Post on 02-May-2022
52
TUTURAN DEKLARATIF DAN INTEROGATIF BAHASA INDONESIA
OLEH MAHASISWA BIPA UNIVERSITAS INDONESIA
(KAJIAN PROSODI DENGAN PENDEKATAN FONETIK EKSPERIMENTAL)
DECLARATION AND INTEROGATIVE SPEAKING IN INDONESIAN LANGUAGE BY
INDONESIA UNIVERSITY BIPA STUDENTS
(PROSODIC STUDIES WITH EXPERIMENTAL PHONETIC APPROACH)
Dendi Wijaya
Kantor Bahasa Provinsi Bengkulu
Kompleks LPMP Provinsi Bengkulu,
Jalan Zainul Arifin No. 2, Timur Indah, Singaran Pati, Bengkulu, Indonesia
Pos-el: dendi0587@gmail.com
Naskah diterima: 20 Januari 2021; direvisi: 8 Juni 2021; disetujui: 23 Juli 2021
Abstract
This research is a qualitative descriptive study with a focus on prosody studies through an experimental phonetic
approach. This study aims to describe the prosody, in this case the melodic structure and temporal structure
pronounced by Japanese and Australian speakers (students of BIPA Program at Universitas Indonesia) when
speaking in Indonesian. The object of this research is declarative and interrogative utterances spoken by students
of the Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) at the Faculty of Humanities, Universitas Indonesia. In this
study, the researcher describes what the melodic structure (tone and pressure) and temporal structure look like in
declarative and interrogative speech by Japanese and Australian speakers. The results of this study indicate that
there are differences in melodic structure and temporal structure between declarative and interrogative speech
by Australian and Japanese speakers. In terms of intonation, Japanese speakers are closer to the intonation
pattern of Indonesian declarative sentences, compared to speakers from Australia. Meanwhile, the intonation in
speaking interrogative sentences, both speakers from Japan and from Australia has not been able to approach the
intonation pattern of Indonesian interrogative sentences. In terms of duration, it can be said that Australian
speakers have a longer duration when speaking interrogative sentences compared to speakers from Japan.
Keywords: speech, declarative, interrogative, prosody, experimental phonetics
Abstrak
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan fokus kajian prosodi melalui pendekatan fonetik
eksperimental. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan prosodi dalam hal ini struktur melodik dan struktur
temporal yang dilafalkan oleh penutur Jepang dan Australia ketika berbicara dalam bahasa Indonesia serta
menemukan formula pengajaran pengucapan bahasa Indonesia untuk penutur asing. Objek dalam penelitian ini
adalah ujaran deklaratif dan interogatif yang dituturkan oleh mahasiswa program Bahasa Indonesia bagi Penutur
Asing (BIPA) di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Dalam kajian ini, peneliti, mendeskripsikan seperti
apa struktur melodik (nada dan tekanan) dan struktur temporal dalam ujaran deklaratif dan interogatif oleh penutur
Jepang dan Australia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan struktur melodik dan
struktur temporal antara ujaran deklaratif dan interogatif oleh penutur Asutralia dan Jepang. Penutur Jepang dalam
hal intonasi lebih mendekati dengan pola intonasi kalimat deklaratif bahasa Indonesia, dibandingkan dengan
penutur dari Australia. Sementara itu, intonasi dalam menuturkan kalimat interogatif, baik penutur dari Jepang
maupun dari Australia belum bisa mendekati pola intonasi kalimat interogatif bahasa Indonesia. Dalam hal durasi,
dapat dikatakan bahwa penutur Australia memiliki durasi yang lebih panjang ketika menuturkan kalimat
interogatif dibandingkan dengan penutur dari Jepang.
Kata kunci: tuturan, deklaratif, interogatif, prosodi, fonetik eksperimental
PENDAHULUAN
Bahasa Indonesia saat ini menjadi salah
satu bahasa yang cukup banyak dipelajari oleh
negara lain terutama negara-negara di kawasan
Asia Pasifik, seperti: Jepang, China, Korea,
Thailand, dan Australia. Berbagai alasan
Dendi Wijaya: Tuturan Deklaratif dan Interogatif Bahasa Indonesia
oleh Mahasiswa BIPA Universitas Indonesia
53
mengapa bahasa Indonesia banyak dipelajari.
Perekonomian Indonesia yang diprediksi akan
menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia
menjadi salah satu faktor banyaknya pemelajar
asing dalam mempelajari bahasa Indonesia.
Tidak hanya itu, alasan sumber daya alam dan
aspek wisata juga menjadi daya tarik utama
dalam mengundang minat para wisatawan yang
tertarik untuk mengeksplorasi keindahan alam
Indonesia. Oleh karena itu, tidak heran jika
berbagai perguruan tinggi di negara-negara
kawasan Asia, Eropa, dan Australia membuka
program pembelajaran bahasa Indonesia.
Bahkan, pemerintah Indonesia juga turun tangan
dalam membuka peluang pemelajar asing untuk
datang ke Indoneisa melalui program dalam
hubungan diplomatik antarnegara. Hal ini tentu
menjadi cerminan positif bagi pemerintah
Indonesia dalam menginternasionalisasikan
bahasa Indonesia
Salah satu aspek penting yang perlu
diperhatikan adalah bagaimana tuturan bahasa
Indonesia itu dapat diadaptasi oleh penutur asing
meskipun dalam kenyataannya aksen atau ciri
khas yang dibawa oleh bahasa ibu mereka tetap
melekat. Oleh karena itu, kajian fonetik
eksperimental sangatlah penting dilakukan untuk
melihat bagaimana penutur asing bertutur dalam
bahasa Indonesia. Kajian ini berkembang pada
1940-an saat ditemukannya spektograf.
Identifikasi dan analisis terhadap objek bunyi
yang dikaji didasarkan sepenuhnya pada
kemampuan indra pendengaran, penglihatan, dan
kesadaran akan aktivitas organ tutur ketika
sebuah bunyi diujarkan.
Hayward, (2013, hlm.1) menyatakan
bahwa fonetik eksperimental meliputi hal-hal
yang dikaji tentang tuturan melalui alat atau
instrumen yang bertujuan untuk menggambarkan
hal-hal dalam tuturan tersebut, sebagai contoh,
sebuah tape recorder yang dihubungkan dengan
komputer dan dapat digunakan dalam analisis
akustik. Terkadang, fonetik eksperimental
seringkali disebut fonetik instrumental karena
penggunaan instrumen dalam analisisnya. Dalam
kajian ini penulis mencoba untuk mengivestigasi
ciri prosodi tuturan bahasa Indonesia oleh
pemelajar BIPA berkewarganegaraan Jepang
dan Australia di Universitas Indonesia yang
sedang menempuh pendidikan di kelas BIPA .
Informan yang terlibat dalam kajian ini
berjumlah dua orang yang berasal dari Jepang
dan Australia.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis
merumuskan dua batasan masalah yaitu,
(a) Struktur melodik yang meliputi nada dan
tekanan seperti apa yang diucapkan penutur
Jepang dan Australia ketika melafalkan bahasa
Indonesia? (b) Struktur temporal seperti apa
yang diucapkan penutur Jepang dan Australia
ketika menuturkan kalimat deklaratif dan
interogatif dalam bahasa Indonesia? Penelitian
ini bertujuan untuk (a) mengkaji struktur
melodik penutur Jepang dan Australia ketika
berbicara bahasa Indonesia, (b) mengkaji
struktur temporal penutur Jepang dan Australia
ketika menuturkan kalimat deklaratif dan
interogatif dalam bahasa Indonesia.
Multilingual, Vol. 20, No. 1, Juni 2021
54
Penelitian ini merupakan penelitian dalam
bidang linguistik, khususnya analisis prosodi
dengan pendekatan fonetik eksperimental.
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini akan
mendeskripsikan prosodi yang dilafalkan oleh
penutur Jepang dan Australia ketika berbicara
dalam bahasa Indonesia serta menemukan
formula pengajaran pengucapan bahasa
Indonesia untuk penutur asing. Dengan
demikian, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi
linguistik pada umumnya dan kajian prosodi
pada khususnya termasuk ancangan dalam
pengajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing
serta menjadi rujukan bagi penelitian lebih lanjut
terkait dengan permasalahan dan objek serupa.
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
sumbangan dalam tata bahasa Indonesia.
LANDASAN TEORI
Prosodi
Yustanto dalam (Gunawan, 2019, hlm. 144)
prosodi adalah unsur suprasegmental yang
berupa nada, tempo, dan jeda yang terdapat
dalam sebuah ujaran. Sementara itu, Laksman
dan Hauven dalam (Goedemans & van Zanten,
2007) mengatakan bahwa prosodi merupakan
seperangkat properti melodi, temporal, dan
dinamis bahasa dan tuturan. Hauven dan
Laksman juga menyatakan bahwa komponen
fonetik prosodi, antara lain variasi nada yang
ditentukan oleh tingkat pengulangan dari getaran
pita suara, variasi dalam kenyaringan yang
ditentukan oleh intensitas suara dan
keseimbangan spektral karena perbedaan dalam
vokal, variasi dalam kualitas (timbre) karena
artikulasi presisi, serta variasi waktu karena
percepatan dan perlambatan. Perbedaan
linguistik yang bergantung pada parameter ini,
antara lain, nada, intonasi, aksen, stress, dan
irama.
Struktur Melodik
Sugiyono, (2007, hlm. 1) menyatakan bagaimana
teknik dan komponen dalam penelitian fonetik.
Beberapa di antara teori yang ia kemukana di
dalam bukunya antara lain, struktur melodik dan
struktur temporal. Struktur melodik menurut
Sugiyono adalah sebuah manifestasi akustik dari
intonasi. Maksudnya adalah bahwa gelombang
bunyi kompleks sebagai bagian komponen dari
intonasi memiliki frekuensi fundamental dan
frekuensi harmoni-harmoninya dengan ukuran
satuan hertz atau semiton. Satuan-satuan ini
kemudian diistilahkan dengan alir nada atau
pitch movement yang dapat diamati ciri
akustiknya, seperti arah perubahan nada, ukuran
nada, derajat perubahan nada, bahkan posisinya
dalam silabel. Dengan kata lain, intonasi itu
sendiri adalah alir nada yang memiliki nada-nada
fungsional yang tidak dapat disederhanakan atau
dihilangkan.
Struktur melodik itu sendiri bisa
dirumuskan dalam satuan terkecil alirnada.
Seperti yang disampaikan oleh ‘t Hart, Collier,
dan Cohen (1990) dalam Sugiyono, (2003, hlm.
29) yang menyebutkan bahwa persepsi
pendengar peka terhadap perubahan F0 yang
Dendi Wijaya: Tuturan Deklaratif dan Interogatif Bahasa Indonesia
oleh Mahasiswa BIPA Universitas Indonesia
55
cukup terbatas dan alirnada menjadi satuan
terkecil dalam analisis perseptual, sehingga
perlunya penyederhanaan variasi nada dan
perumusan kontur intonasi menjadi gabuangan
alirnada. Walaupun demikian, variabel deskripsi
intonasi yang baik memiliki ciri akustik yang
meliputi: nada dasar, julat nada, nada final,
hingga puncak nada.
Struktur Temporal
Struktur temporal merupakan seperangkat
kaidah dalam melihat durasi bunyi dan jeda suatu
tuturan di dalam sebuah bahasa. Berbeda halnya
dengan ritme, struktur temporal merupakan pola
tekanan dalam suatu tuturan yang ditonjolkan.
Dengan kata lain, penekanan tersebut dapat
melalui aspek nada, durasi, serta intensitas.
Halim, (1981, hlm. 35) menyatakan bahwa
ketiga hal tersebut saling berkaitan secara
kompleks. Akan tetapi, aspek intensitas
seringkali tidak dilibatkan, sehingga apa yang
disebut dengan ritme tidak lain adalah struktur
temporal itu sendiri. Senada dengan pandangan
di atas, kajian yang pernah dilakukan oleh
Halim, (1981, hlm. 35) tentang tekanan dalam
bahasa Indonesia, menyatakan bahwa intensitas
tidak memberikan pengaruh pada tekanan.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode deskriptif analisis. Metode ini
memberikan gambaran data secara sistematis
dan akurat. Pengambilan data dilakukan dengan
menitikberatkan pada korpus berupa kalimat
deklaratif dan interogatif yang dituturkan oleh
pemelajar Jepang dan Australia. Kalimat yang
diucapkan merupakan kalimat sederhana yang
sama yang dituturkan oleh pemelajar dengan
latar belakang bahasa dan budaya yang berbeda
(Jepang dan Australia). Dalam pengambilan
data, dilakukan perekaman menggunakan Sony
IC Recorder. Selanjutnya. Data dianalisis
dengan menggunakan program Praat untuk
melihat nada, tekanan, intonasi, dan jeda dari
kalimat-kalimat bahasa Indonesia yang
diucapkan oleh penutur Jepang dan Australia
tersebut. Sumber data diambil dari mahasiswa
Jepang dan Australia yang sedang belajar bahasa
Indonesia di Universitas Indonesia.
Penganalisisan data dilakukan dalam beberapa
tahap. Tahap pertama, memindahkan data
rekaman dalam format digital sound wave, lalu
disegmentasi menjadi beberapa segmen data.
Setelah selesai mengolah data, dilakukan
pengukuran intensitas, durasi, dan frekuensi.
Pengukuran ciri akustik tersebut dilakukan
dengan mengadaptasi teori IPO (Instituute voor
Perceptie Onderzoek).
Beberapa penelitian yang sebelumnya
dilakkan berkiatan dengan topik struktur
melodik di antaranya kajian tentang struktur
melodik bahasa Indonesia oleh Sugiyono, (2007,
hlm. 1) dengan melakukan dua eksperimen yaitu
eksperimen produktif dan perseptif. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa teori
hipo-hiper Lindbom menjelaskan bahwa
hubungan antara produksi ujaran dan persepsi
dalam komunikasi, tidak sepenuhnya dapat
Multilingual, Vol. 20, No. 1, Juni 2021
56
diterima.
Kajian prosodi dengan pendekatan fonetik
eksperimental juga pernah dilakukan oleh Yani
Suryani & Nani Darmayanti, (2012, hlm.1) yang
melihat kemahiran penutur Korea dalam
berbahasa Indonesia. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa struktur melodik penutur
Korea lebih banyak tekanannya dibanding
penutur Indonesia, sedangkan struktur temporal
durasi pengucapan per suku kata lebih lama
dibandingkan penutur Indonesia. Penelitian
terkait kontras intonasi kalimat dekaratif dan
interogatif dalam bahasa Bima pernah dilakukan
oleh Yanita, dan Siti Hana Sekarwati, (2015,
hlm. 151) yang menunjukkan adanya perbedaan
intonasi pada modus deklaratif dan interogatif
dalam bahasa Bima. Sementara itu, Irawan,
(2011, hlm. 81) melakukan penelitian kontras
deklaratif dan interogatif dalam bahasa Sunda.
Dari beberapa penelitian yang pernah
dilakukan tersebut umumnya merupakan kajian
fonetik eksperimental dengan objek penelitian
yang berbeda. Akan tetapi, penelitian dengan dua
objek yang berasal dari subjek dari negara yang
berbeda berbeda belum pernah dilakukan.
PEMBAHASAN
Struktur Melodik Kalimat Deklaratif dan
Interogatif
Pengukuran dan pendeskripsian tuturan
dilakukan dengan mengadopsi tahapan dalam
ancangan IPO (Instituut voor Perceptie
Onderzook). IPO adalah sebuah badan kerja
sama yang didirikan oleh Eindhoven University
of Technology dan Philips Research
Laboratories pada 1957 di Endhoven, Belanda.
Pada 1959, IPO sudah mulai melakukan
penelitian fonetik. Namun, baru pada tahun
1961, IPO mulai sedikit demi sedikit mulai
melakukan penelitian terhadap persepsi nada
dalam tuturan dalam rangka memadukan
aktivitas fonetik dengan institusi psikoakustik
yang telah ada di badan itu. Kini ancangan IPO,
ada yang menyebutnya teori IPO, berkembang
pesat di Eropa terutama dalam kajian fonetik
eksperimental.
Ancangan inilah yang kemudian dikenal
luas sebagai the dutch school of intonation.
Seluruh proses dalam IPO dimulai dari tuturan
kemudian dilakukan pengukuran frekuensi
fundamental (F0) untuk memperoleh kurva
tuturan. Misalnya, pada kalimat yang diambil
menjadi data berikut.
“Ali suka main bola.”
Gambar 1. Segmentasi kalimat deklaratif
“Di mana kamu membeli bola itu?”
Gambar 2. Segmentasi kalimat interogatif
Dendi Wijaya: Tuturan Deklaratif dan Interogatif Bahasa Indonesia
oleh Mahasiswa BIPA Universitas Indonesia
57
Berpatokan pada kesamaan perseptual
(perceptual equity)–baik persepsi peneliti
maupun penutur- kurva F0 hasil pengukuran itu
disederhanakan untuk membuat salinan serupa
(close copy). Pada tahap ini, yang dilakukan
sebenarnya adalah penyederhanaan atau stilisasi
dengan menghilangkan detail F0 yang
sebenarnya tidak relevan. Dengan demikian,
salinan-serupa akan memuat semua alirnada
yang relevan saja. Hal itu tampak pada gambar
di bawah ini. Berikut adalah gelombang bunyi
yang dituturkan oleh penutur asing
berkebangsaan Australia.
Gambar 3. Gelombang suara kalimat deklaratif
oleh penutur Australia
Gambar 4. Gelombang suara kalimat interogatif
oleh penutur Australia
Sementara gelombang bunyi di bawah ini
merupakan gelombang bunyi yang dituturkan
oleh penutur asing berkebangsaan Jepang.
Gambar 5. Gelombang suara kalimat deklaratif
oleh penutur Jepang
Gambar 6. Gelombang suara kalimat interogatif
oleh penutur Jepang
Selanjutnya dari gelombang bunyi yang
sudah disegmentasi maka akan dilihat titik-titik
nada dengan frekuensi fundamental yang belum
disederhanakan dan frekuensi fundamental yang
sudah disederhanakan. Penyederhanaan
frekuensi fundamental dengan menghilangkan
titik-titik nada yang tidak relevan yaitu dengan
menggunakan 2 semiton. Pitch range yang
digunakan adalah 50 hingga 400 Hz. Dari sana,
diperoleh F0 yang hanya memuat alirnada yang
relevan. Setelah itu, alirnada tersebut diubah
ke dalam pitch tier untuk mengetahui titik-titik
nada dan struktur melodik tuturan tersebut.
Gambar 7. Titik nada yang belum
disederhanakan untuk kalimat deklaratif oleh
penutur Australia
Gambar 8. Titik nada setelah distilisasi untuk
kalimat deklaratif oleh penutur Australia
Gambar 9. Titik nada yang belum
disederhanakan untuk kalimat interogatif oleh
penutur Australia
Multilingual, Vol. 20, No. 1, Juni 2021
58
Gambar 10. Titik nada setelah distilisasi untuk
kalimat interogatif oleh penutur Australia
Sementara untuk titik-titik nada baik yang
belum ataupun yang telah disederhanakan untuk
tuturan deklaratif dan interogatif oleh penutur
Jepang dapat dilihat dari gambar berikut.
Gambar 11. Titik nada yang telah
disederhanakan untuk kalimat deklaratif oleh
penutur Jepang
Gambar 12. Titik nada yang belum
disederhanakan untuk kalimat interogatif oleh
penutur Jepang
Gambar 13. Titik nada yang telah
disederhanakan untuk kalimat interogatif oleh
penutur Jepang
Setelah dilakukan penyederhanaan
frekuensi fundamental dengan menggunakan 2
semiton sehingga menghasilkan titik-titik nada
yang relevan/fungsional saja, maka akan
didapatkan informasi titik-titik nada berupa nilai
frekuensi di masing-masing titik nada dengan
waktu yang sesuai dengan titik nada dalam
tuturan. Perbandingan frekuensi fundamental
dari kedua penutur asing yang berbeda
kebangsaan secara lengkap dapat dilihat dalam
pitch tier sebagai berikut.
Untuk tuturan deklaratif “Ali suka main
bola” maka diperoleh informasi sebagai berikut
Penutur Australia
File type = "ooTextFile"
Object class = "PitchTier"
xmin = 0
xmax = 2.0926757369614513
points: size = 4
points [1]:
number = 0.3513378684807256
value = 133.6339341986788
points [2]:
number = 0.8313378684807257
value = 151.9817981067193
points [3]:
number = 1.2013378684807257
value = 118.65637839400587
points [4]:
number = 1.628866745664901
value = 133.87686391602136
Penutur Jepang
File type = "ooTextFile"
Object class = "PitchTier"
xmin = 0
xmax = 1.7753514739229026
points: size = 6
points [1]:
number = 0.2126757369614513
value = 117.32968774104522 points [2]:
number = 0.30267573696145134
value = 138.878038389958
points [3]:
number = 0.42267573696145133
value = 115.85876890202204
points [4]:
number = 0.7726757369614513
Dendi Wijaya: Tuturan Deklaratif dan Interogatif Bahasa Indonesia
oleh Mahasiswa BIPA Universitas Indonesia
59
value = 141.17802474738832
points [5]:
number = 0.8848400714420779
value = 101.28023987630121
points [6]:
number = 1.5311127679383685
value = 91.37005766832306
Informasi di atas menunjukkan bahwa alir
nada dalam tuturan kalimat deklaratif oleh
penutur Australia setelah disederhanakan
menyisakan 4 titik nada. Nada pertama
berfrekuensi 133.634 Hz berposisi pada 0.351
detik. Nada kedua berfrekuensi pada 151.982 Hz
berposisi pada 0.831 detik, nada ketiga
berfrekuensi pada 118.656 Hz beposisi pada
1.201 detik, dan nada keempat berfrekuensi pada
133.877 Hz berposisi pada 1.628 Hz. Sementara
alir nada dalam tuturan deklaratif oleh penutur
Jepang setelah disederhanakan menyisakan 6
titik nada. Titik nada pertama berfrekuensi
117.329 Hz yang berposisis pada 0,212 detik.
Titik nada kedua berfrekuensi 138.88 Hz pada
posisi 0.302 detik. Titik nada ketiga berfrekuensi
115.858 Hz berposisi pada 0.422. titik nada
keempat berfrekuensi 141.178 Hz dan berposisi
di 0.772 detik. Titik nada kelima points
berfrekuensi 101.280 Hz dengan posisi di 0.884
detik. Dan titik nada keenam berfrekuensi 91.370
Hz berposisi di 1.531 detik.
Dari informasi tersebut dapat dikatakan
bahwa pada penutur Australia memiliki
frekuensi awal di 151. 982 Hz dan frekuensi pada
titik nada terakhir adalah 133.877 Hz. Hal ini
menunjukkan adanya kenaikan frekuensi titik
nada dalam alir nada tuturan deklaratif yang
dituturkan oleh penutur dari Australia. Kenaikan
tersebut tidak terlalu signifikan. Sementara itu,
frekuensi awal dan akhir pada kalimat deklaratif
yang dituturkan oleh penutur dari Jepang
menunjukkan adanya penurunan frekuensi yaitu
117.329 Hz di titik nada awal menjadi 91.370 Hz
di titik nada akhir.
Jika merujuk pada pendapat yang
disampaikan oleh Ramlan (1981:12) yang
menyatakan bahwa kalimat deklaratif memiliki
intonasi dengan nada akhir turun, maka dapat
dikatakan bahwa penutur Jepang lebih
mendekati pola intonasi kalimat deklaratif yang
dituturkan oleh penutur asli bahasa Indonesia
sedangkan penutur dari Australia belum terlalu
mendekati pola intonasi kalimat deklaratif yang
dituturkan oleh penutur bahasa Indonesia.
Perbandingan alirnada kedua penutur dapat
dilihat pada diagram berikut ini,
Gambar 14. Perbandingan kontur nada kalimat
deklaratif oleh penutur Australia dan Jepang
Dari grafik di atas alirnada yang berupa
garis lurus merupakan alir nada penutur dari
Australia sementara alir nada dengan garis putus-
putus adalah alir nada tuturan deklaratif oleh
penutur dari Jepang. Jika diperhatikan, ferkeunsi
pada titik nada awal kedua penutur tidak jauh
a li su ka ma in bo la
ali suka main bola
ali suka main bola
Time (s)0 2.093
Time (s)0 2.093
0
500
Fre
qu
ency
(H
z)
Multilingual, Vol. 20, No. 1, Juni 2021
60
berbeda. Peralihan dari suku kata a ke suku kata
li pada penutur Jepang menurun sementara
alirnada penutur Australia tidak. Pada peralihan
suku kata ka ke suku kata ma alirnada kedua
penutur bertemu namun menurun di suku kata
ma untuk penutur Jepang dan suku kata in pada
alirnada penutur Australia.
Sementara informasi perbandingan
frekuensi fundamental untuk tuturan interogatif
“Di mana kamu membeli bola itu?” oleh penutur
Australia dan Jepang adalah sebagai berikut
Penutur Australia
File type = "ooTextFile"
Object class = "PitchTier"
xmin = 0.3465100283822138
xmax = 2.594263307473983
points: size = 6
points [1]:
number = 0.43038548752834466
value = 137.10961497851864
points [2]:
number = 0.8503854875283446
value = 160.12705835688035
points [3]:
number = 0.9503854875283447
value = 139.02864269882056
points [4]:
number = 2.0703854875283447
value = 119.6856012865575
points [5]:
number = 2.1403854875283446
value = 140.70648850369068
points [6]:
number = 2.5103854875283447
value = 118.39235282033808
Penutur Jepang
File type = "ooTextFile"
Object class = "PitchTier"
xmin = 0
xmax = 2.276235827664399
points: size = 6
points [1]:
number = 0.29311791383219943
value = 108.59455007284943
points [2]:
number = 0.4631179138321994
value = 143.4199748161805
points [3]:
number = 0.8331179138321995
value = 105.10581676139255
points [4]:
number = 1.5731179138321993
value = 101.2841649134949
points [5]:
number = 1.7131179138321992
value = 86.31632814847735
points [6]:
number = 1.8931179138321994
value = 93.88677126106278
Dari informasi frekuensi fundamental
tuturan interogatif oleh penutur dari Australia
menunjukkan bahwa alirnada setelah
disederhanakan menyisakan 6 titik nada. Nada
pertama berfrekuensi 137,109 Hz berposisi pada
0,430 detik. Nada kedua berfrekuensi pada
160,127 Hz berposisi pada 0,850 detik, nada
ketiga berfrekuensi pada 139,028 Hz beposisi
pada 0,950 detik, dan nada keempat berfrekuensi
pada 119,686 Hz berposisi pada 2,070 Hz. Untuk
titik nada kelima berfrekuensi pada 140,706 Hz
berposisi pada 2,140 detik, dan nada keenam
berfrekuensi pada 118,392 Hz berposisi pada
2,520 detik.
Sementara itu, frekuensi fundamental
dalam tuturan interogatif oleh penutur dari
Jepang setelah disederhanakan juga menyisakan
6 titik nada. Titik nada pertama berfrekuensi
108.594 Hz yang berposisi pada 0.293. titik nada
kedua berfrekuensi 143.419 Hz pada posisi 0.463
detik. Titik nada ketiga berfrekuensi 105.105 Hz
Dendi Wijaya: Tuturan Deklaratif dan Interogatif Bahasa Indonesia
oleh Mahasiswa BIPA Universitas Indonesia
61
pada posisi 0.833 detik. Titik nada keempat
berfrekuensi 101.284 Hz pada posisi 1.573 detik.
Titik nada kelima berfrekuensi 86.316 Hz
berposisi pada 1.713 Detik. Dan titik nada
terakhir berfrekuensi 93.886 Hz yang berposisi
pada 1.893 detik.
Dengan kata lain, untuk kalimat
interogatif, frekuensi dasar awal dan akhir oleh
penutur Australia menurun, yaitu 137,109 Hz di
titik awal dan 118,392 Hz di titik nada akhir. Hal
yang sama terjadi pada frekuensi dasar tuturan
interogatif oleh penutur dari Jepang dengan
frekuensi titik nada awal 108.594 Hz dan titik
nada akhir pada frekuensi 93.886 Hz. Jika
merujuk pada pernyataan Ramlan (1981) yang
mengatakan bahwa intonasi kalimat interogatif
dalam bahasa indonesia di titik nada akhir yang
naik maka kedua penutur baik penutur dari
Australia maupun Jepang belum dapat dikatakan
mendekati tuturan interogatif bahasa indonesia
karena kedua penutur memiliki intonasi tuturan
dengan nada menurun. Perbandingan alir nada
kedua penutur dapat dilihat pada grafik berikut
ini.
Gambar 15. Perbandingan kontur nada kalimat
interogatif oleh penutur Australia dan Jepang
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa alir
nada tuturan interogatif yang ditutrkan oleh
kedua penutur baik penutur dari Australia
maupun Jepang hampir memiliki kontur nada
yang sama, hanya perbedaannya pada peralihan
suku kata dari suku kata la ke suku kata i. Untuk
penutur Australia, pada suku kata tersebut
mengalami kenaikan pola kontur nada yang
cukup signifikan dibandingkan kontur nada oleh
penutur Jepang.
Struktur Temporal Kalimat Deklaratif
Proses mendeskripsikan ciri temporal,
tidak ditangani oleh IPO. Proses ini dilakukan
dengan cara yang lebih sederhana. Proses
diawali dengan segmentasi tuturan atas segmen-
segmen pembentuk tuturan dengan domain
silabe. Hal itu tampak pada gambar berikut.
Gambar 16. Text grid kalimat deklaratif
Dari gambar di atas dapat diperoleh
informasi bahwa durasi dalam mengucapkan
tuturan “Ali suka main bola” oleh penutur dari
Australia adalah selama 1,1760 detik. Untuk
bunyi [a] pada suku kata a dalam tuturan
diucapkan selama 0,101 detik sementara bunyi
[li] pada suku kata li berdurasi 0,145 detik. Pada
bunyi [su] untuk suku kata su berdurasi 0,179
detik dan bunyi [ka] pada suku kata ka berdurasi
di ma na ka mu mem be li bo la i tu
di mana kamu membeli bola itu
di mana kamu membeli bola itu?
Time (s)0 2.723
Time (s)0.3465 2.594
0
500
Fre
qu
ency
(H
z)
Multilingual, Vol. 20, No. 1, Juni 2021
62
0,122 detik. Selanjutnya kata main terdiri dari
dua suku kata yaitu ma dan in. Bunyi [ma] pada
suku kata ma berdurasi 0,125 detik sementara
bunyi [in] pada suku kata in dituturkan selama
0,185 detik. Kata terakhir dalam kalimat yang
dituturkan adalah kata ‘bola’. Pada kata ‘bola’,
bunyi [bo] memiliki durasi 0,152 detik dan bunyi
[la] pada suku kata la berdurasi 0,167 detik.
Sementara itu, penutur dari Jepang
mengucapkan kalimat deklaratif dalam durasi
1,775351 detik. Untuk bunyi [a] pada suku kata
a dalam tuturan diucapkan selama 0,139 detik
sementara bunyi [li] pada sukukata li berdurasi
0,122 detik. Pada bunyi [su] untuk suku kata su
berdurasi 0,239 detik dan bunyi [ka] pada suku
kata ka berdurasi 0,238 detik. Selanjutnya kata
main terdiri dari dua suku kata yaitu ma dan in.
Bunyi [ma] pada suku kata ma berdurasi 0,165
detik sementara bunyi [in] pada suku kata in
dituturkan selama 0,205. Kata terakhir dalam
kalimat yang dituturkan adalah kata ‘bola’. Pada
kata ‘bola’, bunyi [bo] memiliki durasi 0,124
detik dan bunyi [la] pada suku kata la berdurasi
0,149 detik.
Jika diperhatikan perbandingan keduanya
dari segi temporal maka dapat dikatakan bahwa
penutur dari Jepang memiliki durasi yang lebih
panjang dibandingkan dengan penutur dari
Australia dalam menuturkan kalimat deklaratif.
Beberapa suku kata yang cukup signifikan
perbedaanya dalam hal durasi yaitu pada suku
kata su, ka, dan in. Ketiga suku kata tersebut
dituturkan oleh penutur dari Jepang dengan
durasi rata-rata 0,2 detik sementara pada penutur
Australia durasi rata-rata pada suku kata tersebut
adalah 0,1 detik.
Struktur Temporal Kalimat Interogatif
Gambar 17. Text grid kalimat interogatif
Sementara untuk gambar di atas
merupakan tuturan interogatif dapat diperoleh
informasi bahwa durasi dalam mengucapkan
tuturan “Di mana kamu membeli bola itu?” oleh
penutur dari Australia adalah selama 2,1068
detik. Untuk bunyi [di] pada suku kata di dalam
tuturan diucapkan selama 0,113 detik sementara
bunyi [ma] pada sukukata ma berdurasi 0,139
detik. Pada bunyi [na] untuk suku kata na
berdurasi 0,091 detik dan bunyi [ka] pada suku
kata ka berdurasi 0,199 detik. Selanjutnya bunyi
[mu] pada suku kata mu berdurasi 0,256 detik
sementara bunyi [mem] pada suku kata mem
dituturkan selama 0,266..pada bunyi [be]
memiliki durasi 0,106 detik dan bunyi [li] pada
suku kata li berdurasi 0,149. Sementara bunyi
[bo] berdurasi 0,205, bunyi [la] berdurasi 0,137
detik, bunyi [i] berdurasi 0,149 detik, dan
terkahir bunyi [tu] padauku kata tu berdurasi
0,287 detik.
Untuk tuturan interogatif yang dituturkan
oleh penutur dari Jepang dapat diperoleh
informasi bahwa durasi dalam mengucapkan
Dendi Wijaya: Tuturan Deklaratif dan Interogatif Bahasa Indonesia
oleh Mahasiswa BIPA Universitas Indonesia
63
tuturan “Di mana kamu membeli bola itu?” oleh
penutur dari Jepang adalah selama 1,823004
detik. Untuk bunyi [di] pada suku kata di dalam
tuturan diucapkan selama 0,100 detik sementara
bunyi [ma] pada sukukata ma berdurasi 0,140
detik. Pada bunyi [na] untuk suku kata na
berdurasi 0,175 detik dan bunyi [ka] pada suku
kata ka berdurasi 0,166 detik. Selanjutnya bunyi
[mu] pada suku kata mu berdurasi 0,141 detik
sementara bunyi [mem] pada suku kata mem
dituturkan selama 0,197. Pada bunyi [be]
memiliki durasi 0,169 detik dan bunyi [li] pada
suku kata li berdurasi 0,150. Sementara bunyi
[bo] berdurasi 0,191, bunyi [la] berdurasi 0,137
detik, bunyi [i] berdurasi 0,141 detik, dan
terkahir bunyi [tu] padauku kata tu berdurasi
0,16 detik.
Jika diperbandingankan durasi kedua
tuturan tersebut maka dapat dikatakan bahwa
penutur Australia memiliki durasi yang lebih
panjang ketika menuturkan kalimat interogatif
dibandingkan dengan penutur dari Jepang. Dari
semua silabe, hanya ada dua silabe yang
memperlihatkan perbedaan durasi yang cukup
signifikan di antara kedua penutur yaitu pada
suku kata mu dan suku kata tu penutur Australia
menuturkan kedua suku kata tersebut lebih
panjang yaitu dengan durasi rata-rata 0,2 detik,
sementara penutur dari Jepang hanya
menuturkan kedua suku kata tersebut dengan
durasi rata-rata 0,1 detik.
PENUTUP
Dari hasil penelitian di atas dapat
disimpulkan bahwa penutur Australia memiliki
frekuensi awal di 151. 982 Hz dan frekuensi pada
titik nada terakhir adalah 133.877 Hz, sedangkan
frekuensi awal dan akhir pada kalimat deklaratif
yang dituturkan oleh penutur dari Jepang adalah
117.329 Hz di titik nada awal dan 91.370 Hz di
titik nada akhir. Dengan kata lain, penutur
Jepang lebih mendekati pola intonasi kalimat
deklaratif yang dituturkan oleh penutur
Indonesia, sedangkan penutur dari Australia
belum terlalu mendekati pola intonasi kalimat
deklaratif yang dituturkan oleh penutur
Indonesia.
Sementara itu, Frekuensi dasar awal dan
akhir kalimat interogatif yang dituturkan oleh
penutur Australia menurun yaitu 137,109 Hz di
titik awal dan 118,392 Hz di titik nada akhir. Hal
yang sama terjadi pada frekuensi dasar tuturan
interogatif oleh penutur Jepang dengan frekuensi
titik nada awal 108.594 Hz dan titik nada akhir
pada frekuensi 93.886 Hz. Hal ini menunjukkan
bahwa baik penutur Australia maupun Jepang
belum dapat dikatakan mendekati tuturan
interogatif bahasa Indonesia karena kedua
penutur memiliki intonasi tuturan dengan nada
menurun.
Dalam hal durasi, pengucapan kalimat
deklaratif “Andi suka main bola” oleh penutur
Australia adalah selama 1,1760 detik, sedangkan
Multilingual, Vol. 20, No. 1, Juni 2021
64
penutur Jepang adalah 1,775351 detik. Jika
diperhatikan perbandingan keduanya dari segi
temporal maka dapat dikatakan bahwa penutur
Jepang memiliki durasi yang lebih panjang
dibandingkan dengan penutur Australia dalam
menuturkan kalimat deklaratif. Sementara itu,
Durasi dalam mengucapkan tuturan “Di mana
kamu membeli bola itu?” oleh penutur Australia
adalah selama 2,1068 detik, sedangkan penutur
Jepang adalah selama 1,823004 detik. Hal ini
menunjukkan bahwa penutur Australia memiliki
durasi yang lebih panjang ketika menuturkan
kalimat interogatif dibandingkan dengan penutur
Jepang.
SARAN
Kajian tentang fonetik eksperimental terkait
dengan bahasa Indonesia, khususnya bagi
penutur asing masih sedikit, sehingga penelitian
ini dapat menjadi salah satu rujukan untuk
penelitian lebih lanjut. Penelitian tentang
struktur melodik dan struktur temporal bahasa
Indonesia penting, terutama bagi pengajar
bahasa Indonesia untuk penutur asing, sehingga
dapat membantu penutur asing dalam
menuturkan bahasa Indonesia dengan intonasi
yang tepat dan berterima.
DAFTAR PUSTAKA
Goedemans, R., & van Zanten, E. (2007). Stress and accent in Indonesian: In Prosody in Indonesian
languages. Netherlands: LOT.
Gunawan, F. (2019). Sistem Prosidi Suara Mahasiswa Multietnis di Surakarta. Ranah: Jurnal Kajian
Bahasa, 8 (2), 143. https://doi.org/10.26499/rnh.v8i2.1123.
Halim, A. (1981). Intonation in relation to syntax in Indonesian. 36, 15. https://doi.org/10.15144/PL-
D36.cover.
Hayward, K. (2013). Experimental Phonetics (2nd ed.). New York: Routledge.
Irawan, Y. (2011). Kontras Intonasi Deklaratif-Interogatif dalam Bahasa Sunda. Depok: Universitas
Indonesia (Tesis).
Ramlan, M. (1981). Sintaksis. Yogyakarta: UP Karyono.
Sugiyono. (2003). Pedoman Penelitian Bahasa Lisan: Fonetik. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen
Pendidikan Nasional.
Sugiyono. (2007). "Struktur Melodik Bahasa Indonesia". Kajian Linguistik dan Sastra, Volume 19,
1–13.
Yani Suryani, & Nani Darmayanti. (2012). Kemahiran Berbahasa Indonesia Penutur Korea : Kajian
Prosodi Dengan Pendekatan Fonetik the Skill of Korean Speakers in Indonesian Language :
Prosody Study Using an Experimental Phonetics Approach. SIGMA-Mu, September 2012,
52–63.
Dendi Wijaya: Tuturan Deklaratif dan Interogatif Bahasa Indonesia
oleh Mahasiswa BIPA Universitas Indonesia
65
Yanita, S. R. dan S. H. S. (2015). Kontras Intonasi Kalimat Deklaratif dan Interogatif dalam Bahasa
Bima. Sirok Bastra, 3 (2), 151--156.