ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

22
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021 Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten 143 ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN PANDEMI COVID-19 DI INDONESIA SESUAI UU NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN Agus Widiarto, Suhud Alynudin Akademisi STIA Banten, Direktur Eksekutif Nusantara Policy Research (NALAR) Institute Corresponden Author Email: [email protected] Abstract This article analyzes the policy formulation of Law Number 6 of 2020 concerning Health Quarantine and its implementation strategy in overcoming the Covid-19 outbreak in Indonesia. As we know that this law was passed by President Joko Widodo on August 7 2018, and the day after, namely August 8, 2018 it was promulgated by the Ministry of Law and Human Rights in the Republic of Indonesia State Gazette 2018. The birth of this law cannot be separated from the emergence of the International Helath Regulation (IHR) in 2005, which obliges Indonesia to increase its capacity in conducting health surveillance and response as well as Health Quarantine in areas and entrances, both ports, airports, and national land border posts. In general, the aim of implementing health quarantine as referred to in Article 3 of this Law is Article 3 to protect the public from diseases and / or Public Health Risk Factors that have the potential to cause a Public Health Emergency, prevent and ward off disease and / or Public Health Risk Factors that have the potential to cause Public Health Emergency, increase national resilience in the field of public health and provide protection and legal certainty for the public and health workers. This study is a study of public policy analysis by emphasizing the policy formulation in the Health Quarantine Law and its implementation, as well as the government's strategy to achieve the objectives referred to in this law. Keywords: policy analysis, policy formulation, policy implementation, health quarantine, PSBB, PPKM Abstrak Artikel ini menganalisis formulasi kebijakan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan strategi implementasinya dalam menanggulangi wabah covid- 19 di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bahwa UU ini disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 7 Agustus 2018, dan sehari setelahnya, yaitu tanggal 8 Agustus 2018 diundangkan oleh Kementrian Hukum dan HAM dalam Lembaran Negara RI Tahun 2018. Lahirnya UU ini tidak bisa dilepaskan dari munculnya Internasional Helath Regulation (IHR) tahun 2005, yang mewajibkan Indonesia meningkatkan kapasitasnya dalam melakukan surveilans kesehatan dan respon serta Kekarantinaan Kesehatan di wilayah dan Pintu Masuk, baik Pelabuhan, Bandar Udara, maupun Pos Lintas Batas Darat Negara. Secara umum, tujuan penyelenggaraan

Transcript of ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Page 1: ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

143

ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN PANDEMI COVID-19 DI INDONESIA SESUAI UU NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG KEKARANTINAAN

KESEHATAN

Agus Widiarto, Suhud Alynudin Akademisi STIA Banten, Direktur Eksekutif Nusantara Policy Research (NALAR) Institute

Corresponden Author Email: [email protected]

Abstract

This article analyzes the policy formulation of Law Number 6 of 2020 concerning Health Quarantine and its implementation strategy in overcoming the Covid-19 outbreak in Indonesia. As we know that this law was passed by President Joko Widodo on August 7 2018, and the day after, namely August 8, 2018 it was promulgated by the Ministry of Law and Human Rights in the Republic of Indonesia State Gazette 2018. The birth of this law cannot be separated from the emergence of the International Helath Regulation (IHR) in 2005, which obliges Indonesia to increase its capacity in conducting health surveillance and response as well as Health Quarantine in areas and entrances, both ports, airports, and national land border posts. In general, the aim of implementing health quarantine as referred to in Article 3 of this Law is Article 3 to protect the public from diseases and / or Public Health Risk Factors that have the potential to cause a Public Health Emergency, prevent and ward off disease and / or Public Health Risk Factors that have the potential to cause Public Health Emergency, increase national resilience in the field of public health and provide protection and legal certainty for the public and health workers. This study is a study of public policy analysis by emphasizing the policy formulation in the Health Quarantine Law and its implementation, as well as the government's strategy to achieve the objectives referred to in this law. Keywords: policy analysis, policy formulation, policy implementation, health quarantine, PSBB, PPKM

Abstrak Artikel ini menganalisis formulasi kebijakan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan strategi implementasinya dalam menanggulangi wabah covid-19 di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bahwa UU ini disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 7 Agustus 2018, dan sehari setelahnya, yaitu tanggal 8 Agustus 2018 diundangkan oleh Kementrian Hukum dan HAM dalam Lembaran Negara RI Tahun 2018. Lahirnya UU ini tidak bisa dilepaskan dari munculnya Internasional Helath Regulation (IHR) tahun 2005, yang mewajibkan Indonesia meningkatkan kapasitasnya dalam melakukan surveilans kesehatan dan respon serta Kekarantinaan Kesehatan di wilayah dan Pintu Masuk, baik Pelabuhan, Bandar Udara, maupun Pos Lintas Batas Darat Negara. Secara umum, tujuan penyelenggaraan

Page 2: ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

144

kekarantinaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU ini adalah untuk melindungi masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, mencegah dan menangkal penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan masyarakat dan memberikan pelindungan serta kepastian hukum bagi masyarakat dan petugas kesehatan. Studi ini merupakan kajian analisis kebijakan publik dengan menekankan pada formulasi kebijakan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan dan implementasinya, sebagai strategi pemerintah guna mencapai tujuan sebagaimana dimaksud UU ini. Kata kunci: analisis kebijakan, formulasi kebijakan, implementasai kebijakan, kekarantinaan kesehatan, PSBB, PPKM.

PENDAHULUAN

Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah

No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial

Berskala Besar (PSBB) oleh Pemerintah Pusat

(Jokowi) pada tanggal 31 Maret 2020 menandai

fase baru penanganan pandemik Covid-19 di

Indonesia. Sebelumnya, sejak diumumkannya

kasus positif pertama covid-19 pada tanggal 2

Maret 2020, belum ada kebijakan resmi terkait

penanganan penyebaran covid-19 ini. Dalam

rentang waktu antara tanggal 2 Maret sampai

31 Maret itulah, kebijakan yang diterapkan

masih berupa himbauan untuk Bekerja dari

Rumah, Belajar dari Rumah, dan Beribadah di

Rumah. Meski berkali-kali himbauan itu

dikemukakan, berkali-kali pula sebagian besar

masyarakat mengabaikan himbauan tersebut.

Akibatnya, kasus positif dan jumlah yang

meninggal semakin meningkat.

Berbagai pendapat yang dikemukakan

pejabat pemerintah terkesan menganggap

tidak serius pandemic covid-19 ini. Di sisi lain,

sejak awal pandemi, ada sejumlah inisiatif yang

dilakukan oleh pemimpin di daerah untuk

mengantisipasi penyebaran covid-19 ini, mulai

dari lock down (karantina wilayah) sampai

social distancing dan Physical distancing.

Namun, kerap kali pula pemerintah pusat,

dalam hal ini Jokowi, mengatakan bahwa

kewenangan terkait Karantina wilayah ada

pada pemerintah pusat.

Sampai dikeluarkannya kebijakan PSBB

tersebut per tanggal 31 Maret 2020, jumlah

pasien positif mencapai 1.528 pasien, dengan

rasio kematian 8,9% (136 kasus), dan yang

sembuh berjumlah 81 orang. (Kompas.com,

Rabu 1 April 2020). Sampai akhirnya, Jokowi

lebih memilih kebijakan PSBB daripada

Karantina Wilayah. Kebijakan PSBB berakhir

pada tanggal 10 Januari 2021 dan berlaku

sebuah kebijakan dengan istilah baru bernama

Pelaksanaan Pembatasan Kegiatan

Masyarakat (PPKM) untuk Jawa dan Bali mulai

tanggal 11 Januari 2021. Dalam rentang waktu

pelaksanaan PSBB, kasus covid 19 di Indonesia

sampai 10 Januari 2021 telah mencapai

828.026 positif, 681.024 dinyatakan sembuh,

dan meninggal dunia 24.129 orang.

(Liputan6.com, Minggu 10 Januari 2021).

Page 3: ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

145

Sebagai pengganti PSBB, Kebijakan

PPKM Jawa Bali ini berlangsung selama dua

tahap, yaitu tahap pertama mulai tanggal 11

Januari-25 Januari 2020, dan tahap kedua yang

diberlakukan dari tanggal 26 Januari sampai 8

Februari 2021. Pasca PPKM Jawa Bali,

Pemerintah memberlakukan kebijakan PPKM

Mikro yang mulai berlaku sejak 9 Februari 2021

sampai sekarang.

Dalam kurun waktu penerapan PPKM,

sampai 6 Juni 2021, data dari Satuan Tugas

(Satgas) Penanganan Covid-19 menunjukkan,

ada penambahan 5.832 kasus baru.

Penambahan itu menyebabkan total kasus

Covid-19 di Indonesia saat ini mencapai

1.856.038 orang, Data yang sama menunjukkan

bahwa ada penambahan pasien sembuh akibat

Covid-19. Dalam sehari, jumlahnya bertambah

4.187 orang. Dengan demikian, jumlah pasien

Covid-19 yang sembuh di Indonesia hingga

tanggal 6 Juni 2021 mencapai 1.705.971 orang.

Akan tetapi, jumlah pasien yang meninggal

setelah terpapar Covid-19 juga terus

bertambah. Pada periode 5-6 Juni 2021, ada

163 pasien Covid-19 yang tutup usia. Total

angka kematian akibat Covid-19 mencapai

51.612 orang sejak awal pandemi terhitung

sejak kasus pertama diumumkan Presiden Joko

Widodo pada 2 Maret 2020. Dari data tersebut,

tercatat hingga tanggal 6 Juni 2021, tercatat

98.455 kasus aktif Covid-19. (Kompas.com, 6

Juni 2021)

Dari rangkaian pelaksanaan kebijakan

penanggulangan pandemi covid-19 tersebut,

muncul pertanyaan mengapa Jokowi tidak

memilih kebijakan Karantina Wilayah

sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 16

Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan

dan banyak diusulkan oleh berbagai kalangan,

seperti Dewan Guru Besar FKUI dan Pemprov

DKI Jakarta serta beberapa kepala daerah

lainnya. Mengapa Jokowi lebih memilih

penerapan PSBB, PPKM Jawa Bali, dan PPKM

Mikro dalam menangani pandemic covid-19

ini?

Dari sisi pemerintah, tentu berbagai

alasan bisa dikemukakan, mulai dari alasan

ekonomi sampai ke alasan sosial budaya

masyarakat. Tentu Pemerintah Pusat punya

data statistik penurunan pertumbuhan

ekonomi, defisit neraca berjalan, penurunan

IHSG, turunnya nilai kurs, dan lain sebagainya.

Pemerintah pun dapat berapologi bahwa

secara sosio kultural, masyarakat kita berbeda

dengan beberapa Negara yang menerapkan

kebijakan lockdown atau Karantina Wilayah.

Akan tetapi, kenyataannya tanpa adanya kasus

covid-19 ini pun statistik ekonomi Indonesia

telah menunjukkan trend penurunan.

Sementara, apologi bahwa sosial budaya

masyarakat Indonesia yang beragam pun

seperti menjadi pembenaran bagi masyarakat

untuk tak peduli terhadap himbauan

pemerintah. Karakter sebagaian masyarakat

kita yang ignorant dan tidak responsif serta

kurang antisipatifnya pemerintah menangani

covid-19 ini membuat angka-angka penularan

semakin meningkat.

Perumusan Masalah

Penelitian ini berangkat dari beberapa

pertanyaan yang dijadikan sebagai

permasalahan yang akan dijawab dalam bagian

pembahasan penulisan ini, antara lain sebagai

berikut.

Page 4: ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

146

1. Bagaimana formulasi kebijakan untuk

mengatasi wabah pandemi covid-19

sesuai dengan Undang-Undang Nomor

6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan

Kesehatan?

2. Bagaimana implementasi kebijakan

pemerintah sebagai strategi dalam

menangani wabah pandemic covid-19?

3. Mengapa pada akhirnya Pemerintah

memilih kebijakan PSBB dan kemudian

diganti menjadi PPKM, baik PPKM Se-

Jawa dan Bali dan PPKM Mikro?

4. Mengapa Pemerintah tidak memilih

kebijakan Karantina di Wilayah

(Lockdown) sebagaimana diamanatkan

dalam UU Nomor 6 Tahun 2018

tentang Kekarantinaan Kesehatan?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari Penelitian ini adalah sebagai

berikut.

1. Untuk memberikan gambaran desain

kebijakan penanggulangan wabah

pandemi covid-19 di Indonesia sesuai

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018

tentang Kekarantinaan Kesehatan

2. Menggambarkan Pilihan Kebijakan

pemerintah sebagai strategi

implementasi untuk menangani wabah

pandemi covid-19

3. Menganalisis alasan pemerintah

memilih kebijakan PSBB dan kemudian

diganti menjadi PPKM, baik PPKM

Jawa-Bali, maupun PPKM Mikro

daripada memilih kebijakan Karantina

di Wilayah.

4. Memberikan masukan kepada para

pemangku kepentingan kebijakan,

khususnya mereka yang berkecimpung

dalam kebijakan kekarantinaan

kesehatan.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan analisis

kebijakan publik yang menitikberatkan pada

analisis formulasi kebijakan Kekarantinaan

Kesehatan sebagaimana tertera dalam UU

Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan

Kesehatan dan membandingkannya dengan

pilihan strategi kebijakan yang dibuat oleh

pemerintah guna menanggulangi wabah

pandemi covid-19 di tanah air.

Secara teoritis, formulasi (perumusan)

kebijakan adalah salah satu dan termasuk

tahapan awal dalam analisis kebijakan publik.

Sebagai suatu sistem siklus, secara umum

analisis kebijakan publik meliputi tahapan-

tahapan mulai dari identifikasi masalah,

formulasi kebijakan, proses pembuatan

keputusan, implementasi, dan evaluasi.

Menurut Dunn (2003:132), policy

formulation (formulasi kebijakan) adalah

pengembangan dan sintesis terhadap

alternatif-alternatif pemecahan masalah.

Sementara, Tjokroamidjojo dalam Islamy

(2000:24) menyebutkan perumusan kebijakan

sebagai alternatif yang terus menerus

dilakukan dan tidak pernah selesai, dalam

memahami proses perumusan kebijakan kita

perlu memahami aktor-aktor yang terlibat

Page 5: ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

147

dalam proses perumusan kebijakan. Pendapat

lain tentang formulasi kebijakan dikemukakan

oleh Anderson. Menurutnya, perumusan

kebijakan publik menyangkut upaya menjawab

pertanyaan bagaimana berbagai alternatif

disepakati untuk masalahmasalah yang

dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi.

(Winarno, 2002).

Dengan demikian, formulasi kebijakan

dapat diartikan sebagai cara untuk

memecahkan suatu masalah yang dibentuk

oleh para aktor pembuat kebijakan dalam

menyelesaikan masalah yang ada dan dari

sekian banyak alternatif pemecahan yang ada

maka dipilih alternatif kebijakan yang terbaik.

Dalam tulisan ini, analisis formulasi kebijakan

ditekankan pada beberapa alternatif kebijakan

yang disediakan dalam Undang-Undang Nomor

6 Tahun 2018 tentang kekarantitaan kesehatan

dan alternative kebijakan lain yang dibuat dan

dirumuskan oleh pemerintah di luar formula

yang termaktub dalam Undang-Undang

tersebut.

Sementara, metode pengumpulan data

yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode kepustakaan dengan menelusuri

artikel, dokumen, dan literature yang relevan

dengan kajian ini. Sumber-sumber yang

dikumpulkan kemudian diseleksi, diinterpretasi

bagian-bagian yang relevan sebagai bagian dari

rekonstruksi penulisan penelitian ini.

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian tentang penanganan dan

penanggulangan wabah pandemic covid-19 di

Indonesia telah dilakukan oleh sejumlah

akademisi, politisi, dan bahkan pemerhati

kebijakan public. Beberapa tulisan itu, ada yang

berbentuk jurnal ilmiah, artikel di media massa,

dan buku yang diterbitkan, di antaranya adalah

sebagai berikut.

1. Pandemi Covid-19 Dan Tantangan

Kebijakan Kesehatan Mental Di

Indonesia

Artikel ini ditulis oleh Ilham Akhsanu Ridlo dalam Jurnal Insan, yaitu sebuah jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental, vol.5 nomor edisi 2 (2020). Artikel ini membahas seputar kesehatan mental sebagai komponen integral dari penanggulangan COVID-19 dan perlunya sebuah kebijakan kesehatan mental pada masa pandemik covid-19 di Indonesia. Penulis menggarisbawahi pentingnya mengintegrasikan layanan kesehatan mental ke dalam layanan berbasis masyarakat sebagai cara untuk memastikan cakupan universal pelayanan kesehatan mental. Model pemberdayaan partisipatif dan bottom-up menjadi pilihan yang rasional, untuk mengatasi masalah sumber daya dan stigma sebagai penghalang keberhasilan program kesehatan mental di Indonesia.

2. Indonesia dalam Menghadapi Pandemi

Covid-19

Artikel ini ditulis oleh Ririn Noviyanti Putri

dan diterbitkan dalam Jurnal Ilmiah Universitas

Batanghari, Jambi, LPPM Universitas

Batanghari Jambi vol.20 nomor 2 (2020). Artikel

ini mengupas seputar perlunya prosedur untuk

mengendalikan dan mencegah pandemi covid-

19. Artikel ini bertujuan menganalisis langkah-

langkah yang dilakukan oleh pemerintah

Indonesia dalam mengatasi pandemi covid-19.

3. Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Dunia

Pendidikan

Page 6: ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

148

Artikel ini ditulis oleh Matdio Siahaan dan

diterbitkan dalam Jurnal Kajian Ilmiah (JKI) Edisi

Khusus No. 1 (Juli 2020). Artikel ini berisi

tentang dampak pandemic covid-19 terhadap

aktivitas masyarakat, terutama kegiatan belajar

mengajar. Dampaknya yang sangat terasa

adalah kegiatan proses belajar mengajar

dilaksanakan dari rumah, bahkan bekerja pun

dilakukan dari rumah dengan tujuan agar bisa

mengurangi penularan Covid-19.

PEMBAHASAN

Formulasi Kebijakan Dalam UU Kekarantinaan

Kesehatan

Untuk menghadirkan jawaban yang lebih

obyektif terhadap pertanyaan alasan Jokowi

lebih memilih PSBB dan PPKM daripada yang

lainnya, kita bisa menelaahnya dari formulasi

kebijakan tersebut seperti yang dirumuskan

dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 sebagai

landasan pemberlakuan sebuah kebijakan.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam

bagian pendahuluan, dalam siklus kebijakan

publik, formulasi adalah salah satu fase atau

rangkaian antara identifikasi masalah,

implementasi, dan evaluasi kebijakan. Artinya,

sebelum sebuah kebijakan dirumuskan,

basisnya adalah identifikasi masalah, dan

setelah dirumuskan, perlu ada strategi

implementasi kebijakan untuk mencapai tujuan

kebijakan. Oleh karena itu, formulasi kebijakan

dapat didefinisikan sebagai cara untuk

memecahkan suatu masalah yang dibentuk

oleh para aktor pembuat kebijakan dalam

menyelesaikan masalah yang ada dan dari

sekian banyak alternatif pemecahan yang ada

maka dipilih alternatif kebijakan yang terbaik.

Latar belakang pembentukkan UU Nomor 6

Tahun 2018 tentang kekarantinaan Kesehatan

UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang

Kekarantinaan Kesehatan lahir sebagai respon

terhadap perkembangan teknologi di bidang

transportasi dan meningkatnya keterkaitan

hubungan antarbangsa melalui berbagai

aktivitas, seperti perdagangan, perjalanan

wisata, dan migrasi penduduk antarnegara. Di

samping itu, seiring dengan proses globalisasi

yang semakin meningkat, muncul pula

kekhawatiran akan bahaya penyakit menular

yang berpotensi membahayakan kedaruratan

kesehatan masyarakat. Dengan demikian,

pemerintah perlu membuat formulasi

kebijakan yang tepat untuk menangkal bahaya

penyakit menular dan mempertimbangkan

faktor resiko yang dihadapi guna mencegah

terjadinya kedaruratan kesehatan masyarakat

yang membahayakan dan meresahkan seluruh

masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat

internasional, Indonesia juga memiliki

kewajiban untuk melakukan upaya pencegahan

terjadinya Kedaruratan Kesehatan Masyarakat

yang Meresahkan Dunia (Public Health

Emergency of International Concern/PHEIC)

sebagaimana yang diamanatkan dalam

International Health Regulations (IHR) 2005,

dimana mengharuskan Indonesia

meningkatkan kapasitas berupa kemampuan

dalam surveilans dan respon cepat serta

tindakan kekarantinaan pada pintu-pintu

masuk (pelabuhan/ bandar udara/ Pos Lintas

Batas Darat) dan tindakan kekarantinaan di

wilayah. Untuk itu diperlukan perangkat

peraturan perundangundangan yang memadai

berkaitan dengan karantina (Firdaus Syam,

2013).

Page 7: ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

149

Regulasi yang ada sebelumnya, terkait

dengan kekarantinaan yaitu Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut;

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang

Karantina Udara; dan Undang-undang Nomor

16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan,

dan Tumbuhan. Sementara, regulasi yang

terkait wabah penyakit dan kesehatan antara

lain Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984

tentang Wabah Penyakit Menular; dan

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan. Regulasi yang ada ini dipandang

memiliki kelemahan berupa tumpang tindih

kebijakan dan saling bertentangan. Ditambah

pula mumculnya perkembangan dalam

pelaksanaan pemerintahan daerah yang

mengubah dan membagi kewenangan antara

pusat dan daerah.

Oleh karena alasan-alasan tersebutlah, UU

Nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan

kesehatan lahir untuk menjawab dan

mengantisipasi berbagai persoalan terkait

wabah penyakit menular yang berpotensi

menimbulkan kedaruratan kesehatan

masyarakat agar regulasi ini menjadi aturan

yang terintegrasi dan komprehensif.

Tujuan Penyelenggaraan Kekarantinaan

Kesehatan

Lalu, apa saja tujuan penyelenggaraan

Kekarantinaan Kesehatan yang termaktub

dalam Undang-undang ini? Tujuannya adalah

melindungi masyarakat dari penyakit dan/atau

factor resiko kesehatan masyarakat yang

berpotensi menimbulkan kedaruratan

kesehatan masyarakat. Di samping itu,

kekarantinaan kesehatan bertujuan untuk

mencegah dan menangkal penyakit dan/atau

factor resiko kesehatan masyarakat,

meningkatkan ketahanan nasional di bidang

kesehatan masyarakat, dan memberikan

perlindungan dan kepastian hukum bagi

masyarakat dan petugas kesehatan.

Dari Wacana Lockdown (Karantina Wilayah)

sampai keluarnya kebijakan PSBB

Munculnya wabah pandemi covid-19 yang

bermula dari kota Wuhan, China pada

Desember 2019, sebagaimana laporan China

kepada organisasi Kesehatan Dunia (WHO),

menjadi ujian bagi pemerintah Indonesia untuk

mengimplementasikan UU tentang

Kekarantinaan Kesehatan ini. UU yang disahkan

tanggal 7 Agustus 2018 dan diundangkan sehari

setelah itu, sampai munculnya kasus positif

pertama di Indonesia belum bisa dilaksanakan

karena belum ditetapkannya peraturan

pemerintah sebagai amanat yang tertera dalam

UU tersebut. Dalam kurun waktu antara

Desember 2019 sampai 30 Maret 2020, belum

ada kebijakan definitif untuk menangkal wabah

virus covid-19 ini. Pemerintah baru sebatas

memberikan himbauan agar masyarakat

belajar dari rumah, bekerja dari rumah, dan

beribadah di rumah. Bahkan, sejumlah pejabat

Pemerintah dinilai terkesan tidak serius

mengantisipasi penyebaran virus tersebut.

Sejak kasus tersebut mewabah di Wuhan,

berbagai desakan datang dari beberapa

kelompok masyarakat kepada pemerintah

untuk segera memberlakukan kebijakan

kekarantinaan kesehatan. Salah satu opsi yang

sempat mengemuka ke publik adalah Karantina

Wilayah atau masyarakat lebih banyak

mengenalnya sebagai lockdown. Mulai dari

Ikatan Dokter Indonesia (IDI), anggota DPR, dan

Page 8: ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

150

pakar epidemiologi mendesak kepada

Pemerintah untuk segera memberlakukan

lockdown. IDI, melalui satgas Covid-19 nya,

Zubairi Djoerban sangat setuju jika lockdown

diterapkan. IDI menyoroti imbauan social

distancing yang ternyata tak disiplin diterapkan

masyarakat. Jika terus dibiarkan, upaya

pencegahan corona bisa gagal. (Kunparan.com,

22 Maret 2020). Dari kalangan anggota DPR,

Mardani Ali Sera, anggota DPR Fraksi PKS

mendesak pemerintah menggunakan opsi

lockdown untuk mencegah korban yang

semakin banyak. Ia melihat bahwa kurangnya

kesadaran physical distancing dari masyarakat

karena minimnya sosialisasi dan komunikasi

bencana yang tidak baik. Lebih lanjut,

menurutnya ketidaktegasan pemerintah

memilih opsi Lockdown berimbas masih banyak

perusahaan yang tidak membuat kebijakan

Work From Home (WFH) kepada pegawainya,

menjadikan Indonesia memiliki angka kematian

tertinggi dari pada rata-rata negara ASEAN.

(RMOL.id, Rabu, 25 Maret 2020). Dari kalangan

epidemiolog pun menyampaikan permintaan

yang sama. Dokter Tifauzia Tyassuma, seorang

Ahli Clinical Epidemiology dan secara khusus

pernah meneliti Virus, melalui surat terbuka

kepada Presiden RI yang ditulis di akun

FaceBook miliknya mendesak Presiden Joko

Widodo segera memerintahkan lockdown. Ia

menyampaikan kritiknya terhadap pemerintah

yang dinilai tidak serius menangani persoalan

besar ini. Bahkan, ia menilai pemerintah

tampak kebingungan dan tiap siap, malah

menggunakan buzzer yang menganggap sepele

persoalan ini. Di antara para menteri terkesan

tidak kompak, saling bertentangan

mengeluarkan pernyataan. (zonautara.com, 15

Maret 2020).

Opsi Kebijakan Dalam UU Nomor 6 Tahun

2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan

Dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang

Kekarantinaan Kesehatan pasal 15 ayat (2)

dinyatakan bahwa tindakan kekarantinaan

kesehatan berupa sebagai berikut.

a. Karantina, isolasi, vaksinasi, dekontaminasi,

b. PSBB,

c. disinfeksi,

d. penyehatan, pengamanan, dan

pengendalian terhadap media lingkungan.

Tindakan Kekarantinaan Kesehatan ini

adalah bagian dari Kekarantinaan Kesehatan di

Pintu Masuk dan di Wilayah. Sementara,

dalam definisi Karantina Wilayah pada pasal 1

ayat 10 UU ini dinyatakan bahwa karantina

wilayah adalah pembatasan penduduk dalam

suatu wilayah termasuk wilayah Pintu Masuk

beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit

dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa

untuk mencegah kemungkinan penyebaran

penyakit atau kontaminasi. Dalam ayat 11

dinyatakan bahwa PSBB adalah pembatasan

kegiatan tertentu penduduk dalam suatu

wilayah yang diduga terinfeksi penyakit

dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa

untuk mencegah penyebaran penyakit atau

kontaminasi.

Agar tujuan tersebut dapat terlaksana,

maka diperlukan peraturan pemerintah

sebagai instrumen implementasi UU

Kekarantinaan Kesehatan. Apa saja ketentuan

yang perlu dibuat dalam sebuah peraturan

pemerintah?

Page 9: ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

151

1. Tata cara penetapan dan pencabutan

kedaruratan kesehatan masyarakat

(Pasal 10 ayat 4)

2. Penanggulangan Kedaruratan

Kesehatan Masyarakat (Pasal 11 ayat 3)

3. Tata cara pelaksanaan Karantina

Wilayah di Pintu Masuk (Pasal 14 ayat

2)

4. Tata cara pengenaan sanksi

administrative (Pasal 48 ayat 6)

5. Kriteria dan pelaksanaan Karantina

Rumah, Karantina Wilayah, Karantina

Rumah Sakit, dan PSBB (Pasal 60)

Peraturan pelaksana tersebut harus sudah

ditetapkan paling lambat 3 tahun terhitung

sejak Undang-Undang ini diundangkan. Jika UU

ini ditetapkan pada tanggal 7 Agustus dan

diundangkan tanggal 8 Agustus, maka

selambat-lambatnya sudah ditetapkan pada

tanggal 8 Agustus 2021.

Dari lima ketentuan yang menjadi amanat

untuk dibuat peraturan pemerintah, kita bisa

klasifikasi ke dalam kluster berikut.

1. Kedaruratan Kesehatan Masyarakat

2. Karantina (Wilayah, Rumah, dan

Rumah Sakit)

3. Pembatasan Sosial Berskala Besar

(PSBB)

di samping ketentuan yang perlu dibuat dalam

peraturan pemerintah, terdapat beberapa

ketentuan lain yang diamanatkan untuk dibuat

dalam peraturan menteri, yaitu sebagai

berikut.

1. Tindakan kekarantinaan kesehatan

(Pasal 15 ayat 4)

2. Tata laksana Pengawasan

Kekarantinaan Kesehatan di Pelabuhan

(Pasal 19 ayat 6)

3. Kekarantinaan Kesehatan terhadap

kapal perang, kapal Negara dan kapal

tamu negara (Pasal 24)

4. Tata laksana Pengawasan

Kekarantinaan Kesehatan di Bandar

Udara (Pasal 30 ayat 4)

5. Tindakan Kekarantinaan Kesehatan di

Pos Lintas Batas Darat Negara (Pasal 35

ayat 5)

6. Pengawasan Barang dalam alat angkut

(Pasal 47)

7. Bentuk, isi, tata cara pengajuan dan

penerbitan, dan pembatalan Dokumen

Karantina Kesehatan (Pasal 70)

8. Tata cara pelaksanaan kewenangan

pejabat karantina kesehatan (Pasal 75

ayat 4)

9. Penelitian dan pengembangan (Pasal

77 ayat 3)

10. Pembinaan Kekarantinaan Kesehatan

(Pasal 82 ayat 4)

11. Pengawasan penyelenggaraan

Kekarantinaan Kesehatan (Pasal 83

ayat 3)

Satu hal yang menjadi catatan khusus di sini

adalah bahwa terlihat adanya ketentuan yang

diamanatkan untuk ditetapkan dengan

peraturan pemerintah dan juga dengan

peraturan menteri. Misalnya terlihat antara

ketentuan Pembatasan Sosial Skala Besar dan

Karantina Wilayah yang dimasukkan ke dalam

peraturan pemerintah (Pasal 60) dan juga

menjadi bagian dari tindakan kekarantinaan

Page 10: ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

152

yang juga dimasukkan dalam peraturan

menteri (Pasal 15 ayat 4)

Kewenangan dan Tanggung Jawab

Pemerintah Dalam UU Kekarantinaan

Kesehatan

Seperti dinyatakan di atas bahwa

setidaknya terdapat 3 ketentuan yang menjadi

amanat untuk dibuat dalam peraturan

pemerintah, yaitu ketentuan tentang

kedaruratan kesehatan masyarakat, Karantina

di Pintu Masuk dan di Wilayah, dan PSBB.

Merebaknya penyebaran Covid-19 ini,

memaksa Pemerintah harus membuat

peraturan pemerintah sesuai amanat UU.

Wacana yang menguat adalah perlunya

kebijakan Karantina Wilayah. Bahkan, di

beberapa daerah, para kepala daerah sudah

berinisiatif menerapkan Karantina Wilayah di

daerahnya masing-masing. Akan tetapi,

beberapa kali pula Jokowi menyatakan bahwa

kebijakan Karantina Wilayah adalah

kewenangan pemerintah pusat. Dalam UU No.

6 Tahun 2018 pasal 5 ayat (1) dinyatakan

bahwa Pemerintah Pusat bertanggung jawab

menyelenggarakan Kekarantinaan Kesehatan

di Pintu Masuk dan di wilayah secara terpadu.

Pemerintah Pusat dapat melibatkan

Pemerintah Daerah, sebagaimana dinyatakan

dalam ayat (2) nya. Pemerintah Pusat pun

bertanggung jawab terhadap ketersediaan

sumber daya yang diperlukan dalam

penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan

bersama-sama dengan pemerintah daerah.

Selanjutnya, di dalam pasal 55 ayat 1

dinyatakan bahwa selama Karantina Wilayah,

kebutuhan hidup dasar orang dan makanan

hewan ternak yang berada di wilayah

karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah

Pusat, dengan melibatkan Pemerintah Daerah

dan pihak yang terkait (ayat 2).

Dengan demikian, tanggung jawab pemerintah

pusat bersifat mandatory dalam kebijakan

Karantina di Wilayah yang meliputi tanggung

jawab seluruh penyelenggaraan Kekarantinaan

Kesehatan dan tanggung jawab atas

ketersediaan sumber daya yang diperlukan.

Esensi dari formulasi kebijakan Karantina di

Wilayah adalah pembatasan penduduk dalam

suatu wilayah termasuk wilayah Pintu masuk

beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit

dan/atau terkontaminasi untuk mencegah

kemungkinan penyebaran penyakit atau

kontaminasi.

Sama halnya dengan Karantina Kesehatan

di Wilayah, Pemerintah Pusat pun bertanggung

jawab atas penyelenggaraan Kekarantinaan

Kesehatan pada kedaruratan kesehatan

masyarakat secara tepat dan cepat

sebagaimana dinyatakan dalam pasal 11 ayat 1.

Formulasi dari Kedaruratan Kesehatan

masyarakat adalah kejadian kesehatan

masyarakat yang bersifat luar biasa dengan

tindai penyebaran penyakit menular dan

seterusnya…yang menimbulkan bahaya

kesehatan dan berpotensi menyebar lintas

wilayah atau lintas Negara sebagaimana

dinyatakan dalam pasal 1 ayat 2 UU Nomor 6

Tahu 2018. Kewenangan Pemerintah pun

sangat besar yang meliputi kewenangan

menetapkan dan mencabut Kedaruratan

Kesehatan Masyarakat, menetapkan dan

mencabut penetapan pintu masuk dan/atau

wilayah di dalam negeri yang terjangkit

kedaruratan kesehatan masyarakat, dan

Page 11: ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

153

menetapkan jenis penyakit serta factor

resikonya. Sementara, sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 11, dalam PSBB

adalah pembatasan kegiatan tertentu

penduduk dalam suatu wilayah yang diduga

terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi

sedemikian rupa untuk mencegah

kemungkinan penyebaran penyakit atau

kontaminasi. Selain itu, istilah PSBB ditemukan

dalam pasl 15 ayat 2 huruf b meskipun bukan

berupa rumusan. PSBB juga disebutkan dalam

pasal 49 ayat 2 sebagai bagian dari

Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di

Wilayah yang meliputi Karantina Rumah,

Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, dan

PSBB. Kewenangan menetapkan PSBB ada di

tangan Menteri Kesehatan (Pasal 49 ayat 3).

Lalu, bagaimana tanggung jawab

Pemeritah Pusat dalam PSBB? Dalam pasal 59

terkait ketentuan PSBB, tidak disebutkan

adanya tanggung jawab Pemerintah Pusat

sebagaimana halnya terdapat dalam

Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan

Karantina Wilayah. Hanya saja, dalam pasal 59

ayat 3 dinyatakan bahwa PSBB paling sedikit

meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja,

pembatasan kegiatan keagamaan, dan /atau

pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas

umum.

Tabel: Kewenangan dan Tanggung Jawab

Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam UU No.

6/2018

No

Kebijakan Pemerintah Pusat

Pemerintah Daerah

1 Kekarantinaan Kesehatan

Bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dan /atau factor resiko kesehatan masyarakat

idem

Bertanggung jawab menyelenggarakan Kekarantinaan Kesehatan di Pintu Masuk dan di wilayah secara terpadu

Bertanggung jawab terhadap ketersedaan sumber daya yang diperlukan

idem

2 Kedaruratan Kesehatan Masyarakat

Menyelenggarakan Kekarantinaan Kesehatan pada kedaruratan kesehatan masyarakat

Page 12: ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

154

secara cepat dan tepat

Menetapkan dan mencabut kedaruratan kesehatan masyarakat

Menetapkan dan mencabut penetapan Pintu Masuk dan/atau wilayah di dalam negeri yang terjangkit

Menetapkan jenis penyakit dan faktor resiko

Berkordinasi dan bekerja sama dengan dunia Internasional (Negara lain atau organisasi internasional

3 Karantina di Pintu Masuk

Menetapkan Peraturan Pemerintah mengenai tata cara pelaksanaan Karantina Wilayah di Pintu Masuk

Menetapkan Karantina

Wilayah di Pintu Masuk

Melakukan tindakan Kekarantinaan Kesehatan berupa Karantina, PSBB, disinfeksi, dekontaminasi, penyehatan, pengamanan, dan pengendalian terhadap media lingkungan

4 Karantina di Wilayah

Melakukan Karantina Rumah, Wilayah, Rumah Sakit, atau PSBB di wilayah pada situasi kedaruratan kesehatan masyarakat

Bertanggung jawab memenuhi kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada dalam Karantina Rumah

Terlibat dalam pemenuhan kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada dalam Karantina Rumah

Terlibat dalam penyelenggaraan karantina wilayah

Bersama-sama pemerintah pusat,

Page 13: ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

155

Melibatkan Pemerintah daerah dalam pemenuhan kebutuhan hidup orang dan makanan hewan ternak

Bertanggung jawab memenuhi kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah Karantina

Melibatkan Pemerintah daerah dalam

Bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan hidup dasar seluruh orang yang berada di rumah sakit

penyelenggaraan Karantina Wilayah

Bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan hidup dasar seluruh orang yang berada di rumah sakit

5 PSBB Lihat di bagian Karantina di Pintu Masuk dan Karantina di Wilayah

Menetapkan PSBB (oleh Menteri)

Dari Tabel di atas dapat disimpulkan bahwa, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan dan tanggung

jawab yang besar dalam hal kebijakan Kekarantinaan Kesehatan, terutama terkait Kedaruratan

Kesehatan Masyarakat, Karantina di Pintu Masuk, dan Karantina di Wilayah. Tanggung Jawab

Pemerintah Pusat dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup dasar terlihat dalam opsi kebijakan

Karantina di Wilayah. Sementara dalam kebijakan PSBB, UU ini sama sekali tidak mencantumkan

tanggung jawab Pemerintah Pusat. Namun, sesuai dengan pasal 60 UU ini, Pemerintah Pusat diberikan

kewenangan menetapkan kriteria dan pelaksanaan PSBB dengan Peraturan Pemerintah.

Struktur Kekarantinaan Kesehatan

Dalam struktur Undang-Undang, ketentuan terkait Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan

Karantina Kesehatan di Pintu Masuk dan di Wilayah di tempatkan dalam bab tersendiri, yaitu pada

bab IV dan bab VI, sehingga menjadi bagian yang terpenting dalam struktur Undang-Undang ini. Khusus

ketentuan Karantina di wilayah, penjabarannya di tempatkan pada bab VII. Sementara, PSBB

ditempatkan sebagai bagian dari Karantina Kesehatan di Wilayah.

Page 14: ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

156

Struktur Kekarantinaan Kesehatan dalam UU Nomor 6 Tahun 2018

Pandemi Covid-19 dan Opsi Kebijakan PSBB

Mewabahnya Covid-19 di tanah air

mengharuskan Pemerintah mengambil opsi

kebijakan untuk mencegah penularan dan

penyebaran penyakit menular ini. Dari banyak

opsi kebijakan tersebut, pada akhirnya

Pemerintah lebih memilih kebijakan

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)

sebagai instrumen pelaksanaan UU

kekarantinaan Kesehatan daripada memilih

kebijakan lainnya, seperti Karantina Wilayah.

Jika diibaratkan seorang Ibu, UU Kekarantinaan

Kesehatan ini mengandung tiga calon bayi

bernama Karantina Wilayah, Kedaruratan

Kesehatan Masyarakat, dan PSBB. PSBB lah

yang dikehendaki lahir lebih dahulu dengan

keluarnya PP 21 Tahun 2020 tentang PSBB

Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-

19. Sementara, sosok

Karantina Wilayah yang di dalamnya

penuh dengan tanggung jawab yang harus

diemban oleh ibu tersebut, harus bersabar

untuk tidak lahir terlebih dahulu. Saudara

kembar yang lainnya berupa Kedaruratan

Kesehatan Masyarakat justru dipaksa untuk

menjadi seorang cucu dengan diterbitkannya

Kepres Nomor 11 tahun 2020 tentang

Kedaruratan Kesehatan Masyarakat

Kekarantinaan Kesehatan di Pintu Masuk dan di Wilayah

Perlu dibentuk PP sesuai amanat pasal 10 ayat 4

Karantina, isolasi, vaksinasi, dll

PSBB

Disinfeksi, dekontaminasi

Penyehatan,pengamanan, pengendalian media

lingkungan

Karantina di Pintu Masuk

Karantina di Wilayah

Pelabuhan, Bandar

Udara, Batas darat

Negara,

Pengawasan awak,

personel, penumpang,

barang

Karantina Rumah, Wilayah, Rumah Sakit,

PSBB

Kriteria dan pelaksanaannya perlu dibentuk PP, sesuai amanat pasal 60

Perlu dibentuk PP berdasarkan

amanat Pasal 14 ayat 2

Page 15: ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

157

Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat

pada tanggal 31 Maret 2020. Padahal, sesuai

dengan pasal 10 dan 11 UU Nomor 6 tahun

2020, ketentuan Kedaruratan Kesehatan

Masyarakat ditetapkan dengan Peraturan

Pemerintah. Penerbitan Keppres ini bersamaan

dengan keluarnya PP 21 tahun 2020 tentang

PSBB. Dengan demikian, dalam waktu yang

sama, lahir seorang anak dan cucu.

Padahal, sesuai dengan rumusan

kebijakan yang tertera dalam UU ini,

semestinya PSBB,dan juga Karantina Wilayah,

lahir sebagai respon atas situasi Kedaruratan

Kesehatan Masyarakat. Artinya, Kedaruratan

Kesehatan Masyarakat adalah sebuah situasi

yang kemudian mendorong lahirnya Karantina

Wilayah dan PSBB. Dengan keluarnya PP 21

Tahun 2020 tentang PSBB, Pemerintah Pusat

mengesampingkan kebijakan Karantina

Wilayah, yang secara yuridis terlalu banyak

membebankan tanggung jawab kepada

Pemerintah Pusat.

PSBB dan Identifikasi Masalah Covid-19

Bagaimana pemerintah mengidentifikasi

masalah penyebaran covid-19 ini? Dalam PP 21

tahun 2020 dinyatakan dalam konsiderannya

bahwa penyebaran covid-19 telah meningkat

dan meluas lintas wilayah dan lintas Negara

dan berdampak pada aspek

poleksosbudhankam, serta kesejahteraan

masyarakat. Lalu, identifikasi masalah yang

dijadikan konsideran adalah dampak

penyebaran Covid-19 telah mengakibatkan

terjadi keadaan tertentu sehingga perlu

dilakukan upaya penanggulangan, salah

satunya dengan tindakan pembatasan social

berskala besar. Atas dasar “identifikasi

masalah” itulah dipilih kebijakan PSBB. Definisi

PSBB menurut PP ini ialah pembatasan

kegiatan tertentu penduduk dalam suatu

wilayah yang diduga terinfeksi covid-19

sedemikian rupa untuk mencegah

kemungkinan penyebaran covid-19.

Dalam teori analisis kebijakan, kegiatan

identifikasi masalah adalah hal yang juga krusial

untuk memastikan formulasi kebijakan yang

tepat. Jika identifikasi masalahnya tidak

akurat, maka formulasi kebijakannya pun

berpotensi tidak dapat memecahkan masalah

yang sedang dihadapi. Pertanyaannya, apakah

masalah yang diidentifikasi dalam PP 21/2020

sudah tepat? Apakah penyebaran covid-19

yang meningkat dan meluas adalah sebuah

masalah? Sebagai sebuah masalah,

jawabannya iya. Tetapi, apakah hal itu yang

menjadi sumber masalah? Ini yang tidak

dirumuskan dalam PP tersebut. Penyebaran

covid-19 yang meningkat dan meluas adalah

dampak dari suatu masalah. Apa yang

menyebabkan penyebarannya meningkat dan

meluas? Mengapa penyebarannya meningkat

dan meluas? Itulah yang perlu diidentikasi

secara akurat, sehingga rumusan kebijakan

yang akan diterapkan kemudian menjadi tepat,

guna memecahkan masalah yang dihadapi.

Lalu, apa saja strategi yang dilakukan guna

mencegah penyebaran covid-19 yang

dituangkan dalam PP tersebut?

Kewenangan dan Tanggung Jawab dalam

PSBB

Dalam Pasal 2 PP 21/2020 dinyatakan

bahwa dengan persetujuan menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang kesehatan, Pemerintah Daerah dapat

Page 16: ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

158

melakukan PSBB atau pembatasan terhadap

pergerakan orang dan barang untuk suatu

provinsi atau kabupaten/kota. Sementara,

dalam ayat 3 dinyatakan bahwa PSBB harus

didasarkan pada pertimbangan epidemiologis,

besarnya ancaman, efektifitas, dukungan

sumber daya, teknis operasional,

pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya,

pertahanan dan keamanan.

Ini bisa diartikan bahwa Pemerintah Daerah

baru bisa melaksanakan PSBB jika telah

memenuhi syarat dan setelah itu Menteri

(Kesehatan) memberikan persetujuannya.

Kepala Daerah yang daerahnya mendapatkan

persetujuan melaksanakan PSBB, harus

memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar

penduduk (Pasal 4 ayat 3). Kewajiban bagi

kepala daerah itu dipertegas lagi dalam pasal 5

ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam hal PSBB

telah ditetapkan oleh menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang kesehatan, Pemerintah Daerah wajib

melaksanakan dan memperhatikan ketentuan

sebagaimana diatur dalam UU Nomor 6 Tahun

2020 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Ini

yang menimbulkan pertanyaan. Kewajiban

melaksanakan dan memperhatikan ketentuan

yang mana yang diatur dalam UU tersebut?

Bukankah UU tersebut sebagian besar

mengatur tentang tanggung jawab Pemerintah

Pusat, dalam hal kebijakan Kedaruratan

Kesehatan Masyarakat, Karantina di Wilayah

yang meliputi Karantina Rumah, Karantina

Wilayah, dan Karantina Rumah Sakit? Ataukah

ada pelimpahan tanggung jawab dari

Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah

karena telah mendapatkan persetujuan dari

Pemerintah Pusat untuk melaksanakan PSBB?

Dari rumusan yang terbaca dalam PP tersebut

mengindikasikan adanya pelimpahan tanggung

jawab yang dibebankan kepada Pemerintah

Daerah dalam pelaksanaan PSBB di wilayahnya.

Permenkes No. 9 Tahun 2020 tentang

Pedoman PSBB

Meski telah diterbitkan PP No. 21 Tahun

2020, pemberlakuan PSBB masih memerlukan

terbitnya Peraturan Meteri Kesehatan sebagai

pengejawantahan kebijakan PSBB. Tanggal 3

April 2020, barulah Peraturan Menteri

Kesehatan No.9 Tahun 2020 dikeluarkan

sebagai Pedoman PSBB dalam rangka

Percepatan Penanganan Covid-19.

Jika Permenkes ini dijadikan sebagai

pedoman penyelenggaraan PSBB,

pertanyaannya adalah bagaimana Permenkes

ini membumikan PP 21/2020 agar tujuan dari

penyelenggaraan PSBB bisa tercapai? Dilihat

dari strukturnya, Permenkes ini memuat

beberapa ketentuan yang sebagian besar

ketentuan ini berisi tentang hal-hal yang

bersifat teknis-administratif mulai dari

prosedur permohonan, tata cara penetapan,

dan pencatatan serta pelaporan. Muatan

ketentuan implementasi PSBB sendiri hanya

terdiri dari satu bagian. Hal lainnya memuat

ketentuan soal monitoring dan evaluasi serta

kriteria dan ruang lingkup.

Pertanyaan yang bisa kita ajukan ialah,

dalam situasi krisis dan kedaruratan kesehatan

masyarakat, bagaimana Permenkes ini bisa

merespon secara cepat dan tepat jika sebagian

besar muatan ketentuannya berupa hal-hal

yang bersifat teknis procedural? Bagaimana

Permenkes ini memberikan ruang gerak yang

Page 17: ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

159

lebih leluasa bagi pelaksana PSBB untuk

menanggulangi penyebaran Covid-19 yang

sangat cepat? Bagaimana Permenkes ini

memiliki daya lentur dan fleksibilitas terhadap

daerah yang tidak mampu memenuhi syarat

pengajuan PSBB, misalnya kecukupan

kebutuhan hidup dasar, sementara di sisi lain,

wabah Covid-19 sudah sangat

mengkhawatirkan? Pasal 10 Permenkes ini

menunjukkan gambaran sebaliknya.

Tidak hanya itu, kita juga bisa mengajukan

pertanyaan terkait dengan wewenang dan

tanggung jawab. Pihak mana yang memiliki

kewenangan dan tanggung jawab dalam

pelaksanaan PSBB ini? Kita sudah bisa menduga

bahwa jika melihat desain kebijakan PSBB,

maka pihak yang diberi tanggung jawab

pelaksanaan PSBB ini ialah Pemerintah Daerah.

Rumusannya jelas termaktub beberapa

ketentuan dalam PP 21/2020 dan Permenkes

No. 9/2020. Pasal 4 ayat 3 dan Pasal 5 ayat 1 PP

21/2020. Lalu, dalam Permenkes No. 9/2020,

Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas

ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat.

Sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan

operasionalisasi jaring pengaman social (Pasal

6 ayat 5). Lalu, dimana tanggung jawab

Pemerintah Pusat dalam PSBB ini? Apakah

Pemerintah Pusat bertanggung jawab atas

pemenuhan kebutuhan hidup dasar rakyat

juga? Tidak ada pasal dalam Permenkes ini yang

menyebut tanggung jawab Pusat atas

pemenuhan kebutuhan hidup dasar rakyat.

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan

Masyarakat (PPKM)

Sejak Pemerintah mengeluarkan kebijakan PSBB pada tanggal 31 Maret 2020 sampai

dinyatakan berakhir pada tanggal 10 Januari 2021, kasus Covid 19 di Indonesia telah mencapai 828.026 positif, 681.024 dinyatakan sembuh, dan meninggal dunia 24.129 orang. Sampai tanggal 10 Januari 2021 ini juga, terdapat penambahan kasus positif sebanyak 9.640 kasus. Ini berarti, masih terdapat kasus aktif sebanyak 122.873 kasus. (Kompas.com, 10 Januari 2021).

Sejak tanggal 11 Januari 2021, berlaku

kebijakan baru dengan menggunakan istilah

yang baru, yaitu Pembatasan Kegiatan

Masyarakat (PPKM). Ada beberapa alasan

dikeluarkannya kebijakan PPKM yang

dikemukakan oleh Pemerintah, yaitu sebagai

berikut.

1. Mencermati perkembangan kasus

covid-19 yang juga belum

menunjukkan tanda-tanda penurunan.

Sampai tanggal 10 Januari 2021,

terdapat kasus rata-rata harian

sebanyak 8954, dengan angka tertinggi

pada tanggal 8 Januari yang mencapai

10.617 kasus positif. (Center for

Systems Science and Engineering

(CSSE) at Johns Hopkins University)

2. Agar terjadi keseragaman penerapan

PPKM. Selama ini, pemberlakuan PSBB

berasal dari inisiatif Pemerintah

Daerah yang mengajukan kepada

Pemerintah Pusat melalui Menteri

Kesehatan. Ketidakseragaman waktu

penerapan ini yang berdampak tidak

efektifnya penanganan wabah

pandemi covid-19. Dalam PPKM,

inisiatif berasal dari pemerintah pusat

berupa pemberian kriteria awal

Page 18: ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

160

terhadap daerah-daerah untuk

dilakukan pembatasan. Daerah yang

masuk dalam kriteria itu, harus

menerapkan PPKM. Oleh karena itu,

penerapan kebijakan PPKM diharapkan

bisa menjadi seragam.

Terlepas dari argumentasi yang

dikemukakan oleh pihak pemerintah,

penggunaan terminologi ‘Pemberlakuan

Pembatasan Kegiatan Masyarakat” patut untuk

dipertanyakan landasan peraturan perundang-

undangan-nya. Karena, istilah tersebut dikenal

dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang

Kekarantinaan Kesehatan. Dasar kebijakan

tersebut mengacu pada Instruksi Mendagri.

Dengan demikian, rejim pengaturannya

berubah dari rejim pengaturan kedaruratan

kesehatan menjadi rejim pengaturan

pembatasan kegiatan masyarakat berbasis

kewilayahan. Tidak salah jika ada pandangan

yang mengatakan bahwa Pemerintah berusaha

menghindari opsi kebijakan lain yang

disediakan dalam UU Kekarantinaan

Kesehatant ersebut, seperti kebijakan

Karantina di Wilayah atau lockdown.

Penggunaan istilah Karantina di Wilayah sudah

pasti akan berimplikasi kewajiban atau

tanggung jawab yang besar di tangan

pemerintah pusat.

Kebijakan PPKM pertama kali diberlakukan

untuk wilayah Jawa dan Bali. Oleh karenanya

disebut PPKM Jawa-Bali, yang dilaksanakan

dalam dua tahap, yaitu sebagai berikut.

1.Tahap pertama dari tanggal 11 Januari-25 Januari 2021, meliputi 7 provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali)

2. Tahap kedua dari tanggal 26 Januari-9 Februari 2021, meliputi 7 provinsi

Setelah dilaksanakan selama dua tahap

dan hasilnya tidak efektif, PPKM Jawa-Bali

diubah menjadi PPKM berbasis mikro sejak

tanggal 9 Februari 2021. PPKM Mikro ini

berdasarkan Instruksi Mendagri Nomor 3

Tahun 2021. Sesuai dengan Instruksi Mendagri

tersebut, selain penanganan, posko COVID-

19 PPKM Mikro juga bertugas mencegah,

membina, dan mendukung upaya mengatasi

penyebaran penyakit. PPKM Mikro

dilaksanakan bersamaan dengan pembatasan

di wilayah kabupaten/kota. Ayat pertama

Inmendagri 3/2021 menyatakan PPKM

Mikro ditujukan pada beberapa provinsi di

Indonesia. Provinsi tersebut berada di Pulau

Jawa dan Bali yang memiliki jumlah kasus

COVID-19 tinggi. Pada PPKM mikro ada

pengaturan tentang pembentukan posko

penanganan COVID-19 di tingkat desa dan

kelurahan, jam operasional pusat

perbelanjaan/mall diatur dengan lebih longgar

yaitu hingga pukul 21.00 WIB, serta

pembatasan perkantoran yang lebih longgar

yaitu 50% kerja dari kantor dan 50% kerja dari

rumah. (Kompas. 9 Februari 2021).

Sampai dengan tanggal 7 Juni 2020,

kebijakan ini telah berlangsung selama 9 tahap.

PPKM Mikro tahap 9 diberlakukan sejak tanggal

1-14 Juni 2021. Jika tahap pertama PPKM Mikro

meliputi 7 provinsi, kini pemberlakuannya

meliputi 30 provinsi. Sampai dengan tanggal 6

Juni 2021, kasus covid bertambah 5.832 Orang,

sehingga total kasus Covid-19 di Indonesia

Capai 1.856.038 kasus positif.

Page 19: ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

161

Sejak diberlakukannya PPKM Jawa-Bali

dari tanggal 11-25 Januari 2021, tercatat grafik

kasus harian sebagai berikut.

Grafik Kasus Harian Positif covid-19 dalam rentang waktu 11-25 Januari 2021 (PPKM Jawa-Bali Tahap 1)

Sumber: the Center for Systems Science and Engineering (CSSE) at Johns Hopkins University Dari grafik di atas dapat terbaca bahwa kasus harian tertinggi terjadi pada tanggal 16 Januari 2021, yaitu sebanyak 14.224 kasus. Fakta ini menunjukkan bahwa angka tersebut masih lebih tinggi dari kasus harian tertinggi PSBB tanggal 8 Januari 2021 sebelum penerapan PPKM, yaitu sebanyak 10.617 kasus positif. Angka ini bisa menjadi gambaran bahwa saat diterapkannya kebijakan PPKM, masih terjadi kasus harian tertinggi positif covid-19, meskipun kita juga melihat adanya trend penurunan angka kasus harian positif.

Data statistik menunjukkan, sejak diberlakukannya PPKM Mikro yang telah diberlakukan sampai 9 jilid, terdapat trend sedikit penurunan angka kasus harian positif covid-19, yaitu pada tanggal 19 Mei mencatat kasus terendah yaitu mencapai 4871 kasus, dan yang tertinggi tercatat pada tanggal 5 Juni 2021 yang mencapai 6594 kasus.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Adanya ketentuan yang semestinya

diamanatkan untuk ditetapkan dengan

peraturan pemerintah, ternyata justru

dijadikan sebagai Keputusan Presiden.

Ketentuan tentang Kedaruratan

Kesehatan Masyarakat yang

diamanatkan untuk ditetapkan dengan

Peraturan Pemerintah, hanya dijadikan

sebagai Keputusan Presiden Nomor 11

tahun 2020 tentang Penetapan

Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

2. Adanya upaya mengalihkan tanggung

jawab dari Pemerintah Pusat kepada

Pemerintah Daerah dengan memilih

opsi kebijakan PSBB daripada memilih

kebijakan Karantina Wilayah.

Pengalihan tanggung jawab tersebut

terbaca dari formulasi Permenkes

Nomor 9/2020. Mestinya, tanggung

jawab pemerintah pusat juga

dicantumkan dalam Permenkes ini

sebagai bentuk akuntabilitas Negara

terhadap rakyat.

3. Patut diduga bahwa Pemerintah Pusat

tidak secara cermat mengidentifikasi

masalah dengan merumuskan dampak

dari masalah sebagai masalah. Hal itu

terlihat dalam konsideran PP 21/2020.

Ketidakcermatan mengidentifikasi

masalah berpotensi tidak tepatnya

formulasi kebijakan sehingga tujuan

kebijakan tersebut tidak tercapai.

Belum adanya tanda-tanda

menurunnya kasus covid-19 di

Indonesia, bahkan menunjukkan

0

5000

10000

15000 Jumlah kasus

Jumlahkasus

Page 20: ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

162

statistic yang fluktuatif menunjukkan

bahwa opsi kebijakan yang dipilih oleh

pemerintah, baik PSBB, maupun PPKM

perlu untuk dievaluasi lebih lanjut.

4. Dilihat dari strukturnya, Permenkes

No. 9 Tahun 2020 lebih bersifat teknis

administratif yang tidak sensitif

terhadap situasi kedaruratan

kesehatan masyarakat yang

membutuhkan tindakan cepat dan

fleksibel. Semestinya, desain atau

formulasi kebijakan yang dimuat dalam

Permenkes ini memenuhi prinsip-

prinsip responsivitas dan fleksibilitas

dengan mengedapankan azas

kepentingan umum.

5. Upaya menghindari implikasi

tanggung jawab pemerintah pusat pun

terlihat dari dikeluarkannya kebijakan

PPKM, baik PPKM Jawa-Bali dan PPKM

Mikro. Penggunaan istilah PPKM yang

tidak diatur dalam Undang-Undang

Kekarantinaan Kesehatan ini hanya

berdasarkan Instruksi Mendagri.

6. Dalam paradigm pelaksanaan Good

Governance, transparansi,

akuntabilitas, dan , non diskriminatif,

dan responsibilitas dan rule of law

menjadi prinsip yang penting dan

utama. Oleh karena itu, setiap

pelaksanaan kebijakan, termasuk

dalam penanggulangan pandemic

covid-19 harus mengedepankan

prinsip-prinsip tersebut. Pandemi ini

bukanlah persoalan lokal semata yang

dibebankan kepada pemerintah

daerah, tetapi sudah menjadi

persoalan nasional dan global.

Sehingga, tanggung jawab terbesar ada

pada pemerintah pusat. Semestinya,

Pemerintah Pusat mengambil alih

tanggung jawab penuh persoalan ini,

bukan semata-mata membebankan

kepada pemerintah daerah serta

melakukan evaluasi dan menilai kinerja

pemerintah daerah. Keberhasilan

penanganan pandemi ini adalah

tanggung jawab seluruh komponen

bangsa, dengan komponen utamanya

adalah pemerintah pusat sebagai

penyelenggara pemerintahan tertinggi

yang dibantu oleh pemerintah daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Dunn, W. (2003). Analisis Kebijakan Publik.

Yogyakarta: Gajah Mada University

Press

Firdaus Syam. 2013. Analisis Dan Evaluasi

Peraturan Perundang-Undangan

Tentang Kekarantinaan. Pusat

Perencanaan Pembangunan Hukum

Nasional Badan Pembinaan Hukum

Nasional Kementerian Hukum Dan

Hak Asasi Manusia R.I.

Islamy, M. Irfan. 2000. Prinsip-prinsip

Perumusan Kebijakan Negara.

Jakarta. Sinar Grafika

Prasetiyani, Netty dan Tim Covid-19 FPKS DPR

RI.2020. Buku Putih Penanganan

Page 21: ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

163

Pandemi Covid-19 di

Indonesia.Jakarta, Buku Republika.

Wahab, Solihin. Abdul. 2003. Analisis Kebijakan

dari Formulasi ke Implementasi

Kebijakan Negara. Jakarta. Bumi

Aksara

Winarno Budi, 2008. Kebijakan Publik Teori &

Proses. Yogyakarta: MedPress

(Anggota IKAPI)

Artikel

Data Terkini Korban Virus Corona di Indonesia

per Mei 2021, Merdeka.com, Senin,

31 Mei 2021. Diakses di

https://www.merdeka.com/peristiw

a /data-terkini-korban-virus-corona-

di indonesia-per-mei-2021 pada

tanggal 6 Juni 2021

“Dokter Tifauzia Tyassuma minta Jokowi segera

lockdown”. Diakses di

https://zonautara.com/2020/03/15/

dokter-tifauzia-tyassuma-minta-

jokowi-segera-lockdown/ pada

tanggal 7 Juni 2021.

“IDI Desak Jokowi Segera Putuskan Lockdown

untuk Tekan Penyebaran Corona”.

Diakses di

https://kumparan.com/kumparanne

ws/idi-desak-jokowi-segera-

putuskan-lockdown-untuk-tekan-

penyebaran-corona-1t4kXYWt1XQ

pada tanggal 7 Juni 2021

“Pasien Covid-19 Terus Naik Tajam, PKS Desak

Jokowi Pertimbangkan Opsi

Lockdown". Diakses di

https://politik.rmol.id/read/2020/03

/25/426991/pasien-covid-19-terus-

naik-tajam-pks-desak-jokowi-

pertimbangkan-opsi-lockdown pada

tanggal 7 Juni 2021

"PPKM Mikro Berlaku, Apa Bedanya dengan

PPKM?"Diakses di

https://www.kompas.com/tren/read

/2021/02/09/060200565/ppkm-

mikro-berlaku-apa-bedanya-dengan-

ppkm- pada tanggal 7 Juni 2021

“Update per 31 Maret: 1.528 Kasus Covid-19,

Masyarakat Diajak Saling Beri

Edukasi”, Kompas.com, Rabu 1 April

2020. Diakses di

https://amp.kompas.com/nasional/r

ead/2020/04/01/06293531/update-

per-31-maret-1528-kasus-covid-19-

masyarakat-diajak-saling-beri pada

tanggal 6 Juni 2021

Update Minggu 10 Januari 2021: 828.026

Positif Covid-19, Sembuh 681.024,

Meninggal 24.129. Diakses di

https://www.liputan6.com/news/rea

d/4453587/update-minggu-10-

januari-2021 pada tanggal 6 Juni 2021

"UPDATE 10 Januari: Kasus Aktif Covid-19 Kini

Ada 122.873", Diakses

di https://nasional.kompas.com/rea

d/2021/01/10/17342671/update-10-

januari-kasus-aktif-covid-19-kini-ada-

122873. pada tanggal 7 Juni 2021

Page 22: ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN …

Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021

Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten

164

Dokumen

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang

Kekarantinaan Kesehatan

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun

2020 tentang PSBB Dalam Rangka

Percepatan Penanganan Covid-19

Permenkes No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman

PSBB

Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020

tentang Penetapan Kedaruatan

Kesehatan Masyarakat Corona Virus

Disease 2019 (Covid- 19)

Instruksi Mendagri Nomor 1-9 Tahun 2021

tentang Pemberlakuan

Pembatasan Kegiatan Masyarakat

(PPKM)