Post on 10-Jul-2016
description
Tugas : Sistem Imunitas
Dosen : Munawir S. Kep Ns
Oleh :
KELOMPOK IV
1. SARDI MUDIALLO (NH0215147)2. SARFINA SAKIRI (NH0215148)3. RISMAH (NH0215140)4. RIRIN MAGHFIROH (NH0215138)5. SAHRIANA SARIFUDDIN (NH0215143)6. SANDI NOFRIANTO (NH0215146)7. SALMA USEMAHU (NH0215144)8. SALMAWATY (NH0215145)9. RISKA ARIANTI (NH0215139)10. RISWAN (NH0215141)11. SELVI NOVIANTY (NH0215149)12. RICKY OLFENDRA SETIAWAN (NH0215142)
STIKES NANI HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan maha sempurna
yang telah memberikan kita angrah akal dan pikiran yang lebih sempurna di
bandingkan dengan ciptaan-nya yang lain. Karena atas ijin, rahmat dan
karunianyalah, kita dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya sadar bahwa dalam menyelesaikan makalah ini tidak lepas dari
berbagai pihak. Karena itu, ucapan terima kasih, saya sampaikan kepada pihak
yang telah embantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Saya berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang
membacanya. Kami sadar bahwa tidak ada manusia yang sempurna, begitu pula
kami. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari keesempurnaan. Saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat di harapkan
Makassar, 04 Oktober 2015
Kelompok IV
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB. I PENDAHULUAN
A. Latar BelakangB. Tujuan
BAB. II PEMBAHASAN
I. KONSEP DASAR MEDISA. DevenisiB. EtiologiC. KlasifikasiD. Manifestasi KlinicE. Patofisiologi F. Pemeriksaan penunjangG. Pengobatan
II. KONSEP DASAR KEPERAWATANA. PengkajianB. Diagnose KeperawatanC. Intervensi Keperawatan
BAB. III PENUTUP
A. KesimpulanB. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-
spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral
yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam
imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang
dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu
mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel
lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan
respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang
menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana
merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas
atau alergi.
Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu
timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai
alergen, sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi,
walaupun pada orang normal reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini
berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik.
Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma
dan sel-sel leukosit ke jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna
merah di permukaan kulit. Sementara rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-
ujung serabut saraf bebas oleh histamin. Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi
akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa
nyeri akibat perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos dan
perangsangan sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan
diare.
Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum
dapat bekerja maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama
makanan berprotein. Ada alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan
barier yang berjalan seiring dengan bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi
akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang aktif pada waktu tertentu,
sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.
Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia
relatif, karena disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi
degranulasi. Eosinofil sendiri menghasilkan histaminase dan aril sulfatase.
Histaminase yang dihasilkan ini berperan dalam mekanisme pembatasan atau
regulasi histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang berat, jumlah
eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal.
B. Tujuan Penulisan1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa diharapkan dapat mengetahui dan mengerti tentang
asuhan keperawatan dengan gangguan hipersensitivitas.
2. Tujuan Khusus
Makalah disusun bertujuan agar :
1) Mahasiswa mengetahui pengertian hipersensitivitas
2) Mahasiswa mengetahui Etiologi hipersensitivitas
3) Mahasiswa mengetahui tanda dan gejala hipersensitivitas
4) Mahasiswa mengetahui Patofisiologi hipersensitivitas
5) Mahasiswa mengetahui klasifikasi hipersensitivitas
6) Mahasiswa mengetahui cara pemeriksaan, penatalaksanaan
hipersensitivitas
7) Mahasiswa mengetahui asuhan keperawatan pada hipersensitivitas
BAB II
PEMBAHASAN
I. KONSEP DASAR MEDIK
A. Defenisi
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana
tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap
bahan-bahan yang umumnya non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia
bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh
dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas
tersebut disebut alergen.
B. EtiologiFaktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :
1. Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam
lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi
imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen
makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi
makanan tertentu.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai
janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan
dan norma kehidupan setempat.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan
penyerapan alergen bertambah.
2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis
(sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut
prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.
C. Klasifikasi
1. Hipersensitifitas tipe I
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau
anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan
bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan
gejala yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu
reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga
dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I
diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini
adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping
darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe
I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total
dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi)
yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya
alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh
alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-
atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk
mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk
memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG),
hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
2. Hipersensitifitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G
(IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan
matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan
yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi
yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik
dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang)
yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan
jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel
epidermal),
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang
dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti
hapten untuk produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan
sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan
glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
3. Hipersensitifitas tipe III
Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini
disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut
di dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan.
Pada kondisi normal, kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah
besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-
kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan
sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis
memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi
pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi
pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi
tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil
sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi,
atau dalam bagian koroid pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun
karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan
antigen kronis akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat
memicu terjadinya artritis atau glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan
antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen
dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi
timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang
diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang
menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora
Penicillium casei pada paru-paru pembuat keju.
4. Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai
sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan
jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini
untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi
makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh
umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis,
hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat
kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori
berdasarkan waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis.
Ketiga kategori tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
TipeWaktu reaksi
Penampakan klinis
Histologi Antigen dan situs
Kontak 48-72 jam Eksim (ekzema)
Limfosit, diikuti
makrofag; edema
epidermidis
Epidermal (senyawa
organik, jelatang atau po
ison ivy, logam berat ,
dll.)
Tuberk
ulin48-72 jam
Pengerasan
(indurasi) lokal
Limfosit, monosit,
makrofag
Intraderma (tuberkulin,
lepromin, dll.)
Granul
oma21-28 hari Pengerasan
Makrofag, epithelo
id dan sel raksaksa,
fibrosis
Antigen persisten atau
senyawa asing dalam
tubuh
(tuberkulosis, kusta,
etc.)
Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis
Tipe
Mekanisme Imun Gangguan Prototipe
1 Tipe
Anafilaksis
Alergen mengikat silang
antibody IgE pelepasan
amino vasoaktif dan
mediatorlain dari basofil
dan sel mast rektumen sel
radang lain
Anafilaksis, beberapa
bentuk asma bronchial
2 Antibodi
terhadap
antigen jaringan
tertentu
IgG atau IgM berikatan
dengan antigen pada
permukaan sel
fagositosis sel target atau
lisis sel target oleh
komplemen atau
Anemia hemolitik
autoimun, eritroblastosis
fetalis, penyakit
Goodpasture, pemfigus
vulgaris
sitotosisitas yang
diperantarai oleh sel yang
bergantung antibodi
3 Penyakit
Kompleks Imun
Kompleks antigen-antibodi
mengaktifkan
komplemen menarik
perhatian nenutrofil
menjadikan pelepasan
enzim lisosom, radikal
bebas oksigen,
dll
Reahsi Arthua, serum
sickness, lupus
eritematosus sistemik,
bentuk tertentu
glumerulonefritis akut
4 Hipersensivitas
Selular
(Lambat)
Limfisit T tersensitisasi
pelepasan sitokin dan
sitotoksisitas yang
diperantarai oleh sel T
Tuberkulosis, dermatitis
kontak, penolakan
transplant
D. Manifestasi Klinic
1. Reaksi tipe I
Dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik
(parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit
setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal,
urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh
kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan
diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat
persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian
atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan
mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi
segera,dapatterjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan
penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam
beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada
tempat tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak,
menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,menyebabkan
diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
2. Reaksi tipe II
Umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik,
trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia.
3. Reaksi Hipersensivitas tipe III
1) Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme
dan lain-lain. gejala sering disertai pruritis.
2) Demam
3) Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
4) Limfadenopati
Kejang perut, mual
Neuritis optic
Glomerulonefritis
Sindrom lupus eritematosus sistemik
Gejala vaskulitis lain
4. Hipersensitivitas tipe IV
Dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk dan efusi
pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin,
nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan
manifestasi reaksi obat.
Adapun Gejala klinis umumnya :
Pada saluran pernafasan : asma
Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
Pada kulit: urtikaria. angioderma, dermatitis, pruritus, gatal, demam,
gatal
Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir
E. Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang
yang mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun
ketika untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama
barulah tampak gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah
tanda-tanda itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang
akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B
untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya
antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang
mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi
2 hal yaitu,:
1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan
efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang
misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan
yang menyebabkan panas.
2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang
merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang
banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui
pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan
terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan
dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat
mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal
dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah
yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat
menyebabkan kematian
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Uji kulit :
Sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti
tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen
makanan seperti susu, telur, kacang, ikan).
2. Darah tepi:
Bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit
5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
3. IgE total dan spesifik:
Harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE
lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah
atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
5. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
6. Biopsi usus:
Sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge
didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit
intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti
G. Pengobatan
Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:
1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin,
isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin,
albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol
dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan
bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat
maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan menghambat
hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
b. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada
reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai
antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada
melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat
ini merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat
merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak mempunyai sifat
bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma
akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan
alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah
pemberian peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta
limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung
yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus,
permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
3. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma
yang diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat
menghambat pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan
antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan
pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya
melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka
lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang
diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna
dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed
pada kadar berapapun
4. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti
traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.
II. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Data Demografi
a. Data dasar
Identitas Pasien (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan,
agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa
medis, sumber biaya, dan sumber informasi).
Identitas Penanggung (nama, jenis kelamin, umur, status
perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat,
dan hubungan dengan pasien)
b. Riwayat Keperawatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Mengkaji data subjektif yaitu data yang didapatkan dari klien,
meliputi:
Alasan masuk rumah sakit :
Pasien mengeluh nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya
bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa
gatal
Keluhan utama
- Pasien mengeluh sesak nafas
- Pasien mengeluh bibirnya bengkak
- Pasien mengaku tidak ada nafsu makan, mual dan muntah
- Pasien mengeluh nyeri di bagian perut
- Pasien mengeluh gatal-gatal dan timbul kemerahan di
sekujur tubuhnya.
- Pasien mengeluh diare
- Pasien mengeluh demam
Kronologis keluhan
Pasien mengeluh nyeri perut,sesak nafas, demam,bibirnya
bengkak,tibul kemerahan pada kulit,mual muntah,dan terasa
gatal tertahankan lagi sehingga pasien dibawa ke rumah sakit.
2) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit yang
sama atau yang berhubungan dengan penyakit yang saat ini diderita.
Misalnya, sebelumnya pasien mengatakan pernah mengalami nyeri
perut,sesak nafas, demam,bibirnya bengkak,tibul kemerahan pada
kulit,mual muntah,dan terasa gatal dan pernah menjalani perawatan
di RS atau pengobatan tertentu.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami
penyakit yang sama.
4) Riwayat Psikososial dan Spiritual
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga,
dampak penyakit pasien terhadap keluarga, masalah yang
mempengaruhi pasien, mekanisme koping terhadap stres, persepsi
pasien terhadap penyakitnya, tugas perkembangan menurut usia saat
ini, dan sistem nilai kepercayaan.
Analisa Data
1) Data Subjektif
a. Sesak nafas
b. Mual, muntah
c. Meringis, gelisah
d. Terdapat nyeri pada bagian perut
e. Gatal – gatal
f. Batuk
2) Data objektif
a. Penggunaan O2
b. Adanya kemerahan pada kulit
c. Terlihat pucat
d. Pembengkakan pada bibir
e. Demam ( suhu tubuh diatas 37,50C)
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen
2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,
intrademal sekunder
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi (allergen, ex:
makanan)
C. Intervensi Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan terpajan allergen
Tujuan : Setelah diberikan askep selama 1.x15 menit. diharapkan
pasien menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi
dan kedalaman rentang normal.
Kriteria hasil :
a. Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per
menit)
b. Pasien tidak merasa sesak lagi
c. Pasien tidak tampak memakai alat bantu pernapasan
d. Tidak terdapat tanda-tanda sianosis
Intervensi :
1. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan dan ekspansi paru. Catat upaya
pernapasan, termasuk pengguanaan otot bantu/ pelebaran masal.
Rasional : Kecepatan biasanya meningkat. Dispenea dan terjadi
peningakatan kerja napas. Kedalaman pernapasan berpariasi
tergantung derajat gagal napas. Ekspansi dada terbatas yang
berhubungan dengan atelektasis atau nyeri dada pleuritik.
2. Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas adventisius seperti
krekels, mengi, gesekan pleura.
Rasional : Bunyi napas menurun/ tak ada bila jalan napas obstruksi
sekunder terhadap pendarahan, bekuan/ kolaps jalan napas
kecil (atelektasis). Ronci dan mengi menyertai obstruksi jalan
napas/ kegagalan pernapasan.
3. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi. Bangunkan pasien turun dari
tempat tidur dan ambulansi sesegera mungkin.
Rasional : Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan
pernapasan. Pengubahan posisi dan ambulansi meningkatkan
pengisian udara segmen paru berbeda sehingga memperbaiki
difusi gas.
4. Observasi pola batuk dan karakter secret.
Rasional : Kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering atau iritasi.
Sputum berdarah dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan
atau antikoagulan berlebihan.
5. Berikan oksigen tambahan
Rasional : Memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas
6. Berikan humidifikasi tambahan, mis: nebulizer ultrasonic
Rasional: Memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu
pengenceran secret untuk memudahkan pembersihan.
2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x.24 jam diharapkan suhu
tubuh pasien menurun.
Kriteria hasil :
a. Suhu tubuh pasien kembali normal ( 36,5 oC -37,5 oC)
b. Bibir pasien tidak bengkak lagi
Intervensi :
1. Pantau suhu pasien ( derajat dan pola )
Rasional : Suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses penyakit infeksius akut.
2. Pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahkan linen tempat tidur sesuai
indikasi
Rasional : Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk
mempertahankan mendekati normal
3. Berikan kompres mandi hangat, hindari penggunaan alcohol
Rasional : Dapat membantu mengurangi demam
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal, intrademal
sekunder
Tujuan : Setelah diberikan askep selama 2 x24 jam diharapkan
pasien tidak akan mengalami kerusakan integritas kulit
lebih parah.
Kriteria hasil :
a. Tidak terdapat kemerahan, bentol-bentol dan odema
b. Tidak terdapat tanda-tanda urtikaria, pruritus dan
angioderma
c. Kerusakan integritas kulit berkurang.
Intervensi :
1. Lihat kulit, adanya edema, area sirkulasinya terganggu atau pigmentasi
Rasional : Kulit berisiko karena gangguan sirkulasi perifer
2. Hindari obat intramaskular
Rasional : Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat
absorpsi obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( alergen,ex: makanan).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam
diharapkan nyeri pasien teratasi
Kriteria hasil :
a. Pasien menyatakan dan menunjukkan nyerinya hilang
b. Wajah tidak meringis
c. Skala nyeri 0
Intervensi :
1. Ukur TTV
Rasional : untuk mengetahui kondisi umum pasien
2. Kaji tingkat nyeri (PQRST)
Rasional : Untuk mengetahui faktor pencetus nyeri
3. Berikan posisi yang nyaman sesuai dengan kebutuhan
Rasional : memberikan rasa nyaman kepada pasien
4. Ciptakan suasana yang tenang
Rasional : membantu pasien lebih relaks
5. Bantu pasien melakukan teknik relaksasi
Rasional : membantu dalam penurunan persepsi/respon nyeri.
6. Observasi gejala-gejala yang berhubungan, seperti dyspnea, mual muntah,
palpitasi, keinginan berkemih.
Rasional : tanda-tanda tersebut menunjukkan gejala nyeri yang dialami
pasien.
7. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic
Rasional : Analgesik dapat meredakan nyeri yang dirasakan oleh pasien.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hipersensitivitas merupakan suatu reaksi hipersensitivitas biasanya tidak
akan terjadi sesudah kontak pertama kali dengan sebuah antigen. Reaksi terjadi
pada kotak-ulang sesudah seseorang yang memiliki predisposisi mengalami
sensitisasi . Anafilaksis merupakan respon klinis terhadap suatu reaksi imunologi
cepat (hipersensitivitas tipe 1). Anafilaksis adalah repon berlebihan system imun
yang melibatkan seluruh tubuh. Tipe anfilaksia ada beberapa yaitu : Local, reaksi
anafilaksis local biasanya meliputi urtikaria serta angioedema pada tempat kontak
dengan antigen dan dapat merupakan reaksi yang berat tetapi jarang fatal.
Sistemik, reaksi sistemik terjadi dalam tempo kurang lebih 30 menit sesudah
kontak dalam system organ berikut ini : kardiovaskuler, respiratorius,
gastrointestinal dan integument .
B. Saran
Hal – hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya hipersensitivitas.
1. Menghindari zat yang dicurigai sebagai allergen
2. Melakukan tes alergi dan melihat riwayat keluarga serta riwayat frekuensi
serangan terjadi.
3. Menjaga kelembaban ruangan dengan mengatur sirkulasi angin dan udara
4. Menjaga kebersihan pakaian dan mengganti sprei sedikitnya seminggu
sekali
5. Konsultasi dengan dokter dan melakukan tes alergi untuk mengetahui
allergen-allergen yang harus dihindari
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3,
Jakarta:EGC..
Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta:
EGC.
Price & Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol
2.Edisi 6.Jakarta:EGC.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hipersensitivitas
http://emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2013/01/10/hipersensitivitas/