Post on 04-Feb-2021
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
Kajian teori pada penelitian ini akan membahas hasil belajar, model
Cooperative Learning (pembelajaran kooperatif), Cooperative Integrated
Reading and Composition (CIRC), Number Head Together (NHT), dan Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS). Konsep dasar model pembelajaran akan dibahas
mengenai teori yang dikemukakan oleh para ahli dari berbagai yang
mendukung penelitian, serta kelemahan dan kelebihan metode.
2.1.1 Hasil Belajar
Hasil belajar menurut Nana Sudjana (2005: 3) adalah perubahan tingkah
laku siswa setelah menyelesaikan pembelajaran. Perubahan tingkah laku ini
lebih luas mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotor. Hasil belajar ini
dapat dilihat dari penilaian hasil belajar yang di peroleh masing-masing siswa.
Penilaian hasil belajar itu sendiri adalah upaya memberi nilai terhadap kegiatan
belajar-mengajar yang telah dilakukan oleh siswa dan guru dalam mencapai
tujuan-tujuan pembelajaran yang telah direncanakan.
Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-
pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan. Gagne (Suprijono, 2009:
5-6) menyatakan bahwa hasil belajar berupa:
1. Informasi verbal yaitu mencakup kemampuan siswa mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik
lisan maupun tulisan. Kemampuan merespons secara spesifik
terhadap rangsangan spesifik. Kemampuan ini tidak
memerlukan manipulasi simbol, pemecahan masalah maupun
penerapan aturan.
2. Keterampilan intelektual yaitu kemampuan siswa mempresentasikan konsep dan lambang. Keterampilan
intelektual mencakup kemampuan mengategorisasi,
kemampuan analisis-sintesis fakta-konsep dan
mengembangkan prinsip-prinsip keilmuan keterampilan
intelektual merupakan kemampuan melakukan aktivitas
kognitif bersifat khas.
3. Strategi kognitif kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi
penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah.
7
4. Keterampilan motorik yaitu kemampuan siswa melakukan sarangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi,
sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.
5. Sikap adalah kemampuan siswa dimana dia menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut.
Sikap berupa kemampuan menginternalisasi dan
eksternalisasi nilai-nilai. Sikap merupakan kemampuan
menjadikan nilai-nilai sebagai standar perilaku.
Bloom (Suprijono, 2009: 6-7) menyatakan bahwa,“hasil belajar
mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik”. Aspek kognitif
meliputi knowledge (pengetahuan, ingatan), comprehension (pemahaman,
menjelaskan, meringkas, contoh), application (menerapkan), analysis
(menguraikan, menentukan hubungan), synthesis (mengorganisasikan,
merencanakan, membentuk bangunan baru), dan evaluation (menilai). Aspek
afektif meliputi receiving (sikap menerima), responding (memberikan
respons), valuing (nilai), organization (organisasi), characterization
(karakterisasi). Aspek psikomotorik meliputi initiatory, pre-rautine, dan
rauntinized. Aspek Psikomotor juga mencakup keterampilan produktif, teknik,
fisik, sosial, manajerial, dan intelektual. Hasil belajar merupakan hasil dari
suatu interaksi kegiatan belajar dan kegiatan mengajar (Dimyati dan Mudjiono,
2009: 3).
Ketiga ahli di atas telah menyampaiakn pendapatnya tentang hasil
belajar, sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah interaksi
belajar dan mengajar yang menimbulkan perubahan tingkah laku pada siswa.
Hasil belajar ini mencakup 3 aspek yaitu kognitif (pengetahuan), afektif
(sikap), dan psikomotorik (keterampilan). Penelitian ini lebih mengambil pada
kemampuan kognitif, penilaian yang sering dilakukan guru untuk mengukur
seberapa besar pengetahuan yang didapat siswa setelah guru selesai
menyampaikan materi pembelajaran. Hasil dari aspek kognitif ini juga dapat
dijadikan sebagai tolak ukur guru dalam menyampaikan materi apakah sudah
baik atau tidak model yang dipilih.
8
2.1.2 Model Pembelajaran Kooperatif
2.1.2.1 Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif
Isjoni (2011: 22) menyatakan pembelajaran kooperatif berasal dari kata
“kooperatif” yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan
saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim.
Pembelajaran kooperatif (cooperative Learning) adalah proses belajar
mengajar yang melibatkan penggunaan kelompok-kelompok kecil yang
memungkinkan siswa untuk bekerja secara bersama-sama didalamnya guna
memaksimalkan pembelajaran mereka sendiri dan pembelajaran satu sama
lain. Dalam situasi pembelajaran kooperatif, ada interdependensi, saling
ketergantungan, positif diantara pencapaian tujuan para siswa. Agar kerja
kooperatif dapat berjalan dengan baik terdapat lima komponen esensial yang
harus terpenuhi yaitu (W. Johnson dkk. 2010):
1. Interdependensi positif (positive interdependence) merupakan
komponen yang paling penting, komponen ini dapat berjalan baik
apabila setiap anggota dalam kelompok menyadari bahwa mereka
saling terhubung antara satu sama lain.
2. Interaksi yang mendorong (promotive interaction) berupa tindakan
yang dilakukan siswa dalam mengikuti kegiatan kelompok seperti
saling mendorong satu sama lain untuk mencapai sukses dengan
saling membantu, mendukung, menyemangati, dan menghargai
usaha satu sama lain untuk menyelesaikan tugas dalam kegiatan
belajar.
3. Tanggungjawab individual (individual accountability), setiap siswa
harus sadar peranannya dalam kegiatan kelompok seperti tahu siapa
saja anggota kelompok yang membutuhkan bantuan, dukungan dan
dorongan yang lebih besar untuk menyelesaikan tugas dan menyadari
bahwa tidak boleh menyalin hasil kerja siswa lain begitu saja.
4. Keterampilan interpersonal dan kelompok-kecil (interpersonal and
smal-group skills), setiap siswa dituntut untuk mempelajari tugasnya
dan juga keterampilan interpesonal dan kelompok kecil yang
9
dibutuhkan agar dapat berfungsi dengan baik sebagai bagian dari
sebuah tim dengan adanya partisipasi dan interaksi oleh setiap
anggota yang ada dalam kelompoknya.
5. Pemrosesan kelompok (group processing), terlihat ketika proses
diskusi sudah berjalan untuk menyelesaikan tugas dalam kelompok
dan mencapai tujuan masing-masing seberapa baik mereka menjaga
hubungan yang efektif.
Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran
dalam bentuk kelompok-kelompok kecil dan anggotanya terdiri dari siswa-
siswa yang memiliki tingkat kemampuan berbeda. Adanya tingkah laku saling
bekerjasama dan saling membantu dalam memahami bahan pelajaran
(Rusman, 2013: 209). Jadi dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
kooperatif adalah pembelajaran yang menggunakan sistem kelompok kecil
untuk saling bekerja sama dalam menyelesaikan soal atau tugas kelompok.
Model pembelajaran kooperatif ini sangat baik digunakan untuk
meningkatkan keaktifan siswa dalam mengikuti kegiatan belajar berkelompok
dan adanya saling kerja sama yang baik antar anggota sehingga mengurangi
adanya seorang siswa yang tidak ikut mengerjakan tugasnya. Model kooperatif
dikembangkan berdasarkan teori belajar kooperatif konstruktivis. Model ini
berbeda dengan model pembelajaran langsung, bukan hanya untuk mencapai
hasil belajar kompetensi akademis juga dapat digunakan untuk
mengembangkan kompetensi sosial siswa. Model kooperatif memberikan
keuntungan bagi siswa kelompok bawah maupun kelompok atas karena adanya
proses tutorial antar siswa dalam kelompoknya (Rusman, 2013: 209).
2.1.2.2 Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif
Karakteristik atau ciri-ciri pembelajaran kooperatif dapat dijelaskan
sebagai berikut (Rusman, 2013: 207):
1. Pembelajaran secara tim.
2. Didasarkan pada manajemen kooperatif yang memiliki fungsi
manajemen perencanaan, pelaksanaan, fungsi manajemen sebagai
organisasi, dan fungsi manajemen sebagai kontrol.
10
3. Kemauan untuk bekerja sama.
4. Keterampilan bekerja sama, maksudnya adanya kemauan siswa
dalam berinteraksi dan komunikasi dengan anggota lain dalam
rangka mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
2.1.2.3 Prosedur Model Pembelajaran Kooperatif
Prosedur atau langkah-langkah pembelajaran kooperatif pada prinsipnya
terdiri atas empat tahap, yaitu (Rusman, 2013: 212-213):
1. Penjelasan materi
Tahap ini merupakan tahapan yang dilakukan guru dalam
penyampaian pokok-pokok materi pelajaran atau memberi informasi
materi yang akan dipelajari sebelum siswa belajar dalam kelompok.
Tujuannya adalah pemahaman siswa terhadap pokok materi
pelajaran.
2. Belajar kelompok
Siswa mulai bekerja dalam kelompok namun sebelumnya siswa telah
dibentuk kelompok-kelompok sesuai jumlah siswa.
3. Penilaian
Penilaian dapat dilakukan melalui tes tertulis maupun lisan yang
dilakukan secara individu atau kelompok. Tes individu memberikan
penilaian pada kemampuan individu, sedangkan kelompok untuk
menilai kemampuan kelompoknya, seperti yang disampaikan
Sanjaya (dalam Rusman, 2013: 213). Hasil akhirnya, setiap siswa
adalah penggabungan dua nilai dan dibagi dua. Nilai kelompok yang
didapat siswa setiap anak sama karena didapat dari hasil kerja sama
setiap anggota kelompoknya.
4. Pengakuan tim
Pengakuan tim adalah penetapan tim yang dianggap paling menonjol
atau tim paling berprestasi untuk kemudian diberikan penghargaan
atau hadiah, dengan harapan dijadikan sebagai motivasi tim untuk
terus berprestasi lebih baik. Dilakukan setelah selesai pembelajaran
atau penyampaian hasil diskusi kelompok.
11
2.1.3 Model Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC)
2.1.3.1 Definisi Model CIRC
Model pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition
(CIRC) dikategorikan sebagai pembelajaran terpadu. Menurut Miftahul Huda,
Pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC)
dikembangkan pertama kali oleh Stevens, Madden, Slavin, dan Finish pada
tahun 1987. Dalam pembelajaran CIRC setiap siswa harus bertanggungjawab
terhadap tugas yang didapat pada kelompoknya. Setiap orang yang ada dalam
kelompok harus menyampaikan ide-ide untuk memahami suatu konsep dan
menyelesaikan suatu tugas, sehingga terbentuk pemahaman dan pengalaman
belajar yang lama (Huda, 2013: 221). Pembelajaran kooperatif tipe CIRC dari
segi bahasa dapat diartikan sebagai suatu model pembelajaran kooperatif yang
mengintegrasikan suatu bacaan sacara menyeluruh kemudian
mengomposisikanya menjadi bagian-bagian yang penting (Shoimin, 2014: 52).
Model CIRC merupakan model pembelajaran khusus mata pelajaran bahasa
dalam rangka membaca dan menemukan ide pokok, pokok pikiran, atau tema
sebuah wacana. Model pembelajaran CIRC ini harus memiliki komposisi
terpadu antara membaca dan menulis secara kelompok.
Para ahli menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif tipe CIRC dapat
membangun pengetahuan siswa, menemukan ide-ide dari suatu bacaan,
meningkatkan kemauan siswa untuk mengeluarkan pendapatnya dalam
menyelesaikan tugas sehingga dalam kelompok tidak ada anak yang duduk diam
tanpa bekerja semua anak saling bekerja sama.
Kelompok dalam pembelajaran CIRC dibentuk dalam kelompok
heterogen, maksudnya adalah dalam satu kelompok tidak semuanya orang yang
pintar ataupun kurang pintar saja namun dalam satu kelompok itu terdiri dari
siswa yang pintar dan juga siswa yang kurang pintar. Pembentukan kelompok
ini dipilih karena terdapat beberapa alasan (Lie, 2004: 42), sebagai berikut:
1. Kelompok heterogen memberikan kesempatan pada siswa untuk
saling mengajar (peer tutoring) dan saling mendukung.
12
2. Pebentukan kelompok ini meningkatkan pertemanan dan interaksi
antar ras, etnik, dan gender.
3. Kelompok heterogen memudahkan pengelolaan kelas karena
dengan adanya satu orang yang berkemampuan akademis tinggi,
guru terbantu dengan mendapatkan satu asisten untuk tiap tiga
orang.
Guru ketika membentuk kelompok secara heterogen menimbukan
kendala yaitu adanya penolakan dari siswa yang memiliki kemampuan akademis
lebih tinggi dari siswa lain dalam kelompoknya. Siswa yang lebih pandai
merasakan bahwa dia dimanfaatkan dan merasa dirugikantanpa bisa mengambil
manfaat yang ada dalam kegiatan belajar, karena dia merasa paling pintar
diantara anggota kelompoknya. Kegiatan yang telah dilakukan tanpa disadari
oleh siswa secara afektif, siswa berkemampuan akademis tinggi juga perlu
melatih diri untuk bisa bekerja sama dan berbagi dengan mereka yang kurang.
Manfaat ini akan sangat dirasakan ketika mereka sudah terjun dalam dunia kerja
dan kehidupan masyarakat yang sangat berkaitan dengan kerja sama.
Pengelompokan ini bisa diubah atau dibuat permanen keduanya memiliki
kelebihan dan kekurangannya. Kelompok yang sering diubah memiliki
keuntungan bahwa siswa lebih banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan
siswa-siswa yang lainnya, namun kelemahannya dalam pembentukan kelompok
baru adalah memakan waktu baik itu waktu persiapan maupun waktu dikelas
(Lie, 2004: 42-43).
Pembentukan kelompok ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut
(Shoimin, 2014: 52):
a. Menentukan peringkat siswa
Dengan cara mencari melihat rata-rata nilai siswa pada tes
sebelumnya atau nilai rapot. Kemudian, diurutkan dengan cara
menyusun peringkat sesuai dengan kemampuan akademik
(berkemampuan akademik tinggi sampai terendah).
13
b. Menentukan jumlah kelompok
Jumlah kelompok ditentukan dengan meperhatikan banyaknya
anggota yang terdapat pada setiap kelompok dan jumlah siswa yang
ada di kelas tersebut.
c. Penyusunan anggota kelompok
Pengelompokan ditentukan atas dasar susunan peringkat siswa yang
telah dibuat. Dalam setiap kelompok diusahakan anggotanya
memiliki kemampuan beragam sehingga mempunyai kemampuan
rata-rata yang seimbang.
2.1.3.2 Langkah-langkah Model CIRC
Langkah-langkah pembelajaran model CIRC (Suprijono, 2009: 131)
adalah sebagai berikut :
a. Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen.
b. Guru memberikan wacana/kliping sesuai dengan topik pembelajaran.
c. Siswa bekerja sama saling membacakan dan menemukan ide pokok dan memberi tanggapan terhadap wacana/kliping dan
ditulis pada lembar kerja.
d. Mempresentasikan/membacakan hasil kelompok. e. Guru membuat kesimpulan bersama. f. Penutup.
Langkah-langkah model pembelajaran CIRC dibagi menjadi beberapa
fase. Fase-fase tersebut sebagai sebagai berikut (Shoimin, 2014: 53) :
a. Fase pertama, yaitu orientasi. Pada fase ini kegiatan yang dilakukan
guru adalah memberi pengetahuan awal siswa tentang materi yang
akan diberikan. Selain itu, juga menyampaikan tujuan pembelajaran
yang akan dilakukan kepada siswa.
b. Fase kedua, yaitu organisasi. Pada fase ini kegiatan yang dilakukan
guru adalah membagi siswa dalam beberapa kelompok, dengan
memperhatikan keheterogenan akademik. Membagikan bahan
bacaan tentng materi yang akan dibahas kepada siswa. Selain itu, juga
menjelaskan mekanisme diskusi kelompok dan tugas yang harus
diselesaikan selama proses pembelajaran berlangsung.
14
c. Fase ketiga, yaitu pengenalan konsep. Pada fase ini dilakukan dengan
cara mengenalkan tentang suatu konsep baru yang mengacu pada
hasil penemuan selama eksplorasi. Pengenalan ini bisa didapat dari
keterangan guru, buku paket, film, kliping, poster, atau media
lainnya.
d. Fase keempat, yaitu fase publikasi. Pada fase ini siswa
mengomunikasikan hasil temuan-temuannya, membuktikan,
memeragakan tentang materi yang dibahas, baik dalam kelompok
maupun di dalam kelas.
e. Fase kelima, yaitu fase penguatan dan refleksi. Pada fase ini guru
memberikan penguatan berhubungan dengan materi yang dipelajari
melalui penjelasan-penjelasan ataupun memberikan contoh nyata
dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, siswa pun diberi
kesempatan untuk merefleksikan dan mengevaluasi hasil
pembelajarannya.
Setiap fase-fase di atas, dapat kita lihat dalam beberapa tahap sebagai
berikut (Huda, 2013: 222-223):
a. Tahap 1: Pengenalan Konsep
Pada fase ini, guru melakukan apersepsi dan memberi pengenalan
suatu konsep atau istilah baru yang mengacu pada hasil penemuan
selama eksplorasi atau pada materi pelajaran yang akan dipelajari.
Pengenalan bisa didapat dari keterangan guru, video, buku paket, dll.
b. Tahap 2: Eksplorasi dan Aplikasi
Pada fase ini, siswa diberi kesempatan untuk menyampaikan
pengetahuan awal, mengembangkan pengetahuan baru, dan
menjelaskan fenomena yang mereka alami dengan adanya bimbingan
guru. Tujuan fase ini adalah untuk membangkitkan minat dan rasa
ingin tahu siswa serta menerapkan konsepsi awal. Kegiatan yang
dilakukan siswa adalah belajar melalui tindakan-tindakan dan reaksi-
reaksi mereka sendiri dalam situasi baru.
15
c. Tahap 3: Publikasi
Pada fase ini, siswa akan mengkomunikasikan hasil temuan-temuan
serta membuktikan dan memperagakan materi yang dibahas atau yang
sudah diselesaikan dalam kelompok.
2.1.3.3 Kelebihan Model CIRC
Kelebihan model CIRC menurut Saifulloh (Huda, 2013: 221) sebagai
berikut:
1. Pengalaman dan kegiatan belajar siswa selalu relevan dengan
tingkat perkembangan siswa.
2. Kegiatan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan siswa.
3. Pembelajaran lebih bermakna bagi siswa.
4. Menumbuh-kembangkan keterampilan berfikir siswa.
5. Menyajikan kegiatan yang bersifat pragmatis (bermanfaat).
6. Menumbuh-kembangkan interaksi sosial siswa, seperti kerja sama,
toleransi, komunikasi, dan respek terhadap gagasan orang lain.
7. Membangkitkan motivasi belajar siswa dan guru.
2.1.3.4 Kelemahan Model CIRC
Kelemahan model CIRC menurut Aris Shoimin (2014: 54) adalah model
pembelajaran ini hanya dapat dipakai untuk mata pelajaran yang menggunakan
bahasa sehingga tidak dapat dipakai untuk mata pelajaran yang menggunakan
prinsip hitungan seperti matematika, fisika, kimia, dll.
Hal-hal yang perlu guru perhatikan ketika menggunakan model CIRC
adalah melihat mata pelajaran atau materi pembelajaran yang akan
disampaikan dan apabila ingin menerapkan dalam mata pelajaran matematika
materi yang sesuai berupa soal cerita, karena dalam soal cerita seorang siswa
harus benar-benar memahami soal sehingga menemukan pokok pikiran atau
maksud dari soal.
16
2.1.4 Model Number Head Together (NHT)
2.1.4.1 Definisi Model NHT
Model Number Head Together (NHT) mengacu pada belajar kelompok
siswa. Masing-masing anggota memiliki bagian tugas (pertanyaan) dengan
nomer yang berbeda-beda. Pembelajaran Model Number Head Together
(NHT) ini dikembangkan oleh Spenser Kagan pada tahun 1993. Dalam
kegiatan pembelajarannya setiap siswa mendapatkan kesempatan yang sama
untuk menunjang timnya guna memperoleh nilai yang maksimal sehingga
termotivasi untuk belajar. Setiap diri individu merasa mendapat tugas dan
tanggung jawab sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik.
Dalam pembelajaran ini tidak ada pemisahan antara siswa yang satu dan siswa
yang lain dalam satu kelompok untuk saling memberi dan menerima antara
satu dengan yang lain (Shoimin, 2014: 51-52).
Tujuan dari NHT adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk
saling berbagi gagasan dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat.
Selain itu dapat digunakan untuk meningkatkan kerja sama siswa, NHT juga
bisa diterapkan untuk semua mata pelajaran dan tindakan dalam kelas.
Pembelajaran ini cocok digunakan untuk memastikan akuntabilitas individu
dalam diskusi kelompok (Huda, 2013: 203).
Tiga tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran kooperatif dengan
tipe NHT yaitu:
1. Hasil belajar akademik struktural, tujuannya untuk meningkatkan
kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik.
2. Pengakuan adanya keragaman, tujuannya agar siswa dapat menerima
teman-temannya yang mempunyai berbagai latar belakang
3. Pengembangan keterampilan sosial, tujuannya untuk
mengembangkan keterampilan sosial siswa.
17
2.1.4.2 Langkah-langkah Model NHT
Langkah-langkah pembelajaran model NHT (Shoimin, 2014: 108)
adalah sebagai berikut:
a. Siswa dibagi dalam kelompok. Setiap siswa dalam kelompok mendapat nomor.
b. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya.
c. Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok dapat mengerjakannya/mengetahui
jawabannya dengan baik.
d. Guru memanggil salah satu nomor siswa dan nomor yang dipanggil keluar dari kelompoknya melaporkan atau menjelaskan
hasil kerja sama mereka.
e. Tanggapan dengan teman yang lain, kemudian guru menunjuk kelompok yang lain.
f. Kesimpulan
Model NHT untuk mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas, guru
menggunakan struktur empat fase sebagai sintaks (Trianto, 2013:82-83), yaitu:
a. Fase 1: penomoran
Pada fase ini guru membagi ke dalam kelompok 3-5 orang kepada
setiap anggota kelompok diberi nomor antara 1 sampai 5
b. Fase 2: mengajukan pertanyaan
Pada fase ini guru mengajukan pertanyaan atau soal yang akan di
diskusikan dalam kelompok mereka.
c. Fase 3: berpikir bersama
Pada fase ini siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban
pertanyaannya dan meyakinkan tiap anggota dalm tim mengetahui
jawaban tim.
d. Fase 4: menjawab
Guru memanggil suatu nomer tertentu, kemudian siswa yang nomornya
sesuai menyampaikan hasil diskusi atau menjawab pertanyaan guru.
2.1.4.3 Kelebihan Model NHT
Kelebihan model NHT (Shoimin, 2014: 108-109) dalam pembelajaran
dapat dilihat sebagai berikut:
1. Setiap anggota kelompok menjadi lebih siap.
2. Siswa dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh.
18
3. Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai.
4. Terjadi interaksi secara intens antar siswa dalam kelompok untuk
menjawab soal.
5. Tidak ada siswa yang mendominasi dalam kelompok karena ada
nomor yang membatasi.
2.1.4.4 Kelemahan Model NHT
Kelemahan model NHT (Shoimin, 2014: 109) dalam pembelajaran dapat
dilihat sebagai berikut:
1. Tidak cocok digunakan dalam jumlah siswa banyak karena
membutuhkan waktu yang lama.
2. Tidak semua anggota kelompok dapat dipanggil oleh guru karena
disesuaikan dengan waktu yang dimiliki.
Hal-hal yang perlu guru perhatikan ketika menggunakan model NHT
adalah mamastikan terlebih dahulu jumlah siswa dalam kelas dan disesuaikan
dengan waktu yang digunakan dalam menyelesaikan pembelajaran.
2.1.5 Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
2.1.5.1 Definisi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan integrasi dari berbagai cabang
ilmu-ilmu sosial seperti: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik hukum,
dan budaya. IPS dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang
mewujudkan satu pendekatan interdisipliner dari aspek cabang-cabang ilmu
sosial (sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya). Jadi
dapat dikatakan IPS bukan berdiri sendiri namun didalamnya mengandung
banyak ilmu sosial, untuk mata pelajaran pada tingkat Sekolah Dasar (SD) IPS
ini berdiri sendiri sebagai nama mata pelajaran namun untuk tingkatan
SMP/SMA ada ilmu-ilmu sosial yang menjadi nama pada mata pelajaran
contohnya sosiologi, geografi, dll, (Trianto, 2007: 124).
Istilah IPS mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1970-an sebagai hasil
kesepakatan komunitas akademik. Namun secara formal digunakan dalam
sistem pendidikan nasional dalam kurikulum 1975. Kurikulum pendidikan IPS
tahun1994 sebagaimana yang dikatakan Hamid Hasan, merupakan fusi dari
19
berbagai disiplin ilmu. Mortorella mengatakan bahwa pembelajaran
pendidikan IPS lebih menekankan pada aspek “pendidikan” daripada “transfer
konsep”, karena dalam pembelajaran pendidikan IPS siswa diharapkan
memperoleh pemahaman terhadap sejumlah konsep dan mengembangkan serta
melatih sikap, nilai, moral, dan keterampilannya berdasarkan konsep yang
telah dimilikinya. Dengan demikian, pembelajaran pendidikan IPS harus
diformulasikan pada aspek kependidikannya (Solihatin dan Raharjo, 2007:14).
Ilmu Pengetahuan Sosial juga membahas hubungan antara manusia
dengan lingkungannya. Hal ini diperlukan karena setiap orang tidak dapat
hidup sendiri di masyarakat. Pendidikan IPS berusaha membantu siswa dalam
menyelesaikan masalah atau memecahkan masalah yang dihadapi sehingga
akan menjadikannya semakin mengerti dan memahami lingkungan sosial
masyarakat. Misi dari pendidikan IPS adalah bukan untuk menjejali siswa
dengan sejumlah materi yang bersifat hafalan belaka, melainkan terletak pada
upaya agar mereka mampu menjadikan apa yang telah dipelajari sebagai bekal
dalam memahami dan ikut serta dalam melakoni kehidupan di lingkungan
masyarakat, serta sebagai bekal bagi dirinya untuk melanjutkan pada
pendidikan yang lebih tinggi (Solihatin dan Raharjo, 2007: 15).
2.1.5.2 Tujuan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
Para ahli sering mengaitkannya tujuan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS),
dengan berbagai sudut kepentingan dan penekanan dari program pendidikan
tersebut. Gross menyebutkan bahwa tujuan pendidikan IPS adalah untuk
mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang baik dalam kehidupannya di
masyarakat. Secara tegas ia mengatakan “to prepare students to be well-
functioning citizens in a democratic society (Solihatin dan Raharjo, 2007: 14).
Menurut Hasan tujuan pendidikan IPS dapat dikelompokkan ke dalam tiga
ketegori, yaitu aspek intelektual, kehidupan sosial, dan kehidupan individual
(Supriatna, 2016: 11).
20
Permendiknas No. 24 Tahun 2006 menyatakan bahwa mata pelajaran IPS
bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya
2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan
dalam kehidupan sosial
3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal,
nasional, dan global.
2.1.5.3 Ruang Lingkup pembelajaran IPS
Permendiknas No. 24 Tahun 2006 menjelaskan bahwa ruang lingkup
mata pelajaran IPS meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
1. Manusia, tempat, dan lingkungan 2. Waktu, keberlanjutan, dan perubahan 3. Sisten sosial dan budaya 4. Perilaku ekonomi dan kesejahteraan
Tabel 2.1
Pemetaan SK dan KD Mata Pelajaran IPS di SD Kelas III
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
2. Memahami jenis pekerjaan
dan penggunaan uang
2.1 Mengenal jenis-jenis
pekerjaan
2.2. Memahami pentingnya
semangat kerja
2.3 Memahami kegiatan jual
beli di lingkungan rumah
dan sekolah
2.4 Mengenal sejarah uang
2.5 Mengenal penggunaan uang
sesuai dengan kebutuhan
21
2.1.5.4 Pembelajaran IPS di SD
Organisasi materi pendidikan IPS pada tingkat sekolah dasar
menggunakan pendekatan secara terpadu/fusi. Hal ini disesuaikan dengan
karakteristik tingkat perkembangan usia siswa SD yang masih pada taraf
berfikir abstrak. Materi pendidikan IPS yang disajikan pada tingkat SD tidak
menunjukkan lebel dari masing-masing disiplin ilmu sosial. Materi yang
disajikan diambil dari tema-tema sosial di sekitar siswa. Demikian juga halnya
tema-tema yang diambil berdasarkan dari fenomena-fenomena serta aktivitas
sosial yang terjadi di sekitar siswa. Tema-tema ini kemudian semakin meluas
pada lingkungan yang semakin jauh dari lingkungan kehidupan siswa
(Supriatna. hal: 8).
2.1.5.5 Penilaian Pembelajaran IPS
Pelaksanaan penilaian atau evaluasi IPS telah mengalami perluasan.
Peilaian IPS lebih khusus ingin menilai pada keterampilan dasar (basic skills).
Keterampilan dasar meliputi keterampilan membaca bermakna, menulis, dan
keterampilan matematis yang dimiliki setiap siswa. Keterampilan dasar ini
merupakan minimum competency testing in social studies (kompetensi
minimal dalam pengujian IPS). Namun juga dinilai dari evaluasi hasil karya
siswa. Dalam evaluasi jenis ini, yang sangat ditekankan adalah aspek
informalitas prosedural dalam pengevaluasian. Dengan kata lain, penilaian atau
evaluasi dalam IPS harus menerapkan prinsip keseimbangan antara formal tes
dan nonformal tes dengan alat evaluasi tes dan non tes (Solihatin dan Raharjo,
2007: 43).
Macam-macam bentuk alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur
keberhasilan siswa:
A. Tes
1. Tes lisan, tes yang dilakukan secara langsung dengan guru. Siswa
secara bergantian maju ke meja guru untuk menerima pertanyaan
bisa dilakukan secara individual maupun kelompok. Kelemahan
tes lisan adalah kurang efisien dalam penggunaan waktu,
22
objektifitas hasil penilaian diragukan, serta beban tes masing-
masing siswa tidak sama beratnya maupun luasnya.
2. Tes tertulis, dibagi menjadi dua bentuk yaitu
a. Tes subjektif. Bentuk tes ini, jawaban yang diberikan tidak
diarahkan, melainkan sepenuhnya diberikan kebebasan
dalam menggunakan kalimat.
b. Tes objektif. Bentuk tes ini, jawaban sudah disediakan. Tes
ini dikelompokkan menjadi empat, yaitu benar-salah, pilihan
ganda, menjodohkan, melengkapi.
c. Nontes, dapat dilakukan dengan observasi, daftar cek untuk
mengakses kinerja kelompok maupun individual, portopolio,
dll.
2.2 Kajian Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang relevan berkaitan dengan hasil belajar menggunakan
model CIRC adalah pertama penelitian yang dilakukan oleh Annisa Hakim
Nuur dan Mujiyono (2015). Hasil penelitian menunjukkan siklus I mengalami
ketuntatasan klasikal sebesar 79 %, siklus II sebesar 85 %, dan siklus III
sebesar 91 %. Simpulan: penerapan model CIRC dengan media audio visual
dapat meningkatkan kualitas pembelajaran IPS.
Kedua penelitian yang dilakukan oleh Inayatul Gustikasari, Nanik
Yuliati dan Chumi Zahroul Fitriyah Persentase aktivitas siswa secara klasikal
(2012). Hasil penelitian siklus 1 sebesar 68,8% dan pada siklus 2 meningkat
menjadi 73,7% dengan kategori aktif. Skor hasil belajar siswa secara klasikal
sebesar 68,9 pada siklus 1 dan pada siklus 2 meningkat menjadi 76,3 dengan
kategori baik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model
kooperatif tipe CIRC dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa
dalam pembelajaran IPS kelas IV di SDN Kebonsari 03 Jember.
Penelitian yang relevan berkaitan dengan hasil belajar menggunakan
model NHT adalah pertama penelitian yang dilakukan oleh Nopi (2012). Hasil
perhitungan penelitian ini didapat nilai t senilai 7.232 dengan tingkat
signifikasi lebih kecil dari 0.005 yaitu 0.000. Berdasarkan hasil tersebut maka
23
dapat diambil keputusan bahwa ada perbedaan hasil belajar antara siswa yang
diajar menggunakan model pembelajaran tipe NHT (Numbered Heads
Together) dengan siswa yang diajar menggunakan pembelajaran konvensional,
hasil belajar IPS siswa kelas V SD yang diajar menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) lebih baik
dibandingkan siswa yang diajar menggunakan pembelajaran konvensional, dan
model pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered-Heads Together)
pengaruh terhadap hasil belajar IPS siswa kelas V SD.
Kedua penelitian yang dilakukan oleh Fatimah Azizah (2013). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa: Peningkatan ketuntasan hasil belajar siswa
pada kondisi awal, pembelajaran siklus 1 dan siklus 2 yaitu terjadi peningkatan
hasil belajar siswa. Pada kondisi awal siswa yang tuntas 13 orang (32,5%) dan
yang tidak tuntas 27 (67,5%) orang. Pada siklus 1 siswa yang tuntas 24 orang
(60%) dan yang tidak tuntas 16 orang (40%). Sedangkan pada siklus 2,siswa
yang tuntas 37 orang (92,5%) dan sebanyak 3 siswa belum tuntas, hal ini
disebabkan masih ada anak yang suka mengobrol di dalam kelas dan mereka
duduk bersebelahan serta masih malu bertantanya mengenai hal-hal yang
kurang jelas. Simpulan dari penelitian ini adalah melalui penggunaan model
kooperatif tipe NHT berbasis multimedia dapat meningkatkan hasil belajar
siswa. Saran bagi guru adalah hendaknya guru dalam pembelajaran
menggunakan model pembelajaran dan media yang bervariasi yang
disesuaikan dengan materi antara lain menerapkan model pembelajaran model
kooperatif tipe Number Heads Together (NHT) berbasis multimedia.
Inovasi dalam penelitian ini adalah jika dalam penelitian-penelitian
sebelumnya tidak membandingkan penggunaan model CIRC dan NHT
terhadap hasil belajar (kognitif) pada tingkat SD dalam 1 penelitian dan belum
bisa menemukan penelitian yang mebandingkan keduanya, namun dalam
penelitian ini akan membandingkan hasil belajar (kognitif) siswa dengan
penerapan model CIRC dan NHT pada tingkat kelas yang sama.
24
2.3 Kerangka Pikir
Pembelajaran IPS menuntut siswa untuk dapat menemukan sendiri
pengetahuannya sehingga dapat diterapkan didalam kehidupannya sehari-hari.
Penemuan pengetahuan sendiri oleh siswa diperoleh melalui pengalaman
belajar langsung yang dialami siswa disekolah dan lingkungan sekitarnya.
Selain pengalaman belajar langsung, siswa juga membutuhkan suatu teknik
belajar yang dapat membantu siswa memahami konsep-konsep penting dalam
pembelajaran IPS. Konsep-konsep penting tersebut nantinya akan membantu
siswa dalam menerapkan apa yang diperolehnya dari pengalaman belajar
langsung ke dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan pembelajaran IPS
berkaitan dengan hubungan dengan orang lain perwujudan hal ini dapat
dilakukan dalam belajar sacara berkelompok. Kebanyakan pembelajaran IPS
saat ini guru yang selalu menjelaskan jadi terkesan siswa hanya menghafal dan
mencatat dengan adanya penggunaan model kooperatif tipe Cooperative
Integrated Reading and Composition (CIRC) danNumber Head Together
(NHT) ini siswa akan dituntut saling bekerja sama dalam menemukan atau
menyelesaikan tugasnya.
Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) mempunyai
sintak yang pertama adalah pengenalan konsep dengan cara guru
menyampaikan materi penjelasan seperti biasa, bisa dilakukan dengan cara
ceramah yang melibatkan siswa dengam memancing melalui tanya jawab dan
meminta siswa mengeluarkan barang yang dimiliki sesuai dengan materi yang
diajarkan. Pembentukan kelompok secara heterogen (terdiri dari siswa yang
berkemampuan tinggi dan rendah) setiap kelompok terdiri dari 4 orang.
Eksplorasi dan aplikasi, kegiatan siswa dalam kelompok yaitu siswa bekerja
saling membacakan, menemukan ide pokok, dan memberi tanggapan dalam
menyelesaikan soal yang di dapat dalam kelompok. Sintak terakhir yaitu
publikasi dimana setiap kelompok akan mengirim juru bicaranya untuk
menyampaikan hasil diskusi dari kelompoknya.
Model Number Head Together (NHT) memiliki sintak yang pertama
adalah penomoran, guru akan membagi kelompok dengan memberikan nomer
25
1-5 pada setiap anak yang ada dalam kelompok. Setiap kelompok terdiri dari
3-5 orang. Kedua adalah Mengajukan pertanyaan dimana guru disini akan
menagjukan pertanyaan atau membagikan soal yang harus diselesaikan oleh
semua kelompok. Ketiga adalah berfikir bersama di sini siswa bekerja dalam
kelompok untuk menyatukan pendapat terhadap jawaban dan meyakinkan tiap
anggota dalam tim mengetahui jawabannya. Sintak terakhir adalah menjawab
disini guru akan memanggil nomer yang dimiliki siswa dalam kelompok secara
acak, kemudia siswa yang memiliki nomer yang disebutkan guru wajib untuk
menjawab dan menyampaikan hasil pekerjaanya dalam kelompok tanpa
membaca buku. Hal ini guna mengecek apakah siswa itu benar-benar bekerja
dalam kelompok.
Penerapan model CIRC dan NHT diharapkan menjadikan siswa lebih
mudah memperoleh informasi dan memahaminya, karena dalam penerapannya
setiap siswa dituntut untuk aktif dalam melakukan kegiatan pembelajaran.
Dalam CIRC ini dalam menyampaikan hasil pengamatannya sudah ditunjuk
siswa mana yang menjadi juru bicara dalam kelompoknya, berbeda dengan
NHT yang akan menyampaikan adalah orang yang memiliki nomor yang sesuai
dengan yang disebutkan oleh guru.
26
Gambar 2.1 Kerangka Pikir
PEMBELAJARAN IPS
Siswa SD Kelompok
Kontrol
Siswa SD Kelompok
Eksperimen
Pengenalan
Konsep
Sintak model
CIRC
Eksplorasi
dan Aplikasi
Publikasi
Disiplin
Kritis
Kerjasama
Menghargai
Tanggung
jawab
Penomoran
Pengajuan
Pertanyaan
Berpikir
bersama
Menjawab
Sintak model
NHT
HASIL
BELAJAR
27
2.4 Hipotesis Penelitian
Melihat dari kerangka pikir di atas maka dirumuskan suatu hipotesis
sebagai berikut:
Ho : µ1= µ2: Tidak ada perbedaan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPS
menggunakan model kooperatif tipe Cooperative Integrated
Reading and Composition (CIRC) dan Number Head Together
(NHT) pada siswa kelas III SD Negeri Gugus Diponegoro
Kabupaten Boyolali.
Ha : µ1≠µ2: Ada perbedaan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPS
menggunakan model kooperatif tipe Cooperative Integrated
Reading and Composition (CIRC) dan Number Head Together
(NHT) pada siswa kelas III SD Negeri Gugus Diponegoro
Kabupaten Boyolali.