Post on 11-Mar-2019
KAJIAN KEAMANAN PRODUK BERBASIS TEPUNG PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN (IRTP)
DI JAWA BARAT
SKRIPSI
HESTY SOFIANDARI F24080082
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2013
SAFETY ASSESSMENT ON FLOUR-BASED PRODUCTS OF HOME INDUSTRY IN WEST JAVA
Hesty Sofiandari[1], Dias Indrasti[1], Bosar Pardede[2] 1Departement of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology,
Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220 Bogor, West Java, Indonesia
Phone: 6281 310 463 141, e-mail: hestysofiandari@gmail.com 2The National Agency of Drug and Food Control
Jl. Percetakan Negara No. 23, PO BOX 10560 Jakarta, Indonesia
ABSTRACT
Agricultural products as source of food must be safe to protect people from poisoning. According to the data, processed food become the source of food poisoning in 2001-2011. In Indonesia, processed food mostly produced by home industry. Therefore, it was necessary to study the safety assessment of food products produced by home industry. The method applied in this study was problem statement, collecting data and data analysis (determination of area of study, food product and issues on food production in home industry). The data showed that most home industry located in West Java. The products covered all types of NADFC food category and mostly flour-based products. Potential hazard found in flour-based products in West Java were the use of improper flour; use of hazardous materials, food additives excess, and microbial contamination; incorrect processing; packaging and labeling; and storage of food products. It found two types of product that should not categorized as products of home industry and did not comply with national standard.
Keywords: NADFC, safety assessment, flour-based products, home industry
HESTY SOFIANDARI. F24080082. Kajian Keamanan Produk Berbasis Tepung pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di Jawa Barat. Di bawah bimbingan Dias Indrasti dan Bosar Pardede. 2013.
RINGKASAN
Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi manusia. Produk pertanian sebagai sumber pangan, baik pangan segar maupun olahan, harus selalu terjamin keamanannya agar masyarakat terhindar dari bahaya yang disebabkan oleh pangan yang tidak aman. Permasalahan keamanan pangan masih banyak dijumpai di Indonesia, seperti cemaran mikroba karena kondisi higiene dan sanitasi yang buruk, penyalahgunaan bahan berbahaya untuk pangan, serta penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) melebihi batas maksimum yang diijinkan. Berdasarkan data KLB (Kejadian Luar Biasa) keracunan pangan yang dilaporkan tahun 2001-2011, produk pangan olahan menjadi salah satu penyebab kasus keracunan pangan. Pangan olahan umumnya diproduksi oleh IRTP. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa keamanan produk IRTP harus diperhatikan mengingat Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) merupakan aset pemerintah. Peranan IRTP sangat strategis dalam perekonomian Indonesia, dilihat dari kemampuan IRTP dalam penyerapan tenaga kerja, pemanfaatan hasil pertanian sebagai bahan baku, serta pemenuhan konsumsi dalam negeri yang dapat diandalkan.
Tujuan penelitian adalah 1) memetakan produk IRTP di Jawa Barat berdasarkan teknologi dan kategori produk; 2) memetakan penyimpangan kategori pangan produk IRTP di Jawa Barat; 3) memetakan potensi bahaya pada produk IRTP berbasis tepung di Jawa Barat; 4) merekomendasikan fokus pembinaan dan pengawasan keamanan dan mutu produk IRTP berbasis tepung di Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan di Sub Direktorat Penyuluhan Makanan Siap Saji dan Industri Rumah Tangga, Direktorat Surveilan Penyuluhan dan Keamanan Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI), Jakarta, pada bulan Februari sampai Juni 2012.
Metode yang diterapkan sebagai usaha untuk menghasilkan data dan analisa yang tepat dalam penelitian mengenai kajian keamanan pangan produk industri rumah tangga, antara lain: analisis masalah, pengumpulan data, analisis data (penentuan daerah, penentuan produk, identifikasi masalah IRTP), dan pengkajian masalah. Pengumpulan data dilakukan melalui diskusi dan wawancara dengan pihak-pihak terkait, serta melakukan studi pustaka untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi. Data yang diperoleh kemudian dibuat suatu bentuk pemetaan berdasarkan produk yang dihasilkan dan teknologi yang digunakan yang kemudian diidentifikasi untuk mencari masalah-masalah yang terdapat pada IRTP. Selain itu, pemetaan ini juga sangat membantu di dalam menentukan intervensi yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah-masalah IRTP.
Berdasarkan data dari dinas kesehatan yang terdapat di BPOM, diperoleh data jumlah industri rumah tangga yang paling banyak berada di Jawa Barat yaitu sebesar 2537 IRTP. Data tersebut juga menunjukkan bahwa kategori produk pangan yang paling banyak di Jawa Barat adalah tepung dan hasil olahannya. Ada 4 jenis tepung yang digunakan pada pembuatan produk IRTP di Jawa Barat yaitu tepung terigu, tepung tapioka/ kanji, tepung beras, dan tepung ketan. Jenis tepung yang paling banyak digunakan yaitu tepung terigu sebesar 57%.
Potensi bahaya yang ditemukan pada kajian produk IRTP berbasis tepung di Jawa Barat adalah 1) penggunaan tepung yang rusak; 2) penggunaan bahan berbahaya, BTP berlebih, dan cemaran mikroba selama proses pengolahan produk berbasis tepung; 3) proses pengolahan yang salah; 4) pengemasan dan pelabelan yang salah; dan 5) penyimpanan produk pangan yang salah. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa teknologi proses yang paling banyak digunakan untuk memproduksi produk IRTP yaitu teknologi penggorengan sebesar 48%. Potensi bahaya yang timbul dalam hal ini yaitu pada penggunaan minyak dan potensi terbentuknya akrilamid.
Berdasarkan hasil analisis data juga ditemukan beberapa produk IRTP yang menyimpang di Jawa Barat. Terdapat dua kategori penyimpangan pada produk IRTP yaitu kategori produk yang didaftarkan sebagai Produk Industri Rumah Tangga Pangan (P-IRT) seperti bakso, naget (daging), batagor, otal-otak yang sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai P-IRT dan pengkategorian produk IRTP yang tidak sesuai dengan definisi yang tertera pada Standar Nasional Indonesia (SNI) dan/ atau kategori pangan yaitu bakso, naget (tepung), dan abon oncom.
Adapun rekomendasi yang dapat diberikan untuk masalah ini yaitu 1) pemerintah daerah harus lebih proaktif dalam mengembangkan produk yang potensial di wilayah kerjanya; 2) membantu pengadaan tepung yang baik dan berkualitas; 3) tidak mencampurkan IRTP untuk satu produk dengan produk lainnya ketika melakukan pembinaan; 4) pemerintah harus lebih tegas kepada produsen yang melakukan pelanggaran; 5) pengadaan BTP harus mudah diperoleh dipasaran dengan harga yang relatif murah; 6) memberikan info/ penyuluhan mengenai cara memilih bahan kemasan yang aman; 7) lebih memperketat dan memperhatikan IRTP ketika mendaftarkan produknya ke Dinas Kesehatan setempat; 8) untuk IRTP penghasil bakso, naget, otak-otak, dan batagor perlu dibina sebagai produsen pangan siap saji; 9) dibuatkan nama baru untuk produk bakso, naget, dan abon oncom yang tidak sesuai dengan definisi produk tersebut dalam SNI dan/ atau kategori pangan sesuai dengan SK Kepala BPOM No. HK.00.05.52.40.40 tahun 2006.
KAJIAN KEAMANAN PRODUK BERBASIS TEPUNG PADA INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN (IRTP)
DI JAWA BARAT
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh HESTY SOFIANDARI
F24080082
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2013
Judul Skripsi : Kajian Keamanan Produk Berbasis Tepung pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di Jawa Barat
Nama : Hesty Sofiandari NIM : F24080082
Menyetujui,
Pembimbing I, Pembimbing II, (Dias Indrasti, STP MSc.) (Drs. Bosar Pardede, Apt MSi.) NIP 19820308.200501.2.001 NIP 19600614.198803.1.003
Mengetahui : Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
(Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc.) NIP 19680526.199303.1.004
Tanggal ujian akhir : 4 Januari 2013 Tanggal lulus : 4 Januari 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Keamanan Produk Berbasis Tepung pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di Jawa Barat adalah hasil karya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik dan dosen pembimbing lapang, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2013 Yang membuat pernyataan
Hesty Sofiandari F24080082
©Hak cipta milik Hesty Sofiandari, tahun 2013 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
BIODATA PENULIS
Penulis memiliki nama lengkap Hesty Sofiandari dan biasa dipanggil Hesty. Pada tanggal 24 Maret 1990 penulis dilahirkan dari pasangan Herman Sofianda (alm.) dan Suhartini di Bogor sebagai putri ketiga dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Babakan Dramaga 02, Bogor pada tahun 1996-2002. Pada tahun 2005 penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama di SMP N 1 Dramaga, Bogor. Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA N 1 Leuwiliang, Bogor pada tahun 2008. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di perguruan tinggi Institut Pertanian Bogor melalui jalur beasiswa utusan daerah (BUD) dengan penyandang dana dari PT. Antam Tbk. Penulis memilih Program Studi S1 dan diterima sebagai mahasiswa
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian dengan program minor Matematika Keuangan dan Aktuaria. Selama masa kuliah penulis pernah mengikuti kegiatan kepanitiaan pelatihan sistem manajemen pangan halal (PLASMA) tahun 2010. Selain itu, penulis juga memiliki pengalaman kerja sebagai tentor mata kuliah Kalkulus untuk mahasiswa di bimbingan belajar mahasiswa KATALIS.
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Robbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Kajian Keamanan Produk Berbasis Tepung pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di Jawa Barat dilaksanakan di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Jakarta sejak bulan Februari sampai Juni 2012.
Skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan tanpa bantuan, dukungan, dan doa berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dias Indrasti, STP M.Sc. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan,
masukan, motivasi, dan bimbingannya selama masa perkuliahan dan penelitian, hingga penyusunan tugas akhir.
2. Bapak Halim Nababan yang telah memberikan saya kesempatan untuk melakukan kegiatan magang serta terimakasih telah banyak memberikan ilmu, pengalaman, bimbingan dan nasihat dalam melakukan tugas akhir.
3. Drs. Bosar Pardede, Apt M.Si selaku pembimbing lapang yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulis melakukan tugas akhir.
4. Retno Anggrina, S.Si Apt. selaku dosen penguji atas kesediaan waktu dan memberikan masukan yang membangun pada saat persidangan, serta bimbingan dan pengarahan selama penyusunan tugas akhir.
5. Ibunda tercinta dan kedua kakakku yang telah memberikan doa, kasih sayang, dan banyak dukungan baik fisik maupun moril kepada penulis
6. Badan POM RI Jakarta yang telah memberikan kesempatan magang dan seluruh pegawai BPOM khususnya staf Direktorat Deputi III BPOM yang telah memberikan bimbingannya selama kegiatan magang.
7. Dosen, staf Departemen ITP, serta staf UPT yang telah memberikan ilmunya dan segala informasi yang sangat berharga kepada penulis.
8. Windu Rahmat yang senantiasa tak pernah berhenti memberikan doa, cinta, kasih sayang, dukungan fisik maupun moril kepada penulis.
9. Sahabat-sahabat seperjuangan di BPOM: Diah Ayu Kartika, Anggi Sri D, Rendy Maulana, dan Ivan Mustakim. Terimakasih atas semangat dan motivasinya.
10. Sahabat-sahabat seperjuangan di ITP: Fitria Rizkyka, Arum Marya, Dini Quentasari, Iin Wahyuni, Nurul Kurnia Sari, Karno Saputra, Astrid Diniari, Ahmadun, Taufik Rais, dan seluruh teman ITP 45, terimakasih atas semangat, motivasi, bantuan yang pernah diberikan. .
11. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu dan teknologi pangan.
Bogor, Januari 2013
Hesty Sofiandari
iv
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR………………………………………………………………………. iii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………………………… v
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………………… vi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………………… vii
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG…………………………………………………………………… 1 B. TUJUAN………………………………………………………………………………… 2
II. KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG
A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BPOM RI………………………………………. 3 B. VISI, MISI, DAN FUNGSI BPOM RI………………………………………………….. 3 C. STRUKTUR ORGANISASI BPOM RI………………………………………………… 4 D. SUB DIREKTORAT PENYULUHAN MAKANAN SIAP SAJI DAN INDUSTRI
RUMAH TANGGA……………………………………………………………………… 4
III. TINJAUAN PUSTAKA A. KEAMANAN PANGAN……………………………………………………………….. 6 B. INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN (ITRP)……………………………………. 8 C. PRODUK IRTP BERBASIS TEPUNG………………………………………………… 9 D. BAHAN KIMIA DALAM PRODUK PANGAN………………………………………. 10
IV. METODOLOGI
A. ANALISIS MASALAH………………………………………………………………… 13 B. PENGUMPULAN DATA………………………………………………………………. 13 C. ANALISIS DATA………………………………………………………………………. 13 D. PENGKAJIAN MASALAH…………………………………………………………...... 14
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PROFIL INDUSTRI RUMAH TANGGA PANGAN (IRTP)………………………….. 15 B. POTENSI BAHAYA PRODUK IRTP BERBASIS TEPUNG DI JAWA BARAT…..... 17 C. PENYIMPANGAN PRODUK IRTP DI JAWA BARAT……………………………… 23 D. UPAYA YANG TELAH DILAKUKAN PEMERINTAH DALAM MEMBINA IRTP. 25 E. INTERVENSI PEMERINTAH DALAM MEMBINA PRODUK IRTP BERBASIS
TEPUNG………………………………………………………………………………… 26
VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN……………………………………………………………………………… 28 B. SARAN…………………………………………………………………………………... 28
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………… 29
LAMPIRAN…………………………………………………………………………………….. 33
v
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Jumlah produk IRTP di Jawa Barat tahun 2010 berdasarkan jenis pangan………….. 16 Tabel 2. Data penyalahgunaan bahan berbahaya pada pangan jajanan anak sekolah (PJAS) tahun 2010…………………………………………………………………… 18 Tabel 3. Hasil sampling BPOM tahun 2011 untuk produk pangan yang TMS………………... 19 Tabel 4. Penyimpangan produk IRTP di Jawa Barat tahun 2010…………………………… 24
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Metodologi kegiatan magang…………………………………………………… 14 Gambar 2. Proporsi penggunaan jenis tepung pada produk IRTP di Jawa Barat ……………. 16 Gambar 3. Persentase produk IRTP berbasis tepung berdasarkan teknologi yang digunakan…………………………………………………………………………. 21
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Struktur organisasi Badan POM RI……………………………………………... 34 Lampiran 2. Struktur organisasi direktorat surveilan dan penyuluhan keamanan pangan
BPOM RI……………………………………………………………………....... 35
Lampiran 3. Data KLB keracunan pangan terlaporkan tahun 2001-2011……………………. 36 Lampiran 4. Pemetaan IRTP di Jawa Barat…………………………………………………... 38 Lampiran 5. Lampiran Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT)………………………………………………............ . 61
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi manusia. Ketersediaan pangan yang cukup, baik
kualitas maupun kuantitasnya, terus diupayakan oleh pemerintah antara lain melalui program ketahanan pangan. Melalui program tersebut diharapkan masyarakat dapat memperoleh pangan yang cukup, aman, bergizi, sehat, dan halal untuk dikonsumsi. Produk pertanian sebagai sumber pangan, baik pangan segar maupun olahan, harus selalu terjamin keamanannya agar masyarakat terhindar dari bahaya.
Permasalahan keamanan pangan masih banyak dijumpai di Indonesia seperti cemaran mikroba karena kondisi higiene dan sanitasi yang buruk, penyalahgunaan bahan berbahaya untuk pangan, serta penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) melebihi batas maksimum yang diijinkan. Berdasarkan hasil survei monitoring dan verifikasi Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) dalam rangka peningkatan keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2009 diketahui bahwa tingkat pengetahuan responden tentang kebersihan dan sanitasi masih rendah. Laporan tersebut menyebutkan bahwa responden yang memiliki pengetahuan baik hingga baik sekali tentang kebersihan dan sanitasi masih di bawah 50%. Selain itu dilaporkan masih adanya penggunaan pemanis buatan (sakarin dan siklamat) dan pengawet (benzoat dan sorbat) yang melebihi batas yang ditetapkan. Penyalahgunaan bahan berbahaya, seperti formalin, boraks, Rhodamin B dan methanyl yellow pada produk IRTP juga masih banyak ditemukan. Jaminan atas keamanan, mutu, dan gizi pangan berkontribusi besar pada pembentukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sehingga secara tidak langsung akan menentukan daya saing bangsa di tingkat dunia.
Makanan yang sudah tercemar secara visual tidak terlihat karena memiliki penampakan yang normal serta tidak menunjukkan tanda kerusakan baik dari segi rasa, warna, dan aroma. Hal ini menjadi salah satu penyebab banyaknya kasus keracunan makanan yang terjadi di Indonesia (BPOM 2007). Penyakit akibat pangan oleh World Health Organization (WHO) didefinisikan sebagai penyakit-penyakit infeksi atau toksin yang disebabkan oleh konsumsi pangan termasuk air yang telah terkontaminasi (Sharp dan Reilly 2000). Menurut WHO (2007), secara global terjadi 1.8 milyar gangguan kesehatan karena makanan dan 3 juta di antaranya meninggal tiap tahun dengan jumlah yang cenderung meningkat.
Reynolds et all. (2003) mengatakan bahwa keracunan makanan adalah gejala atau penyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi makanan yang beracun atau terkontaminasi bakteri. Menurut Peraturan Kepala BPOM RI No: HK.00.06.1.54.2797 tahun 2009 tentang Tata Cara Pengambilan Contoh Makanan, Pengujian Laboratorium dan Pelaporan Penyebab Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Makanan, KLB keracunan pangan adalah suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala-gejala yang sama atau hampir sama setelah mengkonsumsi sesuatu dan berdasarkan analisis epidemiologi, makanan tersebut terbukti sebagai sumber keracunan. Berdasarkan data KLB keracunan pangan yang terlaporkan tahun 2001-2011 menunjukkan bahwa pada tahun 2011 di Indonesia telah terjadi 128 KLB keracunan pangan. Kasus keracunan pangan tersebut diakibatkan oleh cemaran mikroba, cemaran kimia, dan tidak diketahui penyebabnya. Data tersebut menyebutkan bahwa kasus keracunan pangan terjadi pada masakan rumah tangga, pangan olahan, pangan jasa boga, pangan jajanan, dan lain-lain.
Berdasarkan data KLB keracunan pangan yang dilaporkan tahun 2001-2011, produk pangan olahan menjadi salah satu penyebab kasus keracunan pangan. Pangan olahan umumnya diproduksi oleh IRTP. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa keamanan produk IRTP masih harus diperhatikan
2
mengingat IRTP merupakan aset pemerintah. Peranan IRTP sangat strategis dalam perekonomian Indonesia, dilihat dari kemampuan IRTP dalam penyerapan tenaga kerja, pemanfaatan hasil pertanian sebagai bahan baku, serta pemenuhan konsumsi dalam negeri yang dapat diandalkan. Beberapa produk IRTP juga merupakan komoditi ekspor. IRTP yang memiliki pengaruh signifikan bagi perekonomian masyarakat di daerah. Berdasarkan hal tersebut pada Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 pasal 43 BPOM diamanatkan untuk menetapkan Pedoman Pemberian Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) serta melakukan pembinaan bagi Pemerintah Daerah (Pemda) dalam pengawasan IRTP di wilayah kerjanya masing-masing. Dengan demikian produsen dapat meningkatkan mutu dan keamanan produk IRTP yang secara tidak langsung akan memberi dampak positif pada kehidupan sosial ekonomi daerah.
B. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah 1) memetakan produk IRTP di Jawa Barat berdasarkan teknologi
dan kategori produk; 2) memetakan penyimpangan kategori pangan produk IRTP di Jawa Barat; 3) memetakan potensi bahaya pada produk IRTP berbasis tepung di Jawa Barat; 4) merekomendasikan fokus pembinaan dan pengawasan keamanan dan mutu produk IRTP berbasis tepung di Jawa Barat.
II. KEADAAN UMUM INSTANSI MAGANG
A. Sejarah dan Perkembangan BPOM RI Kemajuan teknologi telah membawa perubahan yang cepat dan signifikan pada industri obat,
kosmetik, alat kesehatan, dan makanan. Banyak industri telah memiliki teknologi untuk menghasilkan produk dalam skala besar dengan waktu yang singkat. Selain itu, dengan dukungan kemajuan teknologi transportasi, banyak produk-produk serupa dari luar negeri ikut meramaikan pasar di Indonesia.
Peredaran produk obat, kosmetik, alat kesehatan dan makanan perlu mendapatkan pengawasan dari pemerintah. Jika tidak, akan banyak beredar produk-produk yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kelayakan dan keamanannya. Produk yang tidak layak dan tidak aman tersebut bisa berupa produk rusak atau mengandung bahan berbahaya pada proses produksi, distribusi, maupun konsumsinya.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah membentuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang bertugas mengawasi obat dan makanan sehingga dapat melindungi masyarakat dari bahaya penggunaan produk obat dan makanan. Pengawasan ini sebelumnya ditangani oleh Kementerian Kesehatan, tetapi karena bertambah kompleksnya permasalahan yang ada dan kebijakan-kebijakan yang harus diambil maka tugas ini perlu ditangani secara khusus. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 116 tahun 2000, BPOM ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK) yang bertanggung jawab kepada Presiden dan berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial.
Dalam melaksanakan tugasnya, BPOM diberi kewenangan untuk menyusun rencana nasional dan kebijakan nasional secara makro di bidang pengawasan obat dan makanan, menetapkan sistem informasi di bidang pengawasan obat dan makanan, menetapkan standar penggunaan bahan tambahan tertentu untuk makanan dan pedoman untuk mengawasinya, memberi ijin peredaran obat serta mengawasi industri-industri farmasi, dan menetapkan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan, dan pengawasan tanaman obat.
B. Visi, Misi, dan Fungsi BPOM RI Visi BPOM yaitu menjadi institusi pengawas obat dan makanan yang inovatif, kredibel dan
diakui secara internasional untuk melindungi masyarakat. Sedangkan misi BPOM adalah 1) melakukan pengawasan pre-market dan post-market berstandar internasional; 2) menerapkan sistem manajemen mutu secara konsisten; 3) mengoptimalkan kemitraan dengan pemangku kepentingan di berbagai lini; 4) memberdayakan masyarakat agar mampu melindungi diri dari obat dan makanan yang beresiko terhadap kesehatan; 5) membangun organisasi pembelajar (learning organization). Adapun fungsi dari BPOM adalah 1) mengkaji dan menyusun kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan makanan; 2) melaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan makanan; 3) mengkoordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPOM; 4) memantau, memberi bimbingan, dan membina kegiatan instansi pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan; 5) menyelenggarakan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan dan rumah tangga.
4
C. Struktur Organisasi BPOM RI BPOM RI ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden No. 166 tahun 2000 tentang kedudukan,
tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi dan tata kerja LPND, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 173 tahun 2000. Pembentukan BPOM RI ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Kepala BPOM No. 02001/SK/KBADAN POM RI, tanggal 26 Februari tahun 2001, tentang organisasi dan tata kerja BPOM setelah mendapatkan persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 34/M.PAN/2/2001 tanggal 1 Februari 2001. Struktur organisasi BPOM terdiri atas 1) Kepala BPOM; 2) Sekretariat Utama; 3) Inspektorat; 4) Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA); 5) Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen; 6) Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya; 7) Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional; 8) Pusat Penyidikan Obat dan Makanan; 9) Pusat Riset Obat dan Makanan; 10) Pusat Informasi Obat dan Makanan; dan 11) Unit Pelaksana Teknis BPOM. Struktur organisasi BPOM dalam bentuk skema dapat dilihat pada Lampiran 1.
D. Sub Direktorat Penyuluhan Makanan Siap Saji dan Industri Rumah Tangga BPOM dipimpin oleh seorang kepala badan yang membawahi sekretariat utama, inspektorat,
dan tiga deputi. Deputi tersebut yaitu Deputi I Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA, Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen, Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya.
Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya bertugas untuk merumuskan kebijakan di bidang pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya secara menyeluruh (total food safety and hazardous control). Pengawasan pangan atau bahan berbahaya dilakukan mulai dari bahan mentah hingga siap dikonsumsi (from farm to table) dengan pendekatan terhadap produsen, distributor, pengecer, jasa boga, eksportir, importir, dan instansi-instansi terkait di luar BPOM yang bertugas untuk mengawasi mata rantai produksi. Deputi ini dibantu oleh lima Direktorat yaitu, Direktorat Penilaian Keamanan Pangan, Direktorat Standarisasi Produk Pangan, Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan, Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya, dan Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan.
Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan (SPKP) memiliki tugas dalam penyiapan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang surveilan dan penyuluhan keamanan pangan. Adapun fungsi dari Direktorat SPKP adalah 1) penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang surveilan dan penanggulangan keamanan pangan; 2) penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang promosi keamanan pangan; 3) penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang penyuluhan makanan siap saji dan industri rumah tangga; 4) penyusunan rencana dan program surveilan dan penyuluhan keamanan pangan; 5) koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis di bidang surveilan dan penyuluhan keamanan pangan; 6) evaluasi dan penyusunan laporan surveilan dan penyuluhan keamanan pangan; 7) pelaksanaan tugas lain sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya. Direktorat SPKP terdiri dari Sub
5
Direktorat Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan, Sub Direktorat Promosi Keamanan Pangan, dan Sub Direktorat Penyuluhan Makanan Siap Saji dan Industri Rumah Tangga. Struktur organisasi Direktorat SPKP secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 2.
Sub Direktorat Penyuluhan Makanan Siap Saji dan Industri Rumah Tangga memiliki fungsi 1) penyusunan rencana dan program penyuluhan makanan siap saji dan industri rumah tangga; 2) pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan penyuluhan makanan siap saji; 3) pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan penyuluhan industri rumah tangga; 4) evaluasi dan penyusunan laporan penyuluhan makanan siap saji dan industri rumah tangga. Sub Direktorat ini terdiri atas dua seksi yaitu 1) seksi penyuluhan makanan siap saji; dan 2) seksi penyuluhan industri rumah tangga. Seksi penyuluhan makanan siap saji mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan penyuluhan makanan siap saji. Sedangkan seksi penyuluhan industri rumah tangga mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan teknis, penyusunan rencana dan program, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan penyusunan laporan, serta melakukan penyuluhan industri rumah tangga.
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Keamanan Pangan Menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan,
mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan, dan minuman. Sedangkan keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan bahan lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Aman untuk dikonsumsi dapat diartikan bahwa produk pangan tidak mengandung bahan yang dapat membahayakan kesehatan atau keselamatan manusia, yaitu bahan yang dapat menimbulkan penyakit atau keracunan. Di samping itu produk pangan juga harus layak untuk dikonsumsi. Maksudnya produk tersebut harus dalam keadaan normal, tidak menyimpang seperti busuk, kotor, dan menjijikkan.
Ada beberapa masalah keamanan pangan yang dihadapi Indonesia saat ini antara lain 1) pangan yang tidak memenuhi standar yang disyaratkan; 2) kasus KLB keracunan pangan yang tidak terlaporkan dan tidak diketahui penyebabnya; 3) terbatasnya pengetahuan, keterampilan dan tanggung jawab produsen pangan terutama dari skala kecil terhadap keamanan dan mutu pangan; 4) rendahnya pengetahuan konsumen pangan dan keterbatasan akses untuk mendapatkan pangan yang bermutu tinggi dan aman (Rahayu dan Nababan 2011).
Berdasarkan hasil sampling yang dilakukan oleh BPOM tahun 2011 ditemukan sebanyak 18000 lebih sampel makanan yang memenuhi syarat keamanan pangan dan sebanyak 2000 lebih sampel makanan yang tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Makanan yang memenuhi syarat adalah makanan yang tidak mengandung bahan berbahaya, BTP berlebih, atau cemaran mikroba. Sedangkan makanan yang tidak memehuhi syarat adalah makanan yang mengandung bahan berbahaya, BTP berlebih, atau cemaran mikroba yang apabila dikonsumsi dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan. Jenis temuan pada makanan yang tidak memenuhi syarat adalah penggunaan formalin, boraks, Rhodamin B, methanil yellow, auramin, cemaran mikroba, serta penggunaan pengawet benzoat dan pemanis buatan melebihi batas yang ditetapkan. Hasil sampling menunjukkan bahwa jenis temuan yang paling banyak pada produk pangan yang tidak memenuhi syarat adalah cemaran mikroba sebesar 1102 produk.
Masalah keamanan pangan lainnya yang masih terjadi di Indonesia saat ini antara lain kasus keracunan, ditemukannya pangan tercemar oleh kontaminan mikrobiologi dan kontaminan kimia, penggunaan bahan tambahan pangan ilegal, dan penggunaan BTP melebihi batas yang diijinkan. Berdasarkan data KLB keracunan pangan yang terlaporkan berdasarkan laporan Balai Besar/ Balai POM tahun 2001-2011 sebanyak 1392 kejadian di 30 provinsi. Jumlah korban yang meninggal dunia adalah 407 orang. KLB keracunan pangan terbanyak di provinsi Jawa Barat yaitu sebanyak 216 kejadian (15,52 %). Ditinjau dari sumbernya, kasus keracunan pangan pada tahun 2001-2011 terjadi pada makanan rumah tangga sebanyak 620 kasus (44,54%), pangan olahan sebanyak 221 kasus (15,88%), pangan jasa boga sebanyak 301 kasus (21,62%), pangan jajanan sebanyak 202 kasus (14,51%), lain-lain sebanyak 23 kasus (1,65%), dan tidak dilaporkan sebanyak 25 kasus (1,80%). Data lengkap untuk KLB di masing-masing tahun dapat dilihat pada Lampiran 3.
Masalah keracunan pangan dapat terjadi di sepanjang mata rantai pangan dan disebabkan karena ketidaktahuan produsen terutama produsen skala kecil terhadap bahaya keracunan pangan, ketidakpedulian produsen dan juga ketidaksadaran konsumen untuk memilih pangan yang aman. Terlebih lagi tindak lanjut pengawasan yang dilakukan oleh instansi pemerintah belum memberikan
7
efek jera. Penuntasan masalah keamanan pangan memerlukan suatu kebijakan dan strategi yang tepat. Untuk dapat mengeluarkan kebijakan dan strategi yang tepat maka dibutuhkan dukungan berupa hasil kajian surveilan keamanan pangan, keputusan manajerial dan komunikasi resiko yang efektif. Hal ini yang mendasari perlunya suatu kebijakan dan strategi keamanan pangan dilandaskan pada prinsip-prinsip analisis resiko (Rahayu 2007).
Menurut Hariyadi (2007), nilai strategis keamanan, mutu, dan gizi pangan ini akan semakin nyata ketika dikaitkan dengan persaingan pasar global. Masuknya era perdagangan bebas mengakibatkan masalah mutu dan keamanan pangan memegang peranan yang sangat penting. Perhatian masyarakat internasional terhadap keamanan pangan yang dikonsumsinya sudah sangat tinggi, sehingga mereka mensyaratkan standar yang tinggi pada bahan pangan yang akan diterima dan dikonsumsinya. Bila masyarakat Indonesia terutama para eksportir bahan pangan belum memahami pentingnya keamanan pada pangan yang dijualnya, maka akan terjadi banyak kasus penolakan dari negara importir.
Dalam perdagangan internasional, pangan yang terkontaminasi (tidak aman) tidak akan diterima oleh negara pengimpor. Sebagai contoh pada tahun 1987 komoditi ekspor pangan Indonesia yang ditahan di Amerika Serikat (AS) senilai 21 juta dolar AS dan pada tahun 2001 meningkat menjadi beberapa puluh kali lipatnya. Penolakan terjadi karena kandungan Salmonella, kotor (filthy), tanpa proses, tidak saniter, memerlukan asam atau es, beracun, mengandung Listeria, kandungan histamin, atau penggunaan pewarna yang tidak aman. Secara umum dalam perdagangan internasional, jumlah terbesar dari penolakan produk impor berasal dari negara-negara berkembang. Pelanggaran yang paling sering dituduhkan adalah terdapatnya serangga, kontaminasi mikroba, dan level residu pestisida yang berlebihan (Sulaeman dan Syarief 2007).
Menurut data US-FDA mulai dari Januari 2001 sampai dengan September 2005, setiap tahunnya tercatat lebih dari 300 kasus penolakan produk Indonesia untuk masuk ke AS. Keamanan pangan digunakan oleh US-FDA sebagai alasan penolakan produk-produk pangan Indonesia. Kinerja produk Indonesia untuk menembus pasar AS, dilihat dari aspek mutu masih sangat memprihatinkan. Apalagi ternyata sebagian besar penolakan karena alasan keamanan pangan tersebut, yaitu sekitar 33080 produk, ditolak karena alasan filthy. Secara umum filthy diartikan bahwa produk tersebut mengandung sesuatu yang tidak selayaknya ada dalam produk tersebut. Penyebab adanya filhty adalah karena masih kurang atau tidak diterapkannya prinsip-prinsip penanganan dan pengolahan yang baik (Hariyadi 2007).
Keamanan bahan pangan harus diperhatikan mulai dari tahap budi daya hingga pangan tersebut siap disantap. Penerapan sistem keamanan pangan pada setiap tahap produksi harus dilakukan dengan baik agar pangan yang dikonsumsi benar-benar aman. Pada tahap budi daya perlu diterapkan Good Farming Practices (GFP), pada tahap pascapanen diterapkan Good Handling Practices (GHP), pada tahap pengolahan diterapkan Good Manufacture Practices (GMP), dan pada tahap distribusi harus diterapkan Good Distribution Practices (GDP) agar produk pertanian maupun makanan siap saji sampai ke konsumen dalam keadaan aman (Djaafar dan Rahayu 2007). Menurut Rahayu (2002), setiap tahap pengolahan pangan dilakukan dengan tujuan tertentu yang berkaitan dengan keamanan dan mutu produk pangan yang dihasilkan. Setiap tahap pengolahan ini berperan dalam menentukan keamanan dan mutu produk pangan yang dihasilkan, sehingga setiap tahap pengolahan ini harus selalu dikendalikan supaya benar.
Upaya untuk meningkatkan keamanan dan mutu produk IRTP salah satunya melalui penerapan Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB). Dalam PP No. 28 tahun 2004 dinyatakan bahwa pemenuhan persyaratan sanitasi di seluruh kegiatan rantai pangan dilakukan dengan cara menerapkan CPPB-IRT. Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.04.12.2206 tetang CPPB-IRT
8
tahun 2012 disebutkan bahwa setiap IRTP dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatannya wajib menerapkan CPPB-IRT.
B. Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) Badan Pusat Statistik (2005) menggolongkan industri pengolahan di Indonesia ke dalam empat
kategori berdasarkan jumlah pekerja yang dimiliki. Kategori industri tersebut adalah : 1) Industri kerajinan rumah tangga yaitu usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 1-4
orang. 2) Industri kecil yaitu perusahan/ usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 5-19 orang. 3) Industri sedang yaitu perusahaan/ usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 20-99
orang. 4) Industri besar yaitu perusahaan/ usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 100 orang
atau lebih. Berdasarkan Undang-Undang (UU) RI No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM), yang dimaksud usaha mikro adalah usaha produktif milik perorangan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro yaitu a) memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b) memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta). Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil. Kriteria usaha kecil tersebut yaitu a) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,- (lima puluh juta) sampai Rp 500.000.000,- (lima ratus juta) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta) sampai Rp 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta). Sedangkan usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan. Adapun kriteria usaha menengah yaitu a) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,- (lima ratus juta) sampai Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta) sampai Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar). Jika dilihat dalam definisi UMKM seperti pada UU RI No. 20 tahun 2008 tersebut maka IRTP masuk dalam UMKM yang bergerak di bidang pangan.
Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM RI No.HK.03.1.23.04.12.2206 tahun 2012 tentang CPPB-IRT, industri rumah tangga (IRT) adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis. Untuk keperluan operasional disebut Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP). Menurut Rahayu dan Nababan (2011), terdapat beberapa alasan yang mendasari pentingnya keberadaan industri kecil dan rumah tangga dalam perekonomian Indonesia. Alasan-alasan itu antara lain 1) IRTP dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan sifatnya lentur terhadap krisis; 2) usaha IRTP cukup mudah untuk dilakukan karena pada umumnya hanya membutuhkan investasi kecil yaitu kurang dari Rp 5.000.000.00, tenaga kerja yang terbatas (3-4 orang), dan teknologi proses yang sederhana; 3) IRTP dapat menyerap hasil pertanian dan masing-masing daerahnya memiliki komoditi spesifik.
9
C. Produk IRTP Berbasis Tepung Menurut Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.04.12.2206 tahun 2012 tentang CPPB-
IRT, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan pembuatan makanan atau minuman. Produk Industri Rumah Tangga (P-IRT) adalah pangan olahan hasil produksi industri rumah tangga yang diedarkan dalam kemasan eceran dan berlabel. Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
Berdasarkan laporan Profil Keamanan Pangan IRT di Indonesia yang diterbitkan oleh Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan (SPKP) Deputi III BPOM tahun 2009, jenis pangan yang paling banyak diolah adalah tepung dan hasil olahnya sebesar 5502 (38%) dan jenis pangan yang paling sedikit adalah jem dan sejenisnya sebesar 60 (0.4%). Tepung merupakan hasil olahan biji-bijian atau daging buah kering yang dihaluskan. Contoh tepung yaitu tepung beras, tepung maizena, tepung terigu, tepung tapioka, dan tepung sagu. Butiran tepung sangat halus sehingga menyebabkan permukaan bidangnya menjadi sangat lebar. Hal ini menyebabkan bahan bersifat higroskopis yaitu mudah sekali menjadi lembab karena mudah menyerap uap air (Dwiari 2008). Sifat mudah menyerap uap air di udara atau sifat higroskopis yang dimiliki dapat memudahkan tepung mengalami penurunan mutu dan mengalami kerusakan. Pengaruh kadar air dan aktivitas penyerapan air akan mempengaruhi sifat-sifat fisik tepung (misalnya warna dan tekstur), perubahan-perubahan kimia (misalnya reaksi pencoklatan), dan kerusakkan oleh mikroorganisme, seperti bakteri dan jamur (Buckle et al. 2007).
Menurut Salim (2011), tepung terigu merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia karena dipakai oleh rumah tangga dan industri-industri makanan. Sedangkan menurut Purnama (2002), tepung terigu merupakan bahan makanan pokok yang paling bergizi diantara berbagai jenis makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. Tepung terigu menurut SNI 3751:2009 merupakan tepung yang terbuat dari endosperm biji gandum Triticum aestivum L. (club wheat) atau Triticum compactum Host atau campuran keduanya dengan penambahan Fe, Zn, vitamin B2 dan asam folat sebagai fortifikan. Berdasarkan kadar proteinnya, Salim (2011) mengklasifikasikan terigu menjadi 3 yaitu: 1. Tepung berprotein tinggi (bread flour), memiliki kadar protein 11%-13%, sangat baik sebagai
bahan pembuat roti, mi, pasta, donat, dan roti yang membutuhkan kekenyalan tinggi 2. Tepung berprotein sedang/ serbaguna (all purpose flour), memiliki kadar protein 8%-10%, cocok
sebagai bahan pembuat cake 3. Tepung berprotein rendah (pastry flour), memiliki kadar protein 6%-8%, sesuai untuk membuat
kue renyah, seperti biskuit, kulit gorengan, atau keripik dan lain-lain. Selain tepung terigu, produk industri makanan juga dapat dihasilkan dari jenis tepung lainnya
seperti tepung tapioka, tepung beras, dan tepung ketan. Menurut SNI 3549:2009, tepung beras merupakan tepung yang diperoleh dari penggilingan atau penumbukan beras dari tanaman padi (Oryza sativa Linn). Adapun contoh produk yang dapat dihasilkan dari tepung beras adalah bihun, cendol, rempeyek, dan kue akar kelapa. Definisi tepung ketan menurut SNI 01-4447-1998 adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling beras ketan (Oryza glutinosa) yang baik dan bersih. Adapun produk yang dapat dihasilkan dari tepung ketan adalah dodol, jawadah, kolontong.
Jenis tepung lainnya yang dapat digunakan untuk membuat P-IRT yaitu tepung tapioka (tepung singkong). Tapioka dapat diolah menjadi sirup glukosa dan dekstrin, digunakan sebagai bahan pengental, bahan pengisi, dan bahan pengikat dalam industri makanan, seperti pembuatan puding, sop,
10
makanan bayi, es krim, pengolahan sosis daging, industri farmasi, dan lain-lain (Esti dan Prihatman 2000). Adapun contoh produk industri rumah tangga yang dihasilkan dari tepung tapioka adalah kue aci, kue telur gabus, bika ambon, kerupuk aci, kerupuk jengkol, kue seroja, dan kue semprong.
Tepung dan hasil olahnya merupakan salah satu jenis pangan yang diijinkan untuk memperoleh SPP-IRT. Dalam Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 disebutkan bahwa produk IRTP berbasis tepung yang diijinkan untuk memperoleh SPP-IRT adalah bihun, biskuit, bagelan, dodol/ jenang/ galamai, kerupuk, kue brem, kue kering, makaroni, mie kering, tapioka, tepung aren, tepung arcis, tepung beras/ ketan, tepung gandum (bukan tepung terigu yang wajib SNI), tepung hunkuwe, tepung kedele, tepung kelapa, tepung kentang, tepung pisang, tepung sagu, tepung sukun, roti/ bluder, rempeyek/ peyek, sohun, bakpao, bakpia/ pia, nika ambon, cakue, cendol, cimol, cone/ wadah es krim yang dapat dimakan (edible), kulit lumpia/ pangsit, moci, molen/ bolen, mutiara/ pacar cina, pilus, dan yangko.
D. Bahan Kimia dalam Produk Pangan 1. Bahan Tambahan Pangan (BTP)
BTP adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, baik yang mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi (BPOM 2004). Sedangkan menurut definisi Peraturan Menteri Kesehatan RI No.033 tahun 2012, BTP adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. BTP yang diperkenankan untuk digunakan di Indonesia berdasarkan peraturan tersebut dikelompokkan ke dalam jenis-jenis BTP yaitu antibuih, antikempal, antioksidan, bahan pengkarbonasi, garam pengemulsi, gas untuk kemasan, humektan, pelapis, pemanis, pembawa (carrier), pembentuk gel, pembuih, pengatur keasaman, pengawet, pengembang, pengemulsi, pengental, pengeras, penguat rasa, peningkat volume, penstabil, peretensi warna, flavouring, perlakuan tepung (flour treatment agent), pewarna, propelan, dan sekuestran.
Ketidakpahaman akan sifat dan karakteristik BTP dapat menyebabkan kesalahan dalam penggunaannya, misalnya penggunaan BTP berlebih dan penggunaan BTP yang keliru atau senyawa yang tidak tergolongan BTP. Pemakaian yang berlebihan dan senyawa bukan BTP jelas akan membahayakan bagi kesehatan. Permasalahan utama dalam penggunaan BTP lebih terletak pada masalah estetika dan dosis (Wijaya dan Mulyono 2009). Menurut Winarno (2004), batas maksimum penggunaan BTP yang aman dapat dihitung berdasarkan nilai Acceptable Daily Intake (ADI), jumlah makanan harian yang dikonsumsi yang mengandung BTP, dan berat badan rata-rata dari konsumen dewasa dalam kilogram. ADI adalah batasan seberapa banyak konsumsi BTP yang dapat diterima dan dicerna setiap hari sepanjang hayat tanpa mengalami resiko kesehatan. ADI dihitung berdasarkan berat badan konsumen.
2. Penyalahgunaan Bahan Kimia
Sering tidak disadari bahwa dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari ternyata banyak mengandung zat-zat kimia yang bersifat racun, baik sebagai pewarna, penyedap rasa, dan bahan campuran lain. Zat-zat kimia ini sangat berpengaruh terhadap tubuh dalam level sel, sehingga dampak bagi tubuh akan diketahui dalam waktu yang lama setelah makanan dikonsumsi. Dampak negatif yang bisa terjadi berupa kanker, kelainan genetik, cacat bawaan, dan lain-lain. Selain banyak tersedia di pasaran, bahan-bahan tersebut juga memiliki harga yang relatif murah. Berikut contoh penyalahgunaan bahan berbahaya pada produk pangan:
a) Formalin
11
Formalin adalah nama dagang larutan formaldehida dalam air dengan kadar 36-40%. Formalin biasanya juga mengandung alkohol (metanol) sebanyak 10-15%. Di pasaran formalin diperoleh dalam bentuk yang sudah diencerkan, yaitu kadar formaldehida 30, 20, dan 10% (Winarno 2004). Konsentrasi yang tinggi dalam tubuh dapat menimbulkan reaksi kimia dengan hampir semua zat di dalam sel, sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan kerusakan organ tubuh. Kerusakan di dalam sel terjadi karena formalin mengkoagulasi protein yang terdapat pada protoplasma dan nukleus. Formalin yang terkonsumsi dalam jumlah yang berlebih dalam tubuh akan bersifat toksik. Hal ini akan menyebabkan gangguan fisiologis dan metabolisme dalam tubuh (Cahyadi 2006). Menurut International Programme on Chemical Safety, ambang batas aman formalin di dalam tubuh adalah 1 mg/L. Efek pemberian formaldehid per oral dengan dosis 100 mg/kg berat badan selama 2 bulan melalui air minum pada hewan percobaan menunjukkan terhambatnya pertumbuhan berat badan, produksi urin menurun, dan penipisan bagian depan lambung (Saraswati dkk. 2009).
Menurut Rahayu dan Mulyani (2011), produsen makanan yang tidak bertanggung jawab menggunakan formalin sebagai bahan tambahan untuk pengawet pada produk ikan asin, ikan basah, mi basah, tahu, ayam, buah-buahan dan lain-lainnya. Ciri-ciri produk mi basah berformalin antara lain 1) tidak rusak sampai 2 hari pada suhu kamar (25oC) dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es (10oC); 2) bau agak menyengat, bau formalin; 3) tidak lengket dan mi lebih mengkilap dibanding mi normal.
b) Boraks Menurut Winarno (2004), boraks merupakan garam Na2B4O7 10 H2O yang banyak
digunakan di berbagai industri non pangan, khususnya industri kertas, gelas, kayu, dan keramik. Daya pengawet boraks disebabkan karena adanya senyawa aktif asam borat (H3BO3). Larutan asam borat dalam air (3%) banyak digunakan sebagai obat cuci mata yang dikenal sebagai boorwater. Asam borat juga digunakan sebagai obat kumur, obat semprot hidung, dan salep luka. Tetapi bahan ini tidak boleh diminum atau digunakan pada luka luas karena beracun bila terserap masuk tubuh. Boraks sejak lama telah digunakan masyarakat untuk pembuatan gendar nasi atau kerupuk gendar. Di beberapa daerah di Jawa boraks dikenal dengan nama karak atau lempeng. Boraks juga digunakan dalam pembuatan mi, lontong, ketupat, bakso, dan kecap.
Menurut Cahyadi (2008), efek farmakologi dan toksisitas senyawa boron atau asam borat merupakan bakterisida lemah. Walaupun demikian, pemakaian berulang atau absorpsi berlebihan dapat mengakibatkan toksik (keracunan). Kematian pada orang dewasa dapat terjadi pada dosis 15-25 gram. Sedangkan kematian pada anak dapat terjadi pada dosis 5-6 gram.
c) Metanyl Yellow (Pewarna Kuning) Metanyl Yellow merupakan pewarna kuning yang sering disalahgunakan sebagai pewarna
mi, tahu, kue basah, kerupuk, jeli, agar-agar, dan manisan mangga. Penggunaan metanyl yellow dilaporkan dapat merusak hati, kandung kemih, saluran pencernaan, dan kulit (Kusmayadi dan Sukandar 2009). Pemakaian pewarna ini harus diganti dengan pewarna alami dari kelompok karotenoid atau pewarna sintetis, seperti tartrazin, kuning kuinon, dan kuning FCF.
d) Rhodamin B (Pewarna Merah) Rhodamin B merupakan pewarna merah yang tidak boleh digunakan sebagai BTP, namun
sering digunakan sebagai pewarna sirup, minuman ringan, makanan ringan, es doger, cendol, kue basah, kerupuk, terasi, saus sambal, dan saus tomat (Kusmayadi dan Sukandar 2009). Wijaya dan Mulyono (2009) menyatakan bahwa terdapat beberapa gejala keracunan akibat Rhodamin B antara lain: 1) bila terhirup, akan menyebabkan iritasi saluran pernapasan; 2) bila terkena kulit,
12
menyebabkan iritasi kulit; 3) bila terkena mata, menyebabkan iritasi mata, mata memerah, dan inflamasi pada kelopak mata; 4) bila tertelan, akan terjadi keracunan dan urin berwarna merah.
Bahan kimia berbahaya lainnya yang termasuk dalam bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam pangan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.033 tahun 2012 tentang BTP adalah 1) asam salisilat dan garamnya; 2) dietilpirokarbonat; 3) dulsin; 4) kalium bromat; 5) kalium klorat; 6) kloramfenikol; 7) minyak nabati yang dibrominasi; 8) nitrofurazon; 9) dulkamara; 10) kokain; 11) nitrobenzene; 12) sinamil antranilat; 13) dihidrosafrol; 14) biji tonka; 15) minyak kalamus; 16) minyak tansi; 17) minyak sasafras.
3. Residu Kimia dalam Kemasan Plastik
Saat ini kemasan plastik sudah mendominasi industri makanan di Indonesia. Bahan kemasan plastik dibuat menggunakan bahan mentah monomer yang tersusun sambung-menyambung menjadi bentuk polimer. Masalah yang timbul adalah adanya dua bahan plastik utama yaitu polyvinyl cloride dan copolimer akrilonitril tinggi memiliki monomer-monomer yang cukup beracun dan diduga keras sebagai senyawa karsinogenik (penyebab kanker). Beberapa monomer yang berbahaya adalah vynil klorida, akrilonitril, betacrylonitril, vinylidene klorida serta styrene. Dalam plastik juga berisi beberapa aditif yang diperlukan untuk memperbaiki sifat-sifat fisiko kimia plastik itu sendiri. Bahan aditif yang ditambahkan tersebut disebut komponen non plastik berupa senyawa anorganik atau organik yang memiliki berat molekul rendah seperti filler, stabilizer, plasticizer, dan pewarna. Bahan aditif ini pada umumnya bersifat racun (Winarno 2004).
Kelemahan kemasan plastik adalah adanya zat-zat monomer dan molekul kecil lain dari plastik yang dapat bermigrasi ke dalam bahan makanan yang dikemas. Fenomena interaksi antara kemasan dengan bahan pangan merupakan hal penting. Fenomena tersebut salah satunya adalah proses transfer atau migrasi senyawa-senyawa yang berasal dari kemasan ke dalam produk pangan khususnya kemasan yang berbahan dasar plastik (BPOM 2005). Secara garis besar, interaksi produk pangan dengan kemasannya meliputi 1) migrasi komponen kemasan ke dalam pangan; 2) permeabilitas gas dan uap air melaui kemasan; 3) penyerapan uap organik dari pangan ke bahan kemasan; 4) transfer interaktif akibat dari transmisi cahaya; dan 5) flavor scalping (sorbtion) yaitu proses penyerapan rasa, aroma atau zat pewarna dari bahan pangan ke bahan kemasan. Interaksi ini terjadi karena adanya kontak langsung antara bahan kemasan dengan produk pangan yang adanya di dalamnya. Interaksi antara kemasan dan pangan yang dikemas ini menimbulkan adanya pengaruh kesehatan dalam jangka panjang bagi seseorang yang mengkonsumensi zat-zat kimia tersebut (Anonim 2006).
Menurut Winarno (2004), semakin tinggi suhu makanan yang dikemas, semakin banyak zat plastik yang mengalami migrasi masuk bercampur dengan makanan, sehingga setiap mengonsumsi makanan tersebut maka secara tidak sadar zat-zat termigrasi tersebut juga ikut terkonsumsi dan masuk ke dalam tubuh. Semakin lama disimpan, semakin terlampaui batas maksimumnya. Oleh karena itu, keterangan batas ambang waktu kadaluarsa bagi produk yang dikemas plastik perlu diberitahukan secara jelas kepada konsumen.
IV. METODOLOGI
Metodologi disusun untuk mempermudah langkah kegiatan magang dan penyelesaian program yang akan dilakukan. Secara keseluruhan pelaksanaan kegiatan magang dilakukan di Sub Direktorat Penyuluhan Makanan Siap Saji dan Industri Rumah Tangga, Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, BPOM RI. Kegiatan magang terbagi atas beberapa tahapan kerja, yaitu analisis masalah, pengumpulan data, analisis data (penentuan daerah, penentuan produk, identifikasi masalah IRTP), dan pengkajian masalah. Pengumpulan data dilakukan melalui diskusi dan wawancara dengan pihak-pihak terkait, serta melakukan studi pustaka untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi. Metodologi kegiatan magang yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 1.
A. Analisis Masalah Analisis masalah dilakukan untuk mempermudah perumusan masalah dan mencari
pemecahannya. Analisis masalah dilakukan di tempat magang yaitu di BPOM, Sub Direktorat Penyuluhan Pangan Siap Saji dan Industri Rumah Tangga. Masalah yang dianalisis pada kegiatan magang ini adalah produk industri rumah tangga pangan dilihat dari segi keamanan pangannya.
B. Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam kegiatan magang ini merupakan data sekunder yaitu rekapan data berbagai produk pangan industri rumah tangga yang berasal dari dinas-dinas kesehatan di seluruh Indonesia, data jenis temuan pada pangan yang tidak memenuhi syarat, serta data pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) terhadap penggunaan BB. Data berbagai produk pangan industri rumah tangga yang berasal dari dinas-dinas kesehatan tersebut berisi nama pangan, komposisi, proses, kemasan primer, umur simpan, jenis kategori pangan, dan daerah. Selain itu, pengumpulan data dilakukan dengan diskusi langsung dengan Direktur Direktorat SPKP, Kepala Sub Direktorat Penyuluhan Pangan Siap Saji dan Industri Rumah Tangga, serta beberapa staf Direktorat SPKP, BPOM RI.
C. Analisis Data
Analisis data dilakukan melalui tiga tahapan yaitu penentuan daerah, penentuan produk, dan identifikasi masalah pada produk IRTP. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, kemudian dilakukan tahap awal untuk menganalisis data yaitu penentuan daerah. Penentuan daerah dilakukan untuk mempersempit ruang lingkup dari kegiatan magang ini. Tahap selanjutnya yaitu penentuan produk. Penentuan produk juga dilakukan untuk mempersempit ruang lingkup kegiatan magang ini. Penentuan produk dilakukan berdasarkan kategori jenis pangan. Tahap terakhir dalam analisis data yaitu identifikasi masalah pada produk IRTP. Identifikasi masalah IRTP dilakukan dengan membuat pemetaan. Pemetaan produk pangan dilakukan berdasarkan produk yang dihasilkan dan teknologi yang digunakan. Tahap awal untuk memperoleh pemetaan dengan mengklasifikasikan produk-produk yang terdapat di daerah yang sudah ditentukan sebelumnya berdasarkan 16 kategori pangan. Kategori pangan ini diperoleh berdasarkan kesesuaian dengan pengelompokan pangan yang dilakukan oleh BPOM.
14
D. Pengkajian Masalah Pengkajian masalah dilakukan dengan cara studi pustaka yang dilakukan dengan mencari
referensi/ literatur yang berkaitan dengan kegiatan magang yang dilakukan, sehingga diperoleh informasi yang tepat sebagai acuan dalam mengartikan/ menarik kesimpulan yang diperoleh dari pengolahan data. Dalam kegiatan magang ini, studi pustaka dilakukan untuk membuat pemetaan yaitu untuk menentukan teknologi proses yang digunakan pada produk IRTP terpilih, dan menentukan produk tersebut bisa dikategorikan sebagai IRTP atau tidak. Selain itu, dari hasil analisis data juga ditentukan potensi bahaya dan penyimpangan produk yang terdapat pada produk-produk IRTP terpilih.
Gambar 1. Metodologi kegiatan magang
Penentuan Penyimpangan produk
Intervensi Pemerintah
Analisis Masalah
Pengumpulan Data
Penentuan Daerah
Penentuan Produk
Identifikasi Masalah pada Produk IRTP terpilih
Penentuan Potensi Bahaya pada Produk Terpilih
Kajian Pustaka
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Profil Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di Jawa Barat Laporan Profil Keamanan Pangan IRT di Indonesia yang diterbitkan oleh Direktorat SPKP
Deputi III BPOM tahun 2009, menunjukkan bahwa Jawa Barat memiliki jumlah IRTP paling banyak dibandingkan dengan provinsi lainnya yaitu sebesar 2537 IRTP. Banyaknya jumlah IRTP di Jawa Barat dikarenakan jumlah penduduk Jawa Barat paling banyak dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia yaitu sebesar 43.053.732 jiwa (BPS 2010). Aspek iklim menunjukkan bahwa Jawa Barat merupakan daerah yang hampir selalu basah dengan curah hujan berkisar antara 1.000 - 6.000 mm/ tahun, dengan pengecualian untuk daerah pesisir yang berubah menjadi kering pada musim kemarau (Anonim 2010). Hal ini mengakibatkan Jawa Barat menjadi wilayah yang strategis untuk pertanian, sehingga banyak IRTP berkembang di Jawa Barat mengingat produk IRTP pada umumnya dihasilkan dari sumber pertanian. Tetapi sebaliknya, Jawa Barat juga merupakan provinsi dengan kasus keracunan pangan tertinggi di Indonesia yaitu sebanyak 216 kejadian (15,52 %) yang dilaporkan pada tahun 2001-2011 (BPOM 2012).
Banyaknya IRTP dan kasus keracunan pangan tertinggi inilah yang mendasari pemilihan IRTP di Jawa Barat untuk dikaji keamanan produknya. Selain itu, berdasarkan data IRTP dari Dinas Kesehatan pada tahun 2010 menunjukkan bahwa produk industri rumah tangga (P-IRT) di Jawa Barat sangat beragam dan hampir memenuhi 16 kategori pangan. Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian SPP-IRT, 16 kategori pangan yang dimaksud adalah olahan daging kering; hasil olahan ikan kering; hasil olahan unggas kering; sayur asin dan sayur kering; hasil olahan kelapa; tepung dan hasil olahnya; minyak dan lemak; selai, jeli dan sejenisnya; gula, kembang gula dan madu; kopi, teh, coklat kering atau campurannya; bumbu; rempah-rempah; minuman ringan, minuman serbuk; hasil olahan buah; hasil olahan biji-bijian dan umbi; lain-lain.
Berdasarkan data P-IRT dari Dinas Kesehatan tahun 2010 dilakukan pemetaan produk pangan industri rumah tangga di Jawa Barat. Pemetaan dilakukan dengan mengelompokan produk IRTP berdasarkan jenis pangan dan teknologi proses yang digunakan. Tabel pemetaan produk dikelompokan berdasarkan nama pangan, komposisi, teknologi proses, kategori produk, pengelompokan IRTP atau bukan, dan potensi bahaya (Lampiran 4). Adapun persentase dan jumlah produk IRTP di Jawa Barat berdasarkan jenis pangan hasil pemetaan adalah sebagai berikut:
16
Tabel 1. Jumlah produk IRTP di Jawa Barat tahun 2010 berdasarkan jenis pangan No Jenis Pangan Jumlah produk IRTP Persentase (%)
1 Tepung dan hasil olahnya 58 39.46 2 Biji-bijian & umbi-umbian 29 19.73 3 Minuman ringan 12 8.16 4 Buah dan hasil olahnya 11 7.48 5 Daging dan hasil olahnya 7 4.76 6 Unggas dan hasil olahnya 4 2.72 7 Bumbu 4 2.76 8 Ikan dan hasil olahnya 3 2.04 9 Kelapa dan hasil olahnya 3 2.04
10 Sayur dan hasil olahnya 3 2.04 11 Kopi, coklat, teh 3 2.04 12 Jem dan sejenisnya 3 2.04 13 Es 2 1.36 14 Gula, madu, kembang gula 2 1.36 15 Lain-lain 3 2.04
Pembagian jenis pangan pada tabel di atas sesuai dengan Peraturan Kepala BPOM RI nomor
HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang pedoman pemberian SPP-IRT. Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa produk IRTP di Jawa Barat pada tahun 2010 cukup beragam. Produk yang paling banyak diproduksi oleh IRTP berasal dari tepung dan hasil olahnya, yaitu sebanyak 58 produk IRTP (39,46%). Sedangkan produk IRTP yang paling sedikit yaitu produk gula, madu, kembang gula, dan es yaitu sebanyak 2 produk IRTP (1,36%). Banyaknya penggunaan tepung dikarenakan tepung mudah diolah, penanganan yang mudah karena termasuk ke dalam bahan pangan kering, sifatnya yang low risk (beresiko rendah) (Muchtadi 2008).
Hasil pemetaan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa dari 58 produk IRTP dengan jenis pangan tepung dan hasil olahnya di Jawa Barat, ada 4 jenis tepung yang digunakan untuk menghasilkan produknya yaitu tepung terigu, tepung beras, tepung kanji/ tepung tapioka, dan tepung ketan. Jenis tepung yang paling banyak digunakan adalah tepung terigu sebesar 57%. Sedangkan jenis tepung yang paling sedikit digunakan adalah tepung beras sebesar 9%. Proporsi penggunaan masing-masing jenis tepung pada produk IRTP di Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 2. Tepung terigu banyak digunakan oleh IRTP di Jawa Barat karena tepung terigu dapat menghasilkan berbagai macam produk dengan karakteristik yang berbeda. Sebagai contoh, tepung terigu berprotein tinggi sebagai bahan pembuat roti, mi, pasta, dan donat yang membutuhkan kekenyalan tinggi; tepung berprotein sedang atau serbaguna sebagai bahan pembuat cake; dan tepung berprotein rendah untuk membuat kue renyah, seperti biskuit, kulit gorengan, atau keripik (Salim 2011).
Gambar 2. Proporsi penggunaan jenis tepung pada produk IRTP di Jawa Barat
57% 24%
10% 9%
terigu
tapioka/kanjiketan
beras
17
B. Potensi Bahaya pada Produk Berbasis Tepung Tepung merupakan salah satu contoh bahan pangan kering yang tidak mudah rusak. Tepung
banyak digunakan dalam pembuatan produk IRTP (Tabel 1). Meskipun memiliki tingkat resiko yang rendah, namun tepung juga memiliki potensi untuk menimbulkan bahaya. Potensi bahaya pada produk berbasis tepung adalah sebagai berikut: 1. Penggunaan Tepung yang Rusak
Tepung memiliki syarat mutu SNI yang berbeda-beda untuk masing-masing jenisnya. Adapun syarat mutu SNI yang dimaksud tertera pada SNI 3751:2009 untuk syarat mutu tepung terigu, SNI 3549:2009 untuk syarat mutu tepung beras, SNI 01-4447-1998 untuk syarat mutu tepung ketan, dan SNI 3451-2011 untuk syarat mutu tepung tapioka. Ciri-ciri tepung yang rusak antara lain berdasarkan faktor fisik adalah warna berubah menjadi kecoklatan, terdapat kutu atau serangga lainnya, serta terjadinya gumpalan-gumpalan pada tepung. Dalam syarat mutu SNI tepung terigu, tepung beras, tepung tapioka, dan jenis tepung lainnya tercantum bahwa serangga dalam semua bentuk stadia dan potongan-potongannya yang tampak tidak boleh ada dalam tepung. Dari faktor kimia, tepung terigu yang rusak memiliki pH > 5 dan kadar air > 14.5%; tepung beras yang rusak memiliki 5 > pH > 7 dan kadar air > 13%; tepung ketan yang rusak memiliki pH > 4 dan kadar air 12%; dan tepung tapioka yang rusak memiliki pH > 4 dan kadar air > 14%. Sedangkan dari faktor mikrobiologi, tepung yang rusak biasanya terkontaminasi oleh bakteri escherecia coli, bacillus cereus, dan kapang.
Pada industri rumah tangga biasanya kerusakan tepung diakibatkan karena kesalahan dalam penyimpanan/ penggudangan, belum menerapkan cara produksi pangan yang baik untuk industri rumah tangga (CPPB-IRT), proses produksi yang tidak higienis, dan tempat penyimpanan tepung yang tidak higienis. Menurut Rahayu dan Nababan (2011) sebagian besar IRTP belum menerapkan CPPB sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan, kesadaran, motivasi, kemampuan finansial, dan belum diterapkannya sistem manajemen formal pada IRTP.
Penyimpanan yang salah dapat mengakibatkan bahan pangan menjadi rusak dan terserang hama serangga bahkan tikus. Menurut Amy (2010), cemaran serangga pada tepung terjadi akibat proses produksi tepung dan tempat penyimpanan tepung yang tidak higienis, serta kondisi tempat penyimpanan yang mendukung pertumbuhan kutu. Kutu yang mengkontaminasi tepung dapat meninggalkan feces (kotoran) dan telur. Tepung yang sudah tercemar karena banyak mengandung larva akan berubah warna menjadi keabu-abuan dan cepat berjamur.
Telur-telur kutu atau serangga lainnya dapat tertinggal di dalam makanan sebelum atau setelah pengolahan. Untuk menghancurkan telur-telur serangga tersebut biasanya tepung dilewatkan di dalam centrifuge. Benturan-benturan yang keras dari dinding centrifuge mengakibatkan telur-telur serangga menjadi pecah. Meskipun sudah pecah, telur-telur tersebut masih tetap tertinggal di dalam tepung tetapi tidak dapat digunakan untuk memperbanyak diri (Muchtadi 2008). Adanya kontaminasi serangga jelas sangat berkaitan dengan sanitasi sebagai masalah utama yang selalu dihadapi dan kurang diperhatikan oleh industri rumah tangga.
Kerusakan tepung sebenarnya dapat dicegah dengan mengendalikan faktor-faktor yang dapat menyebabkan kerusakan tepung. Kerusakan tepung yang diakibatkan karena faktor fisik, kimia, dan mikrobiologi dapat dicegah dengan memperhatikan dan menerapkan cara penyimpanan tepung yang baik dan benar.
Menurut Bartono (2005) ada beberapa cara yang perlu diperhatikan agar tepung yang disimpan dapat bertahan lama. Cara-cara tersebut antara lain, karung tepung yang di tumpuk di atas lantai harus dialasi papan atau penyangga, gudang harus mempunyai ventilasi yang baik yang memungkinkan pertukaran udara segar di sekitar timbunan tepung, tepung harus terhindar dari
18
sinar matahari langsung, udara tidak boleh terlalu kering atau terlalu lembab, dan suhu berkisar antara 19oC-24oC. Tepung mudah menyerap bau-bauan sehingga harus disimpan terpisah dari bahan-bahan yang mengeluarkan bau, seperti bensin, minyak tanah, rempah-rempah, bawang, dan berbagai bumbu. Tepung yang akan disimpan harus sudah terbebas dari serangga. Selain itu pengambilan tepung harus diatur dengan sistem FIFO artinya tepung yang masuk terlebih dahulu harus dikeluarkan atau digunakan lebih dulu atau FEFO artinya tepung yang masa kedaluwarsanya lebih pendek harus dikeluarkan lebih dulu. Oleh karena itu, kondisi ruang penyimpanan seperti suhu dan letak dari ruang penyimpanan sangat penting untuk diperhatikan oleh IRTP agar tepung yang akan digunakan sebagai bahan baku produk terhindar dari kerusakan yang dapat berpotensi menimbulkan bahaya dan akan mempengaruhi mutu produk yang dihasilkan.
Selain mengatur cara penyimpanan dan pengambilan tepung, faktor lain yang harus diperhatikan adalah pemilihan bahan baku dari suplier/ produsen tepung yang baik, inspeksi/ pemeriksaan tepung saat penerimaan, dan memperhatikan kondisi tepung sebelum digunakan. Parameter yang harus diperhatikan dalam hal ini antara lain, tepung harus memiliki bentuk halus atau tidak ada gumpalan, bau yang normal/ tidak berbau apek/ tidak berbau asing, warna putih khas tepung, tidak boleh ada benda asing, dan tidak boleh ada kutu/ serangga dalam semua bentuk stadia dan potongan-potongannya yang tampak. Bila pada saat inspeksi/ pemeriksaan tepung didapatkan tepung yang tidak memenuhi syarat, maka tepung tersebut tidak boleh digunakan karena akan berpotensi menimbulkan bahaya dan akan mempengaruhi mutu produk yang dihasilkan.
2. Penyalahgunaan Bahan Berbahaya, BTP Berlebih, dan Cemaran Mikroba selama Proses
Pengolahan Produk Berbasis Tepung Pada dasarnya produk tepung memiliki tingkat bahaya yang rendah apabila IRTP yang
menghasilkan produk tersebut menerapkan Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB). Penyebab utama produk tepung menjadi bahaya biasanya karena penyalahgunaan bahan-bahan berbahaya pada pengolahan pangan. Saat ini banyak produsen nakal yang memproduksi produk berbasis tepung dengan penambahan Bahan Berbahaya (BB) seperti pewarna Rhodamin B atau metanil yellow yang digunakan pada produk kerupuk, formalin pada produk mi, dan boraks pada produk bakso.
Berdasarkan data hasil pengawasan PJAS pada IRTP tahun 2010, masih ditemukan beberapa sampel yang mengandung bahan berbahaya seperti formalin, boraks, dan Rhodamin B. Data lengkap hasil pengawasan PJAS tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Data penyalahgunaan bahan berbahaya pada PJAS tahun 2010 Jenis bahan berbahaya
(BB)
Total sampel
Jumlah sampel MS*
Jumlah sampel TMS**
Jelly Minuman Es Kudapan/
Makanan ringan Mi Bakso
Rhodamin B 2643 2579 1 5 22 36 - -
Boraks 2056 1914 - - - 97 14 31
Formalin 2056 1998 - - - 17 36 5 *MS : memenuhi syarat **TMS : tidak memenuhi syarat
19
Sampel yang memenuhi syarat (MS) adalah makanan yang tidak mengandung bahan berbahaya, BTP berlebih, atau cemaran mikroba. Sedangkan sampel yang tidak memehuhi syarat (TMS) adalah makanan yang mengandung bahan berbahaya, BTP berlebih, atau cemaran mikroba yang apabila dikonsumsi dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan. Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa sampel TMS untuk setiap jenis bahan berbahaya yang ditemukan lebih sedikit dibandingkan dengan sampel MS. Meskipun demikian, kondisi ini tetap harus diperhatikan mengingat bahaya yang dapat ditimbulkan oleh bahan-bahan berbahaya yang digunakan, misalnya keracunan.
PJAS merupakan makanan yang dikonsumsi oleh anak sekolah. PJAS juga berkontribusi dalam memberikan asupan energi dan gizi bagi anak-anak usia sekolah. Tingkat keamanan PJAS yang masih buruk, jika tidak ditanggulangi akan memperparah masalah rendahnya status gizi anak-anak sekolah. Apalagi dampak mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan kimia berbahaya secara terus menerus baru akan terlihat dalam jangka panjang. Hal ini akan berdampak pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia pada masa yang akan datang. Andarwulan (2009) menyatakan bahwa kualitas SDM yang menjadi penggerak pembangunan di masa yang akan datang ditentukan oleh pengembangan SDM saat ini, termasuk pada usia sekolah. Pembentukan kualitas SDM sejak masa sekolah akan mempengaruhi kualitasnya pada saat mereka mencapai usia produktif. Dengan demikian, kualitas anak sekolah penting untuk diperhatikan karena masa ini merupakan masa pertumbuhan anak dan sangat pentingnya asupan zat gizi serta keamanan makanan yang dikonsumsi di sekolahnya.
Pada Tabel 2 terlihat kandungan Rhodamin B positif ditemukan pada produk jelly, minuman, es, dan kudapan/ makanan ringan. Boraks dan formalin positif ditemukan pada produk kudapan/ makanan ringan, mi, dan bakso. Produk pangan yang paling banyak mengandung boraks adalah kudapan/ makanan ringan sebanyak 97 sampel dan produk yang paling sedikit mengandung boraks adalah mi sebanyak 14 sampel. Penggunaan formalin paling banyak ditemukan pada mi yaitu 36 sampel dan paling sedikit pada bakso yaitu 5 sampel. Penggunaan Rhodamin B paling banyak pada kudapan/ makanan ringan sebanyak 36 sampel dan paling sedikit pada produk jelly sebanyak 1 sampel.
Pada tahun 2011 BPOM kembali melakukan sampling untuk produk pangan. Sebanyak 18000 lebih sampel makanan dinyatakan memenuhi syarat keamanan pangan dan ditemukan 2000 lebih sampel makanan yang tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Jenis temuan pada makanan IRTP yang tidak memenuhi syarat dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil sampling BPOM tahun 2011 untuk produk pangan yang TMS
No Kandungan bahan pada produk yang TMS Jumlah 1 Formalin 151 2 Boraks 138 3 Rhodamin B 197 4 Metanil Yellow 3 5 Auramin 1 6 Cemaran Mikroba 1102 7 Pengawet Benzoat 205 8 Pemanis 416
Hasil sampling (Tabel 3) menunjukkan bahwa jenis temuan yang paling banyak pada
produk pangan yang tidak memenuhi syarat adalah cemaran mikroba sebesar 1102 sampel. Total
20
sampel yang mengandung bahan berbahaya seperti formalin, boraks, Rhodamin B, metanil yellow, dan auramin yaitu sebesar 490 sampel. Sedangkan total sampel yang menggunakan BTP berlebih seperti pengawet benzoat dan pemanis yaitu sebesar 621 sampel. Dengan demikian, sampel yang mengandung BB masih dalam jumlah yang paling sedikit dibandingkan sampel yang mengandung cemaran mikroba atau sampel yang menggunakan BTP berlebih. Hal tersebut tetap perlu mendapat perhatian serius. Menurut Cahyadi (2008), pangan yang mengandung BB umumnya tidak terlihat dampaknya karena pengaruhnya baru terlihat dalam waktu yang relatif panjang. Pengaruh yang terjadi dapat berupa kerusakan ginjal, kelainan reproduksi, dan kanker. Jika hal ini sampai terabaikan maka mungkin suatu saat akan terjadi “booming” penyakit degeneratif akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung BB.
3. Proses Pengolahan yang Salah
Proses pengolahan juga dapat menimbulkan potensi bahaya. Salah satu contohnya adalah proses pengolahan tepung. Peneliti di Badan Pengawas Makanan Nasional Swedia (Swedish National Food Administration) dan Stockhlom University, pada April 2002 melaporkan penemuan akrilamida dalam berbagai makanan yang dipanggang atau digoreng, seperti keripik kentang, kentang goreng, pop corn, sereal, dan biskuit (Felicia 2009). Menurut Stadler et al. (2002), akrilamida terbentuk akibat pengolahan pada suhu tinggi terhadap asam amino tertentu (seperti asparagin), terutama apabila dikombinasikan dengan gula pereduksi. Pada tahapan intermediet reaksi Maillard, asam amino mengalami dekarboksilasi dan deaminasi untuk membentuk senyawa aldehid yang selanjutnya akan membentuk senyawa akrilamida (Zyzak et al. 2003).
Menurut Oktafrina (2009), akrilamida terbentuk dari reaksi antara gula dan asam amino asparagin dengan melibatkan panas. Senyawa ini dapat direduksi dengan cara mengolah makanan di bawah suhu 120oC. Menurut hasil penelitiannya, semakin tinggi suhu dan lama waktu penggorengan pada pengolahan keripik pisang maka jumlah akrilamida yang terbentuk akan semakin tinggi. Maka dari itu, upaya mereduksi akrilamida saat pengolahan biasanya dilakukan dengan memodifikasi kondisi proses pengolahan. Parameter yang dimodifikasi berupa suhu dan waktu pengolahan (Zhang dan Zhang 2007). Pengolahan makanan dengan modifikasi proses pengolahan dapat dilakukan dengan penggorengan vakum. Hasil penelitian Granda et al. (2004) menunjukkan bahwa penggorengan vakum mampu mengurangi pembentukan akrilamida dalam keripik kentang sampai sekitar 94% dibandingkan dengan penggorengan tradisional (kondisi atmosfer).
Akrilamida juga dapat dicegah atau dikurangi dengan menurunkan ataupun menghilangkan kandungan asparagin di dalam bahan baku sebelum diolah. Kandungan asparagin dapat diturunkan dengan cara enzimatik maupun mikrobiologi (fermentasi). Enzim yang dapat digunakan adalah enzim asparaginase. Asparaginase dapat mencegah pembentukkan akrilamida dengan mengkonversi prekursornya menjadi bentuk asam amino lain (aspartat). Asparaginase dapat diproduksi dari mikroba seperti kapang Aspergillus oryzae. Asparaginase terbukti dapat menurunkan 40% sampai 95% kandungan akrilamida di dalam produk roti (baked products) tanpa pengaruh negatif pada penampilan atau karakteristik produk yang dihasilkan (Aisyah 2012). Selain itu, Fredriksson et al. (2004) menyatakan bahwa proses fermentasi adonan dengan yeast dapat menurunkan kandungan asparagin bebas di dalam adonan. Semakin lama proses fermentasi maka roti yang dihasilkan mengandung akrilamida yang semakin rendah. Pada fermentasi (pengembangan adonan) dalam waktu yang lama, yaitu 180 menit pada suhu 33oC dan 180 menit pada suhu 39oC, dapat menurunkan kandungan akrilamida di dalam roti sebesar 87%.
21
Harahap (2006) menyatakan bahwa akrilamida bersifat iritan dan toksik. Uji klinis menunjukkan bahwa paparan akrilamida dosis tinggi akan memicu gangguan saraf pusat, sedangkan paparan akrilamida dalam jangka waktu yang lama dengan dosis yang lebih kecil dapat memicu gangguan pada sistem saraf tepi.
Ada 5 jenis proses pengolahan yang digunakan oleh IRTP di Jawa Barat. Proses pengolahan tersebut adalah penggorengan, pemanggangan, pencampuran, perebusan dan pengeringan. Data menunjukkan bahwa proses pengolahan pangan untuk menghasilkan produk IRTP yang paling berkembang di Jawa Barat adalah proses penggorengan yaitu sebesar 48%. Persentase proses pengolahan produk IRTP di Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Persentase produk IRTP berbasis tepung berdasarkan teknologi yang digunakan
Dalam proses penggorengan, minyak umumnya menjadi penyebab utama timbulnya bahaya. Penggorengan merupakan fenomena transfer panas yang terjadi secara simultan yaitu transfer panas, transfer massa air dan transfer minyak. Panas ditransfer dari minyak ke bahan, massa air diuapkan dari bahan, dan minyak diserap oleh bahan (Sahin et al. 1999). Menurut Muchtadi (2008), minyak goreng sebagai media pemindah panas akan mengalami degradasi, perubahan warna, aroma dan viskositas akibat proses penggorengan. Selama proses penggorengan minyak bereaksi dengan oksigen membentuk hiperklorida yang nantinya akan membentuk radikal bebas atau terhidrasi menjadi senyawa keton. Hasil degradasi minyak ini bersifat toksik dan kemungkinan mutagenik yang dapat memberikan resiko negatif terhadap kesehatan. Winarrno (2004) menyatakan bahwa penggorengan pada suhu tinggi (sekitar 196oC) yang menggunakan minyak bekas penggorengan berkali-kali dapat mengakibatkan terjadinya oksidasi, polimerisasi dan perubahan konfigurasi minyak sehingga menghasilkan asam lemak trans. Kualitas minyak jelantah menurun dari minyak goreng baru.
4. Pengemasan dan Pelabelan yang Salah
Menurut Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK.03.1.23.04.12.2206 tahun 2012 tentang CPPB-IRT, produk industri rumah tangga (P-IRT) adalah pangan olahan hasil produksi industri rumah tangga yang diedarkan dalam kemasan eceran dan berlabel. Kemasan plastik adalah jenis kemasan yang paling banyak digunakan oleh industri pangan karena harganya yang relatif murah, lebih ringan, transparan, kuat, mudah dibentuk, warna dan bentuk relatif disukai konsumen (Buckle et al. 2007). Winarno (2004) memberikan beberapa contoh penggunaan plastik sesuai kebutuhan produknya. Roti tawar sangat memerlukan
48%
35%
10% 5% 2%
Penggorengan
Pemanggangan
Pencampuran
Perebusan
Pengeringan
22
perlindungan terhadap kelembaban sehingga memerlukan kemasan yang memiliki barrier terhadap uap seperti LDPE. Keripik memerlukan kemasan yang memiliki barrier terhadap oksigen, uap air, serta tahan lemak. Kemasan yang tepat untuk keripik adalah PVDC (polyvinyllidene chloride) yang dilapisi selofan, dilaminasi aluminium atau PVDC-glassin.
Proses pengemasan sebagai tahap akhir proses pengolahan merupakan tahap paling kritis. karena kemasan hanya dapat menahan kontaminasi dari luar. Disamping itu, zat-zat dalam bahan kemasan juga berpotensi mengkontaminasi produk pangan yang ada di dalamnya. Menurut Miguel et al. (1997) selama proses pengemasan dan penyimpanan makanan, kemungkinan terjadi migrasi (pemindahan) bahan plastik pengemas dari bungkus ke makanan yang dikemas. Bahan yang berpindah dapat berupa residu polimer (monomer), katalis maupun aditif lain seperti filler, stabilizer, plasticizer, flalameretardant, serta pewarna. Aditif ini pada umumnya bersifat racun, terikat secara kimia atau fisika pada polimer dalam bentuk asli atau modifikasi.
Cara pengemasan yang salah juga bisa berpotensi menimbulkan bahaya. Produk yang langsung dikemas dalam kondisi masih panas dengan pengemas yang tidak tahan panas akan menyebabkan terjadinya migrasi. Menurut Castle (2000), semakin tinggi suhu makanan maka semakin banyak zat plastik yang mengalami migrasi ke dalam makanan.
Pencantuman tanggal kedaluwarsa sangat penting dalam pelabelan. Pada umumnya masih banyak dijumpai praktek pelabelan P-IRT yang belum sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Berdasarkan hasil survei monitoring dan verifikasi IRTP dalam rangka peningkatan keamanan PJAS yang dilakukan oleh BPOM tahun 2009, diperoleh data hanya 32% IRTP yang memiliki pemahaman baik hingga baik sekali tentang pelabelan pangan, dan 68% IRTP yang memiliki pemahaman kurang hingga kurang sekali. Selain itu ditemukan sebanyak 82,05% produk pangan IRTP diberi label, 17,60% tidak diberi label dan 0,35% tidak diketahui. Dari produk-produk yang berlabel, sebanyak 95,25% label produk pangan IRTP tidak sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dan 4,75% sudah sesuai dengan persyaratan label pangan. Hal ini dikarenakan masih kurangnya pemahaman pemilik IRTP terhadap pelabelan produk pangan.
Berdasarkan hasil survei tersebut, sebanyak 85% penanggungjawab/ pemilik IRTP tidak dapat menyebutkan informasi yang yang wajib dicantumkan di label secara lengkap dan 15% dapat menyebutkan informasi yang yang wajib dicantumkan di label secara lengkap. Keterangan wajib yang paling banyak dicantumkan pada label produk pangan IRTP yang tidak memenuhi persyaratan pelabelan berturut-turut adalah nama produk (79%), nomor pendaftaran (67%), nama dan alamat produsen (58%), komposisi (51%), berat bersih (36%), tanggal kedaluwarsa (33%) dan tanggal & kode produksi (8%). Selain temuan tersebut, ada juga P-IRT yang mencantumkan klaim tanpa BTP dan klaim kesehatan pada label dengan persentase masing-masing di bawah 5%. Ketidaksesuaian lain yang ditemukan adalah penggunaan label yang mudah lepas (13%), dan label mudah luntur dan rusak (12%). Data ini menunjukkan bahwa pelabelan dalam IRTP masih belum baik. Meskipun sudah banyak IRTP yang menggunakan label pada produknya, namun hanya sedikit yang sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam PP No. 69 tahun 1999.
Potensi bahaya yang ditimbulkan akibat pelabelan salah satunya adalah bahaya mengkonsumsi produk yang sudah rusak (kedaluwarsa). Produk kedaluwarsa bisa mengakibatkan keracunan apabila dikonsumsi. Potensi bahaya lainnya adalah pada produk yang tidak mencantumkan BTP yang digunakan secara jelas. Contohnya pada penggunaan aspartam yang sering dicantumkan sebagai pemanis. Padahal pemanis sangat beragam jenisnya. Hal ini dapat membahayakan bagi penderita fenilketonuria. Contoh lainnya adalah sulfit bagi penderita asma
23
yang pada label hanya tercantum sebagai pengawet atau bahkan tidak dicantumkan dalam label pangan (Wijaya dan Mulyono 2009).
5. Penyimpanan Produk Pangan yang Salah Produk berbasis tepung yang dihasilkan oleh IRTP pada umumnya kering sehingga tidak
mudah mengalami kerusakan, seperti mi, kerupuk, keripik, bakpia, bihun, dan dodol. Meskipun dodol tidak memiliki penampakan kering, namun dodol memiliki aw yang rendah sehingga produk ini awet dalam waktu lama. Menurut Haliza (1992) dodol mempunyai sifat-sifat umum yaitu plastis, padat, mempunyai aw 0.6-0.9, dan kadar air 10%-40%. Menurut Muchtadi (2008) keadaan ini tidak efektif untuk pertumbuhan bakteri karena bakteri tumbuh pada aw diatas 0.9.
Meskipun produk tepung tidak mudah rusak, kesalahan dalam penyimpanan dapat menjadi salah satu penyebab produk menjadi cepat rusak dan kedaluwarsa. Contohnya pada produk roti yang disimpan pada ruang penyimpanan yang terlalu hangat atau lembab akan mengakibatkan pertumbuhan mikroba pada produk. Jika jumlah cemaran mikroba sudah melebihi batas aman, maka produk tersebut berpotensi menimbulkan bahaya. Menurut Sulchan dan Nur (2007), produk roti tawar membutuhkan perlindungan terhadap kelembaban. Pada proses produksinya, roti yang matang harus melewati proses pendinginan terlebih dahulu sebelum dikemas. Proses pendinginan bertujuan agar uap air yang terdapat pada roti dapat keluar secara optimal. Apabila roti dikemas dalam kondisi panas akan menyebabkan roti mudah berjamur. Pada roti akan terjadi perubahan warna, bau, dan rasa yang disebabkan oleh perubahan senyawa kimia hasil aktivitas enzim.
Ruang penyimpanan harus dapat mencegah kontaminasi. Pangan harus disimpan jauh dari ruang pencucian/ pengumpulan sampah dan tidak disimpan pada suhu “danger zone” (5oC-60oC). Beberapa hal yang harus diterapkan dalam ruang penyimpanan antara lain 1) menggunakan sistem FIFO (first in first out); 2) melakukan pencatatan tanggal kedaluwarsa, tanggal penerimaan atau tanggal penyimpanan setelah pengolahan; 3) menjaga ruang penyimpanan tetap dingin, kering, dan berventilasi baik; 4) suhu ruang penyimpanan 10o-20oC dan kelembaban 50-60%; 5) mengatur jarak minimal penyimpanan pangan dari lantai 20cm dan menghindari sinar matahari langsung (Rahayu 2011).
C. Penyimpangan Produk IRTP di Jawa Barat Pada produk-produk yang dihasilkan oleh industri rumah tangga pangan sering ditemukan
adanya penyimpangan baik dari segi bahan baku, proses ataupun penggunaan bahan-bahan berbahaya. Berdasarkan hasil pemetaan, ditemukan beberapa produk IRTP yang menyimpang di Jawa Barat. Terdapat dua kategori penyimpangan produk IRTP yaitu produk yang didaftarkan sebagai P-IRT yang sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai P-IRT dan produk IRTP yang tidak sesuai dengan definisi yang tertera pada SNI dan/ atau kategori pangan. Berikut adalah tabel penyimpangan produk-produk IRTP di Jawa Barat:
24
Tabel 4. Penyimpangan Produk IRTP di Jawa Barat tahun 2010
No Kategori Penyimpangan
Nama Produk
Dasar Pengambilan Keputusan
1 Didaftarkan sebagai P-IRT
Bakso Peraturan Kepala BPOM RI No.HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012
Naget (daging) Batagor Otak-otak
2 Produk IRTP yang tidak sesuai definisi dan/ atau kategori pangan
Bakso SNI 01-3818-1995, dan SK Kepala BPOM No. HK.00.05.52.40.40 tahun 2006
Naget (tepung) SNI 01-6683-2002, Abon oncom SNI 01-3707-1995,
Berdasarkan tabel di atas terlihat adanya produk yang didaftarkan sebagai P-IRT, namun sebenarnya tidak bisa didaftarkan sebagai P-IRT yaitu otak-otak, bakso, batagor dan naget daging/ ikan. Pengkategorian ini yaitu berdasarkan Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang pedoman pemberian SPP-IRT. Pada pasal 6 di dalam peraturan tersebut disebutkan jenis-jenis pangan yang diijinkan untuk memperoleh SPP-IRT yaitu hasil olahan daging kering; hasil olahan ikan kering; hasil olahan unggas kering; sayur asin dan sayur kering; hasil olahan kelapa; tepung dan hasil olahnya; minyak dan lemak; selai, jeli dan sejenisnya; gula, kembang gula dan madu; kopi, teh, coklat kering atau campurannya; bumbu; rempah-rempah; minuman ringan, minuman serbuk; hasil olahan buah; hasil olahan biji-bijian dan umbi; lain-lain es. Jenis-jenis pangan yang diijinkan untuk memperoleh SPP-IRT secara lengkap disajikan pada Lampiran 5.
Bakso, naget, batagor, dan otak-otak yang diproduksi oleh IRTP seharusnya tidak mendapatkan nomor P-IRT melainkan dikategorikan sebagai produk pangan siap saji. Hal ini dikarenakan produk-produk pangan tersebut tidak mungkin diproduksi di IRTP dengan masa simpan lebih dari 7 hari pada suhu ruang. Oleh karena itu, produk pangan berisiko tinggi seperti makanan kaleng, susu, daging dan hasil olahnya serta ikan dan hasil olahnya yang perlu penyimpanan dingin tidak boleh diproduksi oleh IRTP. Jika industri kecil memproduksi produk-produk pangan tersebut hendaknya diarahkan untuk menjadi pangan siap saji dan produksinya disesuaikan dengan kapasitas penjualan per hari. Menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004, pangan siap saji adalah makanan dan/ atau minuman yang sudah diolah dan siap untuk langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan. Umumnya pangan siap saji hanya tahan satu sampai dua hari. Pada pasal 43 peraturan tersebut disebutkan bahwa pangan yang mempunyai masa simpan kurang dari 7 (tujuh) hari pada suhu kamar dibebaskan dari kewajiban memiliki SPP-IRT.
Penyimpangan lain yang ditemukan pada produk IRTP berbasis tepung di Jawa Barat adalah adanya produk IRTP yang tidak sesuai definisi dan/ atau kategori pangan. Tidak sesuai definisi artinya produk tersebut tidak sesuai dengan definisi yang sudah di tetapkan dalam SNI, dan kategori pangan yang dimaksud adalah seperti yang tercantum pada Surat Keputusan Kepala BPOM No. HK.00.05.52.40.40 tanggal 9 Oktober 2006 tentang Kategori Pangan. Produk-produk yang tidak sesuai dengan definisi SNI dan/ atau kategori pangan yang ditetapkan misalnya produk bakso yang memiliki kandungan daging yang sangat rendah (kurang dari 50%). Menurut SNI 01-3818-1995, definisi bakso daging adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diijinkan. Ada pula produk naget dan abon oncom yang sama sekali tidak memiliki kandungan daging. Menurut SNI 01-6683-2002, definisi naget ayam adalah produk olahan ayam yang dicetak, dimasak dan dibekukan, dibuat dari campuran daging ayam giling yang diberi pelapis dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan
25
makanan yang diijinkan. Sedangkan menurut SNI 01-3707-1995, definisi abon adalah suatu jenis makanan kering berbentuk khas, dibuat dari daging, direbus, disayat-sayat, dibumbui, digoreng dan dipres.
D. Upaya yang Telah Dilakukan Pemerintah dalam Membina IRTP Beberapa masalah keamanan pangan yang dihadapi Indonesia saat ini adalah 1) pangan yang
tidak memenuhi standar yang disyaratkan; 2) kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan yang tidak terlaporkan dan tidak diketahui penyebabnya; 3) terbatasnya pengetahuan, keterampilan, dan tanggung jawab produsen pangan terutama industri kecil terhadap mutu dan keamanan pangan; 4) rendahnya pengetahuan konsumen pangan dan keterbatasan akses untuk mendapatkan pangan yang bermutu tinggi dan aman (Rahayu dan Nababan 2011). Keamanan produk IRTP di Indonesia masih menjadi masalah karena sebagian besar IRTP belum mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku. Ketidakpatuhan ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan, kesadaran, motivasi, dan kemampuan finansial IRTP; belum menerapkan sistem manajemen formal; dan belum menerapkan CPPB sebagaimana mestinya.
Pemerintah (BPOM) telah melakukan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kesadaran tentang keamanan pangan, seperti surveilan keamanan pangan pada rantai pangan dan surveilan KLB keracunan pangan. Selain itu juga dilakukan pelatihan surveilan keamanan pangan dan pelatihan sampling pangan untuk meningkatkan kompetensi petugas. BPOM juga membangun jejaring intelijen pangan, sistem kewaspadaan dan penanggulangan keamanan pangan, direktori keamanan pangan nasional, dan food watch.
BPOM telah melakukan berbagai kegiatan dalam rangka promosi keamanan pangan. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain menerbitkan buletin keamanan pangan; mengadakan talkshow keamanan pangan di radio dan televisi, memutakhirkan data dan materi promosi keamanan pangan; membangun Jejaring Promosi Keamanan Pangan (JPKP); meluncurkan maskot keamanan pangan (PomPi dan keluarga); mengadakan pelatihan dan praktek kampanye keamanan pangan; mengadakan bimbingan teknis (Bimtek) promosi keamanan pangan; serta melakukan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) melalui pameran. Upaya KIE terhadap konsumen telah dilakukan dengan pembuatan produk informasi keamanan pangan seperti poster, leaflet, stiker, buku pedoman, komik jajanan anak sekolah, komik keamanan pangan, komik PoMpi, buku pangan segar, buku pangan siap saji, buku surveilan keamanan pangan, dan gimmick (wadah telepon genggam, weker, stiker, token, kaos). Pembagian materi edukasi keamanan pangan masih terbatas sehingga pemerintah daerah perlu mengupayakan perbanyakan produksi produk KIE dan penyebaran yang lebih luas.
Serangkaian kegiatan yang telah dilakukan BPOM dalam hal penyuluhan keamanan pangan, antara lain: pengembangan SDM, pelatihan, pelaksanaan Bimtek pada IRTP, review dan penyusunan peraturan untuk IRTP, serta penyusunan dan pengembangan pedoman/ modul untuk IRTP. Upaya aktif lainnya yang sudah dilakukan pemerintah (BPOM) adalah membina tenaga Penyuluh Keamanan Pangan (PKP) dan tenaga pengawas pangan Kabupaten/Kota /District Food Inspector (DFI) di Kabupaten/ Kota. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan penyuluhan keamanan pangan dan menerapkan sertifikasi produksi pangan industri rumah tangga (SPP-IRT) di Kabupaten/ Kota serta memberdayakan pengawas pangan Kabupaten/ Kota untuk melakukan pengawasan dan sampling pangan produksi IRTP dan Industri Pangan Siap Saji (IPSS). Jumlah tenaga PKP sampai dengan tahun 2010 adalah 2635 orang dan 1987 orang tenaga DFI. Pemenuhan tenaga PKP baru mencapai 43,92%, dan pemenuhan tenaga DFI baru mencapai 33,12% dari total tenaga PKP dan DFI yang dibutuhkan di seluruh Indonesia. Kendala yang ditemukan dalam hal ini yaitu mutasi yang cepat terhadap tenaga terlatih dan belum diberdayakan tenaga PKP dan DFI secara maksimal. Pemerintah daerah perlu terus
26
mengupayakan regenerasi tenaga PKP dan DFI dengan menyelenggarakan pelatihan sesuai dengan persyaratan kompetensi yang ditetapkan.
Pemerintah (BPOM) juga telah menyelenggarakan kegiatan Piagam Bintang Keamanan Pangan (PBKP). PBKP adalah program yang bersifat sukarela untuk mendorong industri pangan menerapkan prinsip-prinsip keamanan pangan. Piagam Bintang Satu Keamanan Pangan (PB1KP) memberikan pengetahuan tentang keamanan pangan dan higiene sanitasi bagi pelaku usaha, baik karyawan yang mengawasi pangan maupun karyawan yang menangani pangan. Piagam Bintang Dua Keamanan Pangan (PB2KP) menunjukkan bangunan dan peralatan yang digunakan telah mengikuti prosedur kerja sesuai persyaratan dan lembar kerja diterapkan dengan baik. Piagam Bintang Tiga Keamanan Pangan (PB3KP) diberikan kepada IRTP yang telah mampu menerapkan manajemen keamanan pangan berdasarkan prinsip Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
Dari paparan di atas tampak bahwa pemerintah telah melakukan serangkaian upaya untuk membina produsen IRTP, namun ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan khususnya pada produsen IRTP berbasis tepung.
E. Intervensi Pemerintah dalam Pembinaan IRTP Berbasis Tepung Berdasarkan potensi-potensi bahaya pada produk IRTP berbasis tepung maka perlu dilakukan
berbagai upaya untuk mencegah dari bahaya yang akan tumbuh. Potensi bahaya yang pertama adalah penggunaan tepung yang tidak sesuai SNI. Pemerintah bisa mengarahkan produsen untuk menggunakan tepung yang sesuai SNI agar produk yang dihasilkan lebih aman dan bermutu. Pemerintah diharapkan dapat membantu pengadaan tepung yang baik dan berkualitas serta memberikan pelatihan tentang cara penyimpanan tepung yang benar (cara peletakan, kondisi ruang penyimpanan, suhu, ventilasi, sanitasi). Dalam melakukan pembinaan, pemerintah sebaiknya memisahkan jenis pelatihan yang diberikan berdasarkan jenis produknya. Sebagai contoh, pada pembinaan produk roti tidak dicampur dengan produsen kerupuk.
Potensi bahaya kedua yaitu penggunaan BB, BTP berlebih, dan cemaran mikroba. Pemerintah wajib memberikan penyuluhan tetang bahaya yang ditimbulkan akibat penggunaan BB, BTP berlebih, dan cemaran mikroba. Pemerintah diharapkan bisa memberikan informasi tentang BTP yang benar dan batasan penggunaannya, BB yang dilarang digunakan untuk pangan, dan hal-hal yang mengakibatkan terjadinya cemaran mikroba seperti kondisi sanitasi yang buruk dan cara pengolahan pangan yang tidak higienis. Pemerintah sebaiknya membantu pengadaan BTP yang diijinkan untuk pangan agar masyarakat mudah mendapatkannya dengan harga yang relatif murah. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan inspeksi rutin terhadap IRTP yang terdapat di Jawa Barat dan memberikan sanksi tegas bagi IRTP yang melakukan pelanggaran, berupa penyitaan produk, pencabutan ijin usaha, dan pemberian sanksi pidana agar memberikan efek jera.
Potensi bahaya ketiga yaitu proses pengolahan yang salah. Pembinaan dan pengawasan bisa dilakukan dengan memberikan penyuluhan agar IRTP menerapkan CPPB dengan benar, sanitasi yang baik, serta penggunaan peralatan yang benar. Materi modul pelatihan dapat berisi teknik penggorengan yang tepat, penggunaan minyak yang benar, proses pengolahan yang benar, potensi bahaya yang ditimbulkan, dan peraturan-peraturan yang mengatur hal tersebut. Solusi yang dapat diberikan untuk menghilangkan bahaya akrilamid akibat proses pengolahan bisa dilakukan dengan penggorengan vakum. Intervensi pemerintah dalam hal ini bisa dengan membantu memberikan kredit untuk pembelian alat pengorengan vakum bagi IRTP agar lebih ringan.
Potensi bahaya keempat yaitu pengemasan dan pelabelan yang salah. Hal ini bisa ditanggulangi dengan menginformasikan jenis bahan pengemas sesuai dengan karakteristik produk, serta potensi bahaya yang ditimbulkan akibat adanya migrasi komponen berbahaya pada plastik. Pengadaan bahan
27
pengemas yang aman dan murah juga akan sangat membantu produsen P-IRT. Sosialisasi mengenai cara pelabelan yang tepat juga sangat penting untuk diperhatikan. Ketika IRTP mendaftarkan produknya ke Dinas Kesehatan untuk mendapat nomor registrasi P-IRT harus lebih diperhatikan pemenuhan syarat pengemasan dan pelabelan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Untuk industri-industri yang tidak lolos mendapatkan nomor registrasi, sebaiknya dilakukan pembinaan pengetahuan tentang bahaya serta sanksi tegas jika melakukan pelanggaran dalam pengemasan dan pelabelan, akan menimbulkan kesadaran dan motivasi produsen untuk menggunakan pengemas dan label yang benar dan sesuai aturan.
Potensi bahaya kelima yaitu penyimpanan produk yang salah. Bagian kritis yang harus diperhatikan dalam hal ini yaitu ruang penyimpanan produk setelah di proses, dan suhu. Letak ruang penyimpanan sebaiknya jauh dari tempat sampah, tempat penyimpanan bahan baku, atau bahan-bahan yang menimbulkan bau agar tidak terjadi kontaminasi silang. Suhu ruang penyimpanan akan mempengaruhi karakteristik dari produk yang dihasilkan.
Penyimpangan yang terjadi pada produk berbasis tepung pada IRTP di Jawa Barat dapat dicegah dengan mempertegas peraturan mengenai perolehan nomor P-IRT. Pemerintah daerah seharusnya lebih selektif dalam memberikan nomor P-IRT. Produk-produk seperti bakso yang diproduksi dengan skala industri rumahan tidak bisa mendapatkan nomor P-IRT. IRTP penghasil bakso, naget, otak-otak, dan batagor disarankan untuk mendaftarkan produknya sebagai pangan siap saji. Selain itu, untuk produk-produk yang tidak sesuai dengan definisi produk dalam SNI dan/ atau kategori pangan sebaiknya dibuatkan nama baru. Sebagai contoh pada produk abon oncom bisa dibuatkan nama baru menjadi oncom suir atau produk bakso dengan kandungan daging kurang dari 50% dinamakan bakso aci/ bakso tepung/ bola tepung. Nama-nama ini sebaiknya disosialisasikan oleh pemerintah agar pelaku usaha tidak rancu dengan definisi yang terdapat dalam SNI atau kategori pangan.
VI. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Di Indonesia industri rumah tangga pangan (IRTP) sangat banyak jumlahnya dan jumlah yang
paling banyak terdapat di Jawa Barat yaitu sebesar 2537 industri rumah tangga. Data dari dinas kesehatan menunjukkan bahwa produk IRTP di Jawa Barat pada tahun 2010 cukup beragam dan mencakup 14 kategori pangan. Produk yang paling banyak diproduksi oleh IRTP di Jawa Barat berasal dari tepung dan hasil olahnya sebanyak 58 produk dengan persentase sebesar 39,46%. Ada 4 jenis tepung yang digunakan oleh IRTP untuk menghasilkan produknya yaitu tepung terigu, tepung beras, tepung kanji/ tepung tapioka, dan tepung ketan. Jenis tepung yang paling banyak digunakan adalah tepung terigu sebesar 57%.
Berdasarkan hasil analisis data, ditemukan beberapa produk IRTP yang menyimpang di Jawa Barat. Terdapat dua kategori penyimpangan pada produk IRTP yaitu kategori produk yang didaftarkan sebagai P-IRT seperti bakso, naget (daging), batagor, otak-otak yang sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai P-IRT, dan produk IRTP yang tidak sesuai dengan definisi produk yang tertera pada SNI dan/ atau kategori pangan yaitu bakso, naget (tepung), dan abon oncom. Selain itu, potensi bahaya yang ditemukan pada produk IRTP berbasis tepung adalah penggunaan tepung yang rusak, penggunaan bahan berbahaya, BTP berlebih, dan cemaran mikroba selama proses pengolahan produk berbasis tepung, proses pengolahan yang salah, pengemasan dan pelabelan yang salah, dan penyimpanan produk pangan yang salah.
Rekomendasi yang dapat diberikan untuk masalah ini yaitu: 1) pemerintah daerah harus lebih proaktif dalam mengembangkan produk yang potensial di wilayah kerjanya seperti mengadakan pembinaan untuk produk-produk berbasis tepung mengingat IRTP dengan jenis pangan ini sangat banyak dan potensial untuk dikembangkan di Jawa Barat; 2) membantu pengadaan tepung yang baik dan berkualitas; 3) pemerintah sebaiknya tidak mencampurkan IRTP untuk satu produk dengan produk lainnya ketika melakukan pembinaan; 4) pemerintah harus lebih tegas kepada produsen yang melakukan pelanggaran; 5) pengadaan BTP harus mudah diperoleh dipasaran dengan harga yang relatif murah, agar tidak memberatkan produsen dalam biaya produksi; 6) memberikan info/ penyuluhan mengenai cara memilih bahan kemasan yang aman; 7) pemerintah daerah lebih memperketat dan memperhatikan IRTP ketika mendaftarkan produknya ke Dinas Kesehatan setempat untuk mendapat nomor registrasi P-IRT; 8) untuk IRTP penghasil bakso, naget, otak-otak, dan batagor perlu dibina sebagai produsen pangan siap saji; 9) untuk IRTP penghasil bakso, naget, dan abon oncom yang tidak sesuai dengan definisi produk tersebut dalam SNI dan/ atau kategori pangan sesuai dengan SK Kepala BPOM No. HK.00.05.52.40.40 tahun 2006 sebaiknya dibuatkan nama baru, seperti abon oncom menjadi oncom suir atau produk bakso dengan kandungan daging kurang dari 50% mungkin dinamakan dengan bakso aci/ bakso tepung/ bola tepung dan kemudian nama-nama ini disosialisasikan oleh pemerintah agar pelaku usaha tidak rancu terhadap definisi yang terdapat dalam SNI dan/ atau kategori pangan.
B. Saran Perlu dilakukan kajian lanjutan untuk meningkatkan keamanan pangan di Indonesia, seperti
kajian keamanan produk IRTP di wilayah lain di Indonesia atau kajian keamanan produk pangan lain yang memiliki resiko tinggi terhadap kerusakan.
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2004. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan. Jakarta: Presiden RI.
_______ . 2006. Tren kemasan Praktis dan Inovatif. FOOD REVIEW magazine. Vol. 1 Edisi perdana Februari 2006.
_______ . 2008. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Jakarta: Presiden RI.
_______ . 2010. Sekilas dan Kondisi Umum Daerah Jawa Barat. http://www.bplhdjabar.go.id/index. php/kondisi-umum-daerah-jabar. [29 November 2012]
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.5.1.4547 tahun 2004 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan. Jakarta: BPOM RI.
_______ . 2005. Berita Pengemasan Edisi 13 April-Mei 2005. Jakarta: Federasi Pengemas Indonesia.
_______ . 2006. Surat Keputusan Kepala BPOM No. HK.00.05.52.40.40 tanggal 9 Oktober 2006 tentang Kategori Pangan. Jakarta: BPOM RI.
_______ . 2007. Kegiatan Pelatihan Kejadian Luar Biasa Keamanan Pangan (KLB KP) dan Sampling Produk Pangan Balai Besar POM di Banda Aceh Tahun 2007. Vol 8, No.6 November 2007.
_______ . 2009. Laporan Akhir Survei Kegiatan Monitoring dan Verifikasi Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) dalam Rangka Peningkatan Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) tahun 2009. Jakarta: BPOM RI.
_______ . 2009. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No: HK.00.06.1.54.2797 tentang Tata Cara Pengambilan Contoh Makanan, Pengujian Laboratotium dan Pelaporan Penyebab Kejadian Luar Biasa Keracunan Makanan. Jakarta: BPOM RI.
_______ . 2009. Profil Keamanan Pangan IRT di Indonesia. Jakarta: BPOM RI.
_______ . 2010. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Jakarta: BPOM RI.
_______ . 2011. Data Hasil Sampling Produk Pangan yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Jakarta: BPOM RI.
_______ . 2011. Kajian Nota Dinas Laporan Rapat Pembahasan Peraturan Perundang-Undangan yang Mengatur tentang Penggunaan Bahan Berbahaya pada Produk Pangan. Jakarta: BPOM RI.
_______ . 2011. Workshop Penyuluhan Keamanan Pangan. Jakarta: BPOM RI.
_______ . 2012. Data KLB Keracunan Pangan yang Terlaporkan Tahun 2001-2011 di Indonesia. Jakarta: BPOM RI.
_______ . 2012. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.04.12.2206 tahun 2012 tentang Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga. Jakarta: BPOM RI.
_______ . 2012. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.04.12.2207 tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan Industri Rumah Tangga. Jakarta: BPOM RI.
30
_______ . 2012. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT). Jakarta: BPOM RI.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Publikasi Statistik Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga/ Small Scale and Household Industry Statistic. Jakarta : BPS.
_______ . 2010. Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, 2000 dan 2010. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=12¬ab=1. [29 November 2012]
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1995. SNI 01-3707-1995 tentang Abon. Jakarta: BSN. _______ . 1995. SNI 01-3818-1995 tentang Bakso Daging. Jakarta: BSN.
_______ . 1998. SNI 01-4447-1998 tentang Tepung Ketan. Jakarta: BSN.
_______ . 2002. SNI 01-6683-2002 tentang Naget Ayam (Chicken Nugget). Jakarta: BSN.
_______ . 2009. SNI 3751:2009 tentang Tepung Terigu. Jakarta: BSN.
_______ . 2009. SNI 3549:2009 tentang Tepung Beras. Jakarta: BSN.
_______ . 2011. SNI 3451:2011 tentang Tapioka. Jakarta: BSN.
[KEMENKES] Kementerian Kesehatan. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: KEMENKES..
[WHO] World Health Organization. 2007. Food Safety and Foodborne Illness. http://www.who.int/ mediacentre/factsheets/fs237/en/. [29 November 2012]
Aisyah Y. 2012. Bahaya Akrilamida Dalam Pangan: Tantangan Dalam Upaya Pengurangan Akrilamida. http://acehprov.go.id/images/stories/file/Rubrik/akrilamida%20tantangan.pdf. [9 Januari 2013]
Amy. 2010. Mengenal Si Kutu Terigu. http://bakingnfood.wordpress.com/2010/06/20/mengenal-si-kutu-terigu. [29 November 2012]
Andarwulan. 2009. Laporan Akhir Monitoring dan Verifikasi Profil Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasional 2008. Jakarta: Direktorat SPKP Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan Dan Pangan Berbahaya, BPOM RI dan SUCOFINDO.
Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wooton M. 2007. Ilmu Pangan. Penerjemah: Hari Purnomo. Jakarta: UI Press.
Bartono PHR. 2005. Food Product Management di Hotel dan Restoran. Yogyakarta: Andi.
Cahyadi W. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara.
_______. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan Edisi Kedua. Jakarta: Bumi Aksara.
Castle L. 2000. An Introduction to Chemical Migration from Food Contact Materials. New York: DEFRA Central Science Laboratory.
Djaafar TF dan Rahayu S. 2007. Cemaran mikroba pada produk pertanian, penyakit yang ditimbulkan, dan pencegahannya. J Litbang Pertanian 26 (2).
Dwiari SR. 2008. Teknologi Pangan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
31
Esti dan Prihatman K. 2000. Tepung Tapioka. http://www.warintek.ristek.go.id/pangan_ kesehatan/pangan/piwp/tepung_tapioka.pdf. [1 September 2012]
Felicia T. 2009. Akrilamida, Bahaya Kelezatan. http://health.kompas.com/read/2009/08/13/09063542 /Akrilamida.Bahaya.Kelezatan. [13 November 2012]
Fredriksson H, Tallving J, Rosén J, and Aman P. 2004. Fermentation reduces free asparagine in dough and acrylamide content in bread. J Cereal Chem. 81(5):650-653.
Granda C, Moreira RG, and Tichy SE. 2004. Reduction of Acrylamide Formation in Potato Chips by Low-Temperature Vacuum Frying. J Food Science. 69(8): E 405-411.
Haliza. 1992. Rancang Proses Pembuatan Dodol Kweni (Mangifera adorata Griff). Jakarta: Penebar Swadaya.
Harahap Y. 2006. Pembentukan Akrilamida dalam Makanan dan Analisanya. J Farm 3(3):107-116.
Hariyadi P. 2007. Pangan dan Daya Saing Bangsa. Di dalam: Purwiyatno Hariyadi (ed). Upaya Peningkatan Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan Melalui Ilmu dan Teknologi. Bogor:SEAFAST Center, IPB hal. 1-15.
Kusmayadi A dan Sukandar D. 2009. Food Safety and Its Application in Daily Life to Prevent Dangers of Consuming Unsafe Food and Promote SPFS Farmer’s Health. http://database.deptan.go.id/saims-indonesia/index.php?files. [1 September 2012]
Miguel SV, Miguelez JM, dan Gandara JS. 1997. Pengujian migrasi dari permukaan lapisan kemasan makanan yang menggunakan paperboard yang didaur ulang terhadap makanan terutama makanan berlemak. J Agric Food Chem 45: 2701-2707.
Muchtadi TR. 2008. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Edisi III. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Oktafrina. 2009. Upaya pengurangan pembentukan senyawa akrilamida pada pengolahan keripik pisang ambon [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Purnama PS. 2002. Pengalaman Fortifikasi Tepung Terigu di Indonesia. Di dalam: Hardinsyah, Leily Amalia, Budi Setiawan (eds). Fortifikasi Tepung Terigu dan Minyak Goreng. Bogor: PSKPG IPB, KFN hal 51-53.
Rahayu WP. 2002. Panduan Pengolahan Pangan yang Baik Bagi Industri Rumah Tangga. Jakarta: BPOM RI.
_______ . 2007. Membangun Keamanan Pangan Nasional Melalui Sistem Keamanan Pangan Terpadu. Di dalam: Purwiyatno Hariyadi (ed). Upaya Peningkatan Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan Melalui Ilmu dan Teknologi. Bogor:SEAFAST Center, IPB hal. 25-30.
_______ . 2011. Pemberdayaan IRTP Melalui Program Nasional Keamanan Pangan. Di dalam: Winiati P Rahayu (eds). Keamanan Pangan: Peduli Kita Bersama. Bogor: IPB Press, hal. 33-36.
_______ . 2011. Keamanan Pangan untuk Mendukung Industri Jasa Boga. Di dalam: Winiati P Rahayu (eds). Keamanan Pangan: Peduli Kita Bersama. Bogor: IPB Press, hal. 71-79.
Rahayu WP dan Nababan H. 2011. Pendidikan Keamanan Pangan. Di dalam: Winiati P Rahayu (eds). Keamanan Pangan: Peduli Kita Bersama. Bogor: IPB Press, hal. 62-65.
32
_______ . 2011. Permasalahan IRTP dan Program Keamanan Pangan Nasional untuk IRTP. Di dalam: Winiati P Rahayu (eds). Keamanan Pangan: Peduli Kita Bersama. Bogor: IPB Press, hal. 37-43.
Rahayu WP dan Mulyani Y. 2011. Pertanyaan dan Jawaban Sekitar Penyalahgunaan Formalin. Di dalam: Winiati P Rahayu (eds). Keamanan Pangan: Peduli Kita Bersama. Bogor: IPB Press, hal. 169-172.
Reynolds E, George S, William H, and PT Tybor Extension Food Science. 2003. Preventing Food PoisoningAnd Food Infection. http://www.caes.uga.edu/departments/fst/extension /documents/FoodPoisoning-FoodInfection.pdf. [29 November 2012]
Sahin S, Sastry SK, and Bayindirli L. 1999. The Determinations of Convective Heat Transfer Coeficient During Frying. J Food Engineering.
Salim E. 2011. Mengolah Singkong Menjadi Tepung Mocaf Bisnis Produk Alternatif Pengganti Terigu. Yogyakarta: Lily Publisher.
Saraswati YR, Indraswari E, dan Nurani. 2009. Pengaruh formalin, diazepam, dan minuman beralkohol terhadap konsumsi pakan, minuman, dan bobot tubuh. J Sains & Mat 17(3): 141-144
Sharp JCM dan Reilly WBJ. 2000. Surveilleance of Foodborne Disease. In: Lund, Barbara, M., T. C. Baird-Parker, G. W. Gould (eds). 2000. The Microbiological Safety and Quality of Food Vol. II. Aspen Publisher. Inc. Gaithersburg. Maryland.
Sulaeman A dan Syarief H. 2007. Tinjauan Ekonomi Penanganan Mutu dan Keamanan Pangan. Di dalam: Purwiyatno Hariyadi (ed). Upaya Peningkatan Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan Melalui Ilmu dan Teknologi. Bogor:SEAFAST Center, IPB hal. 31-54.
Sulchan M dan Nur WE. 2007. Keamanan Pangan Kemasan Plastik dan Styrofoam. Semarang: Fakultas Kedokteran UNDIP.
Stadler RH, Blank I, Varga N, Robert F, Hau J, Guy PA, Robert MC, Riediker S. 2002. Food chemistry: acrilamide from maillard reaction products. Nature Publising group. Nature. Vol 419: 449-450.
Wijaya CH dan Mulyono N. 2009. Bahan Tambahan Pangan: Pewarna. Bogor: IPB Press.
Winarno FG. 2004. Keamanan Pangan Jilid 2. Bogor: M-Brio Press.
Zhang Y and Zhang Y. 2007. Formation and reduction of acrilamide in maillard reaction: a review based on the current stage of knowledge. Critical Review Science and Nutrition 47: 521-543.
Zyzak DV, Sanders RA, Stojanovic M, Tallmadge DH, Eberhart L, Ewald DK, Gruber DC, Morsch TR, Strothers MA, Pizzi GP, Villagran MD. 2003. Acrylamide formation mechanism in heated foods. J Agric Food Chem 51: 4782-4787.
LAMPIRAN
34
Lampiran 1. Struktur Organisasi Badan POM RI
KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
INSPEKTORAT
SEKRETARIAT UTAMA 1. Biro Perencanaan dan
Keuangan 2. Biro Kerjasama Luar
Negeri 3. Biro Hukum dan Humas 4. Biro Umum
Pusat Pengujian Obat dan Makanan
Pusat Penyidikan Obat dan Makanan
Pusat Informasi Obat dan Makanan
Pusat Riset Obat dan Makanan
Deputi I Bidang Pengawasan Produk
Terapetik dan NAPZA 1. Dit. Penilaian Obat dan
Produk Biologi 2. Dit. Penilaian Alat
Kesehatan, Produk Diagnostik dan PKRT
3. Dit. Standardisasi Produk Terapetik
4. Dit. Inspeksi dan Sertifikasi Produk Terapetik
5. Dit Pengawasan NAPZA
Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan
Produk Komplemen 1. Dit. Penilaian Obat
Tradisional, Suplemen Makanan & Kosmetik
2. Dit. Standardisasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen
3. Dit. Inspeksi dan Sertifikasi Obat Trdisional, Kosmetik dan Produk Komplemen
4. Dit. Obat Asli Indonesia
Deputi III Bidang Pengawasan
Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
1. Dit. Penilaian Keamanan Pangan
2. Dit. Standardisasi Produk Pangan
3. Dit. Inspeksi dan Sertifikasi Produk pangan
4. Dit Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan
5. Dit. Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya
Balai POM
35
Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan POM RI
Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan
Sub Direktorat
Surveilan dan Penanggulangan
Keamanan Pangan
Promosi Keamanan Pangan
Penyuluhan Makanan Siap Saji dan Industri
Rumah Tangga
Surveilan Keamanan
Pangan
Penanggulangan Keamanan
Pangan
Tata Operasional
Komunikasi Keamanan
Pangan
Penyuluhan Makanan Siap
Saji
Informasi dan Edukasi
Konsumen Keamanan
Pangan
Penyuluhan Industri Rumah
Tangga
seksi seksi seksi
Lampiran 3. Data KLB keracunan pangan terlaporkan tahun 2001-2011 Jumlah KLB keracunan pangan yang terlaporkan berdasarkan laporan Balai Besar/ Balai POM tahun 2001-2011
No Balai Besar/ Balai POM 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 TOTAL % 1 Banda Aceh 0 0 0 4 8 1 12 6 2 11 1 45 3.23 2 Pekanbaru 2 1 3 0 4 2 6 8 1 0 4 31 2.23 3 Jambi 0 0 1 6 2 7 9 14 7 7 4 57 4.09 4 Palembang 1 0 0 4 5 6 5 3 3 0 0 27 1.94 5 Medan 1 1 1 5 3 1 1 3 0 0 1 17 1.22 6 Padang 0 1 0 6 5 9 18 7 6 15 6 73 5.24 7 Lampung 1 2 2 3 3 1 3 3 0 10 12 40 2.87 8 Bengkulu 0 1 0 2 7 7 9 2 4 2 5 39 2.80 9 Jakarta 4 6 4 13 11 2 3 3 2 3 4 55 3.95
10 Bandung 4 13 2 31 31 30 35 43 9 9 9 216 15.52 11 Semarang 8 6 8 14 24 17 15 16 8 13 14 143 10.27 12 Yogyakarta 1 0 2 13 12 14 12 14 12 14 7 101 7.26 13 Surabaya 0 1 3 14 8 8 8 7 6 5 4 64 4.60 14 Denpasar 3 8 0 16 12 11 3 9 5 9 7 83 5.96 15 Kendari 0 1 0 4 5 3 5 6 2 4 5 35 2.51 16 Makasar 0 2 2 4 8 7 11 19 6 7 14 80 5.75 17 Manado 1 0 0 0 2 1 2 7 3 4 0 20 1.44 18 Palu 0 0 0 2 0 1 1 1 0 2 0 7 0.50 19 Pontianak 0 0 0 0 5 5 4 4 4 13 2 37 2.66 20 Palangkaraya 0 0 0 3 3 5 2 7 5 4 1 30 2.16 21 Samarinda 0 0 1 7 7 3 2 1 6 0 4 31 2.23 22 Kupang 0 0 0 4 5 4 3 0 13 9 4 42 3.02 23 Mataram 0 0 1 4 6 8 2 2 9 12 4 48 3.45 24 Banjarmasin 0 0 1 1 4 5 3 7 1 2 4 28 2.01 25 Ambon 0 0 1 3 2 3 3 1 1 5 19 1.36 26 Jayapura 0 0 2 1 2 1 2 2 0 2 0 12 0.86 27 Gorontalo 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 3 0.22
Jumlah KLB keracunan pangan yang terlaporkan berdasarkan laporan Balai Besar/ Balai POM tahun 2001-2011 (Lanjutan)
37
No Balai Besar/ Balai POM 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 TOTAL % 28 Banten 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 4 5 0.36 29 Batam 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 3 0.22 30 Pangkal Pinang 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0.07
TOTAL 26 43 34 164 184 159 179 197 115 163 128 1392 100.00
Pangan penyebab KLB keracunan pangan terlaporkan tahun 2001-2011
NO Jenis Pangan TAHUN
% 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 TOTAL
1 Masakan Rumah Tangga 5 8 11 88 78 68 104 82 47 71 58 620 44.54 2 Pangan Olahan 5 8 9 25 28 21 22 31 28 28 16 221 15.88 3 Pangan Jasa Boga 11 15 10 25 39 43 27 51 18 32 30 301 21.62 4 Pangan Jajanan 5 7 2 20 33 26 18 31 22 22 16 202 14.51 5 Lain-lain 0 0 0 0 0 1 8 2 4 8 23 1.65 6 Tidak dilaporkan 0 5 2 6 6 0 0 0 0 6 0 25 1.80
TOTAL 26 43 34 164 184 159 179 197 115 163 128 1392 100.00 Agen penyebab KLB keracunan pangan terlaporkan tahun 2001-2011
NO PENYEBAB TAHUN
TOTAL % 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
1 Mikroba 6 12 9 36 28 25 29 54 22 16 38 275 19.76
2 Kimia 5 6 1 22 14 15 25 37 10 22 19 176 12.64 3 Tidak diketahui 15 25 24 106 142 119 125 106 83 125 71 941 67.60
TOTAL 26 43 34 164 184 159 179 197 115 163 128 1392 100.00
38
Lampiran 4. Pemetaan IRTP di Jawa Barat
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
1 Tepung dan jenis olahnya
Bakpia
Tepung Terigu 50
Pemanggangan low risk Ya Pengawet
Telur 10 Gula Pasir 10 Kacang Hijau 25
BTP 5
Bihun
Tepung Beras 95
Pengeringan low risk Ya
Boraks, Formalin, Pemutih
Bumbu-bumbu 3
BTP 2
Bolu / Cake
Tepung Terigu 30
Pemanggangan high risk Ya
Pewarna tekstil,
Benzoat
Gula 30 Telur 20 Margarin 10 BTP 2
Isi Cake (Pisang, kismis, coklat, selai, dll)
8
Bolu Kering
Tepung Terigu 35
Pemanggangan low risk Ya Pewarna
tekstil Gula 30 Telur 15 Margarin 15 BTP 5
Bolu Kering (Pakai Tape)
Tepung Terigu 30
Pemanggangan low risk Ya
Formalin, Benzoat, Pewarna
Gula 30 Telur 10 Tape 10 Margarin 15 BTP 5
Brownies Kering
Tepung Terigu 30
Pemanggangan low risk Ya Pengawet
Gula 30 Telur 20 Coklat 10 Margarin 5
39
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
BTP 5
Brownies Kukus
Tepung Terigu 30
Pemanggangan high risk Ya Pengawet
benzoat
Gula 30 Telur 20 Coklat 10 Margarin 5 BTP 5
Cakue
Tepung Terigu 75
Penggorengan high risk Ya Benzoat,
boraks
Telur 15 Minyak Goreng 3
Garam 5 BTP 2
Cendol
Tepung Beras 40
Pencampuran high risk Ya
Pewarna tekstil,
formalin
Tepung Sagu 10
Tepung Terigu 5
Daun Suji 10 Daun Pandan 5
Gula Merah 15
Kelapa 10 Garam 5
Cheese Stick
Tepung Terigu 45
Penggorengan low risk Ya Perasa buatan,
MSG
Telur 20 Keju 10 Margarin 5 Minyak Goreng 5
Garam 5 Bumbu-bumbu 5
BTP 5
Cistik Sayur
Tepung Terigu 45
Penggorengan low risk Ya MSG Telur 20
Wortel & Seledri 10
40
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
Margarin 5 Minyak Goreng 5
Garam 5 Bumbu-bumbu 5
BTP 5
Corong Es
Tepung Terigu 65
Pemanggangan low risk Ya Pewarna
tekstil Telur 25 Garam 5 BTP 5
Dodol
Tepung Ketan 40
Pencampuran low risk Ya Pengawet
Tape 20 Gula Merah 20
Gula Pasir 15 BTP 5
Dodol Garut
Tepung Ketan 45
Pencampuran low risk Ya
Pengawet, Pewarna tekstil
Lemak Sapi 15
Gula Pasir 35 BTP 5
Donat
Tepung Terigu 55
Penggorengan high risk Ya Boraks,
Pengawet
Telur 20 Margarin 10 Garam 5 Minyak Goreng 5
BTP 5
Jawadah
Tepung Ketan 70
Pencampuran low risk Ya Pengawet
Gula Merah 30
Japilus
Tepung Kanji 70
Penggorengan low risk Ya MSG
Telur 10 Garam 5 Gula Pasir/Pemanis
10
41
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
Minyak Goreng 5
Keripik Simulasi
Tepung Terigu 60
Penggorengan low risk Ya MSG
Tepung Kanji 25
Garam 5 Minyak Goreng 5
Bumbu-bumbu 5
Kerupuk
Tepung Terigu 40
Penggorengan low risk Ya
Pewarna tekstil
(rhodamin)
Tepung Tapioka 45
Garam 5 Bumbu-bumbu 10
Kerupuk Rambak
Tepung Beras 40
Penggorengan low risk Ya Boraks
Tepung Tapioka 45
Garam 5 Bumbu-bumbu 10
Kolontong
Tepung Ketan 80
Pemanggangan low risk Ya Boraks,
Formalin Gula Pasir 10 Telur 10
Kue Aci
Tepung Tapioka 70
Pemanggangan low risk Ya Boraks,
Formalin Telur 10 Gula Pasir 10 Margarin 5 BTP 5
Kue Akar Kelapa
Tepung Beras 55
Penggorengan low risk Ya MSG
Telur 20 Garam 5 Margarin 10 Bumbu-bumbu 5
BTP 5 Kue Bawang/
Tepung Terigu 55 Penggoren
gan low risk Ya MSG
42
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
Kewuk Telur 20 Margarin 10 Garam 5 Bumbu-bumbu 5
BTP 5
Kue Kering
Tepung Terigu 55
Pemanggangan low risk Ya Benzoat
Margarin 30 BTP 5
Isi (selai, coklat, kismis, sukade,kacang)
10
Kue Tambang
Tepung Terigu 50
Penggorengan low risk Ya MSG
Telur 20 Gula Pasir 10 Margarin 10 Bumbu-bumbu 5
BTP 5
Kulit Lumpia
Tepung Terigu 80
Penggorengan high risk Ya Formalin,
boraks Air 15 Garam 5
Ladu
Tepung Ketan 50
Pencampuran Ya -
Gula Merah 20
Gula Pasir 10 Kelapa 20
Molen
Tepung Terigu 60
Penggorengan high risk Ya Formalin,
Boraks,
Telur 20 Gula Pasir 5 Bumbu-bumbu 5
Isi Molen (Pisang, tahu, dll)
10
Molen Pisang
Tepung Terigu 40 Pemangga
ngan high risk Ya Formalin, Boraks
43
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
Keju Telur 20 Margarin 10 Gula Pasir 10 BTP 5 Keju 5 Pisang 10
Odading
Tepung Terigu 55
Penggorengan Ya MSG
Telur 20 Gula Pasir 10 Garam 5 Minyak Goreng 5
BTP 5
Telur gabus
Tepung Tapioka 65
Penggorengan low risk Ya MSG
Gula Pasir 20 Telur 10 Minyak Goreng 5
Pilus
Tepung Terigu 50
Penggorengan low risk Ya MSG
Gula Pasir 25 Telur 10 Margarin 5 Garam 5 Bumbu-Bumbu 5
Rempeyek
Tepung Beras 40
Penggorengan low risk Ya MSG
Telur 10 Santan 10 Kacang Tanah / Kacang Hijau
25
Minyak Goreng 5
Garam 5 Bumbu-bumbu 5
Roti Kering
Tepung Terigu 50 Pemangga
ngan low risk Ya
44
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
Telur 15 Gula Pasir 10 Margarin 15 BTP 5
Roti Goreng
Tepung Terigu 50
Penggorengan high risk Ya Boraks
Telur 20 Gula Pasir 10 Margarin 10 BTP 5 Isi Roti (Daging, Sosis, Abon, dll)
5
Roti Basah
Tepung Terigu 50
Pemanggangan high risk Ya Boraks,
pengawet
Telur 15 Gula Pasir 10 Margarin 15 BTP 5 Isi Roti (Selai, Daging, Sosis, dll)
5
Semprong
Tepung Terigu 60
Pemanggangan low risk Ya
Pewarna tekstil
(rhodamin) Telur 20 Santan 10 Gula Pasir 10
Wajit Ketan
Tepung Ketan 50
Pencampuran/ mixing low risk Ya Pengawet
(benzoat) Gula Merah 30
Pandan 10 Kelapa 10
Egg Roll
Tepung Terigu 30
Penggorengan low risk Ya -
Telur 30 Gula Pasir 10 Garam 5 Margarin 10 BTP 5
Bakso Daging 30 Perebusan high risk Tidak Boraks,
45
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
Tepung Terigu 20
formalin
Tepung Kanji 40
Bumbu-bumbu 10
Citruk Kelapa
Tepung Terigu 50
Penggorengan low risk Ya MSG
Kelapa 35 Minyak Goreng 5
Garam 5 Bumbu-bumbu 5
Keripik Wijen
Tepung Terigu 80
Penggorengan low risk Ya MSG
Gula Pasir 10 Bumbu-Bumbu 5
BTP 5
Saroja
Tepung Beras 80
Penggorengan low risk Ya MSG
Minyak Goreng 5
Garam 5 Bumbu-bumbu 10
Cistik Ubi
Tepung Terigu 50
Penggorengan low risk Ya MSG
Telur 20 Ubi Jalar 10 Margarin 5 Minyak Goreng 5
Garam 5 Bumbu-bumbu 5
BTP 5
Bakpia
Tepung terigu 40
Pemanggangan low risk Ya
Pengawet
kacang tanah 20
Telor 10 mentega 10 gula pasir 10
46
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
Bumbu-bumbu 5
Bakso
tepung kanji 60
Pemasakan high risk Tidak Formalin, boraks, MSG
tepung terigu 25
daging 10 Bumbu-bumbu 5
Bika Ambon
Tepung tapioka 40
Pemanggangan high risk Ya
Pewarna tekstil
(metanil yellow), boraks,
formalin, pengawet
tepung terigu 25
Garam 10 gula pasir 20 Bumbu-bumbu 5
Brownies
Tepung terigu 50
Pemanggangan high risk Ya Pengawet
susu/coklat 10
telur 10 mentega 10 gula pasir 10 Minyak nabati 5
bumbu-bumbu 5
Kerupuk Aci
Tepung tapioka 60
Penggorengan low risk Ya MSG
minyak 20 Garam 5 Kemiri 5 Bawang putih 5
bumbu penyedap 5
Kerupuk Jengkol
tepung tapioka 75
Pemasakan low risk Ya MSG
Jengkol 10 Minyak goreng 5
garam 5 bumbu-bumbu 5
47
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
Kue semprong/ kue jepit
Tepung tapioka 50
Pemanggangan low risk Ya
Pewarna tekstil (misl. Rhodamin b)
tepung beras 20
Gula Pasir 10 Margarine/ telur 10
Santan kelapa 5
bumbu-bumbu 5
Kue seroja
Tepung tapioka 50
Pemasakan low risk Ya -
tepung beras 25
minyak goreng 10
garam 5 margarine/ telur 5
bumbu-bumbu 5
Nugget
Tepung tapioka 60
Perebusan high risk Ya
Formalin, boraks, MSG,
sodium benzoat
Tepung roti 20
telur 10 garam 3 Bumbu-bumbu 4
Sodium/ benzoat 3
Rempeyek
tepung tapioka 50
Penggorengan low risk Ya
MSG
kacang tanah 30
Minyak goreng 10
garam 5 bumbu-bumbu 5
Roti
tepung terigu 40
Pemanggangan high risk Ya
Pengawet
tepung tapioka 20
telor 10
48
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
mentega 10 gula pasir 10 bumbu-bumbu 5
Simping
Tepung terigu/aci 60
Pemasakan low risk Ya Pewarna tekstil
Kelapa 20 garam 7 gula 5 Kencur 3 bumbu-bumbu 5
Batagor
Tahu
Penggorengan high risk Tidak Boraks,
formalin
tepung terigu
tepung tapioka
Ikan bumbu dapur
2 Ikan dan hasil
olahnya Ikan Kecil Goreng
Ikan Kecil 75
Penggorengan high risk Ya MSG
Tepung Terigu 10
Garam 5 Minyak Goreng 5
Otak-otak
Tepung Tapioka 40
Penggorengan high risk Tidak Boraks,
formalin
Ikan 45 Garam 5 Minyak Goreng 5
Bumbu-bumbu 5
Bandeng presto
Ikan Bandeng 80
Pemasakan high risk Tidak Pengawet bumbu 10 garam 10
3 Unggas dan hasil olahnya
Keripik Usus
Usus 80
Penggorengan low risk Ya Pengawet
usus, MSG
Garam 5 Tepung Bumbu 5
Minyak Goreng 5
49
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
Bumbu-bumbu 5
Telur Asin
Telur Itik 90 Pengukusan,
pengasinan low risk Ya MSG
Garam 10
Telur asin
Telur bebek 80
Perebusan low risk ya MSG, Abu gosok Garam 10
Abu gosok 10
Lapis Legit
Tepung Terigu 20
Pemanggangan high risk Ya
Boraks, pewarna tekstil,
pengawet
Gula 20 Telur 40 Margarin 10 Bumbu lapis legit 5
BTP 5 4 Daging
dan hasil olahannya
Abon Sapi
Daging Sapi 80
Penggorengan low risk Ya Pengawet,
MSG Gula Merah 10
Bawang Merah 5
Abon Kelinci
Daging Kelinci 80
Penggorengan low risk Ya Pengawet,
MSG
Gula Merah 10
Bawang Merah 5
Bumbu-bumbu 5
Dendeng Sapi
Daging Sapi 85
Pengeringan low risk Ya Pengawet,
MSG Rempah-rempah 10
Bumbu-bumbu 5
Dorokdok
Kulit Sapi 85
Penggorengan low risk Ya MSG
Garam 5 Minyak Goreng 5
Bumbu-bumbu 5
50
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
Nugget Daging/Ikan
Tepung Terigu 30
Pengukusan,
pencetakan high risk Tidak Boraks, MSG,
Pengawet
Daging sapi/daging ayam/ikan
45
Telur 35 Tepung Panir 10
Garam 5 Bumbu-bumbu 5
Abon sapi / ikan
Daging sapi / ikan 60
pengeringan low risk Ya MSG,
pengawet
Garam 10 gula merah 10 bumbu-bumbu 20
Dimsum
Daging
perebusan high risk Ya Pengawet, MSG
tepung terigu
tepung tapioka
Maizena Udang bumbu
5 Gula, Madu,
Kembang gula
Gula Tepung
Gula Pasir 95 Penggiling
an low risk Ya - Anti Kempal 5
Madu Madu 100
Penyaringan,
pengepresan
low risk Ya -
6 es
Es Hunkue
Tepung Hunkue 70
Suhu rendah high risk Ya Pewarna
tekstil Gula Pasir 20 Pewarna 10
Es Lilin
Tepung Hunkue 50
Suhu rendah high risk Ya
Pewarna tekstil,
pengawet
Santan 20 Gula Pasir 20 Garam 5 Pewarna 5
51
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
7 Kelapa dan hasil olahnya
Kue Serundeng/Sagon
Kelapa 50 Pemangga
ngan low risk Ya - Tepung Terigu 30
Gula Pasir 20
Nata de coco
Air kelapa 50
Fermentasi high risk Ya Perasa buatan
(essence), pengawet
Gula Pasir 10 Bibit Nata (Fermentator)
5
Air 30 Perasa 5
Noga Kelapa
Kelapa 70
Pemasakan high risk Ya - Tepung Terigu 10
Gula Pasir 20 8 minuman
ringan, jus Bandrek
Rempah-Rempah 80
Kristalisasi low risk Ya - Gula Merah 20
Limun
Air 75
Perebusan high risk Ya
Essence, pewarna, pemanis, pengawet
Essence 3 Pewarna 2 Pemanis 5 Gula Putih 10 Pengawet 5
Minuman teh
Daun Teh 70
Perebusan high risk Ya -
Gula Batu 10 Gula Pasir 10
Teh Bunga Matahari 10
Sari Asem Asam Jawa 20
Perebusan low risk Ya - Gula Pasir 20 Air 60
Sari Kedelai
Serbuk Kedelai 40
Perebusan high risk Ya - Gula Pasir 10 Air 50
Serbuk Kacang Hijau
Kacang Hijau 100
Pengeringan &
Penggilingan
low risk Ya -
52
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
Serbuk Kedelai
Kacang Kedelai 100
Pengeringan &
Penggilingan
low risk Ya -
Sirup
Air 70
Perebusan high risk Ya
Essence, pewarna tekstil,
pengawet, pemanis buatan
Essence 5 Pewarna 3 Pengawet 2 Pemanis 20
Temu Lawak
Temulawak 30
Perebusan high risk Ya - Gula Pasir 20 Air 50
Sirup Jahe
Jahe 50
Pemasakan low risk Ya
Pengawet benzoat, pemanis buatan
air 20 Gula Pasir 20 Kayu Manis 7
pengawet benzoat 3
Sirup Jambu
Jambu batu 60
Pemasakan high risk Ya
Pengawet benzoat, pemanis
(siklamat/ sakarin), essence
air 15 gula pasir 22 pengawet benzoat 3
Sirup rosella
Bunga rosella 60
Perebusan high risk Ya
Pengawet benzoat, pemanis buatan
(sakarin/ siklamat)
Air 15 gula pasir 22 pengawet benzoat 3
9 Sayur dan hasil
olahannya
Keripik Jamur
Jamur (Tiram, Merang, dll)
75
Penggorengan low risk Ya MSG Tepung
Bumbu 5
Telur 10 Minyak 10
Keripik Bayam
Daun Bayam 80
Pemasakan low risk Ya
MSG Minyak Goreng 10
53
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
Garam 5 Bumbu-bumbu 5
Keripik Jamur
Jamur tiram 40
penggorengan low risk Ya
MSG
Tepung beras 30
minyak goreng 10
Telur 5 garam 5 bumbu-bumbu 10
10 Buah dan hasil
olahnya Dodol Buah
Buah-buahan 60
Pencampuran low risk Ya
Pengawet/ pewarna tekstil Gula Pasir 30
BTP 10
Kalua Jeruk/Pepaya
Kulit Jeruk/Pepaya
65 Pengeringa
n low risk Ya Pewarna
tekstil, pengawet Gula Pasir 30
Pewarna 5
Keripik Buah
Buah-buahan 90
Penggorengan low risk Ya - Minyak
Goreng 5
Bumbu-bumbu 5
Manisan Buah-buahan
Buah-buahan 80
Pengeringan low risk Ya
Pemanis buatan(sakarin
/ siklamat), pengawet, pewarna tekstil
(rhodamin/ metanil yellow
Gula Pasir 10 Pemanis 5 Pengawet 2
Pewarna 3
Sale Pisang
Pisang 80
Penggorengan low risk Ya -
Tepung Terigu 15
Minyak Goreng 5
Wajit Buah-buahan
Buah-buahan 60
Pencampuran low risk Ya
Pengawet (benzoat), Pewarna tekstil
(rhodamin, metanil
Gula Pasir 30
Essence 10
54
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
yellow,) essence
Dodol jambu / sirsak
Jambu biji/ sirsak 40
Pencampuran low risk Ya
Pengawet
Gula Pasir 10 tepung beras 25
Garam 5 santan kelapa 10
bumbu-bumbu 10
Dodol mangga/ dodol pisang
Mangga / pisang 30
Pencampuran high risk Ya Pengawet
benzoat, pewarna tekstil,
pemanis buatan
Gula Pasir 20 tepung beras 25
Garam 5 santan kelapa 10
bumbu-bumbu 10
Keripik nangka
Nangka 75
Penggorengan low risk Ya
-
Minyak goreng 10
Garam 5 Gula Pasir 5 bumbu-bumbu 5
Keripik Pisang
Pisang 80
Penggorengan low risk Ya
-
Minyak Goreng 10
Garam 5 Bumbu-bumbu 5
Keripik salak
Salak 75
Penggorengan low risk Ya
-
minyak goreng 10
garam 5 gula pasir 5 bumbu-bumbu 5
11 Biji-bijian dan umbi-
Abon Oncom Oncom 80 Penggoren
gan low risk Ya -
55
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
umbian Gula Merah 10
Bawang Merah 5
Bumbu-bumbu 5
Kacang Telur/Kacang Bandung/Sukro
Kacang Tanah 50
Penggorengan low risk Ya MSG
Tepung Terigu 30
Gula Pasir 5 Telur 5 Margarin 5 Garam 3 Bumbu-Bumbu 2
Keripik umbi-umbian
Umbi-umbian 85
Penggorengan low risk Ya MSG Minyak
Goreng 5
Bumbu-bumbu 5
Opak singkong/Cimpring
Singkong 75
Pengeringan low risk Ya MSG
Tepung Kanji 15
Garam 5 Bumbu-bumbu 5
Tahu Bulat
Kacang Kedelai 85
Koagulasi high risk Ya Formalin, boraks Garam 5
Bumbu-bumbu 10
Tahu Kuning
Kacang Kedelai 90
Koagulasi high risk Ya
Metanil yellow,
formalin, boraks
Kunyit 5 Garam 5
Tahu Putih
Kacang Kedelai 95
Koagulasi high risk Ya Formalin, boraks, pemutih Garam 5
Tempe Kacang Kedelai 95
Fermentasi high risk Ya - Ragi 5
Tempe Kacang kedele 100 Fermentasi high risk Ya -
56
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
Comet Bawang
Singkong 85
Penggorengan MSG
Garam 5 Minyak Goreng 5
Bumbu-bumbu 5
Kue Teng-teng
Beras 70 Pencetakan low risk Ya
Pewarna tekstil
(rhodamin) Gula Pasir 30
Peuyeum Ketan
Ketan 95 Fermentasi high risk Ya
Pengawet, pewarna tekstil Ragi 5
Rengginang
Ketan 75
Pengeringan low risk Ya
Pewarna tekstil
(rhodamin), MSG
Santan 15 Garam 5 Bumbu-bumbu 5
Rengginang Oyek
Singkong 75
Pengeringan low risk Ya
Pewarna tekstil
(rhodamin), MSG
Santan 15 Garam 5 Bumbu-bumbu 5
Noga Kacang
Kacang Tanah 80
low risk Ya - Gula Pasir 20
Emping jagung
Jagung 60
Pengeringan low risk Ya
MSG
Minyak goreng 10
air 5 garam 10 bumbu-bumbu 15
Emping melinjo
Melinjo 50
Pengeringan low risk Ya
MSG
tepung tapioka 25
minyak goreng 10
Garam 5 Bumbu-bumbu 10
Kecap (dengan sedikit kedele)
Gula merah 70
Fermentasi low risk Ya
Pengawet benzoat
Kedele 20 Air 10 Garam 5
57
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
Bumbu-bumbu 12
Pengawet benzoat 3
Keripik Singkong
Singkong 80
Penggorengan low risk Ya
MSG
Minyak Goreng 10
Garam 5 bumbu-bumbu 5
Oncom goreng
Oncom 70
Penggorengan high risk ya
MSG
gula merah 10
garam 5 bumbu-bumbu 15
Opak Ketan
Beras Ketan 60
Penggorengan low risk Ya
-
Garam 10 Kelapa 10 Air 10 bumbu-bumbu 10
Rengginang
Beras Ketan 60
Pengeringan low risk Ya
Pewarna tekstil
(rhodamin b), MSG
Minyak goreng 10
Terasi 10 Garam 5 Air 5 bumbu-bumbu 10
Tahu
Kacang kedelai 70
Koagulasi high risk Ya
Formalin, boraks, tawas,
pewarna tekstil
(metanil yellow)/ pemutih
Air 17 Tawas 3 bumbu-bumbu 10
Tempe
Kacang kedelai 70
Koagulasi high risk Ya
Tawas
Air 17 Tawas 3 bumbu-bumbu 10
58
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
Tofu
telur
koagulasi high risk Ya Pengawet kedelai air bumbu dapur
Opak Ketan
Ketan 70 Pengukusa
n & Pengeringa
n
low risk Ya - Santan 15 Garam 5 Bumbu-bumbu 10
Dodol Kacang
Kacang Hijau 60
Pencampuran low risk Ya Pengawet
benzoat gula pasir 30 BTP 10
Dodol Kentang
Kentang 60 Pencampur
an low risk Ya Pengawet benzoat Gula Pasir 30
BTP 10
Kue Satu Kacang Hijau 80 Pengeringa
n low risk Ya - Gula Putih 20
12 bumbu Bumbu-bumbu kering
Rempah-rempah 100 Pengeringa
n low risk Ya -
Kecap
Kedelai 20
Fermentasi low risk Ya Pengawet benzoat
Gula Merah 40
Air 20 Bumbu-bumbu 5
BTP 5
Sambal/saus Bawang
Bawang Putih 20
Pasteurisasi low risk Ya
Rhodamin b, pemanis, pengawet benzoat,
pengental
Cabe Rawit 20
Gula Pasir 20 Pewarna 5 Pemanis 5 Pengawet 5 Pengental (Bekatul/Ubi/Labu)
25
Terasi Bibit Terasi 25 Pemangga
ngan low risk Ya Pewarna Bekatul 50
59
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
Pewarna 5 Garam 10 Gula Pasir 10
13 kopi, coklat, teh
Coklat
Coklat 80
Pencampuran dan
Pencetakan low risk Ya
Pewarna tekstil
(metanil yellow,
rhodamin)
Susu 10 Tepung Terigu 5
Isi Coklat (Selai, Kacang, Kismis, dll)
5
Teh Bunga Rosella
Bunga Rosella 100 Pengeringa
n low risk Ya -
Teh Hijau Kering Daun Teh 100 Pengeringa
n low risk Ya -
14 Jem dan sejenisnya
Agar Kering
Agar-agar 65
Pengeringan low risk Ya
Pewarna tekstil, perasa
buatan/ essence
Gula Pasir 30 Pewarna 2 Penambah Rasa 3
jelly Puding
Gula pasir
Pencampuran high risk Ya
Potassium benzoat, pewarna
tekstil, perasa buatan/ essence
tepung jelly
potassium benzoat
pewarna perasa garam
Cincau
Daun cingcau
Pencampuran high risk Ya
Pemanis buatan/ gula
biang, pewarna tekstil
air gula putih daun pandan
vanili 15 tidak
dikeahui Antanan Serbuk
Daun Antanan 100 Pengeringa
n low risk Ya -
Nata de aloe
Lidah Buaya 60
Fermentasi low risk Ya
Penambah cita rasa/ perasa,
pemanis buatan,
Gula Pasir 10 Sirup 5
60
No Jenis Pangan
Nama Pangan
Komposisi Teknologi
Proses Kategori Produk IRTP Potensi
Bahaya Bahan Σ
dlm %
Air 20 pengawet benzoat Perasa 5
Kerupuk Mie
Mie Golong 85
Penggorengan low risk Ya
Pewarna tekstil
(metanil yellow), formalin,
MSG
Minyak Goreng 5
Bumbu-bumbu 5
BTP 5
61
Lampiran 5. Lampiran Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang pedoman pemberian sertifikat produksi pangan industri rumah tangga
JENIS PANGAN PRODUKSI IRTP YANG DIIZINKAN UNTUK MEMPEROLEH SPP-IRT
I. HASIL OLAHAN DAGING KERING 1. Abon Daging 2. Dendeng Daging 3. Paru Goreng Kering 4. Kerupuk Kulit 5. Rendang Daging / Paru
II. HASIL OLAHAN IKAN KERING 1. Abon 2. Cumi Kering 3. Ikan Asin 4. Ikan Asap / Ikan Salai / Ikan Kayu 5. Kerupuk / Kemplang / Amplang Ikan 6. Udang Kering (Ebi) 7. Pasta Ikan 8. Petis 9. Terasi 10. Empek-empek kering 11. Ikan goreng 12. Dendeng Ikan 13. Rendang Ikan / Belut 14. Serundeng Ikan 15. Bekicot Olahan 16. Presto Ikan
III. HASIL OLAHAN UNGGAS KERING
1. Abon unggas 2. Usus Goreng 3. Ceker Goreng 4. Kulit unggas Goreng 5. Dendeng 6. Telur Asin 7. Presto Unggas 8. Rendang Telur
IV. SAYUR ASIN DAN SAYUR KERING
1. Acar 2. Asinan/ Manisan Sayur 3. Jamur Asin / Kering 4. Sayur Asin Kering 5. Sayur Kering 6. Keripik / Criping Sayur 7. Emping Melinjo / Labu 8. Manisan Rumput Laut
V. HASIL OLAHAN KELAPA
1. Kelapa Parut Kering 2. Nata de Coco 3. Geplak
62
VI. TEPUNG DAN HASIL OLAHNYA 1. Bihun 2. Biskuit 3. Bagelen / Bagelan 4. Dodol / Jenang / Galamai 5. Kerupuk 6. Kue Brem 7. Kue Kering 8. Makaroni 9. Mie Kering 10. Tapioka 11. Tepung Aren 12. Tepung Arcis 13. Tepung Beras / Ketan 14. Tepung Gandum (bukan tepung terigu yang wajib SNI) 15. Tepung Hunkwee 16. Tepung Kedele 17. Tepung Kelapa 18. Tepung Kentang 19. Tepung Pisang 20. Tepung Sagu 21. Tepung Sukun 22. Roti / Bluder 23. Rempeyek / Peyek 24. Sohun 25. Bakpao 26. Bakpia / Pia 27. Bika Ambon 28. Cakue 29. Cendol 30. Cimol 31. Cone / Wadah Es Krim yang dapat dimakan (edible) 32. Kulit Lumpia / Pangsit 33. Moci 34. Molen / Bolen 35. Mutiara / Pacar Cina 36. Pilus 37. Yangko
VII. MINYAK DAN LEMAK
1. Minyak Jagung 2. Minyak Kacang 3. Minyak Kedele 4. Minyak Kelapa 5. Minyak Bunga Matahari 6. Minyak Zaitun 7. Minyak Sawit 8. Minyak/ lemak ayam 9. Minyak/ lemak sapi
VIII. SELAI, JELI DAN SEJENISNYA
1. Jem / Selai 2. Jeli buah 3. Jeli agar 4. Jeli bubuk rasa buah 5. Jeli Rumput Laut 6. Jeli Lidah Buaya 7. Marmalad
63
Lanjutan… 8. Serikaya / Srikaya / Kayakaya 9. Cincau
IX. GULA, KEMBANG GULA DAN MADU
1. Gula Aren 2. Gula Kelapa 3. Gula Pasir (bukan gula pasir yang dirafinasi) 4. Gula Semut 5. Kembang Gula / Permen 6. Kembang Gula / Permen Susu 7. Kembang Gula / Permen Karet 8. Kembang Gula Coklat 9. Madu 10. Sirop 11. Manisan / Aromanis (buah / rimpang) 12. Enting-enting / Kipang Kacang / Ampyang / Noga
X. KOPI, TEH, COKLAT KERING ATAU CAMPURANNYA
1. Kopi Biji Kering / Bubuk 2. Teh / Teh Hijau 3. Teh Rosela 4. Coklat (tidak termasuk coklat bubuk) 5. Kopi Campur
XI. BUMBU
1. Aneka Bumbu Masakan 2. Bumbu Cabe 3. Bawang Goreng 4. Cuka makan seperti cuka buah apel/ anggur, dll 5. Kecap Asin / Manis 6. Saos Cabe 7. Saos Tomat 8. Saos Ikan 9. Saos Kacang 10. Tauco 11. Sambal 12. Bumbu Kacang / Pecel
XII. REMPAH-REMPAH
1. Bawang Merah Kering / Pasta / Bubuk 2. Bawang Putih Kering / Pasta / Bubuk 3. Cabe Kering / Pasta / Bubuk 4. Cengkeh Kering / Pasta / Bubuk 5. Jahe Kering / Pasta / Bubuk 6. Jintan 7. Kayu Manis 8. Kapulaga 9. Ketumbar 10. Kunyit Kering / Pasta / Bubuk 11. Lada Putih / Hitam 12. Pala / Bunga Pala 13. Wijen
XIII. MINUMAN RINGAN, MINUMAN SERBUK
1. Minuman Beraroma 2. Minuman Gula Asam 3. Minuman Buah
64
Lanjutan… 4. Minuman Sayur 5. Minuman Kacang Kedele / Sari Kedele 6. Minuman Kopi / Campur 7. Minuman Kunyit Asam 8. Minuman Lidah Buaya 9. Minuman Rumput Laut 10. Minuman Sari Madu 11. Minuman Sari Tebu 12. Minuman Sari Jagung 13. Minuman Sari Bekatul 14. Minuman Sari Kurma 15. Minuman Teh 16. Minuman Bandrex 17. Limun 18. Minuman Jeli 19. Minuman Rempah 20. Minuman Rosela 21. Cincau / Minuman Cincau 22. Minuman Sari Tape 23. Minuman Serbuk 24. Minuman Bubuk Kedele
XIV. HASIL OLAHAN BUAH
1. Keripik / Criping Buah (Sukun/Salak/Nangka/Mangga/ Pisang, dll) 2. Buah Kering 3. Lempok Buah (Durian, dll) 4. Asinan Buah 5. Buah Kering 6. Manisan Buah 7. Buah Dalam Sirop 8. Pisang Sale
XV. HASIL OLAHAN BIJI-BIJIAN DAN UMBI
1. Ketan 2. Jawadah / Jadah / Uli 3. Keripik Kentang 4. Keripik kentang Balado 5. Keripik Ketela / Singkong 6. Keripik / Tortilla Jagung 7. Keripik Talas 8. Intip 9. Keripik Ubi Jalar 10. Rangginang / Batiah 11. Bekatul 12. Bingka Ubi 13. Carang mas / Kue Keremes Ubi Jalar / Ceker Ayam 14. Jipang / Kipang Beras Ketan 15. Berondong Jagung 16. Berondong Beras Ketan 17. Marning Jagung 18. Emping Jagung / Singkong 19. Keripik / Criping Umbi-umbian 20. Getuk Goreng 21. Kacang Atom / Bawang / Goreng / Kulit / Mete / Telur / Tolo / Koro /Kapri / Salut
/Tumbuk 22. Kwaci 23. Opak / Gropak singkong / ubi / beras
65
Lanjutan… 24. Singkong Presto 25. Lanting 26. Abon Oncom 27. Tape Ketan 28. Tape Singkong 29. Tiwul 30. Wingko Babat 31. Wajik / Wajit ketan 32. Wajik / Wajit buah
XVI. LAIN-LAIN ES
1. Es Stik / Es Lilin 2. Es Goyang / Es Loly 3. Es Puter 4. Es Mambo 5. Es hunkue