matematika sebagai: alat, pola pikir, dan ilmu pengetahuan.2

    Matematika dapat dijadikan sebagai alat untuk memecahkan masalah yang berkaitan

    dengan kehidupan sehari-hari. Selain itu, matematika merupakan suatu ilmu

    pengetahuan yang memiliki berbagai macam rumus dan teorema dan juga mengajarkan

    pola pikir yang sistematis untuk menyelesaikan suatu masalah. Hal ini sejalan dengan

    pendapat Hudojo, matematika adalah kumpulan dari ide-ide abstrak yang diberi

    simbol-simbol yang tersusun secara jelas.3 Oleh karena itu, matematika dimulai dari

    pemahaman konsep hingga bentuk kompleks yang digunakan untuk memecahkan

    masalah.

    Melihat pentingnya matematika bagi kehidupan, maka matematika juga

    merupakan salah satu ilmu yang paling penting. Di Indonesia, matematika bahkan

    menjadi salah satu mata pelajaran yang masuk dalam Ujian Nasional (UN).

    1 Euis Eti Rohaeti, “Analisis Pembelajaran Konsep Esensial Matematika Sekolah Menengah

    Melalui Pendekatan Kontekstual Socrates”, Infinity, Vol. 1, No. 2, September 2012, h. 187. 2 Vindarini Novianti, “Pengaruh Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) Dan

    Gender Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematika Siswa”, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta, 2014, h. 1. 3 Hasratudin, “Pembelajaran Matematika Sekarang dan yang akan Datang Berbasis Karakter”,

    Jurnal Didaktik Matematika, Volume 1 No. 2, 2014, h. 32.

  • 12

    Hal ini menurut Badan Standar Nasional Pendidikan, mata pelajaran yang termuat

    dalam Ujian Nasional pada berbagai tingkat pendidikan formal yaitu matematika.4

    Namun pada kenyataannya, hasil belajar siswa dalam matematika masih

    rendah. Berdasarkan data rata-rata nilai Ujian Nasional menunjukkan bahwa nilai

    matematika masih dibawah 50. Berikut gambaran statistik nilai capaian Ujian Nasional

    pada tahun 2019 tingkat SMP dan SMA IPA/IPS5:

    Gambar 1. 1 Rata-rata Nilai Ujian Nasional 2019

    4 Ines Setiawati Putri, “Desain Didaktis Pembelajaran Matematika Untuk Mengatasi Hambatan

    Epistimologis Pada Konsep Program Linear Di SMA”, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h. 1. 5 Kemdikbud, Nilai Rata-rata Ujian Nasional 2019, diakses pada April 2020,

    (https://hasilun.puspendik.kemdikbud.go.id/)

  • 13

    Selain itu, dalam waktu tiga tahun terakhir, yakni pada tahun 2017, 2018, dan

    2019 rata-rata nilai matematika pada Ujian Nasional hanya pada kisaran 47,17. Nilai

    rata-rata tertinggi dicapai pada tahun 2017 dengan nilai sebesar 50,31. Kemudian, pada

    tahun 2018 mengalami penurunan sebesar 6,97 sehingga nilai rata-ratanya menjadi

    43,34. Pada tahun 2019, kembali naik hanya sebesar 4,53 sehingga nilai rata-ratanya

    menjadi 47,87. Meski mengalami peningkatan pada tahun 2019, nilai rata-rata secara

    keseluruhan masih dalam kategori kurang. Selain itu, besarnya standar deviasi pada

    tiap tahunnya menunjukkan besarnya simpangan nilai dan persebaran data. Artinya

    semakin besar standar deviasi semakin beragam nilai yang diperoleh siswa. Hal ini

    dapat dilihat dari nilai terendah dan tertinggi siswa setiap tahunnya. Pada tahun 2017,

    siswa memperoleh nilai terendah sebesar 2,50. Nilai tersebut memiliki selisih cukup

    besar dengan nilai tertinggi yang diperoleh yaitu sebesar 100,00. Hal ini menunjukkan

    masih besarnya ketimpangan yang terjadi dan masih rendahnya pemahaman siswa

    dalam pelajaran matematika. Statistik perbandingan nilai matematika per tahun

    pelajaran 2017, 2018, dan 2019 dapat dilihat pada gambar berikut.6

    Tabel 1. 1 Statistik Perbandingan Nilai Matematika per Tahun Pelajaran 2017,

    2018, 2019

    6 Kemdikbud, Statistik Perbandingan Nilai Matematika Ujian Nasional, diakses pada April

    2020, (https://hasilun.puspendik.kemdikbud.go.id/)

  • 14

    Melihat rendahnya nilai matematika yang diperoleh siswa di Indonesia, perlu

    menjadi perhatian utama bagi semua kalangan, terutama guru. Ruseffendi berpendapat

    bahwa suatu aktivitas yang dilakukan dengan ceramah (mendengar) akan dapat diingat

    oleh siswa hanya 20%, apabila disampaikan melalui penglihatan dapat diingat oleh

    siswa sebesar 50%, dan apabila suatu kegiatan dilakukan dengan berbuat maka akan

    diingat oleh siswa sebesar 75%.7 Maka dari itu, siswa perlu terlibat aktif untuk

    membangun sendiri pengetahuannya. Hal ini sesuai dengan karakteristik pembelajaran

    konstruktivisme yang dikemukakan Driver dan Bell, diantaranya (i) siswa tidak

    dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (ii) belajar harus

    mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (iii) pengetahuan

    bukan sesuatu yang datang dari luar, melainkan dikonstruksi secara personal, (iv)

    pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan

    situasi lingkungan belajar, dan (v) kurikulum bukanlah sekadar hal dipelajari,

    melainkan seperangkat pembelajaran, materi dan sumber.8 Berdasarkan karakteristik

    pembelajaran konstruktivisme tersebut, situasi lingkungan belajar ikut terlibat dalam

    proses pembelajaran. Selain itu, teori Vygotsky menekankan pada hakekat

    sosiokultural pembelajaran, yaitu siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa

    dan teman sebaya.9 Lev Semenovich Vygotsky menyatakan bahwa peserta didik dalam

    mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial.10 Oleh karena

    itu, penting bagi guru untuk menciptakan dan kondisi lingkungan yang mendukung

    untuk kegiatan pembelajaran.

    7 Candra Chisara, dkk, “Implementasi Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)

    Dalam Pembelajaran Matematika”, Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan

    Matematika (Sesiomadika), 2018, h. 66. 8 Gunawan, “Peningkatan Pemahaman Konsep Matematika Dengan Penerapan Pembelajaran

    Matematika Berbasis Konstruktivisme”, Skripsi FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014, h.

    3. 9 Iis Holisin, “Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)”, Didaktis, Vol. 5, No. 3, Oktober,

    2007, h. 48. 10 Adi Nur Cahyono, “Vygotskian Perspective: Proses Scaffolding untuk mencapai Zone of

    Proximal Development (ZPD) Peserta Didik dalam Pembelajaran Matematika”, Seminar Nasional

    Matematika dan Pendidikan Matematika, Yogyakarta, 2010, h. 443.

  • 15

    Menurut Permendikbud Nomor 21 Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan

    Dasar dan Menengah menetapkan bahwa kompetensi yang harus dicapai pada

    pelajaran matematika adalah sebagai berikut:

    1. Menunjukkan sikap logis, kritis, analitis, kreatif, cermat dan teliti,

    bertanggung jawab, responsif, dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan

    masalah.

    2. Memiliki rasa ingin tahu, semangat belajar yang kontinu, rasa percaya diri,

    dan ketertarikan pada matematika.

    3. Memiliki rasa percaya pada daya dan kegunaan matematika, yang terbentuk

    melalui pengalaman belajar.

    4. Memiliki sikap terbuka, objektif dalam interaksi kelompok maupun aktivitas

    sehari-hari.

    5. Memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan matematika dengan

    jelas.11

    Berdasarkan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2016 tersebut, salah satu

    kompetensi yang harus dicapai pada pelajaran matematika adalah memiliki rasa

    percaya pada daya dan kegunaan matematika, yang terbentuk melalui pengalaman

    belajar. Artinya pengalaman belajar menjadi penghubung antara matematika dengan

    kehidupan sehari-hari, sehingga pemahaman yang diperoleh akan lebih bermakna.

    Tujuan pembelajaran matematika di jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah

    untuk mempersiapkan dan membekali peserta didik atau siswa dengan kemampuan

    berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan bekerjasama.12

    Selain itu, Japa dan Suarjana menyatakan bahwa, “dibelajarkannya matematika kepada

    semua peserta didik mulai dari tingkat sekolah dasar adalah untuk membekali mereka

    11 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan

    dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan

    Menengah, Jakarta, 2016, h. 137. 12 Indah Nursuprianah dan R.A. Fitriyah R, “Hubungan Pola Berpikir Logis Dengan Hasil

    Belajar Matematika Siswa”, Eduma Mathematics Education Learning and Teaching, Vol. 1, No. 2,

    2012, h. 16.

  • 16

    berbagai kemampuan seperti: kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan

    kreatif, serta kemampuan bekerja sama”.13 Dengan mempelajari matematika, artinya

    siswa melatih kemampuan berpikir mereka menjadi logis, analitis, sistematis, kritis,

    kreatif dan memiliki kemampuan bekerja sama.

    Dalam undang-undang tentang sistem pendidikan nasional nomor 20 Tahun

    2003 pasal 37 yang menyatakan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah di

    Indonesia wajib memuat mata pelajaran matematika yang memiliki peranan penting

    dalam berbagai ilmu untuk memajukan daya pikir manusia.14 Siti Partini menerangkan

    bahwa daya pikir disebut juga sebagai kemampuan kognitif, sering diartikan sebagai

    daya atau kemampuan seorang anak untuk berfikir dan mengamati, melihat hubungan-

    hubungan, suatu kegiatan yang mengakibatkan seorang anak memperoleh pengetahuan

    yang banyak didukung oleh kemampuannya menjelajah lingkungan, kemampuan

    mengkoordinasikan motorik dan kemampuan bertanya.15 Ini berarti, matematika lebih

    dari sekedar ilmu hitung, namun juga merupakan alat untuk berpikir. Dengan kata lain,

    tercapainya suatu kompetensi matematika siswa jika mereka mampu berpikir logis,

    analitis, dan sistematis.

    Beberapa model pembelajaran telah dikembangkan untuk mengkonstruksi

    pengetahuan dalam proses pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang

    memfokuskan siswa belajar dengan mengkonstruksi pengetahuan pada proses

    pembelajarannya adalah Cognitive Apprenticeship. Cognitive Apprenticeship pada

    dasarnya untuk mendukung pembelajaran dalam ranah kognitif dengan beberapa

    metode diantaranya scaffolding, modelling dan fading yang mengacu pada teori

    13 Kd. Agus Mustika dan Pt. Nanci Riastini, “Pengaruh Model Polya Terhadap Kemampuan

    Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas V SD”, International Journal of Community Service

    Learning, Vol. 1 (1), 2017, h. 31. 14 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan

    Nasional (kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/08/UU_no_20_th_2003.pdf),

    diakses pada Maret 2020, h. 18. 15 Rita Dwi Astuti, “Deskripsi Kemampuan Membilang Melalui Kegiatan Bermain Ular Tangga

    Pada Anak TK Kelompok A Se-Gugus V Di Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten”, Skripsi

    Pendidikan Anak Usia Dini Universitas Negeri Yogyakarta, Oktober, 2013, h. 11.

  • 17

    belajar kontruktivis sosial.16 Pada Cognitive Apprenticeship memuat empat komponen,

    salah satunya komponen sociology yang dapat mendukung pembelajaran melalui

    pengalaman. Hal ini sejalan dengan karakteristik pembelajaran konstruktivisme.

    Belajar matematika melalui pengalaman dapat membantu siswa melihat

    matematika secara lebih nyata. Terlebih lagi matematika merupakan sesuatu yang

    abstrak bagi siswa, sehingga siswa perlu diberikan gambaran mengenai kegunaan

    matematika dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan karakterisitik

    matematika antara lain, (1) memiliki kajian objek yang abstrak, (2) bertumpu pada

    kesepakatan (3) berpola pikir deduktif, (4) konsisten dalam sistem, (5) memiliki simbol

    yang kosong dari arti, dan (6) memperhatikan semesta pembicaraan. Namun terkadang

    siswa membutuhkan bantuan dalam proses mengkonstruksi pemahamannya mengenai

    matematika. Cognitive Apprenticeship mengacu pada proses dimana seseorang yang

    sedang belajar tahap demi tahap memperoleh keahlian melalui interaksinya dengan

    pakar.17 Oleh karena itu, model Cognitive Apprenticeship dapat dikombinasikan

    dengan metode scaffolding.

    Scaffolding berarti pemberian bantuan kepada anak selama tahap-tahap awal

    perkembangannya dan mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan

    kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah

    anak dapat melakukannya.18 Dalam metode ini, siswa didorong untuk belajar melalui

    keterlibatan aktif mereka sendiri. Namun dalam proses pembelajaran ini siswa

    mendapat bantuan atau bimbingan dari guru agar mereka lebih terarah. Dengan bantuan

    ini, diharapkan dapat tercapainya kompetensi matematika siswa.

    16Vanessa Paz Dennen, “Cognitive Apprenticeship In Educational Practice: Research On

    Scaffolding, Modeling, Mentoring, And Coaching As Intructional Strategies”, Florida State University,

    2003. 17 Rudi Santoso Yohanes, ”Teori Vygotsky Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran

    Matematika”, Widya Warta, No. 02, Tahun XXXIV, Juli, 2010, h. 128. 18 Rifqia Apriyanti, “Pengaruh Metode Penemuan dengan Menggunakan Teknik Scaffolding

    Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa”, Skripsi Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta, 2011, h. 14.

  • 18

    Oleh sebab itu,dalam proses pembelajaran matematika siswa harus didorong

    untuk aktif dan guru harus memiliki potensi untuk memancing siswa agar rasa ingin

    tahunya menjadi tinggi dan mengembangkan pemahamannya sendiri.19 Model

    Cognitive Apprenticeship dan metode scaffolding menjadi salah satu alternatif

    pembelajaran matematika yang perlu dikaji. Oleh karena itu, berdasarkan uraian yang

    telah dipaparkan maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul

    “Analisis Implementasi Model Cognitive Apprenticeship dengan Metode

    Scaffolding terhadap Kemampuan Matematika Siswa”.

    B. Identifikasi Masalah

    Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, terdapat beberapa

    permasalahan yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:

    1. Rendahnya hasil belajar siswa dalam matematika.

    2. Lemahnya kemampuan siswa dalam memahami konsep matematika.

    3. Kurangnya keterlibatan aktif siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya.

    4. Guru yang masih belum maksimal dalam memilih model pembelajaran yang

    mendukung pengalaman belajar siswa.

    C. Pembatasan Masalah

    Berikut merupakan pembatasan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini.

    1. Kajian pustaka mengenai pembelajaran dengan Cognitive Apprenticeship yang

    dikembangkan oleh Allan Collins, John Seely Brown dan Susan E. Newman.

    2. Analisis pada sumber data dari hasil penelitian yang menerapkan model

    Cognitive Apprenticeship pada pembelajaran matematika.

    3. Analisis pada sumber data dari hasil penelitian yang menerapkan metode

    Scaffolding pada pembelajaran matematika.

    19 Arini Ulfah Haidayati, “Melatih Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Dalam Pembelajaran

    Matematika Pada Siswa Sekolah Dasar”, Terampil Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Dasar, Vol. 4,

    No. 2, Oktober, 2017, h. 144-145.

  • 19

    D. Rumusan Masalah

    Dari identifikasi masalah yang telah disebutkan, dapat dirumuskan masalah

    yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah:

    1. Bagaimana proses pembelajaran dengan Model Cognitive Apprenticeship

    dalam pembelajaran matematika?

    2. Bagaimana pembelajaran dengan metode Scaffolding dalam pembelajaran

    matematika?

    3. Bagaimana proses pembelajaran matematika dengan Model Cognitive

    Apprenticeship dengan metode Scaffolding terhadap kemampuan matematika?

    E. Tujuan Penelitian

    Sejalan dengan rumusan masalah yang telah dijelaskan, maka tujuan penelitian

    ini adalah sebagai berikut.

    1. Menganalisis proses pembelajaran dengan Model Cognitive Apprenticeship

    dalam pembelajaran matematika.

    2. Menganalisis pembelajaran dengan metode Scaffolding dalam pembelajaran

    matematika.

    3. Menganalisis proses pembelajaran matematika dengan Model Cognitive

    Apprenticeship dengan metode Scaffolding terhadap kemampuan matematika.

    F. Manfaat Penelitian

    Manfaat yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran

    mengenai pembelajaran menggunakan model Cognitive Apprenticeship metode

    scaffolding dalam pembelajaran matematika dan dapat dikembangkan menjadi

    penelitian eksperimen.

    2. Bagi guru matematika, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan landasan teori

    mengenai model Cognitive Apprenticeship dengan metode Scaffolding dalam

    pembelajaran matematika.

  • 20

    3. Bagi peneliti, penelitian ini menambah wawasan mengenai model Cognitive

    Apprenticeship metode Scaffolding pada pembelajaran matematika.

  • 21

    BAB II

    KAJIAN TEORI

    A. Acuan Teori

    Berikut ini akan dibahas mengenai landasan teori dari model Cognitive

    Apprenticeship dan metode Scaffolding. Selain itu, akan dibahas pula mengenai

    keterkaitan secara teoritis mengenai penerapan model Cognitive Apprenticeship

    dengan metode Scaffolding terhadap kemampuan matematika. Sebelum itu, akan

    dibahas mengenai kemampuan matematika. Untuk memperoleh pemahaman lebih

    mendalam tentang teori-teori tersebut, berikut merupakan penjelasannya.

    1. Kemampuan Matematika

    National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) mengungkapkan bahwa

    “mathematical power includes the ability to explore, conjecture, and reason

    logically; to solve non-routine problems; to communicate about and through

    mathematics; and to connect ideas within mathematics and between mathematics and

    other intellectual activity”.1 Artinya bahwa kemampuan matematis mencakup

    kemampuan untuk mengeksplorasi, menduga, dan bernalar secara logis. Lebih lanjut

    NCTM menetapkan lima standar kemampuan matematis yang harus dimiliki oleh

    siswa, yaitu kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi, kemampuan

    koneksi, kemampuan penalaran, dan kemampuan representasi.2 Kemampuan-

    kemampuan tersebut merupakan kemampuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran

    matematika. Sejalan dengan itu, Permendikbud Nomor 21 Tahun 2016 tentang

    Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah. Menurut Permendikbud Nomor 21

    Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah menetapkan bahwa

    kompetensi yang harus dicapai pada pelajaran matematika adalah sebagai berikut:

    1 Mumun Syaban, “Menumbuhkembangkan Daya Matematis Siswa”, Educare, Vol. 5, No. 2,

    2008, h. 58. 2 Leo Adhar Effendi, “Pembelajaran Matematika Dengan Metode Penemuan Terbimbing Untuk

    Meningkatkan Kemampuan Representasi Dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP”, Jurnal

    Penelitian Pendidikan, Vol. 13, No. 2, Oktober 2012, h. 2.

  • 22

    1) Menunjukkan sikap logis, kritis, analitis, kreatif, cermat dan teliti, bertanggung

    jawab, responsif, dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan masalah.

    2) Memiliki rasa ingin tahu, semangat belajar yang kontinu, rasa percaya diri, dan

    ketertarikan pada matematika.

    3) Memiliki rasa percaya pada daya dan kegunaan matematika, yang terbentuk

    melalui pengalaman belajar.

    4) Memiliki sikap terbuka, objektif dalam interaksi kelompok maupun aktivitas

    sehari-hari.

    5) Memiliki kemampuan mengkomunikasikan gagasan matematika dengan jelas.3

    Berdasarkan Permendikbud tersebut, dengan mempelajari matematika siswa

    diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikirnya seperti kritis, logis, analitis,

    kreatif serta mampu mengkomunikasikan konsep matematika dengan jelas.

    Kemampuan berpikir tersebut merupakan sebagian dari kemampuan matematika

    yang ada. Selain itu, matematika juga dapat digunakan untuk memecahkan masalah,

    berkomunikasi melalui matematika dan menghubungkan ide-ide dalam matematika

    serta mengaitkan antara matematika dengan aktivitas intelektual lainnya. Berdasarkan

    NCTM dan Permendikbud tersebut, kemampuan matematika dalam penelitian ini

    adalah kemampuan berpikir yang dapat ditingkatkan dari pembelajaran matematika

    seperti kemampuan pemecahan masalah, komunikasi, representasi, penalaran,

    koneksi, kritis, atau kreatif. Oleh karena itu, kemampuan matematika merupakan

    tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran matematika.

    2. Model Cognitive Apprenticeship

    Menurut Collins, Brown dan Newman model Cognitive Apprenticeship

    merupakan model instruksi alternatif yang dapat diakses dalam tipe kerangka kelas

    Amerika dimana model pengajaran tersebut kembali ke magang tetapi digabung

    3 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendidikan dan

    Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan

    Menengah, Jakarta, 2016, h. 137.

  • 23

    dengan elemen sekolah.4 Dahulu sebelum sekolah ada, orang belajar melalui magang.

    Secara sederhana, ini adalah proses di mana orang yang lebih berpengalaman

    membantu orang yang kurang berpengalaman, memberi dukungan, dan contoh,

    sehingga orang yang kurang berpengalaman mendapatkan pengetahuan dan

    keterampilan baru.5 Pada awalnya, istilah “pemagangan” dilakukan dengan

    menunjukkan cara kerja suatu tugas kepada pemula dan membimbingnya.

    Apprenticeship atau pemagangan merupakan metode pembelajaran masa lampau

    dimana seseorang belajar untuk mendapatkan keahlian atau kemahiran mengenai

    suatu ilmu atau keterampilan dengan melihat langsung proses kerja dari ahli atau

    orang yang lebih berpengalaman.6 Dalam pembelajaran di sekolah, pemagangan

    disesuaikan dengan aktivitas para guru dan murid. Sebelum sekolah, magang adalah

    cara belajar paling umum untuk memperoleh pengetahuan dengan praktik dari

    ahlinya. Cognitive Apprenticeship memiliki dua penekanan khusus, yaitu pertama

    proses pengajaran yang digunakan para ahli untuk menangani tugas-tugas kompleks

    yang dicontohkan dan ditempatkan sesuai konteks pembelajaran mereka, dan yang

    kedua adalah cognitive apprenticeship berfokus pada pengembangan proses kognitif

    dan metakognitif.7 Magang kognitif mendukung integrasi akademik dan kejuruan

    yang efektif dalam pendidikan sehingga siswa membangun pemahaman mereka

    sendiri tentang standar akademik dan menginternalisasi proses berpikir yang

    digunakan.8 Konsep magang kognitif didefinisikan sebagai “belajar melalui

    pengalaman yang dipandu pada kognitif dan metakognitif, bukan fisik, keterampilan

    4 Aziz Ghefaili, “Cognitive Apprenticeship, Technology, and the Contextualization of Learning

    Environments”, Journal of Educational Computing, Design & Online Learning, Vol. 4, 2003, h. 1. 5 Vanessa P. Dennen dan Kerry J. Burner, The Cognitive Apprenticeship Model in Educational

    Practice, (Florida State University, Tallahassee, Florida), h. 426. 6 Rina Oktaviyanthi, “Kajian Model Pembelajaran: Pendekatan Cognitive Apprenticeship

    Model Case Based Reasoning Dalam Pembelajaran Matematika”, Universitas Serang Raya, 2015, h.

    100. 7 Yam San Chee, “Cognitive Apprenticeship And Its Application To The Teaching Of Smalltalk

    In A Multimedia Interactive Learning Environment”, Springer, Vol. 23, 1995, h. 136-137. 8 Aziz, op. cit., h. 1-2.

  • 24

    dan proses” yang berakar pada teori pembelajaran sosial.9 Jadi, model Cognitive

    Apprenticeship pada penelitian ini adalah model pembelajaran yang berpusat pada

    siswa dengan berfokus pada pengembangan proses kognitif sehingga siswa dapat

    membangun pemahaman mereka sendiri.

    Model Cognitive Apprenticeship telah dikembangkan dalam semua dimensi

    agar dapat diterapkan untuk mengajar kurikulum sekolah. Untuk memfasilitasi model

    Cognitive Apprenticeship, telah dikembangkan kerangka kerja yang menggambarkan

    empat dimensi yang membentuk setiap lingkungan belajar, diantaranya: content,

    method, sequencing, dan sociology.10

    a. Content

    Content merupakan jenis-jenis pengetahuan yang dimiliki siswa. Penelitian

    kognitif telah membedakan jenis pengetahuan yang diperlukan untuk keahlian,

    diantaranya pengetahuan konseptual, faktual, dan prosedural eksplisit.11 Berikut

    kerangka kerja Allan, untuk lingkungan belajar yang ideal akan mencakup empat

    kategori pengetahuan pakar.

    1.1 Domain Knowledge (Pengetahuan domain)

    Pengetahuan domain mencakup pengetahuan konseptual dan faktual serta

    prosedur yang secara eksplisit diidentifikasi dengan subjek tertentu; ini

    umumnya dijelaskan dalam buku pelajaran sekolah.12 Pengetahuan ini dapat

    berupa pengetahuan awal yang dimiliki siswa. Pengetahuan semacam ini penting,

    namun tidak memadai bagi beberapa siswa tentang bagaimana menyelesaikan

    masalah dan melakukan tugas dalam domain. Selain itu, ketika dipelajari secara

    terpisah dari konteks masalah yang realistis dan praktik pemecahan masalah ahli,

    pengetahuan domain cenderung tetap tidak efektif dalam situasi yang sesuai,

    bahkan untuk siswa yang sukses. Dan akhirnya, walaupun setidaknya beberapa

    9 Vanessa P. Dennen dan Kerry J. Burner, op. cit., h. 427. 10 Allan Collins, John Seely Brown, dan Susan E. Newman, “Cognitive Apprenticeship:

    Teaching The Craft of Reading, Writing, and Mathematics. Technical Report No. 403”, ERIC, h. 15. 11 Ibid., h. 15. 12 Ibid., h. 16.

  • 25

    konsep dapat dijelaskan secara formal, banyak seluk-beluk penting dari

    maknanya yang terbaik diperoleh dengan menerapkannya dalam berbagai situasi

    masalah. Memang, hanya dengan bertemu mereka dalam pemecahan masalah

    nyata maka sebagian besar siswa akan mempelajari kondisi batas dan persyaratan

    dari banyak pengetahuan domain mereka. Dalam matematika, sebagian besar

    pengetahuan domain, selain jumlah fakta dan definisi, terdiri dari prosedur untuk

    menyelesaikan berbagai jenis masalah.

    2.1 Problem solving strategies and heuristics

    Strategi pemecahan masalah dan heuristik pada umumnya adalah teknik

    dan pendekatan yang efektif untuk menyelesaikan tugas-tugas. Dalam

    matematika, heuristik untuk pemecahan masalah adalah dengan mencoba

    menemukan solusi untuk kasus-kasus sederhana dan melihat apakah solusinya

    dapat digeneralisasi.13

    3.1 Control strategies

    Strategi kontrol, seperti namanya, mengontrol proses pelaksanaan tugas.

    Ketika siswa semakin banyak menyelidiki sendiri dan strategi untuk

    memecahkan masalah, mereka menghadapi masalah manajemen atau kontrol

    yang baru yaitu, bagaimana memilih diantara berbagai strategi pemecahan

    masalah yang mungkin, bagaimana memutuskan kapan harus mengubah strategi,

    dan sebagainya. Pengetahuan yang dimiliki para ahli tentang penyelesaian

    masalah dapat dirumuskan sebagai strategi kontrol. Strategi kontrol

    membutuhkan refleksi pada proses penyelesaian masalah untuk menentukan

    bagaimana untuk melanjutkan. Hal ini dilakukan guru sepanjang proses

    pembelajaran untuk melihat kendala yang dialami siswa. Strategi kontrol

    beroperasi di berbagai tingkatan. Beberapa ditujukan untuk mengelola

    penyelesaian masalah ditingkat global dan mungkin berguna diseluruh domain;

    13 Allans Collins, The Cambridge Handbook of the Learning Sciences, Chapter 4: Cognitive

    Apprenticeship, tersedia di https://www.cambridge.org/core diunduh pada tanggal 16 Juli 2020, h.49.

    https://www.cambridge.org/core

  • 26

    misalnya strategi kontrol sederhana untuk menyelesaikan masalah yang

    kompleks mungkin untuk beralih ke bagian baru dari masalah jika ada yang

    terjebak dibagian lain. Strategi kontrol memiliki komponen pemantauan,

    diagnostik dan perbaikan; keputusan tentang bagaimana melanjutkan suatu tugas

    tergantung pada penilaian keadaan saat ini relatif terhadap tujuan seseorang, pada

    analisis kesulitan saat ini, dan pada strategi apa yang tersedia untuk menghadapi

    kesulitan.14 Pemantauan dapat direpresentasikan sebagai kegiatan yang

    membantu siswa untuk menilai kemajuan mereka secara umum dengan

    memberikan kriteria sederhana untuk menentukan apakah tujuan yang diberikan

    tercapai atau tidak.

    4.1 Learning Strategies

    Strategi pembelajaran adalah strategi untuk mempelajari jenis konten lain

    yang dijelaskan diatas. Seperti jenis pengetahuan proses lainnya yang telah

    dijelaskan, pengetahuan tentang cara belajar berkisar dari strategi umum untuk

    menjelajahi domain baru hingga strategi lokal yang lebih luas untuk memperluas

    atau mengkonfigurasi ulang pengetahuan ketika kebutuhan muncul dalam

    menyelesaikan masalah atau melaksanakan tugas yang kompleks.15 Untuk

    belajar memecahkan matematika dengan lebih baik, ada baiknya mencoba

    memecahkan contoh soal yang disajikan dalam teks sebelum membaca solusinya,

    untuk memberikan dasar untuk membandingkan metode solusi sendiri dengan

    metode solusi dalam buku.

    b. Method

    Dimensi kedua dalam kerangka kerja Cognitive Apprenticeship adalah

    method. Method merupakan cara yang digunakan guru untuk pembelajaran di

    kelas. Sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Collins dkk, terdiri dari enam

    14 Allan Collins, John Seely Brown, dan Ann Holum, “Cognitive Apprenticeship: Making

    Thinking Visible”, American Educator, 1991 (Winter), h. 13. 15 Ibid., h. 13.

  • 27

    metode pengajaran: modelling, coaching, scaffolding, articulation, reflection,

    dan exploration.16

    1.2 Modelling (pemodelan)

    Pemodelan melibatkan seorang ahli melakukan tugas sehingga siswa dapat

    mengamati dan membangun model konseptual dari proses yang diperlukan untuk

    menyelesaikan tugas.17 Dalam pembelajaran, seorang ahli yang dimaksud adalah

    guru. Pada tahap ini, guru dapat memberikan sebuah gambaran umum terkait

    materi yang sedang dipelajari sesuai dengan konteks kehidupan sehari-hari.

    Gambaran umum disini dapat berupa contoh benda, sebuah video, atau

    menampilkan aktivitas kegiatan sehari-hari yang berkaitan dengan matematika.

    Ini dikarenakan dalam ranah kognitif, membutuhkan eksternalisasi proses dan

    aktivitas. Oleh karena itu, dengan memberikan dan menampilkan gambaran

    umum suatu materi kedalam bentuk kontekstual, maka siswa dapat mengamati,

    membuat, dan mempraktikkan keterampilan yang diperlukan.

    Metode modelling memiliki beberapa manfaat lainnya, yaitu

    mengintegrasikan apa yang terjadi dan mengapa itu terjadi dan memperlihatkan

    bagian-bagian dari suatu proses yang biasanya tidak terlihat.18 Hal ini penting

    karena dengan begitu siswa akan bertanya-tanya sehingga siswa menjadi lebih

    aktif dan antusias. Selain itu, dalam tahap pemodelan guru dapat melihat

    pengetahuan awal siswa dan memanfaatkannya.

    2.2 Coaching (pembinaan)

    Coaching terdiri dari mengamati siswa saat mereka melakukan tugas dan

    menawarkan petunjuk, bantuan, umpan balik, pemodelan, pengingat, kinerja

    yang lebih dekat dengan kinerja pakar.19 Artinya adalah bahwa dalam tahap

    16 Yam San Chee, op. cit., h. 137. 17 Gloria Kuhn, “Cognitive Apprenticeship”, Statewide Campus System, Michigan State School

    of Osteopathic Medicine, 2011, h. 2. 18 Allan Collins, Educational Values and Cognitive Instruction: Implications for Reform, h.

    125. 19 Allan Collins, John Seely Brown, dan Susan E. Newman, op. cit., h. 18.

  • 28

    coaching ini, siswa diberikan tugas agar guru dapat melatih siswa, dalam hal ini

    dapat menggunakan lembar kerja siswa. Coaching memfokuskan pada tugas-

    tugas baru yang bertujuan untuk memberlakukan dan mengintegrasikan

    keterampilan mereka dalam mencapai tujuan yang dipahami dengan baik melalui

    umpan balik oleh guru. Artinya, interaksi pembinaan berkaitan dengan peristiwa

    atau masalah tertentu yang muncul ketika siswa berusaha untuk melaksanakan

    tugas. Dalam pembinaan, siswa terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah yang

    mengharuskan mereka menerapkan secara tepat dan secara aktif

    mengintegrasikan keterampilan dan pengetahuan konseptual. Lewat sini,

    pengetahuan konseptual dan faktual dicontohkan dalam konteks penggunaannya.

    Dengan demikian pengetahuan dalam pengalaman akan membuat pembelajaran

    menjadi bermakna. Coaching memiliki beberapa manfaat diantaranya:20

    a) Coaching memberikan bantuan yang diarahkan pada kesulitan yang nyata.

    Dengan mengamati siswa dalam situasi penyelesaian masalah, guru dapat

    melihat kesulitan apa yang dialami siswa tertentu. Hal tersebut dikarenakan

    guru di sekolah jarang memiliki kesempatan untuk mengamati pemecahan

    masalah siswa, sebagian besar bantuan yang mereka berikan tidak benar-

    benar diarahkan pada masalah yang sebenarnya dimiliki siswa.

    b) Coaching memberikan bantuan pada saat-saat kritis. Pembinaan

    memberikan bantuan kepada siswa ketika mereka sangat membutuhkannya.

    Ketika mereka sedang berjuang dengan tugas dan paling menyadari faktor-

    faktor penting yang memandu keputusan mereka. Dengan demikian, mereka

    berada dalam posisi terbaik untuk menggunakan bantuan yang diberikan.

    c) Coaching memberikan bantuan sebanyak yang dibutuhkan untuk

    menyelesaikan tugas. Pembinaan memungkinkan siswa untuk melakukan

    tugas yang mungkin tidak dapat mereka selesaikan. Ini memberi mereka

    perasaan bahwa mereka benar-benar dapat melakukan tugas-tugas sulit.

    20 Allan Collins, op. cit., h. 127.

  • 29

    Ketika mereka menjadi lebih terampil, memberi siswa lebih banyak kontrol

    atas pelaksanaan tugas.

    d) Coaching menyediakan kacamata baru untuk siswa. Guru dapat membantu

    siswa melihat proses dari perspektif yang sama sekali berbeda. Guru dapat

    menunjukkan hal-hal yang tidak berjalan seperti yang diharapkan dan

    menjelaskan alasannya.

    3.2 Scaffolding

    Scaffolding merujuk pada dukungan yang diberikan guru untuk membantu

    siswa menyelesaikan tugas.21 Dukungan ini dapat berupa saran atau bantuan.

    Ketika scaffolding disediakan oleh seorang guru, itu melibatkan guru dalam

    melaksanakan bagian dari keseluruhan tugas yang belum dapat dikelola siswa.

    Dengan demikian, ini melibatkan semacam upaya pemecahan masalah yang

    kooperatif oleh guru dan siswa di mana maksud yang jelas adalah agar siswa

    mengambil sebanyak mungkin tugas individu, sesegera mungkin. Persyaratan

    scaffolding tersebut adalah diagnosis akurat tingkat keterampilan atau kesulitan

    siswa saat ini dan ketersediaan langkah perantara pada tingkat kesulitan yang

    sesuai dalam melaksanakan kegiatan target.22 Perlu diperhatikan bahwa guru

    harus benar-benar memahami kemampuan yang dimiliki setiap siswanya,

    sehingga bantuan dapat diberikan secukupnya sesuai kebutuhan siswa. Sehingga

    pada akhirnya siswa mampu memecahkan masalahnya secara mandiri.

    4.2 Articulation (Artikulasi)

    Artikulasi mencakup cara apa pun untuk membuat siswa

    mengartikulasikan pengetahuan, pemikiran, atau proses pemecahan masalah

    yang mereka lakukan.23 Dalam artikulasi, guru mendorong siswa untuk

    menjelaskan pengetahuan, alasan, dan strategi pemecahan masalah. Proses

    artikulasi disini dapat berupa presentasi depan kelas, sehingga siswa dapat

    21 Allans Collins, op.cit., h. 51. 22 Allan Collins, John Seely Brown, dan Susan E. Newman, op. cit., h. 19. 23 Ibid., h. 19.

  • 30

    menjelaskan hasil pemikiran yang mereka peroleh. Pada proses ini, siswa dilatih

    dan diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan pengetahuan dan pendapatnya

    dari sudut pandang siswa. Dengan ini, guru dapat melihat dan menilai

    kemampuan siswa ataupun kesalahan siswa dalam proses menyelesaikan

    masalah. Selain itu, guru dapat meminta siswa meringkas dan menulis kembali

    hasil pembelajaran saat itu sesuai dengan apa yang mereka pahami. Kegiatan

    tersebut memberikan dorongan bagi siswa untuk terlibat dalam penyempurnaan

    dan reorganisasi pengetahuan. Penggunaan tugas-tugas yang dibuat oleh guru

    seperti lembar kerja siswa sebagai bagian dari proses pembelajaran sangat efektif

    untuk mendukung tahap artikulasi untuk mencapai tujuan yang diharapkan guru.

    Tugas semacam itu menuntut siswa untuk berpartisipasi dalam menghasilkan

    pengetahuan dan mengevaluasi hasil kegiatan pengembangan pengetahuan

    sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran kolaboratif.

    Artikulasi memiliki beberapa manfaat, diantaranya:24

    a) Membuat pengetahuan menjadi eksplisit. Ketika pengetahuan diperoleh, itu

    hanya dapat digunakan dalam konteks yang memperoleh pengetahuan secara

    otomatis. Dengan memaksa siswa untuk mengartikulasikan pengetahuan

    mereka, itu menggeneralisasikan pengetahuan dari konteks tertentu sehingga

    dapat digunakan dalam keadaan lain.

    b) Membuat pengetahuan lebih tersedia untuk diolah kembali dalam tugas-

    tugas lain. Pengetahuan yang diartikulasikan sebagai bagian dari

    serangkaian ide yang saling berhubungan menjadi lebih mudah tersedia.

    c) Membandingkan strategi lintas konteks. Ketika strategi diartikulasikan,

    siswa dapat mulai melihat bagaimana strategi yang sama berlaku dalam

    konteks yang berbeda.

    d) Artikulasi untuk siswa lain mempresentasikan wawasan ke dalam perspektif

    alternatif. Jika siswa mencoba menjelaskan ide (atau masalah) kepada siswa

    24 Allan Collins, op.cit., h. 133-134.

  • 31

    lain, maka mereka mulai melihat ide dari sudut pandang siswa lain. Jika

    mereka mendapat tanggapan dari siswa lain, mereka dapat melihat kesulitan

    apa yang dimiliki siswa lain dengan gagasan itu dan bagaimana orang lain

    melihat masalah yang sama. Dengan begitu, siswa dapat memasuki tahap

    selanjutnya yaitu, refleksi.

    5.2 Reflection (Refleksi)

    Pada tahap refleksi, melibatkan siswa untuk membandingkan proses

    pemecahan masalah mereka dengan proses yang dilakukan oleh seorang guru,

    siswa lain, dan seorang ahli yang terkait.25 Dengan melakukan perbandingan

    semacam itu dapat membantu siswa dalam mendiagnosis kesulitan mereka dan

    secara bertahap menyesuaikan kinerja mereka hingga mereka mencapai

    kompetensi. Selain itu, siswa juga dapat membandingkannya dengan apa yang

    telah dijelaskan oleh guru. Dengan ini, siswa dapat memperoleh pemahaman

    secara utuh dan benar.

    Refleksi mendorong siswa untuk memikirkan tentang bagaimana hasil

    kerjanya mungkin berbeda dengan siswa lain dan perubahan apa yang diperoleh

    untuk menyelesaikan masalah. Hal tersebut bukan berarti cara yang mereka

    gunakan salah, namun siswa dapat memilih cara yang lebih efektif dan yang lebih

    mudah dipahaminya.

    Refleksi memiliki beberapa manfaat, yaitu antara lain.

    a) Apa yang siswa lakukan menjadi objek pembelajaran.26 Para siswa mulai

    melihat kinerja mereka pada tugas-tugas sebagai data yang akan dianalisis.

    Mereka mungkin tidak pernah menganggap serius apa yang telah mereka

    lakukan sebelumnya. Refleksi mendorong mereka untuk memikirkan proses

    mereka dari sudut pandang bagaimana mereka mungkin berbeda dan

    perubahan apa yang akan mengarah pada peningkatan kinerja.

    25 Yam San Chee, op. cit., h. 138. 26 Allan Collins, op. cit., h. 130.

  • 32

    b) Siswa dapat membandingkan kinerja mereka dengan orang lain.27 Refleksi

    memungkinkan siswa melihat bagaimana siswa yang berbeda dan lebih

    banyak ahli melakukan tugas yang sama. Ini mendorong mereka untuk

    membentuk hipotesis tentang aspek apa dari suatu proses yang penting untuk

    kinerja yang berhasil dan tidak berhasil.

    6.2 Exploration (Eksplorasi)

    Eksplorasi merupakan tahap dimana siswa mengaplikasikan apa yang telah

    mereka pelajari.28 Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan

    eksplorasi sangat penting bagi siswa, agar mereka dapat belajar bagaimana

    menyusun pertanyaan atau masalah yang menarik dan mereka dapat

    menyelesaikannya. Eksplorasi adalah dimana guru mendorong siswa menjadi

    pembelajar yang independen.29 Artinya, siswa benar-benar menyelesaikan

    masalahnya sendiri tanpa bantuan dari guru sedikitpun. Ini tidak hanya

    memudarnya bantuan dalam pemecahan masalah, tetapi juga memudarnya

    bantuan dalam pengaturan masalah. Jadi strategi eksplorasi perlu diajarkan

    sebagai bagian dari strategi pembelajaran secara lebih umum. Hal ini dapat

    dilakukan secara terpisah dalam pertemuan pembelajaran selanjutnya. Hal ini

    dikarenakan eksplorasi sebagai metode pengajaran melibatkan penetapan tujuan

    umum bagi siswa, tetapi mendorong mereka untuk fokus pada tujuan tertentu

    yang menarik bagi mereka atau bahkan untuk merevisi tujuan umum ketika

    mereka menemukan sesuatu yang lebih menarik untuk dikerjakan.

    Pada eksplorasi ini, siswa akan membuat penemuan sendiri ketika siswa

    diberikan masalah atau membuat masalahnya sendiri lalu kemudian menguji

    hipotesis dan memecahkan masalahnya sendiri. Mereka akan membuatnya

    menjadi berkesan dan bermakna. Mereka bahkan dapat menemukan ide-ide yang

    27 Allan Collins, loc. cit. 28 Benilde Garcia-Cabrero. et al., “Design of a learning-centered online environment: a

    cognitive apprenticeship approach”, Springer, 2018, h. tidak ada halaman. 29 Yam San Chee, op. cit., h. 138.

  • 33

    benar-benar baru. Tetapi bahkan ketika mereka datang dengan ide-ide lama,

    mereka setidaknya akan merasakan darimana ide-ide itu berasal dan mengapa

    mereka penting.

    c. Sequencing

    Allan telah mengidentifikasi beberapa dimensi atau prinsip yang harus

    memandu urutan kegiatan pembelajaran untuk memfasilitasi pengembangan

    keterampilan pemecahan masalah yang kuat.

    1.3 Increasing Complexity (Peningkatan Kerumitan)

    Meningkatnya kerumitan mengacu pada pembangunan urutan tugas

    sehingga semakin banyak keterampilan dan konsep yang diperlukan oleh guru.30

    Ada dua mekanisme untuk membantu siswa mengelola peningkatan

    kompleksitas.31 Pertama, upaya yang harus dilakukan untuk mengendalikan

    kompleksitas tugas. Mekanisme kunci kedua untuk membantu siswa mengelola

    kompleksitas adalah penggunaan Scaffolding, yang memungkinkan siswa untuk

    menangani sejak awal, dengan dukungan dari guru, serangkaian kegiatan

    kompleks yang diperlukan untuk melakukan tugas yang menarik.

    2.3 Increasing Diversity (Peningkatan Keragaman)

    Meningkatkan keragaman mengacu pada pembangunan urutan tugas yang

    lebih luas dan lebih bervariasi.32 Selain itu, ketika siswa belajar untuk

    menerapkan keterampilan ke masalah yang lebih beragam dan situasi masalah,

    strategi mereka menjadi bebas dari ikatan kontekstual mereka (atau mungkin

    lebih akurat, memperoleh jaring yang lebih kaya dari asosiasi kontekstual) dan

    dengan demikian lebih mudah tersedia untuk digunakan dalam berbagai masalah.

    Hal tersebut dapat guru lakukan melalui jenis masalah pada lembar kerja siswa

    dan dapat menggunakannya pada tahap eksplorasi guna untuk meningkatkan

    keterampilan siswa.

    30 Allan Collins, John Seely Brown, dan Susan E. Newman, op. cit., h. 20. 31 Ibid., h. 20. 32 Ibid., h. 21.

  • 34

    3.3 Global Before Local Skills

    Untuk ranah kognitif, ini secara berurutan mengurutkan pelajaran sehingga

    siswa memiliki kesempatan untuk menerapkan seperangkat keterampilan dalam

    membangun solusi masalah yang menarik sebelum mereka diminta untuk

    menghasilkan atau mengingat keterampilan tersebut. Hal ini menunjukkan

    bahwa dalam urutan pembelajaran ada bias terhadap mendukung keterampilan

    tingkat rendah atau gabungan yang harus disatukan siswa untuk melaksanakan

    tugas yang kompleks. Dalam aljabar, misalnya siswa dapat merasa lega karena

    harus melakukan komputasi tingkat rendah dimana kurangnya keterampilan atau

    kemampuan mereka untuk berkonsentrasi pada penalaran tingkat tinggi dan

    strategi yang diperlukan untuk memecahkan masalah. Efek utama dari prinsip

    sequencing ini adalah untuk memungkinkan siswa membangun peta konseptual,

    jadi untuk berbicara mereka telah memiliki pengetahuan yang dibutuhkan. Secara

    umum, meminta siswa membangun model konseptual, keterampilan, atau proses

    yang juga didorong oleh pemodelan ahli menyelesaikan dua hal.33 Pertama,

    bahkan ketika pelajar hanya mampu melaksanakan sebagian tugas, memiliki

    konsepsi yang jelas model keseluruhan kegiatan keduanya membantunya

    memahami bagian-bagian yang ia lakukan dan memberikan tujuan yang jelas

    untuk dicapai saat ia mengambil dan mengintegrasikan lebih banyak bagian.

    Kedua, kehadiran model konseptual yang jelas dari tugas target bertindak sebagai

    panduan untuk kinerja pelajar, sehingga meningkatkan kemampuannya untuk

    memantau kemajuannya sendiri dan untuk mengembangkan keterampilan

    koreksi diri yang terkait.

    d. Sociology

    Dimensi terakhir dalam kerangka kerja ini menyangkut sosiologi

    lingkungan belajar, dimensi kritis yang sering diabaikan dalam keputusan tentang

    kurikulum dan praktik pedagogis. Aspek sosial dapat menjadi aspek pendukung

    33 Ibid., h. 21.

  • 35

    dalam mencapai tujuan pembelajaran, integrasi peningkatan keterampilan dan

    penghargaan sosial, membantu memotivasi dan pembelajaran di lapangan. Selain

    itu, aspek-aspek tertentu dari organisasi sosial magang mendorong keyakinan

    produktif tentang sifat pembelajaran dan keahlian yang penting untuk motivasi,

    kepercayaan diri, dan yang paling penting orientasi mereka terhadap masalah

    yang mereka hadapi saat belajar.34 Misalnya, kehadiran peserta didik lain

    memberikan kalibrasi kepada peserta magang untuk kemajuan mereka sendiri,

    membantu mereka mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan mereka dan dengan

    demikian memfokuskan upaya mereka untuk perbaikan. Selain itu, ketersediaan

    guru dapat membantu pelajar menyadari bahwa bahkan para ahli pun memiliki

    gaya dan cara yang berbeda dalam melakukan berbagai hal dan bakat khusus

    yang berbeda. Keyakinan semacam itu mendorong peserta didik untuk

    memahami belajar karena menggunakan berbagai sumber daya dalam konteks

    sosial untuk mendapatkan bantuan dan umpan balik.

    Dari pertimbangan tentang masalah-masalah umum ini, Allan telah

    mengabstraksikan lima karakteristik kritis yang mempengaruhi sosiologi

    pembelajaran.35

    1.4 Situated Learning

    Sebuah elemen penting untuk belajar adalah bahwa siswa sedang

    melakukan tugas dan memecahkan masalah di lingkungan yang mencerminkan

    berbagai kegunaan yang pengetahuan mereka akan diletakkan di masa depan.36

    Tujuan ini memiliki beberapa makna yang berbeda. Pertama, siswa akan

    memahami tujuan atau penggunaan pengetahuan yang mereka pelajari. Kedua,

    mereka akan belajar dengan menggunakan pengetahuan secara aktif, dan

    bukannya secara pasif menerimanya. Ketiga, mereka akan mempelajari berbagai

    kondisi di mana pengetahuan mereka dapat diterapkan. Keempat, pembelajaran

    34 Ibid., h. 22. 35 Ibid., h. 22. 36 Allan Collins, op. cit., h. 52.

  • 36

    dalam berbagai konteks menginduksi abstraksi pengetahuan, sehingga siswa

    memperoleh pengetahuan dalam bentuk ganda, keduanya terikat pada konteks

    penggunaannya dan tidak tergantung pada konteks tertentu. Pengikatan

    pengetahuan ini dari konteks tertentu mendorongnya menggunakan pengetahuan

    ke dalam masalah baru.

    2.4 Culture of Expert Practice

    Budaya praktik ahli mengacu pada penciptaan lingkungan belajar di mana

    peserta secara aktif berkomunikasi dan terlibat dalam, keterampilan yang

    berhubungan dengan keahlian, di mana keahlian dipahami sebagai praktik

    menyelesaikan masalah dan melaksanakan tugas.37 Hal tersebut dapat

    disesuaikan dengan latar belakang budaya dan kondisi geografis lingkungan

    sekolah berada. Ini digunakan agara dapat membantu menempatkan dan

    mendukung pembelajaran dalam beberapa cara. Pertama, suatu budaya memberi

    para pelajar model-model keahlian yang digunakan, ketersediaan model seperti

    itu membantu peserta didik membangun dan memperbaiki model konseptual dari

    tugas yang mereka coba laksanakan. Namun, lingkungan belajar di mana para

    ahli hanya memecahkan masalah dan melaksanakan tugas, dan peserta didik

    hanya menonton, tidak memadai untuk memberikan model yang efektif untuk

    belajar, terutama dalam domain kognitif, di mana banyak proses dan kesimpulan

    yang relevan diam-diam dan tersembunyi. Dengan demikian, jika pemodelan ahli

    akan efektif dalam membantu siswa menginternalisasi model konseptual yang

    digunakan, para ahli harus dapat mengidentifikasi dan mewakili siswa proses

    kognitif yang mereka lakukan ketika mereka memecahkan masalah. Membawa

    siswa ke dalam budaya praktik pakar dalam ranah kognitif melibatkan mengajar

    mereka cara "berpikir seperti pakar".38 Fokus dari banyak penelitian kognitif saat

    ini adalah untuk memahami dengan lebih baik apa yang sebenarnya dimaksud

    37 Allan Collins, John Seely Brown, dan Susan E. Newman, op. cit., h. 23. 38 Ibid., h. 23.

  • 37

    dengan tujuan tersebut dan untuk menemukan cara untuk berkomunikasi secara

    lebih efektif tentang proses yang terlibat. Dengan demikian, penciptaan budaya

    praktik ahli untuk pembelajaran harus dipahami untuk memasukkan interaksi

    yang terfokus antara peserta didik dan para ahli untuk tujuan penyelesaian

    masalah dan melaksanakan tugas.

    3.4 Intrinsic Motivation

    Terkait dengan masalah pembelajaran terletak dan kultur budaya praktik

    ahli adalah kebutuhan untuk mempromosikan motivasi intrinsik untuk belajar.

    Lepper dan Greene (1978) dan Malone (1981) membahas pentingnya

    menciptakan lingkungan belajar di mana siswa melakukan tugas karena mereka

    secara intrinsik tertarik pada pembelajaran, daripada untuk beberapa alasan

    ekstrinsik seperti mendapatkan nilai bagus atau menyenangkan guru.39 Secara

    umum, metode modeling dan coaching, sejauh mereka mempromosikan

    perolehan keterampilan terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran yang jelas,

    mendukung motivasi intrinsik. Tetapi yang tak kalah penting adalah bahwa

    siswa berupaya untuk melakukan tugas-tugas realistis dalam semangat.

    4.4 Exploiting Cooperation

    Karakteristik ini mengacu pada siswa bekerja sama dalam memecahkan

    masalah. Belajar secara kooperatif menyediakan sumber tambahan bantuan

    dalam scaffolding yaitu dari teman kelompoknya. Pengetahuan akan

    didistribusikan kepada seluruh anggota kelompok melalui diskusi. Dengan

    begitu, memungkinkan bagi siswa untuk berbagi pengetahuan dan keterampilan,

    memberikan siswa peluang tambahan untuk memahami konsep dan aspek

    lainnya yang diperoleh dari bekerja sama. Selain itu, siswa dapat saling

    membantu, memahami alasan atau membedakan karakteristik, beberapa konsep

    atau keterampilan yang baru. Beberapa siswa mungkin memiliki kemampuan

    pemahaman yang lebih baik, atau telah melewati kesulitan lebih dahulu

    39 Allan Collins, op. cit., h. 53.

  • 38

    dibanding siswa lainnya. Kemudian pembelajaran kooperatif dapat

    menumbuhkan artikulasi siswa dengan membantu menjelaskan pemahaman yang

    diperolehnya kepada siswa lainnya.

    5.4 Exploiting Competition

    Exploiting Competition mengacu pada strategi memberi siswa tugas yang

    sama dan kemudian membandingkan apa yang mereka peroleh. Satu efek penting

    dari perbandingan itu adalah memberikan fokus perhatian dan upaya siswa untuk

    memperbaiki kesalahan dan meningkatkan pengetahuan. Namun, agar

    persaingan ini efektif bukan untuk melihat hasil pemecahan masalah, melainkan

    prosesnya, dan ini jarang terjadi. Hal ini dikarenakan beberapa siswa yang justru

    terhambat oleh situasi kompetisi dan bukan termotivasi. Kompetisi ini dapat

    menimbulkan masalah emosional bagi sebagian siswa dan justru berpotensi

    membingungkan siswa.

    3. Metode Scaffolding

    Istilah scaffolding berasal dari istilah dalam ilmu teknik sipil yaitu berupa

    bangunan kerangka sementara atau penyangga yang memudahkan pekerja

    membangun gedung.40 Kerangka sementara yang dimaksud artinya tidak digunakan

    secara terus menerus, melainkan hanya digunakan pada awal-awal pembangunan

    yang kemudian tidak digunakan lagi saat bangunan sudah kuat. Dalam bidang

    pendidikan, scaffolding diimplementasikan dengan makna yang sejalan dengan

    scaffolding dalam ilmu teknik sipil. Scaffolding adalah bantuan seperlunya yang

    diberikan oleh guru kepada siswa yang kemudian secara bertahap dikurangi, akhirnya

    siswa dapat berdiri sendiri dalam melakukan aktivitas belajar.41 Pemberian sejumlah

    40 Ratu Rahma Felasiva, “Pengaruh Strategi Pembelajaran REACT Dengan Teknik Scaffolding

    Terhadap Kemampuan Koneksi Matematik Siswa Di SMP Negeri 11 Depok”, Skripsi UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta, 2015, h. 23. 41 Akbar Sutawidjaja dan Jarnawi Afgani, Modul 1 Konsep Dasar Pembelajaran Matematika,

    tersedia di http://www.pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/MPMT5301-M1.pdf diunduh

    pada tanggal 13 Mei 2020, h. 1.4-1.5

    http://www.pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/MPMT5301-M1.pdf

  • 39

    bantuan kepada siswa dilakukan selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian

    mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung

    jawab yang semakin besar setelah siswa dapat melakukannya. Perlu diperhatikan

    bahwa, bantuan yang diberikan guru hanya secukupnya untuk mendukung

    pemahaman siswa. Berdasarkan beberapa pendapat diatas, scaffolding adalah bantuan

    secukupnya yang diberikan guru pada tahap awal-awal pembelajaran untuk

    mendukung pemahaman siswa.

    Scaffolding ini dapat berupa penyederhanaan tugas, memberikan petunjuk kecil

    mengenai apa yang harus dilakukan siswa, pemberian model prosedur penyelesaian

    tugas, menunjukkan kepada siswa apa saja yang telah dilakukannya dengan baik,

    pemberitahuan kekeliruan yang dilakukan siswa dalam langkah pengerjaan tugas, dan

    menjaga agar rasa frustasi siswa masih berada pada tingkat yang masih dapat

    ditanggungnya.42 Guru tidak harus menjelaskan semua konsep pada siswa, agar

    mereka dapat menemukan konsepnya sendiri sehingga guru hanya memberikan

    petunjuk kecil. Lalu selama proses tersebut guru tetap memantau sehingga jika siswa

    melakukan kesalahan, guru dapat langsung memberitahukan letak kesalahan siswa.

    Berdasarkan pemahaman guru terhadap kemampuan siswa, siswa didorong dan

    ditugaskan untuk mengerjakan tugas yang sedikit lebih sulit, dan selangkah lebih

    tinggi dari kemampuan yang saat ini dimiliki dengan intensitas bimbingan yang

    semakin berkurang. Namun begitu, guru terus mendukung siswa agar siswa tidak

    menyerah dalam prosesnya.

    Ada berbagai macam cara yang dapat digunakan dalam metode scaffolding.

    Plister berpendapat bahwa pemanfaatan scaffolding dalam pembelajaran terdiri dari

    kegiatan 1) memberikan umpan balik (feeding back); 2) memberikan kisi-kisi pada

    persoalan matematika yang diberikan (giving hints); 3) memberikan instruksi

    (instruction); 4) explaining, menyediakan atau memfasilitasi siswa untuk

    42 Rudi Santoso Yohanes, “Teori Vygotsky Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran

    Matematika”, Widya Warta No. 02 Tahun XXXIV, Juli 2010, h. 131.

  • 40

    memperoleh informasi detail terkait materi pelajaran; 5) modelling, memberikan

    contoh; 6) questioning, memberikan pertanyaan-pertanyaan yang mengasah

    kemampuan komunikasi dan kognitif siswa.43 Kegiatan tersebut dapat digunakan

    selama pemberian bantuan kepada siswa. Sementara itu, Byrnes menyatakan

    Vygotsky telah mengidentifikasi empat fase pembelajaran scaffolding, yaitu (1)

    pemodelan, dengan penjelasan secara verbal, (2) peniruan terhadap pemodelan guru,

    (3) masa ketika guru mulai menghilangkan bantuannya, dan (4) siswa telah mencapai

    level penguasaan seorang ahli.44 Fase tersebut merupakan proses yang dialami siswa

    dari pengetahuan awal yang dimilikinya hingga mencapai level penguasaan konsep.

    Oleh karena itu, scaffolding dapat diartikan sebagai sebuah alat penghubung untuk

    menghubungkan apa yang telah diketahui siswa dengan apa yang belum diketahui

    siswa hingga pada pencapaian yang akan dikuasai oleh siswa.

    Applebee dan Langer, mengidentifikasi ada lima langkah dalam pembelajaran

    dengan menerapkan scaffolding, antara lain:

    1) Intentionality, yaitu mengelompokkan bagian yang kompleks yang akan dikuasai

    siswa menjadi beberapa bagian yang spesifik dan jelas;

    2) Appropriatenes, yaitu memfokuskan pemberian bantuan pada aspek-aspek yang

    belum dapat dikuasai siswa secara maksimal;

    3) Structure, yaitu pemberian model agar siswa dapat belajar dari model yang

    ditampilkan, model tersebut dapat diberikan melalui proses berpikir, model yang

    diverbalkan dengan kata-kata dan model melalui perbuatan atau performansi,

    kemudian siswa diminta untuk menjelaskan apa yang telah dipelajari dari model

    tersebut;

    43 Wahyuning Retnodari, Widanty F. Elbas, dan Selvi Loviana, “Scaffolding Dalam

    Pembelajaran Matematika”, Linear, Vol. 1, No.1, 2020, h. 18. 44 Sugeng Sutiarso, “Scaffolding Dalam Pembelajaran Matematika”, Prosiding Seminar

    Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, 2009, h. 528.

  • 41

    4) Collaboration, yaitu guru melakukan kolaborasi dan memberikan respon

    terhadap tugas yang dikerjakan oleh siswa, peran guru disini bukan sebagai

    evaluator, tetapi sebagai kolaborator;

    5) Internalization, yaitu pemantapan pengetahuan yang dimiliki siswa agar benar-

    benar dikuasai dengan baik.45

    B. Hasil Penelitian yang Relevan

    Hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian kali ini adalah

    sebagai berikut.

    1. Artikel yang berjudul “Cognitive Apprenticeship: Teaching The Craft Of

    Reading, Writing, And Mathematics” ini ditulis oleh Allan Collins, John Seely

    Brown, dan Susan E. Newman pada tahun 1987. Artikel yang diterbitkan oleh

    jurnal Eric tersebut menjelaskan tentang Cognitive Apprenticeship dan

    pengembangannya. Persamaan artikel tersebut dengan penelitian ini adalah

    kerangka kerja yang terdapat dalam Model Cognitive Apprenticeship. Namun,

    dalama artikel tersebut tidak menjelaskan tentang penggunaannya dalam

    pembelajaran matematika. Kerangka kerja yang terdapat dalam artikel tersebut

    terdiri dari empat komponen, diantaranya content, method, sequencing, dan

    sociology.

    2. Penelitian yang dilakukan oleh Novita Sari dengan judul “Efektivitas

    Penggunaan Teknik Scaffolding Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Matematika

    Pada Siswa SMP Swasta Al-Washliyah Medan” pada tahun 2017. Penelitian

    tersebut bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan teknik scaffolding

    dalam meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Hasilnya adalah teknik

    scaffolding dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Persamaan

    45 Umi Muti’ah, St. Budi Waluya, dan Mulyono, “Membangun Kemampuan Berpikir Kreatif

    Matematis Dengan Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) Dengan Strategi Scaffolding”,

    Prosiding Seminar Nasional Pascasarjana UNNES, 2019, h. 891.

  • 42

    penelitian tersebut dengan yang dilakukan penulis terletak pada tahap-tahap

    pembelajaran yang digunakannya. Tahapan dengan pembelajaran menggunakan

    scaffolding yaitu antara lain: intentionality, appropriateness, structure,

    collaboration, dan internalization.46

    3. Studi literatur yang dilakukan oleh Erlina dan Dori tahun 2019 berjudul

    “Kecerdasan Logis Matematis Siswa SMP pada Scaffolding” terdapat dalam

    jurnal Sesiomadika. Artikel tersebut mengkaji kemampuan logis matematis siswa

    dalam scaffolding. Penelitian tersebut mengkaji berbagai kemampuan yang

    mampu dikembangkan dengan pemberian scaffolding dilihat dari hasil penelitian

    terdahulu. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Erlina dan Dori dengan

    penelitian ini adalah pada penelitian ini metode scaffolding digabung dengan

    model Cognitive Apprenticeship. Dari hasil kajian tersebut diperoleh pemaparan

    terkait komponen-komponen kecerdasan logis matematis ditemukan berbagai

    gambaran mengenai kemampuan logis matematis.47 Komponen-komponen dari

    kemampuan logis matematis diantaranya memahami dan menganalisis

    permasalahan, menghitung dan mengukur pola-pola angka secara logis,

    memperhatikan operasi matematika, memecahkan masalah dengan berpikir

    secara deduktif dan induktif.

    C. Kerangka Berpikir

    Matematika merupakan sesuatu yang abstrak bagi siswa, sehingga siswa perlu

    diberikan gambaran mengenai kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

    Oleh karena itu, belajar matematika melalui pengalaman dapat membantu siswa

    melihat matematika secara lebih nyata. Hal tersebut terdapat dalam Permendikbud

    Nomor 21 Tahun 2016, dimana salah satu kompetensi yang harus dicapai pada

    46 Novita Sari dan Edy Surya, “Efektivitas Penggunaan Teknik Scaffolding Dalam

    Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Pada SIswa SMP Swasta Al-Washliyah Medan”, Edumatica,

    Vol. 07, No. 01, April 2017, h. 2. 47 Erlina dan Dori Lukman Hakim, “Kecerdasan Logis Matematis Siswa SMP pada

    Scaffolding”, Sesiomadika, 2019, h. 1171.

  • 43

    pelajaran matematika adalah memiliki rasa percaya pada daya dan kegunaan

    matematika, yang terbentuk melalui pengalaman belajar. Selain itu dalam

    matematika, pembelajaran dilakukan untuk mencapai kompetensi matematika yang

    telah ditetapkan yaitu kemampuan matematika. Berdasarkan hal tersebut, dibutuhkan

    suatu model pembelajaran yang mengajak siswa terlibat aktif untuk mengkonstruksi

    pengetahuannya agar dapat memahami konsep matematika melalui pengalaman

    belajar agar dapat mencapai kompetensi matematika yaitu kemampuan matematika.

    Beberapa model pembelajaran telah dikembangkan, namun tidak semua model

    memperhatikan aspek lingkungan untuk mengkonstruksi pengetahuan dalam proses

    pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang memfokuskan siswa belajar

    dengan mengkonstruksi pengetahuan pada proses pembelajarannya adalah Cognitive

    Apprenticeship. Model pembelajaran ini juga mendukung siswa belajar melalui

    pengalaman, karena model ini memiliki empat komponen untuk tercapainya

    keberhasilan belajar. Keempat komponen tersebut diantaranya content, methods,

    sequencing, dan sociology. Keempat komponen tersebut melingkupi pengetahuan

    yang dimiliki siswa, langkah-langkah pembelajaran, bahkan faktor sosial yang dapat

    mendukung aktivitas pembelajaran.

    Langkah-langkah pembelajaran dalam model Cognitive Apprenticeship

    dikombinasikan dengan metode scaffolding didalamnya guna membantu siswa agar

    siswa tetap terarah dalam mencapai pemahamannya. Bantuan dalam Scaffolding ini

    dapat berupa pemberian petunjuk kecil mengenai apa yang harus dilakukan siswa,

    pemberian model prosedur penyelesaian tugas, menunjukkan kepada siswa apa saja

    yang telah dilakukannya dengan baik, ataupun pemberitahuan kekeliruan yang

    dilakukan siswa dalam langkah pengerjaan tugas. Adapun langkah-langkah

    pembelajaran model Cognitive Apprenticeship dengan metode Scaffolding

    diantaranya, (1) modelling; (2) coaching; (3) scaffolding; (4) articulation; (5)

    reflection; dan (6) exploration.

    Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis implementasi Model Cognitive

    Apprenticeship dengan metode Scaffolding terhadap kemampuan matematika. Hal

  • 44

    tersebut bertujuan untuk menjadi acuan apakah Model Cognitive Apprenticeship

    dengan metode Scaffolding dapat meningkatkan kemampuan matematika siswa.

    Berikut akan disajikan bagan dari kerangka berpikir dalam penelitian ini.

    Masalah Penelitian

    Kesimpulan

    Implementasi

    Pembelajaran

    Matematika

    Content

    Sociology

    Cognitive

    Apprenticeship

    Sequencing Analisis

    Modelling

    Coaching

    Scaffolding

    Methods

    Articulation

    Exploration

    Reflection

    Kemampuan Matematika Siswa Meningkat

    Gambar 2. 1 Bagan Kerangka Berpikir

  • 45

    BAB III

    METODOLOGI PENELITIAN

    A. Jenis Penelitian

    Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis proses pembelajaran

    matematika dengan menggunakan Model Cognitive Apprenticeship dan metode

    Scaffolding. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan

    (library research). Penelitian kepustakaan adalah teknik pengumpulan data

    dengan melakukan penelahaan terhadap buku, literatur, catatan, serta berbagai

    laporan yang berkaitan dengan masalah yang ingin dipecahkan.1 Sementara itu,

    Khatibah mengemukakan penelitian kepustakaan sebagai kegiatan yang dilakukan

    secara sistematis untuk mengumpulkan, mengolah dan menyimpulkan data dengan

    menggunakan metode atau teknik tertentu guna mencari jawaban atas

    permasalahan yang dihadapi.2 Jadi penelitian kepustakaan dalam penelitian ini

    adalah kegiatan penelitian yang dilakukan secara sistematis dengan penelahaan

    buku, literatur yang kemudian dikumpulkan dan diolah untuk memperoleh

    jawaban atas masalah yang dihadapi.

    Penelitian kepustakaan ini dilakukan karena saat ini di dunia termasuk

    Indonesia sedang menghadapi wadah pandemi Covid-19. Untuk mengantisipasi

    penyebaran wabah yang meluas, pemerintah menerapkan aturan PSBB

    (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Dampak dari kebijakan tersebut, beberapa

    aktivitas dibatasi dengan melakukan kegiatan di rumah saja, salah satunya kegiatan

    pembelajaran. Seluruh kegiatan belajar dan mengajar dilakukan melalui sistem

    jarak jauh dalam jaringan internet (online). Zed mengidentifikasi terdapat empat

    ciri utama penelitian kepustakaan, yaitu:

    1 Milya Sari dan Amendri, “Penelitian Kepustakaan (Library Research) dalam Penelitian

    Pendidikan IPA”, Natural Science: Jurnal Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA, 2020, h. 43. 2 Ibid., h. 44.

  • 46

    1. Peneliti berhadapan langsung dengan teks atau data angka dan bukan dengan

    pengetahuan langsung dari lapangan atau saksi mata berupa kejadian, orang

    atau benda-benda lainnya.

    2. Data pustaka bersifat ‘siap pakai’, artinya peneliti tidak pergi kemana-mana,

    kecuali hanya berhadapan langsung dengan bahan sumber yang sudah tersedia

    di perpustakaan.

    3. Data pustaka umumnya adalah sumber sekunder, dalam arti bahwa peneliti

    memperoleh bahan dari tangan kedua dan bukan data orisinil dari tangan

    pertama di lapangan.

    4. Kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.3

    Berdasarkan ciri-ciri utama kepustakaan, peneliti hanya berhadapan dengan

    teks seperti buku dan literatur ilmiah lainnya. Dengan begitu, maka peneliti tidak

    perlu turun ke lapangan untuk mengambil data. Oleh karena itu, berdasarkan

    kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini penelitian dalam bidang pendidikan tidak

    dapat turun langsung ke lapangan untuk mengambil data, sehingga pada penelitian

    ini menggunakan penelitian kepustakaan.

    B. Sumber Data

    Sumber data terbagi menjadi dua jenis yaitu sumber data primer dan sumber

    data sekunder. Sugiyono mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sumber data

    primer adalah sumber pokok yang langsung memberikan data kepada peng